Upload
lamthuy
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PETANI
DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Clara Dhika Ninda Natalia
091224066
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PETANI
DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Clara Dhika Ninda Natalia
091224066
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PETANI
DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Clara Dhika Ninda Natalia
091224066
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal 3 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
SKRIPSI
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PETANI
DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Clara Dhika Ninda Natalia
091224066
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 17 Desember 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih .................................
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. .................................
Anggota 1 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. .................................
Anggota 2 : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. .................................
Anggota 3 : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. .................................
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Rohandi, Ph.D.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO
“Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam
kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.”
(Yohanes 1:4-5)
“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang.”
(Amsal 23:18)
“Melangkah di bawah mentari yang sama. Mencari tempat kita di masa depan. Berjanji kita
tak akan putus asa, walaupun semua tak kan mudah.”
(Nidji – Di atas awan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Persembahan
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menjadi terang dan sumber
ketenangan dalam setiap jengkal dan langkah hidupku.
2. Kedua orang tuaku, Bapak Gregorius Sutamta dan Ibu Caecilia Dwi Ana
Murtiningsih yang penuh cinta dan kasih sayang senantiasa membimbing,
memberikan motivasi, arahan, nasihat, serta doa bagi penulis selama ini.
3. Kekasihku, Yakobus Wijang Wijanarko yang dengan setia dan penuh cinta
menemani juga memberi warna bagi perjalanan hidupku.
4. Teman seperjuanganku, Valentina Tris Marwati, Katarina Yulita Simanulang,
Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara, terima kasih atas pengalaman
dan kebersamaan kalian, lengkap dengan suka dan duka dalam penyusunan skripsi
ini.
5. Sahabat terbaik, Agnes Surianingtyas, Silvia Erawati, Dominika Restu
Sekaringtyas, Kandi Antika Metasari, Indah Purnamasari, Wiwin Swandari,
Roland Kadhafi, Cornelius Ardiyanto Wibowo, terima kasih atas persahabatan yang
penuh cerita dan cinta selama ini.
6. Teman dan sahabat PBSI, terima kasih telah memberi nuansa yang berbeda dalam
perjalanan yang kutempuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Penulis
Clara Dhika Ninda Natalia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Clara Dhika Ninda Natalia
Nomor Mahasiswa : 091224066
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK
DALAM RANAH KELUARGA PETANI
DI KABUPATEN BANTUL YOGYAKARTA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 17 Desember 2013
Yang menyatakan
(Clara Dhika Ninda Natalia)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
dalam Ranah Keluarga Petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta.
SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam
ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tujuan penelitian ini
adalah: (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang
menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga
petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian
ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural
dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Metode pengumpulan
data dalam penelitian ini meliputi, pertama metode simak dengan teknik rekam
dan catat. Kedua, metode cakap dengan menggunakan teknik pancing. Kemudian,
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara
(daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan
bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Dalam menganalisis data, peneliti
menggunakan metode kontekstual, yakni dengan mendeskripsikan dimensi-
dimensi konteks dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diinventarisasi,
diidentifikasi, dan diklasifikasi.
Simpulan hasil penelitian ini adalah: (1) wujud ketidaksantunan linguistik
yang ditemukan dalam interaksi antaranggota keluarga petani di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta berupa tuturan lisan tidak santun, yakni dalam kategori
melanggar norma (subkategori menentang, menolak, kesal, marah), mengancam
muka sepihak (subkategori menyindir, marah, memerintah, kecewa, menanyakan,
mengancam, dan menegaskan), melecehkan muka (subkategori kesal, mengejek,
menolak, menyindir, marah, menyarankan, dan menanyakan), menghilangkan
muka (subkategori menyindir, mengejek, kesal, dan menegaskan), serta
menimbulkan konflik (subkategori marah, kesal, menyepelekan, menyindir, dan
menolak). Sementara itu, wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara
penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak santun tersebut, (2) penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada tutur,
pilihan kata (diksi), dan penggunaan kata fatis. Adapun penanda ketidaksantunan
pragmatik dilihat berdasarkan uraian konteks yang melingkupi tuturan, meliputi
penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk
tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal, dan (3) maksud
ketidaksantunan yang ditemukan antara lain maksud kesal, bercanda, memberi
informasi, menolak, marah, protes, menyindir, menakut-nakuti, mengusir,
menyimpulkan, menanyakan, memberi saran, merahasiakan, membela diri,
memerintah, menagih, mengejek, dan meminta bantuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Natalia, Clara Dhika Ninda. 2013. Impoliteness of Linguistics and Pragmatics in
the domain of Farmer’s Family in Bantul Regency Yogyakarta. Thesis.
Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed impoliteness of linguistics and pragmatics in
farmer’s family in Bantul Regency Yogyakarta. This research aimed: (1) to
describe the forms of impoliteness language of linguistics and pragmatics, (2) to
describe the signs of impoliteness language of linguistics and pragmatics, and (3)
to describe the intentions that provided the basis for the use of impoliteness’
forms in farmer’s family in Bantul Regency, Yogyakarta.
Type of this reseach is descriptive qualitative. The data of this research
is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in
conversation practices in family domain. The method is first, tapping method by
record and note. Second, elicitation method by interview. Instruments that are
used in this research are interview (question list, elicitation, and cases list) and
observation form with impoliteness language theory. To analyze the data, this
research uses contextual method, by describing context’s dimensions in interpret
the data that are succesful being inventoryed, identified, and classified.
The results in this research are: (1) the forms of linguistics’ impoliteness
that are found in the interactions between members of family farmer’s in Bantul
Regency, Yogyakarta are in the form of impolite oral speech, that in this category
are break the norm (subcategory oppose, refuse, annoy, and angry), face-threaten
(subcategory tease, angry, order, disappoint, ask, threaten, and insist), face-
aggravate (subcategory annoy, mock, refuse, tease, angry, suggest, and ask), face-
loss (subcategory tease, mock, annoying, and insist), as well as cause conflict
(subcategory angry, annoy, ignore, tease, and refuse). While, form of pragmatics’
impoliteness related with the way the speakers speech impolite, (2) the signs of
linguistics’ impoliteness can be seen by intonations, stress, tone, diction, and
particles. While, the signs of pragmatics’ impoliteness can be seen by speech
context covers speakers and receivers, context of situation, purpose of speech,
verbal act, and perlocutionary act, as well as (3) impoliteness’ intentions that is
found such as annoying, just kidding, give informations, refuse, angry, protest,
tease, frighten, expel, conclude, ask, give suggestion, keep secret, defend, order,
demand fulfillment, mock, and asking for help.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
kasih dan karya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga Petani di
Kabupaten Bantul Yogyakarta dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak
lepas dari bantuan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma.
2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang penuh
pengertian dan kesabaran senantiasa memberi bimbingan, nasihat, motivasi,
dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
selalu mendukung, memberi pengalaman, dan pengarahan yang sangat
berguna bagi perkembangan penulis selama proses perkuliahan.
7. Sdr. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretariat Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang selalu memberikan kemudahan bagi
penulis dalam pelayanan administrasi selama penyusunan skripsi.
8. Pemerintah Kabupaten Bantul yang telah memberikan izin penelitian kepada
penulis selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
9. Bapak Gregorius Sutamta dan Ibu Caecilia Dwi Ana Murtiningsih, selaku
orang tua penulis yang penuh kesetiaan, cinta, dan kasih sayangnya tulus
memberikan motivasi, arahan, bimbingan, dan doa bagi penulis selama ini.
10. Yakobus Wijang Wijanarko, yang dengan setia menemani dan memberi
ketenangan hati bagi penulis selama ini.
11. Teman seperjuangan, Valentina Tris Marwati, Katarina Yulita Simanulang,
Catarina Erni Riyanti, dan Nuridang Fitra Nagara terima kasih atas
kebersamaan, pengalaman, dan perjuangan yang penuh suka duka dalam
penyusunan skripsi ini.
12. Agatha Wahyu Wigati, Mikael Jati Kurniawan, Ambrosius Bambang
Sumarwanto, Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Yuli Astuti,
Bernadetha Setya Febriyanti, Risa Ferina Setyorini, Ade Henta Hermawan,
Yudha Hening Pinandhito, Ignatius Satrio Nugroho, dan semua sahabat PBSI
angkatan 2009, terima kasih atas kebersamaan dan pengalaman yang penuh
warna warni dalam berproses di Sanata Dharma.
13. Warga Kabupaten Bantul yang bersedia menjadi sumber data dalam
penelitian ini.
14. Semua pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pragmatik.
Yogyakarta, 17 Desember 2013
Penulis
Clara Dhika Ninda Natalia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ..................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................................ viii
ABSTRACT ....................................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN .......................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 7
1.5 Batasan Istilah ..................................................................................................... 7
1.6 Sistematika Penyajian ........................................................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................................... 10
2.1 Penelitian yang Relevan ....................................................................................... 10
2.2 Pragmatik .............................................................................................................. 16
2.3 Fenomena Pragmatik ............................................................................................ 17
2.3.1 Praanggapan ............................................................................................... 18
2.3.2 Tindak Tutur ............................................................................................... 18
2.3.3 Implikatur ................................................................................................... 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.3.4 Deiksis ........................................................................................................ 21
2.3.5 Kesantunan Berbahasa ............................................................................... 22
2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa ....................................................................... 24
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan .................................................................................. 25
2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts .......................................................................................................... 25
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi.............. 27
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ................... 28
2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ................ 30
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ............... 31
2.5 Konteks .................................................................................................................. 33
2.6 Unsur Segmental .................................................................................................... 42
2.6.1 Diksi .......................................................................................................... 43
2.6.2 Gaya Bahasa .............................................................................................. 49
2.6.3 Kata Fatis .................................................................................................. 49
2.7 Unsur Suprasegmental ........................................................................................... 52
2.7.1 Intonasi ...................................................................................................... 52
2.7.2 Tekanan ..................................................................................................... 53
2.7.3 Nada .......................................................................................................... 53
2.8 Teori Maksud ....................................................................................................... 54
2.9 Kerangka Berpikir ................................................................................................. 56
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................. 58
3.1 Jenis Penelitian ...................................................................................................... 58
3.2 Data dan Sumber Data ........................................................................................... 59
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 60
3.4 Instrumen Penelitian .............................................................................................. 61
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ......................................................................... 62
3.6 Sajian Hasil Analisis Data ..................................................................................... 64
3.7 Trianggulasi Data ................................................................................................. 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................... 65
4.1 Deskripsi Data ....................................................................................................... 65
4.1.1 Melanggar Norma ......................................................................................... 67
4.1.2 Mengancam Muka Sepihak .......................................................................... 68
4.1.3 Melecehkan Muka ........................................................................................ 68
4.1.4 Menghilangkan Muka ................................................................................... 70
4.1.5 Menimbulkan Konflik .................................................................................. 71
4.2 Analisis Data ....................................................................................................... 71
4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ........................................... 73
4.2.1.1 Subkategori Menentang ................................................................. 73
4.2.1.2 Subkategori Menolak ..................................................................... 75
4.2.1.3 Subkategori Kesal ......................................................................... 78
4.2.1.4 Subkategori Marah ....................................................................... 79
4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ............................ 81
4.2.2.1 Subkategori Menyindir .................................................................. 81
4.2.2.2 Subkategori Marah ........................................................................ 83
4.2.2.3 Subkategori Memerintah .............................................................. 85
4.2.2.4 Subkategori Kecewa ..................................................................... 88
4.2.2.5 Subkategori Menanyakan ............................................................. 89
4.2.2.6 Subkategori Mengancam .............................................................. 90
4.2.2.7 Subkategori Menegaskan .............................................................. 92
4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka .......................................... 93
4.2.3.1 Subkategori Kesal .......................................................................... 93
4.2.3.2 Subkategori Mengejek ................................................................... 96
4.2.3.3 Subkategori Menolak ..................................................................... 98
4.2.3.4 Subkategori Menyindir .................................................................. 101
4.2.3.5 Subkategori Marah ........................................................................ 103
4.2.3.6 Subkategori Menyarankan ............................................................ 106
4.2.3.7 Subkategori Menanyakan ............................................................. 108
4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ..................................... 110
4.2.4.1 Subkategori Menyindir ................................................................. 110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
4.2.4.2 Subkategori Mengejek .................................................................. 112
4.2.4.3 Subkategori Kesal ......................................................................... 115
4.2.4.4 Subkategori Menegaskan .............................................................. 118
4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik .................................... 119
4.2.5.1 Subkategori Marah ........................................................................ 119
4.2.5.2 Subkategori Kesal ......................................................................... 121
4.2.5.3 Subkategori Menyepelekan ........................................................... 124
4.2.5.4 Subkategori Menyindir ................................................................. 126
4.2.5.5 Subkategori Menolak .................................................................... 128
4.3 Pembahasan ........................................................................................................ 129
4.3.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma ........................................... 130
4.3.1.1 Subkategori Menentang ................................................................. 130
4.3.1.2 Subkategori Menolak ..................................................................... 137
4.3.1.3 Subkatgeori Kesal .......................................................................... 142
4.3.1.4 Subkategori Marah ........................................................................ 145
4.3.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak ............................ 148
4.3.2.1 Subkategori Menyindir .................................................................. 148
4.3.2.2 Subkategori Marah ........................................................................ 153
4.3.2.3 Subkategori Memerintah ............................................................... 157
4.3.2.4 Subkategori Kecewa ...................................................................... 160
4.3.2.5 Subkategori Menanyakan .............................................................. 162
4.3.2.6 Subkategori Mengancam ............................................................... 164
4.3.2.7 Subkategori Menegaskan ............................................................... 166
4.3.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka .......................................... 169
4.3.3.1 Subkategori Kesal .......................................................................... 170
4.3.3.2 Subkategori Mengejek ................................................................... 174
4.3.3.3 Subkategori Menolak ..................................................................... 178
4.3.3.4 Subkategori Menyindir .................................................................. 182
4.3.3.5 Subkategori Marah ........................................................................ 185
4.3.3.6 Subkategori Menyarankan ............................................................. 189
4.3.3.7 Subkategori Menanyakan .............................................................. 192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.3.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka ..................................... 194
4.3.4.1 Subkategori Menyindir .................................................................. 195
4.3.4.2 Subkategori Mengejek ................................................................... 199
4.3.4.3 Subkategori Kesal .......................................................................... 203
4.3.4.4 Subkategori Menegaskan ............................................................... 206
4.3.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik .................................... 209
4.3.5.1 Subkategori Marah ........................................................................ 209
4.3.5.2 Subkategori Kesal ......................................................................... 213
4.3.5.3 Subkategori Menyepelekan ........................................................... 217
4.3.5.4 Subkategori Menyindir .................................................................. 220
4.3.5.5 Subkategori Menolak ..................................................................... 223
BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 227
5.1 Simpulan ............................................................................................................. 227
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan ............................................................................ 227
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan .......................................................................... 227
5.1.2.1 Melanggar Norma ......................................................................... 228
5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak ........................................................... 228
5.1.2.3 Melecehkan Muka ......................................................................... 229
5.1.2.4 Menghilangkan Muka ................................................................... 229
5.1.2.5 Menimbulkan Konflik ................................................................... 230
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan .......................................................................... 231
5.2 Saran ................................................................................................................... 232
5.2.1 Bagi Keluarga ............................................................................................ 232
5.2.2 Bagi Penelitian Lanjutan ........................................................................... 233
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 234
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 236
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Berpikir ................................................................................................. 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan......................... 65
Tabel 2 Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori Ketidaksantunan.... 66
Tabel 3 Data Tuturan Melanggar Norma....................................................................... 67
Tabel 4 Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak......................................................... 68
Tabel 5 Data Tuturan Melecehkan Muka....................................................................... 69
Tabel 6 Data Tuturan Menghilangkan Muka................................................................. 70
Tabel 7 Data Tuturan Menimbulkan Konflik................................................................. 71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa
orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu saling berinteraksi satu sama
lain. Manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan
sesuatu yang terlintas dalam hati. Namun, lebih jauh lagi bahasa merupakan alat
untuk berinteraksi atau berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan
gagasan, pikiran, konsep atau perasaan. Chaer (2011:1) mendefinisikan bahasa
sebagai suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu
masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik.
Perkembangan linguistik sangat pesat. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi
satu aspek saja. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar yaitu
mikrolinguistik dan makrolinguistik (Nikelas, 1988:14). Mikrolinguistik adalah
bidang yang mengkaji bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan
makrolinguistik mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di
luar bahasa. Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang lain,
seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Linguistik ditinjau dari faktor-faktor di luar bahasa memiliki beberapa
cabang. Salah satunya yaitu ilmu pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu yang
mempelajari penggunaan bahasa sesuai konteks situasi tuturan. Rahardi (2003:16)
mengemukakan bahwa ilmu pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur
di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Pragmatik
mengkaji satuan lingual tertentu secara eksternal. Makna yang dikaji dalam
pragmatik bersifat terikat konteks dan bertujuan untuk memahami maksud
penutur. Sejalan dengan pengertian tersebut, banyak hal menarik untuk dikaji
lebih mendalam, khususnya berkaitan dengan bidang kajian pragmatik yaitu
kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa.
Berbahasa itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu bahasa lisan dan
bahasa tulis. Bahasa lisan atau yang sering diucapkan dianggap utama di dalam
bahasa karena lambang yang digunakan berupa bunyi. Fungsi bahasa yang
terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam
kehidupan bermasyarakat (Chaer, 2011:2). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa
setiap individu menggunakan bahasa dengan tujuan tertentu. Salah satunya untuk
menyampaikan maksud kepada orang lain.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat
istiadat, agama, latar belakang sosial, dan profesi yang beragam, sudah tentu
memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda pula ketika berkomunikasi.
Ada yang mampu bertutur kata secara halus dengan maksud yang jelas sehingga
membuat orang lain berkenan. Namun, tidak sedikit yang kurang memperhatikan
tuturan ketika berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja belum cukup
ketika seseorang berkomunikasi. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu
diperhatikan yaitu kesantunan. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa
yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar
atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Selain bahasa yang santun, dibutuhkan pula
mimik, gerak-gerik tubuh, sikap atau perilaku untuk mendukung pengungkapan
kepribadian seseorang. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik
yang sudah banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti.
Kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak
menyinggung perasaan orang lain. Sementara itu, ketidaksantunan berbahasa
merupakan kajian pragmatik baru yang dipahami sebagai penggunaan bahasa
yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Fenomena
pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan bermanfaat banyak
bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.
Ketidaksantunan berbahasa dapat dikaji dalam berbagai ranah, yaitu
pendidikan, keluarga, dan agama. Ranah keluarga merupakan salah satu bidang
kajian yang menarik untuk diteliti, karena kemampuan berbahasa seseorang tentu
berawal dari kebiasaan berbahasa di dalam keluarganya. Sebagaimana sudah
dipaparkan sebelumnya bahwa setiap individu memiliki kemampuan dan
karakteristik tersendiri ketika berkomunikasi. Oleh karena itu, kebahasaan yang
mereka gunakan tentu akan berbeda.
Strata sosial dalam masyarakat turut mempengaruhi kebahasaan ketika
berkomunikasi. Strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
masyarakat (Bungin, 2006:49). Secara umum, strata sosial dalam masyarakat
memunculkan kelas-kelas sosial yang terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu atas
(upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower class). Kelas atas
mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas
menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan,
pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok
pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya (Bungin, 2006:49-50).
Keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan
berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga dengan status sosial rendah.
Selain strata sosial yang ada dalam masyarakat, perkembangan zaman
sudah tentu turut mempengaruhi kebahasaan seseorang ketika berkomunikasi.
Terlebih ketika profesi tertentu mengakibatkan sifat individualis semakin
menjamur di kalangan masyarakat. Harapan untuk dapat berbahasa secara santun
nampaknya akan sulit terwujud jika bertegur sapa saja menjadi aktivitas yang
langka dijumpai dalam masyarakat individualis. Fenomena kebahasaan yang
terjadi dalam setiap keluarga tentu berbeda-beda. Fenomena kebahasaan dalam
keluarga petani yang sebagian besar masih hidup dalam kesederhanaan dan
tinggal di wilayah yang jauh dari keramaian kota tentu berbeda jika dibandingkan
dengan kebahasaan dalam komunikasi keluarga di lingkungan kraton, keluarga
pendidik, keluarga pedagang, dan lainnya.
Petani merupakan salah satu mata pencaharian yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk bercocok tanam di sawah atau ladang. Ketika
melakukan aktivitas bercocok tanam, sudah tentu terjadi sebuah komunikasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
antara petani yang satu dengan petani yang lain. Mereka akan saling bertegur
sapa, membantu menggarap sawah, melakukan perbincangan, bahkan bergurau.
Kebahasaan dalam komunikasi yang terjadi mungkin ditandai dengan suara yang
keras, penggunaan bahasa daerah yang masih khas, dan percakapan yang akrab
atau terdengar ramah. Oleh karena keakraban yang terjalin setiap kali beraktivitas,
memungkinkan timbulnya bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam berbahasa.
Penggunaan bahasa demikian dengan sendirinya akan terbawa dalam komunikasi
di dalam keluarga masing-masing.
Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kabupaten Bantul merupakan
kawasan yang identik dengan persawahan. Letak geografis yang demikian tentu
menandakan bahwa sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai
petani, baik sebagai pemilik sawah itu sendiri maupun petani sebagai penggarap
sawah milik orang lain. Oleh karena itu, Kabupaten Bantul menjadi daya tarik
tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam bagaimana ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani. Bertolak dari latar belakang
masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1) Wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
terdapat dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta?
2) Penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang
digunakan dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul,
Yogyakarta?
3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk
kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul,
Yogyakarta.
3) Mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-
bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga petani di
Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai
pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Manfaat teoretis
a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
ilmu bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.
b) Berbagai kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat
memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang
ketidaksantunan dalam bahasa sebagai fenomena pragmatik baru.
2) Manfaat praktis
a) Penelitian ini dapat digunakan oleh para penutur dalam ranah
keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan
berbahasa yang harus dihindari dalam berkomunikasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter
dalam lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting
yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.
1.5 Batasan Istilah
1) Ketidaksantunan berbahasa
Struktur bahasa penutur yang tidak berkenan di hati mitra tutur.
2) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (Depdiknas, 2008:832).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
3) Pragmatik
Ilmu pragmatik adalah ilmu yang mengkaji maksud penutur di dalam
konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu (Rahardi, 2003:16).
4) Ketidaksantunan linguistik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek linguistik suatu
tuturan.
5) Ketidaksantunan pragmatik
Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang
menyertai suatu tuturan.
6) Keluarga
Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi
tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat
(Depdiknas, 2008:659).
7) Petani
Orang yang pekerjaannya bercocok tanam (Depdiknas, 2008:1400).
8) Keluarga Petani
Satuan kekerabatan terkecil dalam masyarakat yang pekerjaannya
bercocok tanam.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian yang mengkaji ketidaksantunan linguistik dan pragmatik ini
terdiri dari lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah,
dan sistematika penyajian.
Bab II berisi kajian pustaka yang digunakan untuk menganalisis dan
membahas masalah-masalah yang diteliti, yaitu tentang ketidaksantunan
berbahasa. Teori-teori yang dikemukakan dalam Bab II ini adalah teori tentang (1)
penelitian-penelitian yang relevan, (2) teori pragmatik, (3) fenomena pragmatik,
(4) teori ketidaksantunan, (5) teori mengenai konteks, (6) unsur segmental, (7)
unsur suprasegmental, (8) teori maksud, dan (9) kerangka berpikir.
Bab III adalah metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam Bab III diuraikan (1)
jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode dan teknik pengumpulan
data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil
analisis data, dan (7) trianggulasi data.
Bab IV berisi uraian tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Lebih lanjut lagi pada Bab V yang berisi kesimpulan
penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian
ketidaksantunan berbahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian tentang penelitian yang relevan, landasan teori, dan
kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik
sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi teori-teori
yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori
pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan berbahasa, konteks, unsur
segmental, unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi
tentang acuan teori yang digunakan dalam penelitian ini dengan berpijak pada
penelitian terdahulu yang relevan dan digunakan untuk menjawab rumusan
masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa merupakan kajian
pragmatik baru yang belum banyak diteliti dan dikaji oleh para peneliti bahasa.
Oleh karena itu, penelitian pragmatik yang mengkaji ketidaksantunan berbahasa
masih sangat terbatas. Sebaliknya, untuk penelitian pragmatik yang mengkaji
tentang kesantunan berbahasa sudah banyak ditemukan oleh para peneliti. Pada
penelitian ini, peneliti mencantumkan beberapa penelitian ketidaksantunan
berbahasa sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang
ketidaksantunan berbahasa tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh
Elizabeth Rita Yuliastuti (2013), Caecilia Petra Gading May Widyawari (2013),
Olivia Melissa Puspitarini (2013), dan Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Rita Yuliastuti (2013) berjudul
Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di
SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini
merupakan kajian yang membahas wujud ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik berbahasa antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa,
dan mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh guru
maupun siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan
metode simak dan metode cakap. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan
lisan yang tidak santun antara guru dan siswa. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode analisis kontekstual. Adapun hasil dari penelitian ini adalah
pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan
yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka,
memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan
muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan
uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak
verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan
diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1)
melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga
melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat
bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur
yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur
bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut
dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5)
menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak
orang.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Caecilia Petra Gading May
Widyawari (2013) yang berjudul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009—2011
Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik
dan pragmatik berbahasa yang dituturkan antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma. Sumber data penelitian ini
adalah mahasiswa PBSID angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian
ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang
digunakan antarmahasiswa PBSID Angkatan 2009—2011 di Universitas Sanata
Dharma. Instrumen penelitian berupa panduan wawancara (daftar pertanyaan),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
pertanyaan pancingan, dan pernyataan kasus. Metode pengumpulan data yakni,
pertama metode simak dengan teknik dasar berupa teknik sadap dan teknik
lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik cakap, kedua metode cakap
dengan teknik dasar berupa teknik pancing dan dua teknik lanjutan berupa teknik
lanjutan cakap semuka dan tansemuka. Beberapa teknik tersebut diwujudkan
dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasi. Simpulan
hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan simpulan hasil penelitian Elizabeth
Rita Yuliastuti (2013), yakni (1) wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat
dari tuturan antarmahasiswa yang terdiri dari melecehkan muka, sembrono,
mengancam muka, dan menghilangkan muka. Lalu wujud ketidaksantunan
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana,
tindak verbal, tindak perlokusi dan tujuan tutur), (2) penanda ketidaksantunan
linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda
ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa
penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tindak verbal, tindak perlokusi, dan
tujuan tutur, dan (3) makna ketidaksantunan berbahasa yaitu: a) melecehkan
muka, ejekan penutur kepada mitra tutur dan dapat melukai hati, b) memain-
mainkan muka, membingungkan mitra tutur dan itu menjengkelkan, c)
kesembronoan, bercanda yang menyebabkan konflik, d) menghilangkan muka,
mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka,
menyebabkan ancaman pada mitra tutur.
Peneliti berikutnya yang mengkaji tentang ketidaksantunan berbahasa
adalah Olivia Melissa Puspitarini (2013) dengan judul Ketidaksantunan Linguistik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
dan Pragmatik Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID,
FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Penelitian ini membahas ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik antara dosen dan mahasiswa Program Studi PBSID,
USD, angkatan 2009—2011. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Olivia Melissa
Puspitarini (2013) ini serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu deskriptif
kualitatif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
simak dan metode cakap dengan instrumen berupa panduan wawancara, daftar
pertanyaan pancingan, dan daftar kasus. Analisis data dilakukan dengan analisis
kontekstual. Hasil dari penelitian ini juga serupa dengan penelitian sebelumnya,
yakni pertama, wujud ketidaksantunan linguistik berdasarkan tuturan lisan dan
wujud ketidaksantunan pragmatik berbahasa yaitu uraian konteks tuturan tersebut.
Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik yaitu nada, intonasi, tekanan, dan
diksi, serta penanda pragmatik yaitu konteks yang menyertai tuturan yakni
penutur, mitra tutur, situasi, dan suasana. Ketiga, makna ketidaksantunan
linguistik dan pragmatik berbahasa meliputi 1) melecehkan muka yakni penutur
menyindir atau mengejek mitra tutur, 2) memainkan muka yakni penutur
membuat jengkel dan bingung mitra tutur, 3) kesembronoan yang disengaja yakni
penutur bercanda kepada mitra tutur dan mitra tutur terhibur namun candaan
tersebut dapat menimbulkan konflik bila candaan tersebut ditanggapi secara
berlebihan, 4) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di
depan banyak orang, dan 5) mengancam muka yakni penutur memberikan
ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Agustina Galuh Eka Noviyanti (2013) juga melakukan penelitian tentang
ketidaksantunan berbahasa dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun
Ajaran 2012/2013. Jenis penelitian yang dilakukan oleh Agustina Galuh Eka
Noviyanti (2013) ini serupa dengan ketiga penelitian sebelumnya, yaitu penelitian
deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik sadap dan teknik
pancing, dengan instrumen berupa pedoman atau panduan wawancara (daftar
pertanyaan), pancingan, daftar kasus, dan peneliti sendiri. Data dalam penelitian
ini dianalisis dengan menggunakan metode kontekstual. Penelitian ini menjawab
tiga masalah tentang (a) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik
berbahasa apa saja yang digunakan oleh antarsiswa di SMA Stella Duce 2
Yogyakarta, (b) penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa apa
saja yang digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta, dan (c) apakah
makna penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang
digunakan antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
Beberapa penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji tentang
ketidaksantunan berbahasa. Hasil dari penelitian tersebut mendeskripsikan wujud,
penanda, dan makna ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa.
Keempat penelitian di atas dapat dijadikan acuan dan pijakan dalam mengkaji
fenomena pragmatik baru, yaitu ketidaksantunan berbahasa yang memang belum
banyak dikaji oleh para peneliti bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2.2 Pragmatik
Pragmatik sebagai sebuah ilmu bahasa memiliki peranan yang besar
dalam penggunaan bahasa pada masyarakat. Secara singkat telah dipaparkan pada
bagian awal bahwa pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari penggunaan
bahasa sesuai konteks. Selain memahami maksud yang disampaikan oleh orang
lain, seseorang juga harus melibatkan kepekaannya dalam memahami situasi dan
kondisi lawan tutur. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam sebuah percakapan.
Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh
Wahyuni (2006:3-4) dengan judul Pragmatik memaparkan empat ruang lingkup
pragmatik sebagai berikut. Pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga,
pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan
daripada yang dituturkan. Terakhir, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari
jarak hubungan.
Definisi lain dipaparkan oleh Levinson (1983) via Nadar (2009:4)
tentang pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang
tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa. Jacob L. Mey (1983)
via Rahardi (2003:15) juga mendefinisikan pragmatik sebagai berikut.
‘Pragmatics is the study of the conditions of human language uses as these are
determined by the context of society’. Sesungguhnya, pragmatik adalah ilmu
bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa yang pada dasarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
selalu ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan kebudayaan
yang melatarbelakanginya.
Pemahaman tentang pragmatik lainnya juga dikemukakan oleh Huang
(2007:2) sebagai berikut ‘Pragmatics is the systematic study of meaning by virtue
of, or dependent on, the use of language. The central topics of inquiry of
pragmatics include implicature, presupposition, speech acts, and deixis’. Jadi,
pragmatik adalah studi sistematis makna berdasarkan atau yang tergantung pada
penggunaan bahasa. Topik utama penyelidikan pragmatik meliputi implikatur,
presuposisi, tindak tutur, dan deiksis. Selain itu, dijelaskan pula ‘Pragmatics is the
study of linguistic acts and the contexts in which they are performed’ (Huang,
2007:2) yang dapat dipahami bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari
tentang perilaku linguistik dan konteksnya ketika keduanya digunakan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik
adalah ilmu yang mengkaji pengguaan bahasa sesuai dengan konteks situasi yang
melatarbelakangi bahasa tersebut. Pragmatik adalah studi tentang maksud dan
makna yang disampaikan oleh penutur dengan melihat situasi dan kondisi
terjadinya tuturan. Hal tersebut perlu diperhatikan agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam sebuah komunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa
pragmatik bersifat terikat konteks.
2.3 Fenomena Pragmatik
Pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai
dengan konteks situasi, mengkaji enam fenomena pragmatik, yaitu praanggapan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
tindak tutur, implikatur, deiksis, kesantunan, dan ketidaksantunan. Fenomena-
fenomena pragmatik tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
2.3.1 Praanggapan
Penyampaian pesan dari seseorang kepada orang yang lain tentu
dilakukan melalui komunikasi. Ketika terjadi sebuah komunikasi, seringkali
seorang penutur menganggap informasi tertentu sudah diketahui oleh mitra
tuturnya. Oleh karena informasi tertentu itu dianggap sudah diketahui, informasi
yang demikian biasanya tidak akan dinyatakan dan akibatnya akan menjadi bagian
dari apa yang disampaikan tetapi tidak dikatakan.
Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai
kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan (Yule, 2006:43-52). Yule membagi
presupposisi menjadi 6 jenis yaitu, presupposisi eksistensial, presupposisi faktif,
presupposisi non-faktif, presupposisi leksikal, presupposisi struktural, dan
presupposisi konterfaktual.
2.3.2 Tindak Tutur
Melalui sebuah tuturan, seseorang tidak hanya menghasilkan tuturan
yang mengandung kata-kata saja, tetapi juga dapat memperlihatkan tindakan-
tindakan melalui tuturan tersebut. Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat
tuturan disebut tindak tutur (Yule, 2006:82). Pada suatu saat, tindakan yang
ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak
yang saling berhubungan. Pertama adalah tindak lokusi yang berupa rentetan atau
deretan bunyi yang membentuk struktur tuturan/kalimat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Tuturan-tuturan yang kita hasilkan tentu terbentuk untuk mencapai
sebuah tujuan. Seseorang membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam
pikiran. Inilah yang dimaksud dengan tindak ilokusi. Tindak ilokusi ditampilkan
melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Tuturan-tuturan tersebut dapat
berupa pernyataan, tawaran, penjelasan atau maksud-maksud komunikatif lainnya.
Seorang penutur tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang
memiliki fungsi tanpa memaksudkan tuturan itu memiliki sebuah akibat. Inilah
yang dipahami dengan tindak perlokusi. Dengan bergantung pada keadaan,
penutur akan mengujarkan dengan asumsi bahwa mitra tutur akan memahami
akibat yang penutur timbulkan.
Yule (2006:92-94) mengklasifikasikan lima jenis fungsi umum yang
ditunjukkan oleh tindak tutur dan akan dipaparkan sebagai berikut. Deklarasi
merupakan jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh: Saya
nyatakan terdakwa bersalah. Pada contoh tersebut, penutur harus memiliki peran
institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi
secara tepat. Saat menggunakan deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-
kata.
Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini
penutur kasus atau bukan. Contoh: Bumi itu bulat. Representatif memuat
pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Saat
menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokan kata-kata dengan dunia
(kepercayaannya).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Jenis tindak tutur selanjutnya yaitu ekspresif, berupa pernyataan yang
dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan
psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan,
kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh: Sungguh, saya tidak suka dia
datang. Penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).
Direktif merupakan jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa
yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan,
permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan
negatif. Contoh: Jangan memegang itu!
Jenis tindak tutur yang terakhir adalah komisif, yang dipahami oleh
penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan
datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur.
Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan dapat
ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok. Contoh:
Saya tidak akan melakukan itu.
2.3.3 Implikatur
Yule (2006:61-62) memberikan penjelasan bahwa ketika seseorang
mendengarkan sebuah ujaran, dia harus berasumsi bahwa penutur sedang
melaksanakan kerja sama dan bermaksud menyampaikan informasi. Informasi
tersebut tentunya memiliki makna lebih banyak dari kata-kata yang dituturkan.
Makna ini merupakan makna tambahan yang dikenal dengan istilah implikatur.
Implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
daripada yang dikatakan. Supaya implikatur-implikatur tersebut dapat ditafsirkan,
maka beberapa prinsip kerja sama dasar harus lebih dini diasumsikan dalam
pelaksanaannya.
Konsep tentang adanya sejumlah informasi yang diharapkan terdapat
dalam suatu percakapan hanya merupakan satu aspek gagasan yang lebih umum
bahwa orang-orang yang terlibat dalam suatu percakapan akan bekerja sama satu
sama lain. Asumsi kerja sama dapat dinyatakan sebagai suatu prinsip kerja sama
percakapan dan dapat dirinci ke dalam empat sub-prinsip, yang disebut dengan
maksim. Yule (2006:69-80) membedakan implikatur menjadi lima macam, yaitu
implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur berskala,
implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.
2.3.4 Deiksis
Yule (1996) dalam bukunya Pragmatics yang diterjemahkan oleh
Wahyuni (2006:13) dengan judul Pragmatik berusaha memberi gambaran, ketika
seseorang menunjuk objek asing dan bertanya, “Apa itu?”, maka orang tersebut
menggunakan ungkapan deiksis “itu” untuk menunjuk sesuatu dalam suatu
konteks secara tiba-tiba. Deiksis dapat dipahami sebagai istilah teknis untuk salah
satu hal mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’
melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan
‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis.
Deiksis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu deiksis persona, yang artinya
ungkapan-ungkapan untuk menunjuk orang. Contoh: saya, kamu, dia. Deiksis
spasial, yang artinya ungkapan-ungkapan untuk menunjuk tempat. Contoh: di sini,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
di sana, di situ. Terakhir adalah deiksis temporal, yang artinya ungkapan-
ungkapan untuk menunjuk waktu. Contoh: sekarang, kemudian, kemarin, besok,
nanti malam. Keberhasilan sebuah interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit
banyak tergantung pada pemahaman deiksis yang digunakan oleh penutur, karena
ketika berkomunikasi seringkali lawan tutur menggunakan kata-kata yang
menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa penafsiran deiksis
tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu
mengungkapkan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang
sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu
menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan (Yule, 2006:26).
2.3.5 Kesantunan Berbahasa
Bahasa merupakan alat untuk menyampaikan maksud dari seseorang
kepada orang yang lain. Penggunaan bahasa yang santun sudah sepantasnya
diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi. Bahasa juga merupakan
cermin kepribadian seseorang. Melalui bahasa yang diungkapkan, baik verbal
maupun nonverbal akan terlihat bagaimana kepribadian seseorang yang
sesungguhnya.
Pranowo (2009:3) menjelaskan bahasa verbal adalah bahasa yang
diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan
bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak
gerik tubuh, sikap atau perilaku. Selain penggunaan bahasa yang berupa kata-kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
atau ujaran, terdapat pula bahasa nonverbal berupa mimik, gerak gerik tubuh,
sikap atau perilaku yang mendukung pengungkapan kepribadian seseorang.
Ketika berkomunikasi, selain menggunakan bahasa yang baik dan benar,
perlu diterapkan juga kesantunan dalam setiap tindak bahasa. Struktur bahasa
yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak
menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4).
Pada kenyataannya, penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan
dalam komunikasi sehari-hari. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut,
antara lain (a) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (b) ada yang
memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (c) ada
yang mahir menggunakan kaidah kesantunan dalam berbahasa, tetapi tidak
mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan, dan (d) tidak
memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir berbahasa secara santun (Pranowo,
2009:51).
Pranowo (2009:76-79) juga menjelaskan adanya dua aspek penentu
kesantunan, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan
meliputi aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara),
aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada
bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan
faktor struktur kalimat, sedangkan aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial
budaya masyarakat (misalnya aturan anak kecil yang harus selalu hormat kepada
orang yang lebih tua), pranata adat (seperti jarak bicara antara penutur dengan
mitra tutur).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
2.3.6 Ketidaksantunan Berbahasa
Permasalahan kebahasaan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan
sosial masyarakat turut memunculkan fenomena baru dalam ilmu pragmatik.
Fenomena baru tersebut adalah ketidaksantunan berbahasa. Ketidaksantunan
berbahasa muncul melihat realita yang terjadi dalam masyarakat bahwa
penggunaan bahasa santun belum banyak diterapkan dalam komunikasi sehari-
hari. Fenomena ketidaksantunan ini merupakan fenomena baru yang belum
banyak dikaji oleh para peneliti. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggung perasaan orang lain,
sedangkan ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai penggunaan bahasa yang
tidak baik, melanggar tatakrama, dan seringkali menyinggung perasaan orang lain.
Pranowo (2009:68-73) juga memaparkan fakta pemakaian bahasa yang
tidak santun sebagai berikut. Pertama, penutur menyampaikan kritik secara
langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frasa kasar. Penggunaan kata
atau frasa yang kasar dinilai tidak santun karena dapat menyinggung perasaan
mitra tutur. Kedua, penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Penutur yang
didorong rasa emosi berlebihan ketika bertutur akan mengakibatkan timbulnya
kesan marah terhadap mitra tutur. Ketiga, penutur protektif terhadap pendapatnya.
Kadang kala seorang penutur protektif terhadap pendapatnya dengan maksud agar
tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Cara yang demikian
mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun. Keempat, penutur sengaja ingin
memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Terakhir, penutur menyampaikan
tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
2.4 Teori-teori Ketidaksantunan
Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with
Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008)
seperti yang telah dibahasakan oleh Rahardi (2012) dalam presentasinya
“Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa
dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”, nampak bahwa beberapa ahli telah
menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai
ketidaksantunan berbahasa.
2.4.1 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts
Locher dan Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah
perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negative marked behavior),
karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Locher
dan Watts juga menjelaskan bahwa ketidaksantunan merupakan alat untuk
menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Lebih
lanjut lagi pandangan Locher dan Watts tentang ketidaksantunan tampak berikut
ini, ‘...impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as
much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Locher and Watts,
2008:5). Pengertian teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher dan
Watts dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Petang hari di serambi rumah, ayah, ibu, dan kakak sedang menunggu
adik pulang. Tidak lama kemudian, adik memasuki halaman rumah dan langsung
bertemu dengan ayah, ibu, dan kedua kakaknya. Dalam keluarga tersebut sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
disepakati bahwa tidak boleh terlambat saat kembali ke rumah. Jikalau terlambat,
harus dengan alasan yang jelas. Kemudian terjadilah percakapan di dalam
keluarga tersebut.
Wujud tuturan:
Adik : “Mas, bapak sama ibu nunggu aku pulang udah dari tadi to?”
Kakak 1 : “Udah hampir satu jam. Coba kamu jelasin sana kenapa bisa pulang
terlambat!”
Adik : “Oooohh..”
Kakak 2 : “Kamu nggak inget kesepakatan awal gimana? Kita harus pulang ke
rumah tepat waktu. Jangan sampe deh bapak sama ibu marah-
marah.”
Adik : “Haduhh, lupa Mas. Emangnya, Mas juga patuh sama peraturan itu?”
Kakak 1 : “Iya dong, itu kan udah jadi kesepakatan bersama.”
Dari percakapan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang disampaikan
oleh penutur (adik) saat terlambat pulang ke rumah terdengar datar tanpa rasa
bersalah. Tuturan itu mengakibatkan mitra tutur 1 (kakak 1) dan mitra tutur 2
(kakak 2) meresponnya dengan sinis dan kesal. Percakapan di atas menunjukkan
bahwa adik menghiraukan komitmen keluarga yang sudah disepakati bersama
yaitu tidak boleh terlambat pulang ke rumah. Sebaliknya, penutur (adik) tanpa
merasa bersalah menanggapi teguran mitra tutur dengan berkata Haduhh, lupa
mas. Emangnya mas juga patuh sama peraturan itu? Tuturan tersebut merupakan
tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan
keluarga yang sudah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher dan Watts (2008)
menitikberatkan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
secara normatif dianggap menyimpang, karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat (tertentu).
2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi
Terkourafi (2008:3-4) memandang ketidaksantunan sebagai,
‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to
the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-
threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku
berbahasa dalam pandangan Terkourafi akan dikatakan tidak santun bilamana
mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face
threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu
dari mitra tuturnya. Konsep tentang ketidaksantunan berbahasa ini dapat dipahami
dengan ilustrasi sebagai berikut.
Situasi:
Ibu sedang menyiapkan makan malam di dapur ketika hari mulai petang.
Pada saat yang bersamaan, ayah datang menghampiri ibu dengan tergesa-gesa.
Kemudian terjadi percakapan di antara ayah dan ibu.
Wujud tuturan:
Ayah : “Bu, baju yang kemarin ibu setrika di mana? Bapak mau arisan, sudah
ditunggu itu.” (sambil menyentuh badan ibu yang sedang sibuk
memasak)
Ibu : “Bapak ni apa to nggak usah senggal senggol, kurang kerjaan aja.”
Percakapan tersebut menunjukkan bahwa penutur (ayah) berusaha
meminta respon dari mitra tutur (ibu), akan tetapi penutur meminta respon dengan
cara yang mengakibatkan mitra tutur tidak nyaman dan merasa aktivitasnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
terganggu. Penutur sendiri tidak menyadari bahwa tuturannya mengancam mitra
tutur. Akibatnya, mitra tutur (ibu) menjawab dengan nada sinis dan kurang
bersahabat. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa mitra tutur menanggapi
perkataan penutur dengan rasa kesal. Hal tersebut dapat dilihat dari tuturan mitra
tutur sebagai berikut. Bapak ni apa to nggak usah senggal senggol, kurang
kerjaan aja.
Berdasarkan ilustrasi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008)
menitikberatkan pada bentuk penggunaan tuturan yang tidak santun oleh penutur
yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di
sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.
2.4.3 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher
Menurut pandangan Miriam A Locher (2008:3), ketidaksantunan dalam
berbahasa dapat dipahami sebagai berikut ‘impoliteness behaviour that is face-
aggravating in a particular context.’ Pandangan Locher dapat diartikan bahwa
ketidaksantunan berbahasa adalah perilaku yang memperburuk ‘muka’ pada
konteks tertentu. Ketidaksantunan itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka
(face-aggravate).
Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-
mainkan muka’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Miriam A. Locher adalah sebagai
tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks
tertentu sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu. Konsep
tentang ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat diilustrasikan dengan situasi
seperti berikut.
Situasi:
Pada sore hari di sebuah keluarga terjadi percakapan antara adik dengan
kakak. Adik mengomentari baju kakak sembari berkata demikian:
Wujud tuturan:
Adik : “Mbak, itu baju apa saringan tahu?”
Kakak : “Pancen modele kayak gini.”
Adik : “Model sih boleh ya, tapi nggak setipis saringan tahu juga kalik Mbak”.
Berdasarkan percakapan tersebut dapat dilihat bahwa penutur (adik)
bermaksud mengejek mitra tutur (kakak) dengan berkata bahwa baju yang
dikenakan kakak terlalu tipis seperti saringan tahu. Tuturan adik menandakan
bahwa terdapat tuturan tidak santun yang terjadi dalam komunikasi kebahasaan
tersebut. Meskipun maksud penutur hanya mengajak mitra tutur bergurau,
seharusnya tuturan tersebut tidak diucapkan karena dapat menyinggung perasaan
mitra tutur.
Ilustrasi di atas semakin menjelaskan teori ketidaksantunan berbahasa
dalam pandangan Locher (2008) yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk
penggunaan tuturan tidak santun dengan maksud untuk melecehkan muka atau
menghina mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
2.4.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper
Pemahaman Culpeper (2008:3) tentang ketidaksantunan berbahasa
adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicate behavior
intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’
Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’,
jika dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu sejalan dengan konsep ‘kelangan rai’
(kehilangan muka). Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak
santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan
(impoliteness) dalam berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang
diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan
muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Konsep tentang teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Culpeper
dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Siang ini dilaksanakan pembagian rapor di sekolah adik. Usai mengambil
rapor, adik dan ibu kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, seluruh anggota
keluarga berkumpul dan berbincang-bincang di serambi depan. Terjadi
percakapan di antara mereka.
Wujud tuturan:
Ayah : “Waahh, kamu hebat dik” (sambil membuka rapor)
Renno : “Kenapa Yah?”
Ayah : “Lihat nih, dari dulu selalu dapat nilai kurang dari 7.”(dengan nada
mengejek)
Renno : “Ahh, ayah tu mujinya kelewatan.” (tersenyum kesal)
Raffa : “Makanya kalo sekolah tu belajar yang bener. Jangan cuma tidur di
kelas doang dibanggain.”
(Semua anggota keluarga tertawa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa Renno merasa
kehilangan muka akibat tuturan yang diucapkan oleh ayah dan kakaknya, yaitu
Raffa. Tuturan yang disampaikan ayah adalah lihat nih, dari dulu selalu dapet
nilai kurang dari 7. Renno merasa semakin kehilangan muka ketika kakaknya,
Raffa menyampaikan tuturan seperti berikut makanya kalo sekolah tu belajar
yang bener. Jangan cuma tidur di kelas doang dibanggain. Ayah dan Raffa
menyampaikan tuturan tersebut dengan maksud mempermalukan Renno di depan
anggota keluarga yang lain. Meskipun disampaikan dengan maksud mengajak
bercanda, akan menjadi sangat fatal ketika tuturan tersebut disampaikan tidak
pada konteks situasi yang tepat.
Dari pengertian dan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Culpeper ini menekankan bentuk
penggunaan tuturan yang disampaikan oleh penutur dengan maksud untuk
mempermalukan mitra tutur.
2.4.5 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield
Bousfield (2008:3) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa
dipahami sebagai, ‘...the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-
threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan
penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan konfliktif (conflictive) dalam
praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang
itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono
(gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu
mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas
ketidaksantunan. Pengertian tentang teori ketidaksantunan berbahasa dalam
pandangan Bousfield dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.
Situasi:
Ruang tamu adalah bagian dari rumah yang biasanya dipakai sebagai
tempat untuk menerima tamu. Pada suatu hari, ayah dan ibu sedang menerima
tamu dan melakukan percakapan di ruang tamu, sedangkan adik terdengar gaduh
ketika bermain play station di ruang keluarga. Ayah menghampiri adik dan
bermaksud menegurnya.
Wujud tuturan:
Ayah : “Dik, main game-nya nggak usah teriak-teriak kayak gitu,
berisik. Ayah nggak enak, lagi ada tamu.”
Adik : “Ah, biarin aja yah. Aku kan nggak kenal sama mereka. Terserah aku
dong mau berisik apa enggak.”
Percakapan antara ayah dengan adik di atas menandakan adanya bentuk
ketidaksantunan dalam berbahasa. Mitra tutur (ayah) bermaksud memperingatkan
penutur (adik) agar tidak berisik dan tidak gaduh karena mitra tutur sedang
menerima tamu. Akan tetapi, penutur justru menjawab teguran mitra tutur
sekenanya bahkan terkesan sembrono dan tidak serius dalam menanggapi mitra
tutur. Keadaan demikian akan menimbulkan konflik di antara keduanya apabila
mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan serius.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa menurut Bousfield (2008) menekankan bentuk
penggunaan tuturan yang tidak santun dengan maksud selain melecehkan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
menghina mitra tutur dengan tanggapan sekenanya secara sengaja dapat
menimbulkan konflik di antara penutur dan mitra tutur.
2.5 Konteks
Ilmu pragmatik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa sesuai
konteks situasi tuturan. Rahardi (2003:20) mengatakan bahwa konteks tuturan
dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh
penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa
yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.
Kemudian, Levinson (1983:22−23) via Nugroho (2009:119) memaparkan bahwa
untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual
sebuah tuturan dalam semua keserberagaman ciri-ciri tuturan mereka, dan
pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan
dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Malinowsky juga berbicara tentang konteks, khususnya konteks yang
berdimensi situasi atau ‘context of situation’. Secara khusus Malinowsky
mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Vershueren (1998:75), ‘Exactly as in
the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is a
mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living
tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.’ bahwa
kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-
benar bermakna. (Rahardi, 2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Berbeda dengan Malinowsky yang menyebut ‘context of situation’,
Leech (1983) via Rahardi (2012) memahami konteks dengan istilah ‘speech
situation’. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang mungkin
dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana
(1996:10-13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus
dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Berikut pemaparan aspek-aspek
tersebut.
1) Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini mencakup penulis dan pembaca bila
tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek
yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang
sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
2) Konteks tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang
bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial
disebut konteks. Di dalam pragmatik, konteks itu pada hakikatnya adalah
semua latar belakang pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami
bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3) Tujuan tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi
oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan
yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang
mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan
pandangan gramatika yang bersifat formal. Dalam pandangan yang bersifat
formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang
berbeda.
4) Tujuan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang
abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik,
dan sebagainya, sedangkan pragmatik berhubungan dengan tindak verbal
(verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, pragmatik
menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan
tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan
tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh
karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.
Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? dapat
ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat
ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
(utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang
diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.
Verschueren (1998:76) via Rahardi (2012), menjelaskan lebih lanjut
berkenaan dengan penutur dan lawan tutur, bahwa selain ditentukan oleh
keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), bagi sebuah pesan
(message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U),
juga ditentukan oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup
latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial
dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya
(mental world of the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat
dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.
1) ‘The Utterer’ dan ‘The Interpteter’
Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’
and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik. Dapat
dipahami bahwa ‘pembicara’ atau ‘penutur’ (utterer) itu memiliki banyak suara
(many voices), sedangkan mitra tutur atau interpreter, lazimnya dikatakan
memiliki banyak peran. Dalam praktik bertutur sesungguhnya, maksud tuturan
yang disampaikan ‘utterer’ tidak selalu berdimensi satu, kadang-kadang justru
berdimensi banyak, rumit, dan kompleks. Penutur atau yang lazim disebut ‘the
utterer’, memang memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya
pula, seorang penutur atau ‘utterer’ dapat berperan sebagai ‘interpreter’. Jadi,
dia sebagai penutur, tetapi juga sekaligus dia sebagai pengintepretasi atas apa
yang sedang diucapkannya itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Hal lain yang juga mutlak harus diperhatikan dan diperhitungkan dalam
kaitan dengan ‘utterer’ dan ‘interpreter’ atau ‘pembicara’ dan ‘mitra wicara’,
adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan semacamnya. Saat penutur berbicara
di depan publik yang jumlahnya tidak sedikit, dipastikan berbeda bentuk
kebahasaannya jika dibandingkan dengan seorang mitra tutur saja. Sebaliknya,
jika ‘interpreter’ hanya berjumlah satu, sedangkan ‘utterer’ jumlahnya jauh
lebih banyak, ‘interpreter’ itu akan cenderung menginterpretasi dengan hasil
yang berbeda daripada jika ‘utterer’ itu hanya satu orang saja jumlahnya.
Berdasarkan pemaparan dimensi konteks yang pertama, ditegaskan
bahwa kehadiran penutur yang banyak, cenderung akan memengaruhi proses
interpretasi makna oleh ‘interpreter’. Demikian pula jika jumlah ‘utterer’ itu
banyak, maka interpretasi kebahasaan yang akan dilakukan ‘interpreter’ pasti
sedikit banyak terpengaruhi.
2) Aspek-aspek Mental ‘Language Users’
Konsep ‘language users’ sesungguhnya dapat menunjuk pada dua pihak,
yakni ‘utterer’ atau ‘penutur’ dan ‘interpreter’ atau ‘mitra tutur’. Namun,
kadangkala kehadiran di luar pihak ke-1 dan ke-2 masih ada kehadiran pihak
lain yang perlu sekali dicermati peran dan pengaruhnya terhadap bentuk
kebahasaan yang muncul. Orang akan dengan mudah membayangkan ‘mitra
tutur’ atau ‘lawan tutur’. Pada kenyataannya interpretasi itu tidak semudah
yang dibayangkan. Sebagai contoh, ‘interpreter’ saja masih dibedakan menjadi
dua yakni ‘participant’ dan ‘non-participant’. Masih dalam kelompok
‘participant’, ternyata dua distingsi masih dapat dilakukan sebagai jabarannya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
yakni ‘addressee’ dan ‘side participant’ atau yang sering disebut sebagai saksi.
Kehadiran semua itu dalam sebuah pertutursapaan akan berpengaruh besar
pada dimensi ‘mental’ penutur atau ‘the utterer’.
Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur ‘utterer’ dan
‘interpreter’ benar-benar sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks
pragmatik. Seperti aspek kepribadian penutur dan mitra tutur itu. Seseorang
yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga cenderung ‘menentang’
dan ‘melawan’ terhadap segala sesuatu yang baru. Demikian pula seseorang
yang sudah matang dan dewasa, akan berbicara sopan dan halus kepada setiap
orang yang ditemuinya.
Aspek lain yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen
penutur dan mitra tutur adalah aspek warna emosi (emotions). Seseorang yang
memiliki warna emosi dan temperamen tinggi, cenderung akan berbicara
dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Sebaliknya, seseorang yang
warna emosinya tidak terlampau dominan, cenderung lebih sabar ketika
berbicara. Selain dimensi-dimensi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula
dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’, dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’ serta
dimensi kepercayaan atau ‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam
perbincangan konteks pragmatik.
Dimensi-dimensi mental ‘language users’ semuanya berpengaruh
terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur. Dengan demikian,
dimensi mental penutur dan mitra tutur harus dilibatkan dalam analisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi
dalam komunikasi.
3) Aspek-aspek Sosial ‘Language Users’
Penutur dan mitra tutur yang merupakan bagian dari sebuah masyarakat
tentu tidak lepas dari dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keberadaannya
sebagai warga masyarakat dan kultur atau budaya tertentu. Kajian pragmatik
tidak dapat memalingkan diri dari fakta-fakta sosio-kultural tersebut, karena
penutur dan mitra tutur juga para pelibat tutur lainnya tidak sedikit jenis dan
jumlahnya, masing-masing memiliki dimensi-dimensi yang berkaitan dengan
‘solidarity and power’ dalam masyarakat dan budaya.
Bentuk kebahasaan yang dimiliki orang-orang yang berada dalam
institusi-institusi berwibawa dan bermartabat tinggi tentu memiliki wujud-
wujud kebahasaan yang berbeda dengan institusi lain. Bukan hanya wadahnya
yang menjadi pembeda, melainkan juga orang-orang yang berada di dalamnya
yang memiliki dimensi ‘authority’ atau ‘power’ yang tinggi akan membedakan
dengan wadah-wadah yang menjadi tempat orang-orang di dalam institusi
tersebut.
Dimensi ‘power’ and ‘solidarity’ juga terlihat dalam keluarga-keluarga
yang masih dalam lingkup Keraton Yogyakarta. Bahasa yang digunakan oleh
keluarga di sana ternyata masih sangat kental memperlihatkan dimensi
‘dependence’ dan ‘authority’ ini. Berbeda lagi dengan para tukang becak yang
cenderung menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan berdimensi ‘solidarity’
dan ‘dependence’. Kemudian para petani yang setiap panen menjual padi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
kepada pedagang-pedagang besar padi cenderung menggunakan bahasa yang
sangat bergantung alias ‘dependence’ kepada pedagang padi tersebut.
Harus diperhatikan pula bahwa bukan hanya dimensi-dimensi sosial yang
menjadi pembentuk konteks komunikatif dalam pragmatik, melainkan juga
aspek kultur merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna
dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values
of culture’ dari masyarakat bersangkutan.
4) Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’
Dimensi fisik meliputi berbagai fenomena dieksis (deixis phenomenon),
baik yang berciri persona (personal deixis), deiksis perilaku (attitudinal deixis),
deiksis waktu (temporal deixis), dan deiksis tempat (spatial deixis).
Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang,
misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan harus
menggunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’. Terdapat pula kejanggalan pemakaian
antara ‘saya’ dan ‘kami’ yang hingga kini masih mengandung kesamaran dan
ketidakjelasan. Adapun ‘attitudinal deixis’ berkaitan erat dengan bagaimana
kita harus memperlakukan panggilan-panggilan persona seperti yang
disampaikan di depan itu dengan tepat sesuai dengan referensi sosial dan
sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam jenis yang disampaikan di depan itu
semuanya merupakan aspek fisik ‘language users’, yang secara sederhana
dimaknai sebagai ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’, sebagai ‘utterer’ dan
‘interpreter’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan deiksis pula, tetapi yang
sifatnya temporal, harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan
ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Perhatian juga
harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau ‘temporal reference’,
khususnya dalam kaitan dengan deiksis-deiksis waktu, tetapi juga pada dimensi
tempat atau dimensi lokasi, atau yang oleh Verschueren (1998:98) disebut
sebagai ‘spatial reference’. Referensi spasial di dalam linguistik ditunjukkan,
misalnya dengan pemakaian preposisi yang menunjukkan tempat, juga kata
kerja tertentu, kata keterangan, kata ganti, dan juga nama-nama tempat. Pendek
kata, konsep ‘spatial reference’, semuanya menunjuk pada konsepsi gerakan
atau ‘conception of motion’, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam
titik tempat yang lainnya.
Setelah Verschueren memaparkan tentang empat dimensi konteks untuk
memahami sebuah tuturan, lebih lanjut lagi Hymes menggunakan istilah
“komponen tutur” untuk menjelaskan konteks. Seperti yang dikutip oleh
Sumarsono (2008:325−334), Hymes menyebutkan terdapat enam belas komponen
tutur, yaitu (1) bentuk pesan (message form), (2) isi pesan (message content), (3)
latar (setting), (4) suasana (scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim
(addressor), (7) pendengar (hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee),
(9) maksud-hasil (purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11)
kunci (key), (12) saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14)
norma interaksi (norm of interaction), (15) norma interpretasi (norm of
interpretation), dan (16) kategori wacana (genre). Dari keenam belas komponen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
tutur tersebut, Hymes (1974) via Nugroho (2009:119) menggunakan istilah
‘SPEAKING’ untuk menghubungkan konteks dengan situasi tutur. Dalam situasi
tutur tersebut, terdapat delapan komponen yang mempengaruhi tuturan seseorang.
Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi latar fisik dan latar psikologis
(setting and scene), peserta tutur (participants), tujuan tutur (ends), urutan tindak
(acts), nada tutur (keys), saluran tutur (instruments), norma tutur (norms), dan
jenis tutur (genres).
Yule (1996) via Mitfah (2009:120-121) membahas konteks dalam
kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referen
yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi
yang diacu. Yule mendefinisikan konteks sebagai lingkungan fisik di mana
sebuah kata dipergunakan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa konteks
adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan
latar belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan
oleh penutur. Hadirnya konteks situasi menjadi mutlak agar sebuah tuturan
semakin bermakna. Untuk memahami makna itu sendiri, dapat digunakan empat
dimensi konteks yang sangat mendasar. Selain itu, konteks juga meliputi
komponen-komponen tuturan yang dapat mempengaruhi tuturan seseorang.
2.6 Unsur Segmental
Bahasa terbentuk dalam kalimat-kalimat. Setiap kalimat yang terujar
sudah tentu memiliki unsur. Salah satunya adalah unsur segmental. Berikut adalah
pemaparan mengenai unsur-unsur segmental.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.6.1 Diksi
Gorys Keraf (1987) memaparkan bahwa diksi atau pilihan kata adalah
kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana mengelompokkan kata-kata yang tepat,
dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Keraf (1986) via
Mitfah (2009:128) juga memberikan gambaran tentang kata dan pilihan kata.
Seseorang yang luas kosakatanya akan memiliki kemampuan yang tinggi untuk
memilih setepat-tepatnya kata yang paling harmonis untuk mewakili maksud dan
gagasannya. Sebaliknya, mereka yang miskin kosakatanya akan sulit menemukan
kata-kata yang tepat.
Jelaslah bahwa seorang yang luas kosakatanya akan mengetahui secara
tepat batasan pengertiannya dan mengungkapkan secara tepat pula. Pilihan kata
tidak hanya mempermasalahkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga apakah
kata yang dipilih dapat diterima dan tidak merusak suasana. Masyarakat yang
diikat oleh norma-norma menghendaki pula agar setiap kata yang digunakan
cocok dengan norma masyarakat, harus sesuai dengan situasi yang dihadapi
(Mitfah, 2009:128).
Erat kaitannya dengan diksi adalah makna kata dan macamnya. Kata
sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek,
yaitu aspek bentuk dan aspek isi. Bentuk adalah segi yang dapat diserap dengan
panca indera, yaitu dengan mendengar atau melihat. Segi isi atau makna adalah
segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar karena rangsangan aspek
bentuk (Keraf, 1984:25).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Pada umumnya makna kata dibedakan atas makna yang bersifat denotatif
dan makna yang bersifat konotatif. Keraf (1984:25-31) menjelaskan denotatif
sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan,
sedangkan konotatif merupakan makna kata yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar.
Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah seperti: makna
denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna
referensial, atau makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial,
konseptual, atau ideasional karena makna itu menunju (denote) kepada suatu
referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif
karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari
pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang
dapat diserap pancaindria (kesadaran) dan rasio manusia, sedangkan disebut
makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau
makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan
respons mengandung nilai-nilai emosional. Memilih konotasi adalah masalah
yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih denotasi. Oleh karena
itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat
konotatif. Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau
hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain. Oleh sebab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
itu, bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau
ideasional dan sebagainya.
Untuk mencapai ketepatan pilihan kata, setiap orang hendaknya
memperhatikan persyaratan berikut (Keraf, 1984:88-89).
1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Seseorang harus dapat
memilih kata dengan cermat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, yakni
denotatif untuk pengertian dasar yang diinginkan, sedangkan konotatif untuk
menghendaki reaksi emosional tertentu.
2) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Kata-kata
bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. Oleh
sebab itu, seseorang harus berhati-hati memilih kata dari banyaknya sinonim,
sehingga tidak menimbulkan interpretasi berlainan.
3) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Kesalahpahaman akan
mungkin terjadi jika penulis atau pembicara tidak mampu membedakan kata-
kata yang mirip ejaannya. Misalnya interferensiinferensi,
preposisiproposisi.
4) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan dalam masyarakat. Namun, bukan berarti setiap individu boleh
menciptakan kata baru seenaknya. Kata baru hendaknya dapat diterima dan
menjadi milik masyarakat.
5) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut. Perhatikan penggunaan: idiom
idiomatik, kultur kultural, progres progresif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
6) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis:
ingat akan bukan ingat terhadap, mengharapkan bukan mengharap akan, dan
sebagainya.
7) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan
kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesutau
daripada kata umum.
8) Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.
9) Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal.
10) Memperhatikan kelangsungan pilihan kata
Selain ketepatan diksi, seorang penulis atau pembicara juga harus
menggunakan kata-kata yang sesuai agar tidak menimbulkan ketegangan antara
penulis atau pembicara dengan para pembaca atau para hadirin. Keraf (1984:103-
110) akan memaparkan persyaratan sebagai berikut.
1) Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi
yang formal. Pilihan kata seseorang harus sesuai dengan lapisan pemakaian
bahasa. Penggunaan unsur-unsur nonstandar akan mencermikan bahwa latar
sosial-ekonomi si pemakai bahasa masih terbelakang, itulah sebabnya
mengapa pemakaian unsur substandar dalam situasi formal harus dihindari.
2) Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi
yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata
populer. Kata-kata ilmiah adalah kata-kata yang dipakai dalam pertemuan
resmi atau diskusi dan biasa dipakai oleh kaum-kaum terpelajar, sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan
masyarakat. Apabila penulis atau pembicara tidak memperhatikan
penggunaan kata-kata tersebut, maka suasana yang dimasukinya akan
terganggu.
3) Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon diartikan
sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu, seni,
perdagangan, atau kelompok tertentu. Karena sifatnya yang khusus,
penggunaan jargon untuk pembaca umum tidak akan banyak artinya.
4) Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata
slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau
murni. Pada umumnya kata-kata slang mudah tumbuh secara populer, namun
akan segera hilang dari pemakaian. Selain itu, kata-kata slang selalu
menimbulkan ketidaksesuaian. Oleh sebab itu, pemakaian kata-kata slang
hendaknya dihindari.
5) Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Kata percakapan
adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-
orang yang terdidik, termasuk di dalamnya terdapat kata-kata ilmiah. Bahasa
percakapan ini dapat ditulis, bila penulis bermaksud melukiskan bahasa
percakapan itu sendiri, tetapi dalam bahasa umum unsur-unsur percakapan ini
hendaknya dihindari.
6) Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Idiom adalah pola-
pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum.
Kadang kala penggunaan idiom yang mati akan menghambat penyampaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
maksud seseorang. Oleh sebab itu, idiom-idiom yang sudah mati hendaknya
dihindari.
7) Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Bahasa artifisial adalah bahasa
yang disusun secara seni. Dalam bahasa umum atau bahasa ilmiah, bahasa
artifisial harus dihindari agar penulis dapat menyampaikan maksudnya
dengan tepat.
Penggunaan bahasa standar dan bahasa nonstandar dalam pemilihan kata
harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh penulis maupun pembicara. Keraf
(1984:104-105) menjelaskan bahasa standar adalah semacam dialek kelas dan
dapat dibatasi sebagai tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis
atau menduduki status sosial yang cukup dalam suatu masyarakat. Kelas-kelas ini
ditempati oleh kaum terpelajar, yang meliputi pejabat-pejabat pemerintah, ahli-
ahli bahasa, ahli-ahli hukum, dokter, pedagang, guru, penulis, penerbit, seniman,
insinyur, serta semua ahli lainnya, bersama keluarganya.
Bahasa nonstandar adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh
kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa,
tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur nonstandar
dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau, berhumor, atau
untuk menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Penggunaan unsur-unsur nonstandar akan
mencerminkan bahwa latar sosial-ekonomi si pemakai masih terbelakang atau
masih rendah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
2.6.2 Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan salah satu hal yang mempengaruhi santun
tidaknya pemakaian bahasa seseorang. Pranowo (2009:18) menjelaskan bahwa
gaya bahasa bukan sekadar mengefektifkan maksud pemakaian bahasa, melainkan
juga memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur.
Berikut adalah beberapa gaya bahasa yang digunakan untuk melihat santun
tidaknya pemakaian bahasa dalam bertutur.
Pertama, adalah majas hiperbola. Hiperbola merupakan salah satu jenis
gaya bahasa perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang
lain secara berlebihan. Kedua, majas perumpamaan yang dipahami sebagai salah
satu jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang
berlainan, tetapi dianggap sama. Ketiga, majas metafora sebagai salah satu jenis
gaya bahasa perbandingan mampu menambah daya bahasa tuturan. Metafora
adalah suatu jenis gaya bahasa yang membuat perbandingan secara langsung
antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup.
Terakhir, majas eufemisme yang merupakan salah satu jenis gaya bahasa
perbandingan yang membandingkan dua hal dengan menggunakan pembanding
yang lebih halus.
2.6.3 Kata Fatis
Kridalaksana (1986:111) menjelaskan kategori fatis sebagai kategori
yang bertugas melulai, mempertahankan, atau mengkukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Berikut ini adalah
bentuk-bentuk dari kata fatis (Kridalaksana, 1986:113–116).
1) ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh.
2) ayo menekankan ajakan.
3) deh menekankan pemksaan dengan membujuk, pemberian persetujuan,
pemberian garansi, sekedar penekanan.
4) dong digunakan untuk menghaluskan perintah, menekankan kesalahan kawan
bicara.
5) ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara.
6) halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon,
serta menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
7) kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan
merupakan kependekan dari kata bukan atau bukanlah, dan tugasnya ialah
menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di tengah kalimat maka kan
juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan.
8) kek mempunyai tugas menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan
menggantikan kata saja.
9) kok menekankan alasan dan pengingkaran. Kok dapat juga bertugas sebagai
pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.
10) -lah menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam kalimat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
11) lho bila terletak di awal kalimat bersifat seperti interjeksi yang menyatakan
kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas
menekankan kepastian.
12) mari menekankan ajakan.
13) nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya
kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.
14) pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas
menonjolkan bagian tersebut.
15) selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami
sesuatu yang baik.
16) sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, sebagai makna
‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan.
17) toh bertugas menguatkan maksud; adakalanya memiliki arti yang sama
dengan tetapi.
18) ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan
bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan meminta persetujuan atau pendapat
kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran.
19) yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah
pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian
terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam
kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau
ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila di tengah
ujaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
2.7 Unsur Suprasegmental
Bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa dipisahkan. Namun,
ada pula yang tidak bisa dipisahkan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi
atau menemani bunyi segmental. Sifat yang demikian inilah yang disebut dengan
bunyi suprasegmental. Unsur-unsur suprasegmental ini dikelompokkan menjadi
beberapa jenis yaitu, intonasi, tekanan, dan nada.
2.7.1 Intonasi
Muslich (2008:115-116) mengemukakan bahwa intonasi dalam bahasa
Indonesia sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat. Bahkan, dengan
dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa Indonesia dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah
(imperatif).
Kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-turun.
Pola intonasi kalimat berita dilambangkan dilambangkan dengan tanda titik
tunggal (.). Kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik.
Dalam penulisan, pola intonasi kalimat tanya dilambangkan dengan tanda tanya
(?), sedangkan kalimat perintah (imperatif) ditandai dengan pola intonasi datar-
tinggi, dan dilambangkan dengan tanda seru (!).
Lebih lanjut lagi yaitu kalimat seru. Keraf (1991:208) menambahkan
kalimat seru ke dalam jenis kalimat dalam bahasa Indonesia. Kalimat seru adalah
kalimat yang menyatakan perasaan hati atau kebenaran terhadap suatu hal.
Kalimat seru ditandai dengan intonasi yang lebih tinggi dari kalimat inversi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
2.7.2 Tekanan
Tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud
dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna
dalam tataran kata (leksis). Dalam tataran kalimat tidak semua kata mendapatkan
tekanan yang sama. Hanya kata-kata yang dipentingkan atau dianggap penting
saja yang mendapatkan tekanan (aksen) (Muslich, 2009:113).
2.7.3 Nada
Nada menyangkut tinggi rendahnya suatu bunyi. Suatu bunyi segmental
yang diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, pastilah dibarengi dengan
bunyi suprasegmental dengan ciri prosodi nada tinggi. Demikian pula sebaliknya,
semakin rendah frekuensi getarannya nada yang menyertainya juga semakin
rendah (Marsono, 2008:116). Variasi nada biasanya dibedakan menjadi 4:
1) Nada rendah ditandai dengan angka 1.
2) Nada sedang ditandai dengan angka 2.
3) Nada tinggi ditandai dengan angka 3.
4) Nada sangat tingggi ditandai dengan angka 4.
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi rendahnya (nada) suara tidak
fungsional atau tidak membedakan makna. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis.
Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam
bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara,
yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
bunyi tersebut. Begitu juga dengan posisi pita suara yang bergetar lebih cepat
akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi (Muslich, 2009:112).
2.8 Teori Maksud
Rahardi (2003:16) memaparkan bahwa ilmu bahasa pragmatik
sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan
sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud
penutur dalam menyampaikan tuturannya, dapat pula dikatakan bahwa pragmatik
dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang
mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal. Jadi,
sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antarkeduanya adalah bahwa
pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal, sedangkan
sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.
Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks (context
dependent), sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas
konteks (context independent). Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami
maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah
satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan
konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahya
(Rahardi, 2003:16−17).
Wijana & Muhammad (2008:10–11) juga menjelaskan bahwa makna
berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan informasi bersifat di
luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara,
sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang bersumber dari isi tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada kalimat (6), (7), (8), dan (9) berikut.
(6) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya 9.
(7) Anak itu memang pandai. Nilai bahasanya saja 4,5.
(8) Ayah membeli buku.
(9) Buku ini dibeli ayah.
Kata “pandai” dalam kalimat (6) bermakna “pintar” karena secara
internal memang kata “pandai” bermakna demikian. Kata “pandai” dalam kalimat
(7) yang bermakna internal “pintar” dimaksudkan secara subjektif oleh
penuturnya untuk mengungkapkan bahwa dia bodoh. Pengungkapannya yang
bersifat subjektif inilah yang disebut “maksud”. “Pandai” yang menyatakan
“pintar” pada kalimat (6) disebut makna linguistik (linguistic meaning),
sedangkan “pandai” yang menyatakan “bodoh” pada kalimat (7) disebut makna
penutur (speaker meaning). Makna linguistik (makna) menjadi bahan kajian
semantik, sedangkan makna penutur (maksud) menjadi bahan kajian pragmatik.
Kalimat (8) jelas memiliki perbedaan makna (gramatikal) dengan kalimat (9).
Kalimat (8) adalah kalimat aktif, sedangkan kalimat (9) adalah kalimat pasif.
Akan tetapi, berdasarkan isi tuturan secara objektif kedua kalimat di atas
menyatakan informasi yang sama, yakni “ayah yang membeli buku” dan “buku
yang dibeli ayah”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
2.9 Kerangka Berpikir
Penggunaan bahasa yang santun belum banyak diterapkan oleh
masyarakat pada umumnya. Tidak mengherankan lagi jika masih ditemukan
penggunaan bahasa yang tidak santun, bahkan nilai rasa yang terkandung di
dalamnya seringkali menyakiti orang lain. Berikut ini adalah penjelasan dari
kerangka berpikir pada bagan di atas.
Peneliti mengambil data yang berupa tuturan tidak santun dalam keluarga
petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Data-data yang telah diperoleh
FENOMENA KETIDAKSANTUNAN
BERBAHASA DI RANAH KELUARGA
BOUSFIELD
(2008)
CULPEPER
(2008)
TEORI KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA
LOCHER
(2008)
TERKOURAFI
(2008)
LOCHER AND
WATTS (2008)
HASIL PENELITIAN
MAKSUD
KETIDAKSANTUNAN
PENANDA
KETIDAKSANTUNAN
WUJUD LINGUISTIK
DAN PRAGMATIK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
kemudian diklasifikasikan sesuai dengan teori-teori ketidaksantunan berbahasa.
Seperti yang sudah dipaparkan, terdapat lima teori ketidaksantunan berbahasa
yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori ketidaksantunan berbahasa
menurut Locher and Watts, yang lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan
ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif,
karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat
(tertentu). Kedua, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Terkourafi (2008),
yakni apabila ketidaksantunan tuturan penutur yang membuat mitra tutur merasa
mendapat ancaman (addressee) terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak
menyadari bahwa tuturannnya telah memberikan ancaman muka mitra tuturnya.
Ketiga, teori ketidaksantunan menurut Miriam A Locher (2008), yaitu tindak
berbahasa yang melecehkan (face-aggravate) dan memain-mainkan muka.
Keempat, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Culpeper (2008), dipahami
sebagai perilaku komunikasi yang diperantikan secara intensional untuk membuat
orang benar-benar kehilangan muka (face lose) atau setidaknya orang tersebut
merasa kehilangan muka. Terakhir, teori ketidaksantunan berbahasa menurut
Bousfield (2008), yakni apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam
muka, dan ancaman tersebut dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga
akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian mendatangkan konflik
(conflictive) atau bahkan pertengakaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan
kesengajaan (purposeful). Berdasarkan teori tersebut, hasil penelitian yang
didapatkan berupa wujud, penanda, dan maksud ketidaksantunan pragmatik dan
linguistik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang jenis penelitian, data dan sumber data,
metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan teknik
analisis data, sajian hasil analisis data serta trianggulasi data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga ini
merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskripif adalah penelitian yang
berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data, jadi penelitian ini juga menyajikan data, menganalisis, dan
menginterpretasi (Narbuko, 2009:44). Penelitian deskriptif juga diartikan sebagai
penelitian yang mencoba untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang
situasi, permasalahan, fenomena, layanan atau program, ataupun menyediakan
informasi tentang, misalnya, kondisi kehidupan suatu masyarakat pada suatu
daerah (Widi, 2010:47). Tujuan utama dari penelitian ketidaksantunan ini adalah
untuk mendeskripsikan secara konkret dan terperinci fenomena kebahasaan yang
berkaitan dengan seluk beluk ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya
(Herdiansyah, 2010:9). Pemahaman tentang kualitatif juga dikemukakan oleh
Bogdan dan Taylor (1975:5) via Moleong (2006:4) sebagai prosedur penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.
3.2 Data dan Sumber Data
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta ataupun
angka (Arikunto, 2010:161). Pemahaman tentang data juga dikemukakan oleh
Sudaryanto (1993:3) via Mahsun (2007:18) sebagai bahan penelitian, yaitu bahan
jadi (lawan dari bahan mentah) yang ada karena pemilihan aneka macam tuturan
(bahan mentah).
Wujud data dalam penelitian ini berupa tuturan yang diperoleh secara
natural dalam ranah keluarga yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk
kebahasaan yang secara linguistik maupun nonlinguistik mengandung maksud
yang tidak santun.
Bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki makna tidak santun baik
secara linguistik maupun nonlinguistik menjadi objek sasaran dalam penelitian ini
dan sisa bentuk kebahasaan yang ada merupakan konteksnya. Dengan demikian,
bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun bersama entitas kebahasaan yang
mengikuti dan mengawalinya merupakan data yang diperoleh dari penelitian ini.
Arikunto (2010:172) juga menjelaskan bahwa sumber data dalam
penelitian adalah subjek darimana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian
ini adalah anggota keluarga petani yang tinggal di wilayah Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Sumber data tersebut berasal dari keluarga yang bermata pencaharian
pokok sebagai petani, baik pemilik sawah itu sendiri maupun petani yang
menggarap sawah milik orang lain, dapat pula berasal dari keluarga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
menggeluti profesi lain di samping mata pencaharian utamanya yaitu bercocok
tanam.
Sumber data penelitian ketidaksantunan berbahasa ini meliputi berbagai
macam cuplikan tuturan yang diambil secara natural dalam praktik-praktik
perbincangan dan rekaman hasil simakan tuturan para orang tua dan anggota
keluarga yang diperoleh baik secara terbuka maupun tersembunyi, sehingga
diharapkan data penelitian yang diperoleh bersifat natural, andal, dan terpercaya.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode simak dan metode
cakap. Metode simak merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang sesungguhnya (Rahardi,
2009:34). Metode ini dapat dilakukan dengan menyimak pertuturan langsung
dalam ranah keluarga petani yang dipresumsikan di dalamnya terdapat bentuk-
bentuk kebahasaan yang mengandung makna ketidaksantunan berbahasa baik
secara linguistik maupun nonlinguistik. Selanjutnya, metode cakap merupakan
metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan.
Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara (Rahardi,
2009:34). Pengertian tentang wawancara dikemukakan oleh Moleong (2005) via
Herdiansyah (2010:118) sebagai percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam rangka melaksanakan
metode simak adalah teknik rekam dan teknik catat. Perekaman dapat dilakukan
dengan tape recorder atau alat rekam lainnya. Pelaksanaan perekaman sudah
barang tentu harus dilakukan sedemikian sehingga tidak mengganggu kewajaran
proses kegiatan pertuturan yang sedang terjadi; sehingga dalam praktiknya,
kegiatan merekam itu – atau setidak-tidaknya tujuan merekam itu – cenderung
selalu dilakukan tanpa sepengetahuan penutur sumber data atau pembicara
(Sudaryanto, 1993:135). Selain teknik rekam, dapat pula dilakukan pencatatan
pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Pencatatan itu dapat
dilakukan langsung ketika teknik rekam sudah dilakukan dan dengan
menggunakan alat tulis tertentu (Sudaryanto, 1993:135). Data dari rekaman
pertuturan atau catatan itulah yang diperoleh sebagai bahan jadi penelitian
ketidaksantunan berbahasa ini.
Teknik pengumpulan data selanjutnya yang digunakan dalam
melaksanakan metode cakap adalah teknik pancing. Untuk mendapatkan data,
peneliti dapat memancing seseorang atau beberapa orang agar berbicara.
Pancingan-pancingan tuturan tersebut memungkinkan hadirnya pertuturan yang
menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun.
3.4 Instrumen Penelitian
Arikunto (2010:203) memaparkan bahwa instrumen penelitian adalah
alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih
cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah diolah. Instrumen yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
digunakan dalam penelitian ketidaksantunan ini ialah pedoman wawancara (daftar
pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal
teori ketidaksantunan berbahasa. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis
penggunaan bahasa antaranggota keluarga. Data-data yang diperoleh kemudian
dicatat untuk dianalisis lebih lanjut.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang dilakukan untuk mengelompokan,
menyamakan data yang sama dan membedakan data yang memang berbeda, serta
menyisihkan pada kelompok lain data yang serupa, tetapi tidak sama (Mahsun,
2007:253). Analisis data dalam penelitian ketidaksantunan ini dilakukan secara
kontekstual, yakni dengan mendeskripsikan dimensi-dimensi konteks dalam
menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi, diklasifikasi, dan
ditipifikasikan.
Metode analisis kontekstual adalah cara analisis yang diterapkan pada
data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks (cf. Rahardi, 2004; Rahardi,
2006 dalam Rahardi, 2009:36). Metode analisis kontekstual ini dapat disejajarkan
dengan metode analisis padan. Metode padan itu dapat dibedakan menjadi dua,
yakni metode padan yang sifatnya intralingual dan metode padan yang sifatnya
ekstralingual.
3.5.1 Metode dan Teknik Analisis Data secara Linguistik
Metode dalam analisis data secara linguistik menggunakan metode
padan intralingual. Mahsun (2007:118) mendefinisikan metode padan
intralingual sebagai metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa
maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda.
3.5.2 Metode dan Teknik Analisis Data secara Pragmatik
Metode dalam analisis data secara pragmatik menggunakan metode
padan ekstralingual. Metode padan ekstralingual digunakan untuk
menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan
masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa (Mahsun,
2007:120).
Data yang telah diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Peneliti mentranskripsi data (tuturan ketidaksantunan) yang sudah diperoleh
melalui hasil rekaman atau pencatatan.
2) Peneliti mengelompokkan tuturan-tuturan berdasarkan teori ketidaksantunan
berbahasa yang sudah menjadi acuan dalam penelitian ini.
3) Peneliti membuat tabulasi kemudian memasukkan tuturan yang telah
dikelompokkan ke dalam tabulasi yang berisi tuturan, penanda ketidaksantunan
(lingual dan nonlingual), dan persepsi ketidaksantunan.
4) Peneliti menganalisis data yang telah dikelompokkan dengan mengacu pada
tabulasi.
5) Peneliti menyimpulkan dan mendeskripsikan data dalam bentuk sajian hasil
analisis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
3.6 Sajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data yang telah diinterpretasi dalam penelitian
ketidaksantunan ini disajikan secara tidak formal. Dengan kata lain, hasil analisis
data itu dirumuskan dengan kata-kata biasa, bukan dengan simbol-simbol tertentu
karena memang hasil penelitian ini tidak menuntut model sajian demikian itu.
3.7 Trianggulasi Data
Moleong (2006:330) memaparkan bahwa trianggulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Penelitian
ketidaksantunan berbahasa ini menggunakan dua teknik dalam trianggulasi data.
Pertama, teknik trianggulasi teori yang berfungsi untuk membandingkan hasil
temuan dengan teori ketidaksantunan berbahasa dari para ahli bahasa. Kedua,
teknik trianggulasi penyidik, ialah dengan membandingkan hasil analisis data
peneliti dengan hasil analisis peneliti lain dalam satu tim penelitian. Selain itu,
peneliti juga melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing yaitu Dr. R.
Kunjana Rahardi, M.Hum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Ketiga hal tersebut diuraikan sebagai berikut.
4.1 Deskripsi Data
Data yang dianalisis dalam penelitian ini berupa tuturan yang diperoleh
secara natural dalam ranah keluarga, khususnya keluarga petani di wilayah
Kabupaten Bantul, Yogyakarta pada bulan April sampai dengan Juni 2013. Data
yang telah diperoleh untuk dianalisis sebanyak 70 tuturan dan mengandung
maksud tidak santun. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, oleh karena
itu ketujuh puluh tuturan tidak santun yang diperoleh sudah dapat menunjukkan
fenomena ketidaksantunan yang ada dalam keluarga. Tuturan-tuturan tersebut
terbagi dalam lima kategori ketidaksantunan yaitu, melanggar norma, mengancam
muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan
konflik. Data-data tersebut dapat disimak pada halaman lampiran skripsi. Namun,
di bawah ini akan disajikan beberapa tabel data tuturan yang telah diperoleh untuk
dianalisis.
Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
No Jenis/Kategori Ketidaksantunan Jumlah Data
1 Melanggar Norma 6
2 Mengancam Muka Sepihak 11
3 Melecehkan Muka 25
4 Menghilangkan Muka 16
5 Menimbulkan Konflik 12
JUMLAH 70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dipahami bahwa jumlah data yang
terkumpul bervariasi untuk setiap kategori ketidaksantunan. Jumlah data
terbanyak dari masing-masing kategori ketidaksantunan adalah 25 tuturan
melecehkan muka, selanjutnya 16 tuturan menghilangkan muka, 12 tuturan
menimbulkan konflik, 11 tuturan mengancam muka sepihak, dan 6 tuturan
melanggar norma. Setiap kategori memiliki makna ketidaksantunan yang berbeda-
beda. Makna tersebut menjadi subkategori dalam setiap kategori ketidaksantunan.
Untuk persentase jumlah data tuturan berdasarkan subkategori ketidaksantunan
tersaji pada tabel berikut.
Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Ketidaksantunan
No
.
Kategori
Ketidasantunan
Subkategori Ketidaksantunan
Ju
mla
h
% T
utu
ran
Men
enta
ng
Men
ola
k
Kes
al
Mar
ah
Men
yin
dir
Mem
erin
tah
Kec
ewa
Men
any
akan
Men
gan
cam
Men
egas
kan
Men
gej
ek
Men
yar
ankan
Men
yep
elek
an
1 Melanggar Norma 2 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 8,58
2 Mengancam Muka
Sepihak 0 0 0 2 3 2 1 1 1 1 0 0 0 11 15,71
3 Melecehkan Muka 0 2 8 2 2 0 0 1 0 0 8 2 0 25 35,71
4 Menghilangkan
Muka 0 0 2 0 6 0 0 0 0 1 7 0 0 16 22,86
5 Menimbulkan
Konflik 0 1 3 5 1 0 0 0 0 0 0 0 2 12 17,14
JUMLAH 2 5 14 10 12 2 1 2 1 2 15 2 2 70 -
Presentase Tuturan (%)
2,8
6
7,1
4
20
14,2
9
17,1
4
2,8
6
1,4
3
2,8
6
1,4
3
2,8
6
21,4
3
2,8
6
2,8
6
-
100
Persentase jumlah data terbanyak yang diperoleh dari masing-masing
kategori ketidaksantunan yaitu 35,71% melecehkan muka, 22,86%
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
menghilangkan muka, 17,14 % menimbulkan konflik, 15,71 % mengancam muka
sepihak, dan 8,58 % melanggar norma. Data yang berupa tuturan tersebut
selanjutnya diidentifikasi berdasarkan subkategori ketidaksantunan. Dari beberapa
subkategori ketidaksantunan, yang terbanyak adalah subkategori mengejek
dengan 15 tuturan (21,43%). Selanjutnya, subkategori kesal sebanyak 14 tuturan
(20%), diikuti oleh subkategori menyindir 12 tuturan (17,14%), subkategori
marah 10 tuturan (14,29%), subkategori menolak sebanyak 5 tuturan (7,14%),
subkategori menentang, memerintah, menanyakan, menegaskan, menyarankan,
dan menyepelekan dengan masing-masing 2 tuturan (2,86%), terakhir subkategori
kecewa dan subkategori mengancam yang menduduki persentase terendah, yaitu
1,43 % dengan masing-masing sebanyak 1 tuturan. Berikut disajikan secara rinci
data tuturan dari setiap kategori ketidaksantunan.
4.1.1 Melanggar Norma
Jumlah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar
norma sebanyak 6 tuturan. Berdasarkan tabel sebelumnya, terdapat 4 subkategori
ketidaksantunan dalam kategori melanggar norma. Berikut tuturan yang termasuk
ke dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma.
Tabel 3. Data Tuturan Melanggar Norma
No Subkategori
Ketidak-santunan Tuturan Kode
1. Menentang Opo-opo kok koyo cah cilik to,
mengko lak yo bali dewe!!
(A1)
2. Menolak Emoohh, Pak! (A2)
3. Kesal Mau kan aku wis ngomong, kok
diarani dolan, kan wis ijin!!
(A3)
4. Marah Ahh, mamak ki terlalu! Aku ra meh (A4)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
mulih, meh kost wae!!
5. Menentang Iyo pak, sekalian subuh. (A5)
6. Menolak Ahh..wong neng sekolah wis sinau
kok!
(A6)
4.1.2 Mengancam Muka Sepihak
Jumlah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
mengancam muka sepihak sebanyak 11 tuturan dengan 7 subkategori
ketidaksantunan di dalamnya. Berikut tuturan yang termasuk ke dalam kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak.
Tabel 4. Data Tuturan Mengancam Muka Sepihak
No Subkategori
Ketidak-santunan Tuturan Kode
1. Menyindir Sudah hampir setahun, sudah mau
punya anak belum?
(B1)
2. Menyindir Ngopo Pak, panjenengan kok koyo
sakit gigi ngaten?
(B2)
3. Marah Neng ngomah ki ngopo wae?? (B3)
4. Menyindir Wis meh maghrib kok ono tamu!! (B4)
5. Memerintah Kene, aku meh ngomong! (B5)
6. Kecewa Sesok meneh ojo nyayur ngene iki,
Mak!!
(B6)
7. Memerintah Mbak, garapke iki! (B7)
8. Menanyakan Ngopo mbah kok ra maem? (B8)
9. Mengancam Tak jewer koe mengko nek ngeyel!! (B9)
10. Marah Mpun, kulo ajeng jagong! Mang
tunggu sak jam!!
(B10)
11. Menegaskan Bu, sesok bayar uang kuliah. Telate
dua hari lagi.
(B11)
4.1.3 Melecehkan Muka
Berdasarkan tabel sebelumnya, jumlah tuturan yang termasuk dalam
kategori ketidaksantunan melecehkan muka sebanyak 25 tuturan dengan 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
subkategori ketidaksantunan. Berikut tuturan yang termasuk ke dalam kategori
ketidaksantunan melecehkan muka.
Tabel 5. Data Tuturan Melecehkan Muka
No Subkategori
Ketidak-santunan Tuturan Kode
1. Kesal Wah ibuk ki ora modern. (C1)
2. Menanyakan Kok nilai kamu tu jelek, ga pernah
belajar ya?
(C2)
3. Kesal Hayoo, punya mulut kok ga bisa
ngomong to?besok lagi bilang!
(C3)
4. Mengejek Wah simbok ki kalah sekolah mbiyen
karo saiki. Mbiyen ki kuno.
(C4)
5. Menyindir Maklum lah wong hukum. (C5)
6. Marah Koe ki anak perawan kok keset!! (C6)
7. Mengejek Sing mesak’ake yo iki mbak, kasian
sekali ini. Wis disambi, ireng, kasian
sekali yo le sayang ya.
(C7)
8. Mengejek Kok nama saya Lembayung, bapak
kasih nama jelek banget!
(C8)
9. Mengejek Dek, kamu ngga bisa sekolah jadi
ABRI seperti saya, soalnya kakimu
tu bentuknya O, kaki kok kaya bola.
(C9)
10. Mengejek Pikirane ki koyo wong tuwek. (C10)
11. Kesal Wah opo, kono koe ki cah cilik! (C11)
12. Kesal Jaket aja sampai 15 lebih. Kayak artis
aja!
(C12)
13. Kesal Huu bodoh, raiso ngitung!! (C13)
14. Mengejek Cucunya kok cilik. (C14)
15. Menyarankan Hei kamu tu dikucir rambutnya,
nanti nek kuliah budeg lho!
(C15)
16. Mengejek Itu adik saya yang kepala desa itu tapi
itu yang paling bodoh itu.
(C16)
17. Mengejek Ini adik keponakan saya, tapi dia
gembrotnya kayak gitu.
(C17)
18. Menyindir Ki lho Mas, ngerti to Undang-
undange?
(C18)
19. Kesal Ibu itu pelit, aku ngga dikasih uang. (C19)
20. Menyarankan Ya ampun kalian itu gadis, dandan
dong!
(C20)
21. Menolak Ngapain dandan? Ih, Ibu juga ga
dandan.
(C21)
22. Kesal Ahh, bapak ki tukang ngapusi! (C22)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
23. Menolak Dadi pegawai negeri bapak ra dadi
opo-opo kok! Aku emoh pegawai
negeri!
(C23)
24. Marah Woo nenek lampir! (C24)
25. Kesal Mbayar larang-larang kon sinau
ngeyel!!
(C25)
4.1.4 Menghilangkan Muka
Data tuturan dengan kategori ketidaksantunan menghilangkan muka yang
telah ditemukan sebanyak 16 tuturan. Keenam belas tuturan tersebut terdiri dari 4
subkategori ketidaksantunan yang berbeda. Tuturan-tuturan tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 6. Data Tuturan Menghilangkan Muka
No Subkategori
Ketidak-santunan Tuturan Kode
1. Menyindir Ngelih po doyan? (D1)
2. Menyindir Lehmu kuliah ki arep mbok
rampungke ora? Nek ora po rep ndue
bojo wae?
(D2)
3. Mengejek Ah bapak kae wis tuwo yo roso kok! (D3)
4. Mengejek Mak, satus ki nol’e piro? (D4)
5. Kesal Salah’e raiso moco!! (D5)
6. Menyindir Wong yang masih bujang aja banyak
kok kamu tu milih yang udah beristri
to nduk?
(D6)
7. Mengejek Tapi aku tanya Dik, koe ki seneng
cewek tenan ora?
(D7)
8. Kesal Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh.
Mosok manak ping 6. Koyo pitik
wae!!
(D8)
9. Mengejek Iya, itu yang masih belum laku mbak,
soalnya pengangguran.
(D9)
10. Menyindir Arep mencari sendiri atau dicarikan? (D10)
11. Mengejek Kalau bapak itu hanya es dua bakso
satu.
(D11)
12. Menegaskan Nek sing niki gembeng. (D12)
13. Menyindir Kok koyo gunung’e , Pak? (D13)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
14. Mengejek Kui kek’ke juragane! (D14)
15. Mengejek Kayak kucing lho itu mbak, malu-
malu.
(D15)
16. Menyindir Loro untu bapakmu. (D16)
4.1.5 Menimbulkan Konflik
Data yang telah dikumpulkan untuk kategori ketidaksantunan
menimbulkan konflik terdiri dari 12 tuturan dengan 5 subkategori
ketidaksantunan. Berikut merupakan tabel tuturan yang menimbulkan konflik.
Tabel 7. Data Tuturan Menimbulkan Konflik
No Subkategori
Ketidak-santunan Tuturan Kode
1. Menyindir Mbok dibanting sisan! Mbok
dibaleni!
(E1)
2. Kesal Ah, ibuk ki mau tau wae. (E2)
3. Kesal Sak karepku to mak, wong sing
nganggo aku kok!!
(E3)
4. Menyepelekan Biasa anak muda. (E4)
5. Menolak Punya kaki sendiri kok!! (E5)
6. Menyepelekan Halah mangke bu, neng sawah terus
koyo dibayar wae.
(E6)
7. Marah Woo monyet!! (E7)
8. Marah Lambemu! (E8)
9. Marah Iso meneng ora? Aku wis dong! (E9)
10. Kesal Woo opo-opo aku. Opo-opo aku!!
(E10)
11. Marah Koe ki isane mung njaluk’i duit wae!! (E11)
12. Marah Koe ki raiso ndidik anak! (E12)
4.2 Analisis Data
Data tuturan dalam penelitian ini diidentifikasi dan diklasifikasi dengan
memperhatikan beberapa aspek, yakni kategori ketidaksantunan tuturan, penanda
ketidaksantunan tuturan, dan konteks tuturan. Data-data tersebut dipaparkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
secara rinci dalam tabulasi. Berdasarkan tabulasi tersebut, data dalam penelitian
ini dianalisis lebih mendalam lagi kemudian disajikan dengan urutan sebagai
berikut: (1) wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, dan (3) maksud ketidaksantunan
penutur. Wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak santun yang
telah ditranskrip, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan
cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak santun tersebut. Penanda
ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada, diksi,
dan kata fatis, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatiknya dapat dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi setiap tuturan. Konteks tersebut meliputi
penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, tujuan penutur, tindak verbal, dan
tindak perlokusi. Dalam menganalisis maksud ketidaksantunan, dilakukan
konfirmasi kepada penutur. Maksud dan makna tuturan yang menjadi subkategori
sebenarnya dapat sama, tetapi pada kenyataannya ada pula yang berbeda. Hal ini
terjadi karena makna atau subkategori ditemukan oleh peneliti sesuai dengan
persepsi peneliti, sedangkan maksud dapat diketahui dari penutur langsung,
karena maksud adalah milik penutur.
Analisis data didasarkan pada tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam
lima kategori ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka
sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.
Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam keluarga petani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Keenam tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar
norma dipaparkan berdasarkan subkategori ketidaksantunan sebagai
berikut.
4.2.1.1 Subkategori Menentang
Cuplikan tuturan 1
MT : “Telat pulang tu mbok ngebel rumah, ben wong tuwa ra
bingung!”
P : “Opo-opo kok koyo cah cilik to, mengko lak yo bali dewe!!”
(A1)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika mitra tutur berusaha menegur
penutur yang terlambat pulang. Sudah ada kesepakatan jika terlambat
harus memberi kabar terlebih dahulu melalui telepon. Namun, penutur
justru kesal dan berusaha menentang kesepakatan tersebut dengan
memberikan jawaban sekenanya kepada mitra tutur)
Cuplikan tuturan 5
MT : “Rasah wengi-wengi le bali!”
P : “Iyo Pak, sekalian subuh.” (A5)
(Konteks tuturan: penutur hendak bepergian bersama teman-temannya
pada sore hari, mitra tutur berpesan kepada penutur agar tidak pulang
larut malam, sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam
keluarga. Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan terkesan
sembrono, sehingga memunculkan kekesalan mitra tutur)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A1: “Opo-opo kok koyo cah cilik to, mengko lak yo bali dewe!!”
(Apa-apa kok seperti anak kecil, nanti juga pulang sendiri!!)
Tuturan A5: “Iyo pak, sekalian subuh.”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A1: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus,
penutur melanggar aturan yang telah disepakati, penutur tidak mengindahkan
teguran dari mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Tuturan A5: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan sembrono,
penutur berbicara sembari tersenyum tanpa melihat ke arah mitra tutur, penutur
tidak mengindahkan pesan dari mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A1: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa bali dewe, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: kok dan to.
Tuturan A5: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada frasa sekalian subuh, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, karena
terdapat satu kata yang menggunakan bahasa Jawa, yaitu kata iyo.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A1: Tuturan terjadi ketika mitra tutur berusaha menegur penutur yang
terlambat pulang. Sudah ada kesepakatan jika terlambat harus memberi kabar
melalui telepon. Namun, penutur justru kesal dan berusaha menentang
kesepakatan tersebut dengan memberikan jawaban sekenanya. Penutur laki-laki
berusia 24 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 46 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah mengungkapkan kekesalanya
kepada mitra tutur. Tindak verbal yang terjadi adalah komisif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur diam saja dan meninggalkan
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Tuturan A5: Penutur hendak bepergian bersama teman-temannya pada sore
hari, mitra tutur berpesan kepada penutur agar tidak pulang larut malam, sesuai
dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam keluarga. Namun, penutur
justru menjawab sekenanya dan terkesan sembrono, sehingga memunculkan
kekesalan mitra tutur. Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia 19
tahun, mahasiswa semester 4 dan mitra tutur berusia 47 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah berusaha menentang pesan dari
MT. Tindak verbal yang terjadi adalah komisif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi MT kesal terhadap penutur karena merasa
disepelekan.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan A1 dan A5 memiliki maksud yang berbeda. Tuturan A1 disampaikan
penutur dengan maksud kesal, karena mitra tutur menegurnya ketika terlambat
pulang ke rumah. Berbeda dengan tuturan A5, meskipun termasuk dalam
subkategori menentang, pada kenyataannya tuturan itu disampaikan dengan
maksud mengajak bercanda mitra tuturnya.
4.2.1.2 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 2
MT : “Mbok yo nek mulih sekolah ki opo jam’e, dolan keno, tapi bali
sik, ganti sik, pamitan sik!”
P : “Emoohh, Pak!” (A2)
(Konteks tuturan: penutur pulang dari bermain dan masih menggunakan
seragam sekolah. Mitra tutur menegur penutur agar saat pulang sekolah
terlebih dahulu berganti pakaian kemudian berpamitan sesuai dengan
aturan yang disepakati dalam keluarga. Namun, penutur berusaha
menolak teguran mitra tutur dengan jawaban sekenanya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Cuplikan tuturan 6
MT : “Le, mbok belajar! Sudah waktunya belajar ini.”
P : “Ah, wong neng sekolah wis sinau kok!” (A6)
(Konteks tuturan: mitra tutur berusaha memperingatkan penutur untuk
belajar, karena sudah disepakati adanya jam belajar pada keluarga
tersebut. Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan terkesan acuh,
bahkan kembali sibuk dengan laptopnya)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A2: “Emoohh, Pak!” (Tidak mau, Pak).
Tuturan A6: “Ah, wong neng sekolah wis sinau kok!” (Ah, di sekolah sudah
belajar kok!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A2: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan cara
menyepelekan, penutur melanggar aturan yang telah disepakati, penutur
berbicara dengan datar tanpa rasa bersalah.
Tuturan A6: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus
tanpa melihat ke arah mitra tutur, penutur tidak mengindahkan peringatan dari
mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A2: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
lunak pada kata emoohh, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan A6: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata fatis ah, nada sedang, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: ah, wong, dan kok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A2: Penutur pulang dari bermain dan masih menggunakan seragam
sekolah pada sore hari. Mitra tutur menegur penutur agar saat pulang sekolah
terlebih dahulu berganti pakaian kemudian berpamitan sesuai dengan aturan
yang disepakati dalam keluarga tersebut. Namun, penutur berusaha menolak
teguran mitra tutur dengan jawaban sekenanya. Penutur perempuan kelas VIII
SMP, berusia 16 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 49 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah menolak anjuran mitra
tutur. Tindak verbal yang terjadi adalah komisif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur adalah diam saja.
Tuturan A6: Tuturan terjadi di ruang keluarga pada malam hari ketika suasana
santai. Mitra tutur berusaha memperingatkan penutur untuk belajar, karena
sudah disepakati adanya jam belajar pada keluarga tersebut. Namun, penutur
justru menjawab sekenanya dan terkesan acuh, bahkan kembali sibuk dengan
laptopnya. Penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun dan mitra tutur
perempuan berusia 50 tahun. Penutur adalah cucu dari mitra tutur. Tujuan
penutur adalah menolak anjuran MT. Tindak verbal yang terjadi adalah
komisif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT adalah kesal
kemudian meninggalkan penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Pada subkategori menolak terdapat dua tuturan, yaitu tuturan A2 dan A6.
Keduanya mengutarakan maksud yang sama, yaitu maksud menolak. Dalam
hal ini, penutur berusaha menolak aturan yang telah disepakati dalam keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
4.2.1.3 Subkategori Kesal
Cuplikan tuturan 3
MT : “Hayoo, koe mau dolan ora pamit to??”
P : “Mau kan aku wis ngomong, kok diarani dolan, kan wis
ijin!!” (A3)
(Konteks tuturan: penutur pulang dari bepergian pada sore hari, mitra
tutur menghampiri dan bertanya kepada penutur dengan nada sedikit
mencurigai tentang kepergian penutur tanpa seijin mitra tutur. Penutur
kesal karena dicurigai, kemudian menjawab pertanyaan mitra tutur
dengan ketus)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A3: “Mau kan aku wis ngomong, kok diarani dolan, kan wis ijin!!”
(Tadi aku sudah bilang, kok dikira bermain, kan sudah izin!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A3: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan keras,
penutur berbicara sembari menatap mitra tutur dengan tatapan mata terbelalak,
penutur berusaha melanggar aturan yang telah disepakati.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A3: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa wis ijin, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: kok dan kan.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A3: Ketika penutur pulang dari bepergian pada sore hari, mitra tutur
bertanya kepada penutur dengan nada sedikit mencurigai perihal kepergian
penutur tanpa seijin mitra tutur. Penutur kesal karena dicurigai, kemudian
menjawab pertanyaan mitra tutur dengan ketus. Penutur perempuan kelas XII
SMK, berusia 18 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 50 tahun. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
adalah anak dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah berusaha membela diri dari
tuduhan mitra tutur. Tindak verbal yang terjadi adalah ekspresif. Tuturan
tersebut mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur adalah diam dan tidak
mencurigai penutur lagi.
5) Maksud Ketidaksantunan
Maksud penutur menyampaikan tuturannya adalah untuk membela diri dari
tuduhan mitra tuturnya.
4.2.1.4 Subkategori Marah
Cuplikan tuturan 4
MT : (mengingat peraturan yang telah disepakati bahwa tamu harus
pulang sebelum pukul 21.00, maka mitra tutur mematikan lampu ruang
tamu ketika penutur masih menerima tamunya melebihi jam tersebut).
P : “Ahh, mamak ki terlalu! Aku ra meh mulih, meh kost wae!!”
(A4).
(Konteks tuturan: terjadi ketika penutur sedang menerima tamu. Tiba-
tiba mitra tutur mematikan lampu ruang tamu, karena waktu sudah
menunjukkan pukul 21.00 WIB. Penutur kesal dan marah dengan sikap
mitra tutur kemudian melontarkan kata-kata kepada mitra tutur)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A4: “Ahh, mamak ki terlalu! Aku ra meh mulih, meh kost wae!!”
(Ibu itu keterlaluan, aku tidak akan pulang, ingin kost saja!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A4: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan berteriak,
penutur melanggar kesepakatan dalam keluarga, penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan A4: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata terlalu, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa
nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang terdapat
dalam tuturan: ah.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan A4: Tuturan terjadi ketika penutur sedang menerima tamu. Tiba-tiba
mitra tutur mematikan lampu ruang tamu, karena waktu sudah menunjukkan
pukul 21.00 WIB. Mengingat kesepakatan dalam keluarga, bahwa tamu harus
pulang sebelum pukul 21.00 WIB. Penutur kesal dan marah dengan sikap mitra
tutur kemudian melontarkan kata-kata kepada mitra tutur. Tuturan terjadi
dalam suasana serius. Penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra tutur
perempuan berusia 46 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan
penutur adalah menanggapi sikap MT yang kurang menyenangkan. Tindak
verbal yang terjadi adalah ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak
perlokusi MT adalah diam saja.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan A4 disampaikan dengan maksud mengungkapkan kekesalan penutur
terhadap sikap mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Berikut ini adalah sepuluh tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak dan dipaparkan berdasarkan
subkategori ketidaksantunan.
4.2.2.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 7
P : “Sudah hampir setahun, sudah mau punya anak belum?” (B1)
MT : “Belum, Pak.”
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang berbincang-bincang di
ruang keluarga pada suasana santai. Penutur merasa bahwa sudah
waktunya bagi mitra tutur untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu,
penutur menanyakan hal tersebut kepada mitra tutur tanpa memahami
perasaan MT)
Cuplikan tuturan 10
MT 1 : “Pak, ada yang mencari” (berjalan menghampiri penutur dan
diikuti oleh MT2 yang berjalan pelan di belakang MT1).
P : “Wis meh maghrib kok ono tamu!!” (B4) (Konteks tuturan: penutur sedang berada di teras rumah saat matahari
mulai tenggelam. Tiba-tiba MT 1 datang memberitahu penutur bahwa
MT 2 ingin bertemu dengan penutur. Suasana yang terjadi dalam tuturan
adalah serius. Penutur merasa kesal dengan kedatangan MT 2 yang
dianggap mengganggu aktivitas penutur, karena hari sudah petang.
Penutur melontarkan kata-kata yang menyinggung MT2)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B1: “Sudah hampir setahun, sudah mau punya anak belum?”
Tuturan B4: “Wis meh maghrib kok ono tamu!!” (Sudah maghrib kok
ada tamu!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B1: penutur berbicara dengan lugas tanpa memahami perasaan mitra
tutur, penutur menatap mitra tutur sinis, penutur sengaja bertanya kepada orang
yang memang belum memiliki keturunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Tuturan B4: penutur berbicara dengan ketus tanpa melihat ke arah mitra tutur,
penutur berbicara sembari berjalan meninggalkan mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B1: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada frasa hampir setahun, nada rendah, dan pilihan kata yang
digunakan adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku,
yaitu kata mau dan punya.
Tuturan B4: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa meh maghrib, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis
yang terdapat dalam tuturan: kok.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B1: Penutur dan mitra tutur sedang berbincang-bincang di ruang
keluarga pada suasana santai. Penutur merasa bahwa sudah waktunya bagi
mitra tutur untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu, penutur menanyakan hal
tersebut kepada mitra tutur tanpa memahami perasaan MT. Penutur laki-laki
berusia 65 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 33 tahun. Penutur adalah
bapak mertua dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah mengungkapkan
keinginannya untuk segera menimang cucu. Tindak verbal yang terjadi
ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT tersinggung dan
hanya menjawab pertanyaan penutur dengan singkat.
Tuturan B4: Penutur sedang berada di teras rumah saat matahari mulai
tenggelam. Tiba-tiba MT1 datang memberitahu penutur bahwa MT2 ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
bertemu dengan penutur. Suasana yang terjadi dalam tuturan adalah serius.
Penutur merasa kesal dengan kedatangan MT2 yang dianggap mengganggu
aktivitas penutur, karena hari sudah petang. Penutur melontarkan kata-kata
yang menyinggung MT2. Penutur dan MT2 laki-laki, sedangkan MT1
perempuan. Penutur berusia 65 tahun, MT 1 ibu berusia 50 tahun, dan MT 2
berusia 40 tahun. Penutur adalah kerabat dekat MT2. Tujuan penutur yaitu
mengungkapkan ketidaksenangnya terhadap kedatangan MT2. Tindak verbal
yang terjadi ialah ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT2
sedikit tersinggung namun tetap menunggu penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan B1 disampaikan penutur dengan maksud menyindir mitra tuturnya
yang belum juga memiliki keturunan. Lain halnya dengan maksud mengusir
yang disampaikan secara tidak langsung oleh penutur, seperti pada tuturan B4.
4.2.2.2 Subkategori Marah
Cuplikan tuturan 9
P : “Neng ngomah ki ngopo wae??” (B3)
MT : “Gaweanku ki akeh. Ojo ming nyalahke aku terus!!”
(Konteks tuturan: penutur pulang dari sawah dan menjumpai mitra tutur
di dapur pada sore hari. Saat itu, penutur marah ketika pulang dari
sawah belum ada air panas untuk mandi dan minum. Maka, penutur
melontarkan kata-kata kepada mitra tutur tanpa menyadari tuturannya
telah menyinggung mitra tutur)
Cuplikan tuturan 16
P : “Mpun, kulo ajeng jagong! Mang tunggu sak jam!!” (B10)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi di teras rumah ketika mitra tutur
mengunjungi rumah penutur pada siang hari (Kamis, 13 Juni 2013).
Setiap kali bertamu, mitra tutur selalu mengungkapkan maksud yang
tidak jelas, sehingga mengakibatkan penutur enggan. Penutur
menanggapi kedatangan mitra tutur dengan melontarkan kata-kata ketus
dan bernada tinggi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B3: “Neng ngomah ki ngopo wae??” (Di rumah itu apa saja
yang dikerjakan?)
Tuturan B10: “Mpun, kulo ajeng jagong! Mang tunggu sak jam!!” (Sudah,
saya hendak menghadiri pesta pernikahan! Tunggu saja satu jam!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B3: penutur berbicara dengan ketus sembari berdiri.
Tuturan B10: penutur berbicara dengan keras dan ketus, penutur berbicara di
hadapan tamu yang datang, penutur berbicara sembari berjalan masuk ke dalam
rumah dan meninggalkan mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B3: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
keras pada frasa ngopo wae, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan B10: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan keras pada frasa sak jam, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B3: Penutur pulang dari sawah dan menjumpai mitra tutur di dapur
pada sore hari. Saat itu penutur marah ketika pulang dari sawah belum ada air
panas untuk mandi dan minum. Penutur melontarkan kata-kata kepada mitra
tutur dengan nada tinggi tanpa menyadari tuturannya telah menyinggung mitra
tutur. Penutur laki-laki berusia 59 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 57
tahun. Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Tujuan penutur adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
mengungkapkan amarahnya kepada MT yang dinilai kurang peduli terhadap
keadaan rumah. Tindak verbal yang terjadi ekspresif. Tindak perlokusi dari
tuturan tersebut adalah MT menjawab pertanyaan penutur dengan kesal
kemudian pergi meninggalkan penutur.
Tuturan B10: Tuturan terjadi di teras rumah ketika mitra tutur mengunjungi
rumah penutur pada siang hari (Kamis, 13 Juni 2013). Setiap bertamu, mitra
tutur selalu mengungkapkan maksud yang tidak jelas, sehingga mengakibatkan
penutur enggan menjumpai mitra tutur. Penutur menanggapi kedatangan mitra
tutur dengan melontarkan kata-kata ketus dan bernada tinggi. Penutur dan
mitra tutur laki-laki. Penutur berusia 55 tahun dan mitra tutur berusia 49 tahun.
Penutur adalah kerabat jauh MT. Tujuan dari penutur adalah mengungkapkan
ketidaksenangannya terhadap kedatangan penutur. Tindak verbal yang terjadi
adalah ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT pergi.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan B3 disampaikan dengan maksud kesal terhadap sikap mitra tuturnya,
sedangkan tuturan B10 disampaikan dengan maksud mengusir mitra tuturnya.
4.2.2.3 Subkategori Memerintah
Cuplikan tuturan 11
P : “Kene, aku meh ngomong!” (B5)
MT : “Yoo, hati-hati. Ngomong yo ngomong tapi kan ngga perlu
mutus-mutus sembarangan ngono kui.”
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang menerima telepon dari anggota
keluarga lain yang berada di luar kota. Tiba-tiba penutur mengambil
telepon genggam dari mitra tutur dengan cara yang kurang sopan,
sehingga mengakibatkan mitra tutur kesal dan terganggu)
Cuplikan tuturan 13
P : “Mbak, garapke iki!!” (B7)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
MT : “Koe ngerti ora nek mbak ki repot?”
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah.
Penutur datang menghampiri dengan menyodorkan buku kepada mitra
tutur. Penutur meminta bantuan kepada mitra tutur tanpa menyadari
kesibukan yang dialami oleh mitra tutur)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B5: “Kene, aku meh ngomong!” (Sini, aku ingin bicara!)
Tuturan B7: “Mbak, garapke iki!” (Mbak, kerjakan ini!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B5: penutur berbicara dengan ketus, penutur langsung merebut
telepon genggam dari mitra tutur dengan tidak sopan, penutur berbicara dan
melakukan tindakan sembari berdiri, penutur tidak menyadari bahwa
tindakannya mengganggu mitra tutur.
Tuturan B7: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua tanpa sungkan
sedikit pun, penutur kurang peduli dengan aktivitas yang sedang dikerjakan
oleh mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B5: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata kene, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan B7: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan lunak pada frasa garapke iki, nada sedang, dan pilihan kata yang
digunakan adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B5: Mitra tutur sedang menerima telepon dari anggota keluarga yang
berada di luar kota. Tiba-tiba penutur mengambil telepon genggam dari mitra
tutur dengan cara yang kurang sopan, sehingga mengakibatkan mitra tutur
kesal dan terganggu. Penutur seorang ibu berusia 52 tahun dan mitra tutur
seorang bapak berusia 52 tahun. Penutur adalah istri dari mitra tutur. Tujuan
dari penutur ingin ikut berbicara dengan kerabat melalui telepon. Tindak verbal
yang terjadi ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT kesal
dan menasihati penutur.
Tuturan B7: Mitra tutur sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah di ruang
belajar pada malam hari. Penutur datang menghampiri dengan menyodorkan
buku kepada mitra tutur. Penutur meminta tolong agar mitra tutur mau
membantu mengerjakan PR. Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
berusia 16 tahun dan mitra tutur mahasiswa semester 8 berusia 22 tahun.
Penutur adalah adik mitra tutur. Tujuan dari penutur adalah menyuruh mitra
tutur mengerjakan PR. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif. Tindak
perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT merasa terganggu kemudian
menanggapi permintaan penutur dengan singkat.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan B5 memiliki maksud memerintah mitra tuturnya, sedangkan pada
tuturan B7 penutur bermaksud meminta bantuan dalam pengerjaan tugas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
4.2.2.4 Subkategori Kecewa
Cuplikan tuturan 12
P : “Sesok meneh ojo nyayur ngene iki, Mak!!” (B6)
MT : “Koe ki mbok ngerti simbok ki ijen, maem sak anane wae!”
(Konteks tuturan: penutur hendak mengambil makan sembari mencicipi
masakan mitra tutur di ruang makan. Penutur kurang menyukai masakan
mitra tutur, kemudian mengomentarinya dengan ketus)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B6: “Sesok meneh ojo nyayur ngene iki, Mak!!” (Besok lagi
jangan masak sayur seperti ini, Mak!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B6: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus,
penutur berbicara sembari berdiri tanpa rasa bersalah, penutur mengurungkan
niatnya untuk mengambil makanan.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B6: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan keras pada frasa ojo nyayur, nada tinggi, dan pilihan kata yang
digunakan adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B6: Penutur hendak mengambil makan sembari mencicipi masakan
mitra tutur di ruang makan. Penutur kurang menyukai masakan mitra tutur,
kemudian mengomentarinya dengan ketus. Penutur tidak menyadari bahwa
kata-katanya telah menyinggung mitra tutur. Penutur laki-laki berusia 21 tahun
dan mitra tutur perempuan berusia 50 tahun. Penutur adalah anak dari mitra
tutur. Tujuan dari penutur mengungkapkan kekecewaannya terhadap masakan
mitra tutur. Tindak verbal yang terjadi ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
tersebut adalah mitra tutur kesal lalu melontarkan kata-kata kepada penutur dan
meninggalkannya.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan B6 disampaikan dengan maksud memberi saran terhadap masakan
mitra tutur, namun pemberian saran itu ternyata mengakibatkan mitra tuturnya
kurang berkenan.
4.2.2.5 Subkategori Menanyakan
Cuplikan tuturan 14
P : “Ngopo mbah kok ra maem??” (B8)
MT : “Lha yo wong seko sawah kesel-kesel kok ra ono wedang panas.”
(Konteks tuturan: mitra tutur kesal ketika pulang dari sawah pada sore
hari belum ada air panas untuk mandi. Kekesalan mitra tutur
diperlihatkan dengan cara berdiam diri. Melihat tingkah laku mitra tutur
yang tidak seperti biasanya, penutur kemudian bertanya kepada mitra
tutur tanpa rasa bersalah sedikit pun)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B8: “Ngopo mbah kok ra maem??” (Kenapa mbah kok tidak
makan?)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B8: penutur bertanya kepada mitra tutur dengan datar tanpa merasa
bersalah, penutur tidak menyadari bahwa pertanyaannya membuat mitra tutur
tidak berkenan, penutur bertanya di waktu yang kurang tepat.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B8: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lemah pada frasa ra maem, nada rendah, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
ditemukan: kok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B8: Mitra tutur kesal ketika pulang dari sawah pada sore hari belum
ada air panas untuk mandi. Kekesalan mitra tutur diperlihatkan dengan cara
berdiam diri. Melihat tingkah laku mitra tutur yang tidak seperti biasanya,
penutur kemudian bertanya kepada mitra tutur tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Penutur perempuan berusia 59 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 61 tahun.
Penutur adalah istri dari mitra tutur. Tujuan dari penutur yaitu menanggapi
tingkah laku MT yang berbeda. Tindak verbal yang terjadi adalah ekspresif.
Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur menjawab sekenanya
dan pergi meninggalkan penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Penutur bermaksud menanyakan suatu hal kepada mitra tutur, karena melihat
tingkah laku mitra tutur yang tidak seperti biasanya.
4.2.2.6 Subkategori Mengancam
Cuplikan tuturan 15
P : “Tak jewer koe mengko nek ngeyel!!” (B9)
(Konteks tuturan: Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB
di persawahan. Penutur sedang kerepotan mengangkat dedaunan untuk
makanan sapi ke atas motor, sedangkan mitra tutur yang berada di
dekatnya terlihat asik bermain karena mitra tutur merasa bahwa
tugasnya telah usai. Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur
dengan melontarkan kata-kata yang sedikit mengancam)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B9: “Tak jewer koe mengko nek ngeyel!!” (Saya jewer kamu nanti
kalau sulit diatur!!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B9: penutur berbicara dengan ketus dan keras, penutur berbicara
sembari menunjuk ke arah mitra tutur dengan tatapan mata terbelalak, penutur
berbicara dengan melontarkan ancaman di hadapan banyak orang.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B9: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa tak jewer, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B9: Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB di
persawahan. Penutur sedang kerepotan mengangkat dedaunan untuk makanan
sapi ke atas motor, sedangkan mitra tutur yang berada di dekatnya terlihat asik
bermain dan merasa bahwa tugasnya telah usai. Penutur berusaha
memperingatkan mitra tutur dengan melontarkan kata-kata ancaman. Penutur
dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia 45 tahun dan mitra tutur berusia 4
tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan dari penutur yaitu
mengungkapkan kekesalannya. Tindak verbal yang terjadi adalah ekspresif.
Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT menghentikan aktivitas
bermainnya dengan mata yang memerah menahan tangis.
5) Maksud Ketidaksantunan
Terdapat satu tuturan dalam subkategori mengancam ini, yaitu tuturan B9.
Meskipun termasuk dalam subkategori mengancam, pada kenyataannya tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
ini disampaikan dengan maksud menakut-nakuti mitra tuturnya yang dianggap
telah mengganggu aktivitas penutur.
4.2.2.7 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 17
P : “Bu, sesok mbayar uang kuliah. Telate dua hari lagi.” (B11)
MT : “Lha le ngomong kok ra sesok pas hari-H wae. Tuku iki, tuku kui
kok mendadak. Nek mendadak ki duit yo nganggo golek, ora
dadakan koyo ngono!”
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur pulang dari kuliah siang
hari dalam suasana santai. Penutur secara tiba-tiba memberi tahu mitra
tutur bahwa 2 hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah. Penutur
tidak menyadari bahwa perkataannya membuat mitra tutur terkejut dan
kurang berkenan)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B11: “Bu, sesok bayar uang kuliah. Telate dua hari lagi.” (Bu, besok
membayar uang kuliah. Paling lambat dua hari lagi).
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B11: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan santai
tanpa sungkan, penutur berusaha memberi penegasan perihal pembayaran uang
kuliah.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan B11: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada frasa sesok bayar, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu pada
kata sesok dan telate. Selain itu, terdapat penggunaan kata tidak baku, yaitu
bayar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan B11: Tuturan terjadi ketika penutur pulang dari kuliah siang hari
ketika suasana santai. Penutur secara tiba-tiba memberi tahu mitra tutur bahwa
2 hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah. Penutur tidak menyadari
bahwa perkataannya membuat mitra tutur terkejut dan kurang berkenan.
Penutur laki-laki, semester 4 berusia 20 tahun dan mitra perempuan berusia 45
tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tujuan dari penutur adalah memberi
tahu kepada MT. Tindak verbal yang terjadi adalah ekspresif. Tindak perlokusi
dari tuturan tersebut yakni MT terkejut dan menanggapi pernyataan penutur
dengan ketus.
5) Maksud Ketidaksantunan
Pada tuturan B11, penutur bermaksud memberi informasi kepada mitra
tuturnya perihal pembayaran uang kuliah. Namun, pemberian informasi itu
justru mengakibatkan mitra tuturnya kurang berkenan, karena dianggap terlalu
mendadak.
4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Tuturan-tuturan di bawah ini adalah tuturan yang termasuk dalam kategori
ketidaksantunan melecehkan muka yang dipaparkan berdasarkan
subkategori ketidaksantunan.
4.2.3.1 Subkategori Kesal
Cuplikan tuturan 20
P : “Hayoo, punya mulut kok ga bisa ngomong to?besok lagi
bilang!” (C3)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur sedang berbincang-
bincang dengan MT 1 di teras rumah penutur, tiba-tiba MT 2 yang juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
berada di tempat tersebut buang air kecil di celana (Senin, 8 April 2013
pukul 13.50 WIB). Penutur berusaha menegur MT2)
Cuplikan tuturan 30
MT : “Iki pie to ngitunge?”
P : “Huu bodoh, raiso ngitung!!” (C13)
MT : “Yo ben.”
(Konteks tuturan: tuturan terjadi sepulangnya penutur dan mitra tutur
dari membeli sesuatu di toko, mereka terdengar bercakap-cakap (Kamis,
13 Juni 2013, pukul 13.10 WIB). Mitra tutur terlihat kebingungan
menghitung uang kembalian dari warung, kemudian penutur berusaha
menjelaskan kepada mitra tutur sambil melontarkan kata-kata ejekan)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C3: “Hayoo, punya mulut kok ga bisa ngomong to? Besok lagi
bilang!”
Tuturan C13: “Huu bodoh, raiso ngitung!!” (Bodoh, tidak dapat
menghitung).
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C3: penutur berbicara langsung di hadapan tamu yang sedang
berkunjung, penutur berbicara sembari menunjuk ke arah mitra tutur, penutur
juga berbicara keras dengan tatapan mata terbelalak.
Tuturan C13: penutur berbicara dengan keras sembari memegang kepala
mitra tutur, penutur juga berbicara di hadapan beberapa orang.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C3: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa besok lagi bilang, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu ga, bisa,
dan ngomong, serta kata fatis yang terdapat dalam tuturan: hayoo, kok, dan to.
Tuturan C13: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata bodoh, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu pada frasa
raiso ngitung.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C3: Tuturan terjadi ketika penutur sedang berbincang-bincang
dengan MT1 di teras rumah penutur, tiba-tiba MT2 yang juga berada di tempat
tersebut buang air kecil di celana (Senin, 8 April 2013 pukul 13.50 WIB).
Penutur berusaha menegur MT2. Penutur perempuan, berusia 40 tahun, MT1
adalah seorang tamu, dan MT2 laki-laki berusia 2 tahun. Penutur adalah ibu
dari MT2. Tujuan dari penutur mengungkapkan kekesalannya akibat tindakan
MT. Tindak verbal yang terjadi ialah ekspresif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu diam saja dan terlihat sangat
menyesal.
Tuturan C13: Tuturan terjadi sepulangnya penutur dan mitra tutur dari
warung, keduanya terdengar bercakap-cakap (Kamis, 13 Juni 2013, pukul
13.10 WIB). Mitra tutur terlihat kebingungan menghitung uang kembalian dari
warung, kemudian penutur berusaha menjelaskan kepada mitra tutur sambil
melontarkan kata-kata ejekan. Penutur dan mitra tutur perempuan, duduk di
bangku SD. Penutur berusia 7 tahun dan mitra tutur berusia 5 tahun. Penutur
adalah kakak dari mitra tutur. Tujuan dari penutur ialah mengungkapkan
kekesalannya kepada MT. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif. Tuturan
tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT adalah menjawab sekenanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
5) Maksud Ketidaksantunan
Pada tuturan C3, penutur bermaksud menakut-nakuti mitra tuturnya yang pipis
di celana agar tidak mengulangi kesalahan itu lagi. Lebih lanjut lagi maksud
kesal karena ketidakmampuan mitra tuturnya yang terdapat pada tuturan C13.
4.2.3.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 24
(Ketika penutur dan MT1 berbincang-bincang, datanglah MT2
menghampiri penutur. Kemudian penutur berkata)
P : “Sing mesak’ake yo iki mbak, kasian sekali ini. Wis disambi,
ireng, kasian sekali yo le sayang ya.” (C7)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi saat penutur sedang berbincang-
bincang dengan MT 1 di ruang tamu rumah penutur (Kamis, 25 April
2013, pukul 16.06 WIB). MT 2 datang dari luar rumah menghampiri
penutur. Penutur ingin memperkenalkan MT2 kepada MT1 dengan
melontarkan kata-kata ejekan sambil mencium MT2 penuh rasa sayang)
Cuplikan tuturan 33
(Ketika penutur dan MT sedang berbincang-bincang, tiba-tiba MT2
berjalan melewati keduanya. Penutur kemudian berkata)
P : “Itu adik saya yang kepala desa itu tapi itu yang paling bodoh
itu.” (C16)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang-bincang dengan MT 1 di
pendhopo rumah dalam suasana santai (Senin, 10 Juni 2013 sekitar
pukul 12.47 – 13.36 WIB). Tiba-tiba MT 2 selaku adik keponakan dari
penutur lewat depan pendhopo dan tersenyum. Penutur secara spontan
menceritakan kelemahan MT2 dengan nada mengejek)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C7: “Sing mesak’ake yo iki mbak, kasian sekali ini. Wis disambi,
ireng, kasian sekali yo le sayang ya.” (..yang kasian ya ini mbak. Sudah
ditinggal-tinggal, hitam, kasian sekali ya nak, sayang ya).
Tuturan C16: “Itu adik saya yang kepala desa itu tapi itu yang paling bodoh
itu.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C7: penutur berbicara langsung di hadapan tamu yang sedang
berkunjung, penutur berbicara sembari tertawa mengejek dan mencium pipi
mitra tutur, penutur menggunakan kata ‘hitam’ untuk menguatkan maksud
ejekannya terhadap mitra tutur.
Tuturan C16: penutur berbicara dengan sinis sembari menunjuk ke arah MT2,
penutur berbicara langsung di hadapan tamu yang berkunjung, penutur juga
dengan sengaja menceritakan kelemahan MT2.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C7: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada frasa wis disambi, ireng, nada rendah, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu pada
frasa sing mesak’ake yo iki, wis disambi, dan pada kata ireng dan yo, kemudian
kata fatis yang terdapat dalam tuturan: ya dan yo.
Tuturan C16: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
keras pada frasa paling bodoh, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu tapi.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C7: Tuturan terjadi saat penutur sedang berbincang-bincang santai
dengan MT 1 di ruang tamu rumah penutur (Kamis, 25 April 2013, pukul 16.06
WIB). MT 2 datang menghampiri penutur. Penutur ingin memperkenalkan
MT2 kepada MT1 dengan melontarkan kata-kata ejekan sambil mencium MT2.
Penutur dan MT1 perempuan. Penutur ibu berusia 39 tahun dan MT1 adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
tamu. MT2 laki-laki berusia 5 tahun. Penutur adalah ibu dari MT2. Tujuan dari
penutur ialah mengejek penampilan fisik MT2. Tindak verbal yang terjadi
yakni ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu
diam saja.
Tuturan C16: Penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di pendhopo
rumah dalam suasana santai (Senin, 10 Juni 2013 sekitar pukul 12.47 – 13.36
WIB). Tiba-tiba MT2 selaku adik keponakan dari penutur lewat depan
pendhopo dan tersenyum. Penutur secara spontan menceritakan kelemahan
MT2 dengan nada mengejek. Penutur dan MT1 perempuan. Penutur berusia 63
tahun, MT1 adalah tamu, dan MT2 laki-laki berusia 40 tahun. Penutur adalah
kakak keponakan dari MT2. Tujuan dari tuturan penutur ialah mengejek MT2.
Tindak verbal yang terjadi yakni ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan
tindak perlokusi MT2 yaitu pergi meninggalkan penutur dan MT1.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan C7 terdengar sebagai sebuah ejekan, namun maksud dari tuturan
penutur hanyalah mengajak bercanda mitra tuturnya. Lain halnya dengan
tuturan C16 yang disampaikan dengan maksud memberi sebuah informasi.
Sayangnya, pemberian informasi pada tuturan tersebut berkaitan dengan
kelemahan mitra tuturnya, sehingga dipersepsi sebagai maksud
ketidaksantunan
4.2.3.3 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 38
MT : “Ya ampun kalian itu gadis, dandan dong!”
P : “Ngapain dandan? Iihh Ibu juga ga dandan.” (C21)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
(Konteks tuturan: penutur berpamitan kepada mitra tutur hendak
bepergian. Melihat penampilan penutur yang polos, mitra tutur meminta
penutur untuk memperhatikan kecantikan, mengingat usianya yang
sudah beranjak dewasa. Namun, penutur menolak permintaan mitra
tutur dengan jawaban sekenanya sebagai upaya membela diri)
Cuplikan tuturan 40
MT : “Koe sesok dadi pegawai negeri wae, Nduk!”
P : “Dadi pegawai negeri bapak ra dadi opo-opo kok! Aku emoh
pegawai negeri!” (C23)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berbincang-bincang di ruang
keluarga dalam suasana serius. Mitra tutur memberi saran kepada
penutur agar menjadi PNS yang memiliki kejelasan masa depan. Penutur
kurang sependapat dengan mitra tutur, kemudian mengungkapkan
alasannya)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C21: “Ngapain dandan? Ih, Ibu juga ga dandan.”
Tuturan C23: “Dadi pegawai negeri bapak ra dadi opo-opo kok! Aku emoh
pegawai negeri!” (Jadi pegawai negeri bapak tidak jadi apa-apa kok! Saya
tidak ingin jadi pegawai negeri).
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C21: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan sinis,
penutur tidak mengindahkan saran dari mitra tutur, penutur juga berbicara
sembari berlalu meninggalkan mitra tutur.
Tuturan C23: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan sinis,
penutur tidak mengindahkan saran dari mitra tutur, perkataan penutur terdengar
merendahkan profesi mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C21: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada frasa ga dandan, nada sedang, pilihan kata yang digunakan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu ngapain,
dandan, ga, dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: ih.
Tuturan C23: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata emoh, nada sedang, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa
nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang terdapat
dalam tuturan: kok.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C21: Penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari.
Penutur berpamitan kepada mitra tutur hendak bepergian. Melihat penampilan
penutur yang polos, mitra tutur meminta penutur untuk memperhatikan
kecantikan, mengingat usianya yang sudah beranjak dewasa. Namun, penutur
menolak permintaan mitra tutur dengan jawaban sekenanya sebagai upaya
membela diri. Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur berusia 28 tahun
dan mitra tutur berusia 64 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan
dari tuturan penutur ialah membela diri. Tindak verbal yang terjadi adalah
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu diam
sembari menggelengkan kepala.
Tuturan C23: Penutur dan mitra tutur berbincang-bincang di ruang keluarga
dalam suasana serius. Mitra tutur memberi saran kepada penutur agar menjadi
PNS yang memiliki kejelasan masa depan. Penutur kurang sependapat dengan
mitra tutur, kemudian mengungkapkan alasannya. Penutur perempuan berusia
28 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 62 tahun. Penutur adalah anak
perempuan dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan penutur ialah menolak saran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
dari MT. Tindak verbal yang terjadi yaitu komisif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yaitu diam saja.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan C21 disampaikan dengan maksud protes. Penutur bermaksud
memrotes mitra tuturnya yang tidak pernah memperhatikan penampilan. Lain
halnya dengan tuturan C23 yang disampaikan dengan maksud menolak.
Penutur menolak saran dari mitra tutur, karena menurut penutur menjadi PNS
itu bukan pilihan yang tepat.
4.2.3.4 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 22
MT : “Yo raiso, kabeh ki ono Undang-undang’e.”
P : “Maklum lah wong hukum.” (C5)
(Konteks tuturan: ketika membicarakan keadaan masyarakat sering
terjadi pro kontra, terlebih dengan anak pertama yang notabene sudah
terbiasa dengan ilmu hukum. Mitra tutur selalu keras kepala menyatakan
opininya berkaitan tentang hukum. Tiba-tiba penutur melontarkan kata-
kata kepada mitra tutur dengan maksud menyindir)
Cuplikan tuturan 35
P : “Ki lho Mas, ngerti to Undang-undange?” (C18)
MT : “Ngerti, saben dino weruh kok.”
P : “Woo, yowis garapke yo!!”
(Konteks tuturan: penutur meminta bantuan kepada mitra tutur untuk
menyelesaikan PR. Penutur meminta bantuan dengan cara sedikit
menyindir mitra tutur yang notabene mahasiswa fakultas hukum. Mitra
tutur sedikit kesal dengan sikap penutur, sehingga hanya memberikan
jawaban singkat)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C5 : “Maklum lah wong hukum.” (Maklum lah orang hukum)
Tuturan C18: “Ki lho Mas, ngerti to Undang-undange?” (Ini lho Mas, paham
Undang-undangnya kan?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C5: penutur berbicara dengan sinis sembari tersenyum, penutur
sengaja melontarkan kata ‘hukum’ untuk menyindir mitra tutur yang memang
seorang sarjana hukum, sehingga memiliki watak keras.
Tuturan C18: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua sembari
tersenyum menyindir mitra tutur yang notabene mahasiswa fakultas hukum,
tuturan penutur seolah-olah meragukan kemampuan mitra tutur, penutur
meminta bantuan dengan cara tidak sopan yakni melempar buku ke arah mitra
tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C5: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada kata hukum, nada sedang, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: lah.
Tuturan C18: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada frasa Undang-undange, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis
yang terdapat dalam tuturan: lho dan to.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C5: Ketika membicarakan keadaan masyarakat sering terjadi pro
kontra, terlebih dengan anak pertama yang notabene sudah terbiasa dengan
ilmu hukum. Mitra tutur selalu keras kepala menyatakan opininya berkaitan
tentang hukum. Tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata kepada mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
dengan maksud menyindir. Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia
65 tahun dan mitra tutur berusia 35 tahun. Penutur adalah bapak dari mitra
tutur. Tujuan dari penutur yakni mengajak seluruh anggota keluarga untuk
memaklumi watak MT yang keras kepala. Tindak verbal yang terjadi ialah
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu
tersenyum berusaha mencarikan suasana.
Tuturan C18: Penutur meminta bantuan kepada mitra tutur untuk
menyelesaikan PR. Penutur meminta bantuan dengan cara sedikit menyindir
mitra tutur yang notabene mahasiswa fakultas hukum. Mitra tutur kesal
dengan sikap penutur, sehingga hanya memberikan jawaban singkat. Penutur
dan mitra tutur laki-laki. Penutur kelas 2 SMP, berusia 14 tahun dan mitra
tutur mahasiswa semester 4, berusia 19 tahun. Penutur adalah adik dari mitra
tutur. Tujuan dari tuturan penutur ialah menyindir mitra tutur. Tindak verbal
yang terjadi adalah ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi
MT yakni kesal dan memberi jawaban singkat.
5) Maksud Ketidaksantunan
Kedua tuturan di atas disampaikan dengan maksud yang sama yaitu menyindir
mitra tuturnya. Sindiran dalam hal ini berupa sindiran terhadap kemampuan
mitra tuturnya.
4.2.3.5 Subkategori Marah
Cuplikan tuturan 23
P : “Koe ki anak perawan kok keset!!” (C6)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi sepulang penutur dari bepergian sore
hari. Penutur terkejut melihat keadaan rumah yang sangat berantakan
paska ditinggal bepergian. Padahal, penutur sudah memberikan tugas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
kepada mitra tutur untuk menjaga kebersihan rumah. Namun, mitra tutur
tidak mengindahkan perintah penutur, sehingga penutur menegur mitra
tutur dengan ketus)
Cuplikan tuturan 41
MT : “Kalau pulang sekolah itu bantu-bantu orang tua dulu! Jangan
lupa Shalat! Ngga langsung main sampai kayak gitu. Sing ngerti
kahanan!”
P : “Wooo nenek lampir!!” (C24)
(Konteks tuturan: mitra tutur berusaha menasihati penutur yang sering
membangkang terhadap mitra tutur. Mendengar nasihat tersebut,
penutur melontarkan kata-kata yang tidak santun, sehingga mitra tutur
tersinggung)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C6: “Koe ki anak perawan kok keset!!” (Kamu itu anak gadis kok
pemalas)
Tuturan C24: “Woo nenek lampir!!”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C6: penutur berbicara dengan ketus sembari menatap mitra tutur
sinis, penutur melontarkan kata-kata dengan tujuan menyadarkan mitra tutur
agar selayaknya ‘gadis’ yang rajin mengurus rumah.
Tuturan C24: penutur berbicara dengan keras dan ketus, penutur tidak
mengindahkan nasihat mitra tutur, penutur berbicara kepada orang yang lebih
tua dengan kata-kata umpatan, penutur juga berusaha menyamakan mitra tutur
dengan sosok ‘nenek lampir’ yang dianggap galak.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C6: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata keset, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa
nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang terdapat
dalam tuturan: kok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Tuturan C24: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa nenek lampir, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa populer, dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: woo.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C6: Tuturan terjadi sepulang penutur dari bepergian sore hari.
Penutur terkejut melihat keadaan rumah yang berantakan paska ditinggal
bepergian, padahal penutur sudah memberikan tugas kepada mitra tutur untuk
menjaga kebersihan rumah. Namun, mitra tutur tidak mengindahkan perintah
penutur. Akibatnya, penutur menegur mitra tutur dengan ketus. Penutur laki-
laki berusia 47 tahun dan mitra tutur perempuan kelas XII SMK, berusia 19
tahun. Penutur adalah bapak dari mitra tutur. Tujuan dari penutur ialah
menanggapi tingkah laku MT. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif.
Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT ialah diam saja dan
masuk kamar.
Tuturan C24: Mitra tutur berusaha menasihati penutur yang sering
membangkang terhadap mitra tutur. Mendengar nasihat tersebut, penutur
melontarkan kata-kata yang tidak santun, sehingga mitra tutur tersinggung.
Penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun dan mitra tutur perempuan
berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan
penutur ialah mengungkapkan amarahnya. Tindak verbal yang terjadi ialah
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu pergi
meninggalkan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
5) Maksud Ketidaksantunan
Penutur pada tuturan C6 bermaksud mengungkapkan amarahnya terhadap
mitra tutur yang sulit diatur, sedangkan penutur pada tuturan C24
menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan kekesalannya
terhadap mitra tutur yang dianggap terlalu mengaturnya.
4.2.3.6 Subkategori Menyarankan
Cuplikan tuturan 32
P : “Hei kamu tu dikucir rambutnya, nanti nek kuliah budeg lho!”
(C15)
MT: (diam saja)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi siang hari dalam suasana santai ketika
mitra tutur sedang bermain di teras rumah bersama teman-temannya.
Penutur sedikit terganggu ketika melihat mitra tutur selalu mengurai
rambut dan terkesan kurang rapi. Penutur berusaha memberikan saran
kepada mitra tutur)
Cuplikan tuturan 37
P : “Ya ampun kalian itu gadis, dandan dong!” (C20)
MT : “Ngapain dandan? Iihh Ibu juga ga dandan.”
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga
pada sore hari dalam keadaan santai. Mitra tutur terlihat sedang
bersiap-siap hendak pergi. Penutur berusaha memperingatkan mitra
tutur dengan sindiran agar mitra tutur mau memperhatikan penampilan,
mengingat usianya yang sudah beranjak dewasa)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C15: “Hei kamu tu dikucir rambutnya, nanti nek kuliah budeg lho!”
Tuturan C20: “Ya ampun kalian itu gadis, dandan dong!”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C15: penutur berbicara dengan keras di hadapan teman-teman mitra
tutur, penutur menggunakan kata ‘budeg’ untuk meyakinkan mitra tutur agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
mau mengikat rambutnya, selain itu penutur juga berbicara sembari memegang
kepala mitra tutur.
Tuturan C20: penutur berbicara sembari tertawa mengejek dan menatap mitra
tutur sinis, penutur juga menggunakan kata ‘gadis’ untuk menyadarkan mitra
tutur agar mau berdandan.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C15: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan keras pada frasa budeg lho, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu nek,
dan menggunakan kata tidak baku, yaitu tu, budeg, kemudian kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: heii dan lho.
Tuturan C20: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan sedang pada frasa gadis, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu dandan,
dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: dong.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C15: Tuturan terjadi siang hari dalam suasana santai ketika mitra
tutur sedang bermain di teras rumah bersama teman-temannya. Penutur sedikit
terganggu ketika melihat mitra tutur selalu mengurai rambut dan terkesan
kurang rapi. Penutur berusaha memberikan saran kepada mitra tutur. Penutur
dan mitra tutur perempuan. Penutur berusia 57 tahun dan mitra tutur kelas 3
SD. Penutur adalah nenek dari mitra tutur. Tujuan dari penutur adalah
menanggapi sekaligus memberikan saran atas penampilan MT. Tindak verbal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
yang terjadi ialah ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi
MT yakni tidak mengindahkan saran dari penutur.
Tuturan C20: Penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari
dalam keadaan santai. Mitra tutur terlihat sedang bersiap-siap hendak pergi.
Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur dengan sindiran agar mitra tutur
mau memperhatikan penampilan, mengingat usianya yang sudah beranjak
dewasa. Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur berusia 64 tahun dan
mitra tutur berusia 28 tahun. Penutur adalah ibu dari mitra tutur. Tujuan dari
tuturan penutur ialah memberi saran kepada MT. Tindak verbal yang terjadi
adalah direktif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu
memberikan jawaban sekenanya.
5) Maksud Ketidaksantunan
Dalam subkategori menyarankan, terdapat dua maksud ketidaksantunan.
Maksud yang pertama adalah maksud menakut-nakuti yang terdapat pada
tuturan C15. Penutur menakut-nakuti mitra tutur agar mau mengikat
rambutnya. Lain halnya dengan tuturan C20 yang disampaikan dengan maksud
memberikan saran kepada mitra tuturnya agar berkenan memperhatikan
penampilan.
4.2.3.7 Subkategori Menanyakan
Cuplikan tuturan 19
P : “Kok nilai kamu tu jelek, ga pernah belajar ya?” (C2)
MT : “Ah, nggak ngerti aku, Buk.”
(Konteks tuturan: percakapan antara penutur dan mitra tutur bersama
teman-temannya di rumah saat jam pulang sekolah. Penutur berusaha
mencari tahu alasan perihal nilai jelek yang diperoleh di sekolah dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
bertanya kepada mitra tutur. Namun, mitra tutur merasa enggan
menjawab pertanyaan penutur)
1) Wujud Ketidaksantunan linguistik
Tuturan C2: “Kok nilai kamu tu jelek, ga pernah belajar ya?”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C2: penutur bertanya kepada mitra tutur dengan sinis, penutur
bertanya langsung di hadapan teman-teman mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan C2: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada kata jelek, nada sedang, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa
nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu ga, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: kok.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan C2: Percakapan antara penutur dan mitra tutur bersama teman-
temannya di rumah saat jam pulang sekolah pada suasana santai. Penutur
berusaha mencari tahu alasan perihal nilai jelek yang diperoleh di sekolah
dengan bertanya kepada mitra tutur. Namun, mitra tutur merasa enggan
menjawab pertanyaan penutur. Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
ibu berusia 36 tahun dan mitra tutur masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Penutur adalah ibu dari mitra tutur. Tujuan dari penutur ingin mencari tahu
alasan MT yang selalu memperoleh nilai jelek. Tindak verbal yang terjadi ialah
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu memberi
jawaban sekenanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan C2 termasuk dalam subkategori menanyakan, namun disampaikan
dengan maksud menyimpulkan. Penutur menyimpulkan bahwa nilai jelek yang
diperoleh mitra tuturnya akibat dari kemalasan mitra tutur untuk belajar.
4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Berikut adalah tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka dan dipaparkan berdasarkan subkategori
ketidaksantunan.
4.2.4.1 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 52
P : “Arep mencari sendiri atau dicarikan??” (D10)
MT2 : (mitra tutur tersenyum malu)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang-bincang dengan MT 1 di
ruang tamu rumah penutur (Selasa, 4 Juni 2013, sekitar pukul 15.30 –
16.12 WIB). MT2 berjalan dari dalam membawakan minuman.
Kemudian MT2 duduk di sebelah penutur. Tiba-tiba penutur
melontarkan pertanyaan kepada MT2 dengan maksud menyindir karena
MT2 belum juga memiliki teman dekat)
Cuplikan tuturan 58
MT 1 : “Pak’e... Paaaakkkk... Paaaakkkk!!”
MT 2 : “Kulo.” (masih tetap sibuk dengan pekerjaannya)
MT 1 : “Paaakkk... “
(MT 2 hanya diam)
P : “Loro untu bapakmu.” (D16)
(Konteks tuturan: percakapan yang terjadi antara penutur, MT 1, dan
MT 2 di sawah pada siang hari. (Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul
11.30 – 12.30 WIB). MT 1 memanggil MT 2, MT 2 hanya menjawab
dengan singkat sambil terus melanjutkan pekerjaannya. MT 1 kembali
memanggil MT 2, bahkan berulang-ulang. Namun, MT 2 hanya diam
tanpa mempedulikan panggilan MT 1, tiba-tiba penutur melontarkan
kata-kata kepada MT 1 dengan maksud menyindir MT2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D10: “Arep mencari sendiri atau dicarikan?” (Ingin mencari
sendiri atau dicarikan?)
Tuturan D16: “Loro untu bapakmu.” (Sakit gigi bapakmu itu).
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D10: penutur berbicara dengan lugas di hadapan tamu yang datang,
penutur berbicara sembari melirik dan tersenyum ke arah mitra tutur, penutur
sengaja menyindir mitra tutur yang sudah dewasa namun belum juga memiliki
teman dekat.
Tuturan D16: penutur berbicara sembari tersenyum dan menatap ke arah
MT2, penutur berbicara di hadapan orang banyak, penutur berusaha menyindir
MT2 yang diam saja dengan menggunakan frasa ‘sakit gigi’.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D10: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada dicarikan, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu arep.
Tuturan D16: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada frasa loro untu, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D10: Penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di ruang tamu
rumah penutur (Selasa, 4 Juni 2013, sekitar pukul 15.30 – 16.12 WIB). MT2
berjalan dari dalam menuju ruang tamu membawakan minuman. Kemudian
MT2 duduk di sebelah penutur. Tiba-tiba penutur melontarkan pertanyaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kepada MT2 dengan maksud menyindir, karena MT2 belum juga memiliki
teman dekat. Penutur laki-laki berusia 48 tahun, MT1 adalah tamu, dan MT2
perempuan semester 8, berusia 22 tahun. Penutur adalah bapak dari MT2.
Tujuan tuturan penutur adalah mengajak bercanda. Tindak verbal yang terjadi:
ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT2 diam.
Tuturan D16: Percakapan yang terjadi antara penutur, MT1, dan MT2 di
sawah pada siang hari. (Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB).
MT1 memanggil MT2, MT 2 hanya menjawab dengan singkat sambil terus
melanjutkan pekerjaannya. MT1 kembali memanggil MT2, bahkan berulang-
ulang. Namun, MT2 hanya diam tanpa mempedulikan panggilan MT1, tiba-
tiba penutur melontarkan kata-kata kepada MT1 dengan maksud menyindir
MT2. Penutur, MT1, dan MT2 laki-laki. Penutur berusia 40 tahun, MT1
berusia 4 tahun, dan MT2 berusia 42 tahun. Penutur adalah kerabat dari MT2.
Tujuan dari tuturan penutur adalah menyindir MT2 yang tidak mengindahkan
panggilan MT1. Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi: MT2
tersenyum.
5) Maksud Ketidaksantunan
Kedua tuturan di atas disampaikan dengan maksud mengajak bercanda mitra
tuturnya.
4.2.4.2 Subkategori Mengejek
Cuplikan tuturan 46
P : “Mak, satus ki nol’e piro??” (D4)
MT : “Piro yo? 10?”
(semua anggota keluarga tertawa)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk
menyelesaikan PR bersama beberapa anggota keluarga yang lain di
ruang keluarga. Penutur sengaja bertanya kepada mitra tutur, padahal
penutur sudah mengetahui keterbatasan mitra tutur, yakni tidak dapat
membaca. Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur memberikan
jawaban sekenanya)
Cuplikan tuturan 51
MT 1 : “Kalau Mas ini putranya Bapak?
P : “Iya, itu yang masih belum laku mbak, soalnya
pengangguran.” (D9)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang bersama MT 1 di ruang
tamu rumah penutur (Senin, 13 Mei 2013, sekitar pukul 12.10 – 12.35
WIB). MT2 berjalan dari dalam membawakan minuman untuk MT1. MT
1 bertanya kepada penutur perihal MT2. Tiba-tiba penutur melontarkan
jawaban bahwa MT2 seorang pengangguran sembari menunjuk MT2)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D4: “Mak, satus ki nol’e piro?” (Mak, seratus itu nol’nya
berapa?)
Tuturan D9: “Iya, itu yang masih belum laku mbak, soalnya pengangguran.”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D4: penutur berbicara dengan lugas di depan anggota keluarga yang
lain, penutur sengaja melontarkan pertanyaan kepada orang yang memiliki
kelemahan baca tulis agar kebingungan, penutur berbicara kepada orang yang
lebih tua.
Tuturan D9: penutur berbicara dengan ketus sembari menunjuk ke arah mitra
tutur 2, penutur berbicara langsung di hadapan tamu yang datang, penutur juga
berbicara sembari tertawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D4: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
lunak pada nol’e piro, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan D9: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada pengangguran, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan kata tidak baku, yaitu soalnya.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D4: Penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk menyelesaikan
PR bersama beberapa anggota keluarga yang lain di ruang keluarga. Penutur
sengaja bertanya kepada mitra tutur, padahal penutur sudah mengetahui
keterbatasan mitra tutur, yakni tidak dapat membaca. Mendengar pertanyaan
tersebut, mitra tutur memberikan jawaban sekenanya, sehingga seluruh anggota
keluarga tertawa. Penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun dan mitra tutur
perempuan berusia 42 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan dari
tuturan penutur adalah mengajak MT bergurau. Tindak verbal yang terjadi
yakni ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu
diam saja karena malu tidak dapat membantu mengerjakan PR, kemudian pergi
tidur.
Tuturan D9: Penutur sedang berbincang bersama MT1 di ruang tamu rumah
penutur (Senin, 13 Mei 2013, sekitar pukul 12.10–12.35 WIB). MT2 berjalan
dari dalam membawakan minuman untuk MT1. MT1 bertanya kepada penutur
perihal MT2. Tiba-tiba penutur melontarkan jawaban bahwa MT2 seorang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
pengangguran sembari menunjuk MT2. Penutur laki-laki berusia 50 tahun,
MT1 seorang tamu, dan MT2 laki-laki berusia 23 tahun. Penutur adalah bapak
dari MT2. Tujuan tuturan penutur adalah menyuruh MT2 untuk segera mencari
pekerjaan. Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan
tersebut:MT2 hanya tersneyum malu kemudian kembali ke belakang.
5) Maksud Ketidaksantunan
Pada tuturan D4 penutur bermaksud mengajak bercanda mitra tuturnya,
sedangkan tuturan D9 disampaikan dengan maksud memberi informasi.
Pemberian informasi tersebut terkait kelemahan mitra tuturnya. Oleh karena
itu, tuturan penutur dipersepsi sebagai tuturan yang menghilangkan muka.
4.2.4.3 Subkategori Kesal
Cuplikan tuturan 47
MT : “Huuu.. kui film’e ngomong opo to? Mbok ngomong wae malah
jelas!”
P : “Salah’e raiso moco!!” (D5)
MT : “Ah yowis, turu wae.”
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sedang menonton televisi
bersama. Acara yang dilihat saat itu adalah film berbahasa asing yang
tentu dilengkapi dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak
dapat membaca mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami acara
televisi, mitra tutur bertanya kepada penutur namun penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur dengan nada kesal)
Cuplikan tuturan 50
P : “Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh. Mosok manak ping
6. Koyo pitik wae!” (D8)
MT : “Yo biar to, Pak. Banyak anak, banyak rejeki.”
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga
pada sore hari. Penutur berusaha menegur mitra tutur dengan kesal,
karena mitra tutur sudah mempunyai 6 anak. Jumlah yang terlalu banyak
menurut penutur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D5: “Salah’e raiso moco!!” (Salah sendiri tidak dapat membaca)
Tuturan D8: “Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh. Mosok manak ping 6.
Koyo pitik wae!” (Kalau punya anak itu jangan banyak-banyak. Punya anak
kok 6 kali. Seperti ayam saja!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D5: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus,
penutur sengaja tidak menjawab pertanyaan mitra tutur padahal penutur sudah
mengetahui bahwa mitra tutur kesulitan membaca, penutur juga berbicara di
hadapan anggota keluarga lain.
Tuturan D8: penutur berbicara kepada mitra tutur dengan ketus, penutur
melontarkan kata-kata yang seolah-olah menyetarakan sifat manusia dengan
binatang, penutur berbicara tanpa memahami suasana hati mitra tutur, penutur
juga berbicara di hadapan anggota keluarga yang lain.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D5: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata salahe, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
Tuturan D8: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada frasa koyo pitik wae, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis
yang terdapat dalam tuturan: mbok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D5: Tuturan terjadi ketika sedang menonton televisi malam hari.
Acara yang dilihat saat itu adalah film berbahasa asing yang tentu dilengkapi
dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak dapat membaca
mengakibatkan ia kesulitan memahami acara televisi, mitra tutur bertanya
kepada penutur. Namun, penutur menjawab pertanyaan mitra tutur dengan
nada kesal. Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur kelas XII SMK,
berusia 19 tahun dan mitra tutur berusia 42 tahun. Penutur adalah anak dari
mitra tutur. Tujuan tuturan penutur adalah mengungkapkan kekesalannya.
Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut:
MT kesal dan pergi tidur.
Tuturan D8: Penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari.
Penutur berusaha menegur mitra tutur dengan kesal, karena mitra tutur sudah
mempunyai 6 anak. Jumlah yang terlalu banyak menurut penutur. Penutur laki-
laki berusia 75 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 45 tahun. Penutur
adalah bapak dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan penutur adalah menyadarkan
MT untuk tidak menambah jumlah anak lagi. Tindak verbal yang terjadi:
ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT tersenyum malu
kemudian memberikan jawaban untuk membela diri.
5) Maksud Ketidaksantunan
Kedua tuturan tersebut memiliki maksud yang berbeda. Tuturan D5
disampaikan dengan maksud mengungkapkan kekesalan penutur akibat
ketidakmampuan mitra tuturnya dalam hal membaca, sedangkan tuturan D8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
disampaikan dengan maksud memrotes mitra tuturnya karena memiliki anak
dengan jumlah banyak.
4.2.4.4 Subkategori Menegaskan
Cuplikan tuturan 54
P : “Nek sing niki gembeng.” (D12)
MT1 : “Wajar, Bu. Namanya juga anak-anak.”
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang dengan MT1 di ruang tamu
rumah penutur (Rabu, 1 Mei 2013, sekitar pukul 14.27–15.06 WIB).
Terdapat pula MT 2 di tempat tersebut. Penutur menceritakan kebiasaan
MT 2 kepada MT 1. Penutur menggunakan kata ‘gembeng’ yang artinya
orang yang mudah menangis)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D12: “Nek sing niki gembeng.”(Kalau yang ini mudah menangis).
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D12: penutur berbicara dengan lugas tanpa memperhatikan perasaan
mitra tutur, penutur berbicara di hadapan tamu yang datang, penutur berbicara
sembari melirik ke arah mitra tutur, penutur juga dengan sengaja menceritakan
kelemahan mitra tutur di hadapan orang lain.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan D12: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada kata gembeng, nada rendah, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan D12: Penutur sedang berbincang dengan MT1 di ruang tamu rumah
penutur (Rabu, 1 Mei 2013, sekitar pukul 14.27–15.06 WIB). Terdapat pula
MT2 di tempat tersebut. Penutur menceritakan kebiasaan MT2 kepada M1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Penutur menggunakan kata ‘gembeng’ yang artinya orang yang mudah
menangis. Penutur, MT1, dan MT2 perempuan. Penutur berusia 53 tahun, MT1
adalah tamu, dan MT2 berusia 4 tahun. Penutur adalah nenek dari MT2.
Tujuan tuturan penutur ialah menceritakan sikap MT2. Tindak verbal yang
terjadi: representatif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT2 menunduk
sambil terus ‘menggelendot’ manja di samping penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan D12 disampaikan dengan maksud menakut-nakuti mitra tuturnya yang
mudah menangis, dengan harapan mitra tuturnya jera.
4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Berikut ini delapan tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan
menimbulkan konflik dan dipaparkan berdasarkan subkategori
ketidaksantunan.
4.2.5.1 Subkategori Marah
Cuplikan tuturan 65
P : “Woo monyet!!” (E7)
MT : “Lambemu!”
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada
sore hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur
tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui
hal tersebut, sehingga melontarkan umpatan kepada mitra tutur)
Cuplikan tuturan 67
MT : “Udah Shalat belum?”
P : “Iso meneng ora? Aku wis dong!” (E9)
(Konteks tuturan: penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk
Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur,
bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E7: “Woo monyet!!”
Tuturan E9: “Iso meneng ora? Aku wis dong!” (Dapat diam tidak? Aku
sudah mengerti!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E7: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan keras dan
berteriak sembari berdiri, penutur melontarkan umpatan sembari menatap mitra
tutur dengan mata terbelalak.
Tuturan E9: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus
sembari berdiri, perkataan penutur mengakibatkan mitra tutur marah dan
membanting pintu.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E7: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata monyet, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa populer, dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: woo.
Tuturan E9: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan
keras pada frasa wis dong, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E7: Penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari.
Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih
dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut. Penutur
kemudian melontarkan umpatan kepada mitra tutur. Penutur laki-laki kelas 4
SD, berusia 12 tahun dan mitra tutur perempuan kelas XII SMK, berusia 19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
tahun. Penutur adalah adik dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan tersebut adalah
penutur mengungkapkan amarahnya. Tindak verbal yang terjadi ialah
ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT melontarkan kata-kata
umpatan kepada penutur.
Tuturan E9: Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk Shalat,
namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur, bahkan
melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun. Penutur laki-laki kelas VII
SMP, berusia 13 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan tersebut ialah mengungkapkan
amarahnya karena penutur tidak suka diatur-atur. Tindak verbal yang terjadi
yakni ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT marah dan
membanting pintu kamar penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan E7 disampaikan dengan maksud marah karena tingkah laku mitra tutur
yang mengakibatkan penutur tidak berkenan. Selanjutnya, tuturan E9 yang
disampaikan dengan maksud kesal karena penutur merasa sering diatur oleh
mitra tuturnya.
4.2.5.2 Subkategori Kesal
Cuplikan tuturan 61
MT : “Pakai celana kok ngetat semua to?”
P : “Sak karepku to mak, wong sing nganggo aku kok!!” (E3) MT : (meninggalkan penutur dengan raut wajah sinis)
(Konteks tuturan: mitra tutur menghampiri penutur yang hendak
bepergian dan bertanya kepadanya. Menurut mitra tutur, celana yang
dikenakan terlalu ketat. Penutur kurang senang dengan pertanyaan mitra
tutur yang dinilai terlalu mengatur cara berpakaian penutur, sehingga
penutur memberikan jawaban dengan kesal)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Cuplikan tuturan 68
MT 2 : “Dik, bebek’e dipakani yoo!!”
MT1 : (tidak menjawab, justru berbalik menyuruh penutur)
P : “Wooo opo-opo aku. Opo-opo aku!!” (E10)
MT 1 : “Salahe dituku!”
(Konteks tuturan: percakapan sore hari di teras rumah. MT 2 menyuruh
MT 1 untuk memberi makan bebek peliharaan. Namun, MT 1 justru
menyuruh penutur yang empunya bebek tersebut. Penutur kesal karena
selalu disuruh untuk mengerjakan sesuatu. MT 1 yang juga merasa kesal
kemudian menanggapi perkataan penutur)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E3: “Sak karepku to mak, wong sing nganggo aku kok!!” (Terserah
saya dong Mak, yang pakai kan saya!!)
Tuturan E10: “Woo opo-opo aku. Opo-opo aku!!”(Apa-apa saya, apa-apa
saya!!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E3: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus dan
keras, penutur juga berbicara sembari berjalan meninggalkan mitra tutur.
Tuturan E10: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan keras
tanpa melihat ke arah mitra tutur, penutur berbicara sembari berjalan hendak
meninggalkan mitra tutur, penutur juga sengaja melontarkan kata-kata
sekenanya.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E3: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada sak karepku to Mak, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis
yang terdapat dalam tuturan: kok dan to.
Tuturan E10: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata fatis woo, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis yang
terdapat dalam tuturan: woo.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E3: Mitra tutur menghampiri penutur yang hendak bepergian dan
bertanya kepadanya. Menurut mitra tutur, celana yang dikenakan terlalu ketat.
Penutur kurang senang dengan pertanyaan mitra tutur yang dinilai terlalu
mengatur cara berpakaian penutur, sehingga penutur memberikan jawaban
dengan kesal. Tuturan terjadi dalam suasana serius. Penutur laki-laki berusia 24
tahun dan mitra tutur perempuan berusia 46 tahun. Penutur adalah anak dari
mitra tutur. Tujuan dari tuturan penutur ialah mengungkapkan amarahnya.
Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut:
MT meninggalkan penutur sinis.
Tuturan E10: Percakapan sore hari di teras rumah. MT2 menyuruh MT1
untuk memberi makan bebek peliharaan. Namun, MT1 justru menyuruh
penutur yang empunya bebek tersebut. Penutur kesal karena selalu disuruh
untuk mengerjakan sesuatu. MT1 yang juga merasa kesal kemudian
menanggapi perkataan penutur. Penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun,
MT1 perempuan kelas XII SMK ,berusia 19 tahun, dan MT2 perempuan
berusia 42 tahun. Penutur adalah adik dari MT1, dan MT2 adalah ibu dari
penutur juga MT1. Tujuan penutur adalah menolak perintah MT1. Tindak
verbal yang terjadi yaitu ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut
adalah MT1 menanggapi perkataan penutur dengan kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
5) Maksud Ketidaksantunan
Pada tuturan E3 penutur bermaksud mengungkapkan kekesalanya karena mitra
tutur terlalu banyak mengatur cara berpakaian penutur. Lain halnya dengan
maksud protes yang terdapat pada tuturan E10. Penutur bermaksud memrotes
mitra tuturnya yang terlalu sering memerintah dirinya
4.2.5.3 Subkategori Menyepelekan
Cuplikan tuturan 62
MT : “Seko ngendi koe mau?”
P : “Biasa anak muda.” (E4)
MT : (pergi meninggalkan penutur dan membanting pintu).
(Konteks tuturan: penutur tiba di rumah dari bepergian sore hari. Mitra
tutur menyapa penutur di ruang tamu sembari melontarkan pertanyaan
dari mana penutur pergi. Penutur merasa tidak nyaman ketika mitra
tutur bertanya perihal kepergiannya, sehingga penutur hanya menjawab
sekenanya dan terkesan menyepelekan)
Cuplikan tuturan 64
MT : “Ayo ngewangi aku neng sawah!”
P : “Halah mangke bu, neng sawah terus koyo dibayar wae.”
(E6)
MT : “Bocah ora ngerti kahanan. Koe iso urip tekan dino iki yo mergo
seko hasil sawah kui.”
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang bersiap-siap di teras rumah hendak
pergi ke sawah pada siang hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk
membantu pekerjaan di sawah. Penutur enggan melaksanakan perintah
dari mitra tutur dan hanya memberi jawaban sembrono)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E4: “Biasa anak muda.”
Tuturan E6: “Halah mangke Bu, neng sawah terus koyo dibayar wae.” (Halah
nanti Bu, di sawah terus seperti dibayar saja).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E4: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan sembrono,
penutur tidak memberi tahu mitra tutur dari mana ia pergi, penutur menanggapi
pertanyaan mitra tutur sembari berjalan.
Tuturan E6: penutur menanggapi ajakan mitra tutur dengan datar tanpa ada
rasa tanggung jawab, penutur berbicara kepada orang yang lebih tua, penutur
tidak mengindahkan ajakan mitra tutur.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E4: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
lunak pada frasa anak muda, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa populer.
Tuturan E6: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi berita, tekanan
keras pada frasa halah, nada sedang, dan pilihan kata yang digunakan adalah
bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E4: Penutur tiba di rumah dari bepergian sore hari. Mitra tutur
menyapa penutur di ruang tamu sembari melontarkan pertanyaan dari mana
penutur pergi. Penutur merasa tidak nyaman ketika mitra tutur bertanya perihal
kepergiannya, sehingga penutur hanya menjawab sekenanya dan terkesan
menyepelekan. Penutur perempuan, kelas XII SMK berusia 19 tahun dan mitra
tutur perempuan berusia 42 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan
dari tuturan penutur ialah berusaha merahasiakan sesuatu. Tindak verbal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT marah dan
membanting pintu.
Tuturan E6: Mitra tutur sedang bersiap-siap di teras rumah hendak pergi ke
sawah pada siang hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk membantu
pekerjaan di sawah. Penutur enggan melaksanakan perintah dari mitra tutur dan
hanya memberi jawaban sembrono. Penutur laki-laki, berusia 28 tahun dan
mitra tutur perempuan, berusia 53 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan dari tuturan tersebut ialah penutur enggan melaksanakan tugas dari MT.
Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut
adalah MT menjawab perkataan penutur dengan kesal kemudian pergi
meninggalkan penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Dalam subkategori menyepelekan terdapat dua maksud ketidaksantunan.
Maksud yang pertama adalah maksud merahasiakan sesuatu dan terdapat pada
tuturan E4. Penutur merasa tidak nyaman dengan pertanyaan mitra tutur,
sehingga berusaha merahasiakan kepergian penutur. Berbeda dengan tuturan
E6 yang disampaikan dengan maksud menolak. Penutur bermaksud menolak
ajakan mitra tuturnya untuk pergi ke sawah.
4.2.5.4 Subkategori Menyindir
Cuplikan tuturan 59
MT : (mitra tutur mengambil makanan, namun kurang berhati-hati
sehingga mneimbulkan kegaduhan)
P : “Mbok dibanting sisan! Mbok dibaleni!” (E1)
MT : (mitra tutur kesal dan justru dengan sengaja membuat gaduh
ruang makan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang makan siang di ruang
makan. Mitra tutur secara tidak sengaja mengambil piring dengan tidak
hati-hati, sehingga menimbulkan suara gaduh. Penutur menanggapi
tingkah laku mitra tutur dengan melontarkan kata-kata sindiran)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E1: “Mbok dibanting sisan! Mbok dibaleni!” (Dibanting sekalian,
diulang lagi!)
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E1: penutur berbicara dengan ketus dan sengaja melontarkan kata-
kata sindiran kepada mitra tutur, penutur berbicara sembari melirik sinis ke
arah mitra tutur, penutur sengaja menyindir mitra tutur dengan tujuan agar
lebih berhati-hati ketika mengambil sesuatu.
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E1: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi perintah,
tekanan keras pada kata sisan, nada sedang, pilihan kata yang digunakan
adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa, dan kata fatis
yang terdapat dalam tuturan: mbok.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E1: Penutur dan mitra tutur sedang makan siang di ruang makan.
Mitra tutur secara tidak sengaja mengambil piring dengan tidak hati-hati,
sehingga menimbulkan suara gaduh. Penutur menanggapi tingkah laku mitra
tutur dengan melontarkan kata-kata sindiran. Penutur dan mitra tutur laki-laki.
Penutur mahasiswa semester 4, berusia 19 tahun dan mitra tutur kelas VIII
SMP, berusia 14 tahun. Penutur adalah kakak dari mitra tutur. Tujuan dari
tuturan penutur adalah menyuruh MT agar lebih berhati-hati. Tindak verbal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
yang terjadi yaitu ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT
kesal dan semakin membuat gaduh suasana.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan E1 disampaikan dengan maksud menyindir mitra tuturnya yang tidak
pernah berhati-hati dalam melakukan aktivitas, sehingga selalu menimbulkan
suara gaduh.
4.2.5.5 Subkategori Menolak
Cuplikan tuturan 63
MT : “Wisnu ambilkan kursi di depan itu!”
P : “Punya kaki sendiri kok!!” (E5)
MT : (mitra tutur menghampiri penutur kemudian menjewer telinga
penutur)
(Konteks tuturan: percakapan terjadi di ruang keluarga pada siang hari
(Rabu, 24 April 2013. Pukul 13.15 – 13. 45 WIB). Mitra tutur sedang
menerima tamu di ruang tamu, sedangkan penutur sedang menonton
televisi di ruang keluarga. Mitra tutur meminta bantuan kepada penutur
untuk mengambilkan kursi di depan rumah. Penutur enggan
melaksanakan perintah dari mitra tutur, bahkan menanggapi permintaan
mitra tutur dengan kata-kata yang tidak santun)
1) Wujud Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E5: “Punya kaki sendiri kok!!”
2) Wujud Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E5: penutur berbicara kepada orang tua dengan ketus, penutur
dengan sengaja memberikan jawaban yang tidak sopan, penutur berbicara
tanpa melihat ke arah mitra tutur, penutur tidak mengindahkan perintah mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
3) Penanda Ketidaksantunan Linguistik
Tuturan E5: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan
keras pada kata sendiri kok, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah
kata populer, dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: kok.
4) Penanda Ketidaksantunan Pragmatik
Tuturan E5: Percakapan terjadi di ruang keluarga pada siang hari (Rabu, 24
April 2013. Pukul 13.15–13.45 WIB). Mitra tutur sedang menerima tamu di
ruang tamu, sedangkan penutur sedang menonton televisi di ruang keluarga.
Mitra tutur meminta bantuan kepada penutur untuk mengambilkan kursi di
depan rumah. Penutur enggan melaksanakan perintah dari mitra tutur, bahkan
menanggapi permintaan mitra tutur dengan kata-kata yang tidak santun.
Penutur laki-laki, siswa kelas 3 SD dan mitra tutur laki-laki berusia 43 tahun.
Penutur adalah anak dari MT. Tujuan dari tuturan penutur ialah menolak
perintah dari MT. Tindak verbal yang terjadi: komisif. Tindak perlokusi dari
tuturan tersebut: MT menjewer telinga penutur.
5) Maksud Ketidaksantunan
Tuturan E5 disampaikan dengan maksud menolak perintah dari mitra tuturnya.
4.3 Pembahasan
Data yang telah dianalisis kemudian dibahas lebih mendalam pada bagian
pembahasan ini. Pembahasan lebih lanjut dari setiap kategori ketidaksantunan
didasarkan pada tiga pokok rumusan masalah, yang meliputi wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur. Berikut ini adalah pembahasan
mengenai ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam keluarga petani.
4.3.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
Kategori ketidaksantunan yang pertama dikemukakan oleh Locher dan
Watts (2008). Kedua ahli tersebut berpandangan bahwa perilaku tidak santun
adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negative marked
behavior), karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Locher dan Watts juga menjelaskan bahwa ketidaksantunan merupakan alat untuk
menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Pada
dasarnya, teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher dan Watts
menitikberatkan pada bentuk penggunaan tuturan yang secara normatif dianggap
menyimpang, karena dianggap melanggar norma yang berlaku pada masyarakat
(tertentu) atau melanggar aturan-aturan yang telah disepakati dalam keluarga.
Dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma, terdapat empat subkategori
ketidaksantunan. Berdasarkan keempat subkategori tersebut, berikut adalah
pembahasan mengenai wujud dan penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik serta maksud ketidaksantunan penutur.
4.3.1.1 Subkategori Menentang
Menentang dapat dipahami sebagai ungkapan ketidaksetujuan penutur
terhadap suatu hal. Wujud ketidaksantunan linguistik dalam subkategori
menentang terdapat pada tuturan A1 dan A5. Kedua tuturan tersebut termasuk
dalam subkategori menentang karena menyiratkan bentuk penentangan penutur
terhadap aturan yang disepakati dalam keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Opo-opo kok koyo cah cilik to, mengko lak yo bali dewe!! (A1)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika mitra tutur berusaha menegur
penutur yang terlambat pulang. Sudah ada kesepakatan jika terlambat
harus memberi kabar terlebih dahulu melalui telepon. Namun, penutur
justru kesal dan berusaha menentang kesepakatan tersebut dengan
memberikan jawaban sekenanya kepada mitra tutur)
Iyo Pak, sekalian subuh. (A5)
(Konteks tuturan: penutur hendak bepergian bersama teman-temannya pada
sore hari, mitra tutur berpesan kepada penutur agar tidak pulang larut
malam, sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam keluarga.
Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan terkesan sembrono,
sehingga memunculkan kekesalan mitra tutur)
Lebih lanjut lagi dalam wujud ketidaksantunan pragmatik yang berkaitan
dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturannya. Pada kedua tuturan di atas,
penutur dengan sadar berusaha melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan
dalam keluarga. Salah satu pelanggaran tersebut diungkapkan dengan cara
menentang. Kedua tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur tidak
mengindahkan teguran dan pesan dari mitra tutur, hal ini dapat dilihat dari cara
penutur menanggapi mitra tutur, misalnya dengan berbicara ketus dan sembrono
tanpa rasa bersalah. Hal-hal tersebut menunjukkan rendahnya kadar kesantunan
dari tuturan penutur. Selain tuturannya yang tidak santun, penutur juga
memperlihatkan tindakan yang kurang sopan, seperti berbicara sembari tersenyum
atau justru sama sekali tidak melihat ke arah mitra tutur. Tuturan yang
disampaikan oleh penutur ditujukan kepada orang yang lebih tua, sehingga
mengakibatkan tuturan tersebut semakin tidak santun.
Penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan dapat dilihat
berdasarkan intonasi, tekanan, nada, pilihan kata (diksi), dan kata fatis. Hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
tersebut sejalan dengan penjelasan Pranowo (2009:76) bahwa aspek penentu
kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada
bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Salah satu unsur
suprasegmental yang dikaji adalah intonasi. Muslich (2008:115-116)
mengemukakan bahwa intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam
pembedaan maksud kalimat. Intonasi pada tuturan A1 berbeda dengan intonasi
pada tuturan A5. Tuturan A1 disampaikan dengan intonasi seru ketika penutur
berusaha menentang teguran dari mitra tutur. Meskipun sama-sama menentang,
pada kenyataannya tuturan A5 disampaikan dengan intonasi berita yang memiliki
pola intonasi datar-turun. Tuturan A5 menunjukkan adanya pemberitahuan
kepada mitra tuturnya. Adanya perbedaan intonasi dalam kedua tuturan tersebut
menunjukkan bahwa intonasi sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat.
Aspek selanjutnya yang akan dibahas adalah tekanan. Tekanan dalam
tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran kalimat
(sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam tataran kata (leksis)
(Muslich, 2009:113). Pada tuturan A1 penutur berbicara dengan tekanan keras.
Berbeda dengan tuturan A5 yang disampaikan dengan tekanan lunak. Penutur
hanya memberikan tekanan pada bagian yang dianggap penting saja. Hal tersebut
sejalan dengan penjelasan Muslich (2009:113) bahwa dalam tataran kalimat tidak
semua kata mendapat tekanan yang sama. Hanya kata-kata yang dipentingkan atau
dianggap penting saja yang mendapat tekanan (aksen). Tuturan A1 mendapat
tekanan pada pengucapan frasa bali dewe, sedangkan tuturan A5 ditekankan pada
bagian sekalian subuh. Tekanan dalam sebuah tuturan juga memudahkan maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
dapat sampai kepada mitra tuturnya. Namun, kenyataannya kedua bagian yang
ditekankan dari tuturan-tuturan tersebut justru berpotensi menyinggung mitra
tuturnya.
Lebih lanjut lagi mengenai nada tutur. Nada menyangkut tinggi
rendahnya bunyi. Tuturan A1 dituturkan oleh penutur dengan nada tinggi sebagai
ungkapan kekesalannya terhadap teguran mitra tutur, sedangkan tuturan A5
disampaikan oleh penutur dengan nada sedang. Meskipun disampaikan dengan
nada sedang, tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena
terdengar menyepelekan mitra tuturnya. Terlebih ketika tuturan tersebut ditujukan
kepada orang yang lebih tua. Dalam kebudayaan Jawa, orang yang lebih muda
diharuskan menjaga sopan santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Sopan santun tersebut dapat ditunjukkan melalui tuturan yang halus dan sikap
yang dianggap santun.
Selain unsur suprasegmental, penanda ketidaksantunan linguistik dapat
dilihat berdasarkan unsur segmentalnya, yaitu pilihan kata (diksi) dan kata fatis.
Gorys Keraf (1987) memaparkan bahwa diksi atau pilihan kata adalah
kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana mengelompokkan kata-kata yang tepat,
dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Penggunaan
bahasa yang ditemukan pada kedua tuturan tidak santun tersebut adalah bahasa
nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa dan istilah bahasa Jawa.
Bahasa nonstandar adalah bahasa dari mereka yang tidak memperoleh
kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Kadang-kadang unsur nonstandar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau, berhumor, atau
untuk menyatakan ciri-ciri kedaerahan (Keraf, 1984:104-105). Tuturan A1
termasuk dalam bahasa nonstandar yang menggunakan bahasa Jawa karena semua
kata-kata dalam tuturan tersebut menggunakan bahasa Jawa, sedangkan tuturan
A5 merupakan bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa
karena terjadi pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi kata dalam bahasa Jawa,
yaitu iyo yang berarti iya. Penggunaan diksi pada kedua tuturan tersebut
dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan, karena penggunaan bahasa Jawa oleh
penutur terdengar kurang halus, terlebih ketika disampaikan kepada orang yang
lebih tua. Selain itu, penutur nampaknya kurang memperhatikan pilihan kata.
Misalnya, penggunaan kata-kata mengko lak yo bali dewe dan sekalian subuh
dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tutur. Kedua tuturan itu dapat
saja disampaikan dengan lebih halus menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Berbicara mengenai kata fatis, Kridalaksana (1986:113)
mengelompokkan partikel di dalam kategori fatis. Kategori fatis adalah kategori
yang bertugas melulai, mempertahankan, atau mengkukuhkan pembicaraan antara
pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka
kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat nonstandar yang banyak
mengandung unsur-unsur daerah. Sejalan dengan pengertian tersebut, ditemukan
penggunaan kata fatis kok dalam tuturan A1. Penggunaan kata fatis kok dalam
tuturan tersebut menekankan alasan dan pengingkaran dari penutur terhadap mitra
tutur. Dalam kategori melanggar norma, pengingkaran itu berkaitan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati dalam keluarga. Selanjutnya
adalah kata fatis yang mengandung unsur daerah yaitu to, yang juga terdapat pada
tuturan A1.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Leech (1983) dalam
Wijana (1996:10-13) mengemukakan lima aspek yang senantiasa harus
dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Kelima aspek tersebut terdiri dari
penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Ditinjau dari
aspek penutur dan lawan tutur, pada tuturan A1 penutur laki-laki berusia 24 tahun
dan mitra tutur perempuan berusia 46 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Lain halnya pada tuturan A5, penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia 19
tahun, mahasiswa semester 4 dan mitra tutur berusia 47 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur.
Aspek berikutnya adalah konteks. Konteks dapat diartikan sebagai semua
latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-
sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang
mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu
di dalam keseluruhan proses bertutur (Rahardi, 2003:20). Konteks dalam tuturan
A1 terjadi ketika mitra tutur berusaha menegur penutur yang terlambat pulang.
Padahal sudah ada kesepakatan jika terlambat harus memberi kabar terlebih
dahulu melalui telepon. Namun, ketika mitra tutur memberi teguran, penutur
justru kesal dan berusaha menentang kesepakatan tersebut dengan memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
jawaban kepada mitra tutur. Begitu juga dengan tuturan A5 yang terjadi ketika
penutur hendak bepergian bersama teman-temannya, mitra tutur berpesan kepada
penutur agar tidak pulang larut malam, sesuai dengan kesepakatan yang sudah
ditetapkan dalam keluarga. Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan
terkesan sembrono, sehingga memunculkan kekesalan mitra tutur.
Tujuan penutur dalam tuturan A1 yaitu mengungkapkan kekesalannya
terhadap teguran mitra tutur. Tuturan tersebut terjadi di ruang keluarga pada sore
hari. Berbeda dengan tuturan A5, penutur bertujuan menentang pesan dari mitra
tuturnya. Tuturan terjadi di ruang tamu pada sore hari. Tindak verbal pada kedua
tuturan tersebut adalah tindak verbal komisif, yang dipahami sebagai jenis tindak
tutur untuk mengikatkan diri penutur terhadap tindakan-tindakan di masa yang
akan datang, berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Lebih lanjut lagi dalam
tindak perlokusi. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect)
kepada diri sang mitra tutur (Rahardi, 2003:72). Pada tuturan A1 tindak perlokusi
yang terjadi adalah mitra tutur diam saja kemudian meninggalkan penutur,
sedangkan tuturan A5 mengakibatkan mitra tuturnya merasa disepelekan.
Aspek penutur dan lawan tutur pada kedua tuturan di atas menunjukkan
bahwa penutur cenderung berusia lebih muda daripada mitra tutur. Dalam
kebudayaan Jawa, orang yang lebih muda seharusnya menjaga sopan santun,
terlebih ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Namun, kenyataannya
kedua penutur tadi cenderung tidak santun dalam bertutur kata. Penutur dan mitra
tutur terikat dalam hubungan kekeluargaan yang cenderung mendorong adanya
kedekatan tertentu antara penutur dan mitra tuturnya. Kedekatan inilah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
terkadang justru menimbulkan terciptanya komunikasi yang kurang santun di
antara keduanya.
Santun atau tidaknya sebuah tuturan juga dapat dilihat berdasarkan
konteks. Kedua penutur dalam konteks tadi berusaha menentang peraturan yang
telah disepakati dalam keluarga. Hal itu dibuktikan dengan tindak verbal yang
terjadi yaitu tindak verbal komisif. Tuturan penutur dianggap tidak santun karena
mengakibatkan mitra tuturnya merasa disepelekan sehingga pergi meninggalkan
penutur begitu saja.
Setiap tuturan tidak santun mengandung maksud tertentu yang ingin
disampaikan kepada mitra tuturnya. Maksud dalam tuturan adalah milik penutur.
Maksud ini berkenaan dengan tujuan dari penutur ketika mengutarakan tuturan
tidak santunnya kepada mitra tutur. Hal inilah yang dapat dipahami sebagai
maksud ketidaksantunan. Meskipun termasuk dalam subkategori menentang, pada
kenyataannya tuturan A1 menyiratkan maksud kekesalan penutur terhadap mitra
tutur yang telah menegurnya ketika terlambat pulang ke rumah. Begitu juga
dengan tuturan A5, ketika mitra tutur memberi pesan agar tidak pulang karut
malam, tanggapan dari penutur memang terkesan sembrono dan menyepelekan,
namun maksud di balik tuturan penutur sebenarnya hanyalah mengajak bercanda
mitra tuturnya.
4.3.1.2 Subkategori Menolak
Menolak dapat dipahami sebagai ungkapan ketidaksetujuan penutur
terhadap saran, nasihat, perintah, maupun pesan dari mitra tutur. Berikut adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
wujud ketidaksantunan linguistik dalam subkategori menolak, yang terdapat pada
tuturan A2 dan A6.
Emoohh, Pak! (A2)
(Konteks tuturan: penutur pulang dari bermain dan masih menggunakan
seragam sekolah. Mitra tutur menegur penutur agar saat pulang sekolah
terlebih dahulu berganti pakaian kemudian berpamitan sesuai dengan
aturan yang disepakati dalam keluarga. Namun, penutur berusaha menolak
teguran mitra tutur dengan jawaban sekenanya)
Ah, wong neng sekolah wis sinau kok! (A6)
(Konteks tuturan: mitra tutur berusaha memperingatkan penutur untuk
belajar, karena sudah disepakati adanya jam belajar pada keluarga
tersebut. Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan terkesan acuh,
bahkan kembali sibuk dengan laptopnya)
Setelah mencermati wujud ketidaksantunan linguistik pada kedua tuturan
tersebut, lebih lanjut lagi pembahasan mengenai wujud ketidaksantunan
pragmatik yang berkaitan dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan
tidak santun tersebut. Penutur pada kedua tuturan di atas dengan sadar berusaha
melanggar kesepakatan yang telah disepakati dalam keluarga. Pelanggaran itu
diperlihatkan dengan cara menolak teguran dan peringatan dari mitra tutur.
Penolakan yang terjadi pada tuturan A2 berkaitan dengan aturan-aturan ketika
pulang dari sekolah, sedangkan penolakan pada tuturan A6 berkaitan dengan
adanya jam belajar pada malam hari. Penutur pada kedua tuturan tersebut
berbicara kepada orang yang lebih tua tanpa melihat ke arah mitra tutur. Bahkan
terkesan acuh tak acuh. Hal tersebut sudah tentu semakin menunjukkan rendahnya
kadar kesantunan dari tuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Berbicara mengenai penanda ketidaksantunan, dapat dibedakan dari segi
linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik dilihat dari unsur
suprasegmental dan unsur segmental dalam setiap tuturan. Salah satu unsur
suprasegmental adalah intonasi. Tuturan A2 dan A6 memiliki intonasi yang sama,
yaitu intonasi seru. Meskipun kedua tuturan tersebut sama-sama berintonasi seru,
tuturan A2 terdengar lebih lunak daripada tuturan A6 yang cenderung terdengar
keras. Tuturan yang disampaikan dengan intonasi seru dan cenderung terdengar
keras dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan, terlebih ketika mitra tutur yang
diajak berbicara hanya berada pada jarak dekat.
Unsur suprasegmental yang akan dibahas selanjutnya adalah tekanan.
Penutur hanya memberikan tekanan pada bagian yang dianggap penting saja.
Kata emoohh lebih ditekankan dengan lunak oleh penutur pada tuturan A2,
sedangkan kata fatis ah mendapat tekanan keras pada tuturan A6. Beberapa
bagian yang ditekankan pada kedua tuturan tersebut merupakan bagian tuturan
yang dipentingkan penutur ketika mengungkapkan sebuah penolakan.
Lebih lanjut lagi mengenai nada tutur. Nada adalah naik turunnya ujaran
yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur (Pranowo,
2009:77). Tuturan A2 dan A6 sebagai bentuk penolakan dituturkan dengan nada
sedang. Meskipun disampaikan dengan nada sedang, kedua tuturan tersebut
dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena terdengar menyepelekan mitra
tuturnya.
Selanjutnya, mengenai unsur segmental yaitu diksi (pilihan kata) dan
kata fatis. Pilihan kata yang digunakan pada tuturan A2 dan A6 adalah bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa. Namun, penggunaan bahasa Jawa
pada kedua tuturan tersebut kurang sesuai dengan situasi yang dihadapi, karena
bahasa Jawa yang digunakan terdengar kurang halus jika disampaikan kepada
orang yang lebih tua.
Unsur segmental berikutnya yaitu kata fatis. Kategori fatis adalah
kategori yang bertugas melulai, mempertahankan, atau mengkukuhkan
pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara (Kridalaksana, 1986:113). Tidak
ditemukan penggunaan kata fatis pada tuturan A2, sebaliknya pada tuturan A6
terdapat penggunaan kata fatis yaitu ah, wong, dan kok. Kata fatis ah pada tuturan
tersebut digunakan untuk menekankan sebuah penolakan atau sikap acuh tak acuh
terhadap mitra tuturnya. Kemudian, kata fatis kok untuk menekankan alasan dan
pengingkaran dari penutur terhadap mitra tutur. Pengingkaran dalam tuturan A6
berkaitan dengan adanya jam belajar pada malam hari. Lain halnya dengan kata
fatis wong yang mengandung unsur daerah.
Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang melingkupi tuturan tersebut. Pada tuturan A2, penutur adalah perempuan
kelas VIII SMP, berusia 16 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 49 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tuturan terjadi ketika penutur pulang dari
bermain dan masih menggunakan seragam sekolah pada sore hari. Mitra tutur
menegur penutur agar saat pulang sekolah terlebih dahulu ganti pakaian kemudian
berpamitan sesuai dengan aturan yang disepakati dalam keluarga tersebut.
Namun, penutur berusaha menolak teguran mitra tutur dengan jawaban
sekenanya. Tuturan penutur dilandasi dengan tujuan menolak anjuran mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
untuk berpamitan terlebih dahulu sebelum bepergian. Tindak verbal yang terjadi
adalah tindak verbal komisif. Tuturan penutur mengakibatkan mitra tutur diam
saja.
Lain halnya dengan tuturan A6. Penutur laki-laki kelas VII SMP berusia
13 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 50 tahun. Penutur adalah cucu dari
mitra tutur. Tuturan terjadi ketika suasana santai. Mitra tutur berusaha
memperingatkan penutur untuk belajar, karena sudah disepakati adanya jam
belajar pada keluarga tersebut. Namun, penutur justru menjawab sekenanya dan
terkesan acuh, bahkan kembali sibuk dengan laptopnya. Tuturan penutur
menyiratkan tujuan berupa penolakan terhadap anjuran mitra tutur untuk belajar.
Tuturan terjadi di ruang keluarga pada malam hari. Tindak verbal yang terdapat
dalam tuturan adalah tindak verbal komisif, sedangkan tindak perlokusinya yaitu
kesalnya mitra tutur karena sikap penutur yang acuh, kemudian meninggalkan
penutur.
Dalam kebudayaan Jawa, orang yang lebih muda seharusnya menjaga
sopan santun, terlebih ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Namun,
kenyataannya kedua penutur yang berusia lebih muda daripada mitra tuturnya
cenderung tidak santun dalam bertutur kata. Santun atau tidaknya sebuah tuturan
juga dapat dilihat berdasarkan konteks. Kedua penutur dalam konteks tadi
berusaha menolak peraturan yang telah disepakati dalam keluarga. Hal itu
dibuktikan dengan tindak verbal dalam tuturan yaitu tindak verbal komisif.
Tuturan penutur dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena melanggar
norma dalam keluarga dan mengakibatkan mitra tuturnya merasa kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan
penutur. Tuturan A2 dan A6 menyiratkan maksud yang sama, yaitu penolakan
terhadap anjuran dari mitra tuturnya. Penolakan itu terkait aturan yang telah
disepakati dalam keluarga.
4.3.1.3 Subkategori Kesal
Kesal diartikan sebagai ungkapan ketidaksenangan, kekecewaan, atau
kekesalan penutur terhadap suatu hal yang berkaitan dengan mitra tutur. Tuturan
A3 merupakan wujud ketidaksantunan linguistik dalam subakategori ini.
Mau kan aku wis ngomong, kok diarani dolan, kan wis ijin!! (A3)
(Konteks tuturan: penutur pulang dari bepergian pada sore hari, mitra tutur
menghampiri dan bertanya kepada penutur dengan nada sedikit mencurigai
tentang kepergian penutur tanpa seijin mitra tutur. Penutur kesal karena
dicurigai, kemudian menjawab pertanyaan mitra tutur dengan ketus)
Wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan tersebut dilihat dari cara
penutur menyampaikan tuturannya. Pada tuturan A3, penutur berbicara dengan
keras kepada orang yang lebih tua sebagai upaya pelanggaran terhadap aturan
yang telah disepakai keluarga. Hal itu menunjukkan kadar kesantunan dari tuturan
penutur masih sangat rendah. Terlebih, ketika penutur juga menunjukkan sikap
yang kurang santun, seperti menatap mitra tutur dengan mata terbelalak.
Pembahasan berikutnya mengenai penanda ketidaksantunan linguistik
berdasarkan unsur suprasegmental yang meliputi intonasi, tekanan, nada. Tuturan
A3 memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi, padahal penutur
berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh karena itu, penggunaan
intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi pada tuturan A3 dipersepsi sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
bentuk ketidaksantunan. Jika ditinjau dari unsur tekanan, tuturan A3 disampaikan
dengan tekanan keras. Bagian yang ditekankan yaitu pada frasa wis ijin. Tekanan
dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat
dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya, meskipun kenyataannya tekanan
pada tuturan A3 memicu terjadinya komunikasi yang kurang baik antara penutur
dengan mitra tutur. Selanjutnya, mengenai nada tutur. Aspek nada dalam bertutur
lisan memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang (Pranowo, 2009:77). Pada
tuturan A3, penutur berbicara dengan nada tinggi karena suasana hati penutur
sedang kesal akibat pertanyaan mitra tutur yang terdengar seperti tuduhan. Hal
tersebut sejalan dengan penjelasan Pranowo, (2009:77) jika suasana hati sedang
marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa
menakutkan.
Lebih lanjut lagi mengenai unsur segmental, yaitu diksi (pilihan kata) dan
kata fatis. Tuturan A3 termasuk dalam bahasa nonstandar karena semua kata-kata
di dalam tuturan tersebut menggunakan bahasa Jawa, sedangkan kata fatis yang
ditemukan adalah kok dan kan. Penggunaan kata fatis kok dalam tuturan A3
menekankan alasan dari penutur terhadap tuduhan mitra tutur. Selanjutnya,
penggunaan kata fatis kan yang ada di akhir atau awal kalimat merupakan
kependekan dari kata bukan atau bukanlah. Dalam tuturan A3, kata fatis kan
digunakan untuk menekankan pembuktian perihal sesuatu yang tidak dilakukan
oleh penutur namun dituduhkan kepadanya.
Pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik, salah
satunya ditinjau dari aspek penutur dan lawan tutur. Tuturan A3 dilakukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
penutur perempuan kelas XII SMK, berusia 18 tahun dan mitra tutur laki-laki
berusia 50 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Dari segi usia, terlihat
bahwa penutur berusia jauh lebih muda daripada mitra tuturnya. Penutur dan mitra
tutur memiliki hubungan darah dalam kekeluargaan. Kedekatan inilah yang
terkadang justru memunculkan bentuk-bentuk ketidaksantunan yang terungkap
dalam bentuk tuturan yang tidak santun. Aspek berikutnya yaitu konteks tuturan.
Tuturan A3 terjadi ketika penutur pulang dari bepergian, mitra tutur menghampiri
dan bertanya kepada penutur dengan nada sedikit mencurigai kepergian penutur
yang tanpa izin mitra tutur. Mitra tutur curiga karena penutur sering pergi tanpa
izin. Padahal, sudah ada kesepakatan jika bepergian harus izin terlebih dahulu.
Penutur kesal karena dicurigai, kemudian menjawab pertanyaan mitra tutur
dengan ketus. Berdasarkan konteks, dapat diketahui bahwa penutur seringkali
melanggar kesepakatan dalam keluarga. Hal itulah yang mengakibatkan mitra
tutur menegurnya. Tujuan dari tuturan penutur menjadi aspek yang dikaji
berikutnya. Penutur menyampaikan tuturannya dengan tujuan berusaha membela
diri dari tuduhan mitra tutur. Tuturan terjadi di teras rumah pada sore hari. Tindak
verbal dalam tuturan adalah tindak verbal ekspresif, yang dipahami sebagai jenis
tindak tutur untuk menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Dalam
tuturan ini, penutur berusaha mengungkapkan kekesalannya. Tuturan penutur
mengakibatkan mitra tuturnya memilih untuk diam saja.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
pada tuturan A3 menyampaikan tuturannya dengan maksud membela diri agar
terhindar dari kesalahan.
4.3.1.4 Subkategori Marah
Marah dapat diartikan sebagai ungkapan ketidaksenangan penutur
terhadap suatu hal yang dapat mengakibatkan emosi penutur tidak terkendali.
Wujud ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan A4 berikut.
Ahh, mamak ki terlalu! Aku ra meh mulih, meh kost wae!! (A4)
(Konteks tuturan: terjadi ketika penutur sedang menerima tamu. Tiba-tiba
mitra tutur mematikan lampu ruang tamu, karena waktu sudah
menunjukkan pukul 21.00 WIB. Penutur kesal dan marah dengan sikap
mitra tutur kemudian melontarkan kata-kata kepada mitra tutur)
Ketika menyampaikan sebuah tuturan, sudah tentu setiap penutur
memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkannya. Berdasarkan cara penutur
menyampaikan tuturan tersebut, dapat dilihat bagaimana wujud ketidaksantunan
pragmatiknya. Seperti pada tuturan A4, penutur dengan sadar berusaha melanggar
kesepakatan dalam keluarga. Pelanggaran tersebut disampaikan dengan berbicara
keras sembari berteriak dan ditujukan kepada orang yang lebih tua. Hal itu
menunjukkan kadar kesantunan dari tuturan penutur masih sangat rendah.
Terlebih, ketika penutur juga menunjukkan sikap yang kurang santun, seperti
menunjuk ke arah mitra tutur dan menatap mitra tutur dengan mata terbelalak.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan linguistik. Tuturan A4
memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi, padahal penutur berada
pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh karena itu, penggunaan intonasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
seru yang terdengar cenderung tinggi pada tuturan A4 dipersepsi sebagai bentuk
ketidaksantunan. Jika ditinjau dari unsur tekanan, tuturan A4 disampaikan dengan
tekanan keras. Bagian yang ditekankan yaitu pada kata terlalu. Tekanan dalam
tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat dengan
mudah sampai kepada mitra tuturnya, meskipun kenyataannya tekanan pada
tuturan A4 justru memicu terjadinya komunikasi yang kurang baik antara penutur
dengan mitra tutur. Selanjutnya, mengenai nada tutur. Pada tuturan A4, penutur
berbicara dengan nada tinggi karena suasana hati penutur sedang marah akibat
tingkah mitra tutur yang dianggap keterlaluan. Hal tersebut sejalan dengan
penjelasan Pranowo, (2009:77) jika suasana hati sedang marah, emosi, nada
bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa menakutkan.
Lebih lanjut lagi mengenai diksi dan kata fatis. Tuturan A4 termasuk
dalam bahasa nonstandar karena semua kata-kata di dalam tuturan tersebut
menggunakan bahasa Jawa, sedangkan kata fatis yang ditemukan adalah ah. Kata
fatis ah dalam tuturan A4 tersebut digunakan untuk menekankan sebuah
penolakan atau sikap acuh terhadap mitra tuturnya. Penutur pada tuturan A4
berusaha menolak aturan yang telah disepakati dalam keluarga, yakni aturan untuk
tidak menerima tamu melebihi pukul 21.00 malam.
Pembahasan berikutnya perihal penanda ketidaksantunan pragmatik.
Aspek yang dikaji pertama adalah penutur dan lawan tutur. Tuturan A4 terjadi
antara penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 46
tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Ketidaksantunan kembali terlihat
ketika penutur yang berusia lebih muda menyampaikan tuturannya dengan ketus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
kepada mitra tutur yang berusia lebih tua. Tuturan terjadi ketika penutur sedang
menerima tamu. Tiba-tiba mitra tutur mematikan lampu ruang tamu, karena jam
sudah menunjukkan pukul 21.00WIB. Mengingat kesepakatan dalam keluarga,
bahwa tamu harus pulang sebelum pukul 21.00WIB. Penutur berusaha
mengungkapkan amarahnya terhadap tindakan mitra tutur yang dinilai
keterlaluan. Mitra tutur sendiri bukan tanpa sebab ketika tiba-tiba mematikan
lampu ruang tamu. Mitra tutur melakukan hal tersebut karena penutur tidak
mematuhi peraturan yang telah disepakati dalam keluarga. Penutur
menyampaikan tuturannya sembari berdiri dan menatap mitra tutur dengan mata
terbelalak. Hal tersebut tentu menunjukkan rendahnya tingkat kesantunan
seseorang. Seperti penjelasan Pranowo (2009:79) bahwa salah satu faktor penentu
kesantunan dari aspek nonkebahasaan berupa pranata adat, seperti jarak bicara
antara penutur dan mitra tutur, gaya bicara (perhatian kepada mitra tutur, tidak
memerhatikan wajah mitra tutur atau “melengos” dan sebagainya). Penutur
menyampaikan tuturannya dengan tujuan menanggapi sikap mitra tutur yang
kurang menyenangkan. Tuturan terjadi di ruang tamu pada malam hari. Tindak
verbal dalam tuturan yaitu tindak verbal ekspresif. Akibat dari tuturan penutur
yaitu mitra tutur diam saja.
Tuturan A4 tentunya juga menyiratkan sebuah maksud tertentu.
Meskipun termasuk dalam subkategori marah, kenyataannya penutur
menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan kekesalannya akibat
tindakan dari mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
4.3.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak
Ahli selanjutnya adalah Terkourafi (2008:3-4) yang memandang
ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not
conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s
face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer’.
Perilaku berbahasa dalam pandangan Terkourafi dapat dipahami sebagai
penggunaan tuturan tidak santun oleh penutur yang mengakibatkan timbulnya
ancaman bagi mitra tutur (addressee), tetapi di sisi lain penutur (speaker) tidak
menyadari bahwa perkataannya menyinggung dan mengancam mitra tutur. Dalam
kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak, terdapat tujuh subkategori
ketidaksantunan. Berikut pembahasan mengenai wujud dan penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur
yang dipaparkan berdasarkan masing-masing subkategori.
4.3.2.1 Subkategori Menyindir
Menyindir berhubungan dengan cara penutur ketika mengkritik atau
mencela mitra tuturnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Wujud ketidaksantunan linguistik dalam subkategori menyindir terdapat pada
tuturan B1 dan B4 berikut.
Sudah hampir setahun, sudah mau punya anak belum? (B1)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang berbincang-bincang di
ruang keluarga pada suasana santai. Penutur merasa bahwa sudah
waktunya bagi mitra tutur untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu,
penutur menanyakan hal tersebut kepada mitra tutur tanpa memahami
perasaan MT)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Wis meh maghrib kok ono tamu!! (B4)
(Konteks tuturan: penutur sedang berada di teras rumah saat matahari
mulai tenggelam. Tiba-tiba MT1 datang memberitahu penutur bahwa MT 2
ingin bertemu dengan penutur. Suasana yang terjadi dalam tuturan adalah
serius. Penutur merasa kesal dengan kedatangan MT2 yang dianggap
mengganggu aktivitas penutur, karena hari sudah petang. Penutur
melontarkan kata-kata yang menyinggung MT2)
Wujud ketidaksantunan pragmatik dalam tuturan-tuturan tersebut dapat
dilihat dari cara penutur menyampaikan tuturannya. Dalam kategori mengancam
muka sepihak ini, penutur tidak menyadari bahwa tuturan dan tindakannya
mengakibatkan mitra tutur tidak berkenan. Hal ini dapat dilihat dari cara penutur
berkomunikasi dengan mitra tutur. Misalnya, penutur berbicara dengan lugas
tanpa memahami perasaan mitra tutur atau penutur yang berbicara dengan ketus
tanpa rasa bersalah. Selain tuturannya yang tidak santun, seringkali penutur
memperlihatkan tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya ditujukan kepada mitra
tutur, misalnya menatap mitra tutur sinis, berbicara tanpa melihat mitra tutur, dan
berbicara sembari berdiri bahkan berjalan.
Setelah mencermati wujud ketidaksantunan, pembahasan berikutnya
mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik. Intonasi, tekanan,
dan nada adalah tiga unsur suprasegmental dalam penanda ketidaksantunan
linguistik, sedangkan diksi dan kata fatis merupakan bagian dari unsur
segmentalnya.
Intonasi yang digunakan pada kedua tuturan di atas berbeda. Tuturan B1
menggunakan intonasi tanya. Muslich (2008:115-116) menjelaskan bahwa
kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik. Seperti pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
tuturan B1, penutur berbicara dengan datar namun terdapat penekanan yang
berpola datar-naik pada pertanyaan tersebut. Penekanan yang disampaikan oleh
penutur merupakan bentuk sindirannya terhadap mitra tutur yang belum juga
memiliki keturunan. Berbeda dengan tuturan B4 yang berintonasi seru dan
terdengar cenderung ketus. Intonasi seru yang terdengar ketus itu semakin
menunjukkan ketidaksantunan tuturan tersebut, terlebih ketika mitra tutur yang
diajak bicara berada pada jarak yang dekat dengan penutur.
Unsur suprasegmental berikutnya adalah tekanan. Pada tuturan B1,
penutur berbicara dengan tekanan lunak. Bagian yang ditekankan yaitu pada frasa
hampir setahun, sedangkan tuturan B4 disampaikan dengan tekanan keras pada
frasa meh maghrib. Tekanan yang berbeda tentu menunjukkan adanya maksud
yang berbeda pula. Hal itu sejalan dengan penjelasan Muslich, (2009:113) bahwa
tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam
tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam
tataran kata (leksis). Meskipun ditekankan dengan lunak, tuturan B1 dipersepsi
sebagai tuturan yang tidak santun karena menimbulkan sebuah ancaman bagi
mitra tuturnya. Terlebih, tekanan keras pada tuturan B4 yang mengakibatkan
terjadinya komunikasi yang kurang baik antara penutur dan mitra tutur.
Lebih lanjut lagi dalam nada tutur. Pada tuturan B1 penutur berbicara
dengan nada rendah, sedangkan tuturan B4 disampaikan dengan nada sedang.
Meskipun nada dalam kedua tuturan tersebut tidak menunjukkan adanya emosi
penutur yang berlebih, kedua tuturan tersebut tidak santun karena menyiratkan
sindiran yang disampaikan secara langsung kepada mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Pembahasan berikutnya mengenai unsur segmental, yaitu diksi dan kata
fatis. Tuturan B1 dan B4 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian kata tidak baku dan bahasa Jawa. Pada tuturan B1 tidak ditemukan
penggunaan kata fatis. Lain halnya dengan tuturan B4 yang menggunakan kata
fatis kok untuk menekankan alasan mitra tutur yang enggan menerima tamu.
Lebih lanjut lagi dalam penanda ketidaksantunan pragmatik yang
berkaitan dengan konteks tuturan tersebut. Tuturan B1 dituturkan oleh laki-laki
berusia 65 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 33 tahun. Penutur adalah
bapak mertua dari mitra tutur. Penutur dan mitra tutur sedang berbincang-bincang
di ruang keluarga dalam suasana santai. Penutur merasa bahwa sudah waktunya
bagi mitra tutur untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu, penutur menanyakan
hal tersebut kepada mitra tutur dengan lugas tanpa memahami perasaan mitra
tutur. Tujuan dari tuturan penutur sebagai ungkapan keinginannya untuk
menimang cucu. Tindak verbal dalam tuturan tersebut adalah tindak verbal
ekspresif. Tuturan penutur mengakibatkan mitra tuturnya tersinggung dan hanya
memberikan jawaban singkat.
Selanjutnya, tuturan B4 terjadi antara penutur dan MT2 laki-laki,
sedangkan MT1 perempuan. Penutur berusia 65 tahun, MT1 ibu berusia 50 tahun,
dan MT2 berusia 40 tahun. Penutur adalah kerabat dekat MT2. Penutur sedang
berada di teras rumah saat matahari mulai tenggelam. Tiba-tiba MT1 datang
memberitahu penutur bahwa MT2 ingin bertemu dengan penutur. Suasana yang
terjadi dalam tuturan adalah serius. Penutur merasa kesal dengan kedatangan MT2
yang dianggap mengganggu aktivitas penutur, karena hari sudah petang. Penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
melontarkan kata-kata yang menyinggung MT2. Tujuan di balik tuturan penutur
adalah mengungkapkan ketidaksenangannnya terhadap kedatangan MT2. Tindak
verbal dalam tuturan adalah tindak verbal ekspresif, sebagai ungkapan sindirannya
terhadap MT2. Tuturan penutur mengakibatkan MT2 tersinggung.
Berdasarnya kedua konteks di atas, diketahui bahwa bukan hanya
anggota keluarga dalam hubungan darah saja yang terlibat dalam penuturan
sebuah tuturan, melainkan juga kerabat dekat bahkan kerabat jauh dari penutur.
Pranowo (2009:117) menjelaskan bahwa dalam berkomunikasi, masyarakat Jawa
tidak hanya mengandalkan pikiran. Meskipun yang ingin dikomunikasikan adalah
buah pikiran, tetapi ketika akan menyampaikan maksud kepada mitra tutur,
biasanya terlebih dahulu berusaha menjaga perasaan dengan menjajaki kondisi
psikologis mitra tutur (njaga rasa). Namun, kenyataannya hal tersebut tidak
nampak pada tuturan-tuturan penutur. Penutur yang cenderung berusia lebih tua
dari mitra tuturnya ini kurang mampu menjaga perasaan mitra tutur, bahkan tidak
menyadari bahwa tuturannya berpotensi menyakiti hati. Terbukti dengan
tersinggungnya mitra tutur akibat tuturan penutur. Hal-hal tersebut semakin
menunjukkan rendahnya kadar kesantunan pada tuturan di atas. Jadi, ditegaskan
lagi bahwa santun tidaknya sebuah tuturan itu tidak dilihat berdasarkan
subkategorinya, tetapi dari tuturan itu sendiri beserta konteks yang
melingkupinya.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur
pada tuturan B1 menyampaikan tuturannya dengan maksud menyindir mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
tuturnya karena belum juga memiliki keturunan. Lain halnya dengan tuturan B4
yang secara tidak langsung menyiratkan maksud pengusiran terhadap kedatangan
MT2.
4.3.2.2 Subkategori Marah
Berikut adalah tuturan yang termasuk dalam subkategori marah dan
menjadi wujud ketidaksantunan linguistik dalam penelitian ini.
Neng ngomah ki ngopo wae?? (B3)
(Konteks tuturan: penutur pulang dari sawah dan menjumpai mitra tutur di
dapur pada sore hari. Saat itu, penutur marah ketika pulang dari sawah
belum ada air panas untuk mandi dan minum. Maka, penutur melontarkan
kata-kata kepada mitra tutur tanpa menyadari tuturannya telah
menyinggung mitra tutur)
Mpun, kulo ajeng jagong! Mang tunggu sak jam!! (B10)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi di teras rumah ketika mitra tutur
mengunjungi rumah penutur pada siang hari (Kamis, 13 Juni 2013). Setiap
kali bertamu, mitra tutur selalu mengungkapkan maksud yang tidak jelas,
sehingga mengakibatkan penutur enggan. Penutur menanggapi kedatangan
mitra tutur dengan melontarkan kata-kata ketus dan bernada tinggi)
Pada kedua tuturan di atas, penutur berbicara dengan ketus dan keras.
Cara berbicara yang demikian tentu menyiratkan bahwa tuturan yang disampaikan
juga tidak santun, terlebih ketika penutur berbicara sembari berdiri, berjalan, dan
menatap mitra tutur dengan mata terbelalak. Lebih menyakitkan lagi ketika
penutur tidak menyadari bahwa tuturannya tersebut mengakibatkan mitra tutur
tidak berkenan.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan linguistik yang ditinjau
dari unsur suprasegmental dan unsur segmental sebuah kalimat. Tuturan B3
disampaikan dengan intonasi tanya yang bernada tinggi. Tuturan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena penutur didorong rasa emosi
ketika menyampaikan tuturannya. Hal itu sejalan dengan penjelasan Pranowo
(2009:75) bahwa salah satu gejala penutur yang bertutur secara tidak santun
adalah didorong rasa emosi ketika bertutur. Jika ditinjau dari aspek tekanan,
tuturan B3 disampaikan dengan tekanan keras pada frasa ngopo wae. Tekanan
dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat
dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya. Namun, kenyataannya tekanan
keras pada tuturan B3 justru mengakibatkan mitra tutur kesal dan tidak berkenan.
Pada tuturan B10, penutur berbicara dengan intonasi seru yang
disampaikan dengan nada tinggi. Lebih lanjut lagi pada aspek tekanan. Penutur
memberikan tekanan keras pada frasa sak jam. Intonasi seru yang disampaikan
dengan nada tinggi dan adanya penekanan keras pada bagian yang dipentingkan
dalam tuturan tersebut sudah tentu semakin memperjelas bahwa tuturan penutur
tidak santun. Bagian-bagian yang ditekankan tuturan B10 menyiratkan maksud
penutur untuk mengusir mitra tuturnya. Hal tersebut tentu sangat mengancam
muka bahkan mengakibatkan mitra tuturnya tersinggung, meskipun penutur
sendiri tidak menyadari bahwa penekanan yang dilakukan pada tuturannya dalam
kategori mengancam muka ini mengakibatkan mitra tuturnya tidak berkenan.
Lebih lanjut lagi mengenai unsur segmental, yaitu diksi dan kata fatis.
Penggunaan bahasa yang ditemukan pada kedua tuturan tidak santun di atas
adalah bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa.
Penggunaan bahasa nonstandar ini dipengaruhi oleh identitas penutur yang
semuanya merupakan masyarakat Jawa. Penggunaan bahasa Jawa pada kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
tuturan tersebut terdengar kurang halus, sehingga tidak santun jika diutarakan
kepada mitra tutur. Terlebih, pada tuturan B10 yang ditujukan langsung kepada
tamu yang berkunjung. Tidak ditemukan penggunaan kata fatis pada kedua
tuturan tersebut.
Penanda pragmatik pada kedua tuturan di atas, ditandai berdasarkan
konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Partisipan dalam tuturan B3 adalah
penutur laki-laki berusia 59 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 57 tahun.
Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Tuturan terjadi ketika penutur pulang
dari sawah dan menjumpai mitra tutur di dapur pada sore hari. Aktivitas mitra
tutur setiap harinya adalah mengurus rumah. Saat itu, penutur marah ketika
pulang dari sawah belum ada air panas untuk mandi dan minum, kemudian
penutur melontarkan kata-kata kepada mitra tutur dengan nada tinggi tanpa
menyadari tuturannya telah menyinggung mitra tutur. Tujuan penutur adalah
mengungkapkan amarahnya kepada mitra tutur yang dinilai kurang peduli
terhadap keadaan rumah. Dengan melihat tujuan penutur, tuturan B3 termasuk
dalam subkategori marah. Tindak verbal yang terjadi ekspresif. Tindak perlokusi
dari tuturan tersebut adalah mitra tutur menjawab pertanyaan penutur dengan
kesal kemudian pergi meninggalkan penutur.
Lain lagi dengan konteks pada tuturan B10, yang terjadi antara penutur
berusia 55 tahun dan mitra tutur berusia 49 tahun. Penutur dan mitra tutur laki-
laki. Penutur adalah kerabat jauh MT. Tuturan terjadi ketika mitra tutur
mengunjungi rumah penutur. Setiap kali bertamu, mitra tutur selalu
mengungkapkan maksud yang tidak jelas, sehingga mengakibatkan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
enggan menjumpai mitra tutur. Penutur menanggapi kedatangan mitra tutur
dengan melontarkan kata-kata ketus dan bernada tinggi. Tujuan penutur adalah
mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap kedatangan mitra tutur. Tindak
verbal dalam tuturan adalah tindak verbal ekspresif. Tuturan penutur
mengakibatkan mitra tuturnya pergi meninggalkan rumah penutur.
Pranowo (2009:117) menjelaskan bahwa dalam berkomunikasi,
masyarakat Jawa tidak hanya mengandalkan pikiran. Meskipun yang ingin
dikomunikasikan adalah buah pikiran, tetapi ketika akan menyampaikan maksud
kepada mitra tutur, biasanya terlebih dahulu berusaha menjaga perasaan dengan
menjajaki kondisi psikologis mitra tutur (njaga rasa). Namun, kenyataannya hal
tersebut tidak nampak pada tuturan-tuturan penutur dalam kategori ini. Penutur
lebih didorong oleh rasa emosi ketika bertutur. Hal itu dipersepsi sebagai bentuk
ketidaksantunan. Seperti yang dijelaskan Pranowo, (2009:75) bahwa salah satu
gejala penutur yang bertutur secara tidak santun adalah didorong rasa emosi
ketika bertutur.
Kedua tuturan tersebut disampaikan untuk menyiratkan maksud tertentu
kepada mitra tuturnya. Meskipun kedua tuturan di atas termasuk dalam
subkategori marah, maksud yang tersirat di dalamnya ternyata berbeda dengan
subkategori atau makna tuturan itu. Seperti pada tuturan B3 yang memiliki
maksud sebagai ungkapan kekesalan penutur terhadap mitra tutur. Lain halnya
dengan tuturan B10 yang menyiratkan maksud pengusiran secara tidak langsung
terhadap kedatangan mitra tutur. Hal-hal tersebut tentu semakin menunjukkan
ketidaksantunan yang terjadi dalam tuturan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
4.3.2.3 Subkategori Memerintah
Memerintah dapat dipahami sebagai tuturan dan tindakan yang dilakukan
oleh penutur untuk memberi perintah atau menyuruh mitra tutur agar melakukan
suatu perbuatan.
Kene, aku meh ngomong! (B5)
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang menerima telepon dari anggota
keluarga lain yang berada di luar kota. Tiba-tiba penutur mengambil
telepon genggam dari mitra tutur dengan cara yang kurang sopan, sehingga
mengakibatkan mitra tutur kesal dan terganggu)
Mbak, garapke iki!! (B7)
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah.
Penutur datang menghampiri dengan menyodorkan buku kepada mitra
tutur. Penutur meminta bantuan kepada mitra tutur tanpa menyadari
kesibukan mitra tutur)
Wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penutur ketika
menyampaikan tuturan lisan tidak santun tersebut. Penutur pada tuturan B5
berbicara dengan sinis bahkan sembari berdiri, sedangkan pada tuturan B7
penutur berbicara kepada orang yang lebih tua tanpa sungkan sedikit pun, bahkan
kurang peduli dengan aktivitas yang sedang dikerjakan oleh mitra tutur. Cara-cara
yang disertakan penutur dalam menyampaikan tuturannya menyiratkan wujud
ketidaksantunan pragmatik pada tuturan tersebut.
Intonasi, tekanan, dan nada merupakan unsur suprasegmental dalam
penanda ketidaksantunan linguistik sebuah tuturan. Intonasi pada tuturan B5
adalah intonasi seru yang disampaikan dengan nada sedang. Penutur memberikan
penekanan keras pada kata kene. Meskipun disampaikan dengan nada sedang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
pilihan kata kene yang ditekankan dengan keras menyebabkan tuturan tersebut
menjadi tidak santun. Ketika penutur menyuruh mitra tutur untuk melakukan
suatu perbuatan, hendaknya penutur menggunakan pilihan kata yang tepat agar
terdengar santun. Hal itu sejalan dengan penjelasan Pranowo, (2009:104) bahwa
pemakaian kata-kata tertentu dapat mencerminkan rasa santun, misalnya kata
tolong yang digunakan untuk meminta bantuan kepada orang lain.
Berbeda dengan tuturan B7 yang disampaikan dengan intonasi perintah.
Muslich (2008:115-116) menjelaskan bahwa kalimat perintah (imperatif) ditandai
dengan pola intonasi datar-tinggi. Begitu juga dengan tuturan tersebut yang
terdengar meninggi meskipun disampaikan dengan nada sedang. Lebih lanjut lagi
pada unsur tekanan. Tuturan B7 disampaikan dengan tekanan lunak pada frasa
garapke iki. Meskipun ditekankan dengan lunak, tuturan tersebut dipersepsi
sebagai ketidaksantunan, karena penutur sendiri menggunakan pilihan kata yang
kurang tepat untuk menyatakan suatu permintaan bantuan.
Pilihan kata (diksi) dan kata fatis merupakan unsur segmental dalam
sebuah kalimat. Kedua tuturan tersebut menggunakan bahasa nonstandar yang
ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa hendaknya
juga memperhatikan kehalusan bahasa yang digunakan. Namun, hal itu tidak
nampak pada kedua tuturan di atas. Tuturan-tuturan di atas terdengar kurang
halus. Dalam kedua tuturan di atas juga tidak ditemukan penggunaan kata fatis.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan
pragmatik yang dilihat berdasarkan konteks tuturan itu. Partisipan dalam tuturan
B5 adalah penutur seorang ibu berusia 52 tahun dan mitra tutur seorang bapak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
berusia 52 tahun. Penutur adalah istri dari mitra tutur. Konteks yang terjadi yaitu
saat mitra tutur sedang menerima telepon dari anggota keluarga lain yang berada
di luar kota. Tiba-tiba penutur mengambil telepon genggam dari mitra tutur
dengan cara yang kurang sopan, sehingga mengakibatkan mitra tutur kesal dan
terganggu. Tujuan penutur sebenarnya hanya ingin ikut berbicara dengan anggota
keluarga lain. Tuturan terjadi di ruang keluarga pada siang hari. Tindak verbal
dalam tuturan adalah tindak verbal direktif, yang dipahami sebagai jenis tindak
tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu.
Akibat tuturan penutur adalah mitra tutur kesal kemudian menasihati penutur.
Lain halnya dengan tuturan B7 yang terjadi antara penutur dan mitra
tutur perempuan. Penutur berusia 16 tahun dan mitra tutur mahasiswa semester 8
berusia 22 tahun. Penutur adalah adik mitra tutur. Tuturan terjadi ketika penutur
datang menghampiri mitra tutur dengan menyodorkan buku kepada mitra tutur.
Penutur meminta tolong agar mitra tutur mau membantu mengerjakan PR.
Padahal, mitra tutur sendiri sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah. Tujuan
penutur adalah meminta bantuan kepada mitra tutur. Tindak verbal dalam tuturan
adalah direktif. Tuturan penutur mengakibatkan mitra tutur merasa terganggu.
Konteks pada kedua tuturan tersebut menunjukkan bahwa
ketidaksantunan terjadi ketika penutur menyampaikan tuturannya dengan cara
yang kurang tepat dan di waktu yang kurang tepat pula. Seandainya penutur
menyampaikan keinginannnya melalui tuturan-tuturan itu dengan cara yang benar,
sudah tentu mitra tutur akan berkenan. Berdasarkan tindak verbal dalam tuturan
yang berupa tindak verbal direktif, kedua tuturan di atas termasuk dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
subkategori memerintah. Namun, ditegaskan kembali bahwa subkategori tidak
menentukan tingkat kesantunan sebuah tuturan. Santun atau tidaknya tuturan
dapat dilihat dari tuturan itu sendiri beserta konteks yang melingkupinya.
Setelah dikonfirmasi kembali, tuturan B5 menyiratkan maksud adanya
perintah untuk memberikan telepon genggam kepada penutur. Namun, perintah
tersebut disampaikan dengan cara yang kurang tepat sehingga mengakibatkan
mitra tutur merasa terganggu. Begitu juga dengan tuturan B7 yang menyiratkan
maksud adanya permintaan bantuan kepada mitra tuturnya.
4.3.2.4 Subkategori Kecewa
Kecewa merupakan sebuah ungkapan atas perasaan kecil hati, tidak puas,
atau tidak senang yang dirasakan penutur terhadap sesuatu. Berikut adalah tuturan
yang menjadi wujud ketidaksantunan linguistik dalam subkategori kecewa.
Sesok meneh ojo nyayur ngene iki, Mak!! (B6)
(Konteks tuturan: penutur hendak mengambil makan sembari mencicipi
masakan mitra tutur di ruang makan. Penutur kurang menyukai masakan
mitra tutur, kemudian mengomentarinya dengan ketus)
Seorang penutur tentu memiliki cara tersendiri ketika menyampaikan
tuturannya. Pada tuturan B6, penutur menyampaikan tuturannya kepada orang
yang lebih tua dengan ketus, bahkan disampaikan sembari berdiri. Hal itu
dilakukan karena penutur kecewa dengan masakan mitra tutur yang kurang sesuai
dengan seleranya. Cara penutur yang demikian mengakibatkan tuturan menjadi
tidak santun, karena penutur mengungkapkan kekecewaan dan kritiknya secara
langsung sehingga mengakibatkan mitra tuturnya tersinggung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Pembahasan berikutnya mengenai penanda ketidaksantunan linguistik.
Tuturan B6 disampaikan menggunakan intonasi perintah dengan nada tinggi yang
disertai penekanan keras pada frasa ojo nyayur. Ketidaksantunan pada tuturan itu
terlihat ketika penutur mengungkapkan kecewanya akibat masakan mitra tutur
yang kurang sesuai dengan selera. Kekecewaan yang disampaikan terdengar
sebagai bentuk perintah dengan nada tinggi. Penutur juga kurang memperhatikan
pilihan kata yang digunakan dalam menyampaikan tuturan. Pranowo, (2009:104)
menjelaskan bahwa pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata dapat
mencerminkan rasa santun, misalnya kata maaf untuk tuturan yang diperkirakan
dapat menyinggung perasaan orang lain. Begitu juga dengan tuturan B6,
seharusnya penutur menggunakan kata maaf ketika menyampaikan tuturannya,
sehingga mitra tutur tidak merasa tersinggung. Lebih lanjut lagi mengenai unsur
segmental dalam sebuah kalimat yang meliputi diksi dan kata fatis. Tuturan B6
menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa.
Namun, tidak ditemukan pemakaian kata fatis dalam tuturan tersebut.
Lebih lanjut lagi dalam penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Pada tuturan B6, penutur
laki-laki berusia 21 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 50 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur. Konteks dalam tuturan tersebut terjadi ketika penutur
hendak mengambil makan sembari mencicipi masakan mitra tutur di ruang
makan. Penutur kurang menyukai masakan mitra tutur, kemudian
mengomentarinya dengan ketus. Tujuan penutur adalah mengungkapkan
kekecewaannya terhadap rasa masakan mitra tutur. Dengan melihat tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
penutur, tuturan B6 termasuk dalam subkategori kecewa. Tindak verbal dalam
tuturan adalah tindak verbal ekspresif, sedangkan tindak perlokusi yang terjadi
yaitu mitra tutur tersinggung kemudian menjawab perkataan penutur sembari
meninggalkan penutur di ruang makan.
Setiap tuturan tidak santun, mengandung maksud tertentu yang ingin
disampaikan kepada mitra tuturnya. Maksud adalah milik penutur, sehingga
terlebih dahulu dilakukan konfirmasi kembali kepada penutur. Tuturan B6
menyiratkan maksud penutur untuk memberi saran kepada mitra tuturnya.
Namun, pemberian saran tersebut disampaikan dengan tuturan dan cara yang
kurang santun, sehingga mengakibatkan mitra tutur tidak berkenan.
4.3.2.5 Subkategori Menanyakan
Menanyakan dapat dipahami sebagai sebuah ungkapan dari penutur
dengan tujuan untuk meminta keterangan tentang sesuatu kepada lawan tuturnya.
Wujud ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan B8 berikut.
Ngopo mbah kok ra maem?? (B8)
(Konteks tuturan: mitra tutur kesal ketika pulang dari sawah pada sore hari
belum ada air panas untuk mandi. Kekesalan mitra tutur diperlihatkan
dengan cara berdiam diri. Melihat tingkah laku mitra tutur yang tidak
seperti biasanya, penutur kemudian bertanya kepada mitra tutur tanpa rasa
bersalah sedikit pun)
Wujud ketidaksantunan pragmatik berkaitan dengan cara penutur ketika
menyampaikan tuturan tidak santunnya. Pada tuturan B8, penutur berbicara
dengan datar tanpa rasa bersalah, padahal saat itu mitra tutur baru saja pulang dari
sawah dengan keadaan lelah sehingga enggan berkomunikasi. Mitra tutur semakin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
tidak berkenan ketika penutur berbicara tanpa melihat ke arahnya. Hal tersebut
menunjukkan rendahnya kadar kesantunan tuturan penutur.
Intonasi, tekanan, dan nada adalah unsur suprasegmental yang menjadi
penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan. Pada tuturan B8, penutur
berbicara dengan intonasi tanya yang bernada rendah dan memberikan tekanan
lunak pada frasa ra maem. Bagian yang ditekankan inilah yang dipentingkan oleh
penutur. Meskipun berbicara dengan nada rendah dan memberikan tekanan
dengan lunak, tuturan penutur justru dianggap sangat mengganggu mitra tuturnya.
Mitra tutur semakin tidak berkenan ketika penutur memberi penekanan pada kata
ra maem. Tekanan tersebut menimbulkan kesan bahwa penutur tidak menyadari
apa yang sebenarnya terjadi, sedangkan pilihan kata (diksi) dan kata fatis adalah
unsur segmental yang terdapat dalam tuturan. Penggunaan bahasa nonstandar
yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa kembali terlihat pada tuturan ini.
Hal ini dipengaruhi oleh identitas penutur yang semuanya merupakan masyarakat
Jawa. Dalam tuturan B8 terdapat penggunaan kata fatis kok. Kata fatis kok
menekankan alasan yang ingin diketahui oleh penutur terkait tingkah laku mitra
tutur yang tidak seperti biasanya.
Selanjutnya, pembahasan dalam penanda ketidaksantunan pragmatik
yang dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Tuturan B8
terjadi antara penutur perempuan berusia 59 tahun dan mitra tutur laki-laki berusia
61 tahun. Penutur adalah istri dari mitra tutur. Konteks dalam tuturan tersebut
yaitu ketika mitra tutur pulang dari sawah, belum ada air panas untuk mandi.
Kekesalan mitra tutur diperlihatkan dengan cara berdiam diri. Melihat tingkah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
laku mitra tutur yang tidak seperti biasanya, penutur bertanya kepada mitra tutur
tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tujuan dari penutur yaitu menanggapi tingkah
laku MT yang berbeda. Tindak verbal yang terjadi adalah ekspresif. Tindak
perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur menjawab sekenanya dan pergi
meninggalkan penutur. Berdasarkan konteks tersebut, terlihat bahwa penutur
belum mampu memperhatikan perasaan mitra tutur, sehingga ketika bertutur
justru mengakibatkan mitra tuturnya tidak berkenan.
Berbicara mengenai maksud ketidaksantunan, tuturan B8 menyiratkan
maksud bahwa penutur ingin menanyakan sesuatu dan meminta keterangan
kepada lawan tuturnya. Namun, pertanyaan penutur disampaikan di waktu yang
kurang tepat, sehingga mengakibatkan mitra tuturnya tidak berkenan.
4.3.2.6 Subkategori Mengancam
Mengancam dipahami sebagai pernyataan untuk melakukan sesuatu yang
merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain atau mitra
tutur. Berikut adalah wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan tidak
santun yang terdapat dalam subkategori mengancam.
Tak jewer koe mengko nek ngeyel!! (B9)
(Konteks tuturan: Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB di
persawahan. Penutur sedang kerepotan mengangkat dedaunan untuk
makanan sapi ke atas motor, sedangkan mitra tutur yang berada di
dekatnya terlihat asik bermain karena mitra tutur merasa bahwa tugasnya
telah usai. Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur dengan
melontarkan kata-kata yang sedikit mengancam)
Pada tuturan B9, penutur berbicara dengan ketus dan keras, padahal
penutur berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Hal ini menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
wujud ketidaksantunan pragmatik yang terdapat pada tuturan. Tuturan semakin
tidak santun ketika penutur menyampaikannya sembari menunjuk ke arah mitra
tutur, bahkan berbicara sembari menatap mitra tutur dengan tatapan mata
terbelalak.
Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi,
tekanan, dan nada. Tuturan B9 disampaikan dengan intonasi seru yang bernada
tinggi dan ditekankan dengan keras pada frasa tak jewer. Intonasi, nada, dan
tekanan yang demikian menunjukkan bahwa penutur didorong oleh rasa emosi
ketika bertutur. Hal itulah yang menjadi penanda bahwa penutur berbicara secara
tidak santun. Terlebih, ketika penutur memberi penekanan pada frasa tak jewer.
Bagian yang ditekankan tersebut menyiratkan sebuah ancaman bagi mitra
tuturnya, sehingga mengakibatkan mitra tutur merasa terancam. Diksi dalam
tuturan ini menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian
bahasa Jawa. Pada tuturan B9 tidak ditemukan adanya penggunaan kata fatis.
Pembahasan lebih lanjut dalam penanda ketidaksantunan pragmatik yang
dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Pada tuturan B9,
penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia 45 tahun dan mitra tutur berusia
4 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tuturan terjadi ketika penutur
sedang kerepotan mengangkat dedaunan untuk makanan sapi ke atas motor,
sedangkan mitra tutur yang berada di dekatnya terlihat asik bermain karena
merasa bahwa tugasnya telah usai. Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur
dengan melontarkan kata-kata yang terdengar sebagai suatu ancaman. Tujuan dari
penutur yaitu mengungkapkan kekesalannya. Tindak verbal yang terjadi adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yakni MT menghentikan aktivitas
bermainnya dengan mata yang memerah menahan tangis.
Berdasarkan tuturan penutur pada konteks di atas, terlihat bahwa penutur
seolah mengancam mitra tuturnya. Namun, setelah dilakukan konfirmasi kembali
dengan penutur, ternyata penutur menyampaikan tuturannya dengan maksud
hanya untuk menakut-nakuti mitra tuturnya.
4.3.2.7 Subkategori Menegaskan
Menegaskan adalah cara penutur ketika menerangkan, menjelaskan, atau
mengatakan dengan tegas tentang suatu hal kepada mitra tuturnya. Wujud
ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan B11 berikut.
Bu, sesok mbayar uang kuliah. Telate dua hari lagi. (B11)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur pulang dari kuliah siang
hari dalam suasana santai. Penutur secara tiba-tiba memberi tahu mitra
tutur bahwa 2 hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah. Penutur tidak
menyadari bahwa perkataannya membuat mitra tutur terkejut dan kurang
berkenan)
Pada tuturan di atas, penutur berusaha memberi penegasan kepada mitra
tuturnya perihal pembayaran uang kuliah. Penutur berbicara dengan santai tanpa
rasa sungkan. Penutur menyampaikan tuturannya itu kepada orang yang lebih tua.
Pemberitahuan itu dianggap terlalu mendadak, sehingga mitra tutur tidak
berkenan. Namun, penutur sendiri tidak menyadari hal tersebut, bahkan berbicara
dengan santainya. Hal inilah yang menunjukkan adanya ketidaksantunan dalam
tuturan penutur. Cara penutur ketika menyampaikan tuturannya ini dipahami
sebagai wujud ketidaksantunan pragmatik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Ditinjau dari unsur suprasegmental yang meliputi intonasi, tekanan, dan
nada, tuturan B11 ini berintonasi berita. Kalimat berita (deklaratif) ditandai
dengan pola intonasi datar-turun (Muslich, 2008:115-116). Begitu juga dengan
tuturan B11 yang terdengar berpola datar-turun. Tuturan itu disampaikan dengan
tekanan lunak, yaitu pada frasa sesok mbayar. Bagian itulah yang dipentingkan
oleh penutur ketika menegaskan sesuatu. Penutur juga berbicara dengan nada
sedang. Meskipun penutur berbicara dengan intonasi berita yang cenderung
berpola intonasi datar-turun, disertai nada sedang, tuturan penutur dianggap tidak
santun ketika tekanan sesok mbayar pada kenyataannya mengakibatkan mitra
tutur merasa terancam, sehingga tidak berkenan.
Unsur selanjutnya yaitu segmental yang meliputi diksi dan kata fatis.
Dalam tuturan B11 ditemukan penggunaan bahasa nonstandar yang ditandai
dengan adanya pemakaian istilah bahasa Jawa, yaitu kata sesok dan telate yang
artinya besok dan terlambatnya. Dalam tuturan tersebut penutur menggunakan
bahasa Indonesia yang disisipi pemakaian bahasa Jawa. Namun, tidak ditemukan
penggunaan kata fatis dalam tuturan ini.
Setelah penanda ketidaksantunan linguistik, berikut adalah pembahasan
tentang penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat berdasarkan konteks
tuturan itu sendiri. Pada tuturan B11 yang menjadi penutur adalah laki-laki,
semester 4 berusia 20 tahun dan mitra perempuan berusia 45 tahun. Penutur
adalah anak mitra tutur. Penutur yang berusia lebih muda seharusnya mampu
memahami kehendak orang tuanya, sebagai wujud penghormatan. Terlebih, ketika
orang tua selama ini telah membiayai penutur sampai jenjang perguruan tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Namun, dalam tuturan tersebut penutur nampak kurang peka terhadap mitra
tuturnya, sehingga mitra tutur tidak berkenan.
Aspek berikutnya adalah konteks dalam tuturan itu sendiri. Tuturan
terjadi dalam suasana santai ketika penutur pulang dari kuliah. Penutur secara
tiba-tiba memberi tahu mitra tutur bahwa 2 hari lagi batas akhir pembayaran uang
kuliah. Mitra tutur terkejut dengan pernyataan penutur karena perihal pembayaran
seharusnya diberitahukan jauh-jauh hari dan tidak mendadak seperti itu. Dalam
konteks ini, penutur dianggap tidak santun karena tidak menyadari bahwa
perkataannya membuat mitra tutur terkejut dan kurang berkenan. Penutur
nampaknya juga kurang mengindahkan pesan-pesan dari mitra tutur perihal
pembayaran, bahkan dengan santainya mengutarakan hal tersebut kepada mitra
tutur.
Aspek ketiga adalah tujuan penutur. Penutur menyampaikan tuturannya
dengan tujuan memberi tahu mitra tutur perihal pembayaran uang kuliah. Lebih
lanjut lagi dalam aspek tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Tuturan
B11 terjadi di ruang tamu pada siang hari. Tuturan seringkali terjadi di rumah
karena penelitian ini memang meneliti ketidaksantunan dalam komunikasi sehari-
hari dalam keluarga. Aspek terakhir adalah tuturan sebagai produk tindak verbal.
Tindak verbal yang terjadi adalah tindak verbal representatif. Pada tuturan ini
tindak verbal representatif menyatakan penegasan yang disampaikan penutur
perihal pembayaran uang kuliah. Dengan melihat tindak verbalnya, tuturan B11
termasuk dalam subkategori menegaskan. Tuturan penutur menimbulkan tindak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
perlokusi mitra tutur yaitu, terkejut dan menanggapi pernyataan penutur dengan
ketus.
Pembahasan berikutnya mengenai maksud ketidaksantunan penutur.
Untuk mengetahui maksud, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Maksud dan
makna tuturan yang menjadi subkategori sebenarnya dapat sama, tetapi pada
kenyataannya ada pula yang berbeda. Seperti pada tuturan B11, meskipun
termasuk dalam subkategori menegaskan, maksud dari tuturan penutur sebenarnya
adalah ingin memberi informasi kepada mitra tuturnya.
4.3.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka
Kategori ketidaksantunan berikutnya adalah melecehkan muka yang
dikemukakan oleh Miriam A Locher (2008:3), ahli ini berpendapat bahwa
ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut ‘impoliteness
behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Pandangan Locher
dapat diartikan bahwa ketidaksantunan berbahasa adalah perilaku yang
memperburuk ‘muka’ pada konteks tertentu. Ketidaksantunan itu menunjuk pada
perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Jadi, teori ketidaksantunan
berbahasa dalam pandangan Locher menitikberatkan pada bentuk-bentuk
penggunaan tuturan tidak santun dengan maksud untuk melecehkan muka atau
menghina mitra tutur. Dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka,
terdapat tujuh subkategori ketidaksantunan. Berikut pembahasan mengenai wujud
dan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud
ketidaksantunan penutur yang dipaparkan berdasarkan masing-masing
subkategori.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
4.3.3.1 Subkategori Kesal
Hayoo, punya mulut kok ga bisa ngomong to?besok lagi bilang! (C3)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika penutur sedang berbincang-bincang
dengan MT1 di teras rumah penutur, tiba-tiba MT2 yang juga berada di
tempat tersebut buang air kecil di celana (Senin, 8 April 2013 pukul 13.50
WIB). Penutur berusaha menegur MT2)
Huu bodoh, raiso ngitung!! (C13)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi sepulangnya penutur dan mitra tutur dari
membeli sesuatu di toko, mereka terdengar bercakap-cakap (Kamis, 13 Juni
2013, pukul 13.10 WIB). Mitra tutur terlihat kebingungan menghitung uang
kembalian dari warung, kemudian penutur berusaha menjelaskan kepada
mitra tutur sambil melontarkan kata-kata ejekan)
Wujud ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan C3 dan C13,
sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan tersebut dilihat dari
cara penutur ketika menyampaikan tuturannya. Pada tuturan C3, penutur berbicara
kepada mitra tutur 2 dengan keras, bahkan disampaikan langsung di hadapan tamu
yang berkunjung. Hal itu menunjukkan kadar kesantunan dari tuturan penutur
masih sangat rendah. Terlebih, ketika penutur juga menunjukkan sikap yang
kurang santun, seperti menunjuk ke arah mitra tutur 2 dan menatap mitra tuturnya
dengan mata terbelalak. Begitu juga dengan tuturan C13 yang disampaikan
dengan keras di hadapan beberapa orang, bahkan penutur tidak segan untuk
memegang kepala mitra tuturnya. Tuturan penutur juga terdengar sangat
menyepelekan kemampuan mitra tutur. Cara inilah yang mengakibatkan tuturan
menjadi tidak santun.
Tuturan C3 dan C13 memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung
tinggi, padahal penutur berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
karena itu, penggunaan intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi pada
tuturan C3 dan C13 dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan. Jika ditinjau dari
unsur tekanan, tuturan C3 dan C13 disampaikan dengan tekanan keras. Bagian
yang ditekankan yaitu pada frasa besok lagi bilang C3 dan bodoh C13. Tekanan
dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat
dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya, meskipun kenyataannya tekanan
pada tuturan C3 dan C13 memicu terjadinya komunikasi yang kurang baik antara
penutur dengan mitra tutur. Selanjutnya, mengenai nada tutur. Aspek nada dalam
bertutur lisan memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang (Pranowo, 2009:77).
Pada tuturan C3, penutur berbicara dengan nada sedang. Meskipun berbicara
dengan nada sedang, tuturan penutur dipersepsi tidak santun karena terdengar
melecehkan mitra tuturnya. Begitu juga dengan tuturan C13 yang bernada tinggi
karena suasana hati penutur sedang kesal akibat ketidakmampuan mitra tutur. Hal
tersebut sejalan dengan penjelasan Pranowo, (2009:77) jika suasana hati sedang
marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa
menakutkan.
Tuturan C3 termasuk dalam bahasa nonstandar dengan menggunakan
kata tidak baku, yaitu punya, ga, bisa, ngomong, dan bilang, sedangkan tuturan
C13 termasuk dalam bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa,
yaitu frasa raiso ngitung yang artinya tidak dapat menghitung. Jadi, pada tuturan
C13 penutur menggunakan bahasa Indonesia yang disisipi dengan bahasa Jawa.
Selanjutnya adalah kata fatis. Pada tuturan C3, kata fatis yang ditemukan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
hayoo, kok, dan to, sedangkan pada tuturan C13 ditemukan pemakaian kata fatis
huu yang menyiratkan kekesalan penutur terhadap mitra tuturnya.
Pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik, salah
satunya ditinjau dari aspek penutur dan lawan tutur. Tuturan C3 terjadi antara
penutur perempuan, berusia 40 tahun, MT1 adalah seorang tamu, dan MT 2 laki-
laki berusia 2 tahun. Penutur adalah ibu dari MT2. Begitu juga dengan tuturan
C13 yang terjadi antara penutur dan mitra tutur perempuan yang duduk di bangku
SD. Penutur berusia 7 tahun dan mitra tutur berusia 5 tahun. Penutur adalah kakak
dari mitra tutur. Meskipun penutur berusia lebih tua dari mitra tuturnya, bukan
berarti penutur dapat berbicara sekenanya. Terlebih di hadapan tamu yang
berkunjung atau di hadapan beberapa orang lainnya, hendaknya tuturan dapat
disampaikan dengan lebih halus.
Aspek berikutnya yaitu tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Tuturan C3 terjadi ketika penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di
teras rumah penutur, tiba-tiba MT2 yang juga berada di tempat tersebut buang air
kecil di celana (Senin, 8 April 2013 pukul 13.50 WIB). Lain halnya dengan
tuturan C13 yang terjadi di teras rumah sepulangnya penutur dan mitra tutur dari
warung (Kamis, 13 Juni 2013, pukul 13.10 WIB). Tempat dan waktu terjadinya
tuturan juga mempengaruhi santun tidaknya tuturan tersebut. Ketika penutur
berbicara di tempat tertutup yang tidak diketahui orang lain, mungkin tidak akan
menjadi masalah. Berbeda dengan kedua tuturan di atas yang disampaikan di
hadapan beberapa orang. Hal itu tentu mengakibatkan mitra tuturnya merasa
dilecehkan, sehingga tuturan penutur dipersepsi sebagai ketidaksantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Aspek berikutnya yaitu konteks tuturan. Tuturan C3 terjadi ketika
penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di teras rumah penutur, tiba-tiba
MT2 yang juga berada di tempat tersebut buang air kecil di celana (Senin, 8 April
2013 pukul 13.50 WIB). Penutur berusaha menegur MT 2 sebagai bentuk
kekesalannya. Selanjutnya, tuturan C13 terjadi sepulangnya penutur dan mitra
tutur dari warung. Penutur dan mitra tutur terdengar bercakap-cakap. Mitra tutur
terlihat kebingungan menghitung uang kembalian dari warung tadi, kemudian
penutur berusaha menjelaskan kepada mitra tutur sembari melontarkan kata-kata
yang terdengar sangat menyepelekan kemampuan mitra tutur. Berdasarkan kedua
konteks di atas, dapat diketahui bahwa penutur mengungkapkan kekesalannya
dengan menyampaikan tuturan secara sengaja untuk melecehkan muka mitra
tuturnya di hadapan orang lain. Hal itu tentu dipersepsi sebagai ketidaksantunan.
Lebih lanjut lagi pada aspek tujuan penutur. Penutur menyampaikan
tuturannya pada tuturan C3 dengan tujuan mengungkapkan kekesalannya kepada
MT2 yang buang air kecil di celana, sedangkan tuturan C13 dengan tujuan yang
sama yaitu mengungkapkan kekesalan akibat ketidakmampuan dalam
menghitung. Dengan melihat tujuan penutur, kedua tuturan tersebut termasuk
dalam subkategori kesal. Aspek selanjutnya adalah tuturan sebagai produk tindak
verbal. Tindak verbal dalam tuturan C3 dan C13 adalah tindak verbal ekspresif.
Tindak perlokusi yang terjadi pada tuturan C3 yaitu mitra tutur diam saja dan
terlihat sangat menyesal, sedangkan pada tuturan C13 penutur merasa dilecehkan
sehingga memberikan jawaban sebagai upaya pembelaan diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
Pembahasan berikutnya mengenai maksud ketidaksantunan penutur.
Meskipun tuturan C3 termasuk dalam subkategori kesal, maksud dari tuturan
penutur sebenarnya hanya ingin menakut-nakuti mitra tuturnya agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Lain halnya dengan tuturan C13 yang
menyiratkan maksud sama dengan subkategori ini yakni mengungkapkan
kekesalan penutur terhadap mitra tuturnya.
4.3.3.2 Subkategori Mengejek
Wujud ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan C7 dan C16
berikut.
Sing mesak’ake yo iki mbak, kasian sekali ini. Wis disambi, ireng,
kasian sekali yo le sayang ya. (C7)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi saat penutur sedang berbincang-bincang
dengan MT1 di ruang tamu rumah penutur (Kamis, 25 April 2013, pukul
16.06 WIB). MT2 datang dari luar rumah menghampiri penutur. Penutur
ingin memperkenalkan MT2 kepada MT1 dengan melontarkan kata-kata
ejekan sambil mencium MT2 penuh rasa sayang)
Itu adik saya yang kepala desa itu tapi itu yang paling bodoh itu. (C16)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di
pendhopo rumah dalam suasana santai (Senin, 10 Juni 2013 sekitar pukul
12.47–13.36 WIB). Tiba-tiba MT2 selaku adik keponakan dari penutur
lewat depan pendhopo dan tersenyum. Penutur secara spontan
menceritakan kelemahan MT2 dengan nada mengejek)
Pada tuturan C7, penutur dengan lugas tanpa mempedulikan mitra
tuturnya, berbicara sembari tertawa, sembari mencium pipi mitra tutur, bahkan
disampaikan langsung di hadapan tamu yang berkunjung. Begitu juga dengan
tuturan C16 yang disampaikan dengan sinis sembari tertawa dan menunjuk ke
arah MT2, bahkan diutarakan di hadapan tamu yang datang. Cara penutur ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
menyampaikan tuturannya pada kedua tuturan di atas menunjukkan bahwa
penutur sengaja ingin menghina mitra tuturnya. Hal itu dipersepsi sebagai wujud
ketidaksantunan pragmatik.
Penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan-tuturan tidak santun
tersebut dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada, pilihan kata (diksi), dan
kata fatis. Intonasi pada tuturan C7 memiliki kesamaan dengan intonasi pada
tuturan C16, yaitu intonasi berita dengan pola intonasi datar-turun. Meskipun
memiliki intonasi berita, kenyataannya kedua tuturan di atas justru memberitakan
hal yang memalukan bagi mitra tuturnya, sehingga ini dipersepsi sebagai sebuah
ketidaksantuanan.
Aspek selanjutnya yang akan dibahas adalah tekanan. Tekanan dalam
tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat dengan
mudah sampai kepada mitra tuturnya. Pada tuturan C7 penutur berbicara dengan
tekanan lunak pada frasa wis disambi, ireng, sedangkan tuturan C16 disampaikan
oleh penutur dengan tekanan keras pada frasa paling bodoh. Bagian yang
ditekankan dari kedua tuturan tersebut dipersepsi sebagai ketidaksantunan karena
menyiratkan suatu hinaan atau ejekan terhadap mitra tuturnya.
Lebih lanjut lagi mengenai nada tutur. Nada menyangkut tinggi
rendahnya bunyi. Tuturan C7 dituturkan oleh penutur dengan nada rendah,
sedangkan tuturan C16 disampaikan oleh penutur dengan nada sedang. Meskipun
disampaikan dengan nada rendah dan sedang, tuturan tersebut dipersepsi sebagai
tuturan yang tidak santun karena terdengar sebagai ejekan dan hinaan terhadap
mitra tuturnya. Bahkan berpotensi melukai hati mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Tuturan C7 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi bahasa Jawa, sedangkan tuturan C16
menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan adanya pemakaian kata
tidak baku, yaitu tapi. Pada tuturan C7 ditemukan pemakaian kata fatis, yaitu ya
dan yo yang digunakan untuk menegaskan ejekan penutur terhadap mitra tuturnya.
Berbeda dengan tuturan C16 yang tidak menggunakan kata fatis.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Tuturan C7 terjadi antara
penutur ibu berusia 39 tahun dan MT1 adalah tamu. MT2 laki-laki berusia 5
tahun. Penutur adalah ibu dari MT2. Kemudian, tuturan C16 yang terjadi antara
penutur dan MT1 perempuan. Penutur berusia 63 tahun, MT1 adalah tamu, dan
MT2 laki-laki berusia 40 tahun. Penutur adalah kakak keponakan dari MT2.
Berdasarkan aspek penutur dan mitra tutur dalam kedua tuturan tersebut,
diketahui bahwa penutur dan mitra tutur memiliki hubungan kekeluargaan yang
dekat. Kedekatan inilah yang terkadang justru memunculkan bentuk-bentuk
ketidaksantunan ketika bertutur.
Aspek berikutnya adalah konteks. Konteks dalam tuturan C7 terjadi
ketika penutur sedang berbincang-bincang santai dengan MT1 di ruang tamu
rumah penutur. Tiba-tiba, MT2 datang dari luar rumah menghampiri penutur.
Penutur ingin memperkenalkan MT2 kepada MT1 dengan melontarkan kata-kata
ejekan sambil mencium MT2 penuh rasa sayang. Begitu juga dengan tuturan C16
yang terjadi ketika penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di pendhopo
rumah dalam suasana santai. Tiba-tiba MT2 selaku adik keponakan dari penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
lewat depan pendhopo dan tersenyum menyapa. Penutur secara spontan
menceritakan kelemahan MT2 dengan nada mengejek. Berdasarkan konteks
tersebut, diketahui bahwa penutur sengaja ingin mengejek mitra tuturnya dengan
menceritakan kelemahan mitra tutur di hadapan tamu yang berkunjung.
Lebih lanjut lagi dalam aspek tujuan penutur. Tujuan penutur dalam
tuturan C7 yaitu mengejek penampilan fisik MT2, sedangkan tuturan C16
disampaikan juga dengan tujuan serupa yaitu mengejek kelemahan MT2 di
hadapan tamu yang berkunjung. Berdasarkan tujuan tuturan tersebut, kedua
tuturan di atas termasuk dalam subkategori mengejek.
Selanjutnya, dalam aspek tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas.
Tuturan C7 terjadi di ruang tamu rumah penutur (Kamis, 25 April 2013, pukul
16.06 WIB), sedangkan tuturan C16 terjadi di pendhopo rumah penutur dalam
suasana santai (Senin, 10 Juni 2013 sekitar pukul 12.47–13.36 WIB). Berdasarkan
tempat dan waktu kejadian, tuturan tersebut dianggap tidak santun karena
disampaikan di saat penutur sendiri sedang menerima tamu.
Lebih lanjut lagi dalam aspek tuturan sebagai bentuk tindak verbal.
Tindak verbal yang terjadi pada tuturan C7 dan C16 adalah tindak verbal
ekspresif, yang mengekspresikan bentuk-bentuk ejekan penutur terhadap mitra
tuturnya. Akibat tuturan penutur, tindak perlokusi yang terjadi adalah MT2 diam
saja karena malu kemudian pergi meninggalkan penutur dan MT1.
Setiap tuturan tidak santun mengandung maksud tertentu yang ingin
disampaikan kepada mitra tuturnya. Meskipun termasuk dalam subkategori
mengejek, pada kenyataannya tuturan C7 memiliki maksud untuk sekadar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
mengajak bercanda mitra tuturnya. Lain halnya dengan tuturan C16 yang
disampaikan dengan maksud memberi informasi kepada mitra tuturnya.
Sayangnya, kedua maksud tersebut disampaikan dengan cara yang kurang santun
sehingga terdengar seperti sebuah ejekan dan hinaan terhadap mitra tuturnya.
4.3.3.3 Subkategori Menolak
Tuturan C21 dan C23 temasuk dalam subkategori menolak karena
menyiratkan ketidaksetujuan penutur terhadap saran, nasihat, perintah, maupun
pesan dari mitra tutur. Berikut adalah wujud ketidaksantunan linguistik dalam
subkategori menolak yang terdapat pada tuturan C21 dan C23.
Ngapain dandan? Iihh Ibu juga ga dandan. (C21)
(Konteks tuturan: penutur berpamitan kepada mitra tutur hendak bepergian.
Melihat penampilan penutur yang polos, mitra tutur meminta penutur untuk
memperhatikan kecantikan, mengingat usianya yang sudah beranjak
dewasa. Namun, penutur menolak permintaan mitra tutur dengan jawaban
sekenanya sebagai upaya membela diri)
Dadi pegawai negeri bapak ra dadi opo-opo kok! Aku emoh pegawai
negeri! (C23)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berbincang-bincang di ruang
keluarga dalam suasana serius. Mitra tutur memberi saran kepada penutur
agar menjadi PNS yang memiliki kejelasan masa depan. Penutur kurang
sependapat dengan mitra tutur, kemudian mengungkapkan alasannya)
Setelah mencermati wujud ketidaksantunan linguistik pada kedua tuturan
tersebut, lebih lanjut lagi pembahasan mengenai wujud ketidaksantunan
pragmatiknya. Penutur pada kedua tuturan di atas dengan sadar berusaha menolak
saran dan nasihat dari mitra tuturnya. Penolakan itu disampaikan dengan berbicara
sinis, bahkan sembari berlalu meninggalkan penutur. Terlebih pada tuturan C23,
penutur berbicara dengan kata-kata yang terdengar meremehkan profesi mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
tuturnya. Kedua penutur berbicara kepada orang yang lebih tua. Cara bicara
penutur yang demikian, sudah tentu menunjukkan rendahnya kadar kesantunan
dari tuturan tersebut.
Berbicara mengenai penanda ketidaksantunan, dapat dibedakan dari segi
linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik dilihat dari unsur
suprasegmental dan unsur segmental dalam setiap tuturan. Tuturan C21
disampaikan dengan intonasi tanya yang bernada sedang dan tekanan lunak.
Meskipun disampaikan dengan nada sedang dan tekanan lunak, tuturan penutur
dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena tekanan pada frasa ga dandan
berpotensi melukai hati mitra tuturnya. Mitra tutur dapat saja merasa dilecehkan
akibat tuturan penutur. Lain halnya pada tuturan C23 yang disampaikan dengan
intonasi seru, bernada sedang, dan tekanan keras. Tuturan yang disampaikan
dengan intonasi seru dan cenderung terdengar keras dipersepsi sebagai bentuk
ketidaksantunan, terlebih ketika mitra tutur yang diajak berbicara hanya berada
pada jarak dekat. Pada tuturan C23 ini, penutur juga memberi penekanan dengan
keras pada kata emoh yang artinya tidak mau. Ketika mengungkapkan sebuah
penolakan, hendaknya penutur memperhatikan pilihan kata yang digunakan.
Misalnya, dengan menggunakan kata maaf, yang terdengar lebih halus sehingga
tidak terkesan melecehkan mitra tuturnya.
Unsur segmental meliputi pilihan kata (diksi) dan kata fatis. Tuturan C21
menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian kata tidak
baku, yaitu ngapain, dandan, ga. Pada tuturan ini ditemukan pengunaan kata fatis
ih, sebagai bentuk penolakan yang terdengar melecehkan mitra tuturnya. Tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
C23 juga termasuk bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa
Jawa. Ditemukan partikel kok pada tuturan C23 yang berupa penekanan terhadap
suatu hal yang diyakini oleh penutur.
Penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks
yang melingkupi tuturan tersebut. Pada tuturan C21, penutur dan mitra tutur
perempuan. Penutur berusia 28 tahun dan mitra tutur berusia 64 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur. Dalam kebudayaan Jawa, penutur yang berusia lebih
muda hendaknya dapat bertutur lebih santun kepada orang yang lebih tua. Namun,
hal itu tidak tampak pada tuturan di atas. Konteks yang terjadi yaitu saat penutur
dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari. Penutur berpamitan
kepada mitra tutur hendak bepergian. Melihat penampilan penutur yang polos,
mitra tutur meminta penutur untuk memperhatikan kecantikan, mengingat usianya
yang sudah beranjak dewasa. Namun, penutur menganggap mitra tutur sendiri
tidak pernah memperhatikan penampilannya, kemudian penutur menolak
permintaan mitra tutur dengan jawaban sekenanya sebagai upaya membela diri.
Berdasarkan konteks tersebut, diketahui bahwa penutur menolak saran dari mitra
tutur dengan cara yang kurang santun, sehingga berpotensi melukai hati mitra
tuturnya. Tujuan dari tuturan penutur ialah membela diri. Tindak verbal yang
terjadi adalah ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT
yaitu diam sembari menggelengkan kepala.
Selanjutnya, tuturan C23 terjadi antara penutur perempuan berusia 28
tahun dan mitra tutur laki-laki berusia 62 tahun. Penutur adalah anak perempuan
dari mitra tutur. Kedekatan antara anak dengan orang tuanya terkadang justru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
menimbulkan kebiasaan yang kurang santun dalam berkomunikasi. Begitu juga
dengan tuturan C23 ini. Konteks yang terjadi yaitu ketika penutur dan mitra tutur
berbincang-bincang di ruang keluarga dalam suasana serius. Mitra tutur memberi
saran kepada penutur agar menjadi PNS yang memiliki kejelasan masa depan.
Penutur kurang sependapat dengan mitra tutur, kemudian mengungkapkan
alasannya yang terdengar meremehkan profesi mitra tuturnya. Berdasarkan
konteks tersebut dapat dipahami bahwa tuturan penutur memang tidak santun,
karena penutur menyampaikan penolakan sembari meremehkan profesi mitra
tuturnya. Seharusnya hal tersebut tidak terjadi jika penutur mampu menjaga hati
mitra tuturnya. Tujuan dari tuturan penutur ialah menolak saran dari mitra
tuturnya. Tindak verbal yang terjadi yaitu komisif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yaitu kecewa dan diam saja.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Meskipun termasuk dalam subkategori menolak, tuturan C21 menyiratkan
maksud protes dari penutur kepada mitra tuturnya. Sayangnya, protes tersebut
disampaikan secara langsung dan terdengar kurang santun, sehingga berpotensi
melukai hati mitra tuturnya. Berbeda dengan tuturan C23 yang menyiratkan
maksud sama dengan subkategori ini, yaitu sebuah penolakan terhadap nasihat
dari mitra tuturnya. Penolakan itu disampaikan oleh penutur dengan kata-kata
yang terdengar memojokkan mitra tuturnya, sehingga tuturan menjadi tidak
santun. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pranowo, (2009:68-73) bahwa salah
satu fakta pemakaian bahasa yang tidak santun adalah dengan memojokkan mitra
tutur dalam bertutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
4.3.3.4 Subkategori Menyindir
Tuturan berikut termasuk dalam subaktegori menyindir karena
menyiratkan bentuk-bentuk kritikan atau celaan terhadap mitra tuturnya baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Wujud ketidaksantunan linguistik
dalam subkategori menyindir terdapat pada tuturan C5 dan C18.
Maklum lah wong hukum. (C5)
(Konteks tuturan: ketika membicarakan keadaan masyarakat sering terjadi
pro kontra, terlebih dengan anak pertama yang notabene sudah terbiasa
dengan ilmu hukum. Mitra tutur selalu keras kepala menyatakan opininya
berkaitan tentang hukum. Tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata kepada
mitra tutur dengan maksud menyindir)
Ki lho Mas, ngerti to Undang-undange? (C18)
(Konteks tuturan: penutur meminta bantuan kepada mitra tutur untuk
menyelesaikan PR. Penutur meminta bantuan dengan cara sedikit
menyindir mitra tutur yang notabene mahasiswa fakultas hukum. Mitra
tutur sedikit kesal dengan sikap penutur, sehingga hanya memberikan
jawaban singkat)
Pada tuturan C5, penutur berbicara dengan sinis sembari tersenyum dan
menatap mitra tutur sinis. Hal itu seharusnya tidak dilakukan untuk menjaga
komunikasi yang baik antara penutur dan lawan tutur. Seperti penjelasan Pranowo
(2009:79) bahwa salah satu faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaan
berupa pranata adat, seperti jarak bicara antara penutur dan mitra tutur, gaya
bicara (perhatian kepada mitra tutur, tidak memerhatikan wajah mitra tutur atau
“melengos” dan sebagainya). Begitu juga dengan tuturan C18, penutur berbicara
kepada orang yang lebih tua sembari tersenyum mengejek. Bahkan,
memperlihatkan tindakan yang kurang sopan, yakni melempar buku ke arah mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
tutur. Cara bertutur yang demikian tentu menunjukkan rendahnya kadar
kesantunan tuturan penutur.
Setelah mencermati wujud ketidaksantunan, pembahasan berikutnya
mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik. Intonasi yang
digunakan pada kedua tuturan di atas berbeda. Tuturan C5 menggunakan intonasi
berita yang berpola intonasi datar-turun. Meskipun terdengar cenderung datar dan
menurun, tuturan penutur dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena
menyiratkan sindirannya terhadap mitra tutur. Berbeda dengan tuturan C18 yang
menggunakan intonasi tanya. Muslich (2008:115-116) menjelaskan bahwa
kalimat tanya (interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik. Seperti pada
tuturan C18, penutur berbicara dengan datar namun terdapat penekanan yang
berpola datar-naik pada pertanyaan tersebut. Penekanan yang disampaikan oleh
penutur merupakan bentuk sindirannya terhadap kemampuan mitra tutur dalam
ilmu hukum.
Pada tuturan C5, penutur berbicara dengan tekanan lunak. Bagian yang
ditekankan yaitu pada kata hukum. Begitu juga dengan tuturan C18 yang
disampaikan dengan tekanan lunak pada frasa undang-undange. Lebih lanjut lagi
dalam nada tutur. Kedua tuturan tersebut disampaikan dengan nada sedang.
Meskipun ditekankan dengan lunak dan bernada sedang, tuturan C5 dan C18
dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena terdengar sebagai bentuk
sindiran terhadap mitra tuturnya.
Pembahasan berikutnya mengenai diksi dan kata fatis. Tuturan C5 dan
C18 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
Jawa. Pada tuturan C5 ditemukan penggunaan kata fatis lah, sedangkan pada
tuturan C18 ditemukan penggunaan kata fatis lho dan to. Kata fatis lho pada
tuturan C18 digunakan di tengah kalimat dan bertugas menekankan kepastian dari
penutur kepada mitra tuturnya. Penutur pada tuturan C18 berusaha memastikan
mampu atau tidaknya mitra tutur dalam mengerjakan tugas dari penutur.
Lebih lanjut lagi dalam penanda ketidaksantunan pragmatik. santun
tidaknya sebuah tuturan dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi
tuturan tersebut. Tuturan C5 disampaikan oleh bapak kepada anaknya. Lebih
lanjut lagi dalam aspek konteks tuturan. Tuturan C5 terjadi ketika seluruh anggota
keluarga terlibat dalam perbincangan santai. Ketika membicarakan keadaan
masyarakat sering terjadi pro kontra, terlebih dengan anak pertama yang notabene
sudah terbiasa dengan ilmu hukum. Mitra tutur selalu keras kepala menyatakan
opininya berkaitan tentang hukum. Tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata
kepada mitra tutur dengan maksud menyindir. Aspek selanjutnya yaitu tujuan
penutur. Pada tuturan ini, tujuan dari penutur yakni mengajak seluruh anggota
keluarga untuk memaklumi watak mitra tutur yang keras kepala. Jika dilihat dari
tujuannya, tuturan itu disampaikan demi kebaikan bersama. Namun, penutur
kurang memperhatikan suasana hati mitra tuturnya, sehingga berpotensi melukai
hati mitra tutur. Tindak verbal yang terjadi ialah ekspresif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yaitu tersenyum berusaha mencarikan
suasana, meski sedikit tersinggung.
Selanjutnya, tuturan C18 yang terjadi antara penutur dan mitra tutur laki-
laki dan memiliki hubungan kakak beradik. Kesamaan jenis kelamin dan usia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
yang tidak terlalu jauh memungkinkan munculnya ketidaksantunan dalam
berkomunikasi. Terlebih ketika penutur dan mitra tutur memiliki hubungan darah
yang erat. Tuturan terjadi ketika penutur meminta bantuan kepada mitra tutur
untuk menyelesaikan PR. Penutur meminta bantuan dengan cara sedikit menyindir
mitra tutur yang notabene mahasiswa fakultas hukum. Mitra tutur sedikit kesal
dengan sikap penutur sehingga hanya memberikan jawaban singkat. Dari konteks
yang terjadi, diketahui bahwa penutur memang sengaja menyindir kemampuan
mitra tuturnya dalam hal ilmu hukum. Ketika meminta sebuah bantuan,
hendaknya penutur memperhatikan pilihan kata yang digunakan. Misalnya,
menggunakan kata tolong, sehingga terdengar lebih halus. Namun, hal itu tidak
terlihat pada tuturan ini. Tujuan dari tuturan penutur ialah menyindir mitra
tuturnya. Dari tujuannya, sudah jelas terlihat bahwa penutur tidak santun karena
sengaja ingin menyindir mitra tuturnya. Tindak verbal yang terjadi adalah
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yakni kesal
dan memberi jawaban singkat.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur
pada tuturan C5 dan C18 menyampaikan tuturannya dengan maksud menyindir
mitra tuturnya.
4.3.3.5 Subkategori Marah
Berikut adalah tuturan yang termasuk dalam subkategori marah. Wujud
ketidaksantunan linguistik terdapat pada tuturan C6 dan C24.
Koe ki anak perawan kok keset!! (C6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
(Konteks tuturan: tuturan terjadi sepulang penutur dari bepergian sore
hari. Penutur terkejut melihat keadaan rumah yang sangat berantakan
paska ditinggal bepergian. Padahal, penutur sudah memberikan tugas
kepada mitra tutur untuk menjaga kebersihan rumah. Namun, mitra tutur
tidak mengindahkan perintah penutur, sehingga penutur menegur mitra
tutur dengan ketus)
Wooo nenek lampir!! (C24)
(Konteks tuturan: mitra tutur berusaha menasihati penutur yang sering
membangkang terhadap mitra tutur. Mendengar nasihat tersebut, penutur
melontarkan kata-kata yang tidak santun, sehingga mitra tutur tersinggung)
Penutur pada kedua tuturan di atas dengan sadar berusaha
mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap suatu hal yang berhubungan
dengan mitra tutur. Ketidaksenangan itu ditunjukkan dengan berbicara ketus,
keras, bahkan melontarkan sebuah umpatan ketika. Penutur tidak mengindahkan
nasihat dari mitra tutur. Cara berbicara yang demikian tentu menyiratkan bahwa
tuturan yang disampaikan juga tidak santun.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan linguistik yang ditinjau
dari unsur suprasegmental dan unsur segmental sebuah kalimat. Tuturan C6 dan
C24 disampaikan dengan intonasi seru yang bernada tinggi. Tuturan tersebut
dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena penutur didorong rasa emosi
ketika menyampaikan tuturannya. Hal itu sejalan dengan penjelasan Pranowo
(2009:75) bahwa salah satu gejala penutur yang bertutur secara tidak santun
adalah didorong rasa emosi ketika bertutur. Jika ditinjau dari aspek tekanan,
tuturan C6 dan C24 disampaikan dengan tekanan keras pada frasa keset (untuk
tuturan C6 yang artinya malas) dan nenek lampir (untuk tuturan C24). Tekanan
dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya. Namun, kenyataannya tekanan
keras pada kedua tuturan tersebut justru menciptakan komunikasi yang kurang
baik antara penutur dengan mitra tutur.
Lebih lanjut lagi mengenai unsur segmental, yaitu diksi dan kata fatis.
Tuturan C6 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian
bahasa Jawa. Kata fatis yang ditemukan adalah kata fatis kok yang digunakan
untuk menegaskan kemarahan penutur. Berbeda dengan tuturan C24 yang
menggunakan bahasa populer. Penggunaan bahasa populer ditandai dengan
pemakaian frasa nenek lampir yang secara umum sudah diketahui oleh seluruh
masyarakat.
Penanda pragmatik pada kedua tuturan di atas ditandai berdasarkan
konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Partisipan dalam tuturan C6 adalah
penutur laki-laki berusia 47 tahun dan mitra tutur perempuan kelas XII SMK,
berusia 19 tahun. Penutur adalah bapak dari mitra tutur. Lain halnya dengan
tuturan C24 yang terjadi antara penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun
dan mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Berdasarkan pemaparan aspek penutur dan mitra tutur tersebut, diketahui bahwa
penutur berusia lebih tua dari mitra tuturnya, namun ada pula yang berusia lebih
muda. Seorang penutur, baik yang berusia lebih tua maupun yang lebih muda dari
mitra tuturnya hendaknya mampu menjaga tuturannya. Namun, hal itu tidak
nampak pada kedua tuturan di atas. Kedekatan dalam keluargalah yang
memungkinkan terjadinya komunikasi yang kurang santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
Melihat konteks tuturan itu sendiri, tuturan C6 terjadi sepulangnya
penutur dari bepergian. Penutur terkejut melihat keadaan rumah yang sangat
berantakan paska ditinggal bepergian. Padahal, penutur sudah memberikan tugas
kepada mitra tutur untuk menjaga kebersihan rumah. Namun, mitra tutur tidak
mengindahkan perintah penutur. Akibatnya, penutur menegur mitra tutur dengan
ketus. Lain halnya dengan konteks pada tuturan C24 yang terjadi ketika mitra
tutur menasihati penutur karena sulit diatur. Mitra tutur juga memperingatkan
penutur untuk Shalat. Mendengar nasihat tersebut, penutur justru melontarkan
kata-kata yang tidak santun, sehingga mitra tutur tersinggung. Berdasarkan kedua
konteks tersebut, terlihat bahwa penutur didorong oleh emosi ketika berbicara,
sehingga tuturan yang disampaikan menjadi tidak santun. Andai saja penutur
mampu mengendalikan emosinya, komunikasi tentu akan berlangsung lebih baik.
Lebih lanjut lagi dalam tujuan penutur. Tujuan dari tuturan C6 ialah
menanggapi tingkah laku mitra tutur. Namun, kenyataannya tuturan penutur justru
terdengar melecehkan mitra tuturnya. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif.
Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT ialah diam saja dan masuk
kamar. Tuturan C24 disampaikan dengan tujuan mengungkapkan amarah penutur.
Tindak verbal yang terjadi ialah ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak
perlokusi MT yaitu pergi meninggalkan penutur.
Kedua tuturan tersebut disampaikan kepada mitra tutur dengan maksud
tertentu. Maksud adalah milik penutur. Setelah dilakukan konfirmasi kembali,
tuturan C6 memiliki maksud yang sama dengan subkategori ini yaitu
mengungkapkan kemarahan penutur terhadap mitra tuturnya, sedangkan tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
C24 yang termasuk dalam subkategori marah ternyata memiliki maksud sebagai
ungkapan kekesalan penutur terhadap mitra tutur.
4.3.3.6 Subkategori Menyarankan
Menyarankan berarti memberi saran atau menganjurkan sesuatu demi
kebaikan lawan tuturnya.
Hei kamu tu dikucir rambutnya, nanti nek kuliah budeg lho! (C15)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi siang hari dalam suasana santai ketika
mitra tutur sedang bermain di teras rumah bersama teman-temannya.
Penutur sedikit terganggu ketika melihat mitra tutur selalu mengurai
rambut dan terkesan kurang rapi. Penutur berusaha memberikan saran
kepada mitra tutur)
Ya ampun kalian itu gadis, dandan dong! (C20)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada
sore hari dalam keadaan santai. Mitra tutur terlihat sedang bersiap-siap
hendak pergi. Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur dengan
sindiran agar mitra tutur mau memperhatikan penampilan, mengingat
usianya yang sudah beranjak dewasa)
Wujud ketidaksantunan pragmatik tuturan C15 adalah penutur berbicara
dengan keras sembari memegang kepala mitra tuturnya. Selain itu, penutur juga
menyampaikan tuturannya di hadapan teman-teman mitra tutur. Begitu juga
dengan tuturan C20 yang disampaikan sembari tertawa mengejek dan menatap
mitra tutur dengan sinis. Penutur juga berbicara di hadapan anggota keluarga yang
lain. Kedua tuturan itu termasuk dalam subkategori menyarankan, namun cara
penutur menyampaikan tuturannya mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun
karena terdengar seperti ancaman bahkan sindiran terhadap mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
Kedua tuturan tersebut disampaikan dengan intonasi perintah yang
bernada sedang dan tekanan keras. Intonasi perintah yang disampaikan kepada
mitra tuturnya, harusnya diimbangi dengan penggunaan kata-kata yang santun.
Namun, hal itu tidak nampak pada kedua tuturan tersebut. Penutur pada tuturan
C15 memberi tekanan dengan keras pada frasa budeg lho. Pilihan kata pada
tuturan tersebut dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan karena terdengar
sebagai sebuah ancaman bagi mitra tuturnya. Begitu juga dengan tuturan C20
yang ditekankan dengan keras pada kata gadis. Penekanan kata gadis di situ
menyiratkan bentuk pelecehan muka terhadap mitra tutur.
Selanjutnya, mengenai diksi dan kata fatis. Tuturan C15 menggunakan
bahasa nonstandar dengan menggunakan istilah bahasa Jawa, yaitu nek yang
artinya kalau, serta menggunakan kata tidak baku, yaitu dikucir, tu, budeg. Begitu
juga dengan tuturan C20 yang menggunakan bahasa nonstandar dengan
pemakaian kata tidak baku, yaitu dandan.
Pembahasan selanjutnya mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik.
Partisipan dalam tuturan C15 adalah penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
berusia 57 tahun dan mitra tutur kelas 3 SD. Penutur adalah nenek dari mitra tutur.
Selanjutnya, tuturan C20 yang terjadi antara penutur dan mitra tutur perempuan.
Penutur berusia 64 tahun dan mitra tutur berusia 28 tahun. Penutur adalah ibu dari
mitra tutur. Kesamaan jenis kelamin dan kedekatan penutur dengan mitra tutur
dalam keluarga tentu mempengaruhi terjadinya komunikasi yang tidak santun di
antara keduanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Aspek berikutnya tentang konteks dalam tuturan itu sendiri. Tuturan C15
terjadi siang hari di teras rumah penutur dalam suasana santai ketika mitra tutur
sedang bermain di teras rumah bersama teman-temannya. Penutur sedikit
terganggu ketika melihat mitra tutur selalu mengurai rambut dan terkesan kurang
rapi. Penutur berusaha memberikan saran kepada mitra tutur. Namun, saran yang
disampaikan justru terdengar melecehkan muka mitra tuturnya. Selanjutnya,
tuturan C20 terjadi pada sore hari di ruang keluarga ketika mitra tutur sedang
bersiap-siap hendak pergi. Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur agar
memperhatikan penampilan, mengingat usianya yang sudah beranjak dewasa.
Sayangnya, saran dari penutur disampaikan dengan kata-kata yang terdengar
melecehkan mitra tuturnya. Terlebih, ketika mitra tutur sendiri memang tidak
terlalu peduli dengan penampilan. Oleh sebab itu, tuturan penutur justru terkesan
menohok mitra tuturnya.
Lebih lanjut lagi dalam aspek tujuan penutur. Tuturan C15 disampaikan
dengan tujuan menanggapi sekaligus memberikan saran atas penampilan MT,
sedangkan tuturan C20 disampaikan dengan tujuan memberi saran kepada mitra
tuturnya. Tindak verbal yang terjadi pada tuturan C15 adalah tindak verbal
ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yakni tidak
mengindahkan saran dari penutur. Selanjutnya, tuturan C20 yang merupakan
tindak verbal direktif, karena berupa pemberian saran terhadap mitra tuturnya.
Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu memberikan jawaban
sekenanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
Kedua tuturan tersebut sudah tentu disampaikan dengan maksud tertentu.
Tuturan C15 termasuk dalam subkategori menyarankan, namun kenyataannya
tuturan tersebut disampaikan dengan maksud menakut-nakuti mitra tuturnya.
Kemudian, tuturan C20 menyiratkan maksud yang sama dengan subkategori ini,
yakni berupa pemberian saran kepada mitra tuturnya.
4.3.3.7 Subkategori Menanyakan
Kok nilai kamu tu jelek, ga pernah belajar ya? (C2)
(Konteks tuturan: percakapan antara penutur dan mitra tutur bersama
teman-temannya di rumah saat jam pulang sekolah. Penutur berusaha
mencari tahu alasan perihal nilai jelek yang diperoleh di sekolah dengan
bertanya kepada mitra tutur. Namun, mitra tutur merasa enggan menjawab
pertanyaan penutur)
Wujud ketidaksantunan linguistik pada cuplikan tersebut terdapat pada
tuturan C2, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatiknya berkaitan dengan
cara penutur ketika menyampaikan tuturan tidak santunnya. Pada tuturan C2,
penutur berbicara dengan sinis sembari menatap mitra tutur juga dengan tatapan
sinis. Tuturan disampaikan langsung di hadapan teman-teman mitra tutur.
Berdasarkan cara penutur menyampaikan tuturan, disimpulkan bahwa penutur
secara sengaja menyampaikan tuturan untuk melecehkan mitra tuturnya. Hal itu
terlihat ketika dengan lugasnya penutur bercerita di hadapan teman-teman mitra
tutur perihal nilai buruk yang selalu diperoleh mitra tutur.
Intonasi, tekanan, dan nada adalah unsur suprasegmental yang menjadi
penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan. Pada tuturan C2, penutur
berbicara dengan intonasi tanya yang bernada sedang dan memberikan tekanan
lunak pada kata jelek. Bagian yang ditekankan inilah yang dipentingkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
penutur. Meskipun berbicara dengan nada sedang dan memberikan tekanan
dengan lunak, kenyataannya penekanan pada kata jelek menyiratkan bentuk
pelecehan terhadap mitra tuturnya. Terlebih, ketika tuturan disampaikan di
hadapan teman-teman mitra tutur. Pilihan kata yang kurang tepat dapat saja
menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya.
Pilihan kata (diksi) dan kata fatis adalah unsur segmental yang terdapat
dalam tuturan. Penggunaan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian
kata tidak baku pada tuturan ini. Kata tidak baku dalam tuturan ini adalah tu dan
ga. Dalam tuturan C2 terdapat penggunaan kata fatis kok. Kata fatis kok dapat
tuturan ini menekankan alasan yang ingin diketahui oleh penutur terkait nilai
mitra tutur yang tidak terlalu bagus.
Selanjutnya, pembahasan dalam penanda ketidaksantunan pragmatik
yang dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Tuturan C2
terjadi antara penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur ibu berusia 36 tahun
dan mitra tutur masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Penutur adalah ibu dari
mitra tutur. Kesamaan jenis kelamin cenderung mendorong adanya kedekatan
tertentu antara penutur dan mitra tuturnya. Kedekatan inilah yang terkadang justru
menimbulkan terciptanya komunikasi yang kurang santun di antara keduanya.
Lebih lanjut lagi pada aspek konteks tuturan itu sendiri. Tuturan terjadi
ketika penutur dan mitra tutur berbincang-bincang bersama teman-temannya
dalam suasana santai. Perbincangan itu terjadi di rumah penutur saat jam pulang
sekolah. Penutur berusaha mencari tahu alasan mitra tutur yang selalu
memperoleh nilai jelek di sekolah dengan mengajukan pertanyaan. Namun, mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
tutur merasa enggan menjawab pertanyaan penutur karena pada saat yang
bersamaan teman-teman mitra tutur juga berada di tempat tersebut.
Setelah melihat konteks di atas, tuturan yang disampaikan penutur lebih
mengarah ke perilaku yang melecehkan muka. Mitra tutur pada tuturan tersebut
seperti dilecehkan oleh penutur yang tuturannya disampaikan secara langsung di
depan orang lain. Ketidaksantunan yang melecehkan muka itu berpotensi melukai
hati mitra tuturnya.
Pembahasan berikutnya mengenai tujuan, tindak verbal, dan tindak
perlokusi yang terdapat dalam tuturan. Tujuan penutur ketika menyampaikan
tuturannya adalah ingin mencari tahu alasan mitra tutur yang selalu memperoleh
nilai jelek. Tindak verbal dalam tuturan ialah ekspresif. Tuturan tersebut
mengakibatkan tindak perlokusi mitra tutur yaitu memberi jawaban sekenanya.
Berbicara mengenai maksud ketidaksantunan, tuturan C2 menyiratkan
maksud bahwa penutur ingin menyimpulkan sesuatu berdasarkan fakta yang
terjadi. Dalam konteks tadi, penutur ingin menyimpulkan bahwa nilai jelek yang
selalu diperoleh mitra tutur itu adalah akibat dari mitra tutur sendiri yang tidak
pernah belajar.
4.3.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka
Ahli berikutnya yang mengemukakan teori ketidaksantunan
menghilangkan muka ialah Culpeper. Pemahaman Culpeper (2008:3) tentang
ketidaksantunan berbahasa adalah, ‘Impoliteness, as I would define it, involves
communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived
by the target to be so.’ Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
atau ‘kehilangan muka’. Sebuah tuturan dianggap sebagai tuturan yang tidak
santun jika tuturan itu mengakibatkan seseorang kehilangan muka. Pada intinya,
teori ketidaksantunan berbahasa ini menekankan bentuk penggunaan tuturan yang
disampaikan oleh penutur dengan maksud untuk mempermalukan mitra tutur
sehingga mitra tutur kehilangan muka. Dalam kategori ketidaksantunan
menghilangkan muka, terdapat empat subkategori ketidaksantunan. Berikut
pembahasan mengenai wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur
yang dipaparkan berdasarkan masing-masing subkategori.
4.3.4.1 Subkategori Menyindir
Tuturan D10 dan D16 termasuk dalam subkategori menyindir. Pada
dasarnya, santun atau tidaknya sebuah tuturan dapat dilihat dari tuturan itu sendiri
beserta konteks yang melingkupinya. Berikut pembahasan lebih mendalam
mengenai tuturan yang termasuk dalam subkategori menyindir.
Arep mencari sendiri atau dicarikan?? (D10)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang-bincang dengan MT1 di
ruang tamu rumah penutur (Selasa, 4 Juni 2013, sekitar pukul 15.30 –
16.12 WIB). MT2 berjalan dari dalam membawakan minuman. Kemudian
MT2 duduk di sebelah penutur. Tiba-tiba penutur melontarkan pertanyaan
kepada MT2 dengan maksud menyindir karena MT2 belum juga memiliki
teman dekat)
Loro untu bapakmu. (D16)
(Konteks tuturan: percakapan yang terjadi antara penutur, MT1, dan MT2
di sawah pada siang hari. (Senin, 10 Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30
WIB). MT1 memanggil MT2, MT2 hanya menjawab dengan singkat sambil
terus melanjutkan pekerjaannya. MT1 kembali memanggil MT2, bahkan
berulang-ulang. Namun, MT2 hanya diam tanpa mempedulikan panggilan
MT1, tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata kepada MT1 dengan maksud
menyindir MT2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Dalam kategori menghilangkan muka ini, sebagian besar penutur
menyampaikan tuturannya dengan tujuan mempermalukan mitra tuturnya.
Misalnya, pada tuturan D10 penutur berbicara dengan lugas sembari tersenyum
menyindir. Tuturan itu juga disampaikan di hadapan tamu yang berkunjung.
Penutur sengaja bertanya kepada orang yang sudah cukup dewasa namun belum
juga memiliki teman dekat pacar. Begitu juga dengan tuturan D16, penutur
berbicara dengan keras sembari tersenyum sinis dan melirik ke arah mitra tutur 2.
Tuturan juga disampaikan di hadapan orang banyak. Berdasarkan cara penutur
menyampaikan tuturannya, diketahui bahwa penutur ingin mempermalukan mitra
tuturnya di hadapan orang lain. Hal ini membuktikan adanya wujud
ketidaksantunan pragmatik dalam tuturan tersebut.
Setelah mencermati wujud ketidaksantunan, pembahasan berikutnya
mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik. Intonasi yang
digunakan pada kedua tuturan di atas berbeda. Tuturan D10 menggunakan
intonasi tanya. Muslich (2008:115-116) menjelaskan bahwa kalimat tanya
(interogatif) ditandai dengan pola intonasi datar-naik. Seperti pada tuturan D10,
penutur berbicara dengan datar namun terdapat penekanan yang berpola datar-
naik pada pertanyaan tersebut. Penekanan yang disampaikan oleh penutur
merupakan bentuk sindirannya terhadap mitra tutur yang belum juga memiliki
teman dekat di usianya yang sudah beranjak dewasa. Berbeda dengan tuturan D16
yang berintonasi berita dan cenderung terdengar datar-turun. Meskipun terdengar
menurun, tuturan yang disampaikan oleh penutur justru menimbulkan kerugian
bagi mitra tuturnya, yaitu merasa dipermalukan di hadapan umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Selanjutnya, adalah tekanan. Pada tuturan D10, penutur berbicara dengan
tekanan lunak. Bagian yang ditekankan yaitu pada kata dicarikan. Begitu juga
dengan tuturan D16 yang ditekankan dengan lunak pada frasa loro untu.
Meskipun kedua tuturan tersebut memiliki tekanan lunak, bagian yang ditekankan
itu justru mengakibatkan mitra tuturnya merasa kehilangan muka.
Lebih lanjut lagi dalam nada tutur. Nada menyangkut tinggi rendahnya
suatu bunyi. Kedua tuturan tersebut disampaikan dengan nada sedang. Meskipun
nada dalam kedua tuturan tersebut tidak menunjukkan adanya emosi penutur yang
berlebih, kedua tuturan tersebut tidak santun karena menyiratkan sindiran yang
disampaikan secara tidak langsung kepada mitra tuturnya.
Pembahasan berikutnya mengenai unsur segmental, yaitu diksi dan kata
fatis. Pada tuturan D10, penutur menggunakan bahasa Indonesia yang disisipi
dengan bahasa Jawa, yaitu kata arep yang artinya ingin, sedangkan tuturan D16
merupakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa,
yaitu loro untu bapakmu, yang artinya sakit gigi bapakmu. Pada kedua tuturan itu
tidak ditemukan penggunaan kata fatis.
Lebih lanjut lagi dalam penanda ketidaksantunan pragmatik. Tuturan
D10 terjadi antara penutur laki-laki berusia 48 tahun, MT1 adalah tamu, dan MT2
perempuan semester 8, berusia 22 tahun. Penutur adalah bapak dari MT2.
Selanjutnya, tuturan D16 yang dilakukan antara penutur, MT1, dan MT2 laki-laki.
Penutur berusia 40 tahun, MT1 berusia 4 tahun, dan MT2 berusia 42 tahun.
Penutur adalah kerabat dari MT2. Setelah mencermati partisipan yang terlibat
dalam tuturan menghilangkan muka di atas, dapat diketahui bahwa kedekatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
dalam hubungan keluarga mempengaruhi bentuk kebahasaan yang muncul. Tidak
hanya anggota keluarga yang memiliki hubungan darah saja yang terlibat dalam
penuturan sebuah tuturan, tetapi juga kerabat dekat bahkan kerabat jauh dari
penutur. Seperti pada tuturan D16, yang memperlihatkan bahwa penutur dan mitra
tutur memiliki kedekatan, bahkan ketika melakukan sebuah aktivitas pertanian.
Jika ditinjau dari konteks tuturan, tujuan penutur, dan tuturan sebagai
bentuk aktivitas, tuturan D10 terjadi ketika penutur sedang berbincang-bincang
dengan MT1 di ruang tamu rumah penutur (Selasa, 4 Juni 2013, sekitar pukul
15.30–16.12 WIB). MT2 berjalan dari dalam menuju ruang tamu membawakan
minuman. Kemudian MT2 duduk di sebelah penutur. Tiba-tiba penutur
melontarkan pertanyaan kepada MT2 dengan maksud menyindir karena MT2
belum juga memiliki teman dekat. Tujuan tuturan penutur adalah mengajak
bercanda mitra tuturnya. Begitu juga dengan tuturan D16 yang terjadi ketika
penutur, MT1, dan MT2 berada di sawah pada siang hari (Senin, 10 Juni 2013,
sekitar pukul 11.30–12.30 WIB). MT1 memanggil MT2, MT2 hanya menjawab
dengan singkat sambil terus melanjutkan pekerjaannya. MT1 kembali memanggil
MT2, bahkan berulang-ulang. Namun, MT2 hanya diam tanpa mempedulikan
panggilan MT1, tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata kepada MT1 dengan
maksud menyindir MT2 agar segera menanggapi panggilan MT1. Tujuan dari
tuturan penutur adalah menyindir MT2 yang tidak mengindahkan panggilan MT1.
Aspek terakhir, ditinjau dari tuturan sebagai produk tindak verbal. Tindak
verbal yang terjadi pada tuturan D10 adalah tindak verbal ekspresif, sedangkan
tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT2 tersenyum malu sembari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
menunduk. Kemudian, tindak verbal yang terjadi pada tuturan D16 adalah
ekspresif dengan tindak perlokusi MT2 hanya tersenyum merasa tersindir,
kemudian menanggapi panggilan MT1.
Berdasarkan uraian di atas, kedua tuturan yang disampaikan penutur
tersebut lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang menghilangkan muka mitra
tuturnya. Ketidaksantunan yang menghilangkan muka itu mengarah pada sebuah
tuturan yang dapat mengakibatkan mitra tuturnya malu bahkan merasa kehilangan
muka.
Pembahasan terakhir, mengenai maksud ketidaksantunan penutur.
Maksud adalah milik penutur, sehingga dilakukan konfirmasi kembali untuk
mengetahui maksud penutur. Meskipun kedua tuturan di atas, termasuk dalam
subkategori menyindir, maksud dari tuturan penutur sebenarnya hanya ingin
mengajak bercanda mitra tuturnya.
4.3.4.2 Subkategori Mengejek
Mak, satus ki nol’e piro?? (D4)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk
menyelesaikan PR bersama beberapa anggota keluarga yang lain di ruang
keluarga. Penutur sengaja bertanya kepada mitra tutur, padahal penutur
sudah mengetahui keterbatasan mitra tutur, yakni tidak dapat membaca.
Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur memberikan jawaban
sekenanya)
Iya, itu yang masih belum laku mbak, soalnya pengangguran. (D9)
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang bersama MT1 di ruang tamu
rumah penutur (Senin, 13 Mei 2013, sekitar pukul 12.10–12.35 WIB). MT2
berjalan dari dalam membawakan minuman untuk MT1. MT1 bertanya
kepada penutur perihal MT2. Tiba-tiba penutur melontarkan jawaban
bahwa MT2 seorang pengangguran sembari menunjuk MT2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
Kedua tuturan di atas menunjukkan bahwa penutur dengan sengaja
berusaha menghina atau mengejek mitra tuturnya dengan menceritakan
kelemahan mitra tutur di hadapan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari cara
penutur berbicara, misalnya pada tuturan D4, penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua dengan lugas, penutur sengaja bertanya kepada orang yang
memiliki kelemahan membaca dan menulis. Begitu juga dengan tuturan D9,
penutur berbicara dengan ketus sembari tertawa dan menunjuk ke arah mitra
tuturnya. Bahkan, disampaikan di hadapan tamu yang berkunjung.
Penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan-tuturan tidak santun
dapat dilihat berdasarkan intonasi, tekanan, nada, pilihan kata (diksi), dan kata
fatis. Intonasi pada kedua tuturan di atas berbeda. Tuturan D4 berintonasi tanya,
sedangkan tuturan D9 berintonasi berita dengan pola intonasi datar-turun.
Meskipun memiliki intonasi tanya dan intonasi berita yang cenderung terdengar
menurun, kenyataannya kedua tuturan di atas justru mempermalukan mitra
tuturnya. Pada tuturan D4 penutur berbicara dengan tekanan lunak pada frasa
nol’e piro, sedangkan tuturan D9 disampaikan oleh penutur juga dengan tekanan
lunak pada kata pengangguran. Bagian yang ditekankan dari kedua tuturan
tersebut dipersepsi sebagai ketidaksantunan karena menyiratkan suatu hinaan atau
ejekan terhadap mitra tuturnya dan berpotensi mempermalukan mitra tutur. Lebih
lanjut lagi mengenai nada tutur. Nada menyangkut tinggi rendahnya bunyi. Kedua
tuturan di atas disampaikan dengan nada sedang. Meskipun dituturkan dengan
nada sedang, tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena
terdengar sebagai ejekan dan hinaan terhadap mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Tuturan D4 menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian bahasa Jawa, sedangkan tuturan D9 menggunakan bahasa nonstandar
yang ditandai dengan pemakaian kata tidak baku, yaitu soalnya. Pada tuturan D4
terdapat kata-kata nol’e piro yang artinya nol’nya berapa, sedangkan pada tuturan
D9 terdapat kata pengangguran. Pilihan kata pengangguran tersebut dianggap
tidak santun karena mempermalukan mitra tuturnya. Akan lebih santun jika
diganti dengan kata belum bekerja. Pada kedua tuturan tersebut tidak ditemukan
penggunaan kata fatis.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Aspek pertama ditinjau
dari penutur dan lawan tutur, pada tuturan D4, penutur laki-laki kelas 4 SD,
berusia 12 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 42 tahun. Penutur adalah anak
dari mitra tutur. Pada tuturan D9, penutur laki-laki berusia 50 tahun, MT1 seorang
tamu, dan MT2 laki-laki berusia 23 tahun. Penutur adalah bapak dari MT2.
Kedekatan hubungan dalam keluarga terkadang justru memunculkan bentuk-
bentuk ketidaksantunan.
Aspek berikutnya adalah konteks. Konteks dalam tuturan D4 terjadi
ketika penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk menyelesaikan PR
bersama beberapa anggota keluarga yang lain di ruang keluarga. Penutur sengaja
bertanya kepada mitra tutur, padahal penutur sudah mengetahui keterbatasan mitra
tutur, yakni tidak dapat membaca. Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur
memberikan jawaban sekenanya. Dari konteks itu, terlihat bahwa penutur sengaja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
ingin mempermalukan mitra tuturnya dengan melontarkan pertanyaan yang jelas
tidak dapat dijawab oleh mitra tutur karena keterbatasannya.
Begitu juga dengan tuturan D9 yang terjadi ketika penutur sedang
berbincang bersama MT1 di ruang tamu rumah penutur (Senin, 13 Mei 2013,
sekitar pukul 12.10–12.35 WIB). MT2 berjalan dari dalam membawakan
minuman untuk MT1. MT1 bertanya kepada penutur perihal MT2. Tiba-tiba
penutur melontarkan jawaban bahwa MT2 seorang pengangguran sembari
menunjuk MT2. Berdasarkan konteks tersebut juga terlihat bahwa penutur
sengaja ingin mempermalukan mitra tuturnya dengan berkata bahwa mitra tutur
seorang pengangguran. Seharusnya hal itu tidak perlu disampaikan oleh penutur
di hadapan tamu yang datang.
Lebih lanjut lagi dalam aspek tujuan penutur, tuturan sebagai tindakan,
dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Tujuan penutur dalam tuturan D4 yaitu
mengajak mitra tuturnya bercanda. Tindak verbal yang terjadi yakni ekspresif.
Tuturan tersebut mengakibatkan tindak perlokusi MT yaitu diam saja karena malu
tidak dapat membantu mengerjakan PR kemudian pergi tidur. Begitu juga dengan
tuturan D9 yang disampaikan dengan tujuan menyuruh MT2 untuk segera mencari
pekerjaan. Tindak verbal yang terjadi yaitu ekspresif. Tindak perlokusi dari
tuturan tersebut yakni MT2 hanya tersenyum malu kemudian kembali ke
belakang. Berdasarkan tindak perlokusi yang terjadi pada mitra tutur diketahui
bahwa tuturan penutur tidak santun karena mengarah pada tuturan yang
menghilangkan muka mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
Setiap tuturan tidak santun mengandung maksud tertentu yang ingin
disampaikan kepada mitra tuturnya. Meskipun termasuk dalam subkategori
mengejek, pada kenyataannya tuturan D4 memiliki maksud untuk sekadar
mengajak bercanda mitra tuturnya. Lain halnya dengan tuturan D9 yang
disampaikan dengan maksud memberi informasi kepada mitra tuturnya.
Sayangnya, kedua maksud tersebut disampaikan dengan cara yang kurang santun
sehingga terdengar seperti sebuah ejekan terhadap mitra tuturnya.
4.3.4.3 Subkategori Kesal
Salah’e raiso moco!! (D5)
(Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sedang menonton televisi bersama.
Acara yang dilihat saat itu adalah film berbahasa asing yang tentu
dilengkapi dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak dapat
membaca mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami acara televisi, mitra
tutur bertanya kepada penutur namun penutur menjawab pertanyaan mitra
tutur dengan nada kesal)
Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh. Mosok manak ping 6. Koyo
pitik wae! (D8)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada
sore hari. Penutur berusaha menegur mitra tutur dengan kesal, karena
mitra tutur sudah mempunyai 6 anak. Jumlah yang terlalu banyak menurut
penutur)
Wujud ketidaksantunan linguistik pada cuplikan tersebut terdapat pada
tuturan D5 dan D8. Pada tuturan D5 penutur berbicara dengan ketus kepada orang
yang lebih tua dan di hadapan anggota keluarga lainnya, sedangkan tuturan D8
juga disampaikan dengan ketus di hadapan anggota keluarga lain, bahkan penutur
juga menyetarakan sifat manusia dengan binatang. Cara bicara yang demikian
ditunjukkan sebagai ungkapan kekesalan penutur terhadap mitra tuturnya. Hal itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
sekaligus memperlihatkan rendahnya kesantunan tuturan penutur, terlebih ketika
tuturan itu berpotensi membuat mitra tutur malu.
Tuturan D5 dan D8 memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung
tinggi, padahal penutur berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh
karena itu, penggunaan intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi pada kedua
tuturan tersebut dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan. Jika ditinjau dari
unsur tekanan, tuturan D5 disampaikan dengan tekanan keras. Bagian yang
ditekankan yaitu pada kata salah’e. Begitu juga dengan tuturan D8 yang
ditekankan dengan keras pada frasa koyo pitik wae. Pilihan kata-kata yang
mendapat tekanan tersebut terdengar tidak santun, karena menimbulkan
ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya yang cenderung mengakibatkan mitra
tuturnya malu. Kedua tuturan itu dapat saja dikatakan dengan lebih halus
menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Selanjutnya, mengenai nada tutur. Aspek nada dalam bertutur lisan
memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang (Pranowo, 2009:77). Pada kedua
tuturan tersebut, penutur berbicara dengan nada tinggi karena suasana hati penutur
sedang kesal akibat sikap dan ketidakmampuan mitra tuturnya. Hal tersebut
sejalan dengan penjelasan Pranowo, (2009:77) jika suasana hati sedang marah,
emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa
menakutkan.
Lebih lanjut lagi mengenai unsur segmental, yaitu diksi (pilihan kata) dan
kata fatis. Kedua tuturan tersebut dituturkan dengan menggunakan bahasa
nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa. Kata fatis yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
ditemukan adalah mbok yang terdapat pada tuturan D8. Penggunaan bahasa Jawa
dalam kedua tuturan tersebut terdengar kurang halus, terlebih ketika disampaikan
kepada orang yang lebih tua.
Pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik, salah
satunya ditinjau dari aspek penutur dan lawan tutur. Tuturan D5 dilakukan oleh
penutur kelas XII SMK, berusia 19 tahun dan mitra tutur berusia 42 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur. Selanjutnya, tuturan D8 yang terjadi antara
penutur laki-laki berusia 75 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 45 tahun.
Penutur adalah bapak dari mitra tutur. Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui
bahwa penutur dan mitra tutur memiliki hubungan darah dalam kekeluargaan.
Kedekatan inilah yang terkadang justru memunculkan bentuk-bentuk
ketidaksantunan yang terungkap dalam bentuk tuturan yang tidak santun.
Aspek berikutnya yaitu konteks tuturan. Tuturan D5 terjadi ketika sedang
menonton televisi malam hari. Acara yang ditonton saat itu adalah film berbahasa
asing yang tentu dilengkapi dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak
dapat membaca mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami acara televisi, mitra
tutur bertanya kepada penutur namun penutur menjawab pertanyaan mitra tutur
dengan nada kesal. Berbeda dengan tuturan D8 yang terjadi ketika penutur dan
mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari. Penutur berusaha menegur
mitra tutur dengan kesal, karena mitra tutur sudah mempunyai 6 anak. Jumlah
yang terlalu banyak menurut penutur. Setelah mencermati kedua konteks tuturan
di atas, dipahami bahwa kekesalan penutur ditunjukkan dengan melontarkan kata-
kata yang mengarah pada perilaku berbahasa yang menghilangkan muka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
Tuturan D5 disampaikan dengan tujuan mengungkapkan kekesalannya
karena mitra tutur tidak dapat membaca. Tindak verbal yang terjadi: ekspresif.
Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yaitu mitra tutur kesal dan malu kemudian
pergi tidur. Berbeda dengan tuturan D8 yang dituturkan dengan tujuan
menyadarkan mitra tutur agar tidak menambah jumlah anak lagi. Tindak verbal
yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur
tersenyum malu kemudian memberikan jawaban untuk membela diri.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur
pada tuturan D5 menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan
kekesalannya terhadap ketidakmampuan mitra tutur, sedangkan tuturan D8
disampaikan dengan maksud memrotes mitra tutur yang telah memiliki anak
dengan jumlah banyak. Namun, protes itu disampaikan secara langsung dan
menohok sehingga menjadi tidak santun. Hal itu sejalan dengan penjelasan
Pranowo (2009:68) bahwa komunikasi menjadi tidak santun ketika penutur
menyampaikan kritiknya secara langsung kepada mitra tuturnya.
4.3.4.4 Subkategori Menegaskan
Menegaskan adalah cara penutur dalam menerangkan, menjelaskan, atau
mengatakan dengan tegas tentang suatu hal kepada mitra tuturnya. Tuturan D12
termasuk dalam subkategori menegaskan. Hal itu dapat dilihat pada pembahasan
berikut.
Nek sing niki gembeng. (D12)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
(Konteks tuturan: penutur sedang berbincang dengan MT1 di ruang tamu
rumah penutur (Rabu, 1 Mei 2013, sekitar pukul 14.27–15.06 WIB).
Terdapat pula MT 2 di tempat tersebut. Penutur menceritakan kebiasaan
MT 2 kepada MT 1. Penutur menggunakan kata ‘gembeng’ yang artinya
orang yang mudah menangis)
Pada tuturan tersebut, penutur berusaha memberi penegasan kepada MT1
(sebagai seorang tamu) perihal sifat pemalu yang dimiliki oleh MT2. Penutur
berbicara dengan lugas langsung di hadapan tamu yang datang. Penutur juga
berbicara sembari melirik ke arah mitra tuturnya. Cara penutur yang demikian
mengarah pada perilaku berbahasa yang menghilangkan muka.
Pembahasan lebih lanjut tentang penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik. Tuturan D12 ini berintonasi berita. Kalimat berita (deklaratif) ditandai
dengan pola intonasi datar-turun (Muslich, 2008:115-116). Selain itu, tuturan
D12 terdengar berpola datar-turun. Tuturan itu disampaikan dengan tekanan
lunak, yaitu pada kata gembeng yang artinya mudah menangis. Bagian itulah yang
dipentingkan oleh penutur ketika menegaskan sesuatu. Penutur juga berbicara
dengan nada sedang. Meskipun penutur berbicara dengan intonasi berita yang
cenderung berpola intonasi datar-turun, disertai nada sedang, tuturan penutur
dianggap tidak santun ketika tekanan gembeng pada kenyataannya mengakibatkan
mitra tutur merasa kehilangan muka di hadapan tamu yang datang.
Lebih lanjut lagi mengenai diksi dan kata fatis. Pada tuturan D12
ditemukan penggunaan bahasa nonstandar yang ditandai dengan adanya
pemakaian bahasa Jawa. Namun, tidak ditemukan penggunaan kata fatis dalam
tuturan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
Setelah penanda ketidaksantunan linguistik, berikut adalah pembahasan
tentang penanda ketidaksantunan pragmatik yang dilihat berdasarkan konteks
tuturan itu sendiri. Partisipan pada tuturan D12 adalah penutur, MT1, dan MT2
perempuan. Penutur berusia 53 tahun, MT1 adalah tamu, dan MT2 berusia 4
tahun. Penutur adalah nenek dari MT2. Hubungan antara nenek dengan cucunya
sangatlah dekat, karena sehari-hari si cucu memang tinggal bersama neneknya.
Kedekatan inilah yang memunculkan bentuk-bentuk kebahasaan yang kurang
santun.
Aspek berikutnya adalah konteks dalam tuturan itu sendiri. Tuturan
terjadi ketika penutur sedang berbincang dengan MT1 di ruang tamu rumah
penutur (Rabu, 1 Mei 2013, sekitar pukul 14.27–15.06 WIB). Terdapat pula MT2
di tempat tersebut. Penutur menceritakan kebiasaan MT2 kepada MT1. Penutur
menggunakan kata ‘gembeng’ yang artinya orang yang mudah menangis. Dalam
konteks ini, penutur dianggap tidak santun karena secara langsung menceritakan
sifat pemalu mitra tutur di hadapan tamu yang datang. Hal itu dapat saja membuat
mitra tutur tidak berkenan. Tujuan dari penutur adalah sekadar menceritakan sikap
pemalu MT2. Tindak verbal dalam tuturan tersebut adalah representatif, yang
berarti pernyataan yang diyakini penutur, kasus atau bukan berupa suatu fakta,
penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Berdasarkan tindak verbal ini,
tuturan D12 termasuk dalam subkategori menegaskan. Tuturan yang
menghilangkan muka itu dapat dibuktikan dengan tindak perlokusi dalam tuturan
yakni MT2 menunduk malu sambil terus ‘menggelendot’ manja di samping
penutur. Pembahasan berikutnya mengenai maksud ketidaksantunan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
Untuk mengetahui maksud, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Meskipun
termasuk dalam subkategori menegaskan, maksud dari tuturan penutur sebenarnya
adalah ingin menakut-nakuti mitra tuturnya agar dapat menrubah sifatnya yang
pemalu.
4.3.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik
Teori ketidaksantunan yang terakhir dikemukakan oleh Bousfield
(2008:3). Ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai, ‘...the issuing of
intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are
purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak
santun. Jadi, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Bousfield (2008)
menekankan bentuk penggunaan tuturan tidak santun dengan maksud selain
melecehkan dan menghina mitra tutur dengan tanggapan sekenanya secara sengaja
dapat menimbulkan konflik bahkan pertengkaran di antara penutur dan mitra
tutur. Dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik, terdapat lima
subkategori ketidaksantunan. Berikut pembahasan mengenai wujud
ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur yang dipaparkan berdasarkan
masing-masing subkategori.
4.3.5.1 Subkategori Marah
Woo monyet!! (E7)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore
hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut,
sehingga melontarkan umpatan kepada mitra tutur)
Iso meneng ora? Aku wis dong! (E9)
(Konteks tuturan: penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk
Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur,
bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun)
Pada kedua tuturan di atas, penutur mengungkapkan amarahnya dengan
berbicara ketus dan berteriak. Cara penuturan yang demikian sudah tentu
menyiratkan bahwa tuturan yang disampaikan juga tidak santun, terlebih ketika
penutur berbicara sembari berdiri dan menatap mitra tutur dengan mata terbelalak.
Lebih tidak santun lagi ketika tuturan tersebut disampaikan kepada orang yang
lebih tua.
Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan.
Tuturan E7 dan E9 disampaikan dengan intonasi seru yang bernada tinggi.
Tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena penutur
didorong rasa emosi ketika menyampaikan tuturannya. Hal itu sejalan dengan
penjelasan Pranowo (2009:75) bahwa salah satu gejala penutur yang bertutur
secara tidak santun adalah didorong rasa emosi ketika bertutur. Jika ditinjau dari
aspek tekanan, tuturan E7 dan E9 disampaikan dengan tekanan keras pada frasa
berikut secara berturut-turut, yaitu monyet dan wis dong. Tekanan dalam tuturan
penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat dengan mudah
sampai kepada mitra tuturnya. Namun, kenyataannya tekanan keras pada kedua
tuturan itu justru memicu terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
Lebih lanjut lagi mengenai diksi dan kata fatis. Penggunaan bahasa yang
ditemukan pada kedua tuturan tidak santun di atas adalah bahasa populer dan
bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa. Pilihan kata
monyet pada tuturan di atas, termasuk dalam bahasa populer karena secara umum
sudah dikenal dan diketahui oleh masyarakat. Namun, umpatan pada tuturan E7
itu sangatlah tidak santun, terlebih ketika dituturkan dengan nada tinggi dan
tekanan keras, yang tentunya memancing emosi lawan tutur, sehingga memicu
terjadinya konflik. Penggunaan bahasa Jawa pada tuturan E9 juga tidak santun
karena terdengar kasar dan menimbulkan konflik antara penutur dan mitra
tuturnya. Pada tuturan E7 terdapat penggunaan kata fatis, yaitu woo yang
menegaskan amarah penutur.
Penanda ketidaksantunan pragmatik pada kedua tuturan di atas, ditandai
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Partisipan dalam tuturan
E7 adalah penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun dan mitra tutur
perempuan kelas XII SMK, berusia 19 tahun. Penutur adalah adik dari mitra tutur.
Perbedaan usia yang tidak terlampau jauh nampaknya cenderung memunculkan
bentuk-bentuk tuturan yang tidak santun. Terlebih, ketika penutur dan mitra tutur
menyandang status kakak beradik dalam sebuah keluarga. Lain lagi dengan
tuturan E9 yang terjadi antara penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun
dan mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Pada tuturan ini nampak bahwa penutur yang berusia lebih muda sangatlah tidak
santun ketika bertutur dengan mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
Lebih lanjut lagi dalam konteks tuturan itu sendiri. Tuturan E7 terjadi
ketika penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari. Secara tidak
sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur
sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut. Penutur kemudian melontarkan
umpatan kepada mitra tutur. Berdasarkan konteks yang terjadi, diketahui bahwa
penutur tidak mampu mengendalikan emosinya. Hanya karena masalah sepele,
penutur bahkan melontarkan umpatan yang sangat tidak santun. Konteks tersebut
menunjukkan adanya komunikasi yang tidak baik antara penutur dan mitra tutur.
Seperti penjelasan Pranowo, (2009:75) bahwa salah satu gejala penutur yang
bertutur secara tidak santun adalah didorong rasa emosi ketika bertutur.
Begitu juga dengan tuturan E9 yang terjadi ketika penutur berusaha
memperingatkan mitra tutur untuk Shalat, namun penutur tidak mengindahkan
peringatan dari mitra tutur, bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak
santun. Berdasarkan konteks tuturan tersebut, nampak bahwa penutur berusaha
membangkang ketika diingatkan oleh mitra tuturnya. Penutur juga dinilai tidak
santun karena berani berbicara ketus dan kasar kepada orang yang lebih tua.
Kedua konteks dalam tuturan-tuturan di atas menunjukkan bahwa tuturan yang
disampaikan oleh penutur mengarah pada tuturan yang menimbulkan konflik
antara penutur dan mitra tuturnya.
Pembahasan berikutnya mengenai tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk
tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan E7 disampaikan
dengan tujuan mengungkapkan amarah penutur akibat tingkah laku mitra
tuturnya. Begitu juga dengan tuturan E9 yang bertujuan mengungkapkan amarah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
kepada mitra tutur yang dinilai terlalu banyak mengatur. Tindak verbal yang
terjadi pada kedua tuturan tersebut ialah ekspresif. Tindak perlokusi dari kedua
tuturan tersebut adalah terpancingnya emosi mitra tutur, sehingga melontarkan
umpatan bahkan membanting pintu.
Kedua tuturan tersebut disampaikan untuk menyiratkan maksud tertentu
kepada mitra tuturnya. Meskipun tuturan E9 termasuk dalam subkategori marah,
maksud yang tersirat di dalamnya ternyata berbeda dengan subkategori atau
makna tuturan itu. Pada tuturan E9 penutur menyampaikan tuturannya dengan
maksud mengungkapkan kekesalan kepada mitra tuturnya. Berbeda dengan
tuturan E7 yang dituturkan dengan maksud mengungkapkan amarah penutur
terhadap mitra tutur.
4.3.5.2 Subkategori Kesal
Tuturan E3 dan E10 termasuk dalam subaktegori kesal karena
mengungkapkan ketidaksenangan, kekecewaan, atau kekesalan penutur terhadap
suatu hal yang berkaitan dengan mitra tutur.
Sak karepku to mak, wong sing nganggo aku kok!! (E3)
(Konteks tuturan: mitra tutur menghampiri penutur yang hendak bepergian
dan bertanya kepadanya. Menurut mitra tutur, celana yang dikenakan
terlalu ketat. Penutur kurang senang dengan pertanyaan mitra tutur yang
dinilai terlalu mengatur cara berpakaian penutur, sehingga penutur
memberikan jawaban dengan kesal)
Wooo opo-opo aku. Opo-opo aku!! (E10)
(Konteks tuturan: percakapan sore hari di teras rumah. MT2 menyuruh
MT1 untuk memberi makan bebek peliharaan. Namun, MT1 justru
menyuruh penutur yang empunya bebek tersebut. Penutur kesal karena
selalu disuruh untuk mengerjakan sesuatu. MT1 yang juga merasa kesal
kemudian menanggapi perkataan penutur)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
Wujud ketidaksantunan pragmatik pada tuturan tersebut dilihat dari cara
penutur menyampaikan tuturannya. Kedua tuturan tersebut disampaikan dengan
ketus dan keras kepada orang yang lebih tua. Tuturan menjadi semakin tidak
santun ketika disampaikan sembari berjalan meninggalkan penutur. Hal itu
sekaligus memperlihatkan rendahnya tingkat kesantunan tuturan penutur.
Pembahasan berikutnya mengenai penanda ketidaksantunan linguistik.
Tuturan E3 dan E10 memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi,
padahal penutur berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh karena itu,
penggunaan intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi pada kedua tuturan
tersebut dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan. Jika ditinjau dari unsur
tekanan, kedua tuturan itu disampaikan dengan tekanan keras. Berikut adalah
bagian dalam tuturan yang ditekankan secara berturut-turut, sak karepku to Mak
dan penekanan kata fatis woo. Pilihan kata-kata yang mendapat tekanan tersebut
terdengar tidak santun, karena menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya
yang cenderung memicu terjadinya konflik. Kedua tuturan itu dapat saja
dikatakan dengan lebih halus menggunakan pilihan kata yang sesuai. Tekanan
dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat
dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya, meskipun kenyataannya tekanan
pada kedua tuturan tersebut memicu terjadinya komunikasi yang kurang baik
antara penutur dengan mitra tutur.
Selanjutnya, mengenai nada tutur. Aspek nada dalam bertutur lisan
memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang (Pranowo, 2009:77). Pada kedua
tuturan tersebut, penutur berbicara dengan nada tinggi karena suasana hati penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
sedang kesal akibat sikap mitra tuturnya. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan
Pranowo, (2009:77) jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur
menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa menakutkan.
Lebih lanjut lagi mengenai diksi dan kata fatis. Kedua tuturan tersebut
dituturkan dengan menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian bahasa Jawa. Namun, penggunaan bahasa Jawa dalam kedua tuturan
tersebut terdengar kurang halus, terlebih ketika disampaikan kepada orang yang
lebih tua. Kata fatis yang ditemukan pada kedua tuturan tersebut adalah to, kok,
dan woo.
Pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik. Tuturan E3
dilakukan oleh penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra tutur perempuan
berusia 46 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Partisipan dalam tuturan
E10 adalah penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun, MT1 perempuan kelas
XII SMK ,berusia 19 tahun, dan MT2 perempuan berusia 42 tahun. Penutur
adalah adik dari MT1, dan MT2 adalah ibu dari penutur juga MT1. Penutur yang
berusia lebih muda hendaknya dapat menjaga tuturannya ketika berkomunikasi
dengan orang yang lebih tua, sesuai dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang
menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun. Namun, hal itu tidak nampak
pada kedua tuturan di atas.
Tuturan E3 terjadi ketika mitra tutur menghampiri penutur yang hendak
bepergian dan bertanya kepadanya. Menurut mitra tutur, celana yang dikenakan
terlalu ketat. Penutur kurang senang dengan pertanyaan mitra tutur yang dinilai
terlalu mengatur cara berpakaian penutur, sehingga penutur memberikan jawaban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
dengan kesal. Tuturan terjadi dalam suasana serius. Melihat konteks yang terjadi,
penutur adalah sosok yang sulit diatur. Bahkan, terhadap orang yang lebih tua
sekali pun, penutur berani membangkan dan berbicara dengan ketus. Hal ini
menunjukkan rendahnya kesantunan tuturan penutur.
Begitu juga dengan tuturan E10 yang terjadi sore hari di teras rumah.
MT2 menyuruh MT1 untuk memberi makan bebek peliharaan. Namun, MT1
justru berbalik menyuruh penutur yang empunya bebek tersebut. Penutur kesal
karena selalu disuruh untuk mengerjakan sesuatu. MT1 yang juga merasa kesal
kemudian menanggapi perkataan penutur. Berdasarkan konteks tersebut, diketahui
bahwa penutur dan MT1 tidak dapat mengelola emosi dengan baik, sehingga
komunikasi yang terjalin justru memicu terjadinya konflik.
Tuturan E3 disampaikan dengan tujuan mengungkapkan amarah penutur
kepada mitra tutur yang dianggap terlalu banyak mengaturnya. Tindak verbal
yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yaitu mitra tutur
pergi meninggalkan penutur dengan raut wajah sinis. Selanjutnya, tuturan E10
dilontarkan dengan tujuan menolak perintah dari MT1. Tindak verbal yang terjadi
yaitu ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT1 menanggapi
perkataan penutur dengan kesal.
Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur
pada tuturan E3 menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan
kekesalannya terhadap mitra tutur yang dianggap terlalu banyak mengatur,
sedangkan tuturan E10 disampaikan dengan maksud memrotes MT1 yang terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
menerus memerintah penutur untuk mengurus bebek. Namun, protes itu
disampaikan secara langsung dan ketus sehingga menjadi tidak santun. Hal itu
sejalan dengan penjelasan Pranowo (2009:68) bahwa komunikasi menjadi tidak
santun ketika penutur menyampaikan kritiknya secara langsung kepada mitra
tuturnya.
4.3.5.3 Subkategori Menyepelekan
Menyepelekan dapat dipahami sebagai ungkapan penutur ketika
menganggap sepele suatu hal. Biasanya ditunjukkan dengan sikap yang acuh tak
acuh. Tuturan E4 dan E6 termasuk dalam subkategori menyepelekan.
Biasa anak muda. (E4)
(Konteks tuturan: penutur tiba di rumah dari bepergian sore hari. Mitra
tutur menyapa penutur di ruang tamu sembari melontarkan pertanyaan dari
mana penutur pergi. Penutur merasa tidak nyaman ketika mitra tutur
bertanya perihal kepergiannya, sehingga penutur hanya menjawab
sekenanya dan terkesan menyepelekan)
Halah mangke bu, neng sawah terus koyo dibayar wae. (E6)
(Konteks tuturan: mitra tutur sedang bersiap-siap di teras rumah hendak
pergi ke sawah pada siang hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk
membantu pekerjaan di sawah. Penutur enggan melaksanakan perintah dari
mitra tutur dan hanya memberi jawaban sembrono)
Wujud ketidaksantunan linguistik pada cuplikan tersebut terdapat pada
tuturan E4 dan E6. Penutur menyepelekan pertanyaan dan perintah dari mitra
tuturnya. Hal itu dapat dilihat dari cara berbicara penutur yaitu berbicara kepada
orang yang lebih tua dengan datar dan sembrono tanpa rasa bersalah, penutur juga
tidak mengindahkan ajakan dari mitra tutur. Selain tuturannya yang tidak santun,
penutur juga menunjukkan sikap yang kurang sopan, seperti berbicara sembari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
berjalan. Cara penuturan yang demikian sudah tentu menyiratkan wujud
ketidaksantunan pragmatik dalam tuturan-tuturan tersebut.
Mengenai penanda ketidaksantunan linguistik, tuturan E4 dan E6
disampaikan dengan intonasi berita yang bernada sedang. Meskipun disampaikan
dengan nada sedang, kedua tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak
santun karena terdengar menyepelekan mitra tuturnya. Jika ditinjau dari aspek
tekanan, kedua tuturan tersebut memiliki tekanan yang berbeda. Tekanan yang
berbeda tentu menunjukkan adanya maksud yang berbeda pula. Tuturan E4
ditekankan dengan lunak pada frasa anak muda, sedangkan tuturan E6 ditekankan
dengan keras pada kata halah. Tekanan dalam tuturan penutur berfungsi agar
maksud yang diinginkan oleh penutur dapat dengan mudah sampai kepada mitra
tuturnya. Namun, kenyataannya tekanan pada kedua tuturan itu justru memicu
terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur.
Penggunaan bahasa yang ditemukan pada kedua tuturan tidak santun di
atas adalah bahasa populer dan bahasa nonstandar yang ditandai dengan
pemakaian bahasa Jawa. Pilihan kata anak muda pada tuturan di atas, termasuk
dalam bahasa populer karena secara umum sudah dikenal dan diketahui oleh
masyarakat. Namun, kata halah pada tuturan E6 itu sangatlah tidak santun, karena
terdengar sangat menyepelekan mitra tuturnya. Penggunaan bahasa Jawa pada
tuturan E6 juga tidak santun karena terdengar kasar dan menimbulkan konflik
antara penutur dan mitra tuturnya.
Penanda ketidaksantunan pragmatik pada kedua tuturan di atas, ditandai
berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Partisipan dalam tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
E4 adalah penutur perempuan, kelas XII SMK berusia 19 tahun dan mitra tutur
perempuan berusia 42 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Partisipan pada
tuturan E6 adalah penutur laki-laki, berusia 28 tahun dan mitra tutur perempuan,
berusia 53 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Pada kedua tuturan ini
nampak bahwa penutur yang berusia lebih muda sangatlah tidak santun ketika
bertutur dengan mitra tuturnya.
Lebih lanjut lagi dalam konteks tuturan itu sendiri. Tuturan E4 terjadi
ketika penutur tiba di rumah dari bepergian sore hari. Mitra tutur menyapa
penutur di ruang tamu sembari melontarkan pertanyaan dari mana penutur pergi.
Penutur merasa tidak nyaman ketika mitra tutur bertanya perihal kepergiannya,
sehingga penutur hanya menjawab sekenanya dan terkesan menyepelekan.
Berdasarkan konteks tersebut, diketahui bahwa penutur secara tidak langsung
ingin menyembunyikan sesuatu dari mitra tuturnya, sehingga melontarkan kata-
kata yang terdengar menyepelekan. Bahkan memicu terjadinya konflik antara
penutur dan mitra tutur.
Begitu juga dengan tuturan E6 yang terjadi ketika mitra tutur sedang
bersiap-siap di teras rumah hendak pergi ke sawah pada siang hari. Mitra tutur
menyuruh penutur untuk membantu pekerjaan di sawah. Penutur enggan
melaksanakan perintah dari mitra tutur dan hanya memberi jawaban sembrono.
Berdasarkan konteks tersebut, diketahui bahwa penutur berusaha menolak ajakan
mitra tutur. Namun, penolakan itu dilakukan dengan melontarkan kata-kata yang
terdengar tidak santun karena menyepelekan mitra tuturnya bahkan memicu
terjadinya konflik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
Tuturan E4 disampaikan dengan tujuan merahasiakan sesuatu dari mitra
tuturnya. Tindak verbal yang terjadi adalah tindak verbal ekspresif. Tindak
perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur marah dan membanting pintu.
Selanjutnya, tuturan E6 yang disampaikan dengan tujuan penutur enggan
melaksanakan tugas dari mitra tutur. Tindak verbal yang terjadi yaitu tindak
verbal ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur
menjawab perkataan penutur dengan kesal kemudian pergi meninggalkan penutur.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa tindak perlokusi dalam
kategori ini menandakan terjadinya tuturan yang menimbulkan konflik. Terbukti
pada tindak perlokusi kedua mitra tutur di atas yakni terpancing emosinya
sehingga mitra tutur kesal, marah, bahkan membantin pintu dan meninggalkan
penutur.
Pembahasan berikutnya mengenai maksud ketidaksantunan penutur.
Untuk mengetahui maksud, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Meskipun
termasuk dalam subkategori menyepelekan, maksud dari tuturan E4 sebenarnya
adalah ingin merahasiakan sesuatu dari mitra tuturnya. Begitu juga dengan tuturan
E6 yang sebenarnya menyiratkan maksud penolakan penutur terhadap ajakan dari
mitra tuturnya.
4.3.5.4 Subkategori Menyindir
Santun atau tidaknya sebuah tuturan dapat dilihat berdasarkan tuturan itu
sendiri beserta konteks yang melingkupinya. Berikut pembahasan lebih lanjut
mengenai wujud, penanda, dan maksud ketidaksantunan dalam subkategori
menyindir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
Mbok dibanting sisan! Mbok dibaleni! (E1)
(Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur sedang makan siang di ruang
makan. Mitra tutur secara tidak sengaja mengambil piring dengan tidak
hati-hati, sehingga menimbulkan suara gaduh. Penutur menanggapi tingkah
laku mitra tutur dengan melontarkan kata-kata sindiran)
Tuturan E1 merupakan wujud ketidaksantunan linguistik dalam cuplikan
tuturan tersebut, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatiknya dapat dilihat
dari cara penutur menyampaikan tuturannya. Dalam kategori menimbulkan
konflik ini, disimpulkan bahwa sebagian besar penutur melecehkan mitra tuturnya
dengan tanggapan sekenanya secara sengaja dapat menimbulkan konflik bahkan
pertengkaran di antara keduanya. Seperti yang terjadi pada tuturan E1, penutur
berbicara dengan ketus, penutur sengaja melontarkan kata-kata sindiran, bahkan
dilakukan sembari melirik ke arah mitra tutur. Hal ini tentu mengakibatkan mitra
tuturnya kurang berkenan. Terbukti dengan sikap mitra tutur yang secara sengaja
justru membuat suasana semakin gaduh.
Intonasi yang digunakan pada tuturan di atas adalah intonasi perintah.
Muslich (2008:115-116) menjelaskan bahwa kalimat perintah (imperatif) ditandai
dengan pola intonasi datar-tinggi. Seperti pada tuturan E1, penutur berbicara
dengan datar namun terdapat penekanan yang berpola datar-tinggi pada tuturan
tersebut. Penekanan yang disampaikan oleh penutur merupakan bentuk
sindirannya terhadap mitra tutur yang tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu.
Pada tuturan E1, penutur berbicara dengan tekanan keras. Bagian yang
ditekankan yaitu pada kata sisan. Sindiran yang ditekankan dengan keras sudah
tentu mengakibatkan terjadinya komunikasi yang kurang baik antara penutur dan
mitra tutur. Lebih lanjut lagi dalam nada tutur. Pada tuturan E1 penutur berbicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
dengan nada sedang. Meskipun nada dalam tuturan tersebut tidak menunjukkan
adanya emosi penutur yang berlebih, tuturan itu tidak santun karena menyiratkan
sindiran yang disampaikan secara tidak langsung kepada mitra tuturnya.
Pembahasan berikutnya mengenai diksi dan kata fatis. Tuturan E1
menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa.
Pada tuturan tersebut terdapat kata banting sisan yang artinya dibanting sekalian
dan ternyata menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya dan cenderung
memicu konflik antara keduanya. Selanjutnya, ditemukan penggunaan kata fatis
yang mengandung unsur daerah, yaitu kata mbok.
Lebih lanjut lagi dalam penanda ketidaksantunan pragmatik. Tuturan E1
dilakukan oleh penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur adalah kakak dari mitra
tutur. Kesamaan jenis kelamin dan usia yang tidak terlampau jauh cenderung
mendorong adanya kedekatan tertentu antara keduanya. Kedekatan inilah yang
terkadang justru memunculkan bentuk-bentuk komunikasi yang kurang santun
antara keduanya.
Aspek berikutnya adalah konteks dalam tuturan itu sendiri. Tuturan E1
terjadi ketika penutur dan mitra tutur sedang makan siang di ruang makan. Mitra
tutur secara tidak sengaja mengambil piring dengan tidak hati-hati, sehingga
menimbulkan suara gaduh. Penutur menanggapi tingkah laku mitra tutur dengan
melontarkan kata-kata sindiran. Berdasarkan konteks tersebut, terlihat bahwa
penutur ingin memperingatkan mitra tuturnya agar lebih berhati-hati. Namun, cara
penutur itu justru mengakibatkan mitra tuturnya kurang berkenan. Seharusnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
penutur tidak perlu berkata seperti itu. Peringatan dapat saja disampaikan dengan
kata-kata biasa yang tidak mengandung unsur sindiran.
Penutur menyampaikan tuturannya dengan tujuan meminta mitra tutur
agar lebih berhati-hati ketika melakukan sebuah aktivitas. Tindak verbal dalam
tuturan adalah tindak verbal ekspresif. Tuturan tersebut mengakibatkan tindak
perlokusi mitra tuturnya yaitu kesal dan sengaja membuat gaduh ruang makan.
Pembahasan yang terakhir mengenai maksud ketidaksantunan. Maksud
dari tuturan adalah milik penutur. Penutur pada tuturan E1 menyampaikan
tuturannya dengan maksud menyindir mitra tutrunya karena tidak dapat berhati-
hati dalam melakukan suatu aktivitas.
4.3.5.5 Subkategori Menolak
Berikut adalah wujud ketidaksantunan linguistik dalam subkategori
menolak yang terdapat pada tuturan E5.
Punya kaki sendiri kok!! (E5)
(Konteks tuturan: percakapan terjadi di ruang keluarga pada siang hari
(Rabu, 24 April 2013. Pukul 13.15–13.45WIB). Mitra tutur sedang
menerima tamu di ruang tamu, sedangkan penutur sedang menonton televisi
di ruang keluarga. Mitra tutur meminta bantuan kepada penutur untuk
mengambilkan kursi di depan rumah. Penutur enggan melaksanakan
perintah dari mitra tutur, bahkan menanggapi permintaan mitra tutur
dengan kata-kata yang tidak santun)
Penutur pada tuturan E5, tidak mengindahkan perintah dari mitra
tuturnya. Hal itu dapat dilihat dari tindakan penutur yang acuh tak acuh ketika
mitra tutur memerintahkan sesuatu kepadanya. Bahkan, penutur berbicara dengan
ketus dan tidak sopan tanpa melihat ke arah mitra tuturnya. Tuturan itu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
ditujukan kepada orang yang lebih tua. Cara bicara penutur yang demikian cukup
menunjukkan wujud ketidaksantunan pragmatik dalam tuturan ini.
Tuturan E5 berintonasi seru yang cenderung terdengar keras, sehingga
dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan, terlebih ketika mitra tutur yang diajak
berbicara hanya berada pada jarak dekat. Frasa sendiri kok lebih ditekankan
dengan keras oleh penutur pada tuturan itu. Beberapa bagian yang ditekankan
pada tuturan tersebut merupakan bagian tuturan yang dipentingkan penutur ketika
mengungkapkan sebuah penolakan. Lebih lanjut lagi mengenai nada tutur.
Tuturan E5 sebagai bentuk penolakan dituturkan dengan nada tinggi karena
suasana hati penutur sedang kesal. Hal itu sejalan dengan penjelasan Pranowo
(2009:77) bahwa jika suasana hati sedang marah atau emosi, nada bicara penutur
menaik dengan keras dan kasar, sehingga terasa menakutkan.
Selanjutnya, mengenai diksi dan kata fatis. Pilihan kata yang digunakan
pada tuturan E5 adalah kata populer, karena secara umum sudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat luas. Pada tuturan tersebut, terdapat pemakaian kata-
kata punya kaki sendiri kok. Pemilihan kata-kata itu menunjukkan kadar
kesantunan tuturan penutur yang masih sangat rendah karena terbukti
mengakibatkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya. Unsur segmental
berikutnya yaitu kata fatis. Pada tuturan E5 ditemukan penggunaan kata fatis kok
yang menekankan alasan dan pengingkaran dari penutur terhadap mitra tutur.
Pengingkaran dalam tuturan E5 berkaitan dengan penolakan yang dilakukan
penutur terhadap perintah dari mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
Tuturan E5 terjadi antara penutur laki-laki, kelas 3 SD dan mitra tutur
laki-laki, berusia 43 tahun. Penutur adalah anak dari MT. Tuturan terjadi di ruang
keluarga pada siang hari (Rabu, 24 April 2013. Pukul 13.15–13.45 WIB). Mitra
tutur sedang menerima tamu di ruang tamu, sedangkan penutur sedang menonton
televisi di ruang keluarga. Mitra tutur meminta bantuan kepada penutur untuk
mengambilkan kursi di depan rumah. Penutur enggan melaksanakan perintah dari
mitra tutur, bahkan menanggapi permintaan mitra tutur dengan kata-kata yang
tidak santun. Tujuan dari tuturan penutur ialah menolak perintah dari mitra tutur.
Dengan melihat tujuan penutur, tuturan E5 termasuk dalam subkategori menolak.
Tindak verbal yang terjadi adalah tindak verbal komisif. Tindak perlokusi dari
tuturan tersebut yaitu mitra tutur menghampiri penutur dan menjewer telinganya.
Dalam kebudayaan Jawa, orang yang lebih muda seharusnya menjaga
sopan santun, terlebih ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Namun,
kenyataannya pada tuturan tersebut penutur yang berusia lebih muda cenderung
tidak santun dalam bertutur kata. Santun atau tidaknya sebuah tuturan juga dapat
dilihat berdasarkan konteks. Penutur dalam konteks tadi berusaha menolak
perintah dari mitra tuturnya. Hal itu dibuktikan dengan tindak verbal dalam
tuturan yaitu tindak verbal komisif. Tuturan penutur dipersepsi sebagai tuturan
yang tidak santun karena memancing emosi mitra tutur yang kemudian
menghampiri penutur dan menjewer telinganya. Lebih lanjut lagi pembahasan
mengenai maksud ketidaksantunan. Maksud adalah milik penutur. Tuturan E5
menyiratkan maksud yang sama dengan subkategori ini, yaitu penolakan terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
perintah dari mitra tuturnya. Namun, penolakan itu disampaikan dengan cara yang
kurang tepat sehingga justru memicu konflik antara penutur dan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisi uraian tentang dua hal, yaitu (1) simpulan dan (2) saran.
Simpulan berisi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran meliputi hal-hal
relevan yang kiranya perlu diperhatikan, baik untuk keluarga maupun penelitian
lanjutan.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan tuturan yang tidak santun
dalam interaksi sehari-hari antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Simpulan hasil analisis dan pembahasan dapat dikemukakan sebagai
berikut.
5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Wujud ketidaksantunan linguistik yang ditemukan dalam interaksi
antaranggota keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa tuturan
lisan tidak santun yang telah ditranskrip, yakni tuturan yang melanggar
norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka,
dan menimbulkan konflik. Sementara itu, wujud ketidaksantunan pragmatik
berkaitan dengan cara penutur ketika menyampaikan tuturan lisan tidak
santun tersebut.
5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan intonasi,
tekanan, nada tutur, pilihan kata (diksi), dan penggunaan kata fatis pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
tuturan dalam masing-masing kategori ketidaksantunan. Sementara itu,
penanda ketidaksantunan pragmatik dilihat berdasarkan konteks yang
melingkupi tuturan, meliputi penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan
penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak
verbal.
5.1.2.1 Melanggar Norma
Pada kategori melanggar norma, secara umum penutur
berbicara dengan intonasi seru; tekanan keras dan lunak; nada tutur
tinggi dan sedang. Tuturan yang melanggar norma ditandai dengan
diksi yaitu bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa dan
istilah bahasa Jawa; kata fatis kok, to, kan, ah, dan wong.
Tuturan lisan tidak santun yang melanggar norma cenderung
dikatakan oleh seorang anak dalam keluarga petani; dalam suasana
serius dan santai; tindak verbal komisif dan ekspresif; tindak perlokusi
mitra tutur kesal, namun ada pula yang lebih memilih diam kemudian
pergi meninggalkan penutur.
5.1.2.2 Mengancam Muka Sepihak
Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai dengan
intonasi tanya, seru, dan perintah; tekanan keras dan lunak; nada tutur
tinggi dan sedang. Tuturan yang mengancam muka sepihak ditandai
dengan diksi, yaitu bahasa nonstandar dengan pemakaian bahasa Jawa,
menggunakan kata tidak baku, penggabungan bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa, dan menggunakan istilah bahasa Jawa; kata fatis kok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
Tuturan yang mengancam muka sepihak dituturkan
antaranggota keluarga bahkan kerabat jauh dari keluarga; dalam
suasana serius dan santai; tindak verbal ekspresif; tindak perlokusi
mitra tutur tersinggung dan kesal tetapi penutur tidak menyadari hal
tersebut.
5.1.2.3 Melecehkan Muka
Tuturan tidak santun yang melecehkan muka ditandai dengan
intonasi seru dan berita; tekanan keras dan lunak; nada tutur tinggi dan
sedang. Pilihan kata (diksi) yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar
dengan menggunakan bahasa Jawa, menggunakan kata tidak baku,
penggabungan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, dan penggunaan
istilah bahasa Jawa; kata fatis wah, kok, hayoo, to, lah, ya, yo, huu, hei,
lho, dong, ah, dan woo.
Pada kategori ini yang terlibat dalam tuturan yaitu semua
anggota keluarga; dalam suasana santai dan serius; tindak verbal
ekspresif; tindak perlokusi mitra tutur tersenyum untuk mencairkan
suasana, ada yang berlari meninggalkan penutur, tidak mengindahkan
perintah penutur, ada pula yang berusaha mengklarifikasi kembali,
bahkan ada yang memilih untuk diam.
5.1.2.4 Menghilangkan Muka
Pada kategori menghilangkan muka, secara umum penutur
berbicara dengan intonasi tanya dan berita; tekanan keras dan lunak;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
nada tutur sedang. Tuturan yang menghilangkan muka ditandai dengan
diksi yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar dengan menggunakan
bahasa Jawa, menggunakan kata tidak baku, dan penggunaan istilah
bahasa Jawa; kata fatis ah, kok, to, mbok dan lho.
Tuturan yang menghilangkan muka dituturkan oleh semua
anggota keluarga dan kerabat dekat maupun kerabat jauh dari keluarga;
dalam suasana santai dan serius; tindak verbal ekspresif; tindak
perlokusi mitra tutur malu, tetapi hanya tersenyum atau tertawa dalam
menyikapi penutur, ada pula yang memberikan jawaban sebagai upaya
pembelaan diri.
5.1.2.5 Menimbulkan Konflik
Tuturan yang menimbulkan konflik ditandai dengan intonasi
seru; tekanan keras dan lunak; nada tutur tinggi; pilihan kata (diksi)
yaitu bahasa populer dan bahasa nonstandar dengan menggunakan
bahasa Jawa dan istilah bahasa Jawa; kata fatis mbok, ah, to, kok, dan
woo.
Penanda ketidaksantunan pragmatik dalam kategori ini dilihat
dari partisipan dalam tuturan yakni semua anggota keluarga; dalam
suasana serius; tindak verbal ekspresif dan komisif; tindak perlokusi
mitra tutur kesal, marah, dan tersinggung. Amarah mitra tutur
ditunjukkan dengan cara membanting pintu, membalas perkataan
penutur dengan umpatan, melempar sandal, bahkan melontarkan sebuah
ancaman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
5.1.3 Maksud Ketidaksantunan
Setiap tuturan yang disampaikan sudah tentu mengandung suatu
maksud. Maksud adalah milik penutur. Dalam menganalisis maksud
ketidaksantunan, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Pada penelitian ini,
ditemukan delapan belas maksud ketidaksantunan dan dipaparkan
berdasarkan kategori ketidaksantunan sebagai berikut.
Kategori ketidaksantunan yang pertama adalah melanggar norma. Pada
kategori ini ditemukan empat maksud ketidaksantunan. Keempat maksud
ketidaksantunan itu adalah maksud kesal, maksud mengajak bercanda,
maksud menolak, dan maksud untuk membela diri. Selanjutnya, kategori
ketidaksantunan mengancam muka sepihak dengan sembilan maksud
ketidaksantunan dalam tuturan penutur. Maksud ketidaksantunan tersebut
meliputi maksud menyindir, maksud menanyakan, maksud mengusir, maksud
kesal, maksud memerintah, meminta bantuan, memberi saran, maksud
menakut-nakuti, dan maksud memberi informasi.
Kategori ketidaksantunan berikutnya adalah melecehkan muka. Dalam
kategori ini ditemukan tiga belas maksud ketidaksantunan penutur. Maksud
ketidaksantunan tersebut meliputi maksud kesal, maksud menakut-nakuti,
maksud mengusir, protes, menagih janji, maksud menyimpulkan, maksud
bercanda, maksud memberi informasi, mengejek, maksud menolak, maksud
menyindir, maksud marah, dan maksud memberi saran.
Lebih lanjut lagi dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan
muka. Pada kategori ketidaksantunan ini terdapat enam maksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
ketidaksantunan, yaitu maksud menyindir, maksud bercanda, maksud kesal,
memberi informasi, maksud protes, dan maksud menakut-nakuti. Terakhir,
kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik, meliputi maksud marah,
merahasiakan sesuatu, maksud kesal, protes, menolak, dan maksud
menyindir.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, peneliti memberikan
beberapa saran, yaitu (1) untuk keluarga dan (2) untuk penelitian lanjutan. Saran
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
1) Bagi Keluarga
Penelitian ini mengkaji ketidaksantunan berbahasa dalam ranah
keluarga. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, sebagai
anggota keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, khususnya
yang hidup dalam budaya Jawa dan masih menjunjung tinggi nilai
kesantunan, seharusnya dapat menghindari penggunaan bahasa yang
tidak santun, baik di dalam maupun di luar keluarga. Salah satu hal yang
dapat dilakukan, misalnya dengan menjaga perasaan orang lain ketika
ingin mengutarakan suatu maksud tertentu. Hasil penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk melihat fenomena ketidaksantunan yang terjadi
dalam ranah keluarga. Dengan adanya acuan ketidaksantunan dalam
berbahasa ini, anggota keluarga dapat mengurangi dan menghindari
penggunaan bahasa yang tidak santun dalam berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
2) Bagi Penelitian Lanjutan
Penelitian ini hanya mengkaji ketidaksantunan linguistik dan
pragmatik dalam lingkup keluarga saja. Bagi peneliti lain, penelitian ini
dapat dikembangkan lebih lanjut dengan ranah yang berbeda seperti
ranah agama atau bahkan lebih luas lagi dalam ketidaksantunan
berbahasa elit politik, dan masih banyak lagi yang menarik untuk ditelaah
lebih lanjut.
Penelitian ini belum menelaah lebih lanjut mengenai maksud
ketidaksantunan penutur. Oleh sebab itu, peneliti lain diharapkan untuk
menggali maksud seseorang (penutur) lebih mendalam, sehingga dapat
semakin memberi gambaran bagi pembaca mengenai maksud
ketidaksantunan yang hanya dimiliki oleh penutur itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Bousfield, Derek & Miriam A. Locher. 2008. Impoliteness in Language: Studies
on its Interplay with Power in Theory and Practice. New York:
Mouton de Gruyer.
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Chaer, Abdul. 2011. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
___________. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Grafindo Persaja.
Marsono. 2008. Fonetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Melissa Puspitarini, Olivia. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Dosen dan Mahasiswa Program Studi PBSID,
FKIP, USD, Angkatan 2009—2011. Skripsi. Yogyakarta: PBSID,
JPBS, FKIP, USD.
Moleong, Lexy. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mushlich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia : Tinjauan Deskriptif Sistem
Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara.
Nikelas, Syahwin. 1988. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta:
Depdikbud.
Noviyanti, Agustina Galuh Eka. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa Antarsiswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun
Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Nugroho, Miftah. 2009. “Konteks dalam Kajian Pragmatik” dalam Peneroka
Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
_______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2012. “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik
dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.
Presentasi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
_______________. 2012 . “Re-interpretasi Konteks Pragmatik”. Jurnal.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Data: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana
University Pers.
Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metodologi Penelitian: Sebuah Pengenalan dan
Penuntun Langkah demi Langkah Pelaksanaan Penelitian.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Widyawari, Caecilia Petra Gading May. Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antarmahasiswa Program Studi PBSID
Angkatan 2009—2011 Universitas Sanata Dharma. Skripsi.
Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 2006. Pragmatik (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik
Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP,
USD.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELANGGAR NORMA
NO KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PERSEPSI KETIDAK-
SANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. (A1) Cuplikan Tuturan 1
MT : “Telat pulang tu
mbok ngebel rumah, ben
wong tuwa ra bingung!”
P : “Opo-opo kok
koyo cah cilik to,
mengko lak yo bali
dewe!!”
Intonasi seru
Tekanan :
keras pada
frasa bali
dewe.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
kok, to.
Tuturan terjadi dalam keluarga ketika mitra
tutur berusaha menegur penutur yang
terlambat pulang. Padahal sudah ada
kesepakatan jika terlambat harus memberi
kabar. Tuturan terjadi di ruang keluarga pada
sore hari (Rabu, 10 April 2013).
Penutur kesal karena merasa terlalu dikekang
pada usianya yang sudah cukup dewasa.
Penutur berusaha menentang teguran mitra
tutur dengan nada tinggi.
Penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra
tutur perempuan, ibu berusia 46 tahun.
Penutur merupakan anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kekesalannya ketika mitra tutur memberi
teguran karena terlambat pulang.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja
kemudian meninggalkan penutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Melanggar norma
Subkategori Ketidaksantunan:
Menentang
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menanggapi teguran
mitra tutur dengan ketus.
Penutur melanggar kesepakatan
yang telah ditetapkan.
Penutur tidak mengindahkan
teguran mitra tutur.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
2. (A2) Cuplikan Tuturan 2
MT : “Mbok yo nek Intonasi seru
Tekanan:
Tuturan terjadi di ruang keluarga pada sore
hari ketika penutur pulang dari bermain.
Kategori Ketidaksantunan:
Melanggar norma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mulih sekolah ki opo
jam’e, dolan keno, tapi
bali sik, ganti sik,
pamitan sik!”
P : “Emoohh,
Pak!”
lunak pada
kata emoohh.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
(Kamis, 11 April 2013).
Saat itu penutur masih menggunakan seragam
sekolah.
Mitra tutur berusaha menegur penutur agar
saat pulang sekolah terlebih dahulu ganti
pakaian dan berpamitan sesuai dengan aturan
yang disepakati dalam keluarga.
Penutur berusaha menolak teguran mitra
tutur.
Penutur duduk di hadapan mitra tutur.
Penutur menanggapi teguran mitra tutur.
Penutur perempuan, siswa kelas VIII SMP
berusia 16 tahun dan mitra tutur seorang
bapak berusia 49 tahun. Penutur merupakan
anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menolak anjuran mitra tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja.
Subkategori Ketidaksantunan:
Menolak
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab perkataan
mitra tutur dengan cara
menyepelekan.
Penutur melanggar aturan yang
telah disepakati.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur menjawab tanpa melihat
ke arah mitra tutur.
Penutur menjawab dengan datar
tanpa merasa bersalah.
3. (A3) Cuplikan Tuturan 3
MT : “Hayoo, koe mau
dolan ora pamit to??”
P : “Mau kan aku
wis ngomong, kok
diarani dolan, kan wis
ijin!!”
Intonasi seru
Tekanan:
keras pada
wis ijin.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
Tuturan terjadi di teras rumah, pada sore hari,
saat penutur pulang dari bepergian (Rabu, 10
April 2013).
Mitra tutur bertanya kepada penutur dengan
nada sedikit mencurigai tentang kepergian
penutur tanpa seijin mitra tutur.
Mitra tutur curiga karena penutur sering pergi
tanpa ijin. Padahal sudah disepakati agar
berpamitan terlebih dahulu sebelum
bepergian. Mendengar pertanyaan mitra tutur,
Kategori Ketidaksantunan:
Melanggar norma
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur dengan keras.
Penutur melanggar aturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis:
kok, kan.
penutur menjadi kesal.
Penutur perempuan, siswi SMK Kelas XII
berusia 18 tahun dan mitra tutur seorang
bapak berusia 50 tahun. Penutur merupakan
anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha membela diri dari
pertanyaan mitra tutur yang terkesan sangat
mencurigai penutur. Padahal, sebelum
bepergian penutur sudah merasa berpamitan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam dan tidak
mencurigai penutur lagi.
telah disepakati.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara sembari
menatap mitra tutur dengan mata
terbelalak.
4. (A4) Cuplikan Tuturan 4
MT : (mengingat
peraturan yang telah
disepakati bahwa tamu
harus pulang sebelum
pukul 21.00, maka mitra
tutur mematikan lampu
ruang tamu ketika
penutur masih menerima
tamunya pada jam
tersebut)
P : “Ah, mamak ki
terlalu! Aku ra meh
mulih, meh kost wae!!”
Intonasi seru
Tekanan:
keras pada
kata terlalu.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: ah.
Tuturan terjadi di ruang tamu, pada malam
hari ketika penutur usai menerima tamu.
Suasana saat terjadi tuturan adalah serius
(Rabu, 10 April 2013).
Penutur sedang menerima tamu. Tiba-tiba
mitra tutur mematikan lampu ruang tamu,
karena jam sudah menunjukkan pukul 21.00
WIB. Mengingat kesepakatan dalam keluarga,
bahwa tamu harus pulang sebelum pukul
21.00 WIB.
Kejadian tersebut mengakibatkan tamu pulang
dengan tergesa-gesa. Penutur kesal dan marah
dengan sikap mitra tutur.
Penutur berdiri di hadapan mitra tutur.
Penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra
tutur perempuan, ibu berusia 46 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Kategor Ketidaksantunan:
Melanggar norma
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menanggapi sikap mitra
tutur dengan berteriak.
Penutur melanggar kesepakatan
dalam keluarga.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tujuan: penutur menanggapi sikap mitra tutur
yang kurang menyenangkan dan sedikit
menyinggung penutur.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja.
5. (A5) Cuplikan Tuturan 5
MT : “Rasah wengi-
wengi le bali!”
P : “Iyo pak,
sekalian subuh.”
Intonasi
berita
Tekanan:
lunak pada
sekalian
subuh.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu
pada kata iyo.
Tuturan terjadi di ruang tamu saat suasana
santai, sore hari ketika penutur hendak
bepergian (Kamis, 4 April 2013).
Mitra tutur berpesan kepada penutur agar
tidak pulang larut malam, sesuai dengan
kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam
keluarga. Namun, penutur justru menjawab
sekenanya dan terkesan sembrono.
Penutur berdiri di hadapan mitra tutur.
Penutur menjawab perkataan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur
seorang mahasiswa semester 4 berusia 19
tahun dan mitra tutur seorang bapak berusia
47 tahun. Penutur merupakan anak dari mitra
tutur.
Tujuan: penutur berusaha menentang pesan
dari mitra tutur karena penutur merasa sudah
cukup dewasa sehingga semua kegiatannya
tidak perlu dipantau lagi oleh mitra tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal karena
merasa disepelekan.
Kategori Ketidaksantunan :
Melanggar norma
Subkategori Ketidaksantunan:
Menentang
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
sembrono tanpa memiliki rasa
tanggung jawab.
Penutur berbicara sembari
tersenyum.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa melihat
ke arah mitra tutur.
Penutur tidak mengindahkan
pesan dari mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. (A6) Cuplikan Tuturan 6
MT : “Le, mbok
belajar! Sudah waktunya
belajar ini.”
P : “Ah..wong neng
sekolah wis sinau kok!”
Intonasi seru
Tekanan:
keras pada
kata fatis ah
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis :
ah, wong,
kok.
Tuturan terjadi di ruang keluarga, pada malam
hari (Kamis, 15 April 2013).
Mitra tutur berusaha memperingatkan penutur
untuk belajar, karena sudah disepakati adanya
jam belajar pada keluarga tersebut. Namun,
penutur justru menjawab sekenanya dan
terkesan acuh, bahkan kembali terlihat sibuk
dengan laptopnya.
Penutur laki-laki, siswa kelas VII SMP
berusia 13 tahun dan mitra tutur perempuan,
ibu berusia 50 tahun. Penutur adalah cucu dari
mitra tutur.
Tujuan: penutur menolak anjuran mitra tutur
untuk belajar.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal karena
sikap penutur yang acuh, kemudian mitra
tutur meninggalkan penutur.
Kategori Ketidaksantunan :
Melanggar norma
Subkategori Ketidaksantunan :
Menolak
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab peringatan
mitra tutur dengan ketus.
Penutur tidak mengindahkan
peringatan mitra tutur.
Penutur melanggar kesepakatan
dalam keluarga.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa melihat
ke arah mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGANCAM MUKA SEPIHAK
NO KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PERSEPSI KETIDAK-
SANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. (B1) Cuplikan Tuturan 7
P : “Sudah hampir
setahun, sudah mau
punya anak belum?”
MT : “Belum, Pak.”
Intonasi tanya
Tekanan :
lunak pada
frasa hampir
setahun.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
kata tidak
baku, yaitu
kata mau dan
punya.
Tuturan terjadi di ruang keluarga ketika
penutur dan mitra tutur sedang berbincang-
bincang (Sabtu, 20 April 2013).
Penutur merasa bahwa sudah waktunya bagi
mitra tutur untuk memiliki keturunan. Oleh
karena itu, penutur menanyakan hal tersebut
kepada mitra tutur tanpa menyadari bahwa
pertanyaannya sedikit menyinggung mitra
tutur.
Mitra tutur yang tersinggung hanya
menjawab pertanyaan penutur dengan
singkat.
Penutur berada di dekat mitra tutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki, bapak berusia 65 tahun
dan mitra tutur perempuan berusia 33 tahun.
Penutur adalah bapak mertua dari mitra
tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan
keinginannya untuk segera menimang cucu.
Tindak verbal: ekspresif.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada
mitra tutur dengan lugas
tanpa memahami perasaan
mitra tutur.
Penutur bertanya sembari
menatap mitra tutur sinis.
Penutur bertanya kepada
orang yang memang belum
memiliki keturunan.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya
menyinggung mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: mitra tutur sedikit
tersinggung dan hanya memberi jawaban
dengan singkat.
2. (B2) Cuplikan Tuturan 8
P : “Ngopo Pak,
panjenengan kok
koyo sakit gigi
ngaten?”
MT : “Ngopo, ora
popo.”
Intonasi tanya
Tekanan :
lunak pada
frasa ngopo
Pak.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
penggabungan
bahasa Jawa
dan bahasa
Indonesia.
Kata fatis: kok.
Tuturan terjadi di ruang keluarga, pada sore
hari ketika mitra tutur pulang dari sawah
(Senin, 8 April 2013).
Tuturan terjadi dalam suasana santai
Penutur bertanya kepada mitra tutur yang
terlihat lesu dan tidak seperti biasanya.
Rasa lelah yang dirasakan setelah
beraktivitas di sawah mengakibatkan mitra
tutur enggan menjawab pertanyaan penutur.
Bahkan, mitra tutur merasa bahwa
pertanyaan penutur sedikit mengganggu.
Penutur perempuan, ibu berusia 60 tahun
dan mitra tutur laki-laki, bapak berusia 63
tahun. Penutur adalah istri dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menanggapi tingkah laku
mitra tutur yang terlihat tidak seperti
biasanya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur memberikan
jawaban singkat dan terdengar sinis.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada
mitra tutur dengan kata-kata
sindiran.
Penutur bertanya pada waktu
yang tidak tepat.
Penutur bertanya kepada
orang yang sedang enggan
berkomunikasi karena
kelelahan mengurus sawah.
Penutur tidak menyadari
bahwa pertanyaannya
mengganggu mitra tutur.
Penutur bertanya dengan
datar tanpa rasa bersalah.
3. (B3) Cuplikan Tuturan 9
P : “Neng ngomah
ki ngopo wae??”
Intonasi tanya
Tekanan: keras
pada frasa
ngopo wae.
Nada tutur:
Tuturan terjadi di rumah, ketika penutur
pulang dari sawah dan menjumpai mitra
tutur di dapur (Kamis, 11 April 2013).
Aktivitas mitra tutur setiap harinya adalah
mengurus rumah.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Gaweanku ki
akeh. Ojo ming
nyalahke aku terus!!”
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Saat itu, penutur marah ketika pulang dari
sawah belum ada air panas untuk mandi dan
minum. Maka, penutur melontarkan kata-
kata kepada mitra tutur dengan nada tinggi
tanpa menyadari bahwa tuturannya telah
menyinggung mitra tutur.
Mitra tutur tersinggung karena ia sendiri
merasa telah menyelesaikan semua
pekerjaan rumah.
Penutur laki-laki seorang bapak berusia 59
tahun dan mitra tutur perempuan seorang ibu
berusia 57 tahun. Penutur adalah suami dari
mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan
kemarahannya dan menanggapi sikap mitra
tutur yang dinilai kurang peduli terhadap
keadaan rumah.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menjawab
pertanyaan penutur dengan nada kesal dan
kecewa kemudian pergi meninggalkan
penutur.
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan ketus.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya
menyinggung mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
berdiri.
4. (B4) Cuplikan Tuturan 10
MT : “Pak, ada yang
mencari.” (berjalan
menghampiri penutur
dan diikuti oleh MT2
yang berjalan pelan di
Intonasi seru
Tekanan :
keras pada
frasa meh
maghrib.
Nada tutur:
penutur
Percakapan antara penutur, MT 1, dan MT2
di teras rumah pada petang hari (Sabtu, 20
April 2013).
Suasana yang terjadi dalam tuturan adalah
serius.
Penutur sedang berada di teras rumah saat
matahari mulai tenggelam. Tiba-tiba MT 1
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
belakang MT1).
P : “Wis meh
maghrib kok ono
tamu!!”
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: kok.
datang memberitahu penutur bahwa MT 2
ingin bertemu dengan penutur.
MT 2 berjalan pelan mengikuti MT 1 dari
arah samping rumah.
Penutur merasa kesal dengan kedatangan
MT 2 yang dianggap mengganggu aktivitas
penutur, karena hari sudah petang. MT 2
sendiri kurang menyadari bahwa
kedatangannya membuat penutur tidak
berkenan.
Penutur menanggapi kedatangan MT 2.
Penutur dan MT 2 laki-laki, sedangkan MT
1 perempuan.
Penutur seorang bapak berusia 65 tahun,
MT 1 seorang ibu berusia 50 tahun, dan MT
2 bapak berusia 40 tahun.
Penutur adalah kerabat dekat MT 2.
Tujuan: penutur mengungkapkan rasa
kurang senangnya terhadap kedatangan MT
2 ke rumahnya saat petang hari, karena
dianggap mengganggu aktivitas penutur.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: MT 2 sedikit tersinggung
namun tetap menunggu penutur yang
meninggalkannya untuk shalat maghrib.
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
ketus.
Penutur berbicara tanpa
melihat ke arah mitra tutur.
Penutur berbicara sambil
berjalan meninggalkan mitra
tutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturannya
menyinggung mitra tutur.
5. (B5) Cuplikan Tuturan 11
P : “Kene, aku
meh ngomong!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata
kene.
Percakapan antara penutur dan mitra tutur di
ruang keluarga pada siang hari.
Mitra tutur sedang menerima telepon dari
anggota keluarga lain yang berada di luar
Kategori Ketidaksantunan:
Mengancam muka sepihak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Yoo, hati-hati.
Ngomong yo
ngomong tapi kan
ngga perlu mutus-
mutus sembarangan
ngono kui.”
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
kota. Tiba-tiba penutur mengambil telepon
genggam dari mitra tutur dengan cara yang
kurang sopan, sehingga mengakibatkan
mitra tutur kesal dan terganggu.
Penutur tidak menyadari bahwa perkataan
dan tindakannya mengakibatkan mitra tutur
terganggu.
Penutur berdiri di samping mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur seorang ibu berusia 52 tahun dan
mitra tutur seorang bapak berusia 52 tahun.
Penutur adalah istri dari mitra tutur.
Tujuan: penutur ingin ikut berbicara dengan
anggota keluarga lain melalui telepon.
Tindak verbal : direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur merasa kesal
kemudian menasihati penutur.
Subkategori Ketidaksantunan:
Memerintah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan ketus.
Penutur langsung merebut
telepon genggam dari mitra
tutur dengan tidak sopan.
Penutur tidak menyadari
bahwa tuturan dan
tindakannya mengganggu
mitra tutur.
Penutur berbicara dan
melakukan tindakan sembari
berdiri.
6. (B6) Cuplikan Tuturan 12
P : “Sesok meneh
ojo nyayur ngene iki,
Mak!!”
MT : “Koe ki mbok
ngerti simbok ki ijen,
maem sak anane
wae!”
Intonasi
perintah.
Tekanan :
keras pada
frasa ojo
nyayur.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Tuturan terjadi di ruang makan ketika
penutur hendak mengambil makan sembari
mencicipi masakan mitra tutur.
Penutur kurang menyukai masakan mitra
tutur, kemudian mengomentari masakan
mitra tutur dengan nada tinggi. Penutur
tidak menyadari bahwa kata-katanya telah
menyinggung mitra tutur.
Mitra tutur kesal dengan sikap penutur yang
tidak pernah menghargai masakan mitra
tutur.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Kecewa
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki berusia 21 tahun dan mitra
tutur perempuan, ibu berusia 50 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kecewanya
terhadap masakan mitra tutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur yang merasa
tersinggung kemudian menjawab perkataan
penutur sembari meninggalkan penutur di
ruang makan.
Penutur tidak menyadari
bahwa perkataannya
menyinggung mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
berdiri.
Penutur berbicara tanpa rasa
bersalah.
Penutur mengurungkan
niatnya untuk mengambil
makanan.
7. (B7) Cuplikan Tuturan 13
P : “Mbak, garapke
iki!”
MT : “Koe ngerti ora
nek mbak ki repot?”
P : “Halah mbak wong aku raiso tenan, padahal kudu ndang dadi!”
Intonasi
perintah.
Tekanan:
lunak pada
garapke iki.
Nada tutur :
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan yang terjadi antara penutur dan
mitra tutur ketika berada di ruang belajar
pada malam hari.
Mitra tutur sedang sibuk mengerjakan tugas
kuliah. Penutur datang menghampiri mitra
tutur dengan menyodorkan buku kepada
mitra tutur.
Penutur bermaksud meminta tolong agar
mitra tutur mau membantu mengerjakan
PR. Penutur tidak menyadari bahwa
kedatangannya mengganggu mitra tutur
yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya.
Mitra tutur kesal dengan sikap penutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
berusia 16 tahun dan mitra tutur mahasiswa
semester 8 berusia 22 tahun. Penutur adalah
Kategori Ketidaksantunan:
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Memerintah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur tanpa sungkan
sedikit pun.
Penutur kurang peduli
dengan aktivitas yang sedang
dikerjakan oleh mitra tutur.
Penutur berbicara dengan
orang yang lebih tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adik dari mitra tutur.
Tujuan: penutur meminta bantuan kepada
mitra tutur untuk menyelesaikan PR.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur merasa
terganggu kemudian menanggapi permintaan
penutur dengan singkat.
8. (B8) Cuplikan Tuturan 14
P : “Ngopo mbah
kok ra maem?”
MT : “Lha yo wong
seko sawah kesel-
kesel kok ra ono
wedang panas.”
Intonasi tanya
Tekanan:
lunak pada
frasa ra maem.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: kok.
Tuturan terjadi di ruang keluarga saat mitra
tutur pulang dari sawah dan penutur baru
saja selesai mengurus rumah.
Mitra tutur merasa kesal ketika pulang dari
sawah belum ada air panas untuk mandi.
Kekesalan mitra tutur ia perlihatkan dengan
cara berdiam diri.
Melihat tingkah laku mitra tutur yang tidak
seperti biasanya, penutur kemudian bertanya
kepada mitra tutur tanpa rasa bersalah
sedikit pun.
Penutur perempuan, ibu berusia 59 tahun
dan mitra tutur laki-laki, bapak berusia 61
tahun. Penutur adalah istri dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menanggapi tingkah laku
mitra tutur yang tidak seperti biasanya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi : mitra tutur menjawab
sekenanya kemudian pergi meninggalkan
penutur.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Menanyakan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada
mitra tutur dengan datar
tanpa merasa bersalah.
Penutur tidak menyadari
bahwa pertanyaannya
membuat mitra tutur tidak
berkenan.
Penutur bertanya tanpa
melihat ke arah mitra tutur.
Penutur bertanya di waktu
yang kurang tepat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9. (B9) Cuplikan Tuturan 15
P : “Tak jewer koe
mengko nek
ngeyel!!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa tak
jewer.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Tuturan terjadi saat penutur dan mitra tutur
berada di sawah, pada hari Senin, 10 Juni
2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB.
Penutur sedang kerepotan mengangkat
dedaunan untuk makanan sapi ke atas motor,
sedangkan mitra tutur yang berada di
dekatnya terlihat asik bermain karena mitra
tutur merasa bahwa tugasnya telah usai.
Penutur berusaha memperingatkan mitra
tutur dengan melontarkan kata-kata yang
sedikit mengancam, tanpa menyadari bahwa
perkataannya menyinggung dan
mengakibatkan mitra tutur enggan berada di
situ.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur
seorang bapak berusia 45 tahun dan mitra
tutur seorang anak laki-laki berusia 4 tahun
(PAUD). Penutur adalah bapak dari mitra
tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan rasa
kesalnya dengan cara mengancam mitra
tutur yang dianggap telah mengganggu
penutur.
Tindak verbal : komisif.
Tindak perlokusi : mitra tutur menghentikan
aktivitas bermainnya dengan mata yang
sedikit memerah menahan tangis.
Kategori Ketidaksantunan:
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengancam
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara dengan
keras.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan tatapan
mata terbelalak.
Penutur berbicara dengan
melontarkan ancaman bahwa
akan menjewer telinga mitra
tutur.
Penutur berbicara di hadapan
banyak orang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10. (B10) Cuplikan Tuturan 16
P : “Mpun, kulo
ajeng jagong! Mang
tunggu sak jam!!”
Intonasi
perintah
Tekanan: keras
pada frasa sak
jam.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Tuturan terjadi di teras rumah penutur pada
siang hari. Kamis, 13 Juni 2013 sekitar
pukul 13.30 – 14.00 WIB.
Mitra tutur mengunjungi rumah penutur
untuk bertamu.
Setiap kali bertamu, mitra tutur selalu
mengungkapkan maksud yang tidak jelas,
sehingga mengakibatkan penutur enggan
menjumpai mitra tutur.
Penutur melontarkan kata-kata dengan nada
tinggi tanpa menyadari bahwa tuturannya
dapat menyinggung mitra tutur.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur
berusia 55 tahun dan mitra tutur berusia 49
tahun.
Tujuan: penutur mengungkapkan rasa tidak
senangnya terhadap kedatangan mitra tutur
yang tidak jelas.
Tindak verbal : ekspresif.
Tindak perlokusi : mitra tutur tidak dapat
menunggu kemudian meninggalkan rumah
penutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Mengancam muka sepihak
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan keras.
Penutur berbicara dengan
ketus.
Penutur berbicara di hadapan
tamu yang datang.
Penutur mengungkapkan rasa
tidak senangnya dengan
ketus tanpa memahami
perasaan mitra tutur.
Penutur tidak menyadari
bahwa perkataannya
menyinggung mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
berjalan masuk ke dalam
rumah dan meninggalkan
mitra tutur.
11. (B11) Cuplikan Tuturan 17
P : “Bu, sesok
bayar uang kuliah.
Intonasi berita
Tekanan:
lunak pada
frasa sesok
Percakapan terjadi ketika penutur dan mitra
tutur berada di rumah, siang hari, dalam
suasana santai.
Kategori Ketidaksantunan :
Mengancam muka sepihak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Telate dua hari lagi.”
MT : “Lha le
ngomong kok ra sesok
pas hari-H wae. Tuku
iki tuku kui kok
mendadak. Nek
mendadak ki duit yo
nganggo golek, ora
dadakan koyo ngono!”
mbayar.
Nada tutur:
penutur
berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu
kata sesok dan
telate.
Menggunakan
kata tidak
baku, yaitu
bayar.
Penutur secara tiba-tiba memberi tahu mitra
tutur bahwa 2 hari lagi batas akhir
pembayaran uang kuliah. Penutur tidak
menyadari bahwa perkataannya membuat
mitra tutur terkejut dan kurang berkenan.
Mitra tutur berharap agar penutur memberi
tahu jauh-jauh hari, sehingga mitra tutur
dapat menyiapkan uang yangdiperlukan.
Mitra tutur menjawab perkataan penutur
dengan nada sinis.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur laki-laki, semester 4 berusia 20
tahun dan mitra tutur permepuan, ibu
berusia 45 tahun. Penutur adalah anak dari
mitra tutur.
Tujuan: penutur memberi tahu mitra tutur
perihal pembayaran uang kuliah.
Tindak verbal : representatif.
Tindak perlokusi : mitra tutur terkejut dan
menanggapi perkataan penutur dengan ketus.
Subkategori Ketidaksantunan:
Menegaskan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
santai tanpa merasa sungkan.
Penutur berusaha
menegaskan sesuatu, yakni
pembayaran uang kuliah.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur tidak menyadari
bahwa perkataannya
mengakibatkan mitra tutur
kurang berkenan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MELECEHKAN MUKA
NO KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PERSEPSI KETIDAK-
SANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. (C1) Cuplikan Tuturan 18
MT : “Ini gimana
ngidupin ini?”
P : “Wah ibuk ki
ora modern.”
Intonasi berita
Tekanan : keras
pada frasa ora
modern.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: wah.
Percakapan di dalam keluarga pada siang hari saat
mitra tutur berusaha meminta bantuan kepada
penutur untuk menghidupkan laptop.
Penutur merasa kesal kepada mitra tutur, karena
mitra tutur tidak dapat menghidupkan laptop,
padahal menghidupkan laptop adalah hal yang
dianggap sangat mudah oleh penutur.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur menanggapi pertanyaan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur siswi
kelas VII SMP berusia 13 tahun dan mitra tutur
seorang ibu berusia 39 tahun. Penutur adalah anak
dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekesalannya
kepada mitra tutur karena tidak bisa menghidupkan
laptop.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur tetap meminta
bantuan kepada penutur untuk menghidupkan
laptop.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menanggapi
pertanyaan mitra tutur dengan
sinis.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa
melihat ke arah mitra tutur.
Penutur tidak segera
membantu mitra tutur
menghidupkan leptop, namun
justru menonton televisi.
2. (C2) Cuplikan Tuturan 19
P : “Kok nilai kamu
tu jelek, ga pernah
belajar ya?”
MT : “Ah, nggak
ngerti aku, Buk.”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada kata jelek.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Percakapan antara penutur dan mitra tutur di rumah
pada suasana santai. Saat jam pulang sekolah,
penutur menghampiri mitra tutur dan menanyakan
aktivitas di sekolah.
Selain penutur dan mitra tutur, terdapat juga
beberapa teman mitra tutur yang singgah ke
rumahnya.
Penutur bertanya perihal nilai jelek yang selalu
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menanyakan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu tu
dan ga.
Kata fatis: kok.
diperoleh mitra tutur di sekolah.
Mitra tutur merasa enggan menjawab pertanyaan
penutur.
Penutur duduk di hadapan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur ibu
berusia 36 tahun dan mitra tutur seorang anak yang
masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Penutur
adalah ibu dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha mencari tahu alasan dari
mitra tutur perihal nilai jelek yang diperoleh di
sekolah.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: mitra tutur memberikan jawaban
sekenanya.
tutur dengan sinis.
Penutur bertanya sembari
menatap mitra tutur dengan
sinis.
Penutur bertanya langsung di
hadapan teman-teman mitra
tutur.
Penutur berbusaha
menyimpulkan sesuatu
berdasarkan fakta yang dialami
oleh mitra tutur.
3. (C3) Cuplikan Tuturan 20
P : “Hayoo, punya
mulut kok ga bisa
ngomong to?besok
lagi bilang!”
Intonasi seru
Tekanan : keras
pada besok lagi
bilang.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
punya, ga, bisa,
ngomong, dan
bilang.
Kata fatis: hayoo,
kok, to.
Percakapan antara penutur, MT 1, dan MT 2 di teras
rumah penutur pada hari Senin, 8 April 2013, pukul
13.50 WIB.
Ketika penutur sedang berbincang-bincang dengan
MT 1 di teras rumah penutur, tiba-tiba MT 2 buang
air kecil di celana.
Penutur berusaha menegur MT 2 dengan nada kesal.
Penutur duduk di samping MT 1 dan di depan MT
2.
Penutur menegur MT 2.
Penutur perempuan, ibu berusia 40 tahun, MT 1
seorang tamu yang mengunjungi penutur, dan MT
2 seorang anak laki-laki yang masih berusia 2 tahun.
Penutur adalah ibu dari MT 2.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekesalannya
melihat MT 2 buang air kecil di celana.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 diam saja dan terlihat
sangat menyesal.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur berkata kepada MT 2
dengan keras.
Penutur berkata langsung
kepada MT 2 di hadapan tamu
yang berkunjung.
Penutur berkata sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
Penutur berkata sembari
menatap MT 2 dengan mata
yang terbelalak.
Penutur melontarkan kata-kata
yang terdengar seperti
ancaman bagi MT 2.
4. (C4) Cuplikan Tuturan 21
Intonasi berita
Percakapan antara penutur, MT 1, dan MT 2 di
teras rumah penutur pada siang hari. Kamis, 11
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Buk, ajari. Iki
kepie carane??”
MT : “Nek PR ngene
iki aku raiso e, Le.”
P : “Wah simbok
ki kalah sekolah
mbiyen karo saiki.
Mbiyen ki kuno.”
Tekanan: keras
pada kata kuno.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: wah.
April 2013, sekitar pukul 14.27-14.55 WIB
Ketika MT 1 dan MT 2 sedang berbincang-
bincang, tiba-tiba penutur datang menghampiri MT
1 dan meminta bantuan kepada MT1 untuk
menyelesaikan PR, namun MT 1 tidak dapat
membantu penutur karena keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki.
Penutur kesal kemudian melontarkan kata-kata
kepada MT 1 di hadapan MT 2.
Penutur berdiri di dekat MT 1.
Penutur menanggapi jawaban MT 1.
Penutur laki-laki, siswa kelas VIII SMP berusia 14
tahun, MT 1 seorang ibu berusia 57 tahun, dan MT
2 adalah seorang tamu yang mengunjungi rumah
penutur. Penutur adalah anak dari MT 1.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekecewaannya
dengan sebuah ejekan karena mitra tutur 1 tidak
dapat membantu menyelesaikan PR.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 1 diam saja dan melanjutkan
perbincangannya dengan MT2.
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada MT
1 dengan sinis.
Penutur berusaha
membandingkan zaman dahulu
dengan sekarang yang tentu
sangat berbeda.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara sembari
berjalan meninggalkan MT 1.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang datang.
5. (C5) Cuplikan Tuturan 22
MT : “Yo raiso,
kabeh ki ono Undang-
undang’e.”
P : “Maklum lah
wong hukum.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada kata hukum.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: lah.
Percakapan di dalam rumah ketika suasana santai,
yang dihadiri oleh bapak, ibu, tiga anak, dan
menantu. Ketika membicarakan keadaan
masyarakat sering terjadi pro kontra, terlebih
dengan anak pertama yang notabene sudah terbiasa
dengan ilmu hukum.
Ketika berbincang-bincang, mitra tutur selalu keras
kepala menyatakan opininya berkaitan tentang
hukum. Tiba-tiba penutur melontarkan kata-kata
kepada mitra tutur dengan maksud menyindir.
Penutur duduk berdekatan dengan mitra tutur.
Penutur menanggapi pernyataan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur seorang
bapak berusia 65 tahun dan mitra tutur seeorang
anak laki-laki yang sudah berkeluarga, berusia 35
tahun. Penutur adalah bapak dari mitra tutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan sinis.
Penutur berbicara sambil
menatap mitra tutur dan
tersenyum sinis.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga lain.
Penutur sengaja melontarkan
kata ‘hukum’ untuk menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tujuan: penutur mengajak seluruh anggota keluarga
untuk memaklumi watak mitra tutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tersenyum dan
berusaha mencairkan suasana, meskipun sedikit
tersinggung.
mitra tutur yang memang
seorang sarjana hukum,
sehingga wataknya keras.
6. (C6) Cuplikan Tuturan 23
P : “Koe ki anak
perawan kok keset!!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata keset.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: kok.
Tuturan terjadi sepulang penutur dari bepergian.
Penutur terkejut melihat keadaan rumah yang
sangat berantakan paska ditinggal bepergian.
Padahal, penutur sudah memberikan tugas kepada
mitra tutur untuk menjaga kebersihan rumah.
Namun, mitra tutur tidak melaksanakan tugas yang
diberikan kepadanya. Kemudian, penutur berusaha
menegur mitra tutur.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur menanggapi tingkah laku dan kebiasaan
mitra tutur.
Penutur laki-laki, bapak berusia 47 tahun dan mitra
tutur perempuan, siswi SMK kelas XII berusia 19
tahun. Penutur adalah bapak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menanggapi tingkah laku dan
kebiasaan mitra tutur yang bermalas-malasan
meskipun mengetahui keadaan rumah yang
berantakan.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja dan masuk
ke kamar.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
menatap mitra tutur dengan
sinis.
Penutur melontarkan kata-kata
dengan tujuan menyadarkan
mitra tutur agar selayaknya
‘gadis’ yang rajin mengurus
rumah.
7. (C7) Cuplikan Tuturan 24
(Ketika penutur dan
MT1 berbincang-
bincang, datanglah
MT2 menghampiri
penutur. Kemudian
penutur berkata: )
P : “Sing mesak’ake
yo iki mbak, kasihan
sekali ini. Wis
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada wis disambi,
ireng.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada rendah.
Percakapan yang terjadi di ruang tamu pada hari
Kamis, 25 April 2013, pukul 16.06 WIB.
Saat itu, penutur sedang berbincang-bincang santai
dengan MT 1 di ruang tamu.
MT 2 datang dari luar rumah menghampiri penutur.
Penutur berkata kepada MT1 dengan melontarkan
kata-kata untuk mengejek MT2 sambil mencium
MT2.
Penutur duduk di hadapan MT 1 dan MT 2.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
lugas tanpa mempedulikan
suasana hati MT 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disambi, ireng,
kasihan sekali yo le
sayang ya.”
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu pada
frasa sing
mesak’ake yo iki,
wis disambi, dan
pada kata ireng ,
yo.
Kata fatis: ya, yo.
Penutur mengejek penampilan MT 2 dengan
maksud bercanda.
Penutur dan MT 1 perempuan. Penutur seorang ibu
berusia 39 tahun dan MT 1 adalah tamu. MT 2 anak
laki-laki yang duduk di Taman Kanak-Kanak
berusia 5 tahun. Penutur adalah ibu dari MT 2.
Tujuan: penutur mengejek penampilan fisik MT 2.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: MT 2 diam saja.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang datang.
Penutur berbicara sembari
tertawa mengejek.
Penutur berbicara sembari
mencium pipi mitra tutur.
Penutur menggunakan kata
‘hitam’ untuk semakin
menggambarkan warna tubuh
MT 2 yang dianggap gelap
oleh penutur.
Perkataan penutur
mengakibatkan mitra tutur
menunduk malu.
8. (C8) Cuplikan Tuturan 25
P : “Kok nama saya
Lembayung, bapak
kasih nama jelek
banget!”
MT : “Wah itu nama
bagus. Lembayung.
Belum banyak yang
pakai nama begitu.”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa jelek
banget.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
kasih dan banget.
Kata fatis: kok.
Percaapan yang terjadi saat penutur dan mitra tutur
bercengkerama santai di teras rumah pada sore hari.
Penutur berusaha mengutarakan protesnya dengan
bertanya kepada mitra tutur tentang pemberian
nama yang dianggap jelek oleh penutur.
Selain penutur dan mitra tutur, terdapat juga
anggota keluarga lain di rumah tersebut.
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur.
Penutur perempuan berusia 25 tahun dan mitra tutur
laki-laki, bapak berusia 65 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur memrotes mitra tutur yang
dianggap telah memberikan nama yang jelek kepada
penutur.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur memberikan alasan
tentang pemberian nama tersebut sebagai upaya
pembelaan diri.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur berbicara dengan
sinis.
Penutur bertanya sembari
menatap mitra tutur sinis.
Penutur berusaha
mengungkapkan
ketidaksenangannya terhadap
nama yang diberikan oleh
mitra tutur.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga yang lain.
9. (C9) Cuplikan Tuturan 26 Intonasi berita Percakapan yang terjadi saat berkumpul bersama Kategori Ketidaksantunan :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Mas, kira-kira
saya ini bisa masuk
ABRI nggak to?
Syaratnya apa aja?”
P : “Dek, kamu
ngga bisa sekolah
jadi ABRI seperti
saya, soalnya kakimu
tu bentuknya O, kaki
kok kaya bola.”
Tekanan: keras
pada kaki kok kaya
bola.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
ngga, bisa, jadi,
soalnya, kaya.
Kata fatis: kok.
keluarga di ruang tamu pada sore hari dalam
suasana santai.
Penutur dan mitra tutur sedang berbincang-bincang
membicarakan tes seleksi masuk angkatan (ABRI).
Mitra tutur bertanya kepada penutur perihal
prasyarat masuk ABRI.
Penutur berusaha memberikan penjelasan kepada
mitra tutur sembari mengejek.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur berusia
35 tahun dan mitra tutur berusia 30 tahun. Penutur
adalah kakak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menjelaskan kelemahan mitra tutur
yang mengakibatkan mitra tutur tidak dapat
menjadi angkatan.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja dan sedikit
kecewa.
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab dengan
lugas tanpa mempedulikan
suasana hati mitra tutur.
Penutur menjawab sembari
tersenyum mengejek.
Penutur berusaha
membandingkan kaki mitra
tutur dengan sebuah benda,
yaitu bola.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga yang lain.
10. (C10) Cuplikan Tuturan 27
P : “Le, apa kamu tu
belum pengen punya
pacar?”
MT : “Ah, yang
penting kerja dulu,
Bu. Cewek ra bakalan
kecewa. Pasti cewek
pada mau. Nek saiki,
mengko ndak
mengganggu
pelajaran.”
P : “Pikirane ki
koyo wong tuwek.”
Intonasi berita.
Tekanan: lunak
pada kata tuwek.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan yang terjaadi saat penutur dan mitra
tutur bercengkerama santai di rumah pada siang
hari.
Penutur bertanya kepada mitra tutur perihal
alasannya belum memiliki pacar. Mitra tutur
menjawab pertanyaan penutur dengan nada yang
terkesan sedikit menggurui penutur.
Penutur kemudian menanggapi jawaban mitra tutur
dengan nada menyindir.
Penutur duduk di sebelah mitra tutur.
Penutur menanggapi jawaban mitra tutur.
Penutur perempuan, ibu berusia 45 tahun dan mitra
tutur seorang anak laki-laki yang duduk di bangku
perguruan tinggi semester 4, berusia 20 tahun.
Penutur adalah ibu dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan sindirannya
kepada mitra tutur yang dianggap terlalu
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan lugas.
Penutur berbicara dengan
sinis.
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan nada yang
terdengar menyepelekan.
Penutur berusaha
menyetarakan pemikiran mitra
tutur dengan orang yang sudah
tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggurui penutur yang jelas usianya lebih dewasa
dari mitra tutur.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja.
Penutur berbicara tanpa
melihat ke arah mitra tutur.
Penutur berbicara sermbari
tertawa mengejek.
11. (C11) Cuplikan Tuturan 28
P : “Mah, kalau
aku punya cewek
tipenya kayak gimana,
Mah?”
MT 1 : “Lha yo nggak
tau aku.”
P : “Yaa sifatnya
tu kayak gimana?”
MT 1 : “Yang penting
nek cewek ki
orangnya harus sama
orang tua, sama laki-
laki jangan terlalu
ketinggian, orangnya
kudu ramah, dadi
orang ya harus
sesrawungan sama
warga, sama
tetangga.”
MT 2 : “Wooohh, opo
kui koyo ngono ki.”
P : “Wah opo,
kono koe ki cah
cilik!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa cah
cilik.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: wah.
Percakapan yang terjadi saat jam pulang sekolah
dalam suasana santai.
Penutur, MT 1, dan MT2 sedang berkumpul di
ruang keluarga. Mereka saling berbagi cerita.
Terutama penutur yang lebih senang bercerita
kepada MT 1.
Saat penutur dan MT1 bercerita tentang teman
dekat yang dikagumi oleh penutur, tiba-tiba MT2
memotong pembicaraan dengan maksud bercanda.
Penutur yang merasa terganggu kemudian
melontarkan kata-kata kepada MT 2.
Penutur duduk berhadapan dengan MT 1 dan MT 2.
Penutur menanggapi perkataan MT2.
Penutur seorang anak laki-laki, semester 4 berusia
20 tahun, MT 1 seorang ibu berusia 45 tahun, dan
MT 2 seorang anak perempuan berusia 11 tahun.
Penutur adalah kakak dari MT 2.
Tujuan: menyuruh MT agar tidak mencampuri
urusannya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 berlari meninggalkan
penutur dan MT 1.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada MT
2 dengan keras.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah MT 2.
Penutur berbicara kepada MT
2 dengan tatapan mata
terbelalak.
Penutur kurang berkenan
dengan keberadaan MT 2 di
dekatnya sehingga
menyuruhnya pergi.
12. (C12) Cuplikan Tuturan 29
MT : “Pak, minta
Intonasi seru
Tekanan: keras
Saat penutur dan mitra tutur berada di pendhopo
rumah. Menikmati suasana santai sore hari.
Ketika sedang berbincang-bincang, mitra tutur
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
uang untuk beli
jaket!”
P : “Jaket aja
sampai 15 lebih.
Kayak artis aja!”
pada frasa kayak
artis aja.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
aja, kayak.
meminta uang kepada penutur untuk keperluan
membeli pakaian.
Penutur yang terkejut kemudian menanggapi
permintaan mitra tutur dengan sedikit kesal, karena
mitra tutur selalu meminta uang untuk hal-hal yang
kurang penting.
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur menjawab permintaan mitra tutur.
Penutur laki-laki, bapak berusia 50 tahun dan mitra
tutur anak perempuan yang duduk di bangku
perguruan tinggi semester 4 berusia 20 tahun.
Penutur adalah bapak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menolak permintaan mitra tutur
dengan nada kesal.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal kemudian
meninggalkan penutur begitu saja.
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berkata kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur berusaha
membandingkan mitra tutur
dengan public figur di layar
televisi.
13. (C13) Cuplikan Tuturan 30
MT: “Iki pie to
ngitunge?”
P : “Huu bodoh,
raiso ngitung!!”
MT : “Yo ben.”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata bodoh.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu frasa
raiso ngitung.
Kata fatis:huu
Percakapan yang terjadi di teras rumah penutur,
pada hari Kamis, 13 Juni 2013, pukul 13.10 WIB.
Ketika pulang dari membeli sesuatu di warung,
penutur dan mitra tutur terdengar bercakap-cakap.
Mitra tutur terlihat kebingungan menghitung uang
kembalian dari warung tadi, kemudian penutur
berusaha menjelaskan kepada mitra tutur sambil
melontarkan kata-kata untuk mengungkapkan
kekesalannya.
Penutur berdiri di samping mitra tutur.
Penutur menanggapi tingkah laku mitra tutur yang
terlihat kebingungan.
Penutur dan mitra tutur perempuan berusia 7 tahun
dan 5 tahun. Penutur adalah kakak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekesalannya
kepada mitra tutur karena mitra tutur masih
kesulitan menghitung.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur menjawab sekenanya
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berkata kepada mitra
tutur dengan keras.
Penutur berkata sembari
memegang kepala mitra tutur.
Penutur berkata di hadapan
beberapa orang.
Perkataan penutur terdengar
sangat menyepelekan
kemampuan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai upaya untuk membela diri.
14. (C14) Cuplikan Tuturan 31
P : “Cucunya kok
cilik.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada kok cilik.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu cilik.
Kata fatis: kok.
Percakapan yang terjadi saat penutur melewati
depan rumah mitra tutur sepulang dari sawah,
Kamis, 13 Juni 2013, pukul 15.15 WIB.
Mitra tutur merupakan cucu dari penutur. Selain
penutur dan mitra tutur, terdapat juga anak serta
menantu dari penutur.
Mereka sedang bercengkerama di teras rumah.
Penutur secara spontan berkata kepada mitra tutur
dengan nada mengejek sambil tersenyum.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur mengomentari postur tubuh mitra tutur.
Penutur perempuan, ibu berusia 55 tahun dan mitra
tutur seorang anak laki-laki berusia 4 tahun. Penutur
adalah nenek dari penutur.
Tujuan: penutur mengomentari postur tubuh mitra
tutur yang terlihat sangat kecil.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur menangis.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
keras.
Penutur berbicara kepada mitra
tutur sembari tertawa
mengejek.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga yang lain.
Penutur berbicara sembari
berjalan.
Perkataan penutur
mengakibatkan mitra tutur
menangis.
15. (C15) Cuplikan Tuturan 32
P : “Hei kamu tu
dikucir rambutnya,
nanti nek kuliah
budeg lho!”
MT : (diam saja)
Intonasi perintah
Tekanan: keras
pada budeg lho.
Nada tutur :
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu nek.
Dan menggunakan
kata tidak baku,
yaitu dikucir, tu,
Percakapan yang terjadi saat penutur dan mitra
tutur berada di rumah pada siang hari dalam
suasana santai.
Mitra tutur sedang bermain di teras rumah bersama
teman-temannya.
Penutur sedikit terganggu ketika melihat mitra
tutur selalu mengurai rambut dan terkesan kurang
rapi. Sedangkan mitra tutur sendiri merasa nyaman
dengan rambutnya.
Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur.
Penutur duduk di belakang mitra tutur.
Penutur menanggapi penampilan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
seorang ibu berusia 57 tahun dan mitra tutur
seorang anak perempuan kelas 3 SD. Penutur
adalah nenek dari mitra tutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyarankan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan keras.
Penutur berbicara kepada mitra
tutur di hadapan teman-
temannya.
Penutur berusaha memberi
saran dengan menggunakan
kata ‘budeg’ untuk
meyakinkan mitra tutur agar
mau mengikat rambutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
budeg.
Kata fatis: hei, lho.
Tujuan: penutur menanggapi sekaligus memberi
saran atas penampilan mitra tutur yang terkesan
kurang rapi, karena rambutnya yang selalu terurai
berantakan.
Tindak verbal: direktif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tidak mengindahkan
perintah penutur.
Penutur berbicara sembari
memegang kepala mitra tutur.
16. (C16) Cuplikan Tuturan 33
(Ketika penutur dan
MT sedang
berbincang-bincang,
tiba-tiba MT2
berjalan melewati
keduanya. Penutur
kemudian berkata)
P : “Itu adik saya
yang kepala desa itu
tapi itu yang paling
bodoh itu.”
MT2: “Adik kandung,
Bu?”
P : “Ndak, anaknya
tante. Itu kakaknya
dokter, ahli kimia di
Jakarta.
Intonasi berita
Tekanan: keras
pada frasa paling
bodoh.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
tapi.
Percakapan yang terjadi ketika penutur sedang
berbincang-bincang dengan MT 1 di pendhopo
rumah, Senin, 10 Juni 2013 sekitar pukul 12.47 –
13.36 WIB.
Tiba-tiba MT 2 selaku adik keponakan dari penutur
lewat depan pendhopo dan tersenyum.
Penutur secara spontan melontarkan kata-kata
kepada MT 1 dengan maksud mengejek sambil
menunjuk ke arah MT 2 yang sedang berjalan.
Penutur duduk di depan MT1.
Penutur menceritakan kelemahan MT 2.
Penutur dan MT 1 perempuan. Penutur seorang ibu
berusia 63 tahun, MT 1 adalah tamu, dan MT 2
seorang laki-laki berusia 40 tahun. Penutur adalah
kakak keponakan dari MT 2.
Tujuan: penutur mengejek MT 2 dengan
menceritakan kelemahan MT 2 di depan MT 1.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi : MT 2 pergi begitu saja.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
sinis.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah MT 2.
Penutur berbicara sembari
tersenyum sinis.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang
berkunjung.
Penutur dengan sengaja
menceritakan kelemahan dari
MT 2.
17. (C17) Cuplikan Tuturan 34
MT 1: “Kalau Mbak
yang ini??”
P : “Ini adik
keponakan saya, tapi
dia gembrotnya
Intonasi berita
Tekanan: keras
pada kata
gembrotnya.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
Percakapan yang terjadi ketika penutur sedang
berbincang-bincang dengan MT 1 di pendhopo
rumah, Senin, 10 Juni 2013 sekitar pukul 12.47 –
13.36 WIB.
Beberapa saat kemudian, MT 2 selaku adik
keponakan ipar dari penutur datang membawakan
minum untuk penutur dan MT 1.
Penutur melontarkan kata-kata untuk
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kayak gitu. nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
tapi, gembrotnya,
kayak, dan gitu.
Menggunakan gaya
bahasa yang
terlihat pada
penggunaan kata
gembrot.
mengomentari postur tubuh MT 2 dengan maksud
bercanda.
Penutur duduk di dekat MT 1 dan MT 2.
Penutur mengomentari postur tubuh MT 2.
Penutur, MT 1, dan MT 2 perempuan. Penutur
seorang ibu berusia 63 tahun, MT 1 adalah tamu,
dan MT 2 berusia 35 tahun. Penutur adalah kakak
keponakan ipar dari MT 2.
Tujuan: penutur mengejek postur tubuh MT 2 yang
terlihat kurang begitu baik.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi : mitra tutur tersenyum dan pergi
meninggalkan penutur juga MT 1.
sinis.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah MT 2.
Penutur berbicara sembari
tersenyum sinis.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang
berkunjung.
Penutur dengan sengaja
mengejek postur tubuh MT 2
dengan menggunakan kata
‘gembrot’.
18. (C18) Cuplikan Tuturan 35
P : “Ki lho Mas,
ngerti to Undang-
undange?”
MT : “Ngerti, saben
dino weruh kok.”
P : “Wooo, yowis
garapke yo!!”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada frasa Undang-
undange.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis : lho, to.
Percakapan yang terjadi saat penutur berada di
rumah bersama mitra tutur pada sore hari.
Penutur meminta bantuan kepada mitra tutur untuk
menyelesaikan PR.
Penutur meminta bantuan dengan cara sedikit
menyindir mitra tutur yang notabene mahasiswa
fakultas hukum.
Mitra tutur sedikit kesal dengan sikap penutur.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur kelas 2
SMP, berusia 14 tahun dan mitra tutur mahasiswa
semester 4, berusia 19 tahun. Penutur adalah adik
dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha menyindir mitra tutur
yang sebenarnya sudah fasih mempelajari ilmu
hukum.
Tindak verbal : ekspresif.
Tindak perlokusi : mitra tutur sedikit kesal dan
memberi jawaban untuk membela diri
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara sembari
tersenyum mengejek.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur meminta bantuan
tanpa rasa sungkan sedikit pun.
Penutur meminta bantuan
dengan cara yang kurang
sopan, yakni melempar buku
ke arah mitra tutur.
Penutur sengaja melontarkan
kata ‘Undang-undang’ kepada
mitra tutur yang notabene
adalah mahasiswa fakultas
hukum.
19. (C19) Cuplikan Tuturan 36 Intonasi berita Percakapan yang terjadi saat penutur dan mitra Kategori Ketidaksantunan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Ibu itu pelit,
aku ngga dikasih
uang.”
MT : “Nggo ngopo
to, Dik? Apa
gunanya?”
P : “Yaa pokoknya
buat macam-macam,
Bu.”
Tekanan: lunak
pada kata pelit.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
ngga, dikasih.
tutur berada di ruang tamu pada siang hari.
Penutur berusaha meminta uang tambahan kepada
mitra tutur, namun mitra tutur tidak memberinya.
Hal tersebut mengakibatkan penutur menjadi
sedikit kesal.
Penutur melontarkan kata-kata untuk
mengungkapkan kekesalannya kepada mitra tutur.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur seorang
siswi SMP kelas VII berusia 13 tahun dan mitra
tutur seorang ibu berusia 39 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekesalannya
ketika mitra tutur tidak memberinya uang.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menanyakan kembali
kepada penutur perihal kegunaan uang tersebut.
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
ketus.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa
melihat ke arah mitra tutur.
Penutur tidak henti-hentinya
menggerutu karena mitra tutur
tidak memberi uang.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga lain.
20. (C20) Cuplikan Tuturan 37
P : “Ya ampun
kalian itu gadis,
dandan dong!”
MT : “Ngapain
dandan? Ih, Ibu juga
ga dandan.”
Intonasi perintah
Tekanan: keras
pada kata gadis.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
dandan.
Kata fatis: dong.
Percakapan yang terjadi ketika penutur dan mitra
tutur berada di ruang keluarga pada sore hari dalam
keadaan santai.
Mitra tutur terlihat sedang bersiap-siap hendak
pergi keluar rumah.
Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur
dengan sindiran agar mitra tutur mau
memperhatikan penampilan, mengingat usianya
yang sudah beranjak dewasa.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur seorang
ibu berusia 64 tahun dan mitra tutur berusia 28
tahun. Penutur adalah ibu dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha memberi saran kepada
mitra tutur agar mitra tutur mau memperhatikan
penampilan, khususnya wajah.
Tindak verbal:direktif.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyarankan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur sembari tertawa
mengejek.
Penutur berbicara sembari
menatap mitra tutur sinis.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga lain.
Penutur menggunakan kata
‘gadis’ untuk menyadarkan
mitra tutur agar
memperhatikan penampilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: mitra tutur menanggapi saran dari
penutur dengan jawaban sekenanya
21. (C21) Cuplikan Tuturan 38
MT : “Ya ampun
kalian itu gadis,
dandan dong!”
P : “Ngapain
dandan? Ih, Ibu juga
ga dandan.”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada frasa ga
dandan.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi : bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
ngapain, dandan,
ga.
Kata fatis :ih.
Percakapan yang terjadi ketika penutur dan mitra
tutur berada di ruang keluarga pada sore hari.
Penutur berpamitan kepada mitra tutur karena ingin
menghadiri acara pernikahan teman.
Melihat penampilan penutur yang polos, mitra tutur
meminta penutur untuk memperhatikan kecantikan,
mengingat usianya yang sudah beranjak dewasa.
Namun,penutur justru menolak permintaan mitra
tutur.
Penutur duduk dekat mitra tutur
Penutur menanggapi permintaan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur berusia
28 tahun dan mitra tutur ibu berusia 64 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha membela diri ketika
disuruh berdandan, karena menurut penutur, mitra
tutur sendiri tidak pernah memperhatikan wajah.
Tindak verbal: komisif
Tindak perlokusi: mitra tutur memilih diam sembari
menggelengkan kepala.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Menolak
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
sinis.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur tidak mengindahkan
saran dari mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
berlalu meninggalkan mitra
tutur.
22. (C22) Cuplikan Tuturan 39
P : “Pak, aku
kemarin minta sepatu
baru lho.”
MT : “Ya, besok ya,
Dik.”
P : “Ah, bapak ki
tukang ngapusi!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata ngapusi.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis:ah.
Percakapan yang terjadi ketika penutur dan mitra
tutur berada di ruang keluarga.
Mitra tutur pernah berjanji kepada penutur bahwa
akan membelikan sesuatu.
Melihat kenyataan bahwa mitra tutur tidak juga
membelikan, penutur berusaha menagih janji
kepada mitra tutur.
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki, duduk di bangku SMK kelas X
berusia 16 tahun dan mitra tutur bapak berusia 45
tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menagih janji yang pernah
diucapkan oleh mitra tutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan lugas dan berani.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur menggerutu secara
terus menerus.
Penutur berbicara di hadapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak verbal : ekspresif
Tindak perlokusi : mitra tutur diam saja.
anggota keluarga yang lain.
Penutur berusaha
menyimpulkan sesuatu
berdasarkan fakta yang terjadi.
Penutur menyamakan sifat
mitra tutur dengan orang yang
sering berbohong.
23. (C23) Cuplikan Tuturan 40
MT : “Koe sesok
dadi pegawai negeri
wae, Nduk!”
P : “Dadi
pegawai negeri
bapak ra dadi opo-
opo kok! Aku emoh
pegawai negeri!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata emoh.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis:kok.
Percakapan yang terjadi ketika penutur dan mitra
tutur berbincang-bincang di ruang keluarga dalam
suasana serius.
Mitra tutur memberi saran kepada penutur agar
menjadi PNS yang memiliki kejelasan masa depan.
Penutur kurang sependapat dengan mitra tutur,
kemudian penutur mengemukakan alasan
ketidaksetujuannya kepada mitra tutur.
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur menjawab saran dari mitra tutur.
Penutur perempuan berusia 28 tahun dan mitra tutur
laki-laki berusia 62 tahun. Penutur adalah anak
perempuan dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha menolak saran dari mitra
tutur.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur kecewa dan diam saja.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menolak
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan sinis.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur tidak mengindahkan
saran yang diberikan oleh
mitra tutur.
Perkataan penutur terdengar
merendahkan profesi mitra
tutur.
24. (C24) Cuplikan Tuturan 41
MT : “Kalau pulang
sekolah tu bantu-bantu
orang tua dulu! Jangan
lupa shalat! Ngga
langsung main sampai
kayak gitu!! Sing
ngerti kahanan!”
P : “Woo nenek
lampir!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa nenek
lampir.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi:
Percakapan yang terjadi saat penutur dan mitra
tutur berada di rumah.
Mitra tutur berusaha menasihati penutur yang
sering membangkang terhadap mitra tutur.
Mendengar nasihat mitra tutur, penutur menjadi
sangat kesal dan melontarkan kata-kata yang tidak
santun, sehingga mitra tutur tersinggung.
Penutur seorang anak laki-laki kelas VII SMP
berusia 13 tahun dan mitra tutur seorang ibu
berusia 40 tahun. Penutur merupakan anak dari
mitra tutur.
Kategori Ketidaksantunan :
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan keras dan ketus.
Penutur tidak mengindahkan
nasihat dari mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan
bahasa populer.
Kata fatis: woo
Tujuan: penutur mengungkapkan kemarahannya
terhadap mitra tutur, karena merasa bahwa mitra
tutur terlalu mengatur dirinya.
Tindak verbal : ekspresif.
Tindak perlokusi : mitra tutur pergi meninggalkan
penutur.
Penutur berbicara kepada
orang yang lebih tua.
Penutur melontarkan kata-kata
umpatan.
Penutur berusaha menyamakan
mitra tutur dengan sosok
‘nenek lampir’ yang dianggap
galak dan banyak bicara.
25. (C25) Cuplikan Tuturan 42
P : “Mbayar
larang-larang kon
sinau ngeyel!!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata ngeyel.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan yang terjadi ketika penutur sedang
menyuci pakaian di halaman, sedangkan mitra tutur
asik bermain di teras rumah.
Tuturan terjadi di teras rumah pada sore hari. Rabu,
10 April 2013. Sekitar pukul 16.45 – 17.35 WIB.
Selain penutur dan mitra tutur, terdapat juga
anggota keluarga lain dan tamu yang sedang
berkunjung.
Penutur menghampiri mitra tutur dan berusaha
memperingatkannya untuk belajar. Namun, mitra
tutur tidak mengindahkan peringatan dari penutur.
Penutur perempuan, seorang ibu berusia 45 tahun
dan mitra tutur laki-laki seorang siswi SMP VIII
berusia 14 tahun. Penutur merupakan ibu dari mitra
tutur.
Tujuan: penutur menyuruh MT agar rajin belajar.
Tindak verbal : ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja dan masuk
ke dalam rumah.
Kategori Ketidaksantunan:
Melecehkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan
ketus.
Penutur berbicara dengan
keras.
Penutur berbicara langsung di
hadapan anggota keluarga lain
dan tamu yang datang.
Penutur berbicara sembari
memegang kepala mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
menatap mitra tutur dengan
tatapan mata terbelalak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENGHILANGKAN MUKA
NO KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PERSEPSI KETIDAK-
SANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. (D1) Cuplikan Tuturan 43
MT : (terlihat
menambah porsi
makan berulang kali)
P : “Ngelih po
doyan?”
MT : (tersenyum
malu, namun tetap
menghabiskan
makanannya).
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada kata doyan.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan antaranggota keluarga, ketika penutur
bersama mitra tutur berada di ruang makan pada
siang hari dalam suasana santai.
Penutur berusaha menyindir mitra tutur yang
terlihat menambah porsi makan berkali-kali.
Mitra tutur hanya tersenyum malu menanggapi
perkataan penutur.
Penutur duduk di hadapan mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur seorang
mahasiswa semester 4 berusia 19 tahun dan mitra
tutur siswa SMP kelas VIII berusia 14 tahun.
Penutur adalah kakak kandung dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menyindir mitra tutur yang
terlihat menambah porsi makan berkali-kali.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur tersenyum karena
malu dan tetap menghabiskan makanannya.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan datar.
Penutur sudah mengetahui bahwa
mitra tutur memiliki hobi makan.
Penutur dengan sengaja ingin
membuat mitra tutur malu.
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan tersenyum sinis.
2. (D2) Cuplikan Tuturan 44
P : “Lehmu kuliah
Intonasi tanya
Tekanan: keras
Percakapan yang terjadi ketika penutur sedang
bersama mitra tutur di ruang keluarga sore hari
dalam suasana santai.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ki arep mbok
rampungke ora? Nek
ora po rep ndue bojo
wae?”
pada ndue bojo
wae.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Penutur bertanya kepada mitra tutur tentang
studinya yang tak kunjung usai.
Penutur bertanya kepada mitra tutur dengan nada
menyindir, sehingga mengakibatkan mitra tutur
malu.
Penutur duduk di hadapan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
berusia 60 tahun dan mitra tutur seorang gadis
berusia 25 tahun. Penutur adalah ibu dari mitra
tutur.
Tujuan penutur: mengingatkan MT agar segera
menyelesaikan studinya.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja dan
tersenyum malu.
Subkategori Ketidaksantunan :
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada mitra
tutur dengan lugas tanpa
mempedulikan perasaan mitra
tutur.
Penutur berbicara dengan sinis.
Penutur dengan sengaja
melontarkan pertanyaan sindiran
kepada mitra tutur yang studinya
tak kunjung usai.
Mitra tutur merasa malu dengan
pertanyaan penutur.
3. (D3) Cuplikan Tuturan 45
MT 1: “Mumpung
bapak durung tuwo,
mbok ndang nikah,
Le!”
P : “Ah bapak
kae wis tuwo yo roso
kok!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa roso
kok.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan yang terjadi dalam keluarga, saat
penutur sedang bersama MT 1 dan MT 2 di ruang
keluarga.
MT1 berkata kepada penutur agar penutur segera
menikah. Namun, penutur justru menanggapi
saran dari MT 1 dengan kata-kata yang membuat
MT 2 merasa malu.
Penutur duduk di dekat MT 1 dan MT 2.
Penutur menanggapi perkataan MT 1.
Penutur laki-laki berusia 24 tahun, MT 1
perempuan, ibu berusia 46 tahun, dan MT 2 laki-
laki, bapak berusia 62 tahun. Penutur adalah anak
dari MT 1 dan MT2.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan lugas
tanpa memahami suasana hati
MT 2.
Penutur berbicara dengan keras.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kata fatis: ah,
kok.
Tujuan: penutur menolak anjuran MT 1 dengan
nada mengejek, sehingga membuat MT 2 merasa
malu.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 diam saja karena malu.
Penutur dengan sengaja
melontarkan kata-kata yang
mengakibatkan MT 2 malu.
Penutur berbicara di hadapan
MT1 dan MT2.
4. (D4) Cuplikan Tuturan 46
P : “Mak, satus ki
nol’e piro?”
MT : “Piro yo?
10?”
(semua anggota
keluarga tertawa).
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada nol’e piro.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan antara anggota keluarga saat
mengerjakan pekerjaan rumah di ruang keluarga.
Penutur dan mitra tutur sedang berdiskusi untuk
menyelesaikan PR. Selain penutur dan mitra
tutur, terdapat beberapa anggota keluarga yang
lain di tempat tersebut.
Penutur sengaja bertanya kepada mitra tutur,
padahal penutur sudah mengetahui keterbatasan
mitra tutur, yakni tidak dapat membaca.
Mendengar pertanyaan tersebut, mitra tutur
memberikan jawaban sekenanya
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki, siswa SD kelas 4 berusia 12
tahun dan mitra tutur perempuan, ibu berusia 42
tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: mengajak mitra tutur bercanda.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam saja karena
malu tidak dapat membantu menyelesaikan PR,
kemudian pergi tidur.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada mitra
tutur dengan lugas.
Penutur bertanya kepada mitra
tutur di hadapan anggota
keluarga yang lain.
Penutur dengan sengaja
melontarkan pertanyaan agar
mitra tutur kebingungan.
Penutur sengaja bertanya kepada
orang yang memiliki kelemahan
dalam baca tulis.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
5. (D5) Cuplikan Tuturan 47
Intonasi seru
Percakapan dalam keluarga ketika sedang
menonton televisi bersama pada malam hari.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : “Huuu.. kui
film’e ngomong opo
to? Mbok ngomong
wae malah jelas!”
P : “Salah’e raiso
moco!!”
MT : “Ah yowis,
turu wae.”
Tekanan: keras
pada kata salah’e
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Acara yang ditonton saat itu adalah film
berbahasa asing yang tentu dilengkapi dengan
terjemahan.
Kondisi mitra tutur yang tidak dapat membaca
mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami
acara televisi, kemudian mitra tutur bertanya
kepada penutur tentang isi film tersebut.
Penutur justru menjawab pertanyaan mitra tutur
dengan nada kesal.
Penutur duduk berdekatan dengan mitra tutur.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
seorang siswi kelas XII SMK, berusia 19 tahun
dan mitra tutur seorang ibu rumah tangga berusia
42 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kekesalannya
kepada mitra tutur dengan cara mengejek karena
mitra tutur tidak dapat membaca.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menjadi kesal
karena merasa malu dan pergi tidur.
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur menanggapi pertanyaan
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur sengaja tidak menjawab
pertanyaan mitra tutur padahal
penutur sudah mengetahui kalau
mitra tutur kesulitan membaca.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga yang lain.
Penutur dengan sengaja membuat
mitra tutur malu.
6. (D6) Cuplikan Tuturan 48
P : “Alasanmu milih
dia tu karena apa to,
Nduk?”
MT : “Yoo aku
seneng kae kok, Buk.”
Intonasi tanya
Tekanan: keras
pada kata
beristri.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
Percakapan yang terjadi saat penutur sedang
bersama mitra tutur di ruang keluarga.
Penutur bertanya kepada mitra tutur tentang
alasan mitra tutur menikahi laki-laki yang sudah
beristri. Mendengar pertanyaan penutur, mitra
tutur menjadi malu dan enggan menjawab
pertanyaan tersebut. Mitra tutur hanya
Kategori Ketidaksantunan :
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Wong yang
masih bujang aja
banyak kok kamu tu
milih yang udah
beristri to nduk?”
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu pada
partikel wong, to,
dan nduk.
Penggunaan kata
tidak baku, yaitu
aja, tu, milih,
udah.
Kata fatis: kok,
to.
memberikan jawaban sekenanya.
Penutur sedikit kesal dengan jawaban mitra tutur.
Kemudian penutur melontarkan kata-kata dengan
maksud menyindir mitra tutur.
Penutur duduk di sebelah mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur perempuan. Penutur
berusia 60 tahun dan mitra tutur berusia 30 tahun.
Penutur adalah ibu dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan rasa kecewanya
kepada mitra tutur, karena mitra tutur menikah
dengan laki-laki yang sudah beristri. Pertanyaan
penutur mengakibatkan mitra tutur merasa malu.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur hanya tersenyum
malu
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur sengaja melontarkan
kata-kata dengan maksud
menyadarkan mitra tutur akan
pilihannya.
Perkataan penutur
mengakibatkan mitra tutur malu.
7. (D7) Cuplikan Tuturan 49
MT: “Aku sering kok
Ma, diejek temanku”
P : “Terus lehmu
jawab pie, Le?”
MT: “ Yo lehku jawab
tak banyoli wae. Ora,
aku ra seneng cewek,
aku seneng koe.”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada frasa seneng
cewek tenan ora.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
Percakapan antara penutur dan mitra tutur pada
siang hari saat berada di rumah.
Penutur dan mitra tutur sudah terbiasa berbagi
cerita ketika suasana santai.
Penutur mengejek dan menyindir mitra tutur
karena mitra tutur belum juga mempunyai pacar.
Penutur duduk di sebelah mitra tutur.
Penutur bertanya kepada mitra tutur.
Penutur seorang ibu berusia 42 tahun dan mitra
tutur seorang anak laki-laki, semester 4 berusia
20 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: menyadarkan MT agar segera memiliki
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya kepada mitra
tutur dengan sinis.
Penutur bertanya kepada mitra
tutur sembari tersenyum
mengejek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
P : “Tapi aku tanya
Dik, koe ki seneng
cewek tenan ora?”
MT : “ Yo namanya
manusia normal, Ma.
Yo suka tapi belum
saatnya gitu.”
istilah bahasa
Jawa, yaitu koe,
ki, tenan, ora dan
menggunakan
kata tidak baku,
yaitu tapi,
seneng, cewek.
pacar.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menjawab
pertanyaan penutur dengan santai.
Penutur sengaja bertanya kepada
orang yang sudah cukup dewasa
tetapi belum memiliki teman
dekat (pacar).
Penutur tidak hanya bertanya di
hadapan mitra tutur, tetapi juga di
hadapan anggota keluarga lain.
8. (D8) Cuplikan Tuturan 50
P : “Mbok nek
ndue anak ki ora
akeh-akeh. Mosok
manak ping 6. Koyo
pitik wae!”
MT : “Yo biar to,
Pak. Banyak anak,
banyak rejeki.”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada koyo pitik
wae.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
tinggi.
Diksi : diksi:
bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: mbok.
Saat penutur dan mitra tutur berada di ruang
keluarga pada sore hari. Penutur berusaha
menegur mitra tutur yang telah mempunyai 6
anak. Jumlah yang terlalu banyak menurut
pandangan penutur.
Mitra tutur tersenyum malu mendengar perkataan
penutur, kemudian mitra tutur berusaha
memberikan jawaban untuk membela diri.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur laki-laki, seorang bapak berusia 75 tahun
dan mitra tutur seorang perempuan berusia 45
tahun. Penutur adalah bapak dari mitra tutur.
Tujuan: menyadarkan MT agar tidak menambah
jumlah anak lagi.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur merasa malu
kemudian memberikan jawaban sebagai upaya
pembelaan diri.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur berbicara di hadapan
anggota keluarga lain.
Penutur melontarkan kata-kata
yang seolah-olah menyetarakan
sifat manusia dengan binatang.
Penutur berbicara tanpa
memahami suasana hati mitra
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9. (D9) Cuplikan Tuturan 51
MT 1 : “Kalau Mas
ini putranya Bapak?”
P : “Iya, itu yang
masih belum laku
mbak, soalnya
pengangguran.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada kata
pengangguran.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
kata tidak baku,
yaitu soalnya.
Percakapan yang terjadi saat penutur sedang
berbincang-bincang bersama MT 1 di ruang tamu
rumah penutur.
Tuturan terjadi pada hari Senin, 13 Mei 2013,
sekitar pukul 12.10 – 12.35 WIB.
Tiba-tiba MT 2 berjalan dari dalam membawakan
minuman untuk MT 1.
MT 1 bertanya kepada penutur perihal MT 2.
Tiba-tiba penutur melontarkan jawaban bahwa
MT2 pengangguran sembari menunjuk MT 2
dengan nada mengejek dan disertai tawa yang
terbahak.
Penutur duduk di hadapan MT 1 dan MT 2.
Penutur berkata kepada MT 1.
Penutur seorang bapak berusia 50 tahun, MT 1
seorang tamu, dan MT 2 seorang anak laki-laki
berusia 23 tahun. Penutur adalah bapak dari MT 2.
Tujuan: menyuruh MT untuk segera mencari
pekerjaan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 terlihat sedikit malu,
hanya tersenyum, kemudian pergi ke belakang.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang datang.
Penutur berbicara sembari
tertawa.
10. (D10) Cuplikan Tuturan 52
P : “Arep mencari
sendiri atau
dicarikan?”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada dicarikan.
Percakapan yang terjadi saat penutur sedang
berbincang-bincang dengan MT 1 di ruang tamu
rumah penutur.
Tuturan terjadi pada hari Selasa, 4 Juni 2013,
sekitar pukul 15.30 – 16.12 WIB.
Tiba-tiba MT 2 berjalan dari dalam menuju ruang
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(mitra tutur tersenyum
malu) Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu arep.
tamu membawakan minuman untuk MT 1.
Kemudian MT 2 duduk di sebelah penutur. Tiba-
tiba penutur melontarkan pertanyaan kepada MT 2
dengan maksud mengajak bercanda.
Penutur duduk di hadapan MT 1 dan di sebelah
MT 2.
Penutur bertanya kepada MT 2 .
Penutur laki-laki, bapak berusia 48 tahun, MT 1
adalah tamu, dan MT 2 perempuan, mahasiswi
semester 8, berusia 22 tahun. Penutur adalahbapak
dari MT 2.
Tujuan: penutur bertanya kepada MT 2 dengan
maksud mengajak bercanda. Pertanyaan penutur
mengakibatkan MT 2 merasa malu.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 hanya diam dan
tersenyum malu sembari menunduk.
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur bertanya dengan lugas
tanpa mempedulikan suasana hati
MT 2.
Penutur bertanya kepada MT 2
langsung di hadapan tamu yang
datang.
Penutur bertanya sembari
tersenyum menyindir.
Penutur bertanya sembari melirik
ke arah mitra tutur dengan
maksud mengejek.
Penutur sengaja menyindir mitra
tutur yang sudah cukup dewasa
tetapi belum juga memiliki teman
dekat (pacar).
11. (D11) Cuplikan Tuturan 53
MT 2 : “Mbak’nya
ambil S1 yaa?”
MT 1 : “Iya, Pak.”
P : “Kalau bapak
itu hanya es dua
bakso satu.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada es dua
bakso satu.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Percakapan yang terjadi saat penutur sedang
berbincang-bincang dengan MT 1 dan MT 2 di
ruang tamu dalam suasana santai.
Tuturan terjadi di ruang tamu pada hari Senin, 10
Juni 2013, sekitar pukul 13.51- 14.03 WIB.
MT 2 bertanya kepada MT 1 perihal pendidikan
yang ditempuh selama duduk di bangku perguruan
tinggi.
MT 1 memberikan jawaban kepada MT 2. Tiba-
tiba penutur memotong pembicaraan dengan
spontan menceritakan pendidikan MT 2 dengan
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan lugas.
Penutur berbicara sembari
tertawa mengejek.
Penutur berbicara langsung di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diksi: bahasa
populer.
nada mengejek dan disertai tawa yang terbahak.
Penutur berkata kepada MT 1.
Penutur duduk di sebelah MT 1 dan MT 2.
Penutur perempuan, ibu rumah tangga berusia 60
tahun, MT 1 adalah tamu, dan MT 2 laki-laki,
bapak berusia 75 tahun. Penutur adalah istri dari
MT 2.
Tujuan: penutur menceritakan MT 2 yang
berpendidikan rendah dengan maksud mengajak
bercanda.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT 2 merasa malu namun ikut
tertawa.
hadapan tamu yang datang.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur melontarkan kata-kata
dengan maksud membandingkan
‘s’ dalam kata sarjana dengan ‘s’
(es) sebuah minuman.
Penutur dengan sengaja membuat
mitra tutur malu.
12. (D12) Cuplikan Tuturan 54
P : “Nek sing niki
gembeng.”
MT : “Wajar, Bu.
Namanya juga anak-
anak.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada kata
gembeng.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: diksi:
bahasa
nonstandar
dengan
Percakapan yang terjadi saat penutur sedang
berbincang-bincang dengan MT 1 di ruang tamu.
Selain MT 1, ada pula MT 2 di tempat tersebut.
Tuturan terjadi pada hari Rabu, 1 Mei 2013,
sekitar pukul 14.27 – 15.06 WIB.
Penutur menceritakan kebiasaan MT 2 yang
mudah menangis. MT 2 hanya menunduk malu
sambil terus ‘menggelendot’ manja di samping
penutur.
Penutur duduk di hadapan MT 1 dan di sebelah
MT 2.
Penutur menegaskan sikap MT 2 yang mudah
menangis.
Penutur, MT 1, dan MT 2 perempuan. Penutur
berusia 53 tahun, MT 1 adalah tamu, dan MT 2
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Menegaskan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan lugas
tanpa memperhatikan suasana
hati mitra tutur.
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang datang.
Penutur berbicara sembari
melirik ke arah mitra tutur
dengan maksud mengejek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan
bahasa Jawa.
seorang anak kecil berusia 4 tahun. Penutur adalah
nenek dari MT 2.
Tujuan: penutur menceritakan sikap MT 2 yang
mudah menangis.
Tindak verbal: representatif.
Tindak perlokusi: MT 2 menunduk malu.
Penutur dengan sengaja
menceritakan keburukan mitra
tutur di hadapan orang lain.
13. (D13) Cuplikan Tuturan 55
P : “Kok koyo
gunung’e , Pak?”
Intonasi tanya
Tekanan: lunak
pada kata
gunung.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: kok.
Percakapan yang terjadi saat penutur dan mitra
tutur sedang makan bersama di ruang makan pada
malam hari.
Penutur berkata kepada mitra tutur dengan nada
menyindir ketika mengetahui bahwa mitra tutur
mengambil porsi makan terlalu banyak.
Penutur duduk di depan mitra tutur.
Penutur menanggapi perbuatan mitra tutur.
Penutur perempuan, siswi SMK Kelas XII berusia
18 tahun dan mitra tutur laki-laki, bapak berusia
50 tahun. Penutur adalah anak perempuan dari
mitra tutur.
Tujuan penutur: agar MT berhenti menambah
porsi makan.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur diam dan
meneruskan makan.
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua dengan lugas.
Penutur berbicara di hadapan
beberapa anggota keluarga lain.
Penutur sudah mengetahui bahwa
porsi makan mitra tutur banyak,
namun sengaja melontarkan
pertanyaan demikian
Penutur berbicara sembari
tersenyum mengejek.
Penutur berusaha
menggambarkan porsi makan
mitra tutur yang terlampau
banyak dengan gunung yang
menjulang tinggi.
14. (D14) Cuplikan Tuturan 56
Intonasi perintah
Percakapan para petani saat bekerja di sawah. Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT 1: “Iki digowo
neng ngendi?”
P : “Kui kek’ke
juragane!”
MT 2 :
( tersenyum malu dan
melanjutkan
pekerjaannya).
Tekanan: keras
pada kata
juragane.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Tuturan terjadi di persawahan, daerah
Banguntapan, Bantul, pada hari Senin, 10 Juni
2013, sekitar pukul 11.11 – 12. 30 WIB.
Penutur, MT 1, dan MT 2 terlihat begitu sibuk
memanen hasil tanamnya.
MT 1 bertanya kepada penutur perihal tempat
meletakkan hasil panen. Penutur berkata kepada
MT 1 agar memberikan hasil panen kepada MT 2
yang empunya sawah.
Mendengar perkataan penutur, MT 2 hanya
tersenyum malu dan melanjutkan pekerjaannya.
MT 2 merasa malu karena disebut sebagai
‘juragan’.
Penutur berdiri di hadapan MT 1 dan MT 2.
Penutur berkata kepada MT 2 dengan maksud
mengajak bercanda.
Penutur, MT 1, dan MT 2 seorang laki-laki
berusia sekitar 45 – 50 tahun.
Tujuan: penutur menyindir MT 2 yang empunya
sawah, karena MT 2 terlihat begitu rajin
memindah hasil panen. Perkataan penutur
mengakibatkan beberapa orang yang ada di sawah
tertawa.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 hanya tersenyum malu
dan melanjutkan pekerjaannya.
Subkategori Ketidaksantunan :
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan sinis.
Penutur berbicara sembari
tersenyum mengejek.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
Penutur berbicara langsung di
hadapan orang banyak.
Penutur dengan sengaja membuat
mitra tutur malu.
Penutur menyebut mitra tutur
sebagai ‘juragan’ karena mitra
tutur yang memiliki sawah
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15. (D15) Cuplikan Tuturan 57
MT 1 : “Adik
namanya siapa??”
(MT 2 diam saja)
P : “Kayak
kucing lho itu mbak,
malu-malu.”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada frasa kayak
kucing.
Nada tutur:
penutur berbicara
dengan nada
rendah.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
kata tidak baku,
yaitu kayak.
Kata fatis: lho.
Percakapan yang terjadi pada hari Kamis, 13 Juni
2013, pukul 15.30 WIB.
Saat itu penutur berbincang-bincang dengan MT
1 di teras rumah penutur dalam suasana santai.
MT 2 tiba-tiba datang menghampiri penutur.
Kemudian, MT 1 bertanya kepada MT 2. Namun,
MT 2 hanya diam saja sambil ‘menggelendot’
manja kepada penutur.
Penutur kemudian menanggapi pertanyaan MT 1
dengan maksud membuat MT 2 jera.
Penutur duduk di damping MT 1 dan di depan
MT2.
Penutur menanggapi tingkah laku MT 2.
Penutur seorang ibu berusia 35 tahun, MT 1
adalah tamu, dan MT 2 seorang anak perempuan
berusia 6 tahun. Penutur adalah ibu dari MT 2.
Tujuan: penutur menjawab pertanyaan MT 1
sambil menanggapi tingkah laku MT 2 yang
pemalu.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: MT 2 menunduk malu
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan:
Mengejek
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara dengan lugas
tanpa mempedulikan perasaan
MT 2.
Penutur berusaha menyetarakan
sifat MT 2 yang pemalu dengan
sifat seekor binatang (kucing).
Penutur berbicara langsung di
hadapan tamu yang datang.
Penutur berbicara sembari
menatap MT 2 dengan maksud
mengejek.
Penutur berbicara sembari
mencubit lembut pipi MT 2.
16. (D16) Cuplikan Tuturan 58
MT 1 : “Pak’e...
Paaaakkkk...
Paaaakkkk!!!
MT 2 : “Kulo...”
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada frasa loro
untu.
Nada tutur:
Percakapan yang terjadi antara penutur, MT 1,
dan MT 2 di sawah pada siang hari. (Senin, 10
Juni 2013, sekitar pukul 11.30 – 12.30 WIB.
Selain penutur dan MT 1 terdapat pula MT 2 dan
beberapa petani lain yang terlihat sibuk memanen
padi.
MT 1 memanggil MT 2, kemudian MT 2 hanya
Kategori Ketidaksantunan:
Menghilangkan muka
Subkategori Ketidaksantunan :
Menyindir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT 1 : “Paaakkk... “
(MT 2 hanya diam)
P : “Loro untu
bapakmu.”
penutur berbicara
dengan nada
sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar
dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
menjawab dengan singkat sambil terus
melanjutkan pekerjaannya.
MT 1 kembali memanggil MT 2, bahkan
berulang-ulang. Namun, MT 2 hanya diam tanpa
mempedulikan panggilan MT 1.
Melihat MT 1 yang terus memanggil-manggil
MT2 tanpa jawaban, tiba-tiba penutur
melontarkan kata-kata kepada MT 1 dengan
maksud menyindir MT 2 yang tidak
mempedulikannya. Mendengar perkataan penutur,
beberapa orang di tempat tersebut tertawa.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur, MT 1, dan MT 2 laki-laki. Penutur
seorang bapak berusia 40 tahun, MT 1 seorang
anak kecil berusia 4 tahun, dan MT 2 seorang
bapak berusia 42 tahun.
Tujuan: penutur menyindir MT 2 yang tidak
menyahut ketika dipanggil berulang kali oleh MT
1.
Tindak verbal : ekspresif.
Tindak perlokusi: MT 2 tersenyum kemudian
menanggapi panggilan MT 1.
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
tersenyum sinis.
Penutur berbicara sembari
menatap ke arah MT 2.
Penutur berbicara di hadapan
orang banyak.
Penutur berusaha menyadarkan
MT 2 agar menanggapi panggilan
MT 1.
Penutur berusaha menyindir MT2
dengan yang diam saja dengan
menggunakan frasa ‘sakit gigi’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KORPUS DATA DAN TABULASI DATA
KETIDAKSANTUNAN BERBAHASA KATEGORI MENIMBULKAN KONFLIK
NO KODE TUTURAN
PENANDA KETIDAKSANTUNAN PERSEPSI KETIDAK-
SANTUNAN LINGUAL NONLINGUAL
(Topik dan Situasi)
1. (E1) Cuplikan Tuturan 59
MT : (mitra tutur
mengambil makanan di
ruang makan, namun
kurang berhati-hati
sehingga menimbulkan
kegaduhan)
P : “Mbok
dibanting sisan!
Mbok dibaleni!”
MT : (mitra tutur kesal
dan justru dengan
sengaja membuat
gaduh ruang makan)
Intonasi perintah
Tekanan: keras
pada kata sisan.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: mbok
Tuturan terjadi di ruang makan, pada siang hari
ketika penutur dan mitra tutur sedang makan
siang.
Mitra tutur secara tidak sengaja mengambil
piring dengan tidak hati-hati, sehingga
menimbulkan suara gaduh.
Penutur berusaha menanggapi tingkah laku mitra
tutur dengan melontarkan kata-kata sindiran agar
mitra tutur sadar akan kecerobohannya.
Penutur duduk di hadapan mitra tutur yang
sedang berdiri.
Penutur menanggapi tingkah laku mitra tutur.
Penutur dan mitra tutur laki-laki. Penutur seorang
mahasiswa semester 4 berusia 19 tahun dan mitra
tutur kelas VIII SMP berusia 14 tahun. Penutur
adalah kakak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur meminta MT agar lebih berhati-
hati ketika melakukan sebuah aktivitas.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: mitra tutur kesal dan dengan
sengaja semakin membuat gaduh suasana.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyindir
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur dengan sengaja
melontarkan kata-kata sindiran
kepada mitra tutur.
Penutur berbicara sembari
melirik dengan sinis ke arah
mitra tutur.
Perkaataan penutur
mengakibatkan mitra tutur
kesal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. (E2) Cuplikan Tuturan 60
MT : “Ini sms dari
siapa?”
P : “Ah, ibuk ki
mau tau wae.”
MT : “Kamu tu
kalau ditanyain
senengane
menyepelekan! Mbok
sekali-kali kalau
ditanya tu jawab yang
bener!” (mitra tutur
pergi meninggalkan
penutur dan
membanting pintu)
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada ah.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
istilah bahasa
Jawa, yaitu ki,
wae, dan
menggunakan kata
tidak baku, yaitu
mau, tau.
Kata fatis: ah.
Percakapan antara penutur dan mitra tutur saat
jam pulang sekolah di ruang keluarga.
Mitra tutur bertanya kepada penutur perihal
identitas pengirim sms yang baru saja masuk.
Penutur enggan menjawab pertanyaan mitra
tutur, maka penutur hanya memberikan jawaban
sekenanya dan terkesan sembrono.
Penutur duduk di dekat mitra tutur.
Penutur menanggapi pertanyaan mitra tutur.
Penutur dan mitra tuur perempuan. Penutur
siswa kelas VIII SMP berusia 14 tahun dan
mitra tutur seorang ibu berusia 39 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha menutupi identitas
pengirim sms, karena menurut penutur itu adalah
rahasia yang tidak perlu diketahui oleh mitra
tutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menasihati penutur
kemudian pergi sembari membanting pintu.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa melihat
ke arah mitra tutur.
Penutur dengan sengaja
memberikan jawaban yang
terkesan menyepelekan.
Penutur berbicara sembari terus
memainkan ponselnya.
3. (E3) Cuplikan Tuturan 61
MT : “Pakai celana
kok ngetat semua to?”
P : “Sak karepku
to mak, wong sing
nganggo aku kok!!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada sak karepku
to Mak.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
Percakapan antara penutur dan mitra tutur ketika
penutur sedang bersiap-siap, lengkap dengan
pakaian yang akan dikenakannya untuk
bepergian pada sore hari.
Tuturan terjadi dalam suasana serius.
Mitra tutur menghampiri penutur dan bertanya
perihal model celana yang dikenakan oleh
penutur. Menurut mitra tutur, celana yang
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur dengan keras.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MT : (meninggalkan
penutur dengan raut
wajah sinis)
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis: to, kok.
dikenakan terlalu ketat.
Penutur kurang senang dengan pertanyaan mitra
tutur yang dinilai terlalu mengatur cara
berpakaian penutur.
Penutur berdiri di hadapan mitra tutur.
Penutur menanggapi pertanyaan mitra tutur.
Penutur laki-laki berusia 24 tahun dan mitra
tutur seorang ibu berusia 46 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan amarahnya
kepada mitra tutur, karena mitra tutur dianggap
terlalu mengatur cara berpakaian si penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur pergi meninggalkan
penutur dengan raut wajah sinis.
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara sembari
berjalan meninggalkan mitra
tutur.
4. (E4) Cuplikan Tuturan 62
MT : “Seko ngendi
koe mau?”
P : “Biasa anak
muda.”
MT : (pergi
meninggalkan penutur
dan membanting pintu).
Intonasi berita
Tekanan: lunak
pada frasa anak
muda.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
populer.
Percakapan yang terjadi di ruang tamu pada sore
hari. Saat itu penutur tiba di rumah dari
bepergian.
Mitra tutur menyapa penutur di ruang tamu
sembari melontarkan pertanyaan dari mana
penutur pergi. Namun, penutur hanya menjawab
sekenanya dan terkesan menyepelekan.
Penutur sedang berjalan hendak masuk ke kamar.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.
Penutur perempuan, kelas XII SMK berusia 19
tahun dan mitra tutur seorang ibu berusia 42
tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur berusaha merahasiakan sesuatu.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyepelekan
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur dengan sembrono
tanpa merasa bersalah.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur dengan sengaja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur sedikit marah dan
membanting pintu.
memberikan jawaban yang
terkesan menyepelekan mitra
tutur.
Penutur tidak memberi tahu
mitra tutur dari mana ia pergi.
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur sambil berjalan.
5. (E5) Cuplikan Tuturan 63
MT : “Wisnu
ambilkan kursi di
depan itu!”
P : “Punya kaki
sendiri kok!!”
MT : (mitra tutur
menghampiri penutur
kemudian menjewer
telinga penutur)
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa sendiri
kok.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan kata
populer.
Kata fatis: kok.
Percakapan yang terjadi di ruang keluarga pada
siang hari. Rabu, 24 April 2013. Sekitar pukul
13.15 – 13. 45 WIB.
Mitra tutur sedang menerima tamu di ruang
tamu, sedangkan penutur sedang menonton
televisi di ruang keluarga.
Mitra tutur meminta bantuan kepada penutur
untuk mengambilkan kursi di depan rumah.
Penutur enggan melaksanakan perintah dari mitra
tutur, bahkan menanggapi permintaan dari mitra
tutur dengan kata-kata yang tidak santun.
Penutur laki-laki, siswa kelas 3 SD dan mitra
tutur bapak berusia 43 tahun. Penutur adalah
anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menolak perintah dari mitra
tutur dengan nada ketus dan terkesan
menyepelekan.
Tindak verbal: komisif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menghampiri
penutur dan menjewer telinganya.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Menolak
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab permintaan
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur dengan sengaja
memberikan jawaban yang tidak
sopan.
Penutur berbicara tanpa melihat
ke arah mitra tutur.
Penutur tidak mengindahkan
perintah mitra tutur.
Penutur justru melanjutkan
aktivitasnya menonton televisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. (E6) Cuplikan Tuturan 64
MT : “Ayo ngewangi
aku neng sawah!”
P : “Halah mangke
bu, neng sawah terus
koyo dibayar wae.”
MT : “Bocah ora
ngerti kahanan. Koe iso
urip tekan dino iki yo
mergo seko hasil sawah
kui.”
Intonasi berita
Tekanan: keras
pada halah
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada sedang.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan antara penutur dan mitra tutur di
teras rumah saat mitra tutur sedang bersiap-siap
hendak pergi ke sawah pada siang hari.
Mitra tutur menyuruh penutur untuk membantu
pekerjaan di sawah, terlebih ketika sawah
sedang panen.
Penutur enggan melaksanakan perintah dari
mitra tutur. Penutur hanya menjawab dengan
melontarkan kata-kata yang terkesan sembrono.
Penutur duduk di samping mitra tutur.
Penutur menanggapi ajakan dari mitra tutur.
Penutur laki-laki, berusia 28 tahun dan mitra
tutur perempuan, ibu berusia 53 tahun. Penutur
adalah anak dari mitra tutur.
Tujuan: penutur enggan melaksanakan ajakan
mitra tutur untuk membantu di sawah, karena
menurut penutur percuma bekerja keras kalau
tidak mendapat bayaran.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur menjawab
perkataan penutur dengan kesal kemudian pergi
meninggalkan penutur.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Menyepelekan
Wujud Ketidaksantunan :
Penutur menjawab ajakan mitra
tutur dengan datar tanpa rasa
tanggung jawab.
Penutur tidak mengindahkan
ajakan mitra tutur.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
7. (E7) Cuplikan Tuturan 65
P : “Woo monyet!!”
MT : “Lambemu!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata monyet.
Nada tutur: penutur
Pertengkaran antara penutur dan mitra tutur saat
berada di teras rumah pada sore hari.
Penutur berebut sandal dengan mitra tutur.
Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal
penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur
sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
populer.
Kata fatis: woo.
Penutur kemudian mengumpat kepada mitra
tutur.
Penutur berdiri di seberang mitra tutur.
Penutur menanggapi tingkah laku mitra tutur.
Penutur seorang anak laki-laki kelas 4 SD
berusia 12 tahun dan mitra tutur seorang anak
perempuan kelas XII SMK berusia 19 tahun.
Penutur adalah adik kandung dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan amarahnya
kepada mitra tutur karena mitra tutur
menggunakan sandal milik penutur tanpa seijin
penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur merasa tersinggung
dan marah. Mitra tutur melontarkan kata-kata
(umpatan) yang tidak sopan kepada penutur.
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan berteriak.
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
berdiri.
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan tatapan mata
terbelalak.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur melontarkan kata-kata
yang sangat tidak sopan.
Perkataan penutur
memunculkan amarah dalam
diri mitra tutur.
8. (E8) Cuplikan Tuturan 66
MT : “Woo
monyet!!”
P : “Lambemu!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada kata
lambemu.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
Pertengkaran antara penutur dan mitra tutur di
teras rumah pada sore hari.
Penutur berebut sandal dengan mitra tutur.
Secara tidak sengaja, penutur memakai sandal
mitra tutur tanpa ijin terlebih dahulu, sehingga
emosi mitra tutur tidak dapat dikendalikan,
bahkan melontarkan umpatan kepada penutur.
Penutur yang juga emosinya sedang memuncak
kemudian turut melontarkan kata-kata umpatan
kepada mitra tutur.
Penutur duduk di seberang mitra tutur yang
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan berteriak.
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
menatap mitra tutur dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
sedang berdiri.
Penutur membalas perkataan mitra tutur dengan
kesal dan marah.
Penutur seorang anak perempuan kelas XII SMK
berusia 19 tahun dan mitra tutur seorang anak
laki-laki kelas 4 SD berusia 12 tahun. Penutur
merupakan kakak dari mitra tutur.
Tujuan: membalas umpatan dari MT yang
ditujukan kepada penutur.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur berlari
meninggalkan penutur sambil melempar sandal
ke arah penutur.
mata terbelalak.
Penutur sengaja melontarkan
kata-kata tidak sopan kepada
mitra tutur.
Perkataan penutur
mengakibatkan mitra tutur
marah dan melempar sandal ke
arah penutur.
9. (E9) Cuplikan Tuturan 67
MT : “Udah Shalat
belum?”
P : “Iso meneng
ora? Aku wis dong!”
Intonasi tanya
Tekanan: keras
pada frasa wis
dong.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Tuturan terjadi di kamar tidur ketika mitra tutur
berusaha mengingatkan penutur untuk shalat.
Penutur kesal dengan mitra tutur, sehingga
penutur menjawab pertanyaan mitra tutur dengan
nada tinggi dan terkesan sangat tidak santun.
Penutur berdiri di hadapan mitra tutur.
Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.
Penutur seorang anak laki-laki kelas VII SMP
berusia 13 tahun dan mitra tutur seorang ibu
berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra
tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan amarahnya
kepada mitra tutur yang dianggap terlalu banyak
mengatur.
Tindak verbal: ekspresif.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur menjawab pertanyaan
mitra tutur dengan ketus.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara sembari
berdiri.
Penutur dengan sengaja
melontarkan kata-kata tidak
sopan kepada mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tindak perlokusi: mitra tutur marah dan
membanting pintu kamar penutur.
Perkataan penutur
mengakibatkan mitra tutur
marah dan membanting pintu
kamar.
10. (E10) Cuplikan Tuturan 68
MT 2 : “Dik, bebek’e
dipakani yoo!!”
MT1 : (tidak
menjawab, justru
berbalik menyuruh
penutur)
P : “Woo opo-
opo aku. Opo-opo
aku!!”
MT 1 : “Salahe
dituku!”
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada partikel woo.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Kata fatis : woo
Percakapan sore hari ketika penutur, MT 1, dan
MT 2 berada di teras rumah.
MT 2 menyuruh MT 1 untuk memberi makan
bebek peliharaan di rumah. Namun, MT 1 justru
menyuruh penutur yang empunya bebek
tersebut.
Penutur merasa kesal karena selalu disuruh
untuk mengerjakan sesuatu. MT 1 yang juga
merasa kesal kemudian menanggapi perkataan
penutur dengan nada tinggi.
Penutur berdiri di dekat MT 1.
Penutur menjawab perintah MT 1.
Penutur laki-laki kelas 4 SD berusia 12 tahun,
MT 1 perempuan kelas XII SMK berusia 19
tahun, dan MT 2 seorang ibu berusia 42 tahun.
Penutur merupakan adik dari MT 1, sedangkan
MT 2 merupakan ibu dari penutur dan MT1.
Tujuan: penutur berusaha menolak apa yang
diperintahkan oleh MT 1.
Tindak verbal: ekspresif
Tindak perlokusi: MT 1 semakin kesal dan
menanggapi perkataan penutur dengan kata-kata
sekenanya.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Kesal
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada MT 1
dengan keras.
Penutur berbicara kepada orang
yang lebih tua.
Penutur berbicara tanpa melihat
ke arah MT 1.
Penutur berbicara sembari
berjalan hendak meninggalkan
MT 1.
Perkataan penutur
mengakibatkan MT 1 kesal dan
melontarkan kata-kata
sekenanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11. (E11) Cuplikan Tuturan 69
P : “Koe ki isane
mung njaluk’i duit
wae!!”
MT : “Lha ora
nyambut gawe yoo
mesti njaluk duit wae!
Intonasi seru
Tekanan: keras
pada frasa njaluki
duit.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Percakapan antara penutur dan mitra tutur saat
berada di belakang rumah pada sore hari dalam
suasana serius. Penutur baru saja pulang dari
sawah.
Mitra tutur bermaksud meminta uang kepada
penutur.
Penutur merasa kesal karena menganggap mitra
tutur hanya dapat meminta uang saja tanpa mau
berusaha. Penutur melontarkan kata-kata kepada
mitra tutur dengan nada penuh amarah.
Mitra tutur juga kurang berkenan mendengar
perkataan penutur. Mitra tutur kemudian
membalas perkataan penutur.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki, bapak berusia 59 tahun dan
mitra tutur perempuan, ibu berusia 57 tahun.
Penutur adalah suami dari mitra tutur.
Tujuan: penutur menolak permintaan mitra tutur
yang dianggap terlalu sering meminta uang
kepada penutur, tanpa mau berusaha.
Tindak verbal : ekspresif
Tindak perlokusi : mitra tutur marah kemudian
membalas perkataan penutur sebagai upaya
pembelaan diri.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan ketus.
Penutur dengan sengaja
melontarkan kata-kata yang
mengakibatkan mitra tutur
marah.
Penutur berbicara sembari
menunjuk ke arah mitra tutur.
12. (E12) Cuplikan Tuturan 70
P : “Koe ki raiso
Intonasi seru
Pertengkaran yang terjadi antara penutur dan
mitra tutur di ruang keluarga dalam suasana
tegang.
Kategori Ketidaksantunan:
Menimbulkan konflik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ndidik anak!”
MT : “Aku tak lungo
wae seko ngomah iki.”
(sambil terisak)
P : “Yowis, tak
lungo aku.”
Tekanan: keras
pada frasa ra iso.
Nada tutur: penutur
berbicara dengan
nada tinggi.
Diksi: bahasa
nonstandar dengan
menggunakan
bahasa Jawa.
Penutur marah kepada mitra tutur ketika sedang
membahas anak mereka yang sulit diatur.
Penutur menilai mitra tutur telah gagal mendidik
anak.
Mitra tutur tidak terima mendengar perkataan
penutur. Mitra tutur kemudian melontarkan kata-
kata berupa ancaman kepada penutur.
Penutur berdiri di dekat mitra tutur.
Penutur berkata kepada mitra tutur.
Penutur laki-laki, bapak berusia 47 tahun dan
mitra tutur perempuan, ibu berusia 42 tahun.
Penutur adalah suami dari mitra tutur.
Tujuan: penutur mengungkapkan kecewanya
kepada mitra tutur yang dinilai telah gagal
mendidik anak.
Tindak verbal: ekspresif.
Tindak perlokusi: mitra tutur mengancam
penutur dengan mengatakan bahwa ia akan pergi
dari rumah. Ancaman itu ditunjukkan mitra tutur
dengan nada penuh emosi.
Subkategori Ketidaksantunan:
Marah
Wujud Ketidaksantunan:
Penutur berbicara kepada mitra
tutur dengan keras.
Penutur berbicara dengan ketus.
Penutur berbicara sembari
memukul pipi mitra tutur.
Perkataan dan perbuatan penutur
mengakibatkan mitra tutur
melontarkan sebuah ancaman
keras.
Perkataan dan perbuatan penutur
disaksikan juga oleh anggota
keluarga lain yang berada di
tempat tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PARAMETER PENENTU KETIDAKSANTUNAN
No.
Kategori
Ketidak-
santunan
Lingual Nonlingual Contoh
Cuplikan
Tuturan Nada Tekanan Intonasi Diksi
Penutur
dan Mitra
Tutur
Situasi
Tutur
Tujuan
Tuturan
Waktu dan
tempat ketika
bertutur
Tindak verbal
dan tindak
perlokusi
1. Melanggar
Norma
Tuturan
dikatakan
dengan
nada tinggi
dan nada
sedang.
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Penutur
bebricara
dengan
intonasi
seru.
Bahasa
nonstan-
dar
Para
anggota
keluarga
yang terdiri
dari bapak,
ibu, anak
laki-laki,
anak
perempuan,
dan nenek.
Tuturan
terjadi
dalam
suasana
serius,
namun ada
juga yang
cende-
rung
santai.
Menentang
dan
menolak
kesepakatan
yang telah
ditetapkan
dalam
keluarga.
Waktu
terjadinya
tuturan:
kapan saja.
Tuturan
terjadi di
dalam
rumah.
Tindak
verbal
komisif dan
ekspresif.
Tindak
perlokusi:
mitra tutur
kesal, namun
ada pula
yang lebih
memilih
diam
kemudian
pergi
meninggal-
kan penutur.
Cuplikan
tuturan 1
MT: “Telat
pulang tu
mbok ngebel
rumah, ben
wong tuwa ra
bingung!”
P: “Opo-
opo kok
koyo cah
cilik to,
mengko lak
yo bali
dewe!!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Mengan-
cam Muka
Sepihak
Tuturan
dikatakan
dengan
nada
tinggi dan
sedang.
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Penutur
berbicara
dengan
intonasi
tanya,
seru, dan
perintah.
Bahasa
nonstandar
Para
anggota
keluarga
yang terdiri
dari bapak,
ibu, anak
laki-laki,
anak
perempuan,
menantu,
bahkan
kerabat jauh
dari
keluarga.
Tuturan
terjadi
dalam
suasana
serius,
namun ada
pula yang
cenderung
santai.
Secara
umum
tuturan
disampai-
kan dengan
tujuan
mengung-
kapkan apa
yang
dirasakan
oleh
penutur.
Waktu
terjadinya
tuturan:
kapan saja.
Tuturan
terjadi di
rumah dan di
area
persawahan.
Tindak
verbal:
ekspresif.
Tindak
perlokusi:
mitra tutur
tersinggung
dan kesal,
sehingga
memberi
jawaban
singkat. Ada
pula yang
menasihati
penutur
kemudian
pergi
meninggal-
kan penutur.
Cuplikan
tuturan 11:
P: “Kene,
aku meh
ngomong!”
MT: “Yoo,
hati-hati.
Ngomong yo
ngomong tapi
kan ngga
perlu mutus-
mutus
sembarangan
ngono kui.”
3. Meleceh-
kan Muka
Tuturan
dikatakan
dengan
nada
tinggi dan
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
keras dan
Penutur
berbicara
dengan
intonasi
seru dan
Bahasa
populer
dan bahasa
nonstandar
Para
anggota
keluarga
yang terdiri
dari bapak,
ibu, anak
Tuturan
terjadi
dalam
suasana
yang
cenderung
Secara
umum
penutur
menyampai
kan
tuturannya
Waktu
terjadinya
tuturan:
kapan saja.
Tindak
verbal:
ekspresif.
Tindak
perlokusi:
Cuplikan
tuturan 18:
MT : “Ini
gimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sedang. lunak. berita. laki-laki,
anak
perempuan,
saudara
ipar,
keponakan,
nenek.
santai,
namun ada
pula yang
serius.
dengan
tujuan
sebagai
ungkapan
perasaan
penutur
terhadap
mitra
tuturnya.
Tuturan
terjadi di
rumah.
mitra tutur
hanya
tersenyum,
namun ada
pula yang
berlari
meninggal-
kan penutur,
tidak
mengindah-
kan perintah
penutur,
bahkan ada
yang hanya
memilih
untuk diam.
ngidupin
ini?”
P: “Wah
ibuk ki ora
modern.”
Cuplikan
tuturan 30:
P : “Huuuuu
bodoh, raiso
ngitung!!”
MT : “Yo
ben.”
4. Menghi-
langkan
Muka
Tuturan
dikatakan
dengan
nada
sedang.
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Penutur
berbicara
dengan
intonasi
tanya
dan
berita.
Bahasa
populer
dan
bahasa
nonstan-
dar
Para
anggota
keluarga
yang terdiri
dari bapak,
ibu, anak
laki-laki,
anak
perempuan,
Tuturan
terjadi
dalam
suasana
yang
cenderung
santai dan
ada pula
yang
Tuturan
disampai-
kan dengan
tujuan
mengung-
kapkan apa
yang
dirasakan
oleh
Waktu
terjadinya
tuturan:
kapan saja.
Tuturan
terjadi di
rumah dan di
area
persawahan.
Tindak
verbal:ekspre
sif.
Tindak
perlokusi:
mitra tutur
malu dan
hanya
tersenyum
Cuplikan
tuturan 51:
MT 1:
“Kalau Mas
ini putranya
Bapak?”
P : “Iya, itu
yang masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nenek,
bahkan
kerabat
dekat
maupun
kerabat
jauh mitra
tutur.
serius. penutur,
berupa
sindiran,
ejekan,
kekesalan,
dan
penegasan.
atau tertawa.
Ada pula
yang
memberikan
jawaban
sebagai
upaya
pembelaan
diri, bahkan
ada yang
memilih
untuk diam.
belum laku
mbak,
soalnya
penganggur
an.”
5. Menimbul-
kan
Konflik
Tuturan
dikatakan
dengan
nada
tinggi.
Tuturan
dikatakan
dengan
tekanan
keras dan
lunak.
Penutur
berbicara
dengan
intonasi
seru.
Bahasa
populer
dan
bahasa
nonstan-
dar.
Para
anggota
keluarga
yang terdiri
dari bapak,
ibu, anak
laki-laki,
dan anak
perempuan.
Tuturan
terjadi
dalam
suasana
serius.
Tuturan
disampai-
kan dengan
tujuan
mengung-
kapkan apa
yang
dirasakan
oleh
penutur
terhadap
mitra
tuturnya,
Waktu
terjadinya
tuturan:
kapan saja.
Tuturan
terjadi di
rumah.
Tindak
verbal:
ekspresif dan
komisif.
Tindak
perlokusi:
kekesalan,
amarah, dan
tersinggungn
ya mitra
tutur.
Amarah
mitra tutur
Cuplikan
Tuturan 62:
MT: “Seko
ngendi koe
mau?”
P: “Biasa
anak muda.”
MT: (pergi
meninggal-
kan penutur
dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang
sebagian
besar
berupa
ungkapan
kekesalan
dan amarah
penutur.
ditunjukkan
dengan cara
membanting
pintu, dengan
umpatan,
melempar
sandal,
bahkan
melontarkan
sebuah
ancaman.
membanting
pintu).
Cuplikan
tuturan 65:
P : “Woo
monyet!!”
MT :
“Lambemu!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MAKSUD KETIDAKSANTUNAN PENUTUR
No. Kategori Subkategori Kode Tuturan Maksud Penutur
1 Melanggar
Norma
Menentang A1
“Opo-opo kok koyo cah cilik to, mengko lak yo bali
dewe!!” Kesal
A5 “Iyo pak, sekalian subuh.” Bercanda
Menolak A2 “Emoohh, Pak!” Menolak
A6 “Ahh..wong neng sekolah wis sinau kok!” Menolak
Kesal A3 “Mau kan aku wis ngomong, kok diarani dolan, kan wis
ijin!!” Membela diri
Marah A4 “Ahh, mamak ki terlalu! Aku ra meh mulih, meh kost
wae!!” Kesal
2
Mengancam
Muka
Sepihak
Menyindir
B1 “Sudah hampir setahun, sudah mau punya anak belum?” Menyindir
B2 “Ngopo Pak, panjenengan kok koyo sakit gigi ngaten?” Menanyakan
B4 “Wis meh maghrib kok ono tamu!!” Mengusir
Marah B3 “Neng ngomah ki ngopo wae??” Kesal
B10 “Mpun, kulo ajeng jagong! Mang tunggu sak jam!!” Mengusir
Memerintah B5 “Kene, aku meh ngomong!” Memerintah
B7 “Mbak, garapke iki!” Meminta bantuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kecewa B6 “Sesok meneh ojo nyayur ngene iki, Mak!!” Memberi saran
Menanyakan B8 “Ngopo mbah kok ra maem?” Menanyakan
Mengancam B9 “Tak jewer koe mengko nek ngeyel!!” Menakut-nakuti
Menegaskan B11 “Bu, sesok mbayar uang kuliah. Telate dua hari lagi.” Memberi informasi
3 Melecehkan
Muka
Kesal
C1 “Wah ibuk ki ora modern.” Kesal
C3 “Hayoo, punya mulut kok ga bisa ngomong to?besok lagi
bilang!” Menakut-nakuti
C11 “Wahh opo, kono koe ki cah cilik!” Mengusir
C12 “Jaket aja sampai 15 lebih. Kayak artis aja!” Kesal
C13 “Huuuuu bodoh, raiso ngitung!!” Kesal
C19 “Ibu itu pelit, aku ngga dikasih uang.” Protes
C22 “Ahh, bapak ki tukang ngapusi!” Menagih janji
C25 “Mbayar larang-larang kon sinau ngeyel!!” Kesal
Mengejek
C4 “Wah simbok ki kalah sekolah mbiyen karo saiki.
Mbiyen ki kuno.” Menyimpulkan
C7 “Sing mesak’ake yo iki mbak, kasian sekali ini. Wis
disambi, ireng, kasian sekali yo le sayang ya.” Bercanda
C8 “Kok nama saya Lembayung, bapak kasih nama jelek
banget!” Protes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C9 “Dek, kamu ngga bisa sekolah jadi ABRI seperti saya,
soalnya kakimu tu bentuknya O, kaki kok kaya bola.” Memberi informasi
C10 “Pikirane ki koyo wong tuwek.” Menyimpulkan
C14 “Cucunya kok cilik.” Mengejek
C16 “Itu adik saya yang kepala desa itu tapi itu yang paling
bodoh itu.” Memberi informasi
C17 “Ini adik keponakan saya, tapi dia gembrotnya kayak
gitu.” Memberi informasi
Menolak
C21 “Ngapain dandan? Iihh Ibu juga ga dandan.” Protes
C23 “Dadi pegawai negeri bapak ra dadi opo-opo kok! Aku
emoh pegawai negeri!” Menolak
Menyindir C5 “Maklum lah wong hukum.” Menyindir
C18 “Ki lho Mas, ngerti to Undang-undange??” Menyindir
Marah C6 “Koe ki anak perawan kok keset!!” Marah
C24 “Wooo nenek lampir!” Kesal
Menyarankan C15
“Heii kamu tu dikucir rambutnya, nanti nek kuliah
budeg lho!” Menakut-nakuti
C20 “Ya ampun kalian itu gadis, dandan dong!” Memberi saran
Menanyakan C2 “Kok nilai kamu tu jelek, ga pernah belajar ya?” Menyimpulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4 Menghilang-
kan Muka
Menyindir
D1 “Ngelih po doyan??” Menyindir
D2 “Lehmu kuliah ki arep mbok rampungke ora? Nek ora po
rep ndue bojo wae?” Bercanda
D6 “Wong yang masih bujang aja banyak kok kamu tu milih
yang udah beristri to nduk?” Kesal
D10 “Arep mencari sendiri atau dicarikan??” Bercanda
D13 “Kok koyo gunung’e , Pak?” Bercanda
D16 “Loro untu bapakmu.” Bercanda
Mengejek
D3 “Ah bapak kae wis tuwo yo roso kok!” Bercanda
D4 “Mak, satus ki nol’e piro??” Bercanda
D7 “Tapi aku tanya Dik, koe ki seneng cewek tenan ora?” Bercanda
D9 “Iya, itu yang masih belum laku mbak, soalnya
pengangguran.” Memberi informasi
D11 “Kalau bapak itu hanya es dua bakso satu.” Bercanda
D14 “Kui kek’ke juragane!” Bercanda
D15 “Kayak kucing lho itu mbak, malu-malu.” Memberi informasi
Kesal
D5 “Salah’e raiso moco!!” Kesal
D8 “Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh. Mosok manak
ping 6. Koyo pitik wae!!” Protes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menegaskan D12 “Nek sing niki gembeng.” Menakut-nakuti
5 Menimbul-
kan Konflik
Marah
E7 “Woo monyet!!” Marah
E8 “Lambemu!” Marah
E9 “Iso meneng ora? Aku wis dong!” Kesal
E11 “Koe ki isane mung njaluk’i duit wae!!” Marah
E12 “Koe ki raiso ndidik anak!” Marah
Kesal
E2 “Ahh ibuk ki mau tau wae.” Merahasiakan sesuatu
E3 “Sak karepku to mak, wong sing nganggo aku kok!!” Kesal
E10 Wooo opo-opo aku. Opo-opo aku!! Protes
Menyepelekan E4 Biasa anak muda. Merahasiakan sesuatu
E6 Halah mangke bu, neng sawah terus koyo dibayar wae. Menolak
Menyindir E1 Mbok dibanting sisan! Mbok dibaleni! Menyindir
Menolak E5 Punya kaki sendiri kok!! Menolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
KUESIONER PENELITIAN KETIDAKSANTUNAN DALAM BERBAHASA
A. Pertanyaan Kasus/Situasi untuk Orang Tua dalam Relasi dengan Anggota
Keluarga
PETUNJUK:
Tulislah bentuk kebahasaan yang akan Anda gunakan sebagai respons Anda
terhadap situasi-situasi berikut dengan sejujurnya (pertanyaan disesuaikan
dengan situasi dalam keluarga)!
Situasi 1:
Keluarga Anda memiliki jam belajar pukul 20.00 WIB. Ketika waktu
menunjukkan pukul 20.00 WIB, anak Anda belum juga belajar, tetapi justru
masih menonton televisi. Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan
anak Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 2:
Saat Anda menasihati anak Anda ketika terlibat perkelahian di sekolah, anak
Anda justru memainkan handphone dan tidak memperdulikan nasihat Anda.
Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 3:
Ketika Anda sedang menerima telepon dari teman, anak Anda menghidupkan
musik dengan volume yang keras dan tidak menyadari bahwa hal itu
mengganggu percakapan Anda. Apa yang akan Anda katakan untuk
memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
Situasi 4:
Ketika sedang menonton sebuah acara televisi favorit Anda, tiba-tiba anak Anda
mengganti saluran televisi tersebut tanpa meminta izin dari Anda. Apa yang
akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 5:
Keluarga Anda membuat kesepakatan jam malam untuk anak Anda sampai
pukul 22.00 WIB. Suatu malam, anak Anda pulang melampaui jam yang telah
disepakati. Apa yang akan Anda katakan untuk memperingatkan anak Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
B. Pertanyaan Kasus/Situasi untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan
Orang Tua
PETUNJUK:
Tulislah bentuk kebahasaan yang akan Anda gunakan sebagai respons Anda
terhadap situasi-situasi berikut dengan sejujurnya (pertanyaan disesuaikan
dengan situasi dalam keluarga)!
Situasi 1:
Anda meminta supaya dibelikan handphone baru karena handphone lama Anda
sudah ketinggalan zaman. Anda sudah meminta berulang kali, tetapi belum juga
dibelikan. Apa yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 2:
Anda dipaksa oleh ibu Anda untuk membeli sayur di pasar, padahal Anda tidak
suka berbelanja di pasar. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 3:
Anda diajak teman-teman keluar rumah pada malam hari. Namun, orang tua
tidak mengizikinkan Anda untuk pergi. Apa yang akan Anda katakan kepada
orang tua Anda di depan teman-teman Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Situasi 4:
Ketika Anda pulang sekolah dan merasa lapar, tidak ada makanan di rumah. Apa
yang akan Anda katakan kepada orang tua Anda?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Kasus/Situasi
Situasi 5:
Ketika Anda sedang dimarahi oleh orang tua karena Anda dianggap pergi tanpa
seizin mereka, padahal Anda merasa sudah meminta izin kepada orang tua
Anda. Apa yang akan Anda katakan dalam situasi seperti ini?
Respons Anda:
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
A. Daftar Pertanyaan untuk Orang Tua dalam Relasi dengan Anggota
Keluarga
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
perempuan Anda yang sudah cukup dewasa belum bisa memasak atau anak
lelaki Anda yang sudah cukup dewasa hanya bermalas-malasan di rumah?
(melecehkan muka)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
2. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda ketika anak
Anda menjawab sekenanya dan terkesan acuh saat Anda memberikan
nasihat? (menimbulkan konflik)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
3. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sudah kuliah semester 12 belum lulus atau anak Anda yang masih
bersekolah tidak naik kelas jika situasinya sedang ada pertemuan keluarga?
(menghilangkan muka)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
4. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda yang sedang membersikan rumah tanpa sengaja mengganggu aktivitas
Anda (misalnya menulis, membaca, atau menonton televisi)? (mengancam
muka sepihak)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
5. Wujud teguran apa yang akan Anda katakan kepada anak Anda jika anak
Anda terlambat pulang ke rumah tanpa alasan yang jelas, padahal sudah
disepakati bersama dalam keluarga bahwa batasan jam pulang malam tidak
boleh dilanggar? (melanggar aturan)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian
Panduan Wawancara
B. Daftar Pertanyaan untuk Anggota Keluarga dalam Relasi dengan Orang
Tua
PETUNJUK:
Gunakan daftar pertanyaan berikut untuk mewawancarai informan, kemudian
tulislah atau rekamlah bentuk kebahasaan yang disampaikan oleh informan
(pertanyaan disesuaikan dengan situasi dalam keluarga)!
1. Bagaimana respon Anda ketika mengetahui bahwa orang tua Anda tidak
dapat mengoperasikan komputer? (melecehkan muka)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
2. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda menegur Anda karena
mendengarkan musik dengan volume yang keras? (menimbulkan konflik)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
3. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda berusaha membanding-
bandingkan nilai Anda dengan kakak/adik yang memiliki nilai lebih baik dari
Anda? (menghilangkan muka)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
4. Bagimana respon Anda bila saat Anda belajar, orang tua Anda meminta
bantuan Anda, tetapi hanya dengan meneriakkan nama Anda tanpa
memberikan penjelasan mengenai bantuan apa yang diperlukan?
(mengancam muka sepihak)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
5. Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengotak-atik handphone
Anda dan membaca pesan singkat antara Anda dengan teman dekat Anda?
(melanggar aturan)
Penjelasan Informan:
---------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Instrumen Penelitian Maksud Penutur
Kode Tuturan :
1. Lokasi :
2. Suasana :
3. Keadaan emosi :
4. Identitas penutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
5. Identitas lawan tutur :
a. Gender :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Domisili :
e. Daerah Asal :
f. Bahasa yang dipakai sehari-hari :
6. Tanggal percakapan :
7. Waktu percakapan :
Tuturan:--------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------
Maksud: -------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Clara Dhika Ninda Natalia lahir di Gunungkidul tanggal 18
Desember 1990. Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri
02 Pagi Susukan, Ciracas, Jakarta Timur tahun 1997 – 2002.
Ia menamatkan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD
Negeri Tepus IV, Wonosari, Gunungkidul tahun 2002 –
2003. Pada tahun 2003 – 2006 melanjutkan sekolah di SMP
Negeri 1 Wonosari, Gunungkidul. Sekolah menengah atas ditempuh di SMA
Negeri 2 Wonosari, Gunungkidul tahun 2006 – 2009. Setelah menamatkan
pendidikan di sekolah menengah atas, ia menempuh studi S1 Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Masa
berakhirnya studi adalah tahun 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI