24
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008 www.elsam.or.id ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA Polisi: antara UNAS dan MONAS Polisi: antara UNAS dan MONAS antara UNAS dan MONAS Polisi:

Polisi: antara UNAS dan MONAS - negripapua · (Unas) dan kekerasan massa dari Front Pembela Islam (FPI) di ... peristiwa Tanjung Priok dan Abepura. Di antara tarik-menarik citra dan

Embed Size (px)

Citation preview

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008 www.elsam.or.id

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

Polisi: antara

UNAS dan MONAS

Polisi: antara

UNAS dan MONAS

antaraUNAS dan MONAS

Polisi:

Sense of Victimhood

nasionalPOLISI: Di antara Kekerasandan Korupsi

Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan

daerah

11-12

17

laporan khusus 13-16

laporan utama

laporan utama 5 - 10

editorial 03

daftar isi

Polisi dan Penegakan HAM

resensi 22

dari pembaca 4

Penting untuk diingat oleh seluruh aparat kepolisian bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah kewajiban negara, karenanya seluruh penggunaan instrumen kekerasan oleh aparat kepolisian tidak hanya ditujukkan untuk menjaga rasa aman semata tetapi juga sepenuhnya ditujukkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak warga negara itu sendiri. Dengan demikian sesat pikir aparat kepolisian dalam menggunakan kekerasan selama ini yang akhirnya berujung pada praktik brutalitas sepantasnya dihentikan.

kolom tetap

Profil ELSAM 24

Modal internasional tidak hanya mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani.

Kasus kekerasan aparat polisi di kampus Universitas Nasional (Unas) dan kekerasan massa dari Front Pembela Islam (FPI) di Monas tidak akan terjadi bilamana polisi selaku aparat yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan (Pasal 14 UU No. 2/2002 tentang Polri) dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara tepat dan benar.

perspektif 20

Resolusi Konferensi Warisan Otoritarianisme “Demokrasi dan Tirani Modal”,

Melihat Peran Polri dalam Kasus UNAS dan MONAS

Suatu konsekuensi logis dari rendahnya keberdayaan politik negara dalam menegakkan HAM adalah digerogotinya dirinya sendiri oleh suatu sense of victimhood yang menyebar ke segala kepentingan politik. Pengusaha merasa korban ketidakpastian hukum dan pungli. Militer merasa korban penghinaan. Pemerintah merasa korban campur tangan partai politik. Partai politik merasa korban maneuver pemerintah. Kaum sekuler menjadi korban maneuver kaum agama dan kaum agama menjadi korban kaum sekuler. Masyarakat lokal merasa korban kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat merasa korban dari politik lokal. Maling adalah korban kesewenangan polisi. Koruptor menjadi korban lawan atau saingannya. Siapa sesungguhnya korban? Bila perasaan sebagai korban itu menjadi titik gerak segala kekuatan politik, maka politik bukan lagi bicara tentang suatu yang baik di masa depan, melainkan menjadi arena meratap dan membalas dendam.

Tragedi UNAS dan Aksi Brutal Aparat Kepolisian

(Dok diolah dari : sijo sudarsono & islamkejawen.multiply.com)

(Profesionalisme Polisi dipertanyakan? Dok. Bbg)

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

03

editorial

orban sebagai kelompok, tiba-tiba saja menyeruak masuk dalam kesadaran u m u m m a s y a r a k a t KIndonesia. Tidak lebih

lama dari 10 tahun terakhir ini. Ialah ketika korban menjadi unsur penting dalam anatomi penegakan HAM, dalam tata ulang kehidupan bernegara yang berper ikemanusiaan dan berkeadilan. Pelaku yang mencipta k o r b a n j u g a b u k a n o r a n g sembarangan. Mereka bertindak d a l a m p a n g ku a n ke ku a s a a n . Tindakannya dapat diusut jauh hingga ke soal memberlakukan perintah yang keliru, menyalahgunakan sumber daya Negara, keuangan maupun aparatus negara. Sekalipun terhormat dan kaya, korban pelanggaran HAM tidak akan pernah sederajat dengan pelaku. Ada satu syarat yang tak akan bisa dipenuhi oleh korban, yaitu memiliki kekuasaan yang bisa disalahgunakan dan diselewengkan.

D a l i l i n i s e j u r u s d e n g a n kenyataan sekarang, betapa tidak mudahnya bagi seseorang agar diakui sebagai korban pelanggaran HAM. Menuntut pengakuan memang bukan perkara sepele. Ada banyak anak keturunan korban kekerasan Negara memil ih bungkam, menghapus identitas maupun bekerja keras untuk sediki t mencui l potongan kue kekuasaan. Sementara itu kerumunan korban lainnya justru melantangkan keberadaanya. Korban melawan penyangkalan dengan membesarkan simpati masyarakat, mengubah persepsi tentang korban yang lebih positif bahkan menguatkan rasa sesal masyarakat. Tak aneh jika media massa bahkan mencitrakan korban pelanggaran HAM sebagai ikon dari penderitaan kebanyakan orang, ketidakadilan, penindasan dan penipuan.

Pencitraan ini memang sekarang harus bergerak lebih jauh, menantang minimnya pengakuan Negara atas keberadaan korban. Satu-satunya pernyataan resmi negara setelah 10 tahun reformasi adalah penyesalan Presiden RI atas jatuhnya korban kekerasan selama masa Jajak Pendapat di Timor Timur tahun 1999. Ini dilakukan setelah menerima

laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste 15 Juli lalu. Sedangkan pernyataan lainnya baru sebatas telah terjadi-nya pelanggaran HAM, yang dinyatakan Negara melalui hasil-hasil penyelidikan K o m n a s H A M m a u p u n y a n g b e r ke t e t a p a n h u ku m m e l a l u i keputusan hakim pengadilan HAM untuk perkara pembunuhan dalam peristiwa Tanjung Priok dan Abepura.

Di antara tarik-menarik citra dan penyangkalan, “Sujud di hadapan korban” mungkin satu-satunya totalitas sikap yang pernah dinyatakan orang. Ini dilontarkan oleh Tim Relawan untuk K e m a n u s i a a n p i m p i n a n S d r . Sandyawan Soemardi, SJ. Ungkapan ini bukanlah pui t isasi atas kar ya penyelamatan manusia dari maut. Sujud pada korban berarti memohon a m p u n p a d a k o r b a n a t a s ketakberdayaan yang sama untuk menyelamatkan dan mengakhiri status korban. Korban tetap korban. Tapi bersujud adalah juga cara paling rendah hati dalam memperhadapkan kekuasaan yang Maha dengan sosok yang tanpa daya.

Apakah sesungguhnya yang sedang ditantang oleh politik 'sujud di hadapan korban'? Tidak lain adalah politik kebudayaan Orde Baru yang melekatkan kata pengorbanan dan bukan korban dalam alam pikiran anak-anak Indonesia. Kita lebih mengenal pengorbanan pada Negara tapi minus kesadaran bahwa dalam rahim pengorbanan pada Negara diperlukan hak atas martabat sekaligus kewajiban membela kemanusiaan. Pengorbanan versi Orde Baru menuntut pengorbanan bahkan kemanusiaan kita sendiri. Pengorbanan para petani Kedung Ombo bukan hanya merelakan tanahnya untuk diubah menjadi bendungan tetapi melenyapakan integritas kemanusiaan masyarakat desa Kemusuk.

D a l a m c a r a b e r p i k i r “pengorbanan,” korban tidak pernah eksis. Klaim hak atas martabat kemanusiaan dengan cepat dianggap mementingkan diri sendiri. Petani yang tanahnya dirampas atau buruh yang bekerja tanpa tunjuangan dianggap serakah mengabaikan keperluan meningkatkan investasi. Korban

pelanggaran HAM dikatakan telah menjadi “tawanan masa lalu.” Bahkan korban perkosaan dianggap orang tidak w a r a s , a r t i n y a t i d a k d a p a t bermasyarakat. Karenanya pula, tidak mudah bagi pemegang kekuasaan untuk menimbang klaim korban apalagi bersujud di hadapannya. Alangkah musykil memikirkan suatu kekuasaan ditegakan atas dasar pengakuan akan hak korban, hingga hari ini.

Namun sekarang anehnya, di tengah geliat korban bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan politik, banyak pihak justru merasa dirinya korban. Perspektif korban atau rasa kekorbanan sense of victim hood menjadi cara menyelamatkan diri. Persis di jantung perjuangan korban mencari pengakuan Negara melalui Komisi Nasional HAM, pelaku justru mencitrakan dirinya korban dari subyektifitas pikir komisi. Ketika mahasiswa habis-habisan dipukuli, polisi meratap bahwa mereka telah menjadi korban mahasiswa.

Suatu konsekuensi logis dari rendahnya keberdayaan politik negara dalam menegakan HAM adalah digerogotinya dirinya sendiri oleh suatu sense of victimhood yang menyebar ke segala kepentingan politik. Pengusaha merasa korban ketidakpastian hukum dan pungli. Militer merasa korban penghinaan. Pemerintah merasa korban campur tangan partai politik. Partai politik merasa korban maneuver pemerintah. Kaum sekuler menjadi korban maneuver kaum agama dan kaum agama menjadi korban kaum sekuler. Masyarakat lokal merasa korban kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat merasa korban dari politik lokal. Maling adalah korban kesewenangan polisi. Koruptor menjadi korban lawan atau saingannya. Siapa sesungguhnya korban? Bila perasaan sebagai korban itu menjadi titik gerak segala kekuatan politik, maka politik bukan lagi bicara tentang suatu yang baik di masa depan, melainkan menjadi arena meratap dan membalas dendam.

I r o n i s n y a k o r b a n , t a n p a mendapatkan haknya, terus dikecam cuma menjadi tawanan masa lampau.

Agung Putri

Sense of Victimhood

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

Redaksional

Dari pembaca

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Agung Putri

Wakil Pemimpin Redaksi: Amiruddin al Rahab

Redaktur Pelaksana: Eddie Riyadi

Redaktur: A.H. Semendawai, Eddie Riyadi, Betty Yolanda, Triana Dyah Pujiastuti, Otto Adi Yulianto, Raimondus Arwalembun

Sekretaris Redaksi: Raimondus Arwalembun

Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy

Desain & Tata Letak: Alang-alang

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Alamat Redaksi:Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

E-mail: [email protected], [email protected]

Website:www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

Hai.......ASASI:

Perkenalkan saya Khudori, mahasiswa tingkat akhir Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Saya senang membaca berita-berita aktual yang ada di ASASI, khususnya menyangkut fenomena-fenomena sosial dan kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia. Saya ingin menulis untuk ASASI tetapi persoalannya adalah bahwa saya tidak tahu tema apa yang akan diusung oleh ASASI di Edisi berikutnya. Saran saya, kalau bisa dalam setiap penerbitannya, tolong dicantumkan tema untuk terbitan edisi berikutnya sehingga saya dan teman-teman yang lain dapat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan tulisan.

?Terima kasih

Salam

KhodoriMahasiswa jurusan Filsafat pada STF Driyarkara Jakarta

Redaksi:

Saudara Khudori, terima kasih banyak untuk ide yang bagus dari anda. Semoga ASASI edisi berikut nanti, usulan anda sudah dapat dilaksanakan sehingga anda dan teman-teman lain dapat menulis untuk ASASI.

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapatDikirimkan via email di bawah ini:

[email protected]

w w w . e l s a m . o r . i d

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

04 EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

e r j a l a n a n s a t u dasawarsa reformasi nampaknya belum cukup mendorong p e r u b a h a n d a n P

perbaikan kinerja Polri ke arah yang lebih baik. Prinsip-prinsip yang seharusnya dijadikan s e b a g a i l a n d a s a n k e r j a k e p o l i s i a n , s e p e r t i a s a s profesional i tas, Hak Asasi Manusia (HAM), dan pendekatan kerja yang lebih humanis, dalam kenyataannya masih terus diabaikan oleh aparatnya. Kondisi ini tercerminkan dari realitas kinerja polisi saat ini yang masih berada dalam derajat rendah dan buruk. Selain itu, polisi juga masih menunjukkan bahwa mereka terus mewarisi watak polisi di masa Orde Baru yang watak represif-militeristik.

L e b i h l a n j u t , a d a n y a pemisahan Polri dari TNI yang dituangkan dalam TAP MPR No. VI Tahun 1999 dan TAP MPR No. VII Tahun 1999, yang pada dasarnya merupakan titik awal dilakukannya reformasi kepolisian dalam upaya merubah watak Polri dari “polisi yang militeristik” menjadi “polisi sipil,” belum menunjukkan hasil signifikan. Dengan masih menyimpan watak yang represif, polisi masih rentan

untuk melakukan kekerasan. Begitu juga dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai bagian dari tahapan reformasi Polri, juga tidak serta m e r t a m e m p e r b a i k i d a n mendorong aparat polisi dapat bekerja dengan baik sesuai fungsi dan tugas yang dinyatakan di dalam UU tersebut.

A l h a s i l , b u k a n n y a pencapaian positif dan prestasi baik yang kini didapat, tetepi polisi justru mengulangi kesalahan-kesalahan serupa yang telah banyak dilakukan sebelumnya. Dengan realitas seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian terjadi kasus kekerasan di kampus Unas (Universitas Nas ional ) dan melakukan pembiaran atas kekerasan FPI di Monas (Monumen Nasional).

Oleh Gufron Mabruri(Staf Peneliti di IMPARSIAL)

laporan utama

Melihat Peran Polri dalam Kasus

UNAS dan MONAS

Sebab, realitas kultur dan kinerja yang buruk sangat berkorelasi dengan proses reformasi internal kepolisian yang tidak tuntas dan tidak menyeluruh. Pola kerja yang masih terus mengedepankan cara-cara represif-militeristik dan mengabaikan hak asasi manusia sela lu akan menghasi lkan k e k e r a s a n b a r u .

Ketidakprofesionalan akan berakibat pada buruknya kinerja dan performa aparat.

Polisi dalam Kasus Unas dan Monas

S e h a r u s n y a p o l i s i b e r p e g a n g p a d a ketentuan hukum dan prinsip-prinsip kerja yang mengaturnya. Namun, hal itu nampaknya tidak t e r j a d i d a l a m penanganan kasus Unas dan Monas. Ada dua pola

penanganan yang berbeda terhadap kedua kasus tersebut di mana kedua-duanya berakibat buruk. Dalam kasus Unas yang terjadi pada 24 Mei 2008, dapat d i l i h a t b a g a i m a n a p o l i s i menggunakan pendeka tan represif dalam menghadapi dan menangani aksi demonstrasi mahas iswa yang meno lak kebijakan pemerintah yang m e n a i k a n h a r g a B B M . Penggunaan pola pendekatan ini

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

05

Salah satu aksi FPI dalam Kasus Monas dok: kiwaras.blogspot.com

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

berakhir dengan penyerbuan aparat kepolisian ke dalam kampus, terjadinya kekerasan terhadap mahasiswa, serta pengrusakan sejumlah properti.

Pola berbeda digunakan polisi dalam mengahadapi aksi massa Front Pembela Islam (FPI), di mana polisi cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi massa dari organisasi itu yang melakukan penyerangan dan kekerasan terhadap massa Al iansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) yang tengah melakukan aksi damai m e m p e r i n g a t i h a r i kelahiran Pancasila pada 01 Juni 2008 di Monas. Proses pembiaran ini k i a n m e m b u k a kesempatan bagi massa F P I u n t u k t e r u s melanjutkan aksinya. Alih-alih mencegah, dari awal aparat kepolisian terlihat tidak berupaya melakukan penjagaan secara proporsional di s e k i t a r M o n a s . Penegakan oleh Polisi justru dilakukan setelah beberapa hari kemudian.

Kasus kekerasan aparat polisi di kampus Universitas Nasional (Unas) dan kekerasan massa dari Front Pembela Islam (FPI) di Monas tidak akan terjadi bilamana polisi selaku aparat yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan (Pasal 14 UU No. 2/2002 tentang Polri) dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara tepat dan benar. Kendati demikian, harus digaris bawahi bahwa implementasinya harus tetap mengacu pada norma HAM. Adanya keharusan itu sebenarnya telah dinyatakan dalam Pasal 4 UU tentang Polri, yang mengharuskan polisi untuk menjunjung tinggai HAM. Hal ini menjadi penting mengingat ketaatan aparat polisi terhadap norma HAM sekiranya dapat m e n c e g a h m e r e k a d a r i k e m u n g k i n a n t e r j a d i n y a

penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

Adanya keharusan tersebut sejalan dengan prinsip kewajiban negara terkait dengan HAM (to respect, to protect, to fulfill) yang juga memandatkan polisi sebagai aparat negara untuk menjalankan kewajiban itu. Tidak bisa dan tidak boleh polisi mengabaikan norma HAM dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Namun demikian, adanya keharusan ini nampaknya t idak di lakukan atau t idak diindahkan oleh aparat polisi k e t i k a m e n g h a d a p i a k s i

demonstrasi mahasiswa di Unas. Upaya polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat tidak diimbangi oleh pelaksanaan kewajiban lainnya untuk tetap menghormati dan menjamin kebebasan rakyat. Prinsip menjaga keseimbangan a n t a r a u n t u k m e n j a m i n keamanan ( secu r i t y ) dan kebebasan (liberty) tidak terjadi dalam kasus Unas.

Menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap (Protap) namun masih terjadi kekerasan polisi. Hal ini menjadi pertanyaan apakah Protap yang bermasalah, atau aparat di lapangan tidak menjalankan isi dari Protap itu? Keduanya memiliki rumusan masalah dan konsekuensi yang berbeda. Namun terlepas dari itu, adalah

penting bagi polisi untuk memiliki Protap yang selaras dengan p r i n s i p P B B m e n g e n a i Penggunaan Kekerasan dan P e n g g u n a a n S e n j a t a A p i (Resolusi 34/169 Majelis Umum PBB). Pr insip ini memang mengizinkan aparat penegak hukum menggunakan kekerasan dalam tugasnya, namun secara tegas dibatasi dalam keadaan yang sangat diperlukan dalam batas tertentu. Namun, yang terjadi dalam kasus Unas tidaklah demikian, penggunaan kekerasan menjadi bagian dari watak aparat yang represif.

Sementara itu, berbeda dengan yang terjadi di kasus Monas. Polisi memang tidak melakukan kekerasan atau pelanggaran hak asasi secara langsung, namun justru melakukan upaya pembiaran atas kekerasan yang ter jadi sehingga berakibat terlanggarnya hak-hak asasi warga negara (by ommision). Sikap polisi ini menyalahi tujuan dari kepolisian sebagai aparat negara yang salah satunya a d a l a h m e m b e r i k a n perlindungan (Pasal 5 UU No.2 Tahun 2002) selaras dengan HAM. Upaya pembiaran bertentangan dengan Pasal 15 berikutnya

yang menyebutkan bahwa dalam menye lengga rakan t ugas -tugasnya (Pasal 13 dan 14) Polri di antaranya dapat melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. Kewenangan ini justru tidak digunakan polisi terhadap massa FPI kendati secara jelas tindakan masuk kategori pidana.

Jika dibandingkan dengan kasus Unas, polisi cenderung diskriminatif. Dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa polisi ber t indak repres i f , namun terhadap massa FPI justru polisi t i d a k m e l a k u k a n l a n g k a h seharusnya. Padahal polisi memiliki kewenangan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi hak warga dari kemungkinan adanya ancaman dari kelompok lain.

laporan utama

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

06

Dok. diolah dari : islamkejawen.multiply.com dan peepoop-online.blogspot,com

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

laporan utama

Sebab, hak atas rasa aman bagi seluruh warga diatur dalam konstitusi, dan negara melalui aparat hukum wajib memenuhi hak tersebut. Untuk mencegah te r j ad i se rangan FP I i t u seharusnya polisi menugaskan aparat secara proporsional di lokasi dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban yang menjadi bagian dari tugas polisi (Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002). Jadi, kekurangan personil bukan alasan yang dibenarkan. Adalah tidak mungkin bila Polri tidak mengetahui akan ada banyak keramaian di sekitar Monas.

M a s i h R e n t a n u n t u k Dipolitisasi

Kekerasan aparat Polisi di Unas telah menimbulkan kembali k e t i d a k p e r c a y a a n r a k y a t terhadap polisi karena tidak a d a n y a p e r u b a h a n y a n g signifikan sejak berpisah dari militer. Padahal sebelumnya muncul harapan baru dari rakyat bahwa polisi akan berubah menjadi sosok baru, sosok yang humanis ketika dideklarasikan lepas dari ABRI/TNI tahun 2000. Upaya pemisahan Polisi dari ABRI /TNI i n i seharusnya membawa konsekuensi di mana polisi bukan lagi institusi militer, melainkan merupakan institusi sipil. Sejalan dengan itu, institusi Polri dan juga aparatnya harus m e n i n g g a l k a n s i f a t - s i f a t militeristik yang selama ini dilakukan. Namun, tuntutan ini nampaknya belum disadari betul sebagai satu keharusan dan sekal igus kebutuhan yang

menjadi penting untuk dilakukan.

D a l a m perjalanannya, rakyat kini kembali harus m e n e l a n k e k e c e w a a n n y a dengan realitas polisi yang ternyata belum b e r u b a h m e n j a d i sebuah institusi dan individu sipil. Kendati terjadi perkembangan di sektor reformasi

regulas i terutama dengan keluarnya TAP MPR No. VI Tahun 1999 dan TAP MPR No. VII Tahun 1999, serta Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri, namun hal i tu belum memberikan konstribusi positif bagi perubahan polisi yang lebih signifikan. Pendekatan repres i f yang berujung pada kekerasan polisi masih melekat dan kerap menjadi bagian dari pendekatan kerja-kerja yang tetap digunakan hingga hari ini.

Lebih lanjut, jika melihat sejarah kekerasan aparat dalam kasus-kasus yang bersi fat struktural, maka sesungguhnya aksi kekerasan aparat polisi dapat dilihat bukanlah tindakan yang berada dalam ruang kosong yang tidak memiliki maksud dan tujuan. Hal ini tidak terlepas dari paradigma di dalam kepolisian itu sendiri yang seringkali masih memposisikan dirinya sebagai bagian dari penguasa. Posisi polisi sebagai alat negara seringkali disempitkan maknanya menjadi alat pemerintah atau alat penguasa, sehingga ketika terjadi masalah antara pemerintah vis a vis rakyat, polisi menunjukkan k e b e r p i h a k a n n y a p a d a penguasa. Pandangan in i menempatkan rakyat yang kritis dan berbeda dengan penguasa sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa, sehingga acapkali dihadapi secara represif.

Kasus kekerasan polisi di Unas menunjukkan bahwa persepsi Polisi sebagai bagian dari penguasa atau pemerintah menemukan relevansinya. Dalam kasus tersebut polisi cenderung

menempatkan dirinya sebagai mengawal dan mengamankan jalannya kebijakan kenaikan BBM, daripada menjalankan fungsi dan tugasnya secara tepat sebagai aparat negara dan aparat hukum. Po l i t i sas i Po l r i i n i sangat d i m u n g k i n k a n m e n g i n g a t hubungan Polri yang dekat dengan kekuasaan yang dimanifestasikan melalui kedudukan atau posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (1) UU No. 2 Tahun 2000. Posisi ini membuka peluang kemungkinan digunakannya Polisi sebagai alat kekerasan politik.

Kasus Unas dan Monas selayaknya dijadikan pelajaran oleh Polri untuk segera melakukan perubahan dan perbaikan sejalan dengan tuntutan reformasi. Di antaranya adalah reformasi kelembagaan (struktur organisasi) dan culture (doktrin, pendidikan) menuju arah kepolisian sipil yang berfungsi sebagai abdi hukum dan abdi masyarakat, dengan lebih m e n g e d e p a n k a n t i n d a k a n preventif-mengayomi, dan bukan t e r u s m e w a r i s i d a n mempertahankan praktek represif-militeristik. Lebih lanjut, kedua kasus tersebut juga harus dijadikan cacatan untuk evaluasi terhadap keberadaan standar Prosedur Tetap (Protap) Polri, apakah sudah sesuai dengan prinsip HAM tanpa k e m u d i a n m e n e g a s i k a n kebutuhan akan keamanan dan ketertiban.

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

07

Korban kekerasan kasus Monas dok: kiwaras.blogspot.com

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

laporan utama

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

08

Polisi dan Penegakan HAM

e j a r a h p a n j a n g kekerasan berlebih aparat kepolisian nampaknya t idak kunjung usai. Tragedi S

di kampus Universitas Nasional (Unas) ada lah kep ingan peristiwa yang memperkukuh bahwa praktik brutalitas polisi itu terus berlanjut. Tragedi ini tidak hanya menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap kualitas kita sebagai manusia, tetapi juga membukt ikan masih kuatnya budaya militeristik di dalam institusi kepolisian.

Seringkali atas nama keamanan dan ketertiban, penggunaan kekerasan yang b e r l e b i h a n o l e h a p a r a t k e p o l i s i a n m e n j a d i s a h hukumnya untuk digunakan. Keamanan acapkali dipakai untuk memberi justifikasi atas kebijakan-kebijakan dan semua tindakan yang dilakukan oleh negara. Atas nama keamanan,

n e g a r a s e r i n g k a l i m e n y a l a h g u n a k a n kekuasaannya (abuse of p o w e r ) , s e h i n g g a memposisikan masyarakat dalam kondisi yang terhimpit. Oleh karenya tidak salah bila konsepsi kritis tentang negara sebagaimana dikembangkan oleh kaum Marxis yang melihat negara sebagai institusi yang h a n y a m e l a n g g e n g k a n hubungan antar kelas yang saling bertentangan, keamanan tidak lebih dari kepentingan kelas penguasa.

Watak militeristik yang kental d i dalam inst i tusi kepolisian itu, di satu sisi merupakan bagian dari warisan sejarah masa lalu. Aparat k e p o l i s i a n m a s i h s u l i t melepaskan diri dari kultur militer yang dulu menjadi induk organisasi kepolisian. Sejalan dengan pola pikir militer pada s a a t i t u y a n g s a n g a t

mendominasi sipil, maka cara pandang, cara pikir dan cara bertindak yang militeristik masih mendominasi dalam mindset aparat kepolisian. Hal ini diakui sendiri oleh Kapolri waktu itu, Jenderal Da'i Bachtiar yang menyatakan: “masih banyaknya polisi yang menjalankan tugas menggunakan cara-cara militer (militeristik), salah satunya dikarenakan oleh dampak dari penggabungan Polri dengan TNI

1di masa lalu.”Dalam dekade kekinian,

di mana demokrasi telah memberikan ruang dan gerak bag i warganegara un tuk mengaktualisasikan pendapat s e c a r a b e b a s d a n menyalurkannya melalui saluran demokrasi yang ada, praktik kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian seharusnya tidak lagi mendapatkan tempat di dalam lingkungan kehidupan politik kita. Sebab, tatanan demokrasi lebih mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, n e g o i s a s i d a n t o l e r a n s i ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan dan penggunaan kekerasan yang berlebih.

Dalam relasi kuasa negara dengan warganegara, penggunaan kekerasan oleh a p a r a t n e g a r a m e m a n g d ibenarkan . Penggunaan kekerasan itu telah menjadi salah satu bagian dari fungsi negara itu sendiri. Namun, pelaksanaan tugas represif tersebut harus didasarkan pada asas legalitas sehingga tidak m e l a m p a u i b a t a s kewenangannya. Lebih dari itu, penggunaan kekerasan itu

Oleh Al Araf(Koordinator Peneliti IMPARSIAL)

Polisi sebagai alat Negara dan bukan sebagai alat Penguasa dok: sijo sudarsono

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

laporan utama

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

09

perhatian dan perjuangan umat manusia bersamaan dengan perkembangan peradaban mencapai kemuliaan kehidupan manusia. HAM adalah anak sejarah yang dilahirkan dan d iper juangkan o leh umat manusia. Maka universalitas HAM tidak bisa dipungkiri lagi. Konsepsi dasar HAM adalah pengakuan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hal hak dan martabatnya. Semua manusia dikaruniai akal budi dan hati nurani untuk saling berhubungan

d a l a m s e m a n g a t persaudaraan. Konsepsi h a k a s a s i m a n u s i a m e m b u a t p e r b e d a a n status, seperti ras, gender, agama dan status sosial menjadi tidak relevan secara politis dan hukum yang menuntut adanya perlakuan yang sama.

D a l a m k o n t e k s kenegaraan, kewajiban negara dalam penegakkan HAM itu meliputi upaya pemenuhan (to fullfil), perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), promosi atau sosialisasi (to promote) nilai-nilai dan hukum HAM yang ada. Dengan demikian, sebagai bagian dar i aparatus negara, polisi memiliki peran yang sangat penting u n t u k m e w u j u d k a n k e w a j i b a n - k e w a j i b a n

negara tersebut, yang salah satunya adalah menjamin terpenuhinya hak-hak individu setiap warga negara. Tugas tersebut sejat inya adalah kewajiban setiap organ negara yang tidak bisa dinegasikan, termasuk salah satunya oleh institusi kepolisian.

Dalam hal yang lebih khusus adalah sangat penting bagi mereka untuk memahami adanya kesepakatan tentang hak-hak asasi minimal yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan atau situasi apapun, di mana hak-hak asasi minimal itu

Human security menilai bahwa keamanan juga mel ipu t i keamanan manusia yang di dalamnya mencakup masalah k e s e j a h t e r a a n s o s i a l , p e r l i n d u n g a n h a k - h a k k e l o m p o k m a s y a r a k a t , kelompok minoritas, anak-anak, wanita dari kekerasan fisik dan masalah-masalah sos ia l , ekonomi dan politik. Ciri khas perspektif ini melihat bahwa ancaman utama bagi human security adalah penolakan hak-hak asasi manusia dan tidak adanya supremasi hukum.

Da lam pendekatan non-tradisional tersebut, konsepsi keamanan lebih ditekankan k e p a d a k e p e n t i n g a n keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state

2actors). Dengan demikian, u p a y a u n t u k m e n j a g a keamanan negara tidak boleh menegasikan esensi dari keamanan itu sendiri yakni perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

HAM dan Polisi

Sebagai sebuah nilai, HAM sesungguhnya telah menjadi

sejatinya hadir untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara itu sendiri, dan bukan sebaliknya. Di sini penggunaan k e k e r a s a n o l e h a p a r a t keamanan harus dapat menjaga kebutuhan untuk menjaga rasa aman di satu sisi dan kebutuhan untuk melindungi hak dan kebebasan di sisi lain.

Penting untuk diingat bahwa melindungi kebebasan dan keamanan warga adalah kewajiban negara (state duty). Itu ditegaskan oleh hukum internasional hak-hak asasi manusia dan diperintahkan oleh konst i tusi set iap negara demokratik. Liberty and security of person adalah hak-hak asasi manusia dari setiap warga negara yang selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable), juga bersifat tidak dapat diceraikan (indivisible). Adalah sangat berbahaya bila negara bertindak dalam pikiran kel i ru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan.

B a h k a n , perlindungan terhadap hak a s a s i s e s u n g g u h n y a merupakan esensi dari konsep keamanan i tu sendiri. Perkembangan tafsir dan persepsi terhadap ancaman yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berubah telah memperlihatkan bahwa persoalan kelaparan, kemiskinan, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyakit menular dan pencemaran lingkungan m e n j a d i a n c a m a n b a g i k e m a n u s i a a n k i t a . Kompleksitas ancaman tersebut telah mempengaruhi konsep k e a m a n a n y a n g a d a . Keamanan tidak lagi hanya ditujukkan kepada upaya menjaga keutuhan teritorial negara tetapi juga keamanan manusianya (human security).

Dalam kerangka itu,

Aksi demo mahasiswa menuntut SBY-JK mundur akibat brutalisme polisi dok:Ray

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

laporan utama

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

10

membubarkan per temuan tersebut. Aparat penegak hukum harus pula meminimalisasi kerusakan dan korban luka serta dalam tugasnya menghormati dan menjaga martabat manusia

Terakhir, sekali lagi penting untuk diingat oleh seluruh aparat kepolisian bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah kewajiban negara, karenanya seluruh penggunaan instrumen kekerasan oleh aparat k e p o l i s i a n t i d a k h a n y a ditujukkan untuk menjaga rasa aman semata tetapi juga sepenuhnya ditujukkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak warga negara itu sendiri. Dengan demikian sesat pikir apa ra t kepo l i s i an da lam menggunakan keke rasan selama ini yang akhirnya berujung pada praktik brutalitas sepantasnya dihentikan. Ingat, k e a m a n a n t i d a k b o l e h mengalahkan kebebasan. Kedua hal tersebut adalah dua keping mata uang yang tidak bisa di pisahkan apalagi digantikan.

pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.

D a l a m P r i n s i p Kesembilan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials ditegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak dapat menggunakan senjata api kecuali : b. Pertama, membela diri (self defence) atau membela orang lain dari ancaman yang t i ba - t i ba (imminent threat) dari kematian dan luka-luka yang serius; Kedua, mencegah kejahatan (perpretation) yang merupakan kejahatan serius termasuk ancaman terhadap hidup dan; Ketiga, menangkap orang yang s a n g a t b e r b a h a y a d a n melawan kewenangan mereka (resisting their authority) atau mencegah kaburnya seseorang dan jika tindakan tersebut dipandang tidak berbahaya sehingga tidak cukup mencapai ketentuan ini. Dalam setiap kejadian, penggunaan senjata y a n g m e m a t i k a n h a n y a diperuntukkan apabila terjadi h a l y a n g t i d a k d a p a t dihindarkan untuk melindungi hidup.

Lebih lanjut, dalam prinsip-prinsip tersebut juga disebutkan bahwa dalam p e n a n g a n a n t e r h a d a p pertemuan yang tidak sah namun berjalan dengan damai, aparat penegak hukum harus menghindar i penggunaan kekerasan. Apabila tidak dapat d ih indar i , mereka harus m e m b a t a s i p e n g g u n a a n kekerasan h ingga batas minimum yang diperlukan. Bila terjadi kerusuhan, kekacauan, dan keributan dalam pertemuan tersebut, aparat penegak h u k u m d i p e r b o l e h k a n menggunakan kekerasan namun hingga batas minimum y a n g d i p e r l u k a n . T i d a k diperkenankan melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pertemuan dengan p e n g g u n a a n k e k e r a s a n sebagai taktik praktis untuk

disebut sebagai non derogable rights atau hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Hak-hak minimal tersebut meliputi hak atas kehidupan; kebebasan dari penganiayaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi; kebebasan dari perbudakan dan kerja paksa; hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang; dll.

Terlebih lagi aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat p e n e g a k h u k u m y a n g dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.

Terdapat t iga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata ap i yang pen t ing un tuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality). Sungguh pun penggunaan kekerasan dan sen ja ta ap i t i dak dapa t dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat m e n g a k i b a t k a n p e t u g a s mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran

1 Harian Media Indonesia, “ Kapolri akui Polisi masih militeristis”, Jumat, 26 november 2004, hal 1

Catatan:

2 Penekanan akan pentingnya hak asasi manusia sebagai komponen dasar human security sebenarnya sudah berasal sejak perjanjian Peace of Westphalia, yang tertuang dalam Traktak Osnabruck dan Munster 1648, lihat Andi Widjayanto, Human Security, Makalah, 2006

Aksi demo mahasiswa dalam korban kekerasan polisi (Ressay.wordpress.com)

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

11

Nasional

POLISI: Di antara Kekerasan dan Korupsi

Oleh Emerson Yuntho(Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)

ibalik suka cita menyambut hari B h a y a n g k a r a K e p o l i s i a n R e p u b l i k D

Indonesia, tanggal 1 Juli 2008 lalu, sesungguhnnya ada keprihatian mendalam yang ditujukan kepada institusi kepo l i s ian d i neger i in i khususnya mengenai tindakan kekerasan dan korupsi yang dilakukan oleh (oknum) anggota kepolisian. Dari tahun ke tahun, per i laku menyimpang tersebut se la lu te r jad i dan mencoreng nama baik korps kepolisian.

S a l a h s a t u peristiwa kekerasan oleh oknum polisi yang paling fenomenal di tahun ini adalah saat m e n a n g a n i d e m o n s t r a s i mahasiswa Universitas Nasional (Unas) di Pejaten, Jakarta, Sabtu (24 Mei 2008). Tindakan kekerasan terjadi saat polisi menyerbu masuk ke dalam kampus Unas. Sejumlah sepeda motor dan sarana kampus dirusak polisi, puluhan orang luka-luka, dan sebanyak 140 orang dibawa ke Mapolres Jakarta Selatan untuk d iamankan dan d imin ta i k e t e r a n g a n . S e o r a n g mahasiswa, Maftuh Fauzy, beberapa hari setelah kejadian meninggal dunia. Diduga kematiannya akibat dipukul

aparat polisi saat penyerbuan yang nahas tersebut.

Fenomena kekerasan po l is i in i menar ik untuk dicermati. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi di Unas pada akhirnya menambah catatan buruk citra kepolisian di mata masyarakat. Selama tahun 2007 sampai 2008, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manus ia (Komnas HAM) mencatat ada 180 kasus

kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Jumlah ini lebih besar daripada tindak kekerasan yang dilakukan oleh apara t Tentara Nas iona l Indonesia (TNI) yang hanya 18 kasus. Faktanya, kekerasan tidak saja dilakukan antara aparat polisi dengan warga masyarakat yang harusnya dilindungi, namun juga antara aparat polisi dengan aparat keamanan lainnya (baca: TNI).

Akibat kekerasan, tugas utama polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat kenyataannya justru s e b a l i k n y a . M e m b u a t masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika bersentuhan langsung aparat kepolisian. Te n t u n y a b u k a n s e c a r a institusional kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personi l yang melakukan tindakan kriminal tersebut mau

t i d a k m a u t e l a h mencermarkan nama baik institusi.

Kenapa polisi b i s a s e d e m i k i a n b e r i n g a s n y a ? Setidaknya terdapat 2 (dua) faktor munculnya peri laku kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi (Amin Sudarsono: 2007) . P e r t a m a , f a k t o r psikologis personal. Kompleksitas tugas pol is i d i lapangan ditambah penghasilan yang min im dapat

menyebabkan mereka mudah stres dan frustrasi. Selain tingkat ancaman dan risiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal hari libur dan cuaca. Polisi dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, cepat dan tanggap dalam mengatasi berbagai masalah.

Mengenang korban kekerasan polisi dok:Ray

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

12

Kondisi ini yang mendorong agres iv i tas po l is i da lam penanganan sebuah perkara.

K e d u a , f a k t o r k e b a n g g a a n k o r p s . Kebanggaan yang berlebihan seringkali menjadikan arogansi korps. Diakui maupun tidak, menjadi seorang anggota Kepolisian adalah sebuah prestasi bagi sebagian orang. Artinya, identitas tersebut adalah sebuah pencapaian yang dihargai tinggi. Dalam tradisi militer, dikenal istilah korsa (kebersamaan) dan kebanggaan korps. Pembelaan terhadap sesama anggota k o r p s a d a l a h b e n t u k kebersamaan itu. Kebanggaan k o r p s i n i , j u g a s e r i n g menyebabkan bentrokan antar-elemen, misalnya antara TNI dengan Polri. Arogansi yang muncul menjelma menjadi agresivitas yang memalukan. S e l a i n t i n d a k a n kekerasan yang dilakukan, rusaknya citra kepolisian juga diakibatkan praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Fenomena korupsi semacam ini dapat ditemui dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan m a s y a r a k a t , d a n penyalahgunaan wewenang. Persoalan korupsi di k e p o l i s i a n m e r u p a k a n persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya, korupsi di tubuh kepolisian bukanlah barang baru bahkan sudah menjadi rahasia umum di mana semua orang sudah mahfum. Hasil penelitian ICW mengenai proses pemgurusan Surat Izin Mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan khususnya d i kepol is ian memperkuat bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan hanya isapan jempol belaka.

Berdasarkan has i l

penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia pada tahun 2001, menemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara. P e r m i n t a a n u a n g j a s a , penggelapan perkara, negoisasi perkara, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.

Terhadap dua persoalan besar tersebut (kekerasan dan korupsi), dalam beberapa kasus, harus diakui pihak kepolisian menindaklanjuti set iap pelanggaran yang ditemukan dengan mengajukan pelaku ke Komisi Kode Etik dan P r o f e s i P o l r i . N a m u n kenyataannya sidang komisi ini s e r i n g k a l i m e m b e r i k a n keistimewaan terhadap pelaku dengan upaya menurunkan derajat dari pelanggaran yang dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administrat i f belaka. Umumnya hanya diberikan teguran keras, ditunda kenaikan pangkatnya, atau yang paling berat adalah dicopot dari jabatannya. Upaya membuat jera oknum polisi yang melakukan kekerasan dan korupsi dengan

membawa ke proses hukum hingga pengadi lan, dapat d i h i t u n g d e n g a n j a r i . Keberadaan polisi kasar dan nakal sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public t r u s t ) , s e r t a m e r u s a k akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Oleh karena itu merubah paradigma dari polisi yang kasar dan korup menjadi polisi yang tegas namun santun serta bersih dari korupsi adalah tantangan paling besar bagi Kapolri saat ini. P e r l u a d a p e r u b a h a n fundamental yang dilakukan di K e p o l i s i a n u n t u k mengembalikan kepercayaan masyarakat. Fungsi kepolisian harus tetap ditempatkan sebagai salah satu bagian pemerintahan d i b i d a n g p e m e l i h a r a a n keamanan dan ketert iban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan p e l a y a n a n k e p a d a masyarakat.**

nasional

Sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat Polisi dituntut profesional dok:bbg

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

13

laporan khusus

elama tiga hari ini 5 0 0 a k a d e m i s i , intelektual, tokoh d a n p e n g g e r a k m a s y a r a k a t , S

pemimpin dan aktivis organisasi sosial dan politik dari kampung dan kampus berkumpul di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Diskusi yang meluas dan mendalam dilakukan secara se rempak da lam sebelas panel dan d u a s e m i n a r , pemutaran film dan pertunjukan. Dalam tiga hari ini para p e s e r t a m e m b i c a r a k a n betapa Indonesia kini berada di ambang kebangkrutan dan bencana ekologis yang mengancam keberadaan negeri ini. Dibicarakan pula b e t a p a s t r a t e g i ekonomi yang terus mengeruk kekayaan alam di negeri kepulauan terbesar di dunia ini sudah jauh melampaui batas. Di hulu negeri, hutan yang menjadi pemasok air terus digunduli dengan kecepatan empat kali lapangan bola setiap menit, sementara di hil ir ekosistem mangrove hanya m e n u t u p k u r a n g d a r i sepersepuluh garis pantai negeri ini. Lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi

dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia s e n d i r i . D a y a d u k u n g lingkungan terus merosot dan da lam beberapa dekade mendatang jika tidak ada langkah drastis yang diambil kita harus menghadapi kenyataan bahwa yang tersisa di negeri ini hanyalah ampas.

B e r g e m a s u a r a Soekarno yang tadi malam dibawakan dengan indah oleh Wawan Sofwan ketika di hadapan pengadilan kolonial pada 16 Juni 1930 mengatakan:

Musnah buat selama lamanya!Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami.Musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk dalam kantong beberapa pemegang andil belaka.

Di dalam tata dan kelola ekonomi ini masyarakat hidup dalam keadaan carut-marut. Para pemegang kuasa justru mengutamakan pengerukan sumber daya alam, memberi kemudahan pada sek to r manufaktur ringan dan pasar u a n g y a n g h a n y a mengembalikan sedikit hasil kepada orang banyak dalam bentuk upah dan pajak. Lebih

dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang m a s i h h a r u s ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indones ia h i d u p t a n p a pekerjaan. Mereka y a n g b e k e r j a sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang f leksibel . Sistem

kon t rak dan outsourc ing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara p e n g u s a h a m e n i k m a t i k e u n t u n g a n b e r l i p a t . D i p e d e s a a n , p e t a n i y a n g merupakan separuh penduduk I n d o n e s i a m e m b e r i k a n sumbangan besar terhadap perekonomian tap i t i dak mendapat perha t ian dan dukungan serius.

Dan Indonesia tidak sendirian. Ini adalah pola global. Ketimpangan makin menjadi di

Resolusi Konferensi Warisan Otoritarianisme “Demokrasi dan Tirani Modal”,

Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

14

era yang oleh pemikir penguasa dengan pongah disebut “akhir dari sejarah.” Pendapatan dari 500 orang terkaya di dunia jauh l e b i h b e s a r d a r i t o t a l pendapatan 500 juta penduduk termiskin. Sementara 2,5 milyar penduduk miskin dunia hanya memiliki 5% dari pendapatan global, 10% orang terkaya menguasai lebih dari 50% dari pendapatan itu. Kesenjangan kelas tidak lagi bisa ditutupi. Di Indonesia jumlah orang yang b e r t a h a n h i d u p d e n g a n pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung k e m a r i n k i t a m e n d a p a t gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara t i d a k l a g i m e n j a l a n k a n tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat.

P a n e l - p a n e l y a n g membahas masalah ekonomi dalam konferensi ini melihat bahwa akar persoalan yang kita h a d a p i s e k a r a n g d a p a t ditelusuri dari kegagalan melakukan pembalikan historis (historical reversal) terhadap struktur ekonomi kolonial. Kelahiran Orde Baru justru menjadi basis bagi dibukanya Indonesia sebagai “surga bagi para investor.” Undang-undang baru di bidang penanaman modal asing, kehutanan, pe r tambangan dan juga ketenagakerjaan membuat tata dan kelola ekonomi menjadi

sandera dari perusahaan raksasa multinasional, lembaga keuangan internasional dan segelintir komprador yang turut menikmati ketimpangan ini. Negara sepertinya tidak punya kedaulatan untuk menentukan kebijakan. Modal internasional t i d a k h a n y a m e n g e r u k keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk m e l i n d u n g i d a n mense jah te rakan rakya t . Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani.

Perekonomian yang sangat bergantung pada pembiayaan luar negeri ini menghasilkan warisan utang yang luar biasa. Hingga Januari 2008 outstanding Surat Utang Negara hampir menyentuh angka Rp 900 trilyun sementara utang luar negeri tercatat US$ 79 mi lyar. Pembangunan diarahkan untuk menutup defisit anggaran yang sudah nyata tidak berhasil mengatasi krisis tapi justru membuat krisis semakin mendalam. Subsidi

d a n p e n g e l u a r a n s o s i a l dibuntungi agar pemerintah punya cukup uang untuk membayar utang. Korupsi yang sudah sampai taraf memuakkan membuat sedikit dana yang tersisa t idak pernah bisa digunakan secara efektif untuk melakukan perbaikan. Stolen asset yang mencapai ratusan tr i lyun t idak pernah bisa disentuh, sementara kasus pencurian baru pun seperti sukar d ie lakkan. Desent ra l isas i kekuasaan membuat munculnya predator baru di tingkat lokal yang justru membuat perubahan semakin sulit dilakukan.

Para pemegang kuasa sepertinya tidak menyadari bahwa krisis yang menyeluruh ini tidak hanya mengancam perekonomian Indonesia tapi juga keberadaan Indonesia sebagai sebuah political project. Tirani modal membuat ruang hidup semakin sesak. Ruang publik pun semakin berkurang sehingga kreativitas dan daya kritis tidak dapat berkembang. Lembaga negara dikuasai oleh penganjur neoliberalisme yang justru mendekatkan pasar dengan negara. DPR setiap minggu menghasilkan satu

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

15

undang-undang baru yang memudahkan jalan modal untuk menguasai negeri ini. Birokrasi diatur sedemikian rupa di bawah panji-panji reformasi dan good governance sehingga tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan modal. Ketika Bank Dunia memberi jutaan dolar kepada DPR untuk menyusun undang-undang sumber daya air, kita tahu bahwa undang-undang itu tidak akan mewakili kepentingan rakyat banyak. Dan yang lebih menyedihkan: uang jutaan dolar itu adalah pinjaman yang harus dibayar kembali oleh rakyat melalui pajak dan pungutan lainnya. Artinya rakyat harus m e m b a y a r m a h a l u n t u k kebijakan yang merugikan dirinya.

D e m o k r a s i y a n g terpusat pada pemilihan umum atau electoral democracy hanya memberi kesempatan pada kekuatan neol ibera l dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara di pusat maupun daerah. Hasil dari pertarungan

ini adalah kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatif di bidang politik. Kemunculan pejabat dan anggota DPR di pusat dan daerah dari kalangan akademik maupun gerakan s o s i a l b e l u m m a m p u mengimbangi kecenderungan i n i , a p a l a g i m e m b a w a perubahan yang berarti.

Konferensi ini tentu tidak hanya membicarakan masalah, tapi juga berbagai ide dan p r a k t e k a l t e r n a t i f y a n g bermunculan di seluruh negeri. Dan di tengah pemiskinan yang makin menjadi , ancaman sektarianisme dan perpecahan yang bisa berakibat runtuhnya social fabric, dan dominasi modal di segala bidang, kita berkeyakinan bahwa alternatif itu ada.

I n d o n e s i a a d a l a h masyarakat majemuk. Karena itu kiranya tidak ada rumus atau resep tunggal yang secara menyeluruh dapat mengatasi tumpukan masalah yang demikian bervariasi, baik dari segi geografis maupun sektoral. K o n f e r e n s i i n i b e r h a s i l mengidenti f ikasi sejumlah prinsip dan ruang di mana alternatif yang majemuk ini dapat berkembang. Prinsip dasar yang penting adalah mengakhiri atau memutus ketergantungan terhadap modal dan pasar. Kepercayaan buta pada mekanisme pasar dan neoliberalisme yang merajalela d a l a m t a t a d a n k e l o l a perekonomian Indonesia harus ditinggalkan, dan diganti dengan pemikiran dan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mengutamakan kesejahteraan. A d a t i g a k a t a kunc i d i s i n i : kead i l an , keberlanjutan dan kemakmuran, yang berporos pada kedaulatan, artinya kuasa dan kendali yang efektif untuk menentukan nasib sendiri.

Negara juga harus

mengambil keputusan politik u n t u k m e n g a k h i r i k e t e r g a n t u n g a n p a d a pembiayaan luar neger i , mengupayakan pengurangan u t a n g l u a r n e g e r i , d a n memegang kendali penuh dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dominasi lembaga keuangan internasional dan perusahaan m u l t i n a s i o n a l d a l a m menentukan kebijakan ekonomi Indonesia harus d iakhi r i . Penjualan aset negara untuk menutupi defisit anggaran harus dihentikan segera dan rencana pengembalian aset yang sudah dijual harus segera disusun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sektor energi mutlak diperlukan u n t u k m e n g u r a n g i ketergantungan pada minyak dan gas, yang menjadi blok pengeluaran sangat besar dalam anggaran belanja negara.

N e g a r a h a r u s mengupayakan kedaulatan pangan dengan meningkatkan produksi per tanian untuk keperluan konsumsi di dalam negeri. Impor bahan makanan pokok, terutama beras, kedelai, jagung dan gula harus dikurangi. Distribusi kebutuhan pokok harus ditangani badan khusus yang melibatkan masyarakat luas dan tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Upah di segala sektor harus dinaikkan

laporan khusus

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

16

untuk meningkatkan daya beli, dan sistem pajak yang adil diberlakukan secara efektif untuk mengurangi kesenjangan yang makin menjadi. Tidak ada alasan bagi negara untuk m e m b i a r k a n s e b a g i a n p e n d u d u k m e n i k m a t i kemewahan yang suka r dibayangkan di negara maju sekalipun sementara mayoritas p e n d u d u k h i d u p d a l a m penderitaan. Kepastian kerja harus ditegakkan dengan menghapus informalisasi kerja yang hanya merupakan strategi pengusaha untuk mendapat keuntungan berlipat.

Pr ins ip dasar dar i perubahan arah pembangunan ini adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Karena itu keterlibatan rakyat seca ra l angsung da lam pembuatan dan pelaksanaan perekonomian menjadi mutlak diperlukan. Prinsip ini pada gilirannya menuntut perubahan dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi perlu diperdalam d e n g a n b e r m a c a m bentuk demokrasi langsung

yang lebih partisipatoris dan menjamin keterwakilan semua unsur masyarakat, yang tidak ter l ihat ( inv is ib le) da lam demokrasi elektoral. Kontrol t e r h a d a p p e l a k s a n a a n demokrasi elektoral harus ditegakkan, mulai dari sistem pemilihan umum, pembiayaan partai politik sampai demokrasi internal partai politik itu sendiri. Dengan langkah-langkah ini kita b isa berharap ter jadinya peningkatan kualitas demokrasi yang menjamin keterwakilan, lebih menampung yang pada g i l i r annya menghas i l kan kebijakan yang berkualitas. Lembaga-lembaga negara h a r u s d i b e b a s k a n d a r i kepentingan predatoris dan n e o l i b e r a l d e n g a n menempatkan penyelenggara negara yang bisa berpikir di luar parad igma dominan dan bersedia menantang tirani modal.

Perubahan ini tidak mungkin berjalan jika hanya b e r l a n g s u n g d i t i n g k a t kebi jakan. Pemberhalaan hukum seolah kebijakan yang

baik akan menghasilkan praktek yang baik pula juga harus d i t i n g g a l k a n . P e r u b a h a n keb i jakan harus d ise r ta i dukungan masif dari berbagai unsu r masya raka t un tuk memastikan bahwa perubahan yang d iharapkan muncu l sebagai akibat dari keluarnya kebijakan tertentu, memang terjadi. Dan lebih jauh, politik pengetahuan dan perumusan kebijakan semestinya bertolak dari praktek-praktek alternatif terhadap tirani modal yang berlangsung di berbagai tingkat dan sektor. Aliansi antara k e k u a t a n - k e k u a t a n y a n g mengupayakan alternatif yang bersifat lintas-sektor perlu d ibangun dan d iperkua t . Kenyataan bahwa Universitas Indonesia menjadi tuan rumah bagi konferensi in i yang d iselenggarakan bersama kalangan ornop, gerakan sosial dan intelektual, menjadi bukti bahwa aliansi seperti itu bukan hanya mungkin, tapi sudah terjadi.

Kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan di berbagai tingkat dan kalangan harus dipikirkan secara sungguh-sungguh, dan konferensi ini baru m e m b u k a j a l a n d e n g a n mempertemukan berbagai kalangan dalam satu forum yang menghasilkan kesepakatan bersama. Kunci keberhasilan dari strategi untuk membangun alternatif ini adalah kehadiran critical mass, yang merumuskan, melaksanakan dan mengawal agenda perubahan ini. Tingkat partisipasi yang sangat tinggi dalam konferensi ini kiranya menjadi tanda yang baik bahwa kita sedang bergerak ke arah itu.

laporan khusus

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

17

da dua cara untuk m e m a h a m i g e l o m b a n g pemekaran provinsi dan kabupaten di A

Papua. Cara pertama adalah melihat gejala ini sebagai upaya ekploitasi kesempatan yang d ibuka pemer in tah pusa t (desentralisasi) oleh tokoh-tokoh

1Papua. Penjelasannya adalah para tokoh-tokoh Papua melihat adanya peluang beranjak ke atas s e j a k d i b e n a r k a n n y a Papuanisasi birokrasi. Artinya, kini dan saat ini merupakan kesempatan terbesar dari tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di daerahnya sendiri. Meningkatnya ekplo i tas i kesempatan in i berbanding lurus dengan kian sempitnya peluang tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di

2daerah lain.

Cara kedua adalah melihat gejala itu sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk menghentikan laju kristalisasi i d e n t i t a s p o l i t i k P a p u a . Penjelasannya adalah otoritas kenegaraan Indonesia ketakutan sejak Presidium Dewan Papua

3(PDP) mampu hadir sebagai wadah tandingan terkuat bagi otoritas pemerintah Indonesia (1999-2003) karena berhasil m e n g h i m p u n d a n mentransformasikan perlawanan Papua yang sporadis menjadi p e r l a w a n a n y a n g terinstitusionalisasi. Pilihan yang tersedia bagi otoritas Indonesia dalam situasi seperti itu adalah melumpuhkan institusionalisasi tersebut dengan mengeksploitasi kecendrungan politik Papua pra-kehadiran PDP, yaitu politik

dengan sentimen kewilayahan 4

yang penuh warna etnik. Hasil akhirnya adalah Papua bukan lagi satu-kesatuan identitas politik, melainkan hanya kapling-kapling administrasi pemerintahan yang berhimpit dengan batas-batas

.5 wilayah suku

Dari dua arus besar itu maknanya adalah sentralisasi kekuasaan di tangan birokrasi (khususnya Depdagri) tetap berjalan mulus di Papua. Sebab dari puluhan Kabupaten yang dibuat tidak ada perubahan apa p u n d a l a m p e n g e l o l a a n p e m e r i n t a h a n d i P a p u a . Semuanya tetap menginduk kepada Mendagri. Hal ini terjadi karena di setiap Kabupaten yang dibentuk tidak ada persiapan sama sekali untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri. Contoh: Kabupaten Mimika yang berjalan tanpa DPRD selama 4 tahun. Artinya dalam artian apa pun pemerintahan di Kabupaten-Kabupaten baru itu di Papua sesungguhnya lumpuh. Yang ada hanyalah Jabatan Bupati saja.

Bagaimana memaknai bertemunya dua fenomena yang saling menguntungkan antara tokoh Papua dengan pemerintah pusat tersebut dalam masalah-masa lah HAM d i Papua? Pertama, kedua fenomena itu m e n g g e s e r m a s a l a h ketidakadilan hubungan pusat dan daerah menjadi persoalan internal Papua sendiri yaitu antara pro-pemekaran atau to lak pemekaran. Artinya masalah pokok dalam kesenjanghubungan pusat dan daerah yang telah m e n y e b a b k a n t e r j a d i n y a rangkaian pelanggaran HAM dan

kejahatan kemanusian tersingkir dari arena politik dan digantikan oleh pertarungan antar tokoh P a p u a s e n d i r i d a l a m memperebutkan restu Jakarta guna mendapat jabatan Bupati dan atau Gubernur. Artinya, masalah Papua saat ini hanya sekadar masalah perluasan birokrasi (khususnya birokrasi Depdagri). Istilah indah tapi m e n i p u u n t u k i n i a d a l a h “pemekaran ada lah un tuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat.”

Kedua, fenomena itu juga menyingkirkan isu keadilan dan hak asasi manusia dari arena p o l i t i k . K h u s u s n y a i s u pertanggungjawaban. Artinya pemerintah pusat langsung atau t idak langsung menjadikan j a b a t a n - j a b a t a n b a r u d i Kabupaten-Kabupaten baru atau di Provinsi untuk meredam animo o r a n g - o r a n g m e n u n t u t pertanggungjawaban. Orang-orang kemudian lebih sibuk dan menghabiskan energi untuk merancang, mempersiapkan dan m e n d u k u n g p e m b e n t u k a n K a b u p a t e n a t a u P r o v i n s i k e t i m b a n g m e n g a d v o k a s i masalah HAM. Implikasinya seluruh kekeliruan dan kesalahan di masa lalu tidak dijadikan pelajaran untuk perbaikan ke depan. Dengan sendir inya masalah pokok di Papua kini wacananya telah bergeser dari masalah hubungan pusat dan daerah menjadi masalah pro atau kontra-pemekaran.

Dari gejala pemekaran seperti di atas, kesimpulan pertama yang dapat kita ambil adalah terjadinya kerjasama yang

Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan

Oleh Amiruddin al Rahab(Peneliti Politik dan Hak Asasi Manusia di ELSAM)

daerah

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

18

saling menguntungkan antara tokoh-tokoh Papua dengan

6kepentingan pusat. Siapa tokoh-tokoh Papua tersebut? Sebagian besar adalah elit-elit lama yang telah menjadi perpanjangan tangan birokrasi serta orang-orang baru yang telah menikmati jabatan dalam sepuluh tahun

7belakangan ini. Singkatnya mereka adalah bagian utuh dari kekuatan politik masa lalu yang memperbaharui diri dengan gaya

8politik baru. Sementara orang-orag pusatnya adalah tokoh-tokoh yang masih dengan p a r a d i g m a l a m a d a l a m mengelolah Indonesia. Baik yang datang dari dalam birokrasi Depdagri sendiri mau pun yang

9datang dari partai-partai politik.

Kes impu lan kedua , hilangnya aktor-aktor politik baru dari panggung politik Papua. Aktor politik baru yang saya maksudkan adalah aktor politik yang menjadi tandingan bagi politik birokrasi lama yaitu PDP dan DAP. Ketika kekuatan baru ini kehilangan pengaruh, maka politik di Papua kembali ke kultur, s t r u t u r d a n a k t o r l a m a . Implikasinya tidak ada kekuatan penyeimbang atau tandingan di P a p u a s a a t i n i d a l a m menghadapi gelombang tsunami pemekaran ini. Dapat kita pastikan gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dalam tahun-tahun mendatang (khususnya setelah Pemilu) akan membesar. Se lu ruh p e m e k a r a n d a n r e n c a n a pemekaran Kabupaten ditujukan

10untuk membentuk provinsi baru.

K e s i m p u l a n k e t i g a pemekaran kabupaten dan birokrasi menjadi bahaya besar bagi rakyat dan masa depan Papua sendiri. Bahaya pertama SDA Papua akan dikuras hanya untuk membiayai birokrasi dan jabatan. Anggaran Daerah hanya akan habis untuk biaya rutin kepegawaian. Kedua, Papua betul-betul akan menjadi kapling-k a p l i n g y a n g a k a n diperdagangkan oleh para war lord baik kepada investor mau

11pun pada patron politik di pusat. Ket iga, birokrasisasi akan menekan masyarakat sedemikian rupa sehingga menghilangkan ruang untuk menikmai demokrasi secara substantif.

J i k a d i b a n d i n g k a n dengan Aceh, bahaya pemekaran di Aceh tidak seberbahaya di Papua . Sebab ada fako r determinan yang menentukan y a i t u b e r h a s i l n y a G A M mengamb i l a l i h sebag ian kekuasaan baik di Provinsi mau pun di Kabupaten. Dari 21 Kabupaten/kota, GAM saat ini telah memenangi Pilkada di 9 Kabupaten sekaligus Provinsi. Selain itu partai-partai politik sentralis Jakarta mendapat lawan setimpal yaitu partai lokal. Dalam pemi lu 2009 nan t i besar kemungkinan partai lokal meraih suara 40% atau lebih di DPRA. A r t i n y a m o d a l i t a s u n t u k mendorong perubahan politik menjadi berbeda dari struktur dan kultur politik masa lalu di Aceh jauh lebih besar ketimbang di Papua.

Jika gerakan menuntut pembentukan Provinsi ALA-

ABAS dicermati maka sangat tampak secara gamblang bahwa itu gerakan dari kekuatan masa lalu dan sangat elitis Secara politik sulit berkembang karena sangat terbatas. Fenomena pilkada Aceh Selatan beberapa bulan lalu yang dimenangkan oleh calon Bupati dari GAM bisa jadi contoh.

Kembali ke pemekaran Papua, saat ini telah dan sedang terjadi kompetisi terbuka antara tokoh- tokoh Papua da lam memperebutkan kedudukan. Kompetisi terbuka ini membuat pertarungan politik meninggi dan tak tertutup kemungkinan keras ke depan. Dalam pertarungan itu terlibat sesama kekuatan lama, sebab kekuatan baru (PDP) tersingkir dari arena. Hal yang d i p e r e b u t k a n a d a l a h melimpahnya uang di Papua yaitu sekitar Rp. 28 T pertahun dengan jumlah penduduk keseluruhan hanya 2,5 juta jiwa. Jadi politik Papua ke depan lebih diwarnai oleh persekongkolan jahat antara para politisi lokal dengan para politisi di DPR-RI (DPP Partai) dengan calo para mantan petinggi militer atau birokrat.

daerah

Keterangan:

1. Tahun 2003 Provinsi Papua pecah jadi 2 provnsi. Saat ini provinsi IJB menunggu Pembentukan 4 kabupaten baru (Pegunungan

12 13Arfak, Maibrat, Tambrauw dan Manokwari Selatan). Tahun 2008 bulan Juni di Provinsi Papua diresmikan 6 kabupaten baru

14di daerah pegunungan tengah.

2. Dalam 10 tahun perkembangan jumlah bupati 350% dari 10 menjadi 35 lima. Artinya ada tersedia 700 sampai 750 kursi di DPRD Kabupaten. (Anggota DPRD Kabupaten di Papua antara 20-30 kursi)

3. Kursi terbesar diduduki oleh Golkar dan PDIP. Komposisi anggota DPRD rata2 60% pribumi, 40% pedatang

KotaKabupaten

1998 1999 2002 /2003

2008 2008(IJB)(Papua)

1

9

2

12

2 1 1

27 25 8

Tabel Jumlah Pemekaran Kabupaten dan Kota di Papua (1998-2008)

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

19

daerah

1. Jaap Solossa ketika menjelang akhir masa Jabatannya pernah menggagas pembagian Papua jadi 5 provinsi yaitu, Papua Bagian Barat, Teluk Cendrawasih, M a m t a ( P a p u a b a g i a n T i m u r ) , Pegunungan Tengah, dan Papua Bagian Selatan.

2. Sejak menguatnya lokalitas identitas di Indonesia seiring dengan desentralisasi, bisa dikatakan hampir t idak ada kesempatan bagi tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit seperti Bupati atau Gubernur di daerah lain.

3. Jika disimak dengan teliti sejarah permintaan pemekaran sejak tahun akhir tujuh puluhan dan awal 80-an yang dipelopori Gubernur Papua (Irian Jaya) almarhum Busyiri Suryowinoto yang mel ibatkan (Michael Menufandu, Obednego Rumkorem dan Martinus Howay) dan 6 anggota DPR/MPR-RI antara lain MC Da Lopez, lzaac Hindom, lzaac Saujay, Mochammad Wasaraka, dan Sudarko dapat ditarik satu kesimpulan spekulatif bahwa selama itu tidak ada ancaman yang signifikan di Papua. Maknanya adalah gerakan OPM meski pun bersenjata tidak cukup signifikan mengubah tindakan politik pemerintah pusat. Ketika PDP berhasil melibatkan massa dengan melintasi semua sekat di Papua baru pemerintah mengubah posisinya menyetujui pemekaran. Hal itu terjadi tahun 2001. Pemekaran intensif tahun 2002 untuk kabupaten.

4. yaitu pada tahun 1999, Gubernur provinsi Irian Jaya Freddy Numberi mengusulkan pemekaran provinsi menjadi t iga prov ins i dengan melakukan pemutahiran data hasil penelitian Tim Departemen Dalam Negeri tahun 1984. Namun setelah dikeluarkan UU no. 45 tahun 1999, DPRD Provinsi Papua dengan SK No. 11/DPRD/1999 tertanggal 16 Oktober 1999 menolak pemekaran tersebut atas desakan rakyat Papua.

5. Ka BIN Hendro Priyono menyatakan “pemekaran juga dilatarbelakangi aspek keamanan. "Kalau kita bagi semakin kecil, kan kita juga akan semakin mudah dalam kontrol, supervisi, mengamankan rakyat dan menyejahterakan masyarakat," Kompas, 19/2/2003

6. Contoh Decky Asmuruf mantan Sekda Papua masa J Solossa Gubernur dan John Piet Wanane yang sebentar lagi pensiun dari jabatan bupati kabupaten Sorong mendeklarasikan Propinsi Papua Barat Daya, mengkalim Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat , Kabupaten Sorong Sela tan, dan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai bagian dari wilayahnya. Upaya Asmuruf ini ditentang oleh Jimmy Idji ketua DPRD Papua Barat. 7. Contoh pejabat baru yang berburu pemekaran adalah para Bupati dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Jayawijaya, dan Puncak Jaya minta disatukan menjadi Provinsi Pegunungan Tengah. Dipelopori oleh Bupati Pegunungan Bintang Wellington Wenda. Para Bupati ini melakukan kasi Walk Out ketika ada rapat kordinasi pembangunan se Papua yang digagas oleh Gubernur Barnabas Suebu bulan Februari 2008. Para bupati ini adalah Kader Golkar di Papua. KOMPAS 20 February 2008. 13 Mei 2008 Ketua Panitia

Pemekaran Provinsi Papua Tengah Andreas Anggaibak (mantan Ketua DPRD Mimika, Sekretaris Panitia Pemekaran Provinsi Papua Tengah Drs Hironimus Taime, kembal i mendelekrasikan pendirian Provinsi Papua Tengah. 8. Simak argument Jhon RG Djoprai tentang perlunya tiga provinsi di Papua. “Dari segi politik, pembagian Provinsi Papua menjadi 3 wilayah provinsi memberikan kesempatan kepada tiga putra Papua yang terbaik untuk menjadi gubernur setelah melalui proses pemilihan oleh rakyatnya.” Sinar Harapan, 5/3/03. Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze yang telah habis masa jabatannya menyokong pemebentukan Papua Selatan.

9. EE Mangidaan sangat mendukung pembentukan Papua Selatan. EE Mangidaan adalah mantan Pangdam di Papua, saat ini salah satu ketua Partai Demokrat dan anggota Komisi II DPR RI.

10. Rapat paripurna DPR-RI, Selasa (22/1/2008) telah mengsahkan RUU pembentukan provinsi baru di Papua, di antaranya, Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Barat. Kepntingan partai-partai politik terlihat dalam rencana ini.

11. Dari segi ekonomi, ketiga wilayah mempunyai potensi sumber alam yang sama, yaitu pertambangan. Kalau wilayah Tengah ada PT Freeport; di wilayah Barat ada Pertamina dan Proyek Tangguh-BP; di wilayah Timur ada juga tambang Tembaga/Emas di Okisibil (PT Inggold) dan minyak bumi (PT Connoco) di Kouh Tanah Merah. Pembagian tiga provinsi Papua dikapling sesuai keberadaan perusahaan pertambangan.

12 . D igagas Bupa t i Manokwar i Dominggus Mandacan sebab telah habis masa jabatan Bupati (dua periode)

13. Digagas oleh John Piet Wanane, bupati Sorong demi merealisasikan Papua Barat Daya.

14. Pembentukan keenam kabupaten baru ini pernah diveto oleh Gubernur Bas Suebu diawal masa jabatannya. Namun Suebu kalah dalam percaturan politik lokal Papua sehingga ke 6 Kabupaten ini mulus terbentuk

Catatan:

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

perspektif

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

20

encana pemerintah u n t u k m e n a i k a n h a r g a B B M sebenarnya telah d i p r e d i k s i o l e h R

masyarakat karena beberapa bu lan sebe lum BBM na ik , p e m e r i n t a h b e r u p a y a menggunakan cara-cara alternatif untuk mengurangi pemakaian BBM di tingkat domestik seperti program konversi minyak tanah ke gas, pembatasan penggunaan BBM serta penggunaan smart card di setiap kendaraan beroda empat. Namun cara-cara pemerintah ini ku rang beg i tu e fek t i f dan menimbulkan banyak kri t ik. Gelombang perlawanan dari m a s y a r a k a t k h u s u s n y a mahasiswa untuk menyuarakan

Tragedi UNAS dan Aksi Brutal Aparat Kepolisian

penolakan terhadap kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM terjadi di mana-mana. Berbagai unjuk rasa menentang kenaikan bahan bakar minyak digelar baik di Jakarta maupun di berbagai daerah di tanah air. Unjuk rasa cenderung menjurus anarkis ketika pengunjuk rasa dan polisi seringkali saling dorong.

Situasi semakin memanas ketika beredar kabar bahwa BBM akan naik hampir 28,7% dan akan diumumkan oleh Departemen Keuangan pada pukul 22.00 WIB. Menyikapi ini, kampus Universitas Nasional (UNAS) Jakarta meneriakkan penolakan terhadap kenaikan harga BBM dengan berdemonstrasi di depan kampus. Pol is i dalam jumlah besar

didatangkan untuk mengamankan aksi tersebut, situasi memanas dan saling lempar antara petugas dan mahasiswa akhirnya tidak dapat dihindari. Botol, batu, dan bom molotov beterbangan, bentrokan berlangsung hingga subuh. Polisi menyerbu dan mengejar para demonstran hingga masuk ke areal kampus. Lebih dari 100 mahasiswa dan mahasiswi Unas dibawa ke kantor polisi. Tak hanya itu, sejumlah fasilitas kampus yang ada di Pejaten, Jakarta Selatan ini hancur. Pecahan kaca dan batu berserakan di mana-mana, juga beberapa mobil serta sepeda motor rusak. Berikut ini adalah kronologis kejadian yang terjadi pada tanggal 24 Mei 2008 di Kampus Universitas Nasional:

Oleh Engelbertus Wahyudi(Mahasiswa FISIP Universitas Nasional)

Pukul (WIB)

Kejadian Keterangan

21.00 Sejumlah mahasiswa UNAS memulai unjuk rasa di halaman kampus UNAS (taman kotak- samping gedung blok I)

Orasi dan menyalakan lilin

21.40

22.00

22.35

22.45

Masa (mahasiswa) bergerak ke depan kampus UNAS

Masa (mahasiswa) bergerak menuju pertigaan jalan kampus UNAS sambil berorasi

Masa (mahasiswa) kembali ke depan kampus UNAS

Masa aksi membakar ban di depan kampus

Di pertigaan sudah ada sekitar 5 mobil patroli polisi.

Diikuti polisi

Polisi mulai merapat dan jumlahnya bertambah

22.50 Terjadi keributan dengan polisi Masa (mahasiswa) di bantu warga sekitar, memukul mundur polisi sampai ke pertigaan jalan kampus UNAS. Polisi bertahan di pertigaan dan halte.

23.52Beberapa warga bernegosiasi meminta polisi membubarkan diri dan mahasiswa UNAS agar masuk ke kampus

05.20 Polisi menyerang kampus dengan atribut lengkap dan melepaskan tembakan serta gas air mata ke dalam kampus. Sedangkan mahasiswa bertahan di dalam kampus dan melakukan perlawanan dengan melemparkan batu, botol, dan apapun yang ada di sekitar mereka.

Tidak ada satu pun mahasiswa yang menggunakan senjata tajam. Mahasiswa berusaha menyelamatkan diri hingga naik ke atap genteng tetapi tetap dikejar oleh polisi

06.02 Polisi mendapat komando untuk masuk ke kampus UNAS. Dan mulai mendobrak pagar kampus

Ada dua komando berbeda. Yang di depan tembok UNAS mengomandokan untuk tidak masuk ke kampus, sedangkan yang di depan pagar kampus menyuruh polisi untuk masuk ke kampus.

06.23 Polisi menangkap seorang mahasiswa yang sudah mengalami luka robek dan bocor di kepala. Kemudian polisi memukuli beberapa satpam UNAS dan juga memukul wartawan yang sedang meliput.

Polisi sudah ada di dalam kampus.

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

21

Dari sekian banyak universitas yang melakukan aksi pada tanggal 23 Mei 2008, UNAS lah yang paling parah terkena serangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Polisi melakukan penyerbuan terhadap mahasiswa UNAS hingga ke dalam kampus dan melakukan pengrusakan serta penjarahan terhadap fasilitas kampus dan barang-barang milik mahasiswa. Diperkirakan total kerugian yang diderita UNAS mencapai Rp. 600 juta. Itu didapat dari kerusakan 65 motor, tiga unit mobil, serta pecahnya kaca dan pintu di gedung rektorat, gedung akademi, dan gedung kuliah serta meja dan bangku perkuliahan. Kerusakan juga terjadi pada gedung serba guna, komputer dan k l in ik kesehatan, pagar, anjungan tunai mandiri (ATM), majalah dinding, rambu-rambu, dan peralatan kantor. Selain itu, ada beberapa telepon seluler mahasiswa yang hilang. Dalam aksi itu juga, tercatat ada 148 mahas iswa yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Mahasiswa Unas yang ditangkap ada 100 orang, 89 laki-laki dan 11 perempuan. Alumni Unas 6 orang, 2 perempuan dan 4 laki-laki.

Sedangkan mahasiwa dari perguruan tinggi lain yang ditangkap sebanyak 11 orang, 1 laki-laki dan 10 wanita. Selain itu, ada juga 15 masyarakat umum yang ikut dalam aksi tersebut. Dari keseluruhan jumlah itu, ada 15 mahasiswa yang mengalami luka ringan dan luka berat. Yang paling fatal adalah 1 orang mahasiswa meninggal dunia.

Mahasiswa Unas yang meninggal itu bernama Maftuh Fauzi. Ia ditangkap pada tanggal 24 Mei 2008 dan dikeluarkan dari

Polres Jakarta Selatan pada tanggal 1 Juni 2008. Ia meninggal dunia pada hari Jumat, 20 Juni 2008 akibat dari tindakan represif aparat kepolisian dengan cara dipukul dengan tongkat dan ditendang di bagian kepala, bibirnya pecah, punggung memar dan tangan bengkak. Maftuh Fauzi ditahan selama 10 hari di Polres Jakarta Selatan (termasuk daftar 31 orang). Akibat pemukulan itu luka jahitan di kepala mengalami in feks i sehingga ca i rannya mempengaruhi otak dan ada pembekuan darah di otak bagian belakang. Sebelumnya korban sempat dirawat di Rumah Sakit UKI tanggal 10-17 Juni 2008, kemudian atas desakan mahasiswa kepada rektorat agar dilakukan perawatan yang lebih intensif, maka korban dipindahkan ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) pada tanggal 17 Juni 2008. Korban akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 20 Juni 2008.

Penyerbuan brutal dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh polisi terhadap civitas akademika Universitas N a s i o n a l ( U n a s ) J a k a r t a merupakan wujud paling nyata dari kebrutalan aparatur negara (polisi) dalam menyikapi kebebasan berpendapat dan Berekspresi. T u g a s k e p o l i s i a n a d a l a h mengamankan aksi agar dapat berlangsung dengan damai bukan melakukan penyerbuan dengan brutal. Mereka membungkam dan m e n g k o o p t a s i d a y a k r i t i s mahasiswa dengan tindakan-tindakan represif. Negara dan a p a r a t u r n y a ( p o l i s i ) t e l a h mengubur amanat reformasi yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Tragedi in i juga Sekal igus

membuktikan bahwa belum adanya perubahan yang komprehensif di dalam tubuh Polri padahal polisi sedang berbenah diri menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara sebagai penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.

Atas nama apa pun, menyerbu mahasiswa yang tak bersenjata, mengobrak-abrik kampus dan fasilitasnya, memukuli mahasiswa, dan sebagainya adalah t indakan yang t idak dapat dibenarkan dan harus diselesaikan secara hukum. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus mendapat ijin pengadilan a t a u s e t i d a k - t i d a k n y a sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Artinya, polisi juga harus meminta ijin untuk dapat m a s u k k e d a l a m k a m p u s Universitas Nasional atau kampus lainnya.

perspektif06.37 Masa (mahasiswa) melakukan aksi duduk diam di lapangan UNAS, tanda

bahwa aksi sudah selesai, namun sayangnya polisi memukuli para mahasiswa dan menelanjangi mereka, serta mengambil barang barang milik mahasiswa.

07.03 Semua mahasiswa dibawa ke dalam mobil tahanan Banyak mahasiswa yang hanya tidur di sekretariat mahasiswa dan yang sedang bersiap untuk acara Wisuda ikut dibawa, bahkan ada mahasiswa yang baru datang ke kampus untuk kuliah juga dibawa.

07.25 Situasi kampus mulai kondusif. Unas terlihat porak-poranda dengan pecahan kaca, botol, batu, bangku dan meja perkuliahan bertebaran di mana-mana. Motor, mobil serta fasilitas kampus lainnya hancur. Darah berceceran di ruang kuliah dan menempel di dinding.

Ada 5 orang tentara menggunakan topi rimba berjaga di depan kampus

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

resensi

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

22

embalinya Politik” merupakan buku tentang politik yang s e c a r a k h u s u s Kd i p e r s e m b a h k a n

oleh P2D kepada A. Rahman Tolleng sebagai hadiah ulang tahunnya. Dari judul buku ini, m u n c u l p e r t a n y a a n a p a pentingnya mengembalikan politik? Dalam pengantarnya Rocky Gerung mengatakan penting mengembalikan politik karena politik (yang selama ini ditafsirkan keliru) merupakan urusan keadilan umum yang melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat (hal. viii-ix).

Secara keseluruhan buku ini terdiri dari 6 sub tema. Keenam sub tema itu adalah: (1) Politik sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Pol i t ik Hannah Arendt; (2) Yang-Politik dan Demokrasi sebagai Ruang Kosong: Filsafat Politik Claude Lefort; (3) Metapolitik Alain Badiou: Keadilan, Kebenaran, dan Per lawanan terhadap Ketidakmungkinan; (4) Subyek Sebagai Syarat Kembalinya Politik: Proyek Emansipasi Slavoj Žižek; (5) Yang Etis dan Politis: Antara Sukasman dan Zupančič; dan (6) Retorika, Psikoanalisa, dan Hegemoni: Pemikiran Politik Ernesto Laclau.

Kelima penulis buku ini secara sistematis mencoba memaparkan pemikiran politik kontemporer dari beberapa pemikir pol i t ik yang telah disebutkan di atas. Eddie Sius Riyadi mengawali buku ini dengan membahas pemikiran politik Arendt dan relasinya dengan kebebasan politik. Penulis ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa selama berabad-abad kita dijajah dengan filsafat dan praktik p o l i t i k y a n g “ l u p a a k a n kebebasan.” Di sinilah pentingnya

pemikiran Arendt, tulisan ini bermaksud menelaah salah satu tesis sentral dalam filsafat politik Arendt yaitu bahwa raison d'être dari politik adalah kebebasan, dan b i d a n g p e n g a l a m a n n y a (terutama) adalah t indakan (action). Bagi Arendt, yang-politik pada praktiknya tidak bisa dipisahkan dari kebebasan karena di dalam kebebasan itulah yang-politik itu bisa dialami dan diaktualisasikan.

Pada sub tema yang k e d u a , R o b e r t u s R o b e t memperlihatkan dalam tulisannya bahwa bagi Lefort, politik dilihat sebagai ruang kosong. Konsep politik sebagai ruang kosong yaitu b a h w a d e m i p e n g a l a m a n kebebasan dan keadilan, politik tidak boleh dihuni oleh jawaban final. Melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan. Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme. Artinya, isi dasar demokrasi (polis) yang nyata adalah kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat n a m u n k u r s i a t a u p o s i s i kedaulatan itu tidak pernah secara fisik diisi oleh si rakyat sendiri. Kekosongan posisi kedaulatan inilah karakter pokok demokrasi.

Membawa Pulang Politik Oleh Raimondus Arwalembun

(Staf Publikasi ELSAM)

Judul Buku : Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek

Penulis : Bagus Takwin, Daniel Hutagalung, Eddie Sius Riyadi,Robertus Robet, dan Tony Doludea.

Pengantar : Rocky GerungPenerbit : Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan Marjin

Kiri (Jakarta)Tahun : 2008Data Fisik : xxxix, 215 hlm

EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008

memberikan sumbangan besar bagi teori hegemoni, penciptaan i ka tan pe rsamaan , l og i ka perbedaan, dan penanda kosong.

Akhi rnya lepas dar i berbagai kekurangan yang mungk in dapat d i temukan pembaca, hadirnya buku ini d imaksudkan agar mampu memberi pencerahan bagi kita dalam menghadapi kondisi politik kontemporer kita yang tidak lagi membutuhkan teori dan tetek-bengek filosofis. Kedangkalan yang terjadi belakangan ini dalam dunia politik Indonesia disebabkan oleh minimnya perangkat teoritis yang kita miliki pasca jatuhnya rejim otoriter. Dari sekian tema yang dibahas dalam buku “Kembalinya Politik” ini, para penulis di buku ini dalam cara, arah, dan metode yang berbeda-beda tiba pada satu kesimpulan bahwa filsafat selalu adalah filsafat yang mencari politik (hal. xxxix).

Di sub tema yang kelima tentang yang etis dan politis, Tony Doludea memperlihatkan bahwa Lewat gambaran togog (dalam pewayangan, togog dipandang sebagai penasehat para Kurawa, atau tokoh-tokoh wayang lainnya yang identik dengan kelicikan dan k e j a h a t a n ) d a n S e m a r (dipandang sebagai penasehat untuk para Pandhawa, maupun ksatria-ksatria lain yang identik dengan dharma dan kebaikan) o l eh Sukasman ( seo rang seniman wayang), kita dapat merefleksikan kehidupan politik k i t a . Sukasman mencoba menyadarkan kita, bahwa alih-ahli menantikan datangnya Semar, malah sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini adalah Togog, Togog yang betah tinggal d a l a m k e j a h a t a n . S e l a i n pemikiran Sukasman, Tony juga membahas konsep etika The Real dari Zupančič. Yang dimaksud Zupančič dengan etika The Real adalah etika yang impossible, artinya bahwa etika adalah bukan sesuatu yang tidak dapat terjadi secara empiris, bukan sesuatu y a n g t e r j a d i k e t i k a k i t a menginginkannya. Etika The Real selalu terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Baginya etika bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terwujud, melainkan the impossible itu yang dapat terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Inilah inti ruang etika.

Pada sub tema yang terakhir, giliran pemikiran Ernesto Laclau yang dibahas oleh Daniel Hutagalung. Dalam tulisanya ini, Daniel mencoba menelusuri triad (retorika, psikoanalisa, dan politik-hegemoni-) yang dijadikan sandaran Laclau bagi masa depan pemikiran sosial dan politik. Teori retorika yang dirujuk Laclau adalah pembacaan Paul de Man atas Pascal. Retorika, l o g i k a , d a n d e k o n s t r u k s i m e m b e r i k a n d a s a r u n t u k m e n g a n a l i s a b a g a i m a n a keputusan dan politik dilihat dalam undecidability, serta

Bidang kosong demokrasi itu menegaskan adanya distansi antara kedaulatan dan rejim: a n t a r a y a n g s o s i a l d a n kekuasaan (inilah yang disebut “imajinasi”). Yang-Politik hanya mungkin apabila yang imajinatif mungkin. Dengan demikian bagi Lefort, ruang kosong (demokrasi) itu merupakan indikasi dari kehadiran Yang-Politik.

Dalam sub tema yang k e t i g a , B a g u s Ta k w i n m e m p e r l i h a t k a n b a h w a mengembalikan politik bagi B a d i o u , b e r a r t i mentransformasikan struktur dominan dari kepentingan-kepentingan status quo. Politik dalam pandangan Badiou, bukanlah everything is possible tapi something else is possible. Yang penting di sini adalah bahwa Badiou tidak sedang bekerja dalam politik “peluang” melainkan dalam polit ik “total,” yaitu perubahan keseluruhan tatanan. Melanjutkan pemikiran Badiou, pada sub tema yang keempat, R o b e r t u s R o b e t k e m b a l i memperlihatkan bahwa dalam hal menemukan kembali yang politik, filsafat Žižek mengambil jalan dalam arah yang ditempuh Badiou, yaitu gempuran total terhadap tatanan dominan, melalui suatu tindakan yang disebut the act. Act pada Žižek berarti suatu tindakan historis y a n g m e n g u b a h s u a t u paradigma, dan menuai segala sesuatu dari baru.

resensi

PROFIL ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.

Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM

Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Sekretaris: Ifdhal Kasim, S.H.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M., Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, M.A., Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M., Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, M.A., Fransisca Ery Seda, Ph.D., Dra. Agung Putri, M.A., Ester Rini Pratsnawati.

Pelaksana Harian:Direktur Eksekutif: Dra. Agung Putri, M.A.Deputi Direktur Bidang Program: A.H. Semendawai, S.H., LL.M.Deputi Direktur Bidang Urusan Internal: Otto Adi Yulianto, S.E.Staf: Atnike Nova Sigiro, S.Sos., M.Sc., Betty Yolanda, S.H., Elisabeth Maria Sagala, S.E.,

Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari Widowati, Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M., Maria Ririhena, S.E., Mariah, Triana Dyah P., S.S., Yuniarti, S.S., Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M., Amiruddin, S.S., M.Si., Eddie Sius Riyadi, Elly Pangemanan, Ignasius Prasetyo J., S.E., Ignasius Taat Ujianto, Khumaedi, Kosim, Paijo, Sentot Setyosiswanto, S.Sos., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Zani.

Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email: [email protected], atau [email protected]; Website: www.elsam.or.id

LEMBAGA STUDI &

ADVOKA

SIM

ASY

AR

AKAT