Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
TRANSAKSI E-COMMERCE
(StudiKasus E-Commerce MelaluiSosial Media Instagram )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Muhammad Khadafi
NIM : 1111048000085
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T UD I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
PERLINDUNGAN IIUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI I?-
COMMERCE
(Studi Kasus E-CommerceMelalui Sosial Media Instagram )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hrikum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukurn (SH)
Oleh:
Muhammad Khadafi
MM: 111104800008s
Pernbirnbins
/ --a'//tI
Dr. fl.,!11. Muslimin, llA
NIP : I 96808i21999031 014
K0NSE N I' R;\ S I tl U K ti 1vI BI S N I S
PROGRADI S?.TIr,I ILi\TUHTTKTi }{FAKIILTi\S SY,{RIAH DAN HUKtllll
UI\IVE RSII"{S ISLANI NEG }- RISYAR T F I{ [[}.{ }"\ TI II,LAII
JAK,.\RTA1.t36 rI/2015 S.!
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMENDALAM TRANSAKSI E-COMMERCE ( studi Kasus, E-commerce MeIaIuiSosial Media Instagram ) telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (Uh{) Syarif Hidayatullah Jakarlnpada tanggal
30 September 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperolehgelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 30 Septemb er 201 6Mengesahkan,Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN:
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing :
4. Penguji I
5. Penguji II
NIP. 19691121 199403 I 001
Nur Rohim Yunus" LLM.NrP. 19790416201101 1 004
Dr. H. JM. Muslimin. MANIP. 19680812 199903 1 014
:Dr. H. Nahrou'i. SH. MlI.NIP. 19730215 199903 1 002
: Elviza Fauziah. SH. MF{.N]P.
.-5'
'9t216199603 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar strata I (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarla.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan dalam Pedoman Perutlisan Skripsi Fakultas Syariah dan Huhtm
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta. 30 Seltember 2016
(111104800008s)
11
iii
ABSTRAK
Muhammad Khadafi. NIM 1111048000085. PERLINDUNGAN HUKUM
ERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE (Studi Kasus
E-Commerce Melalui Sosial Media Instagram). Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri SyaTrif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. ix + 75 halaman.
Penelitian dalam skripsi ini membahas tentang perlindungan hukum yang
didapatkan oleh konsumen dalam melakukan sebuah transaksi di media
elektronik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum, dan secara praktis maupun akademis yakni
sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak yang memiliki keinginan
untuk menganalisis perlindungan hukum yang timbul dalam transaksi elektonik.
Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian yuridis normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case
approach).
Hasil penelitian ini adalah bahwa dalam sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha selama ini peraturan yang digunakan untuk melindungi hak-hak
konsumen adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen,namun undang-undang ini tidak secara khusus mengatur mengenai
hak-hak konsumen dalam e-commerce. Dengan kata lain, konsumen sulit
menggugat pelaku usaha e-commerce dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen karena pelaku usaha e-commerce sangat
sulit dijangkau.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Transaksi Elektronik, Kasus E-
Commerce Pada Instagram.
Pembimbing : Dr. H. JM. Muslimin, MA
Daftar Pustaka : Tahun 2000 sampai Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Swt yang hanya dengan
hidayah, rahmat dan nikmat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dalam
rangka memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana hukum. Shalawat serta salam
tak lupa penulis curahkan untuk Nabi Muhammad Saw yang telah membawa umat
manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang sekarang ini.
Skripsi yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Dalam Transaksi E-Commerce ( Studi Kasus E-Commerce Melalui Sosial
Media Instagram ) penulis susun sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum pada Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki
penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H, M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan
arahan serta masukan atas penyusunan skripsi ini.
3. Dr. H. JM. Muslimin, MA Selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi ini
dengan penuh kesabaran dan memberikan arahan, saran sertakritik yang
membangun demi terselesaikannya skripsi ini.
4. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga dapat
bermanfaat dan kebaikan-kebaikannya dibalas oleh Allah Swt.
6. Kedua orang tua tercintaBapak Amrias dan Ibu Ruminiyang selalu
memberikan do’a, motivasi,
kasihsayangdandukunganbaiksecaramorildanmateril. Kalian adalah orang
tua hebat bagi penulis sehingga penulis dapat selalu tegar dalam menjalani
hidup.Semoga Allah Swt selalu memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada
bapak dan mama
7. Adik-adik tercinta Irma Suryani, Imam Al Hafiz, Fajri Ramadi, Nadia
Aryani , Irfan Zuhdi, Alfin Albir, Amelia Fitri, yang selalu menghibur dan
vi
memberikan semangat bagi penulis,semoga penulis dapat menjadi panutan
yang baik bagi kalian adik-adik tersayang.
8. M. Fitriyadi , Gustini, Haslinda , sebagai paman, tante dan kakak yang
senantiasa memberikan do’a dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
9. Sahabat terbaik Stanislaus Pungky Harnanta yang selalu memberikan do’a,
semangat, dandukungan bagipenulis, semoga Allah Swtselalu meridhoi
kehidupan dan segala kebaikanmu.
10. Sahabat tersayang yaitu Mazda, Pratiwi, Santy, Handinyatas
kebersamaannya yang selalu memberikan dukungan dan do’a dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga silatuhrahmi kita tetap terjalin.
11. Keluarga Besar Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Teman-
teman Ilmu Hukum 2011atas kekompakan dan kebersamaannya.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah Swt memberikan
berkah dan membalas kebaikan mereka.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi yang membaca. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016 M
28 Zulhijjah 1437 H
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah .......................................................... 1
B. IdentifikasiMasalah ............................................................... 8
C. BatasandanRumusanMasalah ................................................ 8
D. TujuandanManfaatPenelitian ................................................ 9
E. KerangkaTeoritisdanKonseptual ........................................... 10
F. Tinjauan (Review) StudiTerdahulu ....................................... 13
G. MetodePenelitian................................................................... 15
H. SistematikaPenulisan ............................................................ 17
BAB II. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. PerlindunganHukum .............................................................. 19
a. Pengertian Perlindungan Hukum .................................... 19
b. Perlindungan Hukum Dari Sisi Pelaku Usaha …………..20
c. Perlindungan Hukum Dari Sisi Konsumen …………….. 21
vii
d. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari
Sisi Produk ………………………………………………21
e. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari
Sisi Transaksi .................................................................. 22
B. PerlindunganKonsumen ........................................................ 24
a. Pengertian Perlindungan Konsumen ............................... 24
C. Sumber-sumber Hukum Konsumen ...................................... 26
a. Undang – Undang Dasar Dan Ketetapan MPR ............... 26
b. Hukum Konsumen Dalam Hukum Perdata ..................... 27
c. Hukum Konsumen Dalam Hukum Publik. ..................... 27
D. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha .............................. 28
E. Hak dan Kewajiban Konsumen ............................................ 31
F. Teori Dasar Hukum Perjanjian ……………………………. 35
a. Pengertian Perjanjian ……………………………….. 35
b. Syarat Syah Perjanjian ……………………………… 35
G. Tinjauan Umum Mengenai Instagram ................................... 39
a. Sejarah Instagram ............................................................ 39
b. Perkembangan Instagram ................................................ 41
BAB III. E-COMMERCE SEBAGAI MEDIA DALAM PROSES JUAL
BELI ONLINE (INSTAGRAM)
A. PengertianE-Commerce ....................................................... 44
viii
B. Legalitas Transaksi E-Commerce Melalui Sosial Media
(Instagram) ............................................................................ 45
C. Jenis dan Interaksi E-Commerce ........................................... 48
a. Bisnis ke Bisnis (Business to Business ) ......................... 48
b. Bisnis ke konsumen (Business to consumer) .................. 50
D. Tahap-Tahap Transaksi Konsumen....................................... 51
a. Tahap Pra-Transaksi Konsumen ..................................... 51
b. Tahap Transaksi Konsumen ............................................ 52
c. Tahap Purna Transaksi .................................................... 53
E. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen .................................... 55
BAB IV. IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE PADA SOSIAL
MEDIA INSTAGRAM
A. Contoh dan Kronologi Kasus ............................................... 59
B. Tinjauan Kasus Dengan Hukum Perlindungan Konsumen ... 62
C. Analisis Penulis ……………………………………………. 67
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 70
B. Saran-Saran ........................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era tekonolgi saat ini, perkembangan terjadi pada seluruh aspek
kehidupan termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada awalnya
perdagangan dilakukan dengan cara konvensional, yaitu dengan bertemunya
penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Seiring
perkembangan teknologi, pasar sebagai tempat bertemunya permintaan dan
penawaran mengalami perubahan. Pembeli dan penjual tidak lagi harus
bertatap muka untuk melakukan transaksi. Munculnya internet sebagai media
baru, mendorong perubahan ini menjadi lebih maju. Kecepatan, kemudahan,
serta murahnya biaya internet menjadi pertimbangan banyak orang untuk
memakainya, termasuk untuk melakukan transaksi1.
Dengan munculnya media internet, bentuk jarak dan waktu tidak lagi
menjadi hambatan setiap orang untuk melakukan transaksi. Selain untuk
berkomunikasi, internet di luar dugaan sebelumnya telah berkembang menjadi
media untuk berbisnis. Transaksi jual beli yang dilakukan melalui media
internet pada dasarnya sama dengan transaksi jual beli pada umumnya2.
1 Imam,Sjaputra, Problematika Hukum Internet Indonesia (Jakarta: Prenhallindo, 2002),
hlm. 92
2 Ibid , hlm 92
2
Dengan perdagangan lewat internet ini berkembang pula sistem bisnis
virtual, seperti virtual store dan virtual company , pelaku bisnis menjalankan
bisnis dan perdagangannya melalui media internet dan tidak lagi
mengandalkan bisnis perusahaan konvensional yang nyata. Dengan adanya
fenomena yang demikian ini, yakni semakin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi
produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai
sasaran usaha, maka perlindungan hukum terhadap konsumen dipandang
sangat penting keberadaanya. Sebab dalam rangka mengejar produktifitas dan
efisiensi tersebut, pada akhirnya baik secara langsung atau tidak langsung,
konsumenlah yang menanggung dampaknya3. Dengan kemudahan yang
ditawarkan internet, adalah suatu hal yang wajar ketika transaksi jual beli
konvensional mulai ditinggalkan. Saat ini transaksi melalui media internet
lebih dipilih karena kemudahan yang ditawarkan. Transaksi perdagangan
melalui sistem elektronik, khususnya internet, menjanjikan sejumlah
keuntungan, namun pada saat yang sama juga berpotensi terhadap sejumlah
kerugian4.
Perkembangan teknologi internet ini menimbulkan permasalahan baru
dibidang hukum, khususnya hukum perlindungan konsumen. Dalam lingkup
Dalam lingkup pembicaraan hukum dan teknologi, perlindungan konsumen
menjadi hal yang sangat efektivitas perkembangan dan penerapan teknologi
3Sri Redjeki Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era
Perdagangan Bebas, Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000), h.
33.
4 Edmon, Makarim, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 342
3
tersebut di tengah masyarakat5. Sebaliknya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang sekarang berlaku di Indonesia masih berbasis pada sesuatu
yang sifatnya fisik belum kepada virtual/maya. Transaksi perdangan melalui
media elektronik atau lazim disebut Electronic Commerce menyisakan
berbagai permasalahan yang belum ada pengaturannya. Electronic Commerce
terbentuk dari berbagai sub sistem yang tersusun secara sistematis, dan
masing-masing sub sistem tersebut memiliki permasalahnya masing-masing.
Dampak negatif dari ecommerce itu sendiri cenderung merugikan konsumen.
Diantaranya dalam hal yang berkaitan dengan produk yang dipesan tidak
sesuai dengan produk yang ditawarkan, kesalahan dalam pembayaran,
ketidaktepatan waktu menyerahkan barang atau pengiriman barang dan hal –
hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Disamping itu,
bagi produsen, banyaknya jumlah orang yang dapat mengakses internet
mengakibatkan produsen kesulitan untuk mendeteksi apakah pembeli yang
hendak memesan produknya adalah pembeli yang sesungguhnya atau bukan.
Masalah perlindungan konsumen dalam e-commerce merupakan aspek yang
penting untuk diperhatikan, karena beberapa karakteristik khas e-commerce
akan menempatkan pihak konsumen pada posisi yang lemah atau dirugikan
seperti :
a. Perusahaan di internet (the internet merchant) tidak memiliki alamat
secara fisik di suatu negara tertentu, sehingga hal ini akan meyulitkan
konsumen untuk mengembalikan produk yang tidak sesuai dengan
pesanan.
5 Ibid, h. 342
4
b. Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk mendapatkan ganti rugi.
c. Produk yang dibeli konsumen ada kemungkinan tidak sesuai atau tidak
kompatible dengan perjanjian awal.
Di dalam jual beli melalui internet, seringkali terjadi kecurangan.
Kecurangan-kecurangan tersebut dapat terjadi yang menyangkut keberadaan
pelaku usaha, barang yang dibeli, harga barang, dan pembayaran oleh
konsumen. Kecurangan yang menyangkut pelaku usaha, misalnya pelaku usaha
yang bersangkutan merupakan toko yang fiktif6.
Seperti kasus penipuan transaksi e-commerce yang dialami seorang
mahasiswi yang beritanya dimuat di harian Sriwijaya Post, Minggu (6/3) 2011
tatkala melakukan transaksi elektronik via media jejaring sosial, kronologisnya
mahasiswi tersebut hendak berbelanja setelah mendapatkan tawaran
menggiurkan berupa produk-produk elektronik yang mekanismenya produk-
produk tersebut ditawarkan dengan memberikan gambaran informasi berupa
foto-foto yang kemudian dkirimkan ke akun korban dengan harga miring.
Berbekal, kepercayaan dirinya kemudian berinsiatif untuk mencoba membeli
produk yang ditenggarai distributor produk elektronik berupa laptop dan
handphone tersebut berdomisili di Pulau Batam7
Menyangkut barang yang dikirimkan oleh pelaku usaha, misalnya barang
tersebut tidak dikirimkan kepada konsumen atau terjadi keterlambatan
6 Abdul Halim Barkatullah, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-
commerce Lintas Negara di Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hlm. 4
7 Rendi Wijaya, Kajian Yuridis, Telaah Kasus Penipuan E-commerce Melalui Facebook,
http://jurnalrendi.blogspot.com, akses 1 Agustus 2015
5
pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang
dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain.
Menyangkut purchase dan pembayaran oleh konsumen yang disangkal
kebenarannya oleh pelaku usaha. Misalnya, pelaku usaha hanya mengakui
bahwa jumlah barang yang dipesan kurang dari yang tercantum di dalam
purchase yang dikirimkan secara elektronik atau harga per unit dari barang
yang dipesan oleh konsumen dikatakan lebih tinggi dari pada harga yang
dicantumkan di dalam purchase. Dapat pula terjadi pelaku usaha mengaku
belum menerima pembayaran dari konsumen, padahal kenyataannya konsumen
sudah mengirim pembayaran untuk seluruh harga barang.
Dengan karakteristik e-commerce seperti ini konsumen akan menghadapi
berbagai persoalan hukum dan peraturan perlindungan hukum bagi konsumen
yang ada sekarang belum mampu melindungi hak-hak konsumen dalam
transaksi e-commerce lintas negara di Indonesia. Dalam transaksi e-commerce
tidak ada lagi batasan negara maka undang-undang perlindungan konsumen
masing-masing negara seperti yang dimiliki Indonesia tidak akan cukup
membantu, karena e-commerce beroperasi secara lintas batas. Dalam kaitan ini,
perlindungan hukum bagi hak-hak konsumen harus dilakukan dengan
pendekatan internasional melalui harmonisasi hukum dan kerjasama institusi-
institusi penegak hukum8
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
8 Budi Agus Riswandi, Hukum dan Internet di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2003),
hlm. 63.
6
Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini diatur mengenai transaksi elektronik salah satunya adalah
kegiatan mengenai jual beli dalam media internet ini. Dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini yang dimaksud dengan
transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik
lainnya”. Sesuai dengan pengertian di atas, maka kegiatan jual beli yang
dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai
suatu transaksi elektronik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan
benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang berbunyi : “Pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui system elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap
dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang
ditawarkan” di antaranya:
1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun
perantara;
2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya
perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti
nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa9.
9 Hukum Online, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online”, artikel diakses
pada tanggal 3 Agustus 2015
darihttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-hukum-bagi
konsumen belanja-online.
7
Transaksi jual beli melalui media internet, biasanya akan didahului oleh
penawaran jual, penawaran beli dan penerimaan jual atau penerimaan beli.
Sebelum itu mungkin terjadi penawaran secara elektronik, misalnya melalui
website situs di internet atau melalui posting di mailing list dan newsgroup atau
melalui undangan untuk para customer melalui model business to customer 9,
yang dalam hal tersebut antar pihak pelaku usaha dan konsumen hanya dapat
berkomunikasi melalui media intenet dan tidak melakukan tatap muka dalam
melakukan sebuah kesepakatan, dan disini timbul pertanyaan apakah hanya
dengan kata sepakat dan tidak dengan perjanjian tertulis sebuah kepakatan
dapat terlaksana jika dilihat perkembangan jaman yang sudah sangat maju
dengan adanya teknologi tersebut yang tidak lagi merupakan paper based
economy, akan tetapi berubah menjadi digital electronic economy.
Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi para pelaku perdagangan
melalui internet adalah terjadinyan resiko penipuan. Penipuan yang sering
terjadi antara lain berupa penjual yang tidak memberikan informasi secara
lengkap dan benar mengenai barang yang dijual, penjual yang tidak
mengirimkan barang setelah pembeli melakukan pembayaran, atau penjual
mengirimkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Bentuk penipuan
seperti ini sangat mudah terjadi karena transaksi tidak dilakukan secara tatap
muka. Transaksi dimana pembeli tidak dapat melihat langsung barang yang
akan dibelinya dapat menimbulkan resiko kerugian yang lebih besar yang harus
ditanggung oleh pembeli. Dalam hal ini pembeli sebagai konsumen harus
mendapatkan perlindungan dalam melakukan transaksi jual beli, sekalipun
8
dilakukan melalui media internet. Bentuk – bentuk penipuan tersebut pun
seringkali terjadi didalam proses jual beli.
B. Identifikasi Masalah
a. Apakah Undang – Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999
dapat melindungi konsumen dalam melakukan transaksi e-commerce ?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi
melalui media internet ( dalam kasus Instagram ) ?
c. Bagaimana peran pemerintah dalam mengedukasi masyarakat untuk lebih
mengutamakan unsur kehati-hatian dalam melakukan sebuah transaksi
pada media elektronik ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan
penelitian ini akan dibatasi.Penulis membahas mengenai bagaimana
perlindungan konsumen terhadap permasalahan yang sering terjadi dalam
transaksi E-Commerce dengan memfokuskan terhadap kasus pada
transaksi jual beli di social media instagram.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang telah
dijelaskan oleh penulis di atas, maka permasalahan yang sekarang telah
menjadi aktifitas yang sering kita jumpai di kalangan masyarakat global
ini yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan media intenet,
9
namun masyarakat harus mengetahui mengenai keabsahan sebuah kontrak
elektonik dalam transaksi jual beli di media internet agar tercipta sebuah
perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bertransaksi melalui media
internet tersebut.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menyajikan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam
bertransaksi melalui media instagram ?
b. Apa saja bentuk tanggung jawab pelaku usaha terkait memenuhi hak
konsumen dalam transaksi jual beli pada media instagram ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa Undang – Undang Perlindungan
Konsumen No 8 Tahun 1999 dapat melindungi konsumen dalam
transaksi e-commerce atau tidak.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam
bertransaksi melalui media internet.
c. Untuk mengetahui permasalahan – permasalahan yang timbul dalam
perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi ecommerce
mengetahui penyelesaian sengketa konsumen dalam transaksi jual beli
pada media internet (Instagram).
10
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam hal
perlindungan hukum terhadap konsumen.
b. Bagi akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah bagi
pihak yang berkepentingan yang ingin melakukan penelitian dengan
objek yang sama.
c. Bagi pembaca, agar para pembaca dapat memahami bagaimana
keabsahan sebuah kontran elektronik dalam transaksi jual beli di media
intrenet dan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi
jual beli di media internet serta bagaimana mekanisme penyelesaian.
d. Sengketa konsumen dalam bertransaksi memalui media internet.
Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Menurut Muktie, A.Fadjar Perlindungan Hukum adalah
penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh
hukum saja10
. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula
dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
10
Tesis Hukum “Perlindungan Hukum” diakses dari http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ pada tanggal 17 Oktober 2015
11
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama
manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki
hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum11
.
2. Kerangka Konseptual
Pada bagian ini akan dikemukakan konsep dasar yang digunakan
sebagai dasar operasional dalam penelitian ini, antara lain adalah
perlindungan hukum ,perlindungan konsumen, E-Commerce, Instagram,
3. Perlindungan Hukum
Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum12
.
4. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan
untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen13
5. E-Commerce
E-commerce adalah dimana dalam satu website menyediakan atau
dapat melakukan Transaksi secara online atau juga bisa merupakan suatu
11
Yabpeknas Banten “Perlindungan Konsumen” diakses dari
http://www.yabpeknas.com/2015/04/perlindungan-konsumen.html pada tanggal 4 agustus 2015
12 Hukum Online “Perlindungan Hukum Menurut Ahli” diakses dari
http://www.Hukumonline.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ pada tanggal 4
Agustus 2015
13 Wikipedia “Perlindungan Konsumen” diakses dari Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen pada tanggal
4 agustus 2015
12
cara berbelanja atau berdagang secara online atau direct selling yang
memanfaatkan fasilitas Internet dimana terdapat website yang dapat
menyediakan layanan “get and deliver“. E-commerce akan merubah semua
kegiatan marketing dan juga sekaligus memangkas biaya-biaya
operasional untuk kegiatan trading (perdagangan).
Adapun pendapat mengenai pengertian E-Commerce bahwa E-commerce
mengacu pada internet untuk belanja online dan jangkauan lebih sempit.
dimana e-commerce adalah subperangkat dari E-Bisnis. cara
pembayarannya: melalui transfer uang secara digital seperti melalui
account paypal atau kartu credit Sedangkan, E-Bisnis mengacu pada
internet tapi jangkauan lebih luas. area bisnisnya terjadi ketika perusahaan
atau individu berkomunikasi dengan klien atau nasabah melalui e-mail tapi
pemasaran atau penjualan di lakukan dengan internet. dengan begitu dapat
memberikan keuntungan berupa keamanan fleksibililtas dan efisiensi. cara
pembayarannya yaitu dengan melaui pembayaran digital secara E-Gold
dan sudah di akui di seluruh dunia dalam melakukan transaksi online14
.
6. Instagram
Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan
pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke
berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Satu fitur yang
unik di Instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga
terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic dan polaroid. Hal ini berbeda
14
Hukum Online “E-Commerce” diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5517/e-commerce pada tanggal 4 agustus 2015
13
dengan rasio aspek 4:3 yang umum digunakan oleh kamera pada peranti
bergerak.
Instagram dapat digunakan di iPhone, iPad atau iPod Touch versi
apapun dengan sistem operasi iOS 3.1.2 atau yang terbaru, dan telepon
genggam Android apapun dengan sistem operasi versi 2.2 (Froyo) ke atas.
Aplikasi ini dapat diunggah melalui Apple App Store dan Google Play15
.
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul penulis ajukan dalam skripsi ini perlu
kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan. Antara lain :
No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu
1. a. Judul Skripsi
b. Fokus
c. Waktu/Tempat
Aspek Hukum Transaksi Jual Beli Secara
Online Dengan Menggunakan Media
Facebook.
Dalam skripsi ini dipaparkan aspek hukum
yang berlaku dalam hal transaksi secara
online dengan focus meneliti media social
facebook.
Universitas Jember, Jember 2011
2. a. Judul Skripsi
Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi
Jual Beli Melalui Internet Dengan Sistem
Pembayaran Melalui Rekening Bersama.
15
Wikipedia “Instagram” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram pada
tanggal 5 agustus 2015
14
b. Fokus
c. Waktu/Tempat
Dalam skripsi ini dipaparkan bagaimana
konsumen mendapatkan perlindungan hukum
dalam hal penipuan jual beli online yang
menggunakan rekening bersama dan
perlindungan bagi pemilik rekening bersama
dalam jual beli online.
Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta 2013
3. a. Judul Skripsi
b. Fokus
c. Waktu/Tempat
Perlindungan Hak-Hak Konsumen Transaksi
Jual Beli Online Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Perspektif Indonesia.
Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana
perlindungan konsumen dibahas dalam ajaran
agama islam dan juga hukum konvensional
dan juga dibandingkan bagaimana kedua sisi
tersebut memberikan jaminan perlindungan
bagi konsumen.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta
2014
Yang membedakan penelitian yang akan saya lakukan dengan
penelitian sebelumnya ini adalah dimana penelitian lain lebih mengarah
terhadap aspek hukum yang berlaku dalam kasus yang terjadi dalam
perlindungan konsumen dan penelitian lain juga lebih focus membandingkan
perlindungan konsumen dalam hukum konvensional.
15
Dalam penelitian saya menjelaskan berbagi kasus yang terjadi dalam
transaksi e-commerce yang menjadi permasalahan baru dalam lingkungan
perdagangan dan menjelaskan bagaimana Undang-Undang yang telah ada
memberikan perlindungan terhadap konsumen yang menjadi korban dalam
penipuan jual beli online dan saya juga menjelaskan alternative apa saja yang
dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa tersebut sehingga dapat
terwujud perlindungan bagi konsumen dalam hal transaksi melalui e-
commerce (pada kasus instagram).
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas16
. Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang
berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam
16
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h.118 .
16
penelitian hukum normatif yaitu:17
pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan
pendekatan konseptual. Dalam penelitian ini pendekatan yang Penulis
gunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan
pendekatan konseptual.
3. Metode Memperoleh Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat
otoritatif.Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak
yang berwenang.Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-
undangan.18
. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.19
Terdiri dari buku-buku
teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan
dengan pengelolaan serta perlindungan lingkungan hidup.
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI,(Jakarta: Kencana,2010),h.93.
18 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,(Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), h.141.
19 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004),h.119.
17
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum
primer Maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum
yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis.Pengolahan bahan hukum bersifat
deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan
secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret.
Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis
menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu
hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
5. Metode Penulisan Skripsi
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”
H. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan-persoalan
yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah
sistematisasi. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab akan membuat tulisan
lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai
berikut:
BAB I Tentang Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan
18
(review), metode penelitian, pedoman penulisan skripsi dan
sistematika penulisan.
BAB II Tentang Hukum Perlindungan Konsumen
Terdiri dari Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen,
Sumber-sumber Hukum Konsumen, Pengetian Konsumen dan
Pelaku Usaha, Tinjauan Umum Mengenai Instagram.
BAB III Tinjauan Umum E-Commerce Sebagai Media Dalam Proses
Jual Beli Online (Instagram)
Terdiri dari Pengertian E-Commerce, Legalitas Transaksi E-
Commerce Melalui Media Instagram, Jenis dan Interaksi E-
Commerce, Tahap-Tahap Transaksi Konsumen, Bentuk
Pelanggaran Hak Konsumen.
BAB IV Implementasi Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi
E-Commerce Pada Sosial Media Instagram
Terdiri dari Contoh Kasus, Tinjauan Kasus Dengan Hukum
Perlindungan Konsumen, Analisis Penulis.
BAB V Penutup
Merupakan bab penutup berisikan kesimpulan dan saran.
19
BAB II
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perlindungan Hukum
a. Pengertian Perlindungan Hukum
Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak
dimensi salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan
kepentingan didalam masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan
kehadiran hukum dalam masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) , oleh karena itu maka
setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus mampu memberikan
perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat beberapa pendapat
para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain :
a) Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut1
b) Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai
tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek
hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian
perlindungan hukum di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari
1 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta,
Kompas, h.121.
20
perlindungan hukum, yaitu2 : subyek yang melindungi , obyek yang
akan dilindungi alat, instrumen maupun upaya yang digunakan untuk
tercapainya perlindungan tersebut.
Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas,
dapat disimpulkan bahwaperlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk
melindungi kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia
yang mempunyai hak untukmenikmati martabatnya, dengan memberikan
kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut.Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen
adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”3.
a. Perlindungan Hukum Dari Sisi Pelaku Usaha,
1) Dimana dalam hal ini pelaku usaha berkewajiban mencantumkan
identitas dalam website, berdasarkan hasil penelitian terhadap pelaku
usaha toko online, didapatkan toko online yang hanya memasang
nomor telephon dan alamat email saja tanpa mencantumkan alamat
jelas dari pelaku saha maupun identitas lainnya. Diharapakan dengan
pencantuman identitas ini dapan menjamin kepastian hukum bagi
konsumen yang bertransaksi.
2 Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, h.10
3 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta,h.131
21
b. Adanya lembaga penjamin keabsahan toko online, berdasarkan penelitian,
toko online yang berada di Indonesia tidak ada lembaga penjamina
keabsahan toko tersebut, sehingga dimungkinkan konsumen bertransaksi
dengan toko online yang fiktif.
c. Perlindungan Hukum Dari Sisi Konsumen
Adanya jaminan perlindungan kerahasiaan data – data pribadi
konsumen, karena data – data pribadi tersebut jika tidak dijaga
kerahasiaannya oleh pelaku usaha dapat diperjual belikan oleh pihak lain
untuk kepentingan promosi.
d. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari Sisi Produk
Dalam menawarkan produknya, pelaku usaha diwajibkan untuk :
1) Memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai produk yang
ditawarkan sehingga konsumen tidak disesatkan terutama informasi
yang sifatnya mendasar (kualitas produk apakah asli, imitasi, baru ,
bekas, jenis produk, ukuran) disamping informasi – informasi lain
yang relevan seperti keunggulan produk. Hal ini sangat penting untuk
membantu konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau
tidak. Berdasarkan hasil penelitian untuk pelaku usaha di Indonesia
dalam mendeskripsikan produk sangat minim informasi, hanya
menyebutkan harga dan penjelasan sedikit mengenai produk.
2) Informasi produk mengenai produk harus diberikan melalui bahasa
yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Dalam
hal ini mengingat e-commerce merupakan perdagangan yang melintasi
batas negara dan pelaku usaha bisa darimana saja maka untuk
penggunaan bahasa disesuaikan dengan negara asal pelaku usaha
22
tersebut. Jadi dalam hal ini menuntut konsumen dalam bertransaksi
dengan pelaku usaha yang bahasanya dapat dipahaminya.
3) Memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman atau
nyaman untuk dikonsumsi atau dipergunakan.
4) Memberi jaminan bahwa produk yang ditawarkan sesuai dengan apa
yang dipromosikan oleh pelaku usaha.
Pengenalan suatu produk sangatlah penting karena kesalahan
konsumen memilih produk akan berakibat merugikan dirinya sendiri4.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dari Sisi Transaksi
Tidak semua konsumen paham akan cara bertransaksi melalui media
internet sehingga dalam hal ini pelaku usaha perlu mencantumkan dengan
jelas dan lengkap mengenai mekanisme transaksi serta hal – hal lain
berkenaan dengan transaksi, seperti :
1) Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan
transaksi, dalam hal ini konsumen diharuskan memenuhi persyaratan –
persyaratan yang harus dipenuhi seperti mengisi data pribadi dan
alamat lengkap pada form yang ada pada website pelaku usaha. Hal ini
dilakukan untuk data administrasi dan untuk mengetahui kredibilitas
seorang konsumen.
2) Kesempatan bagi konsumen untuk mengkaji ulang transaksi yang akan
dilakukannya, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan yang
dibuat oleh konsumen. Berdasarkan penelitian pada toko online ada
fasilitas cancel order atau batal atau I don’Agree yang dapat diklik
4 Ibid, h.132
23
oleh konsumen jika tidak ingin melanjutkan transaksi atau
membatalkan transaksi.
3) Harga dari produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk ongkos
kirim atau belum. Biasanya pelaku usaha toko online menambahkan
biaya tersendiri untuk pengiriman barang. Jadi harga produk yang
tercantum dalam website pelaku usaha belum termasuk biaya
pengiriman.
4) Informasi mengenai dapat atau tidaknya konsumen mengembalikan
barang yang sudah dibeli beserta mekanismenya. Hal ini sangat
penting dimengerti oleh konsumen, karena tidak semua barang yang
menjadi pesanannya itu diterima dengan sempurna, ada kemungkinan
rusak pada saat pengiriman ataupun barang tersebut cacat produksi.
Sehingga konsumen dapat mengembalikan barang tersebut sesuai
dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh pelaku usaha dan
konsumen mendapatkan barang yang baru lagi.
5) Mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini sangat penting
diinformasikan dengan jelas oleh pelaku usaha kepada konsumen,
karen tidak selamanya suatu transaksi berjalan dengan lancar,
adakalanya sengketa antar pelaku usaha dengan konsumen terjadi.
Sehingga perlu diatur dengan jelas mengenai mekanisme penyelesaian
sengketa. Berdasarkan penelitian pelaku usaha di Indoneisa tidak
mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa. Sehingga tidak ada
kepastian hukum dalam meyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen.
24
6) Jangka waktu pengajuan klaim yang wajar Dalam hal pengajuan klaim
ini diharapkan jangka waktu tidak terlalu singkat karena jika terlalu
singkat akan merugikan konsumen itu sendiri.
7) Pelaku usaha harus menyediakan suatu rekaman transaksi yang setiap
saat bisa diakses oleh konsumen yang didalamnya berkaitan dengan
transaksi yang telah atau sedang dilakukan oleh konsumen. Rekaman
transaksi ini dapat dijadikan suatu bukti di persidangan jika terjadi
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen
8) Bagaimana mekanisme pengiriman barang Mekanisme pengiriman
barang perlu diketahui dengan jelas oleh konsumen, karena disini
konsumen akan memilih dengan cara apa barang pesanannya dikirim,
melalui kurir, jasa pengiriman atau Cash On Delivery (COD).
B. Perlindungan Konsumen
a) Pengertian Perlindungan Konsumen
AZ. Nasution, SH memberikan batasan dari hukum perlindungan
konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya
dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen5. Dengan demikian
Hukum Perlindungan Konsumen digunakan apabila antara konsumen
dengan pelaku usaha yang mengadakan suatu hubungan hukum, kemudian
terjadi permasalahan yang dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang
tersebut.
5 Az Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , (Jakarta: Diadit Media,
2006), h. 4.
25
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1),
menyebutkan bahwa, ”Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”. Artinya, Pemerintah memberikan kepastian hukum kepada
konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya.
Meskipun UU Perlindungan Konsumen ini bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen bukan berarti mengabaikan kepentingan pelaku
usaha yang mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan dan
pemenuhan akan kebutuhan masyarakat6.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan
konsumen bertujuan :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak – haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
6 Ibid, h. 4.
26
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha menegnai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan,dan keselamatan konsumen7.
C. Sumber – Sumber Hukum Konsumen
Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum
konsumen ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebelumnya telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan
Konsumen berlakusetahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan
demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (ketentuan peralihan)
undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan konsumen.
Sekalipun peraturan perudang-undagan itu tidak khusus diterbitkan untuk
konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan
sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen.
Beberapa diantaranya akan diuraikan sebagai berikut.
a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum konsumen, terutama Hukum Perlindungan Kosumen
mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945,
pembukaan alinea keempat yang berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
7 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2011), h. 1-
22.
27
segenap bangsa Indonesia”. Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu
pada kata “segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang
persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi,
disamping itu, dari kata “melindungi” menurut AZ.Nasution di dalamnya
terkandung pula asas perlindungan hukum pada segenap bangsa tersebut.
Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap
bangsa tanpa kecuali.
b. Hukum Konsumen Dalam Hukum Perdata
Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti
luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah
keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-udangan
lainnya. Kesemuanya itu baik dalam hukum tertulis maupun hukum
perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab
Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Di samping itu, tentu
saja juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tidak tertulis tetapi
ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara tertentu. Patut kiranya
diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah
hukum perdata tersebut8.
c. Hukum Konsumen Dalam Hukum Publik
Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur
hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara
8 Celina Tri Siwi Krstiayanti, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta : Sinar Grafika, 2011) h.40-
50.
28
negara dengan perorangan.Termasuk hukum publik dan terutama dalam
kerangka hukum kosumen dan/atau hukum perilndungan konsumen,
adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata
dan/atau hukum acra pidana dan humum internasional khusunya hukum
perdata Indtenasional.
Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua
cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan
hukum kosumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang dan atau
penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini anatara lain
ketentuan perizinan usaha, ketentuanketentuan pidana tertentu, ketentuan-
ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan/atau ketentuan hukum
perdata Internsioal.
Di antara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum
administrasi negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum
pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan
hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya
dalam pembentukan hukum konsumen9.
D. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
Konsumen merupakan pihak yang memiliki peranan penting dalam
transaksi penjualan barang dan/atau jasa. Pelaku usaha dalam melakukan
produksi, pendistribusian maupun pemasaran suatu produk barang dan/atau
9 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian
Baku ( Standar ) , Dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, ( Bandung : Binacipta, 1986 ) h. 56
29
jasa, mempunyai suatu sasaran yaitu agar dapat menarik pihak konsumen
supaya mau membeli produk yang ditawarkannya.
Sekalipun pada umumnya masyarakat Indonesia sudah memahami siapa
yang dimaksud dengan konsumen, tetapi hukum positif Indonesia sampai
tanggal 20 April 1999 belum mengenalnya, baik hukum positif “warisan” dari
masa yang masih berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan
perundang-undangan baru hasil karya bangsa Indonesia10
.
Istilah “Konsumen” merupakan suatu istilah yang tidak asing dan telah
memasyarakat. Banyak literatur yang mencoba untuk mendefinisikan istilah
ini. Istilah “konsumen” berasal dari kata consumer atau consument, yang
secara harfiah adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau
menggunakan; pemakai atau pembutuh.”11
Az. Nasution, SH juga
mengemukakan itu beberapa batasan mengenai konsumen, yaitu :
a. Konsumen dalam arti umum adalah setiap orang yang mendapatkan
barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial);
10 Az Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , (Jakarta: Diadit
Media, 2006), h. 36.
11 N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet.
1, (Bogor : Grafika Mardi Yuana, 2005), h. 23.
30
c. Konsumen-akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan
danmenggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhanhidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak
untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).
Unsur memperoleh/mendapatkan digunakan dalam batasan ini karena
perolehan barang atau jasa itu oleh konsumen tidak saja karena hubungan
hukum jual-beli, sewa menyewa, pinjam-pakai, jasa angkutan perbankan,
konstruksi asuransi dan sebagainya, tetapi dapat juga pemberian sumbangan,
hadiah-hadiah baik berkaitan dengan hubungan komersial (pemasaran,
promosi barang/jasa tertentu) maupun dalam hubungan lain-lainnya
UUPK juga memberikan pengertian mengenai konsumen, sebagaimana
yang termuat pada Pasal 1 angka (2) dan Penjelasannya. Pasal 1 angka (2)
UUPK menyatakan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga,orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”12
.
Istilah pelaku usaha merupakan pengertian yuridis dari istilah
produsen13
. Pengertian pelaku usaha juga telah dirumuskan secara khusus
dalam UUPK yaitu:
12 Indonesia , undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen,
LN No.42 tahun 1999, TLN No. 3821, pasal 1 angka (2).
13 N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet.
1, (Bogor : Grafika Mardi Yuana, 2005), h.. 24.
31
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai usaha
berbagai bidang ekonomi.”
Pengertian pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 1 butir 3 UUPK ini,
mempunyai cakupan yang luas karena meliputi penjual grosir, leveransir
sampai pada pengecer. Namun dalam pengertian pelaku usaha tersebut,
tidaklah mencangkup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena
UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia14
.
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan
memudahkan konsumen korban menuntut ganti kerugian. Konsumen yang
dirugikan akibat penggunaan produk, tidak kesulitan dalam menemukan
kepada siapa tuntutan akan diajukan, karena banyak pihak yang dapat
digugat15
.
E. Hak dan Kewajiban Konsumen
Seringnya terjadi pelanggaran terhadap masalah perlindungan konsumen
dan UUPK dikarenakan salah satunya adalah ketidaktahuan konsumen
14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2007), h. 9.
15 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 67-68.
32
maupun pelaku usaha mengenai hak dan kewajiban mereka. Walaupun dalam
UUPK hal itu diatur, tetapi kenyataannya tidak sedikit orang yang belum
pernah membaca UUPK ataupun belum mengetahui tentang keberadaan dari
UUPK itu sendiri. Maka dari itu penting sekali bagi konsumen untuk
mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam kegiatan ekonomi yang
dilakukannya. Berikut ini adalah hak dan kewajiban pihak yang sangat terkait
dengan hukum perlindungan konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Baik konsumen maupun pelaku usaha, memiliki hak dan kewajiban
yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh mereka. Jika terjadi
pelanggaran akan hak-hak konsumen atau konsumen mengalami kerugian
sebagai akibat dari pelaku usaha yang tidak melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha
tersebut untuk bertanggung jawab. Sebaliknya, konsumen tidak dapat
menuntut pelaku usaha untuk bertanggung jawab jika konsumen tidak
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya16
.
Secara umum, terdapat empat hak dasar konsumen yang mengacu
pada President Kennedy’s 1962 Consumer’s Bill of Right. Ke empat hak
tersebut yaitu:
1. Hak untuk memperoleh keamanan (the right to safety);
2. Hak untuk mendapat informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right to choose);
16
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2000),
h.16
33
4. Hak untuk didengar (the right to be heard)17
.
Dalam rancangan akademik UUPK yang dikeluarkan Fakultas
Hukum Univesitas Indonesia dan Departemen Perdagangan, dikemukakan
enam hak konsumen, yaitu enam hak dasar yang disebut pertama,
ditambah dengan hak untuk mendapatkan barang dan atau jasa sesuai
dengan nilai tukar yang diberikannya, dan hak untuk mendapatkan
penyelesaian hukum yang patut18
.
Hak dan kewajiban dari konsumen diatur dalam ketentuan Pasal 4
dan Pasal 5 UUPK. Pasal 4 UUPK menetapkan bahwa konsumen memiliki
hak-hak sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang
dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
17
Ibid, h.16
18
Ibid , h. 40
34
f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
g. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya; dan
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selain hak, tentunya konsumen juga memiliki kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi. Pasal 5 UUPK menetapkan empat kewajiban
konsumen sebagai berikut:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan
atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut19
.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa
demi keselamatan dan keselamatan merupakan hal penting yang perlu
19
Ibid, h.40
35
diatur, karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara
jelas pada suatu produk, tetapi konsumen tidak membaca peringatan secara
yang telah disampaikan kepadanya.Dengan pengaturan kewajiban ini maka
memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila
konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan
kewajiban tersebut.
F. Teori Dasar Hukum Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, Perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara
dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
b. Syarat Syah Perjanjian
Syarat sah perjanjian ada 4 (empat) terdiri dari syarat subyektif dan
syarat objektif, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu Syarat
Subyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak dipenuhinya
syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan
(voidable).20
1. Sepakat ( Pasal 1321 - 1328 KUHPerdata )
20
Wordpress “Pengertian dan Syarat Perjanjian” diakses dari
https://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/ pada tanggal 3 Oktober 20016.
36
Supaya perjanjian menjadi sah maka para pihak harus sepakat
terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian dan
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati. Dalam preambule perjanjian
(sebelum masuk ke pasal-pasal), biasa tuliskan sebagai berikut
"Atas apa yang disebutkan diatas, Para Pihak setuju dan sepakat
hal-hal sebagai berikut:"
Pencantuman kata-kata setuju dan sepakat sangat penting dalam
suatu perjanjian. Tanpa ada kata-kata ini (atau kata-kata lain yang
bermaksud memberikan ikatan atau setuju saja atau sepakat saja),
maka perjanjian tidak memiliki ikatan bagi para pembuatanya.
Setuju dan sepakat dilakukan dengan penuh kesadaran di antara
para pembuatnya, yang bisa diberikan secara lisan dan tertulis.
Suatu perjanjian dianggap cacat atau dianggap tidak ada apabila:
1. mengandung paksaan (dwang), termasuk tindakan atau ancaman
atau intimidasi mental.
2. mengandung penipuan (bedrog), adalah tindakan jahat yang
dilakukan salah satu pihak, misal tidak menginformasikan adanya
cacat tersembunyi.
3. mengandung kekhilafan/kesesatan/kekeliruan(dwaling), bahwa
salah satu pihak memiliki persepsi yang salah terhadap subyek dan
obyek perjanjian. Terhadap subyek disebut error in persona atau
37
kekeliruan pada orang, misal melakukan perjanjian dengan seorang
artis, tetapi ternyata perjanjian dibuat bukan dengan artis, tetapi
hanya memiliki nama dengan artis. Terhadap obyek disebut error
in substantia atau kekeliruan pada benda, misal membeli batu akik,
ketika sudah dibeli, ternyata batu akik tersebut palsu
2. Cakap (Pasal 1329 - 1331 KUHPerdata )
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-
undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan
bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, yakni
1) Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang
ditentukan lain)
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or
conservatorship); dan
3) Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa
jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah
menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-
Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang
ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau
wali sampai dia berusia 18 tahun.
38
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak
(suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.
Selain itu khusus suami istri, mohon diperhatikan juga apakah
dalam perkawinan terdapat perjanjian pisah harta.
Syarat Obyektif (menyangkut para pembuatnya). Tidak
dipenuhinya syarat dibawah ini, mengakibatkan perjanjian batal
demi hukum (null and void)
3. Hal tertentu (Pasal 1332 - 1334 KUHPerdata)
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu
dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty
of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan
kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).
4. Sebab yang halal (Pasal 1335 - 1337 KUHPerdata)
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum
yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka
39
perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian
untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal,
maka kontrak ini tidak sah.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika
kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan
dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah
suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode
zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut
sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang
satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat
yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap
kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
jaman.21
G. Tinjauan Umum Mengenai Instagram
1. Sejarah Instagram
Instagram berdiri pada tahun 2010 perusahaan Burbn, Inc.
merupakan sebuah teknologi startupyang hanya berfokus kepada
21
Sindikat “ Syarat Syah Perjanjian “ diakses dari http://www.sindikat.co.id/blog/syarat-sahnya-perjanjian pada tanggal 3 Oktober 2016
40
pengembangan aplikasi untuk telepon genggam. Pada awalnya
Burbn,Inc sendiri memiliki fokus yang terlalu banyak di dalam
HTML5 Mobile (hiper text markup language 5), namun kedua CEO
(Chief Executive Officer), Kevin Systromdan juga Mike Krieger,
memutuskan untuk lebih fokus pada satu hal saja. Setelah satu minggu
mereka mencoba untuk membuat sebuah ide yang bagus, pada
akhirnya mereka membuat sebuah versi pertama dari Burbn, namun di
dalamnya masih ada beberapa hal yang belum sempurna. Versi
Burbnyang sudah final, aplikasi yang sudah dapat digunakan di dalam
iPhone, yang dimana isinya terlalu banyak dengan fitur-fitur. Sulit bagi
Kevin Systrom dan Mike Krieger untuk mengurangi fitur-fitur yang
adadan memulai lagi dari awal, namun akhirnya mereka hanya
memfokuskan pada bagian foto, komentar, dan juga kemampuan untuk
menyukai sebuah foto, itulah yang akhirnya menjadi awal mulai
munculnya media sosial instagram.
Nama instagram berasal dari pengertian dari keseluruhan fungsi
aplikasi ini. Kata „insta‟ berasal dari kata „instan‟, seperti kamera
polaroidyang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan „foto instan‟.
Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, Sedangkan
untuk kata gram‟ berasal dari kata „telegram‟, dimana cara kerja
telegram sendiri adalah untuk mengirimkan informasi kepada orang
lain dengan cepat. Sama halnya dengan Instagram yang dapat
mengunggah foto dengan menggunakan jaringan internet, sehingga
41
informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dengan cepat.
Penggunaan media sosial
Instagram pun terus bertambah jumlahnya, menurut pengumuman
layanan photo sharing
tersebut pada Selasa (25/3/2014) kemarin, pengguna media sosial
instagramtelah mencapai lebih dari 200 juta diseluruh dunia.Angka itu
naik dari sekitar 150 juta pengguna enam bulan sebelumnya, serta 100
juta pengguna sekitar satu tahun yang lalu22
.
2. Perkembangan Instagram
Dizaman sekarang ini, teknologi semakin canggih. Hal ini terlihat
juga dengan semakin banyaknya aplikasi baru yang bermunculan, dan
salah satu yang menarik perhatian adalah aplikasi Instagram. Mungkin
untuk sekarang ini hampir rata-rata anak muda telah mempunyai akun
instagram, entah itu digunakan untuk posting foto dan mungkin juga
hanya digunakan untuk melihat foto-foto orang saja.
Kehadiran kamera berkualitas tinggi pada smartphone membuat
banyak orang mempunyai aktivitas baru yang menyenangkan. Orang
akan mudahnya mengambil gambar dimanapun dan kapanpun dengan
menggunakan kamera smarphone ini. Dan biasanya setelah mengambil
sebuah gambar, orang tersebut tidak sabar lagi untuk pamer. Dan
akhirnya foto-foto tersebut diupload ke sosial media seperti Instagram.
22
Wikipedia “Instagram” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram pada tanggal 18 September 2015
42
Instagram memang menjadi pilihan utama anak-anak muda sekarang
untuk mempostingkan foto-foto kegiatan yang sedang mereka lalukan.
Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan
pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan
membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik
Instagram sendiri. Satu fitur yang unik di Instagram adalah memotong
foto menjadi bentuk persegi, sehingga terlihat seperti hasil kamera
Kodak Instamatic dan polaroid. Hal ini berbeda dengan rasio aspek 4:3
yang umum digunakan oleh kamera pada peranti bergerak.
Awalnya, Kevin dan Mike menciptakan aplikasi mobile web
bernama Burbn. Aplikasi ini punya fitur semacam check-in lokasi,
pengguna akan mendapatkan poin di aplikasi ini setiap kali mereka
check-in saat bergaul dengan teman, posting foto, dan banyak lagi.
Tapi, karena fitur di dalam aplikasi Burbn terlalu banyak, mereka
membuat aplikasi baru yang lebih simple yaitu Instagram. Kalau
aplikasi yang terdahulu punya banyak fitur, Kevin dan Mike sengaja
membuat Instagram dengan 3 macam fitur doang, yaitu posting foto,
komentar dan like. Jadi, pengguna Instagram nggak perlu repot atau
bingung untuk mainin social media ini. Nama Instagram diambil dari
kata “insta” yang berasal dari kata “instan”. Kata instan juga diambil
dari cara kerja kamera Polaroid yang menghasilkan foto secara instan.
43
Makanya, lambang Instagram mirip kayak kamera Polaroid. Sedangkan
“gram”, diambil dari kata “telegram” yang berarti cara kerjanya
mengirimkan informasi secara cepat23
.
23
Gudang Ilmu Komputer “Perkembangan Instagram” diakses dari http://www.gudangilmukomputer.com/2015/12/sejarah-dan-perkembangan-aplikasi-sosial-media-instagram.html pada tanggal 19 september 2015
44
BAB III
E-COMMERCE SEBAGAI MEDIA DALAM PROSES JUAL
BELI ONLINE ( INSTAGRAM )
A. Pengertian E-Commerce
Electronik Commerce atau disingkat E-Commerce adalah kegiatan bisnis
yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufacturers),
service provider, dan perdagangan perantara (intermediaries) dengan
menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer networks), yaitu E-
Commerce sudah meliputi seluruh spectrum kegiatan komersial. Onno w.
Purbo dan Aang Arif Wahyudi mencoba menggambarkan E-Commerce
sebagai suatu cakupan yang luas mengenai teknologi, proses dan praktik yang
dapat melakukan transaksi bisnis tanpa menggunakan kertas sebagai sarana
mekanisme transaksi . Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti
melalui e-mail atau bisa melalui World Wibe Web1.
Menurut WTO E-Commerce adalah suatu proses meliputi produksi,
ditribusi, pemasaran, penjualan dan pengiriman barang serta jasa melalui
Elektronis. Sedangkan menurut para akademisi yang mendefinisikan E-
Zantara penjual dan pembeli atau pihak-pihak lainnya dalam hubungan
kontrak yang menggunakan media elektronik atau digital yang dalam
prosesnya tidak diperlukan temu muka dan transaksi dilakukan secara lintas
1 Onno w.Purbo dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal e-Commerce (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2001), h.1-2.
45
batas. Sarana yang memungkinkan dilakukannya penjual dan pembelian
produk dan infomasi melalui internet dan layanan-layanan online lainya.
E-commerce merupakan bidang yang multidisipliner (multidiciplinary)
yang mencangkup bidang-bidang teknik seperti jaringan data telekomunikasi,
pengamanan, penyimpanan, dan pengambilan data (retrieval) dari multi
media, bidang-bidang bisnis seperti pemasaran (marketing), pembelian dan
penjualan ( Procurement and purchasing), penagihan dan pembayaran (billing
and payment), manajemen jaringan ditribusi (supply chain management), dan
aspek-aspek hukum seperti information privacy, hak milik intelektual
(intelectual property), perpajakan (taxation), pembuatan perjanjian, dan
penyelesaian hukum lainnya. Jadi secara singkat dapat dideskripsikan, bahwa
E-commerce adalah suatu bentuk bisnis modern melalui sarana internet,
karenanya E-commerce dapat dikatakan sebagai perdagangan di internet2..
B. Legalitas Transaksi E-Commerce Melalui Media Internet (Instagram)
Jual beli produk (barang/jasa) yang dilakukan melalui media internet
dimungkinkan untuk dilakukan karena memang sampai saat ini tidak ada
larangan akan hal tersebut di Indonesia. Pada prinsipnya (dengan beberapa
pengecualian seperti pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik– UU ITE), penggunaan
media instagram atau suatu media elektronik lainnya untuk transaksi jual beli
2 Esther Dwi Magfirah, “Perlindungan Konsumen Dalam E-commerce” , diakses dari www.
solusihukum.com. pada tanggal 20 September 2015
46
produk diserahkan kepada kebebasan para pihak untuk menentukannya
(tergantung dari kesepakatan antara penjual dan pembeli).Pasal 19 UU ITE
menyebutkan bahwa: “Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.”
Kecuali untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis, dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta maka transaksinya tidak sah jika dilakukan secara elektronik
(Pasal 5 ayat [4] UU ITE). Contohnya, transaksi jual beli tanah yang
perjanjiannya harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)3.
Transaksi jual beli yang terjadi melalui Internet itu sah dan mengikat para
pihak sepanjang kontrak elektroniknya (perjanjian jual beli yang
dibuat/dilakukan dengan cara komunikasi melalui internet) memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”
Adapun syarat sahnya kontrak elektronik berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdata jo. Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) yaitu:
3 Academia “Legalitas Transaksi E-Commerce” diakses dari
http://www.academia.edu/8096465/ASPEK_HUKUM_TRANSAKSI_JUAL-
BELI_BERBASIS_E-COMMERCE_DALAM_SISTEM_HUKUM_INDONESIA pada tanggal
29 September 2015
47
a. Syarat Subjektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak (selama belum ada pembatalan maka
perjanjian tetap sah), yaitu:
1. Adanya kesepakatan para pihak mengenai harga dan produk, tanpa ada
paksaan, kekhilafan maupun penipuan;
2. Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Pada dasarnya orang
yang sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh undang-
undang (seperti tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan) adalah cakap
menurut hukum. Sedangkan, “Dewasa” berdasarkan Pasal 330
KUHPerdata adalah berusia sudah 21 tahun atau sudah/pernah
menikah.
b. Syarat objektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi
hukum, dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum, yaitu:
1. Produk yang merupakan objek perjanjian harus tertentu (definite) dan
dapat dilaksanakan (possible).
2. Sebab yang halal (lawful), isi dan tujuan dari perjanjian jual beli
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum. Sebagai contoh: jual beli dilakukan
bukan untuk barang yang dilarang oleh peraturan perundang-
undangan (contohnya bukan barang illegal)
Informasi elektronik berupa isi percakapan/komunikasi melalui
instagram antara penjual dengan pembeli dapat dijadikan salah satu alat untuk
membuktikan dan menerangkan perjanjian yang terjadi antar para pihak. Pasal
48
5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa: “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah.”
Jadi, suatu transaksi jual beli tidak akan disangkal keabsahannya
hanya karena bukti transaksi jual belinya semata-mata dalam bentuk
elektronik.
C. Jenis dan Interaksi E-Commerce
Pada dasarnya, perdagangan/transaksi E-Commerce dapat di
kelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu : transaksi Busines to
Business (B to B), dan Business to Consumer (B to C)4. Dua kelompok inilah
yang menyelimuti hamper semua transaksi E-Commerce yang ada. Business to
Business merupakan system komunikasi bisnis on-line antar pelaku bisnis.
Para pengamat E-Commerce mengakui akibat terpenting adanya sistem
komersial yang berbasis web tampak pada transaksi Business to Business4.
a) Bisnis ke Bisnis (Business to Business)
Bisnis ke bisnis merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku
bisnis atau dengan kata lain transaksi secara elektronik antar perusahaan
(dalam hal ini pelaku bisnis) yang dilakukan secara rutin dan dalam
kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas E-Commerce dalam
4 Wiwied Widyaningsih “E-Commerce” diakses dari,
wiwied.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files /slide_E-Commerce.pdf . pada tanggal 25
September 2015
49
ruang lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis
itu sendiri. Pebisnis yang mengadakan perjanjian tentu saja adalah para
pihak yang bergerak dalam bidang bisnis yang dalam hal ini mengikatkan
dirinya dalam suatu perjanjian untuk melakukan usaha dengan pihak
pebisnis lainnya. Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian dalam hal ini
adalah Internet Service Provider (ISP) dengan website atau keybase (ruang
elektronik), ISP itu sendiri adalah pengusaha yang menawarkan akses
kepada internet.
Sedangkan internet merupakan suatu jalan bagi komputer- komputer
untuk mengadakan komunikasi bukan merupakan tempat akan tetapi
merupakan jalan yang dilalui. Dilihat dari karakteristiknya, transaksi E-
Commerce B to B, mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Tranding partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka
sudah saling terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.
Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan karena
sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi tersebut dilakukan
atas dasar kebutuhan dan kepercayaan;
2. Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berskala dengan
format data yang telah disepakti. Jadi, service yang digunakan antara
kedua sistem tersebut sama dan menggunakan standar yang sama;
3. Salah satu pelaku tidak harus menunggu patner mereka lainnya untuk
mengirim data; dan
4. Model yang umum digunakan adalah pear to pear, di mana processing
intelegance dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
50
b) Bisnis ke Konsumen (Business To Consumer)
Business to consumer dalam E-Commerce merupakan suatu
transaksi bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak
konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat
tertentu5. Dalam transaksi bisnis ini produk yang diperjualbelikan mulai
produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud maupun dalam
bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi.
Business to Consumer (B to C) merupakan transaksi jual beli melalui
internet antara penjual barang dengan konsumen (end user). Business to
Consumer dalam Ecommerce relatif banyak ditemui dibandingkan dengan
Business to Business. Dalam transaksi E-Commerce jenis B to C, hampir
semua orang dapat melakukan transaksi baik dengan nilai transaksi kecil
maupun besar dan tidak dibutuhkan persyaratan yang rumit. Konsumen
dapat memasuki internet dan melakukan pencarian (search) terhadap apa
saja yang akan dibeli, menemukan web site, dan melakukan transaksi.
Dalam transaksi ini, konsumen memiliki bargaining position yang
lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional karena konsumen
memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Kondisi tersebut
memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang
dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka
kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai
dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang
5 Jay MS ,”Peran E-Commerce dalam Sektor Ekonomi dan Industry” pada seminar sehari
ed., aplikasi internet di era millenium ketiga, ( Jakarta 2001), h.7.
51
relatif efisien. Karakteristik transaksi E-Commerce Business to Consumer
adalah sebagai berikut :
1. Terbuka untuk umum, di mana informasi disebarkan secara umum pula;
2. Service yang dilakukan juga bersifat umum sehingga mekanismenya
dapat digunakan oleh banyak orang. Contohnya, karena sistem web
sudah umum dikalangan masyarakat, maka sistem yang digunakan
adalah sistem web pula;
3. Service yang diberikan berdasrkan permintaan konsumen berinisiatif
sedangkan produsen harus siap memberikan respon terhadap inisiatif
konsumen;
4. Sering dilakukan pendekatan client-server, yang mana konsumen di
pihak klien menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan
pihak penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada
pihak server.
D. Tahap – Tahap Transaksi Konsumen.
Yang dimaksud dengan transaksi konsumen adalah suatu proses
terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari pelaku
usaha penyedia barang dan/atau jasa kepada konsumen. Tahap-tahap transaksi
konsumen yang lazim terjadi yaitu:
a. Tahap Pra-Transaksi Konsumen
Pada tahap pra-transaksi konsumen, transaksi (pembelian,
penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial dan sebagainya)
belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau
jasa kebutuhannya dapat ia peroleh, berapa harga dan apa pula syarat-
52
syarat yang ia harus penuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas
atau kondisi dari transaksi ia inginkan6.
Dalam hal ini pelaku usaha sebagai penyedia atau penjual, harus
menyediakan informasi yang jujur dan tidak menyesatkan berkaitan
dengan barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Oleh karena, informasi
tersebut akan menjadi bahan pertimbangan bagi konsumen sebelum
memutuskan untuk melakukan pembelian.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap
konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan maupun berupa
instruksi7.
b. Tahap Transaksi Konsumen
Pada tahap ini transaksi peralihan suatu barang ataupun
penyelenggaraan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen telah terjadi.
Konsumen dalam hal ini, sudah terikat dengan berbagai persyaratan guna
memperoleh barang atau jasa bersangkutan misalnya mengenai
persyaratan pembayaran, harga, dan sebagainya.
Faktor lain yang juga berpengaruh pada konsumen dalam tahap ini
adalah beberapa praktek bisnis yang dijalankan pengusaha untuk
6 Az. Nasution , Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 39.
7 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2007), h. 55
53
mempertahankan atau meningkatkan pemasaran produk usahanya atau
penyerapan produknya oleh masyarakat8.
Permasalahan yang sering timbul dalam tahap transaksi konsumen
adalah pada perikatan yang telah disepakati oleh pelaku usaha dan
konsumen. Terdapat perjanjian dengan syarat-syarat baku, terutama
perjanjian dengan syarat-syarat baku yang ditentukan secara sepihak.
Mengenai keadaan tersebut, Pasal 18 UUPK memberikan pengaturan
secara khusus atas batasan dalam pencantuman klausula baku dalam suatu
perjanjian yang dilarang oleh UUPK. Dalam penjelasan pasal tersebut,
dikemukakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan
kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak.
c. Tahap Purna-Transaksi Konsumen
Tahap ini disebut juga tahap purna-jual. Pada tahap ini konsumen
mulai memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya dari
transaksi dengan pelaku usaha bersangkutan.
Kepuasan konsumen atau kekecewaannya berkenaan dengan
transaksi yang diselenggarakan dapat menjadi kenyataan. Kepuasaan
konsumen akan menyebabkan konsumen untuk selanjutnya setia dan tidak
beralih dari merek barang atau jasa tertentu, sehingga pelaku usaha
bersangkutan akan dapat mempertahankan langganannya.
Sebaliknya, keadaan menjadi berbeda apabila konsumen merasa
tidak puas terhadap kegunaan dan/atau pemakaian dari suatu barang atau
8 Az. Nasution , op.cit., hlm. 46, mengutip dari Mr. R.B.M. Keurentjes, Agressieve
Handelspraktijken, Kluwer-Deventer 1986, h. 2.
54
penyelenggaraan jasa yang diperoleh dari pelaku usaha. Dalam hal ini
konsumen merasakan kerugian dari penggunaan barang dan/atau jasa
bersangkutan. Konsumen yang merasa mengalami suatu kerugian
lazimnya mengajukan suatu keluhan kepada pelaku usaha tersebut. Pelaku
usaha tetap harus memberikan perlindungan dan pelayanan yang baik atas
keluhan yang diajukan oleh konsumen dalam tahap purna-transaksi ini.
Berkaitan dengan hal itu, UUPK memberikan pengaturan atas
tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam tahap purna
transaksi, antara lain:
1. Pasal 7
huruf f:
Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
huruf g:
Pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2. Pasal 19 ayat (1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
3. Pasal 25 ayat (1)
55
Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan
wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
4. Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan
dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan.
Tahap-tahap diatas tidaklah secara tegas terpisah satu sama lain.
Mungkin saja tahap pertama dan kedua langsung terjadi dalam satu
kegiatan transaksikonsumen. Misalnya konsumen datang ke suatu toko
melihat barangnya, mencari dan mendapat sekedar informasi mengenai
barang tersebut. Ketika konsumen merasa sudah cukup “mengenal”
produk tersebut, maka ia langsung membelinya (mengadakan transaksi
konsumen)9. Tahap-tahap transaksi konsumen tersebut diatas diperlukan
agar dapat dengan mudah memahami akar permasalahan dan mencarikan
jalan penyelesaian dalam penyelesaian sengketa transaksi konsumen.
E. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen.
Seperti diketahui bahwa UUPK menetapkan tujuan perlindungan
konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen,
maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari
pemakaian barang dan atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan
9 Ramadhan Rizky Perdana Hamzah, “Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa
Ketenagalistrikan: Studi Kasus Penerapan Tarif Dasar Listrik (TDL) oleh PT. PLN (Persero),’’
(Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), h. 24.
56
pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian
barang dan atau jasa tersebut, UUPK menentukan berbagai larangan bagi
pelaku usaha yang terdiri dari 10 pasal, dimulai dari Pasal 8 sampai dengan
Pasal 1710
.
Dalam Pasal 8 yang termasuk perbuatan-perbuatan yang dilarang
dilakukan pelaku usaha yaitu:
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang
dan atau jasa yang:
b. Tidak memenuhi atau tidak sesuai denga standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
d. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
e. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
10 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2007), h. 65.
57
g. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut;
h. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
i. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
j. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat; dan
k. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas atau tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
58
Substansi dari Pasal 8 tertuju dua hal, yaitu larangan memproduksi barang
dan atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan atau jasa yang
dimaksud.
59
BAB IV
IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
TRANSAKSI E-COMMERCE PADA SOSIAL MEDIA
A. Contoh dan Kronologi Kasus
Kasus 1
Seseorang yang bernama Asta yang merupakan pemilik online shop di
instagram berencana untuk memulai bisnis jual beli snack import dan memilih
ovomaltine sebagai fokus bisnisnya. Dalam memulai bisnisnya, Asta mulai
mencari supplier yang memberikan harga termurah dan terpercaya sehingga
menemukan supplier untuk bisnis snack importnya dari instagram dengan
akun @anekastuff_id sebagai supplier snack ovomaltine. Akun
@anekastuff_id menjual dengan harga yang sangat murah dibawah harga
pasaran, bebas ongkos kirim dan tidak ada minimum order yang menjadikan
Asta sangat antusias untuk membeli melalui akun @anekastuff_id sebagai
supplier online shopnya di instagram tersebut. Namun transaksi pembelian
dari akun @anekastuff_in ini hanya melalui sms saja. Keanehan ditemukan
oleh Asta bahwa testimonial dari supplier akun @anekastuff_id ini ada yang
dari line. Karena sudah merasa menemukan supplier yang sangat murah dari
harga pasaran , keanehan tersebut baru dia sadari setelah melakukan transfer
uang pembayaran senilai Rp. 210.000,00 ke rekening atas nama Johan Wijaya
sebagai supplier dengan akun @anekastuff_id. Setelah melakukan transfer
korban menanyakan melalui sms kapan barang pesanan sampai dan pelaku
60
penipuan @anekastuff_id menjawab barang akan sampai dalam waktu 2 hari.
Namun setelah lebih dari 2 hari bahkan 2 minggu korban tidak mendapat
konfirmasi mengenai barang pesanannya dan pelaku tidak dapat dihubungi.
Karena merasa tertipu oleh pelaku @anekastuff_id , korban pun melakukan
pengecekan dan mendapatkan banyak informasi bahwa pelaku dengan
instagram @anekastuff_id ini sangat cerdik dan telah lama melakukan
penipuan dengan cara sering mengganti nomor rekening, nomor handphone
dan akun instagram @anekastuff_if juga sering berganti-ganti. Pelaku
@anekastuff_id mengganti nama instagramnya, melakukan private pada akun
instagramnya dan menghapus semua testimonial mengenai penipuannya.
Korban juga menyebarkan informasi penipuan tersebut di beberapa group dan
ternyata juga banyak yang menjadi korban pelaku penipuan dengan aku
instagram @anekastuff_id. Korban juga melakukan pencarian informasi di
google dan mendapatkan berbagai kasus penipuan yang dilakukan oleh pelaku
sejak tahun 2013.
Kasus 2
Seperti yang menimpa seorang dokter gigi berinisial NP, warga Cilandak. Dia
yang tertarik dengan penjualan kucing di social media instagram malah ditipu
mentah-mentah oleh sang penjual. Kucing seharga Rp3 juta itu gagal menjadi
koleksinya. Korban awalnya berniat untuk menambah koleksi kucingnya dan
sengaja mencarinya di instagram. Dia kemudian tertarik dengan salah satu
kucing yang dijual itu. Nomor telepon yang tertera dalam instagram itu pun
langsung dihubungi. Perjanjian pun kemudian dilakukan antara kedua belah
61
pihak. Kata sepakat kemudian terlontar dan NP diwajibkan mengirim uang
tersebut ke rekening yang dituju sang penjual. Uang tersebut kemudian
dikirim ke rekening BRI 032801001159533 atas nama Reski. Sang penjual
menjanjikan kucing tersebut akan sampai paling lama 12 jam ke rumah NP.
Lama ditunggu kucing tersebut tak kunjung diterima. NP pun berpikir dirinya
sudah ditipu dan memutuskan melaporkan kejadian ini ke Polres Metro
Jakarta Selatan, kemarin sore. Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Selatan
Kompol Aswin membenarkan laporan itu.NP, warga Cilandak Barat, Jakarta
Selatan, tertipu saat membeli kucing melalui online shop di instagram. Akibat
kejadian itu, korban kehilangan uang sebesar Rp3.000.000 dan melaporkan
kasus penipuan tersebut dilaporkan ke Mapolres Jakarta Selatan1.
Kasus 3
Kasus selanjutnya cukup melegakan bagi konsumen. Setelah deal transaksi,
penjual memberikan nomer resi (airwaybill number) untuk proses pengecekan di
website layanan ekspedisi. Mungkin kita akan sedikit bernafas lega karena itu
artinya penjual tidak menipu. Namun barang tidak kunjung tiba, setelah dicek di
website ternyata resi invalid atau mungkin barang datang hanya saja sangat jauh
berbeda atau tidak sesuai. Sebagai contoh, seorang wanita bernama Intan yang
berprofesi sebagai wedding singer Jakarta melakukan pembelian baju dress yang
akan digunakan ketika bekerja sebagai wedding singer. Mengingat instagram
menjadi social media yang juga dimanfaatkan sebagai online shop dengan banyak
pilihan , Intan memilih baju dress yang terdapat di instagram dengan nama
1 Wordpress “Penipuan Online Shop Instagram” diakses dari
http://amiekusuma.wordpress.com/2013/09/30/waspada-modus-penipuan-online-shop-penjual-and-pembeli-wajib-masuk/ pada tanggal 25 september 2015
62
@RauffaApparel. Setelah menentukan pilihannya dan melakukan transaksi
pembayaran dengan total nominal Rp.1.000.000 rupiah. Intan menunggu barang
yang dia beli di instagram dan setelah barang sampai ternyata tidak sesuai harapan.
Baju dres yang dipilih intan di instagram tidak sesuai dengan kondisi fisik baju dress
yang dia dapatkan baik dari segi warna maupun bahan yang dijanjikan. Hal ini salah
satu kasus yang sering terjadi dalam transaksi e-commerce , produsen melakukan
penipuan dengan menggunakan foto-foto palsu untuk menarik perhatian konsumen
sedangkan barang yang dijanjikan tidak sesuai perjanjian baik dari segi bahan,
ukuran maupun warna.
B. Tinjauan Kasus Dengan Hukum Perlindungan Konsumen
Beragam kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi
terutama faktor keamanan dalam e-commerce pada sosial media instagram ini
tentu sangat merugikan konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-
commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen
penggunanya. Pengabaian terhadap hal tersebut akan mengakibatkan pergeseran
terhadap falsafah efisiensi yang terkandung dalam transaksi e-commerce menuju
ke arah ketidakpastian yang nantinya akan menghambat upaya pengembangan
pranata e-commerce2.
Beberapa kasus tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan hukum
perlindungan konsumen dilihat dari pendekatan utama Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
2 Ebookcollage“ Tinjauan kasus e-commerce dengan hukum perlindungan konsumen” diakses
dari poehttp://ebookcollage.blogspot.co.id/2013/06/perlindungan-hukum-terhadap-konsumen.html pada tanggal 1 April 2016
63
(PP PSTE). PP PSTE sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE).
Dengan pendekatan UU PK, kasus yang terjadi tersebut dapat simpulkan sebagai
salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
64
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual
online), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
65
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian3.
Terkait dengan ketiga kasus diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK
melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut ( kasus 3), dan jelas
pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen yang tertera pada pasal 4 UU
PK hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan ( kasus 1 dan 2 ). Berdasarkan pasal tersebut,
ketidaksesuaian spesifikasi barang yang diterima dengan barang tertera
dalam iklan/foto penawaran barang ( kasus 3 ) merupakan bentuk
pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang
begitu juga dengan pelanggaran hak-hak konsumen yang telah dilakukan
oleh pelaku usaha.
Pada kasus 3 , konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7
huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
3 Hukum Online “Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce” diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-konsumen-dala-e-commerce pada tanggal 2 April 2016
66
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha
dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”.
Dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan
dalam pasal 1(1) ketentuan umum tentang definisi dari pelindungan
konsumen. Yakni, segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. Jelas, butir-butir yang tertera
dalam pasal 1(1) bisa dimaknai sebagai representasi bahwa pentingnya
Negara berkomitmen menjamin hak-hak konsumen dalam bertransaksi
barang dan jasa dalam dunia usaha. Yang dimaksudkan dengan barang dan
jasa dalam UU No. 8 tahun 1999 pasal 1 (4) menyatakan bahwa “Barang”
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,
yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Serta pasal1 (5) Jasa adalah setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
67
Secara normative, UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyebutkan bahwa dalam pasal 4 huruf (a) menyatakan hak konsumen
adalah kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi
barang/jasa. Kemudian dijelaskan lagi pasal 4 huruf (c), (d), (e), (f), (g),
(h), (i), yakni hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen, hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Disini tertera jelas bahwa secara yuridis normative, Negara telah
menjamin hak-hak konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang
dan jasa4.
C. Analisis Penulis
UUPK belum dapat melindungai konsumen dalam transaksi e-
commerce karena ketentuan – ketentuan yang tercantum dalam UUPK
belum mengakomodir hak – hak konsumen dalam transaksi e-
commerce. Hal tersebut dikarenakan ecommerce mempunyai
karakteristik tersendiri dibandingan dengan transaksi konvensional. 4 Wordpress “Tinjauan Kasus E-Commerce Dengan Hukum Perlindungan Konsumen” diakses dari
http://jurnalrendi.blogspot.co.id/2011/09/kajian-yuridis-telaah-kasus-penipuan-e.html Pada Tanggal 2 April 2016
68
Karakteristik tersebut adalah : tidak bertemunya penjual dan pembeli,
media yang digunakan adalah internet, transaksi dapat terjadi melintasi
batas – batas yuridis suatu negara, barang yang diperjualbelikan dapat
berupa barang/jasa atau produk digital seperti software. Berdasarkan
hasil penelitian, pada transaksi e-commerce hak – hak konsumen
sangat riskan sekali untuk dilanggar, dalam hal ini konsumen tidak
mendapatkan hak – haknya secara penuh dalam transaksi e-commerce.
Apabila diperhatikan, hak – hak konsumen yang secara normatif diatur
oleh UUPK terkesan hanya terbatas pada aktivitas perdagangan yang
bersifatnya konvensional. Di samping itu perlindungan difokuskan
hanya pada sisi konsumen serta sisi produk yang diperdagangkan
sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha seperti informasi
tentang identitas perusahaan pelaku usaha serta jaminan kerahasiaan
data-data milik konsumen belum diakomodir oleh UUPK, padahal hak
– hak tersebut sangat penting untuk diatur untuk keaman konsumen
dalam bertransaksi.
Keterbatasan UUPK untuk melindungi konsumen dalam bertransaksi
ecommerce juga tampak pada terbatasnya ruang lingkup pengertian
pelaku usaha. Pasal 1 ayat (3) undang -undang ini menyebutkan, yang
dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
69
bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi”.
Sedangkan menurut penjelasan pasal 1 ayat (3) UUPK, yang termasuk
dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha yang termasuk dalam
pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain – lain.
Melihat pengertian di atas sangatlah sempit sekali ruang lingkup
pengertian pelaku usaha yang diatur oleh UUPK, dimana pelaku usaha
yang diatur dalam undang – undang ini adalah pelaku usaha yang
wilayah kerjanya di wilayah negara Republik Indonesia. Padahal jika
kita lihat dari karakteristik dari ecommerce, salah satunya adalah
perdagangan yang melintasi batas – batas negara maka pengertian
pelaku usaha dalam UUPK ini tidak dapat menjangkau jika pelaku
usaha tersebut tidak berada di wilayah negara Republik Indonesia.
Akan tetapi UUPK tetap masih menjangkau pelaku usaha toko online
yang melakukan usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil yang telah dipaparkan oleh penulis maka kesimpulan yang
dapat diambil oleh penulis adalah :
1. Perlindungan konsumen terhadap tindakan penipuan jual beli online
(melalui instagram)/wanprestasi dalam transaksi e-commerce, khususnya
dalam hal pengaturan tentang perlindungan konsumen terhadap tindakan
wanprestasi pelaku usaha dalam e-commerce masih perlu dibenahi lagi.
Pada dasarnya, belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus
mengenai perlindungan konsumen terhadap tindakan penipuan jual beli
online (melalui instagram)/wanprestasi dalam transaksi e-commerce.
Selama ini peraturan yang digunakan untuk melindungi hak-hak konsumen
adalah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, namun undang-undang ini tidak secara khusus mengatur
mengenai hak-hak konsumen dalam e-commerce. Dengan kata lain,
konsumen sulit menggugat pelaku usaha e-commerce dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena
pelaku usaha e-commerce sangat sulit dijangkau. Sedangkan peraturan
yang digunakan untuk mengatur mengenai transaksi e-commerce adalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, namun dalam undang-undang ini, tidak ada ketentuan yang
71
secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen terhadap
tindakan penipuan jual beli online (melalui instagram)/wanprestasi dalam
transaksi e-commerce. Seharusnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini disesuaikan dengan
perkembangan e-commerce, termasuk banyaknya kasus kerugian
konsumen yang muncul dalam masyarakat, akibat tindakan penipuan
dalam jual beli online/wanprestasi dari pelaku usaha e-commerce,
sehingga dapat dibuat suatu ketentuan dalam undang-undang ini mengenai
perlindungan konsumen terhadap penipuan jual beli online (melaluin
instagram)/wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi e-commerce.
2. Tanggung jawab pelaku usaha yang melakukan penipuan jual beli online
(melalui instagram)/wanprestasi terhadap konsumen yang menjadi korban
pada umumnya dapat berupa dua bentuk, yaitu pengembalian uang dan
penggantian barang baru. Pada kenyataannya, penggantian barang dengan
barang yang baru tersebut biasanya membutuhkan waktu yang lama,
sehingga konsumen sering merasa diabaikan kepentigannya. Hal
terpenting yang perlu diperhatikan konsumen yang mengalami kerugian
adalah berani melakukan komplain kepada pelaku usaha yang
bersangkutan, karena dengan melakukan komplain konsumen telah
berusaha untuk menuntut dan memperjuangkan haknya.
.
72
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah dipaparkan oleh penulis maka
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Konsumen agar lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi
ecommerce, mengingat antara konsumen dan pelaku usaha tidak saling
bertatap muka dan tidak saling mengenal, maka tindak kecurangan dari
pelaku usaha yang tidak beretikad baik akan lebih mudah muncul. Oleh
karena itu, perlu sikap teliti serta waspada dari konsumen dalam
melakukan kesepakatan dalam transaksi ecommerce.
2. Bagi Pelaku Usaha agar tidak melakukan tidakan wanprestasi guna
memperoleh keuntungan yang berlebih. Dasar dalam membuka usaha e-
commerce adalah “kepercayaan” (trust) dari konsumen, oleh karena itu,
pelayanan dengan kualitas yang tinggi serta etikad baik dalam melakukan
usaha dalame-commerce sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan
usaha dari pelaku usaha e-commerce tersebut.
73
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
Barkatullah , Abdul Halim , Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam
Transaksi E-commerce Lintas Negara di Indonesia Yogyakarta: FH UII
Press, 2009
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis; Menata Bisnis Modern di Era Global,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Gunawan,Johanes, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 2010.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008
Indrajid, Richardus Eko , E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis Di Dunia Maya,
Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2001
Makarim, Edmon, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010
Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011
Nasution,Az Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , Jakarta: Diadit
Media, 2006
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Jakarta: Kencana, 2008
74
Philipus M. Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2011
Rahardjo, Satjipto, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas,
2003
Ramadhan,Rizky Perdana Hamzah, “Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa
Ketenagalistrikan: Studi Kasus Penerapan Tarif Dasar Listrik (TDL) oleh
PT. PLN (Persero),’’ Depok : Skripsi Sarjana Hukum Universitas
Indonesia, 2009
Redjeki, Sri Hartono, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era
Perdagangan Bebas, Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Bandung :
Mandar Maju, 2000
Riswandi, Budi Agus, Hukum dan Internet di Indonesia Yogyakarta: UII Press,
2003
Samsul,Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
Sjaputra, Imam, Problematika Hukum Internet Indonesia Jakarta: Prenhallindo,
2002
Siahaan, N.H.T., Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Cet. 1, Bogor : Grafika Mardi Yuana, 2005
Tri Siwi Krstiayanti Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
W.Purbo Onno dan Aang Arif Wahyudi, Mengenal e-Commerce , Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2001
74
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Yuntho,Emerson, Class Action Sebuah Pengantar, Jakarta : ELSAM, 2005
Website :
Hukum Online “E-Commerce” diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5517/e-commerce pada
tanggal 4 agustus 2015
Hukum Online, “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online”, artikel
diakses pada tanggal 3 Agustus 2015 dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan
-hukum-bagi konsumen belanja-online.
Wijaya Rendi, Kajian Yuridis, Telaah Kasus Penipuan E-commerce Melalui
Facebook, http://jurnalrendi.blogspot.com, akses 1 Agustus 2015
Wikipedia “Instagram” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram pada
tanggal 5 agustus 2015
Wikipedia “Instagram” diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Instagram pada
tanggal 18 September 2015
Wikipedia “Perlindungan Konsumen” diakses dari Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak
konsumen pada tanggal 4 agustus 2015
Yabpeknas Banten “Perlindungan Konsumen” diakses dari
http://www.yabpeknas.com/2015/04/perlindungan-konsumen.html pada
tanggal 4 agustus 2015