21

Policy Paper · 2020. 8. 12. · calon pemilih untuk pemilu serentak 2019. Meskipun secara umum pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 berjalan dengan baik dan tidak meninggalkan

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • MENCIPTAKAN PEMILU SERENTAKYANG DAMAI, DEMOKRATIS DAN

    BERINTEGRITAS

    Tim Penyusun:Sarah Nuraini Siregar

    Esty Ekawati

    Policy Paper

    Pusat Penelitian Politik (P2Politik)Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan

    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI)Jakarta, 2018

  • Diterbitkan oleh:Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI)Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

    Desain pra cetak: Prayogoiv + 16 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, Desember 2018

    ISBN: 978-602-5991-10-3

    Policy Paper

    MENCIPTAKAN PEMILU SERENTAK YANG DAMAI, DEMOKRATIS DAN BERINTEGRITAS

    Tim Penyusun:Sarah Nuraini Siregar, Esty Ekawati

  • A. Pendahuluan ........................................................................ 1 B. Evaluasi Kondisi Saat ini ................................................. 2

    C. Analisis dan Solusi ............................................................. 5 D. Rekomendasi ...................................................................... 9

    DAFTAR ISI

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    1

    MENCIPTAKAN PEMILU SERENTAK YANG DAMAI, DEMOKRATIS

    DAN BERINTEGRITAS

    A. Pendahuluan

    Pemilihan umum (pemilu) serentak merupakan sebuah hal yang baru bagi Indonesia, namun bukan hal yang baru sebagai sebuah sistem pemilu di dunia politik. “Pemilu serentak” telah menjadi istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan mekanisme pelaksanaan pemilu dalam pemilihan posisi jabatan politik dan/atau pada level wilayah pemilihan yang berbeda. Sistem ini telah banyak diterapkan di negara-negara demokratis termasuk Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa Barat, Amerika Latin dan Asia.

    Berdasarkan pengalaman di banyak negara, praktik pemilu serentak terbagi menjadi tiga bentuk, yakni: (1) pemilu serentak nasional, yaitu pemilu untuk memilih anggota legislatif dan pejabat eksekutif di tingkat nasional secara bersamaan, (2) pemilu serentak nasional-lokal, yaitu pemilu yang dilakukan secara serentak baik untuk memilih eksekutif-legislatif di tingkat nasional, maupun lokal, dan (3) pemilu serentak khas negara anggota Uni Eropa, di mana waktu pelaksanaan pemilu tidak hanya untuk menjalankan pemilihan lokal, regional dan nasional di negaranya, tetapi juga untuk pemilihan anggota Parlemen Eropa. Skema pemilu serentak yang diterapkan Indonesia pada tahun 2019 mengikuti model pemilihan lima kotak. Dalam model ini para pemilih akan memilih secara serentak Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Skema ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang lebih efektif, berintegritas dan demokratis.

    Sebagai sebuah mekanisme politik, pemilu serentak tidak saja akan berdampak pada kualitas pemerintahan dan berbagai kebijakannya, namun juga dalam banyak aspek di antaranya penyelenggara pemilu, konstituen/pemilih dan peserta pemilu. Begitu pula dampak dari sisi finansial. Bagi penyelenggara pemilu, pemilu serentak diyakini dapat menghemat biaya pemilu serta meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemilu. Sementara dampak dari sisi pemilih, pemilu serentak diharapkan dapat mendorong ketertarikan pemilih untuk mengikuti pemilu, meski fokusnya cenderung pada level pemilu yang lebih tinggi, misalnya pemilu DPR dibandingkan DPRD.

  • 2

    Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    Dampak pemilu serentak juga mencakup pada harapan untuk perbaikan terhadap salah satu fungsi partai politik yaitu rekrutmen partai politik. Temuan teori memperlihatkan bahwa sistem pemilu serentak mampu meningkatkan kompetisi antar partai di dalam pemilu. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada upaya yang lebih besar bagi partai untuk menjalani fungsi rekrutmen dengan baik. Partai politik berkepentingan untuk meningkatkan kualitas kader yang mereka miliki agar mereka mampu berkompetisi dengan baik di dalam partainya. Hal ini sebagai “jaminan” dari parpol kepada masyarakat bahwa kader yang dicalonkan memiliki kapabilitas, kapasitas dan figur yang baik serta dapat dipercaya masyarakat.

    Walau berbagai harapan muncul dalam (rencana) pemilu serentak 2019, masih terdapat beberapa persoalan yang menyangkut pemilu serentak itu sendiri. Pertama, penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2019 masih belum mengatur peraturan operasionalisasinya yang bisa memperkuat sistem presidensial, karena pemilu serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) lebih condong pada penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara serentak.

    Kedua, harus disadari bahwa masyarakat yang menjadi obyek penting dalam kesuksesan pelaksanaan pemilu serentak. Karena itu kesiapan masyarakat dalam pemilu serentak 2019 menjadi penting. Kesiapan yang dimaksud adalah kesadaran politik yang lebih baik serta tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Kesadaran politik itu benar-benar dimulai sejak tahap awal pemilihan hingga tahap akhir pada saat memilih; bahwa tidak ada toleransi terhadap politik uang dalam bentuk apapun. Dengan adanya kesadaran politik ini maka akan mendorong terciptanya pemilu yang bersih, damai, demokratis, dan berintegritas. Hal yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah telah ada dan bagaimana program sosialisasi politik yang terencana dan terprogram secara kontinu, baik dari penyelenggara pemilu maupun pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.

    B. Evaluasi Kondisi Saat ini

    Pemilu serentak 2019 memang belum terlaksana saat usulan naskah kebijakan ini dikeluarkan. Namun proyeksi mengenai kesuksesan atau kegagalan pelaksanaan pemilu serentak 2019 dapat diperhitungkan sejak dini. Perhitungan ini berdasarkan beberapa kondisi empirik yang telah terlihat sebelum 2019, di antaranya adalah evaluasi atas

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    3

    pelaksanaan pilkada serentak 2018 dan problematik yang terjadi di tahapan pemilu serentak 2019 antara penyelenggara pemilu yakni KPU dan Bawaslu.

    Evaluasi atas pelaksanaan pilkada serentak 2018 menjadi dasar bagi gambaran ke depan pelaksanaan pemilu nasional serentak 2019. Pilkada serentak 2018 menjadi pilkada serentak yang dilaksanakan untuk ketiga kalinya dalam kurun 10 tahun terakhir setelah pada tahun 2015 dan 2017 juga diselenggarakan pilkada serentak. Pilkada Serentak 2018 kerap disebut cikal bakal gambaran atau peta baru kontestasi partai politik dan kepemimpinan pada pemilu 2019. Beberapa pengamat maupun kalangan akademisi menilai bahwa dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada serentak 2018 di 171 daerah kabupaten kota dan provinsi telah menunjukkan gambaran “pilkada rasa pilpres. Hal ini disebabkan jumlah daerah dan pemilih di dalam pilkada serentak 2018 merepresentasikan 80% calon pemilih untuk pemilu serentak 2019.

    Meskipun secara umum pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 berjalan dengan baik dan tidak meninggalkan konflik berkepanjangan, namun tetap saja terdapat beberapa catatan evaluasi yang diharapkan dapat menjadi acuan perbaikan dalam pelaksanaan pemilu, khususnya pemilu 2019 mendatang. Perbaikan ini akan menjadi salah satu rekomendasi kepada pemerintah agar pelaksanaan pemilu serentak 2019 dapat terselenggara secara damai dan berintegritas.

    Pertama adalah potensi konflik pasca pelaksanaan pilkada serentak 2018. Realitas empirik memperlihatkan bahwa pascapilkada telah menyebabkan terjadinya aksi kekerasan dan kerusuhan yang menelan kerugian fisik maupun jiwa. Fenomena ini memperlihatkan bahwa potensi kekerasan dan kerusuhan pasca pilkada serentak lebih besar daripada potensi pilkada yang watu pelaksanaannya tidak diselenggarakan secara bersamaan. Evaluasi atas pilkada serentak menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak baik 2015 dan 2018 tidah memperhitungkan potensi kekerasan dan kerusuhan yang diakibatkan dari pengaturan waktu “serentak” tersebut.

    Kedua, masifnya politik uang dalam pilkada serentak. Persoalan ini muncul karena biaya politik yang cukup tinggi dalam pelaksanaan pilkada serentak. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya “transaksi politik”, terutama antara calon dengan mitra atau perusahaan-perusahaan potensial yang dapat memberikan bantuan dana kampanye. Transaksi politik ini dapat berupa “janji politik” untuk beberapa proyek pemerintah daerah. Selain itu, politik uang

  • 4

    Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    juga turut terjadi di dalam mobilisasi pemilih saat hari pencoblosan. Hal ini menyebabkan timbulnya pertanyaan besar, bahkan keraguan akan perwujudan pilkada serentak 2018 yang berintegritas.

    Ketiga, polemik pada saat tahapan penyelenggaraan pemilu. Ada beberapa persoalan yang terjadi di mana terjadi perbedaan pandangan dan penafsiran aturan antara KPU dan Bawaslu. Persoalan pertama adalah perbedaan putusan atas proses verifikasi faktual partai politik peserta pemilu. Dari 16 partai yang mendaftar, dua di antaranya dinyatakan KPU tidak lolos verifikasi faktual. Dua partai tersebut adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). PBB memenuhi syarat untuk kategori kepengurusan, keterwakilan perempuan, dan domisili kantor. Namun, PBB gagal memenuhi syarat keanggotaannya di Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat sehingga status PBB secara nasional dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat. Sedangkan, PKPI tidak memenuhi syarat pada kategori kepengurusan dan keanggotaan tingkat provinsi serta kabupaten/kota. Keputusan KPU menyatakan bahwa PKPI tidak dapat menjadi peserta pemilu karena tidak memenuhi persyaratan di 73 kabupaten/kota yang ada di empat provinsi antara lain Jawa Timur (15 kabupaten/kota), Jawa Tengah (26 kabupaten/kota), Jawa Barat (15 kabupaten/kota), dan Papua (17 kabupaten/kota). Sehingga status PKPI secara nasional dinyatakan oleh KPU tidak memenuhi syarat.

    PBB mengajukan gugatan ke Bawaslu dan melalui sidang adjudikasi penyelesaian sengketa proses pemilu, Bawaslu memutuskan PBB memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu 2019. Bawaslu menilai kepengurusan PBB di Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat telah lengkap dan memenuhi syarat. Oleh sebab itu, Bawaslu meminta KPU untuk menetapkan PBB sebagai partai politik peserta Pemilu 2019.

    Lain halnya dengan PKPI. Bawaslu menguatkan putusan KPU yang menolak gugatan PKPI. Berdasarkan pemeriksaan Bawaslu, PKPI gagal memenuhi syarat 75% kepengurusan dan keanggotaan di keempat provinsi yang menjadi bahan gugatan. Syarat ini telah ditegaskan dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu, yakni partai peserta pemilu memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota dalam satu provinsi.

    Meskipun putusan Bawaslu atas gugatan PKPI sejalan dengan KPU, namun perbedaan pandangan keduanya sudah terjadi terkait penetapan parpol peserta pemilu 2019. Bawaslu sudah membatalkan tiga keputusan KPU soal kepesertaan pemilu. Pertama, soal

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    5

    pendaftaran sembilan partai yang ditolak KPU, kedua, soal Partai Berkarya dan Partai Garuda yang tidak lolos administrasi, dan ketiga adalah keputusan kepesertaan PBB dalam pemilu 2019.

    Persoalan kedua yakni polemik terkait PKPU No.20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pasal 4 Ayat (3) yang berbunyi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” Dalam posisi ini, KPU berpedoman pada PKPU sehingga melarang mantan napi korupsi mendaftar sebagai calon legislatif (caleg). Sedangkan, Bawaslu berpegang pada UU No.7/2017 tentang Pemilu yang tidak menyebutkan adanya larangan bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri. KPU berpandangan bahwa jika sebuah aturan sudah diundangkan dan masih berlaku maka aturan tersebut mengikat semua pihak tak terkecuali Bawaslu. Sebaliknya, Bawaslu menolak mengakui adanya PKPU karena dalam proses mengambil keputusan, Bawaslu tidak menjadikan PKPU sebagai pertimbangan.

    Perbedaan pandangan tersebut termanifes pada putusan Bawaslu yang meloloskan bakal caleg mantan napi koruptor. Belasan mantan narapidana korupsi diloloskan sebagai bakal caleg pemilu 2019. Mereka berasal dari Bulukumba, DKI Jakarta, Belitung Timur, Mamuju, Tojo Una-Una, Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare. Namun, KPU bersikeras tetap mengembalikan berkas pendaftaran para bakal caleg mantan napi koruptor karena dianggap tidak memenuhi syarat. Sebab semangat larangan mantan napi korupsi mencalonkan diri adalah sebagai salah satu upaya memberantas korupsi,

    Berdasarkan refleksi atas tiga persoalan di atas maka dapat dikatakan bahwa masih ada kesenjangan antara kondisi ideal yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan melalui pemilu serentak dengan realitas yang ada. Adanya semangat untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas dengan melarang mantan napi koruptor untuk mencalonkan diri lagi pada pemilu 2019 rupanya tidak mendapat satu suara dari penyelenggara pemilu itu sendiri.

    C. Analisis dan Solusi

    Berdasarkan kondisi tersebut, beberapa pertimbangan perlu diperhatikan sebagai upaya untuk menjaga agar pelaksanaan pemilu serentak 2019 sesuai harapan banyak pihak. Pertimbangan-pertimbangan ini juga dianalisis dari hasil analisa Survei Ahli-

  • 6

    Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    LIPI 2018 yang melihat bahwa ada beberapa persoalan terkait penyelenggaraan pemilu serentak. Beberapa persoalan inilah yang akan berdampak pada kualitas pemilu serentak 2019 dan upaya menciptakan Pemilu yang Damai, Demokratis dan Berintegritas

    C.1. Kesiapan Penyelenggaraan Pemilu

    Pemilu yang berintegritas menuntut kesadaran semua pihak untuk tunduk pada prinsip hukum dan etika secara bersamaan. Untuk memulainya maka langkah awal yang harus diwujudkan terbangunnya integritas penyelenggara pemilu. Terkait hal tersebut, analisis Survei Ahli menunjukkan bahwa integritas penyelenggara pemilu dapat terwujud jika sejumlah faktor yang menentukan kualitas pemilu di Indonesia dapat terjaga dengan baik. Faktor-faktor tersebut antara lain; Pertama, partisipasi pemilih. Ini merupakan faktor yang paling menentukan dalam kualitas enyelenggaraan pemilu. Kedua, kualitas kinerja lembaga penyelenggara. Merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017, para penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelengggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga, kualitas tata kelola penyelenggaraan pemilu.

    Keempat, kinerja peserta pemilu yaitu partai politik. Dalam hal ini, kinerja partai politik dalam menghadirkan kandidat legislatif dan eksekutif (kandidat presiden dan wakil presiden) menjadi penting. Kelima, regulasi pemilu. Regulasi pemilu seperti undang-undang, peraturan penyelenggara, dan lainnya menjadi salah satu hal yang menentukan kualitas penyelenggaraan. Selain kelima faktor tersebut, masih ada faktor-faktor lain yang dinilai ahli mempengaruhi kualitas pemilu di Indonesia antara lain; Pengawasan pemilu, tingkat pengetahuan pemilih, rekrutmen kandidat, netralitas penyelenggara pemilu, dan sosialisasi pemilu.

    C.2. Potensi Masalah Menjelang Pemilu Serentak 2019

    Terdapat sembilan peta masalah yang dianggap penting dan perlu mendapat perhatian dari pihak penyelenggara pemilu, antara lain:

    1. Ketidakakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini menjadi persoalan yang paling penting untuk diselesaikan karena selalu muncul setiap penyelenggaraan pemilu. Persoalan DPT sering menimbulkan masalah seperti sengketa pemilu. Seringkali DPT, yang terkait administrasi kependudukan, juga menjadi

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    7

    silang pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dan KPU, terutama dari segi updating DPT untuk mendapatkan data yang kredibel. Kredibilitas data akan menentukan kualitas demokrasi itu sendiri, yakni mewujudkan pemilu yang berintegritas. Dalam hal ini Kemendagri, KPU, Bawaslu, partai politik, dan masyarakat perlu mengawal DPT. Masalah yang seperti klasik ini dapat berpotensi mengganggu tahapan demi tahapan pemilu serentak..

    2. Minimnya edukasi pemilih. Menurut sebagian ahli, edukasi pemilih akan menentukan partisipasi pemilih di pemilu. Bahkan edukasi turut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pemahaman masyarakat atas sistem pemilu serentak. Dengan pendidikan pemilih yang memadai, pemilih akan mendapat pengetahuan yang cukup untuk menentukan pilihan. Pendidikan pemilih menjadi tantangan bersama, terutama pihak penyelenggara. Diperlukan usaha intensif agar pemilih mengetahui dan memahami format pemilu serentak. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya sikap enggan untuk berpartisipasi atau memilih untuk golput.

    3. Tingginya beban kerja penyelenggara. Sebagaimana diketahui dengan skema pemilu serentak kemungkinan kerumitan penyelenggaraan juga besar, seperti tahapan pemilu sampai dengan persoalan logistik dan distribusinya. Khusus distribusi logistik misalnya, perlu diantisipasi mengingat keserentakan pemilu akan menambah sejumlah logistik kepemiluan. Kemampuan penyelenggara dalam distribusi logistik akan menentukan kelancaran tahapan pemilu dan pada ujungnya akan menentukan kualitas demokrasi itu sendiri.

    4. Problem sosialisasi yang terkait dengan pemilu serentak masih terbatas. Minimnya sosialisasi akan berkorelasi dengan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu.

    5. Praktik politik uang. Praktik politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran baik dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih, maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Praktik pembelian suara itu dapat dilakukan menggunakan uang atau barang, memberikan fasilitas atau menjanjikan jabatan tertentu jika si pemberi janji menang dalam pemilu.

  • 8

    Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    6. Ketidaknetralan birokrasi. Menurut sejumlah ahli, potensi ketidaknetralan birokrasi dalam pemilu cenderung dapat terjadi dan berulang, karena ada di beberapa kasus birokrasi di Indonesia rentan disalahgunakan oleh para petahana (incumbent). Mereka berpotensi besar memanfaatkan birokrasi dan ASN (Aparatur Sipil Negara) untuk memenangkan mereka. Berbagai modus dapat ditemukan antara lain; pemanfaatan jaringan kepala desa untuk mobilisasi dukungan pemilih, pemanfaatan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk memberi dukungan langsung maupun tidak langsung, pemanfaatan aset pemda baik bergerak maupun tidak, hingga penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) oleh petahana untuk membuat program guna mendapatkan dukungan para pemilih yang menerima manfaat.

    7. Pemilih tidak menggunakan hak suaranya di pemilu. Dalam konteks ini, kondisi pemilih tidak menggunakan hak suara dapat dalam kondisi pasif dan aktif. Pasif dalam pengertian ada yang tidak memilih karena tidak terdata atau tidak datang karena alasan ideologis atau tidak percaya dengan kandidat yang maju dalam pemilu. Aktif dalam pengertian tidak datang ke bilik suara atau meninggalkan TPS (Tempat Pemungutan Suara) karena berbagai alasan antara lain antrian yang panjang disebabkan pemilih lama dalam memutuskan pilihannya terhadap surat suara yang banyak sebagai konsekuensi surat suara pemilu serentak yang banyak dari biasanya.

    8. Munculnya intimidasi dalam pemilu. Intimidasi terhadap seseorang atau memaksakan kehendak agar konstituen memilih paslon atau kandidat tertentu dengan ancaman fisik atau ucapan dalam suatu pemilu termasuk kejahatan terhadap hak konstitusional warga negara.

    9. Politisasi SARA dan identitas. Kondisi adanya politisasi SARA dan identitas dalam penyelenggaraan politik elektoral dapat mengancam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Mayoritas ahli masih mencemaskan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan dan politik identitas sebagai ancaman terbesar penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019. Kecemasan terhadap politisasi SARA karena identitas (primordial agama, misalnya) yang cenderung berulang dikapitalisasi untuk kepentingan politik praktis dalam memenangkan dukungan. Setiap individu memiliki identitas primordial tertentu yang menjadi faktor cukup penting baginya ketika menjatuhkan pilihan. Sayangnya, fenomena politik yang tengah berlangsung di tahun

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    9

    sepanjang 2017-2018 menunjukkan identifikasi penggunaan isu SARA, dalam hal ini sentimen keagamaan telah melampaui ide-ide rasional, salah satunya yang banyak disebut ahli adalah fenomena Pilkada Jakarta 2017.

    D. Rekomendasi

    Berdasarkan uraian masalah-masalah di atas maka tim mengusulkan sejumlah rekomendasi antara lain;

    1. Perlunya revisi UU Parpol dengan memasukkan aturan tegas tentang larangan dan sanksi bagi seluruh unsur partai yang menggunakan isu SARA dalam kampanye pemilu.

    2. Pelibatan dan sinergi antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam mendukung Bawaslu untuk mengungkap praktik politik uang pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Dengan adanya pelibatan ini, unsur penindakan atas temuan kasus politik uang dapat dilakukan.

    3. KPU, Bawaslu dan DKPP harus memiliki program yang dilembagakan dalam Peraturan KPU mengenai edukasi pemilih yang memuat sosialisasi pemilu serentak dan sehingga dapat meminimalisir potensi golput maupun politik uang.

    4. Terkait persoalan DPT, KPU harus melakukan sosiaslisasi secara periodik tentang pemutakhiran daftar pemilih melalui instrumen pelayanan yang sifatnya memudahkan (layanan online). Upaya lainnya juga mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk menyelesaikan sistem data tunggal melalui e-KTP sehingga tidak ditemukan lagi persoalan pemilih dengan KTP ganda.

    5. Perlunya ketegasan yang lebih kuat atas formulasi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini dalam bentuk menerapkan pengawasan yang ketat disertai penerapan sanksi tegas atas ketidaknetralan ASN baik dalam pemilu maupun pilkada sehingga dapat memberikan efek jera. Mekanisme pengawasan internal juga diperlukan untuk menghindari berulangnya politisasi birokrasi.

  • 10

    Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    DAFTAR PUSTAKA

    Asshiddiqie, Jimly. ”Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Presidensial” dalam Khairul Fahmi, Charles Simabura dan Feri Am-sari (eds), Pemilihan Umum Serentak. Jakarta: Raja Grafindo Persa-da, 2015.

    Bunker, K., “The 2013 Presidential and Legislative Elections in Chile,” Elec-toral Studies, Vol. XXX, No. 1-3 (2014).

    Fitria Chusna Farisa, “KPU Akui Berbeda Pandangan dengan Bawaslu soal PKPU”, https://nasional.kompas.com/read/2018/08/30/18160881/kpu-akui-berbeda-pandangan-dengan-bawaslu-soal-pkpu.

    Geys, B., “Exploring Voter Turnout: A Review of Aggregate-Level Re-search,” dalam Electoral Studies 25 (2006).

    Hajnal, Z. L, Lewis, P. G, dan Louch, H. Municipal Elections in California: Turnout, Timing, and Competition. San Fransisco, CA: Public Policy Institute of California, 2002.

    Haris, S (ed.). Pemilu Nasional Serentak 2019. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

    Huang, H.H., “Split Voting in Taiwan’s Concurrent Election and Referen-dum: An Exploratory Test of Social Context,” Issues & Studies, Vol. 46, No. 2 (2010).

    Kristian Erdianto, “Tolak Putusan Bawaslu, KPU Tetap Coret Bakal Caleg Mantan Koruptor”, https://nasional.kompas.com/read/2018/09/03/11595691/tolak-putusan-bawaslu-kpu-tetap-coret-bakal-caleg-mantan-koruptor.

    Ninis Chairunnisa, “PBB dan PKPI Tak Lolos Jadi Peserta Pemilu 2019”. 17 februari 2018. https://nasional.tempo.co/read/1061636/pbb-dan-pkpi-tak-lolos-jadi-peserta-pemilu-2019.

    Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) No.20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

    Redaksi, “Robiatul Adawiyah Pilih Ridwan Kamil-UU Lalu Dipecat Jadi Guru, Pihak SDIT Darul Maza Minta Maaf,” http://banjarmasin.tri-bunnews.com/2018/06/30/robiatul-adawiyah-pilih-ridwan-kamil-uu-lalu-dipecat-jadi-guru-pihak-sdit-darul-maza-minta-maaf.

    Redaksi,“Fakta-Fakta Kasus Guru Wanita di Bekasi Dipecat Tak Ikuti Ara-han Sekolah dalam Pilkada,” http://www.grid.id/read/04890467/fakta-fakta-kasus-guru-wanita-di-bekasi-dipecat-tak-ikuti-arahan-sekolah-dalam-pilkada-2018?page=all.

  • Polic

    y Pa

    per

    - M

    enci

    pta

    kan

    Pem

    ilu S

    eren

    tak

    yan

    g D

    amai

    ...

    11

    Redaksi, “Partai Bulan Bintang Menang Gugatan, Kinerja KPU Di-pertanyakan.” 6 maret 2018. https://www.liputan6.com/news/read/3347255/partai-bulan-bintang-menang-gugatan-kinerja-kpu-dipertanyakan.

    Redaksi,”Alasan Kuat KPU Larang Mantan Koruptor Nyaleg”. 24 mei 2018. https://www.viva.co.id/berita/politik/1039721-alasan-kuat-kpu-la-rang-mantan-koruptor-nyaleg

    Samuels, D. “Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil,” Comparative Politics, (Ok-tober 2010).

    Tito Sianipar, “Bawaslu putuskan PKPI tak layak ikut Pemilu 2019, KPU ‘tetap harus evaluasi diri’.” 7 Maret 2018. https://www.bbc.com/indo-nesia/indonesia-43305165.

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

  • 12

    Pro

    fil S

    ing

    kat

    Ked

    epu

    tian

    Bid

    ang

    IPSK

    LIP

    I

    SEJARAH ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN KEMANUSIAANLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (IPSK LIPI)

    Berdasarkan Keputusan Presiden RI, No. 1 Tahun 1986, LIPI adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 178 Tahun 2000, LIPI ditetapkan sebagai salah satu dari sekian lembaga pemeritah no kementerian. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 43 Tahun 2011, menetapkan organisasi dan tata kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

    Dalam menetapkan tata kerja LIPI, telah mempunyai landasan karena dapat merujuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengtahuan dan Teknologi. Kemudian mengalami reorganisasi LIPI pada tahun 1997 dan berakhir tahun 2001, menetapkan organisasi dan tata kerja lembaga.

    Penetapan organisasi dan tata kerja yang dimaksud, tertuang pada Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001, tentang susunan organisasi sebagai berikut:

    1. Kepala LIPI2. Wakil Kepala LIPI3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Inspektorat9. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

    Teknologi

    Berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001 pada pasal 237 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

  • Pro

    fil S

    ing

    kat

    Ked

    epu

    tian

    Bid

    ang

    IPSK

    LIP

    I

    13

    1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI)2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (PPK-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI)

    Ditetapkan kembali organisasi dan tata kerja berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014, Pasal 5 tentang susunan organisasi sebagai berikut:

    1. Kepala2. Wakil Kepala 3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Deputi Bidang Jasa Ilmiah9. Inspektorat10. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

    Teknologi11. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti

    Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014 pada pasal 275 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

    1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI)

    2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (P2K-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR-LIPI)

    Dalam tugasnya IPSK-LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian.

  • 14

    Pro

    fil S

    ing

    kat

    Ked

    epu

    tian

    Bid

    ang

    IPSK

    LIP

    I

    Deputi Bidang IPSK-LIPI, Periode 1965-Sekarang

    1. Prof. Dr. K.P.H. Koentjaraningrat (1965-1978)2. Prof. Drs. Harsoyo (1978-1980)3. Dr. Mochtar Buchori (1980-1990)4. Dr. E.K.M. Masinambow (1990-1996)5. Drs. Arjuno Brojonegoro,MSc.(1996-2001)6. Prof. Dr.Dewi Fortuna Anwar, MA (1997-2010)7. Prof. Dr Ir. Aswatini (2010-2015)8. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A. (2016-Sekarang)

    VISI DAN MISI

    Visi Kedeputian Bidang IPSK merujuk kepada visi nasional dan juga visi LIPI. Visi pembangunan nasional sesuai dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 ialah menuju Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. RPJPN ini dibagi menjadi 4 tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu RPJMN I (2005-2009), RPJMN II (2010-2014), RPJMN III (2015-2019), RPJMN IV (2020-2024). Sementara itu, visi nasional dalam RPJMN III (2015-2019) berbunyi:

    “memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

    Dalam upaya mencapai visi jangka panjang tersebut, dan sejalan dengan Visi Pembangunan 2015-2019, LIPI menetapkan Visi tahun 2015-2019, sebagai berikut:

    Menjadi lembaga ilmu pengetahuan berkelas dunia dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perekonomian melalui pengelolaan SDA berkelanjutan dan mencerdaskan masyarakat.

    Visi tersebut kemudian diadopsi ke dalam visi Kedeputian Bidang IPSK-LIPI sebagai berikut:

  • Pro

    fil S

    ing

    kat

    Ked

    epu

    tian

    Bid

    ang

    IPSK

    LIP

    I

    15

    Menjadi lembaga penelitian berkelas dunia dalam bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dan masyarakat global.

    Untuk mencapai visi besar tersebut di atas, Kedeputian IPSK - LIPI menyusun tiga visi utama yaitu:

    • Menghasilkantemuan-temuanpenelitianyangmenjadirujukanpengembangan ilmu sosial dan kemanusiaan.

    • Menghasilkanpemikirandalambidangsosialdankemanusiaanyang berkontribusi dalam proses perumusan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat.

    • MemperkuatperanIPSKsebagairujukandanjembatanaktivitasilmiah dalam bidang sosial dan kemanusiaan pada level nasional dan internasional.

    TUPOKSI

    Tugas pokok Kedeputian IPSK – LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Selanjutnya, fungsi Kedeputian IPSK – LIPI adalah sebagai berikut:

    1. Perumusan kebijakan, pelaksanaan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

    2. Pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

    3. Pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan penelitian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

    Berdasarkan fungsi kedeputian bidang IPSK di atas maka setiap satuan kerja di lingkungan kedeputian bidang IPSK-LIPI mempunyai fungsi di bidangnya, sebagai berikut:

    1. Mempersiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penelitian.2. Pelayanan jasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.3. Tata Usaha.

  • 16

    Pro

    fil S

    ing

    kat

    P2Po

    litik

    LIP

    I

    PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2 Politik) LIPI

    Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI) adalah sebuah pusat penelitian di bawah Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK LIPI). P2 Politik memiliki tiga kelompok penelitian yang meliputi: kajian politik nasional, politik internasional, dan politik lokal.

    P2 Politik secara aktif terlibat dalam kegiatan penelitian dan aktivitas ilmiah lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam menjalankan fungsinya, P2 Politik berkomitmen untuk senantiasa berkontribusi pada pembangunan politik nasional sebagaimana pengembangan pengetahuan tentang isu regional dan internasional.

    Sebagai institusi pemerintah, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh P2 Politik mencakup kajian ilmiah dan advokasi kebijakan serta juga mendorong pengembangan ilmu sosial terkait konsep dan teori baru dalam ilmu pengetahuan politik, politik perbandingan serta kajian politik kontemporer.

    Alamat :Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta Selatan 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Email: [email protected] Twitter: @PolitikLIPI