Upload
truongdang
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLITIK HUKUM CALON PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN
KEPALA DAERAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Ismatun Nadhifah
NIM: 1113048000071
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
ABSTRAK
ISMATUN NADHIFAH. NIM 1113048000071. POLITIK HUKUM
CALON PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH.
PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1437 H/ 2016 M. x + 70 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka.
Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana disebutkan dalam
pasal 1 ayat (3) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia, ciri dari
Negara hukum adalah sistem pemerintahan berasaskan demokrasi. Dalam sistem
demokrasi, kedaulatan tertinggi dalam Negara adalah kedaulatan rakyat.
Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat yang berdasarkan pada ketuhanan yang
maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tertuang pada Pancasila.
Warga Negara mempunyai hak yang sama dalam hukum dan
pemerintahan (pasal 27 ayat 1) UUD 1945. Oeh sebab itu tidak boleh ada suatu
diskriminasi karena hak-hak warga Negara sudah diatur dalam konstitusi.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang pemikiran partai
politik yang mempengaruhi regulasi dibolehkannya calon Perseorangan dalam
Pilkada dengan melakukan analisis pada risalah Rapat Kerja (RAKER)
pengambilan keputusan akhir Tingkat I antara komisi II DPR RI dengan
pemerintah terhadap RUU tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang-
Undang.
Adapun Prosedur dan mekanisme pencalonan kepala daerah perseorangan
(Independen) telah diatur di dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Ada 2 (dua) jenis
verifikasi yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Dari hasil Rapat Kerja Komisi II DPR RI tersebut, menyatakan bahwa
syarat dukungan bagi calon perseorangan yang dinaikkan menjadi 6,5 sampai 10
persen dari jumlah peduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap. Dengan
alasan untuk meningkatkan kualitas dan legitimasi bagi calon perseorangan di
masyarakat.
Kata Kunci: Calon Perseorangan, Pilkada, Undang-undang Nomor 10 Tahun
2016.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji dan syukur kita panjatkan untuk kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “POLITIK HUKUM CALON PERSEORANGAN
DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH”. Sholawat serta salam peneliti
sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang
ini. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH., selaku ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum, selaku sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, SH., MH., selaku Dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran
dalam membimbing sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
4. Segenap staff Pelayanan PPID DPR RI yang sudah membantu
memberikan data-data dan informasi yang peneliti butuhkan sebagai bahan
analisis sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
vi
5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah menyediakan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah
SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua
kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
7. Kedua orangtua tercinta yaitu bapak H. Sulikan dan ibu Hj. Niskah yang
telah tulus dan sabar mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan
pendidikan dari sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi dan telah
memberikan semangat dan dukungan dari segi materil maupun moril agar
skripsi ini dapat berjalan dengan lancar hingga selesai. Begitu juga untuk
kakak tercinta Hj. Eny Suliana dan Alm. H. Ali Wahyudin serta tidak lupa
keponakan saya Nailal Hadawiyah S.I.Kom, Khusnul Khuluq, Fatimatuz
Zahro, Halimatus Sa’diyah, Nur Wahyu Suindah dan Muhammad Kharis,
saya bersyukur telah memiliki kalian.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan di kampus khususnya Devi Annisyah
Hasibuan dan Hertin Sion, terima kasih untuk kebersamaan,
kepercayaannya selama empat tahun ini dan selalu memberikan semangat
serta dukungan kepada penulis.
vii
9. Sahabat-sahabat tercinta Nurul Azmi Safitri, S.Pd., Annisa Nuraeni, S.Pd.,
Mei Annisa, S.Pd., dan Muhammad Riza Rif’an terimakasih atas doa,
semangat dan dukungannya selama ini kepada penulis.
10. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2013 Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih atas ilmu, pengalaman dan
kebersamaannya untuk selalu berbagi banyak hal dan wawasan baru.
11. Keluarga besar FORMALA, FOKDEM, PMII Komfaksyahum dan LS-
Adi terimakasih sudah mengajarkan banyak pengalaman berorganisasi dan
menjadi keluarga ke dua bagi penulis.
12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) JUARA 2016, terimakasih atas
kebersamaan, pengalaman, dan dukungannya selama ini.
13. Teman-teman Kos Sulanga, terimakasih atas kebersamaan dan
dukungannya yang telah diberikan kepada peneliti.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
peneliti dan umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih.
Jakarta, 13 April 2017
Ismatun Nadhifah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 3
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................... 4
1. Pembatasan Masalah ........................................................... 4
2. Rumusan Masalah ............................................................... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 5
1. Tujuan Penelitian ................................................................ 5
2. Manfaat Penelitian .............................................................. 5
E. Metode Penelitian .................................................................... 6
1. Tipe Penelitian .................................................................... 6
2. Pendekatan Masalah ............................................................ 7
3. Sumber Hukum ................................................................... 7
4. Pengolahan dan Analisis Data ............................................. 8
5. Metode Penulisan ................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 9
BAB II LANDASAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL .................................. 11
A. Kerangka Teoritis ................................................................. 11
1. Teori Demokrasi ................................................................ 11
2. Teori Kedaulatan Rakyat ................................................... 15
ix
3. Teori Partai Politik ............................................................ 17
4. Teori Politik Hukum ......................................................... 20
5. Teori Keadilan ................................................................... 23
6. Teori Kedaulatan Hukum .................................................. 26
B. Kerangka Konseptual ........................................................... 27
1. Independen ........................................................................ 27
2. Partai Politik ...................................................................... 27
3. Calon Independen dan Pilkada .......................................... 29
4. Politik Hukum ................................................................... 33
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu ........................................ 33
BAB III PROSEDUR CALON PERSEORANGAN DALAM PILKADA ..... 36
A. Persyaratan Calon Perseorangan dalam Pilkada .............. 36
1. Syarat Pencalonan ............................................................. 36
2. Tata Cara Pencalonan ........................................................ 38
B. Prosedur dan Mekanisme Calon Perseorangan dalam
Pilkada .................................................................................... 41
C. Landasan Yuridis Dibolehkannya Calon Perseorangan
dalam Pilkada ........................................................................ 44
BAB IV ANALISIS TEMUAN PENELITIAN ................................................ 47
A. Latar Belakang Pemikiran Partai Politik Meningkatkan
Syarat Dukungan Minimum Bagi Calon Perseorangan
dalam Pilkada ........................................................................ 47
B. Analisis Latar Belakang Pemikiran Partai Politik
Meningkatkan Syarat Dukungan Minimum Bagi Calon
Perseorangan dalam Pilkada ............................................... 57
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 66
A. Kesimpulan ............................................................................ 66
B. Saran ...................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan
yang berada di tangan rakyat merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan
negara demokrasi. Indikator penting yang menunjukkan adanya kedaulatan
rakyat adalah adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 1 butir 1 UU No. 22
Tahun 2007 mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sedangkan pada Pasal 1 butir 4 Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (Pilkada) adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Selama ini demokrasi dipahami sebagai bentuk pemilihan secara
langsung untuk mengisi jabatan publik atau politik. Argumen ini dikuatkan
melalui pendapat Syamsudin Haris yang mendefinisikan pemilihan umum
(pemilu) sebagai cara terbaik untuk memilih pejabat publik.1 Partai Politik
sebagai infrastuktur politik memiliki peran yang sentral dalam demokrasi. Hal
1 Agus, Aktor Penyelenggara Pemilu, (Malang: Pusat Kajian Inovasi dan Kerjasama Antar
Daerah Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2013), h. 13
2
tersebut tercermin dari UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang
mana salah satu fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana partisipasi politik
Warga Negara Indonesia. Sayangnya peran sentral tersebut sedikit demi
sedikit mengalami degradasi, proses melemahnya peran partai ini sering
disebut sebagai deparpolasi. Deparpolisasi dapat terjadi sebagai akibat dari
Peraturan Perundang-Undangan, putusan hakim, persepsi publik bahkan sikap
amoral dari anggota Partai Politik. Secara historis dalam Pasal 56 ayat UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa
“Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh Partai
Politik atau gabungan Partai Politik”, artinya calon kepala daerah untuk
menjadi peserta Pilkada harus diajukan oleh Partai Politik atau koalisi Partai
Politik. Sehingga terlihat bahwa Partai Politik memiliki peran yang begitu
dominan dalam Pilkada.
Pasca putusan MK nomor 5/PUU-V/2007, yang mana calon kepala
daerah Independen atau perseorangan dapat menjadi peserta Pilkada. MK
menafsirkan bahwa pemilihan kepala daerah yang demokratis yang dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berarti memberikan peluang kepada calon
perseorangan untuk mengajukan diri dalam Pilkada. Sehingga dalam Pilkada
calon kepala daerah perseorangan dan calon kepala daerah yang diusulkan
partai dapat bersaing untuk menjadi kepala daerah. Implikasi dari putusan
MK tersebut adalah Partai Politik bukan merupakan satu-satunya sarana
politik bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
Melalui pergolakan sejarah dan usaha yang panjang, maka calon
Independen hadir sebagai representasi dari adanya UU Nomor 10 Tahun 2016
3
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sejalan dengan Pasal 18
Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis” menandakan dalam sistem demokasi dianut
prinsip bahwa kedaulatan (kekuasaan tertinggi) dalam negara sepenuhnya
berada di tangan rakyat.2
Namun di sisi lain, adanya persyaratan yang memberatkan bagi calon
perseorangan dalam Pasal 48 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, hal ini
menunjukkan bahwa dalam pembentukan UU didalamnya terdapat intervensi
dari kelompok-kelompok tertentu, dengan demikian jika dilihat dari sudut
pandang politik hukum maka dapat dikatakan bahwa hukum dapat dijadikan
sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan demi kepentingan
politik karena hukum merupakan produk politik.
Berkenaan dengan latar belakang di atas, oleh karena itu dengan adanya
hal tersebut judul dalam penelitian ini adalah “Politik Hukum Calon
Perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka
identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Eksistensi calon perseorangan dalam Pilkada sesuai Amar putusan
Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XIII/2015
2 T.A. Legowo, dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat (Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah
Perubahan UUD 1945), (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 252
4
2. Latar belakang pemikiran partai politik yang mempengaruhi regulasi
dibolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada
3. Beratnya syarat dan prosedur calon perseorangan implementasinya dalam
Undang-Undang Pilkada.
4. Faktor penghambat yang dihadapi bagi calon perseorangan dalam
pemilihan kepala daerah secara langsung berdasarkan Undang-Undang
No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas cukup luas,
dikhawatirkan nantinya akan ada keterbatasan dari peneliti secara
keseluruhan maka penelitian hanya akan dibatasi pada aspek latar
belakang pemikiran partai politik yang mempengaruhi regulasi calon
perseorangan dalam Pilkada.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas peneliti
rumuskan beberapa masalah berikut:
a. Bagaimana persyaratan dan prosedur calon perseorangan dalam
Pilkada?
b. Apa landasan yuridis dibolehkannya calon perseorangan dalam
Pilkada?
c. Apa latar belakang pemikiran partai politik meningkatkan syarat
dukungan minimum bagi calon perseorangan dalam Pilkada?
5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana persyaratan dan prosedur calon
perseorangan dalam Pilkada
b. Untuk mengetahui landasan yuridis dibolehkannya calon
perseorangan dalam Pilkada
c. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran partai politik
meningkatkan syarat dukungan minimum bagi calon perseorangan
dalam Pilkada.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan sebagai tambahan
dokumentasi segi hukum dalam rangka membahas latar belakang
pemikiran partai politik yang mempengaruhi tentang pengaturan
dibolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada
b. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat
hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam menganalisis
tentang latar belakang pemikiran partai politik yang mempengaruhi
tentang pengaturan dibolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada
c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6
E. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi
ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan
metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan
sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, serta doktrin (ajaran).3
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses
pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)4.
Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis
dan analisis normatif-kualitatif.5
Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
3 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31
4 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 118
5 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), h. 3
7
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.6 Logika
keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,
yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
adalah pendekatan komparatif (Comparative Approach), dan
pendekatan konseptual (Conceptual Approach).7
3. Sumber Hukum
Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:8
a. Bahan hukum primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer
dalam tulisan ini di antaranya UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UU Nomor 10 Tahun 2016) tentang Pemilihan Kepala Daerah,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
6 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press,
2007) h. 57
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II,
2006), h. 93
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Edisi I, Cet. XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 13
8
daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 tentang
Calon Perseorangan, risalah sidang dan peraturan lain yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, jurnal, hasil
karya dari kalangan hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa
sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
seterusnya.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung dari jenis
datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data
sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari
berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.9
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian
dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode
deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan
membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan
menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik
9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 163
9
dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan
tujuan penelitian yang telah dirumuskan.10
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara
sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang calon independen
dalam pemilihan kepala daerah menurut undang-undang pemilihan
kepala daerah. Analisis data dilakukan secara kualitatif11
, yaitu dengan
cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang
berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk
mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Cet. I, 2017".
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara
lain memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah,
10 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1997), h. 71
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 32
10
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika Penulisan.
BAB II: Dalam bab ini akan dibahas mengenai Landasan Teoritis
dan Konseptual yang berupa kerangka teoritis, kerangka
konseptual dan kajian (review) studi terdahulu.
BAB III: Dalam bab ini akan dibahas mengenai Prosedur Calon
Perseorangan dalam Pilkada yang mengemukakan tentang
persyaratan calon perseorangan dalam Pilkada, prosedur
dan mekanisme calon perseorangan dalam Pilkada dan
landasan yuridis dibolehkannya calon perseorangan dalam
Pilkada.
BAB IV: Dalam bab ini akan dibahas mengenai Analisis Temuan
Penelitian yang mengemukakan tentang latar belakang
pemikiran partai politik meningkatkan syarat dukungan
minimum bagi calon perseorangan dalam Pilkada dan
analisis latar belakang pemikiran partai politik
meningkatkan syarat dukungan minimum bagi calon
perseorangan dalam Pilkada.
BAB V: Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian dan dilengkapi juga dengan saran-saran.
11
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL
A. Kerangka Teoritis
1. Teori Demokrasi
Teori demokrasi lahir dari tradisi Yunani tentang hubugan negara
dan hukum yang dipraktikkan antara abad ke 6 SM sampai abad ke 4
M. Pada masa itu demokrasi yang dipraktikkan berbentuk demokrasi
langsung, yaitu dimana hak rakyat dalam membuat keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan
prosedur mayoritas.
Demokrasi langsung tersebut berjalan secara efektif karena negara
kota Yunani Kuno merupakan sebuah kawasan politik yang tergolong
kecil, yaitu sebuah wilayah dengan jumlah penduduk tidak lebih dari
300.000 penduduk. Yang unik dari demokrasi Yunani itu adalah
ternyata hanya kalangan tertentu (warga negra resmi) yang dapat
menikmati dan menjalankan sistem demokrasi awal tersebut.
Sementara masyarakatnya berstatus budak, pedagang asing, anak-anak
dan perempuan tidak bisa menikmati demokrasi.12
Dalam sejarah demokrasi, demokrasi Yunani Kuno berakhir pada
abad pertengahan. Pada masa itu masyarakat Yunani berubah menjadi
masyarakat feodal yang ditandai oleh kehidupan keagamaan terpusat
12 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: Penerbit Prenada Media Group, 2012), h. 73
12
pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai
dengan perbutan kekuasaan di kalangan para bangsawan.13
Sejarah demokrasi selanjutnya tumbuh kembali di Eropa
menjelang akhir abad pertengahan, ditandai oleh lahirnya Magna
Charta (piagam besar) di negara Inggris. Magna Charta adalah suatu
piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja
John Inggris. Dalam piagam Magna Charta menegaskan bahwa Raja
mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya.
Dalam hal ini terdapat dua hal yang sangat mendasar pada piagam ini,
adanya pembatasan kekuasaan raja dan HAM (Hak Asasi Manusia)
lebih penting daripada kedaulatan rakyat.
Dalam sejarah demokrasi, momentum lainnya yang menandai
kemunculan kembali demokrasi di Eropa yaitu gerakan pencerahan
dan reformasi. Gerakan pencerahan adalah gerakan yang
menghidupkan kembali minat pada budaya dan sastra Yunani Kuno.
Gerakan reformasi yaitu penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi
di Barat, setelah pernah tenggelam pada abad pertengahan tersebut.
Gerakan reformasi adalah gerakan revolusi agama di Eropa pada abad
ke 16. Tujuan dari gerakan ini yaitu gerakan kritis terhadap kebekuan
doktrin gereja.
Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang
dikuasai tidak lepas dari dua filsuf Eropa, John Locke dari Inggris dan
Monstesquieu dari Perancis. Pemikiran keduanya telah berpengaruh
13 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: Penerbit Prenada Media Group, 2012), h. 74
13
pada ide dan gagasan pemerintah demokrasi. Menurut Locke, hak-hak
politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan juga hak
kepemilikan, sedangkan menurut Montesquieu sistem politik tersebut
adalah melalui prinsip trias politica. Trias Politica adalah suatu sistem
dimana pemisahan kekuasaan dalam negara menjadi tiga bentuk
kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif.
Gagasan demokrasi dari kedua filsuf Eropa itu pada akhirnya
berpengaruh pada kelahiran konsep konstitusi demokrasi Barat.
Konstitusi demokrasi yang bersandar pada trias politica ini selanjutnya
berakibat pada munculnya konsep negara kesejahteraan. Konsep
negara kesejahteraan tersebut pada intinya merupakan suatu konsep
pemerintahan yang memprioritaskan kinerja pada peningkatan
kesejahteraan warga negara.14
Demokrasi ditinjau dari sudut etimologi berasal dari kata demos
(rakyat) dan Cratein (memerintah). Dengan demikian demokrasi itu
berarti pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.15
Menurut Deliar Noor, demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara
memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan
ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya,
termasuk dalam menilai kebijakan Negara, karena kebijakan tersebut
14 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: Penerbit Prenada Media Group, 2012), h. 75
15 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1996), h. 204
14
menentukan kehidupan rakyat.16
Dalam konteks itu kemudian rakyat
menduduki posisi yang mulia dan tinggi dalam sebuah negara yang
menganut paham demokrasi. Oleh karenanya sebuah Negara Dapat
dikatakan menerapkan bentuk penyelenggaraan pemerintah demokrasi
yang mana penyelenggaraan Negara didasarkan pada kehendak dan
kemauan rakyat (kedaulatan rakyat).17
Menurut Mukti Arto, Negara demokrasi ialah Negara yang
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika
ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian Negara
yang dilakuakan oleh rakyat sendiri dengan persetujuan karena
kedaulatan berada di tangan rakyat.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik dari yang
terburuk (the best among the worst). Ungkapan itu muncul pada saat
membandingkan dengan bentuk-bentuk penyelenggaraan pemerintah
lainnya karena di dalam demokrasi terdapat prinsip-prinsip liberte
(kebebasan), egalite, dan fraternite (kebersamaan). Dalam konteks itu
kemudian rakyat menduduki posisi yang mulia dan tinggi dalam
sebuah Negara yang menganut paham demokrasi. 18
Tidak dapat dibantah bahwa demokrasi merupakan asas dan sistem
yang paling baik di dalam politik sistem dan ketatanegaraan. Dari
16 Fatkhurohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), h. 8-9
17
Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung:
Fokusmedia, 2007), h. 28
18
Fatkhurohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, h. 4
15
sekian banyak aliran pemikiran yang dinamakan demokrasi, ada 2
kelompok aliran yang paling penting, yaitu:19
a. Demokrasi Konstitusional
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenangan
terhadap warga negaranya.
b. Konstitusi yang mendasarkan dirinya atas paham komunis
Pandangan aliran ini selalu bersikap ambivalen terhadap Negara.
Negara dianggap sebagai suatu alat pemaksa yang akhirnya akan
lenyap sendiri dengan munculnya masayarakat komunis.
Negara demokratis, sangat menghargai adanya perbedaan antara
individu dan kelompok. Namun negara memberikan pula kesempatan
politik yang sama bagi setiap individu dan kelompok untuk
membentuk organisasi agar dapat mengawasi dan mempengaruhi
kebijakan pemerintah.
2. Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan dipergunakan dalam bebagai macam pengertian.
Dalam Hukum Tata Negara, pengertian kedaulatan itu bisa relative
artinya bahwa kedaulatan itu tidak hanya dikenal pada Negara-negara
yang mempunyai kekuasaan penuh keluar dan kedalam, tapi juga bisa
dikenakan kepada Negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian
yang berbentuk traktat atau dalam bentuk konfederansi atau federasi,
19 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.
243
16
dan yang paling akhir jika kedaulatan itu hanya diartikan sebagai
kekuasaan untuk mengurus rumah tangga sendiri yang disebut
otonomi.20
Pengertian lain dari kedaulatan adalah wewenang yang tertinggi
yang menetukan segala wewenang yang ada dalam suatu Negara.
Dengan demekian, kedaulatan rakyat berarti bahwa rakyatlah yang
mempunyai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang
yang ada dalam Negara.21
Kehendak rakyat itu disampaikan dalam 2 (dua) cara yaitu:22
a. Kehendak rakyat seluruhnya (volonte de tous)
Volonte de toushanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali
saja waktu. Negara hendak dibentuk melalui perjanjian
masyarakat. Maksudnya adalah untuk memberi dasar agar negara
dapat bersiri abadi, karfena ini merupakan kedaulatan kehendak,
dan jika Negara itu sudah berdiri, pernyataan setuju tidak bisa
ditarik kembali.
b. Kehendak sebagian besar rakyat (volonte generale)
Volonte generale setelah Negara berdiri, yaitu dengan pernyataan
kehendak rakyat melalui suara terbanyak.
Lazim dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menganut ajaran kedaulatan rakyat. Hal ini
secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
20 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1981), h. 122
21
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h. 130
22
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h. 126
17
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
3. Teori Partai Politik
Partai Politik dilihat sebagai „autonomous groups that make
nominations and contest elections in the hope of eventually gaining
and exercise control of the personnel and policies of government‟
(Ranney & Kendall, 1956). Dalam konteks ini, mereka melihat bahwa
tujuan utama dibentuknya Partai Politik adalah mendapatkan
kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk
dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya. Partai Politik terkait
dengan kekuasaan, untuk membentuk dan mengontrol kebijakan
publik.23
Di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju parpol
menjadi ihktiar yang penting dalam sebuah sistem politik. Pendapat
atau aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang tak berbekas
apabila tidak ditampung dan disalurkan sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat menjadi lebih teratur.
Artikulasi pendapat dan sikap dari berbagai kelompok yang sedikit
banyak menyangkut hal yang sama digabungkan menjadi sebuah
“penggabungan kepentingan” yang dalam suatu sistem politik
merupakan input bagi pemerintah yang berkuasa.
23 Firmanzah, Mengelola Partai Politik (Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 67-68
18
Salman Subekti mengemukakan bahwa ciri-ciri Partai Politik
antara lain:
a. Parpol berakar dalam masyarakat lokal, dalam arti bahwa partai
mempunyai cabang-cabang di setiap daerah;
b. Melakukan kegiatan secara terus menerus, dengan penyusunan
program kegiatan yang berkesinambungan
c. Berusaha memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan
d. Ikut serta dalam pemilu
e. Mempunyai landasan ideologi
f. Sebagai pembina kesadaran nasional dan mengarahkan massa
untuk mencapai kemerdekaan.
Miriam Budiardjo, menjelaskan mengenai fungsi Partai Politik di
negara demokrasi, yaitu:24
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik
Partai sebagai sarana komunikasi politik berfungsi
menkomunikasikan masyarakat (ruled) arus ke atas terhadap
pemerintah (ruler) artinya bahwa parpol mengakomodasikan sikap-
sikap dan tuntutan masyarakat yang diagregasikan dalam
kepentingan partai terhadap pemerintahan yang berkuasa, dan juga
arus ke bawah dalam arti bahwa parpol turut memperbincangkan
dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan
pemerintah.
24 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h.
405-410
19
2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik
Partai sebagai sarana sosialisasi politik adalah penanaman nilai-
nilai ideologi dan loyalitas kepada Negara dan Partai. Bagi bangsa
Indonesia yang termasuk negara berkembang mempunyai sifat
yang heterogen dan parpol secara ideal dapat membantu
peningkatan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional.
3) Partai sebagai sarana rekrutmen politik
Partai sebagai rekrutmen politik, yaitu proses melalui mana partai
mencari aggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk
berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen dapat dilakukan
terhadap siapa saja dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan
rekrutmen tersebut partai dapat menjamin kontinuitas dan
kelestariannya, juga sekaligus dapat menjadi seleksi calon-calon
pemimpin bangsa.
4) Partai sebagai sarana pengatur konflik
Partai sebagai sarana pengatur konflik, adalah mengatur segala
potensi konflik yang ada. Mdengan keadaan bangsa Indonesia yang
majemuk maka perbedaan-perbedaan etnis, status sosial ekonomi
dan agama mudah sekali mengundang konflik. Tetapi tidak jarang
pula justru Partai Politiklah yang menjadi pemicu potensi konflik
tersebut seperti terjadi pada masa orde lama.
Dengan demikian maka ,dibentuklah Partai Politik sebagai wadah
aspirasi dan partisipasi dari rakyat serta merupakan penghubung
antara rakyat dengan pemimpin yang menguasai pemerintahan.
20
Dengan posisi tersebut, parpol kini dianggap sebagai barometer
demokrasi, karena demokratis atau tidaknya sistem politik suatu
negara, sangat bergantung oleh ada tidaknya Partai Politik yang juga
menjadi kendaraan untuk menduduki kursi kekuasaan.
4. Teori Politik Hukum
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan
atas Hukum25
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi
dengan sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik Proses
Terbentuknya Perundang-Undangan, yang dikatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini
kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum,
penerapan hukum dan penegakannya sendiri.26
Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan
digunakan untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.27
25 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), Cet. II, h. 160
26 Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”, dalam
majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, h.65
27 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum Pidana,
(Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 20
21
Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional melihat politik hukum sebagai sebuah alat
(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah
untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan
dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa
Indonesia.28
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.29
Menurut Abdul Hakim
Garuda Nusantara, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal
policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan negara tertentu.30
Garuda Nusantara menjelaskan pula
wilayah kerja politik hukum dapat meliputi pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada secara konsisten, proses pembaruan dan
pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum
yang berdimensi ius contitutum dan menciptakan hukum yang
berdimensi ius constituendum, serta pentingnya penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, penulis menggunakan teori
politik hukum menurut Padmo Wahyono yaitu bahwa politik hukum
adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum
yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai
28 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,
1991), h. 1
29 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 35
30
Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 15
22
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-
citakan.
William Zevenbergen31
mengutarakan bahwa politik hukum
mencoba menjawab pertanyaan, peraturan-peraturan hukum mana
yang patut untuk dijadikan hukum. Perundang-undangan itu sendiri
merupakan bentuk dari politik hukum (legal policy). Pengertian legal
policy, mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang
dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun.
Politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan
hukum yang lebih sesuai, situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang
berkembang di masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat terhadap hukum itu sendiri.32
Dengan kata lain, politik hukum dapat dibedakan menjadi dua
dimensi, yaitu pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar dari
diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, tujuan atau
alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-
undangan.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum
memiliki peranan sangat penting. Pertama, sebagai alasan mengapa
diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua,
untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal.
31 William Zevenbergen dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 19
32 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 9
23
Dua hal ini penting karena keberadaan peraturan perundang-
undangan dan perumusan pasal merupakan jembatan antara politik
hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-
undangan. Hal ini mengingat antara pelaksanaan peraturan perundang-
undangan harus ada konsistensi dan korelasi yang erat dengan apa
yang ditetapkan sebagai politik.
5. Teori Keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya,
tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan
bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan
sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi
sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan
hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau
pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan
hak dan kewajibannya.33
Tujuan hukum tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum
dan kemanfaatan., hukum memang harus mengakomodasikan
ketiganya. Dalam bukunya Nicomachean Ethics, Aristoteles
menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar kemanusiaan.
33 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004), h. 239
24
Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari
satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding
yaitu yang semestinya.34
Dalam teorinya, Aristoteles mengemukakan perbuatan yang dapat
digolongkan adil, yaitu :35
a. Keadilan Komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang
tidak melihat jasa yang dilakukannya, yakni setiap orang mendapat
haknya.
b. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai
dengan jasanya yang telah dibuat, yakni setiap orang mendapat
kapasitas dengan potensi masing-masing dan memberikan kepada
masing-masing orang apa yang menjadi haknya, di mana yang
menjadi subjek hak adalah individu, sedangkan subjek kewajiban
adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan dengan
hubungan antara individu dan masyarakat/negara. Di sini yang
ditekankan bukan asas kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan
kontra prestasi). Melainkan, yang ditekankan adalah asas
proporsionalitas atau kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa,
atau kebutuhan. Keadilan jenis ini berkenaan dengan benda
kemasyarakatan seperti jabatan, barang, kehormatan, kebebasan,
dan hak-hak.
34 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 156
35 Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: PT Grafindo Media Pratama,
2006), h. 57
25
c. Keadilan vindikatif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai
perbuatannya, yakni sebagai balasan kejahatan atau kebaikan yang
dilakukan. Setiap warga masyarakat berkewajiban untuk turut serta
dalam mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat, yaitu kedamaian,
dan kesejahteraan bersama. Apabila seseorang berusaha
mewujudkannya, maka ia bersikap adil. Tetapi sebaliknya, bila
orang justru mempersulit atau menghalangi terwujudnya tujuan
bersama tersebut, maka ia patut menerima sanksi sebanding
dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
d. Keadilan Konvensional adalah keadilan berdasarkan undang-
undang. Yang menjadi objek dari keadilan legal adalah tata
masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang.
Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama
(bonum commune). Keadilan legal terwujud ketika warga
masyarakat melaksanakan undang-undang, dan penguasa pun setia
melaksanakan undang-undang itu.
e. Keadilan perbaikan adalah jika seseorang telah berusaha
memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.
Pada intinya, keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.. Kata adil berarti tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Keadilan
berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu di tengah-tengah,
tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana
setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
26
bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat
melaksanakan kewajibannya.
6. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereinteit
kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri.
Karena itu, baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga
negaranya bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.
Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau
menurut hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat adalah hukum.36
Menurut Leon Duguit dalam bukunya, Traite de Droit
Constitutionel berpendapat bahwa hukum merupakan penjelmaan dari
kemauan negara, tetapi negara tunduk pada hukum yang dibuatnya.
Krabbe melancarkan kritik terhadap ajaran kedaulatan negara.
Menurutnya kekuasaan tidak bersumber pada kekuasaan pribadi raja.
Kalau warga negara taat pada peraturan perundang-undangan, itu tidak
disebabkan karena ia menaati kekuasaan raja melainkan karena
undang-undang itu dibuat oleh parlemen yang membawakan kesadaran
hukum rakyatnya.
Atas kritik Krabbe, Jellineck yang berpendapat bahwa kekuasaan
tertinggi dimiliki oleh negara, mempertahankan pendapatnya dengan
mengemukakan teori yang menyatakan bahwa negara tunduk pada
hukum secara sukarela. Tetapi menurut Krabbe, selain negara masih
36 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h.156
27
ada faktor lain yaitu kesadaran hukum dan rasa keadilan, dengan
demikian yang berdaulat tetaplah hukum dan bukan negara.
Paham Krabbe dipengaruhi aliran historis yang berkembang
sesudah revolusi Prancis. Aliran ini dipelopori oleh Von Savigny yang
menyatakan bahwa hukum timbul bersama-sama dengan kesadaran
hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh atas kehendak negara atau
kemauan negara, oleh karena itu berlakunya hukum terlepas dari
kemauan negara.37
B. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian ini
dan sebagai pijakan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan
konsep-konsep sebagai berikut:
1. Independen
Pengertian Independen dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti yang berdiri sendiri, yang berjiwa bebas, tidak
terikat, bebas.38
Secara sederhana pengertian calon independen yang
dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon
perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan
kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada
tanpa mempergunakan Partai Politik sebagai media perjuangannya.
2. Partai Politik
37 Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara (Aktualisasi
dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h.190-191
38 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 532
28
Menurut Sigmund Neuman dalam buku karyanya, Modern
Political Parties mengemukakan definisi Partai Politik adalah suatu
organisasi yang artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang
aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya
pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk
memperoleh dukungan rakyat dan beberapa kelompok lain yang
mempunyai pandangan berbeda. Dengan demikian parpol merupakan
perantara penting yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan
yang megaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik
yang lebih luas.
Dari pendapat di atas, parpol diartikan sebagai suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-
nilai dan cita-cita yang sama yang bertujuan untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedaulatan politik.39
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dijelaskan pula mengenai
definisi dari Partai Politik yaitu suatu organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
39 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 404
29
Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”
Namun, kebebasan mendirikan partai tanpa batas dapat
menimbulkan berbagai persoalan yang justru merugikan
perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus dibatasi,
maka persoalannya kemudian ialah, bagiamana caranya agar partai-
partai itu dapat memainkan peranannya secara optimal dan wajar, baik
sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana
membangun pemerintahan secara demokratis dari bawah, yang mampu
menunjukkan bahwa negara memang menganut asas kedaulatan
rakyat. Karena itu, diperlukan diskusi-diskusi intelektual secara
mendalam untuk memikirkan masa depan politik Indonesia agar asas
kedaulatan rakyat itu dapat diwujudkan secara lebih baik.40
3. Calon Independen dan Pilkada
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Definisi dari Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya dijelaskan bahwa
pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah
provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
40 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 204-205
30
Pemilihan kepala daerah adalah upaya demokrasi untuk mencari
pemimpin daerah yang berkualitas dengan cara-cara damai, jujur, dan
adil. Salah satu prinsip demokrasi yang terpenting adalah pengakuan
terhadap perbedaan dan penyelesaian perbedaan secara damai.41
Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dinyatakan “Gubernur, Bupati,
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Demokratis tersebut
diartikan sebagai pemilihan langsung sebagaimana prinsip one man
one vote dalam praktek demokrasi.
Salah satu ciri sistem pilkada yang demokratis dapat dilihat dari
asas-asas yang dianut. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk
sesuatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu
tata hubungan atau kondisi yang dikehendaki.42
Asas pilkada adalah
pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Dengan kata lain,
asas pilkada merupakan prinsip-prinsip atau pedoman yang harus
mewarnai proses penyelenggara. Asasa pilkada juga merupakan jalan
atau sarana agar pilkada terlaksanakan secara demokrasi. Dengan
demikian, asas-asas pilkada harus tercemin dalam tahapan-tahapan
kegiatan atau terjemahkan secara teknis dalam elemen-elemen kegiatan
pilkada.
Asas yang dipakai dalam pilkada yakni langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas pilkada langsung
41 Amiruddin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung, Problem dan Prospek: Sketsa Singkat
Perjalanan Pilkada 2005, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 26
42
Supardi dan Syaiful Anwar, Dasar-dasar Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h.
5
31
tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Pemilihan Kepala Daerah yang berbunyi: “Pemilihan
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
Asas-asas tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pilkada langsung
di Indonesia telah digunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum
dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka.
Adapun pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:43
a. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya,
tanpa perantara.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak
mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi
semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, bangsa,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan
status sosial.
c. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam
43 Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan
Problema.Penerapan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 207-208
32
melaksanakan haknya, setiap warga Negara dijamin keamanannya
sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan
kepentingannya.
d. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan
pemilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan
dengan jalan apapun. Surat suara dengan tidak diketahui oleh orang
lain kepada siapapun suaranya diberikan.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sebelumnya Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik.
Namun ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala
daerah tanpa harus melalui Partai Politik. Masyarakat menilai
kinerja Partai Politik seelama ini sangat mengecewakan. Keinginan
masyarakat tersebut akhirnya melalui Lalu Ranggalawe diajukan
ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil
terhadap Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Ranggalawe mengangap bahwa undang-undang tersebut
membatasi hak warganegara untuk duduk dalam pemerintahan.
Akhirnya pada tahun 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa calon perseorangan (calon independen) dapat ikut dalam
pilkada pada Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 tentang calon
perseorangan.
33
4. Politik Hukum
Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus
pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan
negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.44
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu
1. Buku
Ibnu Tricahyo dalam bukunya yang berjudul Reformasi Pemilu,
menjelaskan bahwa secara universal Pemilihan Umum adalah
instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk
pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan rakyat. Definisi ini menjelaskan bahwa pemilihan umum
merupakan isntrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat,
membentuk pemerintahan yang absah serta sebagai sarana
mengartikulasi aspirasi dan kepentingan rakyat. Dengan kata lain
ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat untuk mewakili
mereka di dalam Pemilu maka warga sekaligus memberikan mandat
pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas nama rakyat,
membuat dan mengambil keputusan atau kebijakan dan melaksanakan
44 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 1
34
program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil atau
pejabat yang mengatasnamakan rakyat maka pemilihan harus
demokratis. Oleh karenanya baik calon dari Partai Politik/gabungan
Partai Politik maupun calon perseorangan boleh ikut dalam kontestasi
pemilu demi terwujudnya sistem demokrasi yang ideal yang
berasaskan kedaulatan rakyat.
2. Buku
Prof. Dr. Moh Mahfud MD dalam Bukunya yang berjudul Politik
Hukum di Indonesia menjelaskan bahwa karakter produk hukum selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melatarinya. Arti hukum pun
dibatasi sebagai “undang-undang yang merupakan produk lembaga
legislatif”.
3. Jurnal “Al-Daulah”
Membahas Penelitian dengan judul “Calon Perseorangan dalam
Pemilihan Kepala Daerah” yang ditulis oleh Sri Warjiyati, Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Penelitian ini memiliki
pembahasan yang sama dengan tema yang saya angkat, hanya saja
fokus pada penelitian ini ditinjau dalam prespektif Fikih Siyasah.
4. Skripsi
Membahas penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Secara Langsung Berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008” yang ditulis oleh Alfarioni Sarjana Strata 1 (S-1)
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sultan
35
Syarif Kasim Riau Pekanbaru 2013. Hasil penelitian ini berfokus
kepada bagaimana mekanisme bagi calon peseorangan dalam
mengikuti pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
langsung dan apa faktor penghambat dan dihadapi oleh calon
perseoangan dalam mengikuti pemilihan tersebut.
36
BAB III
PROSEDUR CALON PERSEORANGAN DALAM PILKADA
A. Persyaratan Calon Perseorangan dalam Pilkada
1. Syarat pencalonan
Persyaratan calon perseorangan dalam Pilkada diatur pada Pasal
41 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Calon perseorangan dapat
mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai
hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum
atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan,
dengan ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan
6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%
(delapan setengah persen);
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai
dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling
sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
37
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh
persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
Selain itu pada Pasal 41 Ayat (2) Undang-undang No. 10 Tahun
2016 Tentang Pilkada menegaskan bahwa Calon perseorangan dapat
mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat
dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat
dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan
umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah
bersangkutan, dengan ketentuan:
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu)
jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu)
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung
paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan
38
1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5%
(tujuh setengah persen);
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung
paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh
persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Dukungan yang dimaksud yakni dibuat dalam bentuk surat
dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk
Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas
kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk
tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang
menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu) tahun dan
tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya
di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud. Yang mana dukungan
tersebut diberikan kepada satu pasangan calon perseorangan.
2. Tata Cara Pencalonan
Berkaitan dengan tata cara pencalonan bagi calon perseorangan
diatur dalam Pasal 42 dan 45 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada. Pada Pasal 42 menegaskah bahwa Pasangan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi.
Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota didaftarkan ke KPU
39
Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau
perseorangan.
Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota disertai dengan
penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan. Adapun dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 di atas meliputi:
a. Surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon
sendiri,
b. Surat keterangan hasil pemeriksaan kemampuan secara jasmani,
rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dari tim yang terdiri
dari dokter, ahli psikologi, dan Badan Narkotika Nasional, yang
ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai
bukti pemenuhan syarat calon.
c. Surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal calon atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
mantan terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau
nasional dengan disertai buktinya.
d. Surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
40
dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal calon.
e. Surat keterangan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian. Tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang
merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon.
Surat keterangan tidak dinyatakan pailit dari Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon.
f. Surat tanda terima laporan kekayaan calon dari instansi yang
berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara.
g. Fotokopi Ijazah pendidikan terakhir paling rendah sekolah lanjutan
tingkat atas atau sederajat yang telah dilegalisir oleh pihak yang
berwenang.
h. Kartu nomor pokok wajib pajak atas nama calon, tanda terima
penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan
wajib pajak orang pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima)
tahun terakhir, yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak
mempunyai tunggakan pajak dari kantor pelayanan pajak tempat
calon yang bersangkutan terdaftar.
i. Kartu Tanda Penduduk elektronik dengan nomor induk
kependudukan.
41
j. Daftar riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh
calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari Partai
Politik atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon,
pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik;
k. Pas foto terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota;
l. Naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota.
B. Prosedur dan Mekanisme Calon Perseorangan dalam Pilkada
Menurut sigit pamungkas “sistem pemilu merupakan seperangkat
metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam satu
lembaga perwakilan”. Arti lain dari sistem pemilu merupakan metode
yang didalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan yang
diterjemahkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat.
Pendapat lain menyatakan bahwa sistem pemilu sebagai aturan atau
prosedur yang memungkinkan adanya suara yang telah dipungut dalam
suatu pemilihan umum.
Pendapat Dieter Nohlen sebagaimana dikutip oleh khairul fahmi
mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam dua pengertian, yaitu
dalam artian luas dan arti sempit. Arti luas dari sistem pemilihan adalah
segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan
dan perilaku pemilihan. Sedangkan pengertian secara arti sempit adalah
42
suatu cara dimana pemilih dapat mengekspresikan diri dalam member
suara, dimana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen.
Sistem pemilu merupakan permasalahan yang utama dalam tatanan
pemilihan dalam pelaksanaannya, dikarenakan sitem pemilu akan sangat
berpengaruh dengan tahapan dan pelaksanaan pemilu selanjutnya. Begitu
juga sistem pemilu akan menentukan demokratis dan tidaknyapemilu
dilaksanakan. Setiap sistem pemilihan memiliki nilai-nilai tertentu,
masing-masing pun memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini pun
terlihat disetiap pemilihan Negara mana pun yang memang sama-sama
tidak ada ke idealisasian dalam sistem pemilu, namun semua sistem itu
memiliki persamaan yaitu suatu proses pengembangan atau reformasi
sistem pemilu agar pemilu itu sendiri memiliki legitimasi dan
demokratis.45
Prosedur calon perseorangan dalam Pilkada diatur dalam pasal 48
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota. Ada 2 (dua) jenis verifikasi yaitu verifikasi
administrasi dan verifikasi faktual.
Verifikasi administrasi yaitu verifikasi yang dilakukan KPU tingkat
provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)
dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Sedangkan Verifikasi faktual
adalalah verifikasi yang dilakukan dengan metode sensus dengan cara
menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya.
Terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi
45 Sodikin, Hukum Pemilu (Pemilu sebagai Praktek Ketatanegaraan), (Bekasi: Gramata
Publishing, 2014), h. 92-94
43
faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan
pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) Hari
terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut. Namun jika
pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon maka
dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Berkaitan dengan ketentuan verifikasi KTP calon perseorangan yang
diatur di dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada menjelaskan bahwa pasangan calon atau tim yang diberikan kuasa
oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan pencalonan
untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi dan
untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi
administrasi dan dibantu oleh PPK dan PPS, dapat pula berkoordinasi
dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau
Kabupaten/Kota dengan mencocokkan dan meneliti berdasarkan nomor
induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan
alamat dengan mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau
surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan
sipil dan;
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh pasangan calon
perseorangan atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon
menyerahkan dokumen syarat dukungan kepada PPS untuk dilakukan
verifikasi faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum
waktu pendaftaran pasangan calon dimulai. Verifikasi faktual dilakukan
44
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak dokumen syarat
dukungan pasangan calon perseorangan diserahkan ke PPS. Verifikasi
faktual dilakukan dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap
pendukung calon, terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui
pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk
menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling
lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung
tersebut. Namun jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan
pendukung calon maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi
syarat.
Hasil verifikasi dokumen syarat dukungan pasangan calon
perseorangan dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan
kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan kepada pasangan
calon. PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan
pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan
dukungan kepada lebih dari 1 (satu) calon dan adanya informasi
manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari,
selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan hasil
verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada pasangan calon yang
nantinya dipergunakan oleh pasangan calon perseorangan sebagai bukti
pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
C. Landasan Yuridis Dibolehkannya Calon Perseorangan dalam Pilkada
Dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia
sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
45
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
penyelenggaraan Pemerintahan harus didasarkan pada konstitusi dan
demokrasi. Pada hakikatnya prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung
dalam konstitusi Indonesia dijiwai oleh sila keempat pancasila yaitu
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Dengan demikian setiap upaya
penyelenggaraan pemerintahan harus bergerak dalam kerangka demokrasi
Pancasila yang menjamin 3 (tiga) hal yaitu: tegaknya kedaulatan rakyat
(daulat rakyat), berjalannya prinsip permusyawaratan (kekeluargaan) dan
mengedepankan hikmat kebijaksanaan.
Sebagai konsekuensi, pemilihan kepala daerah tentu didasarkan pada
prinsip demokrasi. Kewajiban menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
secara demokratis harus mampu memberi akses yang luas bagi segala
kekuatan dalam masyarakat selaku pemegang kedaulatan, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar”.
Untuk menjamin pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis”, serta menjaga kesuaiannya dengan Pancasila maka
kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
46
rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dan proses pemilihan yang demokratis
tentu memenuhi unsur keterwakilan, tingkat responsivitas dan
akuntabilitas, diharapkan mampu menghasilkan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang legitimate serta mendapat dukungan penuh baik dari
masyarakat maupun DPRD Kabupaten/Kota dalam setiap kebijakan yang
dibuatnya. Hal ini tentu lebih jauh akan membawa dampak baik bagi
pencapaian tujuan negara yaitu mensejahterakan rakyat.
Secara legal formal calon independen muncul dalam pentas politik
lokal setelah dikeluarkannya Amar putusan Mahkamah Konstitusi No.
5/PUU-V/2007 tentang pencabutan terhadap ketentuan pasal 59 ayat 1 dan
pasal 56 (2) ” UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4) karena hanya memberi
kesempatan bagi pasangan calon yang berasal dari Partai Politik atau
gabungan Partai Politik dan juga Amar putusan Mahkamah Konstitusi No.
60/PUU-XIII/2015 memberikan ruang kepada calon perseorangan dalam
Pilkada terhadap perubahan ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, dalam penentuan jumlah besarnya
persentase dan jumlah bilangan pembagi.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada merupakan
regulasi yang juga di dalamnya mengatur tentang dibolehkannya calon
perseorangan dalam Pilkada.
47
BAB IV
ANALISIS TEMUAN PENELITIAN
A. Latar Belakang Pemikiran Partai Politik Meningkatkan Syarat
Dukungan Minimum Bagi Calon Perseorangan dalam Pilkada
Pada risalah Rapat Kerja (RAKER) pengambilan keputusan akhir
Tingkat I antara komisi II DPR RI dengan pemerintah terhadap RUU
tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang-
Undang dan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2015
tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menjadi Undang-Undang yang dihadiri 38 dari 50 orang anggota Komisi II
DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, dan
Menteri Keuangan, serta Komite I DPR RI diadakan dengan beberapa
agenda, yaitu:
1. Pengantar pimpinan Komisi
2. Laporan Panitia Kerja
3. Pembacaan Naskah RUU
4. Pendapat akhir mini fraksi-fraksi, Pemerintah dan DPD RI
5. Penandatanganan Naskah RUU tentang Perubahan UU Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
48
Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang- Undang dan RUU
tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah, menjadi Undang-Undang; dan
6. Pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada pembicaraan tingkat
II
Selain itu dalam Rapat kerja Komisi II DPR RI seperti yang telah
dijelaskan di atas, ada beberapa materi yang menjadi fokus pembahasan
terkait RUU tersebut, dalam hal ini dilakukan dalam bentuk
pengelompokan substansi sebagai bentuk penyederhanaan model
pembahasan. Adapun kelompok substansi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemilihan secara berpasangan atau tidak.
b. Uji publik atau sosialisasi
c. Penguatan pendelegasian tugas KPU dan Bawaslu sebagai
penyelenggara pemilihan kepala daerah.
d. Persyaratan calon terkait dengan syarat pendidikan.
e. Persyaratan calon terkait dengan usia
f. Syarat dukungan penduduk untuk calon perseorangan
g. Penentuan pemenang dalam pemilihan kepala daerah
h. Penentuan jumlah wakil
i. Time frame pelaksanaan pilkada serentak
j. Pejabat kepala daerah, penjabat kepala daerah
k. Tambahan syarat calon kepada kepala daerah
l. Penyelesaian perselisihan hasil pemilihan
49
m. Pembiayaan penyelenggaraan pilkada.
Pada pembahasan draf Rancangan Undang-Undang sebelumnya,
secara konsinyir bersama Pemerintah Panja (Panitia Kerja) menyepakati
syarat dukungan bagi pasangan calon Perseorangan ditingkatkan sebesar
tiga setengah persen dari jumlah penduduk dengan alasan utama harus
disesuaikan dengan syarat dukungan bagi calon yang diusulkan Partai
Politik, atau gabungan Partai Politik, yaitu minimal sebesar 20 persen
kursi di DPRD atau 25 persen perolehan suara pada saat pemilu. Selain itu
terkait dengan substansi lain tentang penentuan pemenang ditentukan oleh
suara terbanyak, maka peningkatan syarat dukungan bagi calon
perseorangan ini menjadi relevan agar setiap calon sudah memiliki dasar
legitimasi yang cukup melalui dukungan tersebut.
Sesuai dengan risalah rapat kerja (RAKER) Komisi II DPR RI
tersebut, maka dalam hal ini yang menjadi fokus pembahasan peneliti
adalah materi tentang syarat dukungan bagi calon Perseorangan dalam
Pilkada. Dalam hal ini, peneliti menganalisis risalah rapat kerja tersebut di
atas dengan agenda pengambilan keputusan tingkat I pendapat akhir dari
setiap fraksi, Pemerintah dan DPD RI pada pembahasan RUU tentang
Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang- Undang yang
akan dipaparkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
50
No Anggota
Komisi II
DPR RI
Pendapat Akhir Mini Keterangan
1. Fraksi
Partai
Hanura
Tidak memberikan
pendapat tentang
syarat Calon
Perseorangan dalam
Pilkada pada risalah
Rapat Kerja Komisi
II DPR RI.
2. Fraksi PDIP Tidak memberikan
pendapat tentang
syarat Calon
Perseorangan dalam
Pilkada pada risalah
Rapat Kerja Komisi
II DPR RI.
3. Fraksi
Partai
Nasdem
Tidak memberikan
pendapat tentang
syarat Calon
Perseorangan dalam
Pilkada pada risalah
Rapat Kerja Komisi
II DPR RI.
51
4. Fraksi
Partai
Golkar
Dalam hal ambang batas
calon dari partai atau
gabungan partai fraksi
Partai Golkar menyetujui
tidak ada perubahan, yakni
sebesar 20 persen dari
sejumlah kursi DPRD atau
25 persendari akumulasi
perolehan suara sah
pemilihan anggota DPRD
di daerah yang
bersangkutan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 40.
Sementara untuk ambang
batas pendaftaran calon
Perseorangan Independen,
fraksi Partai Golkar
menyetujui penambahan
persentase sebesar 3 1/2
persen yang tersebar di
lebih dari 50 persen jumlah
Kabupaten kota untuk
propinsi dan lebih dari 50
persen jumlah kecamatan
52
atau Kabupaten atau kota.
Penambahan ini bertujuan
untuk meningkatkan
legitimasi calon
perseorangan, atau
independen di masyarakat.
5. Fraksi PPP Sebagai akhir dari
pandangannya, fraksi
Partai Persatuan
Pembangunan
memberikan catatan
agar hasil Panja tetap
konsisten pada hal-
hal yang disepakati
untuk dibahas, selain
itu dalam rangka
sinkronisasi antar
norma juga perlu
dilakukan agar tidak
kontradiksi yang
akan menimbulkan
ketidakpastian dan
multitafsir dalam
pelaksanaannya.
53
6. Fraksi
Partai
Gerindra
Persyaratan calon
perseorangan, Fraksi Partai
Gerindra berpandangan
untuk menambah syarat
dukungan atau prosentase
bagi calon perseorangan
dimaksudkan agar calon
yang maju dari jalur
perseorangan benar-benar
menggambarkan dan
mempresentasikan
dukungan riil dari
masyarakat, sehingga bekal
untuk maju ke ajang
pemilihan.
7. Fraksi
Partai PKS
Tidak memberikan
pendapat tentang
syarat Calon
Perseorangan dalam
Pilkada pada risalah
Rapat Kerja Komisi
II DPR RI.
8. Fraksi
Partai
Tidak memberikan
pendapat tentang
54
Demokrat syarat Calon
Perseorangan dalam
Pilkada pada risalah
Rapat Kerja Komisi
II DPR RI.
9. Fraksi PKB Tentang syarat
perserorangan, sejak awal
PKB tetap memberikan
tempat khusus kepada
calon Independen atau
calon Perseorangan, namun
demikian bahwa PKB
setuju untuk bukan
memperberat, tetapi untuk
membuat agar calon
perseorangan itu lebih
berkualitas, yang terpenting
juga lebih serius, agar tidak
main-main, karena itu PKB
setuju untuk menaikkan
threshold dari sekian
persen menjadi 3 sampai
3,5 persen mengikuti kuota
atau jumlah penduduk di
55
daerah masing-masing,
meskipun PKB tetap
memberikan catatan bahwa
calon perseorangan harus
serius untuk diingatkan
agar tidak kemudian
berpindah hati ketika dia
menjadi seorang Gubernur,
Bupati, ataupun Walikota.
10. Fraksi PAN calon yang didukung Partai
Politik harus memiliki
dukungan minimal 20
persen kursi atau 25 persen
suara, sedangkan calon
perseorangan harus
memiliki dukungan sebesar
6,5 sampai 10
persen suara sesuai dengan
jumlah penduduk suatu
daerah. Angka ini juga
akan memungkinkan rakyat
memiliki cukup alternatif
untuk mendapatkan
pemimpin yang benar-
56
benar berkualitas di satu
sisi, dan di sisi lain juga
benar-benar mereka
inginkan.
11. Ketua
Komite I
DPD RI
Kemudian soal prosentase
syarat dukungan penduduk
adalah dalam rangka
meningkatkan kualitas dan
legitimasi.
12. Menteri
Hukum dan
HAM
Syarat dukungan jumlah
penduduk bagi calon
Perseorangan antara 6,5
persen sampai 10 persen
dari jumlah penduduk.
Setelah mengetahui pandangan dari berbagai Fraksi dan
Pemerintah dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI yang membahas RUU
tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang-
Undang tersebut, berkenaan dengan materi tentang syarat dukungan bagi
calon Perserangan dalam Pilkada yang dinaikkan menjadi 6,5 persen
samapai 10 persen dari jumlah penduduk lebih tinggi daripada calon yang
diusung dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik, maka peneliti
57
dapat merumuskan bahwa latar belakang pemikiran partai politik yang
mempengaruhi regulasi dibolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada
adalah sebagai berikut:
1. Adanya keinginan dari fraksi untuk meningkatkan kualitas dan
legitimasi bagi calon perseorangan di masyarakat.
2. Adanya keinginan dari fraksi agar calon yang maju dari jalur
perseorangan benar-benar menggambarkan dan mempresentasikan
dukungan riil dari masyarakat sebagai bekal untuk maju ke ajang
pemilihan.
3. Adanya keinginan dari fraksi supaya lebih serius dan tidak main-main
bagi Calon Perseorangan yang maju dalam Pilkada; dan
4. Adanya keinginan dari fraksi supaya memungkinkan rakyat memiliki
cukup alternatif untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar
berkualitas di satu sisi, dan di sisi lain juga benar-benar mereka
inginkan.
B. Analisis Latar Belakang Pemikiran Partai Politik Meningkatkan
Syarat Dukungan Minimum Bagi Calon Perseorangan dalam Pilkada
Setelah mengetahui pandangan dari berbagai Fraksi dan latar
belakang pemikiran partai politik meningkatkan syarat dukungan
minimum bagi calon perseorangan dalam Pilkada pada Rapat Kerja
(RAKER) komisi II DPR RI, maka peneliti menganalisis dari berbagai
pandangan fraksi dan Pemerintah sebagaimana dikemukakan terdahulu:
1. Pendapat Fraksi Golkar yang dibacakan oleh Dadang S. Muchtar,
bahwa “Dalam hal ambang batas calon dari partai atau gabungan partai
58
fraksi Partai Golkar menyetujui tidak ada perubahan, yakni sebesar 20
persen dari sejumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi
perolehan suara sah pemilihan anggota DPRD di daerah yang
bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 40. Sementara untuk
ambang batas pendaftaran calon Perseorangan Independen, fraksi
Partai Golkar menyetujui penambahan persentase sebesar 3 setengah
persen yang tersebar di lebih dari 50 persen jumlah Kabupaten Kota
untuk Provinsi dan lebih dari 50 persen jumlah Kecamatan atau
Kabupaten atau Kota. Penambahan ini bertujuan untuk meningkatkan
legitimasi calon perseorangan, atau Independen di masyarakat.”46
Dari pernyataan fraksi Partai Golkar tersebut sesuai dengan teori
demokrasi yang menegaskan bahwa demokrasi sebagai sebuah bentuk
pemerintahan rakyat di mana kekuasaan tertinggi terletak di tangan
rakyat, maka dengan demikian hakikat demokrasi adalah sebuah
proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi. Suatu pemerintahan yang sah adalah
suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan
mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
Pengakuan dan dukungan rakyat suatu pemerintah sangatlah penting,
karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat
menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud
dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
46 Dadang S. Muchtar, Pandangan Fraksi Golkar tentang “Syarat Calon Perseorangan dalam
Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 18-21
59
2. Pendapat Fraksi PKB yang dibacakan oleh H. Abdul Malik Haraman,
M.Si sebagai Juru bicara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
menegaskan “Tentang syarat perserorangan, sejak awal PKB tetap
memberikan tempat khusus kepada calon Independen atau calon
Perseorangan, namun demikian bahwa PKB setuju untuk bukan
memperberat, tetapi untuk membuat agar calon perseorangan itu lebih
berkualitas, yang terpenting juga lebih serius, agar tidak main-main,
karena itu PKB setuju untuk menaikkan threshold dari sekian persen
menjadi 3 sampai 3,5 persen mengikuti kuota atau jumlah penduduk di
daerah masing-masing, meskipun PKB tetap memberikan catatan
bahwa calon perseorangan harus serius untuk diingatkan agar tidak
kemudian berpindah hati ketika dia menjadi seorang Gubernur, Bupati,
ataupun Walikota.”47
“Sejak awal PKB tetap memberikan tempat khusus kepada calon
Independen atau calon Perseorangan”, maka pendapat tersebut sesuai
dengan teori keadilan yang menegaskan bahwa adil artinya tidak
memihak atau berat sebelah, oleh karenanya semua warga negara harus
diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai warga
negara dengan demikian baik calon yang diusung dari Partai Politik
maupun calon perseorangan harus mendapatkan ruang yang sama
dalam Pilkada sebagai bentuk representasi atau aspirasi dari
masyarakat dan bukan dari partai politik.
47 Abdul Malik Haraman, Pandangan Fraksi PKB tentang “Syarat Calon Perseorangan dalam
Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 31-33
60
Persayaratan pencalonan kepala daerah seharusnya tidak menafikan
siapapun yang memiliki kemampuan untuk menjadi kepada daerah dan
wakil kepala daerah baik mencalonkan diri sendiri melalui jalur
perseorangan maupun dicalonkan/diusulkan oleh partai politik dan
atau gabungan partai politik karena sifatnya individual (sebjectum
llitis), sehingga baik calon Perseorangan maupun calon dari Partai
Politik dan atau Gabungan Partai Politik harus dipandang memiliki
persamaan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.
Pengenyampingan terhadap hal tersebut merupakan pengenyampingan
terhadap hak-hak warga negara untuk berparisipasi dalam
pemerintahan sebagaimana asas proporsionalitas yang menuntut
keseimbangan tujuan dengan bobot hak dasar yang dilindungi dan
dijamin oleh Undnag-Undang Dasar 1945.
Selain itu calon pemimpin atau kepala daerah harus memiliki
potensi, kapabilitas serta integritas sebagai seorang pemimpin yang
telah diberikan kepercayaan oleh masyarakatnya, maka dengan
dinaikkannya syarat dukungan bagi calon perseorangan dalam Pilkada
salah satu tujuan utamanya adalah untuk menjadikan calon
perseorangan supaya lebih berkualitas, dan yang terpenting supaya
lebih serius dan tidak main-main dalam pencalonannya.
3. Fraksi Partai Gerindra yang disampaikan oleh H. Bambang Riyanto
berpendapat, bahwa “Persyaratan calon perseorangan, Fraksi Partai
Gerindra berpandangan untuk menambah syarat dukungan atau
prosentase bagi calon perseorangan dimaksudkan agar calon yang
61
maju dari jalur perseorangan benar-benar menggambarkan dan
mempresentasikan dukungan riil dari masyarakat, sebagai bekal untuk
maju ke ajang pemilihan.”48
Dari pendapat tersebut, maka tidak heran jika dalam prosedur dan
mekanisme bagi calon perseorangan dalam Pilkada terdapat jenis
metode verifikasi faktual. Adapun verifikasi faktual adalalah verifikasi
yang dilakukan dengan metode sensus dengan cara menemui langsung
setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Terhadap
pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual,
pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung
calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) hari
terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut. Namun
jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon maka
dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Prosedur verifikasi faktual tersebut menggambarkan pendapat
Fraksi Partai Gerindra bahwa syarat dukungan atau prosentase bagi
calon perseorangan tersebut benar-benar mempresentasikan dukungan
riil dari masyarakat, alasan lainnya adalah karena calon perseorangan
berangkat tanpa melalui kendaraan Partai Politik, oleh sebab itu
dukungan riil dari masyarakat menjadi sangat penting sebagai calon
yang maju dari jalur perseorangan dalam Pilkada.
4. Fraksi PAN juga berpendapat yang dibacakan oleh H. Sukiman S.Pd.,
MM, bahwa “Calon yang didukung Partai Politik harus memiliki
48 Bambang R, Pandangiyantoan Fraksi Partai Gerindra tentang “Syarat Calon Perseorangan
dalam Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 24-26
62
dukungan minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara, sedangkan
calon perseorangan harus memiliki dukungan sebesar 6,5 sampai 10
persen suara sesuai dengan jumlah penduduk suatu daerah. Angka ini
juga akan memungkinkan rakyat memiliki cukup alternatif untuk
mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkualitas di satu sisi, dan
di sisi lain juga benar-benar mereka inginkan.”49
Jika dikaitkan dengan teori politik hukum maka, politik hukum
memberikan landasan terhadap proses pembentukan hukum yang lebih
sesuai, situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang di
masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap
hukum itu sendiri. Begitupun arah pembentukan hukum tersebut harus
selaras dan tidak boleh bertentangan dengan hirarki peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya.
Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu
pertama, politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya
suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, politik hukum
memiliki peranan sangat penting. Pertama, sebagai alasan mengapa
diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua,
untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal.
49 Sukiman, Pandangan Fraksi PAN tentang “Syarat Calon Perseorangan dalam Pilkada.”
Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 34-36
63
Latar belakang pemikiran partai politik yang mempengaruhi
regulasi dibolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada serta alasan
dinaikkannya syarat dukungan bagi calon perseorangan dalam Pilkada
adalah agar rakyat memiliki calon pemimpin yang benar-benar
berkualitas di satu sisi, dan di sisi lain juga benar-benar datang dari
keinginan rakyat.
Secara legal formal dengan diberikannya ruang kepada calon
Perseorangan dalam Pilkada, maka memungkinkan rakyat memiliki
cukup alternatif untuk memilih Calon Pemimpin bagi daerahnya.
Selain itu juga, karena amanat yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal
18 Ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-
masing sebagai kepala Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis.”
5. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang disampaikan oleh
Dr. H. MZ. Amirul Tamim, M. Si, dengan Nomor Anggota 544 dalam
Rapat Kerja Komisi II DPR RI tersebut, memberikan catatan agar hasil
Panja tetap konsisten pada hal-hal yang disepakati untuk dibahas.
Selain itu, dalam rangka sinkronisasi antar norma juga perlu dilakukan
agar tidak kontradiksi yang akan menimbulkan ketidakpastian dan
multitafsir dalam pelaksanaannya.50
Berdasarkan saran fraksi PPP tersebut peneliti menegaskan bahwa
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menganut asas
kepastian hukum (Principle of legal security), asas ini menghendaki
50 MZ. Amirul Tamim, Pandangan Fraksi PPP tentang “Syarat Calon Perseorangan dalam
Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 22-24
64
agar sikap dan keputusan pemerintahan tidak boleh menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi masyarakat, jika hal tersebut terjadi maka
dapat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada hukum dan
peraturan-peraturan serta legitimasi bagi pemerintahan suatu negara.
Ketua Komite I DPD RI juga memberikan pendapatnya dalam hal
syarat dukungan bagi calon perseorangan yaitu, “Soal prosentase
syarat dukungan penduduk adalah dalam rangka meningkatkan
kualitas dan legitimasi.”51
Pendapat Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan
HAM RI yang disampaikan oleh Dr. Yasonna H. Laoly, SH., M.Sc.,
menyatakan bahwa “Syarat dukungan jumlah penduduk bagi calon
Perseorangan antara 6,5 persen sampai 10 persen dari jumlah
penduduk.”52
Rapat Kerja Komisi II DPR RI tersebut, dihadiri 38 dari 50 orang
anggota Komisi II DPR RI yang terdiri dari 5 orang sebagai Pimpinan
Rapat, 2 anggota dari Fraksi Partai Hanura, 6 anggota dari Fraksi
PDIP, 2 anggota dari Fraksi Partai Nasdem, 3 anggota dari Fraksi PKS,
5 anggota dari Partai Demokrat, 6 anggota dari Fraksi Partai Golkar, 3
anggota dari Fraksi Partai Gerindra, 2 anggota dari Fraksi PPP, 1
anggota dari Fraksi PKB, 3 anggota dari Fraksi PAN, bersama Menteri
Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta Komite I DPD RI.
51Ahmad Muqowwam, Pandangan Ketua Komite I DPD RI tentang “Syarat Calon Perseorangan
dalam Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 37-39
52 Yasonna H. Laoly, Pandangan Menteri Hukum dan HAM RI tentang “Syarat Calon
Perseorangan dalam Pilkada.” Dalam Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI, 16 Februari 2015 (Jakarta: DPR-RI, 2015), h. 40-42
65
Beberapa fraksi seperti Fraksi Partai Hanura, PDIP, Partai Nasdem,
PKS, dan Partai Demokrat dalam Rapat Kerja yang membahas RUU
tentang Pilkada tersebut di atas, tidak turut memberikan pandangannya
terkait syarat bagi calon perseorangan, tapi Fraksi-fraksi tersebut
hanya memberikan pandangannya terkait materi pemilihan gubernur
secara berpasangan atau tidak, uji publik atau sosialisasi, penguatan
pendelegasian tugas KPU dan Banwaslu sebagai penyelenggara
Pilkada, persyaratan calon terkait dengan syarat pendidikan dan usia,
dan penentuan pemenang dalam Pilkada.
Sangat disayangkan sekali jika dalam rapat kerja tersebut ada
beberapa Fraksi yang tidak turut memberikan pandangannya terkait
materi yang menjadi fokus pembahasan, seharusnya DPR sebagai
perwakilan rakyat sebaiknya menjalankan tugasnya dengan baik
sebagai wujud representasi atau aspirasi rakyat.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penjelasan dari bab 1 sampai 4 maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Prosedur calon perseorangan dalam pemilukada diatur dalam pasal 48
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dengan menggunakan 2 (dua) jenis verifikasi
yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Syarat dukungan
bagi calon perseorangan dinaikkan menjadi 6,5 sampai 10 persen dari
jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap.
2. Landasan yuridis dibolehkannya calon perseorangan dalam
Pemilukada adalah Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, Pasal 18 Ayat (4)
UUD 1945, Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007,
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XIII/2015 dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilukada.
3. Latar belakang pemikiran partai politik meningkatkan syarat
dukungan minimum bagi calon perseorangan dalam Pilkada adalah
untuk meningkatkan kualitas dan legitimasi bagi calon perseorangan
di masyarakat selain itu calon yang maju dari jalur perseorangan
supaya benar-benar menggambarkan dan mempresentasikan dukungan
riil dari masyarakat.
67
B. Saran
Setelah menganalisis risalah Rapat Kerja pengambilan keputusan
akhir Tingkat I antara komisi II DPR RI dengan pemerintah terhadap RUU
tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang-
Undang, maka peneliti memiliki beberapa saran yang ingin disampaikan,
yaitu:
1. Persyaratan dan mekanisme pemilihan kepala daerah dianggap
menghambat ruang gerak dan memberatkan bagi calon perseorangan
oleh karena itu perlu adanya perbaikan terhadap Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 Tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota terkait persyaratan dan mekanismenya.
2. Anggota DPR merupakan representasi dari suara rakyat, oleh karena
itu setiap fraksi diharuskan memberikan pandangannya saat rapat
kerja berlangsung terkait materi yang menjadi fokus pembahasan,
guna memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdulkarim, Aim. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Grafindo Media
Pratama, 2006
Agus. Aktor Penyelenggara Pemilu. Malang: Pusat Kajian Inovasi dan Kerjasama
Antar Daerah Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2013
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana, 2006
__________. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004
Amiruddin dan Zaini Bisri, A. Pilkada Langsung, Problem dan Prospek: Sketsa
Singkat Perjalanan Pilkada 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008
Fatkhurohman. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004
Firmanzah. Mengelola Partai Politik (Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011
Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung: Alumni, 1991
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
UMM Press, 2007
Ihza Mahendra, Yusril. Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian). Jakarta:
Gema Insani Press, 1996
69
Joachim Friedrich, Carl. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004
Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1981
Latif, Abdul dan Ali, Hasbi. Politik Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Legowo, T.A, dkk. Lembaga Perwakilan Rakyat (Studi dan Analisis Sebelum dan
Setelah Perubahan UUD 1945). Jakarta: FORMAPPI, 2005
Maggalatung, Salman dan Yunus, Nur Rohim. Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia). Bandung: Fajar Media, 2013
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006
MD, Mahfud. Membangun Politik Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers,
2010
__________. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Muhammad Ahmadi, Fahmi dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Prihatmoko, Joko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan
Problema.Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000
Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat dalam Kajian Hukum
Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 1996
__________. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
70
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1997
Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta,
2014
Supardi dan Anwar, Syaiful. Dasar-dasar Perilaku Organisasi. Yogyakarta: UII
Press, 2002
Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani). Jakarta: Penerbit Prenada
Media Group, 2012
Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986
Yuhana, Abdi. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945.
Bandung: Fokusmedia, 2007
Jurnal:
Warjiyati, Sri. “Calon Perseorangan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah;
Perspektif Fikih Siyasah.” Al-Daulah Vol 4. No.1 (April 2014)
Skripsi:
Kusumawardani, Frysca. “Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Kepala Daerah
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 5/PUU-V/2007)”. Skripsi
S1 Fakultas Hukum, Universitas Jember, 2015
Kamus:
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
Majalah:
71
Wahjono, Padmo. “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-
undangan.” Majalah Forum Keadilan. No. 29 (April 1991)
Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nmor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota
Risalah Sidang:
Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI. Jakarta: 16 Februari 2015