Upload
hathien
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POTRET BURUH INDONESIA PADA MASA ORDE
BARU DALAM KUMPULAN PUISI
NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL
DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Disusun oleh
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki
1110013000020
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2015
i
Abstrak
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , Potret Buruh Indonesia pada
Masa Orde Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji
Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman,
M.Hum.
Puisi-puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji
Thukul menampilkan banyak potret kehidupasn sosial yang terjadi di Indonesia.
Salah satu dari sekian banyak potret kehidupan sosial yang ditampilkan oleh Wiji
Thukul adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
Penelitian yang menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk
mengetahui sebuah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
Berdasarkan penelitian, ditemukan 22 puisi yang menampilkan potret
buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dari 169 puisi yang terhimpun dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang
buruh tersebut menampilkan berbagai potret buruh Indonesia seperti kehidupan
ekonomi buruh yang sulit, permasalahan upah buruh yang rendah, permasalahan
lembur paksa, jaminan kesehatan dan keselamatan buruh yang kuang
mendapatkan perhatian oleh pihak perusahaan, serta tindakan represif dari pihak
perusahaan kepada buruh.
Kata kunci: potret buruh Indonesia, puisi, pembelajaran sastra
ii
Abstract
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki, 1110013000020 , A Portrait of Indonesian
Labor in A Collection of Poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji Thukul: a
Review of Sociology of Literature and Its Implications on Indonesia Languages
and Literature Learning in School. Indonesia Language and Literature Education
Departement, Faculty of Tarbiya and teaching science, State Islamic University of
Syarif Hidayatullah Jakarta. Advisor: Jamal D. Rahman, M.Hum.
The poems in a collection of poetry Nyanyian Akar Rumput by Wiji
Thukul shows many potrait of social life what happened in Indonesia. Among the
various a portrait of social life displayed by wiji thukul is a portrait of Indonesian
labor in Orde Baru era.
The research which sociology of literature review is conducted to
determine a portrait of Indonesian labor in a collection of poetry Nyanyian Akar
Rumput by Wiji Thukul and its implications on Indonesia language and literature
learning in school .
Based on the results of research, found 22 poetry which showing a portrait
of Indonesian labor in the Orde Baru era of 169 poetry that has colected in a
collection of poems Nyanyian Akar Rumput. 22 poetry about labor by Wiji Thukul
is showing a variety of Indonesian labor as a portrait of their economy life, the
number of low labor wage that are not in accordance with the burden of work
performed by labor, forced overtime issues, health care and safety in the work that
is underappreciated by the company, and a repressive actions done by the officers
of the companies to workers.
Keywords: a portrait of labor, poetry, literature learning
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah
memberikan petunjuk dan kekuatannya sehingga saya dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw., keluarga, para sahabat, dan kita sebagai pengikutnya sampai
akhir zaman. Aamiin!
Terselesaikannya skripsi yang berjudul Potret Buruh Indonesia dalam
Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia ini merupakan hasil kerja saya yang tidak terlepas dari
dukungan banyak pihak, baik dukungan berupa doa, semangat, sumbangan
pemikiran, maupun bahan-bahan yang dibutuhkan bagi penyempurnaan skripsi
ini. Maka, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan;
2. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;
3. Bapak Jamal D. Rahman, dosen pembimbing skripsi saya yang dengan
penuh dedikasi tinggi telah bersedia membimbing saya dalam hal
penulisan skripsi ini;
4. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A. selaku dosen penasihat akademik saya
yang telah memberikan pengarahan sampai terselesaikannya perkuliahan
saya;
5. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK,
UIN Jakarta atas semua ilmu, motivasi, dan inspirasi yang begitu berguna
dalam kehidupan saya;
6. Kedua orangtua saya, Basuki, S.Pd. dan Nurhayati Sulistiyo Rahayu
Ningsih, S.Pd. atas segala ketulusan dan pengorbanan yang senantiasa
diberikan kepada saya;
7. Kedua adik saya Arbiyan Billah Dini Nurhakiki dan Siti Khairunnisa
Nurhakiki;
8. Sahabat-sahabat saya yang tercinta: Arul, Meizar, Puguh, Anam, Teguh,
Cecep, Ara, Habibah, Lintang, Papat, dan Rizka;
9. Ema Fitriani yang beberapa kali membantu saya dalam menemukan
sumber pustaka;
10. Keluarga Besar Pojok Seni Tarbiyah yang tercinta;
iv
11. Sahabat-sahabat seperjuangan di Kemangilodi: Amal, Lina, dan Sri (saat
kita tidak punya apa-apa, karyalah yang membawa kita ke mana-mana);
12. Sahabat-sahabat PBSI angkatan 2010;
13. Sahabat senasib, semimpi, dan seperjuangan di Kareina, Mbenk Haryadi
Kareina.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya
bisa lebih baik lagi.
Terakhir, saya berharap semoga skripsi ini dapat memberikan konstribusi
wawasan bagi cakrawala ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin!
Ciputat, 27 November 2014
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
E. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 6
G. Metode Penelitian ........................................................................................ 7
BAB II: PUISI DAN BURUH
A. Puisi ........................................................................................................... 12
B. Pendekatan Sosiologi Sastra ...................................................................... 24
C. Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru........................................... 28
D. Pembelajaran Sastra ................................................................................... 33
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 36
vi
BAB III: WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS
A. Biografi Wiji Thukul ................................................................................. 40
B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra ....................................................... 48
C. Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput ................................... 52
BAB IV: POTRET BURUH INDONESIA DALAM KUMPULAN PUISI
NYANYIAN AKAR RUMPUT KARYA WIJI THUKUL
A. Thukul dan Puisi tentang Buruh ................................................................ 54
B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh......................... 55
C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput .. 84
D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul tentang Buruh terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra di Sekolah ....................................................................... 117
BAB V: PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 122
B. Saran......................................................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 125
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perburuhan di negeri mana pun, termasuk di Indonesia, dapat
dikatakan tidak pernah menggembirakan. Kondisi dan nasib para buruh senantiasa
menyedihkan. Mereka selalu saja terbelenggu dalam lingkungan industrial yang
kerap menggerus mereka dalam keadaan tereksploitasi pikiran dan tenaganya.
Sejak masa kolonial hingga saat ini, kondisi dan nasib buruh di negeri ini
tetap saja memperihatinkan, tak ada banyak perubahan berarti ke arah yang lebih
baik dalam kehidupan mereka. Bahkan, lahirnya serikat-serikat buruh sejak era
kemerdekaan, Orde Baru hingga era Reformasi yang diharapkan mampu menjadi
wadah bagi buruh untuk bersatu dan memperjuangkan nasib mereka ternyata
hasilnya masih jauh dari kata memuaskan.
Jika kita menyaksikan kondisi perburuhan di Indonesia, maka kita akan
dapat menyadari betapa kompleks dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya
dan hal itu tak kunjung ada penyelesaiannya. Buruh pun berada dalam sebuah
dilema, di satu sisi, mereka membutuhkan pihak perusahaan untuk bekerja dan
mendapatkan upah, namun di sisi lain, dalam pekerjaannya para buruh kerapkali
dieksploitasi demi kepentingan pihak perusahaan tempat mereka bekerja.
Persoalan tentang buruh dapat dikatakan sebagai persoalan yang krusial.
Persoalan ini bukan sekadar persoalan industrial, tetapi juga menyangkut
persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sistem
ekonomi-politik suatu negara akan menentukan corak sistem perburuhan yang
diberlakukan.
Persoalan perburuhan sangat ditentukan oleh sistem ekonomi dunia,
khususnya kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme ini, kaum buruh cenderung
dieksploitasi. Bahkan, buruh kerap dikonotasikan sebagai mesin produksi, maka
upah yang diberikan kepada kaum buruh harus disesuaikan dengan tingkat
produktivitas mereka. Kondisi inilah yang membuat buruh terus-menerus terisap
2
dan termarjinalkan dalam dunia industrial. Maka, bukanlah suatu hal yang
mengherankan apabila dari masa ke masa nasib buruh senantiasa
memperihatinkan.
Di Indonesia, pada masa Orde Baru, penguasa kala itu mencanangkan
politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan
distribusi. Hal ini kemudian diikuti dengan diterapkannya Hubungan Industrial
Pancasila (HIP) yang membuka peluang intervensi negara. Sialnya, penerapan
politik pembangunan dan HIP oleh ini tidak mampu memperbaiki kehidupan
buruh. Kondisi buruh tetap memperihatinkan. Sistem kapitalistik yang semakin
berkembang terus menggerus kehidupan buruh. Kondisi ini diperparah dengan
intervensi yang kerap dilakukan pemerintah. Dengan dalih menjaga stabilitas,
pemerintah kala itu tidak segan menggunakan aksi represif terhadap buruh yang
mangadakan aksi protes sebagai alat untuk memperjuangkan diri mereka.
Sementara, dalam kehidupan pekerjaannya, pihak perusahaan terus-menerus
mengekploitasi mereka.
Keadaan perburuhan di Indonesia yang seperti inilah yang kemudian
menyadarkan para buruh untuk semakin bertekad memperjuangkan hak dan nasib
mereka demi kehidupan yang lebih baik. Maka mulai lahirlah beberapa serikat
buruh yang benar-benar berpihak pada buruh (bukan serikat buruh bentukan
penguasa yang pada kenyataannya digunakan untuk kepentingan penguasa).
Selain itu, para buruh pun mulai bersatu bersama pihak-pihak lain semisal para
aktivis untuk sama-sama memperjuangkan keadilan bagi buruh. Kehadiran para
aktivis dalam perjuangan buruh ini memiliki posisi yang penting sebagai motor
penggerak bagi buruh untuk menyadari dan memperjuangkan hak mereka.
Di antara aktivis buruh yang menonjol pada masa era Orde Baru adalah
Wiji Thukul. Akan tetapi, dia bukan sekadar aktivis, ia juga seorang penyair yang
sebelumnya juga pernah bekerja sebagai buruh. Sebagai seorang penyair, Wiji
Thukul kerap menggunakan puisinya sebagai media protes sosial terhadap
penguasa. Di antara hal yang sangat sering ia sampaikan dalam protes sosialnya
adalah nasib buruh. Seperti yang sudah penulis katakan, Wiji Thukul sendiri juga
pernah menjadi buruh, begitu pun dengan istrinya, Sipon. Pergaulannya yang
3
dekat dengan dunia buruh membuat Thukul bisa merasakan bagaimana nasib
buruh pada masa Orde Baru yang begitu memperihatinkan.
Di antara puisi Wiji Thukul yang menampilkan potret buruh adalah
puisinya yang berjudul “Suti”. Melalui puisi tersebut, Thukul menampilkan potret
seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya
yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya
sebagai buruh tidak mencukupi. Sementara itu, dalam puisi “Leuwigajah”, Wiji
Thukul menampilkan potret buruh (tenaga muda) yang terus diperah, diisap
darahnya, seperti buah disedot vitaminnya.
Dalam puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, bahkan Wiji Thukul
dengan terang-terangan menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka: kaum
buruh. Dengan keras Thukul mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang
terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh.
Nasib buruh pada masa Orde Baru memang sangat memperihatinkan, jika
tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur
menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak di
antaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Buruh
saat itu dituntut untuk bekerja dengan sangat keras, tetapi tidak diimbangi dengan
upah yang sepadan. Belum lagi tentang banyaknya kisah penganiayaan terhadap
buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja (ambil
contoh kasus Marsinah, buruh dan aktivis yang meninggal sebab dibunuh oleh
pemilik perusahaan tempatnya bekerja). Hal inilah yang banyak menjadi bahan
protes sosial Wiji Thukul melalui puisi-puisinya.
Pada tahun 2014, terbit kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul yang
berjudul Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka
Utama. Dari sekian banyak puisi yang terdapat dalam kumpulan lengkap puisi
tersebut, terdapat beberapa puisi yang mengangkat tema tentang nasib buruh
Indonesia pada masa Orde Baru. Di antara puisi-puisi itu adalah puisi yang
berjudul “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu
Barisan”, dan “Leuwigajah”. Melalui puisi-puisi tersebut, orang yang
4
membacanya akan dapat menyaksikan bagaimana nasib buruh Indonesia ketika
masa Orde Baru lengkap dengan kondisi batin mereka.
Potret nasib buruh pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Wiji
Thukul dalam puisi-puisinya merupakan suatu hal yang menarik. Thukul bukan
hanya sekedar menulis puisi, ia juga seorang mantan buruh dan setelah menjadi
aktivis ia juga turut menggerakkan buruh untuk melakukan protes terhadap
pemilik pabrik dan penguasa saat itu untuk memperjuangkan nasib mereka.
Bahkan, aksinya dalam menggerakkan buruh itu pernah mengakibatkannya
mendapatkan tindak kekerasan dari aparat. Dengan demikian, dapat dilihat
bagaimana Thukul telah berusaha memperjuangkan nasib buruh melalui puisi
sekaligus aksi.
Sebagai penyair, Wiji Thukul telah berhasil menampilkan potret kenyataan
sosial yang pernah terjadi di negerinya dalam hal ini adalah potret buruh
Indonesia pada masa Orde Baru. Bukan itu saja, ia juga menjadikan puisi-puisinya
sebagai alat protes sosial terhadap penguasa dan pihak perusahaan yang di sisi lain
mampu menggerakkan para buruh untuk bersatu dan memperjuangkan hak dan
nasib mereka. Apa yang dilakukan oleh Thukul melalui puisi-puisinya
menegaskan bahwa puisi dapat dijadikan sebagai media yang mengabadikan
sebuah potret kenyataan sosial yang di sisi lain dapat digunakan sebagai alat
protes sosial.
Nama Wiji Thukul dalam sejarah sastra Indonesia seolah-olah terlupakan
atau bahkan sengaja dilupakan yang mungkin saja akibat dari sosoknya sebagai
penyair sekaligus aktivis pemberontak yang menjadi musuh penguasa. Begitulah,
sejarah memang sering ditulis dan dilupakan demi kepentingan penguasa. Wiji
Thukul sendiri sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, entah masih hidup
atau tidak, jika sudah meninggal, sampai sekarang jasadnya pun belum
diketemukan. Ia dilaporkan hilang oleh istrinya setelah tragedi krisis 1998.
Banyak yang mengatakan ia telah menjadi korban politik penguasa yang tak tahan
oleh kritik dan aksinya sebagai penyair sekaligus aktivis.
Dapat dikatakan, Wiji Thukul, baik sebagai penyair, aktivis, maupun
manusia biasa telah mengalami peristiwa hidup yang tragis. Ia memilih hidup
5
sebagai seorang penyair dan aktivis yang memperjuangkan hak buruh maupun
rakyat kecil lainnya dari kesewenangan penguasa, tetapi justru karena pilihan
hidupnya itulah ia dianggap sebagai musuh oleh penguasa. Berdasarkan hal-hal
tersebut yang telah penulis jelaskan, maka penulis tertarik untuk melakukan
sebuah penelitian mengenai potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde
Baru yang terdapat dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul. Ada pun judul dari
penelitian ini adalah “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru dalam
Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Melalui penelitian ini, penulis berusaha
menguraikan bagaimana kumpulan puisi Wiji Thukul yang berjudul Nyanyian
Akar Rumput mencerminkan nasib buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
B. Identifikasi Masalah
Di dalam penelitian tentu terdapat banyak faktor atau unsur yang diteliti.
Faktor atau unsur-unsur tersebut memerlukan pengidentifikasian masalah. Tujuan
adanya identifikasi masalah adalah agar memudahkan peneliti dalam mengkaji
bahasan penelitiannya. Berikut identifikasi masalah yang terdapat dalam skripsi
ini.
1. Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan dalam puisi-
puisi Wiji Thukul merupakan usaha penyair untuk menguak fakta tentang
kondisi buruh pada zaman itu yang seringkali diperlakukan secara tidak adil,
namun fakta tersebut ditutupi oleh penguasa saat itu.
2. Puisi-puisi Wiji Thukul yang bertemakan tentang buruh merupakan usaha Wiji
Thukul untuk memperjuangkan nasib buruh yang pada masa Orde Baru.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka
diperlukan batasan masalah. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada
masalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam kumpulan puisi
6
Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tergambarkan
dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul?
2. Bagaimana implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji
Thukul terhadap pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.
2. Untuk mengetahui implikasi kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput terhadap
pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Untuk menguji kualitas yang dilakukan oleh seorang peneliti, maka suatu
penelitian harus memiliki manfaat baik secara teoretis, maupun praktis.
Berikut merupakan manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian skripsi
ini.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu pengetahuan di bidang
kritik sosial, khususnya mengenai permasalahan buruh di Indonesia dan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi para guru Bahasa dan Sastra
Indonesia, akademisi, dan masyarakat umum yang menaruh minat terhadap
bahasa dan sastra Indonesia.
2. Manfaat Praktis
7
a) Mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat
dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul serta
relevansinya terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari.
b) Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia.
c) Sebagai motivasi dan referensi bagi peneliti lain yang berminat terhadap
pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian lebih lanjut,
serta sebagai inovasi baru bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
G. Metode Penelitian
Penelitian yang baik adalah penelitian yang menggunakan metode yang
relevan. Fungsi dari penggunaan metode penelitian adalah agar penelitian yang
dilakukan mendapatkan hasil yang sistematis, valid, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Berikut ini merupakan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi
yang berjudul “Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar
Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Keterampilan Menyimak Sastra di Sekolah Menengah
Atas”.
1) Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya, data penelitian dari
hasil analisis, yaitu berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau
numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif adalah berupa teks.
Sedangkan pendekatan teori menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Pendekatan sosiologi sastra menurut Abrams adalah pendekatan kajian sastra
yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan
kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan karya sastra sebagai imitasi dari
realitas.1
1 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : Grasindo, 2008), h. 188.
8
Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul.
2) Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode
deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena
yang ditanggap.2 Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan data
dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci untuk menggambarkan suatu
hal, keadaan, dan fenomena yang meliputi analisis dan interpretasi terhadap
objek yang diteliti.
Dengan desain tersebut, maka penelitian ini mendeskripsikan atau
menggambarkan apa yang menjadi pokok masalah dalam puisi yang dikaji,
yakni kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah.
3) Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer adalah data langsung yang berkaitan dengan karya
sastra yang dikaji, dalam hal ini buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul
Nyanyian Akar Rumput yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, Cetakan I: 2014, dengan tebal 248 halaman. Sedangkan data
sekunder merupakan data tambahan atau pelengkap yang memiliki hubungan
dengan objek penelitian.
2 Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,
(Bandung: Tarsito, 1975), h. 133.
9
4) Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan
teknik simak dan catat. Teknik pustaka merupakan teknik yang menggunakan
sumber-sumber data tertulis untuk meperoleh data penelitian. Teknik simak
dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan
secara cermat dan terarah terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang
digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian
karya sastra yang diteliti.
Dalam penelitian ini, sumber-sumber tertulis yang digunakan sesuai dengan
analisis struktur yang membangun serta potret buruh Indonesia yang terdapat
dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Peneliti
melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data
primer, yaitu teks puisi “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”,
“Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada
Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”,
“Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton
Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin
Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”,
“Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” untuk
memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian
digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan sebagai sumber
data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai
dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.
5) Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penlitian ini adalah teknik
membaca heuristik. Menurut Riffatere dalam Sangidu, pembacaan heuristik
merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan
10
menginterpretasikan teks satra secara referensial lewat tanda-tanda
linguistik.3.
Langkah awal dalam menganalisis kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput
adalah dengan membaca secara heuristik. Membaca dengan heuristik
bertujuan untuk mengetahui makna secara tersurat secara keseluruhan dari
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. Setelah itu, peneliti
mengklasifikasikan puisi Wiji Thukul mana saja yang mengandung potret
buruh Indonesia hingga ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul yang
berbicara tentang buruh. Ada pun 22 puisi tersebut adalah “Suti”, “Ayolah
Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,
“Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan
Kita Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”,
“Kampung”, “Jangan Lupa, Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang
Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”,
“Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di
Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”.
Kemudian, peneliti menganalisis unsur batin dan fisik 22 puisi tersebut. Lalu,
peneliti menganalisis 22 puisi tersebut berdasarkan pendekatan mimetik
untuk mengetahui segala potret buruh Indonesia yang terdapat dalam puisi-
puisi Wiji Thukul tersebut.
Setelah puisi-puisi tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan
mimetik, selanjutnya peneliti mengimplikasikannya ke dalam pembelajaran
bahasa dan sastra di Sekolah.
6) Validitas Data
Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses
penelitian. Adapun tringulasi yang digunakan adalah tringulasi teori, yaitu
penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda
dalam menganalisis data.
3. Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2007), h.45.
11
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tringulasi sumber. Hal ini
dikarenakan peneliti menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen
untuk menguji data yang sejenis tentang kritik sosial yang terkandung dalam
puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh.
12
BAB II
PUISI DAN BURUH
A. Puisi
1. Pengertian Puisi
Sebagai karya kemanusiaan, puisi pada hakikatnya adalah ungkapan
kualitas kemanusiaan kita−yang disadari atau pun tidak, keberadaannya selalu
hadir dalam kehidupan kemanusiaan kita. Dalam kegiatan bertutur sehari-hari,
misalnya, seringkali kita menjumpai berbagai ekspresi puitis yang terlontar dari
lisan kita. Bahkan, sudah sejak lama jenis puisi seperti mantra digunakan oleh
sebagian masyarakat dalam kegiatan ritual spiritual seperti pemujaan roh nenek
moyang hingga ritual untuk menolak bala. Dengan kata lain, dalam menjalani dan
menyikapi kehidupannya, secara sadar maupun tidak, manusia terbiasa
menggunakan sekaligus memanfaatkan puisi. Hal ini menegaskan pula, bahwa
pada kenyataannya puisi dengan kehidupan manusia adalah dua sisi koin yang
memang tidak dapat dipisahkan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apa sebenarnya
pengertian dari puisi itu sendiri?
Puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam
sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan
bait4. Zainuddin menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan puisi adalah karya
sastra yang terikat ketentuan atau syarat tertentu dan pengungkapannya tidak
terperinci, tidak mendetail atau tidak meluas5. Pendapat lain dikemukakan oleh
Waluyo yang mengemukakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasan penyair secara imajinatif dan disusun
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.6
Sementara itu, Samuel Jhonson dalam Aswinarko mengatakan bahwa puisi
adalah seni penyatuan kesenangan-kesenangan dengan kebenaran melalui
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.1112.
2 Zainuddin, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992),
h. 100.
6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : Grasindo, 2008), h. 108.
13
sentuhan imajinasi yang bernalar. Batasan tersebut berkaitan dengan bentuk
batinnya saja.7 Selanjutnya, Winarko dan Ahmad Bahtiar mengemukakan
pendapat tentang pengertian puisi bahwa puisi adalah ungkapan jiwa yang bersifat
emosional dengan mepertimbangkan efek keindahan yang kata-katanya disusun
menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sanjak, dan kata-kata
kias yang penuh makna8.
Mengenai pengertian dari puisi, E. Kosasih berpendapat bahwa puisi
adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna9.
Sementara itu, Donald A. Stauffer berpendapat bahwa poetry is concrete. Its
significance is embodied in the symbols of all the senses; and moral statement,
abstract speculations, convictions, hopes, and tenuous emotions, are all set forth
to walk in images and actions.10
2. Struktur Puisi
Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau
salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna. E. Kosasih
mengatakan bahwa puisi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur batin.
Mengenai unsur fisik puisi, akan dijelaskan secara lebih rinci berikut ini.
A) Unsur Fisik
a) Diksi
Ketika menulis puisi, seorang penyair haruslah cermat dalam memilih
kata-kata, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya,
komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata
lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi. Diksi atau pilihan kata
adalah hasil dari upaya memilih kata yang tepat untuk dipakai dalam suatu tuturan
bahasa.11
Sementara itu, Gorys Keraf berpendapat bahwa diksi mencakup
7Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, Kajian Puisi: Teori dan Praktik, (Jakarta: Unindra
Press, 2013), h.8.
8 Ibid., h. 9
9 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya,
2012), h. 97. 10
Donald A. Stauffer, The Nature of Poetry, (United States of America: Holt, Rinehart,
and Winston, 1960), h.471. 11
Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: UHAMKA Press,
2009), h. 65.
14
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,
bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam
suatu situasi.12
Ada beberapa hal lain yang harus dipertimbangkan oleh penyair dalam
memilih kata-kata dalam puisinya, yaitu perbendaharaan kata, ungkapan, urutan
kata-kata, dan daya sugesti kata-kata. Berikut akan dijelaskan secara lebih detil.
1) Perbendaharaan kata
Perbendaharaan kata penyair di samping sangat penting untuk kekuatan
ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. Dalam memilih kata-kata, di
samping penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan
tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor
sosial budaya penyair. Maka penyair satu berbeda dalam memilih kata dari
penyair lainnya.13
2) Urutan kata
Dalam puisi, urutan kata bersifat beku, artinya urutan kata itu tidak dapat
dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh
perpindahan tempat itu. Di samping itu, urutan kata-kata juga mendukung
perasaan dan nada yang diinginkan penyair. Jika urutan katanya diubah,
maka perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula.14
3) Daya sugesti kata-kata
Daya sugesti kata-kata ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang
sangat tepat mewakili perasaan penyair. Ketepatan pilihan dan ketepatan
penempatannya itulah yang membuat kata-kata itu seolah memancarkan
daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut
sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.15
b) Pengimajian
12
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h.
24. 13
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), h. 73 14
Ibid. 15
Ibid.
15
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang
dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih
konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.16
Pengimajinasian atau imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan
pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami
oleh penyair.17
Herman J. Waluyo mengatakan bahwa pengimajian ditandai dengan
penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam,
yakni imaji visual (penglihatan), imaji auditif (suara), dan imaji taktil (cita rasa).18
Imaji visual adalah imaji yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat
langsung tentang apa yang diceritakan penyair. Imaji auditif adalah imaji yang
menyebabkan pembaca seolah-olah mendengar langsung tentang apa yang
diceritakan penyair. Sementara itu, imaji taktil adalah imaji rasa kulit yang
menyebabkan pembaca seolah-olah merasakan di bagian kulit terasa nyeri, perih,
panas, dingin, dan sebagainya.19
c) Kata Konkret
Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret
atau diperjelas. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada
arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga
erat hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Kata konkret adalah
syarat atau sebab terjadinya pengimajian. Jika penyair mahir memperkonkret kata-
kata, maka pembaca seolah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan
penyair.20
d) Bahasa Figuratif (Majas)
16
Herman J. Waluyo, op.cit., h. 78
17
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 115
18
Herman J. Waluyo, op.cit., h. 79
19
Herman J. Waluyo, op.cit., h. 81
20
E. Kosasih, op. cit., h.103
16
Bahasa figuratif merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata lain.21
Penggunaan bahasa figuratif ini menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif digunakan
penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara
tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau
makna lambang22
Berikut akan dijelaskan mengenai makna kiasan dan
perlambangan.
1) Kiasan
Kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya
baha kiasan karena mewakili apa yang secara tradisonal disebut gaya
bahasa secara keseluruhan. Tujuan penggunaan kiasan ialah untuk
menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa
puisi.23
Berikut ini akan dijelaskan metafora (kiasan langsung), persamaan
(kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, euphemisme, sinekdoke,
dan ironi.
a. Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu
tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh:
bunga sedap malam, melati di tapal batas, dan sebagainya.24
b. Perbandingan
Perbandingan atau yang disebut juga sebagai simile adalah kiasan yang
tidak langsung. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama
pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, bagai,
bak, dan sebagainya. Contoh: kau bagai pelita dalam kegelapan, bola
mata hitam bak malam yang dalam, dan sebagainya.25
c. Personifikasi
21 Ibid., h. 104.
22 Herman J. Waluyo, op.cit., h. 83
23 Ibid., h. 84
24
Ibid., h. 84
25
Ibid., h. 85
17
Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan
sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal
ini benda mati dianggap sebagai manusia atau persona. Contoh: angin
bernyanyi, pepohon pun menari, dan sebagainya.26
d. Hiperbola
Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu
melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan
perhatian yang lebih saksama dari pembaca. Contoh: luka yang kau
goreskan adalah kepedihan seribu tahun bagiku.27
e. Sinekdoke
Sinekdoke adalah menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan,
atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian. Terbagi atas
parte pro toto (menyebut sebagian untuk keseluruhan) dan totem pro
parte (menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian). Contoh: aku
merindukan senyummu, „aku‟ merindukan diri seseorang yang
dikasihinya, tetapi hanya menyebutkan senyum orang yang dikasihinya
saja (parte pro toto), rakyat pun termangu meratapi kemiskinannya,
untuk menggambarkan keadaan sebagian rakyat yang miskin, pada
contoh ini disebutkan semua rakyat termangu meratapi kemiskinannya
seolah-olah semua rakyat miskin.28
f. Ironi
Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan
sindiran.29
Wiji Thukul dalam sebuah puisinya pernah memberi
sindiran kepada penyair yang terlalu mendewakan seni sastra yang
tinggi melalui karyanya, namun tidak seolah-olah tuli dalam
mendengar jeritan kehidupan dan kemiskinan serta kenyataan sosial
yang terjadi sebenarnya
26 Ibid.
27
Ibid.
28 Ibid.
29
Ibid., h. 86
18
2) Perlambangan
Perlambangan digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat
nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah
pembaca. Perlambangan digunakan penyair sebab ia merasa bahwa kata-
kata dari kehidupan sehari-hari belum cukup untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan kepada pembaca. Perlambangan dapat
dilakukan dengan cara memanfaatkan lambang warna, lambang benda,
lambang suasana, dan lambang bunyi. Macam-macam lambang ditentukan
oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan penyair untuk mengganti
keadaan atau peristiwa itu.30
e) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)
1) Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi dalam
puisi digunakan untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dalam
rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan
kata 31
.
a. Onomatope
Onomatope adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada.32
Contoh:
pada tip-tap-tip-tap langkahnya (pada contoh ini digunakan tiruan
bunyi langkah orang yang berjalan, yaitu tip-tap-tip-tap).
b. Bentuk intern pola bunyi
Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa yang dimaksud
bentuk intern pola bunyi ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan akhir
persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi
bunyi, dan sebagainya.33
Aliterasi adalah persamaan bunyi pada suku
kata pertama sedangkan asonansi adalah ulangan bunyi vokal pada
kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan.34
30 Ibid.
31 Ibid., h. 90
32
Ibid.
33 Ibid., h.92
34
Ibid.
19
c. Pengulangan kata
Pengulangan tidak hanya berbatas pada bunyi, namum juga kata-kata
atau ungkapan. Boulton dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa
pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek
magis yang murni.35
Misalnya dalam puisi “Aku ingin”, Sapardi Djoko
Damono menggunakan dua kali larik aku ingin mencintaimu dengan
sederhana, yakni pada larik pertama bait pertama dan larik pertama
bait kedua.
2) Ritma
Ritma sangatlah erat kaitannya dengan bunyi dan berhubungan dengan
pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma berbeda dari metrum
(matra). Metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Slamet
Muljana dalam Herman J. Waluyo mengatakan bahwa ritma adalah
pertentangan bunyi: tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang
mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan. Membahas metrum dalam puisi Indonesia sangatlah sulit,
sebab dalam bahasa Indonesia, tekanan tidak membedakan arti dan belum
dilakukan, namun dalam deklamasi puisi peranan metrum sangat
penting.36
f) Tipografi (Perwajahan)
Tipografi atau perwajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik, dan
bait pada puisi.37
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan
prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut
paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan
berakhir di tepi kanan. Tepi kiri dan tepi kanan dari halaman yang memuat puisi
belum tentu terpenuhi tulisan.38
35 Ibid.
36
Ibid., h. 94.
37 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 113
38
Herman J. Waluyo, op.cit., h. 97
20
Kata-kata yang disusun mewujudkan larik-larik yang panjang dan pendek,
yang membentuk suatu kesatuan padu. Pergantian larik panjang dan pendek
sedemikian bervariasi secara harmonis sehingga menimbulkan ritma yang padu.39
B) Unsur Batin Puisi
Selain memunyai unsur fisik, puisi juga memunyai unsur batin. Berikut
adalah penjelasan mengenai unsur batin dalam puisi.
a) Tema
Tema adalah gagasan pokok yang diungkapkan penyair dalam puisinya.40
Tema juga berupa pengungkapan pokok pikiran dan persoalan manusia yang
hakiki yang mengandung arti (cinta, benci, dendam, duka, keserakahan, keadilan,
kesesangsaraan, penindasan, dan kebahagiaan). Secara umum, tema dapat
dikatakan sebagai dasar untuk mengembangkan suatu puisi atau topik yang
menjadi pokok utama yang disebut juga sebagai gagasan pokok.41
b) Perasaan
Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili ekspresi perasaan
penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau
pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau Sang Khalik.42
Puisi merupakan
karya yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat
berupa kerinduan, kegelisahan, atau penyair hendak mengagungkan kekaguman
terhadap kekasih, alam atau Sang Pencipta.43
c) Nada dan Suasana
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap
pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek, menyindir,
atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair
kepada pembaca ini disebut nada puisi.44
Sementara itu, suasana adalah keadaan
jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada dan suasana puisi sangat
berhubungan. Nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada
39 Ibid.
40
E. Kosasih, op. cit., h.105.
41 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.53-54
42
E. Kosasih, op. cit., h. 105.
43
Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 54
44
E. Kosasih, op. cit., h.109.
21
kritik yang diberikan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan
bagi pembaca.45
d) Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan
pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.46
Puisi mengandung amanat
atau pesan yang dismapaikan penyair kepada pembaca. Setiap pembaca dapat
menafsirkan sebuah puisi secara individual. Pembaca yang satu dengan yang lain
mungkin akan berbeda dalam menafsirkan amanat yang terdapat dalam puisi.47
3. Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak
disampaikan, puisi terbagi ke dalam jenis-jenis berikut.
a) Puisi Naratif
Puisi naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan
penyair.48
Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.
Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh
pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Sebagai contoh
adalah kumpulan puisi Rendra yang berjudul Balada Orang-orang
Tercinta. Sementara, romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan
bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan
ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah
percintaan mereka lebih memesonakan.49
b) Puisi Lirik
Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan aku lirik atau gagasan
pribadi aku lirik.50
Jenis puisi lirik misalnya elegi, ode, dan serenada. Elegi
adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Sebagai contoh puisi
“Elegi Jakarta” karya Asrul Sani. Serenada adalah sajak percintaan yang
dapat dinyanyikan. Sebagai contoh puisi “Serenada Biru” karya Rendra.
45 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 53-54
46
E. Kosasih, op. cit., h.109.
47 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h. 55
48 Ibid., h.14.
49 Herman J. Waluyo, op.cit., h.135-136
50
Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.14
22
Ode adalah puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal atau
suatu keadaan. Sebagai contoh adalah puisi “Diponegoro” karya Chairil
Anwar.51
c) Puisi Deskriptif
Puisi deskriptif adalah puisi yang penyairnya bertindak sebagai pemberi
kesan terhadap keadaan/peristiwa, benda, atau suasana yang dipandang
menarik perhatian penyair.52
Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam
puisi deskriptif di antaranya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi
impresionistik. Satire adalah puisi yang mengungkapkan perasaan tidak
puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau
menyatakan keadaan sebaliknya. Puisi kritik sosial adalah puisi yang juga
menyatakan ketidaksenangan penyair terhadap keadaan atau diri
seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan dan
ketidakberesan keadan/orang tersebut. Sedangkan puisi impresionistik
adalah puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu
hal.53
d) Puisi Kamar
Puisi kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendiri dengan satu atau dua
pendengar saja di dalam kamar.54
e) Puisi Audiotorium (Puisi Mimbar)
Puisi audiotorium, disebut juga puisi hukla, yaitu puisi yang cocok dibaca
di hadapan orang banyak (acara seremonial) atau dibaca di audiotorium.55
f) Puisi Pamflet
Puisi pamflet mengungkapkan protes sosial. Disebut puisi pamflet karena
bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa
tidak puas terhadap keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes
51
Herman J. Waluyo, op.cit., h.136
52 Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15
53 Herman J. Waluyo, op.cit., h.137
54
Ahmad Bahtiar dan Awsinarko, op. cit., h.15
55
Ibid., h.14.
23
secara spontan tanpa proses pemikiran dan perenungan yang mendalam.
Salah satu dari tokoh puisi pamflet adalah Rendra.56
g) Puisi Epik
Puisi epik adalah puisi yang mengungkapkan tentang petualangan atau
perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur
yang dilakukannya.57
4. Fungsi Puisi dalam Masyarakat
Seorang pemikir Yunani, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile,
dalam tulisannya berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra memunyai fungsi ganda,
yakni, menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya.58
Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik bukan hanya sekadar
indah dan menghibur, tetapi juga mengandung pesan atau amanat yang
bermanfaat bagi pembacanya. Herman J. Waluyo dalam Endah Tri Priyatni
berpendapat bahwa fungsi sastra adalah sebagai wahana katarsis, yaitu pencerahan
jiwa atau penyadaran jiwa terhadap lingkungan masyarakat atau terhadap
keterbatasan individu yang seringkali melabrak posisi Tuhan.59
Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang
baik selalu bernilai relijius, artinya, sastra akan selalu mengajak menuju
kehidupan yang lebih baik dan benar.60
Apabila pesan sastra yang baik tersebut
benar-benar diamalkan dan dipatrikan dalam sikap hidup, niscaya ia akan serta-
merta memantul lewat perilaku yang dekat dengan kebaikan.61
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan suatu hal yang
tidak bisa terlepas dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan puisi, mantan
Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy pernah mengatakan bahwa jika
56
Ibid., h.141-142
57
Ibid., h.17.
58
Melani Budianta dan Kawan-kawan, op. cit., h.19.
59
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), h. 22. 60
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), h.
16.
61
Rohinah M. Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media), h. 3.
24
politik kotor, maka puisilah yang akan membersihkannya.62
Apa yang
dikemukakan oleh John F. Kennedy ini bukanlah sebuah bualan belaka, sebab
dalam kenyataannya puisi memang tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan sosial
politik dan keduanya saling memengaruhi.
Dilihat dari sisi yang lain, puisi dapat pula dijadikan sebagai alat kontrol
sekaligus kritik sosial. Rohinah M. Noor bahkan mengatakan bahwa ketika
kekerasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, puisi dengan fitrahnya maju
sebagai penggugat dan pembela. Ketika lembaran sejarah begitu amis dengan
darah, puisi juga turut merekamnya.63
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi puisi, yakni sebagai media
perekam sejarah sekaligus alat protes sosial (penggugat).
Ada kalanya, puisi juga dapat menjadi sebuah media perubahan sosial dan
penyair menjadi agen perubahannya. Di Irak, terdapat penyair bernama Nazik
Malaikah. Melalui puisi-puisinya, ia menyerukan perubahan dengan nada yang
bergelora juga bertema kekecewaan dan keputusasaan atas kegagalan suatu rezim.
Rakyat Irak menganggap Nazik sebagai pahlawan revolusi yang puisi-puisinya
diakui oleh banyak pengamat telah menjadi sumber revolusi besar Irak pada 14
Juli 1958 yang mengkudetakan rezim Rasyid al-Kilani.64
B. Pendekatan Sosiologi Sastra
1. Pengertian Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan
karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.65
Dalam kaitan ini, sastra
dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap
diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.66
Sementara itu, Aswinarko mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra
bertitik-tolak dari asumsi bahwa sastra (puisi) merupakan cerminan dari
kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terjadi interaksi sosial meliputi
62 Ibid., h. 29.
63
Ibid, h. 31-32.
64
Ibid., h. 32-33. 65
Siswanto, op. cit., h.188.
66
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Centre for Academic
Publising Service), h. 78.
25
peraturan kehidupan sosial, hubungan antarmasyarakat, interaksi antarkomunitas
dalam masyarakat.67
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Atar
Semi yang mengatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra bertolak dari asumsi
bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.68
Pendekatan sosiologi sastra berasal dari dua bidang pengetahuan, yaitu
sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hubungan
sosial antarmanusia dalam masyarakat dengan segala peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Vladimir Jdanov dalam
Robert Escarpit bahwa sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak
terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan
sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus mengabaikan sudut pandang
subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya yang
independen dan berdiri sendiri.69
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra
tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya
karya sastra.70
Suwardi Endraswara mengatakan bahwa secara esensial sosiologi sastra
adalah penelitian tentang: (1) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara
obyektif, (2) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, dan (3)
studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat
mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidup.71
Mengutip apa yang dikatakan oleh Laurenson dan Swingewood, lebih
lanjut Suwardi Endraswara mengatakan bahwa pada prinsipnya terdapat tiga
perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang
memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan
67 Ahmad Bahtiar dan Aswinarko, op. cit., h.92.
68
Atar Semi, Metodologi Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 2012), h. 92.
69
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h.8.
70 Suwardi Endraswara, op. cit., h. 77
71
Ibid., h. 87-88
26
refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang
mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian
yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial
budaya.72
Sosiologi sastra juga dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui
tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis
sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif
biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan menjadi life
history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif
represif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.73
Ada kalanya, penelitian sastra juga menjurus ke masalah-masalah politik,
karena politik adalah semua cara pengaturan kehidupan masyarakat yang
melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan
mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks
sastra. Bahkan, kondisi politik juga sering memengaruhi kehidupan sastra itu
sendiri74
Dalam kaitan itu, sosiologi sastra memang merupakan penelitian manusia
dalam kaitannya dengan masyarakat dan teks sastra, karena memang antara
manusia, kehidupan sosial, dan sastra tidak bisa dilepaskan.
2. Hubungan Karya Sastra dan Masyarakat
Sastra, sebagaimana menurut Rohinah M. Noor, merupakan sebuah
produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan
masyarakatnya. Lebih lanjut, ia mengatakan, bahwa sastra berada dalam tarik-
menarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial yang di
dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan ideologis, bahkan doktrin
agama.75
Senada dengan Rohinah, Suwardi Endraswara mengatakan bahwa karya
sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat yang mau tidak mau akan
72 Ibid., h. 79
73
Ibid., h. 80-81
74
Ibid., h. 90
75 Rohinah M. Noor, op. cit., h. 23.
27
menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, pengarang berupaya untuk
mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara
pengarang dengan pembacanya.76
Pandangan yang amat populer adalah pandangan yang mengatakan bahwa
sastra merupakan cerminan sosial, dalam kata lain karya sastra merupakan cermin
pada zaman ketika karya tersebut diciptakan. Konteks sastra sebagai cermin akan
merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara sastra dengan kehidupan
masyarakat. Konteks pandangan ini juga merujuk pada berbagai perubahan dalam
masyarakat. Perubahan dan cara individu dalam bersosialisasi biasanya akan
menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks (sastra).77
Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak
mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya
untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara
pengarang dengan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan
antara sastra dengan masyarakat dan oleh karena masyarakat cenderung dinamis,
karya sastra juga cenderung mencerminkan hal yang sama.78
Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, setiap teks sastra
mengandung resonansi sosial, historis, dan politik. Karya sastra sering berada
pada “ketaksadaran politik” yang mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi
sejarah. Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga secara tak sadar
mengungkapkan heterogenitas di luar teks. Di antara heterogenitas itu adalah
masalah-masalah sosial yang memperkaya teks sastra.79
Pada konteks sosiologi sastra, sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan
juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, fungsi sastra
dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Di suatu zaman
dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan
ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain mungkin sekali dianggap sebagai
tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan.
76 Suwardi Endraswara, op. cit., h. 89.
77
Ibid., h. 88
78
Ibid., h. 89
79
Ibid., h. 90
28
Bahkan, mungkin juga sastra dianggap sebagai suatu hal yang mampu
memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi
pembacanya.80
C. Potret Buruh dalam Sejarah Industrial Indonesia
Kata „buruh‟ bisa dipahami sebagai pekerja di bidang apa saja selama ia
tidak berada pada posisi sebagai pengusaha atau pihak yang membela kepentingan
pengusaha.81
Istilah buruh pada dasarnya dapat dikatakan sama dengan pekerja,
tenaga kerja maupun karyawan. Akan tetapi, dalam kultur Indonesia, "buruh"
berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan
pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi,
dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam
melakukan kerja.82
Sejarah industrial di Indonesia dimulai dengan sistem perbudakan. Upah
yang diterima oleh budak biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan.
Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang.83
Potret perbudakan yang begitu memilukan misalnya pernah terjadi pada
1877 ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak
harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai
cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.84
Ini adalah salah satu contoh peristiwa
tragis dalam dunia perbudakan yang pernah terjadi di wilayah yang sekarang ini
bernama Indonesia (dulu Nusantara).
Imam Soepomo dalam Abdul Jalil mengatakan pada zaman pendudukan
Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles yang merupakan seorang anti
perbudakan pada 1816 sempat mendirikan The Java Benevolent Institution,
semacam lembaga yang bertujuan menghapus perbudakan. Sayangnya ia terlanjur
80 Ibid., h. 90-91
81
Anonim, “Sastra Buruh, Apa Itu”, (Tangerang: Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh
Edisi 1 Agustus 2000), h. 1.
82
Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10 April
2014 Pukul 20:07. 83
Abdul Jalil, Teologi Buruh, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008), h.33 84
Ibid., h.33-34
29
harus meninggalkan Hindia Belanda sebelum sempat mewujudkan cita-citanya
itu.85
Pada 1817 ketika Indonesia dikuasai oleh Belanda, pemerintah kolonial
membuat beberapa peraturan tentang perbudakan di antaranya larangan
memasukkan budak ke pulau Jawa. Pemerintah kolonial juga membuat peraturan
yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak
yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain menjadi merdeka sepulangnya dari
negeri tuannya. Budak yang menolong tuannya dari bahaya maut juga dinyatakan
merdeka.86
Pada masa penjajahan Belanda, masalah perbudakan tak kunjung jua
terhapuskan, malah timbul sistem perbudakan baru: kerja rodi. Di Jawa, kerja rodi
ini pada mulanya dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para
pembesar, dan para pegawai lainnya, serta untuk kepentingan bersama. Akan
tetapi, tidak jarang para penguasa menggunakan kerja bersama ini untuk
kepentingannya sendiri.87
Salah satu kerja rodi terbesar yang pernah terjadi di
Indonesia adalah kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia atas paksaan pemerintah kolonial pimpinan Deandles.
Berdasarkan catatan koloni, Indonesia (yang dulu masih bernama Hindia
Belanda) dikatakan bebas dari perbudakan pada tahun 1922 dan sistem kerja rodi
dihapus pada 1 Februari 1938.88
Sistem hubungan kerja industrial pada 1930-an
mulai bersifat kapitalistik. Hal itu dipicu adanya produksi komoditas internasional
secara massal. Data statistik pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 menyebutkan
bahwa penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai buruh ada sekitar enam juta
orang dan setengah jutanya adalah buruh yang sudah bersentuhan dengan
teknologi seperti pertambangan, transportasi, dan perbengkelan. Sedangkan
sisanya terdiri atas buruh industri kecil (2.003.200), dan buruh musiman yang
umumnya terdiri atas buruh tani dan tani miskin.89
Kondisi buruh pada masa ini
85
Ibid., h.34 86
Ibid. 87
Ibid., h.39 88
Ibid., h.38-39 89
Ibid., h. 40
30
tetap tidak dapat dikatakan membaik, pemerintah kolonial banyak membuat
peraturan yang kerap merugikan pihak buruh yang cenderung membuat para
buruh terus dieksploitasi.
Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial tampak
diwarnai pergolakan politik, namun relatif berjalan baik. Serikat-serikat buruh
memunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan politik
praktis. Mereka pun berafiliasi dengan partai-partai politik dan aliran-aliran
ideologi tertentu dengan tujuan menjadikannya sebagai alat perjuangan.90
Tumbuh
suburnya serikat-serikat buruh pada awal kemerdekaan tak telepas dari
diratifikasinya Kovensi ILO tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan berorganisasi. Pada 1956, pemerintah Indonesia kembali
meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949. Implikasinya, pada periode 1960-an
jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sulit dihitung. Meskipun
demikian, tingkat kesejahteraan buruh ternyata tidak berubah secara signifikan.91
Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru
Pada saat Orde Baru berkuasa di Indonesia, agenda industrialisasi mulai
dijalankan secara serius. Arah umum kebijakan jangka panjang yang ditetapkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menyatakan bahwa salah satu
tujuan utama pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai
struktur ekonomi yang seimbang dengan industri manufaktur yang kuat dan maju
didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.92
Dalam tempo yang relatif cepat, perubahan dalam dunia industrial di
Indonesia ini membuat mulai tergeserkannya sektor pertanian sebagai motor
utama pertumbuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian membentuk MPBI (Majelis
Permusyawaratan Buruh Indonesia) untuk membicarakan berbagai hal guna
mengonsolidasi kehidupan para buruh yang kemudian diikuti dengan
dileburkannya dua puluh satu serikat buruh pada 1972 menjadi Federasi Buruh
Seluruh Indonesia (FBSI). Akan tetapi, dalam perjalanannya federasi ini dinilai
tidak demokratis. Tuduhan itu dilontarkan oleh WCL (World Convenderation of
90
Ibid., h.41 91
Ibid., h.43 92
Ibid., h.44
31
Labour) dan ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites) yang
menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar
dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan
buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.93
Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian
merumuskan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diharapkan dengan ini
hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.94
Akan tetapi, dalam
perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang
optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah
Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh
seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak, peraturan-
peraturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari
kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan
akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap
merugikan kaum buruh.95
Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) sebagai tandingan Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI). SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara
lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi
sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh.
Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional
(UMR), akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat
eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.96
Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak
jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh
93
Ibid., h.44-45 94
Ibid., h.45 95
Ibid., h.46-47 96
Ibid., h.47
32
dianggap bisa membahayakan stabilitas nasional. Tak pelak, hubungan industrial
pada masa Orde Baru sangat didominasi oleh pemerintah. Dengan
mengatasnamakan demi menjamin stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi,
pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk menekan dan mengorbankan
kepentingan buruh.97
Maka dari itu, tidaklah mengeherankan apabila nasib kaum
buruh tetap saja memperihatinkan dan bahwa kesejahteraan mereka masih berada
di bawah standar.
Mengamati kondisi buruh pada masa Orde Baru, Budiman Sudjatmiko,
aktivis yang pernah menjadi ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengatakan,
persoalan perburuhan di Indonesia memang selalu menjadi persoalan yang
kompleks. Persoalan ini tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi
juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di
dalamnya militer). Hal ini berkaitan dengan politik pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan distribusi. Juga karena Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang memang membuka peluang intervensi negara.
Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini adalah intervensi militer akibat politik
stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.98
Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa dalam era kapitalisme neo
liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah
mereka banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi dan politik mereka.99
Rupanya, potensi yang dimaksud oleh Budiman Sudjatmiko inilah yang paling
ditakuti oleh kaum borjuis. Dengan berbagai cara, seluruh mesin politik yang
menunjang kepentingan kaum borjuis dilakukan untuk merepresi buruh, baik
secara ideologis maupun fisik.
Lebih lanjut, Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa di Indonesia, secara
ideologis, represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era
Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
97
Ibid., h.47-48
98 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: Persaudaraan
Pekerja Muslim Indonesia, 2000), h. 8. 99
Budiman Sudjatmiko,”Arti Penting Buruh”, (Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor
18/V/Juli 2000), h. 2.
33
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk
represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh.
Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan
secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.100
D. Pembelajaran Sastra
1. Pengertian Pembelajaran Sastra
Pendidikan, menurut Yudhi Munadi, pada hakikatnya merupakan suatu
peristiwa yang memiliki norma. Artinya, dalam peristiwa pendidikan, pendidik
dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap
individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan
sumber norma di dalam pendidikan.101
Pembelajaran merupakan bagian dari
proses pendidikan. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bertujuan
untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang luhur sebagaimana yang terkandung
dalam Bab II, Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang berbunyi:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.102
Kata pembelajaran sendiri dipakai sebagai padanan dari kata instruction
(bahasa Inggris). Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada
pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas formal,
pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar-mengajar yang tidak dihadiri oleh
guru secara fisik.103
Sebagai perbandingan, dapat pula ditinjau pendapat Moh.
Uzer Usman mengenai pengertian proses belajar-mengajar. Menurutnya, proses
100 Ibid.
101 Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2012),
h.3.
102
Rohinah M. Noor,op. cit., h. 108.
103
Ibid., h.4.
34
belajar-mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan
guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.104
Pembelajaran haruslah bermakna, artinya apa yang dipelajari oleh anak
harus bisa memberikan manfaat.105
Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran
sastra hadir sebagai salah satu cara untuk menghadirkan pembelajaran yang
bermakna, berkarakter, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral yang baik
untuk peserta didik. Pembelajaran sastra, menurut Rahmanto, dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupan meliputi empat manfaat, yaitu mambantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.106
Pembelajaran sastra mencakup tiga genre sastra, yakni puisi, prosa, dan
drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan
menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga
dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas
produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.107
2. Tujuan Pembelajaran Sastra
Joan Glazer dalam Rohinah M. Noor berpendapat bahwa sastra membantu
perkembangan sosialisasi, yaitu (1) sastra memperlihatkan kepada anak-anak
bahwa banyak dari perasaan mereka dialami juga oleh anak-anak yang lainnya
semua itu wajar serta alamiah; (2) sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai
sudut pandang memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan bulat,
memberikan dasar penanaman emosi tersebut; (3) perilaku para tokoh
memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi tersebut;
(4) sastra turut memperjelas, bahwa seorang manusia mengalami berbagai
104 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1997), h. 4.
105
Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter, (Surabaya: JePe Press Media Utama,
2009), h.42. 106
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kaninus, 1988), h. 16
107
Rohinah M. Noor, op. cit., h.76
35
perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan
konflik.108
Dalam dunia pendidikan, penanaman moral pada diri anak didik (manusia)
merupakan suatu hal yang penting sebab ketika seorang manusia telah memiliki
moral yang baik, kepribadian yang menyenangkan, tutur kata yang lembut, dan
kepedulian yang tinggi terhadap sesama, dia akan terhindar dari perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa maupun negara.109
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan
hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui karya sastra itulah
diharapkan pembaca mampu mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang
disampaikan.110
Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra, diharapkan para
siswa mampu mengambil hikmah atau pelajaran untuk diterapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran sastra tidak sekedar mengenalkan sastra kepada siswa.
Mendekatkan sastra sangatlah penting, terutama nilai-nilainya yang berguna untuk
memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya
tercipta dalam sastra. Siswa-siswa dapat mengembangkan pemikirannya serta
talenta dalam menulis sehingga dapat memaknai hidup.111
Dalam sastra terkandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra
juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk
bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika
pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima
segala cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.112
Jika ditelisik lebih jauh, pengajaran sastra tidak hanya membentuk watak
dan moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dari
108 Ibid., h. 38-39
109
Ibid., h. 64
110 Ibid., h. 64-65
111 Ibid., h. 66
112 Ibid., h.11-12
36
semua aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk
membaca saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur.113
Selain itu, pembelajaran sastra juga dapat menjadi sebuah pembelajaran
yang menyenangkan di tengah kepenatan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang
“berat”. Pada saat itu, peran guru sangatlah penting. Melalui pendekatan yang
dilakukan dengan proses yang sedikit demi sedikit, pembelajaran sastra dapat
mengisi kehausan siswa-siswanya akan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat
ekspresi/ungkapan jiwanya keluar begitu alami yang selama ini terendap.114
Singkatnya pembelajaran sastra bisa menjadi sebuah pembelajaran yang
menyenangkan sekaligus memberikan manfaat bagi siswa.
Melalui pembelajaran sastra secara langsung maupun tidak langsung akan
membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam
kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal
dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan
siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.115
Melalui kegiatan apresiasi sastra yang memadai tentunya akan
menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini,
sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya berperan dalam penanaman
fondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki andil dalam pembentukan
karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan
teks-teks sastra, anak didik akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam
tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika
dimensi hidup.116
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul ini
dapat ditinjau dari beberapa penelitian skripsi. Berikut ini adalah tinjauan penulis
pada penelitian yang mengkaji puisi-puisi karya Wiji Thukul.
113
Ibid, h.12
114
Ibid.
115
Ibid., h. 82-83 116
Ibid, h.13-14
37
Hantisa Oksinata dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
“Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul”.
Penelitian saudara Hantisa Oksinata didasarkan atas hubungan antara karya sastra
dan kenyataan sosial dan sejarah yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang
dalam hal ini adalah kritik sosial yang terkandung dalam puisi-puisi Wiji Thukul
terhadap situasi sosial yang tengah dialami oleh Indonesia pada suatu masa (masa
Orde Baru). Penelitian saudara Hantisa Oksinata ini bertujuan untuk
mendeskripsikan: (1) unsur batin dan kritik sosial yang terdapat dalam puisi Aku
Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, dan (2) resepsi pembaca dalam puisi Aku
Ingin Jadi Peluru. Ada pun dalam penelitian itu, yang dikaji adalah sebelas dari
141 buah puisi yang mewakili tema kritik sosial.117
Kemudian, penelitian yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga
dilakukan oleh Wahyu Widodo dari Universitas Negeri Malang dengan judul
“Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji
Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan unsur puisi dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya
Wiji Thukul, mendeskripsikan latar belakang sosiobudaya penyair yang
terefleksikan ke dalam puisi-puisi dalam Aku Ingin Jadi Peluru, dan
mendeskripsikan ciri-ciri realisme sosialis dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi
Peluru. Penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa pandangan penyair
terhadap kondisi sosial budaya masyarakat adalah sebagai berikut: (1) masyarakat
bawah yang menderita akibat kesewenang-wenangan pemerintah melalui
kebijakannya harus berani untuk menyatakan keberadaan dirinya. Hal ini
tercermin dari pokok persoalan yang diangkat oleh penyair dalam puisi-puisinya,
(2) masyarakat bawah memunyai kekuatan dan keberanian untuk melawan
kesewenang-wenangan pemerintah dengan banyaknya ditemukan penggunaan
tanda seru sebagai sebuah seruan dan ajakan serta penegasan keyakinan yang
ditempuhnya, yakni jalan melawan pemerintah. Ciri-ciri realisme sosialis dalam
117 Hantisa Oksinata, “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya
Wiji Thukul”, Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2010, http://digilib.fkip.uns.ac.id/contents/skripsi.php?id_skr=1053, diunduh pada 9
Maret 2014 pukul 18:49
38
kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, yakni memadukan
antara isi dan bentuk dalam artian isi mengangkat pokok persoalan (subject
matter) dalam masyarakat bawah dengan menggunakan piranti estetika
kesusastraan seperti bahasa kiasan, gaya bahasa, dan pilihan kata yang sesuai serta
terkondisikan dalam sosial budaya masyarakat bawah yang menderita pada kurun
waktu 1980 sampai 1997 di masa pemerintahan Orde Baru.118
Penelitian lain yang juga membahas puisi-puisi Wiji Thukul juga
dilakukan oleh Moh. Anas Irfan dari Universitas Jember dengan judul “Kumpulan
Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan Semiotik”. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur dan keterjalinan antarunsur struktur
yang membangun puisi-puisi Wiji Thukul dalam Aku Ingin Jadi Peluru dengan
menggunakan tinjauan semiotik.
Analisis struktural meliputi tema, diksi, dan bunyi menunjukkan adanya
keterjalinan yang dapat membentuk makna yang utuh dalam kelima puisi yang
dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis semiotik, ditemukan
ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian arti, penyimpangan arti,
dan penciptaan arti. Penggantian arti pada puisi Nyanyian Akar Rumput
menggunakan personifikasi, metafora, dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian
arti pada puisi “Kuburan Purwoloyo” menggunakan sinekdoke pars pro toto,
metonimia, hiperbola, dan metafora. Penggantian arti pada puisi ”Ayolah
Warsini” menggunakan metafora dan sinekdoke pars pro toto. Penggantian arti
pada puisi “Bunga dan Tembok” menggunakan sinekdoke totem pro parte.
Penggantian arti pada puisi ”Kemarau” menggunakan metafora, hiperbola, dan
personifikasi. Penyimpangan arti pada kelima puisi tersebut menggunakan
enjambement.
118 Wahyu Widodo, “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru
Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”, skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/176, diunduh
pada 9 Maret 2014 pukul 18:51
39
Secara heuristik kelima puisi tersebut menggunakan konvensi bahasa
Indonesia. Pembacaan hermeneutik kelima puisi tersebut mengungkapkan protes
sosial rakyat kecil terhadap penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru.119
Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya memungkinkan bagi penulis
untuk membuat skripsi dengan judul “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde
Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah
Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di Sekolah”. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain
tentang puisi-puisi Wiji Thukul, penelitian yang penulis lakukan lebih menitik
beratkan penelitiannya terhadap potret buruh pada masa Orde Baru dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Penelitian yang
menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini berusaha untuk mendeskripsikan
potret-potret tentang buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang ditampilkan oleh
Wiji Thukul melalui puisi-puisinya dan bagaimana implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
119
Moh. Anas Irfan, “Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul:
Tinjauan Semiotik”, Skripsi pada Fakultas Sastra, Universitas Jember,
http:/repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/6046/Moh%20Anas%20Irfan%20-
%20060110201041_1.pdf?sequence=1, diunduh pada 22 April 2014 pukul 19:00
40
BAB III
WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS
A. Biografi Wiji Thukul
Wiji Thukul adalah penyair yang telah memberikan khazanah baru dalam
dunia perpuisian Indonesia malalui puisi-puisinya yang bertemakan tentang rakyat
kecil. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Penyair Pelo” ini memang
kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Wiji Thukul
lahir di Solo, 26 Agustus 1963.120
Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak
di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala
buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan
mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri bekerja sebagai pelitur
mebel.121
Keadaan ayahnya sebagai seorang penarik becak, bahkan Thukul
lukiskan dalam puisi karyanya yang berjudul Nyanyian Abang Becak.
“perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi
namun bapak cuma abang becak!”
(Thukul: Nyanyian Akar Rumput, h. 51)
Meskipun berasal dari kalangan rakyat kecil yang hidupnya dekat dengan
kemiskinan, hal itu tidak membuat Thukul miskin dalam hal berkarya. Sebagai
penyair, Thukul sudah menghasilkan beberapa kumpulan puisi yang di antaranya
adalah Kicau Kepodang (1993), Suara Sebrang Sini (1994), Dari Negeri Poci 2
(1994), Mencari Tanah Lapang (1994), Tumis Kangkun Comberan, (1996), dan
Aku Ingin Jadi Peluru (2000).122
Selain kumpulan-kumpulan puisi tersebut, pada
tahun 2013, majalah Tempo menerbitkan kumpulan puisi Wiji Thukul semasa
pelariannya kala dikejar-kejar oleh aparat yang diberi judul Para Jendral Marah-
marah yang dijadikan sebagai bonus majalah Tempo edisi bulan Mei. Kemudian
120
Anonim, “Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi”, (Jurnal Pusat Dokumentrasi Sastra
Buruh Edisi 1 Agustus 2000), h. 10.
121
Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta
Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.
122
Anonim, http://id.tamanismailmarzuki.org/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014
pukul 21:33.
40
41
diikuti dengan diterbitkannya kumpulan puisi terlengkap Wiji Thukul oleh
Gramedia pada tahun 2014 yang diberi judul Nyanyian Akar Rumput.
Sepanjang kiprahnya dalam dunia kepenyairan, Thukul pun tercatat pernah
mendapatkan berbagai prestasi dan penghargaan. Di antara prestasi dan
penghargaan itu adalah mendapatkan Wertheim Encourage Award yang diberikan
Wertheim Stichting pada tahun 1991, Yap Thaim Hien Award pada tahun 2002,
dan undangan membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe
Institut.123
Sejak kecil, Thukul memang sudah dikenal oleh orang-orang di sekitarnya
sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika ia masih duduk di
kelas satu SMP (Thukul sekolah di SMP Negeri 8 Solo), ia aktif menjadi anggota
kor kapel di tempatnya biasa beribadah. Menurut Wahyu Susilo, adik Wiji
Thukul, kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran
menyanyi di kor.124
Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Akan tetapi sekolahnya di SMKI ini tidak
sampai tamat. Saat di SMKI, Thukul pun masih aktif di kapel. Suatu ketika
menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertemakan
kelahiran Kristus, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, yang di
kemudian hari menjadi “guru” yang menempa Thukul dalam berkesenian
sekaligus orang yang menambahkan nama Thukul. Nama asli Thukul adalah Wiji
Widodo Wiji Thukul artinya “biji yang tumbuh”.125
Dalam proses berkeseniannya, Thukul ditempa oleh Cempe Lawu Warta
di Teater Jagat (Jagat merupakan singkatan dari Jejibahan Agawe Genepe Akal
Tumindak). Di Teater Jagat, Lawu Warta yang pernah aktif di Bengkel Teater
W.S. Rendra mengajarkan Thukul perihal berkesenian seperti seni teater. Lawu
Warta lah orang yang mula-mula melihat bakat Thukul di bidang menulis puisi.126
123
Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014
pukul 21:33.
124
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang,
(Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 92-93.
125
Ibid., h. 93-94.
126
Ibid., h. 101-102.
42
Selain Lawu Warta, orang yang juga berpengaruh dalam proses
berkesenian Thukul adalah Halim H.D., aktivis kebudayaan jebolan Fakultas
Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Awal perkenalan Thukul dan
Halim terjadi di Teater Jagat pada sekitar 1986. Kala itu, Halim memang sering
mampir ke Jagat. Halim lah orang yang banyak membantu Thukul mengamen
puisi keliling kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk memperluas publik
audiensnya lewat jaringan kebudayaan yang ia rintis. Kemudian hari, kegiatan
inilah yang membantu membentuk kepercayaan diri Wiji Thukul sebagai penyair
sekaligus deklamator.127
Puisi adalah jalan yang dipilih oleh Thukul untuk menumpahkan segala
kegelisahannya. Pada awal-awal menulis, Thukul kerap kali menempel puisi
karangannya di majalah dinding Teater Jagat. Kemudian sebagian puisinya ia
kirimkan ke Radio PTPN Rasitania, Surakarta, untuk diapresiasikan dan
dibacakan di acara Ruang Puisi.128
Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya lewat Pusat Kesenian
Jawa Tengah (PKJT) di Solo−sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta
(TBS)−pada sekitar 1985. Kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan sebanyak
sekitar 100 eksemplar itu bertajuk Puisi Pelo.129
Pada Puisi Pelo ini, Thukul
sudah mengangkat tema tentang kritik sosial, namun belum mengandung unsur
politik praktisnya.
Setelah Puisi Pelo diterbitkan, dapat dikatakan terjadi lompatan besar
dalam penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya
Bambang “Kenthut” Widoyo S.P.. ia juga dipengaruhi pemikiran Maxim Gorky,
Arif Budiman, dan Romo Mangunwijaya. Thukul mulai banyak memasukkan
bahasa Jawa dan bahasa lisan sehari-hari dalam puisinya.130
Selain itu, sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai
berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada saat itulah
terjadi perbedaan pandangan antara Thukul dengan Lawu Warta, gurunya. Lawu
127
Ibid., h. 106.
128
Ibid., h. 103.
129
Ibid., h. 104-105.
130
Ibid., h. 107-108.
43
tidak sepakat jika Thukul membawa seni (puisi) ke ranah politik praktis,
sementara, Thukul berpandangan sebaliknya.131
Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah
dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan
Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah
mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir.132
Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek
yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul
mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi.
Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan
mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh
aparat. 133
Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang
sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar
mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah
organisasi jaringan kesenian bernama Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat).
Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman
guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung
tindakan represif pemerintah.134
Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga
mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun
mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker
juga terinspirasi Asian Council for People’s Culture.135
Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat
Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti
131 Ibid., h. 109.
132 Ibid., h. 109.
133
Ibid., h. 110.
134
Ibid., h. 112-113.
135
Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30
September-6 Oktober 2013, h. 115.
44
Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian hari menjadi Partai Rakyat
Demokratik.136
Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul
berada di posisi tarik ulur itu. Semsar, Moelyono, dan Hilmar sepakat, bahwa
Jaker tidak bergerak di bidang politik. Hal ini kemudian menjadi sebuah
permasalahan, sebab Thukul justru berharap Jaker bisa berafiliasi ke dalam PRD
(Partai Rakyat Demokratik). Kala itu, aktivis PRD memang berupaya menarik
Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa.137
Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta.
Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara
organisasi dan politik bergabung di bawah PRD. Semsar, Moelyono dan Hilmar
pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker
bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tetapi berubah
menjadi Jaringan Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya.138
Berkecimpungnya Thukul di dunia politik praktis sangat disayangkan oleh
Lawu Warta, gurunya semasa di Teater Jagat. Bahkan, Lawu Warta sudah
menasihati Thukul tentang risiko yang mesti dihadapinya jika ia terlibat dalam
politik praktis. Akan tetapi, pendirian Thukul tak bisa diubah, menurutnya, politik
adalah alat yang paling cepat untuk mengubah keadaan.139
Jaker sendiri di bawah PRD sebagaimana yang dikatakan Linda
Christanty, berfungsi untuk menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat
secara tak resmi menjadi underbow PRD.140
Selain itu, Jaker (Jaringan Kerja
Kesenian Rakyat) dibentuk oleh PRD atas kesadaran, bahwa perjuangan budaya
menjadi penting karena selama puluhan tahun rakyat dibisukan dan didominasi
budaya feodalisme dan ketakutan terhadap negara. Jaker dijadikan sebagai alat
untuk melakukan pembebasan mental itu.141
136 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 115.
137 Ibid., h. 116.
138
Ibid.
139
Ibid., h. 116-117.
140
Ibid., h. 115.
141
Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, (Jakarta: Desantara Utama,
2004), h. 79.
45
Pada saat deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, 22 Juli 1996, Thukul tampil ke
panggung membacakan puisinya. Pembacaan puisi itu menjadi penampilan
terakhirnya di depan publik. Sepekan kemudian Thukul menjadi buron hingga
kemudian hilang sejak 1998 sampai sekarang.142
Pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat
Partai Demokrasi Indonesia. Kerusuhan terjadi manakala Soerjadi dengan
dukungan tentara menyerbu kantor di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, melaporkan lima orang tewas, 149 luka-luka, dan
28 orang hilang dalam peristiwa tersebut.143
Sejak peristiwa kerusuhan itu, PRD yang dipimpin oleh Budiman
Sudjatmiko itu dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut. Banyak pengurus dan
anggotanya ditangkapi aparat. Sebagian lagi buron, termasuk Wiji Thukul.144
Sejak itu, Thukul meninggalkan Solo dan berpindah-pindah kota. Ia diburu oleh
pemerintah. Meskipun begitu, di tempat-tempat yang ia singgahi, ia tetap
melakukan aktivitas politik, mengorganisir pemogokan buruh di Tangerang, dan
terlibat dalam beberapa aksi di Jakarta. Semua itu Thukul lakukan secara
sembunyi-sembunyi.145
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, kontak Thukul dengan keluarga dan sahabat-
sahabatnya memang menjadi tidak teratur. Sipon, istri Thukul mengaku sempat
bertemu dengan Thukul pada Desember 1997, lalu kembali menghilang. Awal
Februari 1998, Thukul hanya bisa didengar oleh Sipon melalui telepon. Pada
bulan April tahun 2000, Sipon kemudian melaporkan suaminya yang hilang ke
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan (Kontras).146
Ketika masa menjelang Orde Baru berakhir, Thukul memang dianggap
oleh penguasa sebagai musuh. Waktu itu Thukul dengan puisi-puisinya dianggap
142 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 117.
143 Ibid., h.2-3.
144
Anonim, op. cit., h. 10.
145
LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Majalah Pembebasan Nomor
18/V/Juli/2000), h.10.
146
Ardus M. Sawega dan Maria Hartiningsih, “Sipon” (Harian Kompas Tahun 38 Nomor
179, Minggu, 29 Desember 2002), h.4.
46
melakukan tindakan subversif, sedang Jaker yang dipimpinnya, merupakan bagian
dari PRD yang dianggap sebagai turunan dari PKI.147
Kala itu, Thukul memang aktif dalam penggalangan buruh untuk
melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satu
penggalangan buruh yang dilakukan oleh Thukul adalah aksi mogok kerja yang
dilakukan oleh belasan ribu buruh PT. Sri Rezeki Isman Textile (Sritex), di Desa
Jetis, Kabupaten Sukoharjo.
Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh melakukan mogok
kerja untuk menuntut kenaikan upah pekerja yang jauh di bawah upah minimal
provinsi, sedang di samping itu seringkali buruh mengalami lembur berlebih,
keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil.148
Dalam aksi mogok kerja tersebut, terdapat juga Wiji Thukul serta
beberapa aktivis PRD. Aparat yang berada di dekat gerbang pabrik kemudian
secara tiba-tiba menyerang mereka. Kekisruhan terjadi, buruh yang panik
berlarian, sementara beberapa aktivis yang tertangkap, termasuk Wiji Thukul
ditangkap lalu digebuk.149
Ketika ditangkap dan digebuk, Thukul banyak mendapatkan tindak
kekerasan dari aparat dipukuli, ditendang dengan sepatu bot, dibenturkan
kepalanya ke kap mobil aparat. Hal itu membuat Thukul mendapatkan cedera di
beberapa bagian tubuhnya. Di antaranya cedera pada matanya yang harus
dioperasi.150
Segala ancaman dan tindak kekerasan yang didapatkannya rupanya tidak
mampu membuat Thukul menghentikan perjuangannya. Ia terus melakukan protes
lewat puisi dan aksinya. Bahkan, ketika masa pelariannya saat dikejar-kejar oleh
aparat (kopassus), ia tetap menulis puisi−yang pada tahun 2013 puisi-puisi pada
masa pelarian itu dijadikan kumpulan puisi oleh Majalah Tempo berjudul Para
Jendral Marah-marah sebagai bonus majalah edisi bulan Mei
147 Berthus Mandey dan Adrian Prasetya S., “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar: Jangan
Tanyakan Teror”, (Harian Suara Pembaruan Tahun XVII Nomor 6263, Minggu, 12 Desember
2004), h. 1. 148
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.118-119.
149
Ibid., h. 120.
150
Ibid., h.119.
47
Dalam masa pelariannya, Thukul berpindah dari satu kota ke kota lainnya.
Tercatat ia pernah bersembunyi di Yogyakarta, Magelang, Salatiga, Bogor,
Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bengkulu hingga Pontianak. Thukul dalam
pelariannya itu banyak dibantu oleh teman-temannya sesama aktivis seperti Arief
Budiman, Indriani, Martin Siregar, Alexander Irwan, dan adiknya, Wahyu
Susilo.151
Selama pelariannya itu, Thukul juga melakukan berbagai penyamaran. Di
antaranya ketika di Kalimantan, ia pernah menyamar sebagai seorang penjual
bakso bernama Paulus, seorang rohaniawan bernama Aloysius Sumedi dan
Martinus Martin.152
Pada 18 Januari 1998, terjadi peristiwa bom meletup di unit 510 Rumah
Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kontrakan tersebut ditempati beberapa aktivis
PRD. Polisi dan militer menuduh PRD menyiapkan bom untuk mengacaukan
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret tahun itu.153
Sementara, selepas peristiwa bom di Tanah Tinggi itu, nasib Wiji Thukul
menjadi simpang-siur. Hanya Sipon, Wahyu, dan Lawu Warta yang mengaku
pernah dihubungi Thukul lewat telepon setelah peristiwa itu. Margiyono, teman
Thukul yang merupakan aktivis PRD percaya bahwa Thukul sudah lenyap setelah
peristiwa itu.154
Thukul sendiri dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, pada April tahun
2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasaan. Wiji Thukul akhirnya dinyatakan telah hilang
bersama dengan tiga belas aktivis lainnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan (Kontras)
dalam siaran pers no: 7/SP-KONTRAS/II/2000 menyampaikan, bahwa hilangnya
Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politik yang dilakukannya pada saat
yang bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan rezim Orde
Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde
151 Ibid., h.142.
152
Ibid.
153 Ibid., h.57.
154
Ibid., h.60.
48
Baru. Lebih lanjut, Kontras menegaskan, bahwa pemerintah adalah pihak yang
paling bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul.155
Berbagai usaha pencarian untuk mencari Thukul dan aktivis lainnya
sebenarnya sudah dilakukan yang di antaranya dilakukan oleh Tim Kontras,
namun belum menemukan hasil. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
hilangnya Thukul pun sudah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Forum Sastra
Surakarta (FSS) pada Juni tahun 2000 guna mengkampanyekan proses klarifikasi
atas hilangnya Thukul melalui kegiatan bertajuk Thukul, Pulanglah. Melalui acara
tersebut, FSS juga berharap agar masyarakat mengingat, bahwa masih banyak
kasus pelanggaran HAM, seperti yang dialami oleh Thukul, yang belum
rampung.156
Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh
rezim Orde Baru. Akhirnya keberadaan Thukul terus menjadi misteri yang tak
terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan
Thukul sebagai korban itu pun tak urung juga dilakukan. Thukul hilang
meninggalkan istrinya, Sipon, yang dinikahinya pada 23 Oktober 1988 dan dua
orang anak, yakni Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Barangkali jasad Thukul
sudah hilang, tetapi karya dan semangat perjuangan Thukul masih terus hidup
hingga saat ini.
B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra
Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan
pengungkapan pribadi pengarang.157
Dapat dikatakan, bahwa setiap karya sastra
selalu mencerminkan diri pengarangnya, baik dalam hal pemikiran, pandangan,
latar belakang budaya, suku, ideologi, maupun agamanya. Maka dari itu, menjadi
suatu hal yang menarik (selain karena memang sangat diperlukan) untuk
mengetahui pemikiran seorang pengarang tentang sastra sebelum mengkaji karya-
karyanya.
155 Anonim, https://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=148. Diunduh pada
Rabu, 13 Agustus 2014 pukul 21.25
156
EDS, “Wiji Thukul Masih Dicari”, (Republika, Tahun VIII Nomor 131, Senin, 22 Mei
2000), h.20.
157 Wahyudi Siswanto, op. cit., h,68.
49
Wiji Thukul berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan
kemiskinan. Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo.
Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul
seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang
rongsokan. Thukul sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel.158
Ketika tampil membaca puisi di Kedutaan Jerman di Jakarta pada tahun
1989, Thukul sendiri mengatakan, bahwa ia sangat terpengaruh oleh kehidupan
lingkungannya itu, yaitu lapisan masyarakat bawah, sebuah kampung di kota
Solo. Kehidupan mereka yang sangat ia kenal itulah yang membuatnya
memutuskan untuk berbicara mengenai kelompok masyarakat tersebut dalam
syair-syairnya.159
Rupanya, pengalaman hidupnya yang lekat dengan kemiskinan dan
pergaulannya yang dekat dengan “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh itulah
yang lambat-laun mengendap dalam dirinya dan kemudian dituangkan ke dalam
karyanya. Terlebih saat Thukul menyaksikan sekaligus merasakan, bahwa sering
terjadinya ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan terhadap rakyat,
terutama buruh, yang dilakukan oleh penguasa dan pemilik modal.
Sastrawan yang baik selalu mampu mencerminkan kondisi sosial yang
terjadi di zamannya. Thukul pun dalam proses perjalanan kreatifnya dihadapkan
dengan zaman yang dibungkam oleh sebuah rezim bernama Orde Baru. Ia
menyaksikan sekaligus merasakan bagaimana kesewenang-wenangan yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru yang sarat dengan politik represi, mulai dari
intimidasi, teror, penangkapan, penculikan, dan sebagainya.160
Apa yang Thukul
saksikan sekaligus rasakan inilah yang kemudian membentuk puisi-puisinya
sebagai suara yang mewakili rakyat kecil. Maka lahirlah sejumlah potret
eksploitasi buruh di pabrik, kekerasan militer, atau juga geliat pemuda yang
menentang busuknya kapitalisme.
158 Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta
Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.
159
KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”,
(Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989), h.7.
160 LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, (Majalah Pembebasan Nomor
18/V/Juli/2000), h.10.
50
“Sastra adalah salah satu alat perjuangan,” begitulah kata Wiji Thukul
dalam sebuah wawancara di tabloid mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Jember, Ideas, edisi II tahun 1996.161
Pernyataan Thukul ini menunjukkan sebuah
pandangan, bahwa baginya, menulis adalah perjuangan. Puisi adalah “senjatanya”
dalam berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan penguasa, bahkan ia pun
ikut “turun ke bawah” berjuang sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan
nasib buruh.
Thukul paham akan makna kemiskinan dan penyebabnya, maka tampak
seluruh energi estetiknya dikerahkan untuk menuliskan puisi perlawanan kepada
mereka yang dianggap telah menyebabkan ketimpangan sosial. Misalnya ketika
berbicara soal tukang becak yang jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka,
yang terdesak lahannya oleh bus kota.162
Puisi-puisi Thukul menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan-
pertanyaan satire−yang menuju sebuah muara yang bagaimana pun dalam
peristiwa politik dan kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi
korban.163
Secara nyata, Thukul telah menggunakan puisi sebagai “senjata” untuk
memperjuangkan dirinya dan masyarakat kalangannya.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, Wiji Thukul barangkali bukanlah
penyair besar, sastrawan adiluhung, atau seniman nasional. Puisi-puisi karyanya
tersusun dalam bahasa sederhana, kata-kata yang akrab di kehidupan sehari-hari,
namun oleh sebab itulah puisi-puisi Thukul dapat mudah diterima oleh berbagai
kalangan, termasuk “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh dan petani.
Dalam memandang karya sastra, sebagaimana tercermin dalam salah satu
puisinya, ia tidak bersikap seperti para penyembah kesenian. Karya-karyanya
bagai tidak membutuhkan legitimasi dari pusat-pusat dan rezim kebudayaan mana
pun. Bagi Thukul, menulis adalah suatu keputusan dan ia percaya bahwa kata-kata
mempunyai kekuatan.164
161 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.117.
162
Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, (Jakarta: Warta
Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000), h. 10.
163 Alex R. Nainggolan, “Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul”, (Jakarta: Harian
Sinar Harapan, Nomor 4777, Sabtu, 14 Agustus 2004), h.12.
164
Ton, op.cit., h. 10.
51
Thukul sendiri pernah mengatakan, bahwa ia sebenarnya juga bisa menulis
syair-syair yang bahasanya indah-indah, tetapi menurutnya rasanya tidak etis,
sebab ia tidak ingin membuat apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh keluarga
dan tetangganya ketika membaca tulisannya. Maka, ia memilih menulis apa yang
bisa dimengerti oleh keluarga dan tetangganya.165
Secara lebih jelas dan tegas, Thukul menyampaikan pendapatnya
mengenai sastra dan bagaimana seharusnya peran sastra dalam masyarakat
melalui puisinya yang berjudul “Para Penyair adalah Pertapa Agung”. Melalui
puisi itu, Thukul mengkritik penyair (sastrawan) yang sibuk berkarya, tetapi
memisahkan diri dari kenyataan sosial yang berada di sekitarnya.
Menurut Thukul, banyak penyair yang terlalu menyandarkan nasibnya
pada nilai dan dewa-dewa sastra. Thukul mengkritik penyair yang terlalu
mendewakan nilai sastra dalam berkarya, namun tidak peka terhadap realitas
sosial yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, dalam puisinya itu secara ironi Thukul
menyindir, bahwa para penyair adalah pertapa paling agung//bermenung di
dalam candi//kelima indra dan telingan sukmanya//cukup bagi Tuhan
saja//jangan mendengar jerit kehidupan. Melalui potongan puisi tersebut di atas,
secara jelas dan tegas Thukul menyindir penyair yang hanya gemar bermenung di
kesunyian, “bercengkrama” dengan Tuhannya, tetapi terpisah dari derita
lingkungan.
Bagi Thukul, menulis puisi adalah ibadah. Menulis puisi adalah doa dan
pengalaman religi.166
Layaknya ibadah, menulis puisi bukan hanya untuk menjalin
hubungan dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan sesama manusia, dan alam.
Maka dari itu, Thukul mengkritik penyair yang seolah tuli akan jeritan kehidupan,
memisahkan diri dari realita kehidupan.
Pandangan Thukul mengenai bagaimana seharusnya sikap penyair dalam
berkarya dapat juga dilihat dari kata pengantarnya yang terdapat di kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput.
165 KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”,
(Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989), h.7. 166
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.104.
52
Penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif”, bebas dalam mencari
kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah
diyakininya. Maka belajar terus-menerus adalah mutlak, memperluas
wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan
jiwanya dalam berkarya. Dan fanatik gaya atau tema bisa dihindarkan
sehingga proses kreatif tidak terganggu. Belajar tidak harus di bangku
kampus atau sekolah, tetapi bisa di mana saja: di perpustakaan atau
membaca gelagat lingkungan atau apa sajalah pokoknya yang bisa
mempertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di
luar dirinya juga.
Dalam penciptaan puisi sesungguhnya penyair hanya tergantung pada diri
sendiri, mungkin kritikus ada juga fungsinya, tetapi kritikus nomor empat
urutannya. Pokoknya persis seperti ketika coblosan pemilu itulah. Kita
berdiri di depan gambar kontestan dan bebas sepenuhnya memilih mana
yang kita pilih, tidak ditekan, tidak tertekan, tidak dipilihkan, tetapi
memilih sendiri.167
Menurut Thukul, penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif” dalam berkarya.
Penyair tentu perlu memedulikan apa kata kritikus, tetapi kritikus hanya nomor
empat, selebihnya adalah kuasa si penyair sendiri.
Apa yang dikatakan Thukul dalam kata pengantar ini juga menunjukkan
pandangannya tentang kritikus. Baginya, dalam menulis puisi, penyair tidaklah
terlalu “memusingkan” apa kata kritikus, yang terpenting si penyair harus terus
belajar dengan jalan banyak membaca buku dan membaca gelagat lingkungan.
Thukul sendiri pernah dikritik, bahwa apa yang ia tulis bukanlah puisi, melainkan
sekadar pamflet, sebab bahasa yang digunakan Thukul terlalu “dangkal” untuk
ukuran sebuah puisi. Akan tetapi Thukul tidak ambil peduli, ia terus menulis puisi
sesuai apa yang ingin ia sampaikan berdasarkan realitas sosial yang ia lihat,
dengar, alami, dan rasakan.
C. Deskripsi Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini merupakan kumpulan puisi
terlengkap Wiji Thukul yang terdiri atas puisi-puisinya yang pernah diterbitkan
sebelumnya. Kumpulan puisi ini terdiri atas tujuh bab, yakni Lingkungan Kita si
Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-lain, Puisi Pelo, Baju Loak
167 Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014),
h.7-8.
53
Sobek Pundaknya, Yang Tersisih, dan Para Jendral Marah-marah. Secara
keseluruhan puisi ini menghimpun 169 puisi karya Wiji Thukul dengan rincian 46
puisi dalam bab Lingkungan Kita si Mulut Besar, 18 puisi dalam bab Ketika
Rakyat Pergi, 16 puisi dalam bab Darman dan Lain-lain, 29 puisi dalam bab Puisi
Pelo, 28 puisi dalam bab Baju Loak Sobek Pundaknya, 9 puisi dalam bab Yang
Tersisih, dan 23 puisi dalam bab Para Jendral Marah-marah.
Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang disusun atas inisiatif dan
kerja keras Okky Madasari dalam menginisiasi pengarsipan karya Wiji Thukul
ini pertama kali diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014
dengan tebal 248 halaman.
54
BAB IV
Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru
dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
Karya Wiji Thukul
A. Thukul dan Puisi Tentang Buruh
Berdasarkan proses klasifikasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan
sebanyak 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
yang menampilkan potret tentang buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut adalah
“Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,
“Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita
Si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”,
“Jangan Lupa”, “Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”,
“Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”,
“Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di
Meja SPSI”.
Dua puluh dua puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi ke dalam dua
katagori, yakni katagori puisi yang secara dominan menampilkan potret tentang
buruh dan katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar.
Katagori puisi yang menampilkan buruh secara samar adalah puisi-puisi yang
memiliki tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang
buruh Indonesia. Sementara itu, kategori puisi yang menampilkan potret buruh
secara dominan adalah puisi-puisi yang memiliki tema tentang buruh.
Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang
menamilkan potret tentang buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak
kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”,
“Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”,
dan “Terus Terang Saja”. Sementara itu, ditemukan sebanyak 12 puisi yang
menampilkan potret tentang buruh secara dominan dan menjadikan buruh sebagai
tema, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki Ganjil”, “Satu
Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata
54
55
Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Bukan di
Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, katagori puisi yang
menampilkan potret tentang buruh secara samar adalah puisi-puisi yang memiliki
tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh
Indonesia. Puisi-puisi tersebut di antaranya memiliki tema tentang kritik sosial
terhadap penguasa (“Lingkungan Kita si Mulut Besar”), keadaan masyarakat di
sebuah desa yang hidupnya memperihatinkan (“Gunung Batu”), dan protes sosial
tentang nasib rakyat yang belum benar-benar merdeka (“Terus Terang Saja”).
Pembahasan mengenai tema, nanti akan dijelas secara lebih detil oleh peneliti
dalam bagian analisis struktur puisi.
B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh
1. Struktur Fisik Puisi
a) Tipografi
Semua puisi Wiji Thukul yang terdapat dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput tergolong dalam jenis puisi bebas. Puisi-puisi ini
dari segi tipografinya dapat dikatakan terpengaruh oleh puisi
konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sistematika penulisan larik dan baris
yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Jumlah larik
dalam setiap bait tidak sama. Sebagai contoh, dalam puisi yang berjudul
“Ayolah” Warsini terdapat tiga bait yang tiap bait memiliki jumlah larik
yang berbeda. Bait pertama terdiri atas 13 larik, bait kedua 17 larik, dan
bait ketiga 4 larik.
Sebagian besar puisi Wiji Thukul dapat juga digolongkan ke dalam
jenis puisi mimbar yang cocok dideklamasikan di depan umum. Hal ini
cenderung membuat puisi-puisi Wiji Thukul terkesan tidak terlalu
mementingkan tipografi puisi secara tertulis, sebab yang terpenting adalah
isi dan nada puisi ketika puisi itu dideklamasikan. Sebagai contoh adalah
puisi Thukul yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”, salah satu puisi
Thukul yang sering ia deklamasikan semasa hidupnya. Puisi ini terdiri atas
sembilan bait. Bait pertama terdiri atas 4 larik, bait kedua 12 larik, bait
56
ketiga 4 larik, bait keempat 10 larik, bait kelima 3 larik, bait keenam 7
larik, bait ketujuh 7 larik bait kedelapan 9 larik, dan bait kesembilan 3
larik. Tiap bait dalam puisi ini memiliki jumlah larik yang berbeda, tidak
terikat oleh aturan jumlah baris dalam satu bait layaknya jenis puisi lama.
Hal ini sangat dimungkinkan oleh tujuan penyair yang memang cenderung
ingin menjadikan puisi ini sebagai puisi mimbar yang hendak
dideklamasikan sehingga keindahan tipografi puisi secara tertulis menjadi
tidak terlalu penting.
b) Imaji
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, imaji adalah kata atau
kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga
yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji sentuh
(imaji taktil). Melalui imaji yang digunakan oleh penyair inilah pembaca
seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami
oleh penyair. Imaji yang paling dominan yang digunakan oleh Wiji Thukul
dalam 22 puisinya tentang buruh yang ada dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput adalah imaji visual (penglihatan).
Penggunaan imaji visual ini sering digunakan Thukul untuk
menggambarkan berbagai hal dan peristiwa yang dialami oleh buruh,
misalnya untuk menggambarkan tentang pekerjaan buruh yang begitu
berat dan sering mengalami lembur paksa (“Suti”, “Satu Mimpi Satu
Barisan”, “Leuwigajah”), keadaan buruh yang sakit akibat beban
pekerjaan yang begitu berat (“Suti”, “Satu Mimpi Satu Barisan”),
kecelakaan dalam bekerja yang dialami oleh buruh (“Leuwigajah”), tindak
kesewenang-wenangan pihak perusahaan kepada buruh (“Ayolah
Warsini”), kesenjangan sosial antara buruh dengan orang-orang kelas
menengan ke atas di sebuah toko (“Seorang Buruh Masuk Toko”), mogok
kerja yang dilakukan oleh buruh (“Bukan Kata Baru”), dan pertemuan
para buruh untuk berdiskusi tentang nasib mereka (“Makin Terang Bagi
Kami”).
57
Berbagai penggunaan imaji visual yang dilakukan oleh Thukul itu
merupakan suatu usaha untuk memotret kehidupan buruh pada masa Orde
Baru sehingga pembaca akan dapat “menyaksikan” kondisi dan peristiwa
yang dialami oleh buruh saat itu. Dalam puisi yang berjudul “Satu Mimpi
Satu Barisan” misalnya, Thukul menggambarkan seorang buruh
perempuan bernama Siti yang dipaksa untuk lembur dengan beban
pekerjaan yang berat.
“di cigugur ada kawan Siti
punya cerita harus lembur pagi
pulang lunglai lemas ngantuk letih membungkuk 24 jam
ya, 24 jam”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Melalui imaji visual tersebut, pembaca dapat seolah-olah menyaksikan
seorang buruh perempuan yang sedang lembur kerja dengan beban
pekerjaan yang berat (membungkuk 24 jam) dengan tubuh yang letih.
Pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras ini seringkali
menyebabkan buruh sakit bahkan hingga meninggal. Kondisi buruh seperti
ini tidak lepas dari pengamatan Thukul yang kemudian ia potret dalam
puisi-puisinya.
“Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
...
suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
...
suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja”
(Suti)
“di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggung hutang”
(“Kuburan Purwoloyo”)
58
Dalam puisi “Suti”, pembaca bisa “menyaksikan” bagaimana
keadaan Suti, seorang buruh perempuan yang sedang sakit namun tidak
punya biaya untuk berobat ke rumah sakit. Penggambaran ini merupakan
suatu potret nasib kelam buruh yang oleh sebab upah yang rendah ia tidak
dapat berobat, ia pun tidak mendapatkan bantuan atau sekedar kepedulian
dari pihak perusahaan yang sudah mempekerjakannya begitu berat. Betapa
memperihatinkannya nasib buruh tersebut dikuatkan lagi oleh Thukul
dengan gambaran “tubuh Suti yang makin susut saja, makin kurus
menonjol tulang pipinya, bertahun-tahun diisap kerja”.
Pada puisi lain yang berjudul “Leuwigajah”, Thukul
menggambarkan secara lebih luas tentang pekerjaan buruh yang begitu
berat dan keras.
“lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah,
jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan,
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri.
mogok? pecat!”
(“Leuwigajah”)
Dalam puisi ini, melalui penggunaan imaji visual, Thukul menggambarkan
berbagai tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak
perusahaan terhadap buruh. Melalui penggunaan imaji visual ini pun
membuat pembaca seolah-olah dapat menyaksikan segala tindak
kesewenang-wenangan terhadap buruh tersebut, mulai dari lembur paksa
sampai pagi, kecelakaan-kecelakaan dalam bekerja sebagai akibat dari
kurangnya kepedulian pihak perusahaan terhadap keselamatan kerja buruh,
pelarangan terhadap buruh untuk buang air kecil hingga pemogokan yang
dilakukan oleh buruh.
Ada kalanya Thukul juga menggunakan imaji auditif
(pendengaran) untuk menggambarkan berbagai peristiwa dan kehidupan
dalam dunia buruh. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Suti”,
“Suti kusut masai // di benaknya menggelegar suara mesin //”. Thukul
59
membuat suatu imaji pendengaran berupa suara mesin pabrik yang
menggelegar dalam benak Suti seorang buruh perempuan yang tengah
sakit keras. Imaji suara mesin pabrik yang menggelegar itu merupakan
suatu lambang dari pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras yang
seolah-olah terus menghantui para buruh, bahkan terus terbayang oleh
buruh ketika ia sedang sakit.
Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, digambarkan oleh
Thukul kehidupan buruh yang sulit bertempat tinggal di rumah kontrakan
“tidur berjejer seperti ikan tangkapan”.
“ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan”
(“Nonton Harga”)
Kehidupan sulit yang dialami oleh buruh ini begitu kontras dengan
kehidupan orang-orang kelas menengah ke atas yang cenderung hidup
konsumtif. Kesenjangan sosial yang kontras ini secara cermat dan singkat
mampu digambarkan oleh Thukul melalui puisinya, “Seorang Buruh
Masuk Toko”.
“aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih dan terus diisap”
(“Seorang Buruh Masuk Toko”)
Sementara itu, pada puisi lain yang berjudul “Bukan Kata Baru”,
Thukul menggambarkan pemogokan buruh yang kemudian diikuti oleh
datangnya aparat sebatalion.
“buruh mogok dia telpon kodim, pangdam
Datang senjata sebatalion”
(“Bukan Kata Baru”)
Penggunaan imaji visual ini merupakan suatu gambaran aksi mogok kerja
yang dilakukan oleh buruh seringkali diikuti oleh datangnya aparat.
60
Peristiwa ini seringkali menyebabkan terjadinya bentrokan antara buruh
dengan aparat yang seringkali diawali oleh tindak kekerasan yang
dilakukan oleh aparat terlebih dahulu untuk memaksa buruh untuk kembali
bekerja.
Secara keseluruhan dari 21 puisi Wiji Thukul yang berbicara
tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput imaji yang
paling dominan adalah imaji visual. Meskipun begitu, adakalanya Thukul
menggunakan imaji-imaji lain untuk menggambarkan potret buruh dalam
puisi-puisinya. Misalnya, dalam puisi “Nonton Harga”, untuk
menggambarkan keadaan buruh yang hanya bisa menikmati bau buah-
buahan tanpa bisa membelinya Thukul menggunakan imaji penciuman
yang mebuat seolah-olah pembaca secara langsung mencium wangi dari
buah-buahan tersebut.
“kalau pengin durian
apel, pisang, rambutan, anggur,
ayo
kita bisa mencium baunya.”
(“Nonton Harga”)
Dalam puisi “Seorang Buruh Masuk Toko”, Thukul menggunakan
imaji taktil (sentuhan) untuk menggambarkan rasa minder yang dirasakan
oleh seorang buruh yang masuk toko.
“bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut.”
(“Seorang Buruh Masuk Toko”)
Pada puisi Suti, Thukul memanfaatkan imaji auditif (pendengaran)
untuk menggambarkan kondisi seorang buruh bernama Suti yang sakit
tengah terbatuk-batuk dan dahak batukunya mengeluarkan darah.
“suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah”
(“Suti”)
61
Penggambaran Wiji Thukul melalui imaji auditif ini menggambarkan
bagaimana kesehatan dan keselamatan buruh tidak mendapatkan perhatian
dari pihak perusahaan yang sudah memperkerjakannya secara berat dan
keras. Hal ini membuat buruh yang sakit tidak dapat berobat ke rumah
sakit, sebab tidak memunyai uang.
c) Kata Konkret
Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus
diperkonkret atau diperjelas. Dengan kata lain, kata-kata itu dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Jika penyair mahir
memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat melihat,
mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan penyair. Sebab itu,
kemahiran dalam memperkonkret kata-kata menjadi salah satu hal yang
harus dikuasai oleh seorang penyair.
Wiji Thukul adalah salah seorang penyair yang mampu
memperkonkret kata-kata dalam puisinya dengan baik. Pernyataan ini bisa
dibuktikan dengan meneliti bagaimana cara Wiji Thukul dalam
memperkonkret kata-kata dalam puisinya untuk menggambarkan potret
buruh Indonesia secara luas sekaligus jelas. Dalam puisi “Kuburan
Purwoloyo” misalnya, dengan luas dan jelas Thukul menggambarkan
kehidupan buruh yang sulit, banyak hutang, tenaganya terhisap oleh beban
pekerjaan yang berat.
“di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggung hutang”
(“Kuburan Purwoloyo”)
Larik-larik tersebut digunakan oleh Thukul untuk memperkonkret sebuah
gambaran kehidupan buruh yang sulit “sepanjang hidupnya memburuh,
terisap, dan menanggung hutang”. Thukul mengkonkretkan berat dan
kerasnya pekerjaan para buruh yang menyebabkan mereka seolah-olah
diperas tenaganya oleh perusahaan tempat mereka bekerja cukup dengan
kata “terisap”. Kesulitan hidup para buruh ditambah lagi dengan beban
62
hutang yang disebabkan oleh upah mereka sebagai buruh yang tidak
sepadan dengan kebutuhan hidup yang bermacam.
Potret buruh yang bekerja begitu berat, keras, dan diperas
tenaganya oleh pihak perusahaan juga terdapat dalam puisi “Suti”. Dalam
puisi ini, bahkan, Thukul menggambarkan secara lebih detil potret buruh
perempuan yang tengah menderita sakit parah akibat beban pekerjaan yang
berat.
“suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja
(“Suti”)
Lagi-lagi, Thukul menggunakan kata “diisap” untuk mengkonkretkan
gambaran buruh yang tenaganya diperas oleh pekerjaan yang berat. Dalam
potongan puisi Suti tersebut, pembaca seolah-olah dapat melihat dan
merasakan secara langsung apa yang dialami oleh Suti, tokoh dalam puisi
tersebut. Pembaca seolah-olah dapat melihat bagaimana tubuh Suti yang
kurus akibat sakit yang dialaminya, lemah tubuhnya akibat beban
pekerjaan yang begitu berat. Hal ini dapat terjadi oleh sebab kemahiran
Wiji Thukul dalam memperkonkret kata-kata dalam puisinya. Thukul
mampu memperkonkret sebuah potret buruh yang tengah sakit akibat
beban pekerjaan yang berat cukup dengan “tubuhnya makin susut saja,
makin kurus menonjol tulang pipinya, loyo tenaganya bertahun-tahun
diisap kerja”.
Begitu beratnya beban pekerjaan para buruh ternyata tidak
diimbangi oleh upah yang diterima oleh para buruh. Hal ini dijelaskan oleh
Thukul dalam puisinya, “Teka-teki yang Ganjil”.
“Mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
63
Melalui potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul mampu
mengkonkretkan gambaran ketidaksepadanan beban pekerjaan buruh yang
berat dengan upah mereka yang rendah cukup dengan dua larik puisi
berbunyi “mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat //
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam”. Potret
ketidaksepadanan antara beban pekerjaan para buruh yang berat dengan
upah mereka yang rendah juga gambaran oleh Thukul dalam puisi “Sajak
kepada Bung Dadi”.
“buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
dengan gaji yang tak pantas”
(“Sajak kepada Bung Dadi”)
Thukul mengkonkretkan sebuah potret ketidaksepadanan beban pekerjaan
buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah dengan sebuah
perbandingan para buruh yang sudah bekerja sejak pagi hingga sore,
namun mereka mendapatkan gaji yang tak pantas.
Rendahnya upah yang diterima oleh para buruh rupanya juga tidak
sesuai dengan beban kebutuhan hidup mereka yang semakin meningkat.
Thukul mengkonkretkan potret buruh ini dalam puisinya, “Teka-teki yang
Ganjil”.
“dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Thukul mengkonkretkan potret ketidaksepadanan antara upah para buruh
yang rendah dengan tingginya kebutuhan hidup mereka dengan gambaran
“upah yang dalam waktu singkat berubah menjadi kebutuhan hidup sehari-
hari seperti odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di warung yang harus
mereka lunasi.
Dalam puisinya-puisinya yang berbicara tentang buruh, Thukul
tidak hanya menampilkan potret buruh dari sisi yang lemah, tetapi juga
dari sisi tekad buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Misalnya, dalam
64
puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, Thukul
menampilkan potret buruh yang bertekad untuk menentukan masa depan
mereka sendiri.
“hari depan buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di meja SPSI
(“Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”)
Wiji Thukul mengkonkretkan sebuah tekad buruh untuk memperjuangkan
nasib mereka sendiri dengan tiga larik puisi tersebut. Lebih jauh, Thukul
juga menyindir dengan seolah-seolah mengungkapkan bahwa para buruh
tidak butuh para politikus untuk memperbaiki nasib.
Potret tekad buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri ini
juga ditampilkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. Pada
puisi ini, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh untuk
bersatu memperjuang nasib mereka secara bersama-sama hanya dengan
ungkapan “satu mimpi satu barisan”. Bahkan, dengan nada yang lebih
tegas, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh yang
seolah-olah mengancam pihak perusahaan yang sering bertindak
sewenang-wenang dalam memperkerjakan mereka dalam sebuah bait
dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”.
“kami satu: buruh
Kami punya tenaga
Jika kami satu hati
Kami tahun mesin berhenti
Sebab kami adalah nyawa
Yang menggerakkannya”
(“Makin Terang Bagi Kami”)
Berdasarkan penjabaran mengenai bagaimana seorang Wiji Thukul
menggunakan kata konkret untuk mengkonkretkan kata-kata sekaligus
untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya
tersebut, peneliti berpendapat bahwa Wiji Thukul adalah salah seorang
penyair yang mampu menggunakan kata konkret secara baik.
65
d) Diksi
Diksi yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang
berbicara tentang buruh cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang
sederhana. Penggunaan diksi yang sederhana itulah yang menjadi
kekuatan puisi-puisi Thukul. Dengan bahasa yang sederhana, puisi-puisi
Thukul akan lebih mudah dipahami oleh setiap orang, termasuk orang
yang awam tentang puisi.
Selain itu, yang merupakan salah satu ciri khas dalam puisi-puisi
Thukul adalah penggunaan diksi bahasa Jawa seperti mbok, mbordir,
mingkup, dan mbayar. Hal ini dapat peneliti pahami karena Thukul berasal
dari suku Jawa, maka merupakan suatu yang wajar apabila ia
menggunakan diksi bahasa Jawa dalam puisi-puisinya. Thukul juga sering
menggunakan istilah-istilah dunia buruh dalam puisinya seperti upah,
mogok, pecat, mandor, pabrik, kapitalis, dan tekstil. Diksi-diksi yang
akrab dalam dunia buruh ini sangat memungkinkan digunakan oleh
Thukul dalam puisi-puisinya, sebab ia merupakan seorang aktivis yang
memperjuangkan buruh dan ia sendiri juga pernah menjadi buruh.
Diksi-diksi puisi Wiji Thukul yang merupakan bahasa percakapan
sehari-hari yang sederhana bisa dilihat pada salah satu puisinya, “Bukan di
Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”.
“...
pas tepat di kepala kami bokong-bokomg
kiri-kanan telapak kaki, tas, sandal, sepatu
tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan.
...
sepanjang jalan hujan kami jongkok di tempat duduk
nempel jendela
...”
(“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”)
Dalam potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul
menggunakan kosakata percakapan sehari-hari dalam puisinya seperti
66
ketemu, jongkok, dan nempel. Kata ketemu sebenarnya bukan merupakan
bahasa baku, melainkan bahasa percakapan yang tidak baku, kosakata
dalam bahasa baku yang tepat adalah bertemu. Begitu pula dalam hal
penggunaan kosakata nempel. Kata nempel adalah bahasa yang tidak baku,
sebab merupakan sebuah penyimpangan morfologis, yang benar
seharusnya menempel. Wiji Thukul menghilangkan imbuhan me- pada
kata menempel. Kata nempel merupakan bahasa percakapan yang sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Thukul menggunakan diksi-diksi
seperti ketemu dan nempel tersebut untuk membuat puisi yang berkesan
mudah dipahami oleh siapa pun termasuk orang yang awam tentang puisi
sekalipun.
Dalam 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, peneliti
menemukan suatu hal yang menarik, yakni penggunaan diksi yang berasal
dari kata dasar isap yang sering Thukul gunakan dalam puisinya. Dari 22
puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh, terdapat enam puisi yang
menggunakan kata yang berasal dari kata dasar isap, di antaranya terisap
(“Kuburan Purwoloyo”), mengisap (“Teka-teki yang Ganjil”, “Lingkungan
Kita Si Mulut Besar”), dan diisap (“Suti”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang
Buruh Masuk Toko”). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata isap
berarti tarik sampai masuk, hirup, sedot.168
Berdasarkan hal itu, peneliti
berpendapat bahwa Thukul mengibaratkan buruh Indonesia pada masa
Orde Baru seperti makhluk yang senantiasa disedot atau diisap daya
kekuatannya dengan cara dipekerjakan secara berat. Dalam puisi
“Kuburuan Purwoloyo” misalnya, Thukul menggambarkan kuburan yang
di dalamnya terdapat para buruh yang semasa hidupnya terisap dan
menanggung hutang.
“di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggung utang”
(“Kuburan Purwoloyo”)
168
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.548
67
Kemudian, di puisi “Suti”, Thukul menggunakan kata diisap untuk
menerangkan seorang buruh bernama Suti yang tengah sakit parah akibat
beban pekerjaannya sebagai buruh yang berat.
“suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja”
(“Suti”)
Begitu pula dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Thukul menggunakan
kata mengisap untuk mengungkapkan suatu pertanyaan dalam benak para
buruh perihal “kekuatan” apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil
kerja mereka.
“kami selalu heran dan bertanya-tanya
kekuatan macam apakah yang telah mengisap
tenaga dan hasil kerja kami?”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Dari ketiga potongan puisi tersebut dapat dilihat bagaimana Thukul
mengibaratkan buruh sebagai suatu makhluk yang terus-menerus diisap
daya kekuatannya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapakah pihak yang
mengisap daya kekuatan para buruh seperti yang dipertanyakan Thukul
dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”? Untuk menjawab pertanyaan itu,
peneliti melihat pada puisi Thukul lainnya yang berjudul “Terus Terang
Saja”. Dalam puisi tersebut, Thukul mengibaratkan para buruh seperti
jugun ianfu (para perempuan Indonesia yang dipaksa untuk menjadi
perempuan penghibur bagi tentara Jepang pada masa penjajahan Jepang).
“apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka?
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional,
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?”
68
(Terus Terang Saja)
Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang berasal dari bahasa
Jepang atau lebih tepatnya istilah yang lahir pada zaman penjajahan
Jepang, yakni jugun ianfu untuk mengibaratkan buruh pada masa Orde
Baru. Berdasarkan potongan puisi tersebut pula, peneliti berpendapat
bahwa pihak yang dimaksud Thukul telah mengisap daya kekuatan para
buruh adalah perusahaan multinasional yang seringkali bertindak
sewenang-wenang terhadap buruh dengan memperkerjakannya secara
berat, namun tidak sepadan dengan upah buruh yang rendah. Bagi para
buruh yang berani menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap
ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang buruh
juga sering menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan, misalnya
seperti yang terdapat dalam puisinya yang berjudul “Bukan Kata Baru”.
“kau-aku buruh, mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung”
(“Bukan Kata Baru”)
Thukul dengan tegas menyatakan diri dan kawan-kawannya sebagai buruh
yang seolah-olah memang ditakdirkan untuk bertarung dengan kapitalis.
Penggunaan kata bertarung ini menunjukkan tekad buruh yang siap
bertarung untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai buruh yang
seringkali diabaikan oleh kapitalis. Penggunaan kata kapitalis yang
digambarkan sebagai “musuh” buruh ini sendiri merupakan suatu bentuk
potret zaman sekarang yang memang cenderung bersifat kapitalisme, yang
memiliki modal yang menang.
Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul
menggunakan diksi yang bernada perlawanan kepada pihak aparat yang
seringkali dimintai bantuan oleh pihak perusahaan untuk ikut dalam usaha
meredam perlawanan para buruh.
69
“di mana-mana ada eman
Tak bisa dibungkam kodim
Tak bisa dibungkam popor senanpan
Satu mimpi
Satu barisan”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang bernada
perlawanan, tak bisa dibungkam kodim, tak bisa dibungkam popor
senapan, yang kemudian diikuti dengan diksi-diksi yang menyatakan
tekad untuk bersatu memperjuangkan hak mereka sebagai buruh, satu
mimpi, satu barisan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa Thukul
juga seringkali menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan di
samping diksi-diksi yang merupakan istilah dalam dunia buruh, kosakata
bahasa Jawa, dan bahasa percakapan sehari-hari dalam puisi-puisinya.
e) Bahasa Figuratif (Majas)
Beberapa majas yang sering digunakan oleh Thukul dalam puisi-
puisinya tentang buruh adalah majas simile, metafor, simbolik,
personifikasi, dan sarkasme. Majas simile sering digunakan oleh Thukul
untuk menggambarkan potret buruh dengan cara membandingkannya
dengan suatu hal lain. Misalnya, dalam puisi “Leuwigajah” Thukul
membandingkan buruh-buruh muda seperti buah yang terus-menerus
disedot vitaminnya.
“tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke Leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya”
(“Leuwigajah”)
Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, Thukul menggambarkan
potret buruh Indonesia yang tinggal di rumah-rumah kontrakan yang
sempit dengan menggunakan majas simile seperti berikut ini.
“tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan”
(“Nonton Harga”)
70
Wiji Thukul juga seringkali menggunakan majas personifikasi
untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya.
Dalam puisi yang berjudul “Suti”, Thukul menggambarkan potret
kehidupan buruh Indonesia yang sulit dengan menggunakan majas
personifikasi.
“hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan”
(“Suti”)
Dalam puisi tersebut, Thukul mempersonifikasikan kebutuhan hidup yang
seolah-olah mencekik para buruh yang berupah rendah. Potret buruh yang
tercekik oleh kebutuhan hidup ini menggambarkan betapa sulitnya
kehidupan buruh akibat upah yang rendah, yang tidak sepadan dengan
beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Beban pekerjaan yang
berat ini seringkali membuat para buruh merasa keletihan dan jatuh sakit.
Ironisnya, para buruh tidak memiliki banyak uang untuk berobat ke rumah
sakit untuk menyembuhkan penyakitnya. Potret buruh yang tengah sakit
namun tidak memiliki cukup uang ini juga terdapat dalam puisi Thukul
yang berjudul “Suti”. Dengan menggunakan majas personifikasi, Thukul
menggambarkan seorang buruh bernama Suti yang sakit-sakitan tidak
mampu ke rumah sakit sebab tak ada biaya.
“suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya”
(“Suti”)
Wiji Thukul dalam puisi tersebut, mempersonifikasikan batuk yang
seolah-olah terus memburu Suti yang tengah sakit.
Ada kalanya, Thukul menggambarkan potret buruh Indonesia
dengan cara melebih-lebihkan gambaran buruh Indonesia tersebut dengan
menggunakan hiperbola. Masih dalam puisi “Suti”, Thukul
menggambarkan potret Suti yang sakit dengan menggunakan hiperbola.
71
“suti kusut masai
...
Suti meraba wajahnya sendiri
Tubuhnya makin susut saja”
(“Suti”)
Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kondisi Suti yang sakit
dengan cara melebih-lebihkan penggambarannya, “kusut masai, tubuhnya
makin susut saja”. Cara yang sama juga digunakan oleh Thukul dalam
menggambarkan potret para buruh perempuan di sebuah desa yang pulang
kelelahan setelah bekerja.
“lalu gadis-gadis umur belasan
keluar kampung menuju pabrik
pulang petang
bermata kusut keletihan”
(“Kampung”)
Thukul menggunakan hiperbola dalam menggambarkan para buruh
perempuan yang keletihan sehabis bekerja dengan menyebutkan para
buruh perempuan yang “bermata kusut keletihan”.
Thukul juga seringkali menggunakan metafora dalam puisi-
puisinya. Dalam puisi “Catatan Malam”, Thukul menggunakan metafora
dalam menggambarkan pikiran seorang penyair miskin yang tengah
merenungi nasib dan kisah cintanya dengan seorang kekasih yang seorang
buruh berupah rendah.
“kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
aku ini penyair miskin
tetapi kekasihku cinta”
(“Catatan Malam”)
Dalam puisi tersebut, Thukul membandingkan pikiran tokoh Aku lirik
dengan sayap yang bisa dikibaskan.
Selain itu, Thukul juga seringkali menggunakan simbolik dalam
puisi-puisinya. Sebagai contoh, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut
Besar”, Thukul menggunakan sebutan Si Mulut Besar dan Raksasa yang
Membisu sebagai simbol dari penguasa.
72
“lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur film-film kartun Amerika”
(Lingkungan Kita Si Mulut Besar)
Thukul menyimbolkan pabrik sebagai lingkungan (dunia) buruh dengan
“Si Mulut Besar” yang kerap memberikan janji kepada buruh yang
ternyata tidak dipenuhi.
Kemudian, dalam puisi “Leuwigajah” dan “Leuwigajah Masih
Haus”, Thukul menjadikan “Leuwigajah” sebagai simbol dari kapitalisme
yang terus-menerus menggerus kehidupan para buruh dengan cara
mempekerjakan mereka secara berat namun dengan upah yang rendah.
“tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke Leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
...
Leuwigajah terus minta darah tenaga muda
Leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras
tenaga-tenaga murah”
(“Leuwigajah”)
Leuwigajah sebenarnya merupakan sebuah daerah industri di Jawa Barat,
namun Wiji Thukul dalam puisinya menggunakan Leuwigajah sebagai
simbol yang mencerminkan bagaimana kapitalisme menggerus kehidupan
para buruh dengan cara mempekerjakan mereka secara berat, memberikan
upah yang rendah, “mengisap” daya kekuatan buruh secara terus-menerus.
Wiji Thukul seringkali juga menggunakan majas sarkasme yang
tergolong kasar.
“dia belum hilang kapitalis
dia terus makan
tetes ya tetes-tetes keringat kita
dia terus makan
73
(“Bukan Kata Baru”)
Secara kasar, Thukul mengungkapkan bahwa para kapitalis akan terus
memakan tetes-tetes keringat mereka para buruh. Penggunaan majas
sarkasme yang digunakan oleh Thukul ini adalah suatu bentuk perlawanan
kepada kapitalis, yakni pihak perusahaan yang sering mengabaikan hak
para buruh dan bertindak sewenang-wenang.
Penggunaan majas sarkasme juga ditemukan dalam puisi Thukul
lainnya, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”.
“lingkungan kita si mulut besar
di huni lintah-lintah
yang kenyang mengisap darah keringat tetangga dan anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri para penganggur
yang mabuk minuman murahan
...
lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik”
(“Lingkungan Kita si mulut Besar”)
Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan kata-kata yang tergolong kasar
seperti “lintah-lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga”,
“anjing-anjing yang taat beribadah”, dan “lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak, mencret oli, dan logam, busa dan plastik”
untuk menggambarkan lingkungan pabrik sebagai dunia buruh. “Lintah-
lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga” merepresentasikan
kehidupan antarburuh yang kerap saling “mengisap”. Dalam dunia buruh,
tindakan saling mengisap ini dapat direpresentasikan dengan tindakan
sebagian buruh yang kerap menjelek-jelekkan kawan buruh lainnya di
hadapan pimpinan (mandor atau pun bos) dengan harapan melalui cara itu
ia terlihat lebih baik dalam hal bekerja. Sementara itu, “Lingkungan kita si
mulut besar yang sakit perut dan terus berak mencret oli, logam, busa, dan
74
plastik” ini mengambarkan sisi lain pabrik yang kerap menebarkan polusi
dan limbah yang merusak lingkungan.
f) Versifikasi
Semua puisi-puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh
adalah puisi bebas yang pengaturan rimanya tidak begitu ketat. Maka dari
itu, dari 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, tidak ada yang
menggunakan aturan rima yang ketat seperti a-a-a-a, a-b-a-b atau a-a-b-b.
Akan tetapi, dalam beberapa puisinya, untuk membuat puisinya berirama,
Thukul seringkali menggunakan pengulangan kata atau larik. Misalnya
dalam puisi “Suti”, Thukul selalu mengawali tiap baitnya sengan kata
“Suti”.
“suti tidak pergi kerja (bait pertama)
suti kusut masai (bait kedua)
suti meraba wajahnya sendiri (bait ketiga)
suti batuk-batuk lagi (bait keempat)
suti meludah (bait kelima)
suti memejamkan mata (bait keenam)
suti meludah (bait ketujuh)
suti merenungi resep dokter (bait kedelapan)”
(“Suti”)
Cara yang sama juga Thukul gunakan dalam puisi “Ayolah Warsini”. Pada
puisi yang terdiri dari tiga bait ini, Thukul selalu mengawali bait puisinya
dengan larik yang mengandung kata “warsini”. “Warsini, Warsini” (bait
pertama, “Ayolah, Warsini” (bait kedua dan ketiga).
Begitu pula dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, kecuali pada
bait terakhir, Thukul selalu mengawali tiap baitnya denga kata depan di
yang diikuti oleh nama daerah di Jawa Barat “di Lembang” (bait pertama),
“di Ciroyom” (bait kedua), “di Cimahi” (bait ketiga), “di Cigugur” (bait
keempat), “di Majalaya” (bait kelima), sementara di bait keenam Thukul
mengawalinya dengan kata “di mana-mana”.
Sementara itu, dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”, Thukul
mengawali bait pertama, ketiga, keempat, dan keenam selalu dengan larik
“tempat pertemuan kami sempit”. Sedangkan pada bait kedua, kelima, dan
75
ketujuh, dalam dua larik paling awal, Thukul selalu menggunakan dua larik
berbunyi “kami satu: buruh // kami punya tenaga”. Semua pengulangan
kata atau larik yang dilakukan oleh Thukul dalam mengawali setiap bait
puisinya merupakan suatu usaha Thukul untuk membuat puisinya memiliki
rima dan irama sehingga terasa enak ketika dibaca maupun dideklamasikan.
2. Struktur Batin Puisi
a) Tema
Seperti yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya, dalam kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput ini terdapat 22 puisi yang membahas tentang
potret buruh Indonesia. 22 puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok puisi yang membahas buruh
secara dominan dan kelompok puisi yang membahas buruh secara samar.
Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang
membicarakan buruh secara samar dan 12 puisi yang membahas tentang
buruh secara dominan.
Kelompok puisi yang membahas potret buruh Indonesia secara
dominan adalah puisi yang temanya adalah potret buruh Indonesia yang
memang potret buruh Indonesia dijelaskan secara dominan dalam puisi
tersebut. Sementara itu, kelompok puisi yang membahas potret buruh
Indonesia secara samar adalah puisi-puisi yang bukan memiliki tema
tentang buruh Indonesia, namun dalam puisi-puisi tersebut terdapat potret
buruh Indonesia yang tergambarkan secara samar di balik tema puisi
tersebut. Agar lebih jelas, peneliti membuat tabel tema puisi Wiji Thukul
tentang buruh berikut ini.
Tabel Tema Puisi Wiji Thukul tentang Buruh
No Judul Puisi Kelompok
Puisi
Tema
1 “Catatan Malam” samar Seorang penyair miskin yang
merenungkan nasib dan kisah
76
cintanya dengan kekasihnya
yang seorang buruh berupah
rendah
2 “Sajak kepada Bung
Dadi”
samar Nasihat kepada seorang
bernama Bung Dadi bahwa
kampung yang di dalamnya
terdapat banyak peristiwa
tentang kehidupan rakyat
kecil yang sulit adalah tanah
airnya juga
3 “Lingkungan Kita Si
Mulut Besar”
samar Kritik sosial kepada
penguasa
4 “Kuburan Purwoloyo” samar Kritik sosial tentang
kehidupan rakyat kecil yang
menderita
5 ”Lumut” samar Kehidupan orang yang dalam
hidupnya bertempat tinggal
berpindah-pindah dari satu
kontrakan ke kontrakan
lainnya
6 „Suti” dominan Seorang buruh yang sakit,
namun tidak bisa berobat ke
rumah sakit karena tak punya
biaya
7 “Kampung” samar Keadaan sebuah kampung
dengan segala peristiwa yang
dialami oleh penduduknya
8 “Jangan Lupa,
Kekasihku”
samar Seorang yang menasihati
kekasihnya yang seorang
buruh utuk tidak melupakan
77
lingkungan dan orang-orang
di sekitarnya
9 “Ayolah, Warsini” dominan Para buruh yang menunggu
kawannya, seorang buruh
bernama Warsini yang belum
pulang kerja
10 “Teka-teki yang
Ganjil”
dominan Para buruh yang berkumpul
saling bercerita tentang
kehidupan mereka yang sulit
11 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
dominan Berbagai tindakan sewenang-
wenang terhadap para buruh
yang membuat mereka
bertekad untuk melakukan
perlawanan
12 “Nonton Harga” dominan Kehidupan buruh yang sulit
13 “Terus Terang Saja” samar Protes sosial tentang
kemerdekaan yang semu
14 “Harimau” samar Tindak represif yang
dilakukan oleh penguasa
15 “Leuwigajah” dominan Kapitalisme yang terus-
menerus menghisap daya
kekuatan buruh
16 “Leuwigajah Masih
Haus”
dominan Kapitalisme yang terus-
menerus menghisap daya
kekuatan buruh
17 “Makin Terang Bagi
Kami”
dominan Buruh bertekad untuk bersatu
memperjuangkan hak-hak
mereka
18 “Bukan Kata Baru” dominan Perlawanan buruh terhadap
kapitalis
78
19 “Seorang Buruh
Masuk Toko”
dominan Kesenjangan sosial
20 “Bukan di Mulut
Politikus, Bukan di
Meja SPSI”
dominan Perjuangan dan tekad buruh
untuk memperbaiki hidup
mereka
21 “Edan” dominan Tindak sewenang-wenang
yang dilakukan pihak
perusahaan kepada buruh
22 “Gunung Batu” samar Keadaan masyarakat gunung
batu yang hidup dengan
keperihatinan
Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 12 puisi yang
tergolong puisi yang membahas tentang buruh secara dominan, yakni
“Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”,
“Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”,
“Bukan Kata Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk
Toko”, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”.
Sementara, terdapat 10 puisi yang membahas buruh secara samar, yakni
“Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut
Besar”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”,
“Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan “Terus Terang Saja”.
Seperti yang sudah dijelaskan oleh peneliti sebelumnya, 12 puisi
yang membahas buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang
memiliki tema tentang buruh yang secara dominan membahas tentang
buruh. Sementara, 10 puisi yang mambahas buruh secara samar adalah
puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, akan tetapi di dalamnya
terdapat potret buruh Indonesia. Misalnya, puisi Thukul yang berjudul
“Lingkungan Kita Si Mulut Besar” memiliki tema tentang kritik sosial
kepada penguasa, namun di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia.
“lingkungan kita si mulut besar
79
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur film-film kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah”
(“Lingkungan Kita Si Mulut Besar”)
Dalam puisi tersebut, terdapat potret buruh perempuan yang dibayar
dengan upah yang rendah.
Begitu pula dalam puisi “Terus Terang Saja”, walaupun bukan
memiliki tema tentang buruh, yakni tentang protes sosial akan
kemerdekaan yang semu, tetapi terdapat potret tentang buruh Indonesia di
dalamnya.
“apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa
perusahaan multinasional
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?”
(“Terus Terang Saja”)
Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti jugun
ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa oleh perusahaan multinasional.
Thukul juga menggambarkan bahwa bagi buruh yang menuntut kenaikan
upah, maka mereka harus siap untuk ditangkap dan dijebloskan ke dalam
penjara.
b) Feeling (Perasaan)
Feeling atau perasaan yang terdapat dalam 22 puisi Wiji Thukul
tentang buruh berbeda-beda. Misalnya, dalam puisi “Suti”, Thukul
menyampaikan perasaan yang sedih tentang seorang buruh bernama Suti
yang tengah sakit, namun tidak mampu berobat karena tidak memiliki
biaya.
“suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
80
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja”
(“Suti”)
Sementara itu, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”,
Thukul menyampaiakan perasaan yang geram dan marah terhadap
penguasa. Begitu pula dalam puisi “Bukan Kata Baru”, dengan perasaan
yang geram dan penuh amarah, Thukul menyatakan perlawanan para
buruh terhadap kaum kapitalis.
“kau-aku buruh, mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung.
(“Bukan Kata Baru”)
Dalam beberapa puisinya, Thukul juga menyampaikan perasaan
yang penuh tekad dan semangat ketika menggambarkan para buruh yang
bertekad untuk memperjuangkan nasib dan hak mereka seperti yang ada
dalam puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”.
“hari depan buruh di tangan kami sendiri
Bukan di mulut politikus
Bukan di mejas spsi”
(“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”)
Dapat dikatakan bahwa dalam setiap puisinya yang membahas
tentang buruh, Thukul menyampaikan dengan perasaan yang berbeda-
beda. Ada kalanya Thukul menyampaikan dengan perasaan yang sedih,
namun ada kalanya ia menyampaikan dengan perasaan yang penuh
kemarahan atau tekad yang kuat untuk memperjuangkan nasib.
c) Nada dan Suasana
Nada yang digunakan oleh Thukul dalam 22 puisinya yang
membahas tentang buruh berbeda-beda. Dalam puisi “Jangan Lupa,
Kekasihku”, Thukul menggunakan nada menasihati.
81
“jangan lupa, kekasihku
pada siapa pun yang bertanya
Sebutkan namamu
jangan malu
itu namamu, kekasihku”
(“Jangan Lupa, Kekasihku”)
Dalam puisi ini, Thukul menggunakan nada menasihati untuk
menggambarkan seorang Aku lirik yang sedang menasihati kekasihnya.
Nada yang digunakan oleh Thukul dalam menyampaikan puisinya tersebut
menimbulkan suasana ketegaran dan kepercayadirian.
Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul
menggunakan nada menentang dan melawan.
“di mana-mana ada Eman
di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi satu barisan
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Nada menentang dan melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi
tersebut digunakan untuk menyampaikan perasaan geram dan marah akan
berbagai tindak kesewenang-wenangan terhadap buruh yang sering
dilakukan oleh pihak perusaahan dengan dibantu oleh aparat.
Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisinya juga
dapat dilihat dalam puisi “Bukan Kata Baru”, bahkan dalam puisi tersebut
Thukul dengan jelas menyatakan bahwa musuh buruh adalah kaum
kapitalis.
“kau-aku buruh, mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung.
(“Bukan Kata Baru”)
Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu
Barisan” dan “Bukan Kata Baru” itu menimbulkan suasana penuh
82
pemberontakan yang dilakukan oleh para buruh untuk memperjuangkan
haknya.
Dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul
menggunakan nada mengritik. Nada mengritik yang digunakan oleh
Thukul itu untuk menyampaikan kritikannya kepada penguasa.
“lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur film-film kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah”
lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik
dan zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
yang mengulum es
lima puluh perak
(“Lingkungan Kita Si Mulut Besar”)
Nada mengritik yang digunakan oleh Thukul dalam puisi tersebut
menimbulkan suasana yang penuh dengan kekacauan yang terjadi di
sebuah negeri.
d) Amanat
Amanat yang paling sering Thukul sampaikan dalam 22 puisinya
yang membahas tentang buruh adalah tentang upah buruh yang rendah dan
tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung.
Amanat tentang upah buruh yang rendah ini Thukul sampaikan dalam
puisinya yang berjudul “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”,
“Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki
yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah
Masih Haus”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”.
83
Dalam puisi “Suti”, Thukul menyampaikan amanatnya secara
tersirat melalui tokoh dalam puisi bernama Suti yang merupakan seorang
buruh.
“suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah.”
(“Suti”)
Kemudian dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Thukul juga
menyampaikan amanatnya secara tersirat tentang upah buruh yang rendah.
“ dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Melalui puisi “Suti” dan “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, secara tersirat
Thukul menyampaikan amanat, bahwa upah buruh terlalu rendah
dibandingkan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung dan
sudah seharusnya pihak perusahaan memberikan upah yang sepadan
dengan beban pekerjaan yang ditanggung oleh buruh.
Dalam puisi “Terus terang Saja”, Thukul menyampaikan amanat
secara tersurat bahwa sebenarnya Indonesia belum benar-benar merdeka,
sebab di Indonesia (pada zaman Orde Baru) belum ada kebebasan
berpendapat dan kemelaratan masih terus melanda rakyat Indonesia.
“sekarang demokrasi sudah 100%
bulat
tanpa debat
tapi aku belum menjadi aku sejati
karena aku dibungkam oleh demokrasi 100%
yang tidak bisa salah
namun aku sangsi
karena kemelaratan belum dilumpuhkan
aku sangsi pada yang 100% benar
terus terang saja.
(“Terus Terang Saja”)
84
Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul
menyampaikan amanat secara tersirat bahwa apabila para buruh bersatu,
maka tidak akan ada yang bisa membungkam mereka.
“di mana-mana ada Eman
di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi satu barisan
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
1. Upah yang Rendah Tak Sepadan dengan Beratnya Beban Pekerjaan
Permasalahan tentang upah merupakan salah satu issue yang paling sering
muncul dalam dunia perburuhan. Begitu pula dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul
yang memotret gambaran buruh Indonesia pada masa Orde Baru, permasalahan
tentang upah merupakan topik yang sangat sering muncul. Berdasarkan
pengklasifikasian yang dilakukan oleh peneliti, terdapat 14 puisi yang membahas
tentang upah buruh dari 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian
Akar Rumput yang memotret gambaran tentang buruh. Secara garis besar, melalui
keempat belas puisi tersebut Wiji Thukul memberikan gambaran tentang upah
buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah, tidak sesuai dengan beratnya
beban pekerjaan yang mereka lakukan. Adapun 14 puisi Wiji Thukul yang
menggambarkan upah buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah
tersebut, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita
si Mulut Besar”, “Gunung Batu”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang
Ganji”l, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Terus Terang Saja”, “Leuwigajah”,
“Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Edan”, dan “Seorang Buruh
Masuk Toko”.
Gambaran tentang betapa rendahnya jumlah upah buruh pada masa Orde
Baru dapat dilihat pada kutipan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Catatan Malam”
dan “Gunung Batu” berikut ini.
“...
pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam”
(“Catatan Malam”)
85
“...
kuli-kuli perkebunan
seharian memikul kerja
setiap hari makin bungkuk
dijaga mandor dan traktor
delapan ratus gaji sehari
di rumah ditunggu
mulut-perut anak-istri”
(“Gunung Batu”)
Pada puisi “Catatan Malam”, Wiji Thukul menggambarkan tokoh Aku
lirik yang memunyai kekasih seorang buruh yang upahnya tidak lebih dari dua
ratus rupiah per jam. Sementara, pada puisi “Gunung Batu”, digambarkan para
kuli-kuli perkebunan yang bergaji delapan ratus rupiah per hari. Jumlah gaji
tersebut sangatlah kecil dan tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan
yang ditanggung oleh para kuli perkebunan yang “seharian memikul kerja
sehingga setiap hari semakin bungkuk” itu.
Di sisi lain, rendahnya upah yang diterima oleh buruh ternyata juga
berdampak pada kehidupan ekonomi buruh yang sulit. Rendahnya upah yang
mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tak
terjangkau oleh mereka. Hal ini tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang
berjudul “Suti”.
“buruh-buruh berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan”
(“Suti”)
Kutipan puisi tersebut menggambarkan bagaimana upah yang rendah tidak cukup
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari buruh dan menyebabkan kehidupan
mereka menjadi serba sulit. Lebih lanjut, Wiji Thukul menggambarkan potret
tentang dampak dari rendahnya upah yang diterima oleh para buruh terhadap
kehidupan sehari-hari mereka melalui puisinya yang berjudul “Teka-teki yang
Ganjil”.
“...
86
dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi.”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari seperti “odol dan sampo” pun,
para buruh masih merasa kesulitan, belum lagi ditambah hutang-hutang mereka di
warung dan uang biaya sewa rumah yang harus mereka lunasi. Bahkan, rendahnya
upah yang diterima oleh para buruh ini juga berdampak pada ketidakmampuan
mereka menyekolahkan anak mereka.
“...
mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anaknya
padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Potret yang menggambarkan buruh yang tidak dapat menyekolahkan anaknya ini
secara tidak langsung menjelaskan bahwa rendahnya upah yang diterima oleh para
buruh juga berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga
mereka, dalam hal ini pendidikan bagi anak.
Selain itu, rendahnya upah yang diterima oleh buruh rupanya juga
berdampak pada kebutuhan akan kesehatan buruh yang tidak terpenuhi. Seringkali
ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit sebab tidak memunyai
biaya. Potret ini terdapat dalam puisi “Suti”.
“...
suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah
suti meludah
dan lagi-lagi darah
suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada biaya”
(“Suti”)
Berbagai potret rendahnya upah buruh yang berdampak pada kehidupan
mereka ini menandakan bahwa tingkat kesejahteraan buruh menjadi hal yang
87
sangat kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah pada masa
Orde Baru. Ada kesenjangan antara upah buruh yang rendah dengan beratnya
beban pekerjaan yang mereka tanggung. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
adanya keinginan dari pihak perusahaan untuk memanfaatkan tenaga buruh
dengan mempekerjakannya secara semaksimal mungkin, namun dengan upah
yang seminimal mungkin yang cenderung kurang manusiawi.
Padahal, bila saja tenaga para buruh memang merupakan faktor utama
dalam proses produksi perusahaan, maka sudah selayaknya mereka memperoleh
imbalan nilai lebih yang proporsional melalui pendekatan yang manusiawi, yakni
imbalan (upah) yang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup buruh.169
Dengan
demikian, apa yang diterima buruh harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
mereka secara memadai dan manusiawi. Adapun jenis-jenis kebutuhan dasar
hidup manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana berikut ini.
Kebutuhan dasar minimal, yaitu (1) kebutuhan dasar untuk hidup yang
meliputi pangan, sandang, papan, air, udara, bahan bakar dan lainnya; (2)
kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
kapasitas/produktivitas individu yang meliputi pendidikan, pelayanan
kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaan sosial, kebebasan
berpendapat, tersedianya pasar, dan lain sebagainya; (3) kebutuhan untuk
meningkatkan akses (peluang memperoleh sesuatu) terhadap cara
berproduksi dan peluang ekonomi yang meliputi tanah, air, vegetasi,
modal (termasuk teknologi), peluang bekerja dan berpenghasilan yang
layak; dan (4) kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan
untuk membuat keputusan yang meliputi penghargaan atas HAM,
partisipasi dalam politik, keamanan sosial, pertahanan sosial, peraturan
perundang-undangan yang adil bagi semua lapisan masyarakat.170
Sudah sepatutnya dalam menentukan jumlah upah yang diterima oleh
buruh, pihak perusahaan mempertimbangkannya berdasarkan pendekatan
manusiawi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara beban pekerjaan yang berat
dengan upah yang rendah yang membuat buruh tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar minimal hidupnya. Apabila melihat jenis-jenis kebutuhan dasar
minimal yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana dan membandingkannya dengan
169
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta:
Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000), h.35 170
Ibid., h. 35-36
88
potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam
puisi-puisi Wiji Thukul yang sebelumnya sudah dikutip, maka akan terlihat bahwa
ada beberapa kebutuhan dasar minimal para buruh yang belum terpenuhi.
Misalnya saja perihal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan berpenghasilan yang
layak. Selain itu, masih ada beberapa kebutuhan dasar minimal yang belum
terpenuhi dalam kehidupan buruh. Sebagai contoh adalah kebebasan berpendapat.
Pada masa Orde Baru seringkali ditemukan kasus buruh yang dipecat,
bahkan dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena menuntut untuk kenaikan upah
yang lebih pantas. Hal ini menandakan bahwa buruh pada masa Orde Baru belum
memiliki kebebasan berpendapat. Potret mengenai buruh yang dipecat setelah
menuntut perbaikan upah ini terdapat dalam puisi Wiji Thukul, “Satu Mimpi Satu
Barisan”.
“di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah, ya karena upah”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Potret buruh yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja setelah menuntut
perbaikan upah yang terdapat dalam puisi tersebut selain menandakan kebebasan
berpendapat yang belum dimiliki oleh buruh juga menandakan begitu lemahnya
posisi buruh dalam hubungan industrial. Buruh seolah-olah menjadi pihak yang
tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.
Pada puisi lain yang berjudul “Terus Terang Saja”, Wiji Thukul bahkan
menggambarkan potret buruh yang dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena
menuntut kenaikan upah.
“...
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?”
(“Terus Terang Saja”)
89
Potret buruh yang dipenjarakan karena menuntut kenaikan upah pada puisi
tersebut secara tidak langsung mendeskripsikan gambaran kondisi politik pada
masa Orde Baru yang represif. Penguasa pada masa itu tidak akan membiarkan
sedikit pun ada pihak yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaannya.
Sementara, penguasa cenderung berpihak pada kaum pemilik modal yang
seringkali bertindak sewenang-wenang terhadap buruh.
Penguasa yang cenderung berpihak pada kaum pemilik modal ini
membuat posisi buruh pada masa Orde Baru menjadi kian tersudutkan. Penguasa
yang seharusnya melindungi hak para buruh justru ikut bertindak sewenang-
wenang terhadap buruh. Bahkan, seringkali penguasa mengerahkan aparat untuk
“menertibkan” buruh yang melakukan aksi protes menuntut kenaikan upah seperti
yang terjadi pada 11 Desember 1995 ketika belasan ribu buruh PT. Sri Rejeki
Isman Textile (Sritex) mengadakan demonstrasi di depan pabrik tempat mereka
bekerja yang terletak di Desa Jetis, Sukoharjo. Demonstrasi para buruh yang juga
diikuti oleh Wiji Thukul yang saat itu menjabat sebagai Jaker (Jaringan Kesenian
Rakyat) itu salah satunya didasari oleh keinginan buruh untuk diadakannya
kenaikan upah. Sebagian di antara mereka hanya dibayar Rp1.600 per hari, jauh di
bawah gaji minimal provinsi kala itu yang sebesar Rp2.600 per hari.171
Melihat kenyataan rendahnya upah yang diterima oleh buruh yang tidak
sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan, ditambah lagi
dengan berbagai tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan
(kaum pemilik modal), maka merupakan suatu hal yang wajar apabila para buruh
melakukan aksi protes untuk memperjuangkan hak mereka. Akan tetapi, pihak
penguasa yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan selalu
memiliki alasan untuk “menghalalkan” berbagai tindakan represif terhadap buruh
yang bagi mereka aksinya dapat mengganggu kestabilan keamanan negara.
Melalui beberapa kutipan puisi Wiji Thukul tentang buruh yang sudah
ditampilkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran betapa rendahnya upah yang
diterima oleh buruh pada masa Orde Baru yang tidak sepadan dengan beratnya
171
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang,
(Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 120
90
beban pekerjaan yang mereka tanggung. Pemberian upah yang rendah itu tidak
disesuaikan dengan pendekatan yang manusiawi sehingga berdampak pada
kehidupan buruh yang semakin sulit.
2. Tenaga yang Terisap oleh Beratnya Beban Pekerjaan dan Lembur
Paksa
Salah satu potret buruh yang sering ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput adalah potret tentang tenaga buruh yang
terisap oleh beratnya beban pekerjaan dan lembur paksa. Thukul seringkali
menampilkan potret tersebut melalui larik-larik puisi yang menceritakan kondisi
buruh yang keletihan bahkan mengalami sakit karena tenaganya terisap oleh
beban pekerjaan yang berat dan seringkali mendapatkan pemaksaan dari pihak
perusahaan untuk lembur kerja. Potret buruh seperti ini setidaknya ditampilkan
oleh Thukul dalam 14 puisinya yang terhimpun dalam kumpulan puisi Nyanyian
Akar Rumput. Adapun 14 puisi tersebut adalah “Gunung Batu”, “Suti”,
“Kampung”, “Jangan Lupa Kekasihku”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang
Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,”Terus Terang Saja”, “Leuwigajah”,
“Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”,
“Kuburan Purwoloyo”, dan “Edan”.
Dalam puisi “Suti”, Thukul menampilkan potret seorang buruh bernama
Suti yang keletihan dan mengalami sakit karena beban pekerjaan yang berat.
“...
suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja
...
suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah
suti meludah
dan lagi-lagi darah”
(“Suti”)
91
Potret Suti dalam puisi tersebut mewakili potret buruh Indonesia pada masa Orde
Baru yang dipekerjakan dengan beban pekerjaan yang berat, namun tidak
diimbangi dengan pemberian upah yang layak dan sepadan. Hal ini
menggambarkan betapa pihak perusahaan mengeksploitasi para buruh dengan
cara mempekerjakan mereka semaksimal mungkin dengan upah yang seminimal
mungkin.
Potret buruh dengan beban pekerjaan yang berat namun tidak diimbangi
dengan pemberian upah yang layak dan sepadan juga terdapat dalam puisi
“Gunung Batu”.
“...
kuli-kuli perkebunan
seharian memikul kerja
setiap hari makin bungkuk
dijaga mandor dan traktor
delapan ratus gaji sehari
di rumah ditunggu
mulut-perut anak-istri”
(“Gunung Batu”)
Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan potret buruh perkebunan yang
setiap harinya menanggung beban pekerjaan yang berat, namun hanya
mendapatkan upah delapan ratus rupiah tiap hari. Jumlah upah tersebut selain
tidak sepadan dengan beban pekerjaan buruh yang begitu berat juga tidak
mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Selain beban pekerjaan buruh yang berat, rupanya tenaga buruh juga terus
diisap oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa. Persoalan lembur paksa
memang merupakan salah satu hal yang seringkali dikeluhkan oleh buruh. Pihak
perusahaan seringkali memaksa buruh untuk lembur kerja dengan dalih mengejar
target produksi perusahaan. Dalam kasus ini, buruh dijadikan oleh pihak
perusahaan tidak ubahnya seperti budak yang bebas diperlakukan dan diperintah
apa saja.
Wiji Thukul menampilkan potret buruh yang dipaksa untuk lembur kerja
dalam puisinya yang berjudul “Leuwigajah”.
“...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak
92
terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah,
jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri
...
tubuh-muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali dua puluh empat jam
masuk, absen, tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar”
(“Leuwigajah”)
Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan potret buruh yang dipaksa
untuk lembur bekerja seperti “buah-buah yang disedot vitaminnya”. Para buruh
terus diperas dan dieksploitasi tenaganya untuk kepentingan keuntungan pihak
perusahaan dengan cara dipekerjakan selama dua puluh empat jam.
Potret yang sama juga Thukul tampilkan dalam puisi “Satu Mimpi Satu
Barisan”. Dalam puisi tersebut, Thukul menceritakan seorang buruh bernama Siti
yang harus lembur kerja selama 24 jam.
“...
di cigugur ada kawan Siti
punya cerita harus kerja lembur sampai pagi
pulang lunglai lemas ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya, 24 jam”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Tokoh Siti dalam puisi tersebut menggambarkan bagaimana buruh dieksploitasi
daya dan tenaganya oleh pihak perusahaan dengan lembur paksa selama 24 jam.
Lembur paksa yang berat itu membuat para buruh merasa keletihan, habis
tenaganya, seolah-oleh habis diisap oleh pihak perusahaan yang hanya
mementingkan keuntungan finansial.
Apa yang dialami oleh tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”
bukan sekadar karangan atau imajinasi Wiji Thukul saja, tetapi dalam
93
kenyataannya potret buruh yang mengalami lembur paksa memang masih sering
terjadi. Women Research Institute melakukan sebuah penelitian tentang
pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh terhadap buruh perempuan di Kawasan
Berikat Nusantara Cakung. Dalam penelitian itu, Women Research Institute
mewawancarai seorang buruh bernama Ika yang bekerja di sebuah perusahaan di
Kawasan Berikat Nusantara Cakung sejak tahun 1997. Ika menceritakan
pengalamannya terkait lembur kerja:
“Karena perusahaan Graffika (tempat Ika bekerja) tidak menerapkan
sistem shift, setiap pekerja pasti terkena lemburan. Kerja lembur dilakukan
hampir setiap hari, bahkan di hari Minggu. Usai kerja lembur Ika pulang
ke tempat indekost sekitar pukul sembilan malam. Terkadang dia kerja
lembur hingga pukul sebelas malam. Kerja lembur terus-menerus tidak
lantas membuat Ika senang. Selain tubuh menjadi cepat lelah, upah yang
diterima tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Bahkan,
uang kerja lembur terpaksa dihabiskan untuk membeli vitamin, obat, dan
susu, agar staminanya tetap terjaga.
...
Menurut Ika, perusahaan tidak pernah memberi pilihan kepada buruh
untuk menerima atau menolak kerja lembur. Perintah untuk bekerja lembur
biasanya dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan lebih dulu, kecuali
untuk kerja lembur di hari Minggu. Meskipun buruh bisa “menampik”
kerja lembur hari Minggu, mereka harus tetap lemburan. Alasan
perusahaan, deadline ekspor dan jadwal ekspor tidak dapat diubah, dan
sebagainya.”172
Pengalaman Ika sebagai buruh berkaitan dengan lembur kerja tersebut
menunjukkan bahwa pada kenyataannya tindakan eksploitasi terhadap buruh yang
dilakukan oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa memang benar-benar
terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh Ika, buruh tidak diberikan pilihan oleh
pihak perusahaan untuk menolak atau menerima perintah lembur kerja. Bahkan
seringkali lembur kerja diadakan pada hari Minggu dan meskipun buruh bisa
“menampik” perintah lembur kerja di hari Minggu tersebut, pada akhirnya mereka
diharuskan oleh pihak perusahaan untuk lembur dengan alasan deadline ekspor.
Sialnya, lembur kerja yang terpaksa dilakukan oleh para buruh tidak
diimbangi oleh pemberian upah lembur yang sepadan, tidak sebanding dengan
172
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan
Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, (Jakarta: Women Research Institute, 2008), h. 43-44
94
tenaga para buruh yang terkuras dan terisap oleh beban pekerjaan yang berat.
Buruh pun terpaksa menggunakan uang kerja lembur untuk membeli vitamin,
obat, dan susu, agar staminanya tetap terjaga.
Perintah lembur kerja secara paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan
seperti yang dialami oleh Ika di perusahaan tempatnya bekerja yang terkadang
sampai pukul sebelas malam atau yang dialami tokoh Siti dalam puisi “Satu
Mimpi Satu Barusan” karya Wiji Thukul yang sampai 24 jam merupakan sebuah
pelanggar hukum. Hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap
Pasal 77 dan Pasal 78 UU No.13/2003. Pasal 78 ayat 1 menyebutkan “pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat ada persetujuan pekerja/buruh
yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak
tiga jam dalam satu hari dan empat belas jam dalam seminggu.173
Tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” dan apa yang
dialaminya merupakan cerminan buruh seperti Ika dan buruh-buruh lainnya di
Indonesia yang kerap dieksploitasi daya dan tenaganya oleh pihak perusahaan
melalui lembur paksa. Pihak perusahaan cenderung mempekerjakan para buruh
layaknya budak yang bebas diperintah apa saja. Mereka terus mengeksploitasi
buruh dengan mempekerjakan para buruh semaksimal mungkin dan memberikan
upah seminimal mungkin. Buruh pun terus diisap daya dan tenaganya, diisap oleh
pihak perusahaan yang hanya mementingkan laba perusahaan.
3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Buruh yang Kurang Dipedulikan
oleh Pihak Perusahaan
Berdasarkan Konvensi ILO 155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja serta Rekomendasi ILO No. 164 Tahun 1981, perusahaan harus
memperbaiki dan menjaga kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang
pekerjaan; mencegah efek buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja,
melindungi buruh dari risiko di tempat kerja yang dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat kesehatan, menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja
173
Ibid., h.43
95
sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental buruh.174
Dengan demikian, sudahlah
jelas bahwa salah satu kewajiban pihak perusahaan adalah menjaga kesehatan dan
keselamatan buruh dalam bekerja. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih sering
ditemukan kasus mengenai perusahaan yang kurang memedulikan kesehatan dan
keselamatan buruh dalam bekerja.
Wiji Thukul dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput, beberapakali menampilkan potret buruh Indonesia
pada masa Orde Baru yang kurang mendapatkan kepedulian dari pihak
perusahaan akan kesehatan dan keselamatan mereka dalam bekerja ini.
Kekurangpedulian serta tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja
dari pihak perusahaan ini seringkali menyebabkan para buruh mengidap penyakit.
Hal ini tergambarkan dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”.
“...
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dirontgen pasti tampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak, ya amoniak”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Kutipan puisi tersebut merupakan sebuah potret tidak adanya jaminan kesehatan
dan keselamatan yang diterima buruh dari pihak perusahaan, Udin dalam puisi
tersebut harus menerima “isi dadanya rusak” akibat terlalu banyak menghirup
amoniak. Seharusnya, pihak perusahaan menyediakan alat pelindung dalam
bekerja seperti masker untuk para buruh sehingga tidak menyebabkan buruh
terancam kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja.
Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”
tersebut rupanya bukanlah hal yang omong kosong belaka, melainkan suatu hal
yang benar-benar terjadi dalam dunia perburuhan Indonesia. Pada 11 Desember
1995 belasan ribu buruh mengadakan aksi demonstrasi di sepanjang jalan menuju
pabrik garmen PT. Sri Rejeki Isman Tektile (Sritex) di Desa Jetis, Sukoharjo. Wiji
Thukul juga ikut dalam aksi demonstrasi itu. Rahardjo Waluyo Jati, anggota
174
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, op.cit., h. 85
96
Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) Yogyakarta yang ikut aksi demonstrasi tersebut
kepada Tim Liputan Khusus Wiji Thukul majalah Tempo mengatakan bahwa di
antara hal yang melatar belakangi aksi demonstrasi buruh kala itu adalah adanya
laporan kasus buruh yang mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit
saluran pernapasan akibat serat tekstil.175
Sementara itu, beradasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Woman Research Institue terhadap seorang buruh yang
bernama Ika yang pada periode 1996 sampai 1997 bekerja di sebuah pabrik sepatu
di daerah Tangerang diketahui bahwa buruh saat bekerja tidak diberi alat
pelindung seperti masker. Hal ini diungkapkan oleh Ika yang akibat terlalu sering
menghirup bahan-bahan kimia mengidap penyakit radang paru-paru.176
Hal ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi ILO
155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Rekomendasi
ILO No. 164 Tahun 1981 bahwa perusahaan harus memperbaiki dan menjaga
kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang pekerjaan; mencegah efek
buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja, melindungi buruh dari risiko di
tempat kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan,
menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan
mental buruh.
Agaknya, permasalahan tentang kesehatan dan keselamatan kerja buruh
dalam bekerja juga berkaitan dengan upah buruh yang rendah, sebab seringkali
ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit karena kondisi keuangan
yang tidak mencukupi. Hal itu diperparah dengan tidak adanya layanan kesehatan
yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada buruh yang sakit. Dalam puisi yang
berjudul Suti, Thukul menggambarkan potret buruh yang ketika sakit tidak
mampu berobat karena kondisi keuangan yang tidak mencukupi.
“...
suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah
suti meludah
dan lagi-lagi darah
175
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 120 176
Aris Arif Mundayat, op. cit., h.38
97
suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat”
(“Suti”)
Potret dalam puisi tersebut menggambarkan sebuah kesan bahwa pihak
perusahaan cenderung sekadar memanfaatkan tenaga buruh tanpa memedulikan
hak-haknya. Mengenai persoalan tentang upah misalnya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Eggi Sudjana yang telah penulis kutip sebelumnya bahwa upah
yang diberikan kepada buruh haruslah dipertimbangkan berdasarkan pendekatan
yang manusiawi, yang dapat memenuhi kebutuhan dasar buruh sebagai manusia,
dan salah satu kebutuhan dasar itu di antaranya adalah pelayanan kesehatan. Jadi,
apabila ditemukan kasus seorang buruh yang tak bisa berobat ketika sakit karena
tidak memunyai uang sebab upah yang ia terima dari perusahaan rendah, maka hal
itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh yang dilakukan
oleh pihak perusahaan.
Ketika bekerja, buruh juga dihadapkan oleh bahaya kecelakaan bekerja
yang bisa dialami oleh buruh kapan saja. Peristiwa kecelakaan dalam bekerja
tergambarkan dalam puisi Thukul, “Leuwigajah”.
“...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah,
jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri”
(“Leuwigajah”)
Potret dalam kutipan puisi tersebut menggambarkan bahwa kecelakaan dalam
bekerja seperti “jari jempol yang putus” merupakan salah satu hal yang sering
ditemukan dalam kehidupan kerja buruh. Di sisi lain, kecelakaan buruh dalam
bekerja seperti yang tergambarkan dalam kutipan puisi tersebut juga
menggambarkan ketidakpedulian pihak perusahaan akan keselamatan buruh
dalam bekerja. Sialnya, pihak perusahaan terkesan “lepas tangan” terhadap
98
peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka tidak menanggung biaya berobat buruh atau
memberikan layanan kesehatan pada buruh sehingga buruh harus menanggung
ongkos berobatnya sendiri seperti yang tergambarkan dalam puisi “Leuwigajah”
tersebut.
Berbagai potret tentang ketidakpedulian pihak perusahaan terhadap
kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja yang terdapat dalam puisi-puisi
Thukul ini merupakan salah satu dari berbagai tindak kesewenangan yang
diterima oleh sebagian besar buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping
itu, puisi-puisi tersebut juga merupakan bentuk protes Wiji Thukul terhadap
perusahaan dan pemerintah saat itu agar lebih memerhatikan jaminan kesehatan
dan keselamatan buruh dalam bekerja yang kala itu merupakan hal yang sangat
langka.
4. Ancaman Pemecatan dan Tindakan Sewenang-wenang dari Pihak
Perusahaan
Dalam dunia kerja, para buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga
dihadapkan oleh permasalahan ancaman pemecatan dan berbagai tindakan
sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Ancaman pemecatan ini seringkali
dijadikan “senjata” oleh pihak perusahaan untuk meredam aksi buruh yang ingin
melakukan protes. Bahkan, sangat sering buruh kala itu langsung dipecat setelah
melakukan aksi protes. Potret pemecatan yang dilakukan oleh pihak perusahan
terhadap buruh yang berani melakukan aksi protes ini dapat dilihat pada puisi Wiji
Thukul yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan”.
“ di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah, ya karena upah
...
juga ada neni
kawan bariah
bekas buruh pabrik kaus kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat, ya dia dipecat
kesalahannya: karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
99
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul memotret peristiwa seorang buruh
bernama Sofyan yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja karena ia
melakukan mogok kerja sebagai bentuk aksi protesnya menuntut perbaikan upah
yang rendah. Selain itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” juga digambarkan
seorang buruh bernama Neni yang juga dipecat setelah ia menolak untuk
diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Apa yang dialami oleh
Sofyan dan Neni ini mewakili kondisi yang dialami oleh para buruh Indonesia
pada masa Orde Baru. Mereka, para buruh seringkali diperlakukan sewenang-
wenang oleh pihak perusahaan.
Rupanya, berbagai permasalahan yang dihadapi oleh buruh masing-masing
saling berkaitan. Seperti apa yang tergambarkan dalam kasus Sofyan dalam puisi
“Satu Mimpi Satu Barisan” misalnya, upah rendah yang diterima buruh
berdampak pada kondisi ekonomi buruh yang sulit. Para buruh kemudian
melakukan aksi protes yang di antaranya berupa mogok kerja. Pihak perusahaan
yang merasa berkuasa atas buruh tidak mau ambil pusing, mereka segera memecat
para buruh yang berani melakukan aksi protes. Sebenarnya, hal ini juga
menggambarkan betapa lemahnya posisi tawar (bargaining power) buruh
terhadap pihak perusahaan dalam dunia industri sehingga terkesan nasib buruh
sepenuhnya berada di tangan pihak perusahaan dan apa pun yang dilakukan oleh
buruh selalu berdampak buruk bagi mereka.
Potret tentang buruh yang berhadapan dengan ancaman pemecatan dari
pihak perusahaan juga tergambarkan dalam puisi “Leuwigajah”.
“...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah,
jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri”
mogok? pecat!
seperti nyabuti bulu ketiak”
(“Leuwigajah”)
100
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menceritakan berbagai tindakan
sewenang-wenang yang sering diterima oleh buruh buruh seperti lembur paksa
sampai pagi, larangan bagi buruh yang hendak buang air kecil, dan bagi buruh
yang berani melakukan aksi mogok sebagai bentuk protes maka harus siap
dipecat. Betapa mudah dan ringannya pihak perusahaan memecat buruh, bahkan
Thukul mengibaratkan layaknya “nyabuti bulu ketiak”.
Selain ancaman pemecatan, buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga
dihadapkan oleh berbagai tindakan sewenang-wenang yang jauh melebihi batas
kewajaran. Misalnya, seperti pelarangan bagi buruh untuk buang air kecil ketika
jam kerja seperti yang tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul
“Leuwigajah” tersebut. Apa yang digambarkan Thukul tentang tindakan
sewenang-sewenang pihak perusahaan terhadap buruh seperti pelarangan buang
air kecil bagi buruh saat jam kerja ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang
dialami oleh buruh Indonesia sekarang ini. Buruh Indonesia saat ini pun juga
kerap menghadapi permasalahan yang hampir sama, yakni pembatasan waktu
“berkunjung ke toilet”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Women Research Institute
terhadap beberapa buruh perempuan di daerah Jakarta dan sekitarnya ternyata
masih sering ditemukan beberapa tindakan sewenang-wenang yang dialami buruh
seperti bekerja sambil berdiri selama tujuh jam, pembatasan waktu “berkunjung”
ke toilet (buruh hanya diberikan waktu 5 menit), kerja lembur yang berat dan
melelahkan serta jatah makan siang gratis yang kurang layak.177
Potret tindakan sewenang-wenang yang sering dilakukan pihak perusahaan
pada buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dapat dilihat pada puisi Wiji
Thukul yang berjudul “Edan”.
“sudah dengar cerita mursilah?
edan!
dia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tidak dibawa pulang
177
Arif Mundayat, Aris, op. cit., h. 117
101
padahal mukena dia taruh
di tempat kerja
edan!
sudah diperas
dituduh maling pula”
(“Edan”)
Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengisahkan seorang buruh perempuan
bernama Mursilah yang dituduh maling oleh pihak perusahaan karena
mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikannya sebagai mukena. Mursilah
dituduh maling, walaupun sebenarnya mukena itu tidak ia bawa pulang ke rumah,
melainkan ia simpan di tempat kerja. Apa yang dialami oleh Mursilah ini
mewakili buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang seringkali mengalami
tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Peristiwa seorang buruh yang
dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikan mukena ini
bagi Thukul merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Begitu tidak masuk
akalnya bagi Thukul sehingga ia mengambarkan peristiwa itu denga satu kata:
edan!
Ada kalanya tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak
perusahaan terhadap buruh adalah berupa pemotongan gaji yang alasannya kurang
masuk akal. Hal ini terlihat pula dalam puisi “Edan”.
“...
sudah dengar cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!”
(“Edan”)
Potret mengenai buruh bernama Santi yang gajinya dipotong karena istirahat yang
digambarkan oleh Thukul tersebut merupakan gambaran tindakan sewenang-
wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Buruh dilarang
untuk istirahat, jika berani untuk istirahat maka harus siap mendapatkan hukuman
berupa pemotongan gaji. Tindakan sewenang-wenang ini merupakan sebuah
tindakan eksploitasi terhadap buruh, padahal, seperti yang dikatakan oleh Eggi
102
Sudjana, salah satu hak buruh adalah hak jaminan bagi buruh untuk beristirahat.178
Maka dari itu, apabila terdapat kasus buruh yang gajinya dipotong karena
beristirahat, hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran atas hak dasar
buruh.
Berbagai potret dalam beberapa puisi Wiji Thukul tentang ancaman
pemecatan dan tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan terhadap buruh
Indonesia pada masa Orde Baru sekali lagi menandakan betapa lemahnya posisi
buruh dalam dunia industri. Hal ini membuat pihak perusahaan bisa sebebasnya
melakukan tindakan eksploitasi terhadap buruh dengan pekerjaan yang berat,
penambahan waktu bekerja yang dilakukan secara paksa, bahkan hingga
pemotongan gaji bagi buruh yang sekadar istirahat. Berbagai tindakan ini, seperti
yang sudah peneliti katakan sebelumnya adalah bentuk tindakan pelanggaran
terhadap hak-hak dasar buruh.
5. Kondisi Ekonomi Buruh
Potret kondisi kehidupan ekonomi buruh tidak luput dalam pengamatan
Thukul yang kemudian ia gambarkan dalam puisi-puisinya. Setidaknya, ada 10
puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang
menampilkan potret kehidupan ekonomi buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut
adalah “Kuburan Purwoloyo”, “Suti”, “Lumut”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki
yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Nonton Harga”, “Leuwigajah”,
“Leuwigajah Masih Haus”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”.
Secara umum, potret kehidupan buruh yang Thukul gambarkan adalah
potret kehidupan ekonomi buruh yang serba sulit: tinggal di rumah kontrakan
yang sempit, hidup penuh hutang, terhimpit oleh kebutuhan hidup sehari-hari,
tidak punya biaya untuk berobat, tidak ada biaya untuk menyekolahkan anak.
Keadaan ekonomi buruh yang sulit seperti yang digambarkan oleh Thukul dalam
puisinya di antara disebabkan oleh faktor upah rendah yang mereka terima yang
tidak sesuai dengan banyaknya kebutuhan hidup sehari-hari yang harus mereka
penuhi.
178
Sudjana, Eggi, op. cit., h.40
103
Potret kehidupan buruh yang sulit Thukul gambarkan dalam puisinya yang
berjudul “Teka-teki yang Ganjil”.
“...
ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur
di rumah kontraknya
dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor
gelas minum dan wajan penggoreng
mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami
dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Betapa sulitnya kehidupan ekonomi buruh yang digambarkan oleh Thukul dalam
puisi tersebut sehingga untuk sekedar membeli panci, kompor, gelas minum, dan
wajan penggoreng saja mereka tidak mampu. Akhirnya, para buruh harus
memendam keinginan mereka yang ”sederhana” itu, sebab mereka harus
menghadapi persoalan hidup lain dalam kehidupan mereka sebagai buruh seperti
beban pekerjaan yang berat yang membuat mereka keletihan, upah yang rendah,
dan hutang-hutang mereka.
Melalui puisi “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, Wiji Thukul juga
menggambarkan ketimpangan antara upah buruh yang rendah dengan tingginya
biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan menggunakan
personifikasi, Thukul mengibaratkan upah buruh yang rendah tersebut dalam
waktu singkat telah “berubah” menjadi odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di
warung yang harus mereka lunasi.
Keadaan ekonomi buruh yang penuh dengan kesulitan membuat para
buruh juga harus bertahan hidup dengan bertempat tinggal di rumah-rumah
kontrakan yang sempit. Thukul menggambarkan kondisi tempat tinggal buruh ini
dalam puisinya yang berjudul “Nonton Harga”.
“...
ayo kita pulang
104
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijaul di pelelangan”
(“Nonton Harga”)
Melalui kutipan puisi tersebut, Thukul menggambarkan potret tempat tinggal
buruh yang berupa rumah kontrakan yang sempit sehingga para buruh harus tidur
berhimpit-himpitan, “berderet-deret seperti ikan tangkapan yang siap dijual di
pelelangan”. Thukul secara lebih detil menggambarkan potret rumah kontrakan
tempat tinggal buruh pada puisi “Leuwigajah”.
“...
mesin-mesin terus membangunkan
buruh-buruh tak berkamar mandi
tidur jejer-berjejer alas tikar
tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
lantai-dinding dingin, lembab, pengap”
(“Leuwigajah”)
Wiji Thukul menggambarkan dalam puisi “Leuwigajah” tersebut sebuah potret
rumah kontrakan buruh yang sempit, tidak berkamar mandi, tidak memiliki
jendela, lembab, pengap, dan hanya terdapat tikar sebagai alas bagi buruh untuk
tidur. Betapa sulitnya kehidupan buruh bahkan membuat buruh seringkali harus
hidup berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain.
Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Lumut”.
“...
kini los rumah yang dulu kami tempati
jadi bangunan berpagar tembok tinggi
aku jalan lagi
melewati rumah yang pernah disewa
riyanto buruh kawan sekerjaku
ke mana lagi dia sekeluarga
rumah itu kini gantian disewa
keluarga mbak nina
kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi
tanah-tanah kosong sudah dibeli orang
dalam gang
setengan gelap, setengah terang
aku menemukan perumpamaan:
kita ini lumut
menempel di tembok-tembok bangunan
105
berkembang di pinggir-pinggir selokan
di musim kemarau kering
diterjang banjir
tetap hidup”
(“Lumut”)
Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang hidupnya
harus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain.
Di sisi lain, dalam puisi tersebut Thukul juga memotret perkembangan daerah
tempat tinggal buruh yang mulai berubah, tanah-tanah lapang mulai berkurang
dan berganti dengan rumah-rumah pemukiman warga. Sementara, buruh sendiri
terus hidup berpindah-pindah.
Salah satu hal yang menarik adalah dalam puisi “Lumut” tersebut Thukul
mengumpamakan para buruh seperti “lumut yang hidup di tembok-tembok
bangunan, berkembang di pinggir-pinggir selokan, di musim kemarau kering
diterjang banjir”. Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi Lumut mengenai
keadaan buruh yang tinggal di pinggir-pinggir selokan dan “akrab” dengan banjir
ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kenyataan hidup Thukul yang tinggal di
sebuah daerah di Solo yang memang sering banjir. Bahkan Thukul bersama
istrinya, Sipon pernah mendirikan sebuah sanggar kesenian yang bernama
Sanggar Suka Banjir. Nama itu dipilih oleh Thukul dan Sipon karena daerah
tempat sanggar itu berada memang sering terjadi banjir.179
Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tinggal di rumah
kontrakan yang sempit ternyata juga masih dialami oleh buruh Indonesia pada
sekarang ini. Hal ini terlihat pada hasil penelitian tentang pendidikan dan
kesadaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap
seorang buruh perempuan bernama Ika. Ika yang merupakan seorang buruh yang
bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung itu mendeskripsikan kamar kos
tempat ia tinggal.
“Ika bertempat tinggal di sebuah kamar di lantai dua seluas 2 x 3 meter
persegi, berdinding kayu tripleks dan berlantai keramik. Kamar mandi
terletak di lantai satu. Luasnya sekitar 1 x 1 meter persegi dengan lantai
179
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.109
106
semen berlubang-lubang, tidak ada bak mandi dan mesin pompa air,
Untuk Wudlu atau buang air kecil, Ika harus menimba air di sumur. Ika
satu kamar indekos dengan seorang kawan yang bekerja di Graffika. Tidak
ada ranjang tidur apalagi kasur. Mereka tidur beralas tikar lusuh.”180
Potret yang Thukul gambarkan dalam puisinya yang berjudul “Leuwigajah”
mengenai “buruh tak berkamar mandi yang tidur jejer-berjejer beralas tikar tanpa
jendela, tanpa cahaya matahari dengan lantai-dinding dingin, lembab, dan
pengap” itu ternyata dalam kenyataannya juga dialami oleh buruh Indonesia saat
ini seperti Ika.
Keadaan ekonomi buruh yang sulit ternyata juga berdampak terhadap
ketidakmampuan para buruh untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan
keluarga seperti kesehatan dan pendidikan. Beberapa puisi yang terdapat dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput menggambarkan potret buruh tersebut.
Misalnya, seperti potret yang tergambarkan dalam puisi “Suti”.
“...
suti meludah
dan lagi-lagi darah
suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat”
(“Suti”)
Apa yang dialami oleh Suti dalam puisi tersebut merupakan gambaran yang
mewakilkan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang karena kondisi ekonomi
yang begitu sulit sehingga tidak mampu berobat ke rumah sakit. Kondisi ekonomi
yang sulit bahkan juga menyebabkan mereka kesulitan untuk menyekolahkan
anak-anak mereka. Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Teka-teki yang
Ganjil”.
“...
akhirnya kami bertanya
mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
180
Arif Mundayat, Aris, op. cit., h.39
107
untuk meyekolahkan anak-anaknya
padahal mereka tiap hari menghasilkan
berton-ton barang”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan potret buruh yang
kesulitan menyekolahkan anak-anaknya karena kondisi ekonomi yang sulit.
Kondisi ekonomi buruh yang sulit, yang membuat mereka kesulitan
menyekolahkan anak mereka ini rupanya tidak sebanding dengan beratnya beban
pekerjaan yang mereka lakukan. Sebagai buruh, mereka bekerja tidak kurang
delapan jam dan menghasilkan berton-ton barang. Hal ini membuat mereka
bertanya-tanya mengapa sedemikian sulitnya mereka untuk sekedar membeli
sekaleng cat dan meyekolahkan anak mereka, padahal, mereka telah bekerja
begitu keras. Pertanyaan-pertanyaan buruh tentang ketimpangan antara kondisi
ekonomi mereka dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung itu
diumpamakan oleh Thukul serupa sebuah “teka-teki yang ganjil”.
Berbagai potret kehidupan ekonomi buruh Indonesia pada masa Orde Baru
yang digambarkan oleh Thukul dalam beberapa puisinya dalam Nyanyian Akar
Rumput menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi buruh Indonesia saat itu begitu
sulit. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sempit, terdesak oleh kebutuhan
sehari-hari yang harus dipenuhi, terhimpit oleh hutang-hutang yang harus mereka
lunasi.
6. Campur Tangan Militer dalam Tindakan Represif Terhadap Buruh
Dalam dunia industri, posisi pihak perusahaan cenderung lebih
diuntungkan dibandingkan dengan posisi buruh. Bukan hanya itu, dalam praktik
pihak perusahaan juga seringkali melakukan tindak sewenang-wenang seperti
upah rendah yang tidak sepadan dengan beban pekerjaan buruh yang berat dan
bila ada protes dari buruh, pihak perusahaan melakukan tindakan represif dengan
cara mengerahkan militer untuk menindasnya. Negara membiarkan hal itu terjadi.
Potret mengenai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan
dengan cara mengerahkan militer ini tidak luput dari pengamatan Wiji Thukul.
Dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam Nyanyian Akar Rumput, ia
menampilkan potret berbagai tindakan represif yang dialami oleh buruh Indonesia
108
pada Masa Orde Baru. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Terus Terang
Saja”.
“...
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?”
(“Terus Terang Saja”)
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti Jugun
Ianfu, perempuan-perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu tentara
Jepang ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia. Buruh seperti Jugun Ianfu
yang tak henti-hentinya diperkosa, dieksploitasi oleh perusahaan multinasional,
namun dibayar dengan gaji yang murah. Apabila para buruh menuntut kenaikan
upah, maka mereka harus siap ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Potret yang sama juga Thukul tampilkan dalam puisi “Bukan Kata Baru”.
“...
sudah lama, sudah lama
sudah lama kita saksikan
buruh mogok dia telepon kodim, pangdam
datang senjata sebatalion
kita dibungkam”
(“Bukan Kata Baru”)
Dalam kutipan puisi tersebut, Thukul menampilkan potret buruh yang melakukan
aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah yang kemudian ditanggapi oleh pihak
perusahaan dengan cara menelepon militer (Kodim, Pangdam) untuk meredam
aksi buruh.
Potret yang ditampilkan Thukul dalam puisi “Bukan Kata Baru” tersebut
rupanya benar-benar pernah dialami oleh Thukul. Pada Desember 1995, Thukul
yang saat itu merupakan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) menggalang
aksi mogok buruh PT. Sri Rejeki Isman Textile (Sritex). Aksi mogok kerja yang
diikuti oleh belasan ribu buruh itu berakhir ricuh setelah secara tiba-tiba, aparat
yang bertugas untuk menjaga aksi itu secara membabi-buta menyerbu para buruh.
109
Dalam peristiwa itu, Thukul berhasil ditangkap dan secara bertubi-tubi aparat
memukulnya. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Thukul itu bahkan
mengakibatkan Thukul mengalami cedera serius pada bagian mata kanannya dan
harus dioperasi.
Aksi represif yang dilakukan oleh aparat terhadap para buruh seperti yang
terjadi dalam aksi mogok kerja buruh PT. Sritex ini bukanlah satu-satunya yang
terjadi dalam sejarah dunia perburuhan di Indonesia. Pada Januari 1995 misalnya,
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Pusat Perjuangan
Buruh Indonesia (PPBI) mengadakan aksi gabungan di halaman pabrik PT. Ganda
Guna Indonesia, Tangerang untuk mendukung tuntutan kenaikan upah buruh.
Dalam aksi tersebut sebanyak 14 aktivis SMID dan PPBI ditangkap aparat dan
dibawa ke Makodim Tangerang.181
Berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang
bekerjasama dengan militer terhadap buruh merupakan gambaran betapa
tersudutnya posisi buruh. Pihak perusahaan melakukan cara apapun untuk
menunjukkan dominasinya terhadap buruh. Pihak perusahaan melakukan tindakan
sewenang-wenang, mengeksploitasi buruh dan membayar mereka dengan gaji
yang murah. Bagi para buruh yang berani menentang, pihak perusahaan
mengerahkan aparat untuk membungkam para buruh. Sialnya, negera melakukan
pembiaran terhadap berbagai tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan
kepada buruh ini. Hal ini menunjukkan ketidakpedulian dan ketidakberihakkan
pemerintah saat itu (Orde Baru) terhadap buruh. Mereka lebih berpihak pada
pihak perusahaan yang merupakan penguasa modal.
Jika ditelisik lebih mendalam, salah satu alasan yang agaknya dapat
diterima mengapa pihak penguasa lebih berpihak pada pihak perusahaan adalah
karena banyak perusahaan yang memperkerjakan buruh tersebut merupakan milik
penguasa atau kerabat dari penguasa itu sendiri. Misalnya saja PT. Sri Rejeki
Isman Textile (Sritex) yang pada Desember 1995 diprotes oleh belasan ribu
buruhnya terkait upah yang rendah dan berbagai tindakan sewenang-wenang
terhadap buruh itu disinyalir sahamnya merupakan milik Tien Soeharto (Istri
181
Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, (Depok: Desantara, 2004), h.148
110
Soeharto) dan Harmoko (Ketua Umum Golkar pada saat itu).182
Hal ini
menandakan bahwa kedekatan pihak perusahaan dengan penguasa dan militer
menjadi salah satu faktor yang membuat tersudutnya posisi buruh Indonesia pada
masa Orde Baru.
Meskipun berada dalam posisi yang tersudut dan terus dilakukan secara
sewenang-wenang, hal itu tidak membuat buruh menyerah. Mereka terus
melakukan perlawanan, memperjuangkan hak mereka. Potret buruh yang tetap
semangat dan bertekad untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka meskipun
senantiasa dihadang oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan aparat ini
digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”.
“...
di mana-mana ada eman
di bandung, solo, jakarta, tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Wiji Thukul melalui puisi tersebut menampilkan sebuah tekad para buruh untuk
tetap bersatu memperjuangkan hak dan nasib mereka. Meskipun berkali-kali
dihadang oleh tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan yang dibantu oleh
aparat dan dibiarkan oleh negara, mereka tetap bertekad untuk memperjuangkan
diri mereka. Tekad para buruh itu begitu kuat dan seperti yang dikatakan oleh
Thukul, “tidak bisa dibungkam kodim, tidak bisa dibungkam popor senapan”.
7. Buruh dan Situasi Politik Zaman Orde Baru
Buruh dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya
saling memengaruhi satu sama lain. Perkembangan politik suatu negara dari
waktu ke waktu senantiasa memengaruhi kehidupan buruh baik sebagai warga
negara maupun sebagai pihak yang terlibat dalam industri. Di sisi lain, jumlah dan
potensi buruh yang besar juga dapat memengaruhi jalannya perpolitikan di suatu
negara, bahkan terkadang buruh sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik itu
182
Miftahudin, op.cit., h.148
111
sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terjadi
permasalahan dalam dunia perburuhan suatu negara, maka sudah barang tentu ada
pengaruh politik yang mendorong terjadinya permasalahan tersebut.
Persoalan perburuhan di Indonesia pada masa Orde Baru bersifat
kompleks dan tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga
berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara (termasuk di dalamnya
militer). Mengenai permasalahan buruh Indonesia tersebut, Eggi Sudjana
mengemukakan pendapatnya berikut ini.
Hal ini (permasalahan buruh Indonesia) berkaitan dengan politik
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan
distribusi. Juga karena Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang memang
membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini
adalah intervensi militer akibat politik stabilitas dan dominasi militer
dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.
Akibat politik pembangunan, HIP, dan Dwi Fungsi ABRI, posisi dan
kekuatan tawar buruh menjadi lemah bahkan dalam banyak hal menjadi
tak berdaya. Buruh mengalami dehumanisasi atau keterasingan, bekerja
dalam bayang-bayang represi dan ketakutan, sehingga kesadaran kelasnya
menjadi tereduksi dalam kesadaran hamba yang harus patuh dan menerima
upah fasilitas apa adanya.
Berbagai permasalahan buruh yang dipengaruhi oleh situasi politik ini
tidak luput oleh pengamatan Wiji Thukul. Ia senantiasa memotret potret buruh
dalam situasi politik kala itu (Orde Baru) melalui puisi-puisinya. Misalnya, dalam
puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Wiji Thukul menampilkan potret buruh Indonesia
dalam situasi pemilihan umum yang kerap hanya dimanfaatkan oleh pihak yang
ingin meraih kekuasaan.
“...
kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
tiga partai politik yang ada kami simpulkan
tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka
kami tertawa karena menyadari
bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau”
(“Teka-teki yang Ganjil”)
112
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan bahwa pada masa
Orde Baru, buruh cenderung sekadar dimanfaatkan oleh tiga partai politik yang
ada kala itu. Partai politik memanfaatkan suara buruh dalam pemilihan umum
untuk mendapatkan tampuk kekuasaan. Akan tetapi, apapun yang dilakukan oleh
partai politik tetap tidak mengubah keadaan buruh yang tersudutkan karena
memang antara partai politik dan buruh tidak ada hubungannya. Partai politik
hanya memanfaatkan buruh demi kepentingan kelompoknya.
Potret buruh yang kerap dimanfaatkan oleh partai politik ini di sisi lain
menggambarkan bahwa sebenarnya buruh mempunyai potensi dan pengaruh
dalam dunia politik, dan partai politik menyadari akan hal itu. Berkaitan dengan
potensi buruh dalam dunia politik, Budiman Sudjatmiko (aktivis yang merupakan
mantan ketua Partai Rakyat Demokratik) mengatakan bahwa dalam era
kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan
hanya sebab jumlah mereka yang banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi
dan politik mereka.183
Seperti yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, buruh sebenarnya
memiliki potensi bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga potensi ekonomi dan
politik yang dapat memainkan peranan penting dalam proses berjalannya
perpolitikan sebuah negara. Potensi buruh ini disadari betul oleh pihak-pihak yang
berambisi untuk mendapatkan kekuasaan sehingga pada saat-saat pemilihan
umum, buruh seringkali didekati oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi, setelah
pemilu usai, buruh ataupun rakyat kecil yang sebelumnya terus didekati oleh
pihak-pihak yang ingin meraih kekuasaan itu justru dilupakan jasa-jasanya. Potret
ini Thukul tampilkan dalam puisi “Kuburan Purwoloyo”.
“...
di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggung utang
di sini
gali-gali
183
Budiman Sudjatmiko,”Arti Penting Buruh”, (Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor
18/V/Juli 2000), h. 2.
113
tukang becak
orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih hanya janji
di sini kubaca kembali
sejarah kita belum berubah”
(“Kuburan Purwoloyo”)
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan sebuah potret buruh,
tukang becak, dan orang kampung yang kerap dilupakan jasa-jasanya seusai
pemilu. Setelah berhasil mendapatkan tampuk kekuasaan, pihak yang berambisi
untuk mendapatkan tampuk kekuasaan itu mulai melupakan janji-janjinya yang
disampaikan kepada rakyat ketika kampanye pemilu. Keadilan masih sekadar
janji. Hasil pemilu tidak mengubah kehidupan buruh dan rakyat kecil lainnya
yang tetap sulit.
Kembali ke persoalan potensi buruh dalam hal ekonomi dan politik yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Potensi buruh yang besar ini, rupanya, bukan hanya
membuat para buruh kerap dimanfaatkan oleh partai politik, tetapi di sisi lain juga
ditakuti oleh kaum borjuis. Hal ini membuat seluruh mesin politik yang
menunjang kepentingan kaum borjuis kerap melakukan tindakan represi terhadap
buruh, baik secara ideologis maupun fisik dengan berbagai cara, dengan tujuan
untuk meredam kekuatan buruh yang bagi mereka dapat melemahkan posisi
mereka (kaum borjuis dan mesin politik yang menunjang kepentingan mereka).
Budiman Sudjatmiko lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia, secara
ideologis represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era
Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk
represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh.
Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan
secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.184
184
Ibid.
114
Potret berbagai tindakan represi terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak
perusahaan yang kerap bekerjasama dengan aparat dan dibiarkan oleh negara pada
masa Orde Baru itu beberapa kali ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam puisi-
puisinya seperti yang sudah peneliti jelaskan pada bagian sebelumnya. Buruh
dibungkam. Apabila ada buruh yang berani melakukan aksi protes, maka ia harus
siap ditangkap dan dijebloskan penjara (dalam puisi “Terus Terang Saja”).
Situasi politik pada masa Orde Baru memang penuh dengan cerita
pembungkaman terhadap rakyat yang dilakukan oleh penguasa. Penguasa kala itu
dengan berbagai cara berusaha untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan
dalih menjaga stabilitas negara, penguasa membungkam siapa saja yang berani
mengritik atau memprotes pemerintah. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk
berpendapat. Potret zaman Orde Baru yang penuh dengan cerita pembungkaman
ini Thukul tampilkan dalam puisi “Terus Terang Saja”.
“...
sekarang demokrasi sudah 100%
bulat
tanpa debat
tapi aku belum menjadi aku sejati
karena aku dibungkam oleh demokrasi 100%
yang tidak bisa salah”
(“Terus Terang Saja”)
Wiji Thukul dalam kutipan puisi tersebut menggunakan istilah “demokrasi 100%
yang tidak bisa salah” untuk menggambarkan situasi politik pada zaman Orde
Baru. Penguasa kala itu memang sering menggembor-gemborkan pelaksanaan
demokrasi dengan jargon “Demokrasi Pancasila-nya”. Akan tetapi, dalam
kenyataannya justru penguasalah yang mematikan demokrasi. Kebebasan
berpendapat dan berserikat merupan hal yang sangat mahal kala itu.
Potret zaman Orde Baru yang di dalamnya kebebasan berpendapat dan
berserikat menjadi hal yang sangat mahal itu Thukul tampilkan dalam puisi
“Harimau”.
“...
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
115
dan berserikat
harus mencantumkan azasnya
kalau nekat
tembak ditempat”
(“Harimau”)
Seperti yang Thukul gambarkan dalam puisi tersebut, pada masa Orde
Baru kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan hal yang sangat mahal.
Penguasa tidak membiarkan satu pihak pun bisa mengganggu kursi kekuasaannya.
Maka dari itulah mereka berusaha membungkan kebebasan berpendapat dan
berserikat rakyat. Mereka khawatir jika rakyat diberi kesempatan untuk
berpendapat dan berserikat maka rakyat yang semakin kuat dapat menggoyang
kursi kekuasaan mereka. Pembungkaman kebebasan berpendapat dan berserikat
ini juga dialami oleh buruh. Buruh pada masa Orde Baru tidak diberi kesempatan
untuk menyampaikan pendapat, apalagi protes. Jika ada buruh yang berani
melakukan aksi protes, maka ia harus siap ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Untuk membungkam buruh, pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat
melakukan berbagai tindakan represif terhadap buruh dan hal ini dibiarkan oleh
negara. Wiji Thukul memotret keadaan tersebut dalam puisinya yang berjudul
“Terus Terang Saja”.
“...
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?”
(“Terus Terang Saja”)
Potret buruh yang ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam kutipan puisi
tersebut selain menggambarkan tindakan represif yang dilakukan terhadap buruh
juga menggambarkan betapa buruh tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan
pendapat. Buruh yang menuntut kenaikan upah−yang sebenarnya merupakan hal
yang wajar apabila melihat betapa beratnya beban pekerjaan yang mereka
116
tanggung ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini menunjukkan tidak
adanya kebebasan berpendapat bagi buruh.
Disamping kebebasan berpendapat, buruh juga tidak diberi kebebasan
dalam hal berserikat. Agaknya, penguasa kala itu khawatir apabila para buruh
berserikat maka kekuatan buruh yang semakin kuat dapat mengganggu kekuasaan
pihak penguasa. Untuk meredam aktivitas buruh dalam berserikat, penguasa
membentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Akan tetapi, serikat pekerja
yang merupakan satu-satunya organisasi pekerja yang diakui (dibentuk) oleh
pemerintah ini tampak lebih bernuansa politik. Kehadirannya hanya untuk
“menjaga keamanan” kebijakan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dan
industri dalam konteks kebijakan ekonomi makro yang menekankan pertumbuhan
ekonomi. Kiprahnya selama ini tidak memperlihatkan adanya upaya untuk
memperjuangkan kepentingan substansial kaum pekerja sehingga keberadaannya
tidak banyak memberikan harapan cerah bagi masa depan kehidupan kaum
pekerja.185
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang ternyata tidak memperlihatkan
keberpihakkannya kepada kaum buruh, membuat buruh menjadi apatis terhadap
serikat pekerja ini. Bahkan, dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul menampilkan
potret buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka (buruh)
bukan ada di mulut politikus, bukan di meja SPSI.
“...
hari depan buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di meja SPSI”
(“Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”)
Tekad buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka
ada di tangan mereka sendiri menunjukkan bahwa di situasi zaman Orde Baru
yang senantiasa menyudutkan mereka, mereka tetap berusaha memperjuangkan
diri mereka. Potret dalam kutipan puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
SPSI” menunjukkan bahwa buruh sudah tidak peduli lagi atau bahkan apatis
185
Eggi Sudjana, op.cit., h. 11
117
terhadap SPSI sebagai satu-satunya serikat pekerja yang dibentuk dan diakui oleh
pemerintah kala itu.
Buruh dengan segala potensinya memiliki peranan yang penting dalam
jalannya perpolitikan sebuah negara. Potensi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan. Akan tetapi, setelah
mereka berhasil berkuasa, maka buruh kembali dilupakan. Di sisi lain, potensi
buruh ini juga ditakuti oleh kaum borjuis. Kaum berjuis yang cenderung dekat
dengan penguasa dan dibantu oleh militer kerap melakukan tindakan represif
untuk meredam kekuatan buruh. Hal itu dilakukan sebab mereka takut akan
kekuatan dan potensi buruh.
Sementara itu, pihak penguasa yang menyadari akan potensi dan kekuatan
buruh mematikan kebebasan berpendapat dan berserikat buruh. Rupanya, mereka
khawatir apabila buruh diberi kebebasan berpendapat dan berserikat maka buruh
yang semakin kuat dapat mengganggu tampuk kekuasaan pihak penguasa. Akan
tetapi, tampaknya berbagai tindakan represif dan pembungkaman kebebasan
buruh dalam berpendapat serta berserikat tidak menyurutkan tekad buruh untuk
memperjuangkan diri mereka secara mandiri.
D. Implikasi Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh terhadap Pembelajaran
Sastra di Sekolah
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau sederajat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
tidak hanya memandang dan menitikberatkan pada aspek pengetahuan saja,
melainkan juga memerhatikan dan menekankan pada aspek penerapan nilai-nilai
yang terdapat dalam pengetahuan.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembahasan
puisi-puisi Wiji Tukul tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar
Rumput ini diimplikasikan dalam pokok bahasan sastra yang terdapat dalam mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, yakni kelas XII semester ganjil.
Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) yang dipilih dalam pokok pembahasan sastra
tersebut adalah memahami struktur lahir dan batin yang membangun puisi serta
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
118
Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput memotret keadaan yang dialami oleh buruh Indonesia,
khususnya buruh pada masa Orde Baru. Persoalan perburuhan di Indonesia pada
masa Orde Baru bersifat kompleks dan tidak hanya berasal dari hubungan
industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi
negara (termasuk di dalamnya militer).
Berbagai permasalahan kerap menghampiri buruh dalam dunia
pekerjannya. Mulai dari upah rendah yang tak sepadan dengan beratnya beban
pekerjaan, lembur paksa, kesehatan dan keselamatan dalam bekerja yang tidak
dipedulikan, ancaman pemecatan serta berbagai tindakan sewenang-wenang
lainnya yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Buruh cenderung diperlakukan
seperti budak yang daya dan tenaganya dieksploitasi semaksimal mungkin oleh
pihak perusahaan demi meraih keuntungan. Berdasarkan hal tersebut, maka buruh
melakukan berbagai aksi protes yang seringkali berupa aksi mogok kerja untuk
memperjuangkan hak mereka. Akan tetapi, pihak perusahaan yang cenderung
lebih dekat dengan penguasa kala itu acapkali bekerja sama dengan aparat untuk
meredam aksi buruh dengan berbagai tindakan represif. Tindakan represif
terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan aparat serta dibiarkan
oleh negara ini sering mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak buruh, baik yang
berupa luka fisik hingga kematian. Ambil contoh adalah apa yang terjadi pada
kasus Marsinah, seorang buruh perempuan yang ditemukan tewas akibat siksaan
yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi
siswa untuk mengetahui dan memahami potret sosial-sejarah yang pernah terjadi
di Indonesia. Lebih khusus, siswa dapat mengetahui dan memahami potret buruh
Indonesia pada masa Orde Baru yang bukan tidak mungkin juga mencerminkan
potret buruh Indonesia saat ini.
Melalui puisi yang berjudul “Suti”, misalnya, siswa dapat mengetahui
bagaimana kondisi kehidupan seorang buruh yang sakit akibat beban pekerjaan
yang begitu berat, namun ia tidak memunyai uang untuk berobat.
119
“...
suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah
suti meludah
dan lagi-lagi darah
suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada biaya”
(“Suti”)
Melalui puisi tersebut, siswa dapat mengetahui dan memahami potret buruh yang
tak mampu berobat ketika tengah sakit. Hal itu terjadi karena ia tidak memunyai
uang. Upahnya sebagai buruh yang rendah tidak mencukupi untuk berobat.
Melalui puisi “Suti”, siswa juga dapat mengetahui bahwa upah buruh yang
rendah, yang tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung
berdampak pada kesulitan yang para buruh hadapi dalam memenuhi kebutuhan
hidup mereka.
“buruh-buruh berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan”
(“Suti”)
Melalui puisi lain yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan”, siswa dapat
mengetahui potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang kurang dipedulikan
kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja oleh pihak perusahaan.
“...
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dirontgen pasti tampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak, ya amoniak”
(“Satu Mimpi Satu Barisan”)
Melalui kutipan puisi tersebut, siswa dapat mengetahui potret buruh yang
mengidap penyakit sebab pihak perusahaan tidak menyediakan alat pelindung
seperti masker bagi buruh yang bekerja. Potret yang ditampilkan oleh Thukul
120
dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut rupanya memang benar-benar
terjadi dalam dunia perburuhan di Indonesia. Misalnya saja, dalam aksi protes
buruh PT. Sritex di Desa Jetis, Sukoharjo pada 11 Desember 1995. Salah satu hal
yang mendorong aksi protes buruh kala itu adalah adanya laporan kasus
kepegawaian tentang buruh yang sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil.
Melalui puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut, siswa juga dapat
membandingkannya dengan kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya
kehidupan buruh pada masa Orde Baru. Melalui proses pembandingan antara
potret buruh dalam puisi dan kenyataan yang benar-benar terjadi, siswa juga dapat
memahami bahwa puisi tidak bisa dipisahkan oleh kenyataan yang terjadi dalam
kehidupan. Selalu ada latar belakang peristiwa yang mendasari lahirnya sebuah
puisi. Dengan itu, siswa dapat memahami bahwa puisi dapat juga berfungsi
sebagai media perekam sejarah.
Puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian
Akar Rumput juga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi siswa untuk
mengetahui dan memahami peristiwa sejarah di Indonesia. Misalnya, dalam puisi
yang berjudul “Terus Terang Saja”, siswa dapat mengetahui sejarah yang terjadi
di zaman Orde Baru yang dengan pembungkaman. Pada zaman itu, kebebasan
berpendapat adalah suatu hal yang sangat mahal.
“...
sekarang demokrasi sudah 100%
bulat
tanpa debat
tapi aku belum menjadi aku sejati
karena aku dibungkam oleh demokrasi 100%
yang tidak bisa salah”
(“Terus Terang Saja”)
Sementara itu, melalui puisi yang berjudul “Harimau” siswa dapat
mengetahui berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh penguasa atas nama
stabilitas negara. Penguasa kala itu seringkali menggunakan berbagai tindakan
kekerasan untuk meredam pihak-pihak yang dianggapnya dapat mengganggu
kursi kekuasaannya sekalipun harus dengan cara menghilangkan nyawa.
“...
121
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
dan berserikat
harus mencantumkan azasnya
kalau nekat
tembak ditempat”
(“Harimau”)
Pembahasan berbagai puisi Wiji Thukul tentang buruh ini berkaitan
dengan analisis terhadap struktur yang membangun puisi, baik lahir maupun batin.
Pembahasan mengenai keterkaitan antarunsur puisi dengan realita sosial dapat
memberikan pengetahuan dan wawasan kepada siswa untuk menganalisis lebih
seksama. Melalui analisis ini jugalah para siswa diarahkan untuk berpikir kritis,
logis, dan sistematis, sehingga dengan sikap kritis tersebut siswa mampu menarik
benang merah di antara puisi-puisi yang dikaji dengan realitas sosial secara
sistematis dan dapat diterima oleh akal.
Dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan mempraktikkan
empat keterampilan bahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa menyimak penjelasan dari guru terkait
cara dan langkah-langkah menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai
menyimak penjelasan guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis
puisi, mereka ditugaskan membaca puisi yang hendak dikaji, yakni puisi-puisi
Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar
Rumput. Kemudian, siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam struktur puisi.
Setelah semua unsur selesai diidentifikasi, para siswa menyampaikan hasil
analisisnya tersebut melalui bahasa tulis (menulis) dan bahasa lisan (berbicara).
122
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis terhadap puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh
Indonesia pada Masa Orde Baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput
serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput menampilkan berbagai potret
buruh Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Melalui 22 puisi
tersebut, Wiji Thukul menampilkan berbagai potret keadaan buruh seperti
potret kehidupan buruh yang sulit dengan upah yang tak sepadan dengam
beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Thukul juga beberapa
kali menampilkan potret buruh yang kerap diperlakukan secara sewenang-
wenang oleh pihak perusahaan seperti lembur paksa hingga 24 jam,
pemotongan gaji dengan alasan yang tak jelas hingga pelarang buang air
kecil saat jam kerja. Buruh cenderung diperlakukan seperti budak,
dieksploitasi dayanya dengan cara dipekerjakan secara semaksimal
mungkin dengan upah yang seminimal mungkin. Berbagai tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh
ini membuat para buruh tersadar bahwa mereka harus melakukan protes
untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka pun melakukan berbagai
aksi protes yang seringkali dilakukan melalui aksi mogok kerja. Pihak
perusahaan yang takut rugi akibat proses produksi yang tidak berjalan
akhirnya melakukan berbagai cara untuk meredam aksi protes buruh.
Pihak perusahaan yang kala itu cenderung dekat dengan pihak penguasa
dan dibantu oleh militer melakukan berbagai tindakan represif terhadap
buruh. Tindakan represif yang dilakukan pihak perusahaan yang dibantu
oleh militer terhadap buruh ini dibiarkan oleh penguasa dengan dalih
untuk menjaga stabilitas negara. Tindakan represif yang dilakukan dengan
122
123
cara kekerasan ini seringkali mengakibatkan korban luka bahkan korban
tewas dari pihak buruh. Hal ini menandakan betapa tersudutkannya posisi
buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping menampilkan potret
buruh yang tersudutkan pada masa Orde Baru, Wiji Thukul juga
menampilkan potret semangat dan tekad buruh yang berusaha untuk
memperjuangkan haknya. Potret-potret seperti ini Thukul tampilkan dalam
puisi-puisinya seperti “Satu Mimipi Satu Barisan” dan “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja SPSI”.
2. Melalui pembahasan puisi-puisi Wiji Thukul tentang buruh, siswa dapat
mengetahui dan memahami berbagai potret buruh Indonesia pada masa
Orde Baru. Puisi-puisi tersebut juga dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran bagi siswa untuk mengetahui dan memahami potret sejarah
yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya potret sejarah Indonesia pada
masa Orde Baru. Pembahasan mengenai keterkaitan antarunsur puisi
dengan realita sosial dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
siswa untuk menganalisis lebih seksama. Melalui analisis ini jugalah para
siswa diarahkan untuk berpikir kritis, logis, dan sistematis, sehingga
dengan sikap kritis tersebut siswa mampu menarik benang merah di antara
puisi-puisi yang dikaji dengan realitas sosial secara sistematis dan dapat
diterima oleh akal. Dalam kegiatan menganalisis struktur puisi, siswa akan
mempraktikkan empat keterampilan bahasa, yakni menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Sebelum menganalisis struktur puisi, siswa
menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah
menganalisis struktur puisi. Setelah para siswa selesai menyimak
penjelasan guru mengenai cara dan langkah-langkah menganalisis puisi,
mereka ditugaskan membaca puisi yang hendak dikaji, yakni puisi-puisi
Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian
Akar Rumput. Kemudian, siswa mengidentifikasi unsur-unsur dalam
struktur puisi. Setelah semua unsur selesai diidentifikasi, para siswa
menyampaikan hasil analisisnya tersebut melalui bahasa tulis (menulis)
dan bahasa lisan (berbicara).
124
B. Saran
1. Dua puluh dua puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini dapat dijadikan referensi dalam
pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dikarenakan dalam 22 puisi
tersebut terdapat nilai-nilai sosial dan sejarah yang dapat dipelajari oleh
peserta didik. Melalui 22 puisi tersebut, selain siswa dapat mengetahui
potret buruh Indonesia pada Masa Orde Baru, siswa juga dapat mengetahui
berbagai konflik sosial yang terjadi dalam kehidupan buruh pada masa itu.
2. 22 puisi Wiji Thukul tentang buruh yang terdapat dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran
dalam menganalisis karya sastra. Melalui kegiatan menganalisis karya
sastra berupa 22 puisi Wiji Thukul yang memotret kehidupan buruh pada
masa Orde Baru ini siswa dapat mengetahui hubungan karya sastra dengan
kenyataan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia yang dalam hal ini
adalah potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
125
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan. Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan
Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan. Jakarta: Women Research
Institute, 2008.
Bahtiar, Ahmad dan Aswinarko. Kajian Puisi: Teori dan Praktik. Jakarta:
Unindra Press, 2013.
Budianta, Melani dan Kawan-kawan. Metodologi Sastra. Magelang:
Indonesiatera, 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Centre for
Academic Publising Service, 2013.
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor, 2005.
Ibrahim, Nini. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: UHAMKA
Press, 2009.
Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,
2008.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2009.
Kosasih, E.. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV. Yrama Widya,
2012
Mangunwijaya, Y.B.. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1994
Miftahudin. Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani. Jakarta: Desantara
Utama, 2004
Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta,
2012.
Noor, Rohinah M.. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011.
126
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Rahmanto B.. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kaninus, 1988.
Semi, Atar. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Bandung, 2012
Stauffer, Donald A.. The Nature of Poetry. United States of America: Holt,
Rinehart, and Winston, 1960.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo, 2008.
Sudjana, Eggi. Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering. Jakarta:
Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000.
Sulhan, Najib. Pendidikan Berbasis Karakter.Surabaya: JePe Press Media Utama,
2009
Thukul, Wiji. Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2014.
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo. Teka-teki Orang Hilang.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1997.
Waluyo, Herman J.. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995.
Zainuddin. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta,
1992.
Media Massa
Alex R. Nainggolan, “Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul” dalam
Harian Sinar Harapan, Nomor 4777, Sabtu, 14 Agustus 2004.
Anonim. “Sastra Buruh, Apa Itu”, dalam Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh
Edisi 1 Agustus 2000
Anonim, “Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi” dalam Jurnal Pusat Dokumentrasi
Sastra Buruh Edisi 1 Agustus 2000.
EDS. “Wiji Thukul Masih Dicari”dalam Harian Republika, Tahun VIII Nomor
131, Senin, 22 Mei 2000.
Gunadi, Iwan. “Kritik Itu Lahir di Pabrik”dalam Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra
Buruh edisi 1 Agustus 2000.
127
KNI. “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”
dalam Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989.
LHS. “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh” dalam Majalah Pembebasan
Nomor 18/V/Juli/2000.
Mandey, Berthus dan Adrian Prasetya S.. “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar:
Jangan Tanyakan Teror”, dalam Harian Suara Pembaruan Tahun XVII
Nomor 6263, Minggu, 12 Desember 2004.
Sawega, Ardus M. dan Maria Hartiningsih. “Sipon” dalam Harian Kompas Tahun
38 Nomor 179, Minggu, 29 Desember 2002.
Sudjatmiko, Budiman. ”Arti Penting Buruh” dalam Majalah Pembebasan Nomor
18/V/Juli 2000
Tim Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo. “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30
September-6 Oktober 2013.
Ton. “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman” dalam Warta
Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000.
Media Online
Anonim, “Buruh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh, diunduh pada Kamis, 10
April 2014 Pukul 20:07.
Anonim, https://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=148, Diunduh
pada Kamis, 10 April Pukul 20:15.
Anonim. “Orde Baru”, http://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru, diunduh pada
Kamis, 10 April 2014 Pukul 20:23.
Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul diunduh pada 26 Maret 2014
pukul 21:33.
Tabel II
Penggunaan Imaji dalam Puisi Wiji Thukul tentang Buruh
No. Judul Puisi Jenis Imaji Keterangan Imaji
1 “Catatan Malam” Imaji auditif Anjing nyalak
2 “Catatan Malam” Imaji visual Lampuku padam
3 “Catatan Malam” Imaji visual Aku
nelentang//sendirian//kepal
a di bantal
4 “Catatan Malam” Imaji visual Gelap makin pekat
5 “Sajak kepada Bung
Dadi”
Imaji visual Rumah-rumah yang
berdesakkan
6 “Sajak kepada Bung
Dadi”
Imaji visual Buruh-buruh berangkat
pagi pulang sore
7 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Imaji visual Anjing-anjing yang taat
beribadah//menyingkiri
para penganggur//yang
mabuk minuman murahan
8 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Imaji visual Raksasa yang
membisu//yang anak-
anaknya terus dirampok
9 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Imaji visual Dihibur oleh film-film
kartun amerika
10 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Imaji visual Perempuannya disetor//ke
mesin-mesin industri
11 “Lingkugan Kita si Mulut
Besar”
Imaji visual Lingkungan kita si mulut
besar//sakit perut dan terus
berak//mencret oli dan
logam//busa dan plastik
12 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Imaji visual Zat-zat pewarna yang
merangsang//menggerogot
i tenggorokan bocah-
bocah//yang mengulum es
13 “Kuburan Purwoloyo” Imaji visual Di sini terbaring//mbok
cip//yang mati di rumah
14 “Kuburan Purwoloyo” Imaji visual Di sini terbaring//pak
pin//yang mati terkejut//
karena rumahnya digusur
15 “Kuburan Purwoloyo” Imaji visual Di tanah ini terkubur
orang-orang yang//
sepanjang hidupnya
memburuh
16 “Lumut” Imaji visual Kini los rumah yang dulu
kami tempati//jadi
bangunan berpagar tembok
tinggi
17 “Lumut” Imaji visual Aku jalan lagi//melewati
rumah yang pernah
disewa//riyanto
18 “Lumut” Imaji visual Kampung ini tak memiliki
tanah lapang lagi
19 “Lumut” Imaji visual Tanah-tanah kosong sudah
dibeli orang
20 “Lumut” Imaji visual Dalam gang//setengah
gelap setengah terang
21 “Lumut” Imaji visual Kita ini lumut//menempel
di tembok-tembok
bangunan
22 “Lumut” Imaji visual Berkembang di pinggir-
pinggir selokan
23 “Lumut” Imaji visual Di musim kemarau kering
24 “Lumut” Imaji visual Diterjang banjir
25 “Lumut” Imaji auditif Pikiranku menggumam
26 “Suti” Imaji visual Pucat ia duduk dekat
ambennya
27 “Suti” Imaji auditif Batuknya memburu
28 “Suti” Imaji visual Dahaknya berdarah
29 “Suti” Imaji visual Suti kusut masai
30 “Suti” Imaji auditif Di benaknya menggelegar
suara mesin
31 “Suti” Imaji visual Kuyu matanya
32 “Suti” Imaji visual Buruh-buruh yang
berangkat pagi//pulang
petang
33 “Suti” Imaji visual Suti meraba wajahnya
sendiri
34 “Suti” Imaji visual Tubuhnya makin susut
saja
35 “Suti” Imaji visual Makin kurus menonjol
tulang pipinya
36 “Suti” Imaji auditif Suti batuk-batuk lagi
37 “Suti” Imaji visual Suti meludah//lagi-lagi
darah
38 “Suti” Imaji visual Suti memejamkan mata
39 “Suti” Imaji auditif Suara mesin kembali
menggemuruh
40 “Suti” Imaji visual Bayangan kawannya
bermunculan
41 “Suti” Imaji visual Suti menggeleng
42 “Suti” Imaji visual Suti meludah//dan lagi-lagi
darah
43 “Suti” Imaji visual Suti merenungi nasib
dokter
44 “Kampung” Imaji visual Bila pagi pecah
45 “Kampung” Imaji auditif Mulailah sumpah serapah
46 “Kampung” Imaji visual Anak dipisuhi ibunya
47 “Kampung” Imaji auditif Suami istri ribut-ribut
48 “Kampung” Imaji visual Bila pagi pecah
49 “Kampung” Imaji auditif Mulailah sumpah serapah
50 “Kampung” Imaji auditif Kiri-kanan ribut
51 “Kampung” Imaji auditif Anak-anak menangis
52 “Kampung” Imaji visual Suami istri bertengkar
53 “Kampung” Imaji auditif Silih berganti dengan radio
54 “Kampung” Imaji visual Orang-orang
bergegas//rebutan sumur-
sumur
55 “Kampung” Imaji visual Lalu gadis-gadis umur
belasan//keluar kampung
menuju pabrik//pulang
petang//bermata kusut
keletihan
56 “Kampung” Imaji visual Rumahnya di pinggir
selokan
57 “Kampung” Imaji visual Bermain di muka
genangan sampah
58 “Kampung” Imaji visual Di belakang tembok-
tembok//menyumpal gang-
gang
59 “Kampung” Imaji visual Mencari tanah lapang
60 “Jangan Lupa,
Kekasihku”
Imaji visual Jika terang bulan//kita
jalan-jalan
61 “Jangan Lupa,
Kekasihku”
Imaji visual Yang tidur di depan
rumah//di pinggir
selokan//itu tetangga kita
62 “Jangan Lupa,
Kekasihku”
Imaji visual Buruh-buruh
perempuan//yang matanya
letih//jalan sama-sama
denganmu//berbondong-
bondong
63 “Jangan Lupa,
Kekasihku”
Imaji visual Yang menarik becak itu
64 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Seharian berdiri di pabrik
65 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Ini sudah malam
66 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Apa celana dan kutangmu
digeledah lagi
67 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Menyelipkan moto
68 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Apa kamu masuk
salon//potong rambut lagi
69 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kawan-kawan sudah
datang
70 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kita sudah berkumpul di
sini
71 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kita akan latihan
sandiwara lagi
72 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kerjanya cuma mbordir
saputangan di rumah
73 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Ia pun Cuma penjahit
pakaian biasa//di
perusahaan konveksi milik
tante lili
74 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kami menunggumu di sini
75 “Ayolah, Warsini” Imaji visual Kita akan latihan
sandiwara lagi
76 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Pada malam itu kami
berkumpul
77 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji auditif Masing-masing berbicara
tentang keinginannya yang
sederhana
78 “Teka-teki yang Ganjil Imaji visual Ingin bikin dapur//di
rumah kontraknya
79 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Mereka juga belum punya
panci, kompor//gelas
minum dan wajan
penggoreng
80 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Odol, sampo, sewa rumah
81 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Teh hangat
82 “Teka-teki yang Ganjil Imaji visual Letak tempat tidur dan
gantungan pakaian
83 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Kamar mandi
84 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Harga semen dan cat
tembok
85 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Bekerja tak kurang dai 8
jam
86 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Diperlakukan seperti
kerbau
87 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Sekaleng cat
88 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Mereka tiap hari
menghasilkan berton-ton
barang
89 “Teaka-teki yang Ganjil” Imaji visual Salah seorang dari kami
berdiri//memandang kami
satu persatu
90 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji auditif Kemudian
bertanya://adakah barang-
barang yang kalian
pakai//yang tidak dibikin
oleh buruh
91 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Mengamati//barang-barang
yang ada di sekitar
kami//neon, televisi, radio,
baju, buku
92 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Menghitung upah kami
93 “Teka-teki yang Ganjil” Imaji visual Odol-sampo-sewa rumah
94 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Jualan bakso
95 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Si lakinya terbaring di
amben kontrakkan
96 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Terbaring pucat
97 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Lembur sampai pagi
98 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Pulang lungai lemas
ngantuk letih
99 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Membungkuk 24 jam
100 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Luntang-lantung cari
kerjaan
101 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Bini hamil tiga bulan
102 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Diperah seperti sapi
103 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Tak bisa dibungkam
kodim
104 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Tak bisa dibungkam popor
senapan
105 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Satu barisan
106 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Kemarin kami datang
107 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Imaji visual Umpama dirontgen pasti
tampak//isi dadaku ini
pasti rusak
108 “Nonton Harga” Imaji visual Keluar keliling kota
109 “Nonton Harga” Imaji visual Tak beli apa//lihat-lihat
saja
110 “Nonton Harga” Imaji visual Duren//apel-pisang-
rambutan-anggur
111 “Nonton Harga” Imaji visual Orang cantik
112 “Nonton Harga” Imaji visual Di kota kita banyak
gedung bioskop
113 “Nonton Harga” Imaji visual Kita bisa nonton posternya
114 “Nonton Harga” Imaji visual Ke diskotek
115 “Nonton Harga” Imaji visual Di depan pintu
116 “Nonton Harga” Imaji auditif Detak musik
117 “Nonton Harga” Imaji auditif Denting botol
118 “Nonton Harga” Imaji auditif Lengking dan tawa
119 “Nonton Harga” Imaji
penciuman
Aroma minyak wangi luar
negeri
120 “Nonton Harga” Imaji visual Kita keliling kota
121 “Nonton Harga” Imaji visual Peresmian hotel
baru//berbintang
lima//dibuka pejabat
tinggi//dihadiri artis-artis
ternama
122 “Nonton Harga” Imaji visual Mobil para tamu berderet-
deret//satu kilometer
panjangnya
123 “Nonton Harga” Imaji visual Hari sudah malam
124 “Nonton Harga” Imaji visual Pulang//ke rumah
kontrakan
125 “Nonton Harga” Imaji visual Tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
126 “Nonton Harga” Imaji visual Ke pabrik//kembali
bekerja
127 “Nonton Harga” Imaji visual Sarapan nasi bungkus
128 “Terus Terang Saja” Imaji visual Tepung terigu
129 “Terus Terang Saja” Imaji visual Gumpalan kapas
130 “Terus Terang Saja” Imaji visual Cabe busuk
131 “Terus Terang Saja” Imaji visual Kayu gelondongan
132 “Terus Terang Saja” Imaji visual Hutan-hutan//yang kini
botak
133 “Terus Terang Saja” Imaji visual Gergaji mesin
pembangunan
134 “Terus Terang Saja” Imaji visual Kaki kursikah
135 “Terus Terang Saja” Imaji visual Botol kosong
136 “Terus Terang Saja” Imaji visual Rakyat lebak yang harus
bekerja bakti mencabuti
rumput//halaman
kadipaten//karena tuan
pejabat gubernemen mau
lewat
137 “Terus Terang Saja” Imaji auditif Rakyat yang berdebar-
debar di sekitar hari
proklamasi//menyimak
pidato soekarno
138 “Terus Terang Saja” Imaji visual Jugun ianfu yang tak
henti-henti diperkosa
139 “Terus Terang Saja” Imaji visual Yang menuntut kenaikan
upah//ditangkap//dijeblosk
an ke penjara
140 “Terus Terang Saja” Imaji visual Tidak bermulut
141 “Harimau” Imaji visual Orang mendirikan
kandang//untuk
memelihara harimau
142 “Harimau” Imaji visual Harimau itu pun beranak-
pinak
143 “Harimau” Imaji visual Di dalam tempurung
kepalanya
144 “Harimau” Imaji visual Aku telah membakarnya
145 “Harimau” Imaji visual Orang-orang kebingungan
146 “Harimau” Imaji auditif Suara tawa
147 “Harimau” Imaji visual Daincam dengan undang-
undang subversi
148 “Harimau” Imaji visual Para terdakwa dimasukkan
ke bui dan diadili
149 “Harimau” Imaji visual Hukuman mati
150 “Harimau” Imaji auditif Suara tawa itu tak juga
berhenti
151 “Harimau” Imaji auditif Orang yang berbicara//
tertawa//berpendapat
152 “Harimau” Imaji visual Berserikat
153 “Harimau” Imaji visual Tembak di tempat
154 “Harimau” Imaji visual Hanya hakimlah yang
kelihatannya tak berpura-
pura
155 “Harimau” Imaji auditif Kalau semua rakyat
tertawa
156 “Harimau” Imaji visual Buruh-buruh mogok kerja
157 “Leuwigajah” Imaji visual Leuwigajah berputar//dari
pagi sampai pagi
158 “Leuwigajah” Imaji visual Jalan-jalan gemetar
159 “Leuwigajah” Imaji visual Debu-debu
mebubung//dari asap
knalpot kendaraan
pengangkut
160 “Leuwigajah” Imaji auditif Mesin-mesin terus
membangunkan buruh-
buruh
161 “Leuwigajah” Imaji visual Tidur berjejer-jejer alas
tikar
162 “Leuwigajah” Imaji visual Tanpa jendela//tanpa
cahaya matahari
163 “Leuwigajah” Imaji taktil Lantai-dinding dingin,
lembab, pengap
164 “Leuwigajah” Imaji auditif Lidah-lidah penghuni
rumah kontrak//terus
menyemburkan cerita
buruk
165 “Leuwigajah” Imaji visual Lembur paksa sampai pagi
166 “Leuwigajah” Imaji visual Jari jempol putus
167 “Leuwigajah” Imaji visual Kecelakaan-kecelakaan
168 “Leuwigajah” Imaji visual Kencing dilarang
169 “Leuwigajah” Imaji visual Mogok
170 “Leuwigajah” Imaji visual Pecat//seperti nyabuti bulu
ketiak
171 “Leuwigajah” Imaji visual Tubuh-tubuh muda//terus
mengalir ke leuwigajah
172 “Leuwigajah” Imaji visual Seperti buah-buah disedot
vitaminnya
173 “Leuwigajah” Imaji visual Mesih-mesin terus
menggilas
174 “Leuwigajah” Imaji visual Memerah tenaga murah
175 “Leuwigajah” Imaji visual Satu kali dua puluh empat
jam//masuk, absen, tombol
ditekan
176 “Leuwigajah” Imaji visual Truk-truk pengangkut
produksi//meluncur terus
ke pasar
177 “Leuwigajah” Imaji visual Cerobong asap terus
mengotori langit
178 “Leuwigajah” Imaji visual Limbah mengental selokan
berwarna
179 “Leuwigajah” Imaji visual Leuwigajah terus minta
darah tenaga muda
180 “Leuwigajah” Imaji visual Leuwigajah makin
panas//berputar dan terus
menguras//tenaga-tenaga
murah
181 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Leuwigajah tak mau
berhenti//dari pagi sampai
pagi
182 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Bus-mobil pengangkut
tenaga murah bikin
gemetar jalan-jalan
183 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Debu-debu tebal
membubung
184 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji auditif Mesin-mesin tak mau
berhenti//membangunkan
buruh
185 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Tanpa jendela, tanpa
cahaya matahari
186 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Jejer-berjejer alas tikar
187 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji taktil Lantai-dinding dingin,
lembab, pengap
188 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji auditif Lidah-lidah penghuni
rumah kontrak//terus
bercerita buruk
189 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Lembur paksa sampai pagi
190 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Tubuh mengelupas
191 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Jari jempol putus
192 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Mogok
193 “Leuwigajah Masih Imaji visual Pecat//seperti nyabuti bulu
Haus” ketiak
194 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Tubuh-tubuh muda terus
mengalir ke leuwigajah
195 “Leuwigajah Masih
haus”
Imaji visual Seperti buah-buah disedot
vitaminnya
196 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Mesin-mesin terus
menggilas//memerah
tenaga murah
197 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Satu kali dua puluh empat
jam//masuk absen tombol
ditekan
198 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Truk-truk pengangkut
produlsi//meluncur terus
ke pasar
199 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Leuwigajah tak mau
berhenti//dari pagi sampai
pagi
200 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Asap cerobong terus kotor
201 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Selokan air limbah
berwarna
202 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Mesin-mesin tak mau
berhenti//terus minta darah
tenaga murah
203 “Leuwigajah Masih
Haus”
Imaji visual Leuwigajah makin
panas//berputar dan terus
menguras
204 “Makin Terang Bagi
Kami”
Imaji visual Tempat pertemuan kami
sempit//bola lampu kecil,
cahaya sedikit
205 “Makin Terang Bagi
Kami”
Imaji visual Di langit bintang kelap-
kelip
206 “Makin Terang Bagi
Kami”
Imaji visual Kegelapan disibak tukar
pikiran
207 “Makin Terang Bagi
Kami”
Imaji visual Cuma kacang dan air putih
208 “Makin Terang Bagi
Kami”
Imaji visual Mesin berhenti
209 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Buruh mogok//dia telepon
kodim, pangdam
210 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Datang senjata sebatalion
211 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Dia terus makan//tetes, ya,
tetes-tetes keringat kita
212 “Bukan Kata Baru” Imaji auditif Rasakan kembali
jantung//yang gelisah
memukul-mukul marah
213 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Dia hidup//bahkan
berhadap-hadapan
214 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Bertarung
215 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Lengan dan otot kau-aku
216 “Bukan Kata Baru” Imaji visual Jika mesin-mesin berhenti
217 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Cahaya yang terang-
benderang
218 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Jalan-jalan sempit//di
kampungku yang gelap
219 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Sorot mata para penjaga
220 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Lampu-lampu yang
mengitariku
221 “Seorang Buruh Masuk Imaji visual Aku melihat kakiku, jari-
Toko” jarinya bergerak
222 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku melihat sendal jepitku
223 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku menoleh ke kiri ke
kanan
224 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji
penciuman
Bau-bau harum
225 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji taktil Bulu tubuhku berdiri
merasakan desir//kias
angin
226 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Kipas angin yang berputar-
putar
227 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Badanku makin mingkup
228 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku melihat barang-
barang
229 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku menghitung upahku
230 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Menggerakkan mesin-
mesin di pabrik
231 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku melihat harga-harga
kebutuhan di etalase
232 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Aku melihat
bayanganku//makin letih
233 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Imaji visual Terus diisap
234 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Berkereta api kelas
ekonomi murah
235 “Bukan di Mulut Imaji visual Tak dapat kursi
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
melengkung tidur di
kolong
236 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Pas tepat di kepala kami
bokong-bokong
237 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Kiri kanan telapak kaki-
tas-sandal-sepatu
238 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Tak apa di pertemuan
ketemu lagi kawan
239 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Pulang tengah malam
dapat bus rongsok
240 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Sepanjang jalan hujan
kami jongkok di tempat
duduk//nempel jendela
241 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Bocor//bocor
242 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Sepanjang jalan tangan
terus mengelapi//agar
pakaian tak basah
243 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji taktil Dingin//dingin
244 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji auditif Kepala dan dada masih
penuh nyanyi panas
245 “Bukan di Mulut Imaji visual Bukan di mulut politikus
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
246 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Imaji visual Bukan di mejas SPSI
247 “Edan” Imaji visual Dia dituduh maling
248 “Edan” Imaji visual Mengumpulkan serpihan
kain
249 “Edan” Imaji visual Dia sambung-sambung
jadi mukena
250 “Edan” Imaji visual Padahal mukena dia
taruh//di tempat kerja
251 “Edan” Imaji visual Sudah diperas//dituduh
maling juga
252 “Edan” Imaji visual Karena istirahat gaji
dipotong
253 “Edan” Imaji visual Karena main kartu//lima
kawannya langsung
dipecat
Keterangan:
Jumlah imaji visual : 219
Jumlah imaji auditif : 28
Jumlah imaji taktil : 4
Jumlah imaji penciuman : 2
Total imaji : 253
Tabel III
Penggunaan Majas dalam Puisi Wiji Thukul tentang Buruh
No. Judul Puisi Jenis Majas Keterangan Majas
1 “Catatan Malam” Metafora Kukibaskan pikiran
2 “Catatan Malam” Sinekdoke pars
pro toto
Pikiran menerawang
3 “Sajak kepada Bung
Dadi”
Sinisme Ini tanah airmu//di sini kita
bukan turis
4 “Sajak kepada Bung
Dadi”
personifikasi Rumah-rumah yang
berdesakkan
5 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Sarkasme Lintah-lintah//yang
kenyang mengisap darah
keringat tetangga
6 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Simbolik Lingkungan Kita si Mulut
Besar
7 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Sarkasme Anjing-anjing yang taat
beribadah
8 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Simbolik Raksasa yang membisu
9 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Sinisme Perempuannya disetor ke
mesin-mesin industri yang
membayar murah
10 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
Sarkasme Lingkunag kita si mulut
besar//sakit perut dan terus
berak//mencret oli dan
logam//busa dan plastik
11 “Lingkungan Kita si
Mulut Besar”
personifikasi Zat-zat pewarna yang
merangsang//menggerogoti
tenggorokan bocah-bocah
12 “Kuburan Purwoloyo” Sinisme Di sini terbaring mbok cip
yang mati di rumah karena
ke rumah sakit tak ada
biaya
13 “Kuburan Purwoloyo” Sinisme Di sini terbaring pak pin
yang mati terkejut karena
rumahnya digusur
14 “Kuburan Purwoloyo” Sinisme Di sini terkubur orang-
orang yang sepanjang
hidupnya memburuh
terisap dan menanggung
utang
15 “Kuburan Purwoloyo” Sinisme Di sini gali-gali tukan
becak orang-orang
kampung yang berjasa
dalam setiap pemilu
terbaring dan keadilan
masih saja hanya janji
16 “Lumut” Asosiasi Gang pikiranku
17 “Lumut” Metafora Kita ini lumut
18 “Gunung Batu” Sinekdoke totem
pro parte
Desa yang melahirkan
laki-laki
19 “Gunung Batu” Asosiasi Memikul kerja
20 “Gunung Batu” Sinekdoke pars
pro toto
Di rumah ditunggu mulut-
perut anak-istri
21 “Gunung Batu” Asosiasi Dipagari hutan
22 “Gunung Batu” personifikasi pantai-pantai cantik
23 “Suti” personifikasi Batuknya memburu
24 “Suti” Hiperbola Suti kusut masai
dibenaknya menggelegar
suara mesin
25 “Suti” personifikasi Dicekik kebutuhan
26 “Suti” Hiperbola Suti meraba wajahnya
sendiri//tubuhnya makin
susut saja//makin kurus
menonjol tulang
pipinya//loyo
tenaganya//bertahun-tahun
diisap kerja
27 “Suti” Repetisi Tak ada uang//tak ada obat
28 “Suti” Sinisme Suti menggeleng//tahu ia
dibayar murah
29 “Suti” Hiperbola Suara mesin kembali
menggemuruh
30 “Kampung” Asosiasi Bila pagi pecah
31 “Kampung” Asosiasi Menyumpal gang-gang
32 “Kampung” Asosiasi Bila pagi pecah
33 “Kampung” Hiperbola Anak-anak terus lahir
berdesakkan
34 “Kampung” Hiperbola Berputar dalam bayang-
bayang//mencari tanah
lapang
35 “Ayolah, Warsini” Repetisi Apa kamu sudah pulang
kerja, warsini?//
Apa kamu tidak letih?//
...
Apa celana dan kutangmu
digeledah lagi?//
..
Apa kamu bingung hendak
membagi gaji?//
...
Apa kamu masuk salon
potong rambut lagi?
36 “Ayolah, Warsini” Repetisi Jangan malu, warsini//
Jangan takut dikatakan
kemayu
37 “Teka-teki yang Ganjil” Asosiasi Keinginan itu dengan
cepat terkubur//oleh
keletihan kami
38 “Teka-teki yang Ganjil” Asosiasi Upah kami dalam waktu
singkat telah
berubah//menjadi odol-
sampo-sewa rumah
39 “Teka-teki yang Ganjil” personifikasi Pembicaraan meloncat ke
soal harga semen
40 “Teka-teki yang Ganjil” Simile Diperlakukan seperti
kerbau
41 “Teka-teki yang Ganjil” personifikasi Pertanyaan itu mendorong
kami
42 “Teka-teki yang Ganjil” Simbolik Teka-teki yang ganjil
43 “Teka-teki yang Ganjil” personifikasi Teka-teki itu selalu
muncul
44 “Teka-teki yang Ganjil” Sinisme Kekuatan macam apakah
yang telah mengisap
tenaga dan hasil kerja
kami?
45 “Teka-teki yang Ganjil” Sinisme Tiga partai politik yang
ada kami simpulkan//tak
ada hubungannya sama
sekali dengan
kami:buruh//mereka hanya
memanfaatkan suara
kami//demi kedudukan
mereka
46 “Teka-teki yang Ganjil” Ironi Kami tertawa karena
menyadari//bertahun-tahun
kami dikibuli
47 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Sinekdoke totem
pro parte
Dipecat perusahaan
48 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Repetisi Karena upah, ya, karena
upah
49 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
personifikasi Dihantam tipus
50 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Repetisi Dia dipecat, ya, dipecat
51 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Repetisi Karena amoniak, ya,
amoniak
52 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Repetisi Membungkuk 24 jam, ya
24 jam
53 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Simile Terus diperah seperti sapi
54 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
personifikasi Tak bisa dibungkam popor
senapan
55 “Satu Mimpi Satu
Barisan”
Pars pro toto Tak bisa dibungkam
kodim
56 “Nonton Harga” Repetisi Tak perlu ongkos tak perlu
biaya
57 “Nonton Harga” Simile Tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
58 “Terus Terang Saja” Asosiasi Apakah aku ini tepung
terigu atau gumpalan
kapas atau cabe busuk
yang merosot harganya
59 “Terus Terang Saja” Personifikasi Hutan-hutan yang kini
botak
60 “Terus Terang Saja” Sinekdoke pars
pro toto
Hutan-hutan yang botak
karena hph dan gergaji
mesin pembangunan
61 “Terus Terang Saja” Asosiasi Apakah aku ini//kaki
kursikah//atau botol
kosong
62 “Terus Terang Saja” Asosiasi Apakah aku ini si Bagero
yang sudah merdeka
63 “Terus Terang Saja” Sinisme Ataukah tetap jugun ianfu
yang tak henti-hentinya
diperkosa perusahaan
multinasional
64 “Terus Terang Saja” Asosiasi Apakah aku ini Cuma
angka-angka yang menarik
untuk bahan disertasi
65 “Terus Terang Saja” Personifikasi Karena aku dibungkam
oleh demokrasi 100%
66 “Terus Terang Saja” Personifikasi Kemelaratan belum
dilumpuhkan
67 “Harimau” Simbolik Harimau
68 “Harimau” Asosiasi Harimau yang mereka
hidupkan dari ketakutan
69 “Harimau” Hiperbola Aku semakin geli melihat
orang-orang kebingungan
70 “Harimau” Hiperbola Suara tawa itu tak juga
kunjung berhenti
meskipun surat kabar,
radio, dan televisi telah
menyiarkan ke seluruh
sudut negeri
71 “Harimau” Asosiasi Harimau itu pun beranak-
pinak di dalam tempurung
kepalanya
72 “Leuwigajah” Simbolik Leuwigajah
73 “Leuwigajah” Asosiasi Leuwigajah berputar dari
pagi sampai pagi
74 “Leuwigajah” Hiperbola Jalan-jalan gemetar//debu-
debu membubung//dari
knalpot kendaraan
pengangkut
75 “Leuwigajah” personifikasi Mesin-mesin terus
membangunkan buruh-
buruh
76 “Leuwigajah” Sinekdoke pars
pro toto
Lidah-lidah penghuni
rumah kontrak terus
menyemburkan cerita
buruk
77 “Leuwigajah” Simile Mogok? Pecat! Seperti
nyabuti bulu ketiak
78 “Leuwigajah” Simile Tubuh-tubuh muda terus
mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot
vitaminnya
79 “Leuwigajah” personifikasi Mesin-mesin terus
menggilas memeras tenaga
murah
80 “Leuwigajah” personifikasi Cerobong asap terus
mengotori angit
81 “Leuwigajah” Personifikasi Leuwigajah terus minta
darah tenaga muda
82 “Leuwigajah” personifikasi Leuwigajah makin
panas//berputar dan terus
menguras//tenaga-tenaga
murah
83 “Leuwigajah” Repetisi Tanpa jendela, tanpa
cahaya matahari
84 “Leuwigajah Masih
Haus”
Asosiasi Leuwigajah tak mau
berhenti// dari pagi sampai
pagi
85 “Leuwigajah Masih
Haus”
Simbolik Leuwigajah
86 “Leuwigajah Masih
Haus”
Hiperbola Bus-mobil pengangkut
tenaga murah//bikin
gemetar jalan-jalan dan
debu-debu tebal
membubung
87 “Leuwigajah Masih
Haus”
personifikasi Mesin-mesin tak mau
berhenti//membangunkan
buruh
88 “Leuwigajah Masih
Haus”
Repetisi Tanpa jendela, tanpa
cahaya matahari
89 “Leuwigajah Masih
Haus”
Sinekdoke pars
pro toto
Lidah-lidah penghuni
rumah kontrak //terus
bercerita buruk
90 “Leuwigajah Masih Simile Mogok? Pecat ! Seperti
Haus” nyabuti bulu ketiak
91 “Leuwigajah Masih
Haus”
Simile Tubuh-tubuh muda terus
mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot
vitaminnya
92 “Leuwigajah Masih
Haus”
personifikasi Mesin-mesin terus
menggilas//memerah
tenaga murah
93 “Leuwigajah Masih
Haus”
personifikasi Mesin-mesin tak mau
berhenti//terus minta
tenaga muda
94 “Leuwigajah Masih
Haus”
personifikasi Leuwigajah makin
panas//berputar dan terus
menguras
95 “Makin Terang Bagi
Kami”
Asosiasi Pikiran ini makin luas
96 “Makin Terang Bagi
Kami”
Asosiasi Kegelapan disibak tukar
pikiran
97 “Makin Terang Bagi
Kami”
Personifikasi Kesadaran kami tumbuh
menyirami
98 “Makin Terang Bagi
Kami”
Sinekdoke pars
pro toto
Kami adalah nyawa yang
menggerakkannya
99 “Bukan Kata Baru” Asosiasi Sudah lama kita diisap
100 “Bukan Kata Baru” Sinekdoke pars
pro toto
Datang senjata
sebatalion//kita dibungkam
101 “Bukan Kata Baru” Sarkasme Dia terus makan//tetes, ya,
tetes keringat kita
102 “Bukan Kata Baru” Sinekdoke pars
pro toto
Jantung yang gelisah
memukul-mukul marah
103 “Bukan Kata Baru” Asosiasi Darah dan otak jalan
104 “Bukan Kata Baru” Repetisi Bertarung, ya bertarung
105 “Bukan Kata Baru” Asosiasi Berapa harga lengan dan
otot kau-aku
106 “Bukan Kata Baru” Metafora Jembatan ke dunia baru
107 “Bukan Kata Baru” Repetisi Dunia baru, ya, dunia baru
108 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
personifikasi Lampu-lampu yang
mengitariku//seperti
sengaja hendak
menunjukkan dari mana
asalku
109 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Sinekdoke pars
pro toto
Tenagaku//yang
menggerakkan mesin-
mesin di pabrik
110 “Seorang Buruh Masuk
Toko”
Hiperbola Aku melihat
bayanganku//makin
letih//dan terus diisap
111 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Repetisi Bocor//bocor
112 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Repetisi Dingin/dingin
113 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Asosiasi Diri telah ditempa
114 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
SPSI”
Asosiasi Kepala dan dada masih
penuh nyanyi panas
115 “Bukan di Mulut
Politikus Bukan di Meja
Sinisme Hari depan buruh di tangan
kami sendiri//bukan di
SPSI” mulut politikus//bukan di
meja spsi
116 “Edan” Repetisi Padahal mukena tak
dibawa pulang//padahal
mukena dia taruh di tempat
kerja
117 “Edan” Sarkasme Edan//sudah
diperas//dituduh maling
pula
118 “Edan” Asosiasi Pemotongan gaji
119 “Edan” Repetisi Padahal tak pakai
uang//padahal pas waktu
luang
Keterangan
Majas asosiasi : 27
Majas personifikasi : 24
Majas repetisi : 16
Majas sinisme : 11
Majas hiperbola : 10
Majas sinekdoke pars pro toto : 10
Majas simile : 7
Majas simbolik : 6
Majas sarkasme : 5
Majas sinekdoke totem pro parte : 2
Majas ironi : 1
Total : 119
Catatan Malam
anjing nyalak
lampuku padam
aku nelentang
sendirian
kepala di bantal
pikiran menerawang
membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per
jam)
kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
aku ini penyair miskin
tapi kekasihku cinta
cinta menuntun kami ke masa depan
Solo-Kalangan, 23 Februari 88
Sajak kepada Bung Dadi
ini tanahmu juga
rumah-rumah yang berdesakkan
manusia dan nestapa
kampung halaman gadis-gadis muda
buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
dengan gaji tak pantas
kampung orang-orang kecil
yang dibikin bingung
oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan
dibikin tunduk mengangguk
bungkuk
ini tanah airmu
di sini kita bukan turis
Solo-Sorogenen, malam pemilu 87
Lingkungan Kita si Mulut Besar
lingkungan kita si mulut besar
dihuni lintah-lintah
yang kenyang menisap darah keringat tetangga
dan anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri para penganggur
yang mabuk minuman murahan
lingkungan kita si mulut besar
raksasa yang membisu
yang anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur film-film kartun amerika
perempuannya disetor
ke mesin-mesin industri
yang membayar murah
lingkungan kita si mulut besar
sakit perut dan terus berak
mencret oli dan logam
busa dan plastik
dan zat-zat pewarna yang merangsang
menggerogoti tenggorokan bocah-bocah
yang mengulum es
lima puluh perak
Kalangan-Solo, Desember 1991
Kuburan Purwoloyo
di sini terbaring
mbok cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring pak pin
yang mati terkejut
karena rumahnya digusur
di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggug utang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini kubaca kembali:
sejarah kita belum berubah!
Jagalan, Kalangan-Solo, 25 Oktober 88
Lumut
dalam gang pikiranku menggumam
seperti kemarin saja
kini los rumah yang dulu kami tempati
jadi bangunan berpagar tembok tinggi
aku jalan lagi
melewati rumah yang pernah disewa
riyanto buruh kawan sekerjaku
ke mana lagi dia sekeluarga
rumah itu kini gantian disewa
keluarga mbak nina
kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi
tanah-tanah kosong sudah dibeli orang
dalam gang
setengah gelap, setengah terang
aku menemukan perumpamaan:
kita ini lumut
menempel di tembok-tembok bangunan
berkembang di pinggir-pinggir selokan
di musim kemarau kering
diterjang banjir
tetap hidup
kalau keadaan berubah
perumpamaan boleh berubah
menurutmu sendiri
kita ini siapa?
Kalangan-Solo, 8 Februari 91
Gunungbatu
gunungbatu
desa yang melahirkan laki-laki
kuli-kuli perkebunan
seharian memikul kerja
setiap pagi makin bungkuk
dijaga mandor dan traktor
delapan ratus gaji sehari
di rumah ditunggu
mulut-perut anak-istri
gunungbatu
desa yang melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak binatang di hutan lindung
mengambil telur penyu
di pantai terlarang
demi piring nasi
kehidupan sehari-hari
gunungbatu
desa terpencil jawa barat
dipagari hutan
dibatasi pantai-pantai cantik
ujung genteng, cibuaya, pangumbahan
sulit transportasi
-jakarta dekat-
sulit komunikasi
sejarah gunung batu
sejarah kuli-kuli
sejak kolonial
sampai republik merdeka
sejarah gunungbatu
sejarah kuli-kuli
gunung batu
masih di tanah air ini
November 87
Suti
suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya
suti kusut masai
di benaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan
suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun diisap kerja
suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
sri yang mati
karena rusak paru-parunya
suti meludah
dan lagi-lagi darah
suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
suti menggeleng
tahu mereka dibayar murah
suti meludah
dan lagi-lagi darah
suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
Solo, 27 Februari 88
Kampung
bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
anak dipisuhi ibunya
suami-istri ribut-ribut
bila pagi pecah
mulailah sumpah serapah
kiri-kanan ribut
anak-anak menangis
suami-istri bertengkar
silih berganti dengan radio
orang-orang bergegas
rebutan sumur umum
lalu gadis-gadis umur belasan
keluar kampung menuju pabrik
pulang petang
bermata kusut keletihan
menjalani hidup tanpa pilihan
dan anak-anak terus lahir berdesakkan
tak mengerti rumahnya di pinggir selokan
bermain di muka genangan sampah
di belakang tembok-tembok
menyumpal gang-gang
berputar dalam bayang-bayang
mencari tanah lapang
Solo, Sorogenen, Juli 88
Jangan Lupa, Kekasihku
jangan lupa, kekasihku
jika terang bulan
kita jalan-jalan
yang tidur di depan rumah
di pinggir selokan
itu tetangga kita, kekasihku
jangan lupa, kekasihku
jika pukul lima
buruh-buruh perempuan
yang matanya letih
jalan samasama denganmu
berbondong-bondong
itu kawanmu, kekasihku
jangan lupa, kekasihku
pada siapa pun yang bertanya
sebutkan namamu
jangan malu
itu namamu, kekasihku
Kalangan-Solo, 14 Maret 88
Ayolah, Warsini
warsini! warsini!
apa kamu sudah pulang kerja, warsini?
apa kamu tidak letih?
seharian berdiri di pabrik, warsini
apa celana dan kutangmu digeledah lagi?
karena majikanmu curiga
kamu menyelipkan moto
ini malam minggu, warsini
berapa utangmu minggu ini?
apa kamu bingung hendak membagi gaji?
apakah kamu masuk salon
potong rambut lagi?
ayolah, warsini
kawan-kawan sudah datang
kita sudah berkumpul di sini
kita akan latihan sandiwara lagi
kamu nanti jadi mbok bodong
si joko biar jadi rentenirnya
jangan malu, warsini
jangan takut dikatakan kemayu
kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu
sebab mas yanto juga tidak sekolah, warsini
ia pun cuma tukang pelitur
marni juga tidak sekolah
kerjanya cuma mbordir saputangan di rumah
wahyuni juga tidak sekolah
bapaknya tak kuat mbayar uang pangkal sma
partini? ia pun cuma penjahit pakaian jadi
di perusahaan konveksi milik tante lili
ayolah, warsini
ini malam minggu, warsini
kami menunggumu di sini
kita akan latihan sandiwara lagi
Teka-teki yang Ganjil
pada malam itu kami berkumpul dan berbicara
dari mulut kami tidak keluar hal-hal yang besar
masing-masing berbicara tentang keinginannya
yang sederhana dan masuk akal
ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur
di rumah kontraknya
dan itu mengingatkan yang lain
bahwa mereka juga belum punya panci, kompor
gelas minum dan wajan penggoreng
mereka jadi ingat bahwa mereka pernah
ingin membeli barang-barang itu
tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur
oleh keletihan kami
dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
ternyata banyak di antara kami yang masih susah
menikmati teh hangat
karena kami masih pusing bagaimana mengatur
letak tempat tidur dan gantungan pakaian
ada yang sudah lama ingin mempunyai kamar mandi
sendiri
dari situ pembicaraan meloncat ke soal harga semen
dan juga cat tembok yang harganya tak pernah turun
kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum
yang sudah berlalu
tiga partai politik yang ada kami simpulkan
tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
mereka hanya memanfaatkan suara kami
demi kedudukan mereka
kami tertawa karena menyadari
bertahun-tahun kami dikubuli
dan diperlakukan seperti kerbau
akhirnya kami bertanya
mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat
padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam
mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh
untuk menyekolahkan anak-anaknya
padahal mereka setiap hari menghasilkan
berton-ton barang
lalu salah seorang di antara kami berdiri
memandang kami satu per satu kemudian bertanya:
“adakah barang-barang yang kalian pakai
yang tidak dibikin oleh buruh?”
pertanyaan itu mendorong kami untuk mengamati
barang-barang yang ada di sekitar kami
neon, televisi, radio, baju, buku....
sejak itu kami selalu merasa seperti
sedang menghadapi teka-teki yang ganjil
dan teka-teki itu selalu muncul
ketika kami berbicara tentang panci-kompor-
gelas minum-wajan penggorengan
juga di saat kami menghitung upah kami
yang dalam waktu singkat telah berubah
menjadi odol-sampo-sewa rumah
dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi
kami selalu heran dan bertanya-tanya
kekuatan macam apakah yang telah mengisap
tenaga dan hasil kerja kami
Kalangan-Solo, 21 September 93
Satu Mimpi Satu Barisan
di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah, ya, karena upah
di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucat dihantam tipus
juga ada neni
kawan bariah
bekas buruh pabrik kaus kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat, ya dipecat
kesalahannya: karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dirontgen pasti tampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak, ya amoniak
di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemas ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya, 24 jam
di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang-lantung cari kerjaan
bini hamil tiga bulan
kesalahan: karena tak sudi
terus diperah seperti sapi
di mana-mana ada sofyan, ada sodiyah, ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni, ada udin, ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung, solo, jakarta, tangerang
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan
Bandung, 21 Mei 92
Nonton Harga
ayo keluar keliling kota
tak perlu ongkos, tak perlu biaya
masuk toko perbelanjaan tingkat lima
tak beli apa
lihat-lihat saja
kalau pengin durian
apel-pisang-rambutan-anggur
ayo...
kita bisa cium baunya
mengumbar hidung cuma-cuma
tak perlu ongkos, tak perlu biaya
di kota kita
buah macam apa
asal mana saja
ada
kalau pengin lihat orang cantik
di kota kita banyak gedung bioskop
kita bisa nonton posternya
atau ke diskotek
di depan pintu
kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan detak musik
denting botol
lengking dan tawa
bisa juga kaunikmati
aroma minyak wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya saja
ayo...
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya
kota kita memang makin megah dan kaya
tapi hari sudah malam
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan
besok pagi
kita ke pabrik
kembali bekerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa
18 November 96
Terus Terang Saja
apakah aku ini tepung terigu atau gumpalan kapas
atau cabe busuk yang merosot harganya sehingga harus
ditolong
atau kayu gekondongan bahan baku plywood kualitas ekspor
dari hutan-hutan
yang kini botak
karena hph dan gergaji mesin pembangunan keadilan
berkemakmuran
dan kemakmuran berkeadilan
siapakah aku ini
kaki kursikah
atau botol kosong
atau rakyat lebak yang harus bekerja bakti mencabuti
rumput
halaman kadipaten
karena tuan pejabat gubernemen mau lewat
apakah aku ini rakyat yang berdebar-debar di sekitar hari proklamasi
menyimak pidato soekarno
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka?
ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional
yang menuntut kenaikan upah
ditangkap
dan dijebloskan
ke dalam penjara?
apakah aku ini cuma angka-angka
yang menarik untuk bahan disertasi
dan meraih gelar doktor
yang tidak berotak
tidak bermulut
yang secara rutin dilaporkan kepada bank dunia
sebagai jaminan utang
dan landasan
tinggal landas?
sekarang demokrasi sudah 100%
bulat
tanpa debat
tapi aku belum menjadi aku sejati
karena aku dibungkam oleh demokrasi 100%
yang tak bisa salah
namun aku sangsi
karena kemelaratan belum dilumpuhkan
aku sangsi kepada yang 100% benar
terus terang saja!
2 Oktober 96
Harimau
aku pernah menyaksikan
banyak orang mendirikan kandang
untuk memelihara harimau
yang mereka hidupkan dari ketakutan
sehingga harimau itu pun
beranak pinak
di dalam tempurung kepalanya
tapi aku
ogah
memelihara
aku telah membakarnya
dulu
waktu aku bosan
dan tak mau lagi ditakut-takuti
karena geli
dan hari ini
aku semakin geli
melihat orang-orang kebingungan
karena harimau itu
tak mampu mengaum lagi
mungkin karena capek
sebagai gantinya di mana-mana
sekarang aku mendengar semakin banyak
suara tawa
tapi
penguasa
risi rupanya
karena itu orang yang berani tertawa
diancam dengan undang-undang subversi
dan hukuman mati
tapi
meskipun para terdakwa
sudah dimasukkan bui
dan diadili
suara tawa itu tak juga kunjung berhenti
meskipun surat kabar radio dan televisi
telah menyiarkan ke seluruh sudut negeri
bahwa tertawa terbahak-bahak
itu liberal
bertentangan dengan budaya nasional
dan merongrong stabilitas negara
karena itu
orang yang berbicara
tertawa
berpendapat
dan berserikat
harus mencantumkan apa azasnya
kalau nekat
tembak di tempat
sekarang
hanya hakimlah yang kelihatannya tak berpura-pura
karena kalau ia ikutan tertawa
akan punahlah harimau
yang tinggal satu-satunya
karena itu
harus ada yang didakwa
dan dipersalahkan
agar tuntutan jaksa
tampak serius
dan tak menggelikan
sebab
kalai seluruh rakyat tertawa
dan buruh-buruh mogok kerja, apa jadinya?
27 Januari 97
Leuwigajah
leuwigajah berputar
dari pagi sampai pagi
jalan-jalan gemetar
debu-debu membubung
dari knalpot kendaraan pengangkut
mesin-mesin terus membangunkan
buruh-buruh tak berkamarmandi
tidur jejer-berjejer alas tikar
tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
lantai-dinding dingin, lembab, pengap
lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah
jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri
mogok? pecat!
seperi nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali dua puluh empat jam
masuk, absen, tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
cerobong asap terus mengotori langit
limbah mengental selokan berwarna
leuwigajah terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras
tenaga-tenaga murah
Bandung-Solo, 21 Mei-16 Juni
Leuwigajah Masih Haus
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
bus-mobil pengangkut tenaga murah
bikin gemetar jalan-jalan
dan debu-debu tebal membubung
mesin-mesin tak mau berhenti
membangunkan buruh-buruh tak berkamarmandi
tanpa jendela, tanpa cahaya matahari
tidur jejer-berjejer alas tikar
lantai-dinding dingin, lembab, pengap
lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus bercerita buruk:
lembur paksa sampai pagi
tubuh mengelupas, jari jempol putus, upah rendah
mogok? pecat!
seperi nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali dua puluh empat jam
masuk, absen, tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
asap cerobong terus kotor
selokan air limbah berwarna
mesin-mesin tak mau berhenti
terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras
Bandung, 21 Mei 92
Makin Terang Bagi Kami
tempat kami sempit
bola lampu kecil, cahaya sedikit
tapi makin terang bagi kami
tangerang, solo, jakarta kawan kami
kami satu: buruh
kami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit
di langit bintang kelap-kelip
tapi makin terang bagi kami
banyak pemogokan di sana-sini
tempat pertemuan kami sempit
tapi pikiran ini makin luas
makin terang bagi kami
kegelapan disibak tukar pikiran
kami satu: buruh
kami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit
tanpa buah cuma kacang dan air putih
tapi makin terang bagi kami
kesadaran kami tumbuh menyirami
kami satu: buruh
kami punya tenaga
jika kami satu hati
kami tahu mesin berhenti
sebab kami adalah nyawa
yang menggerakkannya
Bandung, 21 Mei 92
Bukan Kata Baru
ada kata baru kapitalis, baru? ah, tidak, tidak
sudah lama kita diisap
bukan kata baru, bukan
kita dibayar murah
sudah lama, sudah lama
sudah lama kita saksikan
buruh mogok dia telepon kodim, pangdam
datang senjata sebatalion
kita dibungkam
tapi tidak, tidak
dia belum hilang kapitalis
dia terus makan
tetes, ya, tetes-tetes keringat kita
dia terus makan
sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul-mukul marah
karena darah dan otak jalan
kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap-hadapan
kau-aku buruh, mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung
sama-sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama-sama
sudah lama, ya, sejak mula
kau-aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau-aku
kau tahu berapa upahmu
kau tahu
jika mesin-mesin berhenti
kau tahu berapa harga tenagamu
mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru, ya, dunia baru
Tebet, 9 Mei 92
Seorang Buruh Masuk Toko
masuk toko
yang pertama kurasa adalah cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap
sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku, jari-jarinya bergerak
aku melihat sendal jepitku
aku menoleh ke kiri ke kanan, bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup
aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku menghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik
aku melihat harga-harga kebutuhan
di etalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus diisap
Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI
berlima dari solo, berkereta api kelas ekonomi murah
tak dapat kursi melengkung tidur di kolong
pas tepat di kepala kami bokong-bokong
kiri-kanan telapak kaki, tas, sandal, sepatu
tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan
dari krawang-bandung-jakarta-jogja-tangerang
buruh pabrik plastik, tekstil, kertas, dan macam-macam
datang dengan satu soal
dari jakarta pulang tengah malam dapat bus rongsok
pulang letih tak apa, diri telah ditempa
sepanjang jalan hujan kami jongkok di tempat duduk
nempel jendela
bocor
bocor
sepanjang jalan tangan terus mengelapi
agar pakaian tak basah
dingin
dingin
tapi tak apa
diri telah ditempa
kepala dan dada masih penuh nyanyi panas
hari depa buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di mejas spsi
Solo, 14 Mei 92
Edan
sudah dengar cerita mursilah?
edan!
dia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulan
padahal mukena dia taruh
di tempat kerja
edan!
sudah diperas
dituduh maling pula
sudah dengar cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu
lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai uang
padahal pas waktu luang
edan!
kita mah bukan sekrup
Bandung, 21 Mei 92
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas/Semester : XII/2
Alokasi waktu : 2x45 menit
Standar Kompetensi
Membaca (memahami) dan Menulis
Kompetensi Dasar
Membaca dan memahami puisi
1. Memahami hakikat puisi
2. Memahami struktur dan kaidah teks puisi, baik lisan maupun tulisan
3. Membuat analisa struktur pembangun puisi
Indikator
1. Siswa mampu memahami pengertian puisi dan struktur (lahir dan batin)
pembangun puisi
2. Siswa mampu menganalisa struktur pembangun puisi
3. Siswa mampu mengaitkan pesan yang terdapat dalam puisi dengan realitas
sosial yang ada
A. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa dapat memahami hakikat puisi
2. Siswa mampu menganalisa struktur pembangun puisi dan mengaitkannya
dengan realita sosial yang ada
3. Siswa mampu menyusun hasil analisis struktur pembangun puisi dengan
mengunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
4. Siswa memiliki sikap percaya diri, rasa ingin tahu dan kreatif dalam
mengapresiasi karya sastra, serta kritis, tanggungjawab, peduli dan peka
terhadap apa yang terjadi dengan lingkungannya
* Karakter Siswa yang diharapkan:
Kritis, Kreatif, Komunikatif
B. Materi Ajar
puisi
-langkah menganalisa puisi
-contoh puisi karya penyair Indonesia
C. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan : Pembelajaran Kontekstual
2. Metode : Ceramah dan tanya jawab
3. Model Pembelajaran : Pembelajaran kooperatif
D. Langkah-langkah Pembelajaran
1. Kegiatan awal (10’)
a. Guru membuka pelajaran (doa/salam), kemudian presensi kehadiran
siswa
b. Guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran
c. Guru memberikan motivasi siswa tentang pendidikan
d. Perwakilan siswa menampilkan apresiasi sastra di depan kelas
2. Kegiatan inti (70’)
a. Eksplorasi
1) Siswa bersama guru bertanya jawab tentang puisi (pengertian,
struktur pembangun puisi, manfaat puisi, dan beberapa puisi karya Wiji Thukul
tentang buruh
2) Siswa bersama guru mendiskusikan tujuan dan macam-macam
puisi
3) Siswa membaca puisi yang akan dikaji (Puisi Wiji Thukul yang berjudul “Satu
Mimpi, Satu Barisan”)
4) Siswa membuat analisis struktur puisi yang dikaji dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
b. Elaborasi
1) Siswa menyimak pemaparan materi yang disampaikan oleh guru
2) Siswa ditugaskan untuk mencatat pokok materi yang disampaikan
c. Konfirmasi
1) Siswa bersama guru memberikan apresiasi positif pada
pembelajaran yang telah dilakukan
2) Guru memberikan penguatan tentang materi yang sudah dibahas
3. Kegiatan penutup (10’)
1) Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah dibahas
2) Guru dan siswa membaca doa bersama
Alat/ Bahan/ Sumber
1. Buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA kelas XII semester II
2. Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul
E. PENILAIAN
Penilaian dilaksanakan selama proses dan sesudah pembelajaran
Indikator
Pencapaian
Penilaian
Teknik penilaian Bentuk instrumen Soal instrumen
i. Mampu
mencatat
pokok-pokok
masalah atau inti
materi yang telah
didengar atau
disimak
ii. Memahami
pengertian puisi,
unsur-unsur lahir
dan batin puisi
Tes tulis uraian 1. Catatlah pokok-
pokok materi
yang telah
disampaikan
2. Buatlah analisa
unsur-unsur
instrinsik dan
ekstrinsik
berdasarkan puisi
yang telah
diberikan oleh
guru! (puisi “Satu
iii. Memahami
manfaat dan
fungsi puisi dalam
kehidupan sehari-
hari
Mimpi, Satu
Barisan karya Wiji
Thukul)
3. Buatlah analisa
mengenai
manfaat dan fungsi
puisi
dalam kehidupan
sehari-hari
(terutama yang
berkaitan
dengan kondisi
sosial)!
Soal penugasan
No. Butir Soal Skor maksimal
1.
2.
3.
Sebutkan dan jelaskan unsur pembangun
puisi, baik lahir maupun batin!
Bacalah puisi “Satu Mimpi, Satu Barisan”
karya Wiji Thukul! Kemudian analisa
unsur-unsur lahir dan batin yang terdapat
dalam
puisi tersebut!
Bacalah puisi “Satu Mimpi, Satu Barisan”
karya Wiji Thukul dengan seksama,
kemudian tentukan manfaat dan fungsi puisi
tersebut dalam kehidupan sehari-hari
(terutama yang
berkaitan dengan kondisi sosial)!
50
100
50
Jakarta, 14 November 2014
Kepala sekolah Guru Mapel
PROFIL PENULIS
Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki lahir di Jakarta, 02
September 1992. Anak pertama dari tiga bersaudara ini menyelesaikan
pendidikannya di SD Negeri Lagoa 11 Pagi, SMP Negeri 30 Jakarta, dan SMA
Negeri 75 Jakarta. Sejak kecil menggemari hal-hal yang berkaitan dengan seni
dan mengikuti berbagai lomba kesenian seperti kasidah, marawis, nasyid, dan
band. Sekarang masih aktif bergiat di beberapa organisasi, yakni Pojok Seni
Tarbiyah UIN Jakarta; Karangtaruna RW 03 Kelurahan Lagoa, Jakarta Utara;
Ormas Oi Zhamblank Priok; dan Ikatan Remaja Masjid Ash-Sholihin, Lagoa,
Jakarta Utara. Sejak pertama kali jatuh cinta dengan kesusastraan saat kuliah di
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, ia mulai tertarik dan mendalami dunia kepenulisan sastra. Beberapa buah
puisinya pernah dimuat di harian INDOPOS dan antologi puisi Gemuruh Cinta
untuk Dunia yang disusun oleh komunitas Tinta Perak dan diterbitkan secara indie
oleh Pena Nusantara pada 2013. Sekarang masih aktif sebagai personel grup
musikalisasi puisi Kemangilodi dan grup band Kareina. Bersama teman-temannya
di grup musikalisasi puisi Kemangilodi, Dimas pernah menjadi juara Harapan I
dalam lomba “Musikalisasi Puisi Helvy Tiana Rosa” dan juara I dalam “Lomba
Cipta lagu Anti Narkoba” yang diadakan oleh Badan Narkotika Nasional
Indonesia. Sementara itu, bersama grup band Kareina telah merilis album indie
yang bertajuk Perjalanan Ini.