27
1 Perkawinan dan Anak dalam Hukum Perdata

Perkawinan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hukum perdata

Citation preview

  • *Perkawinan dan Anak dalam Hukum Perdata

  • *Pengertian PerkawinanMenurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Sajuti Thalib, SH dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia mengatakan: Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.Dr. Anwar Haryono SH, dalam bukunya Hukum Islam juga mengatakan: pernikahan adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.

  • *Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.

  • *Syarat-Syarat dan Momentum Sahnya PerkawinanSyarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern.- Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. - Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan.

  • *Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil, dan (2) syarat formil.Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:Syarat materiil mutlak, yaitu merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. -Syarat materiil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.

  • *Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:-Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975).-Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada Undang-Undang yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai

  • Tujuan PerkawinanTujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dilihat dari tujuan perkawinan, maka perkawinan itu :a. Berlangsung seumur hidup b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir. c. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri

  • *Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka

  • Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

    Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu perkawinan antara calon pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk malangsungkan perkawinan.Tujuan pencegahan hukum perkawinan adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan*

  • -Pencegahan perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini, yaitu:1) Pasal 13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974;2) Pasal 59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata;3) Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975;Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. -Sedangkan pembatalan Perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 99 BW.

    *

  • Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah:Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;Saudara;Wali nikah;Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan;Ayah kandung;Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.

    *

  • *Pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) Perkawinan batal, dan (2) Perkawinan yang dapat dibatalkan. (1) Perkawinan batal adalah suatu perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada. (2) Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami-istri, namun salah satu pihak dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan.

  • Larangan Perkawinan

    Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 UU Nomor 1 Tahun 1974Di dalam KUH Perdata juga diatur tentang larangan perkawinan antara calon pasangan suami istri. Larangan untuk kawin diatur didalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata tidak mengenal larangan kawin bagi orang sesusuan maupun karena agama. Karena dalam konsep KUH Perdata,, perkawinan itu hanya dipandang dari hubungan keperdataan saja dan tidak mempunyai hubungan dengan agama, maupun konsep lainnya.*

  • Perjanjian KawinPerjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries. Tujuannya adalah:a. Keabsahan perkawinanb. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawina itu untuk seumur hidup.c. Demi kepastian hukumd. Alat bukti yang sahe. Mencegah adanya penyelundupan hukum

    *

  • Akibat Perkawinan

    Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga akibat perkawinan, yaitu: 1. Adanya hubungan suami-istri 2. Hubungan orang tua dengan anak 3. Masalah harta kekayaan

    *

  • Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974.

    *

  • *Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.Harta warisan itu berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan antara suami-istri putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama itu dibagi sama rata antara suami-istri.

  • Putusnya Perkawinan

    Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1) Kematian salah satu pihak; 2) Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru; 3) Adanya putusan hakim; 4) Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah satu pihak baik suami maupun istri meninggal dunia.

    *

  • Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal, yaitu: a. Talak, atau b. Berdasarkan gugatan perceraian.Talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 Ayat 1). Maksud pasal ini adalah untuk mempersulit perceraian, mengingat tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

    *

  • Akibat Putusnya Perkawinan

    Bila perkawinan putus karena perceraian, bekas suami-istri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anaknya.Bila terjadi perselisihan mengenai anak-anak tersebut, pengadilan memberikan keputusan ikut bersama siapa anak-anak itu (Pasal 1 ayat 1).Meskipun anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).Pengadilan dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya (Pasal 41 ayat 3).Kemudian mengenai harta bersama akibat putusya perkawinan, sebagaimana telah diterangkan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 37 menyerahkan pengaturannya kepada masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

    *

  • KEDUDUKAN ANAK

    UU. Perkawinan membagi kedudukan anak ke dalam dua kelompok yaitu:Anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.Anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    *

  • *Pasal 44 UU Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinaan itu. Atas penyangkalan ini pengadilan akan memberikan keputusan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut.

  • Selanjutnya mengenai asal usul anak pasal 55 UU Perkawinan menentukan:Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.*

  • Mengenai kedudukan anak, KUH Perdata memiliki pengaturan yang lebih rinci. KUH perdata membagi kedudukan anak menjadi:Anak sah(echte kinderen), adalah anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah ibunya.Anak tidak sah atau anak luar kawin atau anak alami(onwettige, onechte, natuurlijkw kinderen), dibedakan menjadi: (1) Anak luar kawin yang bukan hasil perselingkuhan(overspelig) atau sumbang(bloedschennis); (2) Anak zina (overspelige kinderen) dan sumbang (bloed schennige kinderen)Selain itu juga dikenal anak adopsi, yaitu anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka yang dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri.

    *

  • HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANGTUA DAN ANAK

    Kewajban orang tua terhadap anak menurut Kitab undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah kekuasaan orang tuan terhadap diri anak yang mencakup kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.Menurut KUHPerdata bahwa secara garis besar kekuasaan orang tua dibedakan atas :1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak ;2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda.

    *

  • Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kekuasaan orang tua terhadap diri anak adalah kewajiban untuk memberi pendidikan dan penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa. Atas dasar kekuasaan orang tua yang menjadi kewajiban orang tua, maka kekuasaan orang tua baik keduanya (bapak dengan Ibu) maupun salah satunya dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan .Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Didalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawianan kewajiban orang tua hanya sebatas kekuasaan terhadap diri anak dan tidak terhadap harta benda atau kekayaan anak sebagaimana yang telah diatur secara terperinci dalam KUHPerdata.*

  • KESIMPULAN

    *