Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERSPEKTIF DAN PERAN APARAT PENEGAK HUKUM TERHADAP
PRAPERADILAN DI INDONESIA DALAM MENCAPAI
KEADILAN SUBSTANTIF
By:
Winarsih, Khamidatul Fatkhiyah, Mustafa Kemal Ramadan1
Faculty of Law, Semarang State University.
Abstract
The existence of pretrial an effort to fulfill the human rights in the criminal justice
system, which can be violated during the investigation or prosecution. However
recently emerged the case of arbitrariness investigators to the person until be
appointed as a suspect, which could not put forward to the pretrial. This reseach
aims to examine the role of law enforcement authorities to achieve substantive
justice. Second: Describe the perspective of law enforcement authorities regarding
pretrial. Third: Assessing the impact of pretrial to the realization of substantive
justice. Results of this research are: First: The role of law enforcement authorities
embodiment of procedural fairness in accordance with the Criminal Procedure
Code and the Law on Advocates. But in fact, the implementation of substantive
justice can not be realized properly. Second: law enforcement authorities interpret
the pretrial as stated in the Code of Criminal Procedure and aim to realize human
rights. Third: the effect of pretrial existance which realize substantive justice has
not been influenced by it, pretrial still focuses on fulfillment of procedural fairness
because pretrial just examine mere formality in the investigation and prosecution.
Keywords: Law Enforcement, Pretrial, Justice Substantive
Abstrak
Keberadaan praperadilan merupakan upaya pemenuhan hak asasi manusia dalam
sistem peradilan pidana, yang mungkin dilanggar pada saat penyidikan atau
penuntutan. Akan tetapi selama ini muncul kasus kesewenang-wenangan penyidik
hingga seseorang ditetapkan sebagai tersangka, yang tidak dapat diajukan kedalam
praperadilan. Penelitian ini bertujuan mengkaji peran aparat penegak hukum dalam
mencapai keadilan substantif. Kedua: Mendeskripsikan perspektif aparat penegak
hukum mengenai praperadilan. Ketiga: Mengkaji pengaruh praperadilan terhadap
perwujudan keadilan substantif. Hasil dari penelitian ini adalah: Pertama: aparat
penegak hukum berperan dalam perwujudan keadilan yang bersifat prosedural
sesuai dengan KUHAP dan UU Advokat. Sedangkan keadilan substantif
implementasinya belum dapat diwujudkan dengan baik. Kedua: aparat penegak
hukum memaknai praperadilan sebagaimana tercantum di dalam KUHAP dan
merupakan sarana mewujudkan hak asasi manusia. Ketiga: pengaruh keberadaan
praperadilan terhadap perwujudan keadilan substantif selama ini belum
berpengaruh dengan baik, praperadilan masih sebatas fokus terhadap pemenuhan
1 Mahasiswa Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Email
korespondensi: [email protected]
2
keadilan yang bersifat prosedural sebab praperadilan hanya memeriksa sebatas
formalitas dalam penyidikan dan penuntutan.
Kata Kunci: Aparat Penegak Hukum, Praperadilan, Keadilan Substantif
A. PENDAHULUAN
Lembaga Praperadilan seyogyanya bertujuan untuk memberikan rasa
keadilan bagi para pencari keadilan dengan menghindarkan tindakan dari para
penegak hukum yang semena-mena terhadap penegakkan hukum agar
tindakannya betul-betul berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak
berdasarkan kewenangan semata. Lembaga praperadilan itu sendiri menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berwenang untuk
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi dan atau
rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya diberhentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
Keberadaan Lembaga Praperadilan idealnya dapat melindungi hak asasi
manusia yang dilanggar oleh aparat penegak hukum. Melalui lembaga ini juga
pencari keadilan dapat membawa oknum aparat penegak hukum tersebut untuk
dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi
atas dugaan kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaaanya. Hak
asasi yang dilanggar tersebut pada prinsipnya tidak terbatas pada proses hukum
yang bersifat prosedural sebagaimana yang tercantum didalam KUHAP saja
namun juga pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari segala bentuk
penyiksaan dan kekerasan bentuk lain dalam proses penyidikan atau dalam
menjalani proses hukum, sebab selama ini banyak terjadi kasus pelanggaran
pada proses penyidikan dan penuntutan.
Hal diatas terbukti dari penelitian yang telah dilakukan Agus Raharjo2
pada tahun 2013 yang menyimpulkan bahwa dalam proses penyidikan polisi
sering melakukan kekerasan pada tersangka. Bentuk kekerasan yang dilakukan
oleh penyidik tersebut meliputi kekerasan fisik dimana seorang polisi
2 Agus Rahardjo. Profesionalisme dalam Penegakkan Hukum (Purwokerto: Univesitas Jendral
Soedirman) hlm 4.
3
menggunakan kekuatan yang lebih dari yang dibutuhkan untuk melakukan
penangkapan atau penggeledahan resmi, kedua penyiksaan secara psikologis
dimana penyidik kepolisisan secara lisan menyerang, mengolok-olok,
mempermalukan secara terbuka hingga tersangka seolah-olah menjadi orang
yang terhina dan tak berdaya serta ketiga adalah penyiksaan hukum berupa
pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional seseorang serta bentuk kekerasan
lain yang tidak memanusiakan manusia.
Hal tersebut saat itu luput dari cakupan praperadilan di Indonesia padahal
bentuk kekerasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan bentuk
pencideraan terhadap keadilan masyarakat. Jika hal itu dibiarkan secara terus
menerus tanpa adanya pengawasan dan cakupan hukum yang mengawasi
secara jelas maka keadilan yang bersifat substantif tidak akan pernah terwujud.
Hal ini membutuhkan keberanian dan terobosan baru untuk mengungkap dan
menegakkan hukum secara progresif demi mencapai keadilan substantif bagi
tersangka atau terdakwa. Disamping hal itu berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sujiono pemeriksaaan terhadap praperadilan sejauh ini tidak
ada yang diputus untuk dikabulkan, hakim pada umumnya menyatakan dalam
amar putusanya menolak atau menggugurkan permintaan praperadilan dari
para pihak.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan
masalah yaitu: Pertama, bagaimana peran aparat penegak hukum dalam
mencapai keadilan substantif?. Kedua, bagaimana perspektif atau pandangan
aparat penegak hukum mengenai praperadilan di Indonesia? Ketiga, adakah
pengaruh keberadaan praperadilan terhadap perwujudan keadilan yang bersifat
substantif bagi tersangka atau terdakwa dalam menjalani proses hukum?.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang akan digunakan yaitu
aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum mencakup pengertian
mengenai intuisi penegak hukum. Dalam arti sempit, aparat penegak hukum
yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap
aparat terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,
4
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan
pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi)
terpidana3.
Selain itu terdapat istilah keadilan substantif yang didefinisikan sebagai
keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber
hukum yang responsif sesuai hati nurani4. Bersarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa keadilan substantif merupakan merupakan sumber dari
keadilan yang bersifat prosedural. Keadilan substantif lebih menekankan
kepada nilai atau norma yang hidup di masyarakat dan keadilan yang bersifat
asasi yang seharusnya dapat diwujudkan oleh keadilan yang bersifat
prosedural. Keadilan substantif tidak selalu berpijak pada undang-undang atau
peraturan hukum positif yang mengaturnya tetapi berdasar pada keadilan yang
seyogyanya.
B. PEMBAHASAN
1. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Mencapai Keadilan Substantif
Keadilan merupakan sebuah hal yang diharapkan dan didambakan
dalam sebuah penengakkan hukum di Indonesia. Oleh karenanya dalam
penyelenggaraan proses peradilan setiap norma, aturan dan perundang-
undangan harus mengandung nilai-nilai keadilan sehingga tujuan dari
proses peradilan dapat dicapai dan memberikan nilai keadilan serta
kemanfaatan bagi pencari keadilan.
Proses peradilan tersebut berkaitan erat dengan aparat penegak hukum
yang menjadi tonggak awal dari penegakkan hukum. Aparat penegak
hukum mencakup pengertian mengenai intuisi penegak hukum. Dalam arti
sempit, aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum
itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas
sipir pemasyarakatan. Setiap aparat terkait mencakup pula pihak-pihak yang
bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
3 Jimmly Asshiddqie. Penegakkan Hukum. (Makalah, 2010) hlm. 3
4 Bambang Sutiyoso, Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2010), hlm 11.
5
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana5.
Permasalahan yang muncul adalah aparat penegak hukum tersebut
dalam menjalani tugas dan wewenangnya tidak selamanya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan ataupun standar operasional yang berlaku
seperti kasus penangkapan atau penahanan yang terkadang tidak disertai
dengan surat perintah penangkapan atau penahanan. Untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan tersebut maka dibentuklah lembaga
praperadilan yang berfungsi sebagai pengontrol yang memberikan
kesempatan bagi pihak tersangka ataupun terdakwa yang mencari keadilan
dan mempertahankan hak asasinya.
Lembaga praperadilan itu sendiri lahir dari inspirasi yang bersumber
dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang
memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak
kemerdekaan, Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk
melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan
penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau
pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu
benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
maupun jaminan HAM6.
Didalam KUHAP itu sendiri tidak ada definisi yang pasti mengenai
praperadilan, namun praperadilan mempunyai kemiripan dengan rechter
commisaris atau hakim komisaris. Menurut KUHAP tidak ada ketentuan
dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan dan memimpinya.
Hakim praperadilan tidak melaksanakan pemeriksaan pendahuluan dan ia
tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak
untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Praperadilan di
Indonesia itu sendiri berfungsi sebagai kontrol bagi penegak hukum7.
5 Jimmly Asshiddqie, Op. Cit hlm. 3
6 Loebby Loqman, Pra-peradilan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm 54 7 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm 189.
6
Praperadilan tersebut erat kaitanya dengan hak asasi manusia yang
melekat keadilan yang bersifat substantif. Mengenai peran dari aparat
penegak hukum itu sendiri, berdasarkan hasil wawancara8 dengan Bapak
Bambang Supriyadi, S.H selaku advokat di Semarang menyatakan bahwa:
Advokat memberikan bantuan hukum kepada setiap orang
yang membutuhkan bantuan hukum baik secara cuma-cuma
ataupun secara berbayar sesuai dengan kentuan UU Advokat.
Bantuan hukum tersebut diberikan dalam kasus apapun
termasuk di dalamnya kasus praperadilan. Jika orang tersebut
tidak mampu secara ekonomi maka advokat mempunyai
kewajiban untuk memberikan hukum secara prodeo tentu saja
hal tersebut harus disertai dengan surat keterangan tidak
mampu dari kelurahan.
Hal di atas merupakan salah satu bentuk perwujudan pemenuhan
akses terhadap keadilan yang sama antara masyarakat yang mampu dan
tidak mampu secara ekonomi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
22 ayat (1) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa
“Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu”.
Ketentuan tersebut mewajibkan seorang advokat untuk memberikan
akses terhadap keadilan yang sama bagi setiap orang. Hal tersebut
merupakan salah satu bentuk perwujudan asas equality before the law yang
dianut oleh Indonesia. Pembelaan yang diberikan oleh advokat tersebut
tentunya pembelaan hukum yang bersifat prosedural untuk mewujudkan
hukum yang bersifat prosedural pula dengan memperhatikan keadilan yang
bersifat substantif jika terdapat dasar hukumnya pembelaanya. Berdasarkan
hal tersebut maka advokat memiliki peran memberikan pembelan terhadap
seorang terdakwa baik mampu maupun tidak mampu secara ekonomi. Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang
advokat.
Mengenai definisi dari keadilan substantif itu sendiri tidak ada
peraturan atau undang-undang yang menyebutkan secara jelas sehingga hal
8 Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 1 September 2015 pukul 01.00 WIB di Kantor Hukum
Bambang Supriyadi, S.H dan Rekan
7
tersebut menimbulkan multitafsir dari setiap responden yang menilai
keadilan substantif dari berbagi pengertian, namun Bambang Sutiyoso
mendefinisikan bahwa keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan
pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai
hati nurani9 dan dapat disimpulkan bahwa keadialan substantif merupakan
merupakan sumber dari keadilan yang bersifat prosedural. Keadilan
substantif lebih menekankan kepada nilai atau norma yang hidup
dimasyarakat dan keadilan yang bersifat asasi yang seharusnya dapat
diwujudkan oleh keadilan yang bersifat prosedural. Keadilan substantif
tidak selalu berpijak pada undang-undang atau peraturan hukum positif
yang mengaturnya tetapi berdasar pada keadilan yang seyogyanya.
Pada tataran pelaksaanya keadilan substantif dapat diwujudkan
dengan cara merealisasikanya menjadi hukum tertulis agar mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, sehingga keadilan substantif dapat lahir
dari keadilan prosedural. Hal tersebut mengingat negara Indonesia
merupakan negara hukum yang menganut sistem civil law yang
berimplikasi pada aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di
Kejaksaan Negeri Semarang itu sendiri perwujudan keadilan substantif
menurut Bapak Dadang Suryawan selaku jaksa penuntut umum menuturkan
bahwa10:
Pada dasarnya jaksa dalam melakukan penuntutan dan
dalam membuat dakwaan sesuai dengan KUHAP.
Kejaksaan tidak ada upaya khusus yang dilakukan untuk
mewujudkan keadilan substantif.
Berdasarkan petikan wawancara di atas maka jaksa dalam melakukan
tugas dan wewenangnya sesuai dengan aturan yang berlaku, baik aturan
tersebut mengandung keadilan substantif maupun bertentangan dengan
keadilan subtantif. Hal tersebut wajar terjadi sebab jika seorang jaksa
melakukan atau tidak melakukan penuntutan atas dasar nilai keadilan yang
9 Bambang Sutiyoso, Op. Cit hlm. 11.
10 Responden merupakan salah satu jaksa di Kejaksaan Negeri Semarang dan wawancara
dilaksanakan pada Selasa, 24 November 2015 pukul 11.00 WIB.
8
tidak dituangkan dalam perundang-undangan justru dapat dipersalahkan
secara hukum. Hal tersebut merupakan implikasi dari sistem civil law yang
dianut oleh hukum di Indonesia.
Secara lebih lanjut menurut Prof.Dr. Mahfud MD sebagaimana dikutip
dalam Anwar11 menilai bahwa menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama
daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-
undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum. Selain itu
definisi hukum seringkali disempitkan kepada prosedur yang tertuang dalam
suatu ketentuan atau peraturan perundang-undangan. Padahal rasa keadilan
tidak hanya tegak bila penegak hukum hanya menindak berlandaskan pasal
dalam UU secara kaku dan tidak mengenali nilai keadilan yang substantif.
Berdasarkan hal tersebut maka menggali nilai-nilai keadilan substantif
dalam menegakkan sebuah hukum menjadi hal yang sangat penting sebab
undang-undang merupakan suatu aturan yang bersifat statis sedangkan
manusia merupakan objek yang bersifat dinamis. Selain itu peraturan yang
bersifat tertulis terkadang telah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sehingga terkadang dalam penerapanya aturan tersebut menciderai rasa
keadilan masyarakat.
Secara lebih lanjut implementasi dan pandangan terhadap praperadilan
di Indonesia menurut Bapak Heri Soemanto S.H12 menyatakan bahwa:
Pada dasarnya hakim memutus sebuah perkara berdasarkan fakta
dipersidangan dan alat bukti yang ada sesuai dengan ketentuan
KUHAP dan yang terpenting dapat dipertanggungjawabkan. Hal
tersebut berlaku dalam semua kasus termasuk dalam kasus
praperadilan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dianalisa bahwa hakim dalam
memberikan putusan berdasar pada ketentuan perundang-undangan dalam hal
ini adalah KUHAP. Jika dipahami secara lebih lanjut maka keadilan yang
dilahirkan dari sebuah putusan harus memenuhi keadilan yang bersifat
prosedural, meskipun terkadang keadilan prosedural tidak mengandung dan
11 Anwar. Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif Dalam Penegakkan Hukum di
Indonesia (Puskasi FH Universitas Widyagama Malang, 2010) hlm 5
12 Responden merupakan hakim di Pengadilan Negeri Semarang dan wawancara dilakukan pada
tanggal Rabu, 16 Desember 2015
9
tidak sesuai dengan keadilan substantif. Hal tersebut dikarenakan seorang
hakim dalam memberikan putusan harus sesuai dengan undang-undang dan
berdasar pada hukum yang bersifat tertulis sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Padahal tidak selamanya undang-
undang itu sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk mewujudkan kedilan substantif itu sendiri, diperlukan
kemampuan menafsirkan ketentuan hukum dari seorang hakim. Menurut
Bagir Manan sebagaimana dikutip dalam Anwar13 ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan menafsirkan yang harus diperhatikan
oleh hakim, yaitu:
1. Dalam hal kata atau kata-kata dan susunan kaidah sudah jelas, hakim
wajib menerapkan undang-undang menurut bunyi dan susunan kaidah
kecuali didapati hal-hal seperti inkonsistensi, pertentangan, atau
ketentuan tidak dapat menjangkau peristiwa hukum yang sedang
diadili, atau dapat menimbulkan ketidakadilan, bertentangan dengan
tujuan hukum, atau bertentangan dengan ketertiban umum,
bertentangan dengan keyakinan yang hidup dalam masyarakat,
kesusilaan, atau kepentingan umum yang lebih besar.
2. Wajib memerhatikan maksud dan tujuan pembentukan undang-undang,
kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga perlu
ada penafsiran yang lebih longgar.
3. Penafsiran semata-mata dilakukan demi memberi kepuasaan kepada
pencari keadilan. Kepentingan masyarakat diperhatikan selama tidak
bertentangan dengan kepentingan pencari keadilan.
4. Penafsiran semata-mata dilakukan dalam rangka aktualisasi penerapan
undang-undang, bukan untuk mengubah undang-undang.
5. Mengingkat hakim hanya memutus menurut hukum, maka penafsiran
harus mengikuti metode penafsiran menurut hukum dan memerhatikan
asas-asas hukum umum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
13 Anwar, Op. Cit, hlm 8
10
6. Dalam penafsiran, hakim dapat mempergunakan ajaran hukum
sepanjang ajaran tersebut relevan dengan persoalan hukum yang akan
diselesaikan dan tidak merugikan pencari keadilan.
7. Penafsiran harus bersifat progresif, yaitu berorientasi ke masa depan
(future oriented), tidak menarik mundur keadaan hukum di masa lalu
yang bertentangan dengan keadaan yang hidup dan perkembangan
hukum
Berdasarkan uraian tersebut maka hakim dalam memberikan putusan
dianjurkan untuk memahami maksud dan tujuan pembentukan undang-
undang, kecuali maksud dan tujuan sudah usang, terlalu sempit sehingga
perlu ada penafsiran yang lebih luas dan perlu melakukan penafsiran hukum.
Penafsiran tersebut bertujuan untuk melahirkan keadilan substantif yang
mungkin terkadung dalam keadilan prosedural dalam memutus sebuah
perkara.
Secara lebih lanjut sebuah putusan dapat saja dikatakan memenuhi
keadilan prosedural jika telah memenuhi unsur dari sebuah pasal atau
penegakkanya sesuai dengan ketentuan undang-undang, akan tetapi putusan
tersebut belum tentu memenuhi aspek keadilan yang bersifat substantif
seperti kasus nenek Minah. Secara prosedural putusan tersebut telah sesuai
dengan KUHP dan KUHAP akan tetapi banyak protes dan kritik yang
dilayangkan oleh masyarakat dan akademisi sebab putusan tersebut dinilai
tidak adil dan tidak memenuhi aspek keadilan substantif.
Di satu sisi hakim dalam memutus sebuah perkara harus sesuai dengan
sistem dan aturan yang berlaku sehingga terkesan kaku. Hal tersebut sesuai
dengan hasil wawancara dari Bapak Heri Soemanto S.H selaku Hakim di
Pengadilan Negeri Semarang pada hari Rabu, 16 Desember 2015 yang
menyatakan bahwa:
“Dalam memberikan putusan semuanya sesuai dengan
KUHAP sebab semuanya tergantung kepada sistem yang
berlaku”.
Berdasarkan hal tersebut maka hakim akan sangat sulit untuk menggali
keadilan yang bersifat substantif jika keadilan substantif tersebut tidak ditulis
dalam bentuk perundang-undangan. Hal tersebut tentunya bertujuan untuk
11
membatasi kesewenang-wenangan hakim dalam memberikan putusan, akan
tetapi di sisi lain hakim tidak diberikan kebebasan untuk memberikan sebuah
putusan yang tidak ada dasar hukumnya, sekalipun didalamnya terdapat nilai-
nilai keadilan substantif seperti contohnya kesewenang-wenangan yang
kemungkinan terjadi ketika seorang ditetapkan sebagai tersangka baik terjadi
dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan secara verbal yang tidak bisa
dijadikan objek praperadilan.
Akan tetapi hal tersebut sebelum adanya putusan Mahkamah
Konstitusi, pasca putusan tersebut penetapan tersangka termasuk didalamnya
kemungkinan kesewenang-wenangan penyidik yang terjadi hingga proses
ditetapkanya sebagai tersangka dapat dijadikan objek praperadilan. Hal
tersebut secara otomatis dapat menjadi dasar hukum bagi hakim dalam
memeriksa dan memberikan putusan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penetapan tersangka
merupakan bagian dari penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak
asasi manusia dan sudah seharusnya dilindungi oleh pranata hukum. Hal
tersebut semata-mata untuk melindungi seorang dari tindakan sewenang-
wenang penyidik yang kemungkinan besar terjadi ketika seorang ditetapkan
sebagai tersangka, yang dalam prosesnya terdapat kemungkinan ada
kekeliruan, maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang
dapat memeriksa dan memutusnya14.
Berdasarkan hal tersebut maka praperadilan merupakan alat kontrol
bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Sekalipun lembaga praperadilan adalah alat kontrol bagi penegak hukum
khususnya penyidik dan penuntut umum. Tetapi dalam praktek dialami
bahwa putusan hakim dalam perkara praperadilan adalah putusan yang
bersifat deklaratoir, yaitu menyatakan bahwa penghentian penuntutan oleh
kejaksaan atau penuntut umum adalah tidak sah dan memerintahkan
kejaksaan untuk meneruskan penuntutan15. Kehadiran lembaga praperadilan
14 Lihat pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan No 21/PUU-XII/2014.
15 Otto Cornelis Kaligis. Korupsi sebagai Tindakan Kriminal yang Harus diberantas Karakter
dan Praktek Hukum Indonesia (Jurnal Equality, 2006) hlm 157
12
menjadi titik balik yang memberikan semangat baru, khususnya mengenai
jaminan hak-hak tersangka, karena bersifat transparan (transparancy) dan
akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan syarat-syarat
tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung
HAM.
Aspek perwujudan pemenuhan HAM yang terkandung dalam
praperadilan itu sendiri perlu diapresiasi dan didukung dengan penegakkan
hukum yang baik. Sebab jika substansi hukum tidak didukung dengan law
enforcement yang baik maka tujuan dari hukum itu sendiri akan sulit untuk
dicapai. Tujuan dari penegakkan hukum itu sendiri salah satunya adalah
untuk memberikan keadilan bagi pencarinya. Aspek keadilan tersebut dapat
berbentuk keadilan yang bersifat prosedural dan keadilan yang bersifat
substantif.
Mengenai implementasi dalam penegakan hukum yang berjalan selama
ini di Indonesia sendiri terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk
keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan
penerapan formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum
menjadi fenomena yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum
di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih
bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas
yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan
keadilan16.
Semestinya antara keadilan prosedural dan keadilan substantif tidak
dilihat secara dikotomi, tetapi ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait
erat satu sama lain. Oleh karena itu dalam keadaan normal, mestinya keadilan
prosedural dan substantif harus dapat disinergikan dan diakomodir secara
proporsional. Meskipun demikian dalam batas-batas tertentu, sangat mungkin
keduanya saling berbenturan satu sama lain dan tidak dapat
dikompromikan17.
16 Abdul Ala dalam Bambang Sutiyoso, Op. Cit. hlm 1
17 Ibid hlm 15
13
Berdasarkan uraian dan analisis hasil penelitian di atas maka advokat,
jaksa dan hakim menengakkan hukum sesuai dengan keadilan yang bersifat
prosedural sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam KUHAP dan UU
Advokat serta peraturan yang bersifat tertulis. Keadilan substantif sulit untuk
diwujudkan jika tidak didukung oleh sebuah aturan perundang-undangan
sebagai dasar yang dijadikan oleh aparat penegak untuk melakukan
pembelaan atau memeriksa dan memutus sebuah perkara.
2. Perspektif atau Pandangan Aparat Penegak Hukum mengenai
Praperadilan di Indonesia
Praperadilan menjadi salah satu cara bagi tersangka atau terdakwa
untuk membela Hak Asasi Manusianya dari kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum. Akan tetapi pada dasarnya praperadilan tidak hanya dapat
diajukan oleh tersangka atau terdakwanya saja, tetapi juga bisa diajukan oleh
penyidik ataupun penuntut umum. Ketentuan tersebut tentunya memberikan
sebuah kebebasan bagi siapa saja yang ingin mempertahankan dan
mewujudkan keadilan.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia itu sendiri praperadilan
diatur dalam KUHAP yakni Pasal 77 yang menyebutkan bahwa praperadilan
menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penyidikan.
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya diberhentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Secara lebih lanjut ketentuan tersebut diperinci kembali dalam Pasal (79,
80, 81)18 yang mencakup tugas praperadilan meliputi tiga hal pokok yaitu:
1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan
atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
18 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta dengan penjelasanya.
14
2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut
umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan alasannya.
3. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebut alasannya.
Jika ditinjau dari ketentuan praperadilan yang terdapat dalam KUHAP
tersebut maka sikap kesewenang-wenangan yang terjadi dalam penyidikan
dan berbagai macam pelanggaran yang terjadi dalam proses penyidikan
hingga penetapan tersangka tidak termasuk dalam wewenang praperadilan
sehingga hakimpun tidak dapat memeriksa dan memberikan putusan terhadap
hal tersebut karena objek yang dipraperadilankan tidak masuk dalam ruang
lingkup praperadilan.
Akan tetapi ruang lingkup mengenai praparadilan saat ini diperluas
yakni dengan adanya putusan Mahkamah Konstistusi Nomor 21/PUU-
XI/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan masuk dalam ranah praperadilan. Hal tersebut diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa
praperadilan yang terdapat dalam Pasal 77 KUHAP tersebut bertentangan
dengan hak asasi manusia sepanjang tidak dimaknai juga dalam hal penetapan
tersangka dan penggeledahan dan penyitaan. Hal tersebutlah yang menjadi
fokus penelitian dalam penelitian ini.
Hal tersebut merupakan pandangan yang positif terhadap praperadilan
dari Mahkamah Konstitusi. Secara lebih lanjut perspektif aparat penegak
hukum mengenai praperadilan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak
Bambang Supriyadi, S.H selaku advokat menyatakan bahwa:
Korban salah tangkap, atau korban kesewenang-wenangan dari
aparat penegak hukum harus mencari keadilan. Salah satunya
adalah melalui praperadilan, karena praperadilan merupakan alat
15
bagi pemohon praperadilan untuk memperjuangkan haknya yang
dilanggar.
Berdasarkan petikan wawancara tersebut maka praperadilan
memberikan sebuah kesempatan dan kebebasan bagi siapa saja yang merasa
dilanggar dalam menjalani proses peradilan. Praperadilan dapat digunakan
sebagai koreksi terhadap kinerja dari aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga tersangka atau terdakwa
diberikan kedudukan atau kesempatan yang sama untuk memberikan
pembelaan.
Sifat dan atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan karakteristik
tersebut akan dapat menjembatani pada usaha pencegahan tindakan upaya
paksa sebelum seorang diputus oleh pengadilan, pencegahan tindakan yang
merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atas tindakan
yang melanggar hak-hak asasi tersangka atau terdakwa, agar segala
sesuatunya berjalan dan berlangsung sesuai dengan hukum serta perundang-
undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main19.
Hal tersebut diatas mempunyai kesamaan perspektif pandangan dengan
Bapak Heri Soemanto S.H selaku Hakim di Pengadilan Negeri Semarang
yang menyatakan bahwa:
Pada dasarnya praperadilan merupakan koreksi bagi penyidik dan
penuntut umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebab
semua prosedur dalam penuntutan dan penyidikan harus sesuai
dengan KUHAP.
Dari pemaknaan hakim dan advokat tersebut maka pada dasarnya
praperadilan merupakan alat kontrol bagi penuntut umum dan penyidik dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, sebab tidak jarang terjadi kasus
kesewenang-wenangan atau kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugasnya. Jika dianalisa secara lebih lanjut maka
19 I Gede Yuliartha. Lembaga Praperadilan dalam Perspektif Kini dan Mendatang dalam
Hubunganya dengan Hak Asasi Manusia. (Tesis: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, 2009) hlm 79.
16
praperadilan ini merupakan perwujudan dari asas perlindungan hak asasi
manusia yang telah tertuang dalam KUHAP yaitu beberapa asas antara lain20:
1. Perlakuan yang sama terhadap semua orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan terhadap siapapun (equality
before the law).
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberikan
wewenang oleh undang-undang dilakukan dengan cara yang diatur
dengan undang-undang.
3. Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya ataupun hukum yang diterapkan wajib diberi ganti
kerugian atau rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan
atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak dan diterapkan secara konsekuen
dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7. Kepada seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selalu wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
20 Ibid hlm 84-85
17
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dari uraian di atas maka pada dasarnya praperadilan merupakan salah
satu cara atau sarana yang diberikan oleh undang-undang kepada tesangka
atau terdakwa dalam mempertahankan haknya yang tertuang dalam asas
hukum acara pidana. Dari keberadaan praperadilan tersebut diharapkan dapat
melindungi hak asasi terdakwa atau tersangka yang notabenenya merupakan
pihak yang lemah dalam proses penyidikan atau penuntutan.
Sedangkan menurut pandangan Bapak Dadang Suryawan selaku Jaksa
di Kejaksaan Negeri Semarang menyatakan bahwa:
Praperadilan pada dasarnya bagus, akan tetapi ada beberapa aturan
yang melemahkan praperadilan itu sendiri, seperti ketentuan Pasal
82 ayat 1 huruf (d) KUHAP yang menyatakan praperadilan itu
gugur jika pokok perkaranya telah disidangkan.
Dari petikan wawancara tersebut maka jaksa menanggapi terdapat
sebuah kelemahan dalam praperadilan itu sendiri yakni adanya ketentuan
praperadilan gugur jika pokok perkaranya telah dipersidangkan. Hal tersebut
merupakan salah satu ketentuan dalam beracara di praperadilan sebagaimana
tercantum dalam KUHAP. Ketentuan tersebut memberikan celah bagi
penyidik atau penuntut umum untuk mempercepat proses penyidikan atau
penuntutan agar pokok perkaranya dapat segera disidangkan.
Selain itu menurut Bapak Dadang Suryawan sebagai jaksa menilai
bahwa jika aturan hukumnya tidak diganti maka keadilan substantif sulit
untuk diwujudkan sebab terdapat bebarapa kasus praperadilan yang
menciderai rasa keadilan seperti kasus Budi Gunawan21 yang mana secara
substansi perkara kasus Budi Gunawan dapat dituntut secara hukum, akan
21 Kasus Budi Gunawan merupakan kasus yang menarik perhatian publik, yakni dengan
dikabulkanya permohonan praperadilan oleh Hakim Sarpin. Pada saat itu penetapan tersangka tidak
dapat dijadikan sebagai objek praperadilan, akan tetapi hakim Sarpin memberikan putusan
penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan tidak sah secara hukum sehingga mengakibatkan
proses hukum terhadapnya tidak bisa dilanjutkan.
18
tetapi kasus tersebut gugur di praperadilan. Selain itu terdapat kasus
pemakaian narkoba yang dilakukan oleh anak Gubernur disalah satu provinsi
yang mana terdapat barang bukti dalam kasus tersebut, akan tetapi diajukan
ke praperadilan dan akhirnya pemohon dalam hal ini tersangka menang
sehingga kasus tersebut tidak bisa diteruskan. Secara substansi kasus tersebut
terbukti dan bisa dituntut secara hukum akan tetapi karena sedikit kesalahan
yang dilakukan oleh penyidik sehingga kasus tersebut tidak bisa dilanjutkan
penyidikanya. Hal tersebut tentu dapat melukai rasa keadilan substantif22.
Berdasarkan uraian hasil wawancara tersebut maka pada praperadilan
disatu sisi dinilai dapat melukai keadilan substantif jika hakim tidak
melakukan penafsiran hukum dan tidak menilai keadilan dari segi substantif.
Oleh sebab itu peraturan mengenai praperadilan membutuhkan pemahaman
yang komperehensif agar dapat diterapkan dan melahirkan keadilan
substantif.
Pemaknaan praperadilan secara lebih lanjut lagi menurut Bapak Heri
Soemanto S.H selaku Hakim di Pengadilan Negeri Semarang memaknai
bahwa:
Pada dasarnya praperadilan merupakan apa yang tercantum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dari kutipan wawancara maka Bapak Heri Soemanto S.H tersebut maka
makna praperadilan merujuk pada ketentuan KUHAP. Hal tersebut wajar
sebab hakim pada dasarnya memaknai segala sesuatu berdasarkan undang-
undang dan menjalankanya berdasarkan undang-undang pula akan tetapi hal
yang terpenting adalah kehadiran lembaga praperadilan menjadi hal yang
penting dalam penegakkan hak asasi manusia yang didalamnya terkandung
keadilan yang bersifat substantif.
Jika kita merujuk kepada KUHAP itu sendiri secara lebih lanjut maka
acara praperadilan mencakup tiga hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 79-
81 KUHAP23. Hal tersebut merupakan substansi yang terkandung dalam
22 Hasil wawancara dengan Bapak Dadang Suryawan selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri
Semarang pada Selasa, 24 November 2015 pukul 11.00.
23 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) beserta dengan penjelasanya.
19
praperadilan, lebih lanjut lagi ditentukan beberapa hal yang harus dilakukan
secara prosedural dalam acar praperadilan yakni sebagai berikut:
1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang.
2. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti rugi dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penuntutan dan ada
benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim
mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari
pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
4. Dalam hal perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan
belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
5. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal (79), Pasal (80) dan Pasal (81),
harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
7. Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
butir 6 juga memuat hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum
pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka.
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
20
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka
dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan
kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Pasal dan ketentuan di atas menjelaskan ruang lingkup dan tata cara
dalam praperadilan yang menjelaskan kewajiban seorang hakim dalam
memimpin sidang di pengadilan. Aturan tersebut telah merinci secara detail
dari proses masuknya perkara sampai dengan putusan.
Cakupan praperadilan tersebut merupakan ketentuan sebelum adanya
putusan MK dan kasus praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan.
Dalam pandangan aparat penegak hukum, kasus Budi Gunawan merupakan
suatu hal yang menarik dalam ranah praperadilan sebab pasca putusan
tersebut ruang lingkup praperadilan menjadi diperluas. Hakim Sarpin
mengabulkan permohonan dan memberikan putusan bahwa penetapan
tersangka menjadi salah satu objek dari praperadilan sehingga Budi Gunawan
lepas dari proses hukum yang menjeratnya.
Kasus di atas tentu saja mengundang perhatian publik apalagi Budi
Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Hal tersebut
mengundang banyak penilaian baik pro maupun kontra dari berbagai pihak.
Menurut Bapak Bambang Supriyadi, S.H advokat itu sendiri menyatakan
bahwa:
Kasus hakim Sarpin merupakan kasus yang melanggar
ketentuan undang-undang dan merusak substansi praperadilan
di Indonesia
Berdasar hal tersebut Bapak Bambang Supriyadi, S.H selaku Advokat
di Semarang berpendapat bahwa putusan hakim Sarpin yang mengabulkan
permohonan praperadilan Budi Gunawan merupakan suatu terobosan hukum
21
yang membawa dampak negatif bagi penegakkan hukum di Indonesia dan
melukai perasaan keadilan masyarakat sebab penetapan tersangka pada saat
itu belum di atur dalam KUHAP Indonesia sebagai objek yang bisa di
praperadilankan, selain itu menurut Bapak Bambang Supriyadi, S.H akan
terjadi penumpukan perkara di Pengadilan Negeri sebab banyak tersangka
yang akan mengajukan praperadilan atas sah atau tidaknya penetapan status
tersangka pada yang bersangkutan.
Terlepas dari hal tersebut saat ini Mahkamah Konstitusi telah
memperluas cakupan Pasal 77 KUHAP dengan memaknai penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan sehingga saat ini penetapan
tersangka menjadi objek yang bisa untuk dipraperadilankan. Mahkamah
Konstitusi mempunyai penilaian bahwa sejak seseorang ditetapkan sebagai
tersangka maka hak asasi manusianya secara otomatis telah dibatasi, dan
untuk mengatasi kesewenang-wenangan penyidik dalam melakukan proses
penyidikan.
Hal di atas tentu mendapatkan respon pro dan kontra dalam masyarakat,
sebab perluasan objek praperadilan tersebut dapat dimaknai lain oleh masing-
masing orang. Sejalan dengan hal tersebut yang menjadi titik penting adalah
praperadilan dapat digunakan sebagai alat untuk pemenuhan hak asasi dalam
peneggakan sistem peradilan pidana dari tingkat penyidikan, penetapan
tersangka hingga penuntutan.
Sedangkan jika ditinjau dari segi pelaksanaanya itu sendiri praperadilan
tidak selamanya berjalan sesuai dengan harapan, tujuan dan aturanya.
Menurut Bapak Bambang Supriyadi, S.H selaku advokat menyatakan bahwa:
Praperadilan mengalami beberapa kedala salah satunya adalah
sikap keberanian dari tersangka atau terdakwa itu sendiri untuk
mengajukan praperadilan. Sebab biasanya seorang tersangka
dapat ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti
yang cukup, dari hal tersebut mereka menjadi pesimis untuk
mengajukan praperadilan, meskipun adanya indikasi
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam
melakukan penyidikan.
Dari hasil wawancara tersebut maka dari pihak tersangka atau terdakwa
tidak semuanya berani untuk mengajukan praperadilan sebab secara personal
22
terkadang seseorang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa berdasarkan
dua alat bukti, oleh sebab itu seorang terkadang pasrah dan takut kalah
meskipun penasihat hukum menilai kasus tersebut bisa menang. Oleh sebab
itu tersangka atau terdakwa lebih memilih untuk tidak mengajukan
praperadilan, apalagi yang dihadapi adalah aparat penegak hukum yang
notabenya memiliki pengetahuan dan kewenangan dalam penegakkan hukum
terhadap kasus yang bersangkutan.
Hal tersebut merupakan permasalahan yang timbul dari tersangka atau
terdakwanya sendiri, berbeda dengan kejaksaan. Implementasi dalam
mewujudkan keadilan substantif pada Kejaksaan itu sendiri menurut Bapak
Dadang Suryawan mengalami permasalahan yakni:
Perwujudan keadilan substantif di Kejaksaan itu sendiri
sangat sulit. Hal tersebut dikarenakan Kejaksaan berada
dalam garis struktural. Jika keadilan susbtantif tidak
dibingkai oleh aturan yang bersifat tertulis maka susah untuk
diwujudkan.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut maka dapat dianalisis keadilan
substantif di tingkat Kejaksaan sulit untuk diwujudkan sebab dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya jaksa dituntut untuk selalu
menjalankan undang-undang sesuai dengan apa yang tertulis. Jika seorang
jaksa bertindak di luar dari apa yang tertulis didalam undang-undang hal
tersebut justru dapat dipersalahkan secara prosedural, meskipun di dalamnya
terdapat keadilan yang bersifat substantif.
Hal di atas merupakan pertentangan antara perwujudan keadilan
prosedural dan keadilan yang substantif. Contoh lain adalah Kasus Nenek
Minah24 secara prosedural kasus tersebut dapat dituntut secara hukum, akan
tetapi secara keadilan substantif kasus tersebut tidak pantas untuk diadakan
penuntutan sebab bertentangan dengan keadilan substantif25.
24 Kasus Nenek Minah merupakan kasus yang menarik perhatian publik sebab terdakwa yang
telah berusia lanjut dikenakan pidana penjara dengan pasal pencurian (362 KUHP). Nenek Minah
terbukti melakukan pencurian 3 buah kakao di Purwoketo. Putusan hakim tersebut menimbulkan
kontroversi sebab dinilai kurang mencerminkan rasa keadilan substantif. Lihat Putusan No
247/Pid.B/2009/PN.PWT
25 Hasil wawancara dengan responden Bapak Dadang Suryawan pada Selasa, 24 November 2015
pukul 11.00 di Kejaksaan Negeri Semarang
23
Di tingkat persidangan itu sendiri menurut Bapak Heri Soemanto S.H
selaku Hakim di Pengadilan Negeri Semarang mengungkapkan:
Hambatan dalam memutus perkara praperadilan terkadang adalah
terdapat tekanan dari salah satu pihak. Akan tetapi hakim tetap
memberikan putusan berdasarkan rule of law dan bukti di
persidangan.
Berdasarkan hal tersebut maka ditingkat persidangan praperadilan,
hakim mengalami hambatan dalam memberikan putusan yakni adanya
intervensi atau terdapat tekanan dari salah satu pihak, terlebih hal tersebut
menyangkut dengan kinerja dari aparat penegak hukum dan terkait dengan
dapat atau tidaknya pokok perkara tersebut dilanjutkan ke tingkat persidangan
sehingga praperadilan merupakan suatu hal yang amat penting dan
menentukan dilanjutkan atau dihentikanya proses hukum.
Berdasarkan uraian hasil wawancara dan uraian di atas maka sejauh ini
aparat penegak hukum memaknai praperadilan sebagaimana yang tercantum
di dalam KUHAP dan memandang praperadilan merupakan alat atau sarana
untuk mewujudkan hak asasi manusia jika terjadi tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Praperadilan merupakan koreksi dari kinerja aparat penegak
hukum, meskipun dalam implementasinya terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaanya.
3. Pengaruh Keberadaan Praperadilan terhadap Perwujudan Keadilan
yang Bersifat Substantif bagi Tersangka atau Terdakwa dalam
menjalani Proses Hukum
Keberadaan lembaga praperadilan merupakan salah satu bentuk
perwujudan due process of law yang diharapkan dapat memberikan keadilan
bagi terdakwa atau tersangka dalam menjalani proses hukum. Praperadilan
juga merupakan perwujudan dari asas equality before the law untuk
menghidari dilanggarnya hak asasi manusia yang mungkin dilakukan oleh
penyidik dan penuntut umum pada saat menjalankan tugasnya. Praperadilan
tersebut juga merupakan bentuk sinkronisasi dari sistem akusator
(accusatoir) yang dianut oleh KUHAP yakni tersangka atau terdakwa
24
diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat dan
kedudukan yang sama di dalam hukum
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Yuliartha26 yang menyatakan
bahwa lembaga praperadilan maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan
dilindungi, dalam proses praperadilan yakni tegaknya hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan
penuntutan. Diadakannya suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan
seperti yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah untuk kepentingan
pengawasan terhadap perlindungan hak-hak tersangka dalam pemeriksaan
pendahuluan.
Tujuan dan maksud tersebut pada dasarnya untuk memberikan
pemenuhan hak asasi manusia, akan tetapi dalam pelaksanaanya terdapat
beberapa kendala seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu terdapat
beberapa aturan dalam KUHAP yang melemahkan praperadilan itu sendiri
yakni Pasal 82 ayat (1) huruf (d) yang berbunyi “dalam hal suatu perkara
sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan
mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur”.
Dari ketentuan tersebut maka pada dasarnya terdapat sebuah celah
untuk menggugurkan kasus yang dipraperadilankan yakni dengan cara
mempercepat perkara agar bisa segera disidangkan, sebab jika pokok perkara
yang dimintakan praperadilan disidangkan maka permintaan praperadilan
tersebut telah gugur. Hal ini memberikan kesempatan kepada penyidik dan
atau penuntut umum untuk mempercepat persidangan terhadap pokok
perkara.
Hal tersebut sejalan dengan hasil dari penelitian Siswanto27 menyatakan
bahwa terdapat hambatan dalam kelemahan dalam praperadilan itu sendiri
yakni persepsi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, dan secara umum
26 I Gede Yuliartha, Op. Cit. hlm 86.
27 Siswanto. Tinjauan Terhadap Praperadilan sebagai Upaya Perlidungan Hak dan Kedudukan
Tersangka dalam Penegakkan Hukum. (Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang) hlm 4.
25
kesadaran tersangka untuk meminta perlindungan atas haknya melalui
praperadilan masih rendah. Di satu sisi adanya ketentuan praperadilan harus
diputus paling lama tujuh hari dan adanya ketentuan praperadilan gugur jika
perkara pokoknya mulai diperiksa di persidangan. Hal ini tentunya akan
menimbulkan permasalahan dalam hal pembuktian, dan tentunya termohon
dapat saja segera melimpahkan perkara tersebut ke persidangan.
Namun terlepas dari hal tersebut hakim dalam memberikan putusan
dituntut untuk independen dan bebas dari pengaruh pihak yang
berkepentingan. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Heri Soemanto S.H
selaku hakim di Pengadilan Negeri Semarang menyatakan bahwa:
Pada dasarnya hakim dalam memberikan putusan selalu
berdasarkan KUHAP termasuk didalamnya putusan
praperadilan.
Dari hasil wawancara tersebut maka dapat dianalisis bahwa putusan
terhadap kasus praperadilan diputus berdasarkan prosedur yang terdapat
dalam KUHAP. Hal tersebut mengandung arti bahwa praperadilan yang
diajukan kedalam Pengadilan Negeri diputus berdasarkan keadilan yang
bersifat prosedural yang tertuang dalam KUHAP. Jika kita melihat pada latar
belakang maka kasus penyalahgunaan yang terjadi pada saat menjalani proses
penyidikan untuk menetapkan tersangka atau terdakwa tidak dapat dijadikan
sebagai objek praperadilan.
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak
mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Suara orang atau
masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat memerlukan keadilan
hampir terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami
ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan kian jauh dari
sentuhan dan rasa keadilan. Bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, para
pencari keadilan menjadi korban penegakan hukum formal. Realitas ini
menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen yang jauh dari nilai-
nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu
sendiri28.
28Abdul Ala dalam Bambang Sutiyoso, Op.Cit. hlm 2.
26
Merujuk dari pernyataan tersebut maka jika keadilan substantif ingin
diwujudkan maka harus dibalut dengan peraturan perundang-undangan.
Selain dari pada itu maka tujuan pemenuhan hak asasi manusia yang ingin
diwujudkan oleh praperadilan harus didukung oleh peraturan yang bersifat
tertulis. Hal tersebut bertujuan untuk melahirkan dan mewujudkan keadilan
substantif melalui keadilan prosedural.
Akan tetapi sekarang ini muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang
memperluas objek praperadilan yakni dengan memperluas makna Pasal 77
KUHAP dengan memasukan penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan masuk kedalam objek praperadilan. Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa hak asasi manusia merupakan asas yang harus dijunjung
tinggi dalam proses peradilan pidana terutama bagi lembaga penegak hukum.
Perwujudan hak yang sama tersebut diwujudkan dengan memberikan posisi
yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, khususnya bagi
tersangka atau terdakwa dalam mempertahankan haknya secara seimbang.
Oleh sebab itu menurut Mahkamah Kontitusi Negera Republik Indonesia
berkewajiban memberikan perlindungan, penegakkan dan pemenuhan
terhadap HAM.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut maka
diharapkan dengan perluasan objek praperadilan maka keadilan substantif
yang merupakan instrumen hak asasi manusia dapat diwujudkan. Secara lebih
lanjut lagi jika dianalisis maka pada dasarnya putusan tersebut merupakan
bentuk perwujudan dari sistem akuastor (accusatoir) yang dianut oleh
KUHAP yakni bermakna tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek
manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di
dalam hukum. Implikasi dari hal tersebut adalah KUHAP juga harus
memberikan mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-
wenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum melalui pranata
praperadilan. Hal tersebut juga merupakan salah satu bentuk upaya untuk
mewujudkan asas equality before the law yang dianut oleh Indonesia.
Dalam pertimbanganya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat dalam
perjalananya lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal
27
karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses
ajudikasi. Fungsi pengawasan praperadilan hanya bersifat post facto sehingga
tidak sampai kepada penyidikan dan pengujianya bersifat formal yang
mengedepankan unsur objektif sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi
oleh pengadilan. Hal tersebutlah yang menurut Mahkamah Konstitusi
menyebabkan praperadilan terjebak kepada hal-hal yang bersifat formal dan
sebatas pada masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan
pranata praperadilan.
Secara lebih lanjut Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat
menyatakan bahwa dalam proses penyidikan dan penuntutan terdapat
kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang perlu mendapatkan perhatian
agar aparat penegak hukum lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Seluruh penetapan seseorang menjadi tersangka tanpa
mengikuti due process of law merupakan penyalahgunaan wewenang29.
Berdasarkan hasil wawancara dan ulasan pembahasan di atas maka
keberadaan lembaga praperadilan yang selama ini bertujuan untuk
mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia yang didalamnya terdapat
keadilan yang bersifat substantif belum sepenuhnya dapat terwujud. Hal
tersebut dikarenakan praperadilan hanya memeriksa sebatas formalitas dalam
penyidikan dan penuntutan, akan tetapi belum dapat menyentuh permasahan
yang bersifat subjektif seperti kemungkinan upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik untuk mendapatkan alat bukti dan barang bukti dalam sebuah tindak
pidana, padahal hal tersebut yang selama ini menjadi fenomena tak jarang
yang muncul dalam proses penyidikan.
Akan tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi maka
diharapkan keberadaan lembaga praperadilan dapat memberikan keadilan
yang bersifat substantif terhadap tersangka atau terdakwa dalam menjalani
proses hukum. Setelah diterbitkanya keputusan Mahkamah Konstitusi
tersebut maka bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik selama
29 Arief Hidayat, MK: Penetapan Tersangka Masuk Lingkup Praperadilan diakses dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796 pada 19 Desember
2015
28
melakukan penyidikan dapat diajukan sebagai objek praperadilan dan dapat
diperiksa serta diputus oleh hakim.
C. PENUTUPAN
Berdasar data penelitian yang diperoleh dan analisis dari tim peneliti, maka
terdapat beberapa simpulan yaitu: Pertama, peran aparat penegak hukum
dalam mencapai keadilan substantif adalah dengan menengakkan hukum
sesuai dengan keadilan yang bersifat prosedural sesuai dengan apa yang telah
tercantum dalam KUHAP dan UU Advokat serta peraturan yang bersifat
tertulis. Melalui penegakkan hukum secara prosedural yang baik diharapkan
keadilan substantif dapat terwujud. Pada tataran implementasinya, selama ini
keadilan substantif belum dapat diwujudkan dengan baik dan harus didukung
oleh sebuah aturan perundang-undangan sebagai dasar yang dijadikan oleh
aparat penegak untuk melakukan pembelaan atau memeriksa dan memutus
sebuah perkara.
Kedua, perspektif atau pandangan aparat penegak hukum mengenai
praperadilan di Indonesia yakni aparat penegak hukum memaknai praperadilan
sebagaimana yang tercantum di dalam KUHAP dan memandang praperadilan
merupakan alat atau sarana untuk mewujudkan hak asasi manusia jika terjadi
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Praperadilan merupakan koreksi dari
kinerja aparat penegak hukum, meskipun dalam implementasinya terdapat
beberapa kendala dalam pelaksanaanya.
Ketiga, pengaruh keberadaan praperadilan terhadap perwujudan keadilan
yang bersifat substantif bagi tersangka atau terdakwa dalam menjalani proses
hukum selama ini belum berpengaruh dengan baik, praperadilan masih sebatas
fokus terhadap pemenuhan keadilan yang bersifat prosedural sebab
praperadilan hanya memeriksa sebatas formalitas dalam penyidikan dan
penuntutan, akan tetapi belum dapat menyentuh permasahan yang bersifat
subjektif seperti kemungkinan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik
untuk mendapatkan alat bukti dan barang bukti dalam sebuah tindak pidana,
padahal hal tersebut yang selama ini menjadi fenomena tak jarang yang muncul
29
dalam proses penyidikan. Akan tetapi pasca adanya putusan Mahkamah
Konstitusi diharapkan praperadilan mampu mewujudkan keadilan yang
bersifat substantif.
Berdasarkan simpulan tersebut maka tim peneliti memberikan saran yakni:
Pertama, keadilan substantif seyogyanya dapat diwujudkan melalui substansi
hukum dan struktur hukum. Oleh sebab itu peraturan hukum yang didukung
oleh penegakkan hukum merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dari
pemerintah untuk mewujudkan keadilan substantif. Kedua, setelah
diterbitkanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 maka
diharapkan dapat diterapkan dengan baik oleh aparat penegak hukum dan
bebas dari campur tangan atau kepentingan para pihak. Sehingga diharapkan
keadilan susbtantif dapat lebih diwujudkan dalam pranata praperadilan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. 2010. Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif Dalam Penegakkan
Hukum di Indonesia. Puskasi FH Universitas Widyagama Malang
Hamzah, Andi. 2012. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Kaligis, Otto Cornelis. 2006. Korupsi sebagai Tindakan Kriminal yang Harus
diberantas Karakter dan Praktek Hukum Indonesia. Jurnal Equality.
Loqman, Loebby. 1982. Pra-peradilan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Raharjo, Agus. 2013. Profesionalisme dalam Penegakkan Hukum. Purwokerto:
Univesitas Jendral Soedirman
Siswanto, Dwi Dedi. 2008. Tinjauan Terhadap Praperadilan sebagai Upaya
Perlidungan Hak dan Kedudukan Tersangka dalam Penegakkan Hukum.
Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
Sujiono. 2013. Implementasi Lembaga Praperadilan untuk Perlindungan Hukum
Hak-Hak Tersangka (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tenggarong).
Malang: Universitas Brawijaya
Sutiyoso, Bambang. 2010. Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam
Peradilan. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Yuliartha, I Gede. 2009. Lembaga Praperadilan dalam Perspektif Kini dan
Mendatang dalam Hubunganya dengan Hak Asasi Manusia. Tesis: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796
diakses pada 19 Desember 2015
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Kamus Hukum