19
1 PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI *) oleh , Dr. A.Zaina! Abidin F., SH __________ _ Motto : , N aia pa 'batampula wengnge parujung te tta· reinai tau maegae, sapponai wanuae tenat· tamai tau ma 'gau' bawang, a'dakkarennai to maddodongnge na malempu', attabu ftU· rel1nai tall mawatangnge namaceko, narek· ko riselluriwi natenre'ki', ria'iulekkaiwi natol1gkangngi'. Iapa natateppa kere 'na nanrepi api ade' tau ma 'iulekkaengl1gi = Ada pun hukum (pidana) keemasan itu pengllimpunan orang banyak (agar) tidak cerai berai, pagar negara (supaya) tak dima- suki (oleh) orang berbuat jahat, (tempat) perlindungan orang lemah yang jujUI', (tem- pat) terbentumya orang kuat yang curang, jikalau diseruduki dihimpitnya kita (dan) bi· lamana dilangkahi ditendangnya ke atas k ita . ... Barulah wibawanya terasa jikalau dimakan oleh api adat orang yang melanggamya. . (dikutip dan diterjemaltkan dari ajaran La Tiringeng To Taba' pada abad XV -XVI yang tercantum di dalam Lontara' Sukku' l1a Wajo ') 1. PERBUATAN PIDANA DAN PER- TANGGUNGJAWABAN PIDANA , Berbicara ten tang pertanggungjawaban pidana, maka baik mereka yang menganut pandangan monist is, maupun yang menga- nut pandangan dualistis terhadap delik, sarna berpendapat, bahwa untuk penjatuh- an pidana adalah cond itio sine qua non ter- buktinya perbuatan aktif atau passif yang dilarang atau diperintahkan oleh perundang undangan pidana serta pertanggungjawaban pidana. Kalau dahulu kala orang berpegang pada adagium Actus non facit reum nisi *) prasarana pada Simposium Hukum Pi- dana Ekonomi yang diselenggarakan oleh PUSLITBANG KEJAKSAAN AGUNG R.I. dan Fakultas Hukum Univemtas Hasanuddin di MakavslD' pada tanggal 25 dan 26 Februari 1981 mens sit rea yang mennsyaratkan "concu- renee ' of a wrongful act" dan "a wrongful intent" (Clark & Marshall, 1952: 232-233) maka oleh karena perkembangan masyara- kat tidak saja diperlukan adanya dolus atau kesengajaan, tetapi juga culpa lata (kealpaan dan kelalaian). Bahkan, terhadap delik-<1e- lik tertentu yang merupakan mala prohibita, di negara-negara Anglo Saxon dan Amerika Serikat, dikenal konsepsi apa yang dinama- kan strict liability, di mana tidak diperlu- kan pembuktian adanya sengaja dan alpa pembuat delik, Ada tiga alasan diterimanya strict liability terhadap delik ·delik tertenUl, di mana pembuat undang-undang tidak mensyaratkannya. Contoh ialah Dangerous , Drugs Act 1965 di Australia (LB. Curzon. 1973 : 28-29) yang mengandung delik "absolute" yang tidak memerlukan peme- riksaan dan pembuktian tentang Mens Rea (sil<ap bath in pembuat). Alasan tersebut di atas adalah sebagai ben- kut: 1. adalah essensial untuk menjamin, bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus di- taati. Dean Pound dalam menunjuk per- kara' Reynolds v. Ayitin de Sons (1951) menyatakan a.1. : "Such statutes are not meant to punish the vicious will, but to put pressure upon the thoughtless and inefficient to do their whole duty in the interest of public health or sefety or morals". 2. Pembuktian mens re a (sikap bathin pern- buat) terhadap delik -<1elik serupa sa- ngat sulit. 3. Suatu tingkat tinggi "bahaya sosjal" da- pat membenarkan penafsipm l1tatu <1elik yang rnenyangkut strict liability (perkara R.v. St. Margaret's -Trust Ltd .• (1958). Selain dari strict liability. Hukum Pidana negara-negara Anglo Saxon dan Anglo Ame- rican rnengenal pertanggungjawaban pidana yang Iazim dikenal di negam-ilega", Jain,

PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

1

PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP •

DELIK-DELIK EKONOMI *) •

oleh ,

Dr. A.Zaina! Abidin F., SH __________ _

Motto : ,

Naia pa 'batampula wengnge parujung te tta· reinai tau maegae, sapponai wanuae tenat· tamai tau ma 'gau' bawang, a'dakkarennai to maddodongnge na malempu', attabu ftU·

rel1nai tall mawatangnge namaceko, narek· ko riselluriwi natenre'ki', ria'iulekkaiwi natol1gkangngi'. Iapa natateppa kere 'na nanrepi api ade' tau ma 'iulekkaengl1gi =

Ada pun hukum (pidana) keemasan itu pengllimpunan orang banyak (agar) tidak cerai berai, pagar negara (supaya) tak dima­suki (oleh) orang berbuat jahat, (tempat) perlindungan orang lemah yang jujUI', (tem­pat) terbentumya orang kuat yang curang, jikalau diseruduki dihimpitnya kita (dan) bi· lamana dilangkahi ditendangnya ke atas k ita . ... Barulah wibawanya terasa jikalau dimakan oleh api adat orang yang melanggamya. .

(dikutip dan diterjemaltkan dari ajaran La Tiringeng To Taba' pada abad XV -XVI yang tercantum di dalam Lontara' Sukku' l1a Wajo ')

1. PERBUATAN PIDANA DAN PER­TANGGUNGJAWABAN PIDANA

,

Berbicara ten tang pertanggungjawaban pidana, maka baik mereka yang menganut pandangan monist is, maupun yang menga­nut pandangan dualistis terhadap delik, sarna berpendapat, bahwa untuk penjatuh­an pidana adalah cond itio sine qua non ter­buktinya perbuatan aktif atau passif yang dilarang atau diperintahkan oleh perundang undangan pidana serta pertanggungjawaban pidana. Kalau dahulu kala orang berpegang pada adagium Actus non facit reum nisi

*) prasarana pada Simposium Hukum Pi­dana Ekonomi yang diselenggarakan oleh PUSLITBANG KEJAKSAAN AGUNG R.I. dan Fakultas Hukum Univemtas Hasanuddin di MakavslD' pada tanggal 25 dan 26 Februari 1981

mens sit rea yang mennsyaratkan "concu­renee ' of a wrongful act" dan "a wrongful intent" (Clark & Marshall, 1952: 232-233) maka oleh karena perkembangan masyara­kat tidak saja diperlukan adanya dolus atau kesengajaan, tetapi juga culpa lata (kealpaan dan kelalaian). Bahkan, terhadap delik-<1e­lik tertentu yang merupakan mala prohibita, di negara-negara Anglo Saxon dan Amerika Serikat, dikenal konsepsi apa yang dinama­kan strict liability, di mana tidak diperlu­kan pembuktian adanya sengaja dan alpa pembuat delik, Ada tiga alasan diterimanya strict liability terhadap delik ·delik tertenUl, di mana pembuat undang-undang tidak mensyaratkannya. Contoh ialah Dangerous , Drugs Act 1965 di Australia (LB. Curzon. 1973 : 28-29) yang mengandung delik "absolute" yang tidak memerlukan peme­riksaan dan pembuktian tentang Mens Rea (sil<ap bath in pembuat).

Alasan tersebut di atas adalah sebagai ben­kut: 1. adalah essensial untuk menjamin, bahwa

peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus di­taati. Dean Pound dalam menunjuk per­kara ' Reynolds v. Ayitin de Sons (1951) menyatakan a.1. : "Such statutes are not meant to punish the vicious will, but to put pressure upon the thoughtless and inefficient to do their whole duty in the interest of public health or sefety or morals".

2. Pembuktian mens re a (sikap bathin pern­buat) terhadap delik -<1elik serupa sa­ngat sulit.

3. Suatu tingkat tinggi "bahaya sosjal" da­pat membenarkan penafsipm l1tatu <1elik yang rnenyangkut strict liability (perkara R.v. St. Margaret's -Trust Ltd .• (1958).

Selain dari strict liability. Hukum Pidana negara-negara Anglo Saxon dan Anglo Ame­rican rnengenal pertanggungjawaban pidana yang Iazim dikenal di negam-ilega", Jain,

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

2 • •

yang discbut vicarious liability. Vicarious liability means the legal respong­bility of one person for the wrongful acts of another, as, for example, when thc acts are done within the scope of employment (Curzon : 1973 : 32 33). Vicarious liability terscbut di atas mcrupa­kan perkembanpn baru Ilukum Pidana ne­gara-negara Anglo SJ.,on. karcna mcnumt Commun Law pcrtanggungjawaban dCllliki­an hanya dimungkinkan dalam keadaan luar biasa, misalnya dclik tcdwdap public nuis­sancc, yaitu kcjahatan tcdlacbp .Kcpab Negara . Dalam casus Moulls9:!ll Bros v. L. & N.W. Railway co (1917), pcmimpin pemsahaan oleh pengadilan dinyatakan bertanggung jawab terhadap pcrbuatan pcgawainya yang memberitahukan !C<.:ar3 tidak benar jumlah barang perusahaan yang akan dikirim de­nj!an kereta api. agar tidak membayar toll yang scharusnya. sekali pun majikan tidak ikut serta dan yang !Charu",p. ~bli pun majikan tidak ikut serta dan tidak m c;nbc ri­kan perintah untuk I11cnghindari pcmi)ayar­an yang !Charusnya. Maksud pcmbuat un­dang-undang !Ceara absulute Illclarnng pcr­buatan demikian dan Illenjadikan majikan itu dipcrtanggu:lgjawabbn tanpa mcns rea (dolus) .

..

Mungkin ada baiknya kedua jcnis tang­j1ungjawab piLi:ma tcrscbut di atas diban­dingkan dcngan sistcl11 tanggungjawal'opida­na mcnurut Hukum Pidana EkC'nomi di Indonesia. dcngan c atatan. bahwa di Indo ­nesia ~rta negara-ncgaw hopa llarat dan Fropa Timur (ncgara-nc!!ara sosialis) bcdakll asas Keine Strafc ohne Schuld atau Cecn straf wnder schuld yang ~jak tahun 1916 (Arrest lIoge Raad tanggal 14 2 · -1916.

J 1916 h. 6R I dan tanggal 25 · 2 - 192 9, NJ 1929 h . 1500) diterima juga terhadap pc­lak u pelanggaran. dengan catatan, bah"'a kepada terdak\\'a dihcrikan hak untuk mCJ1l ­buktikan, bahwa perbuatannya yang berupa pclang!!aran itu tidak dilakukan dengan 3)­

ngaja atau culpa lata. Asas !cr!Cbut menu· · rut hemat saya ju!!a berlaku tcrhadap delik ­dclik ckunomi. tcrkccuali pembllat fik til', scpcrti badan hukllJl1. korporasi, orang mati Jan urang yang bcnar-benar tidak dikcnal (Jalam arti scmpi1).

Scbclum saya mengemukakan pendapat ;ipa yang diwut pcrtanj1gungjawaban pida­na . tcrlcbih dahlliu saya akan mcngcmuka­lean pcrbeJaan pemlapat mereka yang mc­nganut pandangan munistis Jan mcrcka

Hukurn dan Pembangunan

yang berpandangan dualistis ten tang de\ik atal) istilah yang ~ring digunakan oleh pelll­buat undang-undang, yaitu "tindak pida­na", yang mcnurut Prof. Moelyatno (1969 : sua!u istilah yang dapat mengclirukan o rang OJ:lng di Jawa Tcngah , kan:na berarti "ja­lan-jala n". Saya juga tidak akan mcmakai istilah "peristiwa pidana" s;:bagli teIjcTllah­an dari strafbaar lCit". kar<na yang dapat dipidana ialah orang yang mcwujudkan apa

SebelllTll saya m.:ngcl11ukakan pendapat apa yang disebut pcrtanggungjawaban pida­na, terlcbill dahulu suva akan menQcmu ka-- " kan perbedaan pendapat mereka yang me-nganut pandangan monirus dan mereka yang berpandangan dualistis tentang dclik atau istilah yang !Cring digunakan olch pem­buat · undang-undang. yaitu "tindak pida­na". yang mcnurut Prof. Muelyatnu (1969 : suntu istilah yang: dapat mengelirukan o rJ.ng urang di J awa Teng:dl . karena bernrti "ja­lan-ja bn·'. Saya juga tidak akan mcmakai istilah "pcristiwa pidana" ~bagai tcrjelllah­an dari st ra!1.Jaar k it", karena yang dapat dipidana ialah or.1ng yang mewuju dkan pcristiwa hukum pidana. Karena itulah Prof. van Hattum (van bcmmelen-van HattuJl1, 19531954, I : Ill) berpendapat , bahwa stralbaar leit ialah "feit terzake van hetwelk ecn pcrsoon stralbaar is" (suatu peristi\\'a

yang menyebabkan hal scseurang dapat di­pidana) . Selain dari tidak scsllai den~an -bahasa Indonesia. bahwa peristi",a tidak mungkin dapat c\ijatuhi pillana, Prof. Moel­yatno mcnyatakan a.l.. bahwa' istilah fe it telah l11cngalam i perubahan arti scjak diting­galkann ya leer van het materieelc feit pada tahun 1932, yai!u dari makna yang konkrit mcnjadi abstrak . ''Feit'' tidak lagi dipanda ng dari segi tingkahlak 1I jarnaniah belaka. te­tapi dari'sudut Hukum Pidana (ui! strafrech­telijk oogpuntj. Prof. Moeljatno lebih me­nyukai istilah perbllatan pidana, karena is­tilah perbuatan mcnllnjuk kepada : I. keauaan yang dibuat oleh seorang : ba­

rang sesuatu yang dilakukan dan akibat­nya dan

2. orang yang Illcnimb uikan akibat tingkah lak 1I ~eseoran g.

Selain dari itu Pru f. Mucljatnu mcngcmu­kakan, bahwa istila h perbllatan sudah la­zim dipakai, misaln\'a pcrbllatan tak sc no­nuh. pcrbuatan mclaw an hukum.

Sap Icbih Illcmilih istilah ringkas )"'.ng . dikcnal sccara universal, yaitu delik yang bcrasal dari istilah Latin "delictum" dan

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

...

Delik ekonomi

"delicta". Istilah tersebut juga singkat, jadi ditinjau dari segi wetseconomie lebih tepat. Istilah tersebut telah dipilih juga oleh ProE

Mr. Satochid Kartanegalll (Kump. Kuliah, tanpa tahun, I : 74). Dalam hubungan ini perlu diperhatikan pendapat Hazewinkel­Suringa (1973 : 63), bahwa is:ilah delict "is minder aanvech tbaar", tetapi karena jstilah strafbaar feit sudah memasyarakat dan tidak menimbulkan salah pengertiari, maka ia da­pat dipertahankan. Oleh beliau - sarna de­ngan van Hattum - diakui juga, bahwa is-

, tilah strafbaar feit adalah pada hakekatnya "een samentrekking" (pengertian yang ellip­tisch) menurut van Hattum). Hazewinkel Suringa (op cit) mengemukakan, sebagai berikut :

Men bedoelt een feit, naar aanleiding waar­van opde bedrijver ervan eventueel straf mag worden toegepast. Lontara' Bugis juga menggunakan istilah yang pendek, yaitu Sukkara' yang artinya sama dengan delictum; yang dibagi atas sukkara' loppo (kejahatan besar) dan suk­kara' baiccu' (kejahatan kecil), yang lebih tepat dari istilah kejahatan dan pelanggar­an, karena kejahatan juga merupakan pe­langgaran hukum pidana, sekali pun dinilai bersifat ringan.

Hal ini say a kemukakan demi pe,ubinaan bahasa hukum Indonesia yang benar sesuai dengan G.B. K N. Selain dari itu pemakai­an istilah perbuatan pidana tidak cocok dengan sistem Hukum Pidana Ekonomi yang mengancam pidana juga terhadap badan hukum, korpo rasi bukan badan hukum, orang yang' sudah meninggal dunia dan orang yang tidak dikenal secara sempit. Ba­gaimana mungkin korporasi yang nota bene bukan manusia, lebih-Iebih orang mati dapat melakukan perbuatan?

Aliran monisme. a.1. Prof. Mr. Simons merumuskan (tentu secara teoretis) - vide E. Utrecht, Hukum Pidana I, 1960 : 256 -strafbaar feit seb'agai "eene strafbaar gestel­de, oruechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerrekenings­vatbuar persoon" (= suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, ber­tentangan dengan hukum, dilakukan oleh se­orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab at as perbuatannya). Me­nurut aliran monisme unsur-unSUI strafbaar feit itu meliputi baik unsur-unsur perbuat­an, yang lazim disebut unsur obyektif, mau pun unsur-unsur pembuat, yang lazim di­namakan unsur subyektif. Oleh karena di-

3

campumya unsur perbuatan dan UnsUI pem· .. buatnya, maka dapatlah disimpulkan, bahwa strafbaar feit adalah sarna dengan syarnt-sya­rat penjatuhan pidana, sehingga seolah~lah dianggap, bahwa kalau terjadi uafbaar feit , maka pasti pelakunya dapat dipidana.

Contoh casus hipotetis di bawah ini akan menunjukkan, bahwa pandangan mo­nistis terhadap suatu delik tidak memuas-kan. .

A, Direktur suatu perusahaan swasta, membuat sehingga B, seorang sakit jiwa. me­ngangkutkan hasil buminya kesebuah kapal asing yang berlabuh di luar pelabuhan kapal, hasil bumi mana tidak dilindungi oleh doku­men BeaCukai dan surat-surat export lain. Kasus hipotek terscbu t menyangkut doen pleger, yaitu pembuat pa\eku, pembuat tak langsung, serta pembuat materiil yang tak dapat dipertanggungjawabkan pisik" menu­rut the men in the street (Baharuddin Lopa. SH, 1980: 84).

Salah satu ciri doen pleger, suatu bentuk pembuat delik yang tidak dikenal di Peran­cis dan Beigia, iaJah pembuat materil atau pe\aku yang sebenarnya tidak dapat dip ida-na disebabkan a.1. oleh karena gila, masih

kanak-Kanak yang belum mampu membeda­kan yang baik dan buruk atau bawahan yang tidak memiliki kwalitas suatu delik yang di­syaratkan oleh undang-undang (J.M. van Bemmelen, Ons Strafrecht, I, 1971 : 283). Bentuk pembuat apa yang d-isebut doen ple­gen, yang lazim diterjemahkan secara ke1iru dengan penyuruhan, terse but berbeda de­ngan uitlokking, penggerakan, oleh karena uitgrlokte, orang yang digerakkan, dapat dipidana.

Seperti telah penulis kemukakan, bahwa aliran monistis terhadap strafbaar feit, yang penganutnya merupakan mayoritas di selu­ruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian strafbaar feit. Misalnya Mr. Ch. J.E. Enschede dan Mr. A. Heijder (1974 : 36) melukilican strafbaar feit sebagai een daad-dader-complex. Mr. I.M. van Bemme­len (1971: I : 101-l02) namun tidak melll­berikan defmisi teoretis, menyatakan bahwa harus dibedakan an tara bestand delen (bagi­an inti) dan element (unsur) strafbaar feit.

Bestanddelen suatu strafbaar feit ba­gian inti yang disebut oleh undq-undang pidana, yang harus dicantumkan di surat tuduhan Penuntut Umum dan harus dibuktikan. Sebaliknya, element "de vereisten, die voor de trafbaarheid van dud en dader uit het algemene deel van het wet- •

Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

. -

,

4

-botik en uit a1gemene rechtsbegin~len voort . vloeien" (syarat-syarat untuk dipidananya

perbuatan dan pembuat berdasarkan tagian umum K.u'U.H. Pidana serta asas hukum umum). Kalau van Bemmelen menggunakan istilah bestanddelen dan elementen, maka Prof. Mr. D. Hazewinkel Suringa (1973 : 63 -- 68) menggunakan istilah "samenstellen­

de elementen" atau "constitutieve bestand­delen" untuk unsur-unsur delik yang di~but oleh undang-undang, ~dangkan untuk ele­men ten yang tidak di~but tetapi diakui oleh ·asas hukum umum yang diakui ~a ajardJ1 ilm u hukum pidana di~butnya "ken­merk" (ciri) , atau oleh pengarang lain di~-

,

rut stilzwijgende elementen (unsur delik yang diterima secara diam-diam). Juga pe­ngarang-pengarang Anglo-Saxon dan Anglo­American mengemukakan tentang physical element dan mental element, ~ta adagium Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea !Itau An act does not make a person guilty unless his mind is guilty , Misalnya Oark& Marshall (1958:232 - 233) menyatakan, bahwa adagium itu "is the pro­duct of an effort to capture a theory of ai­minal responsibility, resting upon and re­quiring concurrence of a wrongful intent and wrongful act, in a maxim ,"

Oleh karena itu penganut pandangan mo­nistik tentang strafbaar fiet atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur straf­baar feit meliputi juga unsur-unsur pertang­gungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik. yang meliputi : a. kemampuan bertanggung jawab, b. kesalahan dalam arti luas : sengaja dan/

atau kealpaan, c, tak adanya alasan pemaaf (verontschul­

digingsgronden).

Dari lukisan casus hipo tetis terse but, jelaslah bahwa sesuai dengan pemeriksa­an dokter ahli 13, yang merupakan pelaku (pleger), manus ministra, tak mampu ber­tanggungjawab ex pasal 44 K.U.U.H.Pidana, tidak mempunyai kesengajaan, lagi pula ada alasan pemaaf ex pasal 44 KulIH-Pidana dan "Keine Strafe ohne Schuld". Karena lak adanya ke 3 unsur atau ciri terse but, maka berarti tak terjadi pula straftxiar ft!it , sehingga A, doen plegcr, yang membuat se­hingga 13 melakukan perbuatan terlarang ter­sebut tak dapat juga dipidana. Satu unsur dari strafbaar feit tidak terbukti , tak ada stralbaar feit'

Sudah tentu kt!putusan hakim yang

,

Hukum dan Pembangunan

membebaskan A tidak memenuhi rasa ke­adilan masyarakat.

13ilamana dianu t pandangan dualistis mengenai delik , maka unsur-unsur pembuat yang merupakan pertanggungjawaban pi­dana pem buat, tidak termasuk unsur delik d.k.L walaupun 13 terbukti gila, masih ter­bukti adanya delik, Dengan demikian A, sebagai doen pleger, middeUijke dader , se­kalipun ia tidak melakukan perbuatan yang teriarang, yaitu "penyelundupan pisik ", ia dianggap sebagai pembuat. la memang tidak melakukan." 'namun A dapat dikatakan me· wujudkan delik (niet plegen maar begaan) , Pasal 55 K.U.U.H.Pidana tepat menyatakan, bahwa "als daders worden gestraft" (seba­g,!i/laksana pem bua t dipidana) dan tidak mensyaratkan bahwa segal a jenis pembuat dipidana) dan tidak mensyara tkan bahwa segala jenis pem buat itu benar-benar pelaku , Orang yang. membuat sehingga orang lain melakukan (doen plegen) menurut pandang· an dualistis ten tang delik sudah tentu dapat dipidana ex pasal 3 ayat 2 jo pasal 26 b Rechten Ordonnantie jo U,U. Darurat No .7 tahun 1955 sebagaimana telah diu bah dan ditambah jo Keppres No, 73 Tahun 196 7 jo _ SKP Menteri Keuangan dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri Stbld 1935 No. 149 jo, Stbld. 194 8 No, 43 jc' LN 1951 No. 10 jo SP Menteri Keuangan tanggal 23 - II -1951 No. 331103/K jo. pasal 55 (I) 1 K. U.U .H.Pidana.

Orang pertama yang menganut pan dang­an dualistis ten tang delik ialah Sarjana yang menganut pandangan dualistis ten tang de­Iik ialah Sarjana Hukum Pidana Jerman , Hermann Kantorowicz yang ajarannya diperkenalkan dan dianut oleh Prof. Mr. Moeljatno, Guru 13esar lImu Hukum Pida­na Universitas Gajah Matla dalam pida· to Dies Natalis VI Universitas Gajah Ma· da pada tanggal 19 Oesembcr 1955.

Hermann Kan torowicz memperkenalkan ajaran ten tang Subjective Schuld ~bagai

sebagai pengganti paham Objective Schuld yang banyak dianut. Untuk adanya Straf­voraussetzungen (syaraHyarat penjatuhan pidana t6rhadap pembuat) (jiperlukan lebih dahulu pembuktian adanya Strafbare Hand· lung (perbuatan pidana) , lalu sesudahnya itu dibuktikan Schuld atau kesalahan subyek­tif pembuat. Dalam hllbungan ini Prof. Moelyatno U 969 . 21) lIlengemukakall, sc· bagai beriku t :

Oleh karena itu, syarat-syarat untuk ada­nya pidana (Strafvoraussetzungen) yang

-

Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

, •

Delik ekollomi _._- _. _- - . -

umumnya tanpa dipikirkan dengan jclas dan sistimatis, diikuti naluri yang memandang­nya sebagai kwalitet-kwalitct llandlung, ibarat suatu Merkmalshaufs (tumpukan sya­rat-syarat), sekarang hendaknya uisistimatisir menurut hakekatnya syarat masing-masing , dengan memperhatikan dua segi tadi .. yang sa tu dengan lainnya, meru pakan ben tu k yang paralel;, Pad a segi Handlung, yang bo­leh dinamakan pula segi obyektif atau '"rat", ada' Tatbestandsmaszigkeit" (hal mencocoki iumusan wet) dan tidak adanya a1asan pemQenar (Fehlen von Rechtsferti­gungsgrunden), pada segi Handelnde yang boleh dinanlakan segi subyektif, sebaliknya ada "Schuld" (kesalahan) dan tidak adanya alasan pemaaf (Fehlen von personlicilen

. Strafausschleszunggrunden. Sebagaimana ha-nya segi pertama sajalah yang mungl<m Tatbestandmaszing, maka hanya segi yang

kedua sajalah yang mungkin schuldig . Sementara itu segi-segi tersebut jika di­pandang sebagai kesatuan, tidak hanya ber· dampingan semata-mata (paralelverhaltnisJ bahkan yang satumerupakan syarat bagi yang lain (Bedingungsverhaltnis). Segi yang menjadi syarat adalah ''Tat'', yaitu "die stfiifbare Handlung" dalam makna S trafge­setzbuch, yang merupakan "das Kriminelie C nrech t", sedangkan yang disyaratkan ada· lah segi Schuld, oleh karena Schuld adanya baru sesudah ada "Unrecht" atau sifat me­lawan hukumnya perbuatan, dan tak mung­kin ada "Schuld" tanpa adanya "Unrcch t"

Kalau dirumuskan secara sederhana maka dapat dibuat bagan scbagai berikut :

PERBUA TA)\; YANG MELA \\AN HUK LM MENURUT HlIKUM PIDANA

(I)

PERTANGGUNGJAWABAN'" MENL'RU HLKUM PIDANA

SYARAT PENJATUHAN PIDANA (3)

(1) tidak samadengan (3)_ . .

• •

. - - .

Apa yang dikemukakan oleh Pruf. Mocljatn o terschut dapat dipandang se­bagai tehnik bagi hakim untuk menjatuhkan pidana.

Selain dari itu , pend;!pat Prof. Moel ~ · at ·

no dapat mell1udahkan hakim untuk mcm · berikan kwalifikasi yan~ tepat bagi [.'cr" bu:l t , . yang tak dapat dijatuhi pidar.a . Kabu d ah satu unsur perbuatan mcla\\'an huk um pi· dana tidak tcrbukti. maka bunyi vonis ial:!h BEBAS (vrij spraak) dan Penuntut Cmu:n dan/atau terdakwa tidak diperkenan k3 n naik banJing. Bilamana semua unsur per-• •

buatan terse bu t terbukti. ditetapkanlah bah-wa telah terjadi dclik dan rell1buat tak lang­sung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pela­ku, yaitu pembuat yang melakukan pereuat­an tersebut, tctapi ternyata tidak mampu bertanggungjawab dinyatakan DILEP.-\S­KAN DARi SEGALA 1TNTL'TAN, dal~:11

hal mana Penuntut Umum dan ia tau terJak­wa dipcrkenankan naik banding, Di dala :~~

praktek sering terjadi kekeliruan atau subr Jitctapkan jenis kwalilibsi p u\U san, seh i n~ '

ga lahirlah istilah verkarte Hijspraak.

Sehubungan dengan tehnik te~but di -atas perlll diperhatikan ,=" unyi pasal 35 0 Wetboek van Strafvordering ~ecler1ancl yang lahir pada tahun 1926 . dua tahun setelah Hoge Raad menghadapi perkara kasasi , da­lam mana pcmbela teHbkwa yang telah di ­ja tuhi pida na karena pereo baan peneurian mengemukakan keberatan terhadap putu~n

pengadilan. c1engan alasan bahwa judex facti telah memperk osa p:JSal 37 Kitab Ln· dang-undang Hukum Pidana Nederland Ipa-- . sal 44 K.l!.l'.H .P. inJonesia), setidak-tidak -nva disalahf!unakan. Menumt pembela. bah-- -wa ia . pada tin gk~ t pcrtall1a telah menga-jukan keragu ·raguan unsur delik tersebut seharusnya clihuktikan oleh hakim, n;:,­mun hakim tiJak mengindahkannya. Hoge Raau hanya dapat menolong hakinl pertama dengan menyatak:m , bahwa ke­manipuan bertanggungjaw3 b bukanl . .th ele· ment strafbaar feit, sehingga ia tidak perl u dibuktikan dengan alat-a1at bukti yang s,-ah, tetapi dcngan tidak adanya kemampuan ber­tanggvng ja\\'ab maka terdapat aIasan untuk menghapuskan pidana (~1uelj~ tn o : 196 9 : 10) .

Dengan adanya keputusan Hoge Ra;;.d ter!l!but , maka menurut Prof. Moeljatno. bahwa pernyataan H.R, yang mengandung pandangan bahwa kemampuan bertanggung­jawab adalah strafuitsluitingsgrond (ala!lU\

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

6 •

penghapus pidana) dan bukan element strafbaar feit, dapat dipandang sebagai peng­ingkaran ten tang kebenaran pendapat klas­;llc ten tang makna strafbaar feit (simons cs).

Pedoman yang diberikan oleh pasal 350 W.V.Sv. Nederland yang baru terse but di alaS, menentukan bahwa setelah rechtbank

• memeriksa perkara di sidang pengadilan, maka ia harus mempertimbangkan soal se­bagai beriku t :

t 'S

a. Apakah terbukti bahwa feit telah diwu­judkan oleh terdakwa,

b. Kalau demikian, strafbaar feit mana yang diwujudkannya, • •

c. Jika a dan b tersebut telah terbukti, maka ditelitilah apakah terdakwa dapat dipidana (strafbaarheid van de dader),

d. Kalau a, b, dan c telah terbukti, maka hakim mempertimbangkan jenis pidana yang hendak dijatuhkan sesuai dengan undang-undang pidana.

Menurut Moeljatno. bahwa pasal '350 •

tersebut, berbeda dertgan pasal yang digan-tikannya, dengan resmi menyatakan. bahwa dengan adanya strafbaar feit belum tentu juga harus ada strafbare persoon.

2. SUBYEK HlJKUM PIDANA EKONQ­~1.

Menurut sejarah hukum pidana, maka dahulu kala yang dapat menjadi subyek hu­~um pidana bubn saja natuurlijke persoon aOu manusia, tetapi juga hewan , keluarga, kampung d?n organisasi sosial. Oi sebagian

daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum adat (pidana) yang mengancam pi­dana bagi keluarga atau kampung sese orang yang dipersalahkan melakukan kejahatan. Hukum Adat Pidana mengenal pertanggllng­jawaban kolektif. Pengecualian ialah apa yang disebut di dalam Lontara 'Sukku'ma Wajo'. Dalam perjanjian pemerin tahan (pactum subjectionis) di Lapa'deppa' pada kira-kira tahun 1476 antara rakyat dan pe­ja bat semen tara pemegang kekuasaan . di Wajo', oleh kedua pihak disetujui a.\. ten­tang hak rakyat untuk dipertanggungja­'.>.abkan menuru t hukum secara individual yang bunyinya setelah sap terjemahan adalah sebagai berikut : .

a. Yang dipertuan olch rakyat ialah Hu­kum Ada! (bukan Raja), mereka dilahir­kan dalam status merdcka dan kerajaan aualah abui dan bukan Tuan;

b . Oranlt-orang dan barang-barang di dalam

Hukwn danPemb.a.ngtman.

rumah orang yang melakukan kejahatan tidak iku t serta bertanggungja wa b, ka­la1,1 mereka tidak ikut serta melakukan kejahatan dan barang-barang itu tidak di­peroleh karena kejahatan atau tidak di­gunakan melakukan kejaha tan ;

c. Pertanggungjawaban pidana dan perdata tidak menurun kepada ahli waris pem­buat kejahatan, kecuali mereka ikut serta melakukan kejahatan (sudah tentu keluarga, kelompok dan kampung tidak dapat juga dipertanggungjawabkan);

d . Siapa yang menggali lubang (siapa yang melakukan kejahatan), maka ia sendiri harus mengisi lul:)ang itu, tak boleh orang lain ;

e. mereka tak boleh ditangkap berdasarkan . persangkaan, ramalan dukun, igauan

orang mirnpi dan tutin orang gila serta kanak-kanak.

Sebaliknya orang-orang Belanda pada waktu masih berlakunya Oud Vaderlands­recht (Hukum kuno) mereka, mengenal lem baga pertanggungjawaban kolekti f, ber­dasarkan idea "gotong royong" dan sifat masyarakat yang masih kolektivistis (Mr. A De Goede, I, 1949:219 238 ). Bah"'a, hukum kuno Belanda bersifat kolektivis­tis sehingga mengenal tanggungjawab kolek­tivistis pula telah diuraikan oleh Prof. Mr. L.J . van Apeldoom di dalam majalah Bijdragentot de Taal ,Land en Volken­kunde, deel 100, 1941. halaman 425 431. van Apeldoo rn, bahkan menganjurkan supa­ya unsur-unsur kolektivistis Hukum Belanda kuno menggan tikan unsur-unsur individualis­ti s Hukum Rumawi yang diperlakukan oleh penjajah Perancis !

Perubahan pandangan ten tang subyek hukum pidana dibidang hukum pidana umum (commune strafrecht) terjadi Li engan pembentukan W.v .S. Nederland pada tahun 1881, di mana pada dasarnya hanya manusia dapat uipandang sebagai pembuat Li elik . lIal mana dapat diketahui dari :

a. Memorie van Toelichting pasal 51 N.W.v.S. (pasal 59 K.U.U.H.P. Ind one­sia) : suatu strafbaar feil han ya dapat diwujudkan oleh manllsia, dan fiksi ten tang badan hukum tidak be rlaku di bidang Hukum Pidana ;

b. Uraian delik dalam banyak pasal-pasal W.v .S. sclalu dimulai dengan "Huj, die . .. .. .. (barangsiapa yang) , dan sering disyaratkan adanya pe\bagai faktor ma­nusia, seperti sengaja dan lalai (d olus dan culpa lata), yang mana hanya dapat

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

Delik ekonomi

dimiliki oleh manusia; c. sistem pidana, yang teru tama terdiri dari

pidana kekayaan dan pidana tubuh (pe­masyarakatan, kurungan . dan mati) ha­nyalah dapat dikenakan terhadap manu-

• Sla;

d. Hukum Acara Pidana tidak mengandung ketentuan tatacara terhadap korporasi (J .M. van Hemmelen, 1971 : 232 - 233).

. Namun, di bidang hukum pidana terten- . tu, seperti hukum pidana pajak, sejak dari dahulu kala, pcmidanaan korporasi dirnung­kinkan.

Sejak pertengahan abad lampau, peme­rin tah Nederland menetapkan sis tern dader­schap dan pertanggungjawaban pidana ter­hadap korporasi dalam tiga jenis :

a. menjatuhkan kewajiban pemeliharaan (zorgplicht) terhadap pengurus, misal­nya Armenwet tahun 1854 dan spoor­wegwet tahun 1859; pasal 11 Armenwet mengancam pidana denda terhadap se­mua anggota pengurus suatu lembaga sosial yang tidak rnemenuhi kewajib­an pemeliharaan. St:tiap .orang pengurus secara hoofdelijk bertanggungjawab ter­hadap pidana denda yang dija tuhkan ke­pada pengurus sebagai kesatuan, namun anggota pengurus yang dapat membuk­tikan bahwa ia telah melakukan segala sesuatu untuk menunaikan kewajiban pemeliharaan dapat dibebaskan. Yang terakhir ini secara historis merupakan dasar ditetapkannya kelak pasal 51 W.v.S. (59 K.U.U.H.P.);

b. Korporasi adalah dader (pembuat). pc­ngurus yang bertanggungjawab; contoh

ialah Telegraaf -· en Telefoonwet tahun -1904 yang diperlakukan dengan undang-undang pada tanggal 12 Mei 1928. Me­nurut undang-undang ini, sekali pun korporasi yang berbuat, namun yang ber­tanggungjawab pidana ialah pengurus . (ontoh lain ialah arrest H.R. tahun 1938 dan 1960 (N.J. 1961 No. 197), ditetap­kan, bahwa korpurasi menjadi pemilik uto bus. maka pengurus korp urasi baru­lail dapat dipidana jikalau hal demikian ditctapkan uleh undang-undang.

c. Korporasi adalah pembuat dan sckaligus bcrtanggungjawab pidana. (untoh : Wet Fconomische Delicten (W.E.D.) pasal 15 dan i\lgcmene Wet inzakc Rijksbelas­tingen 1959 pasal 74 jo pasal 2, lid I, c dan lid 2 dan i\lgcrncne Wet inzake de Duuanc en de i\l:cijnlen 1'161.

7

Alasan sehingga korporasi juga dapat di­pidana di sarnping pengurusnya menurut J.M. van Bernrnelen (1971 : 241), sebagai beriku t : .

Hij de economische en fiscale delicten komt men nl. in de praktijk met een strafbaarstel­ling van de bestuurders niet'Unit, omdat het nie t gooed mogelijk is, aan cen of zelfs zelfs meerdere bcstuurders cen geldboete op te leggen, die bok maar enigszins in verhoud­ing zou staan tot voordeel, dat de corporatie door het strafbaar feit heeft gehad tot het nadeel, dat. de maatschappij of althans de concurrenten is toegebrachL

Dengan alasan yang sama, maka Wet op de Kansspelen, pasal 36, (U ndang-undang ten tang perjudian) mengandung ketentuan yang sarna dengan pasal 15 W.E.D_ Neder­land.

.

Selain dari itu, pemidanaan penguius saja belum menjamin, bahwa korporasi ti­dak akan mengulangi perbuatan pidana.

Dengan adanya ketentuan tentang pc­midanaan korporasi terhadap delik-delik tertentu seperti delik ekonomi, delik flS- -kal. delik judi dan lain-lain membukti­kan, bahw:l liberalisme murni yang men­jiwai kehidupan perekonomian dalam pe­rio de 1870 - 1879 telah ditinggalkan. Kon­sepsi welfare state di negara-negara yang per­nah memegang prinsip lassez fair laissez aller walaupun cap ''liberal'' masih me­lekat pada dirinya_ menyebahkan juga bahwa di Amerika Serikat, suatu negara yang sampai kini, masih sering dicap "i­beral ", diperlakukan ketentuan-ketentuan untuk mencegah monopoli perdagangan, restraint of trade, tax avoidance dan lain­lain (the Sherman Act 1890, Anti Trust laws. dan lain-lain). Kini terdapat kecende­rungan di i\merika Serikat untuk mengge­ser Hukum Pidana di bidang perekonomian dan mengaturnya dengan peraturan hukum administrasi. misalnya the Clayton Act dan the Federal Trade Commission Act 1914 ti­dak mengandung sanksi pidana (Hermann Mannheirn, 1949 : 152 158). Patut dicatat, bahwa kegagalan Sherman Act di Amerika Serikat ialah selain dari rumusannya terlam­pau kabur. juga:

a. the placing of an over-great burden on the criminal sections of the statute;

b. The absence of any organic link between them and the existing administrative ma­chinery (Hermann Mannheim, 1949 : 169) .

. _--- ------------------------------

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

8

Di Amerika Serikat subyek Hukum Pi­dana meliputi baik manusia, mau pun kor­porasi, dengan beberapa pengecualiaan. Bu­kan saja terhadap apa yang di Indonesia disebut delik ekonomi, tetapi juga de­lik-delik lain, seperti delik Non-feasance, yaitu kegagalan korporasi untuk menunai­kan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang; Misfeasance : obstru c ting highways, contempt, various Kinds o f nuisance, usury. libel, violation of labor laws, defrauding the revenue , volation of law against restraint of trade and violation of pu~ food laws. Doktrin, bahwa korporasi dapat menjadi subyek Hukum Pi dana tidak saja melipu ti korporasi partikelir , te tapi juga municipal corporation. Delik-delik misfea­sance meliputi pelbagai perbuatan melawan hukum seperti pencemaran lingkungan , gangguan terhadap lalu lintas, memberikan izin berjudi di pekarangan, pengacauan di dalam rumah sendiri, penjualan minuman keras dengan melawan hukum, menggali parit di depan jalan umum. (Clark & Mashall , 1958 : 404 -406).

Pada umumnya di Amerika Serikat dianut pendapat, bahwa korporasi tidak dapat di­pertanggungjawabkan terhadap delik-delik yang menyangkut personal violence seperti assault and battery (melakukan kekerasan terhadap orang lain) atau manslaughter (ka­rena kelalaian menyebabkan matinya orang lain) dan delik-delik yang menyangkut ac­tual malice atau evil intent (semacam dolus premiditatus). Alasan untuk pemidanaan korporasi ialah digambarkan oleh Clark & Marshall (1958: 403 ) : Where conduct is sanctioned by the direc­tors or officers in whom the corporate po­wers are vested, their in ten t should be con­sidered the intent of the corporation. Such persons are more than agents for a natural principal. They embody and exercise the mental element essential for corporate actions.

Sudah ten tu pidana korporasi harus di­sesuaikan dengannya.

Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas, sekumpulan manusia yang diberikan hak oleh sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi ialah "to deter the corporation from permitting wrongful acts" (Burrows Radzinowicz and Turner eds. 1948).

di Australia napat juga dip ida-

na denda. Hal itu disebabkan, bahwa dengan perkembangan struktur perekonomian , maka kekuasaan korporasi kian bertambah. Teori yang menyatakan, bahwa korporasi tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak mempunyai Mens Rea sudah lama diting­galkan dan diganti dengan peraturan urn urn yang berbunyi : a corporation may be res­ponsible for offences committed by its agents or servants in the cource of carrying on the affairs of the corporation. Terhadap kesulitan pembuktian adanya sikap batin korporasi, Denning L.J. dalam perkara Bolton Engineering Co. versus Graham & Sons pada tahun : 1957, menyatakan seba­gai beriku t :

.... . there must be persons who repare­sent the direct mind and will of the com­pany and control what it doe~. The state of mind of these managers is the state of . mind of the company and is treated by the law as such .. . . In the criminal law, in case of where the law requires a guilty mind as a condition of a criminal offen­ce. the guilty mind of the directors of the managers will render the company itself guilt guilty .

Menuru t Rupert Cross dan P. Asterley Jones (1953 :68 ·-69), bahwa korporasi di ' Inggeris dapat dipertanggungjawabkan sarna dengan manusia, hanya dikatakan orang ter­dapat pengecualian, yaitu kejahatan yang "from its very nature" tak mungkin dilaku­kan oleh korporasi seperti perjury dan bi­gamy. Apa yang di Indonesia disebut delik ekonomi di Inggeris hanya dikenal pada masa perang, sedangkan yang termasuk delik ekonomi di lnggeris meliputi delik­delik terhadap kekayaan (vermogens­delicten) . Di dalam hubungan ini Hermann Mannheim menu lis sebagai berikut : Under a capitalist economy, in time of peace, the individual has but little opportu­nity of comitting economic crime against the State. In total war, the wholesale change in values necessarily produces a different type of criminal legislatiop and, conse­quently, of crime. Economic crime , as a rule .

becomes crime against the S tate. The same is true i[l a militant socialist S tate regardless of war or peace.

J adi dalam keadaan damai negara-negara Eropa Kontinental, Amerika Serikat, Aus­tralia, New Zealand, lnggeris dan be berapa negara-negara di Asia Tenggara yang telah

!

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

-

lama take off ekonominya dan bahkan su­dall berkem bang tidak dikenal delik-delik ekonomi seperti di Indonesia . Di n'egara-ne­gara itu delik ekonomi demikian yang dise­but "economic Crinles against the State" adalah delik delik perang. Sebaliknya di negara-negara sosialis seperti Uni Sovie t, Hongaria, Rumania, Polandia, Republik Demokratik Jerman(Jerman Timur) delik­delik ekonomi terhadap negara merupakan delik-delik ekonomi demikian melipu ti sega­la macam kejah:atan dan pelanggaran terha­dak kekayaan negara, termasuk di dalamnya pem borosan keuangan negara, mismanage­ment yang difakukan oleh pemimpin-pe­mimpin perusahaan negara, kelalaian para managers yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan negara dan/atau negara. Oleh ka­rena Negara adalah pemilik semua perusaha­an , maka sudah tentu korporasi milik nega­ra yang dilakukan oleh para peja bat negara

dipandang se bagai penghianatan dan di-an cam pidana mati. Menurut Staff Study Journal of the International Commission of Jurists, Summer 1964 , Vol. Y, No. J. hal. 5 47 , bahwa pada tahun 1961 di Uni Soviet diadakan perundang·undangan khusus ten tang delik-delik ekonomi yang menyimpang dari General Principles atau Fundamentals of Criminal Legislation of the U.S.S.R. and the Union Republics yang di­tetapkan pada bulan Desember 1958 yang menghapuskan ketentuan-ketentuan hukum pidana dan asas·asas hukum pidana Stalin yang dianggap kejam. Menurut Fundamen­tals terse bu t, bah wa asas legalitas yang telah ditinggalkan oleh regim Stalin diintrodusir kembali, harus diambil kebijaksanaan untuk melunakkan hukum pidana dan pidana. dan 'pidana mati harus dipandang hanya se· bagai pidana pengecualian, oleh karena me­nuru t Marxisme, bahwa negara akan lam ba t laun mengalami kematian. Namun sejak tahun 1961 dikeluarkan dekrit untuk menjatuhkan pidana 15 tahun penjara atau pidana ma ti bagi delik-delik ekonomi, antara lain . korupsi, spekulasi uang, em as dan sura t-sural berharga lain , pemalsuan mata uang, pcnyalahgunaan jabatan dan se· bagainya yang inerugikan !\.ekayaan Negara.

Kalau diteliti K.U.U.H Pidana Jerman Timur, Hongaria dan Uni Soviet, maka ler­nyata bahwa korporasi tidak diancam pi­dana dan segala macam perbuatan . termasuk yang dilakukan dengan kelalaian yang me­nimbulkan kerugian bagi negara termasuk dclik ckonomi.

Pa1'll1 23 {'ode Penal Yugoslavia juga ti-

q - .. . -

dak mengancam pi dana terhadap korporasi, bahkan delik-dclik yang terwujud disebab­kan oleh rencana korporasi atau asosiasi tersebut, maka delik-delik itu dipertanggung jawabkan kepada pembuat seolah-olah ialah yang mewujudkannya. Ketentuan ini berbe­da dengan ketentuan di Amerika Serikat. Australia, New Zealand dan Inggeris, di rna· na perbuatan dan tanggungjawab pengurus korporasi iku t juga di pindahkan kepada korporasi. Se baliknya di Yugoslavia, tang· gungjawab pidana korporasi seluruhnya dipindahkan kepada pembuat.

Pendapat 'untuk mengecualikan tang-. gungjawab korporasi milik Negara seperti di

negara-negara sosialis/komunis dianut juga oleh Rancangan Kitab Undang-Undang Hu· kum Pidana Indonesia (Konsep LPHN Jakar­ta 1972) berdasarkan peninjauan kembali Konsep Rencana K.U.H.P. tahun 1963. Pasal 14 Konsep Rencana tersebut yang ber­bunyi sebagai berikut : Apabila suatu tindak pidana dilakukan 'oleh atau atas nama suatu perserikatan . baik yang merupakan badan hukum ataupun tidak, hakim dapat mengenakan pidana terhadap perserika tan itu sendiri, selain dapat menge· nakan pidana terhadap penguru s atau ang· gota perserika tan yang melakukan tindak pidana.

Penjelasan pasal 14 tersebul diatas me· muat ketentuan yang menurut hemat penu­lis bertentangan dengan asas Negara Hukum Indonesia dan asas kesamaan dan persama· an di depan hukum (equality before the law) yang tercermin daJam pasal 27 V.U .D. 1945 yang berbunyi sebagai beriku t :

(I) SegaJa Warga Negara bersamaan ke­dudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Penjelasan 14 Konsep Rencana berbunyi se· bagai berik u t :

Pasal 14. Dikecualikan yang merupakan bagian dari Pemerintah dan dibia· yai dari APBN, tidak termasuk

• para pegawamya.

Tidak jeJas siapa yang dimak sud "pega· wai". apakah para Direktur, Komisaris dan Managers termasuk juga pegawai atau tidak" Bukanlah perserikatan milik negara atau yang dibiayai dengan APBN sebagian besar juga bcrtindak di bidang non pemerintahan, seperti jual beli, export dan import, dan lain

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

10 -lain perbuatan yang tidak temiasuk hukum pu blik, se bagaimana halnya dengan perseri­katan swasta ? Apakah ketentuan tersebut tidak akan dipakai sebagai tameng/perlin­uungan oleh pengurus perserikatan negara untuk melakukan kejahatan ekonomi?

Dalam hubungan dengan tanggungjawab pidana perserikatan tersebut di atas, Prof. Sudarto, SH (1979:21 - 23) mengemukakan se bagai beriku t :

Adanya fasal ini maka ditinggalkan sarna se­kali azas dari W. v. S. kita sekarang ini, ialah bahwa suatu tindak pidana hanya dapat di­lakukan ·oleh orang. Pend irian ini memang sudah ditinggalkan untuk beberapa uelik terten tu, ialah pada tindak pidana eko­nomi . . . . . . dan tindak pidana su ber­si . . . . . . . . . . . . . R u panya dalam ba­yangan fikiran para perancang Konsep di­masa-masa mendatang peranan perserikatan makin penting dalam perekonomian Indo­nesia, sehingga periu dibuat ketentuan se­perti itu. Saya tidak akan menyangkal ke­mungkinan peranan korporasi di kemudian hari, akan tetapi saya ingin mengetahui se­lama berlakunya Undang-Undang tindak pi­dana ekonomi yang hampir 20 tahun itu berapakah jumlah korporasi yang telah di­jatuhi pidana. Sayang sekali tidak dapat di­jumpai angka-angka yang bisa dijadikan da­sar untuk mengadakan perkiraan untuk rna­sa depan. Angka-angka itu dapat memberi petunjuk sampai dimana kebutuhan akan perluasan pertanggungjawaban dari korpora­si Kaiau pada delik-delik yang termasuk hukum pidana khusus itu kenyataannya ti­dale banyak pemidanaan yang dikenakan ke­pada korporasi, apakah perluasan itu me­mang diperlukan ? Kalau aturan itu nanti betul-betul diterima, maka Indonesia akan tergolong negara sangat maju di seluruh du­nia di bidang ini. Di Eropa kon tinen tal sama sekali tidak ada niat untuk meluaskan pertanggungjawab langsung dari korporasi di luar hukum penertiban (Ordnungsrecht). Bahkan di Perancis, Belgia dan Denmark tidale ada niat untuk menetapkan pertang­gungjawab sampai meliputi hukum pener­tiban secara umum. Perkembangan hukum dewasa ini,baik dalam perundang-undangan, maupun dalam resolusi-resolu·si dari organi­

internasionai, ataupun daiam perundang undangan inl sta tus nascendi tidak ada pe-tunjuk kearah pengaturan pertanggungja­wab korporasi secara umum, malahan se­baliknya.

Menurut hemat penulis apa yang dike-

HuJu 'lft dart

mukakan oleh Prof. Sudarto, SI-! adalah te­pat sekali. Perluasan pertanggngjawaban pi­dana terhadap Hukum Pi dana Umum sehing­ga meliputi korporasi . akan menimbulkan kesulitan dalam praktek. Lagi pula pcnulis tidak yakin, bahwa ketentuan tersebut akan benar-benar dilaksanakan dalam kenyataan.

Bahkan, kini nampak gejala. bahwa ketentu-an-ketentuan hukum pidana banyak tidak dilaksanakan lagi, seolah-olah Hukum Pida­na sudah merosot kern bali menjadi hukum privat (dibuktikan dengan data statistik dalam prasaran say a di Semarang pada Seminar Kriminologi tahun 1980). Gejala terse but juga menjadi kesimpulan Seminar Hukum Nasional IV di Jakarta pada tahun 1979, yang a.!. mengemukakan. bahwa ada­nya kegelisahan dan keresahan sebagian ang­gota masyarakat disebabkan an tara lain oleh : .

1. kurang adanya jaminan perlindungan · hukum, . .

2. kurang adanya perlakuan yang sarna di dalam hukum, dan

3. penyelesaian perkara yang kurang cepat. . tepat dan murah ..

Membentuk terlampau banyak ketentu­an hukum pidana tanpa pelaksanaannya yang cepat, tepat, murah dan tidak merata akan menimbulkan inflasi hukum pidana dan pudarnya kepercayaan masyarakat. Sebagian masyarakat akan mengira bahwa hukum hanya akan diterapkan untuk seba­gian saja, mendorong sebagian orang melang­gar hukum.

Di Amerika Serikat, di mana pelaksanaan hukum telah berjalan dengan sangat baik. corporate criminal responsibility merupa­kan subyek yang controversial. Mereka yang tidak setuju terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi berpendapat, bahwa denda yang dija tuhkan kepada korporasi sebenar­nya dibayar oleh para pemegang saham yang tidak mempunyai sangkut paut dengan ke­jahatan dan tidak mempunyai hak untuk mencegahnya, sehingga hasilnya ialah bahwa pidana tak dapat mencapai pelaku deUk yang sebenarnya. Terhadap pendapat ini. se­bagian para sarjana hukum berpendapat. bahwa sebagian besar PengadUan kini me­mutuskan, bahwa agen (wakil) korporasi da­pat mempunyai kesengajaan yang diperiu­kan kejahatan dan dapat melakukan keja­hatan. Semen tara korporasi memang talc dapat melakukan kejahatan yang sebenarnya da­lam arti "dapat dlmuukkan penjara", pc-

,

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

Oelik ekonomi

ngurus dan pegawai-pcgawainya dapat di­tuntu t pidana. Dalam suatu perkara di Iowa, PengadHan memutusbn. bahwa korporasi tidak dapat dipcrtanggungjawabkan untuk pcrbuatan-perbuatan pegawainya. terkccuali korporasi itu memang memcrin tahkan atau mcnyetujui tindakan itu . Dalam perkara Nyc & Nissen v. United States, pengadilan

• memutuskan , bahwa seorang pengurus kor-porasi dapat dijatuhi pidana bilamana ia membantu scorang bawahannya yang me­mutuskan, bahwa seorang pengurus korpo­rasi dapat dijatuhi pidana bilamana ia mem­bantu seorang bawahannya yang melakukan kejahatan. Mahkamah Agung Amerika Se­rikat tclah menetapkan, bahwa sebuah kor­porasi dapat dipcrtanggungjawabkan terha­hadap kerusakan atau kerugian yang terjadi karena "wan ton, malicious, or oppressive intent" pegawai pengawasnya (Allen Z . Gammage, Ph. D. & Charles F. Hemphill, Jr., 1974 : 125). Wanton berarti keceroboh­an, malicious artinya bermaksud jahat dan oppressive in ten t mungkin boleh diartikan maksud yang menekan.

. Oi Nederland pada tahun 1571 seekor sapi di Middelburg dijatuhi pidana mati ka­rena telah membunuh seorang wanita serta se urang mati pada tahun 1786 di Amster­dam yang telah' membunuh diri dikenakan. sanksi tidak akan diku bu rkan se bagai ma­nusia, tetapi harus dilemparkan masuk sumur seperti bangkai, maka pada tahun 1881 telah ditetapkan bahwa hanya manusia hidup yang dapat dikenakan pidana, namun setelah Nederland mengalami kesulitan eko­.nomi lahirlah Hukum Pidana Ekonomi yang memungkinkan korporasi dija tuhi pidana tertentu. Dewasa ini boleh dikatakan, bah­wa Hukum Pidana Ekonomi di Nederland, yang lahir karena keadaan darurat (perang), sudah boleh dikatakan menjadi sejarah. Memang suatu negara yang sudah maju pe­rekonomiannya tidak mengenal Hukum Pi dana Ekonomi seperti dikenal di Indone­sia. Hukum Pi dana Ekonomi yang jaya membuktikan, bahwa perekonomian suatu negara masih terkebelakang. Makin maju pcrekonomian makin bcrkurang ketentuan liukulll Pidana Ekonoll1i. Uukti : di Indo­nesia sudah begitu banyak undang-undang yang disebut semula oleh Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi telah dihapuskan_ Apakah tidak tiba masanya delik-delik ekonomi yang diperkirakan akan berumur lama seperti "penyelundupan" dimasukkan saja di dalam K.U_U.II. Pidana yang baru ?

11

Arthur 1. Goldberg (1968 : 54 - 55) per­nah menyatakan sebagai berikut :

Time of stress, even more than bad cases, make bad law ..... . A recent example is the Omnibus Crime Control and Safe Streets Act of 1968 .... This law, along with much needed measures to strengthen law enforcement, cOlltains .. provisions which are both ill conceived and of dubious constitutionality .... . Bu t they new that order can not be secured merely through fear of punishment for its infraction'; that it is hazardous to discours­ge thought, hope and imagination; that fear breeds repression, that represion breeds hate, that hate manaces stable government .... that law rests on much more than coer­cion. Law must have the police power, but it is by no means synonymous or coter-minous with police power ...... .

Memang Hukum Piduna Ekonomi lahir dari keadaan jelek. maka dengan sendirinya melahirkan hukum darurat yang buruk pula, apa lagi se.telah dilengkapi dengan PERPU No. 21 Tahun 1959 dan PENPRES No.5 Tahun 1959 yang sangat meragukan konsti­tusionalitasnya, terlebih-Iebih peraturan hu­kum pidana itu memberikan gambaran ke­merosotan ekonomi.

Kedaruratan Hukum Pidana Ekonomi terlukis juga dengan perluasan subyeknya, .sebagai berikut :

I. badan hukum, perseroan, perserikatan orang dan yayusan ;

2. pimpinan korporasi datam perbuatan a tau kelalaian atau pun perbuatan + ke­lalaian;

3. orang yang berdasarkan hubungan kerja, mau pun berdasarkan hubungan yang lain bertindak dalam hubungan badan hukum;

4. Orang yang sudah meninggal dunia; 5. orang yang tidak dikenal; vide ps. 15

(1), (2) dan (3) UUTP); 6. orang yang melakukan perbuatan me­

nguasai, menyinlpan atau membeli ba­rang asal selundupan setelah delik se­lesai; (II. Uaharuddin Lopa, Sit, 1980 : 297); ex jurispruJensi.

3. KORPORASI, ORANG YANG SUDAH MENINGGAl DUNIA DAN ORANG YANG TIDAK DIKENAl SERTAPER­TANGGUNGJAWABAN PIDANA_

Kalau di Australia. Amerika Serikat

I

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

12 •

d:m inggeris 'korporasi yang berbadan hu­kum saja menjadi subyek Hukum Pidana, maka menurut pasal 15 (J) UUTPf per­serikatan orang yang tidak berbadan hu­kum juga dapat menjadi subyek Hukum Pi­dana Ekonomi (tetapi tidak merupakan sub­yek Hukum Pidana Umum). Oleh karena teori fiksi ten tang badan hukum dari von Savigny (1840) telah ditinggalkan, yang bertopang pada adagium Societas delinque· re non po tets, serta digantinya pandangan materialistik dan naturalistik ten tang per­buatan pidana dengan tinjauan dari segi hukum pidana, maka badan hukum diang­gap sebagai sesuatu yang benar-benar ada menurut· hukum, dan oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan.

Di Amerika Serikat pernah juga di­ragukan ten tang kemungkinan pemidanaan korporasi. Menurut Chief Justice Marshall. terkenal karena jasanya sehingga Mahkamah Agung Amerika Serikat berwenang membe­rikan penafsiran segala undang-undang da­lam arti luas serta tindakan-tindakan ekseku­tif baik fOlIllil, mau pun materieel terhadap Undang-undang Dasar Amerika Serikat, bahwa korporasi adalah : an artificial being, invisible. intangible and existing only in contemplation of law (Clark & Marshall , 1958 : 402).

Menurut pandangan modern, bahwa kor­po rasi cenderung dipandang sebagai realitas, bahwa korporasi cenderung dip an dang seba­gai realitas , kumpulan manusia yang dioto­risasikan oleh hukum untuk bertindak se­bagai kesatuan hukum yang diberikan per­sonalitas yang legal untuk tujuan tertentu . Dalam hubungan ini penting pernyataan Clark & Marshall (1958 : 402) sebagai be­rikut : It is civilly responsible for wrongful acts of its servants. I ts agents can commit the act and have the intent necessary for a crime . Whether it should be made criminally res­ponsible for similar acts depends not on whether there is any possibility to impute the principal can act at all . bu t on the question of policy , whether the criminal sanction is calcula ted to deter the corpora­tion from permitting wrongful acts .

J adi pemidanaan korporasi adalah masa­lah kebijaksanaan, yaitu apakahsanksi kri­minal diperhitungkan untuk menakuti dan mencegah korporasi dari hal membiarkan dllakukannya perbuatan pidana.

Colin Howard dan l.D. Elliot (1977 : 392) dalam hubungan ini berpendapat se-

Hukum dall Pembangullan

bagai beriku t :

Since a corporation is criminally liable for the acts of its employees , within the scope of their emplo yment. it follows that no problems arise o n the mental clement in crime. The question becomes wh ether th e employee, or any combination of employees had the requisite mental state at the relevant time. It is on this basis that corp orations have been tried for ·offences of corru ption. fraud , knowing and unbv,1'ul possession, making false statements and holding th em­selves ou t as legal and' medical prac tioners, chemists and veterinary surgeons.

Dari pernyataan terse but di atas dapat diketahui, bahwa di Ausralia korp orasi, di sam ping pengurus dan pegawai-pegawain ya. dapat dipertanggungjawabkan pidana dan perdata terhadap kejahatan umum, yang di Indonesia tidak tenllasuk delik ek onomi. Di sana korporasi benar-benar dalam kenya­taan pernah dipidana.

Dari pernyataan Colin Howard & I. D. Elliot itu juga diketahui, bahwa kemampu­an bertanggllngjawa b dan unsur kesalahan (sengaja dan culpa) korporasi dialihkan ke­pada pengurus atau pegawainya yang ber­tindak dalam hubungan hukum dengan korporasi.

Kemampuan bertanggungjawab (toe­rekeningsvatsbaarheid) adalah unsur diam­diam suatu delik , d.k.1. ia dianggap ada oleh hakim, terkecuali oleh pengurus atall wakil korporasi .- tentu dengan perantaraan pengacara atau penasehat huku mnya -membuktikan sebaliknya. Oleh karena ke­mampuan bertanggungjawab adalah me ­nyangkut kejiwaan yang hanya dapat di­miliki oleh manu sia saja , maka tak ada konstruksi lain yang dapat digunakan sela in daripada ukuran pertanggungjawaban pengu­rus atau wakil korporasi. Seperti telah di­kemukakan, bahwa menurut J .M. van Bemmelen, bahwa kemampuan bertanggung­jawab pidana adalah element dan bukan bes­tanddeel yang harus dibuktikan oleh Penun­tut Umum, sedangkan Hazewinkel-Suringa mengkatagorisirnya sebagai kenmerk (c iri ) delik serta pengarang lain menama­kannya stilzwijgende elemel'!t.

Yang sulit diko nstruksikan ialah "ke­mampuan bertanggungjawab" orang yang sudah mati. karena memang orang itu bukan korporasi dan bukan juga mahluk hidup yang mempunyai unsur kejiwaan lagi. Si­apakah yang harus mewakili sikap batin orang mati, sedangkan kemampuan ber-

[7 3 • •

" •

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

I .

Dellk ekonomi . . . ... - . .

tanggungjawab merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana, Saya le­bih condong untuk . menghapuskan orang yang sudah mati sebagai subyek hukum pi­dana seperti yang disebut oleh pasal 16 ayat 1 UUTPE. Orang mati tak mungkin mempunyai unsur pertanggungjawaban lain dolus , culpa lata dan tak adanya alasan pemaaf (vtorontschuldigingsgronden).

Sebagai dimaklumi sanksi pidana untuk orang mati yang semasa hidupnya disangka telah melakukan delik ckonomi yaitu: a. perampasan barang-barang yang telah di­

sita; b. penjatuhall ti~dakan tata tertib yang da­

pat diberatkan pada hartanya; c. pembayaran uang sebagai pencabutan ke­

untungan menurut taksiran (pasal Bc UUTPE); ~an

d. kewajiban mengerjakan apa yang dilalai­kan tanpa hak, dan mclakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sarna lain, semua atas biaya terpidana (yang sudah mati). Apakah sanksi a, b, ~, dan d tidak seba·

iknya dijadikan sanksi hukum perdata ter· hadap ahli waris si mati? Apa yang dikata­kan pemidanaan orang mati itu sebenarnya adalah pemidanaan terhadap ahli waris al­marhum Menurut Hukum Adat di Sula­wesi Selatan yang tercantum di dalam Lon­tara' Sukku'na Wajo', bahwa tanggungjawab pidana seseorang (apa lagi sudah mati) tak boleh diturunkail kepada orang lain (terma­suk ahLi warisnya). Selain dari itu Hukum Pidana Amerika Serikat, Australia dan Ing· geris yang mengancam pidana terhadap korporasi terhadap sebagian besar delik­delik, jadi merupakan negara-negara yang paling maju mengenai pertanggungjawaban korporasi, tidak mengenal pemidanaan ter­hadap orang mati.

Mengenai "orang yang tak dikenal orang" ex pasal 16 (6) UUTPE ditafsirkan oleh Pe­ngadilan Tinggi Surabaya dalam perkara Malaya Ind onesia Trd. Co. Ltd. (putusan No. 43 / 1960 Pid. Ek.) sebagai "orang yang sungguh-sungguh tidak dikenal", jadi meru ­pakan penafsiran sempit. Hanya disayang­kan, bahwa Pengadilan Tinggi Ekonomi Su­rabaya secara salah menerima banding, ka­rena menurut pasal 16 UUTPE perkara de· mikian yang sudah diadili oleh Pengadilan tingkat pertama tidak boleh dibanding. Se­baliknya putusan Pengadilan Negeri Malang (A. Harnzah, SH, 1977:50) memberikan pe­nafsiran extensif, yaitu "dikenal namanya

-

13

akan tetapi kemudian melarikan diri, atau sebab yang lain tidak lagi berada di Indone­sia, sehingga orang tidak mengenalnya. ... " PERPU No. 15 Tahun 1962 memberikan penafsiran resmi, yaitu "orang yang tidak dikenal termasuk orang yang diketahui namanya akan tctapi tidak diketahui tempat tinggalnya". Tentang unsur pertanggungja· waban pidana yang meliputi kemampuan bertanggungjawab dan tak adanya alasan pemaaf " o rang yang tidak dikenal orang" tak ada masalahnya, hanya masalah sengaja .dan kelalaiaR yang disyaratkan oleh undang· un dang yang menj~di soal. Kalau dari kctc ­rangan saksi-saksi dapat disimpulkan ada· nya, maka tidak menjadi soal. Menjadi masa­lah ialah bilamana tak ada saksi. Bagaimana­kah hakim dapat memhuktikan adanya ke · salah an terdakwa sedangkan o rangnya tidak pernah dikenal atau /tidak pernah diperiksa. Yang d imaksud dcngan kesalahan ialah sikap batin dolus dan culpa lata yang pada umumnya dicantumkan di dalam ketentuan hukum pidana secara explicite , sehingga harus dibuktikan adanya.

"Orang yang tidak dikenal orang" mung­kin meliputi "orang yang tidak tertangkap", termasuk "orang yang melarikan diri ke luar negeri". A. Hamzah. SH (1977;51) menya­rankan supaya Penuntut Umum berhati-hati dalam mengajukan perkara delik ekonomi yang pembuatnya "tidak dikenal" ex pasal 16 UUTPE jo PERPU No. 15 Tahun 1962, karen a bilamana perkara itu sudah diputus oleh Hakim dan mempunyai kekuatan hu­kum yang tetap, lalu "orang yang tak dike­nal" itu tiba-tiba muncul atau tertangkap, maka berdasarkan asas Ne Bis In Idem tidak dapat lagi diadili kern bali . Patut dikemuka­ka n, bahwa "orang yang tak dikcnal orang" bilamana diadili in absentia atau judgement by default tak dapat dikenakan pidana ba· dan, sama halnya dengan "Orang suJah me­ninggal dunia". Kemungkinan besar ia dapat digunakan oleh pembuat delik ekonomi yang licik , yaitu melarikan diri dahulu ke luar negeri, lalu sctelah pcrkaranya diadili in absentia, lalu ia muncul kembali dengan senjata "Ne Bis In Idem "

4. ACCESSORIES DAN ABETTORS AF­TER THE FACT, SERTAPEMBUAT DALAM HUBUNGAN LAIN DANPER· TANGGUNGJAWABAN PIDANA. Bentuk accessories after the fact dan

abettors after the fact, baik dalam Hukum Adat Pidana. mau pun menurut sis tern K.U.U.H. Pidana scrta UurPE tidak dike·

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

14 •

nal Bentuk·bentuk demikian, sekali pun tiduk diny atakan dengan tegas, hanya dike­nal secara implicite oleh Yurisprudensi dan pendapat sarjana hukum pidana_

Bentuk-bentuk penyertaan tcrsebut di atas terjadi setelah delik selesai. M isalnya penyelundupan pada hakekatnya adalah aflopend delict dan bubn voortdurend delict Untuk membedakan antara voort ­durende delicten (delik-delik yang berkesi­nambungan) dengan delik -delik yangdapat timbul karena accessories after the fact , maka saya je laskan le bih dahulu keduanya_

Menurut L.B. Curzon_ bahwa accessories after the fac t ialah : This was o ne who, knowingly that a felony had bee n co mmitted , subsequently harbour­ed or relived the felo ns, or in any way secur· cd or attempted to sec ure their escape.

Rupert Cross & Asterlcy Jo nes (I 953 :75 menyatakan, bahwa accessories after the fact ialah : one who is absent at the time whe n a fel o ny is committed but procures, counsels, co m· mands or abets ano ther to commit it. An accesso ry after the fact is one who, after the co mmission of a felo ny and with kno w· ledge that the felon has comm itted it, re· ceives, relieves, comforts or asssists the felon_

Menurut sistem Hukum Pidana Indo ne­sia, apa yang disebut di lnggeris, Amerika Serikat dan Australia melakukan delik lain, misalnya penadahan (pas.11480 K. U. U.H.P.), menjadikan kebiasaan membeli d11. benda yang diperoleh karena kejahatan (481 K.U. U,H.P.), penadahan ringan (pasal 482 K.U. U.H.P.), dengan sengaja melepaskan atau menolong orang yang telah dijatuhi pidana (pasal223 K.U.U.H.P.).

Delik-delik berkesinambungan (voort­durende delicten) ialah delik yang mempu­nyal ciri, bahwa keadaan yang terlarang ber­kesinarnbungan terus. Misalnya menahan se­seorang secara melawan hukum termasuk aflopend delict (delik selesai), tetapi mene­ruskan penahanan orang itu adalah voort­duren delict (delik berkesinambungan) me­nurut pasal 333 K.U.U.H.P. Pasal 261 K.U. U. H.P. juga mengandung voortdurend de­lict: menyediakan bahan-bahan atau perka­kas yang diketahuiIl'ya digunakan untuk me­lakukan peniruan atau pemalsuan materai yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau pun pemalsuan tandatangan yang perlu untuk mensyahkannya ( 253 K.U.U_H.P), me­nyembunyikan orang yang sudah melukukan

f1u k um dan Pembtl ngunan

suatu kejahatan atau yang dituntut brena kejahatan itu. Periksalah juga pasa! 282 K.U.U.H.P.

Un tuk mem berikan gam baran ten tang penilaian terhadap kasus tersebut d i bawah ini, lebih dahulu perlu juga d ijelaskan ten­tang pcrbedaan an tara voortdu rend delict dan gewo onte-delic t (delik kebiasaan). Pada dclik ke biasaan dipe rlukan unsur kebiasaa n, sedangkan pada voortdure nd de lict t idak, yaitu undang-undang me nuntut dilakukan­nya perbuatan terlarang bebe rapa kali. Misa!nya pasal 481 K. U. U. H. P.: membuat kebiasaan de ngan se ngaja me mbeli, me nu­karkan, menerima gadai, mcnyimpan atau menyembunyikan benda yang diperoleh ka­rena kejahatan (J.E. Jo nkers , 1946 :35 , 36 , 111 , 136).

Apa yang disebut gewoonte (kebiasaan) delicte n mensy aratkan kejamakan (plurali­tas) perbuatan-pe rbuatan yang tidak saja, secara kebetulan berurutan, tetapi saling berhubungan tertentu, baik yang menyang­kut sifat perbuatan-perbuatan itu (o byek· tit,), mau pun ten tang pe nujuan psychisch pembuat (subye ktif), d _k.!. se ngaja pembuat dan perbuatan-perbuatan jamak itu saling berhubungan, sehingga perbuatan-perbuatan itu dapat dipandang sebagai ke b iasaan.

Putusan Pengadilan Eko nomi Banda Acch tanggal6 April 1971 No. 7/ 19 71 Ek. menyatakan bersalah terdakwa-terdakwa yang daripadanya d itemukan membawa se­jumlah barang-barang ex impor (ex Singa­pura), karena d ianggap terbukti melanggar pasal 26b RO jo U.U. Dar. No.7 tahun 1955, walau pun terdakwa-terdakwa menyangkal telah menyelundupkan barang-barang terse­but. Mereka umumnya memberikan a1asan, bahwa barang-barang itu ada pada mereka secara membelinya berangsur-angsur dari orang-o rang yang tak dikenalnya lagi. (uiku-tip dari Baharuddin Lo pa: 1980: 29 7·298). Alasan Pengadilan ialah bahwa "sesuai pe­ngalaman dan telah menjadi pengetahuan umum, penyelundupan-penyelundupan ti­dak berdiri sendiri, mereka adalah sebagai alat daripada o tak-otak penyelundupan di darat, yaitu orang-orang di uarat memberi mo dal kepada penye1undup, kemuJian ba­rang-barang selundupan itu ditampung kern­bali oleh pemberi moual, sedangkan penye­lundup hanya menerima upah atau komisi saja dari cukong-cukong". Menurut Baha­ruddin Lopa (1980: 299) otak-otak (yang kedapatan membawa barang-barang, sic!) itu adalah pembujuk-pembujuk (lebih tepat:

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

Delik ekonomi

penggerak) ex pasal SS (I) 2e K.U.U.H.P. dan menyetujui putusan hakim yang ber -sangkutan. Lebih dahulu harus diperiksa isi pasal 26b Rechtenordonnantie tersebut apakah merupakan aflopend delict (delik yang langsung selesai) atau voortdurend delict atau pun gewoonte delict. Menurut A. Hamzah (1977: 100). bahwa pasa! 26b RO mengandung dua macam delik: .

1. memasukkan atau mengeluarkan barang­barang atau meneoba memasukkan atau mengeluarkan barang tanpa mengingat akan peraturan-peraturan dari Ordon­nan tie bea dan reglemen-reglemen yang terlampir padanya; dan

2. mengangkat atau menyimpan barang-ba­rang bcrtentangan dengan beberapa pera­turan larangan yang ditetapkan oleh pa­sal 3 ayat 2 RO.

Menurut hemat saya delik disebut pcr­tama jelas adalah aflopend delict. karena dengan mencoba memasukkan atau mema­sukkan delik itu telah selesai. \)i dalam po­nis hakim terse but di atas, ditemukan per­kataan "membawa sejumlah barang .... di dalam peredaran bebas", d.k.l. delik penye­lundupan telah lama selesai barulah para terdakwa kedapatan "membawa barang asal selundupan". L>inyatakan oleh Sdr. llaha­ruddin Lope bahwa para terdakwa dijatuhi hukuman berdasarkan penyertaannya, yang menurut hemat saya tidaklah terbukti, ka­rena para terdakwa hanya dinyatakan "di­temukan membawa" dalam peredaran be­bas, jadi para terdakwa tidak terbukti turut serta (medeplegen) ex pasal 5S (1) Ie K. U. UH.P. Juga tidak nyata dari kutipan Bah­ruddin Lopa, bahwa para terdakwa benar­benar terbuktj sebagai uitlokkers (pengge­rak) ex pasal S5 (I) 2e K.U.U.H.P., yang mensyaratkan bahwa para terdakwa harus menggunakan salah satu eara yang disebut secara Iimitatif: pemberian, perjanjian. salah memakai kekuasaan, atau pengaruh, keke­rasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau ke­terangan. Alasa'n hakim yang menyebut "pengalaman dan pengetahuan umum" me­manglah benar, namun tidak nyata dibukti­kan oleh hakim, bahwa para pembawa ba­rang-barang ex selundupan itu benar-benar adalah cukong-cukong yang telah mengge­rakkan penyelundupan. Juga tidak jew apakah para terpidana itu penerima perta­ma atau kedua dan dari mana disimpulkan bahwa barang itu benar-benar Singpura_

15

Yang menarik perhatian ialah perkataan "di dalam peredaran bebas", yang menimbulkan dugaan juga bahwa barang-barang itu ba­rangkali telah berulang kali pindah langan.

Tentang delik kedua, dikaitkan dengan pasal 3 ayat 2 RO, yaituwilayah terlarang di luar wilayah pabean yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan yang dimufakati oleh Menteri Oalam Negeri ex. S.p. Menteri Ke­'.1angan anggal23 - II - 1951 No. 331103 /K.

Oalam kutipan vonnis tidak ternyata, bahwa pasal 3 ayat 2 RO oleh Pengadilan dikaitkan dengan pasal 26 b RO, sehingga - kalau memang demikian halnya - sangat tak tepat putusan tersebut, karena delik per­tam a hanya mengandung unsur "memasuk­kan barang-barang" ex luar negeri, sedang­kan perbuatan para terdakwa hanya "mem­bawa", d.k.l. para peserta melakukan per­buatan "membawa" setelah delik selesaL Andai kata di Indonesia dikenal bentuk accessory after the fact, maka mereka dapat dijatuhi pidana bila terbukti kesalahannya pUla . . Oi Indonesia, para terdakwa jikalau dapat dibuktikan kesa!ahannya, antara lain itikad buruknya, mereka melakukan delik baru: penadahan biasa atau penadahan kebi-asaan. Bilamana mereka dapat rnernbuktikan itikad baiknya, an tara lain tidak dapat men­duga bahwa barang tersebut berasal dari ke­jahatan, maka mereka tidak dapat dipidana.

Kasus kedua yang dikutip oleh Baharud­din Lopa (1980:300) ialah putusan Penga­dilan Ekonomi Banda Aceh tanggal 5 Agus­tus 1971 No. 22/1971 Ek., yang berpenda­pat, bahwa meskipun kasus perkara terse­but sarna seperti kasus pertama, tetapi dise­babkan sebagian terdakwa-terdakwa hanya membeli .barang-barang dari orang lain (mes­kipun ternyata barang-barang itu adalah ha­sil penyelundupan) dan oleh karena itu ti­liak bertanggungjawab atas status barang­barang bukti yang disita daripadanya. Salah seorang terdakwa yang daripadanya disita barang-barang dalam peredaran bebas dija­tuhi pidana karena terbukti tidak membayar bea-bea masuk_ Pengadilan Tinggi Ekonomi Banda Aceh dalam tingkat banding, mengu­bah putusan Pengadilan Ekonomi No_ 22/ 1971 Ek., dengan memutuskan rnerarnpas barang-barang bukti yang oleh Pengadilan Ekonomi tidak dinyatakan dirampas. Pengadilan Tinggi Ekonomi in iaJah bahwa meskipun barang-barana bukti sudah berada dalam peredaran bebu, terbukti pa­da waktu pemasukannya luar pabean tidak dilindungi dokumen-dokumen impor,

-

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

16

sehingga bea-bea masuknya tidak terb:ryar. Pu tusan tersebut agak gelap. karena tidak dinyatakan apakah tcrdakwa yang dibebas· kan atau dilepaskan dari segala tuntutan di tingkat pertama itu dijatuhi pidana atall tidak. Yang hanya dipersoalkan ialah ba ' rang-baran~ asal kejahatan ekonomi yang -dirampas dalam percdaran bcbas dalam ta o ngan scscorang (yang bclum dibuktikan bahwa ialah yang mcmasukkannya sccara tidak syah). Kalau barangnya saja dinyata· kan dirampas karen a berasal daTi kejahatan dan memang clapat dibuktikan . bah\\'a ba ra.ng itu. diperoleh karena kejahatan ekono· mi, maka putusanny'a sutlah tepat. Namu n. andaikata terdakwa dalam tingkat pertama dibebaskan, lalu dijatuhi pidana di tinekat banding. maka mcnurut hem at saya terd;pat kekeliruan, karena perkara yang terdak\\,anya dibebaskan, tidak bolch dibanding oleh Pc­nuntut Umum. Yang mengganggu pikiran saya ialah pertanyaan : apa sebab barang· barang ex luar negcri begitu mullah masuk di Banda Aceh tanpa mcmbayar bea. scdang --kan di sana pasti ada petugas-petugas Bea

Cubi dan Polisi Pelahuhan') A:1daikata yang kedapatan memba\\'a ba­rang itu adalah orang biasa yang mempllnyai itikad baik karcna dibclinya di toko (yang -mungkin barang itu sudah bcberapa kali pindah tangan) adilkah kalau pcmhcli vang . -mengira bahwa barang itu bukan asal keja -

hatan (karena bercdar di pcrcdaran behasl dijatuhi pidana tanpa diteliti dan dibuktikan pertanggungja\\,ahannya (sengajanya)? .\pa scbab para pclaku penyelundupan tidak dill ' sut dan diad iii. seda::gkan orang biasa pem · bcli saja yang harus mcmikul dosanya. Terhadap pcmbcli demikian menu rut hemat saya herlaku alasan pcnghapus pidana tak tertulis yang diakui di seluruh dunia: Keinc Strafe ohne Schuld (bdk. dc . Melkarrcst -tanggal14 Pebruari 1916, NJ 1916, h. 681, di mana H. R. mcnyatakan, bahwa bilamana scorang yang ditud uh melakllkan pelanggar­an lcrbukti bahwa ia tidak mempunyai ke ­salahan, maka tidak bolch dipidana) .

Kiranya dimaklumi, bah\\'a asas lc,~alitas yang bcrIaku di hampir scluruh negara ·ncga-- -ra di dunia (kccuali Inggcris . Australia . . New Zealand dan Denmark), me nsy ara t b n. bahwa peraturan hukum pidana harus di· rumuskan jela~, schinf!!!a orang mcngetahui apa yan!! dilarang atau dipcrintahkan <)kh undang-undang pidana. Pasal 15 ayat I dan ayat 2 UVTPE mcnyebut dua macam oranl! -yang dapat dipcrtang~un!!jawahkan pidana

yang sukar dipahami. bcrsifat kabur, yang I1lcnurut hcmat saya tidak scsuai dcnl!an asas Icgalitas:

ayat I : yang bertindak scbagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian ;

ayat 2: orang bertindak dalam hubungan -hukum dan lain-lain.

Dapatkah dibuat konstruksi hukum "pe­mimpin dalam kelalaian ", demikian tann

Mr. Karni (1956:36)' Saya kira konstruksi demikian merupakan contradictio in ter­minis . scbab pemimpin yang melakukan per­buatan memimpin selalu mempunyai ke­sengajaan, sekali pun mungkin hanya senga­ja yang paling ringan. sengaja insyaf akan kemungkinan (dolus eventualis). sedangkan kelalaian bukanlah ciri perbuatan memimpin (ingat awalan me yang mengandung unsur sengaja). Selain dari itu. saya belum pernah mendengar ada "pemimpin dalam kelalaian" yang dijatuhi pidana ekonomi di Indo ne­sia , jadi mcrupakan paper rule. Barangkali -yang dimaksud ialah pimpinan perusahaan yang melakukan delik culpa berupa pelang­garan (overtreding ex pasal 2 ayat 3 L'L'T­PEl .

Apakah yang dimaksudkan dengan "orang bertindak dalam hubungan lain-lain'" Kalau diartikan luas. maka orang yang tidak bertindak dalam hubungan kerja denean -badan hukum pun dapat menyeret badan hukum dan korporasi Illasuk jaring hukum pidana.

Australia, Inggeris dan Amerika Serikat. negara-negara yang paling maju dalam pe­midanaan korp orasi. tidak mengenal apa yang disebut "hubun!:!an lain-lain". -

Dalam hubungan ini L.B . Curzon (1973 : 58) mengcmukakan sebaQai berikut : -The general rule today is that a corporation may be responsible for offences committed by its agents or servants in the course of .. . carrymg on ·the affairs of the corporation.

Jadi dibatasi pada agen, \\'akil. kuasa atau pegawai korporasi yang melakukan ke­jahatan dalam pelaksanaan unrusan kor-

• poras., Menurut hemat saya pcmbuat undan~­

undang Indonesia salah menterjemahkan pa­salIS lid 2 Wet Fconomische Delicten, yang berbunyi sebagai berikut : Fen econoillisch delict wordt onder meer begaan door of vanwcge een rcchtspersoon, een vennootschap. een vercniging, van per­sonen of een doelvermogen. indien het be­gaan wordt door personen, die hetzij uit hoofde van een dienstbetrekking hetzij uit

••

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

• •

Delik ekonorrz.!.~ _ ',_ . _

andere hoofde handelen in de sfeer van de rechtspersoon , de vcnnaotschap, dc vere­

niging of het doelvermogen, ongeach t o f deze personen ieder afzonderlijk het econo­mische delict hebben begaan dan weI bij hen -gezamenJijk de ! elementen (lees : bestand-delcn) van dat delict aanwezig zijn (J .M. van

Belllmelen, 197'J : 244). • • •

Yang perlu : dipcrhatikan ialah kalimat

"uit anderchao \,dc handeJcn in de sfeer Va!)

de rechtspersoon . , .... ". Jadi orang yang , bersangkutan harus bertindak JaIam hu-

bungan kerja ~tau dalam suasana badan hukum itu, sehingga dapat mehyeret. ba­dan hukum itL dalam jangkauan hukum

pidana ekonomL Pembuat delik yang meru-•

pakan korporas,i itu aleh Roling (.I .M. van Bemmelen, i 971: 245) dimasukkan fune-

tioneel daderschap. oleh karena korporasi •

dalam dunia n)odern mempunyai peranan

penting dalam! kehidupan eko nomi yang mempunyai banyak funksi : pem beri kerja,

produsen. penentu harga. pemakai devisa dan lain-lain. .

• ,

5. K E S IMP U LAN

Pertanggungjawaban piJana meliputi unsur-unsur : kemampuan hertanggungja­wab. kesalahan dalam arti Iuas (sengaja darv kelalaian), dan tak adanya alasan pemaaf. Ia harus dibedakan dari perbuatan pidana

(baca : delik) . Keduanya merupakan Syarat Pemidanaan. I:'ertanggungjawaban pidana

terhadap orang mati tidak sesuai dengan ajuran dan teori Hukum Pidana. maka se­baiknya barang si mati yang diperoleh ka­rena kejahatan . dalam arti luas harus disele­saikan menu rut Hukum Perdata atau Hu· kum Administrasi atau Dun Hukum Acara

• •

Pidana. Pemidanaan apa yang disebu! "orang yang tidak dikenal orang", yang diatur di dalam UUTPE, sarna dengan pe-, midanaan orang 'sudah meninggal dunia, pa-da hakekatnya ' merupakan sesuatu hal yang bertentangan dengan ajaran pertanggungja­wab, terutama ,unsur kesengajaan atau kela­laian "orang yang tidak pernah diproses­verbal" ? Kesalahan "orang yang tak di-

• kenai" mt:ngk:in dapat disimpulkan dari keterangan sa~si-saksi dan/atau fakta yang terbukti di persidangan. Untuk memecah­kan masalah tersebut barangkali perlu dite­rapkan di bidang Hukum Pidana Ekonomi jenis pertanggungjawab:.ln yang dikenal di

J7 ---.. -~---- - -- - _. - - - -negara-ncgara An!!lo Sa:>; on da n .. \ n!-!Io A me­rican. yaitu strict liability tClh~dal' kcjaha t· an atau pelangpran ya ng dill'tapbn dcngan

unuancc-undang (mab I,rohib ital. Ketcnt u· '" -

an mana tidak mensyaratkan adanya Mens . Rea (sikap batin), yaitu seng3ja Jan culpa

la tao Vit:ario us liability, yaitu pcrtanf!; un £,ia­

w;lban hukllll1 seseorang terhad ~p perbu atan

pidana cHang lain dabm rangb hubungan kerja , dikcnal okh Hukull1 Pidana Fkonomi

Indonesia. seba~ai pengccualian dari asa s­asas Hukull1 Pidana Umum. 1\amun demiki·

an, saya- scpendapat dengan Prof. Sudarto. S H, bahwa pCll1idanaan korporasi (berda~ar­kan vicarious liability) belum waktunya di­atur di dalam K.t ' .t'. H. Pi dana nasional yang akan datang.

Accessories after the fact tidaK dikenal oleh sistell1 Hukum PiJana Indonesia. ohih karena mana orang yang melakukan perbu· atan tcrcela sesudah delik ,clesai tak dapat dipidana karena dipersa lahkan melakukar. delik yang segera selcsai (atlopend delicti sepcrti delik yang disebut oleh pasal 26b RO. Orang terse but hanya dapat dipidana berdasarkan penadahan menuru t pasal 4 80 atau 481 K.U.U.H. Pidana.

.

Tcrhadap "orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain" dengan korporasi, perlu dibatasi sehingga hanya orang yang

melakukan kejahatan eko nomi dalam hu· bungan funksional dengan korporasi yanE

dapat melibatkan korporasi dalam kejahatan yang dibuat orang itu ( in the course of carrying on the affairs o f the corporation) ".

Mungkin' ketentuan yang berlaku di

Republik Federasi . Jerman dapat dijadikan pedoman dalam pembaruan ketentuan ten­tang "orang yang tidak dikenal", sebagai­mana dikemukakan oleh Dr. Peter Riess (Die Hauptverhandlung in Abwesenheit des

Angeklagten (J 978:214), an tara lain sebagai berik t.l :

It is ii; ',aria bly inadmissible to conduct the trial in the absence of the accused who are out of reach (becouse they are fugitive or obroad and cannot therefor appear be­fore the court). Where the accused is wi thin reach, the principle likewise applies that in case of his absence the trial cannot take place. However there are a number of exceptions to this principle.

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

$ $ , i 1. 2 $ 2

18 fIukum dan Pembangunan

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Andi Zainal Abidin Farid, Masih perlukah Asas Nullum Crimen Sine Lege dipertahan­kan di Ind onesia , Majalah Universitas Hasanuddin, No.5 Th. 11 , lanuari - Februari 1961.

2. Ac tus Non Facis Reum Nisi Mens Sit Rea , Buku Peringatan Dies Natalis ke XI FakuI­tas Hukum Cniversitas Hasanuddin, 1963 .

3. Sekapur siri asas-asas Hukum Adat Pidana Sulawesi Selatan sebagai bahan pemben­tukan K UUHP Nasional pidato pengukuhan sebagai Guru Besar !lmu Hukum Pidana Cniversitas Hasanuddin, Mahalah UN HAS, No mo r khusus, 1969.

4. A. Hamzah , SH. , Hukum Pidana Eko nomi, Erlangga. Jakarta. 1977. 5 . Abdurrachman , A., Ikhtisar Perundang-undangan Bea Cukai dan Devizen, N.V.

fresco , Band ung. 1961. 6. Baharuddin Lopa, SH., H., Tindak Pidana Ekonomi. pembahasan tindak pidana pe­

nyelundupan . Pradnya Paramita. Jakarta, 1980. 7. Cuczon, L.B., Criminal Law, M & E Handbooks. MacDonald & Evans Ltd., London,

19 73. 8. Cross, Rupert and Jones, P. Asteriey. , An Introduction to Criminal Law, Third Ed.,

Butterworth & Co. Pub!. Ltd., 1953. 9. Chkhikvadze. V. Prof. & Kirichenko, V., Criminal Law. Fundamentals of Soviet Law.

ed. by P.S. Ro mashkin, Foreign Languages Publishing House. Moscow, tanpa tahun. . 10 . Clark & Marshall, A Treatise of the Law of Crimes, sixth ed. revised by Malvin r .

\Vingersky . Callaghan & Company . Chicago, 195 8. I!. Enschede, Mr. Ch. J .. & Mr. A. heijder. Beginselen van Strafrecht, 2e druk, Tweede -

Herziene Druk . Kluwer, Deventer. 19 74. 12. Goldberg. Arthur J., Criminal Justice in Times of Stress, Judica ture, vol. 52, "iumber

2, Augustus - September 1968. 13 . Gohler. Dr. Erich , Die strafrechtliche Verantwortlichkeit juristischer Personen. Deuts­

che strafrech tliche Landerreferate zum X. In ternatio nalen Ko ngress fur Rech tsverglei­chung, Budapest, Walter de Gruyter, Berlin , New York , 1978.

14 . Grossfeld, Be=nhard & Ebke, Werner, Co ntrolling the Modern Co rporation : A Com­parative View of Corporate Power in the United States and Europe. The American Journal of Comparative Law, Vo!' XXVI, Number 3, Summer 1978.

IS . Howard, Colin. Criminal Law, Third Edition, The Law Book Co mpany Limited; Syd­ney, Melbourne. Brisbane. Perth. 1977 .

16. Hazewinkel - Suringa, Mr. D. , Inleiding to t de Studie van he Nederlandse Strafrecht. bewerk t door Mr. J. Remmelink, Zcsde druk. H.D. Tjeenk Willink B. V., Gro ningen . 19 73.

17. lonkers, Mr. J. E., Handboek van het Nederlandsch Indische Strafrecht, E.J . Brill. Leiden. 1946 .

18. Kartanegara SH, Prof. Satochid, Hukum Pidana. KumpuIan Kuliah. Bagian Satu. Ba­Iai Lektur '.1ahasiswa. tanpa tahun .

19. Mannheim , Hermann. Criminal Justice and Social Reconstruction. Routledge & Ke2an Paul Ltd . London. 1949. -

20. Moeljatno. Prof. Mr .. Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawab dalam Hukum Pidana, Pidato Dies VI Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1955. Seksi Kepi­'danaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, 196 9.

21. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta, 19 78. 22. Oemar Seno Adji. SH .. Prof., Hukum (Acara ) Pidana Dalam Prospeksi. Cetakan ke - 2,

Erlangg:J . Jakarta . 1976. 23. Peters. Mr. A.A.G., Opzet en Schuld in het Strafrecht. ALE. Kluwer, Deventer. 1966 24. Sudarto. SH .. "rof.. Suatu Dilemma Dalam Pembaharusn Sistem Pidana Indonesia.

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1979. 25. Sully brass, W.T.S .• A Comparison of the General Principles o f Criminal Law in Lng­

land with the "Progetto Definitivo di un Nuovo Codice Penale" of Alfredo Rocco. Jalam the Modern Approach to Criminal Law. ed . L. Radzinowicz & J.W.c. Turner. '.1acmillan and Co .. Ltd .. London. 1945 .

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP DELIK-DELIK EKONOMI

• Delik ekonOml 19

26. Supomo, Prof. Mr. Dr. R., Bab·bab ten tang Hukum Adat, Penerbitan Universitas, tanpa tahun.

27. Economic Crimes in the Soviet Union, Staff Study, Journal of International Commis­sion of Jurists, Vol. V, No. I, Summer 1964.

28. Young, R. Bryce, Criminal Law: Codes and Cases, McGraw Hill Book Comp'any , New York, 1972.

29. van Bemmelen, Mr. J .M., Ons Strafrecht, I, Algemeen deel. het materieele strafrecht, 4e herziene druk, H. H. Tjeenk . Willink, Groningen, 1971. . . . .'

30. Ons Strafrecht, 3, bijzonder deel, bijzondere delicten, H.D. Tjeenk Willink, Gro­ningen, 1973.

31. The Penal Code of the German Democratic Republic, Law and legislation in the Germen Democratic Republic, Association of German Democratic Lawyers, Berlin, tanpa tahun.

32. Criminal Code, Union of Jurists Associations of Yogos1avia, Beograd, 1960. 33. Criminal Code of the Hungarian People's Repu1;Jlic, translated by Pall Lamberg,

LL.D., Corvina Press, Budapest, 1962. 34. Mr. Drs. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas,

Bandung, 1960. 35. Mr. A. de Goede, Nederlandse Rechtsgeschiedenis, Dee1 I, H.E. Stenfert Koeser's

Uitgevers Maatschappij n.v., Leiden, 1949 .

~1'UTf T>!JlASUT 60LPUT' J •

(t )