10
Sumber : http://hendra-umar-penghulu.blogspot.com/2013/01/histori- pemberlakuan-hukum-islam-di_1753.html Pemberlakuan Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam Periode ini bermula sejak munculnya Kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M (Kerajaan Samudra Pasai di Aceh) sampai kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M. Ada banyak kerajaan Islam di Nusantara, seperti:[2] 1. Aceh, seperti Kesultanan Samudra Pasai (abad ke-13 s.d. ke-16 M.), Kerajaan Perlak (didirikan sekitar abad ke-9 M. dengan nama Kerajaan Lamuri dan menjadi kerajaan Islam sekitar abad ke-13 M.), Kesultanan Aceh Darussalam (tahun 1511 s.d. 1903 M.), dan sebagainya. 2. Sumatera, seperti Kesultanan Malaka yang berpusat di Malaka (Malaysia) namun mewilayahi sebagian perairan dan daratan yang sekarang ini masuk wilayah Indonesia (abad ke-14 s.d. ke-17 M.), Kerajaan Deli yang berada di bagian timur pulau Sumatera (didirikan tahun 1630 M. dan berubah menjadi Kesultanan Islam tahun 1814 M.), Kesultanan Jambi (1690-1901 M.), Kesultanan Minangkabau (abad ke-13 s.d. 17 M.), Kesultanan Melayu Riau, Kesultanan Lingga (didirikan tahun 1824 M.), dan Kesultanan Melayu Riau. 3. Kalimantan, seperti Kesultanan Bandar (didirikan pada abad 14 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1520 M.), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, Kerajaan Pontianak (dibentuk tahun 1771 M.), dan lain-lain. 4. Sulawesi, seperti Kerajaan Gowa-Tallo (dua kerajaan kembar yang dibentuk awal abad ke-16 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1605 M.), Bone (Kerajaan taklukan Gowa-Tallo dan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Islam pada abad ke-17 M.), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Mandar, Sulawesi Barat (Majene dan Mamuju), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Tengah (Banawa, Parigi, Moutong, Sigi, Banggai, Toli-Toli, dan Buol) dan sebagainya, Kerajaan-Kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo (Gorontalo, Limboto, Atinggola, Bualemo, Bolaang Mongondow) dan lain-lain.

Politik Islam 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dicopas dari sumber internet... selamat membaca

Citation preview

Sumber : http://hendra-umar-penghulu.blogspot.com/2013/01/histori-pemberlakuan-hukum-islam-di_1753.html

Pemberlakuan Hukum Islam pada Masa Kerajaan IslamPeriode ini bermula sejak munculnya Kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-

13 M (Kerajaan Samudra Pasai di Aceh) sampai kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M.Ada banyak kerajaan Islam di Nusantara, seperti:[2]

1.        Aceh, seperti Kesultanan Samudra Pasai (abad ke-13 s.d. ke-16 M.), Kerajaan Perlak (didirikan sekitar abad ke-9 M. dengan nama Kerajaan Lamuri dan menjadi kerajaan Islam sekitar abad ke-13 M.), Kesultanan Aceh Darussalam (tahun 1511 s.d. 1903 M.), dan sebagainya.

2.        Sumatera, seperti Kesultanan Malaka yang berpusat di Malaka (Malaysia) namun mewilayahi sebagian perairan dan daratan yang sekarang ini masuk wilayah Indonesia (abad ke-14 s.d. ke-17 M.), Kerajaan Deli yang berada di bagian timur pulau Sumatera (didirikan tahun 1630 M. dan berubah menjadi Kesultanan Islam tahun 1814 M.), Kesultanan Jambi (1690-1901 M.), Kesultanan Minangkabau (abad ke-13 s.d. 17 M.), Kesultanan Melayu Riau, Kesultanan Lingga (didirikan tahun 1824 M.), dan Kesultanan Melayu Riau.

3.        Kalimantan, seperti Kesultanan Bandar (didirikan pada abad 14 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1520 M.), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, Kerajaan Pontianak (dibentuk tahun 1771 M.), dan lain-lain.

4.        Sulawesi, seperti Kerajaan Gowa-Tallo (dua kerajaan kembar yang dibentuk awal abad ke-16 M. dan menjadi Kesultanan Islam pada tahun 1605 M.), Bone (Kerajaan taklukan Gowa-Tallo dan berdiri sendiri sebagai Kerajaan Islam pada abad ke-17 M.), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Mandar, Sulawesi Barat (Majene dan Mamuju), kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Tengah (Banawa, Parigi, Moutong, Sigi, Banggai, Toli-Toli, dan Buol) dan sebagainya, Kerajaan-Kerajaan Islam di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo (Gorontalo, Limboto, Atinggola, Bualemo, Bolaang Mongondow) dan lain-lain.

5.        Jawa, seperti Kesultanan Demak (1500-1550 M.), Kesultanan Pajang (1568- 1618 M.), Kesultanan Mataram Islam (1586-1755 M.), Kesultanan Cirebon (berdiri sekitar abad ke-16 M.), Kesultanan Banten (berdiri sekitar abad 16), dan sebagainya.f. Maluku, seperti Kesultanan Ternate (1257 – 1583 M.), Kesultanan Tidore (1110 – 1947 M.) Kesultanan Jailolo, Kesultanan Bacan, Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682 M.).

6.        Nusa Tenggara, seperti Bima (berdiri sekitar abad ke-17 M.), Manggarai dan lain-lain.Karakteristik keberlakukan hukum Islam pada era zaman kerajaan tersebut, antara lain :

1.        Agama Islam dijadikan agama negara sejak rajanya masuk Islam (seperti kerajaan Gowa Tallo, Bone dan lain-lain) maupun didirikannya kerajaan tersebut bersendikan Islam (seperti Samudera Pasai, Demak dan sebagainya).

2.        Hukum Islam diberlakukan secara positif sebagai hukum kerajaan, sekali pun pada beberapa Kerajaan dan Kesultanan Nusantara ada yang melaksanakan dengan tidak ketat. A.C. Milner mengatakan bahwa Kerajaan Aceh dan Kesultanan Banten yang melaksanakannya secara ketat, baik dalam masalah perdata dan pidana.[3] Kerajaan Mataram Islam di Jawa dipandang paling longgar dalam melaksanakan hukum Islam, khususnya dalam masalah hukum pidana dan hukum yang berkenaan dengan raja yang masih mengikuti tradisi pra-Islam. Namun dalam masalah hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk dilaksanakan secara merata di seluruh kerajaan

dan kesultanan Islam di Nusantara. Perbedaan pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara hanya terlihat dalam konteks pelaksanaan hukum pidana. Pada kerajaan atau kesultanan tertentu, hukum-hukum pidana ada yang masih mengikuti hukum adat atau hukum adat dipadukan dengan hukum Islam, terutama kasus-kasus yang tidak secara jelas diatur oleh hukum Islam.[4]

3.        Telah dibentuk lembaga peradilan Islam yang menjalankan hukum Islam, baik perdata maupun pidana, misalnya, Wizar Al-hukkām yang dipimpin oleh Wazir al-Hukkām di Kerajaan Perlak,[5] Mahkamah Agama yang dipimpin oleh Qadi di Kerajaan Samudra Pasai,[6] Balai Majlis Mahkamah yang dipimpin oleh Sri Panglima Wazir Mizan serta Balai Kadhi Malikul Adil pada Kesultanan Aceh Darussalam,[7] Pengadilan Pradata yang berubah menjadi Pengadilan Surambi di Kerajaan Mataram Islam,[8] dan sebagainya.

4.        Telah dilakukan kodifikasi hukum Islam yang diundang-undangkan oleh negara. Kesultanan Malaka memiliki kodifikasi hukum Risalah Hukum Kanun yang disusun pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446-1456) yang memuat tentang banyak hal untuk mengatur kehidupan masyarakat. Risalah Hukum Kanun dari Kesultanan Malaka ini diduga secara luas diduga diterapkan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan Islam Melayu karena beberapa salinannya ditemukan di Riau, Pahang, Pontianak, dan Brunai; Kesultanan Aceh Darussalam memiliki kodifikasi hukum Islam yang dinamakan Kitab Adat Mahkota Alam yang diduga disusun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636); Kerajaan Mataram Islam memiliki Hukum Kisas yang disusun pada masa Sultan Agung; Kesultanan Cirebon memiliki undang-undang yang disebut pepakem; sedangkan Kesultanan Banten sebagaimana laporan seorang pengamat Belanda memiliki kitab hukum Islam sendiri yang diundangkan oleh Kesultanan Banten yang tidak diketahui nama kitab tersebut.[9]

C. Eksistensi Hukum Islam Era Kolonial BelandaPeriode keberlakuan hukum Islam di Indonesia pada zaman kolonial Belanda di

Nusantara dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M, khususnya keberhasilan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Persekutuan Dagang Hindia Timur) Belanda yang praktis menduduki Malaka sampai tahun 1943 ketika Pemerintah Kolonial Belanda takluk dan menyerahkan daerah jajahannya di Indonesia pada bangsa Jepang.

Pada masa Belanda, keberlakuan hukum Islam mengalami dua fase, yaitu :1. Pemberlakuan Hukum Islam secara Penuh sebagai Hukum Materiil Peradilan Ketika bangsa Belanda datang menjajah Nusantara, mereka melihat bahwa hukum Islam

telah menjadi hukum yang hidup (living law) pada rakyat Indonesia dan telah dipraktekkan bertahun-tahun, bahkan telah menjadi ”adat yang diadatkan.”Seorang ahli hukum Belanda, yaitu Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927) meneliti keberadaan hukum Islam di Nusantara antara tahun 1870 s.d. 1887, kemudian mengemukakan teori receptie in complexu. Teori receptie in complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Van den Berg melihat umat Islam Indonesia sejak masa dahulu telah menerima hukum Islam dan menjadi hukum yang hidup (living law) pada masyarakat adat dan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia. Namun adat-istiadat yang telah lama hidup dalam masyarakat tetap pula dipertahankan bersama dengan hukum Islam, bahkan dalam beberapa hal disinkretisasi dan diakulturalisasi dengan ajaran Islam, sehingga dalam pelaksanaan hukum Islam terdapat penyimpangan-penyimpangan, misalnya

hukum adat warisan yang bersifat matrilineal di Minangkabau, tradisi kejawen pada suku Jawa, dan sebagainya.[10]

Teori receptie in complexu sebenarnya menurut penulis bukan dilatarbelakangi oleh keinginan orientalis dan pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi dan mengembangkan hukum Islam. Paradigma orientalisme yang berkembang pada abad ke-18 M. s.d. sampai memasuki abad 19 M. masih cenderung mengobjektivikasi Islam sebagai ajaran yang dikonstruk oleh Rasulullah saw, sehingga Islam disebut sebagai Mohammadanische (ajaran Muhammad saw.), sehingga lebih berorientasi pejoratif. Hukum Islam juga bagi banyak orientalis yang hidup pada kurun abad tersebut masih dipandang sebagai hukum yang dikonstruk oleh ajaran Rasulullah saw. pribadi, bukan hukum Tuhan.[11]

Meski pun teori receptie in complexu bukan didasarkan pada keinginan melindungi dan mengembangkan hukum Islam, tetapi teori ini telah memberikan konstribusi bagi eksisnya hukum Islam dalam administrasi hukum dan peradilan era kolonial Belanda.Teori receptio in complexu ini sesuai dengan Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di Negeri Belanda jo. S.1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal 78 jo, Pasal 109 RR disebutkan: 

Pasal 75 ayat (3) R.R tersebut mengatur: “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam

oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka.Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75 R.R. disebutkan: “Undang-undang agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka. Menurut Pasal 109 R.R. ditentukan pula: “Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama. Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan: “Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionarie yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapakan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu.[12]

Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk pengadilan agama dimana berdiri pengadilan negeri dengan Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi terbentuknya pengadilan tinggi agama (Mahkamah Syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama tinggi banding dan terakhir berdasarkan Pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610 serta tahun 1937 dengan Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk tingkat banding dan terakhir.[13] Pengadilan Agama juga dibentuk di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua Barat yang disebut Majelis Syara’ atau Hakim Syara’, sedangkan di Sumatera disebut Mahkamah Syari’ah.[14]

Pemerintah kolonial Belanda malah memfasilitasi kodifikasi hukum Islam yang nantinya akan dijadikan panduan oleh hakim-hakim Landraad dalam menjalankan kekuasaan judikatifnya terhadap umat Islam di Nusantara, antara lain :

1.        Compendium Freijer yang merupakan kodifikasi hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dibuat oleh Pengadilan VOC , kemudian dilegislasi melalui Resolutie der Indische Regering pada tanggal 25 Mei 1760.

2.        Cirsbonscg Rechboek yang dibuat atas usul Residen Cirebon, yaitu Mr. P.C. Hosselaar (1757-1765).

3.        Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig gettrokken uit her Mohammadaansche Wetboek Mogharrer yang dibuat pada tahun 1750 untuk Landraad Semarang.

4.        Compendium Indlansche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa yang disahkan oleh VOC untuk diberlakukan pada wilayah Makassar.

5.        Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i yang dibuat oleh J.E.W. Van Nes pada tahun 1850.

6.        Handboek van het Mohammadaansche Recht yang dibuat oleh A. Meurenge pada tahun 1844.[15]

2. Pemberlakuan Hukum Islam setelah Diresepsi Hukum Adat di Lembaga Peradilan Memasuki abad ke-19 M., Pemerintah Kolonial Belanda sering berhadapan dengan

perjuangan rakyat Indonesia yang dipelopori para ulama dan tokoh-tokoh Islam, setelah para raja mereka dikalahkan oleh Belanda.[16] Di sisi lain, Pemerintah Kolonial Belanda khawatir terhadap pengaruh Pan-Islamisme dan pembaharuan Islam pada awal abad ke-19 M. yang dikhawatirkan membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa terjajah yang beragama Islam terhadap bangsa Eropa.[17]

Di dalam negeri Belanda sendiri muncul gerakan politik etis yang menuntut kebijakan lebih etis dan moral terhadap rakyat jajahan. Dengan munculnya gerakan ini, hubungan dengan daerah jajahan tidak lagi seperti negara penjajah dan dijajah, tetapi hendak dikembangkan menjadi semacam aliansi atau federasi dalam ketatanegaraan. Timbullah ide Kerajaan Nederland Raya yang hendak mendudukkan daerah jajahan secara lebih baik dari masa-masa sebelumnya yang tentu mempersyaratkan adanya kedekatan hubungan Belanda dengan rakyat Indonesia.[18]

Pemerintah Belanda pada tahun 1898 mengangkat seorang Orientalis asal Belanda yang ahli dalam hukum Islam dan hukum adat, yaitu; Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Snouck sebagaimana umumnya dari kalangan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu memiliki kekhawatiran yang sama tentang pengaruh Pan-Islamisme. Ia melihat bahwa sikap Pemerintah Hindia Belanda sebagaimana dituangkan dalam Stbl. 1882 No. 152 yang dilandasi teori receptie in complexu bersumber dari ketidakmengertian terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya umat Islam. Menurutnya bahwa sikap pemerintah Hindia Belanda selama ini lebih banyak merugikan pemerintah Hindia Belanda. Snouck dengan kapasitasnya sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda kemudian mengemukakan saran berbagai kebijakan dalam mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi lebih dekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan “Islam Policy”, yaitu:[19]\

1)    Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya (agama dalam arti sempit), pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.

2)    Dalam lapangan kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jalan yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.

3) Dalam lapangan ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan Pan-Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.

Dalam rangka mewujudkan penerapan Islam Policy di bidang hukum, maka Snouck mengemukakan teori receptie, kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar Brn. Teori ini menegaskan bahwa bahwa bagi rakyat pribumi di Indonesia pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam diberlakukan apabila norma hukum Islam apabila di masyarakat telah diterima sebagai hukum adat. Teori ini muncul dilegitimasi dengan penelitian Snouck terhadap hukum adat Aceh dan Gayo dalam karya ilmiahnya De Atjehers dan De Gajoland.[20] Van Vollenhoven kemudian mengembangkan teori receptie dengan membagi wilayah Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat,[21] sehingga seakan-akan dikesankan bahwa hukum adat terpisah dengan hukum agama dalam masyarakat Indonesia. Realisasi teori receptie ini yaitu terjadinya perubahan secara sistematis Regeerings Reglement Stbl. 1855 No. 2 menjadi Wet Op De Staats Inrichting Van Nederlands Indie Atau Indische Staats Regeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221. Pasal 134 (2) IS tahun 1929 menegaskan :  Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi.[22]

Hukum Islam sebagai salah satu basis kesadaran keberagamaan hendak ditanggalkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang beragama Islam dengan memunculkan hukum adat sebagai tandingannya. Di sisi lain, pemunculan hukum adat diharapkan dapat mendekatkan pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum adat di Nusantara untuk mewujudkan taktik devide et empera (politik pecah belah).  Pemerintah Hindia Belanda secara sistematis kemudian melumpuhkan dan menghambat pengembangan hukum Islam di Indonesia dengan berbagai cara, yaitu:[23]

1) Dalam lapangan hukum pidana Islam (fiqh al-jināyah) dikeluarkan sama sekali dari tata hukum dan digantikan dengan hukum pidana Belanda atau Wetbock van Stafrect yang diberlakukan sejak Januari 1919 dengan Stbl. 1915 : 732.

2) Hukum tata negara Islam (fiqh al-siyāsah) dihancurkan sama sekali. Pengajian ayat al-Qur’an atau hadis yang menyangkut politik Islam atau ketatanegaraan dilarang.ah) dan hukum kewarisan Islam (fiqh al-mawāris). Hukum kewarisan Islam diupayakan agar tidak berlaku dengan cara menanggalkan kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Kalimantan Selatan mengadili masalah waris, memberikan kewenangan masalah waris kepada pengadilan umum (Landraad), serta melarang penyelesaikan perkara dengan menggunakan hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adat.[24]

3)    Mempersempit hukum keluarga yang menyangkut hukum perkawinan Islam (fiqh al-munākah D. Eksistensi Hukum Islam pada Era Pendudukan Jepang

Periode ini dimulai sejak pada tahun 1943 ketika pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut terhadap tentara Jepang sampai kemerdekaan R.I pada tanggal 17 Agustus 1945.Pemerintah Pendudukan Jepang tidak melakukan perubahan terhadap kebijakan hukum di Indonesia setelah mereka menguasai Nusantara. Hal ini disebabkan singkatnya masa pendudukan mereka terhadap Nusantara (3 ½ tahun) dan situasi Peramg Dunia II saat itu yang menjadikan Pemerintah Pendudukan Jepang lebih terfokus untuk mengarahkan segala potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia agar dapat membantu mereka memenangi Perang Dunia II. Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya (masa kolonial Belanda). Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan

Pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat perubahan nama Pengadilan Agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.[25]

Namun Pemerintah pendudukan Jepang berupaya menarik simpati umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia, sehingga memberikan peluang bagi para ulama dan tokoh-tokoh Islam untuk mengembangkan pemberlakuan kembali hukum Islam di Indonesia, antara lain:[26]

a. Upaya untuk memulihkan kewenangan Pengadilan Agama dalam masalah kewarisan dan perwakafan tetap dilakukan melalui Sanyo Kaigi (Dewan Pertimbangan) oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama Islam, meskipun mendapat penentangan dari tokoh-tokoh nasionalis sekuler. 

b. Mulai dirintis lembaga resmi pemerintah yang mengurus keberadaan umat Islam, melalui Kantoor Voor Het Islanddsche Zaken menjadi Sumubu dan diperluas kewenangannya sampai mengurus masalah kehakiman bagi orang Islam. Pada tanggal 1 April 1944 dimulai pembentukan Sumubu di setiap keresidenan. Sumubu inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal bagi lahirnya Kementerian Agama R.I. dan Kantor Urusan Agama (KUA).

E. Kesimpulan

Periode keberlakuan hukum Islam di Indonesia pada zaman kerajaan di Nusantara dimulai sejak munculnya Kerajaan Islam pertama di Nusantara pada abad ke-13 M (Kerajaan Samudra Pasai di Aceh) sampai kedatangan bangsa Eropa yang menjajah Nusantara pada permulaan abad ke-17 M.

Pada era zaman kolonial Belanda tersebut dapat dibagi pada dua fase, antara lain :a. Fase pengakuan terhadap hukum Islam dan kompetensi Peradilan Agama, khususnya sejak berhasilnya bangsa Belanda menjajah Nusantara sekitar abad ke-17 M. dan ke-18 M di bawah pengaruh teori receptie in complexu.b. Fase intervensi dan pembatasan terhadap kompetensi Peradilan Agama yang telah terjadi sejak tahun 1830 dan menguat setelah lahirnya pasal 134 IS dan Stbl. 1937 Nomor 116, 610, 638 dan 639 di bawah pengaruh teori receptie.

Periode keberlakuan hukum Islam di Indonesia pada zaman pendudukan Jepang dimulai sejak pada tahun 1943 ketika kontrol terhadap Nusantara beralih dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah pendudukan Jepang yang memerintah secara fasisme sampai kemerdekaan R.I pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai dirintis upaya untuk memberlakukan kembali hukum Islam bagi umat Islam Indonesia dengan memanfaatkan politik simpatik pemerintah pendudukan Jepang kepada umat Islam di Nusantara.