Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POTENSI ANTIBAKTERI FRAKSI KLOROFORM-ETANOL-ASAM
ASETAT DARI EKSTRAK ETIL ASETAT KULIT BATANG KEMIRI
(Aleurites moluccana L. Willd) TERHADAP Staphylococcus aureus
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Agatha Vilma Shanti
NIM : 038114063
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
i
S|(ripci
PIOIIINSIANIIf, AKTXAIFf,AKSI KI,OROTOf,M.ETANOLASAMASEIAT DARI EK9fhAKDTIL ASETAT KT'LIT DATANG KEMIf,I
(tLtr a mlu..@Lw BtTERSAD l.9ryltarco.c6 @tu
NlM : 038114063
“AKU ADA”
Tak perlu menyesali masa lampau…… aku tak ada disana
Karena namaku bukan “DULU AKU ADA”
Tak perlu membayangkan masa depan……aku tak ada disana
Karena namaku bukan “AKU AKAN ADA”
Pikirkanlah hal-hal yang terjadi hari ini; sungguh indah sekali….
Aku ada disana……..karena namaku adalah “AKU ADA”
”Untuk segala sesuatu ada masanya, karena
Allah membuat segala sesuatu indah pada
waktunya !” (Pengkhotbah 3 :1)
Kupersembahkan karya ini untuk :
Yesus & Bunda Maria
Papa & Mama
Kakak-Kakakku Tercinta
Kekasihku, ” B-nny ”
iv
INTISARI
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial dan penyakit gangguan pencernaan. Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd) merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Bagian tanaman yang dimanfaatkan untuk pengobatan infeksi ialah kulit batang. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui fraksi aktif yang terdapat dalam ekstrak etil asetat kulit batang kemiri serta mengetahui identitas senyawa yang terkandung dalam fraksi aktif hasil uji sebagai senyawa antibakteri S. aureus. Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni.
Metode ekstraksi yang dilakukan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat, dilanjutkan fraksinasi dengan Kromatografi Kolom dengan fase gerak kloroform-etanol-asam asetat glasial. Uji potensi antibateri menggunakan metode difusi sumuran untuk memperoleh fraksi aktif. Pengujian fraksi aktif ekstrak etil asetat serbuk kulit batang kemiri terhadap S. aureus dilakukan dengan metode bioautografi kontak. Uji identifikasi kualitatif fraksi aktif dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Hasil penelitian menunjukkan fraksi [kloroform - etanol - asam asetat (90:5:5)] memiliki potensi antibakteri dengan diameter zona hambat terbesar sehingga ditetapkan sebagai fraksi aktif. Pada uji KLT diduga kandungan senyawa aktif dalam fraksi aktif adalah alkaloid indol. Pengujian potensi menggunakan metode bioautografi kontak menunjukkan adanya potensi antibakteri dari alkaloid dengan terbentuknya zona hambat.
Kata kunci : kulit batang kemiri, ekstrak etil asetat, fraksi kloroform-etanol-asam asetat, Kromatografi Kolom, bioautografi, Staphylococcus aureus, Kromatografi Lapis Tipis, alkaloid.
vi
ABSTRACT
Staphylococcus aureus is one of nosocomial infection and absorption disorder
bacteria agent. Candlenut (Aleurites moluccana L. Willd) is one of useful plants to cure infection caused by bacteria. The part of the plant that used as antibacteria is the bark. This research is aimed to find an active fraction within candlenut bark ethyl acetate extract and compound within experiment result of active fraction as a S. aureus antibacteria compound. This research is a purely experimental research.
Extraction method that has been done was maseration with ethyl acetate solvent, continued with fractination by coloumn chromatography with mobile phase Chloroform-Ethanol-Acetic Acid. Antibacteria potency test uses diffusion method to get active fraction. Active fraction test on candlenut bark powder ethyl acetate extract againsts S. aureus was carried out with contact bioautography method. Qualitative identification test on active fraction carried out with Thin Layer Chromatography (TLC).
The result shows that chloroform-ethanol-acetic acid (90 : 5 : 5) fraction has antibacteria potency with widest inhibition zone diameter that it is determined as active fraction. On TLC test, it is presumed that active compound contents within active fraction is indole alkaloid. Test on potency with contact bioautography method shows antibacteria potency of alkaloid by inhibition zone establishment. Keyword : candlenut bark, ethyl acetate extract, chloroform-ethanol-acetic acid
fraction, Coloumn Chromatography, bioautography, Thin Layer Chromatography, alkaloid, Staphylococcus aureus.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus atas segala bimbingan,
dukungan, kekuatan, kasih, dan cintanya yang senantiasa dilimpahkan kepada
penulis, sehingga penulis dapat melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang
berjudul ”Potensi Antibakteri Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat Dari Ekstrak
Etil Asetat Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd) Terhadap
Staphylococcus aureus” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
dengan baik dan lancar.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan, arahan,
dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak dalam menghadapi hambatan dan
kesulitan yang ditemui penulis. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
2. Bapak Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberi banyak bantuan, bimbingan dan arahan selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si, Apt., yang telah memberikan kesediaannya sebagai
dosen penguji dan memberikan saran, masukan, serta kritik yang membangun.
viii
4. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si, Apt., yang telah membantu dalam memberi
pengetahuan dan masukan kepada penulis serta telah memberikan kesediaannya
sebagai dosen penguji.
5. Mas Sarwanto yang telah menyediakan alat dan membantu penulis selama penulis
melakukan penelitian di laboratorium mikrobiologi.
6. Mas Wagiran, Mas Sigit, dan Mas Andri yang telah meyediakan alat dan
membantu penulis selama penulis melakukan penelitian.
7. Staff pengajar dan segenap dosen Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
8. Kel. A. M. Sudjadi, segala perjuangan dan kerja keras yang penulis curahkan
dalam skripsi ini merupakan bentuk rasa terima kasih penulis atas dukungan, cinta
dan sayang yang diberikan.
9. Kel. Agustinus Suparjo, untuk doa dan dukungan bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Benedictus Irwan Wahyu K. untuk doa, kasih, kesabaran, dan kesetiaan bagi
penulis selama penyusunan skripsi ini.
11. Yohani Cahya P. dan Patricia Silih, teman seperjuangan penulis dalam penelitian
dan penyusunan skripsi ini, terima kasih atas kerja sama yang diberikan.
12. Hartono, A-Weng, Koh Eddy dan Mas Ardian untuk diskusinya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
ix
13. Teman-teman kelas B angkatan 2003 kelompok C: Siska, Indhu, Devi, Titien,
Komang, Anien, Ratna, Hartono, Punto, Maria, Yulia, Esti, Madya, Vian,
Budiarto, Rosa, Ratih, Vera ”cie-cie” untuk tahun-tahun kebersamaan yang indah
yang telah secara langsung memberikan dukungan kepada penulis.
14. Teman-teman kelas B angkatan 2003 : Endah, Essy, Fanny, dll yang secara
langsung maupun tidak langsung telah memberi dukungan kepada penulis.
Terima kasih karena penulis telah diberi kesempatan untuk mengenal kalian
15. Warga Wuluh 3AB, khususnya Candra, Whenty, dan Reni yang telah membantu
penulis menghilangkan rasa jenuh dalam penyusunan skripsi ini, masa-masa
indah bersama kalian tidak akan terlupakan.
16. Seluruh mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma angkatan 2003,
adik kelas, kakak kelas penulis dan semua pihak yang telah memberikan
kontribusi dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan.
Penulis selalu membuka diri atas masukkan, saran, dan kritik yang bersifat
membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini menjadi bagian
pengetahuan dan berguna bagi semua.
Yogyakarta, Juni 2007
Penulis
Agatha Vilma Shanti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………...……
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………….
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………..
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………...…………………..
INTISARI ………….………………………………………………………..
ABSTRACT ...……………………………………………………………….
KATA PENGANTAR ..……………………………………………………..
DAFTAR ISI ...………………………………………………………………
DAFTAR TABEL ..………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ….……………………………………...……………..
DAFTAR LAMPIRAN ..…………………………………………………….
BAB. I PENGANTAR .……………………………………………………..
A. Latar Belakang …………………………….………………………...
B. Permasalahan …………………………….……………………….....
C. Keaslian Penelitian …………….…………………………………….
D. Manfaat Penelitian .…………….…………………………………….
E. Tujuan Penelitian ……………….………………………....................
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA …….………………………………...
Hal
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
xi
xv
xvi
xvii
1
1
3
4
4
5
6
xi
A. Deskripsi Tanaman ……………….……………………….................
1. Nama Tanaman………………………………………………….
2. Pertelaan Morfologi……………………………………………..
3. Kandungan Kimia……………………………………………….
4. Khasiat ……………...…………………………………………..
B. Alkaloid…...…...……………………………………………………..
C. Penyarian……………..……………………………………………...
D. Fraksinasi……………..……………………………………………...
E. Kromatografi Lapis Tipis……………………………………………
F. Staphylococcus aureus...…………………………………………….
G. Metode Pengujian Potensi Antibakteri……………………………
H. Metode Bioautografi……………………………..…………………..
I. Landasan Teori………………………………………………………
J. Hipotesis……………………………………………………………...
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……….…………………………
A. Jenis dan Rancangan Penelitian …………………………………….
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……………………….
1. Variabel Penelitian………………………………………......
2. Definisi Operasional………………………………………...
C. Bahan dan Alat Penelitian …...………………………………….......
1. Bahan Penelitian …….……………………………………..
6
6
6
7
7
7
8
10
13
15
16
17
18
20
21
21
21
21
22
23
23
xii
2. Alat Penelitian..…………………………………………….
D. Tata Cara Penelitian ..………………………………………………..
1. Identifikasi Tanaman...…...…………………………………..
2. Pengumpulan Bahan ………..…..……………………………
3. Uji Tabung………..…………………...……………………..
4. Ekstraksi Serbuk Kulit Batang Kemiri..............……………..
5. Preparasi Sampel, Fase Diam, dan Fase Gerak Kromatografi
Kolom………..…………………...………………………….
6. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat dengan Kromatografi Kolom..
7. Uji Potensi Antibakteri Tiap Fraksi dan Pemilihan Fraksi
Aktif………..…………………...……………………...........
8. Uji Kualitatif Fraksi Aktif dengan Metode KLT……………
9. Uji Senyawa Aktif dari Fraksi Aktif dengan Metode
Bioautografi………..…………………...…………………….
E. Analisis Hasil………..…………………...…………………...
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………….......................………...
A. Identifikasi Tanaman………..…………………...………………….
B. Pengumpulan Bahan...........................................................................
C. Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif Kulit Batang Kemiri dengan
Uji Tabung………..…………………...…………………………….
D. Ekstraksi Serbuk Kulit Batang Kemiri………..………………….....
23
24
24
24
25
25
26
27
28
29
31
31
34
34
34
35
36
xiii
E. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat dengan Kromatografi Kolom..............
F. Pengujian Potensi Antibakteri Tiap Fraksi dan Pemilihan Fraksi
Aktif………..…………………...……………………………............
G. Identifikasi Kualitatif Fraksi Aktif dengan Metode KLT…….……...
H. Pengujian Potensi Antibakteri Fraksi Aktif Terhadap S. aureus
dengan Metode Bioautografi Kontak.....…………………………......
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN …….………………………………
A. Kesimpulan ..…………………………………………………………
B. Saran ...……………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA ...……………………………………………………..
LAMPIRAN ………...……………………………………………………….
BIOGRAFI …..………………………………………………………………
38
40
42
49
52
52
52
53
56
63
xiv
DAFTAR TABEL
I.
II.
III.
IV.
V.
Hasil pengamatan uji tabung ekstrak kulit batang
kemiri..……................................................................................
Hasil fraksi kromatografi kolom serbuk kulit batang kemiri ....
Rerata diameter zona hambat fraksi I, III, V terhadap S.
aureus…….................................................................................
Hasil Identifikasi Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat
(90:5:5)] -Alkaloid Tersier Kulit Batang
Kemiri………………………….………...................................
Rerata Harga Rf Fraksi Aktif dan Standar Piridin Terhadap S.
aureus Pada Plat KLT dan Pada Media Tumbuh ……………
Hal
36
39
41
45
50
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Skema Uji Kualitatif Fraksi Aktif Dengan Metode
KLT............................................................................................
Skema penelitian pengujian potensi antibakteri fraksi
kloroform-etanol-asam asetat dari ekstrak etil asetat kulit
batang kemiri terhadap S. aureus...............................................
Kromatogram fraksi V [kloroform : etanol : asam asetat
(90:5:5)] - alkaloid kuartener kulit batang kemiri……..............
Struktur gugus amin pada alkaloid tersier dan kuartener...........
Kromatogram fraksi V [kloroform : etanol : asam asetat
(90:5:5)] - alkaloid tersier kulit batang kemiri……...................
Reaksi standar piridin dengan pereaksi CAS.........……………
Reaksi pembentukan senyawa komplek alkaloid indol dengan
pereaksi CAS.........…………….........…………….........….....
Hal
30
33
44
45
46
48
48
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Surat pengesahan determinasi tanaman kemiri............………..
Foto Hasil Uji Potensi Antibakteri Fraksi Kloroform-Etanol
(95 : 5), Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat (90 : 8 : 2) dan
Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat (90 : 5 : 5) Terhadap S.
aureus Secara Difusi Sumuran...........………............................
Foto Hasil Uji Potensi Antibakteri Piridin sebagai Kontrol
Positif Terhadap S. aureus Secara Difusi Sumuran....................
Foto Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Alkaloid
Kuartener Dengan Fase Gerak Kloroform : Etanol : Asam
Asetat (60:20:20) ................................................…………
Foto Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Alkaloid tersier
Dengan Fase Gerak Kloroform : Etanol : Asam Asetat Glasial
(60:20:20)..............................................….....…………………
Hasil Uji Potensi Antibakteri Alkaloid Fraksi V [Kloroform :
Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] Dengan Metode Bioautografi
Kontak Terhadap S. aureus................................................…
Kromatogram Alkaloid Tersier- Alkaloid Kuarterner Fraksi V
[Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] Ekstrak Etil
Asetat Kulit Batang Kemiri ................................................…
Hal
56
57
58
59
60
61
63
xvii
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd) merupakan salah satu tanaman obat
asli Indonesia. Bagian tanaman kemiri yang dimanfaatkan untuk pengobatan adalah
biji serta kulit batangnya. Pada umumnya, biji kemiri dimanfaatkan sebagai bumbu
dapur namun dapat juga dimanfaatkan untuk menyuburkan serta menghitamkan
rambut (Kardono, Areanti, Dewiyanti & Basuki, 2003). Sedangkan kulit batangnya
untuk mengobati disentri dan sariawan (Soedibyo, 1998).
Menurut Duke (1999), kemiri memiliki kandungan kimia berupa tannin,
namun dari penelitian terdahulu (Melinda, 2005) pada profil Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) diduga terdapat senyawa alkaloid dalam kulit batang kemiri yang
potensial sebagai bahan antibakteri Staphylococcus aureus. Hal ini terbukti dari uji
tabung untuk uji alkaloid dimana senyawa alkaloid dalam kulit batang kemiri
membentuk endapan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari identifikasi secara KLT,
diduga senyawa yang berpotensi antibakteri pada kulit batang kemiri adalah alkaloid
golongan piridin-piperidin (Melinda, 2005).
Berdasarkan kandungan senyawa yang ada dalam kulit batang yang bersifat
non polar, maka penggunaan etil asetat sebagai larutan penyari adalah tepat (Anonim,
1
1986). Selain itu, dari penelitian terdahulu telah diperoleh Kadar Hambat Minimum
(KHM) ekstrak etil asetat kulit batang kemiri terhadap S. aureus sebesar 10 mg/ml.
Subyek uji menggunakan S. aureus dengan pertimbangan bahwa bakteri
tersebut merupakan salah satu penyebab infeksi nosokomial dan penyakit gangguan
pencernaan sehingga diharapkan dapat membantu mencegah penyebaran infeksi yang
disebabkan karena bakteri tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian yang melanjutkan penelitian sebelumnya
(Melinda, 2005) dengan pelarut yang sama dalam maserasi yaitu etil asetat.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada metode
fraksinasi serta metode pengujian antibakteri.
Ekstrak etil asetat difraksinasi dengan kromatografi kolom menggunakan tiga
pelarut yaitu campuran dari kloroform-etanol-asam asetat dengan perbandingan yang
berbeda-beda. Fraksinasi yang dilakukan bertujuan memisahkan ekstrak menjadi
beberapa fraksi sehingga dapat diketahui pelarut mana yang lebih optimal dalam
menyari senyawa yang berpotensi antibakteri terhadap S. aureus.
Metode difusi secara sumuran dilakukan untuk mengetahui potensi antibakteri
fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom yaitu fraksi kloroform : etanol (95 : 5),
fraksi kloroform : etanol : asam asetat (90 : 8 : 2) dan fraksi kloroform : etanol : asam
asetat (90 : 5 : 5). Metode bioautografi kontak digunakan untuk mengetahui zona
hambat dari bercak senyawa pada fraksi aktif yang berpotensi antibakteri terhadap S.
aureus yang diperoleh dari pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
2
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai identitas senyawa yang terdapat dalam fraksi aktif hasil uji sebagai
senyawa antibakteri S. aureus. Untuk selanjutnya, diharapkan senyawa yang terdapat
dalam fraksi aktif hasil uji yang berpotensi antibakteri dapat digunakan sebagai model
obat atau sediaan yang bermanfaat untuk mencegah penyebaran infeksi karena bakteri
S. aureus.
B. Permasalahan
a. Apakah fraksi kloroform-etanol (95 : 5), fraksi kloroform-etanol-asam asetat
(90 : 8 : 2) dan fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 5 : 5) dari ekstrak etil
asetat kulit batang kemiri berpotensi antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus ?
b. Fraksi dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri manakah yang aktif terhadap
Staphylococcus aureus ?
c. Identitas senyawa apakah yang terdapat dalam fraksi aktif dari ekstrak etil
asetat kulit batang kemiri yang berpotensi antibakteri Staphylococcus aureus ?
d. Apakah dengan metode bioautografi kontak fraksi aktif dari ekstrak etil asetat
kulit batang kemiri berpotensi antibakteri Staphylococcus aureus ?
3
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka dan informasi yang diperoleh penulis, penelitian
mengenai Potensi Antibakteri Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat Dari Ekstrak
Etil Asetat Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd) Terhadap
Staphylococcus aureus belum pernah diteliti sebelumnya.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan yang berguna
untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kesehatan
mengenai senyawa aktif dalam kulit batang kemiri yang berpotensi sebagai
antibakteri.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai manfaat kulit batang kemiri sebagai salah satu alternatif pengobatan
tradisional untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus.
4
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui fraksi kloroform-etanol (95 : 5), fraksi kloroform-etanol-asam
asetat (90 : 8 : 2) dan fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 5 : 5) dari
ekstrak etil asetat kulit batang kemiri berpotensi antibakteri terhadap S.
aureus.
2. Mengetahui fraksi dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri yang aktif
terhadap S. aureus.
3. Mengetahui identitas senyawa yang terdapat dalam fraksi aktif dari
ekstrak etil asetat kulit batang kemiri yang berpotensi antibakteri S.
aureus.
4. Mengetahui bahwa dengan metode bioautografi kontak fraksi aktif dari
ekstrak etil asetat kulit batang kemiri berpotensi antibakteri S. aureus.
5
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Deskripsi Tanaman
1. Kemiri
Kemiri yang dalam bahasa latin disebut Aleurites moluccana L. Willd
memiliki sinonim Aleurites triloba, Aleurites javanica, Aleurites remyi, dan Jatropha
moluccana. Nama umum dari kemiri antara lain candleberry, candlenut, dan Indian
walnut (Duke, 1999). Adapun nama daerahnya yaitu kereh, hambiri, buah koreh
(Sumatra); muncang, komere, kemiri (Jawa); kameri (Bali); kawilu (Nusa Tenggara);
sapiri, ampiri, bintalo dudulaa (Sulawesi); serta sakete, hagi (Maluku). Kemiri
termasuk dalam suku Euphorbiaceae (Arief, 1996).
2. Pertelaan morfologi
Kemiri merupakan pohon besar dengan ketinggian antara 25-30 meter. Bagian
batangnya tegak, berkayu, pada permukaan memiliki banyak lentisel, percabangannya
simpodial, di bagian batang sebelah atas terdapat tonjolan bekas melekatnya tangkai
daun serta berwarna coklat. Bunga berbentuk malai, berkelamin dua, berada diujung
cabang. Tanaman ini memiliki daun tunggal, berseling, berbentuk lonjong, memiliki
tepi yang rata, bergelombang, bagian ujung runcing, bagian pangkal tumpul,
pertulangan daun menyirip serta berwarna hijau. Buahnya berbentuk bulat telur,
beruas-ruas dengan panjang ± 7 cm serta lebar ± 6,5 cm, berwarna hijau saat masih
6
muda setelah tua berwarna coklat, dan berkeriput. Bijinya bulat, berkulit keras,
berusuk atau beralur, berdiameter ± 3,5 cm, berdaging, berminyak, warnanya putih
kecoklatan. Akarnya merupakan akar tunggang yang berwarna coklat (Arief, 1996).
3. Kandungan Kimia
Daging biji, daun serta akar kemiri memiliki kandungan kimia saponin,
flavonoid dan polifenol (Arief, 1996), sedangkan pada bagian kulit batang
mengandung tannin (Duke, 1999). Menurut penelitian Melinda (2005), dalam kulit
batang kemiri diduga terdapat alkaloid.
4. Khasiat
Biji kemiri biasa digunakan untuk perawatan rambut (Anonim, 1999). Kulit
batang kemiri berkhasiat sebagai obat disentri, pencahar, sembelit serta luka infeksi
(Kardono dkk, 2003). Selain itu, di Jepang kulit batang kemiri telah digunakan
sebagai obat tumor (Anonim, 1999).
B. Alkaloid
Alkaloid termasuk senyawa organik dengan basa nitrogen yang terdapat
dalam tumbuhan dimana kebanyakan memiliki aktivitas fisiologis tertentu. Umumnya
alkaloid mengandung satu atom nitrogen. Karena memiliki pasangan elektron bebas
pada atom nitrogen, maka alkaloid memiliki sifat basa. Kebanyakan alkaloid berupa
zat padat, berasa pahit dan sukar larut air, mudah larut dalam kloroform, eter dan
pelarut organik lain (Mursyidi, 1990). Alkaloid dalam bentuk garam larut dalam air
namun tak larut dalam pelarut organik. Untuk mengidentifikasi adanya alkaloid dapat
7
dilakukan dengan penambahan pereaksi Dragendroff maupun Mayer ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan (Mursyidi, 1990).
Golongan alkaloid yang memiliki aktivitas antibakteri antara lain golongan
indol, steroid, kinolin, serta piridin-piperidin dengan aktivitas antibakteri yang lebih
sensitif terhadap bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif (Roberts, 1998).
Piridin
Piridin merupakan salah satu golongan alkaloid dengan struktur berupa
benzena dengan satu atom nitrogen. Pada atom nitrogen terdapat pasangan elektron
bebas, karena pasangan elektron bebas ini tidak ditempatkan pada ikatan pi aromatis,
menyebabkan piridin memiliki sifat yang hampir sama dengan amin tersier. Kebasaan
piridin tergantung dari pasangan elektron bebas pada atom nitrogen. Ikatan rangkap
karbon-nitrogen menurunkan kebasaan piridin (Cordell, 1981). Piridin merupakan
bahan kimia berupa cairan dengan bau asam yang khas. Piridin disintesis dari
asetaldehid, formaldehid, atau amonia. Piridin bersifat volatil dan karsinogen. Gejala
yang terjadi apabila terpapar piridin antara lain menyebabkan sakit kepala, batuk,
laringitis, mual dan muntah. Piridin dapat diserap melalui kulit dan diketahui dapat
menurunkan fertilitas pada lelaki (Anonim, 1999).
C. Penyarian
Penyarian adalah cara mengekstraksi zat aktif yang terkandung dalam
simplisia nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai (Anonim, 1995).
Berdasarkan jumlah pelarut yang terkandung di dalamnya, ekstrak dibedakan menjadi
8
tiga yaitu ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak cair. Cairan penyari dalam
ekstraksi adalah pelarut yang baik atau optimal untuk kandungan senyawa yang
berkhasiat, sehingga ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa yang
diinginkan serta senyawa tersebut dapat terpisahkan dari senyawa dan bahan lain
(Anonim, 2000). Ada beberapa metode penyarian antara lain infundasi, maserasi,
perkolasi, serta penyarian berkesinambungan.
Maserasi
Maserasi termasuk cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang berisi senyawa metabolit primer dan
sekunder. Oleh karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan senyawa
metabolit primer dan sekunder di dalam dengan di luar sel, maka larutan terpekat
akan didesak keluar sehingga senyawa metabolit akan larut dalam pelarut. Peristiwa
ini terjadi berulang-ulang sehingga akan terjadi kesetimbangan konsentrasi antar
larutan senyawa metabolit. Apabila terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan
senyawa metabolit di dalam dengan di luar sel maka penyarian tidak dapat berjalan
sempurna. Oleh karena itu perlu dilakukan pengadukan untuk menjaga derajat
perbedaan konsentrasi. Maserasi kinetik berarti maserasi yang dilakukan secara terus-
menerus (kontinyu). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah penyaringan maserasi pertama dan seterusnya (Anonim, 1986).
9
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan serta
peralatan yang sederhana dan mudah dikerjakan. Sedangkan kerugiannya yaitu
pengerjaan yang lama serta penyarian yang kurang sempurna (Anonim, 1986).
D. Fraksinasi
Komponen yang berada dalam campuran, seperti ekstrak yang berasal dari
organisme hidup dapat dipisahkan ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai
persamaan karakter fisika-kimianya. Proses ini disebut fraksinasi dan dapat dilakukan
dalam berbagai metode. Metode yang digunakan antara lain :
1. Pengendapan
Pengendapan digunakan untuk memindahkan bahan yang tidak diinginkan
dan mempertahankan bahan yang penting dalam larutan. Metode yang paling
sederhana adalah dengan menurunkan temperatur larutan. Komponen yang kurang
larut dapat diendapkan dan dipisahkan dengan sentrifugasi atau filtrasi. Cara lainnya
yaitu dengan mengubah polaritas pelarut dengan menambahkan pelarut yang dapat
bercampur dengan polaritas yang berbeda. Salting out juga merupakan salah satu cara
fraksinasi dengan pengendapan yaitu dengan menambahkan ekstrak berair dengan
larutan elektrolit yang sangat larut air sehingga bahan non-ionik akan terendapkan
(Houghton, 1988).
2. Ekstraksi pelarut-pelarut
Cara fraksinasi ini menggunakan corong pisah. Ketika ekstrak ditambah
cairan lain yang tidak dapat bercampur maka akan terbentuk dua lapisan. Masing-
10
masing komponen dalam ekstrak akan terlarut pada masing-masing fase lapisan
hingga konsentrasinya mencapai titik keseimbangan. Beberapa fase organik sangat
mudah membentuk emulsi dengan larutan yang mengandung air contohnya pelarut
kloroform dan diklorometan. Sehingga penggunaan pelarut ini sebaiknya dihindari,
namun bila tetap digunakan sebaiknya campuran digojog dengan lembut (Houghton,
1988).
3. Destilasi
Pemisahan campuran yang mengandung komponen volatile efektif dipisahkan
dengan destilasi. Alat yang digunakan pada fraksinasi ini adalah destilator. Cara ini
dilakukan secara ekstensif dalam industri, namun penggunaannya terbatas untuk
fraksinasi ekstrak tanaman dan hanya dapat dipakai untuk minyak volatile (minyak
esensial) (Houghton, 1988).
4. Dialisis
Dialisis merupakan metode pemisahan komponen dari suatu campuran
berdasarkan ukuran molekulnya. Bagian yang penting dari prosedur ini adalah
membran semipermeabel yang tipis yang mengandung polimer dengan pori-pori
tertentu yang memberikan jalan untuk molekul kecil (massa molekul < 1000 dalton).
Molekul dengan ukuran yang lebih besar tidak dapat lewat (Houghton, 1988).
5. Elektroforesis
Elektroforesis merupakan suatu metode pemisahan substansi dari suatu
campuran yang mengandung energi listrik. Dibawah pengaruh energi listrik, masing-
masing molekul akan bergerak dengan kecepatan berbeda-beda berdasarkan pada
11
ukuran, bentuk, dan total energi listrik. Elektroforesis utamanya digunakan sebagai
metode analisis suatu campuran dalam jumlah kecil yang mengandung molekul
bermuatan terutama protein, peptida dan asam amino (Houghton, 1988).
6. Kromatografi
Prosedur kromatografi merupakan teknik yang digunakan secara luas pada
fraksinasi ekstrak. Teknik ini tidak diragukan lagi untuk isolasi banyak senyawa
alam. Kromatografi terdiri dari dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam
untuk prosedur fraksinasi biasanya berupa padatan. Proses kromatografi terjadi akibat
adanya kesetimbangan dinamik zat terlarut pada dua fase.
Berdasarkan distribusinya, kromatografi dibagi menjadi dua yaitu adsorpsi dan
partisi. Adsorpsi merupakan distribusi senyawa diantara permukaan padat dan cairan,
sedangkan partisi merupakan distribusi senyawa diantara dua cairan yang tidak saling
campur.
Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom termasuk kromatografi cair yang digunakan untuk
pemisahan campuran dalam jumlah besar. Fase diam berbentuk padat dan fase gerak
diisikan di dalam kolom (tabung kaca atau plastik) dimana terdapat keran untuk
mengatur aliran fase gerak (pelarut) di bagian bawahnya. Biasanya fase gerak dibuat
dalam bentuk suspensi. Cuplikan (campuran senyawa) dialirkan di atas fase diam dan
fase gerak dibiarkan mengalir melalui cuplikan serta fase diam dan membawa serta
senyawa yang larut di dalamnya akibat adanya pengaruh gaya gravitasi. Dengan
12
demikian senyawa dalam cuplikan dapat dipisahkan dan dikumpulkan sebagai fraksi
(Gritter, 1991).
Pemilihan fase diam bergantung pada polaritas dan tingkat keaktifan fase
diam. Gugus hidroksi pada permukaan polar berfungsi untuk menarik molekul
senyawa dari cuplikan yang kompleks karena terdapat antaraksi dipol-dipol dan
ikatan hidrogen. Apabila semua titik telah ditempati air atau pelarut berproton
(alkohol atau amina), fase diam dikatakan tidak aktif oleh karena itu dilakukan
pengaktifan dengan pemanasan untuk menghilangkan air. Fase diam yang paling
sering digunakan adalah alumina dan silika gel (Gritter, 1991). Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan silika gel GF254 sebagai fase diamnya.
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode kromatografi cair paling
sederhana untuk memisahkan komponen kimia (Anonim, 2006). Selain itu juga
digunakan untuk mengetahui sistem pelarut serta sistem penyangga yang akan
digunakan dalam kromatografi kolom. Prinsip KLT yaitu terjadinya pemisahan
komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam terhadap fase
gerak. Terdapat dua fase dalam KLT, yaitu fase diam (lapisan) dan fase gerak
(campuran pelarut pengembang). Fase diam berfungsi sebagai penyerap yang berupa
serbuk halus. Penyerap yang sering digunakan dalam KLT adalah silika gel, alumina,
dan selulosa. Untuk pemisahan senyawa yang mengandung alkaloid digunakan fase
gerak silika gel (Mulja dan Suharman, 1995). Fase gerak berfungsi sebagai pengelusi
13
yang terbuat dari berbagai macam campuran pelarut (Gritter, 1991). Kromatogram
pada KLT berupa noda-noda yang terpisah. Untuk mengetahui noda-noda yang
terpisah dapat digunakan 2 cara yaitu dengan pereaksi warna (secara kimia) atau
diletakkan di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm (secara fisika). Untuk pemisahan
senyawa non polar, pada proses pemisahan adsorpsi digunakan pelarut pengembang
yang bersifat non polar juga (Mulja dan Suharman, 1995).
Pada kromatogram KLT terdapat faktor retardasi (Rf) yang dinyatakan dengan
Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf =
Jarak yang ditempuh eluen
Angka Rf memiliki rentang dari 0,00 – 1,00. Nilai hRf adalah angka Rf dikalikan
faktor 100 (h), menghasilkan nilai dengan rentang antara 0 hingga 100 (Stahl, 1985).
Keuntungan dari KLT yaitu pemisahan senyawa dapat dilakukan dalam waktu
singkat dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal, pelarut dan cuplikan yang
digunakan jumlahnya relatif sedikit (Gritter,1991).
Identifikasi alkaloid golongan piridin dapat dilakukan dengan menggunakan
KLT silika gel G sebagai fase diam sedangkan fase gerak menggunakan kloroform :
methanol dengan perbandingan 3 : 1 atau dapat pula menggunakan kloroform :
methanol : asam asetat dengan perbandingan 60 : 10 : 1. Penyemprot yang digunakan
untuk mendeteksi adanya alkaloid antara lain reagen Mayer, reagen Dragendorff,
maupun reagen Lieberman Burchard. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
silika gel GF254 p.a. sebagai fase diam pada KLT sedangkan fase geraknya kloroform
14
: etanol : asam asetat dengan perbandingan 60 : 20 : 20. Penyemprot yang digunakan
untuk deteksi ialah Cerium Amonium Sulfat (CAS). Warna yang terbentuk pada
bercak terjadi karena adanya ikatan antara gugus dalam senyawa uji dengan senyawa
logam berat dalam pereaksi semprot (Cordell, 1981).
F. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, bentuk bulat,
biasanya tersusun dalam rangkaian tak beraturan seperti anggur, berdiameter 1 µm,
tidak bergerak dan tidak membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob, tumbuh paling
cepat pada suhu 370C, koloni berbentuk bundar, halus, menonjol, berkilau, serta
berwarna abu-abu hingga kuning emas tua (Williams dan Wilkins, 2000).
Bakteri S. aureus dapat menghasilkan suatu protein yang mirip dengan enzim
yang menggumpalkan plasma yang telah diberi sitrat atau oksalat yang disebut
koagulase. S. aureus dianggap sebagai bakteri patogen invasif karena dapat
menghasilkan koagulase (Jawetz dkk, 1996).
S. aureus ditemukan pada kulit dan hidung pada sekitar 25-30% orang sehat.
S. aureus apabila dalam jumlah melebihi flora normal tubuh akan menginfeksi kulit
sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ringan sampai berat, seperti
meningitis, endokarditis dan pneumonia (Anonim, 2007).
15
G. Metode Pengujian Potensi Antibakteri
Metode pengujian potensi antibakteri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara dilusi atau difusi. Pengukuran potensi antibakteri menggunakan metode difusi
didasarkan pada pengamatan zona hambat pertumbuhan bakteri uji yang terbentuk
(Jawetz, 1996).
Ada beberapa cara dalam penggunaan metode difusi, yaitu :
a. Cara Kirby Bouwer
Cara ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri pada medium agar
dengan konsentrasi tertentu (Lay, 1994). Penggunaan paper disk sebagai
parameter resistensi bakteri dengan membandingkan diameter zona hambat
yang terbentuk (Anonim, 1993).
b. Cara tuang atau pour plate
Cara ini dilakukan dengan menginokulasikan suspensi bakteri ke dalam
tabung reaksi yang berisi agar cair yang telah didinginkan pada suhu 45oC. Isi
dalam tabung reaksi diaduk untuk menghomogenkan bakteri dengan medium,
campuran dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat
(Anonim, 1993).
c. Cara sumuran
Preparasi awal sama seperti pada cara Kirby Bouwer. Sumuran dibuat
dengan diameter yang telah ditentukan dan tegak lurus terhadap permukaan
medium, ke dalam sumuran diteteskan larutan uji kemudian diinkubasi pada
suhu 37oC selama 24-48 jam (Anonim, 1993).
16
H. Bioautografi
Bioautografi merupakan suatu gabungan metode kimia (kromatografi) dan
mikrobiologi yang bertujuan untuk mendeteksi aktivitas senyawa dari suatu
campuran yang berpotensi antibakteri (Choma, 2005). Metode bioautografi biasanya
dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Bioautografi Kontak
Prinsip dari metode bioautografi kontak ialah berdifusinya senyawa
antibakteri dari plat KLT ke dalam medium agar yang sudah diinokulasi dengan
bakteri uji. Plat KLT ditempelkan ke dalam medium agar dan didiamkan selama
beberapa menit untuk proses difusi selanjutnya plat KLT diambil dan medium agar
diinkubasi. Zona hambat diketahui dari permukaan agar pada daerah dimana tidak
terdapat pertumbuhan bakteri. Kelemahan dari metode ini ialah kesulitan dalam
menempelkan seluruh lempeng KLT di atas medium agar dan melekatnya adsorben
pada permukaan agar. Kekurangan ini dapat diatasi dengan menambahkan asam
silikat (Choma, 2005).
2. Bioautografi Langsung
Dalam bioautografi langsung, plat KLT dimasukkan ke dalam suspensi
bakteri atau suspensi bakteri disemprotkan ke plat KLT selanjutnya plat KLT
diinkubasi dan bakteri tumbuh secara langsung pada plat KLT tersebut. Untuk
mengetahui tempat dan adanya senyawa antibakteri maka digunakan garam
tetrazolium dimana akan berwarna dengan adanya bakteri. Adanya senyawa
antibakteri pada plat KLT akan membunuh bakteri sehingga tidak terbentuk warna di
17
sekitar bercak. Zona hambat yang terbentuk ialah daerah di sekitar bercak yang
berwarna pucat atau tidak berwarna (Choma, 2005).
3. Bioautografi Imersi
Dalam bioautografi imersi, plat KLT ditutup dengan medium agar yang sudah
diinokulasi dengan bakteri uji. Bioautografi imersi merupakan metode campuran dari
bioautografi kontak dan langsung dimana senyawa antibakteri berdifusi dari plat KLT
ke medium agar namun selama inkubasi medium agar tetap berada di atas plat KLT.
Kelemahan dari metode ini ialah sensitivitas yang rendah (Choma, 2005).
Keuntungan utama dari bioautografi ialah dapat memberikan informasi
mengenai aktivitas antibakteri suatu senyawa secara terpisah dari suatu campuran
(Choma, 2005).
V. Landasan Teori
Kulit batang kemiri berkhasiat untuk mengobati penyakit disentri (Anonim,
2006). Tanaman kemiri memiliki kandungan kimia berupa tannin (Duke, 1999),
saponin, flavonoid dan polifenol (Arief, 1996). Dari penelitian terdahulu (Melinda,
2005), melalui uji tabung diketahui terdapat senyawa alkaloid dalam kulit batang
kemiri ditandai dengan terbentuknya endapan. Identitas senyawa alkaloid yang
terkandung di dalam fraksi aktif kulit batang kemiri hasil uji diduga merupakan
golongan piridin-piperidin dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) terhadap S.
aureus sebesar 10 mg/ml. Alkaloid golongan piridin-piperidin memiliki aktivitas
yang kuat pada bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif (Roberts, 1998).
18
Bakteri S. aureus bersifat Gram positif. Bakteri tersebut merupakan bakteri
patogen utama bagi manusia yang dapat menyebabkan infeksi pada luka, keracunan
makanan bahkan infeksi paru-paru (Jawetz dkk, 1996).
Metode penyarian yang digunakan ialah remaserasi kinetik. Dengan metode
ini senyawa yang terdapat dalam serbuk kulit batang kemiri dapat tersari seluruhnya
karena adanya pengulangan maserasi dengan penggantian pelarut setiap 24 jam.
Adanya kinetik akan mengoptimalkan jumlah senyawa yang dapat larut dalam etil
asetat. Selain itu metode ini mudah dan sederhana (Mursyidi, 1990). Alkaloid bersifat
non polar sehingga mudah larut dalam pelarut non polar pula karenanya digunakan
etil asetat sebagai penyari.
Pemisahan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etil asetat kulit batang
kemiri menjadi beberapa fraksi dilakukan dengan metode kromatografi kolom.
Metode ini dipilih karena dapat memisahkan senyawa menjadi beberapa fraksi yang
akan memudahkan pengidentifikasian senyawa aktif. Selain itu menurut Cordell
(1981), alkaloid difraksinasi dengan kromatografi kolom dan selanjutnya diuji dengan
KLT. Menurut Cordell (1981) fase gerak untuk alkaloid piridin adalah kloroform :
metanol : asam asetat (60:10:1). Namun pada penelitian ini fase gerak yang
digunakan adalah kloroform : etanol (95:5), kloroform : etanol : asam asetat (90:8:2),
dan kloroform : etanol : asam asetat (90:5:5). Etanol digunakan sebagai pengganti
metanol karena metanol bersifat toksik selain itu kepolaran etanol tidak berbeda jauh.
Karena metanol mempunyai nilai kepolaran 5,1 dan etanol 5,2 maka perbandingan
jumlah etanol yang digunakan lebih sedikit. Hal ini bertujuan supaya kepolaran
19
pelarut mendekati kepolaran fase gerak kloroform : metanol : asam asetat (60:10:1)
sehingga alkaloid tersari di fase gerak ini.
Metode bioautografi kontak merupakan metode yang digunakan untuk
mengetahui potensi antibakteri suatu senyawa yang terdapat dalam bercak plat KLT
dengan membandingkan harga Rf zona hambat yang terbentuk dengan harga Rf
pembanding (piridin).
VI. Hipotesis
Fraksi-fraksi kloroform-etanol-asam asetat berpotensi sebagai bahan
antibakteri S. aureus.
20
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan
rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
Beberapa fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom
b. Variabel tergantung
Diameter zona hambat terhadap pertumbuhan S. aureus
c. Variabel terkendali
Umur tanaman ± 6 tahun, kondisi tempat tumbuh tanaman, diameter
batang antara 4-14 cm, suhu pengeringan 500C, waktu pengeringan 48
jam, lama maserasi 48 jam, suhu inkubasi bakteri uji 370C, waktu inkubasi
bakteri uji 24 jam, volume media pertumbuhan mikroba uji (5 ml, 25 ml
21
dan 50 ml) dan jenis media (Nutrien Agar dan Nutrien Broth), diameter
sumuran 7 mm.
2. Definisi Operasional
a. Kulit batang kemiri merupakan bagian luar dari bagian kayu pada batang
yang berbatasan dengan kambium batang dengan diameter ± 4-12 cm.
b. Potensi antibakteri adalah kemampuan fraksi kloroform-etanol (95 : 5),
fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 8 : 2) dan fraksi kloroform-
etanol-asam asetat (90 : 5 : 5) dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri
untuk menghambat atau membunuh bakteri S. aureus.
c. Fraksi aktif yaitu fraksi yang diperoleh dari pemisahan dengan
kromatografi kolom yang memiliki zona hambat terbesar terhadap S.
aureus di sekitar sumuran dan berbeda bermakna dengan kontrol negatif.
d. Ekstrak etil asetat adalah semua senyawa dalam kulit batang yang tersari
di dalam pelarut etil asetat dengan penyarian secara maserasi.
e. Fraksi kloroform-etanol (95 : 5) ialah fraksi hasil pemisahan kromatografi
kolom yang tersari dalam kloroform-etanol (95 : 5).
f. Fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 8 : 2) ialah fraksi hasil
pemisahan kromatografi kolom yang tersari dalam kloroform-etanol-asam
asetat (90 : 8 : 2).
22
g. Fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 5 : 5) ialah fraksi hasil
pemisahan kromatografi kolom yang tersari dalam kloroform-etanol-asam
asetat (90 : 5 : 5).
h. Fraksi kental ialah fraksi yang diperoleh dari hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom dimana semua atau hampir semua pelarut diuapkan.
i. Bioautografi kontak ialah metode untuk mendeteksi bercak senyawa aktif
pada kromatogram hasil KLT yang berpotensi antibakteri terhadap S.
aureus.
C. Bahan Penelitian
Serbuk kulit batang kemiri diperoleh dari Laboratorium Kebun Obat, Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma. Kultur murni S. aureus (ATCC 25923) dari
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Sanata Dharma. Media Nutrien Agar (NA) dan
media Nutrien Broth (NB) digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri. Larutan
standard Mc Farland II (setara dengan kepadatan bakteri 6 x 108 CFU/ml). Kloroform
(p.a), etanol (p.a), asam asetat glasial, aquadest, Dimetilsulfoksid (DMSO) (p.a),
Natrium sulfat anhidrat, petroleum eter, etil asetat t.k, Silika gel GF254, dan pereaksi
Cerium Ammonium Sulfat (CAS).
D. Alat Penelitian
Shaker (INNOVA 2100), evaporator (IKAVAC VC RV 05 – ST, Janke dan
Kunkel), pompa vakum, pengayak, cawan porselin, oven (Memmert), neraca analitik
(Mettler-Toledo, type 6133002, AB 20 V Switzerland), erlenmeyer (Pyrex), beaker
glass (Pyrex), tabung reaksi, pipet tetes, gelas ukur (Pyrex), pipet volume, batang
23
pengaduk, corong, gelas arloji, bejana chamber, pipa kapiler atau mikropipet,
penjepit, lampu UV 254 dan 365 nm (Desaga), jarum ose, bunsen, Microbiology
Safety Cabinet (MSC), obyek glass, inkubator (Memmert, BE 400, Germany),
kompor listrik, vortex (SAI, UK), cawan petri, mikropipet (Model 5000 DG, japan),
sumuran no. 4, glasfirn pump (Germany), Autoclave (Model KT-40 ALP Co., Ltd,
Tokyo, Japan), seperangkat alat Kromatografi Kolom, waterbath.
E. Tata Cara Penelitian
1. Identifikasi Tanaman
Identifikasi tanaman kemiri dilakukan di Laboratorium Farmakognosi
Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan
mencocokkan bagian tanaman kemiri yaitu daun dan bunga menggunakan buku
panduan monografi dan deskripsi tanaman (Kardono dkk, 2003).
2. Pengumpulan Bahan
Kulit batang kemiri didapat antara bulan Februari sampai dengan Maret
dari tanaman kemiri yang tumbuh di lingkungan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma yang berumur ± 6 tahun. Kulit batang yang diambil berasal dari
cabang dengan diameter ± 4-12 cm. Kulit batang dicuci dengan air mengalir,
dipotong kecil-kecil, dikeringkan di dalam oven selama ± 48 jam pada suhu 50o C
24
hingga kering kemudian diserbuk dan diayak. Pengayak yang digunakan
berukuran 28 mesh.
3. Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif Kulit Batang Kemiri dengan Uji
Tabung
a. Uji Alkaloid
Dua gram serbuk kulit batang dipanaskan dalam tabung reaksi dengan
10 ml HCl 1% selama 30 menit. Suspensi disaring dengan kapas ke dalam
tabung reaksi A, larutan A dibagi tiga sama banyak, lalu kedalam larutan A1
ditambah 5 tetes dragendroff LP, larutan A2 ditambah 5 tetes mayer LP dan
pada larutan A3 ditambah 5 tetes bouchardat LP. Bila terbentuk endapan
dengan ketiga pereaksi tersebut berarti menunjukkan adanya alkaloid.
b. Uji Polifenol
Dua gram serbuk kulit batang kemiri dipanaskan dengan 10 ml air
selama 10 menit dalam penangas air mendidih. Disaring panas-panas, setelah
dingin ditambah 3 tetes pereaksi besi (III) klorida. Bila didapatkan warna
hijau-biru menunjukkan adanya polifenol.
4. Ekstraksi Serbuk Kulit Batang Kemiri
Ditimbang 300 gram serbuk kulit batang kemiri dan dibagi ke dalam
enam buah erlenmeyer 300 ml masing-masing berisi 50 mg serbuk dan ditambah
dengan pelarut petroleum eter hingga serbuk terendam seluruhnya. Erlenmeyer
25
ditutup rapat dengan alumunium foil kemudian digojog dengan shaker selama 1
jam. Lalu disaring dengan kertas saring. Filtrat yang diperoleh disingkirkan dan
residunya dimaserasi. Ampas/residu (sisa petroleum eter dibiarkan menguap)
dimaserasi dengan cairan penyari etil asetat hingga seluruh serbuk terendam.
Erlenmeyer ditutup rapat dengan alumunium foil. Digojog dengan shaker dengan
kecepatan 170 rpm selama kurang lebih 24 jam. Disaring menggunakan kertas
saring hingga didapat ampas dan maserat etil asetat. Maserat etil asetat diuapkan
dengan rotaevaporator dan dipekatkan diatas penangas air hingga diperoleh fraksi
kental. Remaserasi dilakukan selama 3 x 24 jam dengan ampas yang sama.
5. Preparasi Sampel, Fase Diam, dan Fase Gerak Kromatografi Kolom
Untuk preparasi sampel, ekstrak kental diencerkan dengan pelarut etil
asetat. Kolom dicuci dengan aquadest dan dibilas dengan etil asetat. Dengan
bantuan pinset dan lidi, glass wool dimasukkan. Kolom dipasang pada statif
setinggi 20 cm.
Pada preparasi fase diam, sedikit fase gerak kloroform : etanol (95 : 5)
dimasukkan ke dalam kolom. Sebanyak 20 gram silika gel GF254 dimasukkan ke
dalam bekker glass yang telah berisi kloroform : etanol (95 : 5) lalu diaduk. Buih
yang terbentuk dihilangkan. Bubur silika gel yang telah terbentuk dimasukkan ke
dalam kolom kemudian kolom ditepuk untuk menjadikan homogen pada
pengepakan serta menghilangkan gelembung udara. Apabila sudah homogen,
maka bagian atas silika gel ditambahkan Na2SO4 anhidrat.
26
Selanjutnya untuk preparasi fase gerak, keran pada bagian bawah kolom
dibuka dan fase gerak dibiarkan menetes. Fase diam dicuci dengan 50 ml fase
gerak kloroform : etanol (95 : 5) kemudian dibiarkan menetes hingga terdapat ±
0,5 cm fase gerak tersisa diatas fase diam, kemudian keran bawah ditutup.
6. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat dengan Kromatografi Kolom
Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam kolom dengan hati-hati.
Setelah sampel hampir masuk semuanya ke dalam fase gerak, keran dibuka dan
fase gerak kloroform : etanol (95 : 5) dialirkan melalui dinding kolom. Fase gerak
dialirkan kembali sehingga diatas fase diam selalu terdapat eluen ± 1 cm. Eluen
ditampung pada erlenmeyer hingga diperoleh eluen sebanyak 100 ml (fraksi I).
Setelah diperoleh 100 ml eluen, keran bagian bawah ditutup lalu fase gerak yang
ada di corong pisah diganti dengan fase gerak kloroform : etanol : asam asetat
(90:8:2). Fase gerak tersebut dialirkan dengan keran bagian bawah dalam keadaan
terbuka, fase gerak dialirkan kembali hingga di atas fase diam selalu terdapat ±
0,5 cm fase gerak. Eluen ditampung dalam erlenmeyer berbeda hingga mencapai
100 ml (fraksi II). Keran bagian bawah ditutup kemudian fase gerak dialirkan
kembali dengan posisi keran bawah terbuka dan dipastikan diatas fase diam selalu
terdapat ± 0,5 cm fase gerak. Eluen ditampung sebanyak 100 ml (fraksi III).
Keran bagian bawah ditutup dan fase gerak diganti dengan fase gerak kloroform :
etanol : asam asetat (90:5:5). Fase gerak dialirkan dengan keran bagian bawah
terbuka, alirkan kembali fase gerak tersebut hingga diatas fase diam selalu
terdapat ± 0,5 cm fase gerak. Eluen sebanyak 100 ml ditampung dalam
27
erlenmeyer berbeda (fraksi IV). Keran bagian bawah ditutup lalu fase gerak
dialirkan kembali dengan keran bagian bawah terbuka dan dipastikan selalu
terdapat ± 0,5 cm fase gerak diatas fase diam. Eluen ditampung hingga diperoleh
100 ml (fraksi V).
7. Uji Potensi Antibakteri Tiap Fraksi dan Pemilihan Fraksi Aktif
a. Pembuatan suspensi bakteri S. aureus
Sebanyak 1 ose bakteri uji dari kultur murni diinokulasikan dalam 5 ml
nutrient broth dan diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam kepadatan
bakteri uji disamakan dengan larutan standar Mc Farland II (setara dengan
kepadatan bakteri 6 x 108 CFU/ml)
b. Pembiakan bakteri uji secara pour plate
Sebanyak 1,0 ml suspensi bakteri diinokulasikan ke dalam erlenmeyer
yang berisi 25 ml agar cair yang telah didinginkan. Isi dalam erlenmeyer
digojog pelan untuk menghomogenkan bakteri dengan medium, campuran
dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan memadat
c. Pengujian dan penentuan fraksi aktif
Pada media agar yang telah diinokulasikan bakteri S. aureus dibuat lubang
sumuran. Ke dalam lubang sumuran dimasukkan berbagai fraksi yang
diperoleh. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah 24
jam, diamati zona hambat yang terbentuk dan diameter zona hambat
terbesar dipilih sebagai fraksi aktif
28
8. Uji Kualitatif Fraksi Aktif Dengan Metode KLT
Sebanyak 5 ml fraksi aktif kental disari dengan HCl 1% diatas
waterbath selama 5 menit pada suhu 50oC. Ditambah Na2CO3 sampai Ph 8-9
kemudian disari dengan kloroform 5 ml. Didapat dua lapisan cairan, lapisan
atas dinetralkan dengan asam asetat dan merupakan larutan untuk uji alkaloid
kuartener. Lapisan bawah disari dengan HCl 1% dan didapat dua lapisan
cairan. Lapisan atas digunakan untuk uji alkaloid tersier dan lapisan bawah
disingkirkan. Larutan uji alkaloid kuartener dan tersier tersebut masing-
masing dipekatkan diatas waterbath. Masing-masing fraksi kental alkaloid
tersier dan kuartener tersebut dilarutkan menggunakan 2-3 tetes aquadest.
Larutan uji ditotolkan 10 µl kemudian dikembangkan menggunakan
fase gerak kloroform : etanol : asam asetat (60:20:20). Setelah elusi mencapai
batas 5 cm, plat diangkat dan diangin-anginkan hingga kering kemudian
dielusi kembali hingga 10 cm dan selanjutnya diidentifikasi dengan sinar UV
254 nm dan 365 nm. Selanjutnya dilakukan uji identifikasi senyawa hasil
KLT dengan pereaksi warna CAS dan hasilnya dibandingkan dengan
pembanding piridin.
29
lapisan bawah
Sisa (Disingkirkan) Fraksi HCl
Lapisan atas
dipekatkan
dipekatkan
larutan uji alkaloid kuartener
lap bawah (Disingkirkan)
+ 2-3 tts aquades Totolkan 10 µl pada plat KLT
+ Na2CO3 1M hingga pH 8-9 Disari dengan kloroform 5 ml
Larutan uji alkaloid tersier
lap atas
Dinetralkan dg asam asetat
Fraksi aktif kental
Disari dg HCl 1%
Gambar 1. Skema Uji Kualitatif Fraksi Aktif Dengan Metode KLT
30
9. Uji Senyawa Aktif Dari Fraksi Aktif dengan Metode Bioautografi
Elusi fraksi aktif dilakukan seperti pada uji kualitatif fraksi aktif dengan
metode KLT diatas. Setelah elusi mencapai batas pengembangan 5 cm, plat
diangkat dan diangin-anginkan hingga kering kemudian dielusi kembali
hingga 10 cm. Plat diangkat dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC
selama kurang lebih 24 jam hingga fase geraknya hilang kemudian plat
kromatogram yang diperoleh ditempelkan pada permukaan medium agar yang
telah diinokulasi dengan bakteri uji selama 30 menit. Inkubasi dilakukan
selama 24 jam pada suhu 37oC. Jika senyawa mampu berdifusi dan
menghambat pertumbuhan bakteri akan tampak zona jernih pada lapisan
media agar, pada media yang ditumbuhi bakteri akan berwarna buram. Hasil
yang diperoleh dibandingkan dengan hasil identifikasi kualitatif senyawa aktif
dengan metode KLT. Parameter yang diukur ialah harga Rf yang terdapat
pada plat kromatogram dengan harga Rf media agar yang terbentuk zona
hambat.
F. Analisis Hasil
Pemilihan fraksi aktif berdasarkan pada terbentuknya zona hambat yang
terbesar pada metode difusi sumuran. Untuk melihat potensi daya antibakteri dapat
diperoleh dari ada tidaknya zona hambat yang ditimbulkan oleh kromatogram yang
ditanam pada media NA yang telah diinokulasi bakteri uji yaitu S. aureus.
Berdasarkan uji KLT dari fraksi aktif, diperoleh harga Rf dan warna bercak sebagai
data yang digunakan untuk menentukan identitas senyawa yang berpotensi
31
antibakteri. Penentuan harga Rf terhadap bercak yang dihasilkan dilakukan dengan
deteksi UV 254 nm, UV 365 nm dan pereaksi semprot CAS. Hasil yang diperoleh
dibandingkan dengan pustaka.
Identifikasi tanaman
makroskopis
Pengumpulan kulit batang
diameter 4-12 cm
Pengeringan dan pembuatan serbuk
- Pengeringan dengan oven 500C - Penyerbukan dan Pengayakan
Uji tabung
- uji alkaloid - uji polifenol
Pembuatan ekstrak etil asetat Maserasi menggunakan pelarut etil asetat
32
fase diam : silika gel GF 254
Fraksinasi ekstrak etil asetat dengan kromatografi kolom
fase gerak : 1. kloroform p.a : etanol p.a (95:5)
2. kloroform p.a : etanol p.a : asam asetat p.a (90:8:2) 3. kloroform p.a : etanol p.a : asam asetat p.a (90:5:5)
Uji potensi antibakteri tiap fraksi dengan metode sumuran
Identifikasi kualitatif fraksi aktif dengan metode KLT
- fase diam : silika gel GF 254 - fase gerak : kloroform p.a : etanol p.a : asam asetat p.a
(60:20:20) - deteksi UV 254 nm dan UV 365 nm - pereaksi semprot CAS - pembanding : piridin
Uji potensi antibakteri fraksi aktif terhadap S. aureus
dengan metode bioautografi kontak
Analisis hasil
Gambar 2. Skema penelitian pengujian potensi antibakteri fraksi kloroform-
etanol-asam asetat dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri terhadap S. aureus
33
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Tanaman
Penelitian ini didahului dengan identifikasi tanaman kemiri berdasarkan buku
panduan monografi dan deskripsi tanaman (Kardono dkk, 2003). Bagian tanaman
yang digunakan untuk determinasi ialah daun serta bunga. Dari hasil identifikasi
dapat dipastikan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiri
(Kardono dkk, 2003).
B. Pengumpulan Bahan Tanaman
Kulit batang kemiri yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
tanaman kemiri yang tumbuh di lingkungan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata
Dharma yang berumur ± 6 tahun. Bagian tanaman ini didapat antara bulan Februari
hingga maret 2006. Bahan yang didapat dicuci dengan air mengalir bertujuan untuk
membersihkan permukaan kulit batang dari kotoran-kotoran yang menempel. Kulit
batang dipotong kecil-kecil untuk memudahkan dalam penyerbukan serta
mempercepat pengeringan. Pengeringan yang dilakukan di dalam oven selama 48 jam
pada suhu 50o C bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit
batang kemiri karena kadar air yang tinggi dapat menyebabkan tumbuhnya jamur.
Bahan yang telah kering diserbuk kemudian diayak yang bertujuan untuk
34
memperbesar luas permukaan serbuk saat bersentuhan dengan cairan penyari
sehingga senyawa metabolit primer dan sekunder yang tersari lebih banyak dan
penyarian menjadi lebih efektif.
C. Identifikasi Kandungan Senyawa Aktif Kulit Batang Kemiri dengan
Uji Tabung
Dari penelitian Melinda (2005) diketahui bahwa dalam kulit batang kemiri
positif mengandung alkaloid dan polifenol. Sebelum diekstrak, terlebih dahulu serbuk
diuji dengan uji tabung untuk memastikan kandungan senyawa dalam kulit batang
kemiri. Dari uji tabung, diperoleh hasil bahwa kulit batang kemiri positif
mengandung alkaloid yang ditandai dengan terbentuknya endapan. Endapan yang
diperoleh merupakan senyawa adisi yang tidak larut yang terbentuk dari reaksi antara
alkaloid dengan ion logam berat pada pereaksi seperti merkuri, bismuth, dan iodin
(Bruneton, 1994). Pengujian dengan pereaksi Mayer diperoleh hasil alkaloid positif
dengan terbentuknya endapan berwarna putih kekuningan. Sedangkan dengan
pereaksi Burchardat memberikan hasil positif dengan terbentuknya endapan berwarna
coklat kemerahan begitu pula dengan pereaksi Dragendorff. Pada uji polifenol
diperoleh larutan berwarna hijau-biru yang menunjukkan bahwa kulit batang kemiri
positif mengandung polifenol.
35
Tabel I. Hasil pengamatan uji tabung ekstrak kulit batang kemiri
No. Pengujian Pengamatan Hasil 1
Uji Alkaloid FiltratA1 + dragendroff LP Filtrat A2 + mayer LP Filtrat A3 + burchardat LP
Terbentuk endapan coklat merah Terbentuk endapan putih kekuningan Terbentuk endapan coklat kemerahan
+ + +
2 Uji Polifenol Filtrat + FeCl3
Hijau biru
+
Walaupun diperoleh hasil polifenol yang positif, namun penelitian ini hanya
mengacu pada alkaloid karena pada penelitian sebelumnya (Melinda, 2005) diduga
yang berpotensi sebagai antibakteri adalah alkaloid.
D. Ekstraksi Serbuk Kulit Batang Kemiri
Ekstrak etil asetat kulit batang kemiri diperoleh dengan proses remaserasi
kinetik. Maserasi dilakukan dengan cara serbuk simplisia direndam dalam cairan
penyari sehingga cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang berisi zat aktif berupa senyawa metabolit primer dan tersier. Adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel menyebabkan
terdesaknya larutan terpekat sehingga zat aktif akan larut. Peristiwa ini terjadi
berulang-ulang hingga tercapai kesetimbangan konsentrasi. Penyarian tidak akan
sempurna apabila terjadi kesetimbangan konsentrasi, oleh karena itu dilakukan
pengadukan saat maserasi. Serbuk dan cairan penyari, dalam hal ini petroleum eter
36
yang dimasukkan di dalam erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil untuk
mencegah penguapan cairan penyari, kemudian erlenmeyer diletakkan di atas shaker
untuk penggojogan. Tujuan penggojogan ini untuk meratakan penyebaran cairan
penyari ke dalam serbuk. Filtrat yang diperoleh disaring dan ampas/residunya
didiamkan di udara terbuka hingga kering untuk menghilangkan petroleum eter yang
masih menempel pada serbuk agar tidak bercampur dengan penyari kedua yaitu etil
asetat. Penyarian serbuk dengan petroleum eter bertujuan untuk melarutkan lemak
serta senyawa non polar lain (lilin, damar, klorofil) sehingga hasil penyariannya tidak
digunakan. Alkaloid yang bersifat non polar tidak tersaring dalam penyarian tersebut
karena alkaloid umumnya tidak larut dalam petroleum eter (Mursyidi, 1990). Residu
dimaserasi selama 3 x 24 jam dengan cairan penyari etil asetat hingga seluruh serbuk
terendam. Maserat yang diperoleh dipisahkan dari residu dengan penyaringan
menggunakan kertas saring hingga diperoleh maserat etil asetat yang berupa cairan
berwarna hijau muda. Maserat etil asetat diuapkan dengan rotaevaporator untuk
mempercepat pemisahan cairan penyari etil asetat yang masih terdapat dalam fraksi
kemudian dipekatkan di atas waterbath hingga diperoleh ekstrak kental. Hasil dari
proses remaserasi kinetik berupa ekstrak kental dengan berat ± 1,56 gram yang
diperoleh dari serbuk sebanyak ± 250 gram. Seluruh ekstrak kental yang diperoleh
kemudian dilarutkan dalam etil asetat dan dipisahkan dengan kromatografi kolom
menggunakan tiga macam fase gerak yang berbeda agar diperoleh pemisahan fraksi
yang maksimal. Keuntungan dari metode remaserasi ialah dengan adanya
pengulangan maserasi dengan penggantian pelarut setiap 24 jam, senyawa yang
37
terdapat dalam serbuk kulit batang kemiri dapat tersari seluruhnya. Selain itu dengan
menggunakan kinetik dapat mengoptimalkan jumlah senyawa yang dapat larut dalam
etil asetat. Kerugian dari metode ini ialah memerlukan volume pelarut yang banyak.
E. Fraksinasi Ekstrak Etil Asetat dengan Kromatografi Kolom
Kromatografi dapat diartikan sebagai suatu teknik pemisahan campuran
dengan melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Prinsip dari kromatografi
kolom adalah pemisahan senyawa berdasarkan adsorbsi komponen-komponen
campuran dengan afinitas yang berbeda-beda pada permukaan fase diam. Ada tiga
fase gerak yang digunakan dalam kromatografi kolom ini yaitu kloroform : etanol
(95:5) sebagai fase gerak pertama, fase gerak kedua adalah kloroform : etanol : asam
asetat (90:8:2), dan fase gerak yang terakhir adalah kloroform : etanol : asam asetat
(90:5:5). Fase gerak pertama memiliki kepolaran paling rendah dibandingkan fase
gerak kedua dan ketiga, sedangkan fase gerak ketiga memiliki kepolaran paling tinggi
diantara fase gerak pertama dan kedua. Tujuan digunakannya fase gerak dengan
perbandingan yang berbeda-beda ialah untuk memisahkan senyawa sesuai dengan
kepolarannya terhadap tiap-tiap fase gerak. Kromatografi kolom ini temasuk dalam
kromatografi fase normal, karena fase gerak yang digunakan bersifat lebih non polar
dibandingkan fase diamnya yaitu silika gel GF254. Melihat dari fase gerak dan fase
diam yang digunakan ini, diharapkan senyawa akan terpisah dengan baik berdasarkan
kepolarannya dimana senyawa yang lebih non polar akan lebih terikat dengan fase
gerak dan senyawa yang lebih polar akan terikat pada fase diam.
38
Keuntungan penggunaan kromatografi kolom dalam penelitian ini yaitu
diperoleh pemisahan senyawa aktif menjadi beberapa fraksi sehingga memudahkan
pengidentifikasian senyawa aktif. Selain membutuhkan fase gerak yang cukup
banyak, kerugian kromatografi kolom yang lain ialah dalam prosesnya membutuhkan
waktu yang lama.
Sebelum digunakan, serbuk silika gel GF254 diaktifkan terlebih dahulu dengan
memanaskan serbuk di dalam oven pada suhu 1000C selama 15 menit yang bertujuan
menghilangkan sisa-sisa kandungan air yang berada dalam silika gel serta untuk
mengembangkan pori-pori silika gel sehingga pemisahan lebih sempurna. Adanya
kandungan air dalam serbuk silika akan menyebabkan senyawa sulit berikatan dengan
fase diam.
Penghomogenan kolom serta penghilangan gelembung udara perlu dilakukan
karena adanya gelembung udara akan mengganggu proses pemisahan senyawa.
Untuk mencegah kolom terisi oleh udara dan uap air maka bagian atas kolom
ditambah dengan Na2SO4 anhidrat dimana Na2SO4 anhidrat akan menyerap O2.
Fraksi-fraksi yang diperoleh dari hasil pemisahan dengan kromatografi kolom
selanjutnya diuji aktifitas antibakterinya.
Tabel II. Hasil fraksi kromatografi kolom serbuk kulit batang kemiri
Fraksi Berat fraksi kental (mg) I 150,7
III 79,5 V 52,8
39
F. Pengujian Potensi Antibakteri Tiap Fraksi dan Pemilihan Fraksi Aktif
Pengujian potensi antibakteri tiap fraksi menggunakan metode difusi
sumuran. Tujuan dari uji ini untuk mengetahui potensi antibakteri tiap fraksi dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yang ditandai dengan terbentuknya zona
hambat di sekitar lubang sumuran. Fraksi yang diujikan hanya fraksi I, III, dan V.
Fraksi II dan IV tidak diujikan karena fraksi II hanya peralihan dari fraksi I ke fraksi
III dimana fase gerak yang digunakan berbeda sehingga kedua fraksi tersebut tidak
digunakan, begitu pula dengan fraksi IV yang merupakan peralihan dari fraksi III ke
fraksi V. Namun belum ada bukti kualitatif yang menyatakan bahwa fraksi II dan IV
merupakan fraksi peralihan. Pembiakan bakteri dilakukan secara pour plate karena
bakteri S. aureus bersifat fakultatif anaerob sehingga dengan pembiakan secara pour
plate pertumbuhan bakteri akan merata di seluruh media. Pengujian potensi
antibakteri dilakukan secara difusi sumuran karena bakteri S. aureus bersifat
fakultatif anaerob sehingga bakteri banyak tumbuh di bagian bawah medium. Dengan
adanya sumuran, fraksi uji akan berdifusi ke segala arah sehingga penghambatan
fraksi uji terhadap bakteri S. aureus dapat lebih terlihat.
Kontrol negatif menggunakan DMSO karena merupakan pelarut dari tiap
fraksi selain itu juga berperan sebagai surfaktan dimana fraksi-fraksi bersifat non
polar sedangkan media yang digunakan bersifat polar sehingga diharapkan senyawa
akan lebih mudah berdifusi ke dalam media. Piridin dipilih sebagai kontrol positif
karena menurut penelitian sebelumnya (Melinda, 2005) diduga ekstrak etil asetat kulit
40
batang kemiri mengandung alkaloid golongan piridin-piperidin sebagai antibakteri.
Selain itu, alkaloid golongan piridin-piperidin merupakan golongan alkaloid yang
memiliki aktivitas antibakteri (Roberts, 1998). Diameter zona hambat yang terbentuk
dari tiap fraksi berbeda-beda karena kandungan senyawa metabolit primer dan tersier
dari tiap fraksi berbeda. Berikut tabel hasil uji fraksi I, II, dan III terhadap S. aureus :
Tabel III. Rerata diameter zona hambat fraksi I, III, V terhadap S. aureus
Diameter Zona Hambat (cm) Fraksi
1 2 3
Rerata
X ± SD
I
III
V
Kontrol +
Kontrol -
0,8
0,9
1,2
1,2
0,0
0,9
1,1
1,4
1,2
0,0
0,6
0,8
1,5
1,2
0,0
0,76 ± 0,153
0,93 ± 0,153
1,37 ± 0,153
1,20 ± 0
0,0 ± 0
Dari tabel di atas ( tabel 3) diketahui pada fraksi I dan III terdapat zona
hambat yang dapat dikatakan sama dilihat dari perbandingan nilai rerata kedua fraksi
namun pada fraksi V terdapat zona hambat dengan diameter yang berbeda
dibandingkan dengan fraksi I dan III dilihat dari nilai reratanya. Berdasarkan tabel
tersebut, fraksi aktif yang dipilih untuk uji kualitatif adalah fraksi V karena pada
fraksi V terbentuk zona hambat dengan diameter yang paling besar dibandingkan
zona hambat pada fraksi I dan III.
41
G. Identifikasi Kualitatif Fraksi Aktif dengan Metode KLT
Pengujian fraksi aktif dengan KLT dilakukan setelah pengujian potensi
antibakteri serta pemilihan fraksi aktif. Fraksi aktif yang diuji dengan KLT adalah
fraksi V karena pada fraksi ini diperoleh potensi antibakteri yang paling besar.
Pengujian kualitatif dengan KLT bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa
alkaloid yang terdapat dalam kulit batang kemiri adalah golongan piridin-piperidin.
Fase gerak yang digunakan untuk uji alkaloid adalah kloroform, metanol dan asam
asetat dengan perbandingan kloroform : metanol : asam asetat (60 : 10 : 1) (Cordell,
1981). Namun dalam penelitian ini, penulis menggunakan fase gerak kloroform,
etanol dan asam asetat dengan perbandingan kloroform : etanol : asam asetat (60 : 20
: 20) hal ini dikarenakan melalui orientasi yang dilakukan menunjukkan pada
perbandingan tersebut diperoleh hasil pemisahan bercak yang lebih baik. Dalam
penelitian ini tidak menggunakan metanol namun etanol karena metanol lebih bersifat
toksik dibandingkan etanol. Selain itu, kepolaran antara metanol dengan etanol tidak
berbeda jauh.
Fraksi V yang ditotolkan tidak menggunakan DMSO sebagai pelarut karena
dari orientasi diperoleh bercak yang mengekor setelah proses elusi hal ini mungkin
disebabkan karena adanya pengotor yang terdapat dalam DMSO sehingga
mengakibatkan bercak yang diperoleh mengekor. Oleh karena itu fraksi dilarutkan
dalam aquadest karena dengan aquadest fraksi dapat larut. Fase diam yang digunakan
adalah lempeng silika gel GF254 yang sebelum digunakan lempeng dipanaskan dahulu
42
di dalam oven pada suhu 100o C – 110o C selama 30 menit untuk membuka pori-pori
silika gel sehingga dapat mengurangi kadar air serta uap air yang masih terkandung di
dalamnya. Langkah selanjutnya melakukan penjenuhan bejana chamber yang berisi
fase gerak. Penjenuhan bejana chamber perlu dilakukan agar saat bergerak di fase
diam, proporsi perbandingan campuran fase gerak bertahan sampai batas atas.
Fraksi V kental sebelum ditotolkan, terlebih dahulu disari untuk memisahkan
alkaloid kuartener dan tersier. Alkaloid dalam fraksi diasamkan dengan HCl 1%.
Alkaloid bersifat asam lemah dan netral akan larut dalam fase HCl sedangkan
alkaloid bersifat basa akan menjadi garam dan larut dalam fase air. Penambahan
Na2CO3 akan membebaskan alkaloid basa yang larut dalam kloroform. Alkaloid
kuartener tidak akan tersari oleh kloroform dan tetap pada fase air. Masing-masing
larutan uji (alkaloid tersier dan kuartener) dilarutkan dalam 2-3 tetes aquadest
kemudian ditotolkan sebanyak 10 µl pada lempeng KLT dan dikembangkan dua kali.
Pengembangan pertama setinggi 5 cm. Setelah kering, plat lempeng KLT dielusi
kembali setinggi 10 cm, sehingga jarak elusi sepanjang 15 cm. Hal ini disebabkan
pada jarak elusi sepanjang 10 cm bercak yang terbentuk melebar serta tidak dapat
diukur sehingga jarak elusi ditambah menjadi 15 cm. Sebelum dielusikan totolan
harus kering agar proses penyerapan fraksi aktif oleh fase diam dapat maksimal.
43
Dari masing-masing kromatogram, baik dari alkaloid kuartener (gambar 1)
maupun alkaloid tersier (gambar 3) terdapat satu bercak.
Rf
Gambar 1. Kromatogram Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)]
- Alkaloid Kuartener Kulit Batang Kemiri Fase diam : Silika gel GF254 nm Fase gerak : Kloroform : Etanol : Asam asetat (60 : 20 : 20) Deteksi : UV 254 nm
44
Tabel IV. Hasil Identifikasi Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] -Alkaloid Kulit Batang Kemiri
Fase diam : Silika gel GF254 nm Fase gerak : Kloroform : Etanol : Asam Asetat (60:20:20) Deteksi : UV 254 nm
Nama Senyawa Rf
Alkaloid Tersier 0,61
Alkaloid Kuartener 0,58
Piridin 0,56
Dari harga Rf pada tabel di atas, menunjukkan bahwa alkaloid tersier relatif
lebih terikat pada fase gerak yaitu kloroform : etanol : asam asetat (60:20:20)
dibandingkan alkaloid kuartener hal ini tampak dari harga Rf alkaloid tersier yang
lebih besar dibandingkan alkaloid kuartener. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
struktur pada alkaloid kuartener dan alkaloid tersier dimana pada alkaloid kuartener
terdapat N+ sehingga alkaloid kuartener lebih bersifat elektronegatif dibandingkan
alkaloid tersier. Karena keelektronegatifannya, maka alkaloid kuartener bersifat lebih
polar daripada alkaloid tersier. Karena alkaloid kuartener bersifat lebih polar maka
lebih terikat pada fase diam serta harga Rfnya lebih kecil daripada alkaloid tersier.
Selain itu, menurut Svendsen (1983) alkaloid kuartener bersifat polar.
N..
N+
alkaloid tersier alkaloid kuartener
Gambar 2. Struktur gugus amin pada alkaloid tersier dan kuartener
45
Dari hasil ini, dipilih alkaloid tersier untuk proses pengujian senyawa aktif
baik dengan penyemprot Cerium Ammonium Sulfat (CAS) maupun dengan metode
bioautografi karena alkaloid tersier akan lebih mudah membentuk warna dengan
penyemprot CAS dengan adanya pasangan elektron bebas yang akan berikatan
dengan logam berat sehingga akan memudahkan dalam identifikasi senyawa aktif.
Rf
Gambar 3. Kromatogram Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] - Alkaloid Tersier Kulit Batang Kemiri
Fase diam : Silika gel GF254 nm Fase gerak : Kloroform : Etanol : Asam asetat (60 : 20 : 20)
Deteksi : UV 254 nm
46
Proses selanjutnya alkaloid tersier dielusi kembali pada plat KLT dengan
jarak pengembangan 15 cm. Plat lempeng KLT yang sudah mencapai batas elusi dan
telah dikeringkan selanjutnya disemprot dengan pereaksi CAS. Hasil yang diperoleh
setelah penyemprotan (lampiran 5), bercak pada plat lempeng KLT berwarna coklat
sedangkan piridin yang digunakan sebagai pembanding tidak memberikan warna
setelah disemprot dengan CAS. Warna coklat yang timbul disebabkan karena adanya
ikatan antara logam berat pada pereaksi semprot dalam hal ini logam Ce dengan ligan
dalam alkaloid yang kekuatannya lebih besar dibanding standar piridin sehingga
terbentuk senyawa komplek. Menurut Cordell (1981), warna yang terbentuk pada
bercak yang disemprot dengan pereaksi semprot terjadi karena adanya ikatan antara
gugus dalam senyawa uji dengan senyawa logam berat dalam pereaksi semprot.
Piridin yang disemprot dengan CAS tidak memberikan warna karena piridin
merupakan ligan lemah sehingga saat disemprot dengan CAS tidak terjadi ikatan
antara piridin dengan CAS dan tidak terbentuk senyawa komplek yang dapat
memberikan warna (gambar 4). Piridin memiliki satu atom N dengan pasangan
elektron bebas (Cordell, 1981) dimana atom N memiliki keelektronegatifan yang
cukup kecil sehingga piridin termasuk dalam ligan lemah.
Piridin sebagai kontrol positif tidak terbentuk warna setelah disemprot dengan
CAS karena piridin merupakan ligan yang lebih lemah dibandingkan alkaloid indol.
Piridin memiliki satu atom N dengan pasangan elektron bebas (PEB) (Cordell, 1981),
karena struktur ini maka piridin bersifat sebagai penarik elektron yang lebih kuat
47
dibandingkan alkaloid indol. Piridin akan menstabilkan cincin aromatisnya sehingga
sulit memberikan PEB untuk membentuk komplek.
N
+ Ce[NH4(SO4)]4 Tidak Terjadi Reaksi
Piridin CAS
Gambar 4. Reaksi Standar Piridin dengan Pereaksi CAS
Pereaksi CAS akan memberikan warna khusus (kuning-jingga) pada banyak
alkaloid indol, tapi warna yang terbentuk tergantung dari gugus kromofor dan juga
struktur alkaloid. Dengan adanya ion N dalam alkaloid indol akan bereaksi dengan
ion logam Ce dan membentuk senyawa komplek yang berwarna.
NH N
Alkaloid Indol CAS
Ce[NH4(SO4)]4+ Ce + 4 NH3+ 4 H2SO4
Senyawa Komplek
4
4
Gambar 5. Reaksi Pembentukan Senyawa Komplek Pereaksi CAS dengan
Alkaloid Indol
Sehingga diduga alkaloid yang terdapat pada kulit batang kemiri bukan
alkaloid golongan piridin-piperidin melainkan alkaloid golongan indol.
48
H. Pengujian Potensi Antibakteri Fraksi Aktif (fraksi V) Terhadap S.
aureus dengan Metode Bioautografi Kontak
Bioautografi merupakan gabungan metode kimia dan mikrobiologi yang
digunakan untuk mendeteksi aktivitas suatu senyawa dari campuran yang berpotensi
anibakteri. Keuntungan penggunaan metode bioautografi ialah dalam konsentrasi
kecil dapat mengetahui secara langsung lokasi senyawa aktif yang berpotensi
antibakteri berdasarkan harga Rf dan warna bercak dari kromatogram. Metode
bioautografi yang digunakan ialah bioautografi kontak karena metode ini paling
sederhana dibanding metode yang lain selain itu hasil yang diperoleh cukup sensitif.
Hal ini dikarenakan zona hambat yang diperoleh terbentuk karena adanya kontak
antara senyawa uji dengan bakteri S. aureus tanpa adanya pengenceran senyawa oleh
media. Metode pembiakan bakteri yang digunakan sama seperti saat uji penentuan
fraksi aktif yaitu secara pour plate agar diperoleh pertumbuhan bakteri yang
homogen.
Langkah awal untuk pengujian senyawa aktif dari fraksi aktif dengan metode
bioautografi sama seperti pengujian fraksi aktif dengan metode KLT dimana fraksi
aktif dielusi hingga batas pengembangan 5 cm selanjutnya dikeringkan untuk
kemudian dielusi kembali hingga 10 cm. Plat lempeng KLT yang sudah dielusi
selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 40o C selama kurang lebih 24 jam
agar fase geraknya hilang. Hal ini bertujuan agar apabila terdapat zona jernih pada
bercak dari plat lempeng KLT memang berasal dari bercak tersebut bukan karena
adanya fase gerak pada plat lempeng KLT karena fase gerak yang digunakan
49
memiliki aktivitas penghambatan pada bakteri uji. Fase gerak dianggap hilang pada
plat lempeng KLT ditandai dengan tidak adanya bau fase gerak lagi, selanjutnya plat
lempeng KLT ditempelkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi dengan S.
aureus selama 20-30 menit dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o C. Pada saat
pengeringan di dalam oven, plat KLT diletakkan pada cawan petri yang di dalamnya
terdapat kertas saring yang telah ditetesi etanol sehingga diharapkan etanol dapat
meminimalisir kontaminan pada plat KLT. Perlakuan yang sama juga diberikan untuk
standar piridin. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya zona hambat pada bercak
dari plat lempeng KLT baik untuk fraksi aktif dalam hal ini alkaloid tersier maupun
standar piridin (lampiran 6) yang ditempelkan pada permukaan medium agar. Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat dalam plat lempeng KLT baik fraksi
aktif maupun standar piridin memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri.
Tabel V. Rerata Harga Rf Fraksi Aktif dan Standar Piridin Terhadap S. aureus Pada Plat KLT dan Pada Media Tumbuh
Pada Plat KLT Pada Media Tumbuh
Fraksi 0,583 ± 0,0094 0,589 ± 0,0098
Piridin 0,586 ± 0,0021 0,588 ± 0,0007
Berdasarkan perhitungan rerata dari tabel di atas, harga Rf fraksi aktif dan
standar piridin pada plat KLT adalah sama dengan harga Rf fraksi aktif dan standar
piridin pada media tumbuh. Persamaan harga Rf ini menunjukkan bahwa bercak pada
50
plat KLT bersifat sebagai antibakteri S. aureus terbukti dengan adanya zona hambat
pada media tumbuh.
51
52
BAB V
KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
1. Fraksi kloroform-etanol (95 : 5), fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 8 : 2)
dan fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90 : 5 : 5) dari ekstrak etil asetat kulit
batang kemiri berpotensi antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.
2. Fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90:5:5) dari ekstrak etil asetat kulit batang
kemiri aktif terhadap Staphylococcus aureus.
3. Senyawa yang terdapat dalam fraksi aktif dari ekstrak etil asetat kulit batang
kemiri yang berpotensi antibakteri Staphylococcus aureus diduga memiliki
identitas alkaloid golongan indol.
4. Fraksi aktif dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri berpotensi antibakteri
Staphylococcus aureus dengan metode bioautografi kontak.
B. Saran
1. Perlu dicari mengenai profil KLT dari fraksi I hingga V yang diperoleh dari
metode secara fraksinasi kromatografi kolom.
2. Perlu dilakukan isolasi senyawa yang larut dalam fraksi kloroform-etanol-asam
asetat (90:5:5) dari ekstrak etil asetat kulit batang kemiri yang bersifat antibakteri
S. aureus.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui struktur senyawa yang
larut dalam fraksi kloroform-etanol-asam asetat (90:5:5) dari ekstrak etil asetat
kulit batang kemiri yang berpotensi antibakteri S. aureus.
53
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 4, 10-12, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1993, Dasar-dasar Pemeriksaan Mikrobiologi, 27-29, Bagian Mikrobiologi, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 7, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 9-12, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2007, Panton Valentine Leukocidin (PVL), http//www.kalbefarma.com, Diakses pada 25 Februari 2007.
Arief, A., 1996, Tanaman Obat Pilihan, Cetakan I, 129-130, Yayasan Sidowayah, Jakarta.
Backer, C. A. dan Bakhuizen van den Brink, R. C., 1965, Flora of Java, volume I, 477-478, N. P. V. Noordhoff-Groningen, The Netherlands.
Bruneton, J., 1994, Pharmacognosy Phytochemistry Medicinal Plants, 2nded, 791, Lavoiser Publishing inc, New York.
Choma, Irena, 2005, The Use of Thin-Layer Chromatography with Direct Bioautography for Antimicrobial Analysis, http//www.lcgceurope.com/lcgceurope/article/article Detail, 16/09/2005
Cordell, Geoffrey, A., 1981, Introduction To Alkaloids; A Biogenetic Approach, 8, 17-18, University of Illinois, United State of America.
Duke, J. A., 1999, Dr. Duke’s Phytochemical and Ethnobotanical Databases, Taxon: Aleurites moluccana (L.) Willd, http//www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/ ethnobot.pl, Diakses pada 03 Mei 2006.
53
Gritter, Roy. J., 1991, Pengantar Kromatografi, Edisi II, Diterjemahkan Oleh Kosasih Padmawinata, 9-10, 160, 163, 165, 169, Penerbit ITB, Bandung.
Houghton, P., J., Raman, A., 1998, Laboratory Handbook for The Fractionation of
Natural Extract, 74-84, 1st ed, Thomson Publishing, london. Jawetz, E., Melnick, J.L., dan Adelberg, E.A., 1996, Medical Microbiology
Diterjemahkan Oleh Edi Nugroho, Edisi XX, 211-213, Kedokteran ECG, Jakarta.
Kardono, L., Areanti, N., Dewiyanti L., dan Basuki, T., 2003, Selected Medical Plant Monographic and Descriptions, 56-63, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Lay, B., W., 1994, Analisis Mikroba di Laboratorium, 10-15, Edisi I, P. T. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Melinda, 2005, Potensi Antibakteri Fraksi Etil Asetat dan Fraksi Etanol Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana L. Willd) Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mulja, M. dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 223-227, cetakan Pertama, Airlangga University Press, Surabaya.
Mursyidi, A., 1990, Analisis Metabolit Sekunder, 63-79, Cetakan I, Pusat Antar
Universitas Bioteknologi, UGM Press, Yogyakarta.
Roberts, Margaret, F., and Wink, Michael, 1998, Alkaloid: Biochemistry, Ecology, and Medicinal Applications, 416, 421-423, Plenum Press, New York.
Soedibyo, M., 1998, Alam Sumber Kesehatan manfaat dan kegunaan, 211-212, Balai Pustaka, Jakarta.
Stahl, E., 1985, Drug Analysis by Chromatography and Microscopy, A Practical Supplement to Pharmacopeoias, Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro, 4-17, ITB, Bandung.
54
Svendsen, Barheim A. dan Verpoorte, R., 1983, Chromatography of Alkaloids, 9, State University Leyden, The Netherlands.
Williams and Wilkins, 2000, Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Ninth
Edition, 532, Walnut, St. Philadelphia.
55
57
Lampiran 2. Foto Hasil Uji Potensi Antibakteri Fraksi Kloroform-Etanol (95 : 5), Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat (90 : 8 : 2) dan Fraksi Kloroform-Etanol-Asam Asetat (90 : 5 : 5) Terhadap S. aureus Secara Difusi Sumuran
Keterangan :
FI : Fraksi I [kloroform : etanol (95:5)]
FIII : Fraksi III [kloroform : etanol : asam asetat (90:8:2)]
FV : Fraksi V [kloroform : etanol : asam asetat (90:5:5)]
KK : Kontrol Kerja
K- : Kontrol negatif [ pelarut (DMSO)]
58
Lampiran 3. Foto Hasil Uji Potensi Antibakteri Piridin sebagai Kontrol Positif Terhadap S. aureus Secara Difusi Sumuran
Keterangan :
Piridin : kontrol positif
KT : kontrol kerja
KP : kontrol pelarut (etanol p.a.)
59
Lampiran 4. Foto Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Alkaloid Kuartener Dengan Fase Gerak Kloroform : Etanol : Asam Asetat (60:20:20)
I II Keterangan:
Fase diam = Silika Gel GF 254 nm p.a
I. Alkaloid kuartener dengan deteksi UV 254 nm
II. Pembanding piridin dengan deteksi UV 254 nm
60
Lampiran 5. Foto Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Alkaloid tersier Dengan Fase Gerak Kloroform : Etanol : Asam Asetat Glasial (60:20:20)
I II III
Keterangan:
Fase diam = Silika Gel p.a. G 254 nm
I. Alkaloid tersier dengan deteksi UV 254 nm
II. Pembanding piridin dengan deteksi UV 254 nm
III. Alkaloid tersier dengan deteksi penyemprot CAS
61
Lampiran 6. Hasil Uji Potensi Antibakteri Alkaloid Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] Dengan Metode Bioautografi Kontak Terhadap S. aureus
I II Keterangan :
I. Fraksi V [kloroform-etanol-asam asetat (90 : 5 : 5)]
II. Pembanding piridin
62
Lampiran 7. Kromatogram Alkaloid Tersier- Alkaloid Kuarterner Fraksi V [Kloroform : Etanol : Asam Asetat (90:5:5)] Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Kemiri
Rf Rf
Alkaloid Tersier Alkaloid Kuartener Fase diam : Silika gel GF254 nm Fase diam : Silika gel GF254 nm Fase gerak : Kloroform : Etanol : Fase gerak : Kloroform : Etanol : Asam asetat (60 : 20 : 20) Asam asetat (60 : 20 :
20) Deteksi : UV 254 nm Deteksi : UV 254 nm
63
BIOGRAFI PENULIS
Agatha Vilma Shanti lahir pada tanggal 16 Juni 1985
di Klaten, merupakan anak keempat dari pasangan
A. M. Sudjadi dan YF. Isharyati dan merupakan
anak terakhir dari empat bersaudara. Penulis skripsi
berjudul “Potensi Antibakteri Fraksi Kloroform –
Etanol – Asam Asetat Kulit Batang Kemiri
(Aleurites moluccana L. Willd) terhadap
Staphylococcus aureus” menempuh pendidikan taman kanak-kanak di TK
Kanisius Klaten pada tahun 1989 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SD
Kanisius Klaten pada tahun 1991 sampai dengan tahun 1997. Pada tahun itu pula
penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Klaten hingga tahun 2000.
Setamat SLTP, penulis melanjutkan studi di SMU Negeri 1 Klaten dan
memperoleh ijazah SMU-nya pada tahun 2003. Penulis menjadi mahasiswa
Fakultas Farmasi Sanata Dhama Yogyakarta angkatan 2003. Selama menjadi
mahasiswa farmasi, penulis memiliki pengalaman sebagai asisten praktikum
farmasi, antara lain praktikum Mikrobiologi dan Biofarmasetika. Selain itu,
penulis juga memiliki beberapa pengalaman berorganisasi selama masa kuliah,
antara lain dalam kepanitiaan ”PIMFI” tahun 2005.