Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERUBAHAN KANDUNGAN MINERAL DAN VITAMIN A IKAN COBIA (Rachycentron canadum) AKIBAT
PROSES PENGUKUSAN
EUIS NUR AISYAH
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
EUIS NUR AISYAH. Perubahan Kandungan Mineral dan Vitamin A Ikan Cobia
(Rachycentron canadum) Akibat Proses Pengukusan. Dibimbing oleh
NURJANAH dan RUDDY SUWANDI.
Ikan cobia merupakan ikan ekonomis penting di Asia dan mempunyai
pertumbuhan yang sangat cepat serta dapat mencapai ukuran berat 15 kg pada
umur 20 bulan. Salah satu kandungan gizi yang terdapat pada ikan cobia adalah
mineral dan vitamin A. Pengolahan sederhana yang sering diterapkan oleh
masyarakat salah satunya pengukusan, Pengukusan merupakan pemasakan dengan
menggunakan media uap panas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
pengaruh proses pengukusan terhadap komposisi proksimat (air, abu, protein, dan
lemak), mineral, dan vitamin A dari ikan cobia (Rachycentron canadum) yang
berasal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Pengujian yang
dilakukan meliputi analisis proksimat, uji mineral dengan AAS, uji vitamin
dengan HPLC. Karakteristik ikan cobia hasil penelitian memiliki panjang panjang
rata-rata 64,3 cm, lebar rata-rata 7,42 cm, dan bobot rata-rata sebesar 1,83 kg.
Ikan cobia segar memiliki persentase rendemen daging sebesar 36,83%, kulit
sebesar 6,87%, jeroan sebesar 11,21%, dan rendemen tulang 16,42%. Berdasarkan
basis basah kadar proksimat daging ikan cobia segar dan setelah proses
pengukusan secara berturut-turut yaitu kadar air sebesar 77,64% menjadi 66,32%,
kadar protein 10,34% menjadi 12,5%, kadar abu 1,1% menjadi 1,29%, dan kadar
lemak 9,19% menjadi 5,07%. Proses pengukusan menyebabkan kadar air, abu,
protein, lemak ikan cobia mengalami penurunan. Kandungan mineral makro
terbesar pada daging ikan cobia segar adalah kalium sebesar 906,2
mg/100 g (bk) dan yang terkecil adalah kalsium sebesar 101,9 mg/100 g (bk),
sedangkan mineral mikro terbesar adalah seng yaitu 66,2 mg/100 g (bk).
Kandungan vitamin A ikan cobia segar sebesar 435,8 µg/100 g, setelah dikukus
menjadi 251,19 µg/100 g. Metode pengukusan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap kandungan proksimat, vitamin A dan mineral yang
meliputi kadar magnesium, kalsium, natrium dan fosfor. Penurunan kadar besi
dan kalium tidak dipengaruhi oleh pengukusan.
PERUBAHAN KANDUNGAN MINERAL DAN VITAMIN A IKAN COBIA (Rachycentron canadum) AKIBAT
PROSES PENGUKUSAN
EUIS NUR AISYAH
C34080066
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012 Judul : Perubahan Kandungan Mineral dan Vitamin A Ikan Cobia
(Rachycentron canadum) Akibat Proses Pengukusan
Nama : Euis Nur Aisyah
NRP : C34080066
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Nurjanah, M.S.
NIP. 1959 1013 1986 01 2 002
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.
NIP. 19580511 198503 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.
NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Perubahan
Kandungan Mineral dan Vitamin A Ikan Cobia (Rachycentron canadum)
Akibat Proses Pengukusan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan oleh penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Euis Nur Aisyah
C34080066
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Mei 1990
dari pasangan Bapak Eris dan Ibu Asiah sebagai anak
pertama dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari
MI Tarbiyatul Fallah dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1
Darmaga dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis
di SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan lulus tahun 2008, pada tahun yang
sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota dan
Fisheries Processing Club (FPC). Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah
Avertebrata Air tahun ajaran 2010/2011, Teknologi Produk Tradisional Hasil
Perairan tahun ajaran 2011/2012 dan Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil
Perairan tahun ajaran 2011/2012. Penulis juga aktif diberbagai kepanitian seperti
Gemar Makan Ikan tahun 2011, Pelatihan HACCP 2011, Dies Natalis THP IPB
2011.
Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian
yang berjudul “Perubahan Kandungan Mineral dan Vitamin A Ikan Cobia
(Rachycentron canadum) Akibat Proses Pengukusan” dibawah bimbingan
Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat serta karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini
berjudul “Perubahan Kandungan Mineral dan Vitamin A Ikan Cobia
(Rachycentron canadum) Akibat Proses Pengukusan”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama
kepada:
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku dosen
pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan, dan masukan yang diberikan
kepada penulis.
2. Roni Nugraha, S. Si, M. Sc selaku Penguji tamu atas pengarahan dan masukan
yang diberikan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan.
4. Dr. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen
Teknologi Hasil Perairan
5. Dra. Ella Salamah, MS selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
dorongan semangatnya kepada penulis.
6. Bapak Sukadi, Minjoyo, dan Ibu Eva selaku pihak dari Balai Riset
Pengembangan Budidaya Laut Lampung yang telah membantu penulis dalam
melakukan penelitian.
7. Keluarga terutama Ayah dan Mama serta adik-adikku tercinta (Erni, Eliza,
Orion) yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dan motivasi kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini.
8. Jaka Mochammad Ichsan dan Keluarga atas kasih sayang, nasehat dan
motivasi selama ini.
9. Lidia BR Sebayang, Vini Oktorina dan Tri Kalbu Ardiningrum S teman
seperjuangan atas kebersamaan, nasehat, semangat, dan dukungan selama ini.
10. Silvia, Hana, Mpit, Dwi Sari, Iis, Rivi, Aulia, Fitriany, Afif, Helmi,
Tim ODV 45 yang terdiri dari Rico, Entep, Hardi dan THP 45 lainnya yang
tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan serta semangat yang telah
banyak membantu penulis.
11. Asisten Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan (Ka Sabri, Asni, Hilma, Ipi,
Caca, Ning, dan Ika) atas kebersamaanya.
12. Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), staf Dosen, Tata
Usaha (TU), dan staf laboratorium (Bu Ema, Mas Zaky, Mas Andri,
Mas Ipul, Mba Dini, dan Mba Lastri), serta teman-teman THP 44, 46 dan 47
yang telah memberikan dorongan dan semangat.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2012
Euis Nur Aisyah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN ........ ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang . ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................. 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Cobia .. ............................................ 3
2.2 Mineral dan Fungsinya .................................................................... 5
2.2.1 Mineral makro ....................................................................... 5
2.2.2 Mineral mikro.......... ............................................................ 7
2.3 Vitamin dan Fungsinya .................................................................... 9
2.3.1 Vitamin larut lemak ................................................ ............ 10
2.4 Pengukusan ...................................................................................... 11
3 METODOLOGI ............................................. ..................................... 12
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................... 12
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 12
3.3 Metode Penelitian ............................................................................ 13
3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku ................................. 13
3.3.2 Proses pengukusan ............................................................... 14
3.3.3 Rancangan dan percobaan analisis data ................................. 14
3.3.4 Analisis proksimat (AOAC 2005) ......................................... 15
a) Analisis kadar air ............................................................ 15
b) Analisis kadar abu .......................................................... 15
c) Analisis kadar lemak ....................................................... 16
d) Analisis kadar protein ............ ....................................... 16
3.3.5 Analisis mineral .................................................................... 17
3.3.6 Analisis vitamin A (AOAC 2001) ..... ............. ...................... 18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 20
4.1 Karakteristik Ikan Cobia (R. canadum) ............................................ 20
4.2 Rendemen Ikan Cobia .........................................................……….. 21
4.3 Komposisi Kimia Ikan Cobia .......................................................... 22
4.4 Komposisi Mineral ......................................................................... 24
4.4.1 Mineral makro ...................................................................... 24
4.4.2 Mineral mikro ....................................................................... 28
4.5 Kandungan Vitamin A .................................................................... 30
5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 32
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 32
5.2 Saran .............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 33
LAMPIRAN ............................................................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Diagram alir metode penelitian ............................................................... 13
2 Ikan cobia (R. canadum) ............................................................................. 20
3 Persentase rendemen ikan cobia .................................................................. 21
1 ...................................................................................................................
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 ................................................................................................................... Kom
posisi kimia ikan cobia ........................................................................... 4
2 ................................................................................................................... Ukur
an dan bobot ikan cobia .......................................................................... 20
3 ................................................................................................................... Kom
posisi kimia daging ikan cobia segar dan setelah pengukusan ................. 22
4 ................................................................................................................... Kom
posisi mineral makro daging pada beberapa jenis ikan (mg/100 g bb) .... 24
5 ................................................................................................................... Kom
posisi mineral makro daging ikan cobia (mg/100 g bk) .......................... 25
6 ................................................................................................................... Kom
posisi mineral mikro pada beberapa jenis ikan segar (mg/100 g bb) ....... 28
7 ................................................................................................................... Kom
posisi mineral mikro ikan cobia segar dan kukus (mg/100 g bk) ............. 28
8 ................................................................................................................... Kand
ungan vitamin A ikan cobia dan beberapa jenis ikan (µg/100 g) ............. 31
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Gambar ikan cobia dan bagiannya ........................................................ 38
2 Data morfometrik ikan cobia ................................................................. 39
3 Analisis ragam ikan cobia ..................................................................... 40
4 Data dan perhitungan komposisi kimia ikan cobia ................................. 41
5 Contoh hasil analisa mineral ................................................................. 43
6 Dokumentasi kegiatan penelitian ............................................................ 43
7 Kromatogram hasil analisis vitamin A ................................................... 45
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah perairan Indonesia yang meliputi dua pertiga bagian Indonesia
berpotensi dalam memajukan peluang usaha pada sektor perikanan khususnya
sebagai sumber pangan dan komoditas perdagangan. Budidaya ikan sangat
berperan dalam membantu melestarikan sumberdaya ikan di perairan umum,
seperti Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung yang berhasil
membudidayakan salah satu spesies ikan introduksi yaitu ikan cobia. Cobia
merupakan alternatif budidaya karena memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat
dan memiliki nilai jual tinggi baik di pasaran internasional maupun domestik.
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai
macam nutrisi dan banyak dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu sumber
protein hewani. Kandungan kimia ikan secara keseluruhan meliputi protein,
vitamin, mineral dan asam lemak omega-3 yang mempunyai peran dalam
kesehatan tubuh manusia. Vitamin yang ada dalam ikan bermacam-macam yaitu
vitamin A, D, thiamin, riboflavin dan niacin, dan salah satu vitamin yang banyak
terkandung dalam biota hasil perairan adalah vitamin A (Almatsier 2004).
Makanan hasil laut merupakan sumber pangan yang kaya akan komponen
mineral. Menurut Erkan dan Ozden (2007), kandungan total mineral pada ikan
dan avertebrata laut adalah sebesar 0,6% - 1,5% berat basah. Komponen mineral
seperti natrium, kalium, magnesium, kalsium, besi, dan fosfor sangat penting
untuk nutrisi manusia.
Ikan merupakan bahan biologis yang sangat cepat mengalami kemunduran
mutu jika tidak ditangani dengan baik, oleh karena itu perlu dilakukan proses
pengolahan untuk meningkatkan daya simpan dan konsumsi. Pengolahan
sederhana yang sering diterapkan oleh masyarakat salah satunya pengukusan.
Pengukusan merupakan metode konvensional yang telah lama dikenal untuk
memasak. Pemanasan dengan pengukusan kadang-kadang tidak merata karena
bahan makanan dibagian tepi biasanya mengalami pengukusan berlebihan,
sementara dibagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit. Pengetahuan
tentang seberapa besar perubahan yang terjadi pada suatu bahan akibat proses
2
pengolahan dapat digunakan untuk menentukan metode pengolahan yang tepat
(Susangka et al. 2006).
Pengetahuan mengenai kandungan gizi dari ikan cobia sampai saat ini masih
sangat terbatas di Indonesia. Informasi yang diperlukan dari ikan cobia yaitu
kandungan gizinya terutama vitamin dan mineral dari ikan cobia segar dan setelah
pemasakan dengan pengukusan. Proses pemasakan akan mempengaruhi kadar
vitamin A dan mineral yang terkandung di dalam bahan makanan. Kadar
vitamin A dan mineral akan berkurang akibat adanya proses pengukusan, oleh
karena itu perlu diketahui seberapa besar kandungan vitamin A dan mineral yang
hilang selama pemasakan dengan cara dikukus. Vitamin merupakan mikronutrien
organik esensial, karena vitamin yang dibutuhkan pada diet manusia hanya dalam
jumlah miligram atau mikrogram perhari. Sejalan dengan hal tersebut maka
dilakukanlah penelitian mengenai perubahan kandungan mineral, dan vitamin A
ikan cobia (Rachycentron canadum) akibat proses pengukusan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh proses pengukusan
terhadap komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak), mineral, dan
vitamin A dari ikan cobia (R. canadum) yang berasal dari Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Cobia
Ikan cobia merupakan ikan ekonomis penting di Asia dan mempunyai
pertumbuhan yang sangat cepat serta dapat mencapai ukuran berat 15 kg pada
umur 20 bulan. Ikan cobia ini termasuk ikan pelagis yang hidup di perairan tropis
dan sub tropis, dan banyak ditemukan di Samudra Pasifik, Atlantik dan sebelah
baratdaya Meksiko. Ikan ini sering dijumpai di sekitar perairan Pulau Bali.
Morfologi ikan cobia dapat dilihat pada Lampiran 1. Klasifikasi ikan cobia
menurut Nakamura dan Shafer (1989) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Rachycentridae
Genus : Rachycentron
Spesies : R. canadum
Cobia memiliki tubuh panjang dengan kepala agak pipih, pita gelap pada
sisi lateral memanjang dari mata sampai ekor, sirip dorsal ke-1 berupa duri
berjumlah 7-9 yang tidak dihubungkan oleh membran (Supriyatna 2007). Ikan
cobia termasuk kedalam Kelas Actinopterygii dan satu-satunya spesies dari Famili
Rachycentridae. Ikan ini dikenal dengan nama ling, lemonfish, crabeater dan
cobio yang memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo dengan kepala dan mulut
relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Ikan ini bersisik kecil dan
terbenam dalam kulit yang tebal, badan berwarna coklat gelap dengan bagian
bawah berwarna kekuning-kuningan dan terdapat dua garis tebal keperakan
sepanjang tubuh pada ikan yang masih muda. Ikan cobia umumnya dapat
mencapai ukuran berat 15 kg pada umur 20 bulan dan pertumbuhannya dapat
mencapai panjang 2 m dengan berat 61 kg dan di alam cobia dapat hidup 15 tahun
(Kaiser dan Holt 2005). Cobia merupakan ikan pelagis dengan gerakan aktif dan
dapat berubah warna, dalam keadaan normal dan stres, ikan ini dapat berwarna
hitam dengan dua garis putih dan pada samping badan membujur dari leher
4
sampai ke ekor dan akan berubah keabu-abuan, bila wadah pemeliharaan
berwarna terang.
Cobia termasuk golongan karnivor yang makanannya adalah udang-
udangan, cumi, dan ikan-ikan kecil. Makanan favorit ikan cobia adalah kepiting
sehingga mereka disebut crabeaters. Ikan cobia biasanya ditemukan dalam
kelompok 3-100 ikan di air dangkal disepanjang garis pantai ketika mereka
berburu untuk makanan selama migrasi (Diep 2009). Ikan cobia dapat mentolerir
berbagai variasi suhu habitatnya yaitu suhu 16,8-32,2 °C dan salinitas 22,5 sampai
44,5 ppt, saat dewasa ikan ini dapat hidup dengan suhu rendah yaitu 17,7 °C
(Benetti 2002).
Ikan merupakan bahan pangan sumber protein hewani, selain itu juga ikan
mengandung lemak yang bersifat tak jenuh, vitamin, dan mineral. Kandungan
kimia, ukuran, dan nilai gizi ikan tergantung pada jenis, umur kelamin, tingkat
kematangan, dan kondisi tempat hidupnya (Adawyah 2008). Komposisi kimia
ikan cobia dapat dilihat pada Tabel 1 .
Tabel 1 Komposisi kimia ikan cobia
Komposisi (%) Tidak dibudidaya
budidaya
Air 77,14±1,9 73,59±2,87
Lemak 2,64±1,5 5,45±2,39
Protein 19,21±1,1 20,25±1,26
Abu 1,39±0,1 1,46±0,16 Sumber : Chuang et al. (2010)
Bagian daging dari cobia memiliki kualitas yang berbeda dengan yang
lain, terutama dilihat dari kandungan lemak dan kadar airnya, sehingga ikan ini
dimanfaatkan untuk dijadikan sashimi, dikukus, digoreng, dipanggang dan direbus
untuk sup (Amiza dan Aishah 2011).
Produksi ikan cobia di seluruh dunia pada tahun 2002 (total tangkapan dan
budidaya) dilaporkan mencapai 10.416 ton dengan Taiwan, Pakistan, Brazil dan
Uni Emirat Arab tercatat sebagai lima produsen teratas. Taiwan saat ini memiliki
industri komersil yang memproduksi hampir 5.000 ton pada tahun 2004 dan
sebagian besar dihasilkan dari budidaya. Ikan ini sering dijumpai di sekitar
perairan utara Bali di Teluk Sumber Kima (Arnold dan Joan 2002). Ikan cobia
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yaitu US $ 0,5 per benih ukuran 10 cm,
5
US $ 6 per kg untuk ukuran konsumsi, dan dalam bentuk beku seharga
US $ 4-6 per kg (Liao et al. 2004)
2.2 Mineral dan Fungsinya
Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh
makhluk hidup disamping karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin, juga dikenal
sebagai zat anorganik atau kadar abu. Berbagai unsur anorganik (mineral) terdapat
dalam bahan biologi, tetapi tidak atau belum semua mineral tersebut terbukti
esensial, sehingga ada mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial yaitu
mineral yang sangat diperlukan dalam proses fisiologis makhluk hidup untuk
membantu kerja enzim atau pembentukan organ. Unsur mineral lain yaitu besi,
iodium, tembaga dan seng terdapat dalam jumlah yang kecil dalam tubuh, karena
itu disebut trace element atau mineral mikro (Arifin 2008).
2.2.1 Mineral makro
Unsur-unsur mineral esensial dalam tubuh terdiri atas dua golongan, yaitu
mineral makro dan mineral mikro. Unsur natrium, kalium, kalsium, magnesium
dan fosfor terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang cukup besar maka dikenal
sebagai unsur mineral makro (Arifin 2008).
a. Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh, yaitu
1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg.
Berdasarkan jumlah tersebut, 99% berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan
gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit dan sisanya tersebar di dalam tubuh
(Almatsier 2004). Menurut Nurjanah et al. (2005), kalsium sebagai mineral untuk
pembentukan tulang. Mineral ini tergabung dalam enzim antioksidan yang
berperan melindungi membran sel dan komponen-komponen dalam sitosol.
Kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteomalasia atau disebut juga
riketsia pada orang dewasa. Osteomalasia terjadi karena kekurangan vitamin D
dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Kadar kalsium yang
sangat rendah juga dapat menyebabkan tetanus atau kejang. Konsumsi kalsium
sebaiknya tidak melebihi 2.500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan
gangguan ginjal dan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier 2004). Retensi
kalsium sebagai tulang pada usia prasekolah adalah 100 mg/hari, pada remaja
6
perempuan retensinya dua kali lipat dan remaja laki-laki tiga kali lipat. Sebuah
studi menunjukan bahwa asupan kalsium 1.500 mg/hari mungkin diperlukan oleh
gadis remaja berusia 14 tahun untuk mencapai retensi maksimum
(Khomsah 2004)
b. Natrium (Na)
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler, 35%-40% natrium
ada di dalam kerangka tubuh. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau
NaCl. Peran natrium sebagian besar mengatur tekanan osmotik yang menjaga
cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel, di dalam sel tekanan
osmotik diatur oleh kalium guna menjaga cairan tidak keluar dari sel. Tubuh
secara normal dapat menjaga keseimbangan antara natrium di luar sel dan kalium
di dalam sel. Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang
dibutuhkan tubuh. Taksiran kebutuhan natrium sehari untuk orang dewasa adalah
sebanyak 500 mg. Kebutuhan natrium didasarkan pada kebutuhan untuk
pertumbuhan, kehilangan natrium melalui keringat dan sekresi lain
(Almatsier 2004). Defisiensi natrium pada hewan dapat menyebabkan rendahnya
tekanan osmosis darah sehingga menyebabkan dehidrasi. Gejala yang terlihat
adalah pertumbuhan yang lambat karena menurunnya penggunaan protein dan
energi dari pakan (Darmono 1995).
c. Magnesium (Mg)
Magnesium merupakan unsur esensial bagi tubuh. Magnesium bertindak di
dalam semua jaringan lunak sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis
termasuk reaksi-reaksi yang berkaitan dengan metabolisme, energi, karbohidrat,
lipida dan protein. Magnesium memiliki peranan yang berlawanan dengan
kalsium. Kalsium merangsang kontraksi otot sedangkan magnesium
mengendorkan otot, kalsium mendorong penggumpalan darah sedangkan
magnesium mencegahnya. Magnesium mencegah kerusakan gigi dengan cara
menahan kalsium di dalam email gigi (Almatsier 2004).
Kekurangan magnesium menyebabkan kurang nafsu makan, gangguan
dalam pertumbuhan, mudah tersinggung, gugup, kejang atau tetanus, gangguan
sistem saraf pusat, halusinasi, koma dan gagal jantung. Kelebihan magnesium
terjadi pada penyakit gagal ginjal (Almatsier 2004). Produk perikanan
7
mengandung magnesium sebesar 20-50 mg/100 g, sementara jenis rumput laut
memiliki kandungan sebesar 120-620 mg/100 g. Komoditas perairan tersebut
berpotensi besar untuk mencukupi kebutuhan gizi rata-rata magnesium bagi
manusia (Okuzumi dan Fujii 2000).
d. Fosfor (P)
Fosfor merupakan mineral yang penting dalam tubuh hewan, yang
kegunaannya dan hubungannya dengan kalsium sebagai mineral yang dominan
dalam tulang, dua mineral ini bergabung membentuk senyawa yang mirip dengan
mineral hidroksiapatit (Darmono 1995). Menurut Nievas (2005), kekurangan
fosfor dapat menyebabkan peningkatan patah tulang. Rasio fosfor dan kalsium
yang seimbang lebih penting daripada hanya mengkonsumsi fosfor atau kalsium
saja. Konsumsi fosfor yang berlebihan bila dikombinasikan dengan asupan
kalsium yang rendah justru menyebabkan tulang semakin keropos. Menurut
WNPG (2004), angka kecukupan yang dianjurkan untuk fosfor dalam sehari
adalah 600 mg untuk usia 19-64 tahun, 400 mg untuk usia 1-9 tahun, dan
1.000 mg untuk usia 10-18 tahun.
e. Kalium (K)
Kalium bersama-bersama dengan natrium membantu menjaga tekanan
osmotik dan keseimbangan asam basa. Kandungan kalium yang seimbang dalam
darah dapat mencegah tekanan darah tinggi (Ando et al. 2010). Tubuh orang
dewasa mengandung kalium sebanyak 250 g dua kali lebih banyak dari natrium
110 g, meskipun demikian biasanya konsumsi kalium lebih sedikit daripada
natrium. Kebutuhan kalium minimum sebanyak 2.000 mg perhari. Kalium
terdapat di dalam semua makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan
terutama makanan mentah atau segar. Kekurangan kalium pada manusia akan
mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan nafsu makan dan kelumpuhan, sedangkan
kelebihan akan menyebabkan gagal jantung yang berakibat kematian serta
gangguan fungsi ginjal (Almatsier 2004).
2.2.2 Mineral mikro
Mineral mikro merupakan unsur mineral dalam jumlah kecil yang terdapat
didalam tubuh, karena itu disebut trace element yang meliputi mineral besi,
iodium, tembaga dan seng (Arifin 2008).
8
a. Besi (Fe)
Besi adalah mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh
manusia. Besi merupakan bagian penting dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim.
Besi tergolong zat gizi essensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber
utama besi adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati, daging,
ayam, dan ikan, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau. Hampir
90% besi dalam tubuh hewan berikatan dengan protein, tetapi yang terpenting
ialah ikatannya dengan hemoglobin (Hb) (UI 2009).
Zat besi dalam tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia,
antara lain dalam memproduksi sel darah merah. Sel ini sangat diperlukan untuk
mengangkut oksigen keseluruh jaringan tubuh. Zat besi berperan sebagai
pembawa oksigen, bukan saja oksigen pernapasan menuju jaringan, tetapi juga
dalam jaringan atau dalam sel (King 2006 dalam Arifin 2008). Kekurangan zat
besi akan menyebabkan anemia. Makanan sebagai sumber zat besi adalah daging
sapi. Zat besi pada hasil perikanan banyak terdapat pada daging berwarna merah,
seperti tuna dan cakalang, selain itu juga banyak terdapat pada otot-otot yang
mengandung hemeiron, yaitu gabungan zat besi organik dengan protein yang
mudah diserap. Daya serap zat besi organik (hemeiron) adalah 35%, sedangkan
zat besi non organik hanya 8% (Suzuki 2004 dalam Nurjanah et al. 2005).
b. Seng (Zn)
Seng merupakan komponen penting pada struktur dan fungsi membran sel,
sebagai antioksidan, dan melindungi tubuh dari serangan lipid peroksidase. Seng
berperan dalam sintesis dan transkripsi protein, yaitu dalam regulasi gen. Seng
(Zn) ditemukan hampir dalam seluruh jaringan hewan. Seng lebih banyak
terakumulasi dalam tulang dibanding dalam hati yang merupakan organ utama
penyimpan mineral mikro. Seng banyak terdapat dalam jaringan epidermal (kulit,
rambut, dan bulu), dan sedikit dalam tulang, otot, darah, dan enzim
(Brown et al. 2004).
Seng ditemukan hampir dalam setiap jaringan hewan. Mineral ini cenderung
terakumulasi dalam tulang daripada dalam hati yang merupakan organ utama
sebagai penyimpanan kebanyakan mineral mikro. Beberapa enzim dalam tubuh
hewan yang mengandung seng, yaitu karbonik-anhidrase, pankreatik-
9
karboksipeptidase, laktat- dehidrogenase, alkalin-fosfatase dan timidin kinase.
Seng juga berperan sebagi pengaktif beberapa enzim (Darmono 1995).
Kebutuhan seng bagi setiap anak diatas usia 11 tahun diperkirakan sebesar
15 mg. Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anak-anak, ibu
hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan
terjadinya diare, gangguan pertumbuhan, gangguan kematangan seksual,
gangguan sistem saraf, sistem otak dan gangguan pada fungsi kekebalan
(Almatsier 2004).
c. Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan salah satu mineral mikro esensial untuk membantu
lancarnya proses metabolisme dan kerja enzim dalam tubuh. Tembaga memiliki
fungsi utama dalam tubuh sebagai bagian dari enzim. Enzim-enzim mengandung
tembaga mempunyai berbagai macam peranan berkaitan dengan reaksi yang
menggunakan oksigen atau radikal oksigen. Tembaga merupakan bagian
metaloprotein yang terlibat dalam fungsi rantai sitokrom dalam oksidasi di dalam
mitokondria, sintesis protein-protein kompleks jaringan kolagen di dalam
kerangka tubuh dan pembuluh darah serta dalam sintesis pembawa rangsangan
saraf (neurotransmitter) seperti noradrenalin dan neuropeptida. Amerika Serikat
menetapkan jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah sebanyak
1,5-3,0 mg sehari (Almatsier 2004).
Tembaga sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme, pembentukan
hemoglobin, dan proses fisiologis dalam tubuh hewan. Penyakit akibat
kekurangan unsur tembaga ditemukan pada beberapa tempat di dunia.
Kekurangan tembaga dapat menyebabkan anemia, selain itu juga mengakibatkan
gangguan pada tulang, kemandulan, depigmentasi pada rambut dan bulu,
gangguan saluran pencernaan, dan lesi pada syaraf otak dan tulang belakang
(Arifin 2008).
2.3 Vitamin dan Fungsinya
Vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil
untuk berbagai fungsi biokimiawi dan umumnya tidak disintesis oleh tubuh
sehingga harus dipasok dari makanan. Vitamin diperlukan hanya dalam jumlah
sedikit. Vitamin bekerja sebagai katalisator yang memungkinkan tranformasi
10
kimia makronutrien yang biasa disebut metabolisme. Berdasarkan kelarutannya
vitamin dibedakan menjadi dua yaitu vitamin larut lemak yang terdiri dari vitamin
A, D, E dan K, sedangkan kandungan vitamin larut air yang terdapat pada ikan
umumnya adalah B12, B6, biotin, dan niacin (Irawan 2006). Jumlah vitamin ini
lebih banyak terdapat pada daging ikan yang berwarna lebih gelap dan dari daging
ikan yang berwarna putih jumlah vitamin B-nya hampir sama banyaknya dengan
jumlah vitamin di dalam daging sapi atau ayam.
2.3.1 Vitamin larut lemak
Vitamin larut lemak merupakan molekul hidrofobik yang semuanya adalah
derivat isoprene. Molekul-molekul ini tidak disintesis tubuh dalam jumlah yang
memadai sehingga harus disuplai dari makanan. Vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak memerlukan absorbsi lemak yang normal agar vitamin tersebut dapat
diabsorbsi secara efisien. Diabsorbsi molekul vitamin tersebut harus diangkut
dalam darah oleh lipoprotein atau protein pengikat yang spesifik yang merupakan
vitamin yang larut di dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K (Triana 2006).
a) Vitamin A
Vitamin A merupakan istilah generik untuk semua senyawa dari sumber
hewani yang memperlihatkan aktivitas biologis vitamin A. Senyawa-senyawa
tersebut adalah retinal, asam retinoat dan retinol, hanya retinol yang memiliki
aktivitas penuh vitamin A, yang lainnya hanya mempunyai sebagian fungsi
vitamin A. Sayuran mengandung karotenoid yang merupakan provitamin A.
Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi normal tubuh, diantaranya
penglihatan, kekebalan tubuh, reproduksi, serta pertumbuhan dan perkembangan
tubuh. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada penglihatan di
senja hari (buta senja), hal ini terjadi karena simpanan vitamin A dalam hati
hampir habis. Kerusakan lainnya pada jaringan mata, yaitu xeroftalmia akan
menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet
yang jelek dengan kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber
provitamin A (Triana 2006).
11
2.4 Pengukusan
Pengolahan pangan bertujuan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman
untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Pengolahan dengan menggunakan panas
merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan,
adapun dampak negatif dari pengolahan panas yaitu menurunnya zat gizi karena
degradasi protein dan kehilangan mineral oleh suhu tinggi (Apriyantono 2002).
Pemasakan merupakan salah satu proses pengolahan panas yang sederhana
dan mudah. Pemasakan dapat dilakukan dengan media air panas yang disebut
dengan perebusan maupun dengan uap panas atau yang disebut pengukusan.
Perbedaan keduanya pada media yang dimanfaatkan yaitu melalui air dan uap
panas dengan suhu 100 oC (Susangka et al. 2006). Pengolahan makanan dengan
cara dikukus memiliki keuntungan yaitu dapat mengurangi jumlah nutrisi yang
hilang karena bahan makanan tidak langsung bersentuhan dengan air.
Pengurangan zat gizi pada pengukusan tidak sebesar pada proses perebusan.
Pengukusan juga sering dilakukan industri sebelum proses pengalengan bahan
makanan dilakukan dengan tujuan untuk menonaktifkan enzim, bukan untuk
membunuh mikroba. Kondisi enzim yang tidak aktif dapat mencegah perubahan
warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama proses
penyimpanan (Tahmrin dan Prayitno 2008 dalam Rahayu et al. 2010).
12
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2012.
Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel dari Balai Riset Pengembangan
Budidaya Laut Lampung. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, uji proksimat dilakukan di
Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, serta untuk proses pengukusan dilakukan
di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis mineral
dilakukan di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan Fakultas Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan analisis vitamin A dilakukan di Balai
Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ikan cobia
(Rachycentron canadum) yang diperoleh dari Balai Riset Pengembangan
Budidaya Laut Lampung. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat
meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 pekat, asam borat
(H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red (1:2)
berwarna merah muda, larutan HCl 0,1 N, pelarut lemak (n-heksana p.a), larutan
HCl 10%, larutan AgNO3 0,10 N, dan akuades. Bahan yang digunakan untuk
analisis mineral adalah HNO3, HClO4, H2SO4, dan HCl. Analisis vitamin A
menggunakan bahan-bahan yaitu akuabides, etanol, KOH, Tetrahidrofouran
(THF) dan asam asetat glasial.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, dandang;
analisis proksimat menggunakan alat timbangan analitik, cawan porselen, oven,
desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, tabung sokhlet,
pemanas, destilator, buret, kertas saring, kapas dan tanur. Pengujian vitamin A
digunakan tabung reaksi, becker glass, mortar, erlenmeyer, magnetic stirer, HPLC
Perkin Elmer series 200 dan labu ukur. Analisis mineral menggunakan AAS
(Atomic absorption spectrophotometer) merk Shimadzu tipe AA 680 flame
emission, hot plate, labu takar 100 ml, dan glass wool.
13
3.3 Metode Penelitian
Penelitian meliputi tahap pengambilan sampel, perhitungan morfometrik,
perhitungan rendemen, pemasakan, rancangan dan analisis data (SPSS 15.0),
analisis kimia ikan cobia berupa analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, dan
abu), analisis kadar mineral, dan analisis kadar vitamin A. Diagram alir metode
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alir metode penelitian
3.3.1 Pengambilan dan preparasi bahan baku
Ikan cobia diambil dari Balai Riset Pengembangan Budidaya Laut
Lampung. Sampel yang sudah diambil kemudian dimasukkan dalam coolbox
dengan dilapisi es curai, hal ini bertujuan untuk menjaga kesegaran selama proses
transportasi. Sampel tiba di laboratorium untuk dilakukan tahap selanjutnya yaitu
penentuan morfometrik meliputi ukuran panjang dan lebar, serta penentuan
Daging ikan segar
Analisis kimia:
1. Analisis proksimat
2. Analisis mineral
3. Analisis vitamin A
Pengukusan daging
100 0C, 15 menit
Pengukuran rendemen
Preparasi sampel
Pengukuran berat dan morfometrik
Ikan cobia
14
rendemen dengan mengukur berat rata-rata dari setiap jenis sampel secara acak,
meliputi berat total, daging, dan jeroan, kemudian dihitung rendemennya dengan
rumus:
3.3.2 Proses pengukusan
Daging ikan cobia dikukus selama 15 menit pada suhu 100 0C dengan
menggunakan dandang yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian bawah untuk air
pengukus dan bagian berlubang di atasnya untuk tempat daging ikan. Kemudian
ikan diangkat dan ditiriskan kemudian ditimbang, lalu daging dibungkus dengan
alumunium foil dan plastik untuk pengujian proksimat, mineral, dan vitamin A.
3.3.3 Rancangan dan percobaan analisis data
Rancangan percobaan untuk menguji pengaruh metode pengukusan
terhadap kadar proksimat, mineral dan vitamin A ikan cobia adalah dengan
metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor dan 2 taraf (segar dan
kukus). Data analisis dengan ANOVA (Analysis of Variance) menggunakan uji F
terlebih dahulu. Model rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
yijk = µ + Ai + Bj + (ABij) + έijk
Keterangan:
yij = hasil pengamatan faktor A taraf ke-I (I = 1, 2) dan faktor B taraf ke-j (j =
1, 2, 3) pada ulangan ke-k (k = 1, 2, 3)
µ = rataan umum
Ai = pengaruh faktor kondisi sampel (faktor A) taraf ke-i
Bj = pengaruh faktor jenis pelarut (faktor B) taraf ke-j
(ABij) = pengaruh interaksi kondisi sampel taraf ke-i dan jenis pelarut taraf ke-j
έijk = sisaan akibat kondisi sampel taraf ke-I dan jenis pelarut taraf ke-j pada
ulangan ke-k
Hipotesa terhadap hasil pengujian kadar proksimat, kandungan mineral, dan
vitamin A pada daging ikan cobia sebagai berikut:
H0 = Metode pengukusan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar proksimat,
mineral dan vitamin A.
H1 = Metode pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar proksimat,
mineral dan vitamin A.
15
Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh terhadap zat gizi ikan cobia,
maka dilanjutkan dengan uji Duncan, rumusnya sebagai berikut:
Duncan = q (p,dbs)
Keterangan :
q = nilai tabel q
p = banyaknya perlakuan
KTS = Kuadrat tengah sisa
dbs = Derajat bebas sisa
r = Banyaknya ulangan
3.3.4 Analisis proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu,
karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak. Analisis yang digunakan mengacu
pada metode AOAC.
a) Kadar air
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan. Sampel dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang,
kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 - 8 jam atau
hingga beratnya konstan. Proses selanjutnya cawan tersebut diletakkan pada
desikator ± 30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang
kembali. Perhitungan kadar air menggunakan rumus berikut:
Keterangan : A = berat cawan kosong (g)
B = berat cawan + sampel awal (g)
C = berat cawan + sampel kering (g)
b) Kadar abu
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
105 oC, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga
16
didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g ditimbang, lalu dimasukkan
ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak
berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 oC selama 6 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Penentuan kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus berikut.
Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g)
c) Kadar lemak
Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya sampel yang
telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat
tetapnya dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak
dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut
lemak (n-heksana), kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang
ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Saat
destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan
sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator
sampai beratnya konstan.
Keterangan : W0 = Berat sampel (g)
W1 = Berat labu lemak kosong (g)
W2 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
d) Kadar protein
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam labu kejldahl 50 ml lalu ditambahkan kjeltab jenis selenium, 15 ml H2SO4
pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam labu didiamkan
10 menit di ruang asam. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang
lebih dua jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci
17
dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat
destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml
asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1 %
dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan dengan
menambahkan 50 ml larutan NaOH ke dalam alat destilasi hingga tertampung
100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau.
Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah
muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Kadar protein
dihitung dengan rumus berikut.
Keterangan: Protein (%) = N (%) x 6,25
3.3.5 Analisis Mineral
Analisis mineral dilakukan untuk mengetahui profil atau komposisi mineral
makro dan mikro yang terdapat pada daging ikan cobia.
a. Pengujian mineral (Fe, Zn, Ca, K, Mg, Cu, dan Na)
Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah
terlebih dahulu. Proses pengabuan basah dilakukan dengan sampel ditimbang
sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Penambahan
5 ml HNO3 ke dalam labu dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas
hotplate selama ± 4 jam dan dibiarkan selama semalam dalam keadaan sampel
tertutup. Tambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, panaskan di atas hotplate sampai
larutan berkurang (lebih pekat). Sebanyak 2-3 tetes campuran HClO4 dan HNO3
(2:1) ditambahkan, sampel tetap berada di atas hotplate karena pemanasan terus
berjalan hingga terjadi perubahan warna. Setelah ada perubahan warna,
pemanasan tetap dilanjutkan 10-15 menit. Sampel dipindahkan, didinginkan dan
ditambahkan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian
diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok standar dari
masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades sampai
konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.
Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam AAS, kemudian
diukur absorbansinya atau tinggi puncak dari standar blanko dan contoh pada
18
panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral
dengan spektrofotometer. Setelah diperoleh absorbansi standar, antara konsentrasi
standar (sebagai sumbu Y) dihubungkan dengan absorban standar (sebagai sumbu
X) sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier
y=ax+b yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel.
Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan a dengan absorbansi
contoh.
b. Pengujian fosfor
Sebanyak 10 g ammonium molibdat 10% ditambah dengan 60 ml akuades.
Selanjutnya ditambahkan 28 ml H2SO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga
100 ml (larutan A). Tahap selanjutnya adalah membuat larutan B, sebanyak 10 ml
larutan A ditambah dengan 60 ml akuades dan 5 g FeSO4.7H2O, kemudian
dilarutkan dengan akuades hingga 100 ml. Sampel hasil pengabuan basah
dimasukkan ke dalam tabung kuvet kemudian ditambah dengan 2 ml larutan B.
Intensitas warna diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 660 nm.
3.3.6 Analisis vitamin A (AOAC 2001)
Prinsip pengujian vitamin A adalah standar dan contoh disabunkan dalam
larutan etanol – air basa, dinetralkan dan dilarutkan, sehingga mengubah lemak
menjadi asam lemak dan ester retinol. Retinol dianalisis menggunakan HPLC
dengan detector UV pada panjang gelombang 325 nm.
Sebanyak 5 gram contoh uji ditimbang kemudian dimasukkan kedalam
erlenmeyer 100 ml, ditambahkan 3 ml aquabides, dan ditambahkan 10 ml etanol
95%. Erlenmeyer lalu digoyangkan untuk memastikan semua bahan tercampur
dengan penambahan batu didih untuk mempercepat pemanasan. Tahap berikutnya
yaitu ekstraksi dan penyabunan, penangas air dan pendingin kondensor
dinyalakan, dipipet 2,5 ml KOH 50% kedalam erlenmeyer contoh, diletakkan
dengan cepat diatas penangas air suhu 80 oC dengan pendingin kondensor
diletakkan di atas bibir erlenmeyer. Larutan ini direfluks selama 30 menit, setelah
itu erlenmeyer diangkat dari penangas, didinginkan hingga suhu ruang,
ditambahkan asam asetat glasial 2,5 ml untuk menetralkan KOH, diaduk rata, dan
dibiarkan dingin hingga suhu ruang. Larutan ini lalu dipindahkan ke dalam labu
19
ukur 25 ml dan ditera dengan larutan THF : etanol (1:1), setelah itu disaring lalu
diendapkan. High performance liquid chromatography (HPLC) merk Perkin
Elmer series 200 dinyalakan, dibiarkan stabil selama 30 menit dengan pengaliran
fase gerak pada kecepatan 1 ml/ menit. Larutan standar vitamin A yang telah
melalui proses penyabunan diinjeksi, lalu diatur fase gerak untuk mendapatkan
resolusi bentuk cis dan trans. Semua trans retinol larut dan cis retinol akan larut
sebagai sebuah peak kecil sebelum bentuk trans. Deret standar dan contoh
diinjeksikan ke dalam botol-botol kecil autosampler lalu diletakkan di dalam
HPLC. Standar yang diuji harus masuk kedalam range peak contoh dengan cara
standar atau contoh diencerkan. Ekstrak yang berisi vitamin A dapat dianalisis
menggunakan HPLC. Sistem yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
Fase gerak : methanol : air (95:5)
Kolom : reverse phase C18
Kecepatan aliran : 1 ml/menit
Detektor : UV visible 325 nm
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Ikan Cobia (R. canadum)
Ikan cobia yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri berwarna
putih keabu-abuan, kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian lainnya,
sisik kecil dengan kulit yang tebal, sirip lengkap yaitu sirip ventral, pektoral,
dorsal dan caudal dengan bentuk sabit. Bentuk ikan cobia dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2 Ikan cobia (R. canadum) Sumber: Johson (2011)
Data morfometrik ikan cobia dapat dilihat pada Lampiran 2. Ukuran dan
bobot rata-rata ikan cobia disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Ukuran dan bobot ikan cobia
Parameter Nilai
Panjang (cm) 64,3±3,77
Lebar (cm) 7,42±1,20
Tinggi (cm) 14,4±1,86
Bobot (kg) 1,83±0,12
Ikan cobia hasil penelitian yang dibudidaya dari Balai Riset Pengembangan
Budidaya Laut Lampung memiliki panjang rata-rata 64,3 cm, lebar rata-rata
7,42 cm, dan bobot rata-rata sebesar 1,83 kg. Ikan cobia dapat tumbuh normal
hingga 6-8 kg dari ukuran yuwana (juvenil) dengan bobot 23 g dalam satu tahun
(Sun et al. 2006) bahkan Kaisar dan Holt (2005) melaporkan bahwa waktu
budidaya cobia hingga mendapatkan bobot 6-10 kg yakni sekitar 6-8 bulan
sebagai produk akhir. Penelitian Saputra et al. (2010) menunjukkan ikan cobia
untuk mencapai bobot 500 g dibutuhkan waktu 5-6 bulan setelah telur menetas
dan untuk mencapai ukuran konsumsi 4-6 kg didapatkan dalam 12 bulan dengan
21
efisiensi pakan yang tinggi. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian, dikarenakan
ikan cobia hasil tangkapan dari Balai Riset Pengembangan Budidaya Laut
Lampung masih berumur 8 bulan dan kemungkinan dari perbedaan pakan yang
diberikan dan habitat yang berbeda pula, sehingga bobotnya lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian Kaisar dan Holt (2005).
Pertumbuhan dan kualitas daging ikan budidaya banyak tergantung pada
kualitas pakan meliputi makro dan mikro nurient. Makro nutrient seperti
karbohidrat, lemak, protein, serat kasar, sudah jelas mempengaruhi kualitas
daging ikan (Usman et al. 2010). Pemberian pakan pada ikan cobia dilakukan dua
kali dalam sehari dengan ikan rucah dan pelet sebanyak 583,65 - 682,96 g, selama
pemberian pakan juga ditambahkan vitamin C dan multivitamin dengan dosis
3 g/kg pakan dan dilakukan satu minggu sekali. Menurut Minjoyo et al. (2007),
pemberiaan pakan pada ikan cobia memiliki laju pertumbuhan yang cepat dengan
pakan berupa ikan rucah.
4.2 Rendemen Ikan Cobia
Nilai rendemen dari ikan cobia meliputi daging, kepala, tulang, jeroan, dan
kulit. Ikan cobia memiliki rendemen yang tinggi berupa daging dan terendah yaitu
rendemen kulit. Persentase rendemen ikan cobia dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Persentase rendemen ikan cobia segar
Ikan cobia segar memiliki persentase rendemen daging sebesar 36,83%,
kulit sebesar 6,87%, jeroan sebesar 11,21%, dan rendemen tulang dan sirip
16,42%. Amiza dan Aisha (2011) menyatakan bahwa limbah ikan yang dihasilkan
selama proses filleting yang terdiri dari kulit dan tulang memiliki kadar kolagen
yang tinggi. Kulit ini dapat digunakan untuk bahan pembuat gelatin yang
22
memberikan manfaat dalam mengolah berbagai jenis makanan. Hasil fillet daging
cobia untuk produk sashimi menghasilkan 6% limbah kulit untuk dijadikan bahan
baku yang baik untuk memproduksi gelatin. Nilai rendemen daging sebesar
36,83%, sehingga ikan ini bernilai ekonomis yang sangat cocok untuk dijadikan
sashimi. Menurut Saputra et al. (2010) bahwa tekstur daging yang putih dan liat
dengan kandungan DHA dan asam lemak omega-3 serta sedikit duri merupakan
keunggulan lainnya dari ikan cobia. Daging ikan cobia biasanya dijual dalam
bentuk beku seharga US $ 4-6 per kg.
4.3 Komposisi Kimia Ikan Cobia
Ikan cobia segar hasil penelitian memiliki kadar air sebesar 77,64%, kadar
lemak sebesar 9,19%, kadar protein 10,34%, dan kadar abu 1,1%. Menurut
penelitian Taheri et al. (2011) ikan cobia memiliki kadar air sebesar 75,27%,
kadar lemak ikan sebesar 5,13%, kadar protein sebesar 16,85%, dan kadar abu
sebesar 0,97%. Perbedaan komposisi kimia terutama lemak, ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya jenis ikan,
umur, dan genetis, sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan, baik
ketersediaan makanan, maupun kompetitornya, serta kualitas air habitatnya
(Nurjanah dan Abdullah 2010). Hasil analisis proksimat (air, abu, lemak, dan
protein) dari daging ikan cobia segar dan kukus disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia daging ikan cobia segar dan setelah pengukusan
Komposisi kimia Basis basah (%bb) Basis kering (%bk)
segar* segar kukus Segar kukus
Kadar air 75,27 77,64±0,00 66,32±0,02 0 0
Kadar lemak 5,13 9,19±0,15 5,07±0,98 41,1±2,7 a 15,05±2,5
b
Kadar protein 16,85 10,34±0,45 12,5±0,13 46,22±0,9a 37,11±0,8
b
Kadar abu 0,97 1,1±0,13 1,29±0,11 4,89±0,43a 3,83±0,33
b
* Sumber : Taheri et al. (2011)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama
menunjukan beda nyata (p< 0,05)
Berdasarkan berat kering penurunan hasil analisis proksimat pada daging
ikan cobia disebabkan oleh pengolahan dengan panas yaitu pengukusan. Menurut
Azizah et al. (2009), transfer panas dan pergerakan aliran air menyebabkan proses
penguapan dan pengeringan pada bahan makanan. Hal ini menurunkan kandungan
23
air sehingga terjadi perubahan yang berhubungan dengan proses dehidrasi seperti
penurunan konsentrasi protein dan lemak pada makanan.
Hasil analisis ragam (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar protein. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar protein pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p< 0,05) dengan cara dikukus. Penurunan kadar protein daging ikan cobia segar
46,22% menjadi 37,11% setelah pengukusan. Waktu pemanasan berpengaruh
terhadap hilangnya sebagian kecil protein bersama-sama dengan air yang keluar
dari daging ikan. Pemasakan dengan panas dapat menyebabkan terjadinya
koagulasi protein yaitu hasil dari denaturasi protein akibat suhu tinggi
(Tapotubun et al. 2008). Menurut Erkan dan Ozden (2011), panas menyebabkan
sebagian protein ikut hilang bersama-sama dengan air yang keluar dari daging.
Contoh protein yang larut dalam air antara lain protamin, histon, pepton, proteosa,
dan lain-lain.
Hasil analisis ragam (Lampiran 3a) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar lemak. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar lemak pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p<0,05) dengan cara dikukus. Penurunan kadar lemak daging ikan cobia segar
41,1% menjadi 15,05% setelah pengukusan. Proses pengolahan bahan pangan
pada umumnya akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya.
Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta
lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka
kerusakan lemak akan semakin intens (Palupi et al. 2007). Pemanasan dengan
suhu tinggi dengan adanya udara, maka asam-asam lemak, aldehida-aldehida dan
keton yang bersifat volatil mudah menguap bersama dengan air, oleh sebab itu
terjadi penurunan kadar lemak setelah pengukusan (Almatsier 2004).
Hasil analisis ragam (Lampiran 3a) menunjukan bahwa metode pengukusan
memberikan pengaruh terhadap kadar abu. Hasil uji Duncan menyatakan bahwa
kadar abu pada daging ikan cobia segar berbeda nyata (p<0,05) dengan cara
dikukus. Penurunan kadar abu pada daging ikan cobia segar sebesar 4,89% (bk)
berkurang menjadi 3,83% (bk) setelah pengukusan. Menurut Palupi et al. (2007),
kadar abu mempunyai hubungan dengan kadar mineral. Garam-garam mineral
24
umumnya tidak terpengaruh secara sigifikan dengan perlakuan kimia dan fisik
selama pengolahan. Adanya oksigen, beberapa mineral kemungkinan teroksidasi
menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun tidak mempengaruhi nilai gizinya.
4.4 Komposisi Mineral
Ikan cobia merupakan ikan konsumsi yang mengandung mineral makro dan
mikro. Mineral makro hasil penelitian pada daging ikan cobia segar mengandung
kadar kalium yang terbesar dibandingkan kadar mineral lainnya, sedangkan
mineral mikronya mengandung sedikit kadar besi.
4.4.1 Mineral makro
Kandungan mineral makro pada daging ikan cobia yang dianalisis meliputi
natrium, kalium, kalsium, magnesium dan fosfor. Informasi mengenai mineral
makro pada jenis ikan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi mineral makro pada beberapa jenis ikan (mg/100 g bb)
Jenis ikan
Jenis mineral
Na Ca K Mg P
R. canadum* 290,61±0,9 22,76±0,2 305,2±0,1 157,28±0,5 118,5±2,2
R. canadum** 48,1±5,2 5,73±1,1 432±11,0 25±0,2 222±2,0
Onchorhyncus
mykiss*** 45,5±0,1 63,2±1,4 306±0,6 40,9±0,1 337,8±1,2
Sumber: *hasil penelitian
**Elfaer et al. (1992)
***Gokoglu et al (2003)
Berdasarkan berat basah kadar natrium daging segar ikan cobia sebesar
290,61 mg/100 g, kalsium sebesar 22,76 mg/100 g, kalium sebesar
305,2 mg/100 g, fosfor sebesar 118,5 mg/100 g, magnesium sebesar
157,28 mg/100 g. Perbandingan mineral makro antara hasil penelitian dengan
penelitian El-faer et al. (1992) dan penelitian Gokoglu et al. (2003) Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan kandungan mineral dari ketiga sampel. Perbedaan
kadar mineral pada suatu organisme dapat disebabkan oleh perbedaan dari jenis
makanan yang dikonsumsi dan kondisi lingkungan tempat hidupnya. Perbedaan
ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan jenis spesies, konsentrasi mineral dalam
habitatnya dan fase pertumbuhan (Darmono 1995).
25
Ikan cobia hasil penelitian dan penelitian El-faer et al. (1992) memiliki
kandungan mineral kalium yang tertinggi, kemungkinan hal ini disebabkan oleh
ion kalium dalam sel mampu menggantikan fungsi dari natrium, sehingga
memiliki kandungan natrium yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan
kalium (Darmono 1995). Kadar mineral ikan cobia berdasarkan basis kering
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi mineral makro daging ikan cobia (mg/100 g bk)
Jenis mineral Basis kering (bk) Kehilangan
segar kukus Mineral
Natrium 862,8±7,01a 792±4,35
b 70,8
Kalsium 101,9±1,1a 44,8±0,65
b 57,17
Kalium 906,2±4,7 a 903,4±8,7
a 2,8
Magnesium 730±2,4 a 590±5,85
b 140
Fosfor 530±9,9 a 460±1,60
b 70
Keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama
menunjukan beda nyata (p< 0,05)
Penurunan kandungan mineral setelah pengukusan yaitu pada mineral
magnesium, natrium, kalsium, kalium dan fosfor. Penurunan mineral ini
diakibatkan oleh pengolahan dengan pemanasan suhu tinggi.
Menurut Palupi et al. (2010), mineral yang terkandung dalam bahan pangan akan
rusak pada sebagian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH,
oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya.
a. Natrium (Na)
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar natrium. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar natrium pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p<0,05) dengan cara dikukus. Penurunan kadar natrium daging ikan cobia segar
862,8 mg/100 g (bk) menjadi 792 mg/100 g (bk) setelah pengukusan, besarnya
kehilangan natrium 70,8 mg/100 g (bk).
Kandungan mineral utama dalam daging adalah natrium, kalium dan fosfor
dalam jumlah yang sangat besar, serta banyak mengandung magnesium. Mineral
yang terkandung dalam daging terbagi menjadi 2 yaitu mineral tidak larut yang
berasosiasi dengan protein yang mempunyai kandungan abunya tinggi dan
mineral terlarut yang apabila cairan dari daging hilang, maka unsur utama yang
26
ikut hilang seperti natrium, kalsium, fosfor dan kalium hilangnya lebih kecil
selama dimasak. Kehilangan natrium selama pemasakan tidak dapat ditahan
karena natrium dapat melebur pada suhu 97,5 0C (Adam 2011).
b. Kalsium (Ca)
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar kalsium. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar kalsium pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p<0,05) dengan cara dikukus. Kadar kalsium daging ikan cobia segar sebesar
101,9 mg/100 g (bk) menjadi 44,8 mg/100 g (bk) setelah dikukus. Penurunan
kadar kalsium pada daging ikan cobia akibat pengukusan sebesar
57,1 mg/100 g (bk).
Produk makanan yang sebagian besar mengandung kalsium tinggi
umumnya tidak tahan terhadap pemanasan (Setyopratiwi et al. 2007). Penurunan
kadar kalsium diduga disebabkan oleh keluarnya ion-ion kalsium dari dalam
daging bersamaan dengan keluarnya air karena pengaruh pemanasan. Hal ini
berdasarkan sifat ketersediaan kalsium pada daging yang tersebar dalam cairan
ekstraseluler maupun intraseluler sehingga sangat peka terhadap suhu tinggi
(Khotami 2009).
c. Kalium (K)
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar kalium. Kalium pada
daging ikan cobia segar sebesar 906,2 mg/ 100 g (bk) dan setelah pengukusan
menjadi 903,4 mg/100 g (bk) atau persentase kehilangan mineral kalium sebesar
0,3%. Mineral pada umumnya tidak peka terhadap panas, tetapi rentan terhadap
pencucian atau pengolahan yang melibatkan air seperti perebusan, oleh sebab itu
kalium pada daging segar dan setelah pengukusan tidak terjadi penurunan yang
begitu besar karena tidak terlibat langsung dengan air seperti perebusan
(Rahayu et al. 2010). Hal ini didukung dengan penelitian Gokoglu et al. (2004)
bahwa proses perebusan menyebabkan terjadinya penurunan kadar kalium
Oncorhynchus mykiss segar sebesar 306 mg/100 g menjadi 241,7 mg/100 g
dengan persentase kehilangan mineral kalium sebesar 21,20%.
27
d. Fosfor (P)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode pengukusan memberikan
pengaruh terhadap kadar fosfor. Hasil uji Duncan menyatakan bahwa kadar fosfor
pada daging ikan cobia segar berbeda nyata (p<0,05) dengan cara dikukus.
Daging ikan cobia segar mengandung fosfor sebesar 530 mg/100 g (bk) dan
setelah proses pengukusan menjadi 460 mg/100 g (bk) atau persentase kehilangan
fosfor sebesar 13,2%. Menurut Rahayu et al. (2010) bahwa ketika makanan
dimasak, diproses, atau disimpan, mineral dapat bergabung dengan komponen
makanan lain, sama halnya dengan vitamin variasi kandungan mineral alamiah
makanan mentah dan metode memasak yang berbeda dapat menghasilkan variasi
kadar mineral makanan olahan. Hal ini didukung oleh penelitian
Gokoglu et al. (2004) bahwa proses perebusan menyebabkan terjadinya
penurunan kadar fosfor Oncorhynchus mykiss segar sebesar 337,88 mg/100 g
menjadi 255,8 mg/100 g dengan persentase kehilangan mineral fosfor sebesar
24,29%, sedangkan setelah proses penggorengan mengandung fosfor sebesar
247,6 mg/100 g atau persentase kehilangan fosfor sebesar 26,72%
Perbandingan dalam tulang antara kalsium dan fosfor hampir selalu tetap
dan sedikit lebih besar yaitu 2:1, namun umumnya seperti pada daging, unggas
dan ikan menyediakan 15-20 kali lebih banyak fosfor daripada kalsium
(Nasoetion dan Karyadi 1988). Kandungan fosfor pada penelitian ini dianalisis
dari rendemen daging ikan, sehingga menghasilkan lebih banyak kandungan
fosfor daripada kalsiumnya.
e. Magnesium (Mg)
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar magnesium. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar magnesium pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p<0,05) dengan cara dikukus. Daging ikan cobia segar mengandung kadar
magnesium sebesar 730 mg/100 g (bk) menjadi 590 mg/100 g (bk) setelah proses
pengukusan, terjadi kehilangan kadar magnesium sebesar 140 mg/100 g (bk). Hal
ini disebabkan penggunaan suhu tinggi dapat menurunkan dan merusak zat gizi
yang terkandung dalam bahan, sehingga menyebabkan molekul air keluar dan
mineral ikut terlarut bersama dengan air (Pambudi 2011).
28
Menurut Mulyaningsih et al. (2010), jumlah asupan magnesium yang
direkomendasikan berbeda tergantung jenis kelamin dan periode anak. Anak-anak
membutuhkan asupan magnesium sekitar 250 mg/hari dan wanita 300 mg/hari.
Mineral ini berperan dalam reaksi biokimia lebih dari 300 jenis enzim agar
metabolisme berjalan baik, dan berfungsi untuk menjaga kekebalan tubuh.
4.4.2 Mineral mikro
Mineral mikro pada daging segar ikan cobia memiliki kadar besi sebesar
0,188 mg/100 g, seng sebesar 14,77 mg/100 g. Menurut El-faer et al. (1992) besi
pada daging ikan cobia segar sebesar 0,30 mg/100 g, kadar seng sebesar
0,037 mg/100 g. Hasil analisis mineral mikro terdiri dari besi, seng, dan tembaga
daging ikan cobia segar dan kukus hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi mineral mikro pada beberapa jenis ikan segar (mg/100 g bb)
Jenis ikan Jenis mineral
Fe Zn Cu
R. canadum* 0,188±0,01 14,77±1,5 < 0,005
R. canadum** 0,30±0,22 0,13±0,06 0,037±0,02
Onchorhyncus
mykiss*** 0,21±0,05 0,97±0,02 0,03±0,01
Sumber: *hasil penelitian
**Elfaer et al. (1992)
***Gokoglu et al (2003)
Tabel 6 menunjukkan bahwa mineral mikro pada daging ikan cobia yang
berhasil diukur adalah seng dan besi, sedangkan tembaga tidak terdeteksi karena
konsentrasi dalam sampel dibawah limit deteksi alat yaitu sebesar < 0,005.
Berdasarkan basis kering kandungan mineral ikan cobia segar dan setelah kukus
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi mineral mikro ikan cobia segar dan kukus (mg/100 g bk)
Jenis mineral Basis kering (bk) Kehilangan
Segar kukus mineral
Besi 0,895±0,2a 0,891±0,3
a 0,004
Seng 66,2±6,8a 54,3±0,86
b 11,9
Keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama
menunjukan beda nyata (p< 0,05).
Penurunan kandungan mineral yang tertinggi setelah pengukusan yaitu pada
mineral seng dengan kehilangan mineral sebesar 11,9 mg/100 g (bk), dan
29
penurunan mineral yang terkecil yaitu pada besi sebesar 0,004 mg/100 g (bk),
sedangkan hasil dari mineral tembaga tidak terdeteksi karena dibawah limit alat
<0,005.
a. Besi (Fe)
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar besi. Hal ini disebabkan
oleh sifat mineral besi yang stabil terhadap panas. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa daging ikan cobia memiliki kadar besi sebesar 0,895 mg/100 g (bk)
menjadi 0,891 mg/100 g (bk) setelah pengukusan. Mineral bersifat mantap atau
tidak rusak karena pengolahan, namun pengolahan dapat menyebabkan susut
mineral maksimal sebesar 3% pada beberapa jenis sumber makanan (Harris dan
Karmas 1989). Kadar besi berkurang sebesar 0,004 mg/100 g (bk), wajar terjadi
pada pengolahan daging ikan cobia dengan pengukusan karena besi memiliki sifat
yang stabil terhadap panas.
Mineral Fe termasuk salah satu jenis mineral yang esensial namun
asupannya dibatasi, karena dalam jumlah berlebih dapat mengganggu kesehatan,
yaitu beresiko pada aktivitas pro-oksidan, sehinggga akan merangsang
pembentukan radikal bebas. Defisiansi mineral Fe dapat mengakibatkan anemia
atau kekurangan darah (Darmono 2011). Angka kecukupan gizi rata-rata besi pada
bayi 0-12 bulan adalah 0,5-7 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8-10 mg/hari,
laki-laki dan wanita 10-18 tahun sebesar 13-19 mg/hari, serta usia 19-65 tahun
sebesar 13-26 mg/hari (WNPG 2004).
b. Seng
Hasil analisis ragam (Lampiran 3b) menunjukkan bahwa metode
pengukusan memberikan pengaruh terhadap kadar seng. Hasil uji Duncan
menyatakan bahwa kadar seng pada daging ikan cobia segar berbeda nyata
(p<0,05) dengan cara dikukus. Kandungan mineral seng pada daging ikan cobia
segar sebesar 66,2 mg/100 g (bk) dan setelah pengukusan menjadi
54,3 mg/100 g (bk). Seng bersifat stabil terhadap pemanasan, sehingga hanya
mengalami penurunan sebesar 11,9 mg/100 g (bk). Menurut Severi et al. (1997),
bahwa beberapa penelitian telah dilakukan pada retensi mineral daging setelah
pengolahan, mineral pada umumnya seperti seng, tembaga dan besi stabil dalam
30
pemasakan. Tingkat penyusutan daging selama pengolahan berpengaruh secara
signifikan terhadap retensi mineral.
c. Tembaga (Cu)
Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar tembaga pada daging
ikan cobia segar dan kukus <0,005 mg/kg (bb). Hal ini menunjukkan bahwa ikan
cobia bukan merupakan sumber pangan yang kaya akan tembaga. Kecukupan gizi
tembaga dapat dipenuhi dengan cara mengkonsumsi makanan lain yang kaya akan
sumber mineral tembaga. Menurut Kumar et al. (2003), sumber utama tembaga
adalah tiram, kerang, hati, ginjal, kacang-kacangan, unggas, biji-bijian, serelia,
dan cokelat. Defisiensi tembaga pada manusia jarang terjadi karena distribusi
mineral tembaga ada pada hampir semua makanan asupan hariannya juga rendah.
Kekurangan tembaga dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme,
disamping itu terjadi demineralisasi tulang.
Tembaga pada daging ikan cobia segar sebesar 0,37 mg/100 g
(El-faer et al. 1992), namun pada ikan cobia hasil penelitian <0,005 tidak
terdeteksi oleh alat. Logam esensial seperti besi (Fe), tembaga (Cu), dan seng (Zn)
dapat berpengaruh buruk bagi tubuh bila kandungannya dalam bahan makanan
berlebihan. Ikan cobia merupakan ikan karnivor yang memakan ikan-ikan kecil.
Kadar logam pada ikan cobia mungkin berasal dari bioakumulasi yang terjadi
pada rantai pangan (Azhar 2004).
4.5 Kandungan Vitamin A Ikan Cobia
Hasil analisis vitamin A pada ikan cobia segar memiliki kandungan
vitamin A sebesar 98,7 µg/100 g, hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Stancheva et al. (2010), bahwa Neogobius rattan memiliki kadar
vitamin A sebesar 14,83 µg/100 g dan Sparratus sparratus sebesar
33,18 µg/g100 g.
Kadar vitamin A pada daging ikan cobia segar sebesar 435,8 µg/100 g,
sedangkan pada daging ikan kukus sebesar 251,19 µg/100 g. Hasil analisis ragam
(Lampiran 3c) menunjukkan bahwa metode pengukusan memberikan pengaruh
terhadap kadar vitamin A. Hasil uji Duncan menyatakan bahwa kadar vitamin A
pada daging ikan cobia segar berbeda nyata (p<0,05) dengan cara dikukus.
Menurut Rahayu et al. (2010) bahwa penurunan kadar vitamin A akibat pengaruh
31
panas terhadap nilai gizi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor suhu saja, tetapi juga
dipengaruhi lama waktu pemanasan. Sebenarnya tidak ada perbedaan nilai gizi
suatu bahan akibat pemanasan, selama pemanasan yang diterapkan tidak
berlebihan dan tidak terlalu lama. Hasil uji vitamin A pada daging ikan cobia
segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kandungan vitamin A ikan cobia dan beberapa jenis ikan (µg/100 g)
*Sumber: Stancheva et al. (2010)
Keterangan:Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama
menunjukan beda nyata (p< 0,05).
Penurunan vitamin A pada daging ikan cobia setelah dikukus sebesar
184,61 µg/100 g (bk) atau persentase kehilangan vitamin A sebesar 42,36%.
Penelitian Jacoeb et al. (2008), penurunan kadar vitamin A pada daging udang
ronggeng setelah direbus sebesar 28,84% (bk). Pengukusan secara secara nyata
dapat menurunkan kadar zat gizi makanan yang besarnya bergantung pada cara
mengukus dan jenis makanan yang dikukus (Harris dan Karmas 1989).
Jenis ikan
Berat basah Berat kering
segar kukus segar kukus
R. canadum 98,7±9,3 84,6±14,7 435,8±4,1a 251,19±4,3
b
Neogobius rattan 14,83* -
Sparratus sparratus 33,18* -
32
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kadar proksimat dalam basis basah dari daging ikan cobia segar dan setelah
proses pengukusan secara berturut-turut yaitu untuk kadar air 77,64% menjadi
66,32%, kadar protein 10,34% menjadi 12,5%, kadar abu 1,1% menjadi 1,29%,
dan kadar lemak 9,19% menjadi 5,07%. Kandungan mineral makro terbesar pada
daging ikan cobia segar adalah kalium sebesar 906,2 mg/100 g (bk) dan yang
terkecil adalah kalsium sebesar 101,9 mg/100 g (bk), sedangkan mineral mikro
terbesar adalah seng yaitu 66,2 mg/100 g (bk). Vitamin A pada daging ikan segar
sebesar 435,8 µg/100 g menjadi 251,19 µg/100 g (bk) setelah dikukus.
Metode pengukusan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
kandungan proksimat, vitamin A dan mineral yang meliputi kadar magnesium,
kalsium, natrium fosfor dan seng. Penurunan kadar besi, dan kalium tidak
dipengaruhi oleh metode pengukusan. Penurunan terbesar kandungan mineral
makro terdapat pada kandungan magnesium yaitu sebesar 140 mg/100 g
sedangkan pada mineral mikro penurunan mineral yang paling terkecil yaitu pada
besi sebesar 0,004 mg/100 g (bk).
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
komposisi mineral daging ikan cobia dengan perlakuan pengolahan pangan selain
pengukusan, analisis lebih lanjut mengenai kelarutan mineral, serta dilakukan
penelitian mengenai pemanfaatan rendemen dari ikan cobia.
33
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah R. 2012. Kekurangan Vitamin A (KVA). http:// kesehatan.
kompasiana.com [24 juni 2012]
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Amiza MA dan Aishah S. 2011. Effect of drying and freezing of Cobia
(Rachycentron canadum) skin on its gelatin properties. International Food
Research Journal 18: 159-166.
Ando K, Matsui H, Fujita M, Fujita I. 2010. Protective effect of dietary pottasium
againts cardiovascular damage in salt sensitive hypertension: posible role of
antioxidan action. J Nutrition 8(1):59-63.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The
Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Apriantono. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan.
http:www.kharisma.com [20 April 2012]
Arendit MD, Olney JE, Lucky JA. 2001. Stomach content analysis of cobia
Rachycentron canadum from lower Chesapeake bay. Fishery Bulettin
99:665-670.
Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan
metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian 27(3):88-105.
Arnold CR dan Joan HG. 2002. Spawning of cobia (Rachycentron canadum) in
captivity. Journal of the World Aquaculture Society 23(2):205-208.
Azhar C. 2004. Kandungan logam berat Cd (cadmium), Pb (timah hitam), dan Zn
(seng) pada daging ikan bandeng, ikan kakap putih, dan ikan baronang yang
diperoleh dari perairan Belawan. Jurnal Komunikasi dan Penelitian
16(5):27-34.
Azizah AH, Wee KC, Azizah O, Azizah M. 2009. Effect of boiling and stir frying
on total phenolics, carotenoids and radical scavenging activity of pumpkin
(Cucurbita maschata ). J Int Food Resr 16: 45-51.
Benetti D. 2002. Tropical marine fish farming: Aquaculture of pelagic fish cobia.
The Advocate 61-62.
Brown JX, Buckest PD, Resnick. 2004. Identification of small molecule inhibitors
that distinguish between nontransferrin bound iron uptake and
tranferrinmediated iron transport. Chem Biol 11: 407-416.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Makhluk Hidup. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Darmono. 2011. Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak dalam
mendukung program swasembada daging. Jurnal Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(3):205-217.
34
Chuang JL, Ruey TL, Chyuan YS. Comparison of meat quality related chemical
compositions of wild-chaptured and cage-cultured. Journal of Marine and
Technology 18(4): 580-586.
Diep MNT. 2009. Utilisation of fish silage protein for protein cobia
(Rachycentron canadum) effect on digestion, amino acid distribution,
growth, fillet composition and storage quality. [disertasi]. Norwegia:
University of Bergen.
El faer MZ, Rawdah TN, Khudre M, Attar, Arab M. 1992. Mineral and proximate
composition of some commercially important fish of the Arabian Gulf. Food
Chemistry 45 : 95-98.
Erkan N dan Ozden O. 2011. A preliminary study of amino acid and mineral
profiles of important and estimable 21 seafood species. British Food Journal
4(113):457-569.
Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengis E. 2004. Effect of cooking methods on the
proximate composition and mineral contents of rainbow trout
(Oncorhyncus mykiss). Food Chem 84:9-19.
Harris RS dan Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan
Edisi ke-2. Bandung: ITB-Press.
Irawan A. 2006. Kandungan mineral cumi-cumi (Loligo sp) dan udang vanamei
(Litopenaeus vannamei) serta pengaruh perebusan terhadap kelarutan
mineral. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Jacoeb AM, Hamdani M, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan
vitamin daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11 (2): 76-88.
Jhonson B. 2011. Cobia. http://www.daff.qld.gov.au/28_14644.htm [28 Juli 2012]
Kaiser JB dan Holt GJ. 2005. Species profile cobia. Southern regional aquaculture
center. SRAC Publication No.7202.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitatif Hidup. Jakarta :
Gramedia
Khotami AI. 2009. Komposisi mineral makro dan mikro daging udang ronggeng
(Harpiosquilla raphidea) akibat proses perebusan. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Kumar N, McEvoy KM, Ahlskog JE. 2003. Myclopathy due to copper deficiency
following gastrointestinal surgery. J Archives of Neurology. 60:1782-1785.
Liao, IC, Huang TS, Tsai WS, Hsueh CM, Chang SL, Leoans EM. 2004. Cobia
culture in Taiwan, current status and problems. Aquaculture 237: 155-156.
Minjoyo H, Aditya TW, Prihaningrum A. 2007. Penggelondongan ikan cobia
(Rachycentron canadum) dengan pakan berbeda di bak terkendali. Buletin
Budidaya Laut 23: 12-26.
35
Mulyaningsih R, Istanto, Yusuf S, Suprapti S. 2010. Analisis unsur toksik dan
makro mikro nutrient dalam bahan makanan dengan metode analisis
aktivasi neutron. J. Iptek Nuklir Garendra 30(1): 46-55.
Nakamura EL dan Shafer RV. 1989. Synopsis of Biological Data on the Cobia
Rachycentron canadum (Pisces: Rachycentridae). USA: U.S. Department Of
Commerce.
Nasoetion AH dan Karyadi D. 1988. Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral.
Jakarta: PT Gramedia.
Nieves JW. 2005. Osteoporosis: the role of micronutrient. Am J Cin Nutr
81:1232-1239.
Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat
kerang darah (Anadara Granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo,
Gorontalo. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 8(2):15-24.
Nurjanah dan Abdullah A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan
Olahannya. Bogor: IPB Press.
Okuzumi M dan Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid
and Cuttlefish.Tokyo: National Cooperative Association of Squid
Processors.
Palupi, Zakaria, Prangdimurti. 2007. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi
pangan. http://e-learning.com [17 Maret 2012].
Pambudi ND. 2011. Pengaruh Metode Pengolahan terhadap Kelarutan Mineral
Keong Mas (Pomacea Canaliculata) dari Perairan Situ Gede, Bogor.
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Prabandari R, Mangalik A, Achmad J, Agustina. 2005. Pengaruh waktu perebusan
dari dua jenis udang yang berbeda terhadap kualitas tepung limbah udang
putih (Penaeus indicus) dan udang windu (Penaeus monodon).
Enviroscienteae 1(1):24-28.
Rahayu ES, Susanti R, Pribadi P. 2010. Perbandingan kadar vitamin dan mineral
dalam buah segar dan manisan basah karika dieng (Carica pubescens Lenne
& K.Koch). Biosaintifika 2 (2): 90-100.
Saputra S, Minjoyo H, Nasution LM. 2010. Budidaya cobia (Rachecentron
canadum) komoditas unggulan yang belum banyak dikenal. Di dalam:
Forum Teknologi Inovasi Akuakultur, Lampung.
Setyopratiwi A, Pakpahan H, Iqmal T. 2007. Pengaruh pemanasan terhadap
desorpsi dari blondo Ca. Jurnal Eksata 9(2): 33-40
Severi S, Bedogni G, Manzieri AM, Poli M, Battistini N. 1997. Effects of cooking
and storage methods on the micronutrient content of foods. European
Journal of Cancer Prevention 6 (1):S21-S24
Stancheva M, Merdzhanova A, Dobreva DA, Makedonski L. 2010. Fatty acid
composition and fat soluble vitamin content of sprat (Sparratus sparratus)
36
and goby (Neogobius rattan) from Bulgarian Black Sea. Ovidius University
Anals of Chemistry 21(1):23-28.
Sun LH, Chen HR, Luang LM. 2006. Growth and energy budget juvenile cobia
(Rachycentron canadum) relative to ration. Aquaculture 257:214-220.
Supriyatna A. 2007. Pertumbuhan dan sintasan benih ikan cobia
(Rachycentron canadum) dalam pemeliharaan sistem air mengalir. Buletin
Teknik Literatur Akuakultur 6 (1) : 7-10
Susangka, Hariyani, Andriyani. 2006. Evaluasi Nilai Gizi Limbah Sayuran
Produk Cara Pengolahan Berbeda dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan
Ikan Nila. Di dalam: Laporan Penelitian, Bandung: Universitas Padjajaran.
Taheri. 2011. Change of fatty acid in fillet of cobia (Rachycentron canadum).
during the storage. Iranian Journal of Fisheries Sciences 11(1):204-213.
Tapotubun AM, Nanlohy E, Louhenapessy J. 2008. Efek waktu pemanasan
terhadap mutu presto beberapa jenis ikan. Jurnal Ichtyos 7(2): 65-70.
Triana V. 2006. Macam-macam vitamin dan fungsinya dalam tubuh manusia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 1 (1): 41-47.
[UI] Universitas Indonesia. 2009. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
Rajawali Press.
Usman, Neltje NP, Kamaruddin, Makmur, Rachmansyah. 2010. Pengaruh kadar
protein dan lemak pakan terhadap pertumbuhan dan komposisi badan ikan
kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Jurnal Ris. Akuakultur 5(2):277-
286.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Pangan dan Gizi. Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustakaaka
Utama.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Gambar ikan cobia dan bagiannya
a. Ikan cobia utuh hasil penelitian b. Insang ikan cobia
c. Jeroan ikan cobia d. Daging ikan cobia
39
Lampiran 2 Data morfometrik ikan cobia
Ikan ke- Panjang (cm) Lebar (cm) Tinggi (cm) Bobot (kg)
1 70 8,2 14,1 1,931
2 62 7,5 13,5 1,718
3 60 6,9 12 1,699
4 64,5 5,7 16,8 1,967
5 65 8,8 15,6 1,821
Rata-
rata 64,3 7,42 14,4 1,83
Keterangan: diambil dari 5 sampel ikan
40
Lampiran 3 Analisis ragam ikan cobia (bk)
a. Hasil analisis ragam proksimat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Air Between Groups 256,172 1 256,172 12367,972 ,000
Within Groups ,124 6 ,021
Total 256,296 7
Abu Between Groups 2,868 1 2,868 24,868 ,002
Within Groups ,692 6 ,115
Total 3,560 7
lemak Between Groups 1277,399 1 1277,399 190,983 ,000
Within Groups 40,131 6 6,689
Total 1317,530 7
protein Between Groups 166,440 1 166,440 100,290 ,000
Within Groups 9,957 6 1,660
Total 176,397 7
karbohidrat Between Groups 2835,422 1 2835,422 135,258 ,000
Within Groups 125,779 6 20,963
Total 2961,200 7
b. Hasil analisis ragam mineral ikan cobia
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Ca Between Groups 4852,117 1 4852,117 6130,175 ,000
Within Groups 3,166 4 ,792
Total 4855,283 5
K Between Groups 10,295 1 10,295 ,209 ,671
Within Groups 197,274 4 49,319
Total 207,569 5
Mg Between Groups 17945,160 1 17945,160 901,536 ,000
Within Groups 79,620 4 19,905
Total 18024,781 5
Na Between Groups 7550,414 1 7550,414 221,747 ,000
Within Groups 136,199 4 34,050
Total 7686,613 5
Fe Between Groups ,074 1 ,074 ,703 ,449
Within Groups ,422 4 ,106
Total ,497 5
Zn Between Groups 201,772 1 201,772 8,516 ,043
Within Groups 94,778 4 23,695
Total 296,550 5
c. Hasil analisis ragam vitamin A ikan cobia (bk)
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 36593,777 1 36593,777 79,593 ,012
Within Groups 919,525 2 459,762
Total 37513,302 3
41
Lampiran 4 Data dan perhitungan komposisi kimia ikan cobia
Data kadar air ikan cobia
Ikan segar Ikan kukus
1 2 1 2
Bobot cawan+sampel (g) 25,48 20,93 30,42 30,26
Berat sampel (g) 5,01 5,01 5,07 5,02
Berat cawan (g) 20,47 15,92 25,35 25,24
Berat setelah oven (g) 21,59 17,04 27,07 26,92
Kadar air (%) 77,64 77,64 66,07 66,53
Rata-rata (%) 77,64 66,3
Contoh perhitungan kadar air ikan segar
Berat cawan = 20,47 gram (A)
Berat cawan dan sampel sebelum di oven = 20,47+5,01 gram (B)
Berat contoh = 5,01 gram
Berat cawan dan sampel setelah dioven = 21,59 gram (C)
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan daging kerang tahu (gram)
C = Berat cawan dengan daging kerang tahu setelah dikeringkan
(gram)
% Kadar air = x 100%
= x 100%
= 77, 64 %
Data kadar abu ikan cobia
Ikan segar Ikan kukus
1 2 1 2
Bobot cawan+sampel (g) 25,48 20,93 30,42 30,26
Berat sampel (g) 5,01 5,01 5,07 5,02
Berat cawan (g) 20,47 15,92 25,35 25,24
Berat setelah tanur (g) 20,53 25,97 25,42 25,3
Kadar abu (%) 1,19 1,00 1,38 1,2
Rata-rata (%) 1,095 1,29
Contoh perhitungan kadar abu ikan segar
Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)
B = Berat cawan dengan sampel sebelum ditanur (gram)
C = Berat cawan dengan sampel salju setelah ditanur (gram)
Kadar abu daging (%) = x 100 %
= x 100%
= 1,19%
42
Data kadar lemak ikan cobia
Ikan segar Ikan kukus
1 2 1 2
Berat sampel (g) 5,06 5,08 5,03 5,02
Berat labu (g) 80,33 80,33 76,99 70,55
Berat labu lemak (g) 80,76 80,62 77,22 70,85
Kadar lemak (%) 8,5 9,64 4,57 5,98
Rata-rata (%) 9,07 5,28
Contoh perhitungan kadar lemak ikan segar :
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
Kadar Lemak daging (%) = x 100%
= x 100%
= 8,46 ≈ 8,5%
Data kadar protein ikan cobia
Ikan segar Ikan kukus
1 2 1 2
Berat sampel (g) 1,01 1,01 1,03 1,02
Volume HCl sampel(ml) 0,85 0,8 1,0 1,05
N HCl 0,1446 0,1446 0,1446 0,1446
Kadar protein (%) 10,65 10,02 12,28 12,9
Contoh perhitungan kadar protein daging cobia kukus :
HCl blanko = 0 ml
Nitrogen daging (%) = x 100%
= x 100%
= 12,29%
43
Lampiran 5 Contoh hasil analisa mineral
Hasil analisa mineral K
Ppm standar Absorban standar
0 0
0,2 0,1152
0,4 0,2241
0,8 0,4297
1,2 0,631
2 1,0083
Kode sampel
Bobot
sampel
(gram)
Absorban ppm
sampel
Ppm sampel
xFP
Ppm
sampel x
FP/gr sampel
Rataan ppm
K
Rataan
% K
Daging segar 1
1,571
0,3340 0,6327 3.163,5495 2.013,7171
2.020,47
0,2 Daging segar 2 1,571 0,337 0,6387 3.193,3943 2.032,7144
Daging segar 3 1,571 0,3342 0,6331 3.165,5392 2.014,9836
Daging kukus 1 1,058 0,3426 0,6498 3.249,1047 3.070,9874 3.052,18 0,31
Daging kukus 2 1,058 0,3422 0,6490 3.245,1253 3.067,2262
Daging kukus 3 1,058 0,337 0,6387 3.193,3943 3.018,3311
44
Lampiran 6 Dokumentasi kegiatan penelitian
a. Proses pengukusan daging ikan b. Analisis kadar abu
c. Analisis kadar lemak d. Analisis kadar air
e. Analisis kadar protein f. Alat analisis mineral AAS
g. Alat analisis vitamin A HPLC
Lampiran7 Kromatogram hasil analisis vitamin A
a. Kromatogram standar vitamin A
45
b. Kromatogram vitamin A daging ikan cobia segar 1
c. Kromatogram vitamin A daging ikan cobia segar 2
d. Kromatogram vitamin A daging ikan cobia kukus 1
46
e. Kromatogram vitamin A daging ikan cobia kukus 2
f. Kromatogram vitamin A daging ikan cobia kukus 3
47