Upload
chandra-darusman-s
View
265
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
PERSPEKTIF POLITIK HUKUM DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UUD 1945
Chandra Darusman S, S.H.*)
A. Latar Belakang Masalah
Soedarto memberikan pengertian mengenai politik hukum, yaitu “…
kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan” (Amrullah, 2007). Dari definisi tersebut, dapat dipahami
bahwa bahwa pertama, politik hukum merupakan instrumen bagi para pembuat
kebijakan mengenai bagaimana mengarahkan cara pencapaian suatu
tujuan. Kedua, instrumen tersebut dibentuk dalam peraturan perundang-
undangan. Ketiga, kebijakan tersebut harus merepresentasikan kepentingan
masyarakat. Dengan demikian akan tampak titik temu dengan prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik, di antaranya partisipasi masyarakat, yang dapat
diakomodasi dalam politik hukum. Tentunya, setiap daerah memiliki politik
hukum yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan politik hukum daerah
yang lainnya; hal ini di dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya: faktor
sosiologis, historis dan filosofis yang merupakan cerminan dari keadaan dan
kepentingan masyarakat dari masing-masing daerah1.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan maka tentunya politik hukum itu
memiliki pengertian secara yuridis teoritis yakni merupakan suatu disiplin ilmu
yang membahas atau menguraikan perbuatan aparat yang berwenang dengan
*) Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh dan Sekretaris Umum Lembaga Analisis Qanun, Hukum dan Perundang-
undangan (La-QUHP) Aceh.
1 Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003
2
memilih beberapa alternatif yang tersedia, memproduksi suatu produk hukum
guna mewujudkan tujuan negara. Dari pengertian ini menggambarkan bahwa pada
prinsipnya maka politik hukum itu bersinggungan dengan bidang hukum lain
seperti Hukum administrasi negara karena didalamnya terdapat unsur aparat
negara atau penyeleggara negara.
Penyeleggara negara adalah lembaga-lembaga negara yang diberi
wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan sebuah negara.
Penyeleggara negara disebut juga pemerintah. Dari pengertian diatas pula
memunculkan suatu simpulan yakni bahwa politik hukum ini sangat berperan
dalam bidang kenegaraan khususnya dalam bidang pembuatan kebijakan negara
yang berlaku bagi semua elemen negara termasuk aparat negara sendiri dengan
tujuan akhrinya yakni bahwa cita cita negara sebagaimana terdapat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud. Dengan demikian maka
jelaslah bahwa suatu produk hukum yang dihasilkan harus mengikutsertakan
politik hukum baik dalam proses pembentukannya maupun sampai pada
pelaksanaan dari suatu produk hukum tersebut. Pemerintah sebagai aparat negara
pun harus dapat memberikan suatu citra dan gambaran bagi masyarakat bukan
hanya dalam pembetukan produk hukum saja namun juga pada pelaksanaan
hukum itu sendiri karena jelas bahwa aparat hukum negara dalam melaksanakan
tugas negara harus pula berdasarkan pada produk hukum yang dibuatnya sendiri.
Di dalam negara kesatuan, pemerintahan Pusat adalah pembela utama
kepentingan nasional. Pemerintahan Pusat bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan pada tingkat nasional.
Sebaliknya, pihak daerah lebih menekankan pada kepentingan daerah. Misal,
dalam pandangan Daerah, sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya sering
kali dianggap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah dan rakyat disana.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang
untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan
kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi
3
secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan
oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat.
Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya
kemungkinan bahwa pelaksanaan system pemerintahan akan kembali ke arah
sentralisasi.
B. Indentifikasi Masalah dan Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan
yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Undang-Undang tentang
Pemerintah Daerah di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan sampai
dengan masa reformasi?
2. Kewenangan apa saja yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah kepada Pemerintah Aceh?
3. Seperti apakah pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang tentang
Otonomi Daerah di Provinsi Aceh?
Tulisan ini juga bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Undang-Undang mengenai
Pemerintahan Daerah di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan
sampai dengan masa reformasi
2. Untuk mengetahui kewenangan apa saja yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat melalui UU tentang Otonomi Daerah kepada
Pemerintah Aceh.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan dan penerapan UU tentang Otonomi
daerah di Provinsi Aceh.
4
C. Konsep Dasar Otonomi Daerah
Otonomi pada dasarnya adalah sebuah konsep politik (pendapat
Koesoemahatmadja, dan Miftah Thoha).2 Dari berbagai pengertian mengenai
istilah ini, pada intinya apa yang dapat disimpulkan bahwa otonomi itu selalu
dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian.
Sesuatu akan dianggap otonom jika sesuatu itu dapat menentukan dirinya
sendiri, membuat hukum sendiri dengan maksud mengatur diri sendiri, dan
berjalan berdasarkan kewenangan, kekuasaan, dan prakarsa sendiri. Muatan
politis yang terkandung dalam istilah ini, adalah bahwa dengan kebebasan
dan kemandirian tersebut, suatu daerah dianggap otonom kalau memiliki
kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) dalam penyelenggaran
pemerintahan terutama untuk menentukan kepentingan daerah maupun
masyarakatnya sendiri.
Harris menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah (local self
government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badanbadan
daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi
pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi
(kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh
kekuasaan yang lebih tinggi.3
De Guznon dan taples menyebutkan unsur-unsur Pemerintahan
Daerah yaitu :4
a. Pemerintahan Daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan
bangsa dan Negara;
b. Pemerintahan Daerah diatur oleh hukum;
c. Pemerintahan Daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih
oleh penduduk setempat;
2 DRH Koesoemahatmadja. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Jakarta: Bina Cipta, 1979, hal. 13 3 Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, Grasindo,
Jakarta, 2007, hal. 11 4 Ibid.
5
d. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan
peraturan perundangan;
e. Pemerintahan Daerah memberikan pelayanan dalam wilayah
jurisdiksinya.
Dengan merujuk pada uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah berhubungan dengan Pemerintahan Daerah otonom (Self
Local Government). Pemerintahan Daerah otonom adalah Pemerintahan
Daerah yang badan pemerintahannya dipilih penduduk setempat dan memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan
peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan
nasional.
D. Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berbicara landasan asas pelaksanaan Pemerintahan Daerah, akan
dijumpai tiga asas pokok yag selama ini sering digunakan banyak Negara
yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan
(medebewind).
a. Asas Desentralisasi
Pemaknaan asas desentralisasi mejadi perdebatan dikalangan
para pakar, dari pemaknaan para pakar tersebut Agus Salim Andi
Gadjong mengklasifikasikan desentralisasi sebagai berikut:5
1) Desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan
dari pusat ke daerah
2) Desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan
3) Desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan
pemberian kekuasan dan kewenangan
4) Desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan
daerah pemerintahan.
5 Ibid. hal. 79
6
Sementara itu, Logemen membagi desentralisasi menjadi dua
macam yakni pertama dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan
(ambelitjke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari tingkatan
lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam
melaksanakan tugas pemerintahan. Kedua desentralisasi ketatanegaraan
(staatkundige decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan
dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam
lingkungannya, dari desentralisasi ini dapat dibagi dalam dua macam
yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi
teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud
adalah daerah; sedangkan desentralisasi fungsional adalah penyerahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas
pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri.6
b. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan
kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat
pusat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang
melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat
yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau
pembuatan keputusan.7
Dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi,
dekonsentrasi sudah pasti desentralisasi, tetapi desentralisasi tidak selalu
berarti dekonsentrasi. Stronk berpendapat bahwa dekonsentrasi
merupakan perintah kepada para pejabat pemerintah atau dinas-dinas
yang bekerja dalam hierarchi dengan suatu badan pemerintahan untuk
mengindahkan tugas-tugas tertentu dibarengi dengan pemberian hak
6 Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung:1985, hal. 44 7 Ibid.
7
mengatur dan memutuskan bebetapa hal tetentu dengan tanggung jawab
terakhir tetap berada pada badan pemerintahan sendiri.8
Menurut Laica Marzuki dekonsentrasi merupakan ambtelijke
decentralisastie atau delegative van bevoegdheid, yakni pelimpahan
kewenangan dari alat perlengkapan Negara di pusat kepada instansi
bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pemerintahan Pusat tidak kehilangan kewenangannya
karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama Pemerintahan
Pusat.9
c. Asas Medbewind (Tugas Pembantuan)
Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang
kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas
pembantuan adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi
pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun
secara vertikal.10
Jadi medebewind merupakan kewajibankewajiban
untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup
wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu:
1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-
daerah otonom untuk melaksanakannya.
2) Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu
mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu
dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan
mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu,
8 Hanif Nurcholis, Op., Cit., hal. 22
9 Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Jilid I, Sekretaris Jenderal Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 54 10 Kaho, Josef, Riwu,. Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI,. Rajawali Press.
Jakarta: 1991, hal. 29
8
3) Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerahdaerah
otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang
tersusun secara vertikal.
Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat “membantu”
dan tidak dalam konteks hubungan “atasan-bawahan”, tetapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk
menolak. Hubungan ini timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum
atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas pembantuan
adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan perundangan-undangan,
termasuk yang diperintah atau diminta dalam rangka tugas pembantuan.
E. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang mengenai Pemerintahan
Daerah di Indonesia
1. Masa Awal Kemerdekaan
Sejak awal kemerdekaan politik hukum otonomi daerah
senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang sepertinya tidak
akan pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan
perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek
dalam sistem otonomi seperti aspek formal, materil, nyata, seluas-
luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan lain sebagainya yang
dalam praktik di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang
berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami
tolak tarik di kalangan elit politik dan massa.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang kini berlaku seolah-olah adalah merupakan uji coba karena
ia pun tetap menimbulkan masalah sehingga dianggap belum selesai dan
memerlukan perbaikan kembali walaupun hanya menyangkut bahagian-
bahagian tertentu saja.
9
Sebagaimana yang dikemukaan di atas tadi, politik hukum
otonomi daerah senantiasa berubah sesuai dengan perubahan-perubahan
politik sebagai wujud dari tolak-tarik kekuatan politik. Undang-Undang
pertama lahir dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia adalah UU
No. 1 Tahun 1945 adalah undang-undang otonomi daerah. UU ini dibuat
dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan untuk
menggelorakan semangat kebebasan
Undang-Undang tersebut lebih menganut asas otonomi formal
dalam arti menyerahkan urusan kepada daerah tanpa secara spesifik
menyebutkan jenis bidang urusannya. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU
No 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang masih
dirasakan dualistik. UU No 22 Tahun 1948 menganut asas otonomi
formal dan sekaligus otonomi materiil. Hal ini dapat dilihat dan
penerapannya dari pasal 23 ayat (2) yang menyebut urusan yang
diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan
adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang
telah diatur pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
Di era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata yang
seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga melahirkan UU No 1
Tahun 1957. Secara undang-undang pemilihan kepala daerah secara
langsung belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik.
Dalam UU ini DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah,
sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan
Pemerintah Daerah)
Pada era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah
mengalami titik balik yang menganggap otonomi luas mengancam
keutuhan bangsa, oleh karena itu disesuaikan konsepsi demokrasi
terpimpin yang mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang
mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih
dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya dalam sistem pemerintahan
10
justru pengekangan terhadap daerah. Kepala daerah ditentukan
sepenuhnya oleh pusat dengan wewenang mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah, bahkan wewenang menangguhkan keputusan-
keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis tidak mempunyai peran.
Penpres ini kemudian diberi kemudian diberi baju hukum dengan
dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 yang sama sekali tidak
mengubah substansi dan sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut.
Perubahannya adalah lebih didasarkan pada upaya menempelkan
Manipol-Usdek di dalam UU tersebut dan didasarkan pada pemikiran
bahwa, sebaiknya Penpres itu diganti dengan UU mengingat konstitusi
Indonesia tidak mengenal adanya Penpres.
Setelah Demokrasi Terpimpin diganti oleh Sistem Politik Orde
Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik
hukum otonomi daerah kembali dirubah. Melalui Tap MPRS No. XXI /
MPRS / 1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-
luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah kembali
guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS
tersebut. Namun sebelum UU tersebut diubah telah terjadi perubahan
konfigurasi politik orde baru dan langgam demokratis ke langgam
otoritarian. Perubahan ini ditandai lahirnya UU No. 15 dan 16 Tahun
1969 tentang Pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD. Kedua UU ini
memberi energi luar biasa besar kepada eksekutif sehingga sistem politik
indonesia menjadi benar-benar exekutive heavy.
Dengan kekuatan politiknya yang dominant, pemerintah orde baru
kemudian mencabut Tap MPRS No. XXI/ MPRS/1966 tentang otonomi
daerah memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPRS No. IV/ MPR/
1973 tentang GBHN yang menyangkut politik hukum otonomi daerah
yang penentuan asasnya diubah dari otonomi ”nyata yang seluas-
luasnya” menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab” ketentuan
GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di
dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan
11
menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik
menciptakan ketidakadilan politik seperti kedudukan DPRD sebagai
bagian dari pemerintah dan cara penetapan kepala daerrah dan
ketidadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh
pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar menawar politik.
2. Era Reformasi
Era Reformasi Tahun 1998, politik hukum otonomi daerah di
masa orde baru tertuang dalam UU No. 5 1974, kembali dipersoalkan
karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat
kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali
meletakkan prinsip otonomi luas antara Pusat dan Daerah seperti yang
diwacanakan oleh Amin Rais yang kemudian ditolak.
Gagasan federalisme ditentang keras oleh banyak kalangan karena
selain bertendensi membuang warisan berharga dan pesan sejarah yang
sangat luhur dari para pendiri negara yang sangat arif dan juga
bertentangan dengan ketentuan Pembukaan UUD 1945 pada Sila Ketiga
Pancasila yang dipandang menganut bentuk negara kesatuan. Padahal
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah persatuan dan
bukan kesatuan.
Dengan demikian baik bentuk negara kesatuan maupun bentuk
negara federal tidak terkait langsung kuat atau lemahnya ”persatuan”
suatu bangsa. Istilah persatuan dan kesatuan masing-masing mempunyai
makna yang berbeda. Kata persatuan merujuk pada ”psiko-politik”
artinya rakyat ingin bersatu dalam satu ikatan kebangsaan, sedangkan
kesatuan merujuk pada ”struktur politik” yang di dalam UUD 1945
sebagai bentuk negara.11
Dalam istilah Persatuan dan Kesatuan tetap
menimbulkan perdebatan. Dan dari perdebatan itulah lahir UU
Pemerintah Daerah di era reformasi yakni UU No, 22 Tahun 1999
11 Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. PSH FH-UII. Yogyakarta, 2001,
hal. 43
12
3. Perubahan Paradigma Otonomi Daerah
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari
paradigma yang dianut pada era reformasi yang berbeda dengan
paradigma di masa orde baru. Paradigma UU tentang pemerintahan
daerah di era reformasi dimaksudkan untuk membongkar paradigma UU
No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan patronase politik yang sistemnya
yang sentralistik. Paradigma orde baru adalah pardigma pembangunan
ekonomi yang menekankan stabilitas, integritas dan pengendalian secara
sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Hal ini menimbulkan
kebijakan penyeragaman dan patronase politik.Oleh sebab itu, paradigma
yang harus dianut adalah dari paradigma pembangunan menjadi
paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang
desentralistik.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang No.32 Tahun
2004
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ternyata juga dirasa kurang
memuaskan dan dipandang perlu untuk diubah lagi. Maka lahirlah
undang-undang nomor 32 tahun 2004 tetap relevan dengan UU No. 22
Tahun 1999, namun pada praktiknya di lapangan oknum anggota DPR
ikut melakukan KKN.
Adapun isi hasil perubahan kedua UUD 1945 dituangkan dalam
Pasal 18, 18 A dan 18 B yang selengkapnya :
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah
Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi lagi ke dalam Kabupaten dan
Kota yang diatur dengan Undang-Undang.
2) Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Kabupaten dan Kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan
3) Pemerintah Daerah Provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki
DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu
13
4) Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah yang dipilih secara demokrasi
5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintah pusat
6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur
dalam undang-undang Perubahan isi pasal 18 UUD 1945 menghendaki
pengaturan yang lebih ketat dari Undang-undang nomor 22 tahun 1999,
yang dituangkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagai
berikut :
a) Prinsip Otonomi Daerah, Pembagian Urusan, dan Hubungan
Hirarkis Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (5) perubahan
kedua UUD 1945 UU No.32 Tahun 2004 menganut asas otonomi
luas
b) Pemilihan Kepala Daerah, dengan menganut sistem pemilihan
lansung memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih
sendiri kepala daerah dan wakilnya
c) Pertanggungjawaban Kepala Daerah, UU No, 32 Tahun 2004
menggariskan bahwa pemerintah daerah tidak bertanggungjawab
kepada DPRD adalah (hubungan kemitraan)
d) .Sistem Pengawasan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
ketentuan tentang pengawasan diseimbangkan dengan pembinaan
melalui pengawasan represif yakni pengawasan berupa produk-
produk daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Seperti
Perda, kepkeda, khususnya retribusi, pemungutan pajak
e) Keuangan Daerah, berdasarkan pasal 79 UU Tahun 1999
digariskan bahwa sumber pendapatan daerah, dana perimbangan,
pinjaman daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan dana
perimbangan terdiri dari DAU dan DAK
14
f) Kepegawaian Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa
kebijakan kepegawaian dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan manajemen kepegawaian di daerah menyangkut mutasi
dan pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan oleh kepala daerah
tanpa ada keharusan untuk berkonsultasi dengan gubernur atau
pemerintah pusat. Pada pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004
menyebutkan bahwa pemerintah pusat melaksanakan pembinaan
manajemen PNS di daeran dalam satu kesetaraan penyelenggaraan
manajemen PNS secara nasional. Dan di dalam pasal 130
disebutkan bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
pada jabatan eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh
gubernur dan eselon II pada pemerintah kabupaten dan kota
ditetapkan oleh bupati dan walikota setelah berkonsultasi dengan
gubernur.
g) Pemberhentian Kepala Daerah.
h) KKN di Daerah
i) Penyebab KKN
F. Latar Belakang Lahirnya UU tentang Otonomi Daerah di Provinsi Aceh
Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah
Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan
kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini
dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu terdapat di Aceh
dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik
Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976.
Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan
disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah
pola hubungan antara pusat dan daerah.
Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa”
pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan
15
tentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang
berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR untuk
mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini, keistimewaan yang selalu
disebut-sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak
tahun 1959 itu diharapkan akan menjadi lebih menyeluruh di tengah
masyarakat. Undang-Undang ini hanya mengatur hal-hal pokok, dan setelah
itu memberi kebebasan kepada Daerah untuk mengatur pelaksanaannya
melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam pembuatan kebijakan
daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat
Aceh.
Karena Undang-Undang ini dirasakan belum cukup mengakomondir
tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian otonomi
khusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya Sidang Tahunan MPR
tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali
merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi
Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei
2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang
dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1)
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang.
Atas dasar perubahan yang relatif drastis ini, sebagian anggota DPR
kembali mengajukan usul inisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan
sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada
tanggal 9 Agustus 2001.
16
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1)
dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang
menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah,” sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan
pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1
angka 8 dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi
khusus”.
Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal
yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun
dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak
tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah
undang-undang.
Pada tahun 2005, konflik di Aceh berakhir secara resmi dengan
ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Salah
satu isi kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM adalah akan adanya
undang-undang baru tentang penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh
yang diberlakukan paling lambat tanggal 31 Maret 2006. Dalam
perjalanannya, pembahasan tentang draf RUU-PA mengalami banyak
kendala, baik pembahasan di tingkat Pemerintah Pusat maupun saat
pembahasan di DPR-RI. Dari perdebatan mengenai batas waktu pembahasan
sampai dengan perdebatan penafsiran pasal demi pasal RUU-nya. Bahkan ada
fraksi yang masih mempermasalahkan bahkan menolak hasil perundingan di
Helsinki, seperti yang disampaikan oleh F-PDIP. Proses politik di tingkat
17
legislatif tidak semudah tahapan sebelumnya. Ada sejumlah persoalan sensitif
yang ketika itu bisa memicu konflik berlanjut.12
Dalam sidang paripurna, Selasa (11/07-2006), secara bulat, seluruh
fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyetujui
Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-
undang. Dengan persetujuan tersebut, ”berakhir” pula segala macam tarik-
menarik perumusan substansi undang-undang yang mengatur Aceh sebagai
salah satu satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian,
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (4) Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, pada 1 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA).
Tetapi ini bukanlah kali pertama dalam kurun waktu konflik tiga
dekade di Aceh dimana sebuah perjanjian perdamaian atau penghentian
pertempuran telah tercapai. Beberapa perjanjian sebelumnya telah berupaya
untuk menghentikan kekerasan di Aceh, namun setelah sekian lama, tidak
berhasil. Sehingga menjadi amat penting untuk terus memantau dan
mengevaluasi upaya membangun perdamaian di Aceh untuk menjamin bahwa
perdamaian dapat berkelanjutan. Walaupun telah banyak pencapaian,
peningkatan ketegangan antar berbagai pihak telah menggarisbawahi
kebutuhan untuk mengevaluasi proses perdamaian dari perspektif keadilan
transisi.13
Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No
11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia.
Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006
mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna
12 “UU Pemerintahan Aceh Rentan Mandek”, Kompas, 3 Oktober 2005. 13
Ross Clarke dkk, Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari Perspektif
Keadilan Transisi, International Center for Transitional Justice (ICTJ) - Indonesia, Jakarta, 2008.
Hal: 1.
18
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang
demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No
11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik
otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (UU No 18/2001).
Di samping pengalaman tersebut, keraguan bahwa Aceh sebagai
daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik
karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas
dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1)
UU No 11/2006 menyatakan: “pemerintah (pusat) menetapkan norma,
standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota”.
G. Kewenangan yang Diberikan Undang-Undang kepada Pemerintah
Daerah
Salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (UU No 22/1999) adalah dianutnya prinsip residu power (pembagian
kewenangan sisa) dalam penataan hubungan pusat-daerah. Misalnya, Pasal 7
Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah otonom
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Prinsip residu power juga ditemukan dalam Pasal 10 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
No 32/2004) menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini (baca: UU No 32/2004)
19
ditentukan menjadi urusan Pemerintah (pusat, pen.). Kemudian, dalam Pasal
10 Ayat (2) UU No 32/2004 ditegas, urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: (a) politik
luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal
nasional; dan (f) agama.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 dan UU
No 32/2004 di atas, salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi
otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan pusat dan daerah
adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat
pemerintahan. Ketidakejelasan model pembagian kewenangan ini, dalam
praktiknya terefleksi dalam dua wajah. Pertama, untuk sektor-sektor yang
bersifat profit seringkali terjadi tumpang-tindih antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Kedua, untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan,
seringkali terjadi kevakuman kewenangan (Prasojo, 2006: 25).
Gambaran wajah praktik hubungan pusat dan daerah di atas berakar
dari upaya mereduksi pasal-pasal yang mengatur prinsip residu power dengan
aturan-aturan lain yang setingkat (baik internal maupun eksternal) atau
dengan peraturan yang lebih rendah. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 sengaja direduksi dengan frasa tambahan
dalam pasal itu sendiri, yaitu frasa “serta kewenangan bidang lainnya”.
Kemudian, upaya reduksi tersebut dilakukan secara felsibel dan
multiinterpretasi dalam Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan:
kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), meliputi
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi
negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendaya-gunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi
nasional.
Tidak berhenti sampai dengan perumusan Pasal 7 Ayat (2), Pasal 12
UU No 22/1999 menegaskan lagi bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 UU No 22/1999 ditetapkan dengan
20
Peraturan Pemerintah. Kemudian, sesuai dengan “amanat” Pasal 12 UU No
22/1999, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom (PP No 25/2000). Dalam PP No 25/2000 tersebut,
“kewenangan bidang lainnya” dirumuskan ke dalam 25 bidang. Dengan
kehadiran PP No 25/2000 tersebut, banyak penilaian mengatakan bahwa
pemerintah menarik kembali semangat desentralisasi (resentralisasi) yang
terdapat dalam UU No 22/1999.
Sebetulnya, resentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat tidak aneh
karena dari awal pengesahan UU No 22/1999 sudah banyak nada pesimis
bahwa undang-undang mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.
Keraguan tersebut didasarkan pada argumentasi, pemerintah pusat tidak
ikhlas menyerahkan sebagian besar “kewenangan” kepada daerah. Namun hal
ini harus dilakukan karena kuatnya desakan untuk mengganti pola hubungan
pusat dan daerah yang highly centralized menjadi hubungan yang lebih
terdesentralisasi. Seandainya pemerintah pusat melakukan resistensi, maka
keinginan beberapa daerah untuk memisahkan diri menjadi sesuatu yang tidak
mungkin dihindarkan. Oleh karena itu, merngubah paradigma hubungan pusat
dan daerah adalah jalan terbaik yang harus dilakukan dengan memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur dan mengurus
diri sendiri (Isra, 2005: 17).
Ketika ancaman disintegrasi mulai surut, pemerintah pusat kembali
lagi pada kecenderungan sentralisasi. Artinya, secara sistematis sudah terlihat
upaya untuk melakukan resentralisasi. Kecenderungan ini mulai terlihat
dengan dibubarkannya Menteri Negara Otonomi Daerah pada era Presiden
Abdurrahman Wahid. Padahal, pembentukan Menteri Negara Otonomi
Daerah pada era Presiden BJ. Habibie untuk melakukan percepatan
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999. Bahkan, ketika
masa kekuasaan Abdurrahman Wahid sudah dilakukan langkah nyata
pemerintah pusat untuk menarik kembali kewenangan yang telah diberikan
kepada daerah. Paling tidak, hal ini dapat dibuktikan dengan keluarnya
21
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 yang menarik kembali
kewenangan dalam bidang pertanahan. Padahal menurut ketentuan Pasal 11
Ayat (2) UU No 22/1999 masalah pertanahan adalah kewenangan wajib yang
harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Begitu juga dengan UU No 32/2004, sekalipun agak lebih rinci
pembagian urusan antar pemerintahan di tingkat undang-undang, kekuasaan
pemerintah pusat dalam menentukan pembagian urusan masih sangat
dominan. Buktinya, Pasal 14 Ayat (3) UU No 32/2004 kembali menyatakan
bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No 32/2004
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bahkan, Pasal 11 Ayat (4)
UU No 32/2004 juga menyatakan, penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal
dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Persoalan lain yang muncul dari rumusan Pasal 11 Ayat (4) UU No
32/2004 yaitu tidak jelasnya bentuk produk hukum yang akan menentukan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman
pada standar pelayanan minimal karena hanya disebutkan “ditetapkan oleh
pemerintah”. Apakah penetapan pemerintah tersebut dalam bentuk produk
hukum peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan menteri dalam
negeri, atau peraturan lainnya? Kalau diletakkan dalam konstruksi Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perungang-
undangan (UU No 10/2004) semua bentuk tersebut memungkinkan. Tetapi,
ketidakjelasan bentuk hukum tersebut semakin merugikan daerah.
Masalah pembagian kewenangan di atas tidak hanya terdapat dalam
UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 tetapi juga dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU No 44/1999) yang menyatakan:
(1) daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur
keistimewaan yang dimiliki.
22
(2) kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang
dimiliki, sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), di kabupaten dan kota
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Begitu juga dalam Pasal 3 UU No 18/2001 yang menyatakan:
(1) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam
undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus.
(2) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur
pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
H. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah dalam UU No 11/2006
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan
undang-undangan ini, yaitu;
1. sistem pemerintahan NKRI menurut UUD mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
2. berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh
merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
3. ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan
hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
NKRI;
4. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di
Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat,
23
keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi
manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;
dan
5. bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk
membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka NKRI.
Sementara itu, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006
ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh
seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan
daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan umum
UUPA yang menyatakan:
“…Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian
otonomi seluasluasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan
mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance
yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam
menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh
memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan
maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah.”
24
Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai
kewajiban konstitusional, dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan
Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca
dalam penjelasan UUPA sebagai berikut:
Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI dan tatanan otonomi
seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini
merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan
demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak,
tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.
Tidak jauh berbeda dengan beberapa undang-undang yang
diuaraikan pada bagian terdahulu, pembagian kewenangan dalam UU No
11/2006 juga dibangun dalam prinsip residu power. Pasal 7 UU No 11/2006
menyatakan:
(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan
urusan tertentu dalam bidang agama.
Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial
terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu
muncil karena adanya frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional”.
Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006
menyatakan:
Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam
ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional,
kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan
25
keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis,
konservasi dan standardisasi nasional.
Penjelasan frasa “urusan pemerintahan yang bersifat nasional” sekali
lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah
sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan dan
diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan
urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power
dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan
intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi
pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No
11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaran
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh
pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga
menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan
Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian “urusan wajib” dan
“urusan wajib lainnya” yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No
11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi
tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang
bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.
Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul
karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang
menyatakan, pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota. Kemudian dalam Penjelasan
Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang
dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah. Standar
26
adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk melaksanakan
otonomi daerah”
Sekalipun ditentukan bahwa “norma”, “standar”, dan “prosedur”
tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial
mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal
Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bantuk hukum
penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul
penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai
dari peraturan pemerintah samapi dengan peraturan gubernur.
I. Pelaksanaan Penerapan UU Tentang Otonomi Daerah
Pengadilan Islam di Aceh telah lama menangani kasus-kasus
mengenai perkawinan, perceraian dan warisan. Sebuah terobosan yang
berkenaan dengan penerapan hukum Islam yang lebih luas terjadi setelah
undang-undang Otonomi Khusus disahkan pada tahun 2001, yang
memberikan lampu hijau kepada pengadilan Islam untuk melebarkan
jangkauan mereka hingga ke peradilan pidana. Pada titik inilah persoalan
serius mengenai dualisme hukum muncul, tanpa adanya batasan yang jelas
mengenai pembagian tugas antara pengadilan negeri biasa dan pengadilan
Syari’at. Pertanyaan mengenai masalah penegakan hukum bahkan lebih
suram: laporan ini mengamati peran wilayatul hisbah, yaitu “polisi syariat”
yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan bagaimana perannya
semakin lama semakin luas dengan cara yang membuat polisi tidak senang.
Crisis Group mengkaji persoalan-persoalan praktis yang telah muncul
pada saat Aceh mencoba untuk menegakkan tiga aturan Syari’at Islam yang
pertama, yang telah disahkan oleh pemerintah propinsi. Aturan-aturan itu
adalah: larangan minuman keras; berjudi; dan khalwat. Laporan ini melihat
bagaimana dan mengapa pemerintah
27
memilih hukum cambuk sebagai sanksi bagi yang melanggar ketiga aturan
ini, meskipun hukuman ini belum pernah ada sebelumnya di Aceh. Laporan
ini juga melihat rencana-rencana untuk memperluas penerapan hukum Islam.
Crisis Group menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat Syari’at di
Aceh benar-benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut
memfasilitasi tujuan yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi,
dan rekonstruksi, tapi ada dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan
moralitas tak lagi jadi sarana tapi sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi
Syari’at memiliki kepentingan untuk memperluas kekuasaannya.
Semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam menerapkan
peraturan ini telah mendorong sebuah proses dimana penduduk saling
melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa
perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan
hukum Islam ini. Belum ada indikasi bahwa penerapan Syari’at Islam bisa
meningkatkan keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Namun, bagi
mereka yang mendukung perluasan penegakan syari’at Islam, hal itu mungkin
tidak relevan. Masalah sebenarnya adalah apakah hukum buatan manusia atau
Tuhan akan berlaku.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam mengelola
pembangunan dan keuangan daerah. Konsekuensi dari kewenangan otonomi
yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata dan
berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah
mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia dan potensi sumber daya keuangan secara optimal.
Secara umum, penerimaan pemerintah daerah dapat bersumber dari
pajak, retribusi dan pinjaman. Hal ini secara eksplisit diatur dalam PP Nomor
107 tahun 2000 yang memuat ketentuan yang terkait dengan kapasitas
28
keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, baik pinjaman dalam negeri maupun luar negeri, harus
mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Oleh karena itu sumber penerimaan
daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari
retribusi daerah dan pajak daerah maupun bagi hasil bukan pajak. Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa pengelola
keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan atas keadilan dan kepatuhan.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan yang terdapat
pada APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah, pembangunan dan pelayanan sosial.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah
dan menciptakan pemerintah daerah yang baik dan dapat melaksanakan tugas
otonominya adalah faktor keuangan yang baik. Keuangan yang dimaksudkan
adalah bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain
sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan
yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Keberhasilan
penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya
kemampuan daerah dalam bidang keuangan, karena kemampuan keuangan ini
merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu
daerah. Sangatlah mustahil bagi pemerintah daerah untuk dapat menjalankan
berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien tanpa tersedianya
dana untuk itu. Masyarakat selaku stake holder keuangan pemerintah daerah
dapat memantau aliran dan yang ada dipemerintahan sehingga KKN dapat
dihilangkan.
Sejalan dengan tuntutan yang semakin besar terhadap akuntabilitas
publik, maka manajemen pemerintahan daerah harus memberikan informasi
kepada publik mengenai pengelolaan keuangan daerah, yang diwujudkan
29
dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut meliputi:
Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas
Laporan Keuangan. Dalam rangka memperkuat akuntabilitas pengelolaan
anggaran dan perbenda-haraan, setiap pejabat yang menyajikan Laporan
Keuangan diharuskan memberi pernyataan tanggung jawab atas Laporan
Keuangan yang bersangkutan.
Upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah yang memenuhi prinsip
tepat waktu dan dapat diandalkan (reliable) serta disusun dengan mengikuti
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang diterima secara umum. Laporan
keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan,
belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan,
menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas
pelaporan, serta membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah Aceh sebagai salah satu propinsi yang memperoleh
keistimewaan dari pemerintah pusat dalam hal otonomi, hal ini ditandai
dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan keistimewaan propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-
undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-
undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dengan memperoleh
status otonomi khusus, Pemerintah Aceh beserta kabupaten/kota yang berada
didalamnya memperoleh hak-hak khusus yang tidak diperoleh oleh daerah
lain. Salah satunya adalah hak untuk mengatur dan mengelola keuangan
daerah sepenuhnya dengan alokasi dana yang besar serta pembagian porsi
kekayaan daerah yang lebih besar dimiliki oleh daerah dibandingkan
pemerintah pusat. Sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 11 tahun
2006 dinyatakan bahwa Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan
memperoleh Dana Alokasi Khusus (DAK) sebanyak 2% dari seluruh DAK
30
nasional. Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan memperoleh dana-dana
lainnya seperti dana migas, dana otonomi khusus, dan lain-lain. Hal ini
mengakibatkan perubahan yang besar bagi daerah kabupaten/kota yang
berada dalam wilayah Pemerintah Aceh, terutama perubahan pada keuangan
daerah.
Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu daerah tertua di Aceh,
merupakan daerah pertama kali datangnya Islam di Indonesia yang dahulunya
bernama Samudera Pasai. Pada tahun 1989 sampai dengan 1998 Aceh Utara
merupakan salah satu daerah basis terbesar dari Gerakan Aceh Meredeka (GAM)
sehingga pemerintah pusat mengambil keputusan untuk memberlakukan Darurat
Militer. Hal ini mengakibatkan kondisi perekonomian masyarakat menjadi
hancur. Namun sejak adanya perjanjian damai antara pemerintah Pusat dengan
GAM (MoU Helsinski), membuat daerah ini kembali bangkit menata kembali
keterpurukan perekonomiannya. Adanya Undang-undang Nomor 11 tahun
2006 semakin membantu Kabupaten Aceh Utara dalam ketertinggalannya
dalam bidang ekonomi, masyarakat dapat merasakan kembali pertumbuhan
ekonomi yang pesat didaerah tersebut.
Sejak diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Aceh,
perubahan paling terlihat yaitu dibidang keuangan. Dengan adanya otonomi
khusus maka daerah memperoleh banyak tambahan dana. Diharapkan dengan
dana yang diperoleh tersebut maka kesejahteraan rakyat di Pemerintah Aceh
khususnya pada Kabupaten Aceh Utara dapat naik atau menjadi lebih baik
dari sebelumnya, karena otonomi khusus diterapkan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat serta kinerja pemerintah daerah menjadi
lebih baik dari sebelumnya.
J. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat
diambil beberapa kesimpulan diantaranya yaitu:
31
1. Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat
terhadap daerah dalam rangka mengurus rumah tangganya sehingga disini
otonomi daerah merupakan perwujudan menuju terciptanya demokrasi di
Indonesia. Melihat dari tatanan politik hukum yang berlaku di Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga akhir era orde baru dapat ditekankan
bahwa tujuan utama otonomi daerah adalah terciptanya system
desentralisasi yang kuat dengan berpegang pada kebijakan daerah dalam
mengurus daerahnya. Namun, kebijakan pemerintah pusat dengan
menerbitkan berbagai undang-undang tentang pemerintahan daerah yang
bersifat sentralistik, hingga mengakibatkan kepentingan daerah terabaikan.
Hingga lahirnya era orde baru yang telah mengubah seluruh aspek politik
hukum, khususnya bidang pemerintahan daerah yang telah menekankan
pada asas desentralisasi.
2. Pasca lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dengan mengedepankan asas desentralisasi, telah mengubah paradigma
segala kebijakan bersifat terpusat (sentralisasi). Selain itu, dengan lahirnya
status otonomi khusus bagi daerah Aceh, juga telah mengikis beberapa
kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah
pusat hanya berwenang penuh pada beberapa hal yaitu pertahanan dan
keamanan, agama, fiscal, pendidikan, dan Politik luar negeri. Selain dari
kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah.
3. Pelaksanaan undang-undang otonomi khusus bagi daerah Aceh dengan
lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 mengindikasikan bahwa pelaksanaan
otonomi sepenuhnya dipegang oleh daerah. Segala hal yang menjadi
urusan pemerintahan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut.
Dengan adanya status otonomi khusus, menjadikan Aceh mendapatkan
dana yang dialokasikan dari APBN guna menunjang pembangunan daerah.
Namun yang menjadi kendala dari pelaksanaan otonomi khusus di Aceh
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 salah satunya adalah masih belum
adanya aturan pelaksana (baik PP, Perpres) yang dapat dijadikan acuan
khusus menjalankan kewenangan yang telah diatur dalam UU No. 11
32
Tahun 2006, sehingga pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah
Aceh menjadi terhambat.
K. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas maka dapat
diambil beberapa saran yang menjadi solusi hukum atas permasalahan yang
dikaji:
1. Disarankan kepada pemerintah dalam hal menentukan kebijakan membuat
undang-undang pemerintah daerah selanjutnya agar lebih memperhatikan
segala aspek yang menjadi urusan pemerintahan daerah dan sifat dari
regulasi tersebut haruslah desentralisasi mutlak.
2. Disarankan kepada pemerintah dalam hal kewenangan yang seharusnya
menjadi kewenangan pemerintah daerah dapat diberikan kepada
pemerintah daerah dengan asas medebwind, sehingga prioritas
pembangunan daerah dapat terlaksana dengan baik.
3. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan perhatian khusus
terhadap daerah yang berstatus otonomi khsusus seperti Aceh, dan
diharapkan segala aturan pelaksana yang menjadi kendala selama ini bagi
Aceh dalam melaksanakan kewenangan Aceh dapat direalisasikan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ateng Syafrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung,1985
Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. PSH FH-UII.
Yogyakarta, 2001
Koesoemahatmadja, DRH, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1979
33
Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta, 2007
Kaho, Josef, Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI,.
Rajawali Press. Jakarta: 1991
Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Jilid I, Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
B. Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945
UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah
Istimewa Aceh
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
C. Jurnal dan Makalah
Solly Lubis, Masalah-Masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003
Ross Clarke dkk, Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari
Perspektif Keadilan Transisi, International Center for
Transitional Justice (ICTJ) - Indonesia, Jakarta, 2008
D. Media
Anonimous, “UU Pemerintahan Aceh Rentan Mandek”, Kompas, 3 Oktober
2005