23
Bab IV Konsep-Konsep Dasar Hukum A. Subyek Hukum Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Sedangkan pengertian wewenang hukum sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak dan kewajiban. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hokum ialah manusia atau orang ( aturlijke Person) dan badan hokum (Vicht Person) misalnya PT, PN, dan Koperasi. Subyek hukum menurut ahli hukum, antara lain: Prof. Subekti Subyek hukum : adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum (orang) Prof. Sudikno Subyek hukum : segala sesuatu yang mendapat hak dan kewajiban dari hukum Subyek hukum merupakan segala sesuatu yang memiliki hak/kewenangan melakukan perbuatan hukum serta cakap dalam masalah hukum. Subyek hukum merupakan pendukung hak menurut kewenangan atau kekuasaan yang nantinya akan menjadi pendukung sebuah hak.

PIH Bab IV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pengantar ilmu hukum

Citation preview

Page 1: PIH Bab IV

Bab IV

Konsep-Konsep Dasar Hukum

A. Subyek Hukum

Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra adalah setiap orang

mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum

(rechtsbevoegheid). Sedangkan pengertian wewenang hukum sendiri adalah

kewenangan untuk menjadi subyek dari hak dan kewajiban.

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan

kewajiban dalam lalu lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian subyek hokum

ialah manusia atau orang ( aturlijke Person) dan badan hokum (Vicht Person) misalnya

PT, PN, dan Koperasi.

Subyek hukum menurut ahli hukum, antara lain:

Prof. Subekti

Subyek hukum : adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum

(orang)

Prof. Sudikno

Subyek hukum : segala sesuatu yang mendapat hak dan kewajiban dari

hukum

Subyek hukum merupakan segala sesuatu yang memiliki hak/kewenangan melakukan

perbuatan hukum serta cakap dalam masalah hukum. Subyek hukum merupakan pendukung

hak menurut kewenangan atau kekuasaan yang nantinya akan menjadi pendukung sebuah hak.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa subyek hukum adalag pemegang kekuasaan dari hak

dan kewajiban yang berlaku menurut hukum. Dalam hukum Indonesia, yang menjadi subyek

hukum ialah manusia.

Subyek hukum terdiri dari dua jenis :

1) Manusia

Page 2: PIH Bab IV

Pengertian secara yuridisnya ada 2 alasan yang menyebutkan alasan manusia

sebagai subyek hokum yaitu:

a. Pertama: manusia mempunyai hak-hak subyektif

b. Kedua: kewenangan hukum, dalam hal ini kecakapan untuk menjadi subyek

hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap

bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak

cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan

hukum adalah sebagai berikut :

Cakap melakukan perbuatan hukum :

- Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun).

- Seseorang yang berusia di bawah 21 tahun tetapi pernah menikah.

- Berjiawa sehat dan berakal sehat.

Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH

perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat

perjanjian, yaitu:

Orang yang belum dewasa ( belum mencapai usia 21 tahun)

Orang di bawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa,

pemabuk atau pemboros.

Sakit ingatan.

Seorang wanta dalam perkawinan yang berstatus sebagai istri.

Badan hukum (Rechts Person)

2) Badan Hukum ((Rechtsperson)

Adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan

mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :

- Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya

Page 3: PIH Bab IV

- Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban

para anggotanya.

Badan hukum menurut pendapat wirjono prodjodikoro adalah sebagai

berikut: “suatu badan yang di damping menusia perorangan juga dapat

bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban

dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

Kalau dilihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan

sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena:

1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri

2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban

3. Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan

4. Ikut serta dalam lalu lintas hokum bisa melakukan jual beli

5. Mempunyai tujuan dan kepentingan.

Badan hukum dibedakan dalam dua bentuk, yakni :

1. Badan hukum privat, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau

perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang didalam badan hukum itu. Dengan

demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang dengan

tujuan untuk keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum

yang berlaku secara sah.

Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi, Yayasan.

2. Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang

menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian

badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa

berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif

(pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik

Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II. Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.

Page 4: PIH Bab IV

Contohnya : provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank Negara.

Hakikat Badan Hukum

1. Teori Fictie : sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang yang

menghidupkannyadalam bayangan sebagai subyek hokum yang dapat melakukan

perbuatan hokum sebagaimana manusia.

2. Teori organ : badan hokum bukanlah abstrak (fiksi) dan bukan (hak) yang tidak

bersubyek, tetapi badan hokum adalah suatu organisme riil, yang menjelma sungguh-

sungguh dalam pergaulan hokum yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan

perantara alat-alat yang ada padanya seperti manusia dan panca indra, dll.

3. Teori harta kekayaan bertujuan: hanya manusia yang menjadi subyek hukm, tapi ada

kekayaan yang bukan kekayaan seseorang, tapi terikat pada tukuan tertentu.

B. Obyek Hukum

Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang

dapat menjadi obyek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subyek

hukum. Dalam bahasa hokum, obyek hokum dapat juga disebut hak atau benda yang

dapat dikuasai dan/ dimiliki subyek hukum. Misalnya, Ansi meminjamkan buku kepada

Budi. Di sini, yang menjadi obyek hukum adalah buku karena buku menjadi obyek

hukum dari hak yang dimiliki Andi.

Ø Bagian-Bagian Objek hukum dapat dibedakan menjadi :

1. Benda bergerak

Pengertian benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri

ataupun dapat dipindahkan. Benda bergerak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

- Benda bergerak karena sifatnya

Page 5: PIH Bab IV

Contoh : perabot rumah, meja, mobil, motor, komputer, dll

- Benda bergerak karena ketentuan UU

Benda tidak berwujud, yang menurut UU dimasukkan ke dalam kategori benda bergerak .

Contoh : saham, obligasi, cek, tagihan – tagihan, dsb

2. Benda tidak bergerak

Pengertian benda tidak bergerak adalah Penyerahan benda tetapi dahulu dilakukan dengan

penyerahan secara yuridis. Dalam hal ini untuk menyerahkan suatu benda tidak bergerak

dibutuhkan suatu perbuatan hukum lain dalam bentuk akta balik nama. dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu :

- Benda tidak bergerak karena sifatnya,

Tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau biasa dikenal

dengan benda tetap.

- Benda tidak bergerak karena tujuannya,

Tujuan pemakaiannya :

Segala apa yang meskipun tidak secara sungguh – sungguh digabungkan dengan tanah atau

bangunan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama

Contoh : mesin – mesin dalam suatu pabrik

- Benda tidak bergerak karena ketentuan UU,

Segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.

Contoh : Kapal dengan bobot 20 M Kubik (Pasal 314 KUHPer) meskipun menurut sifatnya dapat

dipindahkan

Page 6: PIH Bab IV

Membedakan benda bergerak dan tidak bergerak sangat penting karena berhubungan dengan

4 hak yaitu : pemilikian, penyerahan, kadaluarsa, dan pembebanan.

1. Pemilikan

Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal

1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang

tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.

2. Penyerahan

Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara

nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak

dilakukan balik nama.

3. Daluwarsa

Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab

bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk

benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.

4. Pembebanan

Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia)

sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah

serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.

Ø Perbedaan Subjek Hukum dan Objek Hukum

Yaitu pendukung hak dan kewajiban yang terjadi pada subjek hukum terjadi dari manusia

(persoon) dan badan hukum (Rechtspersoon). Sedangkan objek hukum, segala sesuatu yang

berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek hukum dari suatu hubungan hukum.

Page 7: PIH Bab IV

C. Akibat Hukum

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu

akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang

dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna

memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.

Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-

akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang

bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.

Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek

hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jual-beli maka telah lahir

suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang

mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar

barang tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk

mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan

barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum

menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum itu dapat berujud:

1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.

Contoh:

· Usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi

cakap hukum, atau

· Dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.

2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih

subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan

kewajiban pihak yang lain.

Contoh:

A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A

dan B. Setelah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.

Page 8: PIH Bab IV

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Contoh:

Seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si

pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan

hukum.

4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum

yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam

keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum.

Misalnya:

Dalam keadaan kebakaran dimana seseorang sudah terkepung api, orang

tersebut merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu dan lain-lain untuk jalan

keluar menyelamatkan diri.

Di Dalam kenyataannya, bahwa perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang

akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun

yang dilakukan dua pihak (bersegi dua). Apabila akibat hukumnya (rechtsgevolg)

timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat diatur dalam pasal

875 KUH Perdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak.

Kemudian apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak, seperti jual

beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.

D. Peristiwa Hukum

Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan

akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang

tercantum di dalamnya dapat berlaku konkrit. Misalnya suatu peraturan hukum yang

mengatur tentang kewarisan tentang kematian, akan tetap merupakan perumusan yang

kata-kata abstrak sampai ada seseorang yang meninggal dunia dan menimbulkan masalah

kewarisan.

Jadi, peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum

diberikan akibat-akibat dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat

Page 9: PIH Bab IV

sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh orang yang melakukannya, maka perbuatannya

tersebut bukan merupakan peristiwa hukum.

Menurut van Apeldorn bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan

hukum menimbulkan atau menghapuskan hak. Begitu pula pendapat Bellefroid yang

menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis

dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila

peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.

Seperti misalnya perkawinan antara pria dan wanita Demikian pula misalnya kematian

seseorang, akan pula membawa berbagai akibat hukum, seperti penetapan pewaris, ahli

waris dan harta waris. Dan apabila dibidang hukum pidana, seandainya kematian tersebut

akibat perbuatan seseorang, maka orang bersangkutan terkena akibat hukum berupa

pertanggung jawab pidana.

Dengan demikian peristiwa hukum ini dapat mengenai berbagai segi hukum baik hukum

publik, privat, tata negara, tata usaha negara, hukum pidana dan perdata.

Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu:

1. Perbuatan subyek hukum (persoon) yaitu berupa perbuatan manusia atau badan

hukum (recht persoon) sebagai pendukung hak dan kewajiban.

2. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subyek hukum.

E. Hubungan Hukum

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) adalah hubungan antara dua subyek hukum

atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan

kewajiban dipihak yang lain. Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu

dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu

dengan masyarakat yang lain. Jadi hubungan hukum terdiri atas ikatan-ikatan antara

individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat dan seterusnya.

Dengan kata lain hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum.

Adapun hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan hukum.

Page 10: PIH Bab IV

Pertunangan dan lamaran misalnya bukan merupakan hubungan hukum karena tidak diatur

oleh hukum.

Hubungan hukum dapat terjadi diantara sesama subyek hukum dan antara subyek

hukum dengan barang. Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara

seseorang dengan seorang lainnya, antara seseorang dengan suatu badan hukum, dan

anatara suatu badan hukum dengan badan hukum lainnya. Sedangkan hubungan antara

subyek hukum dengan barang berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas

barang tersebut baik barang berwujud dan barang bergerak atau tidak bergerak.

Dilihat dari sifat hubungannya , hubungan hukum dapat dibedakan antarahubungan

hukum yang bersifat privat dan hubungan hukum yang bersifat publik. Dalam menetapkan

hubungan hukum apakah bersifat publik atau privat yang menjadi indikator bukanlah

subyek hukum yang melakukan hubungan hukum itu, melainkan hakikat hubungan itu atau

hakikat transaksi yang terjadi (the nature transaction). Apabila hakikat hubungan itu

bersifat privat, hubungan itu dikuasai oleh hukum privat.

Apabila dalam hubungan itu timbul sengketa, siapapun yang menjadi pihak dalam

sengketa itu, sengketa itu berada dalam kompetensi peradilan perdata kecuali sengketanya

bersifat khusus seperti kepailitan, yang berkompeten yang mengadili adalah pengadilan

khusus juga, kalau memang undang-undang negara itu menentukan demikian. Dan apabila

hakikat hubungan itu bersifat publik, yang menguasai adalah hukum publik. Yang

mempunyai kompetensi untuk menangani sengketa demikian adalah pengadilan dalam

ruang lingkup hukum publik, apakah pengadilan administrasi, peradilan pidana, dan lain-

lain.

Hubungan hukum memerlukan syarat-syarat antara lain:

a. Ada dasar hukumnya, yaitu peraturan hukum yang mengatur hubungan itu.

b. Ada Peristiwa hukum, yaitu terjadi peristiwa hukumnya.

Misalnya: A menjual satu unit mobil kepada B. Perjanjian jual beli ini akan menimbulkan

hubungan antara A dan B dan hubungan itu diatur oleh hukum (Pasal 1457 KUH

Perdata). A wajib menyerahkan satu unit mobil kepada B sebaliknya B wajib membayar

mobil sesuai dengan perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak, atau kedua-duanya

Page 11: PIH Bab IV

telah melalaikan kewajibannya maka oleh hakim dapat dijatuhi sanksi hukum. Hubungan

antara A dan B yang diatur oleh hukum itu disebut hubungan hukum. Jadi setiap

hubungan hukum mempunyai dua segi: “bevoegdheid” (kekuasaan/kewenangan/hak)

dengan lawannya “plicht”atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan kepada subyek

hukum dinamakan “hak” Hubungan Hukum terdiri dari:

a. Hubungan sederajat dan hubungan beda derajat

Sederajat : suami-isteri (perdata), antar propinsi (tata negara).

Beda derajat: orang tua-anak (perdata), penguasa-warga (tata-negara)

b. Hubungan timbal balik dan timpang bukan sepihak.

Timbal balik jika para pihak sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, timpang

bukan sepihak jika yang satu hanya hanya punya hak saja sedang yang lain punya

kewajiban saja.

F. Hak dan Kewajiban

Tak seorangpun manusia yang tidak mempunyai hak, tetaapi konsekuensinya bahwa orang

lainpun memiliki hak yang sama dengannya. Jadi hak pada pihak yang satu berakibat timbulnya

kewajiban pada pihak yang lain.

Untuk terjadinya “hak dan kewajiban” diperlukan suatu peristiwa yang oleh hokum

dihubungkan sebagai suatu akibat. Artinya, hak seseorang terhadap sesuatu benda

mengakibatkan timbulnya kewajiban pada orang lain, yaitu menghormati dan tidak boleh

mengganggu hak tersebut.

1. Hak

Ada 2 teori dalam ilmu hokum untuk menjelaskan keberadaan hak, yaitu:

a. Teori kepentingan (Belangen Theorie) yang dianut Rudolf von Jhering : hak itu

sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh hukum atau suatu

kepentingan yang terlindungi.

Teori ini dibantah oleh Utrecht, menurutnya hokum itu memang mempunyai tugas

melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak boleh mengacaukan

antara hak dan kepentingan. Karena hokum sering melindungi kepentingan dengan

tidak memberikan hak kepada yang bersangkutan.

Page 12: PIH Bab IV

b. Teori kehendak (Wilsmacht Theorie): hak adalah kehendak yang diperlengkapi

dengan kekuatan dan diberi oleh tat tertib hokum kepada seseorang. Dianut oleh

Bernhard Winscheid. Berdasarkan kehendak seseorang dapat memiliki rumah, mobil,

tanah, dll. Sedangkan anak dibawah umur atau orang gila tidak dapat beri hak.

Teori ini dibantah oleh Urecht, menurutnya walaupun dibawah pengampuan mereka

tetap dapat memiliki mobil, rumah, dsb. Namun, yang menjalankan adalah wali atau

kuratornya.

Hak dapat timbul pada subyek hokum disebabkan oleh beberapa hal berikut:

- Adanya subyek hokum baru, baik orang maupun badan hokum.

- Terjadinya perjanjian yang disepakati oleh para pihak yang melakukan

perjanjian.

- Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan atau kelalaian

orang lain.

- Karena seseorang telah melakukan kewajiban.

2. Kewajiban

a. Kewajiban yang sesungguhnya merupakan beban, yang diberikan oleh hokum

kepada subyek hokum. Kewajiban dalam ilmu hokum menurut Curzon dibedakan

beberapa golongan, yaitu:

1. Kewajiban Mutlak dan Kewajiban Nibsi

- Kewajiban Mutlak : kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak .

- Kewajiban Nibsi : kewajiban yang disertai adanya hak.

2. Kewajiban Publik dan Kewajiban Perdata

- Kewajiban Publik : kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak public.

- Kewajiban Perdata : kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak perdata.

3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif

- Kewajiban Positif : kewajiban yang menghendaki suatu perbuatan positif.

- Kewajiban Negatif : kewajiban yang menghendaki untuk tidak melakukan

sesuatu.

G. Asas Hukum

Page 13: PIH Bab IV

Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan hukum

itu berakar pada suatu asas hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan

masyarakat secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum

adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-

masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,

yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual tersebut

dapat dipandang sebagai penjabarannya’.

Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah yang

berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman

berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam aturan-aturan hukum’.

Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan

hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum,

kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan hukum, kaidah yang mempersatukan

aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi

aturan-aturan hukum.

Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan

dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah

kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat ditemukan dari putusan hakim

ataupun hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat asas hukum,

baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.

Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi

demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani

manusia. Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan asas-asas hukum ke

dalam klasifikasi berikut:

1. asas-asas hukum materiil:

a. respek terhadap kepribadian manusia

b. respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari

keberadaan manusia sebagai pribadi

Page 14: PIH Bab IV

c. asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik

d. asas pertanggungjawaban

e. asas keadilan

2. asas-asas hukum formal:

a. asas konsistensi

b. asas kepastian

c. asas persamaan.

Selain asas-asas hukum yang bersifat umum di atas, pada setiap bidang hukum terdapat

berbagai asas hukum yang bersifat khusus. Dalam bidang hukum perdata misalnya, dikenal asas

kebebasan berkontrak, atau dalam bidang hukum tata negara dikenal adanya asas pembagian

atau pemisahan kekuasaan, dalam bidang hukum administrasi dikenal asas-asas umum

pemerintahan yang baik, dan sebagainya.

Pada umumnya, apabila hukum positif tidak mengindahkan asas hukum, tidak ada sanksi

khusus yang diberlakukan. Namun demikian, ada kalanya suatu asas hukum dijadikan

pertimbangan oleh badan yudisial dalam mengadili perkara tertentu. Sebagai contoh, dalam

pengujian Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasan

mengenai jangka waktu pencegahan, Mahkamah Konstitusi menggunakan asas proporsionalitas

sebagai salah satu pertimbangan memutus perkara tersebut (vide Putusan Nomor

64/PUU-IX/2011, hlm. 66).

Secara khusus, dalam hal perkara pengujian Keputusan Tata Usaha Negara, asas hukum

terkait, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijadikan batu uji oleh Pengadilan

Tata Usaha Negara dalam mengadili perkara tersebut (vide Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Dalam hal suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan asas-asas umum

pemerintahan yang baik, Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memberikan sanksi berupa

Page 15: PIH Bab IV

kewajiban mencabut dan/ atau menerbitkan keputusan tata usaha yang baru, dengan atau

tidak disertai ganti rugi dan/ atau rehabilitasi (vide Pasal 97 ayat (9), (10) dan (11) UU Peradilan

Tata Usaha Negara). Namun demikian, penggunaan asas-asas tersebut sebagai batu uji, lebih

disebabkan karena asas-asas tersebut telah bertransformasi menjadi norma

hukum/normatifisasi (diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya),

tidak murni sebagai asas hukum.

Walaupun pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak mengindahkan

asas hukum, namun jika hal itu tersebut terjadi, maka sangat mungkin hukum positif tersebut

tidak atau kurang memenuhi dasar-dasar keberlakuan hukum yang baik. Dasar–dasar

keberlakuan hukum yang dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis (Bagir

Manan: 1992).

Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas bahwa anak yang

lahir di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu kandung (dan

keluarga ibunya). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah asas yang mendasari

Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut secara fundamental. Putusan tersebut menegaskan

bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya, namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

(vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).

Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa:

“hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata

karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan pada pembuktian adanya

hubungan darah antara anak denganlaki-laki tersebut sebagai bapak” ( vide Putusan Nomor

46/PUU-VIII/2010, hlm. 35).

Artinya, putusan tersebut juga melegitimasi hubungan keperdataan antara anak - bapak,

tanpa didasarkan adanya ikatan “perkawinan” (bukan sekedar tidak dicatatkan). Walaupun

Page 16: PIH Bab IV

Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan tersebut atas dasar perlindungan hukum terhadap

anak, namun sangat mungkin substansi putusan tersebut, tidak dapat diterima oleh mayoritas

masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan, hubungan seksual tanpa didahului perkawinan,

apalagi yang berakibat pada kehamilan dan kelahiran anak, dianggap sebagai tindakan yang

melanggar kesusilaan. Putusan tersebut menunjukkan adanya hukum positif yang tidak

mengindahkan, atau bahkan mengubah asas hukum secara fundamental, yang jika dilihat dari

segi dasar keberlakuan hukum, kurang memenuhi dasar berlaku dari aspek sosiologis

(penerimaan oleh masyarakat) dan aspek filosofis (pandangan dan nilai-nilai dalam

masyarakat). Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat efektifitas dan keampuhan

(efficacy) putusan tersebut dalam praktik.