Upload
dinhdang
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KARYAWAN ATAS
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEKTOR PANGAN
DI DKI JAKARTA
(ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 601
K/PDT.SUS/2010)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Choirunisa
NIM : 11140480000131
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2018
Choirunisa
iv
ABSTRAK
Choirunisa. NIM 11140480000131. “Perlindungan Hukum Terhadap
Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan Di DKI Jakarta
(Analisis Putusan MA No. 601 K/PDT.SUS/2010)”. Program studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi tenaga kerja
apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada perusahaan sektor pangan
di DKI Jakarta dan untuk mengetahui kesesuaian Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Perkara Nomor 601 K/PDT.SUS/2010 dengan Hukum
Ketenagakerjaan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitianYuridis Normatif. Pendekatan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang
digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
non hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara library reseacrh (studi kepustakaan) dan menganalisis data secara deduktif
yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masih ada perusahaan sektor pangan di
DKI Jakarta yang melakukan PHK sepihak tanpa adanya penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan dalam putusan majelis hakim
pada perkara Nomor 601 K/PDT.SUS/2010/PN.JKT.PST dalam pertimbangannya
Hakim tidak menerapkan dan tidak sesuai undang-undang ketenagakerjaan dan
undang-undang dasar 1945 yang mana berlaku bagi setiap pekerja dan pengusaha
termasuk dalam sengketa yang dialami Nurul Shanti Wardhani dan PT.Food
Station Tjipinang Jaya.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pemutusan Hubungan Kerja.
Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H
Daftar Pustaka : 1982-2018
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan berkah dan nikmat
kesehatan sehingga skripsi yang berjudul; Perlindungan Hukum Terhadap
Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan Di DKI Jakarta
(Analisis Putusan MA No. 601 K/PDT.SUS/2010) ini dapat diselesaikan dengan
baik. Shalawat serta salam senantiasa dipanjatkan pada Rasulullah Muhammad
Saw. beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada para pihak
yang telah membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini, kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan, kritik dan saran untuk
membangun penulis dalam penyusunan skripsi.
4. Pimpinan Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah
menyediakan bahan-bahan puistaka untuk kelancaran penulisan skripsi.
5. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah membantu dalam
mengumpulkan data peneliti sehingga dapat diselesaikannya skripsi.
6. Teruntuk kedua orangtua, Ayahanda Halim Surahman dan Ibu Aan Darwati,
yang telah memberikan segalanya baik materil maupun immateril, serta doa
dan dukungan tiada henti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi S1.
vi
7. Kepada bibi tercinta Yati Komalasari dan adik Lily Maharani yang telah
memberikan semangat dan dukungan demi kelancaran penulisan skripsi ini.
8. Teruntuk Almarhum paman tercinta Fahrudin yang semasa hidupnya selalu
memberi dukungan kepada peneliti, namun ditengah masa pendidikan
peneliti, Almarhum berpulang ke rahmatullah. Semoga senantiasa
diampuni segala dosa dan ditempatkan di sisi Allah SWT.
9. Sahabat-sahabatku, Fauziah Nurahmah, Farhaniah Nurfadilah, Selvi
Claudya, Syifa Sayla, Rahmita Ramadhani, Ai Farida dan seluruh sahabat
Pondok Pesantren Darul Muttaqien angkatan 20 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungannya selama ini. Kita
adalah keluarga.
10. Sahabat karibku, Nurkhalida Zia, Muslimah, Lailiya Saidah, Maulidiah
Maskat, Siti Julaeha, Denti Aulia, Nadita Wilhelmina dan seluruh sahabat
Ilmu Hukum 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungannya selama ini.
11. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan membalas kebaikan mereka. Amin.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karua ilmiah ini di masa mendatang. Akhir kata,
peneliti mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, September 2018
Peneliti,
Choirunisa
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 14
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 14
B. Kerangka Teori ..............................................................................
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................
D. Istilah dan Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja ......................
E. Sejarah Pemutusan Hubungan Kerja ............................................. 31
F. Perundang-Undangan yang Mengatur Pemutusan Hubungan
Kerja .............................................................................................. 39
G. Bentuk-Bentuk Pemutusan Hubungan Keraja .............................. 40
H. Tujuan Pengaturan Pemutusan Kerja ........................................... 47
BAB III PERLINDUNGAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEKTOR
PANGAN DI DKI JAKARTA ...................................................... 50
A. Profil PT. Food Station Tjipinang Jaya ........................................ 50
viii
B. Visi dan Misi PT.Food Station Tjipinang Jaya ..............................
C. Mekanisme Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Di Indonesia 56
BAB IV ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 601K/PDT.SUS/2010 .............................. 68
A. Kasus Posisi ................................................................................... 68
B. PerlindunganHukum Tenaga Kerja Yang Dikenai Pemutusan
Hubungan Kerja ............................................................................
C. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia ..... 74
D. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 601
K/PDT.SUS/2010 .......................................................................... 78
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 88
A. Kesimpulan ................................................................................... 88
B. Rekomendasi .................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 92
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, yang saling bergantungan antara satu
dengan yang lain, terutama untuk dapat melengkapi kebutuhan hidup. Dalam
kehidupan ini manusia dituntut untuk bekerja guna membiayai kehidupannya,
baik itu pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja dengan orang lain.
Majunya suatu Negara diikuti dengan majunya masyarakat yang terdapat
dalam Negara tersebut, dimana mereka membangun perusahaan-perusahaan
dan institusi yang berkembang.
Dalam pelaksanaan pembangunan, tenaga kerja mempunyai peran dan
arti yang penting sebagai suatu unsur penunjang untuk berhasilnya
pembangunan nasional. Kita menyadari dalam perusahaan atau institusi,
tenaga kerja merupakan motor penggerak dari perusahaan, partner kerja dari
pengusaha, asset perusahaan yang merupakan investasi bagi suatu perusahaan
dalam meningkatkan produktivitas kerja, sangatlah wajar apabila kepada
mereka diberikan perlindungan karena tenaga kerja merupakan asset yang
terpenting dalam upaya meningkatkan volume pembangunan.
Di Indonesia Hubungan Industrial ternyata berkaitan dengan semua
pihak yang terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan tanpa
mempertimbangkan gender, keanggotaan dalam serikat pekerja/serikat buruh,
dan jenis pekerjaan. Hubungan Industrial pada dasarnya adalah proses
terbinanya komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang
oleh kemampuan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada didalam
perusahaan.1
Dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 disebutkan bahwa pengertian dari Hubungan Industrial adalah Sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang
1 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.23.
2
dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (Untuk selanjutnya disebut UUD 1945).
Secara sederhana, pengertian mengenai Hubungan Industrial adalah
sebuah sistem hubungan yang terbangun atau terbentuk antara para pelaku
proses produksi barang dan/atau jasa, baik internal maupun eksternal
perusahaan. Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah
pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang kemudian diistilahkan sebagai
tripartit. Dalam proses produksi pihak-pihak yang secara fisik sehari-hari
terlibat langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha (operator), sedangkan
pemerintah terlibat di dalam hal-hal tertentu saja terutama yang berkaitan
dengan atau sesuai kewenangannya (regulator).2
Pada dasarnya, hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan
pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha,
dimana pekerja menyatakan kesanggupannya bekerja dengan pengusaha
dengan menerima upah dan dimana pengusaha menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah (seperti tercantum
dalam perjanjian kerja), Perjanjian kerja memuat ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban pekerja serta
hak dan kewajiban pengusaha.3
Dengan adanya perjanjian kerja maka timbul kewajiban satu pihak
untuk bekerja dan pihak lain mempekerjakan dengan memebayar upajh, Pada
pokoknya, didalam hubungan kerja akan terdapat tiga unsur, yaitu :
kerja(pekerjaan tertentu sesuai dengan perjanjian). upah (unsur pokok yang
menandai adanya hubungan kerja), dan perintah dari satu pihak yang berhak
memberikan perintah pada pihak lain yang berkewajiban melaksanakan
perintah.
2 Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, (Jakarta : Raja Grafindo, 2009), h. 1.
3 Sumanto, Hubungan Industrial ; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global, (Jakarta : Center Of Academic Publishing
(CAPS),2014), h. 196.
3
Hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja dapat berlangsung
untuk waktu tidak tertentu dan juga diadakan untuk jangka waktu tertentu.
Adapun bentuk perjanjian kerja dalam praktik dikenal dua bentuk perjanjian,
yaitu :
1. Perjanjian tertulis, yaitu perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya
kesepakatan para pihak banhwa perjanjian yang dibuat harus secara
tertulis agar lebih ada kepastian hukum.
2. Perjanjian tak tertulis, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang tidak
disyaratkan dalam bentuk tertulis.
Selama ini diketahui bahwa setiap hubungan kerja dalam pembangunan
industri selalu menimbulkan sifat-sifat yang berbeda dalam hubungan antara
pengusaha dan pekerja sehingga menimbulkan pengaruh sosial dalam
masyarakat. Satjipto Raharjo mengungkapkan bahwa penguasaan atas
usaha perindustrian tak dapat disamakan begitu saja dengan konsepsi yang
lama tentang penguasaan manusia atas barang dan sejumlah perubahan lain
dalam pengorganisasian dalam masyarakat.4
Manusia (pekerja/buruh) dalam proses produksi memegang peranan
yang sangat penting. Bagaimanapun kecilnya, peranan tersebut harus
dilindungi karena unsur manusia merupakan titik sentral dari setiap konsepsi
dan strategi pembangunan. Dengan demikian pekerja/buruh perlu diberi suatu
perlindungan hukum yang mengarah pada persamaan derajat antara para
pihak yang terkait dalam hubungan kerja. Upaya memberikan perlindungan
hukum bagi pekerja/buruh dalam suatu hubugan kerja merupakan tindak
lanjut dari penegakkan hak asasi manusia. Pengakuan adanya persamaan
dimuka hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh merupakan
konsekuensi yuridis dari makna yang terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945.
4 Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial…, h. 2.
4
Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketidaksamaan kedudukan antara
pekerja/buruh dan pengusaha ini sering sekali menimbulkan konflik.
Pengusaha mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang menurut
pertimbangannya baik dan dapat diterima oleh pekerja/buruh. Namun
terkadang pekerja mempunyai pandangan yang berbeda dengan pengusaha.
Akibatnya sudah dapat diterka akan timbul konflik dan perselisihan yang
dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan dan
Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, disebut dengan Perselisihan Hubungan Industrial.5
Dalam mencapai tujuannya perusahaan sangat di pengaruhi oleh yang
namanya karyawan, tidak jarang terjadi perselisihan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, terjadinya perselisihan di dalam perusahaan merupakan
sesuatu yang amat mengganggu kegiatan operasional perusahaan, banyak hal
yang selalu menjadi pemicu permasalahan antara karyawan dan perusahaan,
Dalam proses tersebut ada beberapa hal yang harus di perhatikan salah
satunya adalah Pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Indonesia sendiri
Pemutusan hubungan kerja ini diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
yaitu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana disini dijelaskan
aturan-aturan mengenai pemutusan hubungan kerja.
Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja
karena hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dan pengusah. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan
suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari pihak
pekerja/buruh, karena dengan PHK tersebut pekerja/buruh yang
5 Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial…, h. 2.
5
bersangkutanakan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi dirinya
dan keluarganya. Oleh karenanya pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan
industrial hendaknya mengusahakan dengan segala upaya agar jangan terjadi
PHK.6
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan
kesalahan berat sebagai berikut:
a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c) Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g) Ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h) Ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5(lima) tahun atau lebih.
6 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 65.
6
Pasal 158 Ayat (2) menyatakan bahwa : Pembuktian bahwa
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud
dalamPasal 158 Ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan permasalahan
terhadap kedua belah pihak (pekerja/buruh maupun pengusaha) karena pihak
yang bersangkutan sama-sama telah menyadari bahwa atau mengetahui saat
berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya
mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan
pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan
membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih yang dipandang
dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan
dengan pihak pengusaha.
Bagi pekerja/buruh pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok
bagi pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan
hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta
dilapangan bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah. Semakin ketatnya
persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang
selalu fluktuatif, sangatlah wajar jika pekerja/buruh selalu khawatir dengan
pemutusan hubungan kerja itu.7
Dalam mewujudkan kesejahteraan kehidupan warganya, negara
Indonesia menekankan kepada terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur sercara merata. Dalam melaksanakan pembangunan nasional peran
7 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.Citra
Aditya Bakti, 2014), h. 175.
7
serta buruh semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan
pekerja/buruh harus semakin ditingkatkan, baik mengenai upah, kesejahteraan,
dan harkatnya sebagai manusia.
Di era sekarang ini tidak sedikit hak-hak pekerja/buruh yang belum
terlindungi, perusahaan yang memutuskan hubugan kerja dengan praktik
rekayasa, bahkan ada perusahaan yang tidak memberikan hak-hak penuh para
karyawan nya yang di PHK, seperti pemberian uang pesangon yang tidak
sesuai dan lain sebagainya. Ini salah satu faktor penulis tergugah untuk
meneliti perihal perlindungan hukum terhadap pekerja/karyawan yang terkena
pemutusan hubungan kerja tanpa alasan, kemudian penulis mengambil
objek penelitian pada putusan Mahkamah Agung Nomor 601
K/PDT.SUS/2010.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji
dalam bentuk skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap
Karyawan Atas Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan Di DKI
Jakarta (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 601
K/PDT.SUS/2010)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka identifikasi
masalah dari penelitian ini adalah:
a. Urgensi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap kegiatan
Hubungan Industrial
b. Perusahaan yang tidak memberikan uang pesangon
c. Tercederainya hak-hak pekerja/buruh dalam suatu perusahaan
d. Peran pemerintah sebagai pengawas kegiatan perekonomian dalam
melindungi kepentingan masyarakat pada kegiatan Hubungan
Industrial.
8
2. Pembatasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
pembahasan penelitian mengalami pembatasan yaitu pada perlindungan
hukum terhadap pekerja/karyawan yang dijatuhi PHK pada perusahaan
sektor pangan di DKI Jakarta.
3. Perumusan Masalah
Praktik PHK yang penuh rekayasa dan bertentangan dengan rasa
keadilan dan hukum kerap memicu perselisihan hubungan industrial
menjadi suatu hal yang penting untuk lebih diperhatikan, karena tidak
sedikit hak-hak pekerja/buruh yang belum terlindungi. Pada penelitian
maka timbullah pertanyaan riset, sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap karyawan atas pemutusan
hubungan kerja sektor pangan di DKI Jakarta?
2. Bagaimana analisis hukum terhadap pertimbangan Hakim pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih dalam
bentuk tanggung jawab perusahsaan terhadap hak-hak pekerja/karyawan yang
di PHK di sektor pangan pada wilayah Provinsi DKI Jakarta melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010 sedangkan secara khusus
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap karyawan atas
pemutusan hubungan kerja sektor pangan di DKI Jakarta
2. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap pertimbangan Hakim pada
Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Karyawan
Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan di DKI Jakarta (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010) Ini, diharapkan
9
dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis, sebagai
berikut:
1. Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang dapat diterapkan
dalam dunia nyata agar karyawan lebih cermat menyikapi apabila
ditemui pelanggaran-pelanggalan terhadap hak-hak para
pekerja/karyawan yang dilakukan perusahaan.
2. Memberi masukan kepada pemerintah agar lebih tegas mengambil
kebijakan dalam menindak pelanggaran yang dilakukan perusahaan agar
tidak ada pekerja/karyawan yang di cederai hak nya sebagai salah satu
pihak dalam hubungan industrial.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis
normatif. Penelitian hukum yuridis normatif, yang mana penulis mengacu
pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan,
literatur, pendapat ahli, makalah-makalah, dan hasil penelitian yang
berkaitan dengan pembuktian dalam sebuah perkara. Pendekatan dapat
dilakukan dengan cara:
a. Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.8
Pendekatan Perundang-undangan guna memahami bagaimana negara
memberikan payung hukum terhadap pekerja dan pengusaha dalam
kegiatan usaha, yang mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pendekatan peraturan
perundang-undangan lainnya yang digunakan penulis, diantaranya:
1) UUD 1945
8 Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana 2005), h. 93.
10
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010.
b. Pendekatan studi kasus (Case Approach).
1) Pendekatan kasus digunakan untuk memahami kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu-isu hukum yang dihadapi yang mana telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam penelitian penulis menggunakan putusan Mahkamah
Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010 .
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif membutuhkan pemahamaan mengenai norma-norma yang
terkait dengan kasus yang sedang diteliti, kemudian dijabarkan dalam
bentuk tulisan atau paragraf.
Istilah Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian
yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau
bentuk hitungan lainnya9
3. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya maka penulisan ini disusun berdasarkan:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum utama dalam
penelitian hukum normatif yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
9 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar , 2009), h.4.
11
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Peraturan lain
yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum, makalah
yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.10
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ensiklopedia, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis
normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
yakni sumber data berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan non-hukum dikumpulkan berdasarkan permasalahan dan dikaji
secara komperhensif agar dapat digunakan untuk menjawab suatu
pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.11
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Pengelolaan data baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, serta bahan non-hukum dihubungkan sedemikian rupa sehingga
penyajian penulisan menjadi sistematis dan mudah dipahami agar dapat
10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
h.13.
11 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Bumi Intitama Sejahtera, 2009),
h.56.
12
menjawab setiap permasalahan yang dirumuskan. Penelitian ini
menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode analisis data
yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil penelitiannya
melainkan disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian
kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan. Hasil dari analisis
data ini akan disimpulkan secara deduktif yaitu cara berfikir yang menarik
suatu kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat umum menjadi suatu
pertanyaan yang bersifat khusus, yang mana dari kesimpulan dapat
diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan atau penyajian, penulis menjabarkan
materi atau isi melalui lima bab. Dimana setiap bab akan dijelaskan secara
rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini. Sistematika uraian
proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi sekilas
pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh
pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar
belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan
masalah yang akan dibahas, rumusan masalah, tujuan
penulisan skripsi, manfaat dari penulisan skripsi, metode
penelitian dan sistematika dalam penulisan penelitian ini.
BAB II : Bab dua ini membahas mengenai tinjauan pustaka yang
membahas mengenai kerangka konsep, kerangka teori,
Tinjauan (review) kajian terdahulu, sejarah, bentuk-bentuk
pemutusan hubungan kerja dan perundang-undangan yang
13
mengatur pemutusan hubungan kerja. Teori-teori yang
diuraikan dalam bab ini akan menunjukkan keadaan
seharusnya dalam kegiatan hubungan kerja yang baik, guna
menjadi tolak ukur dalam melakukan analisis dengan
perkara putusan yang akan dibahas pada bab selanjutnya
BAB III : Pada bab ini akan menjelaskan tentang Profil PT.Food
Station Tjipinang Jaya, visi dan misi PT.Food Station
Tjipinang Jaya dan mekanisme penyelesaian sengketa
pemutusan hubungan kerja.
BAB IV : Bab ini menguraikan perlindungan hukum tenaga kerja
yang dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kasus
posisi dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 601
K/PDT.SUS/2010, serta analisis yang dilakukan peneliti
terhadap hak-hak pekerja/buruh.
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan serta
rekomendasi. Dalam kesimpulan, akan diuraikan secara
ringkas mengenai berbagai pembahasan dalam skripsi ini.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan konsep-konsep khusus yang ingin
diteliti dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakaan
kerangka konseptual sebagai berikut:
1. Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja /buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat
bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana
buruh menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan
membayar upah.1
Perjanjian yang demikian itu disebut sebagai perjanjian kerja. Istilah
perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni
dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja.
Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan
hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat
syarat-syarat tentang perburuhan.
Perjanjian kerja memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan
dengan hubungan kerja, yaitu hak dan kewajiban buruh (pekerja) serta
hak dan kewajiban majikan (pengusaha). Ketentuan yang dapat dimuat
dalam perjanjian kerja anatara lain : macam pekerjaan,lamanya perjanjian
berlaku, besarnya upah perbulan, lamanya waktu istirahat (cuti), dan
besarnya upah selama cuti, jika ada besarnya bagian dari keuntungan,
1 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2003),
h. 70.
15
jika ada cara pemberian pensiun atau bentuk pemberian jaminan hari tua
lainnya, bentuk upah yang lain serta tempat kemana nanti buruh/pekerja
dikembalikan atas biaya pengusaha.
Adapun bentuk perjanjian kerja dalam praktik dikenal dua bentuk
perjanjian, yaitu :
1) Perjanjian tertulis, yaitu perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya
kesepakatan para pihak bahwa perjanjian yang dibuat harus secara
tertulis agar lebih ada kepastian hukum.
2) Perjanjian tidak tertulis, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang
tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis.
Perjanjian kerja tertulis merupakan ikatan hubungan kerja yang
diatur dalam peraturan perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama
(PKB), dan Perjanjian Perburuhan.
a) Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis
oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan. Kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku
bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
b) Perjanjian Kerja Bersama, adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh, yang tercatat pada instansi yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau
beberapa pengusaha.2
2. Pekerja/Tenaga Kerja
Pekerja ialah tiap orang yang melakukan pekerjaan, baik hubungan
kerja maupun di luar hubungan yang biasanya disebut “buruh bebas”,
misalnya : Petani yang menggarap sawahnya sendiri. Buruh bebas ini
dapat dinamakan swa pekerja.3
2 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi…, h. 197.
3 C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1993), h. 148.
16
Istilah “Pekerja” sangat luas pengertiannya, yaitu setiap orang yang
melakukan pekerjaan, misal pekerjaan seni, pekerja pers dan
sebagaianya.4 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Adapun undang-undang sebelumnya yakni undang-undang nomor 25
Tahun 1997 Tentang Tenaga Kerja mendefinisikan tenaga kerja sebagai
penduduk yang sudah memasuki usia 15 tahun atau lebih. Dengan
demikian mereka yang diluar itu termasuk bukan tenaga kerja.
Undang-undang terbaru tentang ketenaga kerjaan yaitu Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan
batasan usia yang jelas dalam definisii tenaga kerja. Undang-undang
tersebut hanya melarang mempekerjakan anak . Anak menurut
Undang-undang tersebut adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
tahun (delapan belas) tahun.5
3. Hubungan Kerja
Menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. Hubungan Kerja adalah hubungan antara
Pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai
bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha.6
4. Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran
4 Sumanto, Hubungan Industrial ; Memahami dan menagatasi potensi…, h. 63.
5 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi…, h.36.
6 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan(Edisi revisi), (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada.2014), h.61.
17
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
5. Undang-Undang
Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, undang-undang
adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan sebuah gambaran keadaan yang seharusnya
terjadi dalam suatu kegiatan usaha, oleh karena itu peneliti akan memaparkan
teori-teori yang digunakan dalam penelitian guna menjadi tolak ukur dalam
melakukan analisis suatu permasalahan. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan kerangka teori sebagai berikut :
1. Teori Efektifitas Hukum
Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan
atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu
tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable
terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang
dipergunakan.7
Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita
pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati, jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian
besar target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan
aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif.8
Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum juga
tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum
7 Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi. Edisi Pertama, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), h. 37.
8 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan VOL.1 Pemahaman awal,
(Jakarta : Kencana, 2013), h. 375.
18
untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang
mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum,
interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus
konkret.
Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga dapat
mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal
didalam masyarakat. Dan sebelumnya ketertiban umum, sedikit atau
banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan
terwujud secara optimal, jika masyarakat dalam keadaan keos atau situasi
perang dahsyat.
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam
hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan
masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam
membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan
itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.9
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1) Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari
sudut yuridis.
2) Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang
di depan pengadilan
9 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 158.
19
3) Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility).
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.10
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan
hakim antara putusan hakim yang satu dan putusan hakim lainnya. Oleh
Roscoe Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan
adanya predictability.11
3. Perlindungan Hukum
Perlindungan menurut KBBI dapat disamakan dengan istilah
proteksi, yang artinya adalah proses atau perbuatan memperlindungi.
Perlindungan hukum adalah perbuatan melindungi yang dilakukan oleh
hukum bagi setiap warga negara.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12
Perlindungan hukumbagi buruh sangat diperlukan mengingat
kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
10
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999), h. 23.
11 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 137.
12 Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 54.
20
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila
peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang
mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam
perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak
karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi
diukur secara sosiologis dan filosofis.13
Perlindungan tenaga kerja menurut Imam Soepomo yang dilengkapi
oleh Abdullah Sulaiman, menyatakan bahwa bentuk pola perlindungan
perburuhan yang meliputi antara lain14
:
1) Perlindungan Ekonomis, sebagai perlindungan syarat-syarat kerja
atau syarat-syarat perburuhan diatur dalam peraturan mengenai
hubungan kerja atau perjanjian kerja.
2) Perlindungan Keselamatan Kerja, yakni pemberian perlindungan
kepada buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
3) Aturan mengenai kelesamatan buruh ini dimuat dalam
peraturan-peraturan yang namanya disebut Peraturan Keselamatan
Kerja.
4) Perlindungan Kesehatan Kerja, perlindungan ini akibat buruh hasil
teknologi industri dan non industri lainnya karena kadang kala
terjadi perlakuan majikan terhadap buruhnya yang semena-mena
dan kadang-kadang kurang berkeprimanusiaan terhadap beban kerja
buruh.
5) Perlindungan Hubungan Kerja terhadap pekerjaan dijalankan oleh
buruh untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah.
13
Asri Wijayanti, E-Journal : Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK Karena
Melakukan Kesalahan Berat, Surabaya, 2004.
14 Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan-Perburuhan Di Indonesia, (Jakarta : Materi Hukum
Ketenagakerjaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Jakarta, 206-2018), h. 57.
21
6) Perlindungan Kepastian Hukum, yang berupa perlindungan hukum
yang ditetapkan dalm peraturan perundang-undangan yang sifatnya
hukum sanksi pelanggaran perburuhan yang sifatnya memaksa,
sekeras-kerasnya, dan setegas-tegasnya terhadap sanksi pidana yang
berisi perintah atau larangan.
4. Perlindungan Tenaga Kerja
Secara yuridis pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja
yang mencakup orang yang belum bekerja, yaitu orang yang tidak terkait
dalam hubungan kerja maupun orang yang sudah terikat dalam suatu
hubungan kerja ( pekerja / buruh ), karena orang yang terikat dalam suatu
hubungan kerja juga berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik atau yang lebih disukai oleh pekerja/buruh. Sedangkan pada pasal 6
merupakan perlindungan bagi orang yang sedang dalam ikatan hubungan
kerja.
Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan
memberikan tuntunan maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan
hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan
ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu, dengan
demikian maka perlindungan pekerja ini akan mencakup :15
1) Norma keselamatan kerja : yang meliputi keselamatan kerja yang
bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses
pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta
cara-cara melakukan pekerjaan.
2) Norma kesehatan kerja dan heigiene kesehatan perusahaan yang
meliputi: pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan
pekerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan dan
perawatan terhadap tenaga kerja yang sakit.
15 Zainal Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2010),
h. 96.
22
3) Norma Kerja yang meliputi perlindungan yang bertalian dengan
waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja wanita,
anak, kesusilaan, ibadah menurut keagama keyakinan
masing-masing yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial
kemasyarakatan dan sebagainya, guna memelihara kegairahan dan
moril kerja yang menjamin daya guna kerja yang tinggi serta
menjaga perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan
moral.
4) Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau
menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi
perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan/atau penyakit
akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga
) macam, yaitu :16
a) Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam
bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak
mampu bekerja diluar kehendaknya.
b) Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan
hak untuk berorganisasi.
Perlindungan agar tenaga kerja dapat melakukan kegiatan
kemasyarakatan, tujuannya memungkinkan dirinya dapat
mengembangkan kehidupan sebagai manusia pada umumnya dan
sebagi anggota masyarakat dan kelauarga pada khususnya.
c) Perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerja.
Perlindungan Hukum merupakan manifestasi dari hak asasi manusia
(HAM). Perlindungan Hukum bagi tenaga kerja Indonesia dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 yang
16 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bakti
2003), h. 61.
23
mengamandemen Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 , bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.17
Perlindungan Tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam hukum
ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diantaranya mengatur hal itu.18
1) Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan (Pasal 4 huruf c)
2) Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 5)
3) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6)
4) Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja
(Pasal 11)
5) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk
mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang dan tugasnya
(Pasal 12 Ayat 3)
6) Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghassilan yang layak didalam atau diluar negeri
(Pasal 31)
7) Setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlindungan atau
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan
17 Abdullah Sulaiman, Hukum Ketenagakerjaan-Perburuhan Di Indonesia, (Jakarta : Materi Hukum
Ketenagakerjaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Jakarta, 2016-2018), h. 58.
18 Eko Wahyudi,dkk., Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), h. 31.
24
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai
agama (Pasal 86 Ayat (1)).
8) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88
Ayat (1)).
9) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 Ayat (1)).
10) Setiap pekerja atau buruh berhak membentuk dan menjadi anggota
serikat pekerja atau serikat buruh (Pasal 104 Ayat (1)).
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian ini memiliki tinjauan kajian terdahulu, yakni:
1. Skripsi disusun oleh Ari Amigar Program Studi Akhwal Al syakhshiyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Berjudul Cerai Gugat Akibat Suami Terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), (Analisa Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010). Pada penelitian
mengenai Cerai Gugat Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan
Kerja Ini Pembahasannya terfokus pada Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) sebagai alasan pengajuan gugatan perceraian yang terjadi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor Putusan
770/Pdt.G/2010/PA.Jakarta Selatan. Dalam skripsi ini peneliti memiliki
kesamaan yaitu sama-sama membahas mengenai Pemutusan Hubungan
Kerja akan tetapi yang menjadi perbedaan dalam penelitian ini yaitu
terkait pada skripsi ini pembahasan yang diutamakan adalah mengenai
perceraian yang mana dalam putusan yang dianalisa pada skripsi ini
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi alasan sang istri/isteri untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan pada penelitian ini lebih
berfokus mengenai perlindungan hukum terhadap karyawan atas
pemutusan hubungan kerja sektor pangan di DKI Jakarta (Analisa
Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010 ).
25
2. Skripsi disusun oleh Dodi Oscard Sirkas Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2011. Berjudul Analisis Yuridis
Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pdt.Sus/2010). Pada penelitian
mengenai analisis yuridis pemutusan hubungan kerja secara sepihak ini
pembahasannya terfokus pada bagaimana proses pemutusan hubungan
kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam skripsi ini peneliti
memiliki kesamaan yaitu sama-sama membahas mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja akan tetapi yang menjadi perbedaan dalam penelitian ini
yaitu terkait kasus yang diteliti dimana pada skripsi ini meneliti kasus
terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pdt.Sus/2010 yang
membahas mengenai kesesuaian proses pemutusan hubungan kerja
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan sedangkan peneliti meneliti kasus yang terkait Putusan
Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010 yang membahas
mengenai perlindungan hukum terhadap karyawan atas pemutusan
hubungan sektor pangan di DKI Jakarta.
3. Buku yang berjudul Hubungan Industrial, pengarang Dr. Sumanto,M.A.
Penerbit Center Academic Publishing Service (CAPS) pada tahun 2014.
Buku ini menjelaskan secara umum dan menyeluruh mengenai Hubugan
Industrial meliputi sejarah dan perkembangan hubungan industrial,
teori-teori hubungan industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dengan pembahasan yang luas serta merinci. Pada buku ini pembahasan
lebih banyak pada sejarah dan perkembangan hubungan industrial yang
dibahas dalam bab tersendiri, sedangkan pembahasan mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya selintas bersamaan dengan
Bab Hubungan kerja dan Pemutusan Hubungan Industrial.
4. Jurnal hukum yang berjudul “Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau Dari
Segi Hukum (Studi Kasus PT.Medco Lestari Papua)” Erni Dwita
Silambi, tahun 2016. Dalam jurnal ini membahas mengenai bagaimana
26
perlindungan hukum terhadap para pekerja kontrak yang di PHK dalam
masa kontrak studi kasus PT.Medco Lestari Papua, sedangkan penelitian
yang akan dilakukan peneliti tentang perlindungan hukum terhadap
karyawan atas pemutusan hubungan kerja sektor pangan di DKI Jakarta
(analisa putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010.
D. Istilah dan Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
Berakhirnya suatu hubungan kerja bisa terjadi secara otomatis pada saat
jangka waktu hubungan kerja yang ditentukan oleh para pihak buruh atau
pekerja dengan pihak pengusaha. Pemutusan Hubungan kerja pada
hakikatnya dapat juga suatu pengakhiran sumber nafkah bagi pekerja dan
keluarganya yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerjanya atau
buruhnya.
Pengakhiran sumber nafkah ini juga dapat disebabkan oleh kehendak
siburuh atau pekerjanya, dalam hal si buruh atau pekerjanya mengundurkan
diri. Dalam hal hubungan kerja diputuskan oleh pihak ketiga yaitu mediator,
konsiliator, arbiter, atau hakim, Jika para pihak memperselisihkan hubungan
kerja itu. Berakhirnya hubungan kerja juga bisa merupakan hasil perundingan
atau kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersepakat mengakhiri
hubungan kerja.19
Menurut Mutiara S. Panggabean, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang
dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan, sehingga berakhir pula hak
dan kewajiban di antara mereka.20
19
Aloysius Uwiyono, dkk., Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014),
h. 134.
20 Mutiara S. Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Bogor : Ghalia Indah,
2004), h. 121.
27
Menurut Suwatno Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.21
Sedangkan Menurut Pasal 1 Ayat (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Kep.15A/Men/1994 bahwa : Pemutusan hubungan kerja ialah
pengakhiran kerja antara pengusasha dan pekerja berdasarkan izin panitia
daerah atau panitia pusat.
Kedua pengertian diatas mempunyai latar belakang yang berbeda
pengertian pertama lebih bersifat umum karena pada kenyataannya tindakan
PHK tidak hanya timbul karena prakarsa pengusaha, tetapi juga oleh
sebab-sebab lain dan tidak haru izin kepada panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P), Untuk pengertian kedua bersifat khusus, dimana tindakan PHK
dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran atau
kesalahan sehingga harus izin terlebih dahulu kepada P4D/P4P sesuai
dengan Ketentuan Perundang-Undangan, yang mana sekarang harus ada
penetapan terlebih dulu dari pengadilan hubungan industrial. Jika tidak, maka
pemutusan hubungan kerja tersebut statusnya batal demi hukum.
Mengenai pemutusan hubungan kerja diatur dalam BAB XII
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan
pemutusan hubungan kerja ini berlaku bagi :22
1) Badan usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum
milik orang perseorangan, milik persekutuan, milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara.
2) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan mendapat upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
21
Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi public dan bisnis,
(Bandung : Alfabeta, 2012), h. 286.
22 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, edisi revisi, (Jakarta :Sinar Grafika, 2008), h. 45.
28
Yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima
dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan kel;uarganya atas suatu pekerjaan
dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : Pemutusan hubungan kerja adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha.23
Pemutusan hubungan kerja (PHK) Adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena
pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan, atau habis kontrak.
Menurut pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
tenaga kerja, perjanjian kerja dapat berakhir apabila :
a) Pekerja meninggal dunia
b) Jangka waktu kontrak kerja telah berakhir
c) Adanya putusan pengadilan atau penetapan lemabaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang
ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan
pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
23
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.Citra
Aditya Bakti, 2014), h. 178.
29
kerja bersama (PKB), sebelum perusahaan mem-PHK pekerja, perusahaan
wajib memberikan surat peringatan secara tiga kali berturut-turut. Perusahaan
juga dapat menentukan sanksi yang layak, bergantung pada jenis pelanggaran,
dan untuk pelanggaran tertentu, perusahaan dapat mengeluarkan SP3 secara
langsung atau langsung memecat. Hal ini diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan masing-masing. Setiap perusahaan mempunyai
peraturan yang berbeda-beda.
Bagi pekerja yang di-PHK, berhak atau tidak berhak atas uang
pesangon , uang penghargaan dan uang penggantian hak. Peraturan mengenai
uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak diatur dalam
Pasal 156, Pasal 160 sampai Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.24
Pemutusan hubungan kerja tidak serta merta semua diperbolehkan,
dalam Pasal 153 Ayat (1) dan (2) terdapat pelarangan melakukan pemutusan
hubungan kerja yaitu:
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan:
a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus;
b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d) Pekerja/buruh menikah;
e) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
24
R.Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, ( Jakarta : Pustaka Setia, 2013), h. 299.
30
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
E. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
Sejarah hukum ketenagakerjaan Indonesia dibagi menjadi dua yakni
pada masa prakemerdekaan Republik Indonesia dan setelah kemerdekaan
Republik Indonesia.
1. Sejarah hukum ketenagakerjaan Indonesia Masa Prakemerdekaan
Republik Indonesia.
a) Masa Perbudakan
Perbudakan pernah berlangsung di bumi Nusantara, tahun
1887 di wilayah Sumba, apabila raja wafat maka 100 budak harus
dibunuh agar di alam baka raja tersebut mempunyai cukup
pengiring, pelayan dan pekerja lainnya. Di Bare Toraja, suku-suku
31
memiliki budak yang digunakan untuk mengerjakan sawah dan
ladang.
Secara sosial, ekonomi dan yuridis, dapat dikatakan bahwa
budak tidak memiliki hak apapun atas dirinya, karena si pemilik
yang mempunyai wewenang penuh atas dirinya. Dengan
menggunakan bahasa hukum sekalipun, maka seorang budak tidak
memiliki kecakapan hukum untuk bertindak.25
Pada masa perbudakan, keadaan Indonesia dapat dikatakan
lebih baik daripada di negara lain karena telah hidup hukum adat.
Pada masa ini, budak adalah milik majikan. Pengertian milik berarti
menyangkut perekonomian, serta hidup matinya sesorang. Politik
hukum yang berlaku pada musim ini, tergantung pada tingkat
kewibawaan penguasa (raja). Penghapusan perbudakan di Indonesia
terjadi secara berangsur, ditandai dengan beralihnya hubungan ini
dan diganti dengan sistem perhambaan.
b) Masa Perhambaan
Sistem ini dapat dikatakan pelunakan dari perbudakan
(pandelingschap) dengan menetapkan sejumlah uang sebagai utang
(pinjaman) dari si-hamba (bekas budak) kepada si bekas pemilik
(disebut juga pemegang gadai karena diibaratkan adanya peristiwa
pinjam meminjam uang dengan jaminan pembayarannya adalah diri
si peminjam/berutang).
Larangan terhadap praktek Perhambaan justru telah ada
sebelum digencarkannya larangan perbudakan, tercatat di Tahun
1616 sudah ada larangan praktek perhambaan. Salah satu aturan
terhadap larangan ini adalah Regelingreglement 1818 dan Stb. 1822
No. 10.
c) Masa Kerja Rodi
25
Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, ( Bogor :
Ghalia Indonesia,2010), h.17
32
Pekerjaan rodi atau kerja paksa dilakukan oleh Hindia Belanda
mengingat untuk melancarkan usahanya dalam mengeruk
keuntungan dari rempah-rempah danperkebunan. Untuk kepentingan
politik imperialismennya, pembangunan sarana prasarana dilakukan
dengan rodi. Contohnya, Hendrik Willem Deandels (1807-1811)
menerapkan kerja paksa untuk pembangunan jalan dari Anyer ke
Panarukan (Banyuwangi).
Rodi dibagi tiga, yaitu rodi gubernermen (untuk kepentingan
gubernemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan
kepala atau pembesar Indonesia), dan rodi desa (untuk kepentingan
desa.
Rodi untuk pembesar dan gubernermen (disebut pancen)
sangat memberatkan rakyat karena penetapannya diserahkan kepada
mereka. Convention no.29 Concerning forced or compulsory labour
(kerja paksa atau kerja wajib yang diretifikasi pemerintahan Hindia
Belanda tahun 1933), tidak memandang kerja wajib untuk keperluan
tentara dan orang lain dalam pekerjaan ketentaraan serta rodi untuk
kepentingan desa sebagai yang terlarang.26
d) Poenale Sanctie
Dengan diadakannya "AgrarischeWet" (Undang-Undang
Agraria) tahun 1870 yang mendorong timbulnya perusahaan
perkebunan swasta besar, soal perburuhan menjadi sangat penting.
Hubungan antara majikan dan buruh pada mulanya diatur oleh
“Politie Straaf Reglement” (Peraturan Pidana Polisi) yang lebih
melindungi kepentingan majikan peraturan ini dihapuskan pada
tahun 1879.27
Penggantinya adalah Koeli Ordonantie (1880) memuat
sanksi-sanksi terhadap pelanggaran kontrak oleh buruh dan sanksi
26
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan…, h.14.
27 Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h. 22.
33
bagi majikan yang melakukan kesewenang-wenangan pada
buruhnya. Karena adanya sanksi tersebut maka Koeli Ordonantie
dijuluki Poenale Sanctie yang artinya sanksi pidana bagi buruh yang
berasal dari luar Sumatera Timur, karena buruh dari rakyat setempat
atau suku di Sumatera Timur tidak terkena ordonansi ini.
2. Sejarah hukum ketenagakerjaan Indonesia Masa Kemerdekaan Republik
Indonesia.
a) Masa Orde Lama
Pada masa Presiden Soekarno, peraturan ketenagakerjaan yang
ada pada masa ini cenderung memberi jaminan sosial dan
perlindungan kepada buruh, dapat dilihat dari beberapa peraturan di
bidang perburuhan yang diundangkan pada masa ini. Tabel Beberapa
Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan di masa pemerintahan
Soekarno dari Tahun 1945 sampai Tahun 1958. Antara lain
peraturan yang keluar adalah: 28
1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang Kerja Buruh;
2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan
Kerja;
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan
Perburuhan;
4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian
Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan;
5) Undang-Undang Nomor22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 9
mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan
Berunding Bersama, dan
7) Permenaker Nomor 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat.
28
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2003), h. 12.
34
b) Masa Orde Baru
Pemerintahan Soeharto di Masa Orde Baru, pada masa ini
kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru juga
mengimbangi kebijakan yang menempatkan stabilitas nasional
sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace khususnya sejak
awal Pelita III (1979-1983), menggunakan sarana yang diistilahkan
dengan HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila).
Serikat Pekerja di tunggalkan dalam SPSI. Merujuk pada
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang ratifikasi Konvensi
ILO Nomor 98 Tahun 1949 mengenai Berlakunya Dasar dari pada
Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama, serta Peraturan
Menakertranskop Nomor 8/EDRN/1974 dan Nomor 1/MEN/1975
perihal Pembentukan Serikat Pekerja/Buruh di Perusahaan Swasta
dan Pendaftaran Organisasi Buruh, terlihat bahwa pada masa ini
kebebasan berserikat tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh
pemerintah. Peran Militer dalam prakteknya sangat besar misal
dalam penyelesaian perselisihan perburuhan.29
c) Masa Reformasi
Pada 5 Juni 1998 Presiden BJ.Habibie menetapkan Keputusan
Presiden Nomor 83 Tahun 1998 yang mensahkan Konvensi ILO
No.87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak untuk Berorganisasi (Concerning Freedom of Association and
Protection of the Right to Organise) berlaku di Indonesia.30
Meratifikasi Konvensi ILO tentang Usia Minimum untuk
diperbolehkan Bekerja/Concerning Minimum Age for Admission to
Employment (Konvensi Nomor 138 Tahun 1973) yang memberi
perlindungan terhadap hak asasi anayang anak dengan membuat
29
Laurensius Arliman S, Perkembangan Dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia, (Jurnal Selat : Volume. 5 Nomor. 1, Oktober 2017) h. 80.
30 Vedi Hadis, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, ( Jakarta :
LP3ES,2000), h. 19.
35
batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999.
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia
Tahun 1998-2003 yang salah satunya diwujudkan dengan
pengundangan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
d) Masa Sekarang
Perkembangan hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4
undang-undang yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh oleh Abdurrahman Wahid. Dilihat dari
peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan, pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid ini dinilai sangat melindungi
kaum pekerja/buruh dan memperbaiki iklim demokrasi dengan
UU serikat pekerja/serikat buruh yang dikeluarkannya ini.31
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang ini sangat fundamental
karena menggantikan sebanyak 15 (limabelas) peraturan
ketenagakerjaan, sehingga Undang-Undang ini merupakan
payung bagi peraturan lainnya.
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Perlindungan
dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri.
PHK di Indonesia pada awalnya diatur dalam peraturan
perundang-undangan kolonial, yaitu burgerlijk wetboek atau lazim
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PHK dalam Kitab
31
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), h. 87.
36
Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1603n yang
menyebutkan bahwa masing-masing pihak dapat memutuskan
hubungan kerja tanpa pemberitahuan pemutusan hubungan kerja atau
tanpa mengindahkan aturan-aturan yang berlaku bagi pemberitahuan
pemutusan hubungan kerja, tetapi pihak yang berbuat demikian
tanpa persetujuan pihak lain, bertindak secara bertentangan dengan
hukum, kecuali bila ia sekaligus membayar ganti rugi kepada pihak
lain atas dasar ketentuan Pasal 1063q, atau ia memutuskan hubungan
kerja secara demikian dengan alasan mendesak yang seketika itu
diberitahukan kepada pihak lain.
Namun, ketentuan dalam Pasal 1603n tersebut dirasa tidak
sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Hubungan Industrial
Pancasila (HIP), yaitu kurang diperhatikannya musyawarah mufakat,
sehingga pasal 1603n ini dinyatakan tidak berlaku lagi melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan
Hubungan Kerja dalam Perusahaan Hubungan Swasta.
Selain itu PHK pernah diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Pernyataan
Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia;
2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian
Perpekerjaan Antara Serikat Pekerja Dan Pengusaha;
3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perpekerjaan, Dalam Hal Terjadinya Perselisihan
Atau Tuntutan Atau Gugatan Dari Pihak Pekerja Sehubungan
Pemutusan Hubungan Kerja Tersebut;
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 Tentang Penempatan
Tenaga Asing;
5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Tentang Wajib Kerja
Sarjana;
37
6) Undang Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di
Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital;
7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1964 jo. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1964 tentang Penetepan Besarnya Uang
Pesangon Dan Lain Lain Sehubungan Dengan Pemutusan
Hubungan Kerja;
8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan
Hubungan Kerja dalam Perusahaan Hubungan Swasta;
9) Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan
ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian;
Selanjutnya PHK diatur secara lebih jelas dan komprehensif
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada bab XII. Ketentuan PHK dalam UU Nomor
13 Tahun 2003 meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di
badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.32
Masalah PHK juga sangat memprihatinkan sejak tahun 1998,
kasusnya yang masuk ke P4P kecenderungannya selalu meningkat,
yaitu tahun 1988 sebanyak 2.172 kasus, tahun 1999 sebanyak 2.386
kasus, tahun 2000 sebanyak 2.124 kasus, tahun 2001 sebanyak
2.312 kasus, tahun 2002 sebanyak 2.663 kasus dan tahun 2003
sebanyak 2.977 kasus. Pada tahun 2003 dari kasus PHK yang masuk
ke P4P sebanyak 2.977 kasus, dan telah diputuskan oleh P4P
32
Asri Wijayanti, Perlindungan hukum bagi pekerja yang di PHK karena melakukan
kesalahan berat, (Surabaya : Legality Jurnal Ilmiah Hukum, 2004).
38
sebanyak 2.460 kasus dengan pihak tenaga kerja/buruh yang
mengalami PHK sebanyak 128.739 pekerja/buruh.
Pada tahun 2004 sampai dengan bulan Februari masalah PHK
yang masuk ke P4P sebanyak 925 kasus, dan yang telah diputus
sebanyak 233 kasus dengan tenaga kerja yang mengalami PHK
sebanyak 18.928 pekerja/buruh. Selain menyidangkan kasus gugatan
dari para pihak yang menolak keputusan P4D, P4P juga
menyidangkan kasus PHK massal atau yang melibatkan tenaga
kerja/buruh dengan jumlah lebih dari 10 (sepuluh) orang. Dari kasus
PHI dan PHK yang ditangani oleh P4P tersebut, baik pihak
pekerja/buruh maupun pihak pengusaha, selalu ada yang tidak puas
dengan keputusan P4P sehingga mereka akan mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.33
F. Perundang-Undangan yang Mengatur Pemutusan Hubungan Kerja
Sehubungan dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat
kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan
prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar pekerja/buruh mendapatkan
perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan
ketentuan.34
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan
pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakkan
peraturan perundang-undangan ketanagakerjaan.
Beberapa dasar hukum pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK)
adalah :
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta.
33
Idi Setyo Utomo, Suatu Tinjauan Tentang Tenaga Kerja Buruh Di Indonesia, Vol.6,
2005.
34 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.Citra
Aditya Bakti, 2014), h. 175.
39
3) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
tanggal 28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor
13 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.
4) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
SE.907/Men.PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal.
5) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
SE.13/Men/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI atas
Hak Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945.
6) Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
B.600/Men/SJ-Hk/VII/2005 perihal Uang Penggantian Perumahan serta
Pengobatan dan Perawatan.
G. Bentuk-Bentuk Pemutusan Hubungan Kerja
1) Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Hubungan kerja putus demi hukum berarti putus dengan sendirinya
tanpa diperlukan adanya tindakan salah satu pihak, buruh atau majikan,
yang ditujukan untuk itu.35
PHK demi hukum terjadi karena alasan batas waktu masa kerja
yang disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, Perjanjian kerja berakhir apabila :
a) Pekerja meninggal dunia;
b) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
35
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Djambatan,
2016 ), h.143.
40
c) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
2) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh
Pemutusan Hubungan kerja (PHK) oleh buruh dapat terjadi apabila
buruh mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang
mengakibatkan buruh minta di PHK. Pemutusan hubungan kerja oleh
buruh atas permintaan pengunduran diri ialah pemutusan hubungan kerja
yang timbul karena kehendak buruh secara murni tanpa adanya rekayasa,
intimidasi, atau pemaksaan dari pihak lain khususnya pihak pengusaha.36
Berdasarkan ketentuan Pasal 151 Ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya
tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. Pengunduran
diri buruh dapat dianggap terjadi apabila buruh mangkir paling sedikit
dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan
keterangan tertulis dengan bukti yang sah.37
Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 169 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, pekerja /buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut :
a) Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
36
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, edisi revisi, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2007),
h.189.
37 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2013), h. 163.
41
b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c) Tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.
d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh
e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan.
f) Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan
kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengunduran diri atas kemauan diri sendiri tanpa perlu meminta
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).
Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri,
yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung selain menerima uang penggantian haksesuai ketentuan Pasal
156 Ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerjasama. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud diatas harus memenuhi syarat :38
a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal
pengunduran diri;
b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
38
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia…, h.186.
42
3) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengusaha
Pemutusan Hubungan Kerja oleh majikan dapat terjadi karena
alasan apabila buruh tidak lulus masa percobaan, apabila majikan
mengalami kerugian sehingga menutup usaha, atau apabila buruh
melakukan kesalahan. Lamanya masa percobaan maksimal adalah tiga
bulan, dengan syarat adanya masa percobaan dinyatakan dengan tegas
oleh majikan pada saat hubungan kerja dimulai, apabila tidak maka
dianggap tidak ada masa percobaan. Ketentuan lainnya apabila majikan
menerapkan adanya training maka masa percobaan tidak boleh
dilakukan.39
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha kepada
buruhnya merupakan salah satu tindakan pemutusan hubungan kerja yang
paling dihindari semua pihak. Hendaknya pemutusan hubunga kerja oleh
pengusaha menjadi keputusan terakhir yang diambil oleh pengusaha.
Namun dalam keadaan tertentu pemutusan hubungan kerja merupakan
jalan terbaik untuk dilakukan. Adanya banyak alasan mengapa pengusaha
melakukan pemutusan hubungan kerja, alasan-alasan tersebut antara
lain:40
a) Pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
Berdasarkan Pasal 161 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.41
39
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi…, h. 162.
40 Yamitema T.J. Laoly, Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Buruh…, h. 32.
41 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, edisi revisi, (Jakarta :Sinar Grafika, 2008), h.53.
43
b) Pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran/kesalahan berat;
Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan membatasi
pelanggaran atau kesalahan berat yang dapat dijadikan alasan
pemutusan hubungan kerja. Namun ketentuan pasal 158
Undang-Undang Ketenagakerjaan ini telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I-2003 Tanggal
28 Oktober 2004 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembatalan
ini membawa dampak besar terhadap proses pemutusan hubungan
kerja akibat kesalahan berat. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
karena kesalahan/pelanggaran berat harus melalui putusan hakim
pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.42
Serta telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI SE 13/MEN/SJ-HK/I/2005
tertanggal 7 Januari 2005, yang pada pokoknya meniadakan alasan
kesalahan berat sebagai dasar PHK, dimana kewenangan untuk
mem-PHK karena alasan adanya kesalahan pihak buruh menjadi
kewenangan absolut lembaga PHI sehingga kalangan pengusaha tak
lagi dibenarkan melakukan PHK sepihak tanpa adanya putusan PHK
dari PHI.43
Sebagaimana Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI SE 13/MEN/SJ-HK/I/2005 tersebut, akibatnya
terbentuk opini bahwa terhadap setiap kesalahan atau pelanggaran
berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh, pengusaha tidak bisa serta
merta mem-PHK tanpa adanya proses persidangan pidana.44
42
Yamitema T.J. Laoly, Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Buruh…, h. 34.
43 Hery Shietra, Artikel Hukum : Hak Normatif Buruh Tidak Selalu Identik Dengan Upah,
Sebuah Kajian Hak Buruh Untuk Berserikat, Jakarta : 2016.
44 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan…, h. 64.
44
c) Pemutusan hubungan kerja karena ditahan aparat berwajib Karena
diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pihak
pengusaha.
Dalam hal ini pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi
wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang
menjadi tanggunagnnya dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Untuk 1 (satu) orang tanggungan 25% dari upah;
2) Untuk 2 (dua) orang tanggungan 35% dari upah;
3) Untuk 3 (tiga) orang tanggungan 45 % dari upah;
4) Untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50%
dari upah.
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah
istri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama. Bantuan kepada keluarga yang
menjadi tanggungan pekerja/b uruh diberikan untuk waktu paling
lama 6 (enam) bulan.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah
6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan karena masih dalam
proses perkara pidana. Pengusaha wajib membayarkan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penggantian hak.
Pemutusan hubungan kerja disini tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.45
d) Pemutusan hubungan kerja karena pekerja mangkir
Pekerja/buruh yang mangkir 5 (lima) hari kerja atau lebih
berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi
dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha (dua) kali
secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri. Kepda pekerja/buruh yang
45
F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, edisi revisi…, h. 52.
45
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjiankerja bersama.46
e) Pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dalam kaitannya
dengan kondisi perusahaan.
1. Pemutusan hubungan kerja karena perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan dan pengusaha tidak menerima buruh
diperusahaannya;
2. Pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama dua tahun.47
4) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Putusan Pengadilan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengadilan adalah
pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan
yang bersangkutan (majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan
Penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan
keadaan pribadi atau kekayaan pemohon perubahan keadaan dimana
pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah
layak untuk memutuskan hubungan kerja.48
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengadilan ini sebenarnya
merupakan akibat dari adanya sengketa antara buruh atau majikan yang
berlanjut sampai ke proses peradilan. Datangnya perkara dapat dari buruh
atau dapat dari majikan.49
46
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007),
h.184.
47 F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, edisi revisi, (Jakarta :Sinar Grafika, 2008), h.55.
48 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007),
h.188.
49 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2013), hal.167.
46
Masing-masing pihak, yaitu pihak majikan dan buruh, setiap
waktu, juga sebelu pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan alasan
penting, mengajukan permintaan tertulis kepada pengadilan negeri
ditempat keddiamannya yang sebenarnya untuk menyatakan perjanjian
kerja khusus.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pengadilan atas
permintaan pihak majikan dengan sendirinya tidak memerlukan izin lagi
dari panitia penyelesaian perselisihan perburuhan. Demikianlah juga
halnya dengan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan olehbalai harta
peninggalan untuk kepentingan majikan yang dinyatakan valid dan
pemutusna hubungan kerja yang dilakukan oleh perwakilan Indonesia
diluar Indonesia untuk kepentingan pengusaha kapal.
Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut tidak ada jalan untuk
melawannya, dengan tidak mengurangi wewenang Jaksa Agung untuk,
semata-mata. Demi kepentingan Undang-Undang, mengajukan
permintaan kasasi terhadap putusan tersebut.50
H. Tujuan Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja
Tujuan pokok hukum ketenagakerjaan adalah pelaksanaan keadilan
sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan pelaksanaan itu diselenggarakan
dengan jalan melindungi pekerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pihak majikan.51
Munculnya peraturan perburuhan lebih banyak diwarnai oleh
kecenderungan politik. Pada era Orde Lama muncul Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Produk dan visi
undang-undang ini bersifat sosialis karena pemerintahan Soekarno memang
memiliki kecenderungan mendukung sosialisme. Dalam undang-undang ini,
buruh mendapat proteksi besar. Sebagai contoh, kalangan buruh perempuan
50
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 1982), h.96.
51 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan, 1987), h.7.
47
diberi hak cuti haid, setelah itu muncul Orde Baru yang dipengaruhi
globalisasi dan kapitalisme. Pada era ini, privilege buruh dicabut karena
dianggap kontraproduktif. Tak pelak, pihak Depnaker pun akhirnya
menghapuskan hak cuti haid bagi buruh perempuan.52
Pada era reformasi muncul Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013
yang dianggap mencoba mencari titik tengah antara buruh dan pengusaha,
namun nyatanya sistem outsourcing yang sangat merugikan buruh disahkan.
Di sisi lain, pasal yang melindungi buruh enggan untuk dijalankan oleh
pengusaha dan pemerintah.
Selain itu muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Pengadilan Hubungan Industrial yang membawa era baru kanalisasi
permasalahan perburuhan/industrial, mengurangi peran Negara, dan
melunturkan sifat publik hukum perburuhan. Watak pemerintahan yang
neoliberal menjadikan buruh tetap berada dalam posisi inferior, permasalahan
perburuhan diprivatisasi, buruh harus “bertarung” dengan pengusaha yang
didukung oleh kebijakan pemerintah.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
disahkan oleh Megawati Soekarno Putri pada tanggal 23 Maret 2003 di
Jakarta dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39.
Undang-Undang ini menyempurnkan peraturan-peraturan mengenai
ketenagakerjaan sebelumnya yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
dalam pembangunaan ketenagakerjaan di Indonesia.
Tujuan hukum ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi :
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
2) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
52
Abdul Jalil, Teologi Buruh Cet.1, (Yogyakarta : LKiS, 2008), h. 38.
48
3) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
4) Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pembangunan ketanagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah artinya
asas pembangunan ketanagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional khususnya asas demokrasi pancasila serta asas adil
dan merata.
Penjelasan Tujuan hukum ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
“Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu
kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja
seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan
pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi
secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap
menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.”
2) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
“Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja
dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan
bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja
perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan
daerah.”
3) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
4) Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
49
50
BAB III
MEKANISME PERLINDUNGAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
SEKTOR PANGAN DI DKI JAKARTA
A. Profil PT.Food Station Tjipinang Jaya
PT.Food Station Tjipinang Jaya beralamat di Jalan Pisangan Lama
Selatan Nomor 1 Komplek Pasar Induk Cipinang, Pisangan Timur, Kota
Administrasi Jakarta Timur, DKI Jakarta. Berikut beberapa hal mengenai
PT.Food Station Tjipinang Jaya :
1) Sejarah PT.Food Station Tjipinang Jaya
Untuk menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat DKI Jakarta,
pada awal tahun 1965 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun
konsep tentang Pola Induk Pengadaan dan Penyaluran Bahan Pangan
untuk DKI Jakarta 1965 – 1985. Guna merealisasikan gagasan tersebut,
maka pada tahun 1972 didirikanlah Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC)
dan PT Food Station Tjipinang Jaya Melalui SK Gubernur Nomor
Eb.12/2/8/1972 Tanggal 23 Juni 1972 PT Food Station Tjipinang Jaya
ditunjuk sebagai perusahaan yang diberi wewenang untuk mengurus,
membina dan mengembangkan pasar beras induk cipinang Kepemilikan
saham PT Food Station Tjipinang Jaya adalah : Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta : 99,84% Swasta : 0,16% 2.
Pasar Induk Beras Cipinang diawali dari gagasan untuk melakukan
perbaikan sistem pengadaan dan penyaluran beras serta pengendalian
harga (buffer stock) di DKI Jakarta PT Food Station Tjipinang Jaya
ditetapkan sebagai pengelola tunggal Pasar Induk Beras Cipinang Tahun
1974 SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. D. V.-a.
18/1/8/1974 tanggal 7 Maret 1974 tentang Pendirian Pasar Induk Beras
Cipinang sebagai pusat perdagangan beras, gula, terigu, dan palawija
atau jenis kacang-kacangan (termasuk kopi) beserta ketentuan
kepengurusannya. SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
No. D. V.-b. 18/1/7/1974 tanggal 14 Maret 1974 Tentang Penunjukan
51
Perusahaan Angkutan untuk melaksanakan angkutan beras, gula dan
palawija dari Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta ke pasar-pasar dalam
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Tahun 1989 SK Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
No. 1539 tanggal 10 November 1989 Tentang Penyempurnaan ketentuan
pengelolaan angkutan di Pasar Induk Sayur Mayur Keramat Jati dan
Pasar Induk Cipinang Tahun 2014 PT Food Station Tjipinang Jaya
ditetapkan sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara resmi
pada akhir bulan April Tahun 2014 melalui Keputusan DPRD Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2014
Dengan jumlah penduduk Jakarta yang besar, maka kebutuhan
akan pangan (terutama beras) juga sangat besar Kebutuhan beras harian
DKI Jakarta diperkirakan sekitar 4.300 ton/hari, apabila diperhitungkan
dengan daerah sekitar jakarta maka kebutuhan tersebut menjadi sekitar
5.500 ton/hari (belum termasuk kebutuhan beras dari Jakarta untuk
perdagangan antar daerah). Dari kebutuhan tersebut, hanya 2% yang
dapat dipenuhi dari produksi beras DKI Jakarta. Kebutuhan beras sisanya
disuplai dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, terkadang
Sulawesi serta impor (Bulog). Sebagian besar beras tersebut (sekitar
3.000 ton/hari), diperdagangkan melalui Pasar Induk Beras Cipinang
(PIBC), sedang sebagian lainnya diperdagangkan secara langsung dari
daerah produsen ke pasar yang ada di DKI Jakarta maupun sekitarnya.
2) Fungsi Strategis PIBC
Fungsi strategis dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) adalah
sebagai berikut :
a) Menjamin ketersediaan suplai beras DKI Jakarta (dengan tingkat
harga yang terjangkau masyarakat)
b) Sebagai instrumen (yang dapat digunakan Pemerintah)
c) Untuk pengendalian harga beras di DKI Jakarta
d) Pusat perdagangan beras (dan palawija) di DKI Jakarta
e) Merupakan pasar beras terbesar di Indonesia
52
f) Merupakan pusat perdagangan beras antar daerah dan antar pulau
g) Menjadi acuan (harga) bagi pasar beras nasional
h) Penyangga pasar beras untuk DKI Jakarta dan daerah sekitarnya
(Jabodetabek)
i) Menggambarkan issue perberasan secara nasional
3) Peran PT.Food Station Tjipinang Jaya Di PIBC
Pada Tahun 2014 PT Food Station Tjipinang Jaya ditetapkan
sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara resmi pada akhir
Bulan April Tahun 2014 melalui Keputusan DPRD Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2014.
Merupakan BUMD Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai
pengelola Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) , menyediakan sarana kios
beras di PIBC (sewa), menyediakan fasilitas pergudangan (sewa),
menyediakan infrastruktur pendukung PIBC (parkir, kebersihan, dan
lainl-ain), memberikan dukungan bagi kelancaran fungsi PIBC
(pengamanan, bongkar muat, dan lain-lain)
Aktivitas pengadaan beras dan komoditi lainnya oleh PT. Food
Station Tjipinang Jaya sepenuhnya dilakukan dengan bekerjasama
dengan para produsen beras atau penggilingan padi di seluruh Indonesia
ditujukan untuk mendukung program pemerintah dalam ketahanan
pangan.
Potensi lahan pertanian Indonesia yang besar dikelola secara serius
dimana saat ini PT. Food Station Tjipinang Jaya akan menjadi salah satu
pengelola Kawasan Pangan Nasional. Sektor hilir PT. Food Station
Tjipinang Jaya meliputi kegiatan pendistribusian pangan dan komoditi
lainnya, penyewaan pertokoan dan pergudangan serta pergudangan
dalam sistem resi gudang.
PT. Food Station Tjipinang Jaya akan masuk secara total dalam tata
niaga beras sebagai buffer stock, pusat informasi beras untuk lingkup
yang lebih luas. Memainkan peran lebih besar dalam menjaga stabilitas
harga pangan dan bertransformasi menjadi sebuah pusat industri dan
53
informasi bahan pangan di asia tenggara. Membangun perdagangan
pangan elektronis yang memungkinkan pengembangan standardisasi
kualitas, meniadakan mobilisasi produk yang tidak perlu yang pada
gilirannya akan menurunkan biaya logistik dan transportasi.
B. Visi dan Misi PT Food Station Tjipinang Jaya
Visi : Menjadi Pusat informasi dan perdagangan bahan pangan Asia
Tenggara.
Misi :
a) Membangun dan menyelenggarakan serta mengelola
fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan food station;
b) Membangun dan menyelenggarakan sentra perdagangan bahan
kebutuhan pokok makanan;
c) Membangun dan mengelola serta meningkatkan pelayanan Pasar
Induk Beras Cipinang;
d) Mengadakan dan menyalurkan serta menjaga stabilitas supplai,
distribusi, dan harga bahan pangan pokok;
e) Melakukan dan mengelola perdagangan umum kebutuhan bahan
pokok beras
f) Membangun kawasan pangan melalui kerjasama kemitraan
untuk menjamin suplai beras ke pasar Induk Cipinang;
g) Menjalankan Sistem Resi Gudang untuk membantu petani dalam
memasarkan hasil pertaniannya.
C. Mekanisme Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Di Indonesia
Dalam pasal 163 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, diatur ketentuan mengenai pengakhiran hubungan kerja
(PHK) baik oleh pengusaha, atau oleh pekerja/buruh (karyawan). Teknis
pelaksanaan (prosedur) PHK dalam pasal 163 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, pada dasarnya merujuk pada ketentuan pasal 151 Ayat (2) dan
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa setiap pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan (sesuai mekanisme bipartit), baik
54
perundingan mengenai alasan PHK-nya maupun perundingan menyangkut
hak-hak atau kewajiban yang harus ditunaikan.
Termasuk PHK karena corporate action sebagaimana tersebut dalam
Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Apabila perundingan
sebagaimana dimaksud gagal, maka hanya dapat dilakukan pemutusan
hubungan kerja setelah memperoleh penetapan (“izin”) dari lembaga
penyelelesaian perselisihan hubungan industrial .
1. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Hubungan kerja yang putus demi hukum artinya hubungan kerja
tersebut berakhir dengan sendirinya dan kepada buruh/pekerja,
pengusaha tidak perlu mendapatkan penetapan PHK dari lembaga yang
berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 154 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003.
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
Menurut Undang-Undang Ketanagakerjaan bahwa Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4) dan harus
didahulukan pembayarannya dari utang yang lain.
3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh
Hak buruh untuk memutusakan hubungan kerja ini adalah akibat dari
pengsama-rataan antara buruh dan majikan yang menurut S.Mok adalah
suatu pengsama-rataan yang meletakkan kepada seorang anak yang
lemah suatu beban yang sama seperti kepada seorang dewasa yang kuat1.
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengundhuran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan kepada
1 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja cetakan ketujuh, (Jakarta :
Djambatan, 2016), h.150.
55
buruh/pekerja yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).
Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri
yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai Pasal 156 Ayat
(4) diberikan juga uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian bersama.
Pekerja buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud di atas
harus memenuhi syarat : 2
a) Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b) Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Sebelum terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang dimaksud dengan pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh
pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan
(majikan/buruh) berdasarkan alasan penting.3
Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk berdasarkan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan diresmikan beroperasinya 33
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) oleh Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia di Padang Sumatera Barat pada tanggal 14 Januari
2006. Untuk pertama kali Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, ( Jakarta : Rajawali
Pers,2014), h.183.
3 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, ( Jakarta : Rajawali
Pers,2014), h.184.
56
dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri (PN) di setiap Ibukota Provinsi.
PHI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan
Peradilan Umum.
Menurut Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Pengadilan
Hubungan Industrial mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa
dan memutus :
a) Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak
b) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
c) Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
d) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala
upaya untuk menghindari PHK. Apabila terpaksa terjadi, PHK hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran
diri dan melalui penetapan LPPHI, hal-hal yang diperbolehkan untuk
dilakukan PHK adalah :4
a) Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah
dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b) Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai perjanjian kerja
waktu tertentu untuk pertama kali;
c) Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
atau peraturan perundang-undangan; atau
d) Pekerja meninggal dunia
e) Pekerja ditahan
4 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global , (Jakarta : Center Of Academic Publishing
(CAPS),2014), h.232.
57
f) Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan
pekerja melakukan permohonan PHK.
Selama belum ada penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (LPPHI), pekerja dan pengusaha harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha
dapat melakukan skorsing dengan tetap membayar hak-hak pekerja.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) termasuk kategori
perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK antara
lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran kompensasi PHK.
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan PHK dilakukan secara berjenjang,
yaitu melalui perundingan Bipartit, tripartit (mediasi, konsiliasi, arbitrase),
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Mahkamah Agug (MA).5
1) Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit sama dengan negosiasi, yaitu menyelesaikan
sengketa oleh para pihak tanpa melibatkan pihak lain dengan tujuan
mencari kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang harmonis dan
kreatif.6
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial memberi pengertian perundingan
bipartit sebagai perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
kerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Rumusan ini memperlihatkan bahwa pihak yang
berunding dalam forum bipartit adalah pekerja/buruh atau serikat pekerja/
serikat buruh, dengan pengusaha. Mekanisme penyelesaian sengketa
dengan perundingan bipartit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
5 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global, (Jakarta : Center Of Academic Publishing
(CAPS),2014), h.233.
6 Agusmidah, Dinamika dan Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2010), h. 169.
58
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
adalah sebagai berikut :
a) Musyawarah untuk mufakat antara para pihak dengan membuat
risalah yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
b) Jika tercapai kesepakatan, dibuat perjanjian bersama yang
ditandatangani kedua pihak. Perjanjian ini bersifat mengikat dan
menjadi hukum serta wajib dilaksanakan.
c) Perjanjian bersama tersebut wajib didaftarkan kepada pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri setempat
d) Bila perjanjian bersama tidak dilaksanakan, maka dapat diajukan
permohonan kasasi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri setempat.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, menyatakan bahwa : (1) Perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai
mufakat, (2) Penyelesaian melalui bipartit harus diselsesaikan paling
lama 30 hari sejak dimulainya perundingan, (3) Apabila dalam jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut, salah satu pihak menolak untuk
berunding atau tidak mencapai kesepakatan , maka perundingan bipartit
dianggap gagal.7
Jika perundingan secara bipartit gagal, maka salah satu/kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi ketenagakerjaan
dengan melampirkan bukti penyelesaian bipartit. Setelah menerima
pencatatan, instansi ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada kedua
pihak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika
7 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013),
h. 185.
59
dalam 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan, maka
instansiketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator.8
2) Perundingan Tripartit
Penyelesaian Tripartit dilakukan, dalam hal apabila penyelesaian
perselisihan melalui Bipartit antara Pengusaha dengan buruh tidak dapat
tercapai, maka Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan
masyarakat kepada pekerja/buruh dan Pengusaha, berkewajiban
memfasilitasi penyelesaian Hubungan Industrial tersebut. Upaya fasilitasi
dilakukan dengan menyediakan tenaga Mediator yang bertugas untuk
mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Ada tiga forum penyelesaian hubungan industrial yang dapat dipilih
oleh para pihak, yaitu:
a) Mediasi
Forum mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian
perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada
disetiap kantor istansi yang bertanggung jawab dibindang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dinas tenaga kerja kemudian
menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak,
agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta
kesepakatan para pihak membuat perjanjian bersama dengan
disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator
akan mengeluarkan anjuran.9
Jika anjuran tertulis yang dibuat oleh mediator ditolak oleh salah
satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak
8 Agusmidah, Dinamika dan Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2010), h. 172.
9 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global , (Jakarta : Center Of Academic Publishing
(CAPS),2014), h.234.
60
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Negeri
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.10
Mediator harus melaksanakan tugasnya selambat-lambatnya 30
(tiga) puluh hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
b) Konsiliasi
Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh
konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (14) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 Konsiliator Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang
memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.11
Berbeda dengan mediasi yang mempunyai kompetensi untuk
menangani keempat jenis perselisihan hubungan industrial, maka
perselisihan melalui konsiliasi terbatas hanya pada tiga jenis
perselisihan, yaitu perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Prosedur penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi:
10
Agusmidah, Dinamika dan Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2010), h. 174.
11 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013),
h.189.
61
1) Penyelesaian oleh konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak
mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada
konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. (Pasal
18 Ayat 2).
2) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis,
konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja
kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
(Pasal 20).
3) Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
menerima permintaan penyelesaian perselisihan (Pasal 25)
4) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir
dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya (Pasal 21 Ayat 1)
5) Konsiliator dapat memanggil seseorang atau pihak-pihak
tertentu (dengan jaminan merahasiakan semua keterangan
apabila terkait dengan jabatannya untuk dimintai keterangan,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat
yang digunakan guna penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (Pasal 22 Ayat (1), (2) dan (3)).
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh
konsiliator setelah para pihak mengajukan permintaan secara tertulis
kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
Selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima permintaan
penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan
selambat-lambatnya pada hari kedelapan mengadakan sidang
konsiliasi pertama.12
12
Dahlia dan Agatha Jumiati, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, (Jurnal : Wacana Hukum, Vol. IX, Oktober, 2011) h. 47.
62
Jika tercapai kesepakatan melalui konsiliasi, maka dibuat
perjanjian bersama yang ditanda-tangan oleh para pihak dan
disaksikan oleh konsiliator serta didaftar di pengadilan hubungan
industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Apabila tidak
tercapai kesepakatan maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis
yang harus sudah disampaikan kepada para pihak
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi
pertama.
Para pihak wajib memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis.Para
pihak yang tidak memberikan pendapatnya/jawaban dianggap
menolak anjuran tertulis.
Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis ,konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui
yang kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Konsiliator wajib
menyelesaikan tugas konsiliasi selambat- lambatnya tiga puluh hari
kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perkara.
c) Arbitrase
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase
dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih.
Kesepakatan para pihak yang berselisih dinyatakan secara tertulis
dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan
masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama. Karena harus didasarkan atas
kesepakatan yang dinyatakan secara tertulis, pernyelesaian melalui
arbitrase dikenal juga denganmekanisme penyelesaian secara
Contractual Process.13
13
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, ( Jakarta : Rajawali
Pers,2014), h.129.
63
Surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya memuat nama
lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang
berselisih, pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan
yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselsesaikan dan diambil
putusan, jumlah arbiter yang disepakati, perntaaan para pihak ynag
berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase dan
tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tandatangan para
pihak yang berselisih.
Pemeriksaan perselisihan dilakukan secara tertutup, kecuali para
pihak menghendaki lain. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan bersifat akhir
dan tetap. Putusan arbitrase didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri diwilayah Arbiter menetapkan
putusan.
3) Pengadilan Hubungan Industrial
Penyelesaian Hubungan Industrial melalui Pengadilan Hubungan
Industrial dilakukan, apabila tahapan proses Bipartit dan Tripartit tidak
dapat menemui titik temu. Permohonan pemeriksaan dilakukan dengan
mengajukan Gugatan oleh salah satu pihak yang tidak menerima anjuran
yang telah dikeluarkan oleh Mediator ataupun Konsiliator, kepada Ketua
Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial diawali dengan mengajukan gugatan kepada
pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan
harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, jika
tidak dilampiri maka hakim wajib mengembalikan gugatan kepada
penggugat. Terhadap isi gugatan ada kewajiban hakim untuk memeriksa
melalui proses dismissal. Pemeriksaan perkara di pengadilan hubungan
industrial dilakukan dengan acara biasa atau acara cepat.14
14
Dahlia dan Agatha Jumiati, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, (Jurnal : Wacana Hukum, Vol. IX, Oktober, 2011) h.50.
64
Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-lambatnya lima
puluh hari kerja sejak sidang pertama dalam sidang terbuka untuk umum.
Berdasarkan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan
putusan akhir dan bersifat tetap.
Sedangkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
diajukan kasasi. Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas hari.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya tiga puluh kerja.
4) Kasasi (Mahkamah Agung)
Upaya hukum Kasasi adalah salah satu upaya hukum biasa yang
dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak terhadap
putusan Pengadilan Hubungan Industrial, pemeriksaan kasasi hanya
meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukumnya.
Pihak yang menolak putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara
tersebut ke Mahkamah Agung (MA) untuk diputus.15
Prosedur pengajuan perkara Kasasi di Mahkamah Agung :
a) Permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja : bagi pihak yang
hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim;
bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
15
Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global , (Jakarta : Center Of Academic Publishing (CAPS),
2014), h.235.
65
b) Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan
permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
c) Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua
Mahkamah Agung.
d) Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan
hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.
68
BAB IV
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 601K/PDT.SUS/2010
A. Kasus Posisi
Nurul Shanti Wardhani merupakan Warga Negara Indonesia yang
bertempat tinggal di Jalan Bintan II Nomor 54 Perumahan Jati Asih Indah
Bekasi Selatan dalam hal ini sebagai PENGGUGAT. Penggugat melawan
PT.Food Station Tjipinang Jaya yang diwakili oleh Syamsul Hilatama selaku
Direktur Utama yang selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT. Tergugat
memberi kuasa kepada Rinaldi, SH.MH., Advokat pada Hary & Prass, Warga
Negara Indonesia , beralamat di Godangdia Lama Nomor 40 Jakarta Pusat,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 13 Nopember 2009.
Nurul Shanti Wardhani mulai bekerja sejak tanggal 3 April 1989 dengan
jabatan terakhir Manajer Pasar Induk Beras Cipinang dan menerima upah
bersih setiap bulan dengan perincian :
a) Gaji Pokok RP. 4.790.292,-
b) Uang Makan Rp. 610.000,-
c) Tunjangan Jabatan Rp. 600.000,-
Jumlah Gaji Bersih Rp. 6.000.292,- (enam juta dua ratus sembilan puluh
dua ribu rupiah)
d) Angsuran Kendaraan secara Leasing di Bank Akita sebesar Rp.3.025.000,-
per bulan untuk dilunasi sampai 36 kali, karena sudah diatasnamakan
penggugat.
Selama ini sampai tanggal 17 Juli 2009 Penggugat bekerja dengan baik
tanpa pernah mendapat surat peringatan dari tergugat, kemudian secara
mendadak pada tanggal 13 juli 2009 Tergugat memanggil Penggugat untuk
menerima Surat Keoutusan Direksi Nomor 105/K.pLs/FST/VII/2009 tanggal 2
Juli 2009 tentang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Dalam dan
Dari Jabatan di Lingkungan PT.Food Station Tjipinang Jaya dan menjelaskan
secara verbal disaksikan Kabag Umum yaitu : Tergugat meminta agar
69
penggugat menerima demosi/penurunan jabatan dan penurunan gaji, karena
perusahaan akan membayar hutang sebesar Rp.3.000.000.000,- (3 Miliyar) dan
tergugat meminta agar penggugat rela berkorban demi perusahaan;
Bahwa dalih tergugat untuk menurunkan jabatan penggugat dan
melakukan pemotongan gaji penggugat adalah untuk membantu perusahaan
membayar hutang. Sehingga penurunan gaji mulai Agustus 2009 menjadi
sebesar :
a) Gaji Pokok RP. 2.772.257,-
b) Uang Makan Rp. 365.000,-
c) Tunjangan Jabatan Rp. 350.000,-
Jumlah Gaji Bersih Rp. 3.487.257,- (tiga juta empat ratus delapan puluh
tujuh ribu dua ratus lima puluh tujuh ribu rupiah)
d) Menghentikan secara sepihak angsuran kendaraan secara leasing atas
nama penggugat di Bank Akita sebesar Rp.3.025.000,- setiap bulan sejak
bulan september 2009;
Pada tanggal 14 juli 2009 tergugat mengirimkan surat kepada penggugat
perihal permohonan klarifikasi dan sampai 13 hari kemudian tidak mendapat
respon dari Tergugat. Selanjutnya pada tanggal 16 Juli 2009 Penggugat
menghadap bapak asisten Perekonomian dan Administrasi Provinsi DKI
Jakarta, dimana dalam kesempatan tersebut beliau menyatakan bahwa
“seharusnya dalam hal manajemen melakukan Demosi dengan tujuan
restrukturasi atau efisiensi seyogyanya ditetapkan secara adil dan
proporsional”.
Selanjutnya pada tanggal 27 Juli 2009 Penggugat kembali mengirimkan
surat untuk kedua kalinya kepada Tergugat sebagai tindak lanjut surat pertama
tanggal 14 Juli 2009 yang tidak ada jawabannya perihal permohonan.
Kemudian pada tanggal 29 Juli 2009 Penggugat diminta bertemu Direktur
Keuangan dan Umum bersama Sdr.Nur Irianti dan direktur keuangan dan
umum menjelaskan bahwa kondisi perusahaan saat ini tidak mendesak untuk
mendemosi, apalagi sebagai upaya penghematan atau membayar utang
perusahaan.
70
Lalu pada tanggal 31 Juli 2009 Penggugat mengirimkan surat kepada
Bapak Gubernur Provinsi DKI Jakarta selaku pemegang saham terbesar
PT.Food Station Tjipinang Jaya perihal permohonan, Disposisi tembusan surat
pada tanggal 31 Juli 2009 dari bapak asisten perekonomian administrasi pada
surat penggugat adalah “supaya terapkan Good Corporate Governance di
Lingkungan Perusahaan”. Kemudian pada tanggal 7 Agustus 2009 disposisi
bapak asisten perekonomian dan administrasi mengenai surat penggugat
adalah untuk diadakan rapat bersama antar instansi terkait (Biro
Perekonomian, BPM dan PT.Food Station Tjipinang Jaya).
Selanjutnya Kasudin Nakertrans Jakarta Timur memberikan surat
panggilan kepada penggugat dan tergugat untuk menghadiri acara klarifikasi
pada tanggal 21 Agustus 2009, namun pihak tergugat tidak hadir. Selanjutnya
Direktur Keuangan dan Umum (Dirkum) pada tanggal 20 Agustus 2009
menghadiri rapat di Biro Perekonomian Provinsi DKI Jakarta terkait masalah
laporan penggugat kepada bapak Gubernur, akan tetapi sampai saat ini notulen
hasil rapat tersebut tidak pernah ditindak lanjuti oleh tergugat.
Pada tanggal 20 Agustus 2009 Tergugat memberikan surat peringatan
Nomor 126/SP/FST/VIH/2009 perihal Pelanggaran dan lain-lain (Tergugat
mencari pembenaran atas demosi). Sedangkan kondisi sebenarnya adalah
Penggugat masih berupaya mencari keadilan atas demosi yang ditetapkan
Tergugat. Kemudian pada 24 Agustus 2009 Kasudin Nakertrans memberi surat
panggilan Nomor 879/-1.835.3 kepada Penggugat dan Tergugat untuk
pertemuan klarifikasi pada tanggal 26 Agustus 2009 dan sudah dilaksanakan
dengan kesimpulan akan dilakukan perundingan Bipartit. Pada 28 Agustus
2009 Penggugat mengirimkan surat kepada Bapak Gubernur perihal Laporan.
Pada tanggal 1 september 2009 Penggugat mengirimkan surat kepada
Bapak Kepala Suku Dinas Nakertrans Kota Administrasi Jakarta Timur perihal
Pemberitahuan/ Klarifikasi terkait dengan Surat Peringatan Nomor
126/SP/FST/VIII/2009 dengan tembusan kapada Bapak Gubernur, selanjutnya
tanggal 3 September 2009 Disposisi Bapak Gubernur pada surat penggugat
71
tertanggal 28 Agustus 2009 ditujukan kepada Bapak Sekda Provinsi DKI
Jakarta untuk ditindak lanjuti.
Pada 10 September 2009 Kasudin Nakertrans Jakarta Timur memberikan
surat panggilan Nomor 1.068/-1.18 5.3 perihal panggilan untuk pertemuan
tanggal 15 September 2009 kepada Penggugat dan Tergugat dalam rangka
penawaran penangananperkara perselisihan Hubungan Industrial melalui
Konsiliasi, dimana pihak Tergugat tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Disposisi dari bapak Sekda kepada Asisten Perekonomian atas
permasalahan Demosi terhadap Penggugat “Agar diselesaikan secara baik dan
laporkan tindak lanjutnya”.
Selanjutnya pada 14 September 2009 Penggugat dijatuhi sanksi
schorsing dengan surat dari Dirkum tanpa batas waktu dengan uraian bahwa
memperhatikan kejadian-kejadian dan surat hasil pembinaaan Kepala sub
bagian personalia dan surat Kabag Keuangan dan Umum serta
memperhatikan aktifitas Penggugat. Kemudian pada kesempatan yang sama
Penggugat mempertanyakan kepada Dirkum karena Sampai saat ini Penggugat
tidak memahami apa yang dimaksud denga kalimat tersebutdiatas karena
Penggugat hanya menerima satu kali surat peringatan dari bapak Yatino saja,
setelah itu tidak pernah ada komunikasi dua arah.
Pada 15 September 2009 Penggugat mengirimkan surat kepada Bapak
Sekretans Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta perihal permohonan Audiensi.
Disposisi dari bapak Sekda Provinsi DKI Jakarta kepada Bapak Asisten
Perekonomian adalah : UMP dan selesaikan.Kemudian pada tanggal 17
September 2009 tembusan surat Penggugat kepada bapak asisten
Perekonomian disposisi kepada Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPM
& P) yaitu “supaya Dicek + lapor + saran dicross check (ybs dan Manajemen
PT FSC)”, akan tetapi tidak ada musyawarah antara penggugat, tergugat dan
BPMP.
Selanjutnya pada 16 Oktober 2009 Penggugat dipanggil Kepala bagian
pembinaan BUMD di kantor BPM&P Provinsi DKI Jakarta dan secara verbal
diminta agar membuat surat kepada bapak kepala BPM&F yang isinya tentang
72
“apa keinginan penggugat disertai alasan-alasan yang konkret”. Tetapi setelah
penggugat mengirimkan surat itu pada 19 Oktober 2009 tidak ada respon
secara tertulis.
Mediasi I (pertama) antara penggugat dan tergugat dilaksanakan pada 28
Oktober 2009, Mediasi II (kedua) dilaksanakan pada 29 Oktober 2009 dan
Mediasi III (ketiga) pada 3 Nopember 2009 yang mana pada mediasi ketiga ini
menemui kebuntuan/deadlock. Selanjutnya pada 16 Nopember 2009Penggugat
mengirimkan surat kepada Sudinakertrans Jakarta Timur perihal sanggahan
atas Keputusan PHK sepihak dari Tergugat tertanggal 4 Nopember 2009. Pada
4 Desember 2009 penggugat kembali mnegirim surat kepada Sudinakertrans
Jakarta Timur perihal pernyataan keberatan atas keputusan PHK sepihak dari
tergugat.
Bagi Penggugat, Demosi yang dilakukan tergugat kepada penggugat
adalah sewenang-wenang, diskriminatif, sangat terindikasi kuat menciptakan
character assasination terhadap Penggugat, pilih kasih dengan dalih atau alasan
yang tidak responsible (di dalam peraturan perusahaan tidak ada klausul yang
mengatur Demosi untuk penghematan), namun sebaliknya Tergugat
mengangkat satu orang kepala seksi dan menaikkan gaji seluruh karyawan lain.
Bagi Penggugat, demosi sudah lebih dari cukup mengintimidasi dan merampas
hak asasi penggugat untuk mengaktualisasikan diri, hak memperoleh keadilan,
hak atas rasa aman dan hak kesejahteraan, sehingga mengalami depresi dan
amat tertekan akibat arogansi Tergugat.
Tergugat telah melanggar Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 yaitu dengan sepihak telah melakukan PHK tanpa melalui
penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial dan bahwa Tergugat telah
melanggar Pasal 155 ayat (3) dengan tidak membayar upah penggugat sejak
bulan Desember 2009. Alasan Tergugat ingin tetap melakukan Demosi yang
pada akhirnya memutuskan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sangat tidak
mendasar dan sangat terkesan sebagai cara menghindari pertimbangan
mengembalikan Penggugat ke posisi jabatan semula dan untuk mem-PHK
Penggugat dengan murah.
73
Penggugat menohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan
memutuskan perkara ini, agar dpat kiraya mengeluarkan putusan yang isinya
yakni:
a) Mencabut surat keputusan Demosi terhadap penggugat , karena sudah
sangat jelas bahwa Demosi yang dilakukan Tergugat adalah
sewenang-wenang dan suatu keputusan yang tidak berpedoman atas dasar
ketentuan dan hukum yang berlaku;
b) Mencabut Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja atas nama
Penggugat, karena Subtansi permasalahan yang kami ajukan sejak semula
kepada Sudinakertrans untuk perselisihan adalah perselisihan kepentingan
atau permintaan keadilan atas keputusan Demosi oleh Tergugat kepada
Penggugat dan bukan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja;
c) Menerima dan mengabulkan permintaan penggugat untuk dikembalikan
ke posisi jabatan semula dengan hak dan kewajiban yang sama sebelumdi
Demosi;
d) Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara;
Dalam Eksepsi : terhadap gugatan dari Penggugat, maka Tergugat
menggajukan eksepsi pada pokoknya atas dalil-dalilnya sebagai berikut :
1) Tergugat membantah dan menolak selutuh dalil gugatan dari
Penggugat untuk seluruhnya, kecuali yang tegas-tegas diakui oleh
Tergugat kebenarannya;
2) Bahwa apa yang dianjurkan oleh mediator, dalam hal ini Suku Dinas
Naker & Trans Jakarta Timur, seperti yang tertuang dalam surat
anjuran Nomor 1607A/-1.835.3 tertanggal 30 Nopember 2009, dapat
Tergugat mengerti dan pahami;
3) Bahwa tidak benar demosi yang dilakukan oleh Tergugat kepada
Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum, karena demosi ini
dalam rangkja penyelamatan perusahaan yang dalam keadaan merugi
dan tidak sehat;
74
4) Demosi ini tidak dilakukan hanya kepada penggugat saja, akan tetapi
kepada 6 orang karyawan lainnya juga. Namun hanya penggugat yang
keberatan;
5) Penggugat tidak menerima demosi ini karena semata-mata
kesombongan dan gengsi dari Penggugat mungkin karena penggugat
merasa dirinya paling hebat sebab Penggugat adalah anak dari mantan
pejabat, yang masih mempunyai paradigma kalau anak pejabat harus
mendapat tempat istimewa;
6) Bahwa Demosi yang dilakukan oleh Tergugat merupakan upaya
efisiensi penyelamatan keuangan perusahaan.
7) Bahwa Penggugat telah melanggar tata tertib perusahaan dengan
meninggalkan pekerjaan tanpa ijin yang layak dan patut, juga pernah
membuat keterangan palsu perihal keterangan dokter.
B. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Yang Dikenai Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)
Perlindungan Hukum merupakan manifestasi dari hak asasi manusia
(HAM). Perlindungan Hukum bagi tenaga kerja Indonesia dapat disimpulkan
dari ketentuan Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 yang mengamandemen Pasal 27
Ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 tersebut dimasukan kedalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian berarti bahwa sesuai dengan
Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan Peraturan
Perundang-Undangan RI, UUD 1945 yang menempati urutan pertama,
sehingga menjadi peraruran perundang-undangan tertinggi di Negara Republik
Indonesia, mengakui dengan tegas bahw abekerja merupakan hak asasi bagi
setiap orang. Hal yang sama juga terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut
dinyatakan :
a) Setiap warga negara sesuai dengan bakat , kecakapan dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak
75
b) Setiap orang berhak dengan bebass memilih pekerjaan yang disukainya
dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil
c) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang
sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama; dan setiap orang baik pria maupun wanita,
dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil.
Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dua segi, yaitu
dari segi yuridis dan dari segi sosial ekonomis. Dari segi sosial ekonomis,
pekerja membutuhkan perlindungan hukum dari negara atas kemungkinan
adanya tindakan sewenang-wenang dari pengusaha.1
Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah dengan
membuat peraturan-peraturan yang mengikat pekerja/buruh dan majikan,
mengadakan pembinaan, serta melaksanakan proses hubungan industrial.2
Secara yuridis berdasarkan Pasal 27 UUD 1945 kedudukan
pekerja/buruh sama dengan majikan/pengusaha, namun secara sosial ekonomis
kedudukan keduanya tidak sama, dimana kedudukan majikan lebih tinggi dari
pekerja/buruh. Kedudukan tinggi rendah dalam hubungan kerja ini
mengakibatkan adanya hubungan diperatas (dienstverhoeding), sehingga
menimbulkan kecenderungan pihak majikan/pengusaha berbuat
sewenang-wenang kepada pekerja/ buruhnya. Adapun tujuan diberikannya
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja adalah untuk menjamin
berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya
tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Selain itu tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja tidak hanya
mencakup pada berlasungnya hubungan kerja tetapi juga pada saat hubungan
kerja tersebut berakhir. Hubungan kerja berakhir dapat disebabkan waktu
1 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 11.
2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta : SinarGrafika, 2009), h. 23.
76
perjanjian kerja berakhir atau dikarenakan tindakan pengusaha melakukan
PHK. Disinilah tujuan perlindungan hukum yaitu untuk memberikan
pemenuhan hak-hak pekerja setalah berakhirnya hubungan hukum tersebut.
Perlindungan Hukum dalam pemutusan hubungan kerja yang terpenting adalah
menyangkut kebenaran status pekerja dalam hubungan kerja serta kebenaran
alasan PHK.
Dari aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai PHK, menimbulkan
adanya hak-hak buruh yang berkaitan dengan PHK. Hak-hak buruh itu
meliputi uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (uang jasa), uang ganti
rugi perumahan dan pengobatan, serta uang pisah.3
C. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Menimbang, bahwa setelah menelaah secara cermat dan teliti gugatan
Penggugat nyatalah bahwa subtansi gugatan Penggugat pada pokoknya mohon
agar dipekerjakan kembali dengan alasan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1) Penggugat adalah karyawan Tergugat sejak 1989 dengan menerima gaji
terakhir sebesar Rp. 3.487.257,- (tiga juta empat ratus delapan puluh
tujuh ribu dua ratus lima puluh tujuh ribu rupiah);
2) Tergugat melakukan Pmeutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap
Penggugat tertanggal 13 Nopember 2009;
3) Sebelum dilakukan PHK Tergugat melakukan Demosi dari jabatan
manajer Pasar Induk Beras Cipinang menjadi staf khusus Direksi sejak
tanggal 2 Juli 2009;
4) Penurunan jabatan mana diikuti dengan penurunan gaji dari Rp.
6.000.292,- (enam juta dua ratus sembilan puluh dua rupiah) menjadi Rp.
3.487.257,- (tiga juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu dua ratus
lima puluh tujuh ribu rupiah);
3 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013),
hal.172.
77
Menimbang bahwa merespon gugatan Penggugat tersebut Tergugat
mengajukan jawaban dan menyatakan menolak dalil gugatan Penggugat
tersebut dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut :
1) Penurunan jabatan dan gaji penggugat dilakukan dalam rangka
menyelamatkan perusahaan yang sedang merugi;
2) Yang keberatan dengan penurunan jabatan itu hanya penggugat
sedangkan 6 (enam) orang lainnya tidak mengajukan keberatan
3) Penggugat telah menerima 3 (tiga) kali surat peringatan;
Menimbang, Bahwa memperhatikan lampiran gugatan a quo berupa
anjuran mediator Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta
Timur nyatalah bahwa perselisihan yang menjadi objek perkara a quo telah
dimediasi dan dalam anjuran mana secara tegas disebutkan bahwa perselisihan
a quo adalah tentang pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dan
Tergugat yang pada pokoknya menganjurkan agar Tergugat membayar kepada
Penggugat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003;
Menimbang, bahwa sesuai bukti P.31 Penggugat keberatan dengan
anjuran mediator diatass sehingga pengajuan gugatan a quo telah sesuai
dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan karena Tergugat
sebagai tempat Penggugat bekerja berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta maka
berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berhak dan
berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo ;
Menimbang bahwa saksi Dahyar yang diajukan oleh Penggugat
walaupun diperiksa dibawah sumpah keterangan-keterangannya tersebut tidak
memiliki nilai hukum sebab saksi tersebut hanyalah seorang pedagang di
lingkungan Tergugat yang secara nyata di dalam persidangan bahwa
pengetahuannya tentang perkara a quo bukan karena melihat, mendengar dan
mengalami secara langsung peristiwa hukum yang berkaitan dengan perkara a
quo tetapi saksi menjelaskan bahwa pengetahuannya tentang perkara a quo
78
karena mendapat cerita dari Penggugat sehingga tidak pernah mengetahui
secara langsung peristiwa hukum yang berkaitan perkara a quo. Oleh karena
itu Majelis Hakim berpendapat bahwa saksi tersebut merupakan saksi de
auditu sehingga keterangan-keterangannya tersebut beralasan untuk dan
karenanya dikesampingkan ;
Menimbang, bahwa didalam gugatannya Penggugat menyatakan
keberatan dengan anjuran mediator dengan alasan bahwa yang manjadi pokok
masalah perselisihan bukan mengenai PHK tetapi mengenai demosi;
Menimbang, bahwa Tergugat membantah penurunan jabatan Penggugat
sebagai hal yang bertentangan dengan hukum sebab menurut Tergugat hal itu
dilakukan dalam rangka penyelamatan perusahaan. Untuk menguatakan
dalilnya tersebut Tergugat menjelaskan bahwa penurunan jabatan itu dilakukan
bukan hanya terhadap Pengggugat tetapi terhadap 6 (enam) pekerja yang
diturunkan jabatannya tersebut tidak keberatan dengan kebijakan Tergugat;
Menimbang, bahwa fakta lain yang terungkap dari gugatan Penggugat
adalah suatu kenyataan bahwa sesuai denga bukti P.2 Tergugat telah
melakukan PHK terhadap Penggugat tertanggal 4 Nopember 2009 ;
Menimbang, bahwa didalam surat PHK mana dikatakan kesediaan
Tergugat untuk mambayar uang pesangon, uang penghargaan hak sesuai Pasal
156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ;
Menimbang, bahwa karena faktanya Tergugat telah menerbitkan surat
keputusan PHK terhadap Penggugat dan kemudian Penggugat mengajukan
perselisihan ke instansi ketenagakerjaan yang berwenang setelah terbit surat
keputusan PHK maka menurut Majelis Hakim objek perselisihan perkara a quo
adalah mengenai perselisihan PHK. Apabila Penggugat memandang
perselisihan sebelum Tergugat menerbitkan surat PHK. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perselisihan
yang menjadi objek a quo adalah perselisihan PHK ;
Menimbang, bahwa di dalam jawabannya Tergugat mengatakan
Penggugat telah menerima surat peringatan pertama sampai surat peringatan
ketiga. Merujuk pada bukti T.5 dan P.23 berupa surat peringatan dan surat
79
skorsing terbukti bahwa surat peringatan yang diberikan kepada penggugat
baru terbatas sampai surat peringatan kedua. Oleh karena setelah surat
peringatan kedua Tergugat menerbitkan surat skorsing maka surat skorsing
tersebut tidak sama kedudukannya sebagai surat peringatan ketiga ;
Menimbang, bahwa memperhatikan substansi surat peringatan tersebut
dapat disimpulkan bahwa tergugat menganggap Penggugat telah melakukan
tindakan pembangkangan terhadap kebijakan direksi berkaitan dengan
perampingan struktur organisasi ;
Menimbang bahwa oleh karena PHK terhadap Penggugat dilakukan
tanpa adanya penetapan dari LPPHI maka berdasarkan Pasal 151 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan kerja antara penggugat dan
tergugat karena alasan-alasan sebagaimana dikemukakan di atas karenanya
dinyatakan putus terhitung sejak putusan ini diucapkan;
Menimbang, bahwa oleh karena Majelis Hakim menyatakan putus
hubungan kerja terhitung sejak putusan ini diucapkan maka beralasan
karenaya menolak gugatan penggugat pada bagian primer untuk seluruhnya;
Putusan Hakim Tingkat I PN Jakarta Pusat : atas dasar
pertimbangan-pertimbangan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberi putusan Nomor
351/PHI.G/2009/PN,JKT.PST tertanggal 24 Maret 2010 dan dibacakan pada
hari kamis tanggal 25 Maret 2010yang Amarnya sebagai berikut :
1. Menolak tuntutan primer Penggugat tersebut untuk seluruhnya ;
2. Mengabulkan tuntutan subsider Penggugat tersebut ;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat
terhitung sejak putusan ini diucapkan ;
4. Menghukum Tergugat membayar uang pesangon , uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak sebesar Rp. 100.258.638,-
(seratusjuta dua ratus lima puluh delapan ribu enam ratus tiga puluh
delapan rupiah) ;
80
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp. 400.000,- (empat
ratus ribu rupiah) ;
Upaya Hukum Kasasi : Penggugat mengajukan kasasi pada tanggal 08
April 2010 sebagaimana termaktub dari Akta Permohonan Kasasi Nomor
47/Srt./-KAS/PHI/-2010/PN.JKT.PST, permohonan tersebut diikuti dengan
memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 10 April 2010. Terhadap pertimbangan-pertimbangan
Mahkamah Agung memberikan Putusan yang pada pokoknya menolak kasasi
Pemohon Kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adapun Amar putusannya adalah ; pertama, menolak tuntutan Primair
Penggugat untuk seluruhnya; kedua, mengabulkan tuntutan subsidair
Penggugat; ketiga, menyatakan putus hubungan kerja antara Pengggat dan
tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan; keempat, menghukum
Tergugat membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang
penggantian hak dan upah selama 4 (empat) bulan, jumlah seluruhnya sebesar
Rp. 100.258.638,- + Rp. 13.949.028,- = Rp.114.207.666,- (seratus empat belas
juta dua ratus tujuh ribu enam ratus enam puluh enam rupiah) ;
D. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010.
Analisis akan dititikberatkkan pada 3 (tiga) aspek yaitu Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja, dan
Pertimbangan Hakim. Ketiga aspek tersebut bertujuan agar dapat menjawab
permasalahan Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Sektor Pangan di DKI
Jakarta, sehingga dapat diketahui keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) secara sepihak oleh pengusaha akibat perselisihan mengenai demosi
pada perusahaan sektor pangan di DKI Jakarta yakni pada PT.Food Station
Tjipinang Jaya, analisis yuridis dan penyelesaian permasalahan pemutusan
hubungan pekerja yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut perihal tersebut :
81
1. Analisis Pemutusan Hubungan Kerja
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada kasus posisi
bahwasannya Tergugat secara mendadak pada tanggal 13 juli 2009
memanggil Penggugat untuk menerima Surat Keputusan Direksi Nomor
105/K.pLs/FST/VII/2009 tanggal 2 Juli 2009 tentang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan di Lingkungan
PT.Food Station Tjipinang Jaya dan menjelaskan secara verbal disaksikan
Kabag Umum yaitu : Tergugat meminta agar penggugat menerima
demosi/penurunan jabatan dan penurunan gaji, karena perusahaan akan
membayar hutang sebesar Rp.3.000.000.000,- (3 Miliyar) dan tergugat
meminta agar penggugat rela berkorban demi perusahaan;
Tergugat berdalih menurunkan jabatan penggugat dan melakukan
pemotongan gaji penggugat adalah untuk membantu perusahaan
membayar hutang. Atas keputusan Demosi tersebut kemudian Penggugat
beberapa kali meminta klarifikasi kepada Tergugat atas surat keputusan
tersebut namun tidak ada respon kemudian Penggugat menemui asisten
perekonomian dan administrasi kota Jakarta Timur dimana dalam
kesempatan tersebut beliau menyatakan “Seharusnya dalam hal
manajemen melakukan Demosi dengan tujuan restrukturisasi atau efisiensi
seyogyanya ditetapkan secara adil dan profesional”. Atas Demosi tersebut
kemudian Tergugat mengirimkan surat permohonan Audiensi kepada
beberapa instansi seperti Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta
dan Gubernur DKI Jakarta.
Mengenai hak-hak untuk mengeluarkan pendapat tertuang dalam
Pasal 102 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang
menyatakan :
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut
82
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan
beserta keluarganya”
Atas gugatan Penggugat, Tergugat dalam jawabannya
mengemukakan hal bahwa “Penggugat tidak menerima Demosi ini
semata-mata Kesombongan dan gengsi dari penggugat. Karena
merasa dirinya paling hebat sebab Penggugat adalah anak dari mantan
pejabat, yang masih mempunyai paradigma kalau anak seorang pejabat
harus mendapat tempat istimewa”.
Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan :
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa :
“Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”.
Kemudian Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa :
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya dan aspek kehidupan lainnya”
Pada kenyataannya Tergugat dalam jawabannya masih beranggapan
pada hal-hal yang dianggap sebagai diskriminasi yaitu Tergugat masih
beranggapan bahwa Penggugat tidak menerima Demosi karena gengsi
semata yang didasarkan status sosial Penggugat.
83
Tindakan perusahaan yang melakukan desmosi tersebut kemudian
diikuti dengan penjatuhan PHK. Dalam hal proses Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) Tergugat dijatuhi PHK tanpa adanya penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mana
telah diatur dalam Pasal 151 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003, bahwa :
“Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja”.
Penjelasan Pasal 151 ayat (1) :
“Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah
kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain
pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja,
dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh”.
2. Analisis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Akibat Adanya
Pemutusan Hubungan Kerja.
Penyelesaian Perselisihan yang pertamakali ditempuh adalah
Mediasi, perselisihan Hubungan Industrial yang bisa diselesaikan melalui
proses mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungan industrial yang
dikenal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Perselisihan
Hubungan Industrial tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.4
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tantang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan
melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada disetiap kantor
istansi yang bertanggung jawab dibindang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota. Dinas tenaga kerja kemudian menunjuk mediator.
Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan
4 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta : PT.RajaGrafindo,2007), h.151.
84
antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuat
perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.5
Pada proses mediasi yang difasilitasi oleh Suku Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Timur mengenai
permasalahan Demosi dan pada tanggal 3 Desember 2009 Mediator
memberi Penggugat dan Tergugat, surat anjuran Nomor 1607A/1.835.3
tertanggal 30 Nopember 2009. Namun anjuran tersebut tidak menemui
titik temu sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial dilakukan apabila tahapan proses Bipartit dan
Tripartit tidak dapat menemui titik temu. Permohonan pemeriksaan
dilakukan dengan mengajukan Gugatan oleh salah satu pihak yang tidak
menerima anjuran yang telah dikeluarkan oleh Mediator ataupun
Konsiliator, kepada Ketua Pengadilan Hubungan Industrial6
.
Sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa :
“Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi dan mediasi tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri Hubungan Industrial”.
Kemudian Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa :
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus ;
a) Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak
5 Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik-kepentingan
pengusaha-pekerja pada era modal global , (Jakarta : Center Of Academic Publishing
(CAPS),2014), h.234.
6 Dahlia dan Agatha Jumiati, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, (Jurnal : Wacana Hukum, Vol. IX, Oktober, 2011) h.50.
85
b) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan
c) Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja
d) Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Tergugat dengan sepihak telah melakukan PHK terhadap Penggugat,
yang mana pada Pertimbangan Majelis Hakim dalam jawabannya
Tergugat mengatakan Penggugat telah menerima surat peringatan
pertama sampai surat peringatan ketiga. Merujuk pada bukti T.5 dan P.23
berupa surat peringatan dan surat skorsing terbukti bahwa surat
peringatan yang diberikan kepada penggugat baru terbatas sampai surat
peringatan kedua. Oleh karena setelah surat peringatan kedua Tergugat
menerbitkan surat skorsing maka surat skorsing tersebut tidak sama
kedudukannya sebagai surat peringatan ketiga ;
Pasal 161 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa :
“(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama”.
Berdasarkan pertimbangan Hakim yang menyatakan bahwa karena
faktanya Tergugat telah menerbitkan surat keputusan PHK terhadap
Penggugat dan kemudian Penggugat mengajukan perselisihan ke instansi
ketenagakerjaan yang berwenang setelah terbit surat keputusan PHK
86
maka menurut Majelis Hakim objek perselisihan perkara a quo adalah
mengenai perselisihan PHK. Apabila Penggugat memandang perselisihan
sebelum Tergugat menerbitkan surat PHK. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perselisihan yang
menjadi objek a quo adalah perselisihan PHK.
Akan tetapi Surat Keputusan PHK tersebut dikeluarkan tanpa adanya
penetapan dari LPPHI. Sehingga batal demi hukum, Pasal 151 Ayat (2
dan 3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa :
“(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh”
“(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial”.
Kemudian Pasal 155 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 menyatakan bahwa :
“Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 Ayat (3) batal demi hukum”.
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa :
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi
ketentuan Pasal 151 Ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158,
Pasal 160 ayat (3), Pasal 162 dan Pasal 169 batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
87
Pertimbangan Hakim, bahwa oleh karena PHK terhadap Penggugat
dilakukan tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial maka berdasarkan pasal 151 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan kerja antara
Penggugat dan Tergugat karena alasan-alasan sebagaimana dikemukakan
di atas karenanya dinyatakan putus terhitung sejak putusan ini di ucapkan
Tidak dikabulkannya permohonan penggugat untuk tetap bisa
bekerja pada perusahaan yang seharusnya menjadi hak pekerja ini
menjadikan pekerja tersebut dirugikan. Kehilangan pekerjaan tentu
membuat pekerja ini kehilangan kemampuannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. PHK yang terjadi pada pekerja dan dilakukan
secara tidak patut, dengan perlakuan yang merugikan pekerja ini sudah
selayaknya pekerja mendapatkan haknya.
Akhir dari proses penyelesaian perselisihan ini pada tahap Kasasi di
Mahkamah Agung. Pada perkara Perdata Khusus mengenai Hubungan
Industrial ini tidak ada upaya Banding dan hanya 4 (empat) jenis
perselisihan hubungan industrial yang dapat diajukan kasasi, dua lainnya
merupakan putusan akhir dan mengikat. Hasil dari upaya hukum pada
tingkat Kasasi tersebut adalah ditolak dan menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam hal pertimbangan Hakim Agung
yang memandang bahwa putusan Judex Facti telah tepat.
3. Perlindungan Tenaga Kerja Atas Pemutusan Hubungan Kerja
Dari analisis perkara yang dialami Nurul Shanti Wardhani diatas,
dapat diketahui bentuk dan pelaksanaan perlindungan apabila terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja sepihak oleh pengusaha. Perlindungan
hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan
perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau
memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut
benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak
88
dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan
filosofis.7
Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga )
macam, yaitu :8
a) Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam
bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak
mampu bekerja diluar kehendaknya.
b) Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan
hak untuk berorganisasi.
c) Perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerja.
Perlindungan Tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam hukum
ketenagakerjaan. Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan :
“Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan”.
Perlindungan Hukum merupakan manifestasi dari hak asasi manusia
(HAM). Perlindungan Hukum bagi tenaga kerja Indonesia dapat
disimpulkan dari ketentuan Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 yang
mengamandemen Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 tersebut dimasukan kedalam Bab XA
tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian berarti bahwa sesuai
dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata
7 Asri Wijayanti, E-Journal : Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK Karena
Melakukan Kesalahan Berat, Surabaya,2004.
8 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya
Bakti 2003), h. 61.
89
urutan Peraturan Perundang-Undangan RI, UUD 1945 yang menempati
urutan pertama, sehingga menjadi peraruran perundang-undangan
tertinggi di Negara Republik Indonesia, mengakui dengan tegas bahw
abekerja merupakan hak asasi bagi setiap orang. Hal yang sama juga
terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut dinyatakan :
d) Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan
kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak
e) Setiap orang berhak dengan bebass memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan
yang adil
f) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan
yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta
syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; dan setiap orang baik pria
maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan
martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan bab-bab yang telah diuraikan sebelumnya dan
berdasarkan hasil pembahasan pada analisa penelitian tersebut, maka dapat
diambil kesimpulan, bahwa :
1. Perlindungan hukum terhadap karyawan atas pemutusan hubungan kerja
sektor pangan di DKI Jakarta
Pada perkara a quo terlihat tidak adanya upaya yang dilakukan
perusahaan untuk menghindari PHK serta pemenuhan hak-hak asasi yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia untuk
kesejahteraan tenaga kerja yakni hak untuk bekerja, tanpa diskriminasi,
dan membeda-bedakan status sosial pekerja yang mana nantinya dapat
menimbulkan perselisihan hubungan kerja. Juga tidak adanya upaya dari
pemerintah dalam melindungi warga negara dari diskriminasi yang
dilakukan oleh pihak pengusaha sehingga terjadi pemutusan hubungan
kerja yang mengakibatkan tercederainya hak-hak tenaga kerja.
2. Analisis hukum terhadap pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah
Agung Nomor 601 K/PDT.SUS/2010
Dengan beberapa pertimbangan Majelis Hakim akhirnya diputuslah
sebuah putusan yang mana menolak tuntutan primer Penggugat untuk
seluruhnya serta menyatakan putus hubungan kerja sejak putusan tersebut
dibacakan. Permohonan penggugat untuk tetap bisa bekerja pada
perusahaan yang seharusnya menjadi hak pekerja ini menjadikan pekerja
tersebut dirugikan. Kehilangan pekerjaan tentu membuat pekerja ini
kehilangan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meski
pada kenyataannya keinginan Penggugat untuk dapat bekerja kembali di
perusahaan bukan semata-mata untuk kepentingan Penggugat dalam hal
materi saja tetapi Penggugat ingin bekerja kembali untuk membangun
89
perusahaan dan ikut serta dalam meningkatkan produktifitas perusahaan.
Seharusnya Hakim mempertimbangkan Surat Keputusan PHK yang
dikeluarkan tanpa adanya penetapan dari LPPHI. Sehingga batal demi
hukum sebagaimana Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 menyatakan bahwa :
“Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum”.
B. Rekomendasi
1. Pengusaha sebisa mungkin harus berupaya menghindari Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya, pengusaha harus
menciptakan suasana hubungan kerja yang harmonis dan berkeadilan,
perlindungan terhadap hak-hak tenaga kerja juga perlu diwujudkan secara
optimal sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Perlunya penegakan tujuan
hukum ketenagakerjaan yang sesuai dengan apa yang telah diatur dalam
pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
yang berbunyi : Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi;
2) Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan
nasional dan daerah;
3) Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan.
4) Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
2. Apabila terjadi perselisihan, penyelesaian sengketa secara musyawarah
seharusnya lebih diutamakan, serta kedua belah pihak harus saling
menghargai satu sama lain terkait penyelesaian sengketa diluar
pengadilan sekalipun. Perlunya penyelesaian secara musyawarah ini
tentunya agar terhindarnya tindakan PHK. Dalam Pasal 151 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
90
menyatakan bahwa Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
3. Hakim bertindak sebagai pemberi keputusan akhir harus berlaku adil bagi
masyarakat yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridis tetapi
juga melihat pertimbangan secara sosiologisnya yang mengarah kepada
latar belakang terjadinya perselisihan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
Bogor : Ghalia Indonesia,2010.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan VOL.1 Pemahaman
awal. Jakarta : Kencana, 2013.
Asyhadie, Zaeni. Peradilan Hubungan Industrial. Jakarta : Raja Grafindo, 2009.
Asikin Zaenal H. dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT.Rajagrafindo
Persada, 2010.
Bambang, R.Joni, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta : Pustaka Setia, 2013.
Djumialdji,F.X., Perjanjian Kerja, edisi revisi, Jakarta :Sinar Grafika, 2008.
Eko Wahyudi,dkk., Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
H. S, Salim dan Erlis Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Edisi Pertama. Jakarta : Rajawali Press, 2013
Hadis, Vedi, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto,
Jakarta : LP3ES,2000.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2000.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi revisi, Jakarta :
PT.Rajagrafindo Persada.2014
Jalil, Abdul. Teologi Buruh Cet.1, Yogyakarta : LKiS.
Khakim, Abdul. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti, 2014.
-------------------.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, edisi revisi, Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti, 2007
Kansil, C.S.T. , Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1993), h.148.
Mahmud Marzuki,Petter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
------------------------------. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana, 2008.
------------------------------. Pengantar Ilmu Hukum. Edisi Revisi, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2012.
Panggabean, Mutiara S. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bogor : Ghalia Indah,
2004
Raharjo, Satijipto. “Ilmu Hukum’. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
93
Riduan Syahrani. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999.
Sinamo, Nomensen. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Bumi Intitama Sejahtera,
2009.
Soepomo. Iman. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Djambatan,
2016.
-------------------. Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, 1982.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Sulaiman, Abdullah, Hukum Ketenagakerjaan-Perburuhan Di Indonesia, Jakarta :
Materi Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN
Jakarta, 2016-2018
Sumanto, Hubungan Industrial; Memahami dan menagatasi potensi konflik
kepentingan pengusaha-pekerja pada era modal global. Jakarta : CAPS,
2014.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi public dan bisnis,
Bandung : Alfabeta, 2012
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Uwiyono, Aloysius dkk., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers
Wahyudi, Eko, dkk., Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2016.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
94
Jurnal
Asri Wijayanti, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK Karena
Melakukan Kesalahan Berat, Surabaya : E-Journal,2004.
Dahlia dan Agatha Jumiati, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Jurnal :
Wacana Hukum, Vol. IX, Oktober, 2011.
Idi Setyo Utomo, Suatu Tinjauan Tentang Tenaga Kerja Buruh Di Indonesia,
Vol.6, 2005.
Laurensius Arliman S, Perkembangan Dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia, Jurnal Selat : Volume. 5 Nomor. 1, Oktober 2017
Yamitema T.J. Laoly, Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Yang
Dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja, Fakultas Hukum, Jakarta :
Universitas Indonesia, 2008
Hery Shietra, Artikel Hukum : Hak Normatif Buruh Tidak Selalu Identik Dengan
Upah, Sebuah Kajian Hak Buruh Untuk Berserikat, Jakarta :
2016.