Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLA HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH
DAERAH DALAM OTONOMI DAERAH
(Konsepsi dan Dinamikanya)
Imam Ropii1
Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang
Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang
Abstraksi :
Bentuk Negara kesatuan merupakan pilihan yang sudah final. Siapapun tanpa kecuali harus setuju dengan
formula susunan negara ini tanpa kecuali. Berbagai upaya penguatan untuk meneguhkan bentuk kegara
kesatuan telah dilakukan sejak bangsa kita merdeka. Begitu strategis dan mendasarnya persoalan susunan
negara ini, maka dalam konstitusi dilakukan melalui pembagian wilayah NKRI ini ke dalam daerah-daerah
(provinsi dan kabupaten dan kota) yang memiliki pemerintahan sendiri untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya melalui asas desentralisasi disamping juga asas
dekosentrasi sebagai salah satu karakter dari bentuk Negara kesatuan. Penerapan asas desentralisasi ini
merupakan tindaklanjut dari pembagian atas wilayah Indonesia tersebut. pembagian daerah-daerah dan
dibentuknya pemerintahan daerah akan melahirkan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintah pusat
dan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintahan daerah. Konstelasi penyelenggaraan pemerintahan
yang demikian akan melahirkan wewenang, hak dan kewajiban dan hubungan antar susunan pemerintahan.
Dalam posisi/kedudukan yang demikian akan sangat rentan terjadinya tarik menarik kepentingan dan
sangat mungkin terjadinya ketegangan (spanning) jika pola hubungan dan kedudukan yang dibangun
kurang tepat dan kurang harmonis. Pemahaman yang baik dan benar atas kedudukan, hak, wewenang serta
kewajiban dalam hubungan pusat dan daerah akan memperkuat peneguhan dalam berbangsa dan bernegara
melalui sikap saling menghargai dan menghormati keberagaman antar daerah dengan segala potensi dan
kekurangan yang dimiliki. Kini rumah besar berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keluarga
besar berupa bangsa itu harus dikelola secara benar sesuai dengan kaidah agama, konstitusi, hukum dan
berbagai kearifan local yang telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh Konstitusi.
Kata Kunci : hubungan, pemerintahan, pusat, daerah,
1Alamat Korespondensi : [email protected]
40 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
A. Pendahuluan
Bentuk negara kesatuan yang kita
pilih dan kita pertahankan hingga saat ini
secara historis telah mengalami pasang surut
dan tantangan yang luar biasa sesaat setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan oleh sang duo
Proklamator- Soekarno Hatta. Sejarah dan
tantangan atas kelahiran negara kesatuan
Republik Indonesia tersebut tidak saja
muncul dari dalam negeri akan tetapi juga
dari luar negeri.
Ditilik dari sudut historis bentuk
negara kesatuan yang kita pilih ini tentu
tidak terlepas dari pengalaman sejarah
negara kerajaan yang pernah berjaya di masa
lampau, yaitu kerajaan Sriwijaya dan
Majapahitr. Kejayaan bekas kedua kerajaan
nasional di masa lampau tersebut setidak-
telah memberikan pemahaman dan inspirasi
sejarah yang amat kuat akan pentingnya
persatuan nasional dalam wadah negara.
Selain itu, dipilihnya bentuk negara
kesatuan juga merupakan salah satu hasil
pemikiran keras dan mendalam dari para
pendiri republik tercinta ini.2 Kini bangunan
2 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik. Ketentuan ini merupakan bukti bahwa
bentuk negara kesatuan telah melewati proses yang
mendalam saat pembentukan konstitusi. Dalam
amandemen sama sekali tidak disentuh dan bahkan
diperkuat sebagai wujud dari komitmen untuk
negara kesatuan Republik Indonesia yang
berdiri kokoh diantara berbagai negara di
dunia akan terus dipertahankan dan
sekaligus menjadi komitmen seluruh
komponen anak bangsa Indonesia.
Puncaknya bentuk negara kesatuan
merupakan pilihan yang sudah final, yang
selanjutnya memikirkan bagaimana
membangun tata kelola penyelenggaraan
pemerintahan yang mengarah pada
penguatan dari bentuk Negara tersebut.
Mengingat luasnya wilayah dan
Kondisi geografis negara kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dari beribu ribu pulau
besar dan kecil, jumlah penduduk yang
besar dan dengan ribuan etnik suku,
bahasa, budaya yang multikultural
merupakan kekayaan yang amat mahal yang
mempertahankan bentuk negara kesatuan. Komitmen
untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan ini
juga dilakukan oleh Panitia Adhoc I (PAH I) MPR
saat melakukan amandemen, yang telah bersepakat
bahwa dalam merubah UUD 1945 :1. Tidak
Mengubah Pembukaan UUD 1945;2. Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; 3. Mempertegas sistem pemerintahan
Presidensil;4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan, dan
hal-hal yang normatif dalam penjelasan dimasukkan
dalam pasal-pasal; 5. Perubahan dilakukan secara
adendum. Suko Wiyono, H. 2006. Otonomi Daerah
dalam Negara Hukum Indonesia. (Pembentukan
Peraturan Daerah Partisipatif), Jakarta : Faza
Media, hal. 47. Komitmen lain penguatan bentuk
Negara kesatuan misalnya ditemukan di pintu-pintu
masuk kesatrian TNI (di kesatrian TNI AD misalnya)
tidak jarang kita temukan komitmennya dalam
mempertahankan bentuk negara kesatuan dengan
semboyannya “ NKRI HARGA MATI” atau juga
dengan istilah NKRI sudah final.
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
41
41
tidak dapat terbeli dengan apapun karena
juga sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Sistem pemerintahan yang demokratis
dengan tetap menghormati corak dan hak-
hak asli masyarakat tidaklah mungkin
dilakukan dengan system pemerintahan yang
sentralistis.3
Dalam perspektif penyelenggaraan
pemerintahan, kondisi tersebut tentu sangat
mustahil jika penyelenggaraan urusan
pemerintahan hanya ditangani oleh
pemerintah pusat saja dapat berjalan secara
merata, adil dan demokratis. Kondisi
geografis wilayah negara yang demikian
tentu akan sangat tepat jika negara kesatuan
ini kemudian dibagi-bagi menjadi daerah-
daerah besar (provinsi) dan daerah provinsi
dibagi-bagi lagi ke dalam daerah kabupaten
dan kota untuk diserahi urusan pemerintahan
tertentu yang dikenal dengan otonomi
daerah dengan sistem desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.4
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 merupakan peneguhan formal
Konstitusi bahwa bentuk negara kesatuan
merupakan pilihan dan komitmen bangsa
3 Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah Titik Berat
otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (Pokok-
pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang
Pemerintahan Daerah). Universitas Atmajaya :
Yogyakarta, 1998. hal.16. 4 Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
yang harus dipertahankan dan diisi dengan
kreativitas pembangunan, sedangkan
ketentuan Pasal 18 ayat (1) merupakan
peneguhan konstitusional pemberian
kewenangan kepada daerah-daerah untuk
terlibat dan aktif menyelenggarakan
pemerintahan yang menjadi urusannya.
Kedua pasal ini merupakan pasal yang
saling mengisi dan menguatkan yang setiap
pembahasan keduanya harus selalu dikaitkan
untuk mencegah tindakan resentralisasi
maupun otonomi terhadap daerah yang
kebabalasan.
Mengedepankan sentralisasi berarti
merupakan langkah mundur dalam penataan
penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan
mengagung-agungkan secara berlebihan
terhadap daerah-daerah otonom merupakan
karakter bentuk negara federasi yang tentu
sangat membahayakan. Penataan
keseimbangan dalam pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah secara sistemik dengan
karakter ke-Indonesiaan yakni dengan tetap
menghormati hak-hak tradisional
masyarakat serta hak asal-usul daerah harus
senantiasa menjadi pemikiran awal dari
setiap tindakan pengaturan hubungan pusat
dan daerah. Hanya dengan pemahaman
karakter sosial, budaya dan kesejarahan serta
42 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
kewilayahan pengaturan hubungan pusat dan
daerah akan mendapat legitimasi kuat dari
seluruh komponen masyarakat yang
kemudian diikuti dengan legalitas atas
legitimasi tersebut.
Implementasi komitmen atas pilihan
negara kesatuan dengan sistem otonomi ini
secara masif dan nyata diawali dengan
peristiwa reformasi pada tahun 1998,
dimana dalam gerakan reformasi yang
ditandai dengan berakhirnya kekuasaan
presiden Soeharto dan diserahkannya kepada
BJ. Habibi telah melahirkan perubahan yang
amat luas dan mendasar dalam tatanan
penyelenggaraan pemerintahan melalui
amandemen UUD 1945. Tatanan baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan tersebut
antara lain berupa pemberian penguatan
konstitusional terhadap keberadaan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten
dan kota sebagai daerah otonom yang diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.
Penguatan atas eksistensi
pemerintahan daerah dengan hak
otonominya juga telah mengalami pasang
surut. Namun jika ditelaah secara mendalam
dari kurun waktu pelaksanaan otonomi
daerah yang benar-benar terasa dampak
politis dan ekonomisnya adalah pasca
reformasi dengan lahirnya format baru tata
kelola pemerintahan daerah dengan
instrumen undang-undang nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta
peraturan perundang-undangan pendukung
lainnya.
Kelahiran undang-undang tentang
pemerintahan daerah tersebut dalam
perkembangannya ternyata menimbulkan
ekses yang luar biasa terhadap format
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sebagai produk awal terhadap pengaturan
pemerintahan daerah era otonomi tentu
sangat wajar jika di dalamnya terdapat
nuansa yang hampir bertolak belakang
dengan yang berlaku dalam tiga dasa warsa
pemerintahan sebelumnya. Sebagai wujud
koreksi atas undang-undang pemerintahan
daerah nomor 22 tahun 1999 serta sejalan
dengan telah diamandemennya UUD 1945,
yang telah membawa perubahan yang amat
mendasar dan prinsip dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah maka lahirlah undang-
undang nomor 32 tahun 2004 sebagai
pengantinya.
Pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah dengan corak dan gaya implentasinya
sangat menarik untuk dikaji dan
didiskusikan karena acapkali terjadi
penafsiran yang berbeda yang berujung pada
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
43
43
tarik menarik kepentingan (spanning
interest) yang kuat antara pemerintah pusat
selaku pengemban tanggungjawab secara
nasional atas penyelenggaraan pemerintahan
dengan pemerintah daerah selaku
pengemban pemerintahan di tingkat lokal.
Sebagai contoh, pengalaman
pengelolaan pemerintahan daerah provinsi
yang baik dan tentu masih banyak yang
belum final sebagai implementasi kebijakan
otonomi daerah, secara panjang lebar bisa
dibaca dari pembeberan mantan gubernur
provinsi Gorontalo waktu itu yaitu Dr. Ir
Fadel Muhammad. Dalam catatan tersebut
bagaimana peran pemerintah pusat dan
daerah pada intinya Fadel Muhammad
menyatakan” jika daerah makmur maka
negara akan kuat dan Negara kesatuan
Republik Indonesia akan kokoh berdiri jika
memiliki rakyat yang makmur, dimana tugas
memakmurkan rakyat adalah tugas utama
dari pemerintah daerah. Untuk mewujudkan
hal itu dibutuhkan keberanian pemerintah
daerah untuk berinovasi dan melakukan
terobosan yang berkesinambungan untuk
meningkatkan kinerja5.
Pengalaman yang dipaparkan Fadel
Muhammad tersebut memberikan gambaran
5 Fadel Muhammad, Reinventing Lokal
Goverenment: Pengalaman dari daerah, 2008.
Jakarta PT. Elex Media Komputindo, hal. xxiii.
pada publik bahwa eksistensi pemerintahan
daerah merupakan bagian yang sama
pentingnya dengan keberadaan pemerintah
pusat itu sendiri dalam upaya mencapai
tujuan pembangunan yaitu mengembangkan
potensi alam dan social serta membangun
kesejahteraan masyarakat. Pencapaian
prestasi daerah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang didukung
dengan tatakelola pemerintahan yang baik
sebagai manivestasi sikap dan prinsip
tanggungjawab pemangku pemerintahan
daerah harus dijadikan cermin, inspirasi dan
pembanding bagi penyelenggara
pemerintahan daerah lain khususnya dan
pemerintah pusat.
B. Pembahasan
1. Konsepsi Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Tarik menarik kewenangan urusan
pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam Negara kesatuan
bukanlah hal yang aneh. Jika kebijakan yang
dibangun dalam membentuk hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah tidak
memperhatikan aspek-aspek karakter dan
potensi daerah tentu akan membawa ekses
44 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
social ekonomi, politik yang rumit dan biaya
social yang amat mahal (high social cost)6.
Implementasi kebijakan otonomi
daerah secara lebih terbuka dan berkeadilan
dalam sejarahnya praktis dilakukan dan
dinikmati pasca berakhirnya rezim orde
baru. Di tengah-tengah suasana euphoria
kebebasan politik atas kemenangan
kelompok reformasi tersebut pemerintah
dituntut secepatnya untuk menata dan
mengelola hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Dan dalam
perkembangannya tentu tidak seperti
memecah semangka membagi/menyerahkan
urusan pemerintahan oleh pemerintah
kepada pemerintah daerah. Sebab banyak
pertimbangan dan kepentingan yang harus
dipertimbangkan. Kondisi geografis dan
sosiologis tiap daerah yang berbeda-beda
benar-benar membutuhkan kearifan dan
kajian yang komprehensif sebelum berbagai
urusan pemerintahan tersebut akan
diserahkan.
Hubungan pemerintah pusat dan
daerah oleh Clarke dan Stewart
dikonsepsikan dalam tiga bentuk hubungan
6 .Pengalaman atas pemberlakuan undang-undang
nomor 9 tahun 1974 tentang Desa sebagai instrument
hukum untuk melengkapi undang-undang nomor 5
tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah benar-benar telah memberangus karakter desa
atau sebutan lain yang dalam perpsektif konstitusi
merupakan wujud inkonstitusional kebijakan di masa
itu vide Pasal 18 B UUD 1945.
sebagai berikut 7. a. The relative autonomy
model. Dalam model relative autonomi
pemerintah pusat memberikan kebebasan/
kewenangan bertindak yang lebih besar
kepada daerah dalam kerangka tugas dan
tanggungjawab yang telah dirumuskan oleh
peraturan perundang-undangan. Dengan
pemberian kewenangan dan kebebasan
melalui peraturan perundang-undangan
tersebut pemerintah daerah menjadi lebih
leluasa dalam bertindak. Dalam kondisi
yang demikian daerah akan memiliki
keleluasaan dalam mengatur dan mengurus
urusan yang menjadi wewenangnya. b. The
agency model. Dalam model agency ini di
mana daerah tidak mempunyai kekuasaan
yang cukup berarti, sehingga daerah hanya
sebagai agen (penyalur/pelaksana saja) dari
pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijakan pemerintah pusat.
Keberadaan pemerintah daerah tak lebih
sebagai perangkat dari pemerintah pusat
yang hanya berperan sebagai perangkat yang
harus dengan patuh melaksnakan kebijakan
pemerintah pusat. c.The interaction model.
Dalam model interaction ini, keberadaan
dan peran pemerintah daerah ditentukan
7 Jazim Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah Pusat
dan Daerah (slide), Seminar Nasional dan Refleksi
Akhir Tahun 2009, Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara
(HAN) Jawa Timur, Hotel Panorama- Jember 27 –
29 Desember 2009.
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
45
45
oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Jika
interaksi yang dibangun antara pusat dan
daerah berjalan dengan baik dan dapat saling
mengisi maka kepercayaan pemerintah pusat
terhadap daerah akan semakin besar dan luas
demikian juga sebaliknya jika interaksi
antara pusat dan daerah tidak baik maka
akan sangat berpengaruh terhadap
kepercayaan pusat terhadap daerah.
Pemikiran konsepsi atas hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang dikemukakan di atas masing-
masing tentu memiliki kelebihan dan
kelemahan. Untuk diimplementasikan dalam
system Negara kesatuan Republik Indonesia
tentunya membutuhkan studi dan pengkajian
yang mendalam dan komprehensif. Selain
itu karakter daerah-daerah otonom di
Indonesia memiliki heterogenitas yang luar
biasa dimana masing-masing memiliki
kekhasan sendiri-sendiri. Sebagai bentuk
penghormatan atas karakter daerah-daerah
dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat di Indonesia, Undang-Undang Dasar
1945 secara tegas telah memberikan
jaminan terhadap hal ini.8 Oleh sebab itu
8 Ketentuan ini dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal
18 B. Berikut kutipan lengkap pasal tersebut : (1)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
pemilihan model hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
membutuhkan pemahaman dan kearifan
yang tepat untuk mencegah timbulnya ekses
negative dan munculnya disharmoni pusat
dan daerah.
Pola hubungan yang dibangun antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
didesain dan dikokohkan dalam sebuah
aturan hukum. Hukum yang mengatur
tentang hal itu dalam sejarah penyeleng-
garaan pemerintahan selama ini telah
mengalami pasang surut sejalan dengan
system politik yang dibangun oleh
kekuasaan politik. Sebagai contoh pola
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang dibangun masa kekuasaan
politik orde baru melalui instrument
kekuasaan undang-undang nomor 5 tahun
1974 yang berwatak sentralistis dan
otoritarian telah menempatkan pemerintah
daerah lebih banyak sebagai perangkat
pemerintah pusat sehingga praktis tidak ada
gagasan dan kreativitas daerah dalam upaya
mengembangkan potensi daerah dan
membangun kesejahteraan masyarakat. Dan
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
46 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
setelah kekuasaan politik orde baru berakhir
pada tahun 1998 dan digantikan oleh
kekuasaan politik reformasi melalui undang-
undang nomor 22 tahun 1999 dan pada
tahun 2004 telah diganti dengan undang-
undang nomor 32, pola hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
berubah sejalan dengan system politik yang
dibangun saat itu yakni menekan pada
demokratisasi politik dan ekonomi yang
praktis tidak pernah didapat di era
sebelumnya9.
Bagaimana pola hubungan pusat dan
daerah yang didesain dalam undang-undang
pemerintahan daerah? Pengkajian atas pola
hubungan tersebut tentu harus tetap
merujuk pada konstitusi dan ketentuan
hukum terkait. Prinsip dalam negara
kesatuan mengandung makna bahwa
pemerintah (pusat) merupakan penanggung-
jawab dalam seluruh penyelenggaraan
pemerintahan. Oleh sebab itu pemerintah
pusat harus tetap menjaga konsistensi
prinsip ini dalam situasi dan kondisi apapun.
Untuk melaksanakan kewenangan ini
pemerintah menggunakan instrument
9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan undang-undang
produk sistem politik yang demokratis. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah undang-
undang tersebut merupakan instrument pembuka
hubungan pusat dan daerah yang menerapkan asas
desentralisasi disamping asas dekonsentrasi secara
lebih terbuka.
hukum, sumber daya manusia, dan juga
sarana dan prasarana public.
Luasnya wilayah dan tugas
pemerintah, maka wilayah Negara kesatuan
dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah
provinsi, dan daerah provinsi dibagi-bagi
lagi menjadi daerah kabupaten dan kota.
Daerah-daerah tersebut kemudian diberi
(secara formal dan material) kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan yang
menjadi kewenangannya. Prinsip ini oleh
undang-undang yang mengatur
pemerintahan daerah dikenal dengan
desentralisasi. Pembagian daerah-daerah
inilah yang kemudian melahirkan
desentralisasi yaitu penyerahan sebagian
urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat.
Keberadaan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah inilah yang kemudian
melahirkan hubungan antar susunan
pemerintahan selain kewajiban. Dipahami
dari aspek kewajiban, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah sama-sama
bertangungjawab untuk menyelenggarakan
pemerintahan sesuai dengan hak,
kewenangan, dan kewajiban serta tujuan dan
cara yang telah ditentukan dalam aturan
hukum. Untuk tetap menjaga konsistensi
penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
sekali lagi sebagai konsekuensi dari prinsip
negara kesatuan, maka pemerintah pusat
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
47
47
menggunakan instrument pembinaan dan
pengawasan. Melalui instrument itu
diharapkan penyelenggaraan pemerintahan
daerah benar-benar tidak terjadi penyim-
pangan.
Konsepsi yang dibangun konstitusi
kita dalam penyelenggaraan pemerintahan
dapat ditangkap, bahwa antar susunan
pemerintahan (pusat-daerah) berkedudukan
sama-sama sebagai penyelenggara
pemerintahan, namun demikian harus tetap
diingat bahwa pemerintah pusat merupakan
penanggungjawab secara nasional. Oleh
sebab itu dalam hal-hal yang tertentu unsur
sentralistik akan tetap mewarnai dan masuk
dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah terutama dalam bentuk pengawasan
dan pembinaan. Pemerintah Daerah memang
diberi hak otonom dalam penyelenggaraan
pemerintahan, namun pemerintah pusat
tidak melepas tanpa kendali begitu saja.
Melalui hubungan antar susunan
pemerintahan (yang meliputi hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya)10
, pembinaan dan
10
Pasal 18 A UUD 1945 dan selanjutnya diatur lebih
lanjut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 14 sampai 18.
pengawasan,11
penerapan asas dekonsen-
trasi kepada daerah provinsi12
merupakan
bentuk-bentuk implementasi dari prinsip
negara kesatuan yang dibangun dalam
konstitusi kita.
Oleh karena itu dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah selain
semangat desentralisasi dengan hak-hak
otonominya keberadaan dan semangat
sentralistik pemerintah pusat merupakan
sesuatu yang tidak bisa dihilangkan
kehadirannya sebagai konsekuensi dari
prinsip Negara kesatuan tersebut. Oleh
sebab itu pemahaman terhadap pola
hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah harus dikembalikan pada aspek
kesejarahan, politik hukum yang dibangun
konstitusi kita serta tujuan dari bernegara
ini. Kesemua itu sebagai kunci pengingat
agar dalam implementasinya dapat sebagai
pencegah kemungkinan terjadinya
over/arogansi pemerintah pusat terhadap
daerah dengan dalih mengukuhkan prinsip
bentuk Negara kesatuan dengan
membalutnya dengan berbagai kemasan
11
Pasal 217 sampai Pasal 223 UU Nomor 32 Tahun
2004 dan pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 79
tahun 2005 sebagai penganti PP No. 20 Tahun
2001tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan. 12
Pasal 37 dan 38 UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pengaturan pelaksanaan Dekonsentrasi diatur dalam
PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.
48 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
kebijakan yang resentralistik dan egoisme
daerah yang kebablasan dengan dalih
daerah memiliki otonomi yang tidak dapat
dibatasi dan dikontrol oleh pusat, dimana
sikap dan perilaku demikian dikawatirkan
akan membangkitkan sikap dan perilaku
yang disharmoni antara pusat dan daerah.
2. Penyelenggaraan Urusan Pemerinta-
han
Mendiskusikan hakekat pemerinta-
han daerah yang saat ini menguat
implementasinya tentu tidak terlepas dari
landasan konstitusional sebagai titik
awalnya sekaligus sebagai wujud
membangun konstitusionalitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi
menegaskan, Negara Kesatuan republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.13
Ketentuan dalam
konstirusi ini sebagai bentuk amanat dan
dasar untuk dilaksanakannya pengelolaan
urusan pemerintahan secara berbagi antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan
daerah. Oleh karena itu keberadaan
pemerintah daerah dan pusat dalam rangka
13
UUD 1945 Pasal 18 ayat (1)
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kuota kewenangannya merupakan
amanat dari konstitusi yang harus
dijalankan.
Mengukur hak otonom dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
diberikan oleh pemerintah sebagai
konsekuensi dari dibentuknya daerah-daerah
otonom sampai dengan saat ini masih sulit
ditemukan tujukannya yang menyevutkan
secara jelas. Dalam ketentuan hukum Pasal
7 UU No. 32 Tahun 2004 secara limitatif
diatur urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan urusan
yang menjadi kewenangan uurusan
pemerintah daerah, sedang tolok ukut lain
sulit ditemukan. Mengukur otonomi daerah
tentunya tidak sebatas dari jenis dan jumlah
kuota otonomi semata, akan tetapi juga
aspek lain.
Tolok ukur pemberian hak otonom
terhadap penyelenggaraan otonomi daerah
sampai saat ini masih belum secara tegas
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh Untuk mengukur bobot
desentralisasi (otonomi daerah) dalam
sistem pemerintahan dapat diukur dengan
menggunakan beberapa parameter.14
Alat
14
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan
Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
Malang : Asosiasi
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
49
49
ukur dimaksud antara lain meliputi:
a. Quota kewenangan daerah;
b. Sistem pengawasan dan pembinaan
pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah;
c. Cara pemilihan dan pengangkatan serta
pemberhentian kepala daerah;
d. Proses pembuatan Perda.
Selain empat tolok ukur tersebut
tentu masih ada tolok ukur lain untuk
mengukur tingkat otonomi daerah yang
sedang dijalankan. Inilah yang menarik
untuk dikaji dan diteliti guna menemukan
format yang lebih jelas bagaimana format
pola hubungan antara pusat dan daerah
dibangun dan diperkuat.
Jika dicermati dalam aturan hukum
pembagian kuota penyelenggaraan urusan
pemerintahan antara pemerintah dengan
pemerintahan daerah baik daerah provinsi
maupun daerah kanbupaten/kota ada tiga
macam jenis kriteria, yaitu secara limitatif
menjadi urusan pemerintah, secara wajib
dan pilihan bagi pemerintah daerah , serta
secara bersama (concurrensi) antar susunan
pemerintahan15
. Sedangkan kuota pemba-
Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS,
hal. 22.
15
Pengaturan secara rinci tentang pembagian urusan
pemerintahan diatur dalam Pasal 10 s/d pasal 18 UU
N0. 32 tahun 2004 dan pelaksanaannya diatur dalam
gian perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
guna mendukung penyelenggaraan otonomi
telah diatur dalam undang-undang tersendiri
sebagai satu kesatuan dengan undang-
undang tentang pemerintahan daerah.16
Melalui instrument hukum tersebut
penyelenggara pemerintahan baik pusat
maupun daerah mendapat kepastian dan
legalitas atas berbagai sumber dan jenis
pendanaan yang dapat digali.
Namun demikian dengan pengaturan
secara hukum yang ketat terhadap
pembagian urusan antara pemerintah pusat
dan daerah tidak berarti urusan sudah
selesai. Wilayah Indonesia yang luas dengan
karakter daerah masing-masing sangat
berbeda tentu dibutuhkan kearifan tersendiri
dalam hal ini. Oleh sebab itu melandaskan
pada kondisi riil pada setiap daerah dalam
pembagian dan penyerahan urusan
pemerintahan merupakan sikap yang sangat
menghormati keberagaman. Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota. 16
Pengaturan perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah dimaksud adalah Undang-undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah
yang diundangkan bersamaan dengan undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah sebagai instrument
pelengkap dan pendukung penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
50 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
demikian tentunya disetiap daerah tidak
akan sama jenis dan banyaknya kuota urusan
pemerintahan yang akan diserahkan.
Dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan daerah terdapat tiga system rumah
tangga daerah, yaitu system rumah tangga
materiil, system rumah tangga formil, dan
system rumah tangga nyata (riil).17
Dalam
sistem rumah tangga materiil otonomi
daerah bukan sesuatu (hak, wewenang dan
tanggung jawab) yang tumbuh dan
berkembang secara alami, melainkan hanya
sebatas suatu pemberian atau penyerahan
dari pemerintah pusat kepada daerah. Sistem
ini bertolak dari pemikiran bahwa urusan
pemerintahan itu dapat dipilah-pilah antara
pusat dan daerah atau secara kodrati dapat
dibedakan. Ada/tidaknya otonomi daerah
dalam system ini tergantung ada/tidaknya
penyerahan suatu urusan pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Ditegaskan oleh Bagir Manan, suatu daerah
hanya dapat mengatur dan mengurus urusan
rumah tangga daerah kalau urusan itu
diserahkan kepada daerah yang bersang-
kutan.18
Menurut sistem rumah tangga formil
hakekat otonomi daerah bukanlah
merupakan sesuatu yang sifatnya pemberian,
17
Hestu Cipto Handoyo, op. cit, hal. 28. 18
Ibid, hal. 30.
melainkan sesuatu yang dibiarkan tumbuh
secara alami dan kemudian diberi
pengakuan. Otonomi daerah secara kodrati
telah melekat dalam diri suatu daerah
sebagai layaknya hak yang melekat dalam
diri manusia.19
Pangkal tolak sistem ini
adanya prinsip bahwa tidak ada perbedaan
sifat antara urusan pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pusat maupun daerah.
Urusan yang dapat diselenggarakan oleh
pusat pada hakekatnya dapat pula
diselenggarakan oleh daerah. Selanjutnya
menurut system rumah tangga riil/nyata.
Dalam system rumah tangga riil urusan
rumah tangga didasarkan pada keadaan-
keadaan atau factor-faktor nyata yang ada
dalam suatu daerah.20
Dalam system ini
memberikan peluang kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerin-
tahan tertentu menjadi urusan rumah tangga
sendiri asalkan urusan tersebut secara nyata
berdasarkan keadaan/factor nyata dan layak
menjadi urusan rumah tangga daerah.
Menurut sistem rumah tangga riil
pada hakekatnya berawal dari adanya
pengakuan dari pemerintah terhadap
keadaan atau faktor riil yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan masyarakat suatu
daerah, dan pada akhirnya menurut system
19
Ibid, hal. 32-33. 20
Ibid, hal. 35.
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
51
51
rumah tangga riil ini kandungan/kuota
kewenangan urusan pemerintahan akan
berbeda/tidak sama/bervariasi antara daerah
yang satu dengan daerah laiinnya.21
Sistem
rumah tangga riil ini sangat mendukung dan
lebih tepat untuk dijadikan model sistem
otonomi Indonesia sebagai tindak lanjut
dari dibentuknya daerah-daerah yang
diserahi urusan pemerintahan tertentu tetapi
juga memberikan pengakuan (penguatan)
formil atas urusan pemerintahan tertentu
(nyata) yang telah ada lebih dahulu di
daerah itu.
Sebagai satu kesatuan wadah dalam
negara kesatuan maka antara pemerintah dan
pemerintahan daerah akan dibangun
hubungan antar susunan pemerintahan
maupun sesama susunan pemerintahan.
Hubungan antar susunan pemerintahan
tersebut antara lain meliputi hubungan
wewenang; hubungan keuangan, pelayanan
umum, dan juga pemanfaatan sumber daya.
22
21
HAW. Wijaya. Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom. Rajawali Press:Jakarta, 2002, hal. 24. 22
Philipus M. Hadjon. Kedudukan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah dalam Sistem Pemerintahan.
(Makalah) Disampaikan dalam Seminar Sistem
Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Depkeh dan Ham RI Bekerja sama
dengan Fakultas Hukum Universitas Air langga dan
Kantor Wilayah Depkeh dan Ham Propinsi Jawa
Timur tanggal 9-10 Juni 2004.
Prinsip pembagian kewenangan
dalam urusan pemerintahan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
merupakan konstruksi system yang
dibangun oleh UUD 1945. Keterbatasan
pemerintah pusat dalam menyelenggarakan
seluruh urusan pemerintahan merupakan
salah satu alasan yang dikuatkan konstitusi
dilibatkannya daerah dalam menyeleng-
garakan urusan pemerintahan. Melalui
sistem penyelenggaraan urusan pemerin-
tahan yang demikian diharapkan daerah-
daerah akan lebih proaktif dan kreatif dalam
menyelenggarakan dan mengurus urusan
pemerintahan dan berbagai kepentingan
masyarakat daerah. Sistem yang demikian
diharapkan mampu membentuk dan
menempatkan daerah-daerah menjadi
penyangga (buffer) dalam upaya
pembentukan pemerintahan nasional yang
kuat, demokratis dan berkeadilan. Secara
logika, jika pemerintahan daerah yang
disokong oleh rakyat daerah kuat, maka
pemerintahan nasional juga akan semakin
kuat, dan sebaliknya jika kuatnya
pemerintahan nasional tidak didukung oleh
pemerintahan daerah yang kokoh sangat
rawan terjadinya instabilitas politik.
Untuk mendukung penguatan
otonomi daerah, kebijakan dan pengaturan
52 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
harus mengarah pada upaya yang sungguh-
sungguh dengan memberikan secara nyata
beberapa komponen penguat dalam
penyelenggaraan otonomi daerah yang oleh
Agus Syamsudin diidentifikasi sebagai
berikut : (a) Self Regulating Power,yaitu
kemampuan mengatur dan melaksanakan
otonomi Daerah demi kesejahteraan
masyarakat di daerahnya. (b) Self
Modifiying Power, yaitu kemampuan
melakukan penyesuaian-penyesuaian dari
peraturan yang ditetapkan secara nasional
dengan kondisi daerah. (c) Local Political
Support, yaitu menyelenggarakan pemerin-
tahan daerah yang mempunyai legitimasi
luas dari masyarakat, baik pada posisi
Kepala Daerah sebagai unsur eksekutif
maupu DPRD sebagai unsur legislatif.
Dukungan politik local ini akan sekaligus
menjamin efektivitas pe-nyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. (d)
Financial Recources, yaitu mengembangkan
kemampuan dalam mengelola sumber-
sumber penghasilan dan keuangan yang
memadai untuk membiayai kegiatan-
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat yang segera menjadi
kebutuhannya. dan (e) Developing Brain
Power, yaitu membangun sumberdaya
manusia aparatur pemerintah dan
masyarakat yang handal yang bertumpu
pada kapabilitas intelektual dalam
menyelesaikan berbagai masalah. dimana
komponen tersebut secara normative telah
diwadahi dan mendapat pengaturan dalam
undang-undang pemerintahan daerah.23
3. Rasionalitas Otonomi Daerah Dalam
Negara Kesatuan
Implentasi dan tindaklanjut dari
pembentukan daerah-daerah otonom adalah
diberikannya hak otonom kepada daerah-
daerah tersebut. Pendekatan yuridis yang
digunakan dalam pemberian Otonomi
daerah yang seluas-luasnya (luas sekali)
yang diberikan kepada daerah kecuali yang
oleh undang-undang ditentukan menjadi
urusan pemerintah pusat merupakan bentuk
sharing of power yang sangat rasional
walaupun dalam perspektif Negara kesatuan
hal ini menimbulkan masih perdebatan.
Beberapa argumen rasional yang
mendukung dilaksanakannya otonomi
daerah dalam Negara kesatuan dapat
dipaparkan sebagai berikut.
a. Efisiensi dan efektifitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Mengelola negara yang sangat
23
Trilaksono Nugroho, Reformasi dan Reorientasi
Kebijakan Otonomi daerah dalam perspektif
Hubungan PemerintahPpusat-Daerah. Jurnal
Administrasi Negara, Vol. I, No. 1, September 2000 :
11-18.
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
53
53
komplek, luas serta kondisi geografis
yang terdiri dari ribuan pulau yang
dihubungkan dengan laut dan perairan
dilakukan secara sentralistik tidaklah
memungkinkan.
b. Instrumen Pendidikan Politik tingkat
lokal. Pemerintahan daerah (local
government) dalam kontek nasional
dapat dijadikan sebagai lahan
permainan/pelatihan (training ground)
bagi para politikus lokal dan sekaligus
sebagai basis yang kokoh untuk
membangun dan mengembangkan
demokrasi dalam sebuah negara.
Persaingan yang sangat ketat untuk
berkarir di pusat pemerintahan
merupakan alih-alih yang tepat untuk
menjadikan kehidupan politik lokal
sebagai sarana berlatih dan menata karir
politik ke depan untuk masa yang akan
datang.
c. Penguat Stabilitas Politik Nasional.
Stabilitas politik nasional disangga dan
berawal dari stabilitas politik daerah
(lokal) atau Stabilitas politik nasional
diawali dan dibangun dari politik lokal.
Jika setiap kehidupan politik lokal
terbangun stabilitas yang ajek, kokoh
dan berkelanjutan maka akan membawa
efek positif terhadap daerah lain dan
pada akhirnya secara nasional. Stabilitas
politik lokal dan diharapkan berdampak
pada stabilitas politik secara nasional
d. Kesetaraan Politik. Masyarakat di
daerah otonom baik perorangan maupun
kelompok memiliki kesempatan yang
sama dalam ikut mempengaruhi
kebijakan pemerintahan di daerah
berkaitan dengan kepentingan mereka.
Bangunan kesetaraan politik daerah
otonom ini akan memicu warga
masyarakat untuk berperanserta secara
optimal. Pemunculan kesetaraan politik
yang didasari atas nilai-nilai yang
dibangun dari kearifan lokal dan
dipadukan dengan aturan hukum akan
sangat efektif jika diawali dari lokal.
e. Persiapan Karier Politik yang lebih
luas. Para aktor politik dalam
membangun karir politik ditataran
nasional akan sangat teruji dan matang,
berisi dan mendapat legitimasi publik
yang luas jika mampu menapak,i dari
bawah (lokal). Prestasi dan kemampuan
mengelola pemerintahan di tingkat lokal
akan menjadi magnit yang kuat bagi
dirinya untuk ditarik ke jenbtang yang
lebih tinggi dan lebih kuatg
tantangannya.
54 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
f. Ketepatan Perencanaan Pembangunan.
Kondisi Indonesia yang multikultural
baik aspek demografi, geografi, sumber
pencaharian ekonomi, agama dan
kepercayaan akan sangat tepat dan tentu
juga cocok untuk disesuaikan dengan
kepentingan mendasar masyarakat yang
sangat heterogin tersebut. Kebutuhan
dasar yang sesuai dengan kondisi
geografis, sosiologis dan ekonomis dari
masyarakat dapat ditelisik dan
direncanakan dengan baik jika dilakukan
oleh masyarakat daerah di bawah
bimbingan, pembinaan dan pengawasan
pemerintah pusat.
Selanjutnya Josef Riwu Kaho
sebagaimana dikutif oleh Bambang
Yudoyono24
memberikan rasionalitas
perlunya melaksanakan desentralisasi
kewenangan sesuai sistem pemerintahan
negara sebagai berikut :
a. Desentralisasi untuk mencegah
penumpukan kekuasaan pada satu
pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tirani;
b. Desentralisasi dipandang sebagai
tindakan pendemokrasian untuk
24
Bambang Yudoyono. Otonomi Daerah,
Desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Aparatur Pemerintahan Daerah dan
Anggota DPRD. Sinar Harapan: Jakarta, 2001, hal.
20-21.
menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam
mempergunakan hak-hak demokrasi;
c. Adesentralisasi untuk mencapai
suatu pemerintahan yang efisien, apa
yang dianggap lehih utama untuk
diurus oleh pemerintah (daerah)
setempat, pengurusannya diserahkan
kepada daerah;
d. Desentralisasi perlu diadakan supaya
perhatian sepenuhnya dapat
ditumpukan kepada kekhususan
suatu daerah seperti geografi,
penduduk, ekonomi dan lain-lain;
e. Desentralisasi diperlukan karena
pemerintah daerah dapat lebih
banyak dan secara langsung
membantu dan melaksanakan
pembangunan daerahnya.
4. Setralisasi dan Desentralisasi sebagai
Conditio Sine Quanon dalam Negara
Kesatuan
Komitmen nasional yang
mengunakan asas desentralisasi dalam
Negara Kesatuan Indonesia tersebut
mengandung makna bahwa
penyelenggaraan organisasi dan administrasi
negara Indonesia tidak hanya dilakukan
semata-mata atas dasar asas sentralisasi,
tetapi juga dengan menggunakan asas
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
55
55
desentralisasi dan otonomi daerah sebagai
perwujudannya. Dengan demikian, setidak-
tidaknya di kalangan para Pembentuk UUD
1945 dan penyelenggara organisasi negara
Indonesia (termasuk juga sampai dengan
saat ini) telah menerima dan diterima
pemikiran yang mendasar bahwa sentralisasi
dan desentralisasi masing-masing sebagai
asas organisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak ditempatkan pada kutub
yang berlawanan (dichotomy) dan
dipisahkan (separating), tetapi kedua asas
tersebut merupakan suatu rangkaian
kesatuan (continuum) dan menyatu (unity).
Kedua asas ini memiliki fungsi yang
berlainan dalam memberikan penguatan
negara kesatuan, tetapi saling melengkapi
bagi keutuhan organisasi negara. Secara
lebih dan agak ektrim penerapan asas
sentralisasi secara ketat berfungsi
menciptakan “keseragaman” dan juga
pengendalian antar susunan pemerintahan
daerah, sedangkan penerapan asas
desentralisasi dibangun untuk menciptakan
keberagaman di daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dari setiap
daerah otonom sesuai dengan kekhasan dan
dinamika daerah. Asas ini sekaligus sebagai
perlindungan dan penguatan terhadap
berbagai kearifan lokal termasuk adat
istiadat serta hukum adatnya yang secara
sosiologis telah ada dan memberikan
penguatan untuk berjalannya pemerintahan
daerah dan kehidupan masyarakat yang
lebih baik secara efektif.
Penerapan kedua asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam
negara kesatuan yang telah diamanatkan
oleh konstitusi itu sudah sangat tepat. Hanya
saja secara terus menerus perlu dilakukan
monitoring dan evaluasi atas implementasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah
(desentralisasi) dengan pembinaan dan
pengawasan agar pembentukan daerah
otonom dan pemberian kewenangan dalam
urusan pemerintahan kepada pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
Selain itu pemerintah juga tetap untuk tidak
tergiur untuk mengeluarkan kebijakan yang
menjerat dan mengarah pada usaha-usaha
meresentralisasi terhadap urusan yang telah
didesentralisasikan dengan perkecualian jika
penyelenggaraan urusan tersebut telah
dilalaikan atau salah dalam implementasikan
sehingga menimbulkan dampak sosial dan
politik yang membahayakan persatuan dan
kesatuan serta kelangsungan kehidupan
masyarakat daerah berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan dengan aturan.
56 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
Penguatan terhadap kelembagaan
daerah menjadi salah satu instrumen penting
untuk tetap membangun trust dan soliditas
bahwa keberadaan pemerintahan daerah
sebagai ujung tombak yang penting untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejah-
teraan dan menjamin integrasi bangsa.25
5. Membangun Pola Hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
Mencermati keberadaan pemerintah
pusat dan daerah dalam konsepsi negara
kesatuan Republik Indonesia dipandang dari
sudut efektifitas, efisiensi, ketepatan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
pemerataan keadilan politik dan ekonomi
serta sosial, kesetaraan, kemandirian daerah
tentu sangat terasa sekali manfaat yang telah
dipetik. Pelaksanaan pemerintahan daerah
hingga kini telah berjalan di tahun ke 11
pasca reformasi. Namun bagaimana format
hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah perlu ada kejelasan. Apakah
pemerintah daerah sebagai perangkat
pemerintah pusat dalam meyelenggarakan
urusan pemerintahan yang berarti
menguatnya resentralisasi ataukah
pemerintah daerah sebagai sebuah entitas
25
Hj. Sedarmayanti dkk, Desentralisasi dan Tuntutan
Kelambagaan Daerah. Bandung, Humaniora, 2005,
hal. 3.
yang berdiri sendiri sebagai sebuah
pemerintahan dengan segala kewenangan
yang telah diberikan oleh pemerintah pusat
sehingga pemerintah pusat tidak dapat
melakukan intervensi atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dalam hal ini tentunya
tetap diingat, bahwa tanggung jawab
nasional atas penyelenggaraan pemerintahan
adalah pemerintah pusat, sehingga
pemerintah pusat tetap memiliki hak
prerogratif untuk melakukan pembinaan,
control (monitoring) dan evaluasi serta
memberikan reward dan bila perlu hukuman
(sanksi) kepada pemerintah daerah yang
tidak secarta konsisten melaksanakan dan
menyelenggarakan pemerintahan.
Kedepan perlu diatur bagaimana
hubungan dan kedudukan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah secara
sistemik. Pengaturan ini diperlukan untuk
memberikan kepastian dan penguatan atas
keberlangsungan pemerintah dan
pemerintahan daerah. Dengan pengaturan
yang jelas maka dapat dicegah kemungkinan
munculnya ego pusat-daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan karena
perbedaan konstelasi dan afiliasi politik
antara kepala pemerintahan pusat dengan
pemimpin/kepala pemerintahan daerah.
Pengaturan hal itu sangat penting untuk
dilakukan guna menjamin bahwa apapun
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
57
57
afiliasi politik dan siapapun
kepala/pemimpin daerah harus tetap loyal
kepada pemerintah pusat dalam
melaksanakan fungsi keperintahan.
Sistem politik dan pemilu yang
dibangun untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah dan untuk memilih
presiden dan wakil presiden memang sangat
memungkinkan terjadinya perbedaan partai
yang memenangkan sehingga pasangan
calon presiden dan wakil presiden sangat
mungkin berbeda partainya dengan
pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang terpilih.
Kondisi ini secara politis hal yang
sangat lumrah terjadi sekaligus sebagai
proses politik yang demokratis. Namun
begitu perbedaan partai pemenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tentu bukan menjadi alasan bagi seorang
kepala daerah dan wakilnya untuk tidak
loyal kepada pemerintah pusat. Bahkan
loyalitas harus selalu terbangun kepada
pemerintah pusat sebagai konsekuensi dari
bentuk negara kesatuan yang telah kita
tetapkan. Oleh karena itu sangat tepat jika
salah satu kewajiban kepala daerah dan
wakilnya mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.26
Untuk memagari guna memperkuat
basis negara kesatuan dan dibagi-baginya
menjadi daerah-daerah, maka sekali lagi ke
depan harus dikuatkan dengan aturan hukum
yang mengatur bangunan secara sistemik
bagaimana kedudukan dan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Undang-undang pemerintahan dae-
rah memang telah mengatur kedudukan dan
pembagian kewenangan serta isi hubungan
antar susunan pemerintahan. Pengaturan
hubungan dan kedudukan secara sistemik
pusat-daerah, daerah provinsi dengan
kabupaten/kota dalam kerangka otonomi
daerah perlu dipertegas guna menjamin
kelangsungan penyelenggaraan pemerin-
tahan sesuai kewenangan masing-masing.
Loyalitas yang terbangun antara pusat dan
daerah ke depan tentunya bukan semata atas
dasar kesamaan politik akan tetapi atas dasar
kebersamaan dalam perbedaan, kepastian
dan keadilan, tugas dan tanggungjawab serta
kesadaran sebagai satu kesatuan bangsa dan
Negara Indonesia.
C. Penutup
26
Pasal 27 ayat (1) huruf a.
58 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 39 - 59
Pembentukan daerah-daerah otonom
dan pemberian hak-hak otonom atas dae-
rah–daerah otonom merupakan kebijakan
yang konstitusional. Oleh karena itu
pengaturan lebih lanjut dari amanat
konstitusi tersebut untuk member penguatan
sebagai konsekuensi dari pilihan bentuk
negara kesatuan merupakan sebuah
keharusan yang mendesak.
Pola hubungan antara pusat dan
daerah dalam negara kesatuan perlu
dikuatkan secara sistemik dengan aturan
hukum guna menjamin kepastian dan
kejelasan sejalan dengan kuatnya manfaat
dan dukungan dari kebijakan otonomi
daerah yang telah diimplementasikan secara
riil dalam satu dasawarsa ini. Bagaikan
sebuah sisi mata uang dari sebuah koin,
maka antara pemerintah pusat dan daerah
memiliki urgenistas dan tingkat kepentingan
yang relative tidak berbeda dalam
menjalankan fungsi pemerintahan guna
mewujudkan tujuan dibentuknya Negara.
Inilah pilihan ideal yang harus
ditindaklanjuti dengan penataan dan
pemberian penguatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bambang Yudoyono, 2001, Otonomi
Daerah, Desentralisasi dan
Pengembangan Sumber Daya
Manusia Aparatur Pemerintahan
Daerah dan Anggota DPRD. Sinar
Harapan: Jakarta.
Fadel Muhammad, 2008. Reinventing Lokal
Goverenment: Pengalaman dari
daerah,. PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Hestu Cipto Handoyo, 1998. Otonomi
Daerah Titik Berat otonomi dan
Urusan Rumah Tangga Daerah
(Pokok-pokok Pikiran Menuju
Reformasi Hukum di Bidang
Pemerintahan Daerah). Universitas
Atmajaya : Yogyakarta.
Soewoto Mulyosudarmo, 2006.
Pembaharuan Ketatanegaraan
Melalui Perubahan Konstitusi,
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN
Jawa Timur dan In-TRANS, Malang.
Suko Wiyono, H. 2006. Otonomi Daerah
dalam Negara Hukum Indonesia.
(Pembentukan Peraturan Daerah
Partisipatif), Faza Media, Jakarta.
Wijaya. HAW. 2002. Otonomi Daerah dan
Daerah Otonom. Rajawali Press,
Jakarta.
B. Artikel Jurnal
Ropii, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah
(Konsepsi dan Dinamikanya)
59
59
Trilaksono Nugroho, “Reformasi dan
Reorientasi Kebijakan Otonomi
Daerah dalam Perspektif Hubungan
Pemerintah Pusat-Daerah”. Jurnal
Administrasi Negara, Vol. I, No. 1,
September 2000.
C. Makalah/Pidato
Jazim Hamidi, Pola Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah (slide),
Disampaikan dalam Seminar
Nasional dan Refleksi Akhir Tahun
2009, Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara (HTN) dan Hukum
Administrasi Negara (HAN) Jawa
Timur, Hotel Panorama- Jember 27
– 29 Desember 2009.