18
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 369 POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN EKONOMI PERTAHANAN MARITIME FULCRUM: A MARITIME HISTORY AND DEFENSE ECONOMY FRAMEWORK Wahyu Wardhana Pusat Studi Sumber Daya Ekonomi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia [email protected] Abstrak Lautan dan samudra merupakan sumber daya yang tak terbatas di mana lautan telah digunakan sebagai sarana transportasi, sumber makanan, pertambangan dan perdagangan laut serta medium proyeksi kekuatan suatu negara. Nilai penting laut dan samudera di era globalisasi ditandai dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan laut. Sejarah membuktikan bahwa negara yang memilih lautan untuk memajukan kepentingan, mereka menjadi kuat secara politik dan makmur secara ekonomi. Indonesia sebagai kekuatan maritim yang besar telah mendominasi pusat jalur sutera di abad ke-10 sampai abad ke-14. Gagasan poros maritim Indonesia saat ini menunjukkan upaya pemerintah untuk memperkuat kekuatan nasional dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas kemaritiman. Tulisan ini menjelaskan poros maritim dari perspektif sejarah maritim dan perspektif ekonomi pertahanan. Kerangka teoritis dari A.T Mahan, J.S. Corbett, J.R. Hill dan Ken Booth digunakan untuk memahami poros maritim dalam perspektif ekonomi pertahanan. Kedua pendekatan tersebut digunakan secara bertautan di mana sejarah maritim tidak akan membantu tanpa pedoman teoritis, sedangkan teori memerlukan catatan sejarah sebagai bukti empiris untuk menggambarkan pola yang ada sebagai kerangka awal bagi pemahaman poros maritim Indonesia. Kata kunci: ekonomi pertahanan, poros maritim, sejarah maritim. Abstract Seas and oceans are endless resources used for transportation, food sources, offshore mining and sea commerce as well as medium of state’s power projection. In the era of globalization, the importance of seas and oceans is marked with the increasing of international sea commerce traffic. Furthermore, history shows that the nations choosing oceans to advance their interest became politically strong and economically prosperous. Indonesia with a great maritime power dominated the center of ancient maritime Silk Road from 10 th to 14 th century. The idea of maritime fulcrum in the current development, therefore, shows the government efforts to strengthen Indonesia’s national power and prosperity based on maritime activities. This paper describes maritime fulcrum from the perspectives of maritime history and defense economy. Theoretical frameworks from A.T Mahan, J.S. Corbett, J.R. Hill, and Ken Booth are used to understand the maritime fulcrum in the defense economy perspective. The maritime history will not help without theoretical guidelines and theory requires historical record as empirical evidence to draw the patterns in order to conceptualize Indonesia’s maritime fulcrum. Keywords: defense economy, maritime fulcrum, maritime history Pendahuluan Lautan dan samudra merupakan sumber daya tak terbatas yang dalam sejarah umat manusia telah digunakan untuk transportasi, sumber makanan, rekreasi, pertambangan lepas pantai dan perdagangan laut serta media proyeksi kekuatan suatu negara. Laut dan samudera di abad ke-21 di era globalisasi semakin penting ditandai dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan laut internasional yang didasarkan kepada gagasan keunggulan mutlak (absolute advantage) dari Adam Smith dan keunggulan komparatif (comparative advantage) dari David Ricardo. Perdagangan internasional melalui laut saat ini menjadi semakin penting dengan integrasi pasar dan kerja sama antarbangsa yang memungkinkan individu, perusahaan dan negara untuk menjangkau pasar di seluruh penjuru dunia dengan lebih cepat dan lebih murah (Friedman, 1999).

POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 369

POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN EKONOMI PERTAHANAN

MARITIME FULCRUM: A MARITIME HISTORY AND DEFENSE

ECONOMY FRAMEWORK

Wahyu Wardhana Pusat Studi Sumber Daya Ekonomi Pertahanan – Universitas Pertahanan Indonesia

[email protected]

Abstrak

Lautan dan samudra merupakan sumber daya yang tak terbatas di mana lautan telah digunakan sebagai sarana

transportasi, sumber makanan, pertambangan dan perdagangan laut serta medium proyeksi kekuatan suatu negara.

Nilai penting laut dan samudera di era globalisasi ditandai dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan laut.

Sejarah membuktikan bahwa negara yang memilih lautan untuk memajukan kepentingan, mereka menjadi kuat

secara politik dan makmur secara ekonomi. Indonesia sebagai kekuatan maritim yang besar telah mendominasi pusat

jalur sutera di abad ke-10 sampai abad ke-14. Gagasan poros maritim Indonesia saat ini menunjukkan upaya

pemerintah untuk memperkuat kekuatan nasional dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan kegiatan yang

berkaitan dengan aktivitas kemaritiman. Tulisan ini menjelaskan poros maritim dari perspektif sejarah maritim dan

perspektif ekonomi pertahanan. Kerangka teoritis dari A.T Mahan, J.S. Corbett, J.R. Hill dan Ken Booth digunakan

untuk memahami poros maritim dalam perspektif ekonomi pertahanan. Kedua pendekatan tersebut digunakan secara

bertautan di mana sejarah maritim tidak akan membantu tanpa pedoman teoritis, sedangkan teori memerlukan

catatan sejarah sebagai bukti empiris untuk menggambarkan pola yang ada sebagai kerangka awal bagi pemahaman

poros maritim Indonesia.

Kata kunci: ekonomi pertahanan, poros maritim, sejarah maritim.

Abstract

Seas and oceans are endless resources used for transportation, food sources, offshore mining and sea commerce as

well as medium of state’s power projection. In the era of globalization, the importance of seas and oceans is marked

with the increasing of international sea commerce traffic. Furthermore, history shows that the nations choosing

oceans to advance their interest became politically strong and economically prosperous. Indonesia with a great

maritime power dominated the center of ancient maritime Silk Road from 10th to 14th century. The idea of maritime

fulcrum in the current development, therefore, shows the government efforts to strengthen Indonesia’s national

power and prosperity based on maritime activities. This paper describes maritime fulcrum from the perspectives of

maritime history and defense economy. Theoretical frameworks from A.T Mahan, J.S. Corbett, J.R. Hill, and Ken

Booth are used to understand the maritime fulcrum in the defense economy perspective. The maritime history will

not help without theoretical guidelines and theory requires historical record as empirical evidence to draw the

patterns in order to conceptualize Indonesia’s maritime fulcrum.

Keywords: defense economy, maritime fulcrum, maritime history

Pendahuluan

Lautan dan samudra merupakan sumber

daya tak terbatas yang dalam sejarah umat

manusia telah digunakan untuk transportasi,

sumber makanan, rekreasi, pertambangan lepas

pantai dan perdagangan laut serta media proyeksi

kekuatan suatu negara. Laut dan samudera di abad

ke-21 di era globalisasi semakin penting ditandai

dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan laut

internasional yang didasarkan kepada gagasan

keunggulan mutlak (absolute advantage) dari

Adam Smith dan keunggulan komparatif

(comparative advantage) dari David Ricardo.

Perdagangan internasional melalui laut saat ini

menjadi semakin penting dengan integrasi pasar

dan kerja sama antarbangsa yang memungkinkan

individu, perusahaan dan negara untuk

menjangkau pasar di seluruh penjuru dunia dengan

lebih cepat dan lebih murah (Friedman, 1999).

Page 2: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

370 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Ide tersebut telah dibuktikan oleh sejarah

dan telah dijelaskan pula oleh Mahan, Corbett, dan

pemikir kekuatan maritim lainnya bahwa suatu

negara yang memilih domain maritim untuk

memajukan kepentingan mereka menjadi kuat

secara politik dan makmur secara ekonomi (Held,

McGrew, Goldblatt, & Perraton, 1999). Ide ini

juga telah dibuktikan ketika di masa lampau

Indonesia merupakan sebuah kekuatan maritim

yang besar, yang mendominasi pusat jalur

perdagangan Maritim Silk Road di abad ke-10

sampai abad ke-14. Berdasarkan sejarah maritim

Indonesia tersebut, Indonesia di bawah

pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki

sebuah ide mengenai poros maritim sebagai upaya

untuk memperkuat kekuatan nasional dan

kemakmuran Indonesia berdasarkan aktivitas

maritim. Indonesia sebagai negara kepulauan saat

ini berupaya mencapai kembali cita-citanya untuk

menjadi negara maritim seperti di zaman Sriwijaya

dan Majapahit yang mampu memproyeksikan

pengaruhnya sampai ke pantai timur Afrika dan

Pasifik Selatan. Ide poros maratim tersebut juga

menekankan peran Indonesia yang lebih besar

dalam menghubungkan Samudera Pasifik dan

Samudera Hindia. Hal tersebut mempertimbangkan

dinamika ekonomi di kawasan ini yang menjadi

jalur bagi 70 persen lalu lintas perdagangan dunia

dan 45 persen di antaranya melewati perairan

Indonesia (Djumala, 2015).

Selama ini perhatian pemerintah di dalam

penjagaan dan pengelolaan domain maritim dirasa

masih kurang, khususnya berkaitan dengan

keamanan jalur perdagangan dan jalur pelayaran.

Kendati telah terdapat pemikiran mengenai

Pendulum Nusantara yang menghubungkan

pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dalam

suatu koridor ataupun program Masterplan

Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia (MP3EI) yang ditujukan untuk

memeratakan pembangunan ekonomi ke kawasan

timur Indonesia termasuk di dalamnya adalah

sektor kelautan tampaknya visi poros maritim ini

dapat menjadi harapan bagi pembangunan

ekonomi Indonesia yang lebih maju dan lebih

berkeadilan.

Visi Indonesia sebagai sebuah poros

maritim ini disampaikan secara internasional oleh

Presiden Joko Widodo dalam KTT Asia Timur

(East Asia Summit) ke-9 pada November 2014 di

Myanmar. Sejak disampaikan pada tahun 2014,

visi poros maritim dipercaya telah meningkatkan

investasi asing langsung (Foreign Direct

Investment) ke Indonesia sebesar 19 persen dari

tahun 2014 sampai dengan 2015 (Dinarto, 2016).

Hal ini mungkin terjadi karena beberapa sarana

untuk merealisasikan ide poros maritim Indonesia

ini adalah meningkatkan konektivitas antarpulau,

meningkatkan infrastruktur pelabuhan, perbaikan

manajemen sumber daya laut Indonesia yang lebih

baik, dan memperkuat keamanan maritim

Indonesia, yang menjadi faktor menarik bagi

investor (Liow & Shekhar, 2014).

Namun demikian, beberapa ancaman

keamanan nontradisional di dalam domain maritim

di sekitar perairan Indonesia perlu diperhatikan

oleh pemerintah Indonesia dalam visi poros

maritim tersebut. Ancaman tersebut termasuk di

dalamnya adalah aktivitas Abu Sayyaf di

perbatasan wilayah antara Indonesia dengan

Malaysia dan Filipina (Dinarto, 2016). Guna

mengatasi persoalan tersebut beberapa kerja sama

keamanan maritim regional, seperti ASEAN

Maritime Forum, ASEAN-Japan Maritime Port

and Transport Security, ASEAN-US Meeting on

Anti-Piracy and Counter-Terrorism, dan kerja

sama antarkawasan seperti ASEAN-EU Experts

Meeting on Maritime Security, merupakan cara

yang penting untuk memperkuat visi Indonesia

menjadi poros maritim dunia (Dinarto, 2016).

Dalam menangani masalah keamanan

maritim tersebut, bersamaan dengan memperkuat

kerja sama keamanan maritim, pemerintahan

Presiden Joko widodo juga berfokus kepada upaya

memperkuat diplomasi dan membangun angkatan

laut Indonesia dalam hal ini adalah TNI AL untuk

menjadi pemain kunci yang dihormati di kawasan

Indo-Pasifik (Liow & Shekhar, 2014). Visi

presiden ini mengarahkan pembangunan angkatan

laut agar mampu menjadi pemain kunci dan

mampu mengembangkan upaya pengamanan di

perairan teritorial dan melindungi hak-hak

Indonesia dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut

(UN Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).

Namun demikian, kondisi geografis Indonesia

yang didominasi oleh perairan yang begitu luas

dengan ribuan pulau kecil belum diikuti dengan

kapasitas TNI AL yang memadai untuk

mengamankan dan memproyeksikan armadanya

Page 3: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 371

ke seluruh wilayah Indonesia (Quirk & Bradford,

2015). Dengan tantangan yang ada tersebut,

pemerintahan Presiden Joko Widodo bermaksud

memperluas pembangunan angkatan laut

Indonesia dengan komitmen peran yang lebih

besar bagi industri pertahanan dalam negeri dan

mengintensifkan kerja sama industri pertahanan

(Quirk & Bradford, 2015). Akan tetapi, sebagian

besar industri pertahanan Indonesia di sektor

kelautan masih kekurangan dana dan dengan

teknologi produksi yang telah usang, serta hampir

70 persen komponennya diimpor dari produsen

luar negeri (Tejo, 2014). Akibatnya, visi

pembangunan angkatan laut Indonesia berbasiskan

produksi dalam negeri mengalami keterbatasan

dan produksi peralatan angkatan laut berteknologi

tinggi belum mampu dipraktikkan (Liow &

Shekhar, 2014).

Dari peluang dan tantangan di atas, tulisan

ini berupaya untuk menjelaskan poros maritim dari

perspektif sejarah maritim dan perspektif ekonomi

pertahanan. Sejarah maritim menjelaskan catatan

sejarah hubungan manusia dengan laut,

perdagangan maritim sebagai bagian dari

dinamika perdagangan, ekonomi antarkawasan,

dan tumbuhnya sebuah kekuatan maritim dan

persaingan di antara kekuatan-kekuatan tersebut

dalam konteks Indonesia abad ke-10 sampai abad

ke-14. Sementara itu, perspektif ekonomi pertahanan

menjelaskan gagasan poros maritim dan kaitannya

dengan politik kekuasaan, hubungan internasional,

perdagangan maritim, dan aspek keamanan. Oleh

karena itu tulisan ini menguraikan pemikiran

maritim berdasarkan kerangka teoritis yang

diajukan oleh A.T Mahan, J.S. Corbett, J.R. Hill,

dan Ken Booth guna memahami poros maritim

dalam perspektif ekonomi pertahanan. Kedua

pendekatan digunakan secara bersamaan karena

sejarah maritim tidak akan membantu tanpa

pedoman teoritis, sedangkan teori memerlukan

catatan sejarah sebagai bukti empiris untuk

menggambarkan pola fenomena untuk membangun

konsep poros maritim Indonesia.

Pendekatan Sejarah Maritim dalam Poros

Maritim Indonesia

Domain maritim telah menjadi bagian

sejarah bangsa Indonesia sejak masa kuno. Sejarah

maritim dari awal perdagangan maritim yaitu sejak

abad pertama sampai dengan abad ke-19 di

Indonesia menjelaskan sejarah nasional dan

sejarah negara-negara tetangga serta keterkaitan di

antara mereka dalam perdagangan melalui laut.

Sebuah narasi sejarah maritim berisi sejarah

interaksi antara masyarakat, ekonomi antardaerah,

dinamika perdagangan, politik, penyebaran agama

dan kemunculan serta persaingan antarkerajaan

(Hattendorf, 2003). Upaya ini memberikan

gambaran awal berkenaan dengan konsekuensi

potensial dan tantangan dari poros maritim

Indonesia, dan memberikan dasar rasionalisasi

pergeseran perhatian terhadap domain maritim

yang menjadi perhatian utama dalam konteks

sosial dan kebijakan nasional Indonesia.

Sejarah telah mencatat banyak wilayah

dari kepulauan Indonesia memainkan peran dalam

jaringan perdagangan lokal dan global dari awal

abad pertama masehi. Bahkan sesungguhnya pada

tahun 1700 SM cengkeh dari lima pulau kecil di

Maluku telah digunakan di wilayah yang saat ini

dikenal sebagai wilayah Suriah dan Dinasti Han di

Tiongkok (Frederick, 2011). Sekitar abad pertama,

beberapa produk dari Asia Tenggara telah

diperdagangkan dengan sejumlah wilayah di

kepulauan Indonesia seperti kerang, tembikar,

marmer, dan batu mulia lainnya. Selain itu

perdagangan di kawasan ini juga memperdagangkan

timah, tembaga, dan emas (Frederick, 2011).

Jaringan perdagangan Laut ini diperluas ke utara

sampai kedaratan Tiongkok dan ke wilayah barat,

khususnya ke India dan bahkan sampai ke pantai

timur Afrika dengan Selat Malaka sebagai pusat

jalur perdagangan tersebut (Miksic, 2003). Dalam

perdagangan laut lokal, perunggu yang diproduksi

oleh sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Pulau

Bali, telah diperdagangkan dengan beberapa

daerah di Pulau Sumatera, Madura, dan Maluku

sejak dua ribu tahun yang lalu. Masyarakat

Indonesia kuno tidak hanya mengambil bagian

sebagai produsen dan konsumen dalam perdagangan

laut ini, tetapi mereka juga berperan sebagai

pembuat kapal dan pemilik kapal, navigator kapal

serta awak kapal (Frederick, 2011).

Dari keuntungan perdagangan maritim

tersebut, sekitar tahun 50 masehi, Kerajaan Funan

tumbuh di bagian selatan wilayah Kamboja sampai

ke wilayah Thailand. Setelah Funan tumbuh dan

menjalin hubungan perdagangan dengan Tiongkok

di bawah Dinasti Han, Funan melemah karena

invasi kerajaan Khmer terlebih lagi setelah

Page 4: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

372 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

terdapat rute perdagangan langsung dari wilayah

Sriwijaya ke daratan Tiongkok (Goucher, LeGuin,

& Walton, 1998). Setelah runtuhnya Dinasti Han

dan kemudian digantikan oleh dinasti Song,

Tiongkok mulai menyadari keuntungan dari

perdagangan laut dengan kerajaan di Asia

Tenggara dan mulai meningkatkan volume

perdagangannya (Wade, 2009). Dari abad ke-10

sampai abad ke-13, Tiongkok di bawah dinasti

Song mulai mengintensifkan perdagangan laut

mereka dengan kerajaan di Asia Tenggara untuk

mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan

industri dalam negeri mereka (Wade, 2009).

Sebelumnya, perdagangan laut antara Tiongkok

dan Asia Tenggara terbatas karena pada abad ke-9

Tiongkok di bawah Dinasti Tang lebih berfokus

pada perdagangan laut dengan Korea dan Jepang

daripada wilayah Asia Tenggara dan kepulauan

Indonesia (Yamauchi, 2013).

Dinasti Song di Tiongkok mendorong

perdagangan laut dengan wilayah selatan dengan

mengirimkan misi dagang yang membawa mandat

kekaisaran (Wade, 2009). Upaya mereka

membuahkan hasil pada abad ke-11 (Heng, 2006),

ketika beberapa misi perdagangan dari Asia

Tenggara, khususnya Kepulauan Indonesia. yaitu

Sriwijaya dan misi dagang dari India serta Arab

dibayar dengan koin tembaga (Wade, 2009).

Semenjak itu, Tiongkok lebih mengintensifkan

perdagangan maritim dengan Asia Tenggara

sampai beberapa dekade. Dari perdagangan

tersebut juga terjalin hubungan khusus antara

Sriwijaya, Champa, dan Quan-zhou, khususnya

setelah Dinasti Song memindahkan pelabuhan

mereka untuk perdagangan laut internasional dari

Guang-zhou di Guangdong ke wilayah Quan-zhou

di bagian tenggara Fujian (Wade, 2009).

Sejak milenium pertama Tiongkok telah

terlibat dalam perdagangan maritim di Asia

Tenggara yang pasang surut karena bergantinya

dinasti (Anh, 1996), namun industri pembuatan

kapal pengangkut jarak jauh yang disebut “Bo”

dimiliki oleh “orang Laut Selatan” (South Sea

people) atau dikenal juga dengan sebutan

“Kunlun.” Keduanya merujuk kepada bangsa yang

mendiami wilayah IndoTiongkok dan kepulauan

Indonesia (Minh-Hà, 2012). Perkembangan

selanjutnya, antara abad ke-8 sampai dengan abad

ke-12 awak kapal pengangkut komoditas

perdagangan internasional di Asia Tenggara

berasal dari Sriwijaya, termasuk sejumlah kargo

yang diangkut menuju daratan Tiongkok (Flecker,

2007). Hal ini diperkuat dengan sejumlah teks

bangsa Eropa dari abad ke-15 yang

menggambarkan kapal yang digunakan untuk

mengarungi lautan lepas dengan ukuran besar

disebut “jong” kemungkinan dibangun di dekat

hutan jati di bagian utara Pulau Jawa atau di

bagian selatan wilayah Kalimantan (Minh-Hà,

2012).

Sungguhpun demikian, baru pada abad ke-

10 sampai abad ke-12 Nusantara menjadi kekuatan

maritim di Asia Tenggara (Miksic, 2003). Setelah

kerajaan Funan sebagai kekuatan maritim

dikalahkan oleh kerajaan Khmer sekitar 539

masehi (Gomez, 1967), pada abad ke-7 Sriwijaya

muncul sebagai kekuatan maritim baru dari

masyarakat pesisir yang melakukan perdagangan

melalui sungai dan bertindak sebagai perantara

dalam perdagangan laut internasional antara

produsen emas dan produk kehutanan di Sumatera

dengan pembeli dari Tiongkok (Wade, 2009). Dari

perdagangan internasional tersebut, selama tiga

abad berikutnya Sriwijaya berubah menjadi

kerajaan maritim terbesar pertama di Asia

Tenggara yang menguasai selat dan perairan di

sekitar Asia Tenggara sampai abad ke-12 (Wade,

2009). Beberapa pelabuhan untuk perdagangan

internasional tersebut diantaranya adalah Barus di

pantai barat dan di pantai utara Aceh (Miksic,

2003).

Pelabuhan-pelabuhan tersebut juga

digunakan untuk perdagangan dengan pedagang

Muslim dari Arab dan Persia yang mengarungi

Samudera Hindia (Wade, 2009). Selain dengan

pedagang muslim dan pedagang Tiongkok, Sriwijaya

juga telah melakukan hubungan diplomatik dan

perdagangan dengan kerajaan lain, seperti Champa

di Vietnam Selatan, Koryo di semenanjung Korea

dan kerajaan Chola di India (Wade, 2009). Di

samping dengan menjalin hubungan internasional

dengan kekuatan besar, Sriwijaya mampu

mendominasi dan menikmati monopoli perdagangan

maritim di perairan Asia Tenggara dengan

mengembangkan hubungan baik dengan daerah

pedalaman yang menghasilkan produk pertanian

untuk mendapatkan pasokan komoditas yang

memadai untuk perdagangan internasional (Goucher,

LeGuin, & Walton, 1998).

Page 5: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 373

Dengan memelihara hubungan diplomatik

dan perdagangan dengan Tiongkok dan India,

Sriwijaya menikmati monopoli kegiatan komersial

di Asia Tenggara dan memperoleh keuntungan

yang besar (Sodhy, 1983). Guna mempertahankan

monopoli perdagangan di perairan sekitar Selat

Malaka dan perairan Asia Tenggara, Sriwijaya

meluncarkan invasi ke sejumlah wilayah yang

tidak memiliki keunggulan komparatif yang

signifikan dalam perdagangan laut, sehingga tidak

akan mengganggu perdagangan internasional.

Pada tahun 682 masehi, Sriwijaya melancarkan

invasi ke Jawa sebagai manuver politik untuk

melakukan kontrol atas wilayah terdekatnya.

Upaya pertama ini diikuti oleh invasi kedua ke

Jawa di tahun 686 masehi dan beberapa daerah

lain, seperti Melayu di tahun 692 masehi dan

wilayah di sekitar Teluk Thailand pada tahun 775

masehi. Pada tahun 916 masehi, Sriwijaya telah

menguasai wilayah yang begitu luas, membentang

dari ujung utara Sumatra dan bagian Selatan

Kedah di Semenanjung Malaya sampai ke wilayah

selatan Pulau Sumatera (Heng, 2006). Meskipun

kemudian Sriwijaya mulai mengalami kemunduran

sebagai kekuatan regional setelah serangan

kerajaan Chola dari India pada tahun 1007 masehi,

Sriwijaya masih tetap menguasai Semenanjung

Melayu dan Sumatera. Dalam periode waktu yang

sama, sebuah kerajaan di Jawa berkembang dari

pemerintahan berbasis agraris menjadi sebuah

kerajaan maritim yang menggantikan Sriwijaya

(Stuart-Fox, 2003).

Ketika Sriwijaya mulai mengalami

kemunduran, di daratan Tiongkok, Dinasti Song

telah mengembalikan jaringan perdagangan

mereka ke Semenanjung Arab, Timur Tengah, dan

Afrika setelah beberapa abad mengalami gangguan

dari perompak (Roell, 2016). Pada masa tersebut

tergambarkan hubungan khusus antara Tiongkok

dengan wilayah selatan terutama dengan

Sriwijaya. Hal ini dimungkinkan karena Sriwijaya

merupakan pusat perdagangan besar bagi

Tiongkok dengan populasi penduduk Tiongkok

yang besar. Ketika Sriwijaya tidak lagi mampu

bertahan dan runtuh, para penduduk Tiongkok di

Sriwijaya memilih pemimpin mereka sendiri yang

memperoleh restu dan pengakuan dari Dinasti

Ming. Dengan tindakan ini, Tiongkok telah

mempertahankan aliran bebas perdagangan mereka

melalui Selat Melaka (Stuart-Fox, 2003).

Setelah terjadi serangan dari kerajaan

Chola ke wilayah Sriwijaya yang kedua antara

tahun 1023/1024 masehi, Majapahit telah berhasil

mengendalikan jaringan perdagangan di Asia

Tenggara dari Semenanjung Melayu ke Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau di Maluku

sejak tahun 1290-an (Goucher, LeGuin, & Walton,

1998). Dalam periode waktu yang sama,

Majapahit sebagai kerajaan maritim telah

melakukan hubungan diplomatik dan perdagangan

secara aktif dengan Ayutthaya di Thailand,

Champa di Vietnam, Kamboja, Tiongkok di

bawah Dinasti Ming, Dinasti Joseon di

semenanjung Korea, Syangka di Sri Lanka, dan

Kekaisaran Jepang di bawah Shogun Muromachi

(Cho H. , 2006). Dalam kitab Nagarakertagama

juga tercantum Temasik (Singapura) sebagai salah

satu dependensi dari kerajaan Majapahit (Miksic,

2003). Kepentingan mendasar dari kebijakan

Majapahit yang menjaga hubungan baik dengan

kerajaan tetangga adalah untuk mendapatkan

keuntungan dari perdagangan laut yang sangat

menguntungkan (Manggala, 2013). Ketika

kekuasaan dan pengaruh Majapahit menurun pada

tahun 1389, armada perdagangan Tiongkok mulai

menggantikan Majapahit mendominasi sebagian

besar kegiatan perdagangan di Asia Tenggara

(Manggala, 2013).

John N. Miksic mengidentifikasi kekuatan

maritim lain di antara dua kerajaan yang kuat di

Sumatera Selatan dan Jawa Tengah tersebut, yaitu

Banten Girang (Miksic, 2003). Kerajaan Banten

ini diperkirakan berdiri antara abad ke-13 dan

abad ke-14 sebagai sebuah pos terluar dari

kerajaan yang berpusat di Jawa Barat. Kemudian,

pada tahun 1527 Demak, sebagai kerajaan yang

paling kuat di Jawa saat itu, bersama sekutunya

menaklukkan Banten Girang dan mendirikan pusat

kekuasaan Islam di muara Sungai Banten. Setelah

runtuhnya Demak, Banten secara mandiri

bertindak sebagai penghubung antara daerah yang

memproduksi rempah-rempah dan konsumen dari

Tiongkok dan bangsa Eropa. Banten memegang

posisinya tersebut selama sekitar 150 tahun,

sampai akhhirnya ditaklukkan oleh kolonial

Belanda, yang menggeser pusat perdagangan

maritim internasional Indonesia ke pelabuhan

Batavia (Miksic, 2003).

Jaringan perdagangan maritim ini juga

berkembang di wilayah timur Indonesia

Page 6: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

374 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

(Pirazzoli-t’Serstevens, 2011). Temuan ini

diidentifikasi dari reruntuhan kapal karam di

wilayah perairan Brunei. Kapal ini diprediksi

tenggelam pada akhir abad ke-15 ketika

mengangkut barang dari Tiongkok, Vietnam, dan

Thailand menuju ke Kepulauan Filipina dan

Maluku (Minh-Hà, 2012). Tenggelamnya kapal ini

diperkirakan bersamaan kurun waktunya dengan

munculnya Makassar sebagai pelabuhan internasional,

setelah jatuhnya Melaka. Makasar menjadi

pelabuhan internasional bagi pedagang Tiongkok,

Denmark, Inggris, India, dan Portugis di bawah

suatu kesatuan kerajaan Gowa dan Tallo (Andaya,

2011). Dalam hubungan diplomatik, Gowa dan

Tallo telah mempertahankan persahabatan dengan

Kesultanan Aceh, Banten, Jawa Barat, Mataram di

Jawa Timur, dan Maluku Utara, serta bangsa

Spanyol di Manila, Portugis di Goa, Mufti di

Mekah, penguasa India di Koromandel, dan

Kerajaan Inggris, Spanyol, dan Portugal. Luasnya

hubungan diplomatik ini mengingat nilai penting

dari geopolitik dan geoekonomi Gowa dan Tallo

yang menghasilkan rempah-rempah, cendana, dan

komoditas internasional lainnya sekaligus menjadi

pusat perdagangan komoditas tersebut. Nilai

penting kerajaan ini kemudian membawa Gowa

dan Tallo ke dalam konflik dengan Vereenigde

Oostindische Compagnie (VOC) di tahun 1600-an

(Andaya, 2011).

Seperti Sriwijaya dan Majapahit, Gowa

dan Tallo juga mempertahankan hubungan baik

antara perdagangan laut dan daerah pedalaman

yang menghasilkan komoditas pertanian. Dalam

kasus poros maritim Indonesia saat ini, hal ini

mengajarkan kepada kita bahwa reorientasi

kebijakan Indonesia ke domain maritim tidak bisa

mengesampingkan nilai penting dari daerah

pedalaman dan daerah pertanian yang menghasilkan

komoditas bagi perdagangan domestik dan

internasional. Intensifikasi pertanian dan peningkatan

produktivitas pertanian akan memperkuat ketahanan

ekonomi nasional dan kesejahteraan nasional

dengan menyediakan pasokan untuk populasi

domestik dan pasokan untuk perdagangan internasional

sebagai suatu keunggulan komparatif bagi

Indonesia.

Sejarah panjang Indonesia dalam domain

maritim, khususnya dalam perdagangan internasional

seperti yang telah digambarkan di atas didukung

pula oleh industri konstruksi kapal yang berlanjut

sampai hari ini. Industri galangan kapal ini

biasanya dihubungkan dengan kelompok orang

tertentu, seperti Bugis di Sulawesi Selatan, orang

Madura di utara pulau Jawa Timur, orang Bajau di

Sulawesi dan Kalimantan dan Orang Mandar di

Sulawesi (Minh-Hà, 2012). Dari industri kapal

tersebut, beberapa sejarawan memiliki hipotesis

bahwa terdapat hubungan maritim antara Asia

Tenggara dengan Polinesia berdasarkan kesamaan

dalam kebudayaan dan konstruksi kapal seperti

kapal Maluku yang disebut kora-kora yang serupa

dengan kapal-kapal yang digunakan di Polinesia

(Andaya, 2011).

Setelah masa keemasan kerajaan maritim

di wilayah Indonesia, kedatangan negara-negara

Eropa ke Asia Tenggara menciptakan peluang

ekonomi baru dan tantangan baru. Bangsa Eropa

mendirikan kota pelabuhan mereka sendiri seperti

Portugis di Melaka, Spanyol di Manila, dan

Belanda di Batavia sekitar abad ke-17. Kota

pelabuhan ini bertindak sebagai suatu pusat

perdagangan dan ekspansi kolonial negara-negara

Eropa di Asia Tenggara serta mengontrol

perdagangan di wilayah Asia Tenggara dan Asia

Timur (Frederick, 2011). Kondisi ini berarti

globalisasi telah terjadi di waktu itu dan Asia

Tenggara yang membawa kemakmuran dan

kekayaan yang begitu besar bagi negara-negara

Eropa tersebut. Oleh karena itu, ide poros maritim

Indonesia dapat dipandang sebagai upaya membangun

kembali warisan maritim bangsa Indonesia di era

globalisasi abad ke-21.

Pada saat berakhirnya kolonialisme negara

Barat di Asia Tenggara dan khususnya Indonesia,

Sutan Takdir Alisyahbana mengusulkan istilah

geografis untuk kepulauan Indonesia sebagai

Bumantara yang secara harfiah berarti wilayah di

antara (Alisyahbana, 1987). Istilah ini digunakan

untuk menggambarkan posisi Indonesia yang

terletak di pusat perdagangan maritim internasional

antara kekuatan besar seperti Tiongkok di utara

dan India di barat serta berada di antara Samudera

Pasifik dan Hindia. Selama berabad-abad, wilayah

ini secara politis bersatu di bawah Sriwijaya dan

Majapahit, dan sekarang dalam kerangka komunitas

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Dellios dan Ferguson berpendapat wilayah

Sriwijaya mungkin kongruen dengan regionalisme

ASEAN di abad ke-21 di mana Sriwijaya

digambarkan sebagai kombinasi dari negara-kota

Page 7: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 375

kecil dengan pengaruh yang luas berdasarkan

perdagangan maritim (Dellios & Ferguson, 2015).

Dari pelajaran sejarah mengenai rute

perdagangan maritim yang telah terjalin sejak

masa lalu tersebut dapat menjadi gambaran bagi

perkembangan poros maritim Indonesia saat ini.

Hal ini dapat menjadi dasar bagaimana poros

maritim Indonesia akan mengakomodasi perubahan

tatanan dunia baru, seperti bangkitnya Tiongkok

dengan proposal the New Maritime Silk Road.

Pemahaman ini menjadi penting terlebih lagi

karena visi Indonesia untuk menjadi kekuatan

maritim dapat menyebabkan kompetisi strategis

dan membelah ASEAN serta akan mempengaruhi

peran Indonesia di dalam gerakan nonblok.

Berkaca dari sejumlah kerajaan pendahulu

Indonesia sebagai suatu kekuatan maritim,

Indonesia perlu menjaga hubungan baik dengan

kekuatan besar dan memperkuat hubungan dengan

negara berkembang lainnya. Saat ini upaya tersebut

sesungguhnya dapat memperkuat sentralitas ASEAN

dan negara mitra dengan melakukan kerja sama

ekonomi dan kerja sama keamanan maritim

sebagai suatu komunitas. Sejarah maritim dan

perdagangan laut di kawasan Asia Tenggara

sebagai suatu interkoneksi antara negara-negara di

Asia dapat dihidupkan kembali dan dikembalikan

dalam konteks saat ini untuk memperkuat

Komunitas ASEAN.

Deskripsi sejarah ini juga menyediakan

ulasan mengenai rute perdagangan maritim di

sekitar perairan Indonesia dan perairan Asia

Tenggara. Berdasarkan narasi tersebut dalam

meningkatkan konektivitas maritim sebagai salah

satu pilar poros maritim Indonesia beberapa

tindakan dapat diambil untuk meningkatkan dan

mengamankan rute perdagangan ini guna

mempromosikan konektivitas domestik dan juga

pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan

perdagangan dan peningkatan daya saing Indonesia.

Hal ini diharapkan pula dapat mendukung

penerapan konektivitas regional di ASEAN seperti

yang tertulis dalam Rencana Induk Konektivitas

ASEAN (ASEAN Master Plan on Connectivity).

Dengan visi Indonesia sebagai poros maritim dan

pembangunan tol laut untuk meningkatkan

konektivitas, upaya ini juga dapat diperluas ke

wilayah timur yang dapat memperkuat kerja sama

Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan

Pasifik untuk memperoleh kemakmuran yang

lebih besar.

Pendekatan Ekonomi Pertahanan dalam Poros

Maritim Indonesia

Ekonomi pertahanan mengedepankan tool

(alat) ekonomi untuk meninjau bidang pertahanan

dan sejumlah isu lain yang terkait di dalamnya,

termasuk politik anggaran pertahanan, pembiayaan

industri pertahanan serta dampak kebijakan

nasional dalam bidang industri terhadap sektor

pertahanan, keterkaitan terhadap lowongan pekerjaan,

kondisi ekonomi makro, ekonomi mikro, dan juga

ekonomi-politik nasional. Berdasarkan pemahaman

umum tersebut akan tergambarkan lebih jauh

bagaimana aplikasinya dalam pemikir strategi

maritim. Mahan berpendapat bahwa studi sejarah

dapat mengungkapkan bahwa penguasaan laut

telah menjadi penentu kemakmuran dan prestise

nasional suatu negara (Etzold, 1980). Meskipun

teori Mahan atau Corbett berdasarkan penguasaan

laut di sekitar Samudera Atlantik dengan adanya

satu kekuatan besar maritim terkemuka yang

mampu menciptakan stabilitas hegemonik (Keohane,

1984). Akan tetapi, ide mereka memiliki beberapa

prinsip umum yang berlaku secara global, dan ide

tersebut akan digunakan pada bagian ini dengan

modifikasi berdasarkan karakteristik dan sejarah

maritim Indonesia, seperti yang dijelaskan di atas.

Gagasan mereka mengenai perlunya keamanan di

dalam domain maritim guna menjamin kelancaran

perdagangan internasional memiliki kesamaan

dengan fenomena globalisasi ekonomi di abad ke-

21 yang dihadapi Indonesia hari ini dengan visi

poros maritimnya. Keduanya ditandai dengan

komunikasi yang lebih cepat dan perdagangan

internasional yang lebih tinggi melalui penggunaan

lautan sebagai sumber daya milik bersama yang

digunakan oleh seluruh negara di dunia (Tangredi,

2002).

Mahan mengidentifikasi enam karakteristik

yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan maritim,

yaitu: posisi geografis, bentuk fisik suatu negara,

luasnya wilayah, jumlah penduduk, karakter

masyarakatnya, dan dukungan dan kemauan

pemerintah (Mahan, 1991). Karakteristik ini telah

diperbarui untuk mengakomodasi perubahan

zaman dengan menambahkan beberapa aspek,

yaitu kekuatan ekonomi nasional, kemajuan

teknologi untuk mengembangkan basis industri,

Page 8: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

376 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

budaya politik nasional, ketergantungan pada

perdagangan maritim, dan pemerintahan yang

stabil (Tangredi, 2002).

Indonesia sendiri terletak pada posisi

geografis yang utama antara Samudera Hindia dan

Samudera Pasifik dan juga berbatasan dengan Laut

Tiongkok Selatan, yang dapat dikatakan sebagai

Laut Mediterania bagi geopolitik Indonesia.

Sebuah analogi yang sama dari logika Mahan yang

mengartikulasikan Laut Karibia sebagai Laut

Mediterania bagi Amerika Serikat (Holmes, 2014).

Posisi geografis tersebut ditambah dengan luasnya

wilayah kepulauan Indonesia dibuktikan oleh

sejarah telah berkembang lebih luas karena

didorong oleh industri dalam negeri dan

perdagangan laut internasional. Kondisi-kondisi

ini menjadi rasionalisasi bagi poros maritim

Indonesia di era perdagangan bebas dan

interdependensi ekonomi antarnegara di dunia.

Mahan memahami kekuatan maritim

sebagai suatu simbiosis antara industri dalam

negeri dan perdagangan internasional dari sebuah

negara, yang tidak dapat dipisahkan dari angkatan

laut sebagai pelindung perdagangan dan industri

tersebut (Holmes, 2014). Niatan Indonesia untuk

memodernisasi dan membangun kekuatan lautnya

untuk menjadi lebih kuat guna mengamankan

sumber daya laut dan menjamin arus bebas

perdagangan maritim merupakan tujuan penting

dari angkatan laut yang diusulkan oleh Mahan.

Sebuah negara dengan sumber alam yang kaya dan

posisi geografis yang penting untuk perdagangan

laut seperti Indonesia, namun secara politik dan

militer tidak aman akan merangsang kecemburuan

dari negara-negara yang lebih kuat untuk

melakukan intervensi guna memperoleh keuntungan

ekonomi (Holmes, 2014). Hal ini telah terbukti

dengan sejarah panjang kerajaan di Indonesia di

masa lampau, tanpa karakter pemerintahan yang

kuat dan didukung oleh kekuatan angkatan laut

serta rakyatnya, maka akan sulit untuk menolak

perambahan kekuatan asing di sekitar wilayah

perairan Indonesia. Selat dan wilayah pelabuhan

yang strategis di dekatnya dengan lalu lintas yang

padat seperti di Selat Malaka akan mengundang

kekuatan angkatan laut ekstra regional untuk

memproyeksikan kekuatan angkatan laut mereka,

atau setidaknya menempatkan armada mereka di

dekat wilayah tersebut.

Karakter masyarakat Indonesia sebagai

pelaut dan visi pemerintah untuk menjadi kekuatan

maritim juga menggarisbawahi ide Mahan. Visi

poros maritim Indonesia ini membutuhkan tenaga

kerja untuk mencapai kesiapan militer di domain

maritim seperti yang diusulkan oleh Mahan,

dengan kombinasi yang tepat dari kekuatan

militer, pasukan cadangan, dan komponen sipil

maka visi Indonesia untuk menjadi kekuatan

maritim dunia yang dihargai dapat dicapai secara

berkelanjutan. Dalam perspektif ekonomi pertahanan,

seperti yang disampaikan Mahan mengenai

karakteristik sumber daya manusia yang dapat

digunakan sebagai tenaga kerja dalam domain

maritim akan mendatangkan banyak tantangan

dalam kondisi Indonesia saat ini. Komponen

sumber daya manusia dalam poros maritim

Indonesia akan menghadapi tantangan bagaiamana

pemerintah dapat membangun kompetensi sumber

daya manusia yang mampu menghadapi ancaman

keamanan tradisional sampai dengan keamanan

nontradisional serta perubahan operasional yang

cepat (Asch, Hosek, & Warner, 2007).

Di samping enam karakteristik ini,

pemikiran Mahan juga mengakui diplomasi

maritim berdasarkan posisi geografis dan keuntungan

posisi tersebut dalam politik internasional

(Holmes, 2014). Dalam konsep hard power dan

soft power, Mahan melihat angkatan laut sebagai

alat pemaksaan dan sarana membangun reputasi

kebesaran nasional suatu negara melalui operasi

militer selain perang. Sebuah narasi sejarah

tentang Pemberontakan Boxer (Boxer Rebellion)

pada tahun 1898-1901 yang mengancam perdagangan

bebas dan mempertaruhkan kepentingan imperialisme

Barat di Tiongkok adalah contoh bagi diplomasi

angkatan laut dari pemikiran Mahan (Holmes,

2014). Dengan kekuatan angkatan laut yang relatif

kecil, aliansi kekuatan militer Barat mengirimkan

angkatan laut mereka dalam suatu koalisi untuk

melakukan intervensi terbatas, melakukan stabilisasi

di sepanjang pantai Tiongkok dan daratan sampai

ke Sungai Yangtze (Rowlands, 2012). Fakta ini

menggambarkan bahwa hubungan perdagangan

laut internasional dan konflik dipengaruhi oleh

sifat negara yang konfliktual dengan saling

ketergantungan antara politik dan ekonomi

(Polachek & Seiglie, 2007). Hal ini menjadi

rasionalisasi modernisasi angkatan laut Indonesia

dan diplomasi maritim guna menjadi kekuatan

Page 9: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 377

maritim yang dihormati di barat Pasifik dan di

Samudera Hindia.

Pendekatan diplomasi maritim dari Mahan

dapat ditemukan pada perdagangan laut di Atlantik

tanpa menggunakan kekuatan kekerasan (use of

force) untuk memperoleh keuntungan dari

redistribusi ekonomi, yang telah membawa

kekayaan dan prestise bagi bangsa barat. Akan

tetapi, kelompok Marxis berpendapat bahwa

perdagangan laut yang dilakukan oleh bangsa

barat dengan penduduk asli Amerika pada

dasarnya dengan menggunakan kekerasan

(Polachek & Seiglie, 2007). Hal ini juga dilakukan

sejumlah negara Barat yang datang dan melakukan

kolonialisasi di Asia Tenggara dari abad ke-14

sampai dekade 1940-an. Kondisi yang telah

berlangsung lama ini telah menciptakan saling

ketergantungan ekonomi asimetris yang menyebabkan

timbulnya perang guna memperjuangkan keuntungan

dan kemakmuran ekonomi yang lebih baik.

Dalam konteks gerakan nonblok diplomasi

angkatan laut yang terkandung di dalam konsep

poros maritim Indonesia, Fernando Oliveira di

dalam Art of War at Sea menawarkan argumen

yang sama dengan Mahan bahwa diplomasi

angkatan laut merupakan upaya untuk memperoleh

semangat nasional, prestise, dan mencapai cita-cita

mereka berdasarkan sejarah sendiri (Monteiro,

2015). Bagi Indonesia, keseimbangan baru

berdasarkan poros maritim dalam politik nasional

dan ketahanan ekonomi akan memperkuat semangat

nasional untuk menciptakan insentif bagi kerja

sama, khususnya dalam kerangka ASEAN Community

berdasarkan ide konektivitas maritim yang telah

terjalin di sekitar Asia Tenggara semenjak era

Sriwijaya dan Majapahit, sebagai cara yang sama

dari integrasi Uni Eropa (Polachek & Seiglie,

2007).

Kendatipun, Mahan mengusulkan pembangunan

angkatan laut berpusat pada kapal yang berukuran

besar sebagai simbol kebesaran nasional dan untuk

melawan angkatan laut negara lainnya, usul ini

tampaknya tidak relevan dengan poros maritim

Indonesia dengan wilayah pesisir yang begitu luas.

Laksamana Yedidia Ya'ari dari Angkatan Laut

Israel berpendapat bahwa ketika kapal perang

yang dirancang untuk operasi laut lepas memasuki

perairan di area pesisir, maka yang akan terjadi

adalah manuver kapal perang dan daya tembaknya

akan mengecewakan dalam operasionalnya (Rubel,

2015). Dalam konteks poros maritim Indonesia,

kekuatan angkatan laut dengan kemampuan laut

terbuka dan proyeksi kekuatan untuk operasi

defensif akan menjadi penting setelah Tentara

Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)

dapat mengamankan perairan Indonesia yang

mencakup Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan

proyeksi kekuatan regional dan industri angkatan

laut domestik yang mampu menyediakan peralatan

yang memadai bagi TNI AL. Walaupun produksi

sistem senjata domestik untuk menjaga integritas

maritim adalah masalah politik, spesifikasi

teknologi dan kuantitas produksi merupakan

masalah ekonomi. Seperti yang disampaikan

Mahan bahwa visi pemerintah merupakan salah

satu karakteristik penting dalam membangun dan

melestarikan kekuatan maritim suatu negara.

Pemikiran strategis Mahan telah menjadi

dasar untuk pembangunan angkatan laut yang

hampir berlaku universal, termasuk visi pemerintah

untuk menjadi kekuatan maritim besar di Asia

Timur seperti Kekaisaran Jepang dan Republik

Rakyat Tiongkok. Pada paruh pertama abad ke-20,

Kaneko Kentarō memperkenalkan Influence of Sea

Power dari Mahan kepada masyarakat Jepang

sehingga Kekaisaran Jepang dapat mendominasi

Pasifik dengan kekuatan maritimnya sampai

terjadinya Perang Pasifik (Asada, 2006). Dalam

periode waktu yang hampir sama, buku

Ogasawara Naganari berjudul On the History of

the Imperial Navy yang juga dipengaruhi oleh

Mahan menyatakan bahwa Jepang di masa lalu

telah mengembangkan kekuatan maritim sebagai

hasil dari posisi geostrategis dan karakter bangsa

yang membawa kekuatan nasional dan prestise

(Asada, 2006).

Pemikir maritim strategis Jepang lainnya

yang dipengaruhi oleh pemikiran Mahan adalah

Satō Tetsutarō. Satō mengadopsi konsep kekuatan

laut Mahan yang disesuaikan dengan realitas

geopolitik Jepang. Dalam Manifestonya yang

berjudul On Imperial National Defense dan

History of Imperial Defense, Satō menekankan

bahwa Jepang harus mengambil keuntungan dari

kondisi geografisnya yang berbentuk kepulauan

menjadi kekuatan maritim dan memperluas

pengaruhnya di Pasifik. Satō juga berpendapat

bahwa sejarah membuktikan tidak ada negara yang

menjadi kekuatan dunia tanpa melakukan ekspansi

Page 10: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

378 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

maritim (Asada, 2006). Dia juga menyatakan

bahwa Jepang perlu mengontrol perdagangan

dunia dengan membangun kekuatan maritim yang

mampu mengontrol dan mengendalikan lalu lintas

perdagangan laut. Namun demikian, visi Satō

hanya sebatas di kawasan Asia Timur dan Asia

Tenggara sebagai daerah vital untuk ekspansi

politik dan komersial Jepang. Visi Satō untuk

ekspansi maritim ini juga didasarkan kepada

catatan sejarah bahwa tidak ada negara yang

mengalami kebangkrutan dan hancur sebagai hasil

dari pengeluaran berlebihan dalam pembangunan

angkatan laut (Asada, 2006).

Setelah kekalahan Jepang di dalam Perang

Pasifik, kekuatan maritim besar lain yang saat ini

muncul di Asia Timur adalah Tiongkok. Tiongkok

yang mulai muncul sebagai kekuatan maritim

semenjak era reformasi pasca-Mao Zedong, mulai

melakukan pembangunan dan modernisasi

kekuatan PLAN (People Liberation Army Navy)

(Scobell, McMahon, & Cooper, 2015). Pemahaman

mengenai konsep kekuatan maritim dalam politik

Tiongkok berada di antara kontradiksi, ragu-ragu,

dan bahkan penolakan (Wei, 2015). Penolakan

gagasan tentang kekuatan angkatan laut yang kuat

dengan dukungan anggaran pertahanan yang besar

berubah setelah munculnya Tiongkok sebagai

kekuatan yang besar dalam politik internasional

dan terjadinya peningkatan perdagangan luar

negeri. Sejumlah tulisan akademik mengenai

kekuatan maritim dengan pengaruh dari ide Mahan

juga memperkuat transformasi ini, seperti tulisan

karya Feng Chengbai dan Li Yuanliang yang

berjudul Mahan’s Theory of Strength at Sea

diterbitkan pada tahun 1978. Mereka berpendapat

ide Mahan menunjukkan fungsi kekuatan maritim

dalam perjuangan untuk hegemoni global dan

penguasaan lautan (Wei, 2015).

Pada tahun 2000, Wang Shengrong

mempublikasikan Maritime Great Powers and the

Struggle for Sea Power, di mana Wang Shengrong

menjelaskan ide dasar ekonomi dalam konsep

kekuatan maritim dari Mahan yang menggambarkan

keterkaitan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan

militer untuk mengontrol laut (Wei, 2015). Karya

milik Wang Shengrong ini menjembatani ide

imperialistik Mahan dan konsep baru dari

kekuatan laut negara yang diusulkan oleh

Gorshkov dari Uni Soviet. Wang berargumen

bahwa kekuatan laut yang permanen sangat

penting dalam melindungi kepentingan nasional

dan memiliki kapasitas untuk mencapai tujuan

nasional (Wei, 2015). Semua penulis yang

dipengaruhi oleh ide Mahan di atas, menganggap

bahwa bangsa mereka harus membangun dan

memodernisasi kekuatan laut dengan pertimbangan

bahwa lautan dunia sebagai media perdagangan

internasional akan berada di bawah kendali

kekuatan maritim yang kuat dengan militer yang

kuat pula.

Di samping Mahan, sejarawan Inggris,

J.S. Corbett, mengakui prinsip komando atas laut

yang diajukan oleh Mahan. Akan tetapi tidak

seperti Mahan, Corbett melihat bahwa tujuan dari

komando laut adalah untuk memastikan kelancaran

jalur perdagangan agar tidak terganggu (Corbett,

1988). Dalam pemikiran Corbett pengendalian atas laut

bukan untuk menghancurkan armada angkatan laut

atau mengganggu perdagangan (Richards, 2005).

Corbett mengusulkan operasi pertahanan seperti

“fleet in being” sebagai cara yang efektif dalam

mengamankan keamanan laut khususnya di

wilayah yang disengketakan (Richards, 2005).

Corbett juga berpendapat bahwa sarana untuk

mencapai pengendalian dan pengontrolan laut

perlu terkait dengan kebijakan luar negeri suatu

negara (Richards, 2005). Dari pemikir maritim

klasik tersebut, khususnya Mahan dan Corbett, dan

adopsi oleh pemikir oriental, di dalam konsep

poros maritim Indonesia, pemikiran ini akan

memperkuat visi untuk menjadi kekuatan maritim

dengan angkatan laut yang kuat. Indonesia harus

mengambil keuntungan dari kondisi geografis

luasnya untuk meningkatkan perekonomian

nasional dan kesejahteraan rakyatnya. Terkait

dengan kebijakan luar negeri Indonesia, “fleet in

being” dapat diterjemahkan sebagai sarana aktif

dan damai untuk mengamankan sumber daya laut

dan rute perdagangan laut di wilayah perbatasan,

seperti wilayah perairan di Natuna dan Laut

Sulawesi.

Bagaimanapun juga, seperti Mahan,

Corbett tidak berfokus pada prinsip-prinsip operasi

maritim di masa damai (Corbett, 1988). Dari ide

Corbett berkenaan dengan perang terbatas di laut,

kekuatan maritim dapat digunakan sebagai alat

diplomasi angkatan laut (naval diplomacy)

(Rowlands, 2012). Ide ini kemudian dikembangkan

oleh laksamana Inggris Sir Herbert Richmond,

yang berpendapat bahwa kekuatan maritim adalah

Page 11: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 379

suatu bentuk dari kekuatan nasional yang akan

mendukung kebijakan nasional dan menjamin

perdamaian sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari diplomasi angkatan laut (Rowlands, 2012).

Corbett dan Richmond memberikan dasar politik

bagi diplomasi maritim Indonesia untuk secara

aktif menjaga perdamaian dan memperkuat kerja

sama regional, terutama dalam Komunitas ASEAN

dan kerangka gerakan nonblok.

Poros maritim dengan ide tol laut tidak

hanya menggambarkan hubungan antara

kepentingan nasional Indonesia dan perdagangan

laut, tetapi juga hal itu tergantung pada kekuatan

angkatan laut yang mampu menjamin keamanan

maritim dan kelancaran perdagangan melalui laut.

Pada saat ini ketika politik kekuasaan global

dipengaruhi rezim United Nations Convention on

the Law of the Sea (UNCLOS), maka perdagangan

laut melalui laut lepas dan selat sempit dapat

dilindungi oleh semua bangsa dalam kerangka

sistem kerja sama keamanan maritim. Mengingat

kenyataan ini, poros maritim dengan pembangunan

angkatan laut akan memainkan peran sentral guna

mempertahankan kepentingan nasional Indonesia

untuk menghadapi ancaman keamanan non

tradisional di domain maritim, seperti illegal

fishing, terorisme, dan ancaman keamanan

tradisional dari bangsa lain (Etzold, 1980).

Bahkan, saat ini penggunaan laut bebas tidak

hanya soal kekuatan angkatan laut satu negara

semata seperti di era Mahan dan Corbett

(Richards, 2005), tetapi juga konsep mereka

tentang fungsi utama dari kekuatan angkatan laut

untuk mempertahankan pengendalian laut dan

mempertahankan perdagangan maritim tidak bisa

diabaikan oleh Indonesia yang memiliki visi untuk

menjadi kekuatan maritim. Pandangan yang lebih

luas dari fungsi angkatan laut di abad ke-21 dapat

ditemukan dari pendapat Laksamana Hill dan

trinitas dari Ken Booth yang menjabarkan peran

angkatan laut meliputi fungsi diplomatik,

kepolisian dan fungsi militer (Richards, 2005).

Ken Booth dalam bukunya Navies and

Foreign Policy, yang diterbitkan pada tahun 1977

memiliki signifikansi dalam memperkenalkan

trinitas fungsi angkatan laut, dan ketiga konsep ini

telah diadopsi ke dalam strategi maritim dan

doktrin angkatan laut dari sejumlah kekuatan

maritim dunia saat ini seperti Australia, Inggris,

Kanada, Amerika Serikat dan Angkatan Laut

Indonesia. Dalam peran diplomatik, Booth seperti

Corbett menyadari bahwa penerjunan angkatan

laut haruslah berkaitan dengan kebijakan luar

negeri dan dapat dilakukan melalui negosiasi dan

soft power (Rowlands, 2012). Booth mengidentifikasi

tujuh karakteristik kunci dari kapal perang sebagai

instrumen diplomasi: fleksibilitas, pengendalian,

mobilitas, kemampuan proyeksi, potensi akses,

simbolisme, dan daya tahan (Booth, 1977).

Ketujuh karakteristik ini merupakan karakteristik

yang dibutuhkan oleh industri pertahanan maritim

Indonesia untuk menciptakan kapal perang yang

akan digunakan oleh TNI AL untuk melakukan

diplomasi angkatan laut dan menunjukkan kepada

dunia kekuatan maritim Indonesia.

Dalam pembangunan angkatan laut Indonesia

saat ini, berdasarkan ide Ken Booth dan

Richmond, diplomasi maritim dapat dilakukan

dengan demonstrasi dari kekuatan angkatan laut

dan penerjunan operasional tertentu seperti

Multilateral Naval Exercise Komodo, South East

Asia Cooperation and Training (SEACAT),

keterlibatan kekuatan angkatan laut Indonesia

dalam Rim of The Pacific (RIMPAC) pada 2016

dan Western Fleet Quick Response (WFQR) untuk

melawan pembajakan dan upaya ini telah berhasil

membebaskan tanker Malaysia MT Orkin Harmony

pada tahun 2015. Cara lain untuk membangun

prestise bagi kekuatan maritim Indonesia dan

diplomasi maritim sebagai poros maritim dunia

dapat pula terdiri dari bantuan angkatan laut dan

kunjungan baik ke negara lain (goodwill visits)

(Rowlands, 2012). Kunjungan baik (goodwill

visits) ke negara lain telah dilakukan oleh TNI AL,

seperti kunjungan ke Kochi, India, oleh kapal

hidrografi, KRI Rigel pada Mei 2015 dan

kemudian KRI Sultan Iskandar Muda pada

Oktober 2015.

Ken Booth berpendapat bahwa kekuatan

maritim yang kuat adalah negara dengan kekuatan

angkatan laut yang mampu memenuhi kebutuhan

fungsional yang dibutuhkan oleh lingkungan

sesuai dengan kepentingan negara tersebut dalam

penggunaan dan pemanfaatan laut (Hu & Oliver,

1995). Dalam hal jangkauan geografis, Booth

membagi kekuatan angkatan laut menjadi coastal

navies, contiguous-sea navies, oceangoing navies,

dan global navies. Pada saat yang sama, J.R. Hill

mengklasifikasikan negara menjadi negara maritim

adidaya (maritime superpowers), negara maritim

Page 12: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

380 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

medium (medium maritime power) dan negara

maritim kecil (small maritime power) (Hu &

Oliver, 1995). Keduanya, baik Ken Booth dan J.R.

Hill, menunjukkan hubungan antara kemampuan

angkatan laut dan fungsi angkatan laut sebagai

dasar kekuatan maritim suatu negara untuk

menjamin keamanan maritim.

Sebuah bangsa dengan kepentingan global

memerlukan global navy yaitu angkatan laut yang

mampu hadir ditingkat global dan memproyeksikan

kekuatan di wilayah laut yang jauh. Sebuah

Oceangoing navy yang dapat disamakan dengan

medium maritime power dalam klasifikasi Hill

merupakan angkatan laut yang mampu

mempertahankan kepentingan nasional negaranya

di luar zona ekonomi eksklusif yaitu 200 mil laut.

Kemudian Booth mengklasifikasikan 60% dari

angkatan laut dunia merupakan contiguous sea

navies dan 35% lainnya merupakan adalah coastal

navies. Angkatan laut ini memiliki kemampuan

pencegahan konvensional dan kemampuan

pertahanan maritim serta memberikan kontribusi

untuk stabilitas maritim regional melalui

diplomasi angkatan laut. Dengan dasar pendekatan

fungsional angkatan laut kecil (small navies)

mampu menjalankan tugas polisional, penangkalan

konvensional, dan beberapa tingkat fungsi

diplomatik angkatan laut dengan jangkauan

geografis yang terbatas di daerah pesisir atau di

dalam zona ekonomi ekslusif mereka berdasarkan

kepada UNCLOS (Hu & Oliver, 1995). Poros

maritim Indonesia dalam ide-ide Booth dan Hill

dapat dilihat sebagai upaya untuk menjamin

keamanan maritim dan sumber daya maritim

dengan membangun kekuatan angkatan laut yang

kredibel guna mengamankan kepentingan

Indonesia sejauh ZEE dan juga terus memberikan

kontribusi bagi stabilitas regional melalui diplomasi

maritim.

Stabilitas regional di wilayah Pasifik Barat

yang dihadapi oleh Indonesia dipengaruhi oleh

banyak kekuatan angkatan laut dengan berbagai

tingkat kemampuan yang bervariasi. Amerika

Serikat sebagai kekuatan maritim besar dengan

proyeksi kekuatan global mampu melaksanakan

semua peran militer angkatan laut pada skala

global. Sementara Tiongkok, India, dan Jepang

sebagai kekuatan regional dengan kemampuan

untuk memproyeksikan kekuatan pada skala

global yang masih terbatas dan tidak secara

teratur. Singapura dapat dikategorikan sebagai

kekuatan maritim kecil dengan kemampuan

pertahanan teritorial dan mampu melaksanakan

operasi polisional sedangkan Kamboja dan

beberapa angkatan laut lainnya di Pasifik Barat

dan Samudera Hindia merupakan angkatan laut

yang terkecil dan lemah (Button, 2008). Bagi

Indonesia sendiri dengan poros maritimnya

menghadapi tantangan keamanan maritim dalam

mengamankan Zona Ekonomi Ekslusifnya dapat

mengambil sejumlah langkah yang diperlukan

untuk memodernisasi dan meningkatkan kemampuan

angkatan laut.

Untuk memodernisasi angkatan lautnya,

pemerintah Indonesia menghadapi tradeoff antara

peningkatan anggaran militer untuk mengamankan

domain maritim dengan anggaran nonmiliter untuk

meningkatkan konektivitas laut, pemberdayaan

nelayan, dan mengatur sumber daya kelautan.

Tradeoff ini akan menjadi beban yang lebih berat

bagi poros maritim Indonesia karena meningkatnya

biaya input dalam industri pertahanan dan biaya

untuk memproyeksikan kekuatan Indonesia

sebagai komitmennya guna mendukung kebijakan

luar negeri Indonesia (Sandler & Hartley, 2007).

Bahkan, jika pemerintah Indonesia melakukan

akuisisi sistem senjata dari industri pertahanan

dalam negeri untuk memodernisasi angkatan

lautnya, tradeoff masih terjadi karena harga yang

mahal terlebih lagi dengan skala produksi yang

relatif kecil. Terlebih lagi, meningkatnya biaya

marjinal dalam industri pertahanan akan

menyebabkan tingginya harga senjata konvensional

(Brauer, 2007).

Namun demikian, industri pertahanan dan

Research and Development (R&D) yang terdapat

di dalamnya merupakan sektor strategis bagi

perekonomian Indonesia untuk menurunkan biaya

produksi per unit, sehingga mampu memenuhi

kebutuhan sistem persenjataan yang dibutuhkan

dengan biaya yang terjangkau (Alonso & Levine,

2007). Kondisi ekonomi ini menjadi alasan bagi

pemerintah Indonesia untuk memperkuat industri

pertahanan dalam negeri. Sementara di saat yang

sama industri tersebut dapat menjadi bagian dari

rantai pasokan global industri pertahanan yang

beroperasi secara transnasional. Dari kegiatan

terkait industri pertahanan maritim ini, konsep

poros maritim Indonesia diharapkan dapat

merangsang perekonomian domestik Indonesia

Page 13: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 381

melalui promosi ekspor industri pertahanan

domestik. Ekspor ini juga berperan sebagai

pengganti impor pertahanan dengan hubungannya

dalam perjanjian kerja sama pertahanan termasuk

transfer teknologi (transfer of technology), bekerja

sama dengan negara-negara lain, baik kerja sama

produksi (co-production) maupun pengembangan

bersama (co-development), atau menghasilkan

sistem senjata di bawah lisensi berdasarkan

manfaat, biaya, dan efektifitas kemampuan industri

pertahanan dalam negeri (Alonso & Levine,

2007). Hal ini menjadi semakin penting mengingat

dalam jangka panjang poros maritim Indonesia

dengan upaya pemanfaatan industri pertahanan

dalam negeri akan meningkatkan perekonomian

domestik Indonesia (Brauer, 2007). Poros maritim

Indonesia dengan modernisasi angkatan laut

Indonesia sebagai upaya untuk mendukung

kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan

aktif juga mampu menggurangi potensi perlombaan

senjata angkatan laut di kawasan dan membangun

rasa saling percaya dalam menghadapi berbagai

tantangan di dalam domain maritim seperti yang

telah diusulkan oleh para pemikir strategi maritim.

Globalisasi Sektor Industri Pertahanan

Maritim

Industri pertahanan merupakan perhatian

penting bagi keamanan nasional dalam pencapaian

poros maritim Indonesia, karena industri ini

memiliki efek positif pada perekonomian nasional

seperti yang diharapkan oleh pemerintahan

Jokowi. Industri pertahanan yang dibiayai oleh

pengeluaran pertahanan akan membawa berbagai

efek langsung dan tidak langsung terhadap

perekonomian nasional (Dunne, Smith, &

Willenbockel, 2005). Di sisi permintaan, industri

pertahanan terutama industri maritim akan

meningkatkan pemanfaatan modal dan angkatan

kerja. Secara tidak langsung, industri pertahanan

maritim dapat merangsang pembangunan infrastruktur

dan peningkatan kualitas sumber daya manusia

(Deger, 1986). Sementara di sisi penawaran,

industri pertahanan dapat mengurangi investasi di

sektor nonmiliter (Chan, 1987). Akan tetapi,

industri pertahanan maritim memiliki dampak

meluas (spill over) ke industri di sektor swasta,

dan mempromosikan aktivitas terkait domain

maritim (Yakovlev, 2007).

Ditandai dengan inovasi dan produktivitas,

industri maritim memainkan peran penting dalam

menjamin pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat melalui perdagangan internasional dan

ekonomi domestik. Industri maritim dan perkapalan

yang dipengaruhi oleh globalisasi, perkembangan

teknologi, dan masyarakat usia muda yang terpelajar

telah mendorong peningkatan pertumbuhan

ekonomi di beberapa negara Asia, seperti Indonesia.

Kendatipun studi terbaru tentang hubungan antara

globalisasi ekonomi dan kegiatan lintas batas dari

perusahaan pertahanan memiliki tantangan besar,

sesungguhnya sektor pertahanan memperoleh

keuntungan dari sejumlah regionalisme yang terjadi.

Pengalaman ini dikarenakan tanpa pengadaan dari

pemerintah dan perusahaan berdiri sendiri atau

sebagai sebuah divisi dalam perusahaan

pertahanan komersial, maka industri pertahanan

tidak akan bertahan. Secara historis, negara terus

mendorong kemampuan industri pertahanan untuk

beroperasi di luar wilayah negaranya guna

mengejar merger transnasional dan aliansi melalui

berbagai mekanisme termasuk pengembangan

bersama (joint development) dan produksi bersama

(joint production) untuk mencegah ketertinggalan

di dalam teknologi, mencegah kenaikan harga

produksi, dan penurunan produktivitas (Dombrowski,

2002). Upaya ini telah dilakukan antara Daewoo

Shipbuilding dan Marine Engineering (DSME)

Korea dan PT PAL Indonesia, PT PAL juga telah

melakukan alih teknologi (transfer of technology)

dalam konstruksi kapal dengan Damen Schelde

Naval Shipbuilding (DSNs) Netherland sebagai

langkah pertama untuk memenuhi permintaan

angkatan laut Indonesia menuju poros maritim

dunia.

Meskipun industri galangan kapal, khususnya

untuk angkatan laut merupakan salah satu segmen

yang paling dilindungi dalam industri pertahanan,

kerja sama transnasional diperlukan bagi industri

pertahanan karena keunggulan teknologi hanya

penting dalam jangka pendek (Dombrowski,

2002). Namun, dalam jangka panjang, teknologi

angkatan laut mengalir lebih bebas melintasi

perbatasan nasional suatu negara. Pada abad ke-

20, pengenalan kapal selam, kapal perang kelas

Drednought, dan kapal induk oleh salah satu

angkatan laut segera disusul dalam waktu yang

sangat singkat oleh negara lain (Swartz, 2011).

Saat ini, negara industri baru (new industrialized

Page 14: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

382 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

country), terutama Korea Selatan merupakan

contoh yang baik bagi pengembangan galangan

kapal bagi angkatan laut Indonesia menuju

angkatan laut yang di hormati di kawasan Asia

Pasifik. Meskipun, pemerintah Korea telah

menerbitkan Undang-Undang tentang penguatan

industri galangan kapal (Act on the Encouragement of

Shipbuilding) pada tahun 1958, tetapi galangan

kapal di Korea mulai berkembang sejak

pemerintahan Presiden Park Junghee. Pada waktu

itu Angkatan Laut Korea mengembangkan kapal

produksi dalam negeri yang berfokus pada kapal

serang cepat (fast attack craft).

Pembangunan industri maritim dan

konstruksi kapal tersebut menciptakan lompatan

bagi Angkatan Laut Korea Selatan (ROKN/

Republic of Korea Navy) untuk menjadi angkatan

laut regional dengan beberapa kemampuan operasi

jarak jauh. Pembangunan angkatan laut Korea ini

menjadikan Korea Selatan sebagai sebuah

kekuatan angkatan laut regional dan memiliki

dasar bagi pengembangan berbagai jenis kapal

perang dalam negeri mulai dari kapal perusak

modern, kapal amfibi, dan kapal selam diesel.

Sebagai hasilnya Angkatan Laut Korea Selatan

telah mampu berkembang menjadi angkatan laut

dengan kemampuan pertahanan pantai yang

kompeten (Cho, 2015). Berhadapan dengan krisis

ekonomi pada tahun 2008, pemerintah Korea

melakukan restrukturisasi industri galangan kapal

dan memperkuat daya saing industri perkapalan

domestik melalui dukungan R & D, kredit ekspor

untuk pembiayaan kapal, memperkuat keunggulan

kompetitif bagi industri peralatan maritim, dan

pengembangan sumber daya manusia sebagai

faktor penting untuk keberhasilan industri galangan

kapal Korea (OECD, 2015).

Kerja sama saat ini antara Indonesia dan

Korea dalam produksi bersama (joint production)

beberapa jenis kapal perang telah meningkatkan

kepercayaan antara kedua negara dan mudah-

mudahan bisa membawa kesejahteraan bagi kedua

negara. Kerja sama antara Indonesia dan Korea

Selatan dalam industri angkatan laut dimulai

dengan produksi bersama empat unit Landing

Platform Dock (LPD) pada tahun 2004 oleh PT

PAL Indonesia dan Daewoo Shipbuilding and

Marine Engineering (DSME) dengan fasilitas

kredit ekspor (Antaranews, 2011). Kapal-kapal

tersebut telah mampu mentransformasikan kekuatan

angkatan laut Indonesia sebagai kekuatan amfibi

terbesar di kawasan Asia Tenggara yang mampu

mengangkut pasukan melintasi laut baik untuk

operasi militer maupun operasi kemanusiaan. Pada

tahun 2011, berkerja sama dengan PT PAL

Indonesia, DSME dipercaya untuk membangun

dua unit kapal selam yang pertama yaitu kapal

selam kelas Chang Bogo dan kapal ketiga akan

dibangun di PT PAL Indonesia. Kerja sama kedua

negara dalam industri maritim juga diperkuat

dengan kerja sama pengembangan pesawat tempur

KFX/IF-X dan kedua negara mengeksplorasi

kemungkinan imbal dagang antara Indonesia yang

berencana membeli jet tempur T-50 dari Korea,

sedangkan Korea berencana membeli CN-235 dari

Indonesia (Antaranews, 2011).

Kerja sama yang dapat dikatakan sukses

tersebut didasarkan kepada transfer teknologi guna

memodernisasi kekuatan angkatan laut Indonesia.

Modernisasi ini menjadikan angkatan laut

Indonesia lebih maju dan mandiri sebagai langkah

pertama untuk menjadi poros maritim dunia

dengan angkatan laut yang kuat dan kredibel. Di

samping basis industri angkatan laut yang

memadai, perusahaan internasional, seperti Daewoo

International telah memainkan peran sebagai

jembatan antara perusahaan galangan kapal Korea

Selatan dan angkatan laut Indonesia untuk ekspor

teknologi angkatan laut dan proyek militer

Indonesia lainnya seperti peningkatan fasilitas

kapal selam Indonesia. Kerja sama antara

Indonesia dan Korea Selatan juga dapat membawa

kemakmuran bagi kawasan melalui perumusan

konsep kolaborasi industri pertahanan yang akan

merangkul industri pertahanan ASEAN. Dengan

potensi ekonomi dan daya saing suatu industri

pertahanan nasional dapat memajukan basis

industri pertahanan regional dan menjadi salah

satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk

tujuan ini, pemerintah Indonesia dapat mendorong

beberapa industri maritim nasional sebagai awal

untuk dapat berkolaborasi dengan basis industri

regional utama seperti Korea Selatan. Kerangka

kerja ini telah diterapkan oleh Uni Eropa yang

berusaha merasionalisasi strategi pengadaan

dengan membuka kemungkinan bagi konsolidasi

industri nasional yang menjadi industri supranasional

sehingga mendorong produksi berbiaya rendah, R

& D yang maju, dan menciptakan lapangan

Page 15: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 383

pekerjaan di negara-negara Eropa (Dombrowski,

2002).

Selain kerja sama dalam konteks industri,

sebagai aktor regional dan global dalam

mendukung kemakmuran dan stabilitas regional,

Indonesia dengan poros maritim harus mengambil

bagian untuk menjaga keamanan maritim

berdasarkan kebijakan luar negeri yang bebas dan

aktif. Hal ini dapat dicapai dengan berpartisipasi

dalam operasi angkatan laut internasional seperti

yang telah dilakukan Korea Selatan yang

berpartisipasi pada Satuan Tugas Gabungan

(Combined Task Force/CTF-151) di Teluk Aden

sejak Maret 2009. Langkah pertama untuk mencapai

kemampuan ini salah satunya adalah partisipasi

angkatan laut Indonesia yang diwakili oleh

Landing Platform Dock (LPD) kelas Makassar

dalam latihan maritim multinasional Rim Pacific

(RIMPAC) 2014. Indonesia bersama dengan

beberapa negara lainnya telah mendemonstrasikan

pengalaman operasional yang berharga khususnya

kemampuan pendaratan amfibi dalam latihan

multinasional tersebut. Hal ini diperlukan bagi

Indonesia karena perdagangan maritim dan

kegiatan terkait lainnya tergantung pada kehadiran

angkatan laut untuk perjalanan yang aman dari

kapal dagang. Pada saat ini hal tersebut merupakan

perhatian dari hukum internasional seperti

UNCLOS dan pembentukan sistem kerja sama

keamanan maritim regional, bukan dominasi dari

satu kekuatan angkatan laut tunggal (Etzold,

1980). Hal ini seperti yang dinyatakan di dalam

pembukaan konstitusi Indonesia yaitu untuk

menjaga perdamaian dan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.

Kesimpulan

Gambaran sejarah maritim dalam tulisan

ini memberikan pemahaman bagi kita mengenai

warisan dan budaya maritim Indonesia sebagai

dasar bagi poros maritim Indonesia. Sementara

perspektif ekonomi pertahanan memberikan

gambaran tantangan dan prospek di dalam domain

maritim terkait pada politik, pertahanan, dan

ekonomi guna mewujudkan poros maritim

Indonesia tersebut. Berdasarkan kedua perspektif

tersebut, Indonesia dalam visi poros maritim perlu

merumuskan keseimbangan baru berdasarkan

saling pengertian dan kerja sama multilateral

untuk mengamankan domain maritim sebagai urat

nadi perdagangan dunia. Terlebih lagi Indonesia

melalui poros maritim dapat menciptakan

keseimbangan strategis antara kekuatan maritim

besar (maritime great power) di Samudera Hindia

dan Samudera Pasifik dengan memperkuat komunitas

ASEAN, ASEAN+3, East Asia Summit dan kerja

sama keamanan maritim lainnya. Melalui pencapaian

poros maritim, Indonesia akan mampu memperkuat

sentralitas ASEAN dalam menjaga stabilitas

regional untuk menjamin pertumbuhan ekonomi di

Indonesia dan Asia Tenggara yang berbasis pada

perdagangan laut. Hal ini menunjukkan Asia

Tenggara sebagai tempat mediasi dan hubungan

antara peradaban besar yang telah menciptakan

kemakmuran dalam harmoni, seperti yang telah

tergambarkan dalam narasi sejarah di kawasan ini.

Daftar Pustaka

Alisyahbana, S. T. (1987). Bumantara – The

Integration of Southeast Asia and its

Perspectives in the Future. Jakarta: Center

of Southeast Asian or Bumantara Studies.

Alonso, M. D., & Levine, P. (2007). Arms Trade

and Arms Races: A Strategic Analysis. In

T. Sandler, & K. Hartley, Handbook of

Defense Economics. UK: North-Holland.

Andaya, L. Y. (2011). Eastern Indonesia: A Study

of the Intersection of Global, Regional,

and Local Network in the Extended Indian

Ocean. In S.C. Smith, Reinterpreting

Indian Ocean Worlds. Cambridge:

Cambridge Scholars Publishing.

Anh, N. T. (1996). IndoTiongkok and the Malay

World: A Glimpse on the Malay-

Vietnamese Relations to the Mid-Nineteen

Century. Asia Journal, Vol. 3. No. 1.

Antaranews. (2011). RI, South Korea strengthen

defense cooperation. Di akses Oktober

2016, dari http://www.antaranews.com/

en/news/75508/ri-south-korea-strengthen-

defense-cooperation

Asada, S. (2006). From Mahan to Pearl Harbor:

The Imperial Japanede Navy and the

United States. Maryland: Naval Institute

Press.

Page 16: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

384 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Asch, B.J., Hosek, J.R., & Warner, J.T. (2007).

New Economics Of Manpower In The

Post-Cold War Era. In T. Sandler, & K.

Hartley, Handbook of Defense Economics.

UK: North-Holland.

Booth, K. (1977). Navies and Foreign Policy.

London: Croom Helm.

Brauer, J. (2007). Arms Industries, Arms Trade,

and Developing Countries. In T. Sandler,

& K. Hartley, Handbook of Defense

Economics. UK: North-Holland.

Button, R. (2008). Small Ships in Theater Security

Cooperation. US: RAND Corporation.

Chan, S. (1987). Military Expenditures and

Economic Performance. World Military

Expenditures and Arms Transfers.

Cho, H. (2006). Siamese-Korean Relations in the

Late Fourteenth Century. Journal of the

Siam Society. No. 94.

Cho, Y. (2015). The Small But Magnificent

Counter-Piracy Operation of the Republic

of Korea. In M. H. Nordquist, Freedom of

Navigation and Globalization. Netherlands:

Koninklijke Brill NV.

Corbett, J. (1988). Some Principles of Maritime

Strategy. Annapolis: United States Naval

Institute Press.

Deger, S. (1986). Economic Development and

Defence Expenditure. Economic Development

and Cultural Change, Vol. 35, 179-196.

Dellios, R., & Ferguson, R. (2015). Thinking

Through Srivijaya: Polycentric Networks

in Traditional Southeast Asia. Isanet.

Dinarto, D. (2016, Mei). Indonesia’s ‘Global

Maritime Fulcrum’: The Case of Abu

Sayyaf. Di akses Oktober 2016, dari

http://thediplomat.com/2016/05/indonesia

s-global-maritime-fulcrum-the-case-of-

abu-sayyaf/

Djumala, D. (2015, Februari). Diplomacy for

maritime fulcrum. Di akses oktober 2016,

dari http://www.thejakartapost.com/news/

2015/02/09/diplomacy-maritime-fulcrum.

html

Dombrowski, P. (2002). The Globalization of the

Defense Sector? Naval Industrial Cases

and Issues. In S.J. Tangredi, Globalization

and Maritime Power. Washington: NDU

Press publications.

Dunne, J., Smith, R., & Willenbockel, D. (2005).

Models of Military expenditure and

Growth: A Critical Review. Defence and

Peace Economics, Vol. 16, No. 6,, 449-

461.

Etzold, T. (1980). Is Mahan Still Valid? United

States Naval Institute Proceedings.

Flecker, M. (2007). The South Tiongkok Sea

Tradition: the Hybrid Hulls of South-East

Asia. International Journal of Nautical

Archaeology. Vol.36. No.1.

Frederick, W.H. (2011). Historical setting. In W.

H. Frederick, & R. L. Worden, Indonesia

a Country Study. Washington: Federal

Research Division Library of Congress.

Friedman, T.L. (1999). The Lexus and the Olive

Tree. New York: Anchor.

Gomez, L. R. (1967). Sri Yijava and Madjapahit.

Philippine Studies Vol.15. No.1.

Goucher, C., LeGuin, C., & Walton, L. (1998).

Trade, Transport, Temples, and Tribute:

The Economics of Power. Boston:

McGraw-Hill.

Hattendorf, J.B. (2003). The Uses of Maritime

History in and for the Navy. Naval War

College Review. Vol. LVI.

Held, D., McGrew, A., Goldblatt, D., & Perraton,

J. (1999). Global Transformations: Politics,

Economics and Culture. Stanford: Stanford

University Press.

Heng, D.T. (2006). Export commodity and

regional currency: The role of Chinese

copper coins in the Melaka straits, tenth to

fourteenth centuries. Journal of Southeast

Asian Studies. No.37.

Holmes, J.R. (2014). Strategic Features Of The

South Tiongkok Sea: A Tough Neighborhood

For Hegemons. Naval War College

Review. Vol. 67. No. 2.

Page 17: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 385

Hu, N.-T. A., & Oliver, J.K. (1995). A Framework

for Small Navy Theory. Naval War

College Review 1978-1994. Vol. 68.

Keohane, R. (1984). After Hegemony: Cooperation

and Discord in the World Political

Economy. Princeton : Princeton University

Press.

Liow, J.C., & Shekhar, V. (2014, November).

Indonesia as a Maritime Power: Jokowi’s

Vision, Strategies, and Obstacles Ahead.

Di akses Oktober 2016, dari

https://www.brookings.edu/articles/indone

sia-as-a-maritime-power-jokowis-vision-

strategies-and-obstacles-ahead/

Mahan, A. (1991). The Influence of Sea Power

Upon History 1660–1783. In J. B.

Hattendorf, Mahan on Naval Strategy.

Annapolis: Naval Institute Press.

Manggala, P.U. (2013). The Mandala Culture of

Anarchy: The Pre-Colonial Southeast

Asian International Society. Journal of

ASEAN Studies. Vol.1. No.1.

Miksic, J.N. (2003). Heterogenetic cities in

premodern Southeast Asia. World

Archaeology. Vol. 32. No.1.

Minh-Hà, P.C. (2012). Asian Shipbuilding

Technology. Bangkok: Asia and Pacific

Regional Bureau for Education-UNESCO

Bangkok.

Monteiro, L.N. (2015). Fernando Oliveira’s Art Of

War At Sea (1555): A Pioneering Treatise

On Naval Strategy. Naval War College

Review. Vol. 68. No. 4.

OECD. (2015). Peer Review of the Korean

Shipbuilding Industry and Related

Government Policies. Council Working

Party on Shipbuilding.

Pirazzoli-t’Serstevens, M. (2011). The Burnei

Shipwreck: a Witness to the International

Trade in the Tiongkok Sea around 1500.

The Silk Road. Vol. 9.

Polachek, S.W., & Seiglie, C. (2007). Trade,

Peace And Democracy: An Analysis Of

Dyadic Disputes. In T. Sandler, & K.

Hartley, Handbook of Defense Economics.

UK: North-Holland.

Quirk, S., & Bradford, J. (2015, Oktober). The

Global Maritime Fulcrum and the US-

Indonesia Partnership. Di akses Oktober

2016, dari http://thediplomat.com/2015/

10/how-the-global-maritime-fulcrum-can-

elevate-the-us-indonesia-partnership/

Richards, K. (2005). Classical Naval Strategy and

Medium Power Navies. In G. Kerr, The

Peter Mitchell Essays 2003. Papers in

Australian Maritime Affairs. Australia:

Sea Power Centre.

Roell, P. (2016). Tiongkok’s Maritime Silk Road –

An Ambitious Undertaking: A View from

Europe. Institute for Strategic, Political,

Security and Economic Consultancy.

Rowlands, K. (2012). “Decided Preponderance At

Sea”: Naval Diplomacy In Strategic

Thought. Naval War College Review. Vol.

65. No.4.

Rubel, R. C. (2015). Connecting The Dots: Capital

Ships, The Littoral, Command Of The

Sea, And The World Order. Naval War

College Review. Vol. 68. No. 4.

Sandler, T., & Hartley, K. (2007). Defense In A

Globalized World: An Introduction. In T.

Sandler, & K. Hartley, Handbook of

Defense Economics. UK: North-Holland.

Scobell, A., McMahon, M., & Cooper, C.A.

(2015). Tiongkok’s Aircraft Carrier Program:

Drivers, Developments, Implications.

Naval War College Review. Vol. 68. No. 4.

Sodhy, P. (1983). The "International Relations" Of

The Malay Peninsula From The Seventh

To The Fourteenth Century. Akademika

No. 23.

Stuart-Fox, M. (2003). A short history of Tiongkok

and Southeast Asia : tribute, trade and

influence. Australia: Allen & Unwin.

Swartz, P. (2011). Rising Powers and Naval

Power. US: Institute for National Strategic

Studies.

Tangredi, S. J. (2002). Globalization and Sea

Power: Overview and Context. In S. J.

Tangredi, Globazliation and Maritime

Power. Washington: NDU Press publications.

Page 18: POROS MARITIM: DALAM KERANGKA SEJARAH MARITIM DAN …

386 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Tejo, A. (2014, Mei). Imported Components

Dominate Shipbuilding Industry. Di akses

Oktober 2016, dari http://en.tempo.co/

read/news/2014/05/14/056577719/Importe

d-Components-Dominate-Shipbuilding-

Industry

Wade, G. (2009). An Early Age of Commerce in

Southeast Asia, 900–1300 CE. Journal of

Southeast Asian Studies. Vol.40. No.2.

Wei, Z. (2015). A General Review Of The History

of Tiongkok’s Sea-Power Theory

Development. Naval War College Review.

Vol. 68. No. 4.

Yakovlev, P. (2007). Arms Trade Military

Spending and Economic Growth. Defence

and Peace Economics, Vol. 18, 317-318.

Yamauchi, S. (2013). The Japanese Archipelago

and Maritime Asia from the 9th to the

14th Centuries. In K. Fujita, M. Shiro, &

A. Reid, Offshore Asia: Maritime

Interaction in Eastern Asia before

Steamships. Singapore: ISEAS Publishing.