Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H.) Pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
FADHILATUR ROSYIDAH
NIM: 11160453000006
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H / 2020 M
i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang telah Saya gunakan dalam penulisan ini telah Saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli Saya atau
merupakan hasil jiplaka dari karya orang lain, maka Saya berseda menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 2 April 2020
Fadhilatur Rosyidah
NIM : 11160453000006
iv
ABSTRAK
Fadhilatur Rosyidah. NIM 11160453000006. PERSEKUSI MUSLIM
UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL.
Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. ix + 67 halaman
+ 22 halaman lampiran.
Latar belakang penelitian ini adalah adanya tindakan persekusi yang
dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur. Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui tindakan persekusi yang dilakukan oleh pemerintah
Cina terhadap etnis Muslim Uighur di Xinjiang dan tinjauan hukum humaniter
internasional terhadap persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap etnis
Muslim Uighur.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan
pendekatan undang-undang (statute approach). Penelitian ini menggunakan tiga
bahan hukum, yaitu bahan hukum primer (Universal Declaration of Human
Rights, dan Statuta Roma 1998), bahan hukum sekunder (buku-buku yang terkait
perlindungan HAM dan penyelenggaraan hukum humaniter internasional), dan
bahan non hukum. Kemudian data yang didapat dianalisis secara sistematis,
sehingga menghasilkan output yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hasil Penelitian ini menunjukan dua hal. Pertama, persekusi yang
dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur di antaranya berupa
penyekapan, penindasan, perampasan, kekerasan, penembakan mati, hingga
membatasi hak beragama dan privasi Musim Uighur di antaranya yaitu membuat
kebijakan penghapusan wakaf, penghapusan pajak untuk sekolah Islam, melarang
pegawai negeri atau pejabat pemerintah Muslim untuk berpuasa, tidak bebas
beraktifitas karena selalu diawasi oleh kepolisian, dan adanya kebijakan
pemindaian alat komunikasi bagi warga etnis Uighur. Kedua, tindakan persekusi
yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur melanggar ketentuan
dalam hukum humaniter internasional, di antaranya adalah ketentuan dalam
Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma 1998. Kasus persekusi
Muslim Uighur telah memenuhi keempat syarat yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional yang termuat dalam Statuta Roma 1998 di antaranya yaitu:
Rationae materiae, Rationae temporis, Rationae loci,dan Rationae personae, dan
penanganan kasus ini dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk
diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
Kata Kunci : Persekusi, Etnis Uighur, Hukum Humaniter
Pembimbing : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A.
Daftar Pustaka : 1967 s.d. 2020
v
حيم حمن الر بسم الله الر
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt., yang
berkat karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Persekusi Muslim Uighur Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Diplomatik
Indonesia-Cina (Analisis Hukum Humaniter).” Shalawat serta salam penulis
curahkan kepada Nabi Muhammad saw., yang telah menuntun umat Islam menuju
Shirat al-mustaqim yang diridhai Allah swt.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
terutama kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hj. Maskufa, M.Ag., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan para
Wakil Dekan lainnya.
3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara yang
sudah penulis anggap sebagai ibu sendiri dan yang selalu sabar dalam
mendengar curahan hati penulis dari awal perkuliahan hingga saat ini.
Dan Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum
Tata Negara yang sudah membantu administratif akademik penulis.
4. Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A., Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, arahan, dan
mentransfer ilmunya kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga
saat ini. Tanpa adanya bimbingan dan arahan dari beliau tidak mungin
skripsi ini dapat sampai ke tangan pembaca.
5. Prof. Arskal Salim GP, M.Ag., Dosen Penasihat Akademik penulis,
yang telah menjadi inspirator penulis dalam menjalani perkuliahan di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya Dosen Hukum
Tata Negara atas transfer ilmu yang diberikan selama penulis belajar di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga atas semua yang
diberikan dengan ikhlas akan menjadi amal ibadah yang terus
mengalir.
7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staf Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai
bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Mulyadi, Ibunda Hj. Nurjanah,
Kakek H. Warkaya dan Nenek Hj. Nadiroh yang selalu menjadi garda
terdepan dalam memberikan dukungan bagi penulis di segala aspek,
dan juga yang tak ada hentinya menyelipkan penulis dalam doa di
setiap sujudnya. Dan juga adik-adik tercinta Muhammad Fadil
Firmansyah dan Muhammad Fadlan Ardiansyah yang telah turut andil
memberikan hiburan kepda penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Kepada partner Ajat Sudrajat, S.Ag., kostmate Suci Prastya Ningrum,
S. Psi. yang selalu memberikan dorongan semangat kepada penulis dan
menjadi tempat berkeluh kesah penulis selama penulisan skripsi ini.
10. Keluarga besar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya kawan seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2016
yang telah melewati perkuliahan bersama dari awal kuliah hingga saat
ini, semoga ilmu yang kami dapat diperkuliahan diberkahi Allah swt.
Khususnya untuk Princess HTN Andriani Kasip, Silmi Nurtsin, Lis
Diana Putri, Miftahurrahmah, Halimatur Rusyda, Nur Kholifah, Syifa
Salsabila, Ajeng Dwi Pramesti, Husniyah, Inten Murnia Sari dan
kawan seperjuangan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
11. Keluarga Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata
Negara yang telah menjadi tempat berproses di internal kampus dalam
mengolah bakat berorganisasi penulis. Khususnya Bang Muhammad
vii
Ridwan, S.H., Bintang Garda Nusantara, Nur Kholifah, Wildan Fauzi,
dan anggota lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
12. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat yang telah
memberikan wadah bagi penulis dalam belajar berorganisasi, dan
memberikan arti persaudaraan sesungguhnya di tanah rantau.
Khususnya Mas Mochamad Andi Apriyanto, S.H., Robi Chul Bais,
Khoerun Nisa DPM, Aghnina Auliani, Dede Hidayatulloh dan anggota
lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
13. Dan kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak senantiasa
menjadi amal ibadah yang terus mengalir pahalanya hingga Hari Kiamat.
Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
pembaca umumnya.
Jakarta, 2 April 2020 M
8 Sya’ban 1441H
Fadhilatur Rosyidah
NIM : 11160453000006
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................ 9
E. Metode Penelitian...................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 15
BAB II KONSEP PERSEKUSI, HAM, DAN TEORI HUKUM
HUMANITER ..................................................................................................... 16
A. Konsep Persekusi ...................................................................................... 16
B. Teori Hukum Humaniter Internasional .................................................... 18
C. Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ................... 21
BAB III KONFLIK UIGHUR ........................................................................... 26
A. Potret Muslim Uighur .............................................................................. 26
B. Kondisi Sosial dan Politik Muslim Uighur ............................................... 34
C. Akar Konflik Muslim Uighur ................................................................... 41
BAB IV PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI ASPEK
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ................................................. 45
A. Persekusi Muslim Uighur .......................................................................... 45
ix
B. Analisis Hukum Humaniter Internasional terhadap Persekusi Muslim
Uighur ....................................................................................................... 50
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 61
A. Kesimpulan ............................................................................................... 61
B. Saran .......................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63
LAMPIRAN ........................................................................................................ 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan masa kini memang tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang
telah terjadi sebelumnya. Dari sekian banyak jenis kejahatan yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat, ada jenis kejahatan yang berdampak terhadap
keselamatan dan perdamaian dunia yaitu extra ordinary crime atau lebih dikenal
dengan istilah kejahatan luar biasa. Apabila dilihat dari sejarahnya, kejahatan luar
biasa hanya mencakup 4 jenis kejahatan saja yaitu kejahatan perang, kejahatan
agresi, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun,
perkembangan kejahatan sekarang menunjukkan bahawa ada beberapa kejahatan
terkini yang diasumsikan sama dengan keempat jenis kejahatan tersebut. 1
Persekusi dapat ditafsirkan sebagai kejahatan luar biasa karena termasuk dalam
jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.
Persekusi ini merupakan salah satu jenis kejahatan kemanusiaan
sebagaimana dijelaskan dalam Statuta Roma, Pasal 7 ayat (1) 2 dan Pasal 7 ayat
(2) huruf g3. Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa "persecution" berarti
perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan
dengan hukum internasional dengan alasan politik, ras, nasional, etnis, budaya,
agama, gender.
Kejahatan kemanusiaan yang berupa tindakan persekusi jelas melanggar
ketentuan Hak Asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak
dasar yang telah melekat pada diri setiap manusia dan merupakan anugerah yang
1 Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime), (Aceh : UNIMAL
Press, 2019), h. 9
2 Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma 1998 : “Crime against humaniy means any of the
following acts when commited as part of widespread or systematic attack directed against any
civilian population, with knowledge of attack.”
3 Pasal 7 yat (2) huruf g Statuta Roma 1998 : “Persecution means the intentional and
severe deprivation of fundamental rights contrary to international law by reason of the identity of
the group or collectivity;”
2
diberikan Tuhan sejak lahir serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Universal Declaration of
Human Rights 4 berisi hak berpikir dan mengeluarkan pendapat, hak untuk
memperoleh nama baik, hak untuk kemerdekaan hidup, hak untuk memperoleh
pekerjaan, hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum, hak untuk hidup, hak menganut aliran kepercayaan atau
agama tertentu, dan hak memiliki sesuatu.
Hal tersebut juga tertuang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human
Right (UDHR), bahwa setiap orang berhak atas hak asasi nya tanpa dibeda-
bedakan : “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti
pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan
lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar
kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah
dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan
yang lain”.
Eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan merupakan dasar
dalam membangun komunitas bangsa yang memiliki kohesi sosial yang kuat.
Meskipun beragam ras, etnis, agama, dan keyakinan politik, masyarakat akan
dapat hidup harmonis dalam suatu komunitas bangsa atau negara, jika ada sikap
penghargaan terhadap nilai-nilai HAM dan keadilan. Eksistensi HAM berbanding
lurus dengan keberadaan bangsa, sesuai dengan jangkauan pemikiran dan
perkembangan lingkungannya. Untuk itu, setiap kejahatan HAM harus diadili
karena kejahatan tersebut selalu menjadi kendala dalam perjalanan peradaban
bangsa. Pelanggaran HAM dapat juga dilakukan oleh satuan non-pemerintah,
4 Universal Declaration of Human Right, merupakan sebuah pernyataan yang bersifat
anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (10 Desember 1948 di Palais
de Chaillot, Paris). Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan Majelis
Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada semua orang. Dalam Yudi
Latif, Negara Paripurna, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 184.
3
misalnya pembunuhan penduduk sipil oleh para pemberontak, serangan
bersenjata oleh satu pihak kepada pihak lain dan sebagainya.5
Melihat besarnya perhatian PBB dan dunia internasioanal terhadap hak-
hak asasi manusia sedunia, maka sudah sepantasnya dalam kehidupan
bermasyarakat bahkan bernegara harus senantiasa menghormati dan
memperlakukan setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat hak-hak
asasinya. Perkembangan progresif di bidang hak asasi manusia dewasa ini tidak
terlepas dengan adanya prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai
kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain
merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung
jawab bersama masyarakat internasional.
Saat ini, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang keluar dari HAM.
Masalah perlindungan internasional HAM ini sudah diatur secara baik dalam
hukum internasional HAM yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan
individu dan kelompok dari pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh aparat
pemerintah.6
Kendati demikian, pelanggaran terhadap HAM masih sering terjadi.
Pengekangan kebebasan atas hak-hak yang dimiliki seseorang, pendiskriminasian
suatu etnis sampai pada pemusnahan suatu kelompok tertentu masih saja terjadi.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut masih terjadi di tengah masyarakat
internasional yang menjunjung tinggi persamaan dan martabat kehidupan
manusia. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan HAM dan kejahatan-
kejahatan serius terhadap HAM membutuhkan perhatian khusus, karena hal
tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia yang seharusnya bebas dari rasa
tidak aman. Hanya saja tindakan-tindakan tidak manusiawi masih sering
diterima, khususnya pada kaum-kaum minoritas.
Dalam dunia Internasional, penegakkan hukum tentang Hak Asasi
Manusia secara global dalam penegakannya dapat dikatakan belum tuntas. Dalam
5 Fazlur Rahman, et.al, Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia (Studi Kasus di Mesuji Sumatra Selatan), (Makasar : UNHAS, 2011), h. 2.
6 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, edisi ke-2, (Bandung : Alumni, 2005), h. 672.
4
perkembangannya, hukum yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia secara
global juga telah diatur dalam hukum humaniter. Hukum humaniter yang mulai
dikenal pada tahun 1970an ini awalnya disebut dengan International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict lalu berkembang menjadi
hukum perang (law of war), yang kemudian berkembang lagi menjadi hukum
sengketa bersenjata (law of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan
istilah hukum humaniter. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter
internasional adalah seperangkat aturan yang dibuat dengan alasan kemanusiaan
untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini melindungi
korban atau orang lain yang terlibat ataupun tidak terlibat dalam pertikaian.
Hukum humaniter merupakan bagian dari hukum internasional.
Hukum humaniter internasional merupakan salah satu instrumen yang
dapat digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara
netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan masyarakat akibat perang yang
terjadi di berbagai negara.7
Pemerintah Cina melakukan tindakan persekusi8 terhadap kaum Muslim
Uighur di wilayah yang dikenal dengan nama Turkistan Timur, sementara Cina
menyebutnya dengan nama Xinjiang, yang berarti blok baru. Persekusi yang
terjadi mengakibatkan lebih dari seratus enam puluh Muslim meninggal.
Sementara menurut warga Uighur akibat dari persekusi itu hampir empat ratus
Muslim meninggal, ratusan menderita luka-luka, dan ratusan lagi ditangkap.9
Pemerintah Cina mengubah bentuk penjajahannya menjadi penjajahan
kependudukan, di mana ia memindahkan sekitar delapan juta masyarakat Cina
dari keturunan Han yang merupakan suku terbesar ke Turkistan Timur.
Selanjutnya mereka diberi jabatan tinggi dan kekuasaan penuh. Sementara
penduduk asli dijadikan penduduk kelas dua yang dipekerjakan sebagai pegawai
7Ambarwati, et.al, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 27.
8 Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga
dan disakiti, dipersulit, atau ditumpas. Dikutip dari https://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada
tanggal 10 Juli 2019 Pukul 11.26 WIB. 9 Muslim Uighur Sekitar Satu Juta ditahan PBB Sebut Ini Mengkhawatirkan, dikutip dari
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45372418, diakses pada 9 Juli 2019 pukul 15.47 WIB.
5
rendahan, dan pekerja kasar untuk memperoleh penghidupannya. Sesungguhnya
yang melakukan kejahatan terhadap warga Uighur sekarang, bukan hanya
pemerintah dan aparatnya yang bertindak represif, namun juga orang-orang Cina
keturunan Han yang banyak melakukan berbagai bentuk permusuhan dan
pelecehan terhadap penduduk asli.10
Namun, pemerintah Cina membantah
tudingan adanya diskriminasi rasial terhadap Etnis Muslim Uighur di Xinjiang.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sudah menjadi tanggung jawab
negara jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM. Apabila
negara membiarkan tidak ditegakkannya hukum atau bahkan menjadi bagian dari
pelanggaran HAM tersebut maka negara tetap dalam keadaan impunitas11
(impunity).
Berdasarkan urgensi dan daya tarik yang tinggi terhadap fenomena
tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pustaka mengenai
persekusi Muslim Uighur untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut terhadap
problematika di atas. Selain itu, peneliti juga ingin mengkaji secara mendalam
terkait dengan implementasi hukum humaniter internasional berdasarkan
fenomena yang telah dipaparkan, dan dituangkan dalam judul :
“PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DALAM TINJAUAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Hukum Internasional, terutama setelah Perang Dunia I, telah
memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum Internasional yang
mandiri dalam tata hukum internasional. Individu dalam hukum Internasional,
juga dapat membela hak-haknya secara langsung, yang pada awalnya berlaku
10
Muhammad Fajrin Saragih, “Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim
Uighur di China Ditinjau dari Hukum Humaniter” (Medan: Jurnal Universitas Sumatera Utara,
2015), h.3-4.
11
Impunitas adalah keadaan tidak dapat dipidana (nirpidana). Diakses melalui
https://kbbi.web.id/impunitas , diakses pada tanggal 10 Juli 2019 Pukul 15.12 WIB.
6
menurut masyarakat Eropa dalam Konvensi Eropa serta berlaku dalam
Konvensi Amerika.
Pasca disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) yaitu Statuta Roma 1998 pada
17 Juli 1998 maka telah berlaku hukum baru yang di dalamnnya memuat
peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma
merupakan hasil dari beberapa upaya yang dilakukan oleh PBB untuk
menciptakan sebuah Pengadilan Internasional.
Cina sebagai negara yang tergabung dalam PBB sudah seharusnya
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Namun, dengan adanya
problematika persekusi yang dialami oleh etnis Muslim Uighur seolah Cina
sudah tidak lagi mengindahkan prinsip yang telah dijunjung tinggi oleh
seluruh anggota PBB. Terlebih problematika tersebut telah menjadi sebuah
isu global yang turut mengganggu stabilitas politik internasional.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disebutkan identifikasi
masalah yang diteliti lebih lanjut, sebagai berikut:
1. Persekusi yang dilakukakan oleh pemerintah Cina terhadap etnis
Muslim Uighur menjurus ke tindakan genosida. Tindakan-tindakan
tersebut berdampak pada penurunan populasi etnis Uighur yang jika
dibiarkan secara terus-menerus maka dapat memusnahkan etnis
Uighur di Cina.
2. Diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Muslim Uighur ini tidak
sesuai dengan Hak Asasi Manusia dalam Universal Declaration of
Human Rights yang telah disepakati oleh seluruh negara-negara di
dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
juga tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Hal itu, terkait dengan
Cina yang juga menjadi negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang seharusnya turut menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia
namun yang terjadi adalah sebaliknya, justru Cina sudah tidak lagi
menjunjung tinggi prinsip yang telah disepakati bersama.
7
3. Persekusi yang dilakukan oleh Pemerintah kepada etnis Uighur turut
membuat negara-negara di dunia merespon dan mengecam
Pemerintah Cina untuk menghentikan tindakan pelanggaran HAM
karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.
4. Republik Rakyat Cina (RRC) dikenal dengan “macan asia”, dengan
perekonomian yang maju dan sebagai negara yang berpengaruh di
kawasan Asia. Dengan adanya problematika ini, dapat
mengakibatkan citra Cina sebagai negara maju di Asia menjadi tidak
baik dan secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian Cina.
5. Persekusi yang dialami oleh etnis Uighur yang mayoritas beragama
Islam turut menjadi perhatian dunia. Karena Islam merupakan agama
yang diakui secara global dan merupakan salah satu agama dengan
penganut terbesar di dunia, isu diskriminasi ini menjadi sorotan
karena dianggap merendahkan entitas salah satu agama.
6. Etnis Uighur sebagai etnis minoritas di Cina tidak mendapat
perlakuan baik oleh Pemerintah Cina, sehingga terkesan negara Cina
mengabaikan hak warga negaranya.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Penelitian ini difokuskan
pembahasannya hanya menyangkut masalah persekusi Muslim Uighur dalam
tinjauan Hukum Humaniter Internasional.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka secara
terperinci masalah yang diteliti adalah implikasi dari tindakan persekusi
terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter internasional. Dari
masalah di atas maka dapat diperoleh rumusan penelitian sebagai berikut:
8
a. Bagaimana bentuk persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap
Muslim Uighur?
b. Bagaimana tinjauan hukum humaniter internasional terhadap persekusi
yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan penelitian yang dilakukan mengenai implikasi dari tindakan
persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter
internasional:
a. Mengetahui bentuk persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina
terhadap Muslim Uighur.
b. Mengetahui tinjauan hukum humaniter internasional terhadap
persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur.
2. Manfaat
Manfaat penelitian yang dilakukan mengenai implikasi dari tindakan
persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter
internasional adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Akademik
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut
guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang tindakan
persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan hukum humaniter
internasional.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
praktis kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini, diantaranya:
9
1) Sebagai bahan referensi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
tentang tindakan persekusi terhadap Muslim Uighur dalam tinjauan
hukum humaniter internasional.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi
dalam bidang politik/hukum internasional bagi mahasiswa/i yang
terkhusus membahas mengenai Hukum Humaniter Internasional.
3) Penelitian ini secara pribadi menjadi salah satu bentuk implementasi
dari ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti
program perkuliahan sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha
melakukan penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik yang
berbentuk buku, artikel dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan
penelitian ini. Adapun hasil penelusuran yang peneliti dapatkan, antara lain:
Muhammad Fajrin Saragih “Tinjauan Yuridis Pelanggaran HAM
Terhadap Muslim Uighur di China Ditinjau dari Hukum Humaniter,” Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2015. 12
Dalam penulisan artikel ini,
dijelaskan bahwa Pemerintah Cina telah melakukan pelanggaran HAM di
Xinjiang, di antaranya pelanggaran kebebasan beragama, ditinjau dari
ketentuan hukum dalam Konvensi Janewa.
Lidya Elmira Amalia dalam karya ilmiah skripsi yang berjudul
“Diskriminasi Rasial Terhadap Minoritas Muslim Uyghur di China Ditinjau
dari Hukum Islam” Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
tahun 2018.13
Dalam penulisan skripsi ini, dijelaskan bentuk-bentuk
diskriminasi rasial pemerintah Cina terhadap Etnis Uighur berupa kebijakan
12
Lihat https://digilib.uin-suka.ac.id, diakses pada 9 Juli 2019, Pukul 10.40 WIB 13
Lihat https://repositori,usu.ac.id, diakses pada 9 Juli 2019, Pukul 10.50 WIB
10
pengusiran Islam dari identitas Uighur, memberikan penekanan khusus untuk
mengasingkan wanita Uighur, larangan bagi muslim Uighur untuk memasuki
masjid dan bagaimana pandangan Islam terhadap konsep minoritas yaitu Islam
memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kaum minoritas dan
diskriminasi rasial yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Ika Yogyantari, “Muslim Uyghur di Provinsi Xinjiang Pada Masa
Pemerintah Komunis China Tahun 1949 - 2008 M,” Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2008.14
Dalam penulisan skripsi ini, dijelaskan usaha pemerintah Komunis
Cina dalam menekan umat beragama di wilayah Xinjiang khususnya terhadap
umat Islam dengan membuat kebijakan yang merugikan umat Islam di
Xinjiang dan sikap Muslim Uighur terhadap perlakuan pemerintah Komunis
China yang melawan dan ingin mendirikan negara sendiri yang merdeka dan
berdaulat.
Muhammad Izzul Mubarak “Kebijakan Pemerintah China Terhadap
Muslim Uighur Perspektif Siyasah Syar’iyyah” Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2018.15
Dalam
penulisan skripsi ini, dijelaskan bagaimana kebijakan Pemerintah Cina
terhadap etnis Uighur yang tidak sesuai dengan prinsip siyasah syar’iyyah
yaitu dalam teori fiqh siyasah syar’iyyah ini yang di dalamnya mencakup
konsep hukum-hukum dan hak-hak bagi anak Adam yang dijamin oleh Islam
dan Pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM internasional yang
tercantum dalam Konvensi Janewa 1949.
Dari semua karya ilmiah yang disebutkan sebelumnya, masing-masing
karya memiliki fokus pembahasan yang menarik. Penulis sangat tertarik
membahas persoalan ini, tentunya dengan melihat adanya celah untuk
membahas tema dan objek penelitian yang sama, tetapi dengan fokus
14
Lihat https://dspace,uii.ac.id, diakses pada 5 Juli 2019, Pukul 15.20 WIB 15
Lihat https://digilib.uin-suka.ac.id, diakses pada 5 Juli 2019, Pukul 17.20 WIB
11
pembahasan yang berbeda. Dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih
menekankan pada tindakan persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina
terhadap Muslim Uighur dengan mengaitkan pada tinjauan hukum humaniter
internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan Statuta Roma
1998.
E. Metode Penelitian
Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka
disusun metode16
penelitan sebagai jalan petunjuk yang mengarahkan jalannya
penelitian ini, atau dengan kata lain sebagai jalan atau cara dalam rangka
usaha mencari data yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang
ada dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji
hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan
konsistensi.17
Dalam literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum
normatif terdiri dari: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
hukum, sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.18
Penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek,
yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
16
Metode adalah suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode
menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:
UI Press, 2015), h. 5.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 15.
18
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2003), h. 41.
12
komposisi, lingkup materi, konsistensi, dan realitas kejadian yang ada
di masyarakat.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji
hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya
dengan pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris
dilakukan dengan cara mengkaji persekusi Muslim Uighur yang
dilakukan Pemerintah Cina dalam tinjauan Universal Declaration of
Human Rights dan Statuta Roma 1998.
2. Pendekatan Penelitian19
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Aprroach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut
dengan tindakan persekusi yang dialami oleh Muslim Uighur.
b. Pendekatan Konseptual
Penelitian ini berdasarkan pada pendekatan Konseptual
(conceptual approach) yaitu yang beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam hukum.
Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap
pandangan/doktrin yang berkembang dalam hukum dapat menjadi
pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika
menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan
memperjelas ide-ide dengan memberikan konsep hukum, maupun
asas hukum yang relevan dengan permasalahan. Penelitian ini juga
berfokus pada problem identifikasi yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menginventarisir dan kemudian mengklarifikasi
permasalahan untuk dicarikan jalan keluar.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177.
13
3. Sifat Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi)
secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang implikasi kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk membantu Etnis Uighur
di Xinjiang Cina.
4. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan
sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas atau kewenangan tertentu. Bahan-
bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.20
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan hukum
primer antara lain Universal Declaration of Human Rights dan Statuta
Roma 1998.
b. Bahan Hukum Sekunder
Mengenai bahan hukum sekunder, Peter Mahmud Marzuki
berpendapat bahwa bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku,
teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentarkomentar
atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penulisan ini adalah buku-buku teks tentang hukum yang relevan dengan
isu hukum yang diangkat dan ditulis dalam penulisan ini, seperti literatur-
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.
14
literatur dan buku-buku yang terkait dengan perlindungan hak asasi
manusia, dan penyelenggaraan hukum humaniter internasional.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan-bahan non hukum dalam penetian hukum dapat berupa
buku-buku mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat,
kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non hukum sepanjang
semua itu memiliki relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non
hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan bagi peneliti, namun yang harus digarisbawahi bahwa bahan
non hukum ini tidak boleh lebih dominan dibanding bahan hukum
primer dan sekunder.21
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa bahan non hukum antara lain: buku-buku politik dan
hubungan internasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Ensiklopedi di perpustakaan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pegumpulan
data adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencatat dan mengcopy
data-data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian baik dari
sumber dokumen/buku-buku, koran, majalah, internet dan lain lain.
6. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut
pokok bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data.
Analisis data bertujuan untuk menginterprestasikan data yang sudah
disusun secara sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu
menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
21 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 204-208.
15
runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari
tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini, dipaparkan Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan (review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
Bab II Konsep Persekusi, HAM dan Teori Hukum Humaniter. Pada bab
ini, diulas mengenai Konsep Perekusi, Teori Hukum Humaniter Internasional,
dan Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Bab III Konflik Uighur. Pada bab ini, dipaparkan mengenai Potret Muslim
Uighur, Kondisi Sosial dan Politik Muslim Uighur, dan Akar Konflik Muslim
Uighur.
Bab IV Persekusi Muslim Uighur Ditinjau dari Aspek Hukum Humaniter
Internasional. Pada bab ini, dielaborasikan mengenai Persekusi Muslim
Uighur, dan Analisis Hukum Humaniter Intenasional terhadap Persekusi
Muslim Uighur.
Bab V Penutup. Dalam bab ini diuraikan kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah dan saran atau masukan sebagai usulan tindak lanjut dari
penelitian ini.
16
BAB II
KONSEP PERSEKUSI, HAM, DAN TEORI HUKUM HUMANITER
A. Konsep Persekusi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata dari
persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah
warga dan disakiti, dipersulit, atau ditumpas.1 Namun apabila kata persekusi
tersebut dijadikan sebagai kata kerja yaitu “memperkusi” memiliki arti menyiksa,
atau menganiaya, sehingga ada unsur praktik adanya suatu penyiksaan.
Dalam bahasa Inggris, persekusi disebut dengan persecution yang
memiliki makna “hostility and ill-treatment, especially because of race or
political or religious beliefs”, atau jika diterjemahkan secara bebas adalah
“permusuhan dan penganiayaan, terutama karena ras atau keyakinan politik atau
agama”.
Persekusi dilakukan tanpa dasar kewenangan yang diatur undang-undang.
Hal ini akan dapat mengancam seseorang dalam berdemokrasi dan
mengekspresikan suatu pendapat yang dijamin undang-undang dan dapat
berakibat meresahkan publik. Atas kejadian kasus-kasus persekusi, seharusnya
pihak yang berwenang yaitu Aparat Penegak Hukum bertindak aktif untuk
menyelesaikan sesuai ketentuan. Hal ini untuk mencegah dan membuat tidak
terulangnya kembali kejadian persekusi dikemudian hari dan menutup peluang
terjadinya upaya balasan dari korban pada waktu dan di tempat lain kepada
persekutor.
Persekusi ini ada dikarenakan banyaknya keinginan untuk memaksakan
suatu kehendaknya agar diterima oleh orang lain melalui proses-proses yang
secara hukum tidak diperbolehkan karena dalam perbuatannya merugikan pihak
lain, namun pelaku memaksakannya dengan bentuk perbuatan yang berkaitan
dengan kekerasan terhadap korbannya agar korban mau mengikuti apa yang
dikehendaki oleh pelaku. Persekusi ini juga disebabkan karena adanya kefanatikan
1 Dikutip dari https://kbbi.web.id/persekusi, diakses pada tanggal 18 April 2020 Pukul
11.22 WIB.
17
ide terhadap kepercayaan dari pandangan diri seseorang atau kelompok yang
menyebabkan gejolak antara kedua pihak yang tidak sependapat pemikirannya
yang kemudian menimbulkan perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut
hukum.2
Berdasarkan peristiwa persekusi yang telah terjadi, karakteristik persekusi
antara lain :3
1. Adanya hak dasar yang dirampas
2. Pelaku mentarget :
a. Orang atau orang-orang karena identitas kelompok
b. Orang atau orang-orang karena identitas bersama/kolektif
c. Kelompok tertentu
d. Kolektivitas tertentu
3. Pentargetan tersebut didasarkan atas dasar politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, gender atau dasar lain yang secara universal
tidak dibolehkan menurut hukum internasional
4. Tindakan yang dilakukan mulai pembunuhan, penganiayaan, hingga
perbuatan tidak manusiawi yang menyebabkan penderitaan fisik
maupun mental
5. Meluas atau sistematis, dan
6. Pelaku mengetahu bahwa tindakannya bagian dari tindakan yang
diniatkan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis.
Dari pemaparan sebelumnya, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
persekusi adalah sebuah sikap permusuhan atau penganiayaan terhadap
seseorang oleh individu maupun kelopok-kelompok tertentu yang biasanya
didasarkan pada dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama dan
gender. Membahas mengenai persekusi, tidak jarang terjadi perdebatan yang
cukup menarik mengenai makna dari persekusi. Seperti yang disampaikan
2 Muhammad Hilman Anfas Maaroef, Persekusi dalam Perspektif Hukum Positif di
Indonesia, (Surabaya : UNAIR, 2020), h.4
3 Nur Pujiyanti, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Persekusi, (Surabaya : UNTAG,
2018), h.19
18
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan), yang meyatakan bahwa
“persekusi adalah bentuk lain dari main hakim sendiri. Hal itu tidak
dibenarkan di negara hukum, termasuk Indonesia.... Selanjutnya, disampaikan
oleh Kabiro Humas Kemenkumham, Efendy BP, mengatakan bahwa
“persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau
sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas...”. 4
B. Teori Hukum Humaniter
Persoalan konflik dan perang menjadi sebuah pembicaraan yang hangat
dalam hubungan antar negara, ditambah lagi dengan timbulnya korban-korban
manusia akibat peristiwa tersebut, baik itu dari pihak sipil maupun korban dari
pihak militer. Pemikiran yang muncul selama ini bahwa dalam konflik bersenjata,
jatuhnya korban dari pihak militer dianggap sebagai sebuah konsekuensi dari
peperangan yang terjadi. Sementara itu jatuhnya korban sipil dianggap sebagai
sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan
tidak terlibat dalam konflik seharusnya menjadi pihak yang bebas dan dilindungi
keselamatannya. Namun ironisnya kondisi ini tidak jarang dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan strategis dan politis dengan mengabaikan hak-hak dan keselamatan
mereka. Hukum Humaniter Internasional lahir sebagai upaya penyeimbang antara
kebutuhan-kebutuhan militer dan keperluan akan penghormatan akan hakikat
manusia.5
Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan
hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik
militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap
pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan
perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu
4 Kemenkumham: Persekusi Sama Saja Main Hakim Sendiri dikutip dari
http://news.liputan6.com, diakses pada 20 April 2020, Pukul 09.00 WIB.
5 Iqbal Asnawi “Konsistensi Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam
Hubungan Antar Bangsa”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol.12, No.1 (Januari 2017), h. 112.
19
bisa dianggap kejahatan perang.6 Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran
terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang. Kejahatan
perang mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan
pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih,
atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang
untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil
juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida
kadang dianggap juga sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum
humaniter, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum
humaniter karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan
internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada
awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas
Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk
oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
Pada dasarnya Hubungan Internasional merupakan interaksi antar aktor
suatu negara dengan negara lain. Secara umum pengertian Hubungan
Internasional adalah hubungan yang dilakukan antar negara yaitu unit politik yang
didefinisikan menurut territorial, populasi, dan otonomi daerah yang secara efektif
mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan homogenitas etnis.
Hubungan Internasional mencakup segala bentuk hubungan antar bangsa dan
kelompok-kelompok bangsa dalam masyarakat dunia dan cara berfikir manusia.
Negara merupakan unit hubungan antar bangsa sekaligus sebagai aktor dalam
masyarakat antar bangsa. Negara sebagai suatu organisasi diciptakan dan
disiapkan untuk mencapai tujuan tertentu melalui berbagai tindakan yang
direncanakan.
6 Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang, diakses pada 17 Januari
2020, pukul 11.50. WIB.
20
Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan
bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat
merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang
antara bangsa-bangsa.7
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum
perang. Dalam sejarahnya Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan
dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan
modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-
negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum Humaniter
Internasional itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan
dan kebutuhan militer dari negara-negara.8
Sumber utama hukum humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan
Hukum Jenewa. Hukum Den Haag terdiri dari, Konvensi den Haag 1899 dan 1907
mengenai cara dan alat berperang. Konvensi Den Haag 1899 terdiri dari 3
konvensi dan tiga deklarasi, antara lain Konvensi II tentang Hukum dan kebiasaan
Perang di Darat serta adanya deklarasi larangan penggunaan proyektil-proyektil
yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. Sedangkan Konvensi Den
Haag 1907 terdiri dari 13 Konvensi, konvensi yang penting antara lain Konvensi
7 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan
Penerapannya di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1980), h. 20
8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan
Penerapannya di Indonesia, h. 24
21
III tentang Cara Memulai Permusuhan dan Konvensi IV tentang Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV ini sering disebut dengan Hague
Regulation (HR). HR memberikan batasan yang lebih tegas terhadap pemakaian
alat dan metode perang. Di samping itu di dalam terdapat Martens Clause, dimana
dalam Martens Clause dinyatakan bahwa dalam keadaan apapun harus
diperhatikan perlakuan kemanusiaan.9
Di era sekarang, terbentuk sumber hukum humaniter internasional. Pasca
disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) yaitu Statuta Roma 1998 pada 17 Juli 1998 maka
telah berlaku hukum baru yang di dalamnnya memuat peraturan baru tentang
genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma merupakan hasil dari beberapa upaya
yang dilakukan oleh PBB untuk menciptakan sebuah Pengadilan Internasional.
Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang
dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca Perang
Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk mengadili individu
yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap kemanusiaan. Dengan adanya
Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan teradap umat manusia tidak
dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke perkemahan penyiksaan, namun
mereka diperlakukan sebagai penjahat dengan sidang reguler, hak untuk membela
diri dan praduga tak bersalah.10
C. Persekusi Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Persekusi tergolong dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes)
karena termasuk di dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Salah satu kejahatan
yang mendunia dan berdampak buruk bagi peradaban manusia adalah kejahatan-
kejahatan yang tergolong kepada extra ordinary crimes atau kejahatan luar biasa.
9 Aryuni Yuliatiningsih, “Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9, No.2, (Mei, 2009), h. 112-113.
10
Statuta Roma 1998 diunduh melalui https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-
5752-4f84- be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia dapat diunduh pada http://referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2014/10/Statuta-
Roma.pdf
22
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menafsirkan istilah extra ordinary
crime seperti kejahatan luar biasa, kejahatan ekstrem, kejahatan serius, kejahatan
yang berdampak luas dan sistematik terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik,
hukum dan budaya. Apapun istilah yang digunakan untuk menyebutkan
penafsiran terhadap istilah extra ordinary crimes namun yang pasti kejahatan
tersebut berbeda dengan kejahatan konvensional baik dari sifat, karakter, cara
melakukan kajahatan dan dampak daripada kejahatan tersebut.
Istilah extra ordinary crime awalnya muncul dari pelanggaran HAM berat.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menentukan bahwa
kriteria daripada the most serious crimes concern to international community
adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi.11
Dari situ lah istilah extra ordinary crime selalu diarahkan
kepada keempat jenis kejahatan tersebut. Walaupun kejahatan perang dan
kejahatan agresi sulit ditemukan atau tidak mungkin terjadi lagi pada saat
demokrasi mulai tumbuh hampir disemua negara-negara di dunia.
Extraordinary crimes diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kejahatan luar biasa. Ford berpandangan bahwa kejahatan luar biasa yang
dimaksud disini adalah pelanggaran HAM berat. Extra ordinary crimes adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi
umat manusia dan menjadi yurisdiksi Peradilan Pidana Internasional, serta dapat
dijatuhkannya hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tersebut.12
Dalam hukum pidana internasional, sejak dibentuknya Rome Statute of
International Criminal Court tahun 1998, istilah the most serious crimes concern
to international community mulai diperkenalkan. Berdasarkan Pasal 5 Statuta
Roma, the most serious crimes concern to international community ditafsikan
menjadi empat jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
11
Sunarto, “Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme”, Jurnal Equality, Vol. 12,
No. 2 (Agustus 2007), h. 14
12
Stuart Ford, “Crimes Against Humanity At The Extraordinary Chambers In The Courts
Of Cambodia: Is A Connection With Armed Conflict Required”, Pacific Basin Law Journal, Vol.
24, No. 2, (Januari 2007), h. 127-129.
23
kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Keempat kejahatan tersebut dipandang
sebagai kejahatan luar biasa karena akibatnya dapat mencederai hati nurani
kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat yang mengancam perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan dunia.13
Berdasarkan pada kriteria tersebut maka tindakan persekusi dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dapat dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa karena berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang
sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan
sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh serta
kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara
mendalam.
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status
yang sangat khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most
serious crimes of international concern as a whole atau kejahatan paling berat
bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk
pelanggaran terhadap norma Jus Cogens dan Erga Omnes, yakni norma tertinggi
dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lainnya (overriding
norms) dan apabila terjadi delik tersebut maka semua negara mempunyai
kewajiban untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelakunya.14
Genosida
salah satu kejahatan terlarang dan sangat berbahaya. Hal itu disebabkan, kejahatan
genosida dapat menghancurkan seluruhnya atau sebagian anggota kelompok
dengan latar belakang kebangsaan, etnis, ras, atau agama. Raphael Lemkin
menyebutkan genosida sebagai suatu rencana yang terorganisir dan terkoordinasi
yang bertujuan untuk menghancurkan dasar-dasar kehidupan yang esensial dari
kelompok bangsa, dengan tujuan untuk membinasakan, mengilangkan,
menghapuskan atau menghancurkan kelompok-kelompok bangsa tersebut.15
13
Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 12
14
Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 13
15
Raphael Lemkin, “Genocide”, American Scholar, Vol. 15, No. 2, (April, 1946), h.
227-230
24
Dalam instrumen internasional, definisi pelanggaran HAM berat belum
dirumuskan secara jelas dan tegas. Victor Conde menyebutkan bahwa sebuah
istilah pelanggaran hak asasi manusia yang digunakan oleh resolusi, deklarasi dan
perjanjian-perjanjian internaional tetapi tidak ditafsirkan secara baik, namun
pelanggaran HAM berat ditafsikan sebagai kejahatan yang bersifat serius seperti
kejahatan aparted, diskriminasi ras, pembunuhan, tindakan perbudakan, genosida,
tindakan kejahatan karena agama yang berskala besar.16
Dalam berbagai resolusi, deklarasi dan perjanjian internasional, definisi
pelanggaran HAM berat tidak dapat diuraikan secara komprehensif, namun
pengertian umum dari pelanggaran HAM berat adalah suatu tindakan kekerasan
secara sistematis, serius dan berskala besar (massif) yang dilakukan oleh aparat
negara seperti tindakan diskriminasi rasial, aparteid, perbudakan, pembunuhan
massal, kekerasan atau penyiksaan berhubungan dengan agama (persekusi).
Biasanya, dampak pelanggaran HAM berat yang dirasakan oleh korban susah
untuk dipulihkan atau diperbaiki.
Walaupun belum memiliki satu definisi yang disepakati secara umum,
namun di kalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan bahwa definisi
pelanggaran HAM barat adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir
dari instrumen-instrumen internasional. Pelanggaran tersebut dapat dilakukan baik
dengan perbuatannya sendiri (acts of commission) maupun karena kelalaian (acts
of omission). Adapun rumusan yang lain yang berkaitan dengan pelanggaran
HAM berat adalah tindakan dan kelalaian negara terhadap norma hukum
internasional.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Cherif Bassiouni bahwa suatu
perbuatan melawan hukum internasional dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
internasional apabila memenuhi tiga faktor, yaitu:17
1. Perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang sangat signifikan 2. Perbuatan itu melanggar nilai-nilai bersama masyarakat dunia
16
Muhammad Hatta, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime),h. 27
17
M. Cherif Bassiouni, “The ICC-Quo Vadis”, Journal of International Criminal Justice,
Volume 4, No. 3, (Juli 2006), h. 421-427.
25
3. Perbuatan tersebut melintasi batas-batas wilayah suatu negara, baik itu
karena pelaku korban maupun perbuatan itu sendiri. Sejauh ini batasan-batasan yang dapat dikategorikan Pelanggaran berat
HAM yang melanggar norma hukum internasional, tetap berpedoman pada apa
yang telah ditetapkan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan
juga komisi hukum internasional (International Law Commission) tentang
rancangan ketetapan tindak pidana kejahatan perdamaian dan keselamatan umat
manusia seperti kejahatan genosida, apartheid, pelanggaran sistematik terhadap
hak asasi manusia. Instrumen lain seperti Statuta Roma 1998 juga menjabarkan
kejahatan HAM berat yang memiliki empat yurisdiksi kejahatan yaitu kejahatan
genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
26
BAB III
KONFLIK UIGHUR
A. Potret Muslim Uighur
Muslim Uighur adalah suku minoritas di wilayah Provinsi Xinjiang,
terletak di ujung Barat dan Barat Laut Cina. Suku ini memiliki provinsi sendiri
dengan status otonomi bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas suku Uighur adalah
Muslim. “Uighur”sendiri memiliki arti persatuan atau persekutuan. Kaum Muslim
Uighur berbicara dengan bahasa lokal dan Turkmen. Mereka menulis dengan
tulisan bahasa Arab. Awal mula masuknya Islam ke Xinjiang yaitu ketika
masyarakat Uighur berperan sebagai perantara perdagangan antara Cina dengan
Barat.1
Uighur secara hariah berarti “bersatu” atau “sekutu”. Asal dari Muslim
Uighur dapat ditelusuri dari abad ke-3 SM, diketahui bahwa nenek moyang
bangsa Uighur menganut Shamanisme2, Manicheism, Nestorinisme, Mazdaisme,
dan Buddhisme. Penduduk Muslim Uighur tersebar di daerah otonomi Xinjiang
dan sebagian kecil menghuni Povinsi Hunan dan Henan. Populasi Etnis Muslim
Uighur menurut data terbaru adalah sekitar 8 juta jiwa.
Wilayah Otonom Xinjiang Uighur, juga disebut Xin (untuk
kependekannya), terletak di Cina utara-barat laut dan sudah menjadi provinsi
otonom semenjak tahun 1955, dengan nama resmi Xinjiang Uighur Autonomous
Region (XUAR), beribukota Urumqi.3 Terletak di pedalaman benua Eurasia,
1 Anshari Thayib, Islam di Cina, (Surabaya : Amar Press, 1991), h. 42
2 Shamanisme merupakan sebuah ajaran spiritual kuno, dan dalam catatan sejarah dunia
ajaran ini dikatakan sebagai ajaran spiritual tertua yang dikenal manusia di Bumi. Ciri dari ajaran
ini adalah dari teori-teori tentang menempatkan pikiran pada sisi tersembunyi yang berada pada
dimensi berbeda pikiran atau dikenal dengan istilah roh atau jiwa. Dikutip dari https://atlantis-
indonesia.org/2016/09/shamanisme-spiritual-tertua-bumi/, diakses pada 26 November 2019 Pukul
12.52 WIB.
3 Xinjiang (yang artinya “new territory” atau “new frontier”) adalah wilayah terbesar di
antara semua tingkat administratif daerah di provinsi Cina.3 Nama tersebut diberikan pada 18
November 1884 oleh pemerintah Cina. Xinjiang Uighur meliputi area seluas 1,66 juta sq.km,
seperenam wilayah Cina. Xinjiang menempati seperenam wilayah Cina secara keseluruhan, dan
27
Xinjiang berbatasan dengan Rusia, Kazakhstan, Kirghizistan, Tajikistan, Pakistan,
India, Afganistan, Mongolia, Tibet. Posisi geografis membuat Xinjiang memiliki
arti strategis yang sangat penting bagi Cina maupun negara-negara di sekitarnya.
Dalam sejarah, Xinjiang merupakan bagian pengendali kunci dari Jalur Sutera
(Silk Road), sementara saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kereta api
yang mengarah ke Continental Eurasia kedua. Dengan demikian wilayah Xinjiang
adalah “rumah” dari berbagai keturunan peradaban Turki seperti Kazaks Uighur,
Kirgiz, Tatar dan Uzbek. Uighur sendiri merupakan suku terbanyak jumlah
populasinya di antara kelompok etnis di Xinjiang berdasarkan keturunan Turki
yang memiliki banyak bahasa. Karena letaknya Jalan Sutra yang terkenal, Uighur
memainkan peran penting dalam pertukaran budaya antara Timur dan Barat,
sehingga mereka memiliki budaya dan peradaban yang unik.
Wilayah Xinjiang dulu lebih dikenal sebagai “Turkistan Timur”. Luas
wilayah Turkistan Timur sendiri mencapai 1,6 juta kilometer persegi atau
seperlima dari luas Cina. Berkat interaksi panjang dengan pedagang Arab, Persia,
dan Turki itulah yang membuat masyarakat Uighur mulai mengenal dan memeluk
agama Islam. Jumlah Muslim Uighur pada tahun 2011 sekitar 8 juta orang.
Sedangkan jumlah umat Muslim di Cina pada tahun 2011 sekitar 20 juta orang
dari total penduduk Cina yang berjumlah 1,3 Milyar.4
Jean A. Berlie dalam bukunya Islam in Cina: Hui and Uygghurs Between
Modernization and Sinicization menjelaskan bahwa tersebarnya Islam di Cina
melalui tiga (3) tahap yaitu :5
populasi Uighurs terdiri dari 47% dari populasi Xinjiang. Walaupun berstatus sebagai provinsi
otonom, namun status tersebut hanya simbolis karena kuatnya kendali Partai Komunis Cina.
4 Perlakuan Pemerintah China Terhadap Muslim Uighur, dikutip dari
https://www.kompas.com/marinaikasari, diakses pada 29 November 2019 Pukul 11.52 WIB.
5 Jean A Berlie, Islam in Cina: Hui and Uygghurs Between Modernization and
Sinicization, (Bangkok: White Lotus, 2004), h. 1-2.
28
1. Gelombang Pertama, (Abad ke 8-14 M)
Kerjasama non-commercial pertama antara pemerintah Cina dengan Islam
terjadi pada abad kedelapan. Tercatat pada tahun 713 M seorang utusan muslim
meninggalkan Ferghana salah satu daerah di Uzbekistan.Sementara itu pada
kisaran abad kesembilan, salah seorang saudagar dari basrah yang bernama Ibn
Wahab diterima oleh khaisar Yizong (859-873 M), sang kaisar tertarik dengan
koleksi megah yang ia bawa. Selanjutnya pada tahun 1345 M Ibnu Batutah
mengunjungi Canton sebagai pusat pelabuhan perdagangan orang-orang Arab di
Cina. Abad ke-8 hingga ke-14 inilah Islam mengalami perkembangan yang sangat
pesat tepatnya dibawah kekaisaran Yizong dan Ming. Arus perdagangan juga
semakin ramai karena para pedagang dari Arab mampu menggeser dominasi
Portugis yang sebelumnya sempat menguasai pusat perdagangan di Macau.
2. Gelombang Kedua Sufi (abad ke 17-18 M)
Gelombang kedua masuknya Islam di Cina melalui ajaran suffisme terjadi
sekitar abad ke 17 M hingga 18 M. Pada tahun 1820-1876 M terjadi sebuah
pemberontakan di sebelah utara dan barat daya Cina dan sekaligus menjadi akhir
dari berdirinya negara Islam di Yunan. Raja Sulaiman (Du Wenxiu nama
panggilan Cinanya) meninggal pada momentum tersebut. Pada kurun waktu yang
sama, seorang yang berkebangsaan perancis bernama Garnier (1839-1873 M)
menjelaskan bahwa Islam masuk ke Cina pada masa itu tidak lepas dari peran
penting Syech Sulaiman yang berasal dari Dali. Dengan paham zahiriyahnya, ia
berusaha menyebar luaskan pahamnya di daerah Gansu. Sementara itu Ningxia
(tetangga dekat dari Gansu) juga terdapat seorang tokoh spirutual yang cukup
berpengaruh dengan paham suffismenya yaitu Master Ma Hualong (1820-1871
M).
3. Gelombang ketiga (abad ke-19 ) hingga saat ini
Gelombang ketiga masuknya Islam di Cina merupakan reaksi dari ajaran
sufisme yang ditandai dengan berakhirnya abad ke-19. Terdapat ungkapan unik
untuk menandai arus penyebaran Islam pada masa ini yaitu the new of relegion
29
(agama baru) yang dimotori oleh Ma Wanfu (1849-1934 M). Model dakwanya
sendiriterinspirasi oleh doktrin sufisme yang dia anut. Selain itu paham dan
gerakan dari Ma Wanfu juga sering disebut dengan paham dan gerakan anti
ortodoks. Meski paham sufiesme (the new of relegion) terbilang lebih liberal dan
fleksibel jika dibandingkan dengan ajaran Islam sebelumnya, tidak menjadikan
Islam pada masa itu menjadi agama yang mayoritas. Memang pemeluk Islam
meningkat jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Sejak awal kaum Uighur di Xinjiang tidak pernah mengakui diri mereka
sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Cina. Keyakinan mereka yang menolak
menjadi bagian dari RRC adalah karena secara historis bangsa Uighur di Xinjiang
adalah keturunan Turki dan merupakan bagian dari Republik Turkistan Timur,
wilayah yang kemudian dianeksasi oleh Cina. Wang Enmao, sekretaris pertama
Eastern Turkestan Party Committee menyatakan bahwa tindakan Cina
menganeksasi wilayah Xinjiang merupakan hal yang tidak dapat diterima. 6
Pemberontakan bersenjata yang terjadi di Baren pada April 1990
menandai peningkatan kekerasan Muslim Uighur di Xinjiang. Retorika etnis dan
agama menjadi pembenaran tindakan mereka. Kekerasan sikap Uighur menandai
kerasnya perjuangan mereka untuk meninggalkan Cina karena pemerintah Cina
yang didominasi oleh kaum Han melakukan represi militer dan budaya. Bahkan
setelah peristiwa Baren, Beijing semakin mengekang kebebasan beragama dan
menghembuskan isu revivalisme Islam dan bangkitnya nasionalisme etnis.
Perkembangan ini semakin memperkuat diskriminasi kepada kaum Uighur. Sikap
diskriminatif terhadap kaum Uighur yang ditunjukkan oleh pemerintah Cina
sudah sedemikian dalam, tidak hanya pada kebebasan mengekspresikan
spiritualitas beragama, namun diskriminasi juga ditunjukkan dalam hal kesehatan,
pendidikan dan pekerjaan, sehingga bangsa Uighur merasa betul-betul tidak
nyaman menjadi “bagian tak terpisahkan” dari RRC.
6Baiq LSW Wardhani, “Respon Cina Atas Gerakan Pan-Uyghuris di Provinsi Xinjiang,”
Jurnal Masyarkat, Kebudayaan, dan Politik Volume 24, No 4, (Januari 2011), h. 293.
30
Upaya artifisial untuk asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah Cina bagi
kaum minoritas Uighur dengan kaum mayoritas Han belum berhasil, bahkan
terancam gagal dengan sikap menentang dari kaum minoritas. Untuk mencapai
tujuan pemisahan diri, kaum Uighur membentuk organisasi-organisasi
pembebasan, seperti Eastern Turkestan People’s Party (ETPP) East Turkestan
Liberation Organization (Sharqiy Turkestan Azatliq Teshkilati; disingkat ETLO)
dan ETIM (East Turkestan Islamic Movement). Pemerintah Cina menganggap
gerakan ETIM sebagai „gravest terrorist threat‟ dan mengancam integritas
territorial Cina dan pemerintah Cina tetap memandang bahwa pertikaian Uighur‐
Han merupakan pangkal persoalan besar yang mengganggu stabilitas Cina.7
Pendidikan Muslim di Negeri Tirai Bambu pada umumnya sama dengan
pendidikan di wilayah muslim lainya. Pada mulanya pendidikan agama
berkonsentrasi pada masjid-masjid dengan menggunakan sistem halaqah atau
masyarakat muslim Cina lebih mengenalnya dengan sebutan Jingtang Jiaoyu.
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat
Muslim Cina selama periode kekuasaan Dinasti Ming dan Hui yang menjadikan
masjid-masjid sebagai pusatnya. Bahasa Arab serta Persia merupakan bagian dari
kurikulum utama dalam sistem pendidikan Islam di Cina. Bahasa Persia sendiri
merupakan bahasa asing Islam utama yang digunakan oleh masyarakat muslim
Cina dan diikuti oleh bahasa Arab. Beberapa jenderal muslim juga ikut
membiayai atau menjadi sponsor siwa muslim utuk belajar ke luar negeri.8
Pendidikan Islam di Cina juga sangat familiar dengan beberapa literatur
Cina muslim seperti Kitab Han. Seorang ulama bernama Liu Zhi menulis teks
yang bertujuan untuk membantu orang-orang Islam di Cina belajar bahasa Arab.
Sementara itu, kamus Arab-Tionghoa merupakan kamus pertama yang disusun
oleh Shaik Elias Wong Ching pada tahun 1925 yang diterbitkan di Tientsin.
7Bhavna Singh, “Ethnicity, Separatism, and Terrorism in Xinjiang: Cina‟s Triple
Conondrum,” The Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS), No. 96. New Delhi, IPCS. 2010.
dalam Baiq LSW Wardhani, Respon Cina Atas Gerakan Pan-Uighurisdi Provinsi Xinjiang, h.293.
8 Ismail Suardi Wekke Rusdan, “Minoritas Muslim di China Perkembangan, Sejarah dan
Pendidikan,” Jurnal Ijtimaiyya, Volume 10, No. 1, (Mei 2017), h. 166.
31
Selain membuat kamus, ia juga gigih dalam menerjemahkan al-Quran dari bahasa
Arab ke Cina.9
Pada masa Republik Cina, pemerintah mendukung Akademi Guru
Chengda yang membantu mengatur era baru dalam pendidikan Islam di Cina.
Mereka memperkenalkan semangat nasionalisme dan bahasa Cina di kalangan
umat Islam serta menggabungkan sepenuhnya ke dalam aspek utama masyarakat
Cina. Bahkan perhatian pemerintah Cina pada masa itu terhadap pendidikan Islam
sangat besar. Terbukti pemerintah pada masa itu sengaja menyediakan dana untuk
Federasi Keselamatan Nasional Islam Cina untuk pendidikan Islam di negeri
tersebut. Adapun presiden federasi tersebut dijabat oleh Jenderal Bai Chongxi (Pai
Chung-his) dan wakilnya yaitu Tang Kesen (Tang Ko-San). 40 sekolah dasar
Sino-Arab juga didirikan di Ningxia oleh gebernurnya yakni Gubernur Hongkui.10
Pada perkembangan selanjutnya, sisitem pendidikan yang sederhana
secara perlahan tapi pasti mulai menuju perguruan tinggi yang bersifat lebih
modern. Revisi dilakukan pada buku-buku Islam. Umat Islam di Cina juga mulai
mengenal pendidikan modern namun masih bersifat swasta. Adapun biaya yang
diperlukan untuk keberlangsung institusi-institusi pendidikan ini menggunakan
biaya sendiri tanpa ada ikut campur dari pemerintah. Adapun salah satu tokoh
muslim Cina yang terkenal gigih membantu proses pembangunan pendidikan di
Cina adalah Muhammad Ma Jian (Muhammad Makin, 1906-1978 M). Dia adalah
seorang sarjana Islam Cina sekaligus penerjemah dari Provinsi Yunnan dari Cina
Barat Daya.
Daerah yang menjadi basis penduduk Muslim juga menjadi tempat dimana
banyak perguruan tinggi Islam lahir. Begitu juga dengan sekolah lanjutan seperti
Now West College yang berdiri di Peking, Ming The Secondary School yang ada
di Provinsi Yunnan, Mu Sing Secondary School di Chinghai, Kun Loon Middle
9 Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam Di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 329.
10
Riedha Faridha, dan Nor Huda, “Islam Di Cina Pada Masa Pemerintahan Republik
Nasionalis, 1911-1949,” Jurnal Tamaddun, Volume 14, No.2, (Juli 2015), h. 19.
32
School di Chinghai dan Cheng Ta Islamic Normal School di Tsianan dan Peking.
Serta Kang Chow yang terletak di Provinsi Kansu pernah menjadi kiblat utama
pengkajian Islam hingga tahun 1928. Namun dalam aksi serangan yang dilakukan
oleh Fang Yu Hiang menyebabkan banyak kerusakan sehingga dengan terpaksa
pusat kajian Islam pindah ke Peking.11
Berdirinya sejumlah perguruan tinggi di Peking tidak dapat dilepaskan
dari peran tokoh muslim yang cukup disegani yaitu Jenderal Ma Fo Hiang.
Karena kegigihanya, dia mendapat bantuan dari pemerintah yang ada di Peking
guna membangun pendidikan di wilayah tersebut. Jenderal tersebut setidaknya
telah membangun 12 tempat pendidikan di sekitar masjid-masjid. Oleh karena itu
ketika ada rencana pemindahan college dari Tsinan ke Peking, Ma Fo Hiang
sangat menyambut rencana tersebut bahkan biaya bulanan di college ditanggung
oleh keluarganya serta orang-orang muslim kaya yang ada di Peking. Terdapat
sebuah catatan dari Badarudin Chini (1935 M) yang menyebutkan bahwa sistem
pendidikan college di Peking sangat maju dengan pembagian tiga kelompok study
yaitu: kelompok remaja/junior, madya/senior dan kelompok umum.12
Selain Jenderal Mang Fo Hiang, terdapat tokoh Islam lainya yang
berusaha untuk membangun lembaga pendidikan Islam di daerah Peking. Sebagai
contoh Shaik Muhammad Wang Hao Jan yang membangun sekolah dasar
(Primary Muslim School) pada tahun 1910 M. Ada juga Shaik Nur Muhammad
Ta Pu Sheng pimpinan dari perguruan tinggi Madrasah Muallimin (Islamic
Normal School) yang berdiri pada tahun 1928 M. Dari Madrasah Muallimininilah
Muahammad Ma Chien (Makin) dikirim ke Mesir untuk menuntut ilmu. Selain
itu, ada juga beberapa orang yang dikirim seperti H. Abubakar F. T. Hu dan
Dawoud C.M. Ting. Selain Madrasah Muallim, Madrasah Muallimin Wan Hsien
11
Ismail Suardi Wekke Rusdan, “Minoritas Muslim di China Perkembangan Sejarah dan
Pendidikan”, h. 167.
12
Riedha Faridha, dan Nor Huda, “Islam Di Cina Pada Masa Pemerintahan Republik
Nasionalis, 1911-1949,” h. 20.
33
(Hsein Islamic Normal School) juga pernah mengirimkan beberapa utusan
pelajarnya untuk menimba ilmu ke Mesir.
Meski sekolah-sekolah tersebut diperuntuhkan bagi umat Islam, namun
untuk pelajaran matematika, fisikia, hitorgeografi dan beberapa ilmu terapan
lainya yang bersifat umum tetap diajarkan oleh guru-guru yang berkompeten di
bidangnya tanpa mempermasalahkan latar belakang keagamaan mereka. Pelajaran
tentang prinsip dan administrasi edukasi, psikologi etika dan civis diajarkan pada
tingkat perguruan tinggi. Ada juga Mu Hsin Midle School (Sekolah Menengah
Pembaharuan Islam) yang terletak di Hankow, provinsi Chekiang yang berdiri
pada tahun 1928 M. Hebatnya tidak hanya menampung pelajar muslim, non-
muslim juga dapat ikut menimba ilmu di lembaga pendidikan ini.13
Perkembangan pendidikan Islam di Cina selain dapat ditelusuri melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan journal/majalah Islam yang menginspirasi,
selama Islam mewarnai beberapa dinasti yang ada di Cina hingga masa revolusi
terdapat para tokoh cendikiawan terkenal karena pencapaian bidang akademiknya
diantaranya adalah: Dalam bidang Sastra ada Lee Yen Shen, Lee Hsuin dan Lee
Shun mereka terkenal sebagai cendekiawan dalam bidang Sastra, pada masa
kekaisaran Dinasti Tang. Selanjutnya ada Wang Daiyu (1584-1670), dia adalah
pencipta dari teori pembela Islam dengan membedakan dengan budaya Cina. Ia
juga sangat mahir dalam bidang studi pengetahuan klasik Cina dan telah
menyebarkan inti dari ajaran Islam kepada masyarakat Cina. Tidak bisa
dipungkiri, pemikiran Wang Daiyu banyak mempengaruhi umat Islam sepanjang
sejarah. Adapun karya-karya monumentalnya yang terkenal hingga kini adalah
True Explanation on The Right Religion (Islam), High Learning in Qing Zhen
(Islam).14
13
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam Di Tiongkok, h. 334.
14
Asmanidar, “Potret Tamaddun Islam Di Negeri Tirai Bambu: Mulai Dari Masa Dinasti
Tang Hingga Republik China,” Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume 14, No. 2, (Februari 2015),
h. 205.
34
Perkembangan pendidikan Islam di Cina telah melahirkan banyak
cendekiawan, lembaga-lembaga pendidikan dan pemikiran orisinil yang tidak
hanya bermanfaat bagi masyarakat muslim Cina namun juga bagi perkembangan
budaya Cina secara keseluruhan. Meski beberapa kali umat Islam Cina
mendapatkan tekanan dari Dinasti yang berkuasa saat itu, namun dengan
kegigigan dan semangat belajarnya tidak mengurangi niat mereka untuk tetap
mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian dari mereka rela
menyisihkan harta kekayaanya untuk membangun dan membiayai lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang sering kali tidak mendapat respon dari penguasa
pada saat itu. 15
Sistem pendidikan yang diterapkan umat Islam juga menunjukkan adanya
sebuah langkah progresif dari waktu ke waktu. Hal ini terlihat jelas ketika
perkembangan awal pendidikan Islam di Cina masih memanfaatkan masjid
sebagai tempat utama untuk saling tukar pengetahuan (atau yang sering disebut
halaqah). Model halaqah dengan memanfaatkan masjid sudah menjadi ciri khas
pendidikan Islam di abad pertama berdirinya Islam. Dengan kondisi politik yang
fluktuatif bagi umat Islam Cina, secara mengejutkan mereka mampu
meningkatkan model sistem pendidikan yang lebih modern yaitu model sistem
pendidikan perguruan tinggi mengikuti perkembangan zaman modern pada masa
itu. Untuk yang kesekian kalinya, dalam sektor pendidikan umat Islam Cina
berhasil membuktikan bahwa dengan jumlah minoritasnya mereka tetap survive
tidak hanya untuk menegakkan panji-panji Islam namun juga untuk masa depan
Cina yang lebih gemilang.
B. Kondisi Sosial dan Politik Muslim Uighur
Secara garis besar, umat Islam di Cina dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kelompok kebangsaan utama yaitu: Turki yang terdiri dari orang-orang
Uighur, Kirghiz, Kazakh, Uzbek dan orang-orang muslim percampuran antara
bangsa Salar dan Hicu. Uighur sendiri merupakan kelompok inti penduduk
15
Ismail Suardi Wekke Rusdan, “Minoritas Muslim di China : Perkembangan, Sejarah,
dan Pendidikan,” h. 177.
35
muslim yang ada di Turkestan Timur. Penduduk pribumi atau non-Islam sering
memanggilnya dengan sebutan Hui Hui, sementara Tajik merupakan sebutan bagi
muslim lainya yang menggunakan bahasa Persi. Terdapat pula muslim Mongol,
Lolo, Sihia, Tao dan juga Tibet yang merupakan bagian minoritas dari Muslim
Cina. Meski demikian, orang-orang Islam di Cina sendiri lebih suka menyebut
mereka dengan sebutan Chew-Min, sementara agamanya disebut dengan Tsing
Ching Chew yang artinya “agama yang suci”.16
Perekonomian di kawasan
Xinjiang sebagian besar perada dakam sektor pertanian dan perdagangan dengan
wilayah seperti Kashgar berkembang sebagai “Jalur Sutra”17
yang terkenal di
Cina.
Pasca revolusi Cina, mereka berusaha untuk mempertemukan antar
berbagai golongan bangsa dan membentuk persatuan diantara masyarakat Cina.
Orang muslim sendiri tidak bisa lepas dari kebudayaan Hang yang sudah
mengakar kuat dalam tradisi Cina. Meski demikian dalam hal perkawinan, nilai
moral, makanan dan etika sosial tetap pada batasan-batasan agama Islam. Tidak
ditemukan perkawinan campuran antara muslim dengan non-muslim, bahkan
untuk bisa menikahi seorang perempuan non-muslim (yang menurut hukum syar‟i
diperbolehkan), adat masyarakat muslim Cina tetap mengharuskan calon
mempelai perempuan untuk masuk agama Islam terlebih dahulu. Apabila hal itu
tidak dilakukan maka pernikahan juga tidak akan pernah berlangsung.18
Memang pada dasarnya masyarakat muslim Cina cenderung hidup
komunal19
yang terpisah dari penduduk yang memiliki kepercayaan yang berbeda,
16
M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, (Jakarta: Tintamas, 1967), Hlm. 30
17
Jalur Sutra merupakan sebuah jalur perdagangan melalui Asia yang menghubungkan
antara Timur dan Barat dengan dihubungkan oleh pedagang, pengelana, biarawan, prajurit,
nomaden dengan menggunakan karavan dan kapal laut, dan menghubungkan Chang‟an, Republik
Rakyat Tiongkok, dengan Antiokhia, Suriah, dan juga tempat lainnya pada waktu yang bervariasi.
Dikutip dari https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka-ekonomi/jalur-sutera-abad21-
apa-untungnya, diakses pada 26 November 2019 Pukul 12.43 WIB.
18
M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, h. 16-17.
19
Komunal berkaian dengan Komune : Kelompok orang yang hidup bersama. Dikutip
dari https://kbbi.web.id/komune, diakses pada 22 Oktober 2019 Pukul 13.30 WIB.
36
baik itu ketika mereka tinggal di kota maupun di desa. Meski demikian, mereka
selalu berusaha untuk menjaga sikap agar terhindar dari sifat pamer atau
melakukan konfrontasi yang sekiranya dapat menyulut/menyinggung perasaan
penganut agama lain. Umat Islam Cina biasanya juga membuat kampung-
kampung khusus untuk mereka. Dan bagi orang-orang Han, sangat mudah untuk
mengenali rumah-rumah orang Muslim karena mereka memiliki konsep bentuk
rumah yang berbeda.20
Kehidupan sehari-hari masyarakat muslim Cina sepenuhnya adalah
kebiasaan dan tata cara kehidupan masyarakat setempat seperti halnya rambut
panjang yang dikucir khas ala masyarakat Cina. Tradisi ini sudah ada sejak zaman
Dinasti Manchu dan mereka masih menggunakan sebagian besar kebiasaaan
tersebut hingga masa kini. Cara berpakain juga tidak jauh berbeda dengan
masyarakat Cina non-muslim pada umumnya. Yang membedakan, umat Islam
Cina akan menggunakan tambahan sorban ketika hendak pergi ke masjid.21
Di daerah Xinjiang, kaum muslim laki-laki menggunakan penutup kepala
berukuran kecil yang berwarna-warni serta bersulam. Ada juga yang
menggunakan sorban dari bahan katun berwarna putih dan kuning. Sedangkan di
beberapa daerah Xinjiang yang lainya, kaum laki-laki muslim menggunakan peci
(kufiah) ketika menunaikan shalat jumat. Adapun pemakaian sutera hanya
diperuntuhkan bagi para perempuan muslim dan laki-laki yang dianggap sebagai
pemuka agama.22
Islam dengan tegas melarang umatnya untuk memakan beberapa jenis
makanan tertentu. Aturan ini juga diterapkan oleh masyarakat muslim di Cina
dengan cara berhati-hati dalam memilih makanan. Mereka tidak memakan daging
babi, darah, bangkai, hewan persembahan serta hewan-hewan yang diharamkan
20
Dawoud C.M Ting, Kebudayaan Islam Di Cina, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 398.
21
Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (Jakarta: Widjaya, 1979), h. 26.
22
Riedha Faridha, dan Nor Huda, “Islam Di Cina Pada Masa Pemerintahan Republik
Nasionalis 1911-1949,” h. 156.
37
lainya. Mereka juga menghindari mengkonsums rokok, araka dan opium (candu).
Rumah makan halal juga banyak dibangun di sana dengan tidak menyediakan
masakan berbahan daging babi. Sementara itu arak masih tetap tersedia untuk
kalangan orang non-muslim dan mereka akan memisahkan cangkir-cangkir yang
digunakan untuk menuang arak dengan cangkir yang digunakan oleh orang Islam.
Mereka juga mempunyai kedai, toko roti dan parfum yang tidak mengandung
alkohol atau obat-obatan yang tidak diperbolehkan oleh Islam. Umat Islam di
Cina juga terkenal ulet dalam bidang perekonomian dan dagang seperti halnya
masyarakat pribumi pada umumnya.23
Karena terlalu lama putus hubungan dengan dunia luar secara tidak sadar
umat Islam Cina telah membuat mereka menjadai sedikit terpengaruh oleh ajaran
konfusianisme dan Budhisme dalam beberapa hal. Di antaranya dalam hal
penyebutan tempat ibadah yang menggunakan kata syih yang berarti masjid. Kata
syih sendiri merupakan penyebutan kuil bagi agama Budha. Masjid-masjid yang
ada di Cina juga memiliki kemiripan dengan kuil Kong Hu Chu dan kuil Budha
apabila diamati dari luar.24
Karena pada masa kekaisaran Manchu, tidak diperbolehkan
masyarakatnya membangun di luar bentuk bangunan yang lumrah pada zamanya.
Sikap Dinasti Manchu yang terang-terangan memusuhi umat Islam Cina
menyebabkan keterbelakangan dan kesengsaraan banyak hal bagi kaum Muslim
Cina. Meski demikian, imbas dari tindakan represif dari Dinasti Manchu ini tidak
dialami oleh umat Islam secara keseluruhan. Terdapat daerah-daerah dimana umat
Islam yang tinggal di pedalaman atau terpencil jauh dari pusat kota hidup dalam
situasi yang biasa saja. Pasca revolusi nasionalis, para revolusioner bergerak
untuk menjangkau mereka guna memperbaiki kehidupan mereka yang lebih baik
lagi. Pada dasarnya mereka tidak dapat dikatakan ketinggalan apabila
dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di daerah dekat dengan peradaban
kota. Bahkan mereka memiliki posisi yang cukup strategis dalam perdagangan,
23
Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam, h. 270.
24
Thomas W Arnold, Sejarah Dakwah Islam, h. 26.
38
pertanian dan peternakan. Mungkin karena Tiga Asas Rakyat (San Min Chu I)
yang diusung oleh Dr. San Yet Sen ketika melakukan revolusi yang membuat
pemerintah merasa perlu untuk memperhatikan dan tidak membiarkan seorangpun
masyarakatnya yang tidak terjamah oleh pemerintah.25
Apabila melihat kehidupan sosial masyarakat Islam di Cina, terlihat jelas
bahwa mereka dapat membaur dengan budaya masyarakat setempat. Mereka tetap
menjunjung tinggi adat istiadat yang ada, di samping mereka tetap berusaha
menjalankan perintah agama. Akulturasi budaya semacam ini hanya dapat
ditemukan pada daerah-daerah yang menerima Islam melalui cara damai. Tidak
seperti penyebaran Islam di kawasan Timur Tengah yang menggantikan budaya
setempat (pribumi) dengan budaya Arab, Islam di Cina lebih fleksibel dan mampu
menyesuaikan diri dengan situasi rezim pada masanya. Alasan inilah yang
sekiranya membuat Islamtetap eksis hingga saat ini di negeri yang berpaham
komunis meski dengan jumlah yang minoritas.
Pecahnya revolusi Cina pada tahun 1911 hingga pada saat Cina Baru
terbentuk di tahun 1949 wilayah Xinjiang dikuasai oleh empat gubernur yaitu
diantaraya Yang Zengxin, Jin Shuren, Sheng Shicai, dan dominasi pemerintah
Kuomintang.
Yang Zangxin26
gubernur Xinjiang Pertama setelah Revolusi Cina sudah
sangat memahami wilayah Xinjiang berikut Islam yang menjadi mayoritas
dikarenakan sudah menghabiskan sebagian besar kariernya di Hezhou dan
Xinjiang, sehingga sudah tahu banyak mengenai doktrin dan sekte Islam. Yang
Zangxin turut aktif dalam memperjuangkan dukungan dari lingkaran atas umat
Islam di Xinjiang, memberikan perlakuan istimewa pada kaum bangsawan etnis
Uighur sehingga dapat bersama mengontrol umat Islam. Bukan hanya karena
25
Ismail Suardi Wekke Rusdan, Minoritas Muslim di Cina : Perkembagan, Sejarah, dan
Pendidikan, Hlm. 165.
26
Yang Zengxin ialah seorang kandidat sukses dalam ujian kerajaan tertinggi pada masa
Dinasti Qing, Lahir di Kabupaten Mengzi, Provinsi Yunnan. Lihat Mi Shoujiang dan You Jia,
Islam In Cina, h. 108.
39
sepenuhnya mengakui gelar dan jajaran bangsawan kelompok minoritas di
Xinjiang yang diberikan oleh Dinasti Qing dan membatasi hak istimewa mereka,
tetapi juga melaporkannya kepada Pemerintah Warlords Utara untuk konfirmasi
ulang dan promosi sehingga dapat memperkuat posisi kekuasaannya. Dalam
kepemimpinannya Yang Zangxin mengadopsi serial langkah-langkah untuk
mengendalikan pemikiran “Double-Pan” yaitu Pan-Islamisme dan Pan-Turkisme
yang muncul di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia mengambil tindakan
pencegahan yang ketat terhadap orang asing yang datang ke Xinjiang dengan
memeriksa identitas mereka sehingga tidak memungkinkan begi mereka untuk
terlibat dengan penduduk setempat, atau mengusir mereka dsn mempropaganda
mereka. Dia juga melarang orang asing untuk mempropagandakan pemikiran-
pemikiran “Double-Pan”, guru asing yang menyebarkan pemikiran “Double-Pan”
di sekolah akan diusir oleh pemerintah daerah, dan sekolah tersebut akan ditutup.
Jin Shuren27
diangkat menjadi gubernur di Xinjiang oleh Pemerintah
Republik setelah Yang Zengxin dibunuh.Jin Shuren melakukan sikap pencegahan
yang ketat terhadap maslaah agama. Kebijakannya tentang etnis dan keagamaan
bersifat diskriminatif dan supresif28
yang semakin menumbuhkan kontradiksi
antara kelompok etnis di Xinjiang. Kebijakannya yang kontroversial di antaranya
Dia mengatur pengungsi dengan tidak bijakana dengan membebankan biaya pada
para petani Uighur berkaitan dengan irigasi pertanian mereka.
Sheng Shicai29
membangun rezim feodal di Xinjiang yang memanfaatkan
kondisi yang terjadi yautu pasca terjadinya pemberontakan di wilayah Hami pada
tahun 1930. Sheng Shicai memamerkan kesetaraan etnis dan kebebasan beragama,
27
Jin Shuren seorang mahasiswa Yang Zengxin yang datang ke Xonjiang setelah lulus
dari Sekolah Tinggi Gansu lalu diangkat menjadi hakim kabupaten dari Aksu dan wilayah lain,
dan dipromosikan ke posisi direktur Departemen Urusan Sipil Provinsi Xinjiang pada tahun 1926
.Lihat Mi Shoujiang dan You Jia, Islam In Cina, h. 110.
28
Supresif adalah bersifat menindas. Dikutip dari https://kbbi.web.id/rasial, diakses pada
22 Oktober 2019 Pukul 13.45 WIB.
29
Sheng Shicai lahir di keluarga militer di Shenyang. Dia telah belajar ke Jepang dua kali
untuk belajar, dan menduduki sebuajh posisi di markas umum Tentara Revolusioner Republik
setelagi ia kembali ke Cina, .Lihat Mi Shoujiang dan You Jia, Islam In Cina, h. 112.
40
namun ketika situasi politik berubah, ia melakukan penganiayaan berdarah pada
tokoh-tokoh dalam kelompok minoritas dan mengadopsi kebijakan untuk
menghapuskan Islam di Xinjiang. Pemerintah provinsi Xinjiang menerbitkan
Deklarasi administrasi yang dikenal dengan “Delapan Deklarasi” yang
menempatkan masalah agama diatas semua masalah yang lainnya yang
diterbitkan pada pada tanggal 12 April 1934. Lalu disusul dengan dirumuskannya
“Enam Kebijakan” sebagai pelengkap pedoman aturan, yaitu (1) menentang
imperialisme, (2) mendukung Uni Soviet, (3) memegang teguh kesetaraan etnis,
(4) menjadi jujur dan tegak, (5) memelihara perdamaian, dan (6) menjadi
konstruktif.
Pada periode awal pelaksanaan kebijakan ini menghasilkan beberapa efek
positif di antaranya pengakuan otoritas tokoh dari kelompok etnis minoritas ke
dalam pemerintahan, dan sebagai hasilnya kontradiksi etnis dikurangi sampai
batas waktu tertentu. Di Provinsi Kedua Perwakilan Rakyat Majelis Xinjiang,
Badan Federasi Rakyat Xinjiang dibentuk untuk menangani berbagai kasus
khusus yang berhubungan dengan etnis diantaranya pula tergabung didalamnya
etnis Uighur. Meskipun demikian, enam kebijakan tersebut sebenarnya hanya
merupakan sebuah taktik di mana Sheng Shicai membangun pemerintahan
autokrasinya. Setelah ia menguasai tanah Xinjiang, Sheng Shicai mulai
menganiayan muslim, menuduh mereka merencanakan pemberontakan. Pada
awalnya menangkap orang-orang berpengaruh dan kuat dari kelompok minoritas,
dan kemudian menyeret mereka ke dalam kasus pemberontakan dan menghukum
mereka di benjara bahkan melakukan eksekusi terhadap mereka.
Lalu pada akhirnya Xinjiang memasuki pengendalian kekuasaan kiri
langsung dari Kuomintang. Pemerintah Kuomintang mengirim Zhang Zhizong
untuk negosiasi perdamaian di Dihua, di mana protokol perdamainan
ditandatangani dan mendirikan Pemerintah Provinsi Koalisi. Pada bulan Januari
1949, Bao‟erhan mengambil jabatan ketua Pemerintah Provinsi Xinjiang dan pada
19 September 1949 dia menelpon Mao Zedong, menunjukkan bahwa ia telah
memutuskan untuk melepaskan diri dari pemerintah Kuomintang. Pada tanggal 20
41
Oktober 1949 pelopor dari Tentara Pembebasan Rakyat masuk Dihua dan menjadi
paukian penjaga di sana, dan Xinjiang dibebaskan secara damai.30
C. Akar Konflik Muslim Uighur
Terdapat beberapa faktor yang menjadikan konflik di Xinjiang menjadi
perhatian internasional. Salah satu yang terpenting adalah faktor minyak. Faktor
ini berkontribusi terhadap penindasan kemajuan ekonomi di kawasan itu. Faktor
minyak memberi signifikansi atas aspek lingkungan dari perjuangan antara
Uighur melawan kaum Han.31
Xinjiang merupakan ladang minyak yang sangat
penting bagi Cina, terutama pada saat Cina sedang mencapai status negara industri
maju. Krisis energi global mengharuskan Cina memberi perhatian khusus pada
Xinjiang yang mampu membuat Cina menjadi negara besar dan diperhitungkan di
persaingan global. Didasari oleh arti strategis Xinjiang bagi Cina dan dunia
internasional, setiap keinginan Xinjiang untuk membangun hubungan dengan
dunia luar membuat Cina merasa terancam karena membaiknya hubungan
komunikasi dan transportasi Xinjiang dengan dunia luar akan melemahkan
kebijakan integrasi Cina atas kaum Uighur. Ditemukannya cadangan besar sumber
daya alam strategis di Xinjiang, khususnya minyak dan gas alam, telah
menghasilkan ketegangan dan menjadikan pemisahan diri Xinjiang semakin
kompleks. Dengan demikian, secara bersamaan faktor minyak dan lokasi
geografis Xinjiang memberi makna tertentu pada jenis konflik yang terjadi di
wilayah ini karena konflik tersebut memiliki dimensi internasional yang penting.
Pemerintah Cina saat ini lebih intensif dalam mengeluarkan kebijakan dan
tindakan kerasnya terhadap warga Uighur. Hal ini terjadi setelah adanya protes
jalanan pada 1990-an dan aksi protes lagi menjelang Olimpiade Beijing pada
2008. Namun, di tahun 2009 kekerasan terhadap muslim Uighur lebih meningkat
30
Mi Shoujiang dan You Jia, Islam in Cina, h. 115.
31
Datangnya kaum Han ke Propinsi Xinjiang pada tahun 1949 sebagaian besar
disebabkan karena dibangunnya Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) (Xinjiang
shengchan jianche bingtuan), dikutip dari http://Cinaperspectives.revues.org/648, diakses pada 16
Januari 2020 Pukul 14.18 WIB.
42
lagi yaitu yang ditandai dengan kerusuhan etnis skala besar di ibukota Urumqi.
Sekitar 200 orang tewas dalam kerusuhan. Keamanan ditingkatkan dan banyak
orang Uighur ditahan sebagai tersangka.32
Pada Juni 2012, enam orang Uighur dilaporkan mencoba membajak
sebuah pesawat dari Hotan ke Urumqi, namun mereka berhasil diringkus oleh
sejumlah penumpang dan awak.33
Terjadi pertumpahan darah pada April 2013,
disusul kekerasan Juni 2013, di distrik Shanshan yang menewaskan 27 orang
setelah polisi menembaki sekelompok ortang yang menurut media pemerintah
adalah gerombolan bersenjatakan pisau yang menyerang bangunan pemerintah
setempat. Menetapkan fakta tentang insiden ini sulit, karena akses jurnalis asing
ke wilayah ini dikontrol ketat. Tetapi dalam beberapa bulan terakhir, tampaknya
terjadi pergeseran kekerasan, yang mengarah ke serangan skala besar dengan
sasaran warga, terutama di Xinjiang. Sedikitnya 31 orang tewas dan lebih dari 90
orang menderita luka-luka pada Mei 2014 ketika dua mobil menabrak secara
sengaja pasar Urumqi disusul pelemparan bahan peledak ke kerumunan. Cina
menyebutnya sebagai "insiden kekerasan teroris ". Sebelumnya terjadi serangan
bom dan pisau di stasiun kereta api selatan Urumqi pada bulan April, yang
menewaskan tiga orang dan melukai 79 lainnya.34
Beberapa kekerasan juga tumpah meluber dari Xinjiang. Sebuah aksi
penikaman di Kunming pada bulan Maret 2014 di provinsi Yunnan, menewaskan
29 orang, dan pemerintah menyebut separatis Xinjiang adalah pelakunya, seperti
juga kejadian Oktober 2013, ketika sebuah mobil menabrak kerumunan dan
terbakar di alun-alun Tiananmen. Beijing. Aparat kemudian meluncurkan apa
32
Mengapa Terus Terjadi Ketegangan antara Pemerintah Cina dan Suku Uighur, dikutip
dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641, diakses pada 26 November 2019 Pukul
10.48 WIB.
33
Dikutip dari https://internasional.kompas.com/read/2012/06/29/16541779
/Cina.Gagalkan.Upaya.Pembajakan.Pesawat , diakses pada 26 November 2019 Pukul 12.27 WIB.
34
Dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641, diakses pada 26
November 2019 Pukul 12.58 WIB.
43
yang mereka sebut "kampanye satu tahun melawan terorisme", meningkatkan
keamanan di Xinjiang dan meningkatkan latihan militer di wilayah tersebut.35
Kerusuhan yang telah disebutkan di atas merupakan bentuk kemarahan
orang-orang Uighur terhadap kebijakan diskriminatif Pemerintah Cina. Alih-alih,
itu mendorong Tiongkok untuk membatasi kaum Uighur sangat gerakan dan
kebebasan. Selain itu, banyak serangan teroris Muslim di luar Xinjiang dan Cina
sendiri berkontribusi pada pembatasan yang semakin berat Hak kebebasan
Uighur. Pejabat Cina telah didedikasikan untuk konsep "kamp pendidikan ulang"
sejak 2014.36
Ada juga laporan-laporan tentang vonis massal dan penangkapan sejumlah
“kelompok teror”. Media pemerintah Cina telah melaporkan daftar panjang orang-
orang yang dihukum karena aktivitas ekstremis dan dalam beberapa kasus,
hukuman mati. Ada salah satu warga Uighur yang bernama Ilham Tohti yang
ditahan atas tuduhan sparatisme pada September 2014. Sejak 2016, Republik
Rakyat Cina membuat kebijakan represif terhadap etnis Uighur di Xinjiang
dengan menugaskan pejabat intelijen sebagai "adopsi" anggota keluarga sipil,
serta menginstal spyware wajib untuk melakukan pengawasan di daerah tersebut.
Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga
satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang
barat, dan di sana mereka menjalani apa yang disebut program 'reedukasi, atau
'pendidikan ulang'. Pemerintah Cina membantah tudingan kelompok-kelompok
HAM itu. Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif
terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.
Kamp pendidikan ulang ini adalah lembaga yang didirikan oleh
pemerintah Provinsi Xinjiang pejabat untuk melakukan indoktrinasi politik
35
Dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641, diakses pada 21
Oktober 2019 Pukul 10.35 WIB
36
Ayu Suci Rakhima dan Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, “Gross Violations of Human
Rights Veiled within Xinjiang Political Reeducation Camps,” Jurnal Kertha Patrika, Volume 41,
No. 1, (April 2019), h.2.
44
melalui penahanan dan perampasan kebebasan bergerak menuju Uighur.
Ironisnya, Konsulat Cina untuk Kazakhstan pada Februari 2018 membantah
keberadaan kebijakan seperti itu diberdayakan berlatih di Xinjiang,37
begitu pula
Kementerian Luar Negeri Cina pada Mei 2018. Namun, dalam pernyataannya
kepada media, pejabat Pemerintah Cina tidak menyatakan pernyataan mereka
mengenai Problematika Uighur ini. Tidak ada fakta yang menguatkan pernyataan
mereka. Peningkatan Jumlah Muslim Uighur yang ditahan di kamp pendidikan
ulang pada periode 2015 hingga 2018 relatif cepat dan konstan selalu
meningkat.38
37
Consul of General Cina Denies Reports on Political Education Camps for Uighurs in
Cina’s Xinjiang, dikutip dari https://akipress.com/news:602025, diakses pada 18 Desember 2019
Pukul 12.20 WIB.
38
Around 120,000 Uighurs Detained for Re-education in Xinjiang’s KashgarPerfecture,
dikutip dari https://www.rfa.org/english/news/Uighur/detentions/01222018171657.html, diakses
pada 18 pada Desember 2019 Pukul 12.30 WIB.
45
BAB IV
PERSEKUSI MUSLIM UIGHUR DITINJAU DARI ASPEK HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
A. Persekusi Muslim Uighur
Peristiwa kejahatan yang menimpa etnis Muslim uighur di Cina telah
menjurus kepada kejahatan genosida atau usaha pembersihan etnis. Hal
tersebut dilakukan oleh pemerintah Cina secara sistematis, dimulai dengan
kebijakan – kebijakan pemerintah yang menyudutkan keberadaan muslim
Uighur, hingga adanya propaganda pemerintah yang menjadikan muslim
Uighur sebagai kambing hitam atau etnis yang disalahkan atas kejadian
berdarah yang terjadi pada tanggal 5 Juli 2009. Walaupun fakta sebenarnya
yang terjadi di lapangan adalah banyaknya korban jiwa yang jatuh di pihak
Muslim Uighur sebanyak kurang lebih 200 orang tewas dan melukai 1.700
orang terluka dalam peristiwa tersebut dan semuanya adalah Muslim Uighur,
yang kemudian propaganda tersebut tumbuh dan berkembang sehingga
menyulut kemarahan etnis Han terhadap etnis muslim Uighur.1
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum
internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan
penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan
penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah
secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai
tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang
dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya
kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis,
seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di
Rwanda dan Yugoslavia.
1 Muhammad Fajrin Saragih, Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim
Uighur di Cina Ditinjau dari Hukum Humaniter, h. 14.
46
Tindakan persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap
Muslim Uighur telah melanggar ketentuan hak asasi manusia dan menjadi
perhatian internasional. Diantara pelanggaran HAM yang terjadi yaitu pihak
tentara Cina di Xinjiang kembali melakukan kekerasan terhadap warga
Muslim Uighur yang menyebabkan sekurang-kurangnya 8 orang warga etnis
Uighur ditembak mati atas tuduhan menyerang pejabat polis dan menggelar
mereka sebagai “pengganas” atau “muslim ektrimis”. Keganasan yang terbaru
ini dilaporkan berlaku di wilayah Yarkand yaitu Kashgar.
Dilaporkan bahawa puluhan Muslim Uighur di Xinjiang telah meninggal
dunia akibat ditembak mati oleh pihak rezim komunis Cina atas tuduhan
“keganasan” dan digelar sebagai “muslim ekstrimis”, di mana tuduhan
tersebut sama sekali tidak berasas dan tanpa bukti serta perbicaraan yang
kukuh dari mahkamah. Pertubuhan Hak Asasi Manusia mengecam tindakan
yang dilakukan oleh pihak berkuasa Cina terhadap Muslim Uighur dengan
menuduh kaum minoriti tersebut terlibat dalam keganasan dan melakukan
pemberontakan ke atas kerajaan sehingga isu tersebut dibesar-besarkan dan
menyebabkan penindasan terhadap etnis minoritas Muslim di Xinjiang
semakin berleluasa.2
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Cina awalnya tidak bertujuan
untuk membasmi Etnis Uighur secara fisik, melainkan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Cina bertujuan untuk membersihkan warga
negara Cina dari Ideologi Islam, karena menurut pemerintah ideologi Islam
merupakan penyakit yang amat menular bagi kelangsungan kehidupan
bernegara mereka dan juga bertentangan dengan Ideologi yang dianut oleh
Cina. Dalam pandangan pemerintah, warga Uighur yang menderita penyakit
tersebut harus dikarantina, dan cara pemerintah Cina untuk mencapai tujuan
tersebut adalah dengan memberdayakan warga Uighur untuki dibina dalam
2 Muhammad Fajrin Saragih, Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Muslim
Uighur di Cina Ditinjau dari Hukum Humaniter, h. 18.
47
kamp pendidikan ulang.3 Namun, dalam praktik pendidikan ulang yang ada di
kamp-kamp tersebut, orang-orang Uighur menjadi sasaran penahanan,
penyiksaan, dan perampasan sewenang-wenang kebebasan berpikir dan
beragama. Praktik-praktik yang dilakukan Pemerintah Cina dalam kamp-kamp
pendidikan ulang di Xinjiang memenuhi syarat sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan ketika dilakukan sebagai bagian dari suatu yang meluas atau
sistematis serangan diarahkan terhadap penduduk sipil mana pun. Namun, hal
ini masih belum ada cukup bukti untuk membuktikan unsur kekerasan
terhadap penduduk sipil, karena objek serangan terbatas hanya pada orang-
orang Uighur yang secara terang-terangan mempraktekan ajaran Islam secara
terbuka.
Selama dekade terakhir, kota-kota di Xinjiang telah diubah sebagai
bagian dari proyek asimilasi pemerintah. Ibukota Urumqi adalah salah satu
kota seperti itu. Bangunan-bangunan perumahan halaman bertingkat rendah
telah diruntuhkan, dengan penghuninya pindah ke gedung-gedung tinggi yang
dirancang pemerintah. Pasar terbuka dan toko-toko telah ditutup. Beijing
berencana untuk mengganti kota-kota Uighur lainnya dengan strip ritel dan
gedung-gedung tinggi untuk mencerminkan kota-kota di Cina tengah.4 Lebih
jauh lagi, warga di Xinjiang diawasi dengan ketat oleh polisi. Muslim Uighur
tidak bebas dalam beraktifitas seperti selalu diperiksa di pos-pos pemeriksan.
Di tempat-tempat umum pun Muslim Uighur tidak bisa bebas karena selalu
diawasi di manapun dan kapanpun, seperti di stasiun kereta api, jalan masuk
dan keluar kota, pusat perbelanjaan, bank, dan pom bensin.5 Polisi
3 Peraturan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur untuk Urusan Agama, 2014
menggantikan Peraturan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur tentang Pengelolaan Urusan
Agama, 1994.
4 Josh Chin, "After Mass Detentions, Cina Razes Muslim Communities to Build a
Loyal City," The Wall Street Journal, (Maret 2019). Dikutip dari
https://www.wsj.com/articles/after-mass-detentions-Cina-razes-muslim-communities-to-build-
a-loyal-city-11553079629 diakses pada 4 Desember 2019 Pukul 12.14 WIB.
5 Josh Chin,"Twelve Days in Xinjiang: How Cina's Surveillance State Overwhelms
Daily Life." The Wall Street Journal, (Desember 2017). Dikutip dari
https://www.wsj.com/articles/twelve-days-in-xinjiang-how-Cinas-surveillance-state-
overwhelms-daily-life-1513700355, diakses pada 4 Desember 2019 Pukul 12.19 WIB.
48
menganalisis wajah, kartu identitas, pola suara, dan konten telepon dengan
bantuan pemindai otomatis. Terlepas dari ketidakadilan yang sangat besar ini,
komunitas internasional tidak berbuat banyak untuk mengadvokasi hak asasi
manusia di Xinjiang.
Kaum Uighur telah lama berjuang untuk melepaskan diri dari
kekuasaaan pemerintah Cina. Sebagai sebuah wilayah yang terletak sangat
strategis, Xinjiang sebenarnya merupakan area yang sangat luas, dengan
jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, menyebabkan wilayah ini
menjadi tempat untuk pengujian nuklir, pelatihan militer, dan penjara para
buruh yang membangkang. Populasi Xinjiang yang berjumlah 18 juta
mencakup beberapa kelompok yang berbahasa etnis Turki-Muslim, penduduk
Uighur yang berjumlah delapan juta, adalah etnis dengan penduduk terbesar.
Persentase etnis Han di Xinjiang telah tumbuh pesat akibat kebijakan
pemerintah Cina yang dengan sengaja memperbesar jumlah populasi Han
agar menjadi mayoritas di Xinjiang. Sama seperti Tibet, Uighur di Xinjiang
telah berjuang untuk keberadaan budaya mereka di tengah-tengah represi
pemerintah Cina yang didukung oleh para migran Cina dari etnis yang lain.
Selain itu Uighur juga bertahan dari represi politik dalam bentuk apa
pun yang disebabkan karena perbedaan identitas. Demi menghilangkan
dominasi Uighur di Xinjiang, pemerintah Cina tidak segan-segan melakukan
penganiayaan, pemenjaraan dan penghilangan. Masjid-masjid ditutup dan
bahasa Uighur dilarang digunakan di perguruan tinggi. Rakyat Uighur
dikenakan wajib kerja tidak dibayar dalam pembangunan jaringan pipa yang
direncanakan untuk mengekspor sumber daya minyak bumi lokal ke bagian
lain dari Cina.6
Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Xinjiang Cina terhadap etnis
Uighur, PBB memang telah mengecam keras kepada pemerintah Cina atas
tindakan represif yang dilakukan terhadap etik Uighur. Namun, hal tersebut
mendapat penolakan dari pemerintah Cina mereka berdalih melalui Juru bicara
6 Baiq LSW Wardhani, Respon Cina Atas Gerakan Pan-Uighurisdi Provinsi
Xinjiang, h. 293.
49
Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, menuturkan masalah yang
terjadi di Xinjiang bukan tentang penindasan hak asasi manusia, tetapi tentang
melawan gerakan separatisme dan terorisme.7
Perilaku Pemerintah Cina kepada etnis Uighur di dalam kamp
pendidikan ulang Xinjiang memenuhi syarat sebagai pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa tindakan
tersebut dilakukan dilarang berdasarkan norma jus cogens, yang dianggap
mendasar dan merendahkan. Fakta bahwa bahkan Parlemen Eropa telah
memperhatikan masalah ini menunjukkan caranya substansial masalah ini
dalam perspektif hak asasi manusia.8
Pemerintah Cina juga melakukan pembatasan beragama bagi Muslim
Uighur di antaranya membuat kebijakan penghapusan wakaf yang diwariskan
ke masjid-masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainya. Kondisi
tersebut sangat memukul umat Islam Cina dan berpengaruh besar terhadap
tatanan kultur sosial, ekonomi, politik serta budayanya. Bahkan kaum
komunis juga menggantikan huruf Arab yang sudah menjadi ciri khas dan
budaya muslim di Sinking dan Kansu menjadi huruf Cyrillik. Dapat
dibayangkan bagaimana dua dimensi budaya tersebut digerus habis oleh kaum
komunis Cina. Tidak luput pajak untuk membiayai sekolah-sekolah muslim
juga ikut dihapus. Bahkan dalam urusan menjalankan syariat Islam, mereka
berusaha ikut campur dengan mengeluarkan peraturan yang melarang pegawai
negeri atau pejabat pemerintah untuk menjalankan puasa.9
7 Puluhan Anggota PBB Kecam Sikap Represif Cina Ke Uighur, dikutip dari
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190926085254-134-434140/puluhan-anggota-
pbb-kecam-sikap-represif-Cina-ke-uighur, diakses pada 17 Januari 2020 Pukul 11.48 WIB.
8Ayu Suci Rakhima dan Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, “Gross Violations of Human
Rights Veiled within Xinjiang Political Reeducation Camps,” h. 3.
9 Larangan berpuasa ini dilakukan pemerintah kepada penduduk muslim Uighur,
Provinsi Xinjiang Cina dengan berbagai cara. Mulai dari tetap membiarkan toko makanan
buka pada bulan ramadan, menambah porsi jam olah raga di sekolah pada siang hari, hingga
peraturan pemerintah yang tidak memperbolehkan pegawai negeri atau pekerja sekotor
pemerintahan untuk berpuasa dengan alasan dapat mengurangi produktifitas kerja. Lihat,
Kacau Otoritas Cina Larang Umat Muslim Uighur Berpuasa, dikutip dari
50
Negara-negara di dunia turut prihatin dalam melihat permasalahan yang
dialami Muslim Uighur ini. Turki dan Inggris menyatakan keprihatinan,
dengan harapan dapat melindungi kebebasan beragama dan identitas budaya di
Cina. Masih tidak ada tindakan yang diambil. Pada bulan Maret, Amerika
Serikat mengadakan pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia untuk menarik
perhatian pada masalah dan membangun momentum untuk bertindak.10
Cina
menanggapi dengan menjadi tuan rumah para diplomat dari negara-negara
seperti Pakistan, Rusia, Belarus, Kuba dan Venezuela untuk melakukan tur
"pusat pelatihan kejuruan" mereka dan meyakinkan mereka untuk memboikot
acara tersebut. Meskipun demikian, Inggris, Jerman, Belanda, dan Kanada
mensponsori itu, menarik para diplomat dari selusin negara. Negara-negara
membahas kondisi di Xinjiang sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Michelle Bachelet, kepala hak asasi manusia PBB, meminta Cina untuk
mengizinkan penyelidikan independen atas laporan pelanggaran di daerah
tersebut. Sekali lagi, tidak ada tindakan spesifik yang diuraikan.11
Beberapa
anggota PBB, terutama sekutu Muslim Cina, percaya narasi Cina bahwa kamp
adalah proyek keamanan nasional untuk memerangi terorisme. Di sisi lain,
banyak negara bertujuan untuk menghentikan penganiayaan.
B. Analisis Hukum Humaniter Internasional terhadap Persekusi
Muslim Uighur
Dalam penerapan hukum humaniter internasional, di dalamnya tidak luput
dari penegakkan hak asasi manusia. Dalam prinsip Hak Asasi Manusia, negara
https://news.okezone.com/read/2017/06/06/18/1708975/kacau-otoritas-Cina-larang-umat-
muslim-uighur-berpuasa, diakses pada 22 Oktober 2019 Pukul 13.01 WIB.
10
Nick Cumming Bruce, "U.S. Steps Up Criticism of Cina for Detentions in
Xinjiang," The New York Times, (Maret 2019), dikutip dari
https://www.nytimes.com/2019/03/13/world/asia/Cina-muslim-
xinjiang.html?rref=collection%2Ftimestopic%2FUighurs%20(Chinese%20Ethnic%20Group,
diakses pada 4 Desember 2019 11.32 WIB.
11
Nick Cumming Bruce,"U.N. Rights Chief, Denouncing 'Gross Inequalities,' Jabs at
Cina and Israel." The New York Time, (Maret 2019), dikutip dari
https://www.nytimes.com/2019/03/06/world/europe/un-rights-
bachelet.html?rref=collection%2Ftimestopic%2FUighurs%20(Chinese%20Ethnic%20Group,
diakses pada 4 Desember 2019 Pukul 11.37 WIB.
51
merupakan salah satu pihak yang memiliki power (kekuasaan), namun negara
juga memiliki batasan dalam kaitannya dengan hal ini yaitu negara tidak
diperkenankan untuk menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power).
Ditinjau dari segi hukum, negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk
melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfill) Hak Asasi
Manusia warga negaranya.12
Kewajiban negara menyangkut HAM dilakukan dengan cara melindungi
HAM setiap warga negara dan juga individu lainnya dari penyalahgunaan
kekuasaan negara, menjamin eksistensi HAM setiap individu dalam ketentuan
hukum maupun di dalam pelaksanaannya dan memenuhi HAM individu tiap
warga negara. Misalnya terhadap hak untuk tidak disiksa (right not to be
tortured), negara membuat aturan hukum yang melarang praktik-praktik
penyiksaan untuk melindungi setiap individu dari tindak penyiksaan. Negara
juga menjamin bahwa setiap individu harus benar-benar bebas dari tindak
penyiksaan, negara juga harus benar-benar memenuhi hak untuk tidak disiksa
secara nyata.
Pasca disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) yaitu Statuta Roma 1998 pada 17
Juli 1998 maka telah berlaku hukum baru yang di dalamnnya memuat
peraturan baru tentang genosida, yakni Statuta Roma. Statuta Roma
merupakan hasil dari beberapa upaya yang dilakukan oleh PBB untuk
menciptakan sebuah Pengadilan Internasional. Dalam statuta ini juga diatur
mengenai unsur-unsur kejahatan, prosedur beracara, dan pembuktian. Di
dalam Statuta Roma juga dijelaskan bahwa perintah atasan atau komandan
tidak membebaskan tanggung jawab pidananya kepada siapapun disebabkan
karena ketidaktahuan bahwa perintah tersebut melanggar hukum atau tidak
nyata-nyata melanggar hukum. Perintah untuk melakukan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum. Apabila
12
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta : Rajawali Pers,
2016), h. 59
52
perbuatan itu dilakukan karena perintah jabatan atau ketidaktahuan atas
tindakan yang dilakukan tidak membebaskan tanggung jawab pidana
pelakunya.
Statuta Roma dibuat dengan tujuan untuk menyelaraskan hukum perang
dan membatasi penggunaan senjata berteknologi maju yang terjadi pasca
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Prioritas utamanya adalah untuk
mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan teradap
kemanusiaan. Dengan adanya Statuta Roma, para pelaku tindak kejahatan
teradap umat manusia tidak dieksekusi di kotak umum atau dikirim ke
perkemahan penyiksaan, namun mereka diperlakukan sebagai penjahat dengan
sidang reguler, hak untuk membela diri dan praduga tak bersalah. Pasal 24
Statuta Roma menyatakan “Tidak seorangpun bertanggung-jawab secara
pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum
diberlakukannya Satuta ini”. Statuta ini mulai diberlakukan pada tanggal 1
Juli tahun 2002 dan menjadi dasar dibentuknya Pengadilan Kriminal
Internasional (International Criminal Court) pada tahun 2002. Pengadilan
Kriminal Internasional merupakan sebuah, tribunal permanen untuk menuntut
individual yang melanggar pada ketentuan Statuta Roma untuk membantu
sistem yudisional nasional yang telah ada. Oleh karena Statuta Roma menjadi
dasar berdirinya International Criminal Court, maka seluruh kejahatan yang
diatur di dalam Statuta Roma akan diadili di Pengadilan tersebut. 13
Diatur dalam Statuta Roma dalam Pasal 7, definisi kejahatan
terhadapkemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.
Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran
HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC).
13
Statuta Roma 1998 diunduh melalui https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-
5752-4f84- be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia dapat diunduh pada http://referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2014/10/Statuta-
Roma.pdf
53
Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan
kejahatan Agresi.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas
atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
dengan tujuan:14
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk;
e. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain;
f. Menganiaya;
g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur,
menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun
bentuk kejahatan seksual lainnya;
h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras,
kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender)
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ICCPR ataupun adengan alas an-
alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang
dilarang oleh hukum internasional;
i. Penghilangan seseorang secara paksa;
j. Kejahatan apartheid;
k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara
sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh
maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.
Kewajiban negara menyangkut HAM Internasional diatur dalam
berbagai instrumen HAM Internasional diantaranya Universal Declaration of
14
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika
Global, h. 295-296.
54
Human Rights, International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR),
International Covenant on Economic Social and Cultur Rights (ICESCR),
Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture/CAT).
Tindakan persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim
Uighur di Xinjiang tidak sesuai ketentuan di bawah Pasal 5 dan Pasal 9
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), Pasal 7 dan Pasal 9
Kovenan Internasional tentang Sipil dan Hak Politik (ICCPR), Konvensi
Menentang Penyiksaan (CAT) 15
, serta ketentuan di bawah Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, dan Pasal 8 Statuta Roma 1998. Meskipun Cina telah
menandatangani Kovenan pada 5 Oktober 1998, namun pemeritah Cina belum
meratifikasinya. Oleh karena itu, Cina hanya berkewajiban untuk bertindak
dengan itikad baik dan tidak melanggar tujuan dari Perjanjian. Melakukan
diskriminasi kebebasan terhadap etnis Uighur sebenarnya tidak sesuai dengan
tujuan perjanjian. Apalagi penting beberapa ketentuan dalam ICCPR sudah
dianggap sebagai norma jus cogens16
dan karenanya menjadi non-derogate17
.
Instrumen hukum HAM internasional menunjukkan bahwa kasus
penahanan Muslim Uighur dalam kamp pendidikan ulang di Xinjiang
melanggar hukum dan sewenang-wenang. Penahanan Warga Uighur di kamp
pendidikan ulang Xinjiang mengandalkan kriminalisasi Uighur karena
mempraktikkan agama dan kepercayaan mereka. Haruskah ada dasar untuk
mengkriminalkan Uighur karena keyakinan mereka, ketentuan semacam itu
sendiri merupakan pelanggaran terhadap mereka pengakuan dan perlindungan
hak atas agama sebagai hak fundamental. Bahkan, penahanan atas dasar
merampas hak-hak orang atas agama memenuhi syarat sebagai penahanan
15
Cina telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan pada tahun 1998.
16
Dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969, Bagian V yang mengatur perihal pembatalan, jus
cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara
keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar (a norm from which no derogation is
permitted) dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum baru
yang mempunyai sifat yang sama.
17
Tidak merugikan orang lain.
55
sewenang - wenang dan karenanya, melanggar ketentuan hak untuk kebebasan
dan keamanan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ICCPR.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah bersama membahas permasalah
ini pada bulan Agustus 2018. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial
(ICERD)18
memerintahkan Cina untuk menutup kamp-kamp dan mengakhiri
pengawasan massal, tetapi Cina menyangkal keberadaan kamp-kamp tersebut
dan memastikan bahwa warga di Xinjiang sejahtera19
. Ketika praktik
diskriminasi itu berlanjut, PBB membahas langkah-langkah selanjutnya pada
sesi tahunan Dewan Hak Asasi Manusia (UNHRC)20
pada Februari 2019.
Cina memiliki kewajiban internasional untuk mengambil tindakan yang
diperlukan untuk menyelesaikan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
dalam yurisdiksinya. Dalam pasal 2 ICCPR diberlakukan kewajiban bagi Cina
untuk memastikan bahwa hak-hak warga negara di bawah Kovenan dilindungi
dan diakui pula di dalam undang-undang Cina. Selain itu, Pasal 3 ICCPR
menekankan kewajiban bagi suatu Negara untuk memastikan persamaan hak
seluruh warga negara dan juga menyediakan pemulihan yang efektif untuk
orang atau orang-orang yang telah dilanggar hak-haknya di bawah Kovenan.21
18
ICERD adalah sebuah konvensi hak asasi manusia yang mewajibkan anggotanya untuk
menghapuskan diskriminasi ras dan mengembangkan pengertian di antara semua ras,
sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 Angka 1 International Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination, yang disetujui, dibuka, ditandatangani dan diratifikasi
oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 yang mulai berlaku 4 Januari
1969.
19
Stephanie Nebehay, "U.N. Calls on Cina to Free Uighurs from Alleged Re-
education Camps,” Reuters, (Agustus 2018), dikutip dari https://www.reuters.com/article/us-
Cina-rights-un/u-n-calls-on-Cina-to-free-uighurs-from-re-education-camps-
idUSKCN1LF1D6, diakses pada 4 Desember 2019 Pukul 11.10 WIB.
20
UNHRC adalah organisasi penerus dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB (United
Nations Commission on Human Rights, disingkat UNCHR) di PBB yang merupakan
mekanisme utama PBB dan forum internasional yang menangani perlindungan hak asasi
manusia.
21
Article 3 ICCPR (Internatioal Convenant on Civil and Political Rights) :“The
States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women
to the enjoyment of all civil and political rights set forth in the present Covenant.” Diakses
56
Sehubungan dengan kewajiban Cina dalam penegakkan hak asasi manusia
internasional yang relevan dengan instrumen hak asasi manusia, undang-
undang Cina berfungsi sebagai opsi untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran HAM berat di kamp pendidikan ulang di Xinjiang. Karenanya, ini
merupakan pilihan pertama untuk mencari pertanggungjawaban atas
pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap etnis Uighur dalam kamp
pendidikan ulang di Xinjiang adalah mengandalkan undang-undang Cina dan
pengadilan lokal.
Namun, yang dikhawatirkan adalah Pengadilan lokal tidak akan
memberi perlindungan kepada para korban pelanggaran HAM dan tidak
efektif untuk meminta pertanggungjawaban pelaku. Atau terdapat pilihan lain
untuk menyelesaikan kasus ini sebelum dibawa ke ranah Komite Anti
Penyiksaan atau Komite Hak Asasi Manusia ditingkat internasional.
Sanksi dalam Pasal 77 Statuta Roma secara tegas menyatakan hukuman pada
pelaku kejahatan genosida : 22
1. Subject to article 110, the Court may impose one of the following
penalties on a person convicted of a crime referred to in article 5 of
this Statute :
(a) Imprisonment for a specified number of years, which may not
exceed a maximum of 30 years; or
(b) A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of
the crime and the individual circumstances of the convicted person.
2. In addition to imprisonment, the Court may order :
(a) A fine under the criteria provided for in the Rules of Procedure
and Evidence ; (b)
(b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or
indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona
fide third parties.
Dilihat dari pelaku tindak kejahatan Internasional, Statuta Roma
memberikan peraturan berupa pertanggungjawaban secara individual,
melalui https://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf pada 4 Desember
2019 Pukul 12.13 WIB.
22
Article 77 Crimes Against Humanity Rome Statute of the International Criminal Court
57
sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 25. Selanjutnya, pada pasal 26
disebutkan bahwa pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili anak
berusia di bawah 18 tahun ketika anak tersebut diduga melakukan tindak
kejahatan. Selanjutnya, di dalam pasal 27 disebutkan bahwa Statuta Roma
berlaku bagi siapa saja, tanpa memandang jabatan atau bangsa dari pelaku
yang diduga melakukan tindak kejahatan tersebut. Berdasarkan 3 pasal di atas,
dapat disimpulkan bahwa, pertanggungjawaban perbuatan pidana dilakukan
secara individu dan dihukum sesuai dengan gravitasi atau kadar perbuatannya,
sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara atau pemimpin
negara, tidak mempengaruhi tanggung jawab dan eksistensi dari negara
tersebut di dalam hukum Internasional.
Kasus persekusi Muslim Uighur dapat diambil alih penanganannya oleh
Dewan Keamanan PBB untuk diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) dengan memperhatikan empat yurisdiksi pada
ICC yaitu :23
“Pertama, Rationae materiae (material jurudiction) : segala jenis
kejahatan yang telah dilakukan seperti misalnya kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, seperti yang
dijelaskan dalam pasal 5-8 Statuta Roma tahun 199824
berdasarkan jenis
kejahatan yang menjadi ruang lingkupnya”. Maka yang dialami Etnis Uighur
termasuk dalam kategori kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
23
Sefriani, Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998, hlm.218-
321
24
Article 5 (Crimes within the Jurisdiction of the Court), Article 6 (Genocide), Article 7
(Crimes against humanity), Article 8 (War Crimes) of Crimes Against Humanity Rome
Statute of the International Criminal Court
58
“Kedua, Rationae temporis (temporal juridiction): berdasarkan pada
pasal 11 statuta roma tahun 199825
, bahwa ICC hanya dapat mengadili
kejahatan yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002. Oleh karena itu,
berkaitan dengan kasus Muslim Uighur hal ini dapat diadili melalui
Mahkamah Pidana Internasional dikarenakan kasus ini terjadi setelah 1 Juli
2002.
“Ketiga, Rationae loci (teritorial juridiction): ICC dapat mengadili
kasus-kasus yang terjadi di negara peserta di mana menjadi lokasi tempat
terjadinya kejahatan hal ini diatur dalam pasal 12 Statuta Roma tahun 1998
26berdasarkan wilayah atau tempat dilakukannya kejahatan.”.
“Keempat, Rationae personae (personal juridiction): berdasarkan pasal 25
Statuta Roma tahun 1998,27
ICC hanya mengadili individu tanpa memandang
apakah ia merupakan seorang pejabat negara dan sebagainya yaitu
berdasarkan subjek hukum yang dapat diadili.”. Kasus yang dialami Etnis
Uighur di sini yang bertanggungjawab adalah individu termasuk pejabat
pemerintahan, komandan baik militer muapun sipil. Jadi perlu pengusutan
yang lebih dalam, individu yang bertangggungjawab tanpa memandang
pangkat atau golongan tertentu.
Statuta berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas
dasar jabatan resmi. Secara khusus, jabatan resmi sebagai seorang kepala
negara atau pemerintahan anggota suatu pemerintahan atau parlemen, wakil
terpilih atau pejabat pemerintah dalam hal apapun tidak mengecualikan
seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah statuta. Demikian pula dalam
25
Article 11 (Jurisdiction Ratione Temporis) of Crimes Against Humanity Rome Statute
of the International Criminal Court
26
Article 12 (Precondition to the Exercise Juridiction) of Crimes Against Humanity
Rome Statute of the International Criminal Court.
27
Article 25 (Individual Criminal Responsibility) of Crimes Against Humanity Rome
Statute of the International Criminal Court.
59
hal mengenai dirinya sendiri tidak merupakan suatu alasan untuk mengurangi
hukuman.28
Organisasi internasional seperti PBB yang memiliki wewenang untuk
memfasilitasi kerja sama antar negara dan menyelesaikan masalah aksi
kolektif. Namun dalam kasus Uighur, pertemuan PBB belum mengarah pada
kegiatan nyata. Hal ini disebabkan oleh pembatasan yang melekat dalam
struktur organisasi. Menurut Pasal 7 Statuta Roma dari Pengadilan Pidana
Internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk “deportasi atau
pemindahan paksa penduduk,” “pemenjaraan,” “penyiksaan,” dan
“penganiayaan terhadap kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas
pada politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender ”. 29
Meskipun untuk
menuntut Cina atas pelanggaran HAM yang telah dilakukan, Cina harus tetap
menaati Statuta Roma atau Dewan Keamanan PBB harus merujuk kasus ini ke
ICC (International Criminal Court). Dikarenakan Cina bukan anggota Statuta
Roma, jadi tugasnya diserahkan kepada Dewan Keamanan PBB. Karena Cina
adalah salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB .
Selain itu, yang menjadi permasalahan adalah Cina tidak terikat oleh
Statuta Roma sehingga tidak pula terikat dengan mahkamah pidana
internasional.30
Oleh karena itu, masalah ini lebih berat secara substansial
ketika dinilai dari perspektif dan instrumen hukum hak asasi manusia, di
mana Cina tidak terikat dalam ketentuan ini.
Walaupun Cina bukan negara peserta yang meratifikasi mahkamah
pidana internasional, tetapi bukan berarti kejahatan yang terjadi terhadap etnis
Uighur tidak dapat diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional. Karena
28
Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998,” h.328.
29
Article 7 Crimes Against Himanity Rome Statute of the International Criminal Court
30 Negara yang menyetujui Statuta Roma, dikutip dari https: //asp.icc cpi.int / id menu /
asp / menyatakan% 20 pesta / halaman / the% 20state% 20 pesta% 20ke% 20the% 20 rome%
20 statute.aspx, diakses pada 18 Desember 2019 Pukul 12.51 WIB.
60
semua warga negara berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional dalam salah satu kondisi antara lain :31
Pertama, negara di mana tempat lokasi kejadian ia telah meratifikasi
perjanjian mahkamah pidana internasional;
Kedua, negara tersebut telah mengakui yurisdiksi mahkamah pidana
internasional dalam dasar ad hoc;
Ketiga, Dewan Keamanan PBB menyampaikan kasus yang terjadi ke
mahkamah pidana internasional.
Berangkat dari keempat yurisdiksi tersebut kasus persekusi Muslim
Uighur ini tentu dapat diselesaikan dan diadili dalam Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) karena telah memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan oleh Mahkamah Pidana Internasional diantaranya pada
Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 25 Statuta Roma 1998.
31
Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998,” Jurnal
Hukum, Volume 14, No. 2, (April 2007), h. 318-321.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur
di antaranya berupa penyekapan, penindasan, perampasan, kekerasan,
penembakan mati, hingga membatasi hak beragama dan privasi Musim
Uighur diantaranya yaitu membuat kebijakan penghapusan wakaf,
penghapusan pajak untuk sekolah Islam, melarang pegawai negeri atau
pejabat pemerintah Muslim untuk berpuasa, tidak bebas beraktifitas karena
selalu diawasi oleh kepolisian, dan adanya kebijakan pemindaian alat
komunikasi bagi warga etnis Uighur. Persekusi yang menimpa Muslim
uighur di Cina telah mejurus kepada kejahatan genosida, usaha
pembersihan etnis karena dilakukan secara sistematis, yang dimulai
dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah Cina yang menyudutkan
keberadaan Muslim Uighur.
2. Tindakan persekusi yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim
Uighur melanggar ketentuan hukum humaniter internasional, di antaranya
adalah ketentuan dalam Universal Declaration of Human Rights
(DUHAM) dan Statuta Roma 1998. Kasus persekusi Muslim Uighur telah
memenuhi keempat syarat yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
yang termuat dalam Statuta Roma 1998 di antaranya yaitu: Rationae
materiae, Rationae temporis, Rationae loci,dan Rationae personae, dan
penanganan kasus ini dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB
untuk diadili melalui Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) .
62
B. Saran
Sebagai usulan tindak lanjut dari penulisan skripsi ini, penulis
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah Indonesia direkomendasikan untuk lebih berani dalam
mengambil kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan
kejahatan kemanusiaan. Sehingga, hak dan kewajiban Muslim Uighur
dapat segera dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
2. Kepada pemerintah Indonesia direkomendasikan beberapa langkah
diplomasi yang dalam mengupayakan penyelesaian konflik yang dialami
oleh Muslim Uighur, diantara langkah yang perlu dilakukan adalah
melalui jalur diplomasi Goverment to Goverment atau dialog antar
pemerintah. Langkah kedua yaitu dengan jalur diplomasi yang difasilitasi
oleh badan arbiter seperti Dewan Keamanan PBB, OKI (Organisasi
Kerjasama Islam), dan ASEAN (Asscociation of Southeast Asian Nation).
3. Kepada para akademisi, politisi, dan masyarakat pada umumnya terutama
mahasiswa supaya turut serta mengawal jalannya pemerintahan dan
menjadi pengingat bagi pemerintah untuk bersama-sama mewujudkan
rasa aman di seluruh dunia.
63
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ambarwati, et.al, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Inter-
nasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Arnold, Thomas W, Sejarah Dakwah Islam, Jakarta: Widjaya, 1979.
Berlie, Jean A, Islam in Cina: Hui and Uygghurs Between Modernization and Sin-
icization, Bangkok: White Lotus, 2004.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era D-
inamika Global, edisi ke-2, Bandung: Alumni, 2005.
Hatta, Muhammad, Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime), Aceh : UNI-
MAL Press, 2019
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan
dan Penerapannya di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1980.
Latif, Yudi, Negara Paripurna, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
M. Rafiq Khan, Islam di Tiongkok, Jakarta: Tintamas, 1967.
Ma, Ibrahim Tien Ying, Perkembangan Islam Di Tiongkok, Jakarta: Bulan Binta-
ng, 1979.
Maaroef, Muhammad Hilman Anfas, Persekusi dalam Perspektif Hukum Positif
di Indonesia, Surabaya : UNAIR, 2020.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2014.
Pujiyanti, Nur, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Persekusi, Surabaya: UNT-
AG, 2018.
Rahman, Fazlur, et.al, Analisis Yuridis Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
di Indonesia (Studi Kasus di Mesuji Sumatra Selatan), Makasar: UNHAS,
2011.
Shoujiang, Mi dan You Jia, Islam in Cina, Yogyakarta: LKIS, 2014.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: UI Press, 1990.
----------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2015.
64
Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta : Rajawali Pers,
2016.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Per-
sada, 2003.
Thayib, Anshari, Islam di Cina, Surabaya : Amar Press, 1991.
Ting, Dawoud C.M, Kebudayaan Islam Di Cina, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
JURNAL
Asmanidar, “Potret Tamaddun Islam Di Negeri Tirai Bambu: Mulai Dari Masa D-
inasti Tang Hingga Republik China,” dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura,
Volume 14, No. 2, Februari 2015.
Bassiouni, M. Cherif, “The ICC-Quo Vadis”, Journal of International Criminal
Justice, Volume 4, No. 3, Juli 2006.
Chin, Josh, "After Mass Detentions, China Razes Muslim Communities to Build a
Loyal City," dalam The Wall Street Journal, Maret 2019.
-------------,"Twelve Days in Xinjiang: How China's Surveillance State Overwhel-
ms Daily Life." dalam The Wall Street Journal, Desember 2017.
Faridha, Riedha, dan Nor Huda, “Islam Di Cina Pada Masa Pemerintahan Repub-
lik Nasionalis, 1911-1949,” dalam Jurnal Tamaddun, Volume 14, No.2,
Juli 2015.
Ford, Stuart, “Crimes Against Humanity At The Extraordinary Chambers In The
Courts Of Cambodia: Is A Connection With Armed Conflict Required”,
dalam Pacific Basin Law Journal, Vol. 24, No. 2, Januari 2007.
Ismail Suardi Wekke Rusdan, “Minoritas Muslim di China Perkembangan, Sejar-
ah dan Pendidikan,” dalam Jurnal Ijtimaiyya, Volume 10, No. 1, Mei
2017.
Lemkin, Raphael, “Genocide”, dalam American Scholar, Vol. 15, No. 2, April
1946
Nebehay, Stephanie, "U.N. Calls on China to Free Uighurs from Alleged Reeduc-
ation Camps,” dalam Reuters, Agustus 2018.
Rakhima, Ayu Suci dan Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, “Gross Violations of Hu-
man Rights Veiled within Xinjiang Political Reeducation Camps,” dalam
Jurnal Kertha Patrika, Volume 41, No. 1, April 2019.
65
Saragih, Muhammad Fajrin, “Tinjauan Yuridis Pelanggaran Ham Terhadap Musl-
im Uighur di China Ditinjau dari Hukum Humaniter” dalam Jurnal
Universitas Sumatera Utara, 2015
Sefriani, “Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998,” dal-
am Jurnal Hukum, Volume 14, No. 2, April 2007.
Singh, Bhavna, “Ethnicity, Separatism, and Terrorism in Xinjiang: Cina’s Triple
Conondrum,” The Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS), No. 96,
dalam Jurnal IPCS, 2010.
Sunarto, “Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme” dalam Jurnal Equality,
Vol. 12, No. 2, Agustus 2007.
Wardhani, Baiq LSW, “Respon Cina Atas Gerakan Pan-Uyghuris di Provinsi Xin-
jiang,” dalam Jurnal Masyarkat, Kebudayaan, dan Politik Volume 24, No
4, Januari 2011.
Yuliatiningsih, Aryuni, “Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Hu-
maniter Internasional”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9, No.2, Mei,
2009.
WEBSITE
Around 120,000 Uighurs Detained for Re-education in Xinjiang’s Kashgar Perfe-
cture, dikutip dari
https://www.rfa.org/english/news/Uighur/detentions/01222018171657.htm
l.
Bruce, Nick Cumming,"U.N. Rights Chief, Denouncing 'Gross Inequalities,' Jabs
at China and Israel." dalam The New York Time, Maret 2019, dikutip dari
https://www.nytimes.com/2019/03/06/world/europe/un-rights-
bachelet.html?rref=collection%2Ftimestopic%2FUighurs%20(Chinese%2
0Ethnic%20Group.
--------, "U.S. Steps Up Criticism of China for Detentions in Xinjiang," dalam The
New York Times, Maret 2019, dikutip dari
https://www.nytimes.com/2019/03/13/world/asia/china-muslim-
xinjiang.html?rref=collection%2Ftimestopic%2FUighurs%20(Chinese%2
0Ethnic%20Group.
Consul of General China Denies Reports on Political Education Camps for Uigh-
urs in China’s Xinjiang, dikutip dari https://akipress.com/news:602025.
Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_perang.
Dikutip dari https://kemlu.go.id.
66
Dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641.
.
Dikutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641.
Dikutip dari http://chinaperspectives.revues.org/648.
Dikutip dari https://atlantis-indonesia.org/2016/09/shamanisme-spiritual-tertua-b-
umi/,
Dikutip dari https://internasional.kompas.com/read/2012/06/29/16541779 /Chi-
na.Gagalkan.Upaya.Pembajakan.Pesawat
Dikutip dari https://kbbi.web.id/komune.
Dikutip dari https://kbbi.web.id/rasial.
Dikutip dari https://kemlu.go.id, diakses.
https://digilib.uin-suka.ac.id.
https://digilib.uin-suka.ac.id.
https://dspace,uii.ac.id.
https://kbbi.web.id/impunitas.
https://kbbi.web.id/persekusi.
https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/02/16/pn00y7282-uighur-
dan-komitmen-indonesia-menyelamatkan-umat-islam.
https://repositori,usu.ac.id.
Jangan Hanya Diam Melihat Diskriminasi Muslim Uighur, dikutip dari
https://www.kompas.com/ademesti.
Kacau Otoritas China Larang Umat Muslim Uighur Berpuasa, dikutip dari https-
://news.okezone.com/read/2017/06/06/18/1708975/kacau-otoritas- china-
larang-umat-muslim-uighur-berpuasa.
Mengapa Terus Terjadi Ketegangan antara Pemerintah Cina dan Suku Uighur, di-
kutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46601641.
Muslim Uighur Sekitar Satu Juta ditahan PBB Sebut Ini Mengkhawatirkan, di-
kutip dari https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45372418.
67
Negara yang menyetujui Statuta Roma, dikutip dari https: //asp.icc cpi.int / id
menu / asp / menyatakan% 20 pesta / halaman / the% 20state% 20 pesta%
20ke% 20the% 20 rome% 20 statute.aspx.
Perlakuan Pemerintah China Terhadap Muslim Uighur, dikutip dari https://www.
kompas.com/marinaikasari.
Puluhan Anggota PBB Kecam Sikap Represif China Ke Uighur, dikutip dari ht-
tps://www.cnnindonesia.com/internasional/20190926085254-134434140/-
puluhan-anggota-pbb-kecam-sikap-represif-china-ke-uighur.
Uighur dan Komitmen Indonesia Menyelamatkan Umat Islam, dikutip dari https-
://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/19/02/16/pn00y7282uighur-
dan-k-omitmen-indonesia-menyelamatkan-umat-islam.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (ICERD) 1965
Konvensi Wina 1969
Peraturan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur untuk Urusan Agama, 2014 mengga-
ntikan Peraturan Daerah Otonomi Xinjiang Uighur tentang Pengelolaan
Urusan Agama, 1994.
Statuta Roma 1998
68
Lampiran
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89