89
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Jum’atal Mubarak MH 11170454000002 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/ 1443 H

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU

LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Hukum (S.H.)

Oleh:

Jum’atal Mubarak MH

11170454000002

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/ 1443 H

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA

KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT Studi Putusan PN No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04 Agustus 2021. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata (S-1)

pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 04 Agustus 2021

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A

NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A. (………………)

NIP. 196906292008011016

2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (………………)

NIP. 197604082007101001

3. Pembimbing I : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. (………………)

NIP. 1995903191979121001

4. Pembimbing II : Ali Mansur, M.A. (………………)

NIP. 197605062014111002

5. Penguji I :.Dr. Ria Safitri, M.Hum. (………………)

NIP. 197111202006042005

6. Penguji II : Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H. (………………)

NIP. 198505242020121006

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

ABSTRAK

Jum‟atal Mubarak, MH. NIM 11170454000002. PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA. Program Studi Hukum

Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Univesitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1443 H/2021 M.

Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai kecelakaan lalu lintas

yang dilakukan oleh terdakwa AS yang mengakibatkan banyaknya kematian dan

korban luka-luka dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Studi ini

bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dan untuk

mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan Majelis

Hakim dalam memutuskan perkara No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang

tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan tersebut berupa

pendekatan perundang-undangan (statue Approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) yang berkaitan dengan putusan No.

665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah metode dokumentasi dengan menggunakan teknik studi pustaka yang

dilakukan terhadap data primer dan data sekunder. Setelah data tersebut

terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan cara pengkodean,

kategorisasi, dan fragmentasi data. Akhirnya, data-data yang diperoleh tersebut

dianalisis dengan metode analisis data yang penulis gunakan yaitu analisis

wacana.

.Hasil penelitian menunjukan bahwa pada pertimbangannya Majelis

Hakim berpendapat kecelakaan maut yang dilakukan oleh terdakwa AS

merupakan pembunuhan karena kelalaian akan tetapi perbuatan terdakwa sebelum

terjadinya tabrakan maut tersebut dianggap oleh Majelis Hakim sebagai perbuatan

yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan dengan cara yang dapat

membahayakan nyawa atau barang. Sehingga terdakwa oleh Majelis Hakim

dianggap telah melanggar ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang

LLAJ pada Pasal 311 ayat (4) dan (5) dan akhirnya dijatuhi hukuman 15 tahun

penjara. Islam memiliki pandangan yang sama bahwa kasus terdakwa AS

merupakan pembunuhan tersalah (qathlul qata‟), akan tetapi memiliki pandangan

berbeda dengan jenis hukuman yaitu berupa diyat dan kafarat sebagai hukuman

pokok dengan tanpa adanya ta‟zir berdasarkan pendapat para fuqaha. Dan juga

pada kasus AS tidak diberikan hukuman konsekuensi berupa terhalang sebagai

ahli waris dan wasiat.

Kata Kunci: Tabrakan maut, lalu lintas, pidana, Islam.

Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H, M.Hum, dan Ali Mansur, M.A.

Daftar Pustaka : 1967-2020.

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT. Yang Maha Esa

dan Yang Maha Pemurah atas segala rahmat, nikmat, karunia, anugrah, lindungan,

dan hidayahnya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

DAN LUKA-LUKA”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dan juga

merupakan tugas akhir bagi penulis untuk dapat menamatkan strata satu di

Program Studi Hukum Pidana Islam atau Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya shalawat dan

salam penulis hadiahkan kepada baginda Rasulullah, Nabi Muhammad

Shallallahu „alaihi wa Sallam sebagai pembawa risalah kebenaran untuk semua

umat di dunia, khususnya umat Islam.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah penulis lakukan

secara bertahap, dimulai dari penemuan tema dan judul, pembuatan kerangka

penelitian, pembuatan proposal, pelaksanaan ujian, revisi proposal, dan

pembimbingan skripsi serta barulah dimulai pembuatan skripsi dengan berbagai

prosesnya yang panjang dan lain sebagainya. Proses panjang tersebutlah yang

mengantarkan penulis agar dapat menyelesaikan skripsi dengan baik dan benar.

Proses panjang tersebut dapat penulis jalani berkat arahan, motivasi, nasehat, dan

dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis. Untuk itu, pada

kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta;

2. Qosim Arsadani, M.A, selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam

(Jinayah);

3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A, selaku Sekretaris Program Studi

Hukum Pidana Islam (Jinayah);

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

v

4. Dr. Burhanudin, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan

skripsi ini, dengan telah memberikan banyak masukan dan arahan serta

meluangkan waktunya dengan penuh keihlsan kepada penulis;

5. Ali Mansur, M.A, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi,

yang juga telah membantu penulis dengan arahan, nasehat serta

meluangkan waktunya demi penyelesaian skripsi ini;

6. Amrullah Hasbana, S.Ag, S.S, M.A, selaku Pimpinan perpustakaan yang

telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan;

7. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik di Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kedua orang tua penulis, Buya Masrijal dan Bunda Hendra yetti beserta

adik-adik tercinta, Nahri dan Imam yang selalu mendorong, menasehati,

dan memotivasi serta do‟a yang tiada hentinya ditujukan kepada penulis

sejak awal perkuliahan hingga sampai saat ini. Semoga Allah senantiasa

memberikan rahmat, karunia dan keberkahannya, Aamiin yaa Rabbal

„Aalamiin.

9. Kerabat, sanak dan saudara baik dari pihak ayah maupun ibu yang mana

telah membantu, memberi dukungan, motivasi dan nasehat dalam

memperlancar proses pendidikan penulis.

10. Teman-teman dari Program Studi Hukum Pidana Islam yang telah

bersama-sama menempuh bangku perkuliahan di program studi ini.

Terimakasih atas kebersamaan dan waktu yang telah bersama kita

habiskan.

11. Teman-teman dari organisasi daerah maupun teman-teman dari sekolah

dahulu yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan ini.

12. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sampikan satu-persatu..

Sekian ungkapan terimakasih penulis, dan akhir kata penulis ucapkan

Alhamdulillahirabbil „Alamiin. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat

bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Sekian dan

terimakasih.

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

vi

Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, 18 Juli 2021

Jum‟atal Mubarak, MH

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 9

D. Metode Penelitian ............................................................................... 10

E. Sistematika Penulisan ......................................................................... 13

BAB II KAJIAN TEORITIS: PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN

HUKUM .................................................................................................... 15

A. Pengertian Tindak Pidana................................................................... 15

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................................... 16

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana: Kejahatan dan Pelanggaran .................... 17

D. Teori Pemidanaan ............................................................................... 18

E. Pertanggungjawaban Pidana dalam Perundang-Undangan ................ 20

F. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana .............................. 22

G. Review Hasil Studi Terdahulu ........................................................... 26

BAB III KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM ............................................. 30

A. Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Positif................... 30

1. Pengertian Kecelakaan Lalu lintas Berat ....................................... 30

2. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang

Mengakibatkan Kematian. ............................................................. 31

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

viii

3. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang

Mengakibatkan Luka-Luka. .......................................................... 32

B. Kecalakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka

Perspektif Hukum Pidana Islam ......................................................... 33

BAB IV ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG

MENYEBABKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA DALAM

PUTUSAN No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst .............................................. 37

A. Penerapan Pidana Materil dalam Putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang Kecelakaan lalu lintas yang

Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka Perspektif Hukum Positif. 37

1. Deskripsi Kasus ............................................................................. 37

2. Dakwaan Penuntut Umum ............................................................. 39

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim................................................. 40

4. Analisis Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst .......................... 44

B. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas

Berat dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. ....................... 57

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 72

A. Kesimpulan......................................................................................... 72

B. Rekomendasi ...................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa

penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan

(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi. Kemudian ide tentang

negara hukum popular pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa

yang didominasi oleh absolutisme.1 Dalam perkembangannya, konsep negara

hukum tidak bisa dipisahkan dari konsep kedaulatan rakyat. Sebab munculnya

hukum tidak terlepas dari kedaulatan rakyat mengingat hukum tersebut dibuat

untuk dipatuhi oleh masyarakat. Pembuatannya tersebut berdasarkan rakyat, demi

tunjuan kesejahteraan rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat sudah pasti dijadikan

sebagai sumber materil dari hukum.

Negara yang adil dilihat dan didasarkan oleh pandangan dari

masyarakatnya atau diihat dari keadaan masyarakatnya tentang bagaimana

keadilan itu berjalan di lingkungan masyarakat dan bagaimana jalannya keadilan

dalam negara. Tentu keadilan tersebut merupakan syarat diwujudkannya

ketentraman dan kemakmuran hidup masyarakat yang hal itu dapat diajarkan

dengan nilai kesusilaan dan dengan berbagai aspek norma yang ada dan berlaku di

Indonesia agar terciptanya warga negara yang baik yang saling menjaga hak dan

taat aturan dalam melaksanakan aktifitas kehidupannya dan kewarganegaraannya.

Indonesia adalah negara yang merdeka dengan segala kebebasannya tapi

tetap diatur oleh peraturan, yang segala penyelenggaraan pemerintahannya

berdasarkan hukum yang berlaku. Negara Indonesia adalah negara hukum

(rechtsstaat), hal ini secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 1 ayat 3. Adapun negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan

keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-

alat perlengkapan negara atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang

1 Ni‟matul Huda, Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review, (Yogyakarta: UII

Press, 2005), h. 19.

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

2

demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.2 Dengan

demikian, negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) sudah pasti bukan negara

yang berdasarkan kekuasaan otoriter. Oleh karena itu, kedudukan hukum harus

ditempatkan di atas segalanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan

hukum tanpa kecuali.3 Hal ini merupakan salah satu cara untuk mencapai

pembangunan nasional Indonesia yang tepat dan terarah, yaitu untuk melahirkan

suatu keadaan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara merata baik

materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Hukum menurut Utrecht adalah “Himpunan peraturan-peraturan (perintah,

dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan harus ditaati

oleh masyarakat itu”.4 Seluruh rakyat tidak ingin dibeda-bedakan dalam

pemenuhan haknya, itulah keadilan. Seluruh rakyat tidak ingin hidup dalam dunia

dengan pelanggaran kejahatan, itulah ketertiban. Seluruh rakyat ingin

terpenuhinya kebutuhan raga dan kebutuhan jiwa, itulah kesejahteraan.5

Fakta-fakta yang terjadi dan berkembang di masyarakat nyatanya

berbanding terbalik dengan apa yang menjadi tujuan negara yang dicita-citakan.

Dewasa ini berbagai permasalahan hukum semakin marak terjadi dikarenakan

pola tingkah laku masyarakat yang telah terbawa arus perkembangan zaman,

teknologi dan bahkan budaya yang semakin pesat. Hal ini menyebabkan pola

tingkah laku masyarakat dalam bersikap yang semakin komplek dan semakin

banyak pula norma-norma yang ada telah dikesampingkan oleh masyarakat.

Fenomena ini terjadi tidak hanya di tingkat pelaksana hukum namun juga terjadi

ditingkat pembuat dan penegak hukum.

Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai

penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan

2 Abdul Aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), h. 8. 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 69. 4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1986), h. 38. 5 Tim Ario Husein Jayadiningrat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal, Social Science In National Law Competition 2015 di

Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2015), h. 110.

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

3

terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu

sendiri.6 Perilaku menyimpang tersebut dapat melahirkan suatu pelanggaran

hingga kejahatan dan fenomena itu membutuhkan perlakuan khusus sebagaimana

hal tersebut dituangkan dalam KUHP. Pelanggaran maupun kejahatan dapat

menimbulkan keresahan dan gangguan dalam lingkungan masyarakat. Indonesia

telah menetapkan sanksi pidana penjara dalam perundang-undangan sebagai salah

satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, hal ini merupakan salah satu

bagian kebijakan kriminal atau politik kriminal, namun kejahatan yang terjadi di

masyarakat sepertinya sulit dihilangkan, meskipun dengan perangkat hukum dan

undang-undang yang dirumuskan oleh lembaga Legislatif.7 Oleh karena itu, dalam

menangani hal tersebut diperlukan penegasan kembali terkait aturan yang telah

diformalisasikan kepada setiap masyarakat bahwa setiap pelanggaran dan

kejahatan ada hukuman atau sanksi yang mengikutinya.

Berbicara mengenai kejahatan dan pelanggaran, hal itu dibahas dalam

KUHP yang keseluruhannya menjelaskan aturan tentang hukum pidana. Hukum

pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan

mendapatkan sanksi atau hukuman bila dilanggar, dan sanksi hukuman pidana

jauh lebih keras dibandikan dengan sanksi hukuman lain.8

Hukum pidana juga diperkenalkan dalam Islam dengan sebutan fiqih

jinayyah atau hukum pidana Islam yang intinya juga mengatur sanksi bagi pelaku

penyimpangan kejahatan. Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat

Allah SWT yang mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh para mukallaf (orang yang dapat dibebani

kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci

dari Al Qur‟an dan Hadist.9

6 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 4.

7 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), h.2. 8 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit

Pustaka Pelajar, 2011), h. 8. 9 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : Lembaga Studi Islam dan

Kemasyarakatan, 1992), h. 86., sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam,

Cet. 1., (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

4

Kita telah mengenal bermacam-macam sistem hukum yang berlaku di

dunia, yaitu sistem hukum civil law, common law, hukum adat maupun hukum

Islam dan sistem hukum lainnya. Meskipun warga Indonesia mayoritas memeluk

agama Islam, namun pengaruh hukum Islam tidak menonjol di dalam sistem

hukum yang ada di Indonesia baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya

hukum itu sendiri. Bahkan Abdul Jamil pernah memberikan komentar bahwa

meskipun umat Islam mayoritas di negeri ini, akan tetapi ruang bagi penegakan

hukum Islam hanya tersedia di Pengadilan Agama.10

Berbicara mengenai pemberian sanksi dan hukuman bagi pelaku

menyimpang baik itu kejahatan maupun pelanggaran semuanya ditetapkan setelah

pelaku tersebut diadili dan menerima putusan oleh Hakim. Hukuman dan sanksi

tersebut diberikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan

kriminal yang telah dilakukan. Hukuman dan sanksi tersebut didapat dan

diperoleh dari perjalanan panjang proses dan prosedur hukum pidana yang

dilakukan. Sehingga putusan tersebut haruslah seimbang dengan

pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dilakukannya. Sebagaimana

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa “asas kesalahan merupakan asas

yang sangat fundamental dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap si

pembuat yang bersalah melakukan tindak pidana”.11

Hukum pidana Islam juga mengenal tentang perbuatan pidana atau yang

dikenal dengan tindakan kriminal. Dalam Islam perbuatan pidana adalah tindakan-

tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan

peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadist.12

Maka tidak salah jika dikatakan bahwa tindak pidana di Indonesia memiliki

muatan jenis kejahatan yang sama dengan hukum pidana Islam, dan ditambah lagi

mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Maka menjadi wajar jika hukum

pidana Islam menjadi sumber materil hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu

10

Abdul Jamil, Hukum Islam di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang-Undang No.7

tahun 1989, dalam Jurnal Hukum dan Keadilan, Universitas Islam Indonesia, Vol.I, (Yogyakarta,

1989), h. 83. 11

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2002), h.85. 12

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2007), h. 1.

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

5

dapat dikatakan bahwa dalam hal, proses dan prosedur hukum pidananya atau

hukum acara pidananya, hukum pidana Indonesia banyak mengikuti ketentuan

hukum pidana Islam meski tidak secara keseluruhan.

Tindak pidana dari segi bentuknya memiliki jenis dan

pertanggungjawaban yang berbeda tergantung perbuatan apa yang dilakukan dan

apa akibat yang ditimbulkan. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa

perbuatan menyimpang akan melahirkan kejahatan atau pelanggaran, dimana

kejahatan dan pelanggaran tersebut merupakan perbuatan yang dikategorikan

sebagai tindak pidana. Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan, menganalisis,

mendekripsikan, dan memaparkan terkait perbuatan pidana yang berhubungan

dengan lalu lintas yang sudah sering terjadi yaitu tabrakan maut.

Tabrakan maut menurut penulis adalah suatu kejadian atau peristiwa di

jalan yang tidak terduga dan tidak sengaja melibatkan kendaraan dengan

pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia baik luka-luka sampai

meninggal dunia, serta memberikan kerugian harta benda. Terjadinya tabrakan

maut sering disebabkan karena kondisi psikologis si pengguna jalan seperti tidak

fokus dalam berkendara, tertidur, mabuk, tidak memperhatikan aturan lalu lintas

dan lain sebagainya. Sering pula karena kelalaian tersebut menyebabkan

terjadinya kecelakaan maut yang melahirkan banyak korban.13

Kecelakaan atau tabrakan maut yang mengakibatkan orang meninggal

maupun luka-luka, akhir-akhir ini sering dipublikasikan maupun ditayangkan

melalui media masa. Sebenarnya, Indonesia telah mengatur ketentuan tersebut,

salah satunya terkait perbuatan yang menyebabkan kematian seseorang yang

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)

pada Pasal 338 dan pasal 359 KUHP. Namun kedua pasal tersebut tidak dapat

diberlakukan begitu saja terhadap kasus tabrakan maut. Salah satu alasannya yaitu

adanya aturan khusus yang dapat diberlakukan dalam peristiwa yang berkaitan

dengan lalu lintas tersebut yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan. Sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis

13

Soerjono Soekanto, Inventarisasi dan Analisa terhadap Perundang-undangan Lalu

Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara,

(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 21.

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

6

yaitu aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum.14

Selama perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut dilakukan bukan karena

kesengajaan dan dilakukan dalam keadaan berlalu lintas, maka Undang-undang

No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ yang harus digunakan.

Adanya aturan khusus dalam berlalu lintas tersebut, merupakan

konsekuensi dari tujuan dikeluarkannya UU LLAJ yang tertera di dalam

konsiderans UU LLAJ, terutama huruf b, yang menyatakan:

“Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem

transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk

mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu

lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan

ekonomi dan pengembangan wilayah”.15

Tujuan dari undang-undang tersebut dalam aplikasi sehari-hari seringkali

mengecewakan masyarakat, dan hal ini dapat dilihat dengan seringnya terjadi

kecelakaan maupun tabrakan maut. Secara realitanya kecelakaan yang sering

terjadi berawal dari pelanggaran lalu lintas. Hal inilah yang kurang disadari dalam

masyarakat, masih banyak masyarakat yang menganggap remeh untuk mematuhi

aturan lalu lintas. Kebanyakan masyarakat terkhusus para pengguna jalan hanya

merasa takut pada Polisi yang berjaga di jalan, bukan atas dasar keinginan dari

diri pribadi untuk mengikuti peraturan lalu lintas. Sehingga ketika tidak ada Polisi

yang berjaga, sebagian warga melakukan pelanggaran yang tak jarang

menyebabkan kecelakaan hingga menimbulkan korban.

Polemik tersebut juga terjadi pada kasus kecelakaan maut yang dilakukan

oleh AS yang mana AS pada saat itu tidak memperhatikan aturan lalu lintas. AS

berkendara dalam kondisi tak stabil, lelah dan mengantuk, kualitas jalan yang

buruk, serta tikungan tajam. Kasus tersebut akan menjadi bahasan penulis pada

skripsi ini, dalam deskripsi kasus tersebut dijelaskan bahwa kecelakaan mobil

Xenia dengan plat nomor kendaraan B 2478 XI yang dikendarai oleh AS

menabrak 12 (dua belas) pejalan kaki di trotoar. Tercatat 3 (tiga) dewasa, 3 (tiga)

14

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2008), h.

33. 15

Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP,

(Jakarta: Prenadama Group, 2016), h. 210 – 211.

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

7

remaja pria, 1 (satu) remaja wanita, dan 1 (satu) balita meregang nyawa akibat

kecelakaan maut tersebut.

Kasus di atas menimbulkan akibat dan pertanggungjawaban pidana yang

besar dimana dalam perbuatan tersebut mengakibatkan adanya korban yang

meninggal maupun luka-luka. Seiring berjalannya kasus dan dikeluarkannya

putusan oleh hakim yang mana menjatuhi hukuman pidana penjara selama 15

tahun kepada AS, namun masih banyak ketidakpuasan terutama dari pihak

keluarga korban akan kurangnya jumlah hukuman yang diberikan melihat akibat

yang ditimbulkan dari perbuatannya.

Menjadi pertanyaan terkait bagaimana pandangan Islam terhadap kasus

tersebut? Di mana kecelakaan maut tersebut mengakibatkan banyaknya korban

Jiwa dan luka-luka. Ditambah lagi kecelakaan maut tersebut terjadi dikarenakan

kealpaan yang disebabkan dari mengkonsumsi ekstasi yang juga tergolong

narkoba. Apakah Islam memiliki pandangan lain terhadap kasus tersebut yang

mana dapat menjawab ketidakadilan yang dimiliki oleh keluaraga korban ataukah

Islam memiliki pandangan yang sama terkait kasus tersebut dan menurut Islam

putusan yang diberikan tersebut sudah didasarkan dengan alasan atau bukti yang

tepat.

Persoalan-persoalan di atas itulah yang membuat penulis berkeinginan

untuk mencurahkan penelitiannya pada perihal terkait tabrakan maut. Dikarenakan

kasus serupa sudah sering terjadi sepanjang terus berkembangnya jenis lalu lintas

dan transportasi masyarakat. Seringkali terjadinya kasus kecelakan dewasa ini

yang secara garis besarnya disebabkan karena kelalaian yang dialami para

pengendara. Kemudian berdasarkan data yang telah penulis temukan di Badan

Pusat Statistik bahwa pada tahun 2018, terdapat 109.215 jumlah kecelakan yang

terjadi di Indonesia yang diantaranya 29.472 orang meninggal dunia, 13.315

mengalami luka berat, 130.571 mengalami luka ringan, dan 213.866 mengalami

kerugian materi. Besarnya jumlah korban yang dihasilkan dari kecelakaan lalu

lintas yang berakhir pada tabrakan maut mengakibatkan kurangnya rasa keamanan

dalam berlalu lintas. Kecelakaan maut yang mengakibatkan kematian haruslah

diberikan sanksi sesuai jumlah kerugian yang dialami korban, demi menimbulkan

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

8

efek jera bagi pengendara. Hilangnya nyawa seseorang sebenarnya secara materil

tidak dapat digantirugikan, akan tetapi masih banyak pengendara yang lalai dalam

berkendara atau yang berkendara dalam keadaan yang tidak stabil dan hal itu

dikarenakan tidak adanya ketakutan pada diri mereka terhadap sanksi yang

diberikan. Untuk itulah penulis mengambil judul “PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA” sebagai penambah

wawasan bagi para pembaca agar tidak meremehkan pelanggaran yang terjadi

dalam berlalu lintas.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang proposal di atas, penulis mengidentifikasi

beberapa permasalahan sebagai berikut:

a. Konsep dan teori hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

dalam kecelakaan lalu yang mengakibatkan kematian dan luka-luka

dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

b. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas

yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka menurut hukum pidana

Islam dan hukum pidana positif.

c. Penerapan hukum pidana materil terhadap kecelakaan lalu yang

mengakibatkan kematian dan luka-luka dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.

d. Proses pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara kecelakaan

lalu lintas yang mengakibatkan kematian dan luka-luka pada putusan

No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.

e. Analisis putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan

lalu lintas berat perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana

positif.

2. Pembatasan Masalah

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

9

Pada penulisan skripsi ini demi menghindari uraian materi yang tidak

menyimpang dari pokok permasalahan, penulis membatasi masalah yang akan

dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang

penulis harapkan. Di sini penulis hanya akan membahas bagaimana kasus

kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-luka dalam

putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst perspektif hukum pidana positif dan

hukum pidana Islam. Adapun terkait penerapan pasal pada penelitian ini adalah

penerapan pasal pada saat peradilan berlangsung.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

yang ingin dibahas dari penelitian adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana penerapan hukum pidana materil dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan kematian dan luka-luka?

b. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan

Hakim dalam memutuskan perkara No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

tentang kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka-

luka?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka di bawah ini dikemukakan

tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan kematian dan luka-luka.

b. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap

pertimbangan Hakim dalam memustuskan perkara No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tentang kecelakaan lalu lintas yang

menyebabkan kematian dan luka-luka.

2. Manfaat Penelitian

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

10

a. Manfaat teoritis adalah dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam

mengetahui pandangan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam

mengenai tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka.

Manfaat teoritis tersebut diharapkan berguna bagai kalangan pelajar,

penegak hukum, mahasiswa, dan akademisi lainnya.

b. Manfaat praktis diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, para

penegak hukum, mahasiswa, akademisi dan pengguna jalan. bagi

penegak hukum dapat memberi manfaat penegakan hukum dalam

menerapkan aturan terhadap kasus tabrakan maut yang menyebabkan

kematian dan luka-luka. Selain itu, dengan dipaparkannya materi terkait

akibat dan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan pada pelaku

tabrakan maut diharapkan dapat menimbulkan kesadaran diri akan

aturan dalam berlalu lintas sehingga dapat mengurangi dan mencegah

terjadinya kasus tabrakan maut yang serupa.

D. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang peneliti terapkan pada skripsi ini adalah

pendekatan yuridis-nomatif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah

penelitian yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.

Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian dan doktrin

(ajaran).15

Adapun bentuk pendekatan tersebut adalah pendekatan perundang-

undangan (statue Approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

approach) yang berkaitan dengan putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peenulis pada penulisan skripsi ini

adalah dengan penelitian Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode

penelitian yang menekankan pada aspek suatu pemahaman secara mendalam

15

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31.

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

11

terhadap masalah yang diteliti.16

Dalam hal ini penulis berusaha menjawab

rumusan masalah yang telah penulis jelaskan di sub bab sebelumnya, yang

mana membahas masalah terkait penerapan pidana materil dalam

pertimbangan hakim pada No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst dan pandangan

hukum islam terkait kasus tersebut.

3. Data Penelitian

a. Sumber Data

Adapun dua sumber data yang penulis gunakan dalan penulisan ini

antara lain:

1) Sumber primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.17

Yakni dari penelitian ini adalah Al-Qur‟an, Hadist, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No 22

tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan Putusan

No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst.

2) Sumber sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang

berupa catatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah

beberapa literatur baik berupa buku-buku, catatan, dan dokumen-

dokumen atau diktat yang ada pada redaksi.18

Dalam penelitian

ini penulis menggunakan yaitu buku-buku teks dan dokumen-

dokumen yang menjelaskan suatu dan/atau beberapa persoalan

hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel, surat kabar dan seterusnya.

b. Jenis Data

Sumber-sumber data yang telah penulis paparkan di atas diambil

berdasarkan dua jenis data yang penulis gunakan yaitu:

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada group,

2008), h. 23. 17

Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjaun

Singkat), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13. 18

Husni Husman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,

(Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 32.

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

12

1) Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh

peneliti (atau petugasnya) dari sumber pertamanya.19

Sesuai

dengan sumber data penelitian penulis yaitu Al-Qur‟an,

Hadist, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, dan Putusan No. 665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst,

data-data tersebut merupakan sumber data pertama atau

sumber data langsung dari bahasan yang menjadi penelitian

penulis.

2) Data Sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh

peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Dapat juga

dikatakan data yang tersusun dalam bentuk dokumen-

dokumen.20

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian

ini adalah metode dokumen. Metode dokumen adalah cara pengumpulan data

dengan cara memanfaatkan data-data berupa buku, catatan (dokumen).

Metode dokumen akan dilakukan terhadap data primer dan data sekunder.

Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam penelitian ini dengan

teknik kepustakaan melalui menelaah buku-buku, dokumen-dokumen dan

lain-lain yang relevan dengan masalah yang dibahas.21

5. Teknik Pengolahan Data

Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini,

yaitu metode kualitatif. Maka teknik pengolahan data pada penelitian ini

dimulai dengan melakukan pengkodean data, kemudian dilakukan

kategorisasi, dan fragmentasi data. Pemilahan, pemilihan dan pemotongan

data dilakukan sesuai kebutuhan. Seperti pada penelitian ini dengan

19

Suharsimi Arikunto, Preosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2006), h. 129. 20

Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 93. 21

Muchtar, Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif, (Jakarta: Referensi, 2013), h.

201.

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

13

menyeleksi fragmen hasi data kepustakaan terkait tabrakan maut yang akan

dipakai dalam penulisan skripsi.

6. Metode Analisis Data

Metode analisis data menjelaskan model analisis atau perspektif

tertentu yang dipakai dalam mendeskripsikan dan menginterpretasikan

temuan penelitian. Model analisis yang penulis gunakan pada metode

penelitian kualitatif ini adalah model analisis wacana.

Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari makna pesan

sebagai alternatif lain akibat keterbatasan dari analisis isi. Secara teoritis

memiliki prinsip yang hampir sama dengan beberapa pendekatan

metodologis, seperti analasis struktural, pendekatan dekonstruksionisme,

interaksi simbolis dan hermeneutika, yang semuanya lebih menekankan pada

pengungkapan makna yang tersembunyi.22 Pada penelitian ini penulis

mengungkapkan makna dari data yang penulis temukan baik berupa teori,

konsep maupun istilah lainnya, sehingga dianalisis dan dijadikan sebagai

bahan studi penelitian yang penulis tulis.

7. Pedoman Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan

Fakultas Syari‟ah dan Hukum” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

diterbitkan pada tahun 2017. Mengikuti panduan buku tersebut dan disertai

arahan Dosen Pembimbing diharapkan skripsi ini telah dibuat sesuai dengan

keinginan fakultas.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal-hal apa saja yang

menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika

penulisan yang terdiri dalam 5 bab dimana masing-masing bab berhubungan satu

dengan yang lain, yaitu:

1) Bab I: Pendahuluan

22

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, cet. ke-7, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2010), h. 206.

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

14

Pada Bab ini penulis akan menguraikan bagaimana latar belakang

masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2) Bab II: Kajian Teoritis dan Review Hasil Studi Terdahulu

Pada bab ini penulis akan membahas beberapa materi terkait tindak

pidana, pertanggungjawaban pidana dan teori pemidanaan. Adapun beberapa

materi yang menjadi sub bab pada bab ini yaitu mengenai istilah dan

pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak

pidana, pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang, kesengajaan dan

kealpaan, dan teori pemidanaan, serta review hasil studi terdahulu.

3) Bab III: Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Pidana Islam dan

Pidana Positif.

Bab ini akan membahas antara lain yaitu pengertian kecelakaan lalu

lintas berat dan pertanggungjawaban pidananya dengan berdasarkan

pandangan hukum pidana Islam dan pidana positif.

4) Bab IV: Analisis Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan

Kematian dan Luka-Luka dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst

Bab ini merupakan hasil dari penelitian yang mana di dalamnya

memaparkan analisis pertimbangan hakim dalm Putusan PN No.

665/Pld.B/2012/PN.Jkt.pst. Analisis penulis tersebut dipaparkan berdasarkan

konsep atau teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya baik

berdasarkan perspektif hukum pidana maupun hukum pidana Islam.

5) Bab V : Penutup

Bab ini mencakup antara lain kesimpulan dan saran dalam penelian dan

penulisan ini.

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

15

BAB II

KAJIAN TEORITIS: PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,

demikian juga dengan WvS Hindia Belanda (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana), namun tidak terdapat penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk

memberikan arti dan isi dari istilah tersebut.1

Tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Strafbaar

Feit atau Delict”. Sedangkan perkataan pidana berasal dari bahasa sansekerta.

Dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut

“penalty”, artinya hukuman. Peristiwa pidana menurut Utrecht adalah suatu

pelanggaran kaidah atau pelanggaran hukum (normovertreding), yang diadakan

karena kesalahan pelanggar, dan harus diberi hukuman untuk dapat

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.2

Sedangkan Vos merumuskan, bahwa tindak pidana adalah suatu kelakuan

manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu

kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.3 Sementara dalam

perundang-undangan sendiri, ada banyak istilah yang digunakan untuk

menunjukan pengertian strabaarfeit, Beberapa istilah tersebut yaitu peristiwa

pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang

diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Perbedaan istilah tersebut tidak

menjadi persoalan, selama penggunaannya disesuaikan berdasarkan kegunaan

maknanya dan kesesuaian konteks kalimatnya. Oleh karena itu, istilah-istilah

1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h.

67 2 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,

1994), h. 252. 3 Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

16

tersebut sering digunakan secara bergantian tergantung makna dan kesesuian

kalimatnya. Intinya tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar atau

bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang

yang dapat dipertanggungjawabkan.4

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak

pidana (strafbaar feit). Unsur objektif antara lain: perbuatan orang, akibat yang

kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai

perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat openbaar atau di muka umum.

Sedangkan unsur subjektif yaitu: orang yang mampu bertanggung jawab, adanya

kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan,

kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan

keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sebagaimana halnya pengertian tindak

pidana selalu berkaitan dengan dipidananya pembuat banyak diikuti oleh para ahli

hukum pidana yang menganut teori monistis, dalam hal tindak pidana yang

demikian subjek dari tindak pidana hanya ditekankan pada manusia sebagai

subjek hukum.5

Terhadap unsur-unsur tindak pidana, ada ahli yang berpendapat bahwa

antara unsur subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan)

tidak perlu dilakukan pemisahan dan ada pula yang merasa perlu untuk

dipisahkan. Golongan yang merasa tidak perlu dilakukan pemisahan disebut aliran

monisme, sedangkan yang merasa perlu untuk dipisahkan disebut aliran

dualisme.6

Paham monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan

syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan

4 R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,

(Bogor: Politeia, 1979), h. 26. 5 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III, cet. III,

(Bandung: Reflika Aditama, 2003), h. 59. 6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.

75.

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

17

menjadi unsur tindak pidana.7 Pada aliran dualisme memisahkan antara perbuatan

dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Para ahli hukum yang paham

dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos, Tresna Roeslan Saleh, A. Zainal

Abidin, dan Fetcher mengatakan “perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan

yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya”.8 Unsur

keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau

memperberat pidana yang dijatuhkan.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana: Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini

disebutkan dalam undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang

disebut kejahatan (Rechtdelicten atau delik hukum) dan pada buku ke III memuat

delik-delik tentang pelanggaran (wetsdelict) atau delik undang-undang.9 Terdapat

dua pendapat yang mencoba untuk menemukan perbedaan sekaligus kriteria

antara pelanggaran dan kejahatan yaitu dari segi kualitatif dan kuntitatif. Adapun

dari segi kualitatif yaitu:

1. Rechtdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,

terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang

atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

bertentangan dengan keadilan contohnya: pembunuhan, pencurian.10

2. Wetsdelicten adalah perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia

tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai

perbuatan terlarang karena undang undang mengancam dengan pidana.11

Perbedaan secara kualitatif yang diterangkan di atas ini tidak dapat

diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum

dalam KUHP, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan

7 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, (Jakarta Raja: Grafindo Persada, 2007), h.

76. 8 Fletcher George P, Rethinking Criminal Law, (Oxford: Oxford University Press, 2000),

h. 455. 9 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.

10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 58.

11 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka setia, 2000), h. 55-56.

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

18

dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang benar-benar dirasakan

bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu

tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.12

Pendapat kedua mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada

perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriteria pada

perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, adalah pelanggaran itu lebih ringan

daripada kejahatan.13

D. Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan

sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.14

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat

dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung

konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat.

Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.15 Pada RKUHP Juli

tahun 2006, tujuan pemidanaan ditentukan dalam pasal 51 yaitu pemidanaan

bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat, untuk memasyarakatkan terpidana

dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,

menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta

membebaskan rasa bersalah pada terpidana.16

12

Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:

Prenadamedia Group, 2014), h. 45. 13

Ismu Gunadi, dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahai Hukum Pidana, (Kencana:

Prenadamedia Group, 2014), h. 45. 14

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education

Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95. 15

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education

Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 95. 16

RKUHP Juli Tahun 2006, dalam Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta:

Deepublish, 2018), h. 19.

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

19

Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas, muncullah beberapa teori yang

dapat dipakai yaitu:

1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorieen)

Teori absolut (retributive) berpandangan bahwa pidana dijatuhkan

semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan

sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Jadi disini

dasar pembenarannya adalah kejahatan itu sendiri.17

Mengenai hal

tersebut, Kant berpendapat pidana yang diterima seseorang pelaku

kejahatan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan

yang dilakukannya, bukan suatu konsekuensi logis dari suatu kontrak

sosial.18

2. Teori relatif atau tujuan (doel theorieen),

Teori tujuan atau relatif adalah berusaha untuk mencegah kesalahan

pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana

untuk mencegah kejahatan. Teori prevensi dapat ditinjau dari dua segi,

yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan dijatuhkannya sanksi

pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya, karena ada

perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada

masyarakat pada umumnya. Sementara itu, prevensi khusus ditujukan

kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.19 Teori relatif

atau tujuan ini terdiri atas teori pencegahan, teori perbaikan (pendidikan,

verbeterings theorie), menyingkirkan penjahat dari lingkungan/pergaulan

masyarakat (onschadelijk maken); dan menjamin ketertiban hukum

(rechtsorde).20

3. Teori gabungan (verenigings theorieen).

Teori gabungan berpendapat bahwa penjatuhan pidana adalah

perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, yakni penjatuhan

17

Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5. 18

Kant dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5. 19

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15. 20

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, dalam Ishaq, Hukum Pidana,

(Depok: Rajawali Press, 2019), h. 7.

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

20

pidana bukan saja untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa yang akan

datang. Oleh karena itu, penjatuhan pidana harus dapat memberi kepuasan

bagi Hakim, penjahat itu sendiri dan juga kepada masyarakat. Jadi harus

ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan degan kejahatan yang

telah dilakukan.21

E. Pertanggungjawaban Pidana dalam Perundang-Undangan

KUHP tidak mencantumkan secara tegas apa yang dimaksud dengan

pertanggungjawaban pidana, tetapi pertanggungjawaban pidana diatur secara

negatif dengan menggunakan frasa “tidak dipidana” (pasal 48, 49, 50,51 KUHP),

“tidak dapat dipertanggungjawabkan” (pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP) dan lain-

lain. Pengaturan yang demikian menimbulkan lahirnya teori-teori tentang

pertanggungjawaban pidana dalam civil law di Belanda, dan khususnya di

Indonesia yang mengadopsi KUHP Belanda.22

Secara umum, teori-teori hukum pidana mengenai pertanggungjawaban

pidana menurut civil law selalu dikaitkan dengan kesalahan, atau yang biasa

disebut dengan asas kesalahan yang dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa

kesalahan”.23

KUHP yang berlaku saat ini yang menganut kesalahan sebagai

unsur tindak pidana dan sekaligus membahas pertanggungjawaban pidana yang

disebut dengan teori monistis. Teori dualistis yang berpendapat bawa kesalahan

sebagai unsur pertanggungjawaban pidana bukan sebagai unsur tindak pidana,

karena tindak pidana hanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.24

Perbedaan dua aliran di atas melahirkan konsep yang berbeda terkait apa-

apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana yang harus

21

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, dalam Ishaq,

Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9. 22

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),

h. 234. 23

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),

h. 234, 24

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education

Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 40.

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

21

dipertanggungjawabkan. Adapun pada aliran monistis yang termasuk unsur-unsur

perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan adalah berupa adanya

perbuatan, sifat melawan hukum, kesalahan, tidak adanya alasan pembenar, tidak

ada alasan pemaaf, dan mampu bertanggungjawab. Berbeda dengan aliran

monistis, pada aliran dualistis memisahkan kesalahan sebagai unsur tindak pidana.

Sehingga membagi keduanya menjadi unsur tindak pidana dan unsur

pertanggungjawaban pidana. Unsur tindak pidana tersebut yaitu berupa adanya

perbuatan, sifat melawan hukum, dan alasan pembenar, sedangkan unsur

pertanggungjawaban pidana terdiri dari mampu bertanggungjawab, kesalahan, dan

tidak adanya alasan pemaaf.25

Sifat melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar sebagai unsur-

unsur pertanggungjawaban pidana selalu berhubungan dengan norma-norma

hukum yang bersumber dari norma moral, (kesusilaan). Tidak adanya sifat

melawan hukum atau adanya alasan pembenar mengakibatkan pembuat tidak

dipersalahkan atas perbuatannya itu (asas geen schuld zonder wederrechtelijk).

Tinjauannya adalah apakah tindak pidana yang dilakukan pembuat terdapat

pelanggaran terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Apakah

terdapat aturan hukum atau prinsip hukum yang dapat membenarkan perbuatan.

Dua kajian tersebut akan menentukan pertanggungjawaban pidana pembuat.26

Kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf selalu berhubungan dengan

pembuat (subjektif). Tidak adanya kesalahan atau adanya alasan pemaaf

mengakibatkan tidak dipertanggungjawabkannya pembuat (asas geen straf zonder

schuld). Meskipun kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana

berhubungan dengan pembuat (subjektif), tetapi kesalahan dalam pengertian ini

tidak bersifat psikologis tetapi merupakan penilaian secara teleologis. Tidak

dinilai hubungan antara keadaan psycologis pembuat dengan perbuatannya, tetapi

pembuat yang pada dasarnya dalam keadaan normal perlu diteliti menurut

25

Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education

Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012), h. 43. 26

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),

h. 239.

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

22

kepentingan hukum maupun prinsip-prinsip keadilan ia dipertanggungjawabkan

atau tidak dipertanggungjawabkan.27

Pada hukum positif di Indonesia atau perundang-undangan yang berlaku

juga tidak diatur atau tidak dijelaskan tentang pengertian pertanggungjawaban

pidana. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dalam suatu tindak pidana

dalam hukum positif, para praktisi maupun para yuris hanya mengambil teori-teori

tentang pertanggungjawaban pidana yang tersebar dalam doktrin-doktrin. Telah

menjadi suatu prinsip bahwa pertanggungjawaban pidana adalah didasarkan pada

kesalahan. Kesalahan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana adalah

dilihat dari segi keputusan Hakim, yaitu untuk menentukan tindakan menghukum

yang diambil. Pidana atau pemidanaan itu diberikan dengan sengaja oleh orang

atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan pemidanaan

itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut

undang-undang.28

Pertanggungjawaban pidana dibutuhkan dalam hubungannya

untuk menentukan pemidanaan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana.

F. Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana

1. Kesengajaan

Diterimanya bentuk-bentuk kesalahan sebagai unsur tindak pidana yaitu

kesengajaan didasari oleh pemikiran bahwa aspek psychologis dari kejahatan

merupakan bagian dari tindak pidana dan segi yang salah dari aspek

psychologis, dari perbuatan ini akan menentukan kesalahan dari pembuat.29

Pendapat ini sebenarnya dipengaruhi oleh teori finalitas dari Wezel, yang

menjelaskan bahwa perbuatan yang menempatkan semua unsur psychologis

kejahatan, termasuk kesengajaan ke dalam perbuatan. Perbuatan menurut teori

27

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),

h. 239. 28

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:

Alumni, 2010), h. 4. 29

Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.

38.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

23

ini dianggap sebagai suatu peristiwa fisik yang tidak hanya digerakkan oleh

perbuatan kemauan tetapi juga dikendalikan dan ditentukan oleh niat

seseorang.30

Kesengajaan dalam bahasa Belanda disebut opzetelijk dari kata opzet,

dalam bahasa Prancis disebut dolus, sedangkan dalam bahasa latin disebut

doleus. Menurut oxford advanced learner's dictionary kesengajaan adalah "that

which one purposes or plans to do".31

Kesengajaan merupakan keinginan,

kehendak atau kemauan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika dihubungkan

dengan tindak pidana maka dalam melakukan suatu, tindak pidana haruslah ada

unsur-unsur yang menyebabkan tindakan tersebut dikatakan kesengajaan

melakukan suatu tindak pidana.32

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada saat

ini sama sekali tidak menerangkan tentang makna atau arti dari kesengajaan

dalam melakukan tindak pidana. Konsep KUHP baru yang akan datang

bermaksud merumuskan istilah kesengajaan dan juga kealpaan (culpa).33

Kesengajaan yang tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak

pidana disebut dengan kesengajaan yang berwarna. Kesengajaan dapat tersusun

dengan frasa yang bermacam-macam serta mengandung pengertian yang

berbeda-beda antara rumusan yang satu dengan yang lainnya dalam unsur-unsur

tindak pidana.34

Ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:

a. Kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk). Dalam VOS,

definisi sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki

perbuatannya..35

30

Soedjono, Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h.

38. 31

AS. Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary. (Oxford: Oxford University

Press, 1995), h. 621. 32

Kansil CST, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

1999), h. 287. 33

Barda Nawawi Arief,.Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998),

h. 89. 34

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2016), h. 101. 35

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 225.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

24

b. Kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bij zakerheids-

bewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan

perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi

dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan

mengikuti perbuatan itu.36

c. Kesengajaan dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij

mogelijkheids-bewustzijn). Kesengajaan ini didefinisikan sebagai

seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan

suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin

akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-

undang.37

Kesengajaan yang tidak tercantum dalam rumusan tindak pidana

biasanya disebut dengan kesengajaan yang tidak berwarna. Kesengajaan yang

tidak berwarna ini tidak perlu dibuktikan apakah pembuat menghendaki atau

mengetahui bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang dirumuskan dalam

peraturan pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang.38

Ditambah kesengajaan

dan kealpaan yang tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana

akan dilakukan penilaian secara normatif, bukan secara psychologis. Menurut

Schaffmeister, kesalahan normatif sebagai pencelaan kepada pembuat hanyalah

sebagai akibat dari kesalahan.39

Unsur kesengajaan yang tidak tercantum di dalam rumusan tindak pidana

adalah sebagai suatu konsekuensi karena suatu tindak pidana tidak selalu

ditentukan pada adanya kehendak atau karena adanya kealpaan. Tidak harus

tercantumnya unsur kesengajaan ini juga merupakan konsekuensi bahwa

kesalahan bukan sebagai unsur yang konstitutif. Tidak tercantumnya unsur

kesengajaan, maka penuntut umum tidak perlu membuktikan apakah perbuatan

36

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

2002), h. 97. 37

Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005),

h. 15. 38

J. M. Van Bemmelan, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum,

Hasnan (pnerj), (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 101. 39

D. Schafffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor J.E.

Sahetapy dan Agustinus Pohan, (New York: Cambridge university Press, 2007), h. 80.

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

25

itu dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tidak peduli apakah

pembuat melakukan tindak pidana dengan sengaja karena mengetahui atau

menghendaki.40

2. Kealpaan

Kealpaan yaitu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada

dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang

hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan.41

Van Hammel menyatakan

bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu :

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh

hukum.42

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam

melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya

tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau

tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat

berikan.42

Oleh karena itu Simons berpandangan bahwa culpa itu pada dasarnya

mempunyai dua unsur yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van

de voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya

perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”.43

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), dalam hal ini, si pelaku telah

membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi

walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.44

40

Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2016), h. 101. 41

Wirjono Prodjodikoro, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:

Pradnya Paramitha, 1997), h. 61. 42

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 201. 42

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 217. 43

Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht, P. Noordhoff N.V., (Groningen-

Batavia, 1937), h. 267. 44

Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafrika, 2005,

h. 15.

Page 36: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

26

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), dalam hal ini, si

pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu

akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang.

Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu

akibat.45

Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat

ringannya, yang terdiri dari :

a. Kealpaan berat (culpa lata), dalam bahasa Belanda disebut dengan

merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa

kealpaan berat ini ini tersimpul dalam “kejahatan karena kealpaan”.46

b. Kealpaan ringan, dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld,

para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh

karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat di dalam hal

pelanggaran buku III KUHP.47

Salah satu pasal yang terdapat dalam KUHP yang merupakan kejahatan

kealpaan yakni pasal 359 KUHP,48

dimana dapat dipidananya orang yang

menyebabkan matinya orang lain karena kesalahannya atau kealpaannya.

Menurut Lamintang, terkait ketentuan pasal 359 KUHP tersebut diketahui

bahwa bagi meninggalnya seseorang itu undang-undang telah mensyaratkan

adanya unsur schuld atau culpa pada diri pelaku.49

G. Review Hasil Studi Terdahulu

Pada penelitian ini, penulis melakukan analisis terhadap kajian terdahulu

sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Berikut sedikit paparan tinjauan

pustaka atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

45

Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarata: Sinar Grafrika, 2005),

h. 15. 46

Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi

Unhas, 1989), h. 65. 47

Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, (Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi

Unhas, 1989), h. 65. 48

Gerry M. Rizki, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Permata Press, 2008), h. 120. 49

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap

Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 211.

Page 37: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

27

Pertama, Skripsi berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

ATAS KELALALIAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN

HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (Analisis Putusan Nomor:

27/Pid.Sus/2016/PT.PAL)” telah diujikan dalam sidang skripsi di Fakultas

Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 November

2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Pidana Islam atas nama Andika

Bachtiar. Fokus penelitian pada karya ilmiah ini terdapat pada tindak pidana

kelalaian lalu lintas yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dengan

menganalisis putusan Nomor: 27/Pid.Sus/2016/PT.PAL. Adapun hasil

penelitiannya berupa analisis putusan pengadilan Nomor:

27/Pid.Sus/2016/PT.PAL tentang kelalaian lalu lintas yang menyebabkan

hilangnya nyawa orang lain dengan ditinjau dari hukum positif dikenakan

hukuman berdasar pasal 310 ayat (4) UU LLJ dan ditinjau dari hukum Islam

dikenakan diyat mukhaffafah. Adapun persamaan skripsi ini dengan penelitian

penulis yaitu keduanya sama-sama membahas masalah kelalaian lalu lintas yang

menyebabkan kematian. Akan tetapi pada persamaan tersebut memiliki perbedaan

dalam rincian bahasannya yaitu pada penelitian yang penulis buat tidak hanya

membahas kelalaian yang menyebabkan kematian berdasarkan pasal 310 UU

LLAJ saja, tetapi juga membahas yang berdasarkan pasal 311 UU LLAJ.

Kemudian secara umum perbedaan kedua penulisan ini yaitu pada penelitian

penulis, pembahasannya tidak hanya pada kelalaian yang menyebabkan

kematiannya tetapi juga kelalaian yang menyebabkan luka-luka, dan perbedaan

kedua adalah terdapat pada putusan yang dianalisis penulis yaitu putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.

Kedua, artikel skripsi “Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan

Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas” yang ditulis oleh

Agio V. Sangki. Skripsi ini telah diujikan pada ujian skripsi di Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratulangi, Manado pada tahun 2012. Pada artikel skripsi ini

membahas dua pokok permasalahan yaitu: Pertama, terkait tentang tanggung

jawab pidana pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam

Page 38: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

28

kecelakaan lalu lintas, dan Kedua, tentang apakah tindak pidana kecelakaan lalu

lintas yang mengakibatkan kematian di masa yang akan datang dalam

pembentukan KUHP nasional masih perlu dipertahankan. Pada penulisan artikel

ini dengan skripsi yang penulis tulis memang ada kesamaan dalam beberapa

bagian isinya yaitu tentang tanggung jawab pidana pengemudi kendaraan yang

mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas. Keduanya sama-sama

memiliki pembahasan terkait pertanggungjawaban pidana akan tetapi pada

penulisan skripsi yang penulis tulis, pembahasan pertanggungjawaban pidananya

tidak hanya pada kecelakaan yang mengakibatkan kematian tetapi juga kecelakaan

yang mengakibatkan luka-luka dan pembahasan tersebut juga didasari pada teori

hukum pidana Islam yang mana tidak menjadi bahasan pada artikel ini.

Ketiga, skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pejalan Kaki (Study

Kasus Tugu Tani di Jakarta” yang ditulis oleh Widyananda Altriara Maharani

telah diujikan dalam sidang skripsi di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga

Surabaya pada tahun 2012. Fokus penelitian pada skripsi ini yaitu membahas

upaya hukum yang dilakukan oleh pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas

akibat kesalahan dari pengendara mobil. Dengan hasil penelitian bahwa ahli waris

korban dapat menuntut kerugian pada terdakwa AS atas dasar telah melakukan

perbuatan melanggar hukum sebagaimana pasal 1365 BW jo pasal 1370 BW.

Adanya persamaan kasus yang dibahas pada kedua karya ilmiah akan tetapi ada

perbedaan substantif dari permasalahan yang dibahas, yaitu terletak pada pokok

pembahasannya. Pada skripsi ini pokok bahasannya mengacu pada perlindungan

hukum bagi pejalan kaki sedangkan pada skripsi yang penulis tulis pokok

bahasannya terkait dengan menganalisis putusan Hakim terhadap tindak pidana

tabrakan maut yang menimbulkan banyaknya korban jiwa dan luka-luka.

keduanya memiliki perbedaan substantif dan ditambah lagi pada skripsi yang

penulis tulis juga menambahkan pandangan Islam di dalamnya.

Sesuai dengan rincian beberapa karya ilmiah yang telah penulis telusuri,

dapat ditemukan beberapa karya ilmiah yang secara garis besarnya sama-sama

memiliki pembahasan terkait kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi pada beberapa

karya ilmiah tersebut secara khususnya memiliki perbedaan substantif baik pada

Page 39: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

29

bagian judul maupun isi. Perbedaan substantif tersebut utamanya dapat

ditemukan pula pada skripsi yang penulis tulis yang mana dari segi sumber

bahasan tidak hanya dari materi hukum pidana Indonesia tetapi juga diambil dari

materi hukum pidana Islam. Kemudian dari segi permasalahan yang dibahas pada

skipsi penulis yang mana jika dirincikan memiliki sub bab yang berbeda dari

tulisan lainnya. Ada beberapa dari karya ilmiah memaparkannya sub bab yang

sama namun hal tersebut tidak mengganggu keaslian hasil tulisan penulis.

Berdasarkan kondisi tersebut maka penulis yakin akan judul yang penulis sajikan

yaitu tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

DAN LUKA-LUKA”.

Page 40: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

30

BAB III

KECELAKAAN LALU LINTAS BERAT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kecelakaan Lalu Lintas Berat Perspektif Hukum Positif

1. Pengertian Kecelakaan Lalu lintas Berat

Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian, yang tidak

diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan benda, luka atau

kematian.1 Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, kecelakaan lalu lintas

adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan disengaja melibatkan

kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban

manusia dan/atau kerugian harta benda.2 Menurut pasal 229 UU LLAJ

kecelakaan digolongkan menjadi tiga, yaitu:3

a. Kecelakaan lalu lintas ringan, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (2) UU

No. 22 Tahun 2009, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan

kerusakan kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan lalu lintas sedang, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (3),

merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan

kendaraan dan/atau barang.”

c. Kecelakaan lalu lintas berat, dijelaskan dalam pasal 229 ayat (4),

merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia

atau luka berat.”

1 Idries, A.M., Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan,

(Jakarta: CV. Sagung Seto, 2011). 2 Pasal 1 Ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. 3 Pasal 229 Ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 41: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

31

2. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang

Mengakibatkan Kematian.

Perihal kewajiban dan tanggung jawab pengemudi diatur dalam pasal 234

ayat (1) UU LLAJ bahwa: “Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau

perusahaan angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh

penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian

pengemudi”.4 Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ mengecualikan ketentuan

sebagaimana dimaksud di atas yang tidak berlaku jika:5

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Tabrakan maut yang mengakibatkan kematian diatur dalam peraturan

yang lebih khusus yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Ada dua kategori

pada undang-undang tersebut. Pertama, pengaturan yang memidana pengemudi

karena kealpaannya menyebabkan kematian orang lain dan diatur dalam pasal

310 ayat (4), yang menyatakan bahwa: “Dalam hal kecelakaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.6

Kedua, pengaturan tentang kecelakaan maut tersebut memang bukan

merupakan pembunuhan karena kesengajaan. Akan tetapi, kecelakaan tersebut

terjadi karena perbuatan yang dilakukan si pelaku sebelum terjadinya kecelakaan

dapat diketahui merupakan perbuatan yang akan mengancam nyawa seseorang.

Berdasarkan hal tersebut, pelaku tabrakan maut dapat dikenakan pasal 311 ayat

1 dan 5 UU LLAJ. pasal 311 ayat (1) UU LLAJ berbunyi: “Setiap orang dengan

4 Pasal 234 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. 5 Pasal 234 Ayat (3), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. 6 Pasal 310 Ayat (4), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Page 42: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

32

sengaja mengemudikan kendaraannya bermotor dengan cara atau keadaan yang

membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling

lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta

rupiah)”. Kemudian pada ayat (5) berbunyi: “Dalam hal perbuatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda

paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.7

3. Pertanggungjawaban Pidana pada Kecelakaan Lalu Lintas yang

Mengakibatkan Luka-Luka.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu

Lintas Jalan, pada pasal 93 menerangkan bahwa korban kecelakaan dibagi

menjadi 3 (tiga), yaitu : korban mati (meninggal dunia), korban luka berat, dan

korban luka ringan.8 Pemidanaan pada pelaku tabrakan maut yang

mengakibatkan luka-luka secara khusus diatur dalam Undang-Undang No. 22

Tahun 2009 (LLAJ) pasal 310 ayat (2) dan (3) dan pasal 311 ayat (4). Pada

pasal 310 ayat (2) dan (3) menjelaskan kecelakaan terjadi karena pengemudi

berkendara dalam keadaan lalai. Jika kecelakaan itu mengakibatkan luka ringan

(pasal 310 ayat 2) dibebankan pidana 1 (satu) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 2.000.000,00, sedangkan jika kecelakaan itu mengakibatkan luka

berat (pasal 310 ayat 3) dibebankan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00. Berbeda dengan pasal 310, pada

pasal 311 ayat (4) menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi karena pengemudi

sebelum berkendara dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat

mengakibatkan korban kecelakaan luka berat. Pemidanaan pada luka berat ini

berupa pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak

Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”.

7 Pasal 311 Ayat (1) dan (5), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan. 8 Pasal 93 Ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan

Lalu Lintas Jalan.

Page 43: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

33

B. Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian dan Luka-Luka

Perspektif Hukum Pidana Islam

a. Mengakibatkan Kematian

Akibat dari tabrakan maut salah satunya adalah dapat hilangnya nyawa

seseorang. Pada hukum pidana Islam terkait tindak pidana atau jinayah yang

dilakukan dengan kelalaian atau secara tidak sengaja atau semi sengaja sering

dikaitkan dengan tindak pidana atas jiwa yang disebut dengan pembunuhan

atau Qatl.9 Pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia adalah

pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap Habil. Hal ini diungkapkan

dalam surah Al-Maidah ayat 30:10

انخبسش فمزه فأصجخ ي عذ ن فس لزم أخ (: / )انبئذح فط

Artinya: “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah

membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di

antara orang-orang yang merugi.”

Wahbah Zuhaili dalam bukunya, fiqih islam wa adillatuhu

mendefinisikan pembunuhan tersalah sebagai “pembunuhan yang terjadi

tanpa ada maksud, keinginan dan kesengajaan sama sekali baik tindakannya

itu sendiri maupun korbannya, seperti ada seseorang bermaksud melempar

suatu pohon atau binatang, lalu lemparan itu justru mengenai orang lalu

mati.”11

Secara bahasa, mukhti‟ adalah orang yang menghendaki sesuatu yang

benar namun mengenai sesuatu yang lain.12

Berdasarkan kesepakatan fuqaha tidak ada sanksi hukuman qishas di

dalam pembunuhan tersalah dan yang serupa dengannya, akan tetapi hanya

ada dua sanksi hukum saja, yaitu hukuman pokok berupa diyat dan kafarat,

9 Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 135.

10 Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemahan, (Jawa Barat: Diponegoro, 2011), h.

112. 11

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 548. 12

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqasid Syari‟ah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 246.

Page 44: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

34

dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat

wasiat.13

1) Hukuman Pokok

Hukuman pokok pada pembunuhan karena kesalahan adalah

berupa diyat mukhaffafah (diyat ringan) yaitu diyat seratus ekor unta.

Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh ekor unta hiqqah, dua

puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu labun, dua puluh

ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu makhadh.14

Diyat

ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas orang yang

membunuh. Mereka membayarnya dengan diangsur dalam tiga tahun,

tiap-tiap tahun keluarga tersebut harus membayar sepertiganya.15

Sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi besar

denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan

pelaku.16

Hukuman pokok yang kedua adalah hukuman kafarat, Hukuman

kafarat dijatuhkan atas pembunuhan karena kesalahan dan menyerupai

sengaja. Hal ini telah disepakati oleh para fuqaha. Ketentuan ini

didasarkan kepada Firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ ayat 92.

Adapun jenis hukumannya adalah membebaskan seorang hamba yang

mukmin. Apabila hamba tidak ada, maka hukumannya diganti dengan

puasa dua bulan berturut-turut.17

2) Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan berupa penghapusan hak waris dan wasiat

merupakan hukuman konsekuensi yang diberikan atas pembunuhan

13

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 661. 14

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 662-663. 15

Rasjid, S, Fiqih Islam, (T.tp.: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430. 16

Sinulingga, R., dan Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Pidana. (Sultan Agung Fundamental Research Journal, 2020), h. 31–

43. 17

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah

(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156.

Page 45: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

35

yang dilakukan. Oleh karena itu, apabila seorang pewaris membunuh

orang yang diwaris, ia tidak bisa mendapatkan hak bagian warisan dari

harta pusaka orang tersebut, atau apabila ada seseorang yang diberi

harta wasiatan (al-muushaa Iahu) membunuh orang yang mewasiatkan

harta itu untuknya, maka ia tidak bisa mendapatkan harta wasiatan

tersebut. Hal ini sebagai bentuk implementasi prinsip saddudz dzaraa'i'

(menutup celah-celah yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk kepada

hal-hal yang dilarang), supaya tidak ada seorang pun yang tamak dan

mengincar harta orang yang akan diwarisi dengan cara menyegerakan

kematiannya dengan cara membunuhnya.18

b. Mengakibatkan Luka-luka

Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menyebabkan luka-luka

karena kelalaian dalam Islam yaitu dengan diyat atau ursy.19

Jenis tindak

pidana yang hanya mengakibatkan luka-luka dan tidak sampai

menghilangkan nyawa seseorang disebut dengan al-jinayat „ala maa duni al-

nafs.20

Imam Ahmad membagi pelukaan berdasarkan niatnya menjadi dua,

yaitu: sengaja dan tidak disengaja. Perbedaan keduanya terletak pada

hukuman yang diberikan, yang pertama diqisas dan yang kedua didiyat.21

Jumlah diyat pelukan dengan sengaja sama dengan penganiyaan dengan tidak

sengaja, akan tetapi berbeda kualitasnya karena untuk perbuatan pertama

dikenakan diyat berat dan untuk perbuatan kedua dikenakan diyat ringan.22

Diyat yang berat antara lain 100 ekor unta terdiri dari 30 ekor haqiqah, 30

ekor jadza‟ah, dan 40 ekor khilafah. Sedangkan diyat ringan itu terdiri dari

18

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 646. 19

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-

196. 20

Sudjari Dahlan, Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP, (Surabaya: Makalah,

2001), h. 9. 21

Abd al-Qadir Audah, al-Tashri‟ al-Jina‟iy al-Islami Muqaddaran bi al-Qanun al-

Wad‟iy, (T.tp.: Maktabah Dar al-Urubah, t.th.), h. 205. 22

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.

279.

Page 46: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

36

100 ekor unta berupa 20 ekor haqiqah, 20 ekor jadza‟ah, 20 ekor bintu labun,

dan 20 ekor makhail.23

Adapun hadis yang menjelaskan jumlah hukuman diyat sesuai pelukaan

yang diderita, yaitu:

ع أث ثكش ث عش ث دضو ع أث ع جذ: أ سسل الله ص.و كزت إن أم ان كزبثب كب

ف كزبث.... إ ف الا ف إر أعت جذع انذخ ف انشجم انادذح صف انذخ ف انجضز

ف انشجم اندذح صف انذخ ف انذخ ف انزكش انذخ ف انصهت انذخ ف انع انذخ

انأيخ صهش انذخ ف انجبئفخ صهش انذخ ف انمهخ خضخ عشش يبلإثم ف كم أصجع ي أصبثع

انذ انشجم عشش ي الإثم ف انضذخ خس ي الإثم إ انشجم مزم ثبنضأح عبن أم

( سا انسبا (انزت أنف دبس

Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa

Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalam

suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai

gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu

diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang

belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,

pada ma‟munah sepertiga diyat, pada jaifah sepertiga diyat, pada muqilah

lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada

satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa

dibunuh (diqishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya

seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).24

Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa ada beberapa macam

jenis diyat berdasarkan tempat pelukaannya yaitu:

1) Diyat berdasarkan hilangnya jumlah anggota badan (diyat Kamilah dan

diyat ursy)

2) Diyat yang menghilangkan suatu manfaat dari anggota badan.

3) Diyat pada luka di kepala, wajah dan badan.

4) Pelukan yang tidak termasuk dari ketiga di atas.

23

Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rhincka

Cipta, 1994), h. 266. 24

Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab

Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).

Page 47: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

37

BAB IV

ANALISIS KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG

MENGAKIBATKAN KEMATIAN DAN LUKA-LUKA DALAM PUTUSAN

No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

A. Penerapan Pidana Materil dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

tentang Kecelakaan lalu lintas yang Mengakibatkan Kematian dan

Luka-Luka Perspektif Hukum Positif.

1. Deskripsi Kasus

Terdakwa AS pada hari Sabtu tanggal 21 Januari 2012 sekitar jam

23.00 Wib bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya yaitu saksi AST,

saksi DM, saksi APG, saksi AH dan saksi PAR di Cafe Upstair di Jalan

Cikini, Jakarta Pusat. Di sana mereka mengadakan acara minum-minuman

beralkohol berupa Tequila, Vodka dan bir. Selanjutnya sekitar jam 03.00

Wib, mereka melanjutkan acaranya di Diskotik Stadium di Jalan Hayam

Wuruk, Jakarta Barat dengan acara joget (tripping) dan mengkomsumsi

narkotika jenis pil ekstasi yang dibeli dari seseorang yang tidak dikenal

dengan cara patungan.

Pada hari Minggu tanggal 22 Januari 2012 sekitar jam 10.47 Wib

terdakwa AS yang masih berada di Diskotik Stadium bermaksud meminjam

mobil milik saksi AH. Akan tetapi saksi AST yang mengetahui permintaan

terdakwa AS tersebut, mengetahui kondisi terdakwa AS dalam kondisi lelah

dan mengantuk karena tidak tidur semalaman dan minum-minuman

beralkohol serta mengkonsumsi narkotika jenis pil ekstasi, saksi AST

memperingatkan terdakwa AS agar tidak mengemudikan kendaraan bermotor

dan menganjurkan pulang dengan naik taksi. Namun terdakwa AS tetap

bersikeras bahwa dirinya masih bugar dan bisa mengendarai mobil. Akhirnya

saksi AH meminjamkan mobil Daihatsu Xenia warna hitamnya kepada

terdakwa AS.

Page 48: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

38

Mobil Daihatsu Xenia yang dibawa petugas valet datang. Selanjutya

terdakwa AS masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi di jok pengemudi.

Saksi AST duduk di samping terdakwa AS sedangkan saksi AH, saksi APG,

dan saksi DM duduk di belakang. Setelah membantu saksi AH yang pulang

ke rumahnya di Bekasi dengan taksi, terdakwa AS melanjutkan perjalanan

menuju ke Jalan Hayam Wuruk dan di tengah perjalanan saksi AST kembali

menanyakan kondisi terdakwa AS dan terdakwa AS merespon dengan

jawaban “masih kuat”. Selanjutnya mobil mengarah ke Jalan Ir. Juanda

Jakarta Pusat menuju Jalan MI Ridwan Rais.

Ketika mobil Daihatsu Xenia yang dikemudikan terdakwa AS sedang

berjalan di lajur II (tengah) di Jalan MI Ridwan Rais, dari jarak sekitar 50

(lima puluh meter) menjelang traffic light (lampu pengatur lalu lintas),

terdakwa AS melihat lampu lalu lintas menyala hijau. Terdakwa AS justru

memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi yaitu sekitar 91,30 km/jam.

Sehingga terdakwa AS kehilangan kendali dan secara tiba-tiba mobil tersebut

keluar dari lajur II (lajur tengah) ke lajur kiri (lajur I) dengan posisi

menyerong ke kiri dan naik ke trotoar. Saat itu terdapat rombongan pejalan

kaki yang dipimpin saksi TH sebanyak 8 (delapan) orang berjalan dari arah

selatan (Tugu Tani) menuju arah utara (PUSPOM TNI). Dan juga terdapat

rombongan pejalan kaki berjumlah 10 (sepuluh) orang yang dipimpin oleh

korban FH yang berjalan di trotoar dari arah utara menuju ke arah selatan

(Tugu Tani). Tanpa diduga, mobil tersebut langsung menabrak korban FH (17

tahun) dan korban IA (9 tahun), yang mengakibatkan kedua korban tersebut

terlempar ke atas atap kap mobil dan membentur kaca bagian depan mobil

Daihatsu Xenia warna hitam tersebut dan kemudian terlempar lagi ke sebelah

kiri sejauh kurang lebih 2-3 meter dan menimpa saksi TH yang sedang

berjalan menggandeng KY (7 tahun).

Bahwa setelah Mobil yang dikemudikan terdakwa AS menabrak

korban FH dan korban IA, terdakwa AS tidak melakukan pengereman tetapi

terdakwa AS tetap memacu kendaraannya dengan menginjakkan pedal gas

mobil sehingga menabrak korban AR (22 tahun) dan korban BI (17 tahun).

Page 49: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

39

Akibatnya kedua korban tersebut terlempar ke atas kap mobil dan membentur

kaca bagian depan mobil dan selanjutnya kedua korban tersebut terlempar

sejauh 12 (dua belas) meter jatuh di lajur I (lajur kiri). Selanjutnya mobil

terus melaju dan secara berturut-turut menabrak korban WH (25 tahun),

korban MH (16 tahun), korban NAF (18 tahun), korban SM (29 tahun) yang

menggendong korban YSP (2,5 tahun), korban NR (25 tahun) dan korban SI

(50 tahun). Setelah menabrak para korban, mobil terus berjalan hingga

menabrak 4 (empat) tiang besi berantai di depan Kantor Pajak dan pondasi

beton tiang halte Tugu Tani. Kemudian mobil meluncur kearah gedung

Kantor Pajak lalu menabrak canstin dan bagian kiri belakang mobil

membentur hydrant di depan Kantor Pajak lalu mobil berhenti dengan posisi

miring menghadap ke Jalan MI Ridwan Rais depan Kantor Pajak Jakarta

Pusat.1

2. Dakwaan Penuntut Umum

Pelanggaran lalu lintas di dalam perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/Pn/.Jkt.Pst ini digolongkan kedalam pelanggaran lalu lintas

berat dikarenakan menyebabkan 6 (enam) orang meninggal di tempat

kejadian, 3 (tiga) orang meninggal di RSPAD serta 3 (tiga) orang luka berat

dan dirawat di RSPAD.2

Adapun dakwaan yang dikenakan kepada terdakwa AS oleh penuntut

umum dalam perkara putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst yaitu dakwaan

yang dibuat secara kumulatief, alternatief (pilihan) dan subsidaritas. Pertama

jaksa mendakwa terdakwa telah melanggar pasal 338 KUHP. dengan posita

sebagaimana yang telah penulis tulis di bagian deskripsi kasus. Adapun isi

pasal 338 KUHP yaitu “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang

1 Lihat dokumen isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST. 2 Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST.

Page 50: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

40

lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun.”3

Dakwaan kedua yang ditujukan pada terdakwa AS atas pelanggaran

lalu lintas adalah primer melanggar pasal 311 ayat 5 UU No. 22 tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan subsidair melanggar pasal 310

ayat (4) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan.4

Dakwaan ketiga terdakwa AS oleh Penuntut Umum yaitu primair

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 311 ayat 4 UU No. 22

tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dan dakwaan subsidair

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 310 ayat 3 UU No. 22

tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim

Pertimbangan Hakim merupakan salah satu aspek terpenting yang

menjadi dasar atau sandaran adanya putusan. Hal ini dikarenakan setiap

putusan yang dikeluarkan oleh Hakim harus berdasarkan fakta peradilan yang

ada. Pada pasal 197 butir (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “Hakim sebelum mengambil putusan

terlebih dahulu menyusun suatu pertimbangan yang disusun secara ringkas,

mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari

pemeriksaan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”.5

Pertimbangan Hakim bermula pada saat Hakim menyatakan

pemeriksaan ditutup. Selanjutnya Hakim memeriksa dan mengadili suatu

perkara mengadakan musyawarah untuk mendapatkan putusan yang adil yang

sesuai dengan tujuan dari hukum.6 Ada dua indikator yang harus di

perhatikan Hakim yakni: Bagaimana Hakim dengan rasionya dan hati

3 Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST 4 Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST 5 Pasal 197 Butir (1) huruf (d) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) 6 AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas

Atmajaya, 2014), h. 148.

Page 51: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

41

nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan

di persidangan. Mencari, Menemukan dan Menerapkan hukum yang tepat

sesuai dengan rasa keadilan inividu (pelaku), masyarakat (korban), dan

negara (undang-undang).7

Adapun ringkasan pertimbangan Hakim pada putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yaitu:

a. Berdasarkan fakta persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa

terdakwa sehat jasmani dan rohani serta mengerti apa yang didakwakan

JPU sehingga terdakwa mampu bertanggung jawab menurut hukum.

b. Hasil pemeriksaan urine, Nomor: R/25/I/2012/DOKPOL dan hasil

pemeriksaan laboratoris No: 5546.A/I/2012 terhadap urine dan darah

terdakwa. Pada kedua pemeriksaan tersebut terdakwa terbukti

mengkonsumsi narkoba dan sejumlah alkohol.

c. Terdakwa AS dibebaskan dari dakwaan kesatu yaitu tidak terpenuhinya

unsur kesengajaan pada pasal 338 KUHP. Berdasarkan fakta yang

terungkap di persidangan bahwa tidak terdapat satupun fakta yang

menunjukkan terdakwa mengemudikan Mobil Xenia mempunyai niat

atau tujuan menghilangkan nyawa para korban.

d. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan terdakwa dan para saksi

sebelumnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa sebelum

mengemudikan mobil dalam keadaan lelah dan juga dibawah pengaruh

narkotika sehingga dapat menurunnyanya tingkat kesadaran dan

konsentarasi terdakwa dalam mengemudikan mobil. Berdasarkan hal itu,

terdakwa sudah seharusnya mengetahui kondisinya agar tidak

mengemudikan mobil karena dapat membahayakan bagi pemakai jalan

lainnya. Akan tetapi, terdakwa tetap mengemudikan mobil xenia hitam

dari Stadium menuju Kampus IKJ di TIM Cikini, setelah lampu merah

di Jl. MI Ridwan Rais akhirnya terdakwa tidak dapat menguasai

kendaraannya dan menabrak para korban. Dari rangkaian perbuatan

7 AL. Wisnubroto, Praktik Persidangan Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Universitas

Atmajaya, 2014), h. 151.

Page 52: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

42

terdakwa tersebut maka dengan demikian unsur dengan sengaja

mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang

membahayakan bagi nyawa dan barang telah terpenuhi. Sehingga semua

unsur dalam pasal 311 ayat (5) UU no.22 tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dalam dakwaan kedua primair

telah terpenuhi. Begitu pula unsur dengan sengaja mengemudikan

kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi

nyawa atau barang pasal 311 ayat (4) UU no.22 tahun 2009 dalam

dakwaan ketiga primair. Dan karena kejadian tindak Pidana

sebagaimana didakwakan dalam dakwaan ketiga primair adalah sama

dengan dakwaan kedua primair baik tempat kejadiannya (locus delicti)

maupun waktunya (tempus delicti).

e. Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan di mana akibat ditabrak

mobil yang dikemudikan terdakwa tersebut terhadap korban,

sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah termasuk dalam

pengertian luka berat, sebagaimana dalam penjelasan pasal 229 ayat (4)

huruf a dan g UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, dengan demikan unsur mengakibatkan kecelakan lalu

lintas dengan korban luka berat telah terpenuhi.

f. Menimbang, bahwa sepanjang persidangan Majelis Hakim tidak

menemukan adanya alasan yang dapat meniadakan hukuman

(strafuitsluitingsgronden) terdakwa atas perbuatannya dan terdakwa

dipandang mampu untuk bertanggung jawab maka kepada terdakwa

harus dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut.

g. Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa di atas tidak terdapat suatu

pemaksaan secara fisik maupun phsikis terhadap terdakwa, baik untuk

melakukan aktivitas dari sore sampai pagi besoknya, maupun

mengkonsumsi narkotika yang mengakibatkan pada ia tidak dapat

menguasai mobil, sehingga menabrak para korban,. Dengan demikian

Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa menabrak para

Page 53: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

43

korban dengan mobil dikemudikannya tidak dalam keadaan overmacht

sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 KUHP.

h. Terdakwa terbukti melakukan dua tindak pidana sebagaimana dalam

pertimbangan di atas, maka dengan demikian ketentuan pasal 65 ayat

(1), ayat (2) KUHP berlaku dalam penjatuhan pemidanaan terhadap diri

terdakwa.

Kemudian dari berbagai pertimbangan tersebut berdasarkan fakta-

fakta yang ditemukan oleh Hakim saat pemeriksaan di peradilan, maka

Hakim mengeluarkan putusan terhadap perkara yang diancamkan kepada

terdakwa AS. Adapun putusan hakim dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yitu:

a. Menyatakan terdakwa AS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan kesatu;

b. Membebaskan terdakwa AS dari dakwaan kesatu;

c. Menyatakan terdakwa AS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: Dengan sengaja mengemudikan kendaran

bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa

mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan dengan sengaja

mengemudikan kendaran bermotor dengan cara atau keadaan yang

membahayakan bagi nyawa mengakibatkan kecelakaan Lalu lintas

dengan korban luka berat;

d. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun;

e. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan padanya;

f. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan;

g. Menetapkan barang bukti (dapat dilihat dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst);

h. Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp. 2.000,-

(dua ribu rupiah).

Page 54: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

44

4. Analisis Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst

Kecelakaan yang dilakukan oleh terdakwa AS digolongkan ke dalam

kecelakaan lalu lintas berat. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 229 ayat (4)

UU LLAJ bahwa “Kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban

meninggal dunia atau luka berat.”8 Pada kasus tabrakan maut yang dilakukan

oleh terdakwa AS menghasilkan 6 (enam) orang meninggal di tempat

kejadian, 3 (tiga) orang meninggal di RSPAD serta 3 (tiga) orang luka berat

dan dirawat di RSPAD.9

Tabrakan maut yang dilakukan oleh AS menurut penulis adalah hasil

dari perbuatan AS sendiri. Hal itu dikarenakan, terdakwa AS sebelum

terjadinya tabrakan maut telah melakukan tindakan yang besar kemungkinan

dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan. Terdakwa AS pada saat

berkendara tidak dalam keadaan stabil dan penuh konsentrasi dan kondisi

terdakwa tersebut telah melanggar pasal 106 ayat 1 UU No. 22 tahun 2009

tentang LLAJ bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor

di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh

konsentrasi”.10

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab tabrakan maut

terdakwa AS berdasarkan putuan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst yaitu:

a. Pengaruh alkohol dan narkoba menyebabkan terdakwa AS mengemudi

tidak dalam keadaan stabil.

Tindakan mengemudikan mobil dalam kondisi mabuk setelah

minum-minuman keras sama berbahayanya dengan efek yang

ditimbulkan mengonsumsi narkoba. Pengemudi akan kehilangan

kendali atas dirinya, gerakan tubuh tidak terkoordinasi, pandanganya

menjadi kabur. Serangkaian efek yang ditimbulkan tersebut tentunya

8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan, Pasal 229 Ayat (4), hlm 109. 9 Lihat Dokumen Isi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara Nomor:

665/Pid.B/2012/PN/.JKT.PST. 10

Pasal 106 ayat 1 Undang-Undang No. 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Page 55: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

45

akan mengganggu konsentrasi, penilaian, penglihatan dan koordinasi

daripada aktifitas gerak pengemudi.11

b. Terdakwa AS berkendara dalam keadaan kurang tidur dan lelah

Pengendara yang mengantuk akan berkurang staminanya jika

mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam selama 2 jam

tanpa berhenti. Banyaknya kecelakaan yang disebabkan pengendara

mengantuk dikarenakan pengendara sepeda motor pada umumnya

tidak merasa bahwa dirinya mengantuk, seringkali mereka

memaksakan dirinya untuk tetap mengendarai motor.12

c. Terdakwa AS dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pengemudi.

Pada putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst ditemukan bahwa

terdakwa AS tidak memiliki SIM atau Surat Izin Mengemudi. Hal ini

membuktikan bahwa terdakwa AS secara hukum tidak memenuhi

kriteria sebagai pengemudi dan dianggap tidak memiliki kemampuan

untuk mengemudi. Aturan mengenai SIM ini salah satunya diatur pada

Pasal 77 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009.

d. Terdawa AS yang berkemudi secara ugal-ugalan.

Tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS merupakan sebuah tindak

pidana. Sebagaimana Vos merumuskan bahwa “Tindak pidana adalah suatu

kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang,

jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana”.13

Sebagaimana akibat tabrakan tersebut mengakibatkan kematian dan luka-

luka, pada keduanya memiliki peraturan yang mengancamnya.

Terdapat pidana pada setiap pelanggaran atau kejahatan. Teori absolut

(retributive) berpandangan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena

orang telah melakukan kejahatan. Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan

11

Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 1993 Tentang Perlengakapan Kendaraan

Bermotor, Departemen Perhubungan RI, 1993. 12

Metta Kartika, Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di

Wilayah Depok Tahun 2008, (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan

Masyarakat, 2009), h. 15-23. 13

Tri Andriman, Hukum Pidana, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), h. 83.

Page 56: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

46

terhadap orang yang melakukan kejahatan.14

Sebagaimana pada kasus AS

yang juga digolongkan sebagai perbuatan pidana karena kelalaiannya

menyebabkan kematian dan luka-luka mengharuskan AS dijatuhi

pemidanaan. Sehingga pemidanaan terdakwa AS tersebut menurut teori

absolut merupakan bentuk keharusan dan sebagai pembalasan dari

perbuatannya. Teori absolut juga dikenal sebagai teori pembalasan di mana

pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu

dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah

pembalasan.15

Terdapat pula teori lain yang memiliki pandangan berbeda terkait

tujuan pemidanaan. Teori itu disebut dengan teori tujuan atau relatif. Teori

tujuan atau relatif adalah berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa

mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk mencegah

kejahatan.16

Telah diketahui dari fakta yang terungkap di persidangan bahwa

terdakwa AS merasa menyesal terhadap pelanggaran yang telah dia lakukan.

Penyesalan terdakwa AS tersebut merupakan salah satu wujud dari teori

prevensi. Dengan demikian hukuman yang diberikan pada AS dapat menjadi

pelajaran bagi pelaku sendiri dan dapat juga menimbulkan ancaman atau rasa

takut kepada pengguna jalan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama

yang dilakukan AS.

Pemidanaan di Indonesia memakai kedua konsep dari teori tersebut,

yang juga disebut dengan teori gabungan. Teori gabungan merupakan

perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, yakni penjatuhan

pidana bukan saja untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa yang akan

datang.17

Sebagai pembalasan dari perbuatan pidana yang telah dilakukan dan

sebagai pencegah agar tidak lagi mengulangi atau melakukan perbuatan

pidana tersebut.

14

Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 5. 15

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 31. 16

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 15. 17

SR. Sianturi, dalam Ishaq, Hukum Pidana, (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 9.

Page 57: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

47

Pemidanaan yang dijatuhkan kepada terdakwa AS merupakan bentuk

pertanggungajawaban terdakwa AS terhadap tabrakan maut yang

dilakukannya. Sebagaimana diatur dalam pasal 234 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang

menyatakan bahwa: “Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau

perusahaan angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita

oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena

kelalaian pengemudi”.18

Menurut aliran monitis pertanggungjawaban pidana dapat dijatuhkan

apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana, yaitu: adanya perbuatan, sifat

melawan hukum, kesalahan, tidak adanya alasan pembenar, tidak ada alasan

pemaaf, dan mampu bertanggungjawab. Terdakwa AS telah melakukan

tabrakan maut yang menyebabkan kematian dan luka-luka adalah bukti

bahwa AS telah melakukan suatu perbuatan yang notabenenya bersifat

melawan hukum dan dipandang tercela oleh masyarat.

Tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar pada kesalahan

yang dilakukan AS dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst tersebut

menyebabkan keharusan bagi terdakwa AS untuk dipidana dan

bertanggungjawab. Sebagaimana alasan pemaaf yang diatur dalam pasal 42,

43, 44, 45, dan 46 KUHP menjelaskan bahwa tidak dipidana seseorang

selama perbuatannya itu karena paksaan, tekanan dan ancaman yang tidak

bisa dihindari. Sedangkan untuk alasan pembenar yang diatur dalam pasal 31,

32, 33, 34, dan 35 KUHP menjelaskan tidak dipidana orang yang melakukan

tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan,

melaksanakan perintah jabatan, keadaan darurat, dan pembelaan diri.19

Terdapat pula aturan khusus terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam lalu

lintas yang diatur dalam pasal 234 ayat (3) UU LLAJ dengan isinya, yaitu:

18

Pasal 234 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan. 19

Abdullah Ahmad Mukhtarzain, Pemaafan dalam Pemidanaan Menurut Hukum

Islam dan Hukum Nasional, Jurnal Idea Hukum, Vol. 4 No. 1 Maret 2018, Magister Hukum

Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman.

Page 58: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

48

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar

kemampuan pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga;

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil

tindakan pencegahan.

Berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, terutama dari

keterangan saksi dan barang bukti yang ada, dapat dikatakan bahwa kasus

tabrakan maut yang dijatuhkan kepada terdakwa AS adalah kasus tindak

pidana karena kealpaan yang disadari (bewuste schuld) atau kealpaan berat.

Kealpaan pada diri terdakwa AS pada kasus itu terletak pada terdakwa AS

yang Dia menghendaki suatu perbuatan yaitu: Dia yang berinisiatif untuk

mengendarai mobil dan Dia membayangkan bahwa kondisinya tersebut tidak

memungkinkan untuk berkendara dikarenakan pengaruh narkoba, alkohol,

lelah dan mengantuk. Namun Dia yakin akan kemampuannya dalam

berkendara bahwa Dia dapat mencegah terjadinya akibat lain yang tidak

diinginkan sampai tabrakan maut itu terjadi. Hal ini dikarenakan pada saat

mengendarai mobil si terdakwa dalam keadaan mabuk yang menyebabkan

terdakwa menjadi tidak waspada, tidak hati-hati dan tidak sadar hingga

terjadinya kecelakaan. Padahal sebelum terjadinya kecelakaan terdakwa

mengatakan bahwa ia sanggup berkendara. Ini sesuai dengan pernyataan Jan

Remmelink terkait dengan culpa lata atau dapat disebut luxuria bahwa pelaku

sudah memperhitungkan kemungkinan munculnya akibat dari tindakanya,

namun ia percaya bahwa ia masih dapat menghindari atau mencegahnya.20

Unsur kesengajaan tidak terpenuhi pada kasus AS. Hal ini

dikarenakan tidak ditemukannya bukti bahwa terdakwa AS pada sebelum

ataupun saat mengemudikan Mobil Xenia mempunyai niat atau tujuan yang

jelas untuk menghilangkan nyawa orang dengan cara menabrakannya.

Meskipun ada yang menganggap bahwa tindakan terdakwa AS termasuk

sebagai kesengajaan dengan kemungkinan, dengan alasan pengendara tahu

20

Jan Remmelink, Hukum Pidana;Komentar-KomentarAtas Pasal-Pasal Terpenting

dalam Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padananya dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarata: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 108.

Page 59: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

49

bahwa jika mengendarai mobil dalam keadaan mabuk akan memungkinkan

terjadinya kecelakaan maut. Akan tetapi ada unsur yang kurang dari pendapat

tersebut, yaitu pada defenisi kesengajaan memiliki unsur niat, motivasi,

perencanaan, persiapan, dan eksekusi. Sedangkan hal itu tidak ditemukan

pada kasus AS yang kecelakaannya terjadi karena AS tidak menduga atau

merencanakan tabrakan maut tersebut. Pendapat ini dikuatkan oleh

pernyataan Andi Hamzah bahwa persamaan antara kesengajaan sebagai

kemungkinan atau yang disebut sebagai dolus eventualis dengan kealpaan

yang disadari atau bewsute culpa yaitu pembuat delik dapat melihat

kemungkinan akibat perbuatan yang dilakukannya, letak perbedaan keduanya

ialah pada culpa yang disadari pembuat sama sekali tidak menghendaki

akibat atau keadaaan yang berhubungan dengan itu, bahwa pembuat sadar

dapat menghindari akibat perbuatanya.21

Masalah kelalaian yang disadari dalam peristiwa tabrakan maut

tersebut, memang benar bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa AS bukanlah dakwaan pembunuhan sengaja. Akan tetapi pada

kasus tabrakan maut tersebut ada suatu keadaan di mana si terdakwa

diingatkan oleh salah seorang temannya/saksi agar terdakwa sebaiknya tidak

menyetir. Akan tetapi si terdakwa tetap bersikeras bahwa dia dalam kondisi

mampu untuk menyetir meskipun terdakwa saat itu dalam pengaruh mabuk

karena alkohol dan ekstasi. Kondisi terdakwa tersebutlah menyebabkan

terpenuhinya unsur “Dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor

dengan cara atau keadaan yang membahayakan...” yang terdapat pada pasal

pasal 311 ayat (1), (4) dan (5) UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Maka berdasarkan keterangan tersebut terdakwa dikenakan

ancaman pidana pada pasal 311 ayat (4) dan (5) UU LLAJ sebagaimana yang

didakwaan oleh penuntut umum dalam dakwaan primair kedua (pasal 311

ayat (4)) dan dakwaan primair ketiga (pasal 311 ayat (5)).

21

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.

134.

Page 60: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

50

Penetapan hukuman 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim kepada

terdakwa AS didasarkan pada pertimbangan Hakim dari segi yuridis,

sosiologis dan filosofis. Sebagaimana Mahkamah Agung RI telah

menentukan bahwa putusan Hakim harus mempertimbangkan segala aspek

yang bersifat filosofis, yuridis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin

dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan dalam putusan Hakim

adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),

keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (sosial justice).22

a. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim

mendasarkan putusannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan

secara formil.23

Atau dalam pengertian lain, pertimbangan yuridis adalah

pertimbangan Hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap

di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai

hal yang harus dimuat di dalam putusan. Dasar pertimbangan yuridis yaitu

ketentuan dalam hukum pidana.24

Yang termasuk bahan pertimbangan

yang bersifat yuridis yaitu dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tuntutan

pidana, keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat-alat bukti, dan pasal-

pasal yang terdapat dalam Undang-Undang.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya, harus mencari dakwaan

mana yang tepat untuk dipidanakan kepada terdakwa. Pada dakwaan ke

satu yang didakwakan JPU kepada AS yaitu terdakwa melanggar dan

diancam pidana pada pasal 338 KUHP bahwa tabrakan maut yang

dilakukan AS itu merupakan pembunuhan sengaja. Hal tersebut dikuatkan

dari deskripsi kasus yang dijelaskan JPU, singkatnya: Bahwa terdakwa

AS telah diperingati oleh salah seorang temannya agar sebaiknya dia tidak

mengendarai mobil karena kondisinya yang mabuk, lelah dan mengantuk.

22

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Hakim (code of

conduct), Kode Etik Hakim, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), h. 2. 23

Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana

Indonesia, (Malang: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 193. 24

Widodo, Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannya,

(Ngalik, Sleman Yogyakarta: Aswaja Pressindo), h. 47.

Page 61: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

51

Namun AS tidak mengindahkan saran dari temannya tersebut. Penyidik

dan penuntut umum menganggap bahwa kesengajaan terpenuhi dari

kondisi tersebut karena AS seharusnya tahu bahwa mengendarai mobil

dalam keadaan tersebut dilarang sebagaimana yang dijelaskan dalam

pasal 106 ayat 1 UU LLAJ. Kondisi yang demikian juga ditambah dengan

AS yang tidak memiliki SIM sehingga dianggap tidak layak untuk

berkendara. Terlebih lagi, tepat sebelum terjadinya kecelakaan AS telah

memacu kecepatan mobilnya hingga melewati batas standar yang

ditentukan yaitu 91,30 Km/jam. Akhinya terdakwa AS yang berkendara

dengan kecepatan tersebut karena kecerobohannya keluar jalur dan

akhirnya menabrak korban Firmansyah dan korban Indra serta diikuti

korban lainnya. Kondisi-kondisi AS yang berkemudi dengan cara yang

dapat menimbulkan akibat yang membahayakan orang lain yang demikian

menurut JPU menyebabkan tabrakan maut AS tersebut dikenakan pasal

pembunuhan karena kesengajaan.

Dakwaan pertama yang ditujukan kepada AS tersebut oleh Majelis

Hakim tidak dapat terpenuhi dengan pertimbangan bahwa berdasarkan

deskripsi kasus yang dijelaskan di atas tidak ditemukan kesengajaan AS

melakukan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP baik

sebelum maupun setelah kecelakaan terjadi. Pada kesengajaan tersebut

seharusnya ada perencanaan, niat dan motivasi serta telah jelas

sebelumnya siapa orang yang akan dituju yang akan dihilangkan

nyawanya, namun tidak terdapat satupun fakta yang menunjukkan bahwa

sebelum terdakwa mengemudikan mobil xenia maupun pada saat

mengemudikan mobil xenia mempunyai niat atau tujuan yang secara jelas

berkeinginan akan menghilangkan nyawa korban-korban dengan cara

menabraknya.

Pada deskripsi kasus yang dipaparkan oleh JPU, Majelis Hakim

lebih setuju dengan mempertimbangkan bahwa terdakwa AS lebih tepat

dan terbukti dapat dikenakan ancaman berdasarkan pada dakwaan primair

kedua (pasal 311 ayat (4)) dan dakwaan primair ketiga (pasal 311 ayat (5).

Page 62: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

52

Hal ini dikarenakan terpenuhinya unsur “Dengan sengaja mengemudikan

kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan...”

yang terdapat pada pasal pasal 311 ayat (1), (4) dan (5) UU No.22 tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Hakim memustuskan bahwa AS dikenakan pasal yang lebih kusus

yang diatur dalam perundangan yang khusus mengatur tentang lalu lintas

dan angkutan jalan yaitu UU No. 22 tahun 2009. Pertimbangan Hakim

tersebut didasarkan lex specialis derogate lex generalis atau pada pasal 63

ayat (2) KUHP. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Hakim

dalam pertimbangannya telah menggunakan pertimbangan yuridis saat

memustuskan pemidanaan pada terdakwa AS.

Berbicara mengenai pertimbangan yuridis, tentang bagaimana

Hakim dalam pertimbangannya menetapkan dua dakwaan yang dapat

dijatuhkan kepada terdakwa. Sehingga diterapkan concursus pada tindak

pidana yang dilakukan terdakwa AS dan tepatnya yaitu concursus realis

antara dakwaan kedua priamair (pasal 311 ayat 5) dan dakwaan ketiga

primair (pasal 311 ayat 4). Sebagaimana masalah concursus ini diatur

dalam pada 63 sampai dengan pasal 71 KUHP. Concursus realis terjadi

apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing

perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana. Seharusnya pada

kasus AS ini juga dimasukan concursus realis pada penyalahgunaan

narkotika yang dilakukan AS. Namun pada kasus AS ini dilakukan

persidangan terpisah antara perkara penyalahgunaan narkotika yang

didakwakan pada AS dalam putusan No: 47/Pid/20130/PT.DKI dengan

perkara kecelakaan yang mengakibatkan kematian dan luka-luka dalam

putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Sehingga penerapan concursus

pada kasus AS ini tidak sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku.

b. Pertimbangan sosiologis

Hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang

sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan

mempunyai manfaat bagi masyarakat. Putusan yang memenuhi

Page 63: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

53

pertimbangan sosiologis yaitu putusan tidak bertentangan dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat (kebiasaan masyarakat). 25

Hal ini dapat

dilihat dari pertimbangan Hakim dalam putusan No.

665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst, yang salah satunya terdapat pada hal-hal yang

meringankan dan memberatkan terdakwa. Hal-hal yang bisa meringankan

dan memberatkan hukuman terdakwa AS tersebut yaitu:

Pertama, hal-hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan di

persidangan, terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda usianya

sehingga kelak dikemudian hari masih dapat diharapkan memperbaiki

kelakuannya, terdakwa telah meminta maaf kepada para keluarga korban,

dan beberapa dari keluarga korban telah memaafkan terdakwa. Kedua hal-

hal yang memberatkan, yaitu: Perbuatan terdakwa meninggalkan duka

yang mendalam bagi keluarga korban yang meninggal dunia maupun

keluarga korban yang menderita luka-luka dan perbuatan terdakwa dapat

menimbulkan keresahkan masayarakat khususnya bagi para pengguna

jalan raya.

Hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan

terdakwa tersebut menurut penulis dapat dilihat dari jumlah hukuman

yang diberikan Hakim kepada terdakwa AS. Hakim dalam putusannya

menetapkan hukuman 15 tahun penjara kepada AS. Hukuman 15 tahun

penjara tersebut berasal dari dua dakwaan yang dibebankan kepada

terdakwa AS yaitu pertama, dakwaan kedua primair (pasal 311 ayat 5)

dan kedua, dakwaan ketiga primair (pasal 311 ayat 4). Pada pasal 311

ayat 5 dimana kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian yang

diancam dengan pidana penjara 12 tahun atau denda Rp. 24.000.000,00.

Sedangkan pada pasal 311 ayat 4 dimana kecelakaan tersebut

mengakibatkan luka berat yang diancam pidana 10 tahun penjara atau

denda Rp. 24.000.000,00. Hakim dalam pertimbangganyya menggunakan

absorbsi dipertajam, sehingga akhirnya hukuman terbanyak ditambah 1/3

dari hukuman terbanyak yaitu 16 tahun penjara.

25

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 67.

Page 64: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

54

Berdasarkan penghitungan di atas, Majelis Hakim tidak langsung

memberikan hukuman 16 tahun penjara kepada terdakwa. Hal ini

dikarenakan pada penjatuhan hukuman, Hakim tidak boleh hanya terpaku

pada ketentuan baku dalam Undang-Undang. Digunakannya absorsi

dipertajam oleh Hakim dikarenakan tabrakan maut yang dilakukan AS

dapat dikategorikan sebagai tragedi yang besar karena menyebabkan

sembilan orang meninggal dunia dan tiga orang luka. Mempertimbangkan

kondisi tersebut, dan bagaimana luka yang dialami korban serta

bagaimana tragedi ini nantinya menjadi pelajaran bagi masyarakat, maka

Hakim mempertimbangkan untuk menggunakan absorsi dipertajam dalam

pemindanaannya. Sedangkan dalam hal-hal yang meringankan terdakwa

menurut penulis dapat ditemukan dari pengurangan jumlah hukuman yang

diberikan kepada AS dengan awalnya berjumlah 16 tahun menjadi 15

tahun. Tetapi dikarenakan hal-hal meringankan ini terhalangi oleh

besarnya hal-hal yang dapat memberatkan pidana AS, maka menurut

penulis tidak ada bentuk peringanan lain yang dapat diberikan Hakim

pada AS.

Terkait hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa

menurut penulis hal tersebut diserahkan kepada pendapat Hakim.

Dikarenakan tidak adanya penentuan atau rumus yang mengatur seberapa

lama orang tersebut dapat dipenjara. Aspek filosofis ini dalam

penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas

serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat

yang terabaikan. Jelas penerapannya sulit karena tidak terikat pada

sistem.26

Dihukumnya terdakwa AS berdasarkan dua dakwaan tersebut

merupakan wujud pengaplikasian dari tujuan pemidanaan. Sebagaimana

pemidanaan pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama, yaitu untuk:

(a) memengaruhi tingkah laku, dan (b) untuk menyelesaikan konflik.

26

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 126-127.

Page 65: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

55

Pada tujuan mempengaruhi tingkah laku, pemidanaan tersebut diharapkan

dapat memperbaiki tingkah laku terdakwa AS sendiri secara khususnya

dan masyarakat pengguna jalan pada umumnya agar menggunakan jalan

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan pada tujuan untuk

menyelesaikan konflik, dengan dihukumnya terdakwa AS diharapkan

dapat mengurangi sedikit keresahan bagi korban atau keluarga korban,

memberikan ganti kerugian pada keluarga korban, menyelesaikan

keresahan bagi masyarakat agar tidak menimbulkan konflik mengingat

tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS pada saat itu banyak

mendapat kecaman dari masyarakat. Adanya tujuan pemidanaan ini

merupakan wujud diadakannya asas kemanfaatan.

c. Pertimbangan filosofis

Pertimbangan filosofis, yakni pertimbangan atau unsur yang

menitikberatkan kepada nilai keadilan terdakwa dan korban. Sedangkan

menurut Bagir Manan, mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang

terdapat dalam cita hukum (rechtsidee). Diperlukan sebagai sarana

menjamin keadilan. Penerapan aspek keadilan Hakim dalam melakukan

pertimbangan pada putusan No. 665/Pid.B/2012/Pn.Jkt.Pst adalah sejalan

dengan aspek kepastian hukum.

Prinsip keadilan dari kasus AS ini juga dapat dilihat dari Hakim

yang dalam memutuskan hukuman 15 tahun penjara kepada terdakwa AS.

Menurut penulis hukuman 15 tahun penjara tersebut sudah menjamin nilai

keadilan di antara kedua belah pihak yaitu pihak terdakwa dan korban

atau keluarga korban. Hal itu dikarenakan hukuman 15 tahun penjara

tersebut sudah cukup berat mengingat kesalahan tersebut terjadi karena

ketidaksengajaan atau kealpaan AS. Dengan hukuman 15 tahun penjara

tersebut menurut penulis sudah cukup menghabiskan waktu masa muda

AS dan hal itu seharusnya menjadi pukulan besar atau penyesalan baginya

akan kesalahan yang telah dia lakukan. Maka tidak salah untuk dikatakan

kalau hukuman tersebut sudah berat dan dapat menjamin keadilan bagi

keluarga korban. Sementara itu dari sisi lain hukuman 15 tahun penjara

Page 66: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

56

ini sudah adil dikarenakan kesalahan yang dlakukan AS memberikan efek

kerugian yang besar atau memberikan duka yang mendalam bagi keluarga

korban. Mengingat tabrakan maut yang dilakukan AS pada saat itu dapat

dianggap sebagai tragedi karena adanya efek riak yang besar di kalangan

masyarakat, pakar dan bahkan politisi.

Keadilan yang penulis sebutkan di atas, hanya didasarkan dari

perspektif penulis pribadi, dan tidak menjamin semua pihak memiliki

pendapat yang sama. Oleh karena itu Hakim dalam pertimbangnnya harus

mengutamakan bagaimana pertimbangannya dapat dianggap adil oleh

kedua pihak. Pada kasus terdakwa AS yang mana setelah putusan tersebut

dikeluarkan, masih ada pihak yang menyuarakan putusan Hakim dianggap

tidak adil. Menurut penulis hal ini dikarenakan tidak jelasnya putusan

Hakim bagi kedua pihak, dimana pertimbangan Hakim tersebut tidak

dapat menjelaskan secara rasional mengenai alasan yang digunakan,

sehingga tidak dapat menyentuh rasa keadilan bagi pihak yang

berperkara.27

Oleh karena itu putusan yang dijatuhkan Hakim tersebut

kepada terdakwa AS haruslah benar-benar dipahami oleh masyarakat

terutama para pihak yang berperkara. Sebagaimana biasanya para pihak

yang berperkara atau juga masyarakat pada umumnya dalam memandang

putusan tersebut tidak dari kaidah hukum melainkan dari rasa keadilan

yang ada dalam pribadi mereka. Sehingga Hakim dalam pertimbangan

tersebut harus menjelaskan bahwa kaidah-kaidah hukum maupun teori

hukum yang digunakan sudah sesuai dengan asas keadilan. Keadilan

menurut penulis datang dari perasaan batin manusia, maka pertimbangan

Hakim tersebut haruslah dapat mempengaruhi batin manusia itu pula.

27

Darmoko Yuti Witanti dan Arya Putra N.K, Diskresi Hakim Sebuah

Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara Pidana, (Bandung:

Alfabeta, 2013), h. 33.

Page 67: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

57

B. Pandangan Hukum Pidana Islam pada Kecelakaan Lalu Lintas Berat

dalam Putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst.

Berdasarkan putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst, ditemukan beberapa

faktor yang menjadi penyebab tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS.

Faktor-faktor tersebut adalah terdakwa AS pada saat dan sebelum terjadinya

kecelakaan mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, lelah, mengantuk dan

melebihi batas standar kecepatan yang ditentukan. Keempat faktor tersebut

merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya kecelakaan

maut.

Tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta

tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur‟an

dan Hadits disebut sebagai jarimah.28

Terdapat dua istilah yang digunakan untuk

mendefinisikan tindak pidana dalam Islam yaitu jarimah dan jinayah. Adapun

secara istilah, jarimah oleh Imam Al-Mawardi didefinisikan sebagai:

انجشائى يذظسح ششعخ صجش الله رعبل عب ثذذ ا رعضش

Artinya: “Perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syar‟i yang diancam oleh Allah

SWT dengan had atau ta‟zir”.29

Kemudian untuk pengertian jinayah secara

terminologi, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdul Qadir Audah, yaitu:

فبنجبخ اسى نفعم يذشو ششعب ساء لع انفعم عه فس ايال

Artinya: “Suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan

tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”.30

Berdasarkan pengertian-pengertan tersebut, tidak salah untuk dikatakan

bahwa tabrakan maut yang dilakukan terdakwa AS adalah sebuah tindak pidana.

Mengingat tabrakan tersebut telah merenggut sembilan korban jiwa dan tiga orang

luka-luka.

Pernyataan di atas juga dikuatkan dengan alasan bahwa tabrakan maut

yang dilakukan terdakwa AS tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana

28

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 1. 29

Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, cet. III, (Mesir: Mustafa Al-

Babyi Al- Halaby, 1975), h. 219. 30

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinay Al-Islamy, (Beirut: dar Al-Kitab Al Araby),

h. 67.

Page 68: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

58

perspektif hukum pidana Islam. Unsur-unsur tindak pidana dalam Islam ada tiga

yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy (materiil) dan unsur adabiy (moral).31

Pada tabrakan maut yang dilakukan oleh terdakwa AS, Unsur syar‟iy terletak pada

pelarangan pembunuhan tersalah yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 92,

unsur maddiy (materil) ditujukan pada tabrakan maut yang dilakukan AS

mengakibatkan terjadinya jarimah qathlul qata‟ dan jarimah jarah ghair maqsud,

dan terakhir pada unsur adaby terletak pada terdakwa AS yang dapat

dikategorikan seorang mukhallaf atau orang yang layak dibebani hukum.

Terpenuhinya tiga unsur tersebut telah membuktikan bahwa perbuatan terdakwa

adalah suatu jarimah dan pada setiap jarimah akan dibebankan

pertanggungjawaban pidana selama tidak ada hal-hal yang menjadi penghalang

pertanggungjawaban itu.

Pertanggungjawaban pidana dalam Islam didefinisikan sebagai

pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang

dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui

maksud dan akibat dari perbuatannya itu.32

Terdapatnya nash dan aturan yang

melarang suatu perbuatan tersebut menjadi syarat diberlakukannya

pertanggungjawaban pidana. Sebagaimana asas legalitas dalam Islam yang salah

satunya dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surat Al-Israa‟ ayat 15 yaitu:33

جعش س دز ث يب كب يعز (: ١)الإسشاء/ سلاا …

Artinya: “.....dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus

seorang rasul” (Al-Israa‟ ayat 15)”.

Terdapat dua faktor yang menjadi terhalangnya pertanggungjawaban

pidana yaitu:

a. Adanya perkara-perkara yang menghalangi tuntutan

pertanggungjawaban. Faktor ini terdapat pada pelaku yang tidak

memiliki ahliyyah (kelayakan) untuk bertanggungjawab (tidak cakap

31

Penelitian Moh. Fauzi, Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam), h. 8. 32

A. Hanafi., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967), h. 121. 33

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 31.

Page 69: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

59

hukum), dan tidak adanya kehendak atau niatan yang alami (dalam

keadaan terpaksa).34

b. Adanya faktor-faktor pembolehan dari tindak pidana. Berupa faktor

eksternal suatu kejadian yang menyebabkan tidak terpenuhinya alasan

tajriim sehingga tindakannya tidak bisa dianggap sebagai tindakan

pidana meskipun sebenarnya tindakannya itu menurut hukum asal

adalah tindakan kejahatan, seperti tindakan membela diri yang sah dan

tindakan menggunakan suatu hak.35

Penjelasan kedua faktor di atas telah memperjelas bahwa tidak ada lagi

alasan yang dapat membatalkan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan

kepada AS. Namun, bagaimana dengan sifat ketidaksengajaan atau kelalaian pada

tabrakan maut tersebut, apakah terdakwa AS masih tetap harus dibebankan

pertanggungjawaban pidana?. Sedangkan terdapat dalil yang menjelaskan bahwa

kelalaian atau kealpaan dapat menghapus pembebanan pertanggungjawaban

pidana. Sebagaimana dalam potongan surat Al-Ahzab ayat 5 yaitu:

ن … ب اخطأرى ث كى جبح ف س عه ن ا د ا س سا غف الله كب ثكى ذد له ب رع ي (: ب )الأدضاة / ك

Artinya: “….Dan tidak ada dosa atas mu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang

ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha

Penyayang.”36

Hadist yang artinya “Dihapuskan ketentuan untuk ummatku berupa

kekeliruan, kelupaan dan keadaan dipaksa (H.R. Ṭabrāni dari Ṡauban).37

Kealpaan

terdakwa AS dapat digolongkan sebagai kekeliruan. Dengan alasan, kealpaan atau

ketidaksengajaan tersebut disebabkan pada konsisi terdakwa AS yang berkendara

dalam keadaan kurang hati-hati, tidak adanya pengendalian diri dan hilangnya

penilaian pada saat berkendara. Namun penghapusan pembebanan

pertanggungjawaban pidana karena kekeliruan tersebut, tidak dapat diberlakukan

34

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 293 35

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 293 36

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80. 37

Jalāludīin „Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr, Juz II, (Bairut: Dār

al Fikr. t.th), h. 24.

Page 70: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

60

pada kasus terdakwa AS. Hal ini dikarenakan selain ketentuan yang disebutkan

dari dalil di atas, ada juga ketentuan lain yang dapat mengecualikannya.

Pada dasarnya, ada dua ketentuan yang menjelaskan tentang dapat atau

tidaknya penghapusan pertanggungjawaban pidana pada kekeliruan. Dua

ketentuan tersebut adalah ketentuan pokok dan pengecualian dari ketentuan

pokok. Ketentuan pokok tersebut yaitu tidak adanya pertanggungjawaban pidana

pada kekeliruan selama tidak adanya nash yang secara jelas mensyari‟atkan

hukuman suatu perbuatan itu.38

Sedangkan pada ketentuan pengecualian adalah

dengan mengecualikan ketentuan pokok, sehingga pertanggungjawaban pidana

pada kekeliruan tetap dapat diberikan selama adanya nash yang secara tegas

mensyari‟atkan hukuman atas perbuatan itu. Sebagaimana jarimah yang dilakukan

AS yang secara tegas dijelaskan dalam potongan surah An-Nisa ayat 92, yaitu:

لزم يؤياب خطأا فزذشش سلجخ يؤ ي مزم يؤياب إلا خطأا أ ؤي ن يب كب إلا ه أ خ إن دخ يسه يخ

لا أ ذ (٢: )انسبء/ …ص

Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang

yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa

membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan

seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan

kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)

membebaskan pembayaran….”39

Hukuman terhadap jarimah yang dibabankan pada terdakwa AS dalam

pandangan Islam tidak serta merta dapat langsung dilakukan begitu saja.

Sebagaimana ungkapan bahwa “rahmat Allah SWT yang mendahului murkanya”.

Aturan Islam memberikan kesempatan bagi pelakunya untuk melakukan

introspeksi diri dan perbaikan internal dengan kesadaran diri untuk menjauhkan

diri dari kejahatan, dan berbuat dosa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh

Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yaitu

“Seseorang yang bertobat dari dosa, ia seperti orang yang tidak memiliki dosa”.40

Namun ketentuan dapat dihapusnya dosa tersebut hanya dapat dilakukan pada

38

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 80. 39

Terjemahan Surat An-Nisa ayat 92. 40

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 264.

Page 71: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

61

jarimah yang melanggar hak Allah SWT dan tidak termasuk pada jarimah yang

melanggar hak manusia. Sehingga pada kasus terdakwa AS, masih akan tetap

dibebankan hukuman jarimah pembunuhan tersalah dan pelukaan yang tidak

disengaja yang ditetapkan dalam putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Dengan

alasan, meskipun tobat dapat menghapus dosa tabrakan maut dari segi hak Allah

SWT, akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengahapus dosa terdakwa AS pada

keluarga korban yang menderita karena perbuataannya atau juga bisa disebut

dengan hak manusia. Pelanggaran hak individu atau hak manusia tersebut hanya

dapat dihapus dengan pemaafan dari pihak yang dilanggar dan pembayaran ganti

kerugian kepada korban atau keluarga korban sebab duka yang dialaminya.

Fuqaha sepakat bahwa tobat dapat menghapus hukuman had apabila

pelaku telah bertobat sebelum kasus tersebut sampai kepada waliyul amri. Akan

tetapi jika perbuatan tersebut telah sampai kepada waliyul amri sebelum tobat

dilakukan, maka hukuman had akan tetap dilakukan baik itu pada had zina,

pembegalan, pencurian, khamar dan lain-lain. Dalam kitab Al-Muwaththa'

disebutkan dari Utsman Ibnu Affan r.a, bahwasannya ia berkata: “Apabila kasus

kejahatan dengan ancaman hukuman had telah sampai kepada Sultan, maka Allah

SWT melaknat syaafi' (orang yang memintakan syafaat, perantara yang melobi

untuk memintakan ampunan) dan musya'ffi' (orang yang menerima dan

mengabulkan syafaat, orang yang mengampuni berdasarkan syafaat yang

diajukan)." Dan juga dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 34 yang artinya

“Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat

menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang".41

Islam mengategorikan perbuatan yang menyebabkan matinya dan luka-

lukanya seseorang sebagai perbuatan jarimah dan dikenakan uqubah padanya.

Setiap jarimah adalah dosa dan setiap dosa akan dikenakan sanksi bagi pelakunya.

Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-An‟am ayat 164:

41

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 499.

Page 72: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

62

لا رضس ب لا ركست كم فس الا عه ء سة كم ش سثاب اثغش الله اصسح لم اغ صى ان صس اخش

رخزهف زى ف ب ك شجعكى فجئكى ث (: )الأعبو/ سثكى ي

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Apakah (patut) aku mencari tuhan

selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa

seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan

memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali,

dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

1. Pertanggungjawaban Terdakwa AS yang Menyebabkan 9 Orang

Meninggal.

Sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, bahwa tabrakan maut

yang dilakukan oleh AS merupakan suatu tindak pidana yang terjadi karena

ketidaksengajaan atau kealpaannya pengemudi. Dalam Islam perbuatan ini

disebut dengan jara‟im gair maqsudah, terjadi karena si pelaku tidak sengaja

melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatannya tersebut terjadi akibat

kekeliruan.42

Salah satu Akibat dari tabrakan maut yang dilakukan oleh terdakwa

AS adalah dengan terenggutnya sembilan (9) korban jiwa.

Masalah kelalaian yang menyebabkan kematiannya seseorang dalam

Islam dikategorikan sebagai jarimah qathlul khata‟ atau pembunuhan tersalah.

Pembunuhan dalam bahasa Arab disebut انمزم (al-qatlu) berasal dari kata لزم

(qatlu) yang sinonimnya أيبد artinya mematikan.43

Dalam arti istilah,

pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili yang mengutip pendapat

Syarbini Khatib sebagai berikut:

فسض..انخننانمزم انفعم انضك ا انمزم 44

Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut

nyawa seseorang.”

Sedangkan Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan

sebagai berikut:

42

Abdul Qadir Audah, At-Tassyri‟ al-Jina‟i al-Islamy, juz I, (t.tp: Muassasah Ar-

Risalah, t.t), h. 104-105. 43

Ibrahim Unais, et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II, (Dar Ihya At-Turats, tt), h. 715. 44

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus: Dar Al- Fikr,

1989), h. 217.

Page 73: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

63

انمزم فعم ي انعجبد رضل ث انذبح أ أ إصبق سح أدي ثفعم أدي أخش..إنخ45

Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan

kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan

sebab perbuatan manusia yang lain.”

Ulama Hanaffiayah, Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pembunuhan

menjadi tiga bentuk, yakni pembunuhan sengaja (qathlul amdi), pembunuhan

tersalah (qathlul khata‟) dan pembunuhan menyerupai sengaja (qathlu syibhul

„amdi).46

Mengesampingkan dua pembunuhan laiannya, sesuai dengan bahasan

penulis, bahwa tabrakan maut yang dilakukan AS digolongkan sebagai

pembunuhan tersalah (qathlul katha‟). Sebagaimana Wahbah Zuhaili dalam

bukunya fikih islam wa adillatuhu mendefenisikan pembunuhan tersalah sebagai

“Pembunuhan yang terjadi tanpa ada maksud, keinginan dan kesengajaan sama

sekali, baik tindakannya itu sendiri, maupun korbannya. Seperti ada seseorang

bermaksud melempar suatu pohon atau binatang, lalu lemparan itu justru

mengenai orang lalu mati”.47

Fuqaha sepakat bahwa tidak ada sanksi hukuman qishas di dalam

pembunuhan tersalah dan yang serupa dengannya. Akan tetapi hanya ada dua

sanksi hukum saja, yaitu hukuman pokok berupa diyat dan kafarat, dan

hukuman konsekuensi berupa terhalang dari mendapatkan hak warisan dan hak

atas wasiat.48

Sedangkan untuk hukuman ta‟zir, fuqaha sepakat bahwa tidak ada

ta‟zir pada pembunuhan tersalah.49

Hal ini dikarenakan bahwa syarat hukuman

ta‟zir dapat dijatuhkan apabila tidak ada ketentuan had atau dalil yang

mensyariatkan suatu perbuatan maksiat tersebut. Oleh sebab itu hanya ada diyat

dan kafarat serta hukuman konsekuensi berupa hilangnya hak waris dan wasiat

yang dapat dibebankan pemidanaannya pada kasus terdakwa AS.

45

Abdul Qadir Audah , At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamiy, Juz II,(Dar Al-Kitab

Al‟Arabi, tt), h. 6. 46

H.A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqh jinayah), (Bandung: CV Pustaka setia,

2000), h. 117. 47

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 548. 48

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000), h. 147. 49

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 114.

Page 74: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

64

a. Diyat

Hukuman pokok diyat pada kasus tabrakan maut yang dilakukan AS

adalah berupa Diyat mukhaffafah. Diyat mukhaffafah ini terdiri dari dua puluh

ekor unta hiqqah, dua puluh ekor unta jadza‟ah, dua puluh ekor unta bintu

labun, dua puluh ekor unta ibnu labun, dan dua puluh ekor unta ibnu

makhadh.50

Pada kasus terdakwa AS yang mana menyebabkan sembilan

orang meninggal dunia, maka wajib bagi AS untuk membayarkan diyat pada

masing-masing keluarga korban. Ketentuan tersebut didasarkan pada

pendapat Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu

tidak bisa mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa

mewakili hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan

tersalah, maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan

sengaja”.51

Pembayaran diyat pada pembunuhan tersalah adalah dibebankan

kepada keluarga pelaku atau keluarga AS. Dibayar dengan cara diangsur

selama tiga tahun, tiap-tiap tahunnya keluarga AS harus membayar

sepertiganya.52

Namun terdakwa AS juga dapat ikut sera dalam pembayaran

tersebut, Sebab sanksi diyat ini lebih terlihat mirip seperti ganti rugi, apalagi

besar denda tersebut dapat berbeda-beda menurut kejahatan yang dilakukan

pelaku.53

Berdasarkan putusan No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst, dapat diketahui

adanya sembilan (9) korban jiwa pada kasus tabrakan yang dilakukan AS dan

jika digolongkan terdapat enam (6) orang laki-laki dan tiga (3) orang

perempuan. Ulama dari kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa Terkadang

ada sesuatu hal yang bisa mengurangi jumlah besaran diyat, yaitu salah satu

50

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 662-663. 51

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 566 52

Rasjid, S, Fiqih Islam, (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 430. 53

Sinulingga, R., & Sugiharto, R, Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Islam dalam Rangka

Pembaharuan Hukum Pidana. Sultan Agung Fundamental Research Journal, 1(1), (2020), h.

31–43.

Page 75: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

65

dari empat sebab berikut, berjenis kelamin perempuan, berstatus budak,

pembunuhan janin, dan yang keempat adalah status kafir. Sebab pertama

menjadikan diyat berubah menjadi separuh, sebab kedua disesuakan dengan

nilainya, sebab ketiga menjadikan diyat berupa ghurrah, dan sebab keempat

menjadikan diyat berkurang menjadi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari

itu.54

Oleh karena itu pada kasus AS dikenakan enam (6) diyat penuh, dan

tiga (3) diyat ursy.

b. Kafarat

Merupakan hukuman pokok kedua yang wajib dibebankan kepada

terdakwa AS. Berdasarkan keterangan surat An-Nisa ayat 92, ada dua bentuk

hukuman kafarat yaitu: pertama, membebaskan seorang hamba yang mukmin

dan kedua, sebagai pengganti dari bentuk hukuman pertama jika tidak mampu

untuk melakukannya yaitu dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.55

Dikarenakan tidak adanya budak pada masa sekarang, maka hanya ada satu

bentuk hukuman yang dapat diberlakukan kepada AS yaitu berpuasa dua

bulan berturut-turut. Menjadi utang bagi terdakwa AS, jika dia tidak mampu

melakukannya.56

Sebagaimana tidak berlakunya at-tadaakhul (hukuman

untuk salah satunya sudah bisa mewakili hukuman kejahatan-kejahatan yang

lain) pada diyat, dan hal ini juga berlaku pada kafarat. Sehingga terdakwa AS

harus berpuasa dua bulan berturut-turut sebanyak sembilan (9) kali.

Hukuman pokok pembunuhan tersalah adalah diyat dan kafarat. Pada

keduanya ada perbedaan terkait siapa yang menanggungnya. Pembayaran

diyat dapat ditanggung oleh keluarga pelaku, sedangkan pada kafarat hanya

dapat ditanggung oleh pelaku sendiri. Hal ini didasarkan pada surah An-Nisa

ayat 92, yaitu:

لزم يؤياب خطأا فزذشش سلجخ يؤيخ ي مزم يؤياب إلا خطأا أ ؤي ن يب كب ه أ خ إن دخ يسه

فزذشش يؤي نكى و عذ ل ي كب لا فئ ذ ص كى إلا أ و ث ل ي كب إ سلجخ يؤيخ

54

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 642. 55

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fiqh Jinayah

(Jakarta: Sinar Grafika. 2006), h. 156. 56

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 629.

Page 76: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

66

نى جذ فصبو ش رذشش سلجخ يؤيخ ف ه أ خ إن ى يضبق فذخ يسه ث ثخا ي ر يززبثع ش

ا عه الله كب ب الله ا (٢: )انسبء/ ب دك

Artinya: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh

seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).

Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah)

dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar)

tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika

mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si

terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka

(hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan

jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara

mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan

yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan

hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba

sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut

sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

c. Hukuman konsekuensi: penghapusan hak waris dan wasiat

Menurut pandangan penulis, hukuman berupa penghapusan hak waris

dan wasiat terhadap permbunuhan tersalah yang dilakukan oleh terdakwa AS

tidak dapat diberlakukan. Hal ini didasarkan pada dua alasan yaitu:

Pertama, pembunuhan yang dilakukan AS tersebut tidak terjadi baik

kepada pewaris yang akan memberikan ahli warisnya kepada AS, maupun

ahli waris yang sama dengan AS yang akan menerima warisan dari pewaris

yang sama. Pembunuhan tersalah AS dilakukan pada orang yang tidak

dikenal dan juga bukan ahli waris yang sama dengan AS. Kondisi yang

demikian menyebabkan tidak berlakunya pengimplementasian prinsip

saddudz dzaraa'i' (menutup celah-celah yang bisa dijadikan sebagai pintu

masuk kepada hal-hal yang dilarang),57

yang mana menjadi tujuan dari

diadakannya hukuman penghapusan hak waris dan wasiat bagi pelaku

pembunuhan. Kedua, pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah bahwa

bahwa pembunuhan karena kesalahan tidak menyebabkan hilangnya hak

57

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 646.

Page 77: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

67

waris dan wasiat, karena pelaku sama sekali tidak berniat melakukan

perbuatan yang dilarang, yaitu pembunuhan.58

2. Pertanggungjawaban Pidana Terdakwa AS yang Menyebabkan 3 Orang

Luka-Luka.

Tabrakan maut yang menyebabkan korban luka-luka dikategorikan

sebagai penganiyayan tidak sengaja atau kekerasan fisik tersalah atau juga bisa

disebut dengan al-jinayat ala-maa-duni al-nafs. Al-jinayat ala-maa-duni al-nafs

adalah tindakan yang memang dilakukan dengan sengaja oleh pelaku namun

sama sekali tidak ada maksud dan keinginan untuk mencederai dan menganiaya,

seperti seseorang melempar sebuah batu dari jendela, lalu batu itu mengenai

kepala orang lain hingga menyebabkan kulitnya terkelupas dan tulangnya

terlihat.59

Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang menyebabkan luka-luka

karena kelalaian dalam Islam yaitu dengan diyat atau ursy.60

Diyat yang

dimaksudkan di sini adalah diyat penuh, sedangkan ursy adalah di bawah diyat

penuh.61

Jenis diyat pelukan karena kelalaian adalah diyat ringan atau diyat

mukhaffafah dengan pembagiannya yaitu 100 ekor unta yang terdiri dari 20 ekor

haqiqah, 20 ekor jadza‟ah, 20 ekor bintu labun, dan 20 ekor makhail.62

Adapun

penanggung diyat, para fuqaha telah sepakat untuk mengikutsertakan keluarga

pembuat yang disebut “aqilah”, dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud

dengan keluarga tersebut ialah sanak saudaranya yang datang dari pihak ayah

(„ashabah). Keluarga yang jauh diikutsertakan karena mereka juga bisa menjadi

58

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika. 2005), h. 178. 59

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 680. 60

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.195-

196. 61

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr; Gema

Insani Press, 1989), h. 693. 62

Abdul Fatah Idris dan M. Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, cet. 2, (Jakarta: PT.

Rhincka Cipta, 1994), h. 266.

Page 78: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

68

ahli waris (cadangan) kalau keluarga dekat tidak ada, tanpa disyari‟atkan

menjadi ahli waris yang nyata.63

Jumlah diyat pelukaan untuk tiap jenis bagiannya telah ditentukan secara

rinci dalam hukum pidana Islam. Merujuk pada putusan No.

665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst dapat diketahui bahwa tabrakan maut yang dilakukan

terdakwa AS menyebabkan tiga (3) orang luka-luka, yaitu Siti Mukharomah,

Kenny, dan Indra (9 Tahun). Setiap jenis luka yang didapat dalam tabrakan maut

tersebut, memiliki jumlah diyat yang berbeda. Pada perihal ini, penulis merujuk

pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa‟I, yaitu:

سه ضح ع د صب ذ ث يس لبل دذ صب انذكى ث صس لبل دذ ي ش ث د لبل أخجشب ع دا ث ب

جذ ع أث دضو ع ش ث ع ذ ث يذ أث ثكش ث ع ش ص انض دذ عه صه الله سسل الله أ

ش ث يع ع ثعش ث بد انذ انس انفشائض كزبثاب ف م ان سهى كزت إن أ دضو فمشئذ عه أم

ذ انج يذ سخزب ي ز عجذ كلل ان ى ث ع عجذ كلل سهى إن ششدجم ث عه صه الله

ي أ ف كزبث كب ب ثعذ أي ذا يعبفش سع م ر عجذ كلل ل انذبسس ث اعزجط يؤياب لز لا ع

ثم الإ خ يبئخا ي ف انفس انذ أ مزل نبء ان شض أ د إلا أ ل خ فئ ف إرا أعت جذع ث ف الأ

ف انج خ انذ فز ف انش خ انذ ف انهسب خ ف انذ خ هت انذ ف انص خ كش انذ ف انز خ انذ ضز

ف انجبئفخ خ أييخ صهش انذ ف ان خ ادذح صف انذ جم ان ف انش خ انذ مهخ انع ف ان خ صهش انذ

س عششح الإ خ س ي خ ف انس ثم الإ جم عشش ي انش أصبثع انذ ف كم أصجع ي ثم الإ ثم ي

م انزت أنف دبس عه أ شأح جم مزم ثبن انش أ ثم الإ س ي ضذخ خ ف ان ( ا انسباس (

Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Manshur telah

menceritakan kepada kami Al Hakam bin Musa telah menceritakan kepada kami

Yahya bin Hamzah dari Sulaiman bin Daud telah menceritakan kepadaku Az

Zuhri dari Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm dari ayahnya (7) dari

kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menulis surat kepada

penduduk Yaman yang berisi tentang berbagai kewajiban, sunnah-sunnah, dan

diyat. Beliau mengutus 'Amru bin Hazm untuk mengantar surat tersebut.

Kemudian surat tersebut dibacakan di hadapan penduduk Yaman. Inilah

naskahnya; "Dari Muhammad, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kepada

Syurahbil bin Abdu Kulal dan Nu'aim bin Abdu Kulal, serta Al Harits bin Abdu

Kulal Qail Dzu ru'ain, Ma'afir, dan Hamdan; adapun selanjutnya.... Dan di antara

isi surat tersebut adalah bahwa, "Barang siapa membunuh seorang mukmin

secara zalim dengan adanya bukti maka ia mendapatkan balasan, kecuali apabila

para wali orang yang dibunuh merasa rela. Untuk sebuah nyawa satu diyat yaitu

seratus ekor unta, hidung apabila dipotong semuanya adalah satu diyat, untuk

63

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang,

1993), h. 287.

Page 79: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

69

lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat, dua buah pelir satu diyat, penis satu

diyat, tulang belakang satu diyat, dua mata satu diyat, satu kaki setengah diyat,

luka yang sampai kepada otak sepertiga diyat, luka dalam sepertiga diyat, tulang

retak dan bergeser lima belas unta, dan untuk setiap jari tangan dan kaki sepuluh

unta, untuk gigi lima unta, untuk luka yang menampakkan tulang lima unta. Dan

seseorang dibunuh akibat membunuh seorang wanita, bagi pemilik emas

diyatnya adalah seribu dinar." (HR. An-Nasa‟i).64

Jumlah hukuman diyat yang harus dibayarkan terdakwa AS kepada

korban yang menderita luka-luka, yaitu:

a. Siti Mukharomah mengalami luku-luka perdarahan pada:

1) Indrabdomen e.c Ruptur lien gr IV.

Adalah cedera yang terjadi pada organ dalam perut dan merupakan

jaa'ifah (luka rongga badan).

2) Fraktur pelvis e.c trauma tumpul abdomen,

Adalah cedera yang terjadi karena patahnya satu atau lebih tulang pada

tulang panggung. Luka ini juga termasuk sebagai jaa'ifah (luka rongga

badan).

3) Fraktur lumerus dextra dan fraktur libia fibula dextra,

luka fraktur lumerus dextra terjadi pada tulang terbesar lengan dan

tulang ini merupakan satu-satunya penyusun lengan atas, sedangkan

fraktur libia fibula dextra merupakan patah tulang betis kaki kanan.

Untuk kedua luka ini digolongkan sebagai non-jaa‟ifah (tidak sampai

rongga tubuh).

4) Fraktur kosta 7.8 aspek sinistra + ruptur buli posterior.

Fraktur kosta 7.8 aspek sinistra berupa patah tulang pada rusuk dan

luka ruptur buli posterior berupa robekan atau hilangnya kontinuitas

dari dinding buli-buli, beralokasi di abdomen, kandung kemih.

Keduanya juga merupakan jaa'ifah (luka rongga badan).

Luka jaa'ifah dan luka non jaa'ifah merupakan bagian dari Al-Jiraah

(luka pada anggota tubuh selain kepala dan muka. Luka jaa'ifah adalah, luka

yang tembus sampai ke bagian dalam dari rongga dada atau rongga perut,

64

Ahmad bin Syu‟aib bin Abd al-Rahman al-Nasa‟I, Sunan al-Nasa‟I al-Kubra, Bab

Qussamah, Hadis No. 4770, (T.tp.: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1991).

Page 80: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

70

punggung, janin, atau sampai pada bagian dalam antara dua buah pelir, atau

dubur atau tenggorokan. Luka non jaa'ifah adalah, luka yang tidak sampai ke

bagian dalam rongga tubuh, seperti luka pada leher, tangan atau kaki.65

Untuk

luka jaa'ifah, ursy-nya adalah sepertiga diyat, berdasarkan hadits Amr lbnu

Hazm, "Pada luka jaa'ifah terdapat sepertiga diyat." Sedangkan untuk luka

non-jaa'ifah, di dalamnya terdapat hukuumah 'adl (kompensasi harta yang

besarannya ditentukan oleh Hakim).66

b. KENNY (7 tahun), pelukaannya berupa Cedera kepala ringan.

Untuk jenis luka ini dimasukkan kedalam pelukan ringan dan untuk

diyatnya adalah dengan hukuumah „adl. Apabila tindak pidana atas selain

jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, dan tidak pula menghilangkan

manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut

pendapat kebanyaan fuqaha dalam kasus ini hukumannya adalah ganti rugi

yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya

diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip

dengan ta‟zir.67

c. INDRA (9 tahun), dengan pelukan berupa cedera kepala ringan dengan

patah tulang dahi memanjang sampai ke rongga tulang dahi dengan

pendarahan didalamnya.

Pelukaan ini termasuk pada syajjah yaitu pelukaan pada bagian

kepala dan wajah. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah membagi pelukaan

syajjah menjadi 10 bagian yaitu: khaarishah atau haarishah, daamiyah

(berdarah), baadhi'ah, mutalaahimah, simhaaq, muwadhdhihah,

haasyimah, munaqqilah, ma'muumah, dan daamighah. Pada lima luka

pertama tidak terdapat diyat ursy yang telah ditetapkan, sehingga

65

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 687. 66

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 690. 67

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h.

218.

Page 81: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

71

hukumannya adalah hukuumah 'adl.68

Penulis berpendapat bahwa luka yang

dialami Indra adalah termasuk Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus

tulang (tempurung) dan diyat ursynya berjumlah lima belas ekor unta,

berdasarkan hadits Amr ibnu Hazm, "di dalam luka munaqqilah diyatnya

lima belas ekor unta."69

68

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 684-685. 69

Wahbah Zuhaili, FIqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 7, (Damaskus: Dar Al- Fikr;

Gema Insani Press, 1989), h. 687.

Page 82: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terutama dari keterangan

saksi dan barang bukti dapat dikatakan bahwa tabrakan maut yang

dijatuhkan kepada AS adalah kasus tindak pidana karena kealpaan yang

disadari (bewuste schuld). Tabrakan maut yang menghasilkan sembilan

korban jiwa dan tiga orang luka-luka tersebut, menurut pasal 229 ayat (4)

UU LLAJ dikategorikan sebagai kecelakaan lalu lintas berat. Teori

gabungan yang berlaku di Indonesia mengharuskan adanya pemidanaan

akan tabrakan maut yang dilakukan AS. Majelis Hakim memutuskan bahwa

terdakwa AS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yaitu: Dengan

sengaja mengemudikan kendaran bermotor dengan cara atau keadaan yang

membahayakan bagi nyawa mengakibatkan orang lain meninggal dunia dan

mengalami luka berat. Sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut

Umum pada dakwaan primair dua yaitu UU No. 311 ayat (5) dan dakwaan

primair ketiga yaitu UU no 311 ayat 4). Mempertimbangkan sisi yuridis,

filosofis dan sosiologis yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan

No. 665/Pid.B/2012/PN.Jkt.pst. Maka AS oleh Majelis Hakim dijatuhkan

hukuman berupa pidana penjara selama 15 tahun.

2. Tabrakan maut yang dilakukan AS telah memenuhi unsur-unsur tindak

pidana dalam hukum Islam yaitu unsur syar‟iy (formil), unsur maddiy

(materiil) dan unsur adabiy (moral). Sehingga diwajibkan pembebanan

pidana pada terdawa AS sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-An‟am ayat

164. Masalah kelalaian yang menyebabkan kematiannya seseorang dalam

Islam dikategorikan sebagai jarimah qathlul khata‟. Fuqaha sepakat bahwa

hukuman pada pembunuhan tersalah hanya ada dua macam saja yaitu

hukuman pokok yang terdiri dari diyat dan kafarat, dan hukuman

Page 83: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

73

konsekuensi berupa penghapusan hak waris dan wasiat. Di sisi lain, pada

jarimah jarh ghair maqsud atau pelukaan karena kealpaan hanya

dibebankan hukuman diyat. Pada hukuman konsekuensi yaitu penghapusan

hak waris dan wasiat tidak dapat dibebankan kepada AS, dengan alasan

tidak terpenuhinya tujuan saddudz dzaraa'i dari tabrakan maut tersebut,

Adanya sembilan orang yang meninggal dan tiga orang luka-luka oleh

tabrakan maut tersebut, menyebabkan penjatuhan pidana AS juga dikalikan

berdasarkan jumlah korbannya. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh

Wahbah Zuhaili bahwa “Kejahatan yang berjumlah lebih dari satu tidak bisa

mengalami at-tadaakhul (hukuman untuk salah satunya sudah bisa mewakili

hukuman kejahatan-kejahatan yang lain) dalam kasus kejahatan tersalah,

maka begitu juga ketika kasus kejahatan itu adalah kasus kejahatan

sengaja”.

B. Rekomendasi

1. Kasus AS melahirkan banyak perdebatan. Terutama terkait tentang

bagaimana penyelesaian kasus tersebut dapat sesuai dengan prinsip yuridis,

sosiologis dan filosofis. Dari segi yuridis adanya ketidakpuasaan tentang

pasal mana yang seharusnya diterapkan kepada AS, segi sosiologis kadang

kala terabaikan dikarenakan pengaruh atau efek riak dari tabrakan maut

yang dilakukan AS tersebut menyebabkan putusan yang dikeluarkan Hakim

mengabaikan pertimbangan dari sisi latar sosial terdakwa AS dan begitu

pula dari segi filosofis yang memutuskan perkara demi terciptanya asas

keadilan di antara dua pihak (pelaku dan korban) namun prinsip keadilan

pada putusan itu masih diperdebatkan. Penelitian ini memaparkan jalan

penyelesaian alternatif lain yaitu dengan berpegang kepada hukum pidana

Islam. Dimana pensyariatan Islam terkait kasus ini berbeda dengan

ketentuan dalam pidana positif di Indonesia. Sebagaimana pada kasus

pembunuhan tersalah yang mana si pelaku tidak harus mendekam dipenjara

untuk membayar kesalahan yang tidak sengaja yang dia perbuat. Ada

kesempatan tobat bagi si pelaku dan ada kesempatan pembayaran duka bagi

Page 84: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

74

korban. Dalam Islam setiap pelaku pidana tidak harus menghapus dosanya

dengan cara dipenjara, bahkan kasus AS ini dapat diselesaikan dengan cara

tobat kepada Allah SWT dan perdamain kepada keluarga korban.

Diharapkan dari materi pidana Islam yang penulis paparkan dari penelitian

ini dapat memberikan manfaat dalam palaksanaan sistem peradilan dan

penghukuman di Indonesia. Salah satu contohnya di Lembaga

Pemasyarakatan yang mana sebaiknya untuk kasus-kasus kesalahan karena

kealpaan yang sudah diputus sanksinya, dapat diselesaikan dengan cara

hukum pidana Islam, seperti memberikan alternatif kepada pelaku dengan

menerapkan hukuman kafarat yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut untuk

menghapus pemidanaan atau dosa dari kejahatan yang dilakukannya.

Menurut penulis hal tersebut lebih baik diterapkan dan lebih bermanfaat

bagi semua pihak karena dengan diterapkan hal tersebut dan bila mana

ditemukan pelaku yang bersungguh-sungguh bertobat karenanya, maka si

pelaku tidak perlu lagi di penjara mengingat kesalahannya tersebut terjadi

karena kealpaan serta penjara sebaiknya lebih tepat untuk ditempatkan

kepada orang-orang yang melakukan kesalahan yang sebenarnya.

2. Disarankan bagi para pelajar, mahasiwa dan akademisi lainnya Agar skripsi

ini dapat menjadi bahan rujukan dalam peneliian, pembelajaran, dan

penulisan karta ilmiah.

Page 85: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

75

DAFTAR PUSTAKA

.

Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Suyuṭhi, Jalāludīin. Al-Jāmi‟ Ash-Ṣhaghīr Juz II.

Bairut: Dār al Fikr.

Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Al-Mawardi, Abu Al-Hasan. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. cet. III. Beirut: Al-

Maktab Al-Islami, 1996.

Andriman, Tri. Hukum Pidana. Lampung: Universitas Lampung, 2009.

Anis, Ibrahim, et.al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II. Kairo: Dar Ihya At-Turats,

1972.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Audah, Abd Al-Qadir. At-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami. Beirut: Dar Al-Kitab Al

Araby, 1992.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. cet. VII. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2010

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta: Raja Graindo Persada,

2008.

CST, Kansil. Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,

1999.

Dahlan, Sudjari. Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP, dalam Makalah.

Surabaya, 2001.

Djazuli, H.A. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: CV Pustaka Setia,

2000.

Effendy, Rusli. Asas-Asas Hukum Pidana. Ujung Panjang: Lembaga Kriminologi

UNHAS, 1989.

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Page 86: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

76

Fauzi, Moh. Penerapan Diversi dan Keadilan Restorative dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak (Tinjauan Hukum Pidana Islam).

George P, Fletcher. Rethinking Criminal Law. Oxford: Oxford University Press,

2000.

Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: NV Bulan Bintang,

1990.

Hornby, A. S. Oxford Advanced Learner's Dictionary. Oxford: Oxford University

Press, 1995.

Huda, Ni‟matul. Negara Hukum dan Demokrasi & Judical Review. Yogyakarta:

UII Press, 2005.

Idries, A.M. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan.

Jakarta: CV Sagung Seto, 2011.

Idris, Abdul Fatah dan M. Abu Ahmadi. Fiqih Islam Lengkap. cet. II. Jakarta: PT.

Rhincka Cipta, 1994.

Ilyas, Amir. Asas-asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Yogyakarta:

Rangkang Education Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012.

Ishaq. Hukum Pidana. Depok: Rajawali Press, 2019.

Jamil, Abdul. “Hukum Islam di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang-Undang

No.7 tahun 1989”. Jurnal Hukum dan Keadilan, Universitas Islam

Indonesia. Vol. I. Yogyakarta, 1989.

Jauhar, Ahmad al-Mursi Husain. Maqasid Syari‟ah. Jakarta: AMZAH, 2010.

Jayadiningrat, Ario Husein, dkk. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

Percepatan Pembangun Daerah Tertinggal, Social Science in National

Law Competition 2015 di Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas

Indonesia, 2015.

Kartika, M. “Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di

Wilayah Depok Tahun 2008.” Skripsi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Indonesia, 2009.

Page 87: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

77

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap

Nyawa, Tubuh dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman Perilaku Hakim (code of

conduct), Kode Etik Hakim. Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.

Mahmud Marzuki, Peter. Pengantar Ilmu Hukum. ed. Revisi. cet. V. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2013.

Mapaung, Leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarata: Sinar Grafrika,

2005.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Muchtar. Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi, 2013.

Muhammad Ahmadi, Fahmi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Mukhtarzain, Abdullah Ahmad. “Pemaafan dalam Pemidanaan Menurut Hukum

Islam dan Hukum Nasional”. Jurnal Idea Hukum. Vol. 4. No. 1. 2018,

Magister Hukum Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:

Alumni, 2010.

Mulyadi, Lilik. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana

Indonesia. Malang: PT Citra Aditya Bakti, 2014.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Fikih

Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Nawawi Arief, Barda. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, ed. III. cet. III.

Bandung: Reflika Aditama, 2003.

Prodjodikoro, Wirjono. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.

Jakarta: Pradnya Paramitha, 1997.

Rasjid, S. Fiqih Islam. Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2012.

Page 88: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

78

Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003.

Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar

KUHP. Jakarta: Prenadama Group, 2016.

Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam

dan Kemasyarakatan, 1992.

Rusianto, Agus. Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan Kritis

Melalui Konsistensi Antara Asas, Teori, dan Penerapannya. Jakarta:

Prenadamedia Group, 2016.

Schafffmeister, D, dkk. Hukum Pidana. Editor J.E. Sahetapy dan Agustinus

Pohan. New York: Cambridge university Press, 2007.

Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:

Alumni Ahaem-Petehaem, 1989.

Sinulingga, R dan R. Sugiharto. Studi Komparasi Sanksi Pidana Pembunuhan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum

Islam dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana. Sultan Agung

Fundamental Research Journal, 2020.

Soedjono. Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Soekanto, Soerjono. Inventarisasi dan Analisa Terhadap Perundang-undangan

Lalu Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum

Universitas Tarumanegara. Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Soesilo, R. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus.

Bogor: Politeia, 1979.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986.

Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali, 1987.

Syarifin, Pipin. Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta

Mas, 1994.

Van Bemmelan, J. M. Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum.

Bandung: Bina Cipta, 1987.

Page 89: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

79

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Wardi Muslich, Ahmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Wisnubroto, al. Praktik Persidangan Pidana. Yogyakarta: Universitas Atmajaya,

2014.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI. Damaskus: Dar Al-

Fikr, 1989.

Peraturan Perundang-undangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Jalan.

Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 1993 Tentang Perlengakapan Kendaraan

Bermotor. Departemen Perhubungan RI. 1993.