PERPAJAKAN 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dari abad ke abad, selalu timbul pertanyaan di dalam hati sanubari orang-orang yang berpikir panjang apa dasar hukum pemungutan pajak, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain : atas dasar apakah Negara seakan-akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu. Dan apakah pemungutan pajak oleh suatu Negara berdasar pula atas dasar keadilan? Oleh sebab itu, semenjak abad ke-18 timbulah pelbagai teori guna memberikan dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak Negara untuk memungut pajak dari rakyatnya.

Citation preview

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAKDari abad ke abad, selalu timbul pertanyaan di dalam hati sanubari orang-orang yang berpikir panjang apa dasar hukum pemungutan pajak, maka ada kewajiban membayar pajak, dengan perkataan lain : atas dasar apakah Negara seakan-akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyat dengan yang disebut pajak itu. Dan apakah pemungutan pajak oleh suatu Negara berdasar pula atas dasar keadilan? Oleh sebab itu, semenjak abad ke-18 timbulah pelbagai teori guna memberikan dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak Negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Teori-teori didengung-dengupara ngkan selalu oleh pencipta beserta penganutnya kepada khalayak ramai dengan maksud agar segala peraturan yang brhubungan dengan pajak dipahami dan ditaati. Semua teori tadi agar dapat dipahami oleh masyarakatnya, sudah tentu harus sesuai dengan pandangan hidup pada zaman-zaman itu. Sehingga masing-masing teori itu bersifat relatif yang dibela mati-matian.Untuk memberi uraian yang lebih jelas, berikut ini kami paparkan teori-teori pemungutan pajak.

1) Teori asuransiMenurut teori ini,negaramempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjianasuransideiperlukan adanya pembayaranpremi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.

Ada beberapa kekurangan dalam teori ini, yaitu :a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari Negara.b. Antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh Negara tidak terdapat hubungan yang langsung.c. Negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.Meskipun seperti itu, teori ini dipertahankan oleh para penganutnya sekedar untuk memberikan dasar hukum kepada pemungutan pajak saja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan. Sehinga makin lama makin berkuranglah jumlah penganut teori ini.

2) Teori KepentinganMenurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindunganorang miskinlebih tinggi daripadaorang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial,kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.Meskipun teori ini masih berlaku pada retribusi,sukar pula dipertahanakan sebab seorang miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan Negara, tapi justru mereka tidak membayar pajak.

3) Teori Gaya PikulTeori ini pada hakikatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh Negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk kebutuhan ini diperlukan biaya-biaya yang dipikul oleh segena orang yang menikmati perlindungan itu, yaitu dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang (asas keadilan). Pajak harus dibayar menurut gaya pikul seseorang, dan sekadar untuk mengukur gaya pikul ini, dapatlah dipergunakan, selain besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang. Hingga kini teori ini masih dipertahankan oleh kebanyakan sarjana hukum terkemuka dalam lapangan hukum pajak.Menurut Profesor W. J de langen, asas gaya pikul menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu, seimbang dengan pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Oleh karena itu pemuasan kebutuhan yang diperlukan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan dan sisanya inilah yang disamakan dengan gaya pikul seseorang.Kelemahan teori ini adalah sulitnya menentukan secara tepat daya pikul seseorang, karena akan selalu berbeda dan berubah-ubah. 4) Teori Kewajiban Pajak atau Teori BaktiBerlawanan dengan ketiga teori lainnya, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentinagn Negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat Negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memngut pajak. Teori ini didasari paham organisasi yang mengajarkan bahwa Negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti,rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu maka Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan Negara, dimana Negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.Kelemahan dari teori ini adalah Negara bisa menjadi otoriter sehinggga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.

5) Teori Asas Gaya BeliTeori ini modern; ia tidak mempersoalkan asal-mulanya Negara memungut pajak, melainkan hanya melihat kepada efeknya, dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandangnya sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga-rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah hidup tertentu teori ini menitikberatkan ajarannnya pada fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Menurut para penganutnya, termasuk juga professor Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas maup ekonomi terpimpin. Tidak demikian dengan teori sebelumnya yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.Pada zaman modern ini, banyak terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori-teori untuk memberi dasar keadilan kepada hak Negara untuk memungut pajak. Mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis, seperti kita lihat pada asas teori gaya beli dan seharusnya tidak menyimpang dari asas keadilan. Hanya apabila sangat diperlukan, barulah mereka menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar keadilan untuk pemungutan suatu pajakDasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajakberarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

6) Teori PembangunanUntuk Indonesia justifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil dan makmur.

2.2 YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAKUU PPh Indonesia menganut 3 asas yang merupakan cara pemungutan pajak, diantaranya :1) Asas Domisili, atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ininegaraakan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperolehorang pribadiataubadan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).Negara yang menganut asas domisili akan menentukan dalam UU berapa lama seseorang bertempat tinggal di negara tersebut. Pasal 2 ayat 3 UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) salah satunya yang menyebutkan definisi subyek pajak dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

2) Asas Sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh:Tenaga kerjaasing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak olehpemerintahIndonesia.

3) Asas Kebangsaan, atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.Untuk UU PPh tidak menganut asas kebangsaan, dan ini dibuktikan melalui pasal 2 ayat 4 UU PPh yang menyebutkan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari disebut sebagai subyek pajak luar negeri. Bahkan dalam Peraturan Dirjen Pajak No.2/PJ/2009 diatur bahwa pekerja Indonesia di luar negeri adalah subjek pajak luar negeri dan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja Indonesia di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia. Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya.Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

2.3 STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK1) Stelsel NyataDalam setelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari waijb pajak. Pemungutan pajak dengan sistem ini dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan pada akhir tahun pajak.

2) Stelsel AnggapanDalam stelsel ini besarrnya pajak yang harus ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Penghasilan dalam satu tahun dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.3) Stelsel CampuranDalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.

2.4 PENGGOLONGAN JENIS PAJAK1) Menurut Sifatnyaa. Pajak Langsung : Pajak yang bebannya haru dipikul sendiri oleh Wajib Pajak ( WP )dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Misal : PPh.b. Pajak Tidak Langsung : Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa tertentu saja. Misal : Pajak Pertambahan nilai.

2) Menurut Sasaran/Objeknyaa. Pajak Subjektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi WP (subjeknya).b. Pajak Objektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan memperhatikan objeknya baik berupa keadaan perbuatan/ peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.

3) Menurut Lembaga Pemungutannyaa. Pajak Pusat : jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Contoh : Dirjen Pajak. Hasil pemungutan pajak pusat dimasukkan sebgai bagian dari APBN.Macam-macam Pajak Pusat :- PPh- PPN dan PnBM- PBB- Pajak/BPHTB- Bea Materialb. Pajak Daerah : Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dipenda. Hasih pemungutan pajak daerah dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD.Macam-macam Pajak Daerah : Pajak Daerah Tk. 1 :o Pajak Kendaraan Bermotoro Bea Balik Nama Kendaraan Bermotoro Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Daerah Tk. 2 :o Pajak Hotel dan Restorano Pajak Hiburano Pajak Reklameo Pajak Penerangan Jalano Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan Co Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air PermukaanSelain memungut pajak, pemerintah juga melakukan pemungutan dengan nama retribusi yaitu pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tiga jenis retribusi antara lain :1) Retribusi Jasa Umum yang terdiri atas : Retribusi pelayanan kesehatan ; pelayanan kebersihan2) Retribusi Jasa Usaha yang terdiri atas : Retribusi pemakaian kekayaan daerah ; retribusi terminal3) Retribusi Perizinan Tertentu yang terdiri atas : retribusi izin peruntukan penggunaan tanah, retribusi izin mendirikan bangunan.

2.5 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAKAda 3 sistem pemungutan pajak, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With holding Tax System. Di Indonesia menerapkan ketiga sistem tersebut.

1) Offsicial Assessment SystemAdalah sistem pemungutan pajak yang wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak terletak pada fiskus atau aparat pemungut pajak. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pengenaan pajak langsung . Dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.Sistem diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jad waji pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar.

2) Self Assessment SystemAdalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak terletak pada pihak wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib pajak sifat aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri, sedangkan fiskus hanya memberi penerangan, pengawasan atau sebagai verifikasi.Sistem ini diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan mauoun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN.

3) With Holding Tax SystemAdalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus mauoun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.Diterapkan dalam mekanisme pemotongan atau pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat 2, PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan

4