71
DAFTAR ISI DAFTAR ISI...................................................1 BAB I PENDAHULUAN..........................................2 BAB II PRESENTASI KASUS.....................................3 BAB III ANALISIS KASUS......................................28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................32 DAFTAR PUSTAKA..............................................49 1

PK 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PK 1

Citation preview

Page 1: PK 1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................2

BAB II PRESENTASI KASUS...............................................................................................3

BAB III ANALISIS KASUS..................................................................................................28

BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................49

1

Page 2: PK 1

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering

ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah

2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per

100.000 anak.1 Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per

100.000 per tahun. Sementara Divisi Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS Cipto

Mangunkusumo (RSCM) mencatat sekitar 130 kasus baru selama tahun 2004 sampai 2008.

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder mengikuti

penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,

dan lain lain. Pada makalah ini akan membicarakan sebuah kasus yang mengarah ke SN

idiopatik. Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibial. Bila lebih berat

akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan

gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap

kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.

Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada

sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik,

15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah

yang bersifat sementara. Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai

gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya

adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)

2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa

(GNM) 1,5%.1

Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami

remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).

Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5%

menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal

dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.

2

Page 3: PK 1

BAB II

PRESENTASI KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

STATUS PASIEN KASUS I

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. R

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 3 Maret 2011

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 4 tahun 10 bulan

Alamat : Jl. Bali Matraman, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet,

Jakarta Selatan

Agama : Islam

Pendidikan : -

Orang Tua/Wali

Ayah: Ibu :

Nama : Tn. N

Umur : 30 tahun

Alamat: Jl. Bali Matraman, Kelurahan

Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta

Selatan

Pekerjaan : Buruh pabrik

Penghasilan: Rp2.500.000,00

Pendidikan : SMA

Suku Bangsa : Betawi

Agama : Islam

Nama : Ny. R

Umur : 28 tahun

Alamat: : Jl. Bali Matraman, Kelurahan

Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta

Selatan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Penghasilan: -

Pendidikan : SMP

Suku Bangsa : Betawi

Agama : Islam

Hubungan dengan orang tua : Pasien merupakan anak kandung.

2.2 RIWAYAT PENYAKIT

3

Page 4: PK 1

A. ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny.R yang merupakan ibu kandung pasien.

Lokasi : Bangsal lantai V Timur, kamar 512

Tanggal / pukul : 2 Februari 2016 pukul 06.30 WIB

Tanggal masuk : 27 Januari 2016 pukul WIB

Keluhan Utama : Bengkak pada mata, perut, alat kelamin, dan tungkai sejak 1 minggu

SMRS.

Keluhan Tambahan : Batuk (+), pilek (+).

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

An. R, 4 Tahun, datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa oleh ibunya dengan

keluhan bengkak pada mata, wajah, perut, alat kelamin, dan tungkai sejak 1 minggu SMRS.

Awalnya, bengkak terlihat pada kedua kelopak mata saat bangun tidur pagi hari. Bengkak

menetap dan tidak mengempes sepanjang hari, dan keesokan harinya bengkak juga terlihat

pada wajah, perut, kemudian alat kelamin, juga kedua kaki pasien. Bengkak semakin hebat

setelah beberapa hari. Sebelumnya pasien sudah 4x kambuh dengan keluhan bengkak dan

biasanya diawali dengan batuk dan pilek. Pasien masih tetap aktif dan nafsu makan baik.

Tidak ada nyeri saat BAK. Pasien tidak merasa nyeri pada perutnya. Tidak juga merasa pegal

atau nyeri di bagian pinggang. Keluhan demam, mencret, muntah dan sesak disangkal pada

saat itu. Pasien juga tidak terlihat pucat ataupun kuning menurut ibu pasien. Pasien tidak

memiliki riwayat alergi.

2 minggu SMRS, Ibu pasien juga mengatakan adanya keluhan lain yaitu batuk,

dahak (+), warna dahak bening, hilang timbul, sedangkan pilek juga dirasakan dengan warna

bening.

Pasien didiagnosis dengan Sindrom Nefrotik kurang lebih usia 1 tahun 7 bulan di

RS Fatmawati dengan gejala yang sama, yaitu bengkak, namun bengkak lebih parah

dibandingkan dengan sekarang. Bengkak juga didahului dengan batuk dan pilek. Pasien

dirawat selama 7 hari dan pulang dalam kondisi baik dimana bengkak sudah jauh berkurang,

dan melanjutkan terapi prednisone di rumah. Kambuh pada usia 2 tahun 7 bulan di RS

Fatmawati dirawat selama 7 hari dengan keluhan yang sama, terapi kembali menggunakan

prednisone. Usia 3 tahun 6 bulan di RS Fatmawati dirawat selama 7 hari dengan keluhan

yang sama diberi terapi prednisone, dan usia 4 tahun di RSBA dirawat selama 7 hari dengan

keluhan yang sama disertai dengan tekanan darah tinggi, terapi dengan prednisone dan

captopril.

4

Page 5: PK 1

C. RIWAYAT KEHAMILAN/KELAHIRAN

KEHAMILAN

Morbiditas

Kehamilan

-

Perawatan Antenatal ANC rutin dibidan, suntik TT(+), vitamin

rutin.

KELAHIRAN

Tempat Persalinan Rumah bidan

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Spontan

Masa Gestasi 38-39 minggu

Keadaan Bayi

Berat lahir : 3600 gram.

Panjang lahir : 50 cm.

Lingkar kepala : tidak tahu

Langsung menangis (+)

Merah (+)

Pucat (-)

Biru (-)

Kuning (-)

Nilai APGAR : Tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: Selama mengandung, ibu pasien sehat dan tidak

terdapat penyulit persalinan.

D. RIWAYAT PERKEMBANGAN

Pertumbuhan gigi I : 9 (Normal: 5-9 bulan)

Gangguan perkembangan mental : -

Psikomotor

Tengkurap : 4 bulan (Normal : 3-4 bulan)

Duduk : 7 bulan (Normal : 6-9 bulan)

Berdiri : 12 bulan (Normal : 9-12 bulan)

Berjalan : 13 bulan (Normal : 13 bulan)

Bicara : 12 bulan (Normal : 9-12 bulan)

5

Page 6: PK 1

Membaca dan menulis : -

Perkembangan pubertas

Rambut pubis : -

Payudara : -

Menarche : -

Kesimpulan riwayat perkembangan: tidak didapatkan kesan delayed development

E. RIWAYAT MAKANAN

Umur

(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0 – 2 ASI - - -

2 – 4 ASI - - -

5 – 6 ASI - - -

6 – 7 ASI/PASI + - -

7-10 ASI/PASI + + +

10-12 ASI/PASI + + +

Kesimpulan riwayat makanan: Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif.

Lebih dari 1 tahun

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi/ Pengganti 3x/hari

Sayur 4x/minggu

Daging 2x/minggu

Telur 1x/hari

Ikan 4x/minggu

Tahu 1x/hari

Tempe 1x/hari

Susu 4x/hari

Kesimpulan makanan Makanan pasien beragam, pasien juga tidak ada kesulitan makan.

F. RIWAYAT IMUNISASI

6

Page 7: PK 1

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 2 bulan - - - - -

DPT / DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan - - -

Campak - - 9 bulan - - -

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap

G. RIWAYAT KELUARGA

a. Corak Reproduksi

No Tanggal lahir (umur)

Jenis kelamin Hidup Lahir

mati Abortus Mati (sebab)

Keterangan kesehatan

1. 4 tahun Perempuan + - - - Pasien

b. Riwayat Pernikahan

Ayah / Wali Ibu / Wali

Nama Tn. N Ny. R

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 26 tahun 24 tahun

Pendidikan terakhir SMP SMP

Agama Islam Islam

Suku bangsa Betawi Betawi

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Penyakit, bila ada - -

c. Riwayat Penyakit Keluarga

Orang tua pasien tidak pernah memiliki keluhan serupa seperti pasien. Menurut ibu pasien, di

lingkungan rumah juga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.

Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak ada resiko kontak langsung dalam penularan

penyakit.

7

Page 8: PK 1

H. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Otitis (-) Kecelakaan (-)

Rhinitis

Atopi(-) Parotitis (-) Penyakit Jantung (-)

Dermatitis

Atopi(-) Difteria (-) Radang Paru (-)

Cacingan (-) Diare (-) TBC (-)

Demam

Berdarah

Dengue

(-) Kejang (-) Asma (-)

Demam

Tifoid(-) Morbili (-)

Keluhan yang sama sebelumnya

1 th, 2 th, 3 th, 4 th

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: Sebelumnya pasien pernah di opname karena

masalah yang sama seperti sekarang, pasien masih dalam terapi prednisone untuk sindrom

nefrotik nya. Setelah 6 bulan kekambuhan, pasien dinyatakan sembuh dan tidak perlu

memakai prednison lagi.

I. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN

Pasien tinggal bersama kedua orang tua di rumah kontrakan. Menurut ibu pasien,

kondisi rumah memiliki ventilasi kurang baik, pencahayaan cukup, sumber air dari jet pump,

jamban bersih milik sendiri di dalam rumah, sampah tiap hari diangkut petugas. Jarak rumah

ke rumah cukup padat, dengan jumlah orang yang cukup banyak juga.

Kesimpulan keadaan lingkungan: Perumahan padat penduduk dan ventilasi kurang.

Memudahkan penularan penyakit seperti influenza.

J. RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI

8

Page 9: PK 1

Ayah pasien bekerja sebagai buruh yang dikatakan ibunya pendapatannya tidak

mencapai 3 juta per bulan. Sekitar 2,5 juta per bulan. Ibu pasien tidak bekerja, tidak juga

memiliki usaha sampingan.

Kesimpulan sosial ekonomi: Penghasilan hanya bersumber dari ayah pasien, namun diakui

selama ini cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 02 Februari 2016, pukul 06.50 WIB)

A. Status Generalis

Keadaan Umum

Kesan Sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Kesan Gizi : Baik

Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-), orthopneu (-)

Data Antropometri

Berat Badan sekarang : 17 Kg

Panjang Badan : 101 cm

Lingkar lengan atas : 14,5 cm

Lingkar kepala : 48 cm

Status Gizi

- BB/U : 17/15,2x100% = 111% (gizi baik)

- TB/U : 101/106x100% = 95,2% (tinggi normal)

- BB/TB : 17/15,5x100% = 109,6% (normal)

Berdasarkan standar baku CDC gizi anak termasuk dalam gizi baik.

Tanda Vital

Nadi : 109x/menit, isi cukup, regular, equal

Tekanan Darah : 110/80 mmHg (tensi jarum di tangan kanan)

Nafas : 25x/menit, tipe thorakoabdominal.

Suhu : 36,5°C, axilla (diukur dengan thermometer digital)

KEPALA : Normocephali, cekung (-), kelainan kulit kepala (-), ubun-ubun besar sudah

menutup, cekung (-)

RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

WAJAH : wajah simetris, oedem (+), luka atau jaringan parut (-), sianosis (-),

dismorfik (-), pucat (-)

9

Page 10: PK 1

MATA : Alis mata merata, madarosis (-), palpebral cekung (-), palpebral oedem

(+/+), bulu mata hitam, merata, trikiasis (-)

Visus : kesan baik Ptosis : -/-

Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-

Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-

Exophthalmus : -/- Bercak bitot : -/-

Endofthalmus : -/- RCL/RCTL : +/+

Pupil : isokor 3mm/3mm Kornea : Jernih

Strabismus : -/-

Alis : Hitam, distribusi merata

TELINGA :

Bentuk : Normotia Tuli : -/-

Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-

Liang telinga : Lapang/lapang Membran timpani : Sulit dinilai

Serumen : +/+ Refleks cahaya : Sulit dinilai

Sekret : -/-

HIDUNG :

Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-

Sekret : -/- Deviasi septum : -

Mukosa hiperemis : -/-

BIBIR : kesan simetris, pucat (-), kering (-), sianosis (-), labioskizis (-)

MULUT : Trismus (-) oral hygiene baik, gigi geligi sudah tumbuh, mukosa gusi dan

pipi berwarna merah muda, stomatitis (-)

LIDAH : Normoglosia, mukosa merah muda (-), atrofi papil (-), tremor (-), coated

tongue (-)

TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T2/T2

hiperemis (-)

10

Page 11: PK 1

LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun

KGB, tidak tampak deviasi trakea.

THORAKS : Bentuk simetris, deformitas (-), retraksi suprastrenal (-), retraksi intercostal

(-), retraksi (-)

JANTUNG

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra

Perkusi : Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra

Batas kanan jantung ICS III-V linea sternalis dextra

Batas atas jantung ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

PARU

Inspeksi : Bentuk simetris, pernapasan simetris pada saat statis dan dinamis, pernapasan

abdomino-torakal, retraksi (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas tidak ada yang tertinggal, vocal

fremitus sama kuat kanan kiri

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+ reguler, ronchi (-/-), wheezing (-/-), stridor (-)

ABDOMEN :

Inspeksi : Perut buncit simetris, tidak tampak efloresensi bermakna, kulit perut

tampak tipis mengkilat, vena dapat terlihat cukup jelas, umbilicus

tampak melebar ke samping

Palpasi : Agak tegang, undulasi (+), shifting dullness (+), nyeri tekan (-), hepar

dan

lien sulit dinilai, ballotemant sulit dinilai, turgor baik

Perkusi : redup hampir seluruh kuadran, nyeri ketuk CVA (-)

Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 2x / menit

ANOGENITALIA : Jenis kelamin perempuan, labia mayor membesar +/+, tidak ada

tanda radang.

11

Page 12: PK 1

KELENJAR GETAH BENING : Tidak teraba pembesaran KGB pada regio colli, axilla

maupun inguinal

ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : Akral hangat seluruh ekstremitas, sianosis (-), CRT <2” , sianosis (-), pitting

oedem pada pretibial dan dorsum pedis +/+

STATUS NEUROLOGIS

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps + +

Triceps + +

Patella + +

Achiles + +

Refleks Patologis Kanan KiriBabinski - - Chaddock - -Oppenheim - -Gordon - -Schaeffer - -

Rangsang meningealKaku kuduk -

Kanan KiriKerniq - -Laseq - -Bruzinski I - -Bruzinski II - -

Nervus kranialis: tidak ada lesi nervus kranialis

TULANG BELAKANG: bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

BALANCE CAIRAN:

Input 440 cc, output 460 cc, IWL 450cc

12

Page 13: PK 1

Balance cairan= -20 cc

DIURESIS : 1,2 cc/kgbb/jam

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. LABORATORIUM (27 JANUARI 2016)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

URINALISIS

Urine Lengkap

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

pH 7,0 4,6-8

Berat jenis 1,025 1,005-1,030

Albumin urin 3+ Negatif

Urobilinogen 0,2 E.U/dl 0,1-1

Nitrit Negatif Negatif

Darah Negatif Negatif

Esterasi Lekosit Negatif Negatif

Sedimen urin

Leukosit 5-7 /LPB <5

Eritrosit 1-3 /LPB <2

Epitel Positif /LPB Positif

Silinder Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

13

Page 14: PK 1

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif /LPB Negatif

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

KIMIA KLINIK

Metabolisme Karbohidrat

Gula Darah Sewaktu 97 mg/dL 52-98

GINJAL

Ureum 20 mg/dL 11-39

Kreatinin 0,79 mg/dL <1,0

2.5 RESUME

Pasien, an. R, usia 4 tahun datang ke IGD RSBA dengan keluhan bengkak yang menetap,

progresif dan menjalar sejak 1 minggu lalu. Bengkak terdapat di kelopak mata, wajah, perut

dan labia mayor, dan kaki. Bengkak tidak disertai tanda radang. Pasien tetap aktif, nafsu

makan baik, BAK lancar. Sebelum bengkak pasien batuk dan pilek. 3 tahun lalu pasien

pernah didiagnosis sindrom nefrotik, diberikan terapi prednison selama 6 bulan dan respon

terapi baik. Sempat kambuh 4 kali usia 2 tahun 7 bulan, 3 tahun 6 bulan, dan 4 tahun.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg menunjukkan hipertensi

grade I, suhu normal 36,5O C, pernapasan dan nadi normal. Kesan gizi baik menurut kurva

CDC. Palpebra oedem +/+, thorax dalam batas normal (tidak ada efusi pleura). Abdomen

tampak buncit, kulit perut tampak tipis mengkilat, vena dapat terlihat cukup jelas, umbilicus

tampak melebar ke samping, pada palpasi agak tegang, undulasi (+), hepar dan lien sulit

dinilai, ballotemant sulit dinilai, pada perkusi didapatkan redup hampir seluruh kuadran dan

nyeri ketuk CVA (-). Pada labia mayor tampak membesar tanpa tanda radang, bising usus (-).

Pada tungkai bawah khususnya di pretibial dan dorsum pedis pitting oedem +/+.

Dari hasil laboratorium tanggal 27/01/2016 pada urinanalisis didapatkan proteinuria masif

+3, hematuria, leukosituria.

2.6 DIAGNOSIS BANDING

- Sindrom nefrotik relaps jarang

14

Page 15: PK 1

- Glomerulus nefritik akut

2.7 . DIAGNOSIS KERJA

Sindrom Nefrotik Relaps Jarang dengan Hipertensi Grade I

2.8 . PEMERIKSAAN ANJURAN

- Hematologi rutin

- Lipid darah

- Titer ASTO

- Komplemen C3

2.9 TATALAKSANA

A. NON-MEDIKA MENTOSA

a. Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien dan menjelaskan

kemungkinan adanya gejala berulang lagi

b. Observasi tanda-tanda vital dan berat badan

c. Pantau diuresis

d. Diet rendah garam 1-2 g/hari

B. MEDIKA MENTOSA

- Venflon

- Furosemide 2x10 mg (iv)

- Prednison 3 x 2 tab (5 mg) per oral

- Captopril 2x4,5 mg per oral

2.10 PROGNOSIS

Ad Vitam : Ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad malam

FOLLOW UP

Tgl S O A P

15

Page 16: PK 1

28/01/16

HP-2

BB:

15Kg

LP: 61

Balance

cairan:

-200 cc

Diuresis:

0,5

cc/kgbb/j

am

- Bengkak

di kedua

kelopak

mata,

wajah, di

perut dan

alat

kelamin

- Batuk

- Pilek

CM, TSS, terlentang

S: 36,5oC, HR: 92x/m,

RR: 36x/menit, TD:

100/80 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral +/+

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen buncit,

kulit tampak tipis

vena mudah dilihat,

umbilicus melebar,

supel, BU (+), shifting

dullness (+), undulasi

(+), NT (-), hepar lien

sulit diraba, perkusi

redup hampir seluruh

kuadran

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial +/+,

CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj.

Furosemide

2x10 mg

(iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

oral 3x10

mg

- Captopril

(PO) 2x4,5

mg

- Ambroxol

syr 3x2,5

cc

29/01/16

HP-3

BB: 19,2

- Bengkak

di kedua

kelopak

CM, TSS, terlentang

S: 36,8oC, HR: 80x/m,

RR: 28x/menit, TD:

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix

3x10 mg

16

Page 17: PK 1

kg

LP: 61

cmn

Balance

cairan:

-20 cc

Diuresis:

1,2

cc/kgbb/j

am

mata,

wajah, di

perut dan

alat

kelamin

- Batuk

- Pilek

100/70 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral +/+

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen buncit,

kulit tampak tipis

vena mudah dilihat,

umbilicus melebar,

supel, BU (+), shifting

dullness (+), undulasi

(+), NT (-), hepar lien

sulit diraba, perkusi

redup hampir seluruh

kuadran

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial +/+,

CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

(iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg

(PO)

- Captopril

3x4,5 mg

(PO)

- Ambroxol

syr 3x2,5

cc

- Cek

albumin

darah

30/12/15

HP-4

BB: 18

kg

- Bengkak

di kedua

kelopak

mata,

CM, TSS, terlentang

S: 36,5oC, HR: 92x/m,

RR: 36x/menit, TD:

100/70 mmHg

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix

2x10 mg

(iv)

17

Page 18: PK 1

LP : 60

cm

Balance

cairan:

-80 cc

Diuresis:

0,6

cc/kgbb/j

am

wajah, di

perut dan

alat

kelamin

- Batuk

berkurang

- Pilek

berkurang

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

kesan buncit (-),

BU(+), shifting

dullness (+), undulasi

(+), NT (-), hepar lien

tidak teraba

membesar, perkusi

redup hampir seluruh

kuadran,

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial +/+

minimal, CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg

(PO)

- Captopril

3x4,5 mg

(PO)

- Ambroxol

syr 3x2,5

cc

- Albumin

2x75 cc

- Diet rendah

kolesterol

dan putih

telur 3x

sehari

31/12/15

HP-5

BB: 18

kg

LP : 60

cm

Balance

cairan:

- Bengkak

di kedua

kelopak

mata,

wajah, di

perut dan

alat

kelamin

- Batuk

CM, TSS, terlentang

S: 36,6oC, HR: 96x/m,

RR: 21x/menit, TD:

100/70 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

Hidung NCH -,

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix

2x10 mg

(iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg

18

Page 19: PK 1

-70 cc

Diuresis:

1,7

cc/kgbb/j

am

berkurang

- Pilek

berkurang

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

kesan buncit (-), BU

(+), shifting dullness

(+), undulasi (+), NT

(-) hepar lien tidak

teraba membesar,

perkusi redup hampir

seluruh kuadran,

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial +/+

minimal, CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

(PO)

- Captopril

3x4,5 mg

(PO)

- Ambroxol

syr 3x2,5

cc

- Albumin

2x75 cc

- Diet rendah

kolesterol

dan putih

telur 3x

sehari

1-3/02/16

HP-6-8

BB: 17,5

kg

LP : 60

cm

Balance

cairan:

-220 cc

Diuresis:

2,4

cc/kgbb/j

am

- Bengkak

berkurang

CM, TSS, terlentang

S: 36,5oC, HR: 95x/m,

RR: 23x/menit, TD:

110/70 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

berkurang

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

- Sindrom

Nefrotik Relaps

- Hipertensi grade

I

- Venflon

- Inj. Lasix

2x10 mg

(iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg

(PO)

- Captopril

3x4,5 mg

(PO)

19

Page 20: PK 1

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

kesan buncit (-), BU

(+), shifting dullness

(+), undulasi (+), NT

(-), hepar lien tidak

teraba membesar,

perkusi redup hampir

seluruh kuadran,

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial +/+

minimal, CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

- Diet rendah

kolesterol

dan putih

telur 3x

sehari

4/02/16

HP-9

BB: 15,5

kg

LP : 59

cm

Balance

cairan:

-950 cc

Diuresis:

3,3cc/

kgbb/jam

- Bengkak

berkurang

CM, TSS, terlentang

S: 36,4oC, HR: 96x/m,

RR: 20x/menit, TD:

95/60 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

minimal

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix

2x10 mg

(iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg

(PO)

- Captopril

3x4,5 mg

(PO)

- Diet rendah

kolesterol

dan putih

20

Page 21: PK 1

kesan buncit (-), BU

(+), shifting dullness

minimal, undulasi

minimal, NT (-),

hepar lien tidak

teraba membesar,

perkusi redup

minimal,

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial -/-,

CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

telur 3x

sehari

05/02/16

HP-10

BB: 15

kg

LP : 53

cm

Balance

cairan:

-1100 cc

Diuresis:

3,3cc/

kgbb/jam

- Bengkak

berkurang

CM, TSS, terlentang

S: 36,4oC, HR: 100x/m,

RR: 22x/menit, TD:

100/70 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

kesan buncit (-), BU

(+), shifting dullness

minimal, undulasi

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix 2x10

mg (iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg (PO)

- Captopril

3x4,5 mg (PO)

- Diet rendah

kolesterol dan

putih telur 3x

sehari

21

Page 22: PK 1

minimal, NT (-),

hepar lien tidak

teraba membesar,

perkusi redup

minimal Ekstremitas

Akral Hangat +,

sianosis -, edema

pretibial -/-, CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

6/02/16

HP-11

BB: 13

kg

LP : 48

cm

Balance

cairan:

-1080 cc

Diuresis:

3,6cc/

kgbb/jam

Bengkak

minimal

CM, TSS, terlentang

S: 36,4oC, HR: 96x/m,

RR: 20x/menit, TD:

90/60 mmHg

Kepala

Normocephali,

Mata CA -/- SI -/-

Oedem palpebral -/-

Hidung NCH -,

sekret-

Mulut Sianosis (-)

Kering(-)

Thorax BJ I & II reg,

m (-), g (-)

Abdomen supel,

kesan buncit (-), BU

(+), shifting dullness

minimal, undulasi

minimal, NT (-),

hepar lien tidak

teraba membesar,

perkusi timpani,

Sindrom Nefrotik

Relaps

- Venflon

- Inj. Lasix 2x10

mg (iv)

- Amoxicilin

3x250 mg

(PO)

- Prednison

3x10 mg (PO)

- Captopril

3x4,5 mg (PO)

- Diet rendah

kolesterol dan

putih telur 3x

sehari

- Rencana

pulang

22

Page 23: PK 1

Ekstremitas Akral

Hangat +, sianosis -,

edema pretibial -/-,

CRT<2”

Kulit dan kuku :

sianosis (-)

a. LABORATORIUM (28 JANUARI 2016)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

URINALISIS

Urine Lengkap

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

pH 7,0 4,6-8

Berat jenis 1,020 1,005-1,030

Albumin urin 3+ Negatif

Urobilinogen 0,2 E.U/dl 0,1-1

Nitrit Negatif Negatif

Darah 2+ Negatif

Esterasi Lekosit Negatif Negatif

Sedimen urin

Leukosit 10-15 /LPB <5

Eritrosit 2-5 /LPB <2

Epitel Positif /LPB Positif

23

Page 24: PK 1

Silinder Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif /LPB Negatif

b. LABORATORIUM (29 JANUARI 2015)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

URINALISIS

Urine Lengkap

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

pH 6,5 4,6-8

Berat jenis 1,020 1,005-1,030

Albumin urin 3+ Negatif

Urobilinogen 0,2 E.U/dl 0,1-1

Nitrit Negatif Negatif

Darah 1+ Negatif

Esterasi Lekosit Negatif Negatif

Sedimen urin

Leukosit 5-6 /LPB <5

Eritrosit 4-5 /LPB <2

Epitel Positif /LPB Positif

24

Page 25: PK 1

Silinder Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif /LPB Negatif

c. LABORATORIUM (1 FEBRUARI 2015)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

KIMIA KLINIK

HATI

Albumin 1,9 g/dL 3,8-5,4

d. LABORATORIUM (5 FEBRUARI 2015)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

URINALISIS

Urine Lengkap

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

pH 8,5 4,6-8

Berat jenis 1,020 1,005-1,030

Albumin urin 3+ Negatif

Urobilinogen 0,2 E.U/dl 0,1-1

Nitrit

Negatif Negatif

Darah Negatif Negatif

Esterasi Lekosit Negatif Negatif

Sedimen urin

25

Page 26: PK 1

Leukosit 1-2 /LPB <5

Eritrosit 0-1 /LPB <2

Epitel Positif /LPB Positif

Silinder Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif /LPB Negatif

e. LABORATORIUM (6 FEBRUARI 2015)

Nama tes Hasil Unit Nilai rujukan

URINALISIS

Urine Lengkap

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Kuning muda Jernih

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

pH 7,5 4,6-8

Berat jenis 1,020 1,005-1,030

Albumin urin 1+ Negatif

Urobilinogen 0,2 E.U/dl 0,1-1

Nitrit Negatif Negatif

Darah Negatif Negatif

Esterasi Lekosit

Negatif Negatif

Sedimen urin

Leukosit 0-1 /LPB <5

Eritrosit 0-1 /LPB <2

26

Page 27: PK 1

Epitel Positif /LPB Positif

Silinder Negatif Negatif

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif /LPB Negatif

27

Page 28: PK 1

BAB III

ANALISIS KASUS

An. R, perempuan, 4 tahun datang ke IGD RSUD Busi Asih dengan keluhan utama bengkak.

Bengkak dapat terjadi akibat adanya cairan yang berlebihan pada jaringan interstisial dan

rongga tubuh. Edema dapat bersifat transudat dan eksudat. Sesuai dengan namanya eksudat

timbul selama proses peradangan dan mempunyai berat jenis besar (> 1,20). Cairan ini

mengandung protein kadar tinggi sedangkan transudat mempunyai berat jenis rendah (<1,15).

Edema transudate disebabkan oleh :

1. Peningkatan tekanan hidrostatik

2. Penurunan tekanan onkotik plasma

3. Obstruksi saluran limfe.

4. Peningkatan permeabilitas kapiler.

Tekanan osmotik plasma adalah tekanan yang mempertahankan cairan didalam

pembuluh darah dengan cara menarik cairan dari ruang intersrtitial. Tekanan hidrostatik

adalah tekanan yang mendorong cairan dari plasma keruang interstitial. Pada kasus ini,

karena edema yang tampak terdapat pada daerah kelopak mata, perut, labia mayor dan kedua

tungkai bawah maka dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya edema yang sifatnya

generalisata dan jenisnya adalah transudate. Penyakit dengan keluhan utama bengkak yang

bersifat generalisata dan jenisnya transudate antara lain adalah kelainan ginjal, jantung, hepar,

dan malnutrisi.

Pada penyakit ginjal, tekanan koloid osmotik plasma juga dapat berkurang seperti

sindroma nefrotik. Pada sindroma nefrotik, ginjal mengalami “kebocoran” sehingga albumin

yang dalam keadaan normal tidak dapat diekskresi oleh ginjal, pada sindroma nefrotik akan

terbuang bersama urin. Akibatnya kandungan albumin didalam plasma akan berkurang

sehingga terjadi penurunan tekanan koloid osmotik plasma. Hal ini menyebabkan timbulnya

edema. Pada penyakit jantung tekanan hidrostatik kapiler dapat meningkat pada hambatan

aliran darah vena seperti yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Pada gagal jantung

kongestif, tekanan darah vena meningkat yang akan diikuti dengan peningkatan tekanan

hidrostatik kapiler. Cairan akan didorong dari plasma keruang interstitial sehingga cairan

akan tertimbun dijaringan interstitial maka terjadilah edema. Pada penyakit hepar, tekanan

koloid osmotik plasma dapat berkurang akibat terjadinya kerusakan hepar seperti pada sirosis

28

Page 29: PK 1

hati. Pada sirosis hepatik hati tidak dapat mensintesis protein, sedangkan protein terutama

albumin sangat berperan dalam mempertahankan tekanan koloid osmotik plasma, sehingga

pada sirosis hepatik dapat terjadi edema. Pada malnutrsi bengkak terjadi karena adanya

kerusakan dari pompa sel natrium dan kalium sehingga terjadi oedem intraseluler.

Pada pasien, bengkak dimulai dari kelopak mata. Kelopak mata merupakan jaringan

yang banyak mengandung jaringan ikat longgar, sedangkan pada daerah perut, labia mayor,

dan kaki, hal tersebut disebabkan karena pengaruh gaya gravitasi. Pasien sudah pernah

didiagnosis sindrom nefrotik usia 1 tahun 7 bulan, untuk itu perlu dipastikan bahwa apakah

pasien mengalami relaps. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka dibutuhkan

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kimia darah dan

urin lengkap.

Batuk dan pilek pada pasien disebakan karena adanya infeksi saluran napas atas, hal

tersebut tidak berkaitan dengan bengkak yang dialami pasien. Berdasarkan dari hasil jurnal

“Musim Hujan sebagai Faktor Resiko Kekambuhan pada Anak Penderita Sindrom Nefrotik

Sensitif Steroid” dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak menyatakan bahwa menurut penelitian

tidak ada hubungan antara ISPA dengan kekambuhan sindrom nefrotik. Suhu rendah dan

kelembapan tinggi seperti pada musim hujan menimbulkan reaksi hipersensitivitas nonalergi

melalui peningkatan jalur T Helper 2 sehingga sel Mast dan basophil dirangsang untuk

menghasilkan IL-4 dan IL-13. Selain itu, klon limfosit abnormal akan melepaskan mediator

tertentu yang bersifat toksik terhadap membrane basal glomerulus. Sitokin glomerulus

meningkat sehingga menyebabkan proteinuria. Teori lain menyebutkan bahwa IL-4 dan IL-

13 dapat menyebabkan hilangnya muatan negative sialoglikoprotein dan proteoglikan heparin

sulfat dalam dinding kapiler glomerulus, sehingga barrier filtrasi glomerulus berkurang dan

menyebabkan proteinuria.

Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan tekanan darah tinggi yang terjadi

kemungkinan adalah akibat dari adanya efek dari kebocoran plasma, sehingga ginjal

mengaktifkan system renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah

dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor atrium sehingga meningkatkan

aldosterone yang akan merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan merangsang

pelepasan ADH sehingga mengakibatkan peningkatan air pada duktus kolektifus. Hal ini

mengakibatkan peningkatan volume plasma, tetapi karena tekanan onkotik plasma yang

berkurang, natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema dan terjadi hipertensi.

Menurut presentil tekanan darah, seharusnya TD pasien <106/67, sedangkan pasien

110/70, sehingga pasien mengalami hipertensi grade I.

29

Page 30: PK 1

Interpretasi Tekanan Darah Sistol dan

Tekanan Darah Diastolik

menurut Persentil

Hasil TD = Sistolik /

Diastolik mmHg

Normal < 90th <106/67 mmHg

Pre Hipertensi 90th sampai < 95th atau 106/67 mmHg

Hipertensi Stage I 95th sampai 99th plus 5 mmHg 110/71 mmHg

Hipertensi Stage II >99th plus 5 mmHg 122/83 mmHg

Pada hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan albumin 1,9 g/dL dan proteinuria

+3. Berdasarkan hasil anamnesis yaitu bengkak pada kelopak mata, perut, labia mayor, dan

tungkai, juga pemeriksaan fisik ditemukan oedem palpebral, smiling umbilicus, shifting

dullness (+), undulasi (+), perkusi redup, oedem pretibial dan dorsum pedis mendukung

kearah sindrom nefrotik relaps karena keadaan proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2

LPB/jam) 3 hari berturut-turut. Relaps disini merupakan relaps jarang karena relaps terjadi

kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per

tahun pengamatan. Pada pasien juga sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,

maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison

dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis

alternating selama 4 minggu.

Pasien memenuhi 3 dari 4 kriteria sindrom nefrotik berdasarkan Konsensus

Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012

yaitu, proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin

pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); hipoalbuminemia <2,5 g/dL; edema; dan

dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra

indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme

protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan

diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2

30

Page 31: PK 1

g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan

hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak

menderita edema. Pada pasien karena sudah ada edema anasarka maka seharusnya diberikan

diet rendah garam. Apalagi karena pada pasien belum pernah dicek kadar lipid darah.

Pada pasien sudah termasuk edema anasarka sehingga merupakan indikasi pemberian

diuretic yaitu furosemide 1-2 mg/kgBB/hari. Pada pasien ini juga sebenarnya tidak perlu

diberikan terapi albumin karena indikasi pemberian albumin 20% 1 g/kgBB apabila belum

juga berespon pemberian obat diuretik dan nilai albumin <1. Pada pasien juga harusnya

sebelum pulang perlu dicek ulang kadar albumin darah.

Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien didiagnosis Sindrom

Nefrotik yang dalam perjalanan penyakitnya masih sensitif terhadap pengobatan steroid tetapi

untuk kekambuhan masih perlu diwaspadai.

31

Page 32: PK 1

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan ekstrarenal yang

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun kerusakan primer pada ginjal,

yang meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema anasarka, serta hiperlipidemia. SN

merupakan kelainan ginjal terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka kejadian 15 kali

lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di

Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun.1 Di negara

berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.

Sementara Divisi Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)

mencatat sekitar 130 kasus baru selama tahun 2004 sampai 2008.2 Sebagian besar anak SN

merupakan tipe sensitif terhadap pengobatan steroid yang dimasukkan sebagai kelainan

minimal.3

ETIOLOGI

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik dan sekunder mengikuti

penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,

kelainan glomerulus seperti nefropati membranosa dan glomerulonefritis

membranoprolifratif.4 Pada umumnya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer

memberi respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%

diantaranya akan relaps dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan

steroid. 5

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Sindrom Nefrotik Primer

32

Page 33: PK 1

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer

terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan

ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah

sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan

sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan

menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in

Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan

mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan

mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan

klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan

terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in

Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).6

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer7

            Kelainan minimal (KM)            Glomerulosklerosis (GS)                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif            Glomerulonefritis kresentik (GNK)            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial            Glomerulopati membranosa (GM)            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

SumSumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.p. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa

sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe

kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder

33

Page 34: PK 1

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai

sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai

adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: Diabetes Mellitus, Amiloidosis,

Sindrom Alport, Miksedema.

b. Infeksi : Hepatitis B, Malaria, Schistosomiasis, Lepra, Sifilis,

Streptokokus, AIDS.

c. Toksin dan alergen: Logam berat (Hg), Penisillamin, Probenesid, racun

serangga, bisa ular.

d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,

Purpura Henoch-Schönlein, Sarkoidosis.

e. Neoplasma : Tumor paru, Penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

Sindrom nefrotik idiopatik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai gambaran

patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya

adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)

1,9 – 2,3%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan nefropati

membranosa (GNM) 1,3%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM

(94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif

(resisten steroid).6

Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah:7

- Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-

turut dalam 1 minggu

- Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam

1 minggu

- Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons

awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan

- Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah

respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun

- Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari

setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

- Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose)

34

Page 35: PK 1

2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis SN ditandai dengan proteinuria masif (>40mg/m2/jam),

hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema, dan hiperlipidemia.8 Pasien SN biasanya datang

dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan

edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang,

dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada

pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan

tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children),

pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan

32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.4

PATOFISIOLOGI

Sindrom nefrotik terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Penyebab peningkatan

permeabilitas dinding kapiler tersebut belum diketahui dengan pasti. Pada SNKM hal ini

mungkin dikarenakan adanya disfungsi sel T yang menyebabkan perubahan pada fungsi

sitokin-sitokin sehingga jumlah glikoprotein pada dinding kapiler glomerulus berkurang.

Mekanisme terjadinya edema pada SN diakibatkan protein yang hilang lewat urin sehingga

mengakibatkan hipoalbuminemia, selanjutnya terjadi penurunan tekanan onkotik plasma

yang mengakibatkan perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang interstisial.

Berkurangnya cairan intravascular menyebabkan tekanan pada perfusi renal berkurang

sehingga merangsang sistem renin-angitensin-aldosteron, yang menyebabkan peningkatan

resorbi natrium di tubular, pengeluaran hormone ADH, juga merangsang rasa haus. Sehingga

lebih banyak lagi cairan tertahan intravascular maka lebih banyak lagi yang mengalami

ekstravasasi ke ruang interstisial sehingga edema bertambah.7

 a. Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan

glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan hanya

sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal

35

Page 36: PK 1

dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya sebagaian kecil berasal dari

sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membran basalis glomerulus

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein

utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. 7

b. Hipoalbuminemia

Hipoalbumin disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme

albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk

mengganti kehilagan albumin dalam urin). Peningkatan permeabilitas glomerulus

menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia

menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler

cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.7

c. Hiperlipidemia

Pada keadaan nefrotik, kadar lipid serum meningkat karena 2 hal. Yang pertama akibat dipicu

oleh adanya hipoalbuminemia, maka hepar akan meningkatkan sintesis protein, termasuk

dengan meningkatkan sintesis lipoprotein. Kemudian diakibatkan juga oleh penurunan dari

katabolisme lipid, sebagai hasil dari berkurangnya enzim lipoprotein lipase.7

d. Hiperkoaguabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen

activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,

peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya factor

zymogen.7

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang

berikut:

1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom

nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes

semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat 3+ menandakan kandungan protein urin

sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam

nephrotic range.

36

Page 37: PK 1

2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada

urin pertama pagi hari. Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection

atau single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24

jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu

sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria

diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan

kreatinin > 2mg/mg, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g,

termasuk dalam nephrotic range. Atau protein urin dalam 24 jam berupa lebih dari

40/mg/m2/jam juga termasuk dalam nephrotic range.9

3. Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)

- Kadar albumin dan kolesterol plasma

- Kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus

Schwarzt

- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan

ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA. 10

4. USG renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

5. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun,

resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi

nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin

diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena

masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk

membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,

karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.7

TATALAKSANA

Tujuan terapi SN untuk mencapai remisi, mencegah relaps, dan menghindari efek

samping obat. Sebagian besar SN pada anak memberikan respons yang baik terhadap terapi

inisial steroid (94%). Masalah yang timbul adalah insidens relaps yang tinggi yaitu hampir

60% sehingga morbiditas dan mortalitas meningkat, serta efek samping pengobatan yang

ditimbulkan lebih berat. Keadaan tersebut sangat mempengaruhi kualitas hidup seorang anak

37

Page 38: PK 1

dengan SN.11,12

Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat

pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan

steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan

uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila

ditemukan tuberkulosis diberi obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya

dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi

berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan

dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.5

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi

karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein

(hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit

protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari.

Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan

pertumbuhan anak. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita

edema.

Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti

furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis

aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama

dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).

Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya

disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat

diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan

dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.

Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari

secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi

jantung. Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari untuk

memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Pemberian plasma

38

Page 39: PK 1

berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain lain. Bila asites

sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

Antibiotik profilaksis

Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik profilaksis

dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang.10 Di Indonesia

tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan

bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik

jenis amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.

Imunisasi

Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6 minggu setelah steroid

dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati. Setelah lebih dari 6 minggu penghentian

steroid, dapat diberikan vaksin hidup.13

Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan,

tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum dianjurkan.

Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi

kontak dengan penderita varisela, diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-

zoster, dalam waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan

dosis tunggal imunoglobulin intravena. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberikan obat

asiklovir dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.14

Pengobatan dengan kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama, kecuali bila ada

kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau prednisolon.

a. Pengobatan inisial

39

Page 40: PK 1

Gambar 1. Pengobatan inisial dan relaps (Sumber : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/17-2-

14.pdf)

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)

pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60

mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk

menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat

badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu.

Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan

remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4

minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan

dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari

setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi

remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 1).

Keterangan: Rekomendasi KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes)

dipublikasikan dalam Kidney International Supplement 2012 dan J Pediatric Nephrology

2013. Dalam rekomendasi KDIGO tersebut, pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan

prednison/prednisolone, memberi dua pilihan :

- Prednison oral dosis penuh (full dose) selama 6 minggu (maksimal 60 mg/m2

/hari), dilanjutkan 6 minggu dengan dosis alternating, diberikan single dose pagi

hari.

- Pemberian prednison dosis penuh 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua

40 mg/m2 atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, jadi tetap 8 minggu seperti

sebelumnya, tetapi dilanjutkan 3 bulan dosis diturunkan (tapering off) sebelum

40

Page 41: PK 1

prednison dihentikan Pada penelitian di Jakarta didapatkan kesan adanya

penurunan jumlah relaps pada kelompok yang mendapat steroid lebih lama, tetapi

karena jumlah kasus yang diteliti sedikit, perbedaan ini tidak dapat dinilai secara

statistik, sedangkan penelitian di Surabaya menemukan perbedaan kejadian relaps

yang tidak bermakna.10

b. Pengobatan relaps

Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi sebagian

besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% di antaranya mengalami relaps sering.

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 2, yaitu diberikan prednison dosis

penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating

selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,

sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari pemicunya, biasanya infeksi

saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah

pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan

relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis

sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps. Prednison dosis penuh setiap hari sampai

remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison

intermittent/alternating 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu. Jumlah kejadian relaps

dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan

perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama

pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:

Tidak ada relaps sama sekali (30%)

Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%) dalam 6 bulan pertama pasca

pengobatan inisial

Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%) dalam 6 bulan pertama pasca

pengobatan inisial

Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih banyak dan

prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten steroid.

Pasien pada kategori 1 dan 2 mempunyai prognosis paling baik, biasanya setelah

41

Page 42: PK 1

mengalami 2-3 kali relaps tidak akan relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4 bila berlangsung

lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon face, hipertensi, striae,

dan lain lain. Pasien SN relaps sering dan dependen steroid sebaiknya dirujuk ke ahli

nefrologi anak, atau setidaknya ditata laksana bersama-sama dengan ahli nefrologi anak.

c. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan steroid

alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang dalam

literatur ada 4 opsi:

1. Dicoba pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau kecacingan.

1. Steroid jangka panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat

dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang

lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen steroid,

setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid

alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB

sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5

mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan

selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah

dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1

mg/kgBB secara alternating.5

Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi < 1,0

mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan

dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung

42

Page 43: PK 1

diberikan CPA.Bila ditemukan keadaan di bawah ini:

a. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau 2. dosis rumat

< 1 mg tetapi disertai efek samping steroid yang berat

b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis

diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12

minggu.

2. Levamisol

Pemakaian levamisol pada SN masih terbatas karena efeknya masih diragukan. Efek

samping levamisol antara lain mual, muntah, dan neutropenia reversibel. Dalam

sebuah studi kontrol double blind, levamisol dilaporkan dapat mempertahankan

remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for

Paediatric Nephrology pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak

yang diberi levamisol selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi

meskipun prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua

relaps. Di Jakarta, penelitian pemberian levamisol pernah dilakukan, tetapi hasilnya

kurang memuaskan. Oleh karena itu pada saat ini pemberian levamisol belum dapat

direkomendasikan secara umum, tetapi keputusan diserahkan kepada dokter spesialis

anak atau dokter spesialis anak konsultan yang mengobati pasien.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering dipakai pada pengobatan SN anak adalah

siklofosfamid (CPA) dosis 2-3 mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3

mg/kgBB/hari, selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps sampai lebih

dari 50%, yaitu 67-93% pada tahun pertama, dan 36-66% selama 5 tahun. APN

melaporkan pemberian CPA selama 12 minggu dapat mempertahankan remisi lebih

lama daripada pemberian CPA selama 8 minggu, yaitu 67% dibandingkan 30%, tetapi

hal ini tidak dapat dikonfirmasi oleh peneliti lain.

Pemberian CPA dalam mempertahankan remisi lebih baik pada SN relaps sering

(70%) daripada SN dependen steroid (30%). Efek samping sitostatika antara lain

depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka

43

Page 44: PK 1

panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan

pemeriksaan darah tepi seperti kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, 1-2 kali

seminggu. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.000/ul, kadar hemoglobin kurang dari 8

g/dL, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul, sitostatik dihentikan sementara,

dan diteruskan kembali bila jumlah leukosit lebih dari 5.000/ul.

Efek toksisitas pada gonad terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥ 200-300

mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgBB,

dan dosis ini aman bagi anak. CPA dapat diberikan secara oral atau puls baik pada SN

relaps sering atau dependen steroid.

Gambar 2. Pengobatan relaps sering dan steroid dependen. (Sumber :

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/17-2-14.pdf)

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik

dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 5 mg/kgBB/hari (Gambar 3).

Pada SN relaps sering/dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan

mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,

tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek

samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada SN resisten steroid.

44

Page 45: PK 1

d. Pengobatan SN resisten steroid

Sindrom nefrotik resisten steroid terdiri dari resisten primer dan sekunder. Resisten primer

apabila terjadi pada pengobatan inisial (awal) yaitu setelah diberi preparat kortikosteroid

selama 8-12 minggu tidak terjadi remisi. Sedangkan resisten sekunder jika pada pasien

sindom nefrotik yang telah berulang kali mendapat steroid (relaps frekuen) atau dependen

steroid. Obat imunosupresan yang dianjuran oleh KDIGO 2013 pada sindrom nefrotik

resisten steroid adalah kalsineurin inhibitor (2C), MMF (2C), dan tambahan pemberian ACE-

inhibitor dan/atau angiotensin II reseptor bloker (ARB). Sediannya antara lain adalah :

- Kalsineurin inhibitor siklosporin atau takrolimus, dosis 4-5 mg/kg/hari 2x sehari (2C).

Dosis takrolimus 0,1 mg/kgbb/hari, 2x sehari diberikan jika ditemukan efek samping

kosmetik pada pemberian siklosporin. Lama pemberian kalsineurin inhibitor 12 bulan

(2D), pada umumnya akan terjadi relaps jika obat dihentikan.

- Mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 1200 mg/m2 /hari 2x sehari selama 12

bulan, obat ini juga jika pemberiannya dihentikan pasien akan relaps

- Rituximab hanya diberikan pada kasus dependen steroid yang terus menerus relaps

jika sudah mendapat kalsineurin inhibitor dengan dosis optimal atau menderita efek

samping.

Gambar 3. Pengobatan resisten steroid. Sumber :

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/17-2-14.pdf)

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Kebanyakan

publikasi dalam literatur tidak dengan subyek kontrol. Sebelum pengobatan dimulai, pada

pasien SNRS sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi

ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan

45

Page 46: PK 1

dengan CPA memberikan hasil lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM

daripada GSFS. Demikian pula hasil pengobatan pada SNRS nonresponder kasep lebih baik

daripada SNRS sejak awal (initial non responder).

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SNRS dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20% pasien.

Bila terjadi relaps kembali setelah pemberian CPA, meskipun sebelumnya merupakan SN

resisten steroid, dapat dicoba lagi pengobatan relaps dengan prednison, karena SN yang

resisten steroid dapat menjadi sensitif lagi. Tetapi bila terjadi resisten atau dependen steroid

kembali, dapat diberikan siklosporin, bila pasien mampu.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%

pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.23Efek samping CyA antara lain

hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu

menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan

terhadap :

Kadar CyA dalam serum (dipertahankan antara 100-200 ug/mL)

Kadar kreatinin darah berkala

Biopsi ginjal berkala setiap 2 tahun

Pemberian non imunosupresif untuk mengurangi proteinuria

Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin

(atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema)

dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme) untuk mengurangi

proteinuria. Jenis obat ini yang bisa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 x sehari, atau

enalapril 0,5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis. Sebuah penelitian secara random dengan

pemberian enalapril 0,2 mg/kgBB/hari dan 0,6 mg/kgBB/hari selama 8 minggu dapat

menurunkan proteinuria 33% dan 52%.30 Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk

menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif).

Indikasi biopsi ginjal

46

Page 47: PK 1

Indikasi biopsi ginjal pada sindrom nefrotik anak adalah

- Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum

dalam plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun

- Sindrom nefrotik resisten steroid

- Sindrom nefrotik dependen steroid

KOMPLIKASI

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau

sebagai akibat pengobatan.

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis

Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :

a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :

Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti

antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa antiplasmin.

Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui tromboksan A2,

meningkatnya sintesis protein pro-koagulan karena hiporikia dan tertekannya

fibrinolisis.

b. Aktivasi sistem homeostatis di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan

monosit dan oleh paparan matriks subendotelial pada kapiler glomerolus yang

selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2. Perubahan hormon dan mineral

Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya

globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien SN dan laju

ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.

3. Malnutrisi

4. Infeksi

Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :

a. Kadar immunoglobulin yang rendah

b. Defisiensi protein secara umum

c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri

d. Hipofungsi limfa

47

Page 48: PK 1

e. Akibat pengobatan imunosupresif

5. Peritonitis

6. Infeksi Kulit

7. Anemia

8. Gangguan tubulus renal

PROGNOSIS SINDROM NEFROTIK

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6

tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar ( + 80% ) sindrom nefrotik primer memberi respon

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya

akan relaps berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan

steroid.

48

Page 49: PK 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res 2005;122:13-28.

2. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2004. h. 381-426.

3. Clark AG, Barrat TM. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Barrat TM, Avner ED, Harmon WE, penyunting. Pediatric Nephrology, Edisi 4. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins 1999:731-47.

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1.

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi 2.

6. ISKDC. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis. Kidney Int 1978;13:159-65.

7. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nephrotic syndrome. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edsis ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.h.1753-8.

8. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008

9. Gandasoebrata, R., 2004. Penuntun Laboratorium Klinik. s.l.:Dian Rakyat.

10. Hodson EM. Pathophisiology and management of idiopathic nephrotic syndrome in children. Naskah lengkap KONIKA 12, Denpasar, 30 Juni-4 Juli 2002.

11. Gipson DS, Massengill SF, Yao L, Nagaraj S, Soyer WE, Mahan JD, dkk.

49

Page 50: PK 1

Management of childhood onset nephrotic syndrome. Pediatrics 2009;124:747-57.

12. Ruth EM, Kemper MJ, Leumann EP, Laube GF, Neuhaus TJ. Children with steroid-sensitive nephrotic syndrome come of age: long term outcome. J Pediatr 2005;147:202-7.

13. Haycock G. The child with idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Webb N, Postlethwaite RJ. Clinical paediatric nephrology. Edisi.3. New York: Oxford United Press. 2003:341-66.

14. Consensus statement on management of steroid sensitive nephrotic syndrome. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Indian Pediatrics 2001;38:975-86.

50