Upload
chebonk13
View
259
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Saturasi
Citation preview
Perubahan Nilai Saturasi Oksigen Otot Memiliki Sensitivitas Yang Rendah Dalam Mendiagnosis
Sindrom Kompartemen Anterior Kronis Pada KakiKajsa Rennerfelt, MD, PhD; Qiuxia Zhang, PhD; JónKarlsson, MD, PhD, Jorma Styf, MD, PhD
J Tulang Bersama Surg Am, 2016 6 Januari; 98 (1): 56 -61.http://dx.doi.org/10.2106/JBJS.N.01280
Near-infrared spectroscopy adalah tindakan yang dilakukan jika ingin mengukur saturasi oksigen
otot (STO2) terutama pada otot rangka dan telah diusulkan sebagai alat pemeriksaan noninvasif
untuk mendiagnosis sindrom kompartemen anterior kronis (CACS). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menyelidiki nilai diagnostik dari perubahan STO 2 selama dan setelah melakukan
latihan fisik pada pasien dengan CACS.
Metode: Subjek penelitian ini terdiri 159 pasien yang diberikan latihan yang merangsang nyeri
pada kaki. Near-infrared spectroscopy digunakan untuk mengukur Sto 2 secara terus menerus
sebelum, selama, dan setelah tes latihan diberikan. Satu menit sesudah latihan, tekanan
intramuskuler diukur tepat pada otot kedua kaki yang sama. Penelitian berjenis Kohort ini
membagi pasien menjadi dengan CACS (n = 87) dan pasien tanpa CACS (n = 72) sesuai dengan
kriteria diagnostik CACS. Reoksigenasi saat istirahat setelah latihan dihitung sebagai periode
waktu yang diperlukan untuk kadar STO2 otot mencapai 50% (T50), 90% (T90), dan 100%
(T100) dari nilai dasar.
Hasil: Tingkat terendah dari STO2 selama latihan adalah 1% (dengan kisaran, 1% sampai 36%)
pada pasien dengan CACS dan 3% (kisaran, 1% sampai 54%) pada pasien tanpa CACS.
Sensitivitas adalah 34% dan spesifisitas adalah 43% ketika tingkat STO 2 dari ≤8% pada puncak
latihan digunakan untuk menunjukkan CACS. Sensitivitas dan spesifisitas yang hanya 1% ketika
tingkat STO 2 dari ≤50% pada puncak latihan digunakan untuk menunjukkan adanya CACS.
Pada pasien dengan CACS waktu yang dibutuhkan untuk reoksigenasi adalah tujuh detik
(kisaran, 1-43 detik) pada T50, dua puluh delapan detik (kisaran, 7-77 detik) pada T90, dan empat
puluh dua detik (kisaran, tujuh sampai 200 detik) pada T100. Sedangkan pada pasien tanpa CACS
dan sepuluh detik (kisaran, 1-49 detik) di T50, tiga puluh dua detik (rentang, empat sampai 138
detik) pada T90, dan empat puluh delapan detik ( Kisaran, empat sampai 180 detik) pada
T100 . Ketika tiga puluh detik atau lebih pada T 90 ditetapkan sebagai nilai patokan untuk waktu
yang lama pada saat reoksigenasi, nilai ini menunjukkan diagnosis CACS, dengan tingkat
sensitivitas sekitar 38% dan spesifisitas sekitar 50%.
Kesimpulan: Perubahan pada saturasi oksigen otot selama dan setelah tes latihan yang
merangsang rasa sakit pada kaki tidak dapat digunakan untuk membedakan antara pasien dengan
CACS dan pasien dengan penyakit lain yang juga mendapatkan latihan yang merangsang nyeri
pada kaki.
Pasien dengan sindrom kompartemen anterior (CACS) mengalami pembengkakan kronis
pada otot, gangguan dorso flexion pada sendi pergelangan kaki, dan nyeri pada kaki bagian
anterior yang dapat dirangsang oleh latihan fisik. Meskipun patofisiologi ACS belum
sepenuhnya diketahui, para ahli pada umumnya sepakat bahwa peningkatan tekanan
intramuskuler yang abnormal selama latihan menyebabkan yang tidak memadainya perfusi
jaringan lokal; nyeri iskemik; dan, terganggunya fungsi dari otot. Peningkatan abnormal tekanan
intramuskuler selama latihan telah dilaporkan merusak aliran darah otot dan merangsang
terjadinya perubahan saturasi oksigen otot (STO2).
Near-infrared spectroscopy telah diusulkan untuk sebagai bahan penelitian CACS. Near-
infrared spectroscopy yang dipancarkan dari sumber cahaya dan ditransmisikan ke dalam
jaringan; 95% dari cahaya yang diserap oleh penerima, sementara 5% tersebar melalui jaringan.
Hemoglobin merubah sifat optiknya ketika mengikat oksigen. Kromofor, bagian dari molekul
hemoglobin yang mengikat oksigen, menyerap dan memantulkan cahaya. Hemoglobin yang
teroksigen menyerap cahaya dengan panjang gelombang 830 nm, sedangkan hemoglobin
terdeoksigenasi menyerap cahaya pada 780 nm. Near-infrared spectroscopy dapat memberikan
informasi secara terus menerus tentang kadar mutlak dari StO2 pada daerah lokal pada otot yang
digunakan untuk latihan fisik. Telah diusulkan bahwa hal tersebut dapat digunakan sebagai alat
noninvasif untuk mengukur StO2 terus menerus selama dan setelah pada tes latihan fisik yang
menginduksi nyeri pada kaki pasien sehingga dapay menegakkan diagnose dari CACS. Pada
penelitian sebelumnya menujukkan pasien CACS memiliki kadar deoxigenasi yang lebih besar
selama tes latihan dan adanya perlambatan reoksigenasi setelah latihan dibandingkan dengan
pasien tanpa CACS. Namun, jumlah kadar stO2 selama tes latihan juga telah dilaporkan tidak
bisa di jadikan tolak ukur dalam menegakkan diagnosis CACS. Sejak banyaknya hasil penelitian
yang saling berbeda mengenai CACS ini maka perlu dilakukan clarifikasi mengenai bagaimana
sebenarnya nilai diagnostik dari perubahan kadar StO2 pada pasien CACS dengan kelompok
penelitian yang besar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah perubahan StO2 selama dan
setelah tes latihan yang merangsang nyeri dan keletihan otot dapat digunakan untuk menetapkan
diagnosis CACS pada kaki. Hipotesis adalah bahwa StO2 akan menurun lebih selama latihan dan
waktu untuk reoksigenasi setelah latihan akan lebih lama pada pasien dengan CACS
dibandingkan dengan pasien tanpa CACS.
Bahan dan metode
Peserta
Studi ini terdiri 159 pasien, tujuh puluh enam laki-laki dan delapan puluh tiga perempuan
dengan usia rata-rata dari dua puluh sembilan tahun (rentang, 14-67 tahun), yang memiliki tanda-
tanda klinis CACS dan merasakan nyeri akibat latihan fisik. Sebagian besar pasien yang terlibat
dalam penelitian ini sering melakukan aktivitas lari beberapa kali seminggu baik pada acara
olaghraga resmi ataupun tidak. Para pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pasien
yang telah dirujuk ke klinik universitas antara Mei 2009 dan Januari 2012 untuk evaluasi karena
dicurigai adanya CACS. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etika daerah (ID nomor
617-08).
Kriteria diagnostik
Kriteria diagnostik untuk CACS adalah (1) adanya nyeri pada kaki setelah melakukan
latihan pada kompartemen anterior dan gejala nyerinya hilang saat beistirahat, (2) pembengkakan
dan nyeri tekan pada kompartemen anterior segera setelah latihan, (3) gangguan fungsi otot
selama aktivitas, dan (4) tekanan intramuskular ≥30 mm Hg satu menit setelah latihan dan ≥20
mm Hg lima menit setelah latiha. Semua empat kriteria tersebut diperlukan untuk diagnosis
CACS
Kriteria inklusi
Semua pasien yang dirawat di klinik kami selama periode waktu yang ditentukan di atas
dimasukkan dalam penelitian ini. Setelah pemeriksaan klinis dan tes latihan diikuti oleh
pengukuran tekanan intramuskuler, diagnosis dibuat dan membagi pasien menjadi dengan CACS
(n = 87) dan pasien tanpa CACS (N72).
Olahraga
Semua pasien dilakukan tes latihan setelah pemeriksaan klinis. Tes itu individual untuk
merangsang nyeri pada kaki dan disfungsi otot pasien. Tes dimulai dengan aktivitas berjalan
diatas treadmill, naik turun tangga, atau di luar di taman yang diikuti oleh dorsofleksi konsentrik
dan eksentrik dari sendi pergelangan kaki dalam posisi berdiri sampai pasien tidak mampu
melanjutkan karena kelelahan otot dan / atau nyeri pada kaki.
Pemantauan StO2
Untuk mengukur StO2, perangkat near-infrared spectroscopy (InSpectra Tissue
Spektrometer, Model 325; Hutchinson Technology) yang digunakan. Perangkat ini
menggunakan cahaya inframerah dengan panjang gelombang sinyal antara 650 dan 900 nm.
Titik pusat pemisahan antara sumber cahaya dan detektor adalah 25 mm, dan sekitar 95% dari
sinyal optik yang terdeteksi adalah bersumber dari kedalaman 0-23 mm. Hasil dikumpulkan terus
menerus setiap 3,5 detik pada semua pengukuran. Setiap pengukuran ditandai untuk
menunjukkan waktu saat memulai latihan, akhir latihan, dan akhir pemulihan. Kalibrasi
dilakukan sebelum semua pengukuran dengan cara menempatkan probe dalam kotak kalibrasi.
StO2 diukur secara terus menerus pada otot tibialis anterior sebelum, selama, dan setelah
tes latihan. near-infrared spectroscopy ditempatkan terpusat pada otot tibialis anterior kaki pada
sebelah kaki yang lebih merasakan gejala pada setiap pasien. Pengukuran dimulai dengan pasien
beristirahat terlentang dan dilanjutkan sementara pasien berolahraga dalam posisi berdiri dan
kemudian selama masa pemulihan dengan terlentang istirahat pasien. kadar StO2 dianalisis pada
awal sebelum latihan, ketika nilai terendah selama latihan (latihan puncak), dan selama fase
pemulihan.
Definisi dari titik pengukuran diberikan dalam Tabel I dan ditunjukkan pada Gambar 1.
Contoh saturasi oksigen otot (StO2) sebelum, selama, dan saat istirahat setelah latihan. A = awal,
sebelum tes latihan; B = tingkat terendah StO2 selama latihan; C = akhir latihan diikuti oleh fase
reoksigenasi; dan D = tingkat maksimum StO2 saat istirahat setelah latihan. T50, T90, dan T100
menggambarkan waktu dalam detik yang diperlukan untuk tingkat StO2 pada akhir latihan untuk
mencapai 50%, 90%, dan 100% dari garis pangkal.
Pemantauan intramuskular Tekanan
Sebuah infus mikrokapiler (Hemo 4; Siemens) dan monitor (SC9000; Siemens)
digunakan untuk mengukur tekanan intramuskuler, dengan pasien dalam posisi terlentang, dalam
waktu enam puluh detik setelah tes latihan. Kulit itu ditembus menggunakan jarum 1,2 mm,
dengan empat sisi-lubang di ujungnya. Jarum dimasukkan pada sudut 30 ° dengan sumbu
panjang kaki dalam arah distal ke dalam perut otot tibialis anterior searah paralel dengan serat
dalam otot. Pengukuran dilakukan pada kaki yang lebih merasakan gejala pada masing masing
pasien. Dipasangkan infus larutan saline 0,9% dan keluar di ujung jarum, dengan tetesan infus
0,2 mL / jam, untuk menjaga penggelembungan cairan di ujung jarum pada awal pengukuran..
Ujung kateter dan transduser diletakkan setinggi jantung untuk meminimalkan artefak
hidrostatik, dan posisi ujung kateter dikendalikan dengan pemantauan menggunakan ultrasound.
Pasien berbaring terlentang dalam posisi santai dengan kaki lurus.
Tekanan darah dan perfusi Tekanan lokal
Tekanan darah diukur sebelum dan sesudah tes latihan menggunakan manometer
bertekanan (NAIS [Matsushita Electric Works]). Tekanan perfusi lokal diukur pada semua
pasien sebagai perbedaan antara tekanan darah arteri rata-rata dan tekanan intramuskuler.
Pencitraan menggunakan USG
Ketebalan kulit dan jaringan subkutan di atas fasia otot tibialis anterior (pada lokasi
anatomi yang sama dengan penempatan probe dari near-infrared spectroscopy dan lokasi
pengukuran tekanan intramuskuler) serta jarak antara fasia dan ujung jarum tekanan
intramuskuler diukur dengan menggunakan USG dengan probe linear (L10-5, Acuson CV70;
Siemens) dengan subjek dalam posisi telentang dan dengan otot rileks.
Elektromiografi Permukaan (EMG)
Untuk mengontrol aktivitas otot dilakukan dengan menggunakan EMG, permukaan dua
elektroda bipolar (pre-Gel Biru Sensor; Medicotest) ditempatkan 15 cm di bawah sendi lutut, dan
elektroda yang sebagai acuannya ditempatkan pada maleolus lateral. Sinyal EMG dicatat selama
dan setelah tes latihan dan diperkuat dalam dua tahap: pertama dengan pra-amplifier dan
kemudian oleh penguat utama (gain variabel 1-196, low-pass kedua Butterworth filter; fo = 2
kHz) sebelum direkam menggunakan sistem penggabungan data (Pentium PC III, 12-bit Data
Acquisition [DAQ] papan dan LabVIEW Software; National Instruments) 10.
Skala Analog Visual
Intensitas nyeri kaki dievaluasi dengan skala analog visual (VAS) mulai dari 0 cm (tidak
sakit) ke 10 cm (nyeri dibayangkan terburuk).
Analisis data
Untuk memudahkan perbandingan dengan studi sebelumnya, reoksigenasi saat istirahat
setelah latihan dihitung sebagai periode waktu yang diperlukan untuk tingkat StO2 mencapai
50% (T50), 90% (T90), dan 100% (T100) dari nilai dasar. Hasilnya diberikan sebagai median dan
jangkauan. Signifikansi ditetapkan pada p <0,05. Perbedaan antar kelompok ditentukan dengan
menggunakan uji Mann-Whitney U. Korelasi antara T90 dan perfusi tekanan ditentukan dengan
menggunakan uji korelasi Pearson. Sensitivitas dan spesifisitas dihitung untuk menganalisis
kegunaan perubahan StO2 sebagai diagnosis CACS.
Sumber Pendanaan
Tidak ada sumber pendanaan eksternal untuk penelitian ini.
Hasil
Pada pasien dengan CACS Median dasar StO2 adalah 92% (kisaran, 45% sampai 98%)
dan pada pasien tanpa CACS 84% (kisaran, 40% sampai 98%). Nilai-nilai dasar tersebut
menunjukkan variasi antar-individu yang cukup besar dan berbeda secara signifikan antara kedua
kelompok pasien (p = 0,005).
Latihan menyebabkan nilai-nilai dasar turun menjadi rata-rata 1% (kisaran, 1% sampai
36%) pada pasien dengan CACS dan 3% (kisaran, 1% sampai 54%) pada pasien tanpa CACS.
Sensitivitas dari StO2 saat puncak latihan saat ≤8% ketika digunakan sebagai indikator CACS
adalah 34% dan spesifisitas adalah 43%. Sensitivitas dan spesifisitas dari StO2 puncak-latihan
saat ≤50% ketika digunakan sebagai indikator CACS adalah sama 1%. Ketika perubahan
persentase antara StO2 puncak latihan dan StO2 nilai dasar dari ≥40% dievaluasi sebagai
indikator CACS, sensitivitas adalah 94% dan spesifisitas adalah 20%.
Pada saat istirahat setelah latihan, T50 (periode waktu yang diperlukan untuk StO2
mencapai 50% dari baseline) adalah rata-rata tujuh detik (kisaran, 1-43 detik) pada pasien
dengan CACS dan sepuluh detik (kisaran, satu untuk empat puluh sembilan detik) pada pasien
tanpa CACS. T90 adalah median masing-masing dari dua puluh delapan detik (kisaran, 7-77
detik) dan tiga puluh dua detik (rentang, empat sampai 138 detik), , dan T100 adalah median dari
empat puluh dua detik (kisaran, tujuh sampai 200 detik) dan empat puluh delapan detik (rentang,
empat sampai 180 detik), masing-masing (Tabel II).
Ketika T90 diataur pada tiga puluh detik atau lebih, sensitivitas untuk mendiagnosa CACS
pada pasien dengan nyeri pada kaki akibat latihan menjadi 38% dan spesifisitas 50%. Prediksi
nilai positif adalah 48% dan nilai prediksi negatif adalah 40%.
Rata-rata tekanan intramuskular adalah 45 mm Hg (kisaran, 30-111 mm Hg) dalam
delapan puluh tujuh pasien dengan ACS dan 16 mm Hg (kisaran, 5-28 mm Hg) dalam tujuh
puluh dua pasien tanpa CACS dalam waktu satu menit setelah latihan. Tekanan median
intramuskular satu menit pasca latihan berbeda antara laki-laki (47 mm Hg [kisaran, 30-111 mm
Hg]) dan perempuan (38 mm Hg [kisaran, 30-72 mm Hg]) dengan CACS (p = 0,054). Median
tekanan perfusi lokal setelah latihan adalah 47 mm Hg (kisaran, -11 untuk 73 mm Hg) pada
pasien dengan CACS dan 71 mm Hg (kisaran, 50-117 mm Hg) pada pasien tanpa CACS (Tabel
III). Itu melebihi 30 mm Hg pada saat istirahat setelah latihan di 86% dari pasien dengan CACS.
Hal tersebut tidak berkorelasi dengan T50, T90, T100 atau pada kedua kelompok pasien.
Intensitas maksimum rata rata dari nyeri pada kaki selama latihan adalah 6,7 cm (kisaran,
0-10 cm) pada VAS pada kedua kelompok pasien (Tabel III). Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok dalam hal waktu latihan.
Ketebalan kulit dan jaringan subkutan adalah 4,4 mm (kisaran, 2,2-10,4 mm) pada pasien
dengan CACS dan 5,2 mm (kisaran, 1,8-13,7 mm) pada pasien tanpa CACS (Tabel III).
Diskusi
Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan nyeri pada kaki pada saat latihan
menunjukkan bahwa perubahan StO2 selama dan setelah tes latihan tidak dapat digunakan untuk
membedakan pasien dengan CACS dari mereka yang tidak CACS. Karena pasien bebas dari
gejala saat istirahat, kami menginterpretasikan gejala gejala klinis selama dan setelah latihan
yang memunculkan nyeri pada kaki sebagai kunci untuk menegakkan diagnosis. Kebutuhan
konsensus mengenai, dan pendekatan standar untuk pengujian tekanan intracompartmental telah
dibahas. Kami memilih untuk tes latihan secara individual karena intensitas dan durasi pengujian
mungkin berbeda sebagai akibat dari toleransi individu pasien pada nyeri kaki. Hal ini dapat
mempengaruhi tingkat StO2 dari pasien selama dan setelah latihan. Ketika nilai StO2 menurun
selama latihan, pasien dengan atau tanpa CACS keduanya menunjukkan nyeri pada kaki akibat
akumulasi metabolit seperti kalium dan hidrogen ion dan laktat yang meningkat dalam ruang
interstitial. Tidak ada perbedaan signifikan dalam nyeri kaki selama latihan antara kedua
kelompok. Nyeri juga dapat berkaitan dengan co morbiditas, seperti sindrom medial tibia, jeratan
saraf peroneal, traksi periostalgia, atau reaksi inflamasi. Beberapa pasien yang merasa sakit
memperlambat intensitas latihan sebelum mereka benar-benar berhenti berolahraga. Ini adalah
salah satu mekanisme yang mungkin menjelaskan bagaimana nyeri pada kaki saat latihan dapat
mempengaruhi hasil tes. Hasil kami menunjukkan bahwa tingkat StO2 menjelang akhir latihan
benar-benar meningkat.
Dalam penelitian ini, tingkat StO2 pada puncak latihan tidak berbeda antara pasien
dengan CACS dan mereka yang tidak CACS. Temuan ini bertentangan dengan temuan penelitian
sebelumnya. Perbedaan nilai StO2 hanya 2% dalam penelitian kami tidak dapat digunakan dalam
pengaturan klinis untuk mengidentifikasi pasien dengan atau tanpa CACS. Hal ini tidak relevan
secara klinis. Sensitivitas ketika tingkat StO2 dari ≤8% pada puncak latihan adalah 34% dan
dipilih sebagai penunjuk adanya CACS. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan sensitivitas
78% ketika nilai StO2 ≤50% pada puncak latihan digunakan untuk menunjukkan CACS. Bila
menggunakan nilai yang StO2 sama dalam penelitian ini, kami memperoleh sensitivitas hanya
1%. Selain itu, penelitian sebelumnya mengungkapkan sensitivitas 84% dan spesifisitas 67%
ketika perubahan ≥40% antara StO2 puncak latihan dan baseline StO2 digunakan untuk
menunjukkan CACS. Ketika kita menerapkan nilai yang sama dalam penelitian ini sensitivitas
nya adalah 94%, tetapi spesifisitas itu hanya 20%. Namun, penelitian sebelumnya terdiri empat
puluh dua pasien dengan CACS dan hanya tiga pasien tanpa CACS. Hasil penelitian ini
didasarkan pada delapan puluh tujuh paten dengan CACS dan tujuh puluh dua pasien tanpa
CACS.
Nilai StO2 mencerminkan variasi dalam intensitas latihan dan dapat dipengaruhi oleh
perbedaan nyeri kaki pada setiap pasien. Perubahan StO2 selama latihan bukan merupakan
parameter yang handal yang dapat digunakan untuk mendiagnosis CACS. Hal ini disebabkan
perbedaan kecil di tingkat StO2 antara pasien dengan dan mereka yang tidak CACS dan
buruknya sensitivitas puncak latihan StO2 sebagai indikator CACS. Sebagaimana dicatat, tingkat
reoksigenasi setelah latihan ditentukan atas dasar tiga parameter, T50, T90, dan T100, untuk
membuat hasil kami sebanding dengan orang lain. Kami tidak melihat adanya pemulihan nilai
StO2 ke nilai normal yang lebih lambat dari pada pasien dengan CACS dibandingkan dengan
pasien tanpa CACS. Hal ini berbeda dengan temuan dalam penelitian sebelumnya. Kami
memilih T90 dari tiga puluh detik atau lebih sebagai nilai patokan untuk menunjukkan CACS,
karena nilai ini menghasilkan sensitivitas tertinggi dalam fase reoksigenasi dan tiga puluh detik
adalah nilai rata-rata untuk T90 pada pasien dengan CACS. Sensitivitas rendah (38%) dan
spesifisitas (50%) dari T90 menunjukkan keterbatasan dalam mendiagnosis CACS.
Penelitian ini mengungkapkan hasil yang menarik untuk nilai tekanan intramuskuler
setelah latihan. Nilai tekanan intramuskuler rata rata pada satu menit setelah latihan dalam
kelompok CACS adalah 9 mm Hg lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Hasil ini
menimbulkan pertanyaan apakah kriteria diagnostik untuk CACS harus disesuaikan dan diukur
secara terpisah untuk pria dan wanita. Hal ini memungkinkan kita untuk berspekulasi tentang
apakah ada perbedaan biologis antara kedua kelompok ini. Meskipun ketinggian tekanan
intramuskuler dan tekanan perfusi lokal tidak berkorelasi secara signifikan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk reoksigenasi dalam penelitian ini. Setelah tes latihan, tekanan perfusi lokal
melebihi 30 mm Hg pada sebagian besar pasien dengan CACS. Penelitian sebelumnya oleh
Heppenstall dkk, tidak menunjukkan adanya kelainan metabolik pada pada pasien pasien dengan
tekanan perfusi lokal melebihi 30 mm Hg. Temuan kami pada adanya reoksigenasi yang normal
setelah latihan yang didukung oleh temuan Heppenstall dkk tadi.
Baseline StO2 menunjukkan adanya variasi antar individu yang cukup dalam penelitian
ini. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan korelasi negatif yang signifikan antara kulit dan
ketebalan jaringan subkutan dan nilai-nilai StO2 diukur yang dengan InSpectra 9,16. Ini berarti
near-infrared spectroscopy akan berbeda dalam cara menampilkan nilai StO2 tergantung pada
ketebalan kulit dan jaringan subkutan. Oleh karena itu kita mengukur jarak antara kulit dan
fascia, yang tidak berbeda secara signifikan antara kelompok diagnostik. Namun, dalam kasus-
kasus individu, ketebalan jaringan subkutan bervariasi cukup tebal, antara 2 dan 14 mm. Pasien
tanpa CACS memiliki median StO2 lebih rendah pada baseline, dan hal ini sebagian dapat
dijelaskan oleh adanya perbedaan ketebalan kulit dan jaringan subkutan. Ini harus
diperhitungkan sebagai terbatasnya metode near-infrared spectroscopy .
Studi ini terdiri kelompok besar pasien dengan nyeri kronis pada kaki saat latihan.
Diagnosis CACS didasarkan pada riwayat pasien, pemeriksaan klinis, dan tes latihan yang
memunculkan gejala-gejala pasien diikuti dengan pengukuran tekanan intramuskuler. Ujung
jarum tekanan intramuskuler di kontrol dengan menggunakan ultrasound. Aktivitas otot
dikendalikan dengan menggunakan EMG.
Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa tes latihan yang dilakukan secara individual,
dimana setiap pasien melakukan tes pada intensitas tertinggi untuk menghasilkan gejala yang
sama yang dirasakan ketika dirujuk. Ini bisa menjadi batasan ketika membandingkan individu
dan kelompok. Juga, fakta bahwa pengukuran StO2 dengan teknik near-infrared spectroscopy
dipengaruhi oleh ketebalan jaringan subkutan dapat dianggap sebagai batasan untuk penggunaan
near-infrared spectroscopy.
Kesimpulannya, perubahan nilai StO2 selama dan setelah tes latihan yang memunculkan
rasa nyeri pada kaki pasien tidak dapat digunakan untuk membedakan pasien dengan CACS dari
pasien dan pasien dengan penyakit lain yang juga mendapatkan latihan yang merangsang nyeri
pada kaki.
Catatan kaki Investigasi dilakukan di Departemen Orthopaedics, University of Gothenburg, Sahlgrenska
University Hospital, Gothenburg, Swiss Pengungkapan: Tak satu pun dari para penulis menerima pembayaran atau jasa, baik secara
langsung maupun tidak langsung (yaitu, melalui nya atau lembaga nya), dari pihak ketiga untuk mendukung segala aspek dari pekerjaan ini. Tak satu pun dari para penulis, atau lembaga mereka (s), telah memiliki hubungan keuangan, dalam tiga puluh enam bulan sebelum pengajuan dari karya ini, dengan setiap entitas di arena biomedis yang bisa dianggap mempengaruhi atau
memiliki potensi untuk mempengaruhi apa yang tertulis dalam pekerjaan ini. Juga, tidak ada penulis telah punya hubungan lain, atau telah terlibat dalam kegiatan lain, yang bisa dianggap mempengaruhi atau memiliki potensi untuk mempengaruhi apa yang tertulis dalam pekerjaan ini. ThePengungkapan lengkap Potensi Konflik Kepentingan yang disampaikan oleh penulis selalu disediakan dengan versi online artikel.
Hak Cipta © 2016 oleh The Journal of Bone dan Bersama Bedah, Incorporated
Daftar pustaka
Styf J, Körner L, Suurkula M. Intramuscular pressure and muscle blood flow during exercise in chronic compartment syndrome. J Bone Joint Surg Br. 1987 Mar;69(2):301-5.MedlineWeb of Science
van den Brand JG, Verleisdonk EJ, van der Werken C. Near infrared spectroscopy in the diagnosis of chronic exertional compartment syndrome. Am J Sports Med. 2004 Mar;32(2):452-6.Abstract/FREE Full Text
Mohler LR, Styf JR, Pedowitz RA, Hargens AR, Gershuni DH. Intramuscular deoxygenation during exercise in patients who have chronic anterior compartment syndrome of the leg. J Bone Joint Surg Am. 1997 Jun;79(6):844-9.Abstract/FREE Full Text
Scheeren TW, Schober P, Schwarte LA. Monitoring tissue oxygenation by near infrared spectroscopy (NIRS): background and current applications. J Clin Monit Comput. 2012 Aug;26(4):279-87. Epub 2012 Mar 31.CrossRefMedline
Chance B, Dait MT, Zhang C, Hamaoka T, Hagerman F. Recovery from exercise-induced desaturation in the quadriceps muscles of elite competitive rowers. Am J Physiol. 1992 Mar;262(3 Pt 1):C766-75.Web of Science
Zhang Q, Rennerfelt K, Styf J. The magnitude of intramuscular deoxygenation during exercise is an unreliable measure to diagnose the cause of leg pain. Scand J Med Sci Sports. 2012 Oct;22(5):690-4. Epub 2011 Sep 27.CrossRefMedline
Pedowitz RA, Hargens AR, Mubarak SJ, Gershuni DH. Modified criteria for the objective diagnosis of chronic compartment syndrome of the leg. Am J Sports Med. 1990 Jan-Feb;18(1):35-40.Abstract/FREE Full Text
Styf JR, Körner LM. Diagnosis of chronic anterior compartment syndrome in the lower leg. Acta Orthop Scand. 1987 Apr;58(2):139-44.CrossRefMedlineWeb of Science
Nygren A, Rennerfelt K, Zhang Q. Detection of changes in muscle oxygen saturation in the human leg: a comparison of two near-infrared spectroscopy devices. J Clin Monit Comput. 2014 Feb;28(1):57-62. Epub 2013 Jul 12.CrossRefMedline
Zhang Q, Jonasson C, Styf J. Simultaneous intramuscular pressure and surface electromyography measurement in diagnosing the chronic compartment syndrome. Scand J Med Sci Sports. 2011 Apr;21(2):190-5.CrossRefMedline
Gershuni DH, Yaru NC, Hargens AR, Lieber RL, O’Hara RC, Akeson WH. Ankle and knee position as a factor modifying intracompartmental pressure in the human leg. J Bone Joint Surg Am. 1984 Dec;66(9):1415-20.Abstract/FREE Full Text
Hislop M, Tierney P. Intracompartmental pressure testing: results of an international survey of current clinical practice, highlighting the need for standardised protocols. Br J Sports Med. 2011 Sep;45(12):956-8.Abstract/FREE Full Text
van den Brand JG, Nelson T, Verleisdonk EJ, van der Werken C. The diagnostic value of intracompartmental pressure measurement, magnetic resonance imaging, and near-infrared spectroscopy in chronic exertional compartment syndrome: a prospective study in 50 patients. Am J Sports Med. 2005 May;33(5):699-704. Epub 2005 Feb 16.Abstract/FREE Full Text
Breit GA, Gross JH, Watenpaugh DE, Chance B, Hargens AR. Near-infrared spectroscopy for monitoring of tissue oxygenation of exercising skeletal muscle in a chronic compartment syndrome model. J Bone Joint Surg Am. 1997 Jun;79(6):838-43.Abstract/FREE Full Text
Heppenstall RB, Sapega AA, Scott R, Shenton D, Park YS, Maris J, Chance B. The compartment syndrome. An experimental and clinical study of muscular energy metabolism using phosphorus nuclear magnetic resonance spectroscopy. Clin Orthop Relat Res. 1988 Jan;226:138-55.Medline
van Beekvelt MC, Borghuis MS, van Engelen BG, Wevers RA, Colier WN. Adipose tissue thickness affects in vivo quantitative near-IR spectroscopy in human skeletal muscle. Clin Sci (Lond). 2001 Jul;101(1):21-8.CrossRefMedline