37
PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.) Fakhrudin Al Rozi Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta RINGKASAN Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu komoditas asli Indonesia (native species) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Produksi udang windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yang diantaranya disebabkan serangan bakteri udang menyala (luminescent vibriosis) oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena bersifat resisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen seperti bakteri antagonis. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis, Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum. Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan mempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat sehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, dan berkembangnya pasar makanan organik telah memunculkan keinginan untuk mewujudkan akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. 1

Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

  • Upload
    vanthu

  • View
    235

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGANDAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK

BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.)Fakhrudin Al Rozi

Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

RINGKASAN

Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu komoditas asli Indonesia (native species) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional. Produksi udang windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yang diantaranya disebabkan serangan bakteri udang menyala (luminescent vibriosis) oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena bersifat resisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen seperti bakteri antagonis. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis, Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum. Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio.

Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan mempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat sehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, dan berkembangnya pasar makanan organik telah memunculkan keinginan untuk mewujudkan akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia.

Pemenang lomba Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) bidang Lingkungan hidup Tingkat Nasional Tahun 2008 di Surabaya, 31 Oktober – 2 November 2008

I. PENDAHULUAN

1

Page 2: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan primadona komoditas

perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan

internasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain

merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor,

udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani

masyarakat. Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging

ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai

dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan

ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.

Kegiatan budidaya udang windu secara nasional mencapai puncaknya pada

tahun 1991 dan setelah itu menurun drastis karena kegagalan panen akibat

penyakit dan merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung

waktu 15 tahun terakhir, masalah lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang

kegagalan budidaya udang, yang disinyalir bermula dari menurunnya kualitas

lingkungan air tambak. Dalam sistem budidaya udang intensif, kontribusi pakan

terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisa dipungkuri.

Berton-ton pakan sebagai bahan organik dimasukan kedalam petakan tambak

dengan harapan dapat memproduksi udang secara maksimal (Anonim, 2004c).

Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang berdampak pada

pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta memberikan tekanan

terhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan

lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang windu dijumpai pada

tambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak tradisional juga

banyak mengalami kehancuran.

Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang windu adalah serangan

penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang

terserang pada keadaan gelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang

menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal

tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena merosotnya

mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air sumber dari perairan di sekitarnya

2

Page 3: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

dan mutu lingkungan tambak sendiri (Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri

Vibrio melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan

kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran.

Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah

penyakit vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode

pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan

obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif

lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu

justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri

patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah isolat

Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di Jawa

Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti

spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin,

ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik

bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang

Indonesia (Tompo et al., 2006).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan daya

dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia dan

obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program

eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan

penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan

penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk mengembangkan

probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan studi mengenai

mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan patogen. Salah satu

bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udang

yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus

spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan

Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio

anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang

3

Page 4: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005).

Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin

penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan

menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah

lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan hayati untuk mengurangi

risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.

II. TELAAH PUSTAKA

2.1 Bakteri Vibrio sp.

Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan

estuaria. Umumnya bakteri Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan

laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio yang dikenal sebagai patogen seperti V.

alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V. ordalii

dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987) Vibrio sp. menyerang

lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio sp. mempunyai sifat gram negatif,

sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran

panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella

polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al., (1990), karakteristik spesies Vibrio

berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah oksidase positif, fermentatif

terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129 (Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).

A. Vibrio harveyii (Anonim, 2000) B. Bioluminescens (Machalek, 2004)Gambar 1. Bakteri Vibrio harveyii dan Bioluminescens

Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif

4

Page 5: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

tinggi. Menurut Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri

berpendar bersifat halofil yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas

20-40‰. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu

dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada

pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH

9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996).

2.2 Penyakit Vibriosis Udang Windu

Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang

hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang

berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit

udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu

pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan

bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada

tahap postlarva dan koloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian

pakan yang tidak terkontrol mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar

tambak sehingga menyebabkan terbentuknya lapisan anaerob yang

menghasilkan H2S (Anderson et al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi

H2S tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah

berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al.,

1993 cit. Muliani, 2002).

A. Vibriosis postlarva udang windu B. Koloni Vibrio sp. pada esophagusGambar 2. Udang Windu yang Terserang Vibriosis (Breed et al., 1948)

Ciri-ciri udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang

5

Page 6: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red

discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat

menyala (Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosis akan

menunjukkan gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang

(pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut

yang kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut.

2.3 Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu

Tingkat kematian udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyii dengan kepadatan

103 cfu/ml berbeda berdasarkan umur. Pada stadia zoea I tingkat kematian udang

sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2)

51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002). Jiravanichpaisal et al.,

(1994) cit. Muliani (2002) melaporkan bahwa mortalitas udang windu dewasa

yang diinjeksi Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor

sebesar 100%, dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4

dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.

A. Udang tampak normal B. Udang berpendar pada cahaya gelapGambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)

Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses

pertumbuhan. Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme

yang umum untuk mengontrol kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah

dengan menghambat komunikasi antar sel. Kemampuan komunikasi satu sama

lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yang terjadi karena adanya suatu

6

Page 7: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

senyawa acylhomoserine lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii berkaitan erat

dengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.

2.4 Resistensi Bakteri Vibrio terhadap Antibiotik

Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus

perhatian utama dalam produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam

budidaya udang adalah mahal dan merugikaqn karena dapat memunculkan

strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik serta munculnya residu antibiotik

dalam kultivan (Decamp dan Moriarty, 2006a). Antibiotik merupakan suatu

senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme,

karakteristiknya tidak seperti enzim, dan merupakan hasil dari metabolisme

sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih pada tubuh manusia dapat

menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang digunakan.

Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba oleh

antibiotik (Gan et.al ., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah isolat Vibrio

berpendar yang diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata

resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin,

kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin,

dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan

bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al.,

2006).

2.5 Bakteri Antagonis

Salah satu pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan

bakteri antagonisnya. Vershere et al. (2000) cit. Isnansetyo (2005)

mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen

pengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat

pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu atau kompetisi

tempat menempel, mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas

air dan adanya interaksi dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan

sebagai agen pengendalian hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut

Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang diberikan dengan

7

Page 8: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

berbagai cara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan

mempertinggi derajat kesehatan inang.

Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah

penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh

organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakit oleh musuh

alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasi bakteri Vibrio

harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan dengan cara

mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari perairan laut di

sekitar tambak atau pembenihan udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu

menghambat Aeromonas hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens,

Vibrio anguilarum, V. salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992),

Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan

Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio

anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp., dan Staphylococcus spp. yang

berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005).

Bakteri Vibrio sp. NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat

antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan

berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin atau

senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance) (Sugita et al., 1997 cit.

Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah senyawa yang banyak dihasilkan oleh

bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe, 1998). Kamei dan Isnansetyo (2003)

menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan Vibrio

alginolyticus karena menghasilkan senyawa 2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp.

NM 12 yang diisolasi dari intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat

Vibrio vulnificus RIMD 2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et

al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat

molekul rendah yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme

tersebut merupakan kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu oleh

mikroorganisme.

8

Page 9: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

2.5 Udang Windu

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan udang komoditas asli daerah tropis

yang telah berkembang menjadi industri sejak awal dekade 1980-an. Nama windu

dalam bahasa perdagangan adalah giant tiger prawn, black tiger prawn atau black

tiger shrimp (Hadiwiyoto, 1993). Genus ini mudah sekali dibedakan dengan

genus-genus dengan melihat rostrumnya yang rumus 7/3, artinya pada sisi atas

tanduk terdapat 7 gigi sedang pada sisi bawah mempunyai gigi 3. Badannya

bergaris tengah rata-rata 1,5-5 cm. Menurut Tricahyo (1992), udang windu

termasuk keluarga Arthropoda, klas Crustacea, ordo Decapoda dan spesies

Penaeus monodon Fabr.

Gambar 4. Morfologi udang windu (Penaeus monodon) (Rachmatun dan Mujiman, 1989)

Keterangan gambar: 1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil (antennules); 5. Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembantu rahang (maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang (pleopoda , 5 pasang); 10. Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson).

Daur hidup udang Penaeus menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah udang

betina bertelur – telur – naupli – protozoea – mysis – poslarva – juvenil – udang

dewasa (gambar 5).

Gambar 5. Daur hidup udang Penaeus (Wyban dan Sweeney, 1991)

9

Page 10: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Stadia yang pertama adalah stadia nauplius yang terjadi setelah telur menetas.

Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa kuning telur

(Sirajudin, 1997). Stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6

hari dan mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva

yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan

larva bergerak mundur (Tjahjadi, 1994). Selanjutnya stadia mysis mengalami

alih bentuk menjadi postlarva. Selama 5 hari pertama stadia postlarva, udang masih

bersifat planktonis, dan pada stadia postlarva-6 udang mulai merayap di dasar (Toro

dan Soegiarto, 1979 cit. Tjahjadi, 1994).

IV. PEMBAHASAN

4.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis

1. Ramah Lingkungan

Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi bakteri sebagian besar

bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya.

Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan hasil yang

memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif antara lain

meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi

antibiotik (Tjahjadi et al., 1994), karena bakteri sangat mudah

mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian

menjadi masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam

jaringan tubuh udang juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.

Bergesernya paradigma konsumen udang menuju keamanan pangan dan

kelestarian lingkungan mengharuskan pembudidaya udang untuk merevisi

visi dan misinya agar budidaya tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai

upaya untuk menjamin kelangsungan produksi, mencegah dan

menanggulangi penyakit vibriosis pada budidaya udang windu adalah

melalui pendekatan pengendalian hayati. Pendekatan pengendalian

10

Page 11: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

hayati dilakukan melalui penggunaan probiotik dengan menggunakan

aktivitas mikroorganisme yang dapat menekan atau mendegradasi substrat

pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan tanpa menimbulkan

dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah

lingkungan, serta tidak meninggalkan residu (food security dan food

safety). Pengendalian hayati dalam akuakultur dengan menggunakan

probiotik antagonis salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu

dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakultur yang ramah

lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada berbagai tahapan

akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan serta terhadap berbagai

patogen.

2. Mengurangi Penggunaan Antibiotik

Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi

sebagian besar bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan

kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum

memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan

dampak negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri

patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang

digunakan untuk pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis

dilakukan dengan pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka

panjang. Pada kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit,

tetapi bahkan menjadi pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik.

Udang sebagai komoditas mewah perlu mendapatkan perhatian khusus

dalam hal ini, karena devisa yang didapat dari udang cukup besar yaitu

diperkirakan sekitar 630 juta dolar dan tertinggi dibanding pendapatan dari

spesies budidaya yang lain (Dahuri, 2004). Alasan kedua adalah pasar

ekspor udang sudah jelas. Akhir-akhir ini ekspor udang terhambat oleh

ecolabelling, petisi anti dumping dan isu antibiotik. Sehingga harga udang

jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma, 2004). Peristiwa ini cukup

11

Page 12: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakat terhadap kesehatan

dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara maju untuk tidak

makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo

(2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian

hayati akan semakin penting karena dengan penggunaan bakteri

antagonis dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan penggunaan

antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya yang ramah lingkungan.

3. Aplikasi keamanan hayati dalam Industri Budidaya Udang

Aplikasi keamanan hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar

tambak tidak terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar

tambak tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya

(Haris, 2007). Lebih lanjut Fegan dan Clifford (2001) menambahkan

bahwa aplikasi prinsip-prinsip keamanan hayati pada tambak udang

telah terbukti efektif membantu mengurangi risiko kerugian karena

penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007) menambahkan

bahwa salah satu penerapan keamanan hayati pada praktik manajemen

produksi budidaya adalah dengan aplikasi teknologi probiotik yang

ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusi terkini yang paling

efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit.

Konsep aplikasi keamanan hayati dalam budidaya udang diutamakan

adalah pengendalian benih udang (karantina vertikal) dan lingkungan

(karantina horizontal) bebas dari patogen. Sistem ini dipraktikkan dengan

penebaran benih udang bebas patogen, SPF (specific pathogen free)

kedalam tambak yang sumber airnya dikontrol dengan baik (Lightner,

2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat digunakan sebagai alternatif

profilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan kimia, termasuk

antibiotik dna biosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi dengan

bakteri patogen dalam perebutan nutrisi makanan sehingga dapat

menghambat pertumbuhan bakteri patogen.

4.2. Pengembangan Bakteri Antagonis

12

Page 13: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian hayati

adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis

serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma,

serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat

dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau

organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan

berbagai keperluan lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai

agen pengendalian hayati dapat dilakukan melalui:

1. Seleksi Bakteri Antagonis

Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari

populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen,

atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi

tentang keefektifan dan identitas calon agen pengendali hayati perlu dikua-

sai dengan baik agar pengembangannya di masa datang tidak menjadi

masalah. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah

melakukan penelitian tentang pengendalian Vibrio Harveyii secara

biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri

penghambat yaitu GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al., 1998).

Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat

GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat

GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.

Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian

hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut mungkin tidak

mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen yang

sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat

patogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai

pengendali hayati. Sebagai contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari

bakteri Vibrio tersebut dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati

dalam budidaya salmon (S. salam), udang windu (Penaeus monodon) dan

udang vannamei (Litopneaeus vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio

13

Page 14: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

alginolyticus juga diketahui sebagai patogen.

2. Uji Efektivitas Bakteri Antagonis

Tahap kedua adalah menguji keefektifan agen pengendali hayati dalam

kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro,

terhadap patogen target. Apabila suatu agen pengendali hayati

menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan

dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian

terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas

bakteri antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat

GSB-95030 dan GSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity disc

agar (SDA) (Gambar 7).

Isolat GSB-95030 dan GSB-95033

6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl

3 botol GSB-95030 3 botol GSB-95033

Inkubasi 24, 72 dan 144 jam

Sentrifus 15 menit 3000 rpm

Ambil supernatan 5 ml

Kultur Vibrio harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA) secara merata

Rendam kertas sensitivity disk selama 1 menit dalam supernatan yang telah diencerkan

Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)

Inkubasi 24 jam 25 °C

Amati zona hambatnya

Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat terhadap pertumbuhan Vibrio harveyii

14

Page 15: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat

bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai

aktivitas dalam menekan perkembangan Vibrio Harveyii. Hal ini terlihat

dengan adanya zona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas

dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan

bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva

udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii dengan skala

pemeliharaan yang lebih besar.

Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan larva

udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-

95030 dan GSB-95033 tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampai kepadatan

yang jauh lebih rendah yakni 5,3 x 102 cfu/ml dengan sintasan 67,8% dan

9,9 x 102 cfu/ml dengan sintasan 63,5%, dibandingkan dengan kontrol 8,7 x

104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%.

Tabel 1. Sensitivitas V. Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72, dan 144 jam masa inkubasi

Isolat Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii24 jam 72 jam 144 jam

GSB-95030 0.60 0.71 0.80GSB-95033 0.90 0.98 1.02Kontrol 0.00 0.00 0.00

Sumber: Roza et al., 1999

Apabila pada tahap ini kemampuan agen pengendali hayati masih konsisten

dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan

tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, biasanya

agen pengendali hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam

proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan

tidak akan menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan

lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun calon agen pengendali hayati

15

Page 16: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

masih menunjukkan potensi penekanan yang stabil maka pengujian dalam

skala lebih luas dapat dilaksanakan.

Tabel 2. Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri antagonis

Isolat

Percobaan 1 Percobaan 2Vibrio Harveyii Sintasa

n larvaVibrio Harveyii Sintasan

larvaAwal Akhir Awal Akhir

GSB-95030 6,7 2,9a 63,5a 6,6 3,1a 59,2a

GSB-95033 6,7 2,7a 67,8a 6,6 3,0a 68,3a

Kontrol 6,7 5,0b 18,1b 6,6 4,9b 21,6b

Nilai dalam kolom diikuti dengan huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)Sumber (Roza et al., 1999)

3. Komersialisasi

Tahap terakhir adalah komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini

diperlukan peran industri untuk memperbanyak agen pengendali hayati

secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil

dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari

suatu agen pengendali hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin

penggunaannya. Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan

kerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan

patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman.

Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan

untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu

agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan

1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan

harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan identitas dari

bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu serta

toksisitas bagi lingkungan.

4.3 Aplikasi Bakteri Antagonis

Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan

pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan

16

Page 17: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Artemia) pada pemeliharaan larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen

khususnya pada stadium larva dan post larva sangat tinggi karena sejak kecil

udang terpapar dalam air yang banyak mengandung mikroorganisme. Aplikasi

bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat yaitu dengan

menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan tersebut diharapkan dapat

membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh udang, sehingga udang

tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan formulasi pakan

obat dengan metode pembuatan sebagai berikut: Probiotik antagonis Bacillus sp.

dengan kepadatan 12,5x103 sel/ml dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran

bakteri pada pakan dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam

pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen

dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml

physiological saline (0,85% NaCl) sebanyak 2,5x105 sel/ml dan dicampur dengan

jumlah yang sama dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan

dengan cara mengaduk selama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen

25x103 sel/g pada pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10%

(w/v).

Penciptaan lingkungan pemeliharaan larva udang windu yang betul-

betul bebas bakteri Vibrio sulit dilakukan karena bakteri tersebut dapat

masuk melalui berbagai sumber, antara lain air laut, induk udang, dan makanan

alami. Bakteri Vibrio harveyii tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi

hanya perlu dikendalikan populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari

l04 sel/ml. Inokulasi secara langsung dilakukan melalui pemberian bakteri

antagonis kedalam bak pemeliharaan dengan dosis 106 cfu/ml setelah

dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri antagonis dapat

dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration), panjang

(prolonged treatment), dan tidak terbatas (indefinite treatment).

4.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya

Prospek pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia

mempunyai peluang bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin

17

Page 18: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

meningkatnya luas lahan budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002

mencapai 913.000 ha dengan pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha

(45,43%). Pemerintah mentargetkan produksi udang windu budidaya tahun 2007-

2009, masing-masing sebesar 126.228 ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP,

2006 cit. Kordi 2007) dengan target perolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th.

Menurut Dahuri (2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilai

rata-rata 6,4 jt ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya

sebesar 80%-nya saja (sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan

pasaran dunia, Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya

udang. Saat ini ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000

ha sehingga langkah awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan

sebagai tambak udang windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2

ton/ha/th, maka produksi udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai

ekspor 1.000.000 ton/th × US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu

cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk

menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,

serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik

2. Pengembangan bakteri antagonis sebagai langkah keamanan hayati

dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis nonpatogen, pengujian

efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen pengendali hayati.

3. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan

semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik

sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat

dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia.

18

Page 19: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

5.2 Saran

1. Beberapa jenis bakteri antagonis telah diketahui, namun bakteri antagonis

tersebut bersifat spesifik di setiap daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan

inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapat dimanfaatkan optimal.

2. Perlunya kerjasama terpadu antara berbagai pihak, pemerintah, perguruan

tinggi, dan pengusaha untuk memajukan budidaya udang windu Indonesia.

DAFTAR PUSTAKAAtmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus

Penyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros.

Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg. [4 Januari 2008].

Anonimous, 2004c. Draf Pedoman Umum Pengendalian Pencemaran di Kawasan Budidaya Perikanan. Subdit Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina Pesisir Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Austin, B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis suecica. J. Fish of Disease: 15: 53-61.

Breed, R.S., E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 6th ed. Baltimore: Wevereley Press.

Dahuri, R. 2004. Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan. dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. Agung Sudaryono et al (ed.). Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.

Decamp, O. Adn D.J.W. Moriarty. 2006a. Probiotics as Alternative to Antimicrobials: Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37 (4): 60-62.

Egidius, E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.

FAO. 1988 Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.

19

Page 20: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological Control Agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N.

Fegan, D.F. and H.C. Clifford III. 2001. Health Management for Viral Diseases in Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E. Jory, editors. The New Wave, Proceedings of the Special Seassion on Sustainable Shrimp Culture. Aquaculture 2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA.

Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture. 180:147-185.

Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32.

Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio Harveyii Pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.

Haris, E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yang Berkelanjutan dan Aman. Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia. Surabaya, 5-7 Juni 2007. Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal.

Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T. Williams. 1994. Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and Wilkins, Balmore, Maryland, USA. 373.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis sebagai Probiotik untuk Pengendalian Hayati pada Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 1-10.

Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.

20

Page 21: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003. Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus by 2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp. AMSN Isolated From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74.

Kordi, M.G.H. 1997. Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize.

Lightner, D.V. 2003. Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a Penaid Shrimp Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors. Biosecurity in Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and Other Undesirables. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA.

Machalek, A.Z. Bugging the Bugs. http://publications.nigms.nih.gov/biobeat/05-09-20/05-09-20-01.jpg. [18 April 2008 ].

Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean Science. University of North Wales.

Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang Akibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rahmatun, S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Roza, D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio harveyi Secara Biologis pada

Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30.

Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.

Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi Jumlah Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.

21

Page 22: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203.

Suryadarma, J. 2004. Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik Indonesia. di dalam: Agung Sudaryono et al (ed.). Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur; Semarang. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia. 249-251.

Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuki dan Rusdi. 2005. Penggunaan Bakteri Probiotik Sebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih Rajungan (Portunus pelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23.

Tangko, A.M., A. Mansyur, dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada Pakan Pembesaran Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J. Riset Akuakultur: 2: 33-40.

Tepu, I. 2006. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu Penaeus monodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi Penyakit Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. Pengaruh Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.

Tricahyo, E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta: Akapress.

Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology. Hawai: The Oceanic Institute.

22

Page 23: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Lampiran 1. Karakteristik dua isolat bakteri antagonis dibandingkan dengan Flavobacterium meningosepticum menurut Cowan (1974) dan Acuigrup (1980) serta Vibrio alginolyticus menurut Bauman et al., (1984) dan Holt et al., (1994)

KarakteristikIsolat GSB-95030

V. algino Bauman et al. (1984)

V. alginoHolt et al.

(1984)

Isolat GSB-95033

F. mening. Cowan(1874)

F. mening.

Acuigrup(1980)

Pewarnaan Gram - - - - - -

Gerakan pada MA + + + - - NtKatalase + + + + + +Oksidase + + F O Nt OUji O-F F F + - - +Motility + + - - - -H2S - - + - - -Indol + +Gas dari glukosa - - - - - -L arginin + + + + + +L ornitin - - - - - -Lysin - - - - - -Gelatin + + + - + -Asam dari

Arabinose - - + Nt +Glucose + + + + + +Lactose - - - - - -Sucrose + + + - - NtXylose - - Nt - Nt -

Bercahaya - - - - - -Tumbuh pada

SS agar Nt Nt Nt - - NtMC agar Nt Nt Nt + + NtTCBS agar Y Y Y - - -

Tumbuh(0C)30 + + + + + +35 + + + + + +42 + + + - - -

Pigmentasi - - - Y Y Y+ = positif - = negatif Nt = tidak diujiO = oksidatif F = fermentative Y = kuningSumber: Roza et al., 1999

23

Page 24: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

Lampiran 2. Komposisi bahan dalam setiap gram Haimix-S/g

Komposisi KandunganLactobacillus Powder 4x105 cell Dextrose 80 mgAscorbic Acid 3 0 mgBiodiastase 1 5 mgNicotinamide 1 0 mgLycine HCl 10 mgDibasic 10 mgDextrine 10 mgMononitrate 2 mgPan totenate 2 mgLactose 1 mgVitamin B 1 mgVitamin E 1 mgFolic Acid 0.5 mgVitamin A 2,500 luVitamin D 200 Iu

Sumber : Yastar International Co. Ltd Singen cit. Tangko et al., 2007

24

Page 25: Potensi dan Pengembangan Perikanan Bulu Babi

25