29
1 Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan Siauw Tiong Djin 1 Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai ketika ia pada tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18 tahun. Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di Surabaya, yang hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan siswa non Belanda pilihan, artinya anak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan penjajah Belanda. Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung. Walaupun sudah yatim piatu, guru-guru HBS yang menyayanginya berhasil mengumpulkan dana sebagai bea- siswa untuk Siauw menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama. Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno juga belajar. Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di zaman Demokrasi Terpimpin, Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap bersahabat karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi sponsor jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang mencanangkan paham integrasi. Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena pendidikan di HBS. Bukan karena ia bersahabat dengan seorang “pribumi” Ruslan Abdulgani, atau seorang teman peranakan Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian menjadi anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer. Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu, karena posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi yatim piatu. Dari anak yang tadinya dikelilingi kemewahan, menjadi anak yang harus memikirkan bagaimana menyambung hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan adik satu-satunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14 tahun. Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin Tit Po. Liem Koen Hian memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa memilih Indonesia sebagai tanah air” dan sekaligus mengajaknya berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan Indonesia. Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan, pertama di harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di harian Matahari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan Tionghoa lain yang juga mendukung konsep Indonesia adalah tanah air Tionghoa Indonesia. Bekenalan-lah Siauw dengan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad Yamin. 1 Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat hidup ayahnya dan telah menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca.

Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

1

Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan

Siauw Tiong Djin1

Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai ketika ia pada

tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18 tahun.

Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di Surabaya, yang

hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan siswa non Belanda pilihan, artinya

anak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan

baik dengan penjajah Belanda.

Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung. Walaupun sudah yatim piatu,

guru-guru HBS yang menyayanginya berhasil mengumpulkan dana sebagai bea-

siswa untuk Siauw menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama.

Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno juga belajar.

Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di

zaman Demokrasi Terpimpin, Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap

bersahabat karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi sponsor

jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang mencanangkan paham

integrasi.

Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena pendidikan di HBS.

Bukan karena ia bersahabat dengan seorang “pribumi” Ruslan Abdulgani, atau

seorang teman peranakan Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian

menjadi anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer.

Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu, karena

posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi yatim piatu. Dari anak

yang tadinya dikelilingi kemewahan, menjadi anak yang harus memikirkan

bagaimana menyambung hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan

adik satu-satunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14 tahun.

Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh

peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin Tit Po. Liem Koen Hian

memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa memilih Indonesia sebagai tanah air”

dan sekaligus mengajaknya berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan

Indonesia. Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa Indonesia

(PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932.

Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan, pertama di

harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di harian Matahari yang dipimpin

oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan Tionghoa lain yang juga mendukung konsep

Indonesia adalah tanah air Tionghoa Indonesia. Bekenalan-lah Siauw dengan

tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto Mangunkusumo,

Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad Yamin.

1 Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat hidup ayahnya dan telah

menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca.

Page 2: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

2

Perkenalan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno dan Hatta dilakukan

melalui korespondensi. Siauw memuat karangan-karangan mereka di harian

Matahari atau menyalurkan inspirasi mereka melalui tulisan-tulisannya.

Ternyata hubungan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo yang pada tahun 1912,

bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, lebih

mengisi pengertian Siauw muda tentang Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan

Indonesia, sebuah pengertian yang ia pahami secara baik. Dari sini lahirlah visi

politik, yang menjadi dasar perjuangan politiknya setelah kemerdekaan, yaitu

sebanyak mungkin komunitas Tionghoa harus menjadi warga negara Indonesia.

Siauw menganggap Dr Tjipto Mangunkusumo salah satu guru politik yang ia sangat

hormati.

Tentunya visi ini ia padukan dengan apa yang ia pelajari dari para teman

senior-nya tentang pengertian bangsa/nasion, golongan minoritas keturunan asing

dan diterimanya Indonesia sebagai tanah air: Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan

Ling Djie dan Tjoa Sik Ien.

Para tokoh peranakan Tionghoa ini sadar bahwa sistem kolonialisme di mana

masyarakat dikotak-kotakkan – pribumi, Tionghoa dan Eropa, telah mencetak

rasisme. Sebuah sikap yang ternyata berkelanjutan setelah kemerdekaan

diproklamasikan.

Dimulailah perjalanan politik Siauw yang panjang, meliputi berbagai zaman.

Perjalanan yang didasari atas keinginannya berpartisipasi dalam pembangunan

nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, mengajak sebanyak mungkin

komunitas Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dan berjuang gigih

melawan rasisme.

Di awal kemerdekaan visi dan keyakinan ini membuatnya berlawanan

dengan pandangan main-stream Tionghoa yang ia wakili dan bela. Dan di

berbagai zaman, karena aliran politiknya, ia meringkuk dalam tahanan sebagai

tahanan politik, terakhir selama dua belas tahun di zaman pemerintahan Suharto.

Akan tetapi ia tetap teguh dengan visi dan pendiriannya.

Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia

Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa

Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu untuk merumuskan aspirasi

komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara

Indonesia merdeka yang sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk

dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno.

Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa yang memainkan

peran penting dalam sejarah Indonesia itu dituturkan secara panjang lebar oleh

Siauw dalam memoar-nya 2.

2 Siauw Giok Tjhan, "Renungan Seorang patriot Indonesia", Siauw Tiong Djin (Ed), Lembaga kajian Sinergi

Indonesia, pp114-118

Page 3: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

3

Masalah nasion Indonesia dan kewarganegaraan Indonesia didiskusikan

dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Menurut mereka: "Rumusan keberadaan

sebuah bangsa (nasion) yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal

keturunan dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut

memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun 1912 dengan berdirinya

Indische partij pada tahu 1912 yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto

Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara". Selanjutnya diskusi itu juga

mempertegas: "perlunya diciptakan Undang-Undang yang melarang praktek-

praktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya

persamaan hak dan kewajiban" 3.

Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa hal yang menjadi

dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zaman-zaman mendatang: "1. nasionalisme

tidak boleh meluncur menjadi chauvinisme; 2. hanya ada satu macam

kewarganegaraan dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan

sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 4. mewujudkan

demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil, sehingga kepentingan rakyat

terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD harus tegas dalam ketentuan yang menjamin

didahulukannya kepentingan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan

apa-pun" 4.

Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak lama setelah

kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1

November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan

tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu "menjadikan

semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat

Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin".

Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan Indonesia lebih

terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat berperan dalam bidang itu.

Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di

dalam berbagai lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante, DPR-

GR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan minoritas di kabinet

Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948) dan menjadi anggota DPA di zaman

Demokrasi terpimpin (1959-1965).

Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat tokoh Tionghoa

digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw turut merumuskan UU

Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini

menjadikan semua penduduk yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan,

warga Negara Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk

menolak kewarganegaraan Indonesia.

UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam Maklumat

Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan

asing di Indonesia, warga negara Indonesia.

3 Sama seperti di atas, pp 114-115 4 sama seperti di atas, p 118

Page 4: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

4

Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata menimbulkan berbagai

kompromi politik yang sempat merugikan pengukuhan Indonesia sebagai negara

kesatuan. Pada tahun 1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk

Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negara-negara boneka buatan

Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian Konperensi Meja Bundar,

walaupun berisi berbagai hal yang merugikan Indonesia, tetapi ternyata

mempertahankan UU kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu

untuk menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951.

RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia pulih berdiri

sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua wilayah yang dijajah Belanda.

Dimulai-lah masa yang dikenal sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959)

di mana pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas dukungan

suara mayoritas DPR.

Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR sebagai wakil golongan

Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang sebagai seorang anggota parlemen

yang ulung di masa ini. Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan

minoritas, ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia

membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang cukup berpengaruh.

Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai kebijakan rasis, yang

pada saat itu dikenal sebagai kebijakan "asli-asli-an". Berbagai tokoh politik pribumi

menginginkan peran Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan

dihilangkan, demi memberi peluang untuk pedagang-pedagang “pribumi”.

Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang dalam dua kategori, "asli"

dan "tidak asli". Komunitas Tionghoa masuk dalam kategori "tidak asli" sehingga

harus disisihkan.

Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU yang mengandung

kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal utama.

Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang dinamakan "asli" atau

"tidak asli". Nasion Indonesia bukan Indonesian race seperti bangsa Aria untuk

wilayah Jerman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku

dan golongan keturunan asing.

Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya persamaan hak

dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia, tanpa membedakan asal

usul keturunan atau ras 5.

Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan

beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak kebijakan rasis tersebut batal

disahkan sebagai Undang-Undang. Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan,

akan tetapi Siauw dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak

negatif terhadap para pedagang Tionghoa 6.

5 Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalah-

risalah Parlemen 1950 - 1959. 6 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi keterlibatan Tionghoa dalam

usaha bis dan penggilingan padi

Page 5: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

5

Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakan-kebijakan rasis

ini membangkitkan keinginan para politikus senior "pribumi" untuk membatalkan UU

Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946.

Argumentasi mereka, bilamana pedagang-pedagang Tionghoa yang ingin

disingkirkan ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan hak

untuk semua warga negara tidak lagi bisa "melindungi" posisi para pedagang

Tionghoa.

Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada

tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU kewarganegaraan 1946.

Bilamana ini diresmikan, semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia

yang karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan

kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus mengajukan permohonan untuk

menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat untuk menjadi warga negara pun

diperberat. Bukan saja si pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus

lahir di Indonesia.

RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di luar DPR. Siauw

memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam DPR ia memperoleh dukungan

Fraksi Nasional Progresif. Di luar DPR ia memimpin sebuah panitia

Kewarganegaraan Indonesia yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa,

beberapa akhli hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa

Indonesia.

Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat kabar menekankan

beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh pemerintah, antara lain: RUU ini

bertentangan dengan janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1

November 1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga

keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia sebagai negara hukum

yang menjadi anggota dunia internasional tidak bisa membatalkan

kewarganegaraan jutaan penduduknya, apalagi mengingat ada di antaranya

para anggota parlemen dan menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa

sebagai rakyat jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang

tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan 1926 di luar

Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua pemohon tidak ada;

seandainya mereka pernah memiliki surat-surat bukti tersebut, banyak yang hilang

akibat pertempuran dan pengungsian.

Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri yang dekat dengan

Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah menarik kembali RUU tersebut.

Keberhasilan ini mendorong para tokoh PDTI untuk meyakinkan Siauw masuk ke

dalam dan memimpin organisasi massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk

melawan rasisme dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas

Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua umum Baperki - Badan

Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan

menjadikan Baperki sebuah organisasi nasional di mana para anggota "pribumi"

dan keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam sejarah

sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah sebagian terbesar

Page 6: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

6

anggota dan massa pendukung Baperki berasal dari komunitas Tionghoa; dan

yang menjadi dasar banyak program politiknya berkaitan dengan tindakan

melawan rasisme terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan

kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa.

Dengan adanya Baperki, Siauw dan para kawan seperjuangannya memiliki

sarana efektif untuk menjangkau komunitas Tionghoa, meyakinkan mereka untuk

menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara

Indonesia.

Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI Tionghoa

kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata tidak menerima kekalahan

dalam kancah demokrasi. Pada waktu penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT

dibicarakan dengan Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk

Konperensi Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu menteri

luar negeri, mendesak kebijakan yang terkandung dalam RUU Kewarganegaraan

1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi

Kewarganegaraan.

UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan Jus Sanguinis, artinya

setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok diakui sebagai warganegara Tiongkok.

Dengan demikian banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki

kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia.

Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui

kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki

kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi menurut hukum Internasional, Indonesia

tidak bisa secara sepihak membatalkan kewarganegaraan Tiongkok yang diakui

oleh RRT.

Siauw bergerak cepat dan berhasil me-negasi Perjanjian tersebut. Ia berhasil

meyakinkan Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran

Nota (Exchange of Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi

jumlah orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam kategori

petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu 1955, yang menjadi

pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak diharuskan memilih

kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah menjadi WNI.

Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan mencapai kemerdekaan;

ikut merumuskan UU Kewarganegaraan; dan memimpin upaya melawan RUU

Kewarganegaraan 1953; Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia

dibubarkan, Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang

kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe Tat, Yap Thiam

Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua sarjana hukum kenamaan --

mengakui keahlian dan penguasaan Siauw tentang hukum-hukum

kewarganegaraan yang seharusnya diterapkan di Indonesia 7.

7 Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka diwawancarai tentang Siauw

Giok Tjhan

Page 7: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

7

Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan oleh Siauw

atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Ia-pun kerap memberi

ceramah di berbagai acara Baperki tentang Kewarganegaraan dan Nasion

Indonesia.

Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun 1958, Siauw dengan

panjang lebar menuturkan berbagai perumusan nasion, dimulai dari John Stuart

Mill pada tahun 1861, Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke

20, JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan Dictionary of

Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula pembentukan nasion-nasion

Eropa Barat atas dasar peleburan berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis,

Jerman dan Italia - dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai

multi-racial nations, sehingga terdapat golongan-golongan minoritas. Ia

menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke I, telah tercantum sebuah

kesepakatan banyak negara tentang perlindungan kewarganegaraan golongan

minoritas, yaitu mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut

kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan oleh Lucia P Muir

dalam bukunya The Protection of Minorities 8.

Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia sudah terbentuk

pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di waktu mana pengaruh feodalisme

berkurang dan kapitalisme menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan

sebuah kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda. Dan ini,

menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dengan

demikian Ia dengan tegas menyatakan bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum

negara Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan

sebuah nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan sangat

berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun zaman tertentu 9.

Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan nasion

Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van Mook dalam rangka

pembentukan Republik Indonesia Serikat di zaman revolusi.

Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda dengan nasion,

kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran negara. Seseorang bisa saja

kehilangan kewarganegaraan sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan

dirinya sebagai bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw

berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara Republik

Indonesia lahir.

Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah

satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw lebih berkaitan dengan penerimaan

Indonesia sebagai tanah air. Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan

komunitas Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia.

8Ceramah Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan Baperki nomor 53 tahun 1958).

Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah

parlemen, 1950 - 1958. Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan - 065/Stn/61

(Stensilan Baperki no 65 tahun 1961) 9 Seperti di atas

Page 8: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

8

Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah nasion sangat tergantung atas

komitmen, lingkungan dan koneksi psikologis seseorang dengan nasion tersebut.

Akan tetapi, untuk mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong

sebanyak mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia.

Dalam ceramah yang sama, Siauw menyatakan: "Nationality, Nationaliteit,

Kebangsaan atau Kewarganegaraan adalah persoalan politik dan tidak dapat

dicampur adukkan dengan persoalan etnis dan persoalan ras. Siapa yang

tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik, tidak ditentukan

oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat kebudayaan". Sebagai contoh

kongkrit, menurut Siauw adalah UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan

semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan

stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali menyatakan

penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan, menurutnya karena Indonesia

sebagai negara muda terancam Belanda yang sering menggunakan alasan

melindungi orang asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di

samping itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam

Maklumat Politik 1 November 1945 10.

Ia lalu menambahkan bahwa perwujudan UU Kewarganegaraan yang

progresif merupakan sebuah proses perjuangan 11. Tentunya dalam hal ini yang

disitir oleh Siauw adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU

Kewarganegaraan 1946.

Komitmen dalam bidang kewarganegaraan ini menyebabkan Baperki

berkembang sebagai organisasi yang sangat berperan dalam bidang

kewarganegaraan, terutama dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu

komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan

dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan.

Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar

Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di berbagai acara Baperki

pada tahun 1957-1958. Banyak pidato-pidato tidak tertulisnya menyinggung istilah

suku 12 . Secara tertulis, ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang

penggunaannya menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit

menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai salah satu suku

bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri menghindari perdebatan ilmiah tentang

istilah ini, sehingga tidak memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya.

Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar argumentasi simbolik

untuk melawan arus “asli” dan arus yang menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas

Tionghoa dari nasion Indonesia.

Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh Sartono, ia

selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling Indonesia dan luar negeri.

Oleh karena itu Siauw berkesempatan mengunjungi berbagai pelosok Indonesia 10 Seperti di atas 11 Seperti di atas 12 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap Thiam Hien

Page 9: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

9

dan menemui beberapa komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas

penduduk tetapi juga sudah ber-ratus tahun menetap di daerah-daerah tersebut,

di antaranya Bagan Siapi api, Singkawang, Bangka, Belitung, Binjai dan

Tanggerang 13.

Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan ukuran dasar

terbentuknya sebuah suku adalah beradanya sebuah kelompok etnis di sebuah

lokasi di atas tiga atau empat generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai

lokasi tersebut bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak hidup dan

kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan dengan lokasi-lokasi yang

dihuninya.

Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang Tionghoa di Indonesia

sudah menetap di berbagai daerah Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah

meninggalkan kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia

akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang dinamakan

penduduk "asli" 14.

Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus "asli-asli-an" yang

menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki legitimasi Hukum dan sejarah

pembentukan nasion Indonesia.

Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah: nasion

Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri dari berbagai suku

bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memperkuat argumentasi

inilah Siauw menyamakan keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai

suku. Ia menyatakan: "Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau besar

dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100 suku bangsa. Di antara

100 suku bangsa adalah suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau,

Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll. Jadi bangsa

Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa

dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun

bangsa, bahasa dan kebudayaan". Siauw mendukung argumentasi kesamaan

rumpun ini dengan menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia

yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan tengkorak manusia

yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan tengkorak-tengkorak ratusan tahun

yang ditemui di Jawa Timur serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan

dan daerah Asia lainnya 15.

Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa istilah suku itu

datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung menyatakannya sebagai

istilah yang dipergunakan Sukarno, yang di hadapan massa Baperki pada bulan

Maret 1963 dengan gamblang menyatakan bahwa peranakan Tionghoa adalah

salah satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 16.

13 Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265 14 Seperti di atas 15 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam,

1981 16 Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963.

Page 10: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

10

Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menyatakan kepada

penulis bahwa Siauw yang dekat dengan Sukarno menyampaikan kepadanya

pokok-pokok sambutan yang ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki

tersebut.

Ini tidak mengherankan. Beberapa isi pidato resmi Sukarno mengikutsertakan

pula beberapa konsep Siauw tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang

berkaitan dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw masuk

dalam GBHN MPRS 1964.

Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Sukarno pada

zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih berpengaruh dari apa-pun yang

dinyatakan atau dihimbau oleh Siauw atau Baperki.

Pada tahun 1981, walaupun istilah suku sudah dipergunakannya sejak tahun

1958, ia menyatakan:" Saya gembira karena salah satu hasil perjuangan Badan

Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai

Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah “suku”

bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno,

dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres Baperki di Jakarta,

tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung

Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang

yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan

peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang

hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari

masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia

yang tidak bisa dipisahkan"17.

Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an, terutama setelah

tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’ sudah berkurang, tidak lagi

menekankan istilah suku Tionghoa. Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan.

Ketepatan paham integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwi-

kewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam mewujudkan

sosialisme ala Indonesia; pengembangan program pendidikan Baperki lebih

diutamakan.

Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai

peranakan Tionghoa. Ia kerap pula meng-kategorikan Tionghoa yang lahir di

Indonesia sebagai "golongan keturunan Tionghoa". Dalam konteks ini, ia memang

sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang masih ber-orientasi ke

Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa dalam pembicaraan sehari-hari dan

masih mempertahankan kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan

"baba" atau peranakan (golongan yang sudah berakulturasi dengan Indonesia).

Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian

terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa adalah komunitas yang memiliki

atribut totok. Ini tentunya sesuai dengan dasar perjuangannya yang bersandar

atas janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945.

17 Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, September 1981

Page 11: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

11

Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI dan menerima

Indonesia sebagai tanah air.

Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan Sukarno tentang

peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam sambutannya di Kongres Baperki

pada tahun 1963, pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw.

Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia adalah nasion yang ber-

Bhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk suku

Tionghoa; nasion yang mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas

suku dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki

mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas paham integrasi

wajar.

Banyak orang menganggap istilah Integrasi baru dipergunakan setelah

paham asimilasi lahir dan dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan

Kesatuan Bangsa) yang resmi didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun

1961.

Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki dan Siauw pada

tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi sambutan tertulis pada kongres

ke Baperki. Sambutan tertulis yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini

menyatakan: "bangsa Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam

suku dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah. Usaha

mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu "nation" yang bebas

dari prasangka keturunan (racial prejudice) dan bebas dari rasa takut akan dianak

tirikan, memerlukan waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut

sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah golongan kecil

(minority problem) bagi negara seperti Indonesia kita ini, sesungguhnya adalah

satu masalah menghapuskan sifat-sifat "underdeveloped" dan mencapai "full

employment". Dengan demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan

mengadakan diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana

meratakan kesejahteraan" 18.

Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh Siauw pada tahun

1960, pada Kongres Baperki ke delapan di Semarang, Desember 1960, dalam

membeberkan beberapa tugas pokok Baperki, diantaranya: "memperlancar

proses integrasi nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja

sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa rakyat lainnya

guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menyelamatkan dan

memperkokoh kehidupan sebagai bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat

penuh dengan mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika" 19.

Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam barisan Baperki,

Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang Peng Koen dan juga beberapa 18 Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis memiliki naskah asli yang diketik

oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan

tertulis Sukarno. 19 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka

Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember

1960

Page 12: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

12

peranakan Tionghoa lainnya, seperti Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai

memformulasi konsepsi asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan

bahwa jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas Tionghoa

adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini dengan komunitas mayoritas

sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan

mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan

kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an dan menanggalkan

kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian diresmikan sebagai program politik

organisasi yang dinamakan LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang

disponsori Angkatan Darat.

Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang dituturkan di atas

tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi. Istilah integrasi kemudian

dikembangkan oleh Siauw dan Baperki sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif

dalam penyelesaian masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian

bahwa nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak harus dilebur

atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas para suku itu hilang, Siauw

berargumentasi bahwa yang harus diupayakan adalah komunitas Tionghoa

mengintegrasikan dirinya bersama suku bangsa lainnya membangun nasion

Indonesia. Ia memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan

konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas African Americans

dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni dan RRT.

Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas pengertian apakah

Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah race dan apakah hilangnya ciri-ciri

biologis Tionghoa memegang peranan dalam kesetiaan atau ke-patriotik-kan

seseorang terhadap Indonesia.

Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan

Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-

sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa

Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-

sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian

kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman

pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa

tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu,

semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah

berbahasa Tionghoa.

Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa

kota besar mulai mengorganisasi sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum

Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan

pelajaran dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan

studi-nya di negeri Belanda.

Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan

dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga

Page 13: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

13

mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin

meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948.

Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas

Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Bukan

karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan

Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka

merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa

memenuhi harapannya.

Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-

sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal

tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota

DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya

200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang

dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut

diubahnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah

nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir

mengakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-

siswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia

menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun

sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.

Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat

dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, Siauw mengatakan bahwa

sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua

warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih

tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa

WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan

mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional.

Mereka terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional

tidak bisa menampungnya.

Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana

untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini

diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan

sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh

politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa Tionghoa

WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat

Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep

ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan

masyarakat.

Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari

masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah

konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang

program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki

Page 14: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

14

mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk

semua WNI.

Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum

1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan

Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki.

Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolah-

sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang,

Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra.

Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki

Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-sekolah Tionghoa

diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB)

diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong

oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan

melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.

Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah

Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-

kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini

dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah

yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan dikeluarkan untuk

mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolah-sekolah nasional harus dipimpin

oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI.

Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan

guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis

dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi.

Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan

jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga

150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah

Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI.

Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih

banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat

sekolah.

Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan

Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan untuk

membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki.

Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang

menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai

Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolah-

sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung

sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun

1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar

darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Page 15: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

15

Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang

ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI

ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian

Baperki lebih besar pula.

Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara

cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para

pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi

membantu komunitas Tionghoa WNI.

Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang

Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolah-sekolah Baperki ini berjalan

lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya.

Keterlibatan Baperki dalam bidang pendidikan dan pemilikan sekolah-

sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki.

Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan

memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme.

Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolah-

sekolah dengan baik karena masalah dana.

Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa keterlibatan Baperki

dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang

dihadapi komunitas Tionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa.

Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus

mengalir.

Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak

pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan.

Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang

mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu

diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas

baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu

bersedia menyumbang.

Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan

dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah

yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33

di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi.

Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170.

Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan

tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang

mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah

Baperki.

Lahirya Universitas Baperki

Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki

menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan

untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada

Page 16: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

16

umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa

tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.

Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka

gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada

penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya

untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini

mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki.

Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan

tujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah Baperki mendapatkan

dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki

yang disingkat UBA.

Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan

November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin,

elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra

diresmikan.

Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada

keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat.

Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang

teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan

Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan

penekanan teknologi praktis. Dalam konteks ini, Siauw menganjurkan para dekan

Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang

mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa

dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat.

Siauw gagal menarik banyak tokoh politik "asli" untuk aktif dalam Baperki.

Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk

membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo

Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas

Ekonomi dan Hukum.

Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand

Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di

dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing

dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai

Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki.

Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin

Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman

pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk

mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan

sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini

memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk

membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki

oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol.

Page 17: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

17

Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-

fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor

Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga.

Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa

yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya.

Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya

Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk

menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia.

Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas

Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Sukarno, yang

diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res

Publica". Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan

jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum.

Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi

rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan

bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca.

Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di

Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB,

mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat

tim pengajar Ureca.

Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan)

menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi,

ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas

negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga

diakui sebagai sarjana penuh.

Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya

adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum

pergantian politik pada bulan Oktober, jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi

6000.

Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk

mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan

jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan

oleh para pedagang Tionghoa.

Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan

gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan

para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang

dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan

pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah

satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya.

Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak

melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status

kewarganegaraan.

Page 18: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

18

Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar

belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berhaluan kanan, banyak yang

beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup banyak yang beragama Katolik dan

Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas.

Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah

Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah

Tionghoa.

Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka

berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan

tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw

menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak mungkin

komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak

lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah

besar.

Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi,

cukup banyak mahasiswa "asli" yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw

di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca.

Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa "asli", Baperki

mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada

beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca.

Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota

besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang

(Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S,

pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga

sudah dimulai.

Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata,

karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana

besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok

Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak akhli

membangun Indonesia.

Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca

Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian

kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa

pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik

komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan

mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.

Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk

memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan

sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-

Cinta:

a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia

b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian

Page 19: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

19

c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan

d. Cinta bekerja

e. Cinta orang tua

Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri.

Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa

dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan pengintegrasian

suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di

Ureca.

Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa.

Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolah-

sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk

menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman

politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi

Indonesia melalui sebuah prose peng-Indonesia-an yang efektif, proses

pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik.

Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang

berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas

kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di

universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah

dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan sejarah

perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu

bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan

politik Indonesia sangat terbatas.

Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum

nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia

dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai

kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok

bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan

demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik

meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan

organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal

dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam

keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolah-

sekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi

Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa

yang berasal dari kelompok peranakan.

Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan

Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan pemuda.

Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi

anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan program-program

Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia.

Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai

tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim

Page 20: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

20

Kesenian Ureca. Acara-acara kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA

senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan

bahwa ke-Indonesiaan para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya

mementaskan kebudayaan Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan

kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno

beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acara-acara resmi

pemerintah.

Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di

setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan Pelajar

ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan

majalah-majalah berkala.

Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu

Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di

setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik

Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965,

program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini

dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa

digunakan oleh para petani.

Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah

tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar

sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak

lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi

anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi

pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi

mempersiapkan persetujuan di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa

Baperki. Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus.

Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan

untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang

mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut.

Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang

dinamakan Dewan Mahasiswa.

Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan

Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar

luaskan ke para mahasiswa.

Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif

yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-

kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada

tahun 50-an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga

PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan

Mahasiswa Indonesia).

Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia

memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya

di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata

Page 21: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

21

sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw

mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan.

Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI

yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi

pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan

kesetiakawanan masih terpupuk baik.

Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk

Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada acara-

acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para

mahasiswa Baperki sangat diharapkan.

Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim

Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada

yang dibuang ke pulau Buru.

Berakhirnya Ureca

Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik.

Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam

sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu

singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan

Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada

di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar

dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai.

500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya,

termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk

dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun.

Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya

melindungi rakyat dan menegakkan hukum.

Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para

ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S.

PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-

gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan

apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi

sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran.

Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas

didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur

Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi,

Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-

gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal

oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar.

Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-

jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan

demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka

Page 22: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

22

rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya. Mereka benar-benar

merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka.

Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah

berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak

dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan

kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar.

Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur

atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula

pembakaran beberapa gedung.

Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada

di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta

bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa

mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari

helicopter.

Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di

hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan

gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk membangun kembali Ureca. Janji yang

tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim

yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak

memungkinkan berdiri kembalinya Ureca.

Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya

Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965.

Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca.

Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri

pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan

Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah,

dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca.

Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti

dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB.

Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia

masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk

menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry

Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki

memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang

tidak bisa diterima di perguruan tinggi.

Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para

mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas

Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka

yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang

menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan

Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara.

Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.

Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena persekusi. Mereka

ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti.

Page 23: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

23

Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan

Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai

universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu

walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk.

Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh

Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa

menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion

Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui

pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap

Indonesia tidak luntur.

Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan

sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan

mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk mencintai

kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya.

Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat

menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam

PPI.

Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak

berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian

terwujud.

Ketergantungan atas Sukarno dan Politik Kiri

Dengan berkembangnya polarisasi politik, kiri dan kanan dalam zaman

Demokrasi Terpimpin, Siauw tidak bisa tidak harus memilih aliran politik. Para partai

politik dan organisasi kiri, terutama PKI di zaman ini mendukung kebijakan Siauw

dan Baperki. Sedangkan Angkatan Darat dan partai-partai politik kanan pada

umumnya menentangnya. Ironisnya, integrasi yang dijadikan program politik

Baperki dan asimilasi yang dijadikan program LPKB dikaitkan dengan aliran politik.

Integrasi dianggap jalan keluar kiri, sedangkan asimilasi jalur kanan.

Sukarno sebagai pengimbang kekuatan politik di awalnya sempat

menunjukkan dukungan ke dua pihak ini. Di hadapan Baperki ia mendukung

integrasi. Di lain pihak, ia-pun menerima konsepsi asimilasi. Akan tetapi setelah

tahun 1963, Sukarno cenderung mendukung Baperki. Sampai akhir zaman

Demokrasi Terpimpin pada akhir 1965, Baperki berada di atas angin dan LPKB

tampak terpojok.

Perlindungan Sukarno yang diperoleh Baperki menyebabkan ia mampu

berkembang pesat, terutama di dalam bidang pendidikan. Setelah tahun 1958,

Baperki lebih dikenal sebagai lembaga yang memberi kesempatan pendidikan

untuk komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, warganegara Indonesia

maupun warganegara asing (Tiongkok). Ratusan sekolah dan beberapa kampus

universitas Baperki yang dinamakan Universitas Respublica menampung puluhan

ribu siswa Tionghoa di banyak kota besar. Melalui program pendidikan inilah,

Page 24: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

24

Baperki mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menerima

Indonesia sebagai tanah airnya.

Pengembangan lembaga pendidikan Baperki beribarat “membunuh dua

burung dengan satu batu”. Ia dikembangkan untuk menyambut rasisme dalam

bidang pendidikan dan sekaligus menjadi sarana efektif untuk meng-Indonesia –

kan komunitas Tionghoa, terutama yang totok. Siauw berkeyakinan bahwa Nation

Building dengan jalur integrasi adalah proses yang membangun, yang memerlukan

metode membangun, yaitu mengajak komunitas Tionghoa untuk mencintai

Indonesia, mencintai kebudayaan Indonesia dan turut berpartisipasi dalam

berbagai kegiatan aktif membangun Indonesia. Kesetiaan dan kecintaan

terhadap Indonesia, menurutnya, tidak bisa dikaitkan dengan nama, latar

belakang ras, agama, bahkan kewarganegaraan seseorang.

Dalam konteks ini, seperti yang diutarakan di atas, Siauw memandang

nasion sebagai sesuatu yang lebih besar dari kewarganegaraan.

Kebijakan untuk sepenuhnya bersandar atas perlindungan Sukarno memang

memungkinkan Baperki berkembang pesat dan secara politis berada di atas angin.

Akan tetapi tumbangnya Sukarno dan kekuatan kiri secara langsung

menyebabkan Baperki hancur dan peran Siauw dalam percaturan politik

Indonesia segera terhenti pada akhir tahun 1965.

Banyak anggota Baperki menjadi korban keganasan militer yang bergerak

menghancurkan kekuatan kiri setelah peristiwa G30S 1965 dengan pembantaian

manusia tidak bersalah dalam skala besar. Siauw dan banyak pendukungnya

harus meringkuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa proses pengadilan apapun.

Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1978, Siauw pergi berobat di Belanda.

Begitu tiba di Belanda, ia segera melakukan berbagai kegiatan mengecam

kebijakan pemerintah Suharto yang digambarkannya sebagai pemerintah yang

telah mengkhianati jiwa proklamasi 45, melanggar UUD 45 dan menginjak-injak

HAM. Ia pun kerap berbicara mengenai masalah Tionghoa dan tetap teguh

dengan pendiriannya yaitu: dengan integrasi membangun nasion Indonesia yang

ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Pada tanggal 20 November 1981 ia meninggal karena serangan jantung,

beberapa menit sebelum memberi ceramah di hadapan para Indonesianis

Belanda di Universitas Leiden, tentang kegagalan Demokrasi Indonesia dengan

kesimpulan optimistik bahwa rakyat Indonesia akan mewujudkan demokrasi yang

didambakan.

Kesimpulan

Perjalanan politik Siauw didasari beberapa visi politik yang berkembang sejak

ia terlibat dalam pendirian partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932.

Pertama keyakinannya bahwa untuk sebagian besar Tionghoa yang lahir di

Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya. Oleh karena itu ia berjuang untuk

memungkinkan sebanyak mungkin Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Ini

Page 25: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

25

dilakukan baik dalam segi hukum dengan memperjuangkan dihukumkan UU

kewarganegaraan yang sesuai dengan visi ini.

Kedua, bersandar atas keinginan membangun nasion yang ber-Bhinneka

Tunggal Ika, Siauw mendorong pengertian bahwa nasion Indonesia adalah nasion

yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa. Komunitas Tionghoa,

peranakan maupun totok, diajaknya berintegrasi dalam tubuh nasion Indonesia,

bersama para suku lainnya, tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas yang

seyogyanya memperkaya kebudayaan Indonesia.

Ketiga, sejak tahun 50-an, walaupun berpaham sosialisme, Siauw

berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, modal

yang dimiliki oleh para pedagang Tionghoa harus dilindungi secara hukum dan

praktis untuk terus berkembang, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam

pembangunan ekonomi Indonesia. Perpaduan antara kapitalisme nasional dan

sosialisme inilah yang ia inginkan.

Langgam perjuangan Siauw yang bersifat membangun di dalam perjalanan

politik panjang Siauw jelas tampak. Rasisme dalam bidang kewarganegaraan

disambutnya dengan berbagai rumusan kewarganegaraan dan pelaksanaan UU

di lapangan oleh aparat Baperki; rasisme dalam bidang ekonomi ditentangnya

dengan rumusan ekonomi yang menjamin modal domestik yang banyak dimiliki

oleh pedagang Tionghoa secara hukum dilindungi dan didorong untuk

berkembang; rasisme dalam bidang pendidikan disambutnya dengan pendirian

institusi pendidikan yang mampu menampung mereka yang karena kebijakan rasis

tidak bisa meneruskan sekolah; Sarana pendidikan dijadikan landasan efektif untuk

meng-Indonesia-kan sebanyak mungkin komunitas Tionghoa, terutama generasi

mudanya. Dan untuk menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa yang rumit,

dikembangkan konsepsi integrasi yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme.

Akan tetapi di zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw dan Baperki terlalu

tergantung atas perlindungan politik Sukarno, sehingga ketika Sukarno tumbang

dan kekuatan kanan yang didukung oleh blok Barat mengambil alih kekuasaan

politik, Baperki dan Siauw-pun kandas. Dengan demikian, program pendidikan dan

kebijakan untuk membawa komunitas Tionghoa menjadi Indonesia harus terhenti.

Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya mendukung

kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang

bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial

bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang.

Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno

memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit

sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya

kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri,

termasuk Siauw Giok Tjhan dan Baperki.

Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak

mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-

tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa.

Page 26: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

26

Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki

berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah

Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif

berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia

tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an.

Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik,

kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan

berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para dosen

dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk mengawinkan

teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana bantuan komunitas

Tionghoa sedemikian rupa.

Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi.

Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti Tiong Hoa

Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada

adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak

mengandung penekanan politik.

Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya yang mendirikan

Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang Ureca

di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu

menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kota-kota

lain.

Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak

menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas

Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar.

Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan

cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana ada

dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir

menjadi korban.

Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah

rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan

pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri.

Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah

Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967 (baru

dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa selama 32 tahun ingin

dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang

mengandung konotasi penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang.

Demikian juga perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk

dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas

Tionghoa di banyak bidang.

Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam

dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan

ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali.

Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan terhadap

kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal

Page 27: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

27

berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak

berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani berurusan

dengan apapun yang berhubungan dengan aparat negara.

Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan

asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa

yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang

masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada bulan Mei

1998.

Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak

Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau

mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan

membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya

tidak ada yang membela.

Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-orang Tionghoa,

seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban

Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI),

Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dll.

Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah Tionghoa yang

dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-

diskusi terbuka tentang pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai

forum.

Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi

pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan pemudanya –

PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan

animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil inisiatif

pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan organisasi berdasarkan

pengalaman yang dibina sebelum Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada

tahu 1965, adalah alumni Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para

mantan anggota PPI.

Beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat yang membanggakan,

Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Wijaya dan Dr. Lie Dharmawan.

Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan

berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak ada

lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas

Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan

kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya, memenuhi persyaratan

hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa memperolehnya.

Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa

dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang

melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan

kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah ditiadakan.

Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat

calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet SBY ada menteri Mari Pangestu,

seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi gubernur Jakarta Raya, Ahok.

Page 28: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

28

Ramalan Siauw yang ia ingin sampaikan dikuliahnya di Universitas Leiden

pada tahun 1981 pun bisa dikatakan terwujud, yaitu rakyat Indonesia akan

memenangkan perjuangan mencapai demokrasi. Demokrasi setelah Gusdur

menjadi presiden jauh lebih baik ketimbang di zaman-zaman sebelumnya. Kini,

Indonesia memiliki seorang presiden, Joko Widodo -- seorang tokoh yang lahir dari

keluarga miskin dan tidak pernah berada dalam jajaran pimpinan yang berkaitan

dengan rezim-rezim yang bangkit setelah Sukarno tergulir pada tahun 1966 --

dipilih oleh rakyat, mengalahkan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto,

yang didukung oleh money politics dan kekuatan politik yang mendominasi

Indonesia.

Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun

masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi, baik non

Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa dikatakan

tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa

yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba

memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan.

Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi

membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota

besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai

keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal yang

membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda di zaman penjajahan

belanda, dan berbahasa Inggris di zaman pasca Demokrasi Terpimpin.

Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya baik

dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-besaran di

tempat-tempat mahal, di tengah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa

gangguan berarti.

Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari

permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan?

Kiranya tidak.

Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama.

Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya keharmonisan

masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas

Tionghoa di Indonesia.

Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi

di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik yang

berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme

yang ganas dan brutal bisa terulang lagi.

Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham

integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan

masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-benih

rasisme dengan tindakan-tindakan membangun, tanpa menanggalkan latar

belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan.

Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara

maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah

Page 29: Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan - gelora45.comgelora45.com/news/STDjin_PerjalananPolitikSGT.pdfanak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan

29

penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham

multikulturalisme diundangkan.

Organisasi semacam Baperki dan kini INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa)

yang mampu dengan efektif menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan

komunitas yang diwakilinya masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari

pengalaman Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah

kekuatan politik penguasa. Organisasi-organisasi yang dimaksud hendaknya

merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak.

Ini merupakan jalan selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh

memakan waktu.