75

Click here to load reader

pph badan pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Materi kuliah pph badan

Citation preview

  • 1

    BAB I

    SUBJEK PPh BADAN

    PENGANTAR

    Modul Pajak Penghasilan Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul Pajak

    Penghasilan Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang

    Pribadi untuk mempermudah pemahaman PPh secara umum

    Agar kita Iebih mudah dan urut dalam memahami PPh Badan, terlebih dahulu kita akan

    membahas siapa saja badan-badan yang dikenakan PPh dan penghasilan apa saja yang dikenakan

    ataupun tidak dikenakan PPh. Setelah itu kita akan belajar bagaimana menghitung PPh Badan.

    SUBJEK PAJAK

    Subjek PPh Badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan

    orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak

    melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN,

    BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

    perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,

    lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan Iainnya.

    Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu :

    1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri

    Subjek Pajak Badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

    Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak

    lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

    2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri.

    Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

    kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat

    menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan.

    Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan

    melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

    A. Subjek Pajak BUT

    Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak

    bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus

    delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan

    tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

    Indonesia (Pasal 2 ayat (5) UU PPh No 36 Tahun 2008). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar

    Negeri tetapi pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan

    modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4).

    Contoh :

    Misalnya BundesGesselshaft Gmbh Jerman mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti BundesGesselshaft Gmbh merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

  • Pajak Penghasilan Badan

    2

    Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia.

    BundesGesselshaft Gmbh dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut. BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak

    bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu

    12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

    Contoh :

    Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa

    kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di

    Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.

    B. Pengecualian Subjek Pajak Badan

    1) Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah :

    a. kantor perwakilan negara asing;

    b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara

    asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat

    tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia

    tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut

    serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

    c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

    1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan

    2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

    Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari

    iuran para anggota;

    d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,

    dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau

    pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

    2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka

    (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

    Pengecualian subjek pajak diatur dalam Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo. PMK No

    215/PMK.03/2008 jo PMK 15/PMK.03/2010.

    C. Hubungan Istimewa antara Subjek Pajak

    Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa satu

    sama lain. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau

    keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:

    1. kepemilikan atau penyertaan modal;

    2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

    3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus

    dan/atau kesamping satu derajat

    Hubungan istimewa tersebut secara lengkap berbentuk sebagai berikut :

    1. Hubungan Modal

    Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal Iangsung atau tidak langsung paling rendah 25%

    (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan

    penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,

    demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

    Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa

    penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun

    tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan

    saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.

  • 3

    Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT

    A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C

    sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C

    dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima

    persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

    Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan

    badan.

    2. Hubungan Penguasaan

    Hubungan istimewa karena pengusaan timbul jika Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya,

    atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun

    tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan

    melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan

    kepemilikan.

    Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah

    penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada

    dalam penguasaan yang sama tersebut.

    3. Hubungan Keluarga

    Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi-orang pribadi pemegang saham

    perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis

    keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat (Pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud

    dengan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan

    lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu :

    Hubungan sedarah

    ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat), saudara kandung atau saudara

    tiri (garis keturunan ke samping satu derajat).

    Keluarga semenda

    Mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat), ipar (garis keturunan ke

    samping satu derajat).

    Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 4 hal yaitu :

    1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa

    dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya.

    Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length transaction) (Pasal 10 ayat (1)) UU PPh; Ketentuan ini bertujuan untuk menghin dari jual beli secara tidak wajar.

    2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan

    pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan

    Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh

    hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3)) UU PPh;

    3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja

    sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-

    pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh);

    4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau

    badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh).

  • Pajak Penghasilan Badan

    4

    D. Kasus Subjek Pajak Badan

    Contoh Kasus :

    Won Han Construction Ltd. adalah perusahaan yang berdomisili di suatu negara asing. Pada bulan Juni 2007 memenangkan tender membangun gedung di Jakarta. Untuk melaksanakan proyek tersebut

    Won Han Construction Ltd. memiliki tiga pilihan bentuk usaha yaitu : 1. Membuka Won Han Construction Ltd. cabang Jakarta; 2. Membentuk PT Won Han Construction Indonesia yang berstatus Penanaman Modal Asing

    (PMA);

    3. Tidak membentuk badan apapun di Indonesia. Semua persiapan pekerjaan konstruksi dilakukan

    di negara domisilinya. Begitu datang ke Indonesia langsung melaksanakan proyek seefisien

    mungkin. Begitu selesai dan dibayar langsung balik lagi ke negara domisilinya.

    Kasus :

    Bentuk usaha seperti apa yang dipilih dan apa konsekuensi pajaknya?

    Pembahasan :

    Bentuk usaha no.3 yaitu tidak membuat badan apapun di Indonesia adalah bentuk paling

    ideal karena resiko pajaknya paling kecil. Tetapi UU PPh pasal 2 ayat (5) huruf i menyatakan

    bahwa bentuk usaha tetap jasa konstruksi langsung muncul pada hari pertama proyek

    dilaksanakan. Apabila proyek konstruksi adalah 1 tahun berarti Won Han Construction Ltd langsung menjadi subjek pajak luar negeri dengan BUT pada hari pertama. Jadi, pengenaan

    pajak sama dengan WP DN.

    Bentuk usaha cabang berdasarkan pasal 2 ayat (5) huruf b adalah bentuk usaha tetap

    sehingga konsekuensi pajaknya sama seperti pilihan no. 3

    Pilihan no.2, yaitu menjadi PMA berarti langsung menjadi subjek pajak dalam negeri,

    karena PMA berdomisili / berkedudukan di Indonesia.

  • 5

    BAB II

    OBJEK PPh BADAN

    PENGANTAR

    Pada prinsipnya Objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan

    ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan

    menjadi dua yaitu :

    1. Penghasilan Badan Dalam Negeri

    Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh

    Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak

    PenghasiIan.

    2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT). Penghasilan WP Badan

    Luar Negeri ada 2 macam yaitu :

    a. Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT

    Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu :

    1) penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau

    dikuasai;

    2) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau

    pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan

    oleh BUT di Indonesia;

    3) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh, yang diterima atau

    diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan

    harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.

    b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT

    Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah penghasilan-penghasilan yang

    diterima atau diperoleh Badan Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan

    di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya adalah penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain.

    A. KLASIFIKASI OBJEK PAJAK BADAN

    Objek Pajak Badan diatur dalam Pasal 4 UU PPh. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh diatur

    penghasilan-penghasilan yang menjadi objek pajak. Dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa

    jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan secara final. Selain itu dalam Pasal 4 ayat

    (3) ditetapkan jenis-jenis penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak. Dari semua

    jenis penghasilan di Indonesia dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu :

    A. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat (1));

    B. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3)). C. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Final (Pasal 4 ayat (2));

    Penjelasan mengenai penggolongan penghasilan:

  • Pajak Penghasilan Badan

    6

    A. Pasal 4 ayat (1) UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah

    tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat

    dikelompokkan manjadi 3 macam yaitu : 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan

    a. laba usaha;

    b. premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi);

    c. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari

    Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

    d. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan);

    2. Penghasilan dari modal (investasi)

    a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan

    lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

    2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota

    yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,

    pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

    4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,

    kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

    derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,

    koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

    ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang

    tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di

    antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

    5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

    penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam

    perusahaan pertambangan;

    b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

    c. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan

    asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

    d. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

    e. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

    3. Penghasilan lain-lain

    a. hadiah dari undian;

    b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

    c. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

    d. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang

    ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

    e. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

    f. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

    g. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

    h. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

    i. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

    mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

    j. surplus Bank Indonesia.

    B. Klasifikasi Penghasilan Bukan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3))

    Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) jo.

    PMK.-245/PMK.03/2008 dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriterita/alasan yaitu :

    1. Alasan Pengalihan Titik Pemajakan

  • 7

    Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik

    pemajakan adalah:

    a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil

    zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah

    dan para penerima zakat yang berhak;

    2) harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan

    atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan

    oleh Menteri Keuangan;

    sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

    penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

    b. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

    atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau

    Pemerintah;

    Penghasilan-penghasilan diatas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan

    atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang

    memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan

    cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas

    sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak

    yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan

    penghasilan tersebut.

    2. Alasan Pengalihan Saat Pemajakan

    Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan

    adalah iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah

    disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun

    pegawai.

    Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima

    pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak

    (bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran

    pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan).

    3. Alasan Insentif Investasi

    Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan insentif investasi adalah:

    a. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai

    Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha

    Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan

    bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

    2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah

    yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan

    dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang

    disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

    b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah

    disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal, dalam bidang-bidang tertentu

    yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; PMK-234/PMK.03/2009.

    c. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)

    tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;

    d. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian

    laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau

    kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam

    sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan; dan

  • Pajak Penghasilan Badan

    8

    2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

    e. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

    yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

    Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal 15

    Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah

    utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta,

    termasuk :

    - Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera);

    - KUT (Kredit Usaha Tani);

    - KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana);

    - KUK (Kredit Usaha Kecil);

    - Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka

    mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah

    kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur).

    Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi

    perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang

    ditetapkan BPPN diatur dalam KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo. KEP-

    563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 yang menetapkan bahwa Wajib Pajak tersebut

    dapat memilih pengakuan penghasilan :

    - sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang;

    - dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar

    (20% per tahun);

    - Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah

    disediakan, selambat-Iambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke

    KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus;

    - Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur

    secara sekaligus pada tahun penghapusan piutang.

    4. Alasan Penegasan Standar Akuntansi

    Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan penegasan standar akuntasi

    adalah :

    a. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham

    atau sebagai pengganti penyertaan modal;

    b. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

    modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan

    kongsi;

    C. Objek Pajak Yang Dikenakan PPh Final

    Dibawah ini adalah Daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan pajak bersifat final

    NO OBJEK PAJAK TARIF DASAR HUKUM

    1. Penghasilan transaksi penjualan saham di

    bursa efek:

    - untuk semua transaksi semua saham

    - untuk transaksi penjualan saham

    sendiri

    0,1% x Ph Bruto

    (0,1% x PPh Bruto) +

    (0,5% x nilai saham

    pada saat IPO)

    PP No. 41/1994 jo.

    PP No. 14/1997 jo.

    KMK-

    282/KMK.04/1997 jo

    SE-06/Pj.04/1997

    2. Penghasilan berupa hadiah undian 25% X Ph Bruto PP No. 132/2000

    3. Penghasilan bunga deposito, termasuk

    simpanan pada bank DN yang memiliki

    cabang di LN

    20% x Ph Bruto PP No. 131/2000

  • 9

    4. Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro,

    dan diskonto

    20% x Ph Bruto

    5. Penghasilan dari sewa tanah dan/atau

    bangunan

    10 % x Ph Bruto PP No. 5/2002

    6. Penghasilan perusahaan ventura dari

    transaksi penjualan saham atau pengalihan

    penyertaan modal pada perusahaan

    pasangan usaha (syarat :merupakan

    pengusaha kecil dan sahamnya tidak

    diperdagangkan di bursa efek di

    Indonesia)

    0,1 % x Ph bruto

    PP No.4/1995

    7. Penghasilan yang diterima WP

    perusahaan pelayaran DN

    1,2 % X Ph bruto

    KMK-

    416/KMK.04/1996 jo.

    SE-29/PJ.04/1996

    8. Penghasilan yang diterima WP

    perusahaan pelayaran LN dan/atau

    penerbangan LN

    2,64 % x Ph bruto KMK-417/KMK.04/

    1996

    9.

    Penghasilan yang diterima/diperoleh

    berupa bunga atau diskonto obligasi yang

    dijual di bursa efek :

    - Diterima WP DN

    - Diterima WP LN

    15 % x Ph Bruto

    20 % x Ph Bruto

    PP No. 139/2000

    KMK-

    558/KMK.04/2000

    PP No. 6/2002

    PMK-

    256/PMK.03/2008

    10. Penghasilan berupa selisih lebih karena

    revaluasi aktiva tetap

    10% x selisih dari nilai

    appraisal dan NSBF

    KMK-

    486/KMK.03/2002

    11. Pungutan PPh atas penyerahan premium,

    solar, premix kepada :

    - SPBU Pertamina

    - SPBU Swasta

    0,25 % x penjualan

    0,30 % x penjualan

    12. Pungutan PPh oleh Pertamina dan Badan

    Usaha selain Pertamina atas penyerahan

    minyak tanah, gas LPG, dan pelumas

    0,30 % x penjualan

    13. Penghasilan dari penjualan harta di

    Indonesia yang diterima WP LN selain

    BUT di Indonesia

    14. Dan premi asuransi yang dibayarkan

    kepada perusahaan asuransi di LN

    20 % x perkiraan Ph

    bruto atau sesuai tarif

    Tax Treaty Pasal 26 UU PPh

    15. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi

    pajak dari suatu BUT di Indonesia (kecuali

    penghasilan tersebut ditanamkan kembali

    di Indonesia)

    20 % x perkiraan Ph

    bruto atau sesuai tarif

    Tax Treaty

    Pasal 26 UU PPh

    16. Penghasilan yang diterima /diperoleh WP

    LN atas penghasilan yang bersumber dari

    Indonesia berupa :

    - dividen

    - bunga, termasuk premium,

    diskonto, dan imbalan

    sehubungan dengan jaminan

    pengembalian utang

    - royalti, sewa, dan penghasilan

    lain sehubungan dengan

    penggunaan harta

    - hadiah dan penghargaan

    - banyaknya

    20 % x perkiraan Ph

    bruto atau sesuai tarif

    Tax Treaty

    Pasal 26 UU PPh

  • Pajak Penghasilan Badan

    10

    CARA MENGHITUNG PPh TERUTANG

    Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi

    Wajib Pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya

    yang berkaitan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek

    Pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto. Untuk mencari PPh yang

    terutang, penghasilan neto yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dikalikan tarif pasal 17

    UU PPh.

    TARIF PAJAK

    Sebelum Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 17 Tahun 2000)

    Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh sebagai berikut :

    Contoh : Penghasilan Kena Pajak Rp 70.000.000,00

    PPh terutang

    - 10% x 50.000.000 Rp. 5.000.000,00

    - 15% x 20.000.000 Rp. 3.000.000,00

    Jumlah PPh terutang Rp 8.000.000,00

    Per 1 Januari Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 36 Tahun 2008)

    Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan

    persen) Pasal 17.

    Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima

    puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)

    dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian

    peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) Pasal

    31E.

    Contoh : Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta

    rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

    Penghitungan pajak yang terutang:

    Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50%

    (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT

    Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

    Pajak Penghasilan yang terutang:

    (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

    Contoh: Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)

    dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

    Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

    1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:

    (Rp4.800.000.000,00:Rp30.000.000.000,00)xRp3.000.000.000,00= Rp480.000.000,00

    2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:

    Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

    Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 % (sepuluh persen)

    di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000 15 % (lima belas persen)

    di atas Rp 100.000.000,00 30 % (tiga puluh persen)

  • 11

    Rp 3.000.000.000,00 Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00

    Pajak Penghasilan yang terutang:

    - (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00

    - 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)

    - Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00

    Contoh Kasus Objek Penghasilan Badan:

    KASUS 1

    PT Indo Wood adalah sebuah perusahaan plywood. Dengan terjadinya krisis ekonomi maka omzet

    plywood menurun drastis karena selama ini tidak mengekspor dan hanya menjual produknya dalam

    negeri. PT IndoWood mengalami kerugian untuk tahun pajak 2005 dan 2006. Karena PT IndoWood

    banyak mendapat kredit dari bank maka dengan adanya krisis, kredit tersebut macet dan PT

    IndoWood masuk program BPPN. BPPN merestrukturisasi hutang PT IndoWood dengan skema

    pembebasan sebagian hutang dan penjadwalan kembali pembayaran hutang. Mulai tahun 2007 PT

    IndoWood melakukan ekspor plywood. Untuk memperkuat permodalan, maka PT Indo Wood

    berniat menjual sahamnya di bursa efek. Agar nilai saham meningkat pada saat penawaran saham

    perdana, aktiva tetap PT IndoWood di-revaluasi dan kemudian PT IndoWood dimerger dengan PT

    Woodindo, suatu perusahaan yang masih satu group. Untuk menambah modal kerja dan karena ingin

    berkonsentrasi ke usaha inti, PT IndoWood telah menjual investasi-investasi saham di bursa efek

    segera setelah saham-saham tersebut memberikan dividen.

    Pertanyaan:

    Selain pendapatan penjualan plywood, penghasilan-penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak PT

    IndoWood dalam kasus diatas?

    Pembahasan:

    Pendapatan PT Indowood yang menjadi objek pajak sebagai berikut :

    Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (1) ) Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (2) )

    1. pendapatan berupa pembebasan hutang sebesar

    jumlah hutang yang dibebaskan

    2. selisih lebih antara harga pasar dengan nilai

    sisa buku pada ssat penggabungan (merger)

    3. keuntungan selisih kurs karena PT Indowwod

    sudah bertransaksi ekspor

    4. pendapatan dividen saham. Diasumsikan PT

    Indowood berinvestasi saham untuk

    memanfaatkan dana menganggur saja sehingga

    kepemilikan kurang dari 25 %

    1. selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebesar

    selisih, antara nilai pasar dan nilai buku

    aktiva yang direvaluasi. Selisih lebih

    revaluasi ini dikenakan PPh Final 10 % dari

    nilai selisih lebih revaluasi.

    2. hasil penjualan saham dibursaefek (tidak

    memandang untung atau rugi), dikenakan

    PPh Final sebesar 0,1 % dari nilai penjualan.

    Contoh Kasus Bukan Objek PPh Badan

    KASUS 2

    PT Indo Garment telah mengubah divisi distribusinya menjadi perusahaan tersendiri karena ada

    pemodal baru, PT Investor, yang mau bergabung. Kepemilikan modal di perusahaan tersebut 76%

    oleh PT Indo Garment dan 24% oleh PT Investor. Kedua pihak sepakat menyetorkan modal berupa

    uang tunai maupun Aktiva Tetap senilai @ 1 miliar. PT baru tersebut diberi nama PT Distributindo.

    PT Indo Garment juga menghibahkan 2 buah mobil box bekas dengan nilai pasar 100 juta. RUPS PT

    Distributindo memutuskan untuk tahun 2007 membagikan dividen senilai Rp 100 juta (Rp 24 juta

    untuk PT Investor dan Rp 76 juta untuk PT Indo Garment). Selain itu RUPS juga memutuskan untuk

    membeli garment dari PT Indo Garment dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar agar laba

    PT Indo Garment menurun sehingga jumlah pajak PT Indo Garment lebih kecil.

  • Pajak Penghasilan Badan

    12

    Pertanyaan:

    1. Berdasarkan kasus diatas, identifikasikan penghasilan-penghasilan PT Indo Garment yang

    menjadi objek Pajak, selain hasil penjualan garmen !

    2. Identifikasi juga penghasilan PT Distributindo dan PT Investor yang menjadi objek pajak

    Pembahasan :

    Objek Pajak Tidak Final ( Pasal 4 ayat (1) Bukan Objek Pajak Tidak ( Pasal 4

    ayat (3)

    PT Indo Garment :

    Selisih antara harga pasar garmen dengan harga jual garmen ke

    PT Distributindo merupakan objek pajak. Seharusnya (anak

    perusahaan) sesuai dengan harga wajar dan tidak melakukan

    transfer pricing. Transfer pricing pada saat PT Distributindo

    masih merupakan divisi distribusi PT Indogarment tidak

    menimbulkan efek pajak, tetapi bila transfer pricing terjadi antar

    perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka ada

    konsekuensi pajaknya

    Penghasilan dividen dari PT

    Distributindo sebesar Rp. 76 jt

    karena kepemilikan saham lebih

    dari 25 %

    PT Distributindo

    Pendapatan dari hibah 2 mobil box dengan nilai pasar Rp. 100 jt Penyetoran modal sebesar Rp. 1 M

    PT Investor

    Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 24 jt

    karena kepemilikan saham kurang dari 25 %

    PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013

    Di pertengahan tahun 2013, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun

    2013 (PP 46 2013), selanjutnya terbit pula peraturan pelaksananya PMK-107/PMK.011/2013, SE-

    42/PJ/2013. Peraturan ini mengatur pengenaan tarif pajak 1% sebagai berikut:

    Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto

    tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut:

    a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan

    b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk dari jasa sehubungan dengan pekerjaa

    bebas (bagi WP Orang Pribadi), dengan peredaran bruto tidak melebih 4.800.000.000,-

    dalam 1 (satu) tahun pajak.

    Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan berdasarkan

    peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran

    bruto dari:

    a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP)

    b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri

    c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final

    d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak

  • 13

    Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah:

    a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau

    b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial

    memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar

    PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan

    Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.

    Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak

    sebelumnya.

    Contoh:

    PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto

    sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar 200.000.000

    dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46) PT.Jon Bersaudara

    dikenai PPh Final 1% sebagai berikut:

    Masa Juli 2013 : 1% x 200.000.000 = 2.000.000

    Masa Agustus 2013 : 1% x 300.000.000 = 3.000.000

  • Pajak Penghasilan Badan

    14

    BAB III

    REKONSILIASI FISKAL

    PENGANTAR

    Dari pembahasan pada modul PPh Orang Pribadi, kita dapat memahami bahwa PPh terutang

    dapat dihitung dengan 2 cara yaitu menggunakan norma serta dengan pembukuan. Penghitungan

    dengan norma relatif sederhana tetapi hanya usaha berskala kecil milik Orang Pribadi saja yang

    diperbolehkan menggunakannya. Pengetahuan tentang perpajakan serta kebutuhan akan tenaga

    perpajakan lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang harus menggunakan

    pembukuan dalam penghitungan pajak.

    Dalam menghitung PPh terutang, Orang Pribadi yang mengadakan pembukuan atau

    perusahaan tetap mendasarkan diri dari laporan keuangan yang dibuat oleh Orang

    Pribadi/perusahaan secara komersial. Dari laporan keuangan komersial tersebut selanjutnya

    dilakukan Rekonsiliasi Fiskal yaitu suatu mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara

    komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan

    laba/rugi fiskal.

    A. Rekonsiliasi Fiskal

    Rekonsiliasi Fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya. Secara

    ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal :

    a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2))

    Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut

    harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun)

    karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban

    pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong

    atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak.

    Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan Jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut

    harus dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi)

    karena sudah dipotong PPh final oleh bank.

    b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (3))

    Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan

    tersebut harus juga direkonsiliasi karena WP tidak perlu membayar PPh atas penghasilan

    tersebut.

    Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak

    perusahaan sebesar Rp 100 juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45 %.

    Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam

    menghitung PPh terutang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan

    merupakan obyek pajak.

    c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan / Non

    Deductible Expense (Pasal 9)

    Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan maka

    biaya tersebut tidak bisa diperhitungkan dalam menghitung PPh terhutang pada akhir

  • 15

    tahun (direkonsiliasi). Perlakuan yang berbeda atas biaya jenis ini menimbulkan adanya

    Beda Tetap yaitu perbedaan yang benar-benar riil serta bersifat pasti dan tetap karena

    antara SAK dan UU PPh terjadi pengaturan yang berbeda. Atas beda tetap ini Wajib

    Pajak harus mengoreksi perbedaan yang timbul.

    Contoh beda tetap :

    - Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan menurut PSAK adalah

    biaya sedangkan menurut pajak bukan biaya

    - Kerugian usaha di luar negeri menurut PSAK boleh dikurangkan sedangkan

    menurut pajak tidak boleh

    - Sanksi administrasi perpajakan menurut PSAK boleh menjadi biaya sedangkan

    menurut pajak tidak boleh.

    d. WP mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang tetapi metode pengakuan biaya

    tersebut diatur tersendiri oleh ketentuan fiskal.

    Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh

    ketentuan pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus

    disesuaikan dengan ketentuan pajak.

    Contoh :

    Truk seharga 100 juta secara akuntansi dapat saja disusutkan selama 5 tahun. Tetapi menurut

    pajak truk tersebut harus disusutkan selama 8 tahun. Akibatnya akan terjadi selisih biaya

    penyusutan setiap tahunnya.

    Selisih yang timbul akibat perbedaan metode pengakuan biaya antara SAK dan PPh disebut

    beda waktu. Pada prinsipnya jumlah pembebanan antara laporan komersial dan fiskal akan

    menemui jumlah kumulatif yang sama. Jadi yang membedakan hanyalah alokasi pada periode

    berjalan.

    e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan

    pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak

    serta pendapatan yang yang dikenakan PPh Non Final (Joint Cost)

    Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan

    penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak,

    maka biaya tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya. Adalah hal yang logis bila suatu

    penghasilan direkonsiliasi maka biaya yang benar-benar terkait untuk mendapatkan

    penghasilan tersebut juga ikut direkonsiliasi. Tetapi jika biaya tersebut digunakan untuk

    mendapatkan semua jenis penghasilan, misalnya biaya penyusutan gedung, maka biaya

    yang boleh menjadi pengurang penghasilan harus dihitung secara proporsional.

    Contoh :

    Dana Pensiun XYZ memiliki penghasilan sebagai berikut :

    penghasilan yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3h) Rp. 100.000.000,00

    penghasilan bruto lainnya (Objek Pajak) Rp. 300.000.000,00

    Jumlah penghasilan bruto Rp. 400.000.000,00

    Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan

    untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar x Rp

    200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.

    B. Contoh format Rekonsiliasi fiskal sebagai berikut :

    Akun Komersial Rekonsiliasi Fiskal

  • Pajak Penghasilan Badan

    16

    Peredaran usaha (tidak final) Rp. 1.000.000.000,- - Rp. 1.000.000.000,-

    Biaya usaha (deductible

    expense) Rp. 800.000.000,- - Rp. 800.000.000,-

    Biaya piknik (non deductible) Rp. 50.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 0,-

    Laba operasi Rp. 150.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 200.000.000,-

    Penghasilan bunga, jasa giro

    (final) Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,- Rp. 0,-

    Laba bersih Rp. 160.000.000,- Rp. 40.000.000,- Rp. 200.000.000,-

    C. Kompensasi Kerugian

    Jika Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian

    dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskalnya dapat dikompensasi selama 5 (lima)

    tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat (2) UU PPh).

    Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang

    menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal

    yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun.

    Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal

    maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama

    5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatkannya

    kerugian tersebut.

    Contoh : PT ABC dalam tahun 2008 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Periode 5 tahun

    berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut :

    Tahun 2009, laba fiskal = Rp. 200.000.000,00

    Tahun 2010, rugi fiskal = (Rp. 300.000.000,00)

    Tahun 2011, laba fiskal = NIHIL

    Tahun 2012, laba fiskal = Rp. 100.000.000,00

    Tahun 2013, laba fiskal = Rp. 800.000.000,00

    Kompensasi kerugian sebagai berikut :

    Rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.200.000.000,00)

    Laba fiskal tahun 2009 = Rp. 200.000.000,00 (-)

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)

    Rugi fiskal tahun 2010 = Rp. 300.000.000,00

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)

    Laba fiskal tahun 2011 = NIHIL

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)

    Laba fiskal tahun 2012 = Rp. 100.000.000,00 (-)

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 900.000.000,00)

    Laba fiskal tahun 2013 = Rp. 800.000.000,00 (-)

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 100.000.000,00)

    Sisa rugi fiskal tahun 2008 sebesar Rp. 100 juta tersebut sudah tidak bisa lagi dikompensasikan

    karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah kadaluwarsa.

    Contoh Kasus Rekonsiliasi Fiskal I

    KASUS 1 Dana Pensiun XYZ adalah dana pensiun yang didirikan oleh PT BUMN untuk mengelola iuran pensiun para karyawannya. Hasil iuran pensiun yang terkumpul setiap bulannya

    diinvestasikan dalam bentuk deposito. Karena suku bunga deposito yang cenderung menurun maka

    manager investasi Dana Pensiun XYZ ingin berinvestasi di saham-saham serta obligasi di bursa efek

    yang memberikan hasil yang lebih besar. Penghasilan dari investasi saham di bursa ada 2 macam

  • 17

    yaitu laba jual beli saham (capital gain) dan penghasilan berupa dividen sedangkan penghasilan

    investasi di obligasi berupa bunga / diskonto obligasi.

    Mulai tahun 2008 direksi PT BUMN mengusulkan agar iuran pensiun yang terkumpul

    diinvestasikan dalam bentuk penyertaan modal dengan prosentase kepemilikan sebesar 20% serta

    pinjaman kepada PT PUTRA BUMN, anak perusahaan PT BUMN, karena PT PUTRA BUMN

    sedang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.

    Perincian penghasilan dan biaya tahun 2008 sebagai berikut :

    Penghasilan :

    - Bunga deposito Rp. 1.000.000.000

    - Bunga obligasi di bursa Rp. 1.500.000.000

    - Dividen saham di bursa Rp. 200.000.000

    - Capital gain jual beli saham di bursa Rp. 2.000.000.000

    - Bunga pinjaman ke PT Putra BUMN Rp. 500.000.000

    - Dividen dari PT Putra BUMN Rp. 100.000.000

    Jumlah Total Penghasilan Rp. 5.300.000.000

    Biaya :

    - Biaya transaksi saham di bursa saham efek Rp. 150.000.000

    Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek Rp. 200.000.000

    - Biaya operasional kantor (joint cost) Rp. 2.000.000.000 Pertanyaan:

    Manajer investasi Dana Pensiun XYZ bertanya kepada anda penghasilan apa saja yang menjadi

    objek pajak Dana Pensiun tersebut dan biaya-biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang

    penghasilan. Lebih jauh lagi ia bertanya bagaimana cara menghitung pajak dana pensiun.

    Penghasilan Komersial

    Fiskal

    Objek pajak tidak

    final (pasal 4 ayat

    (1) UU PPh)

    Objek pajak final

    (pasal 4 ayat (2) UU

    PPh)

    Bukan objek pajak

    (pasal 4 ayat (3) UU

    PPh)

    Bunga deposito diterima

    Dana Pensiun Rp.1.000.000.000 Rp. 1.000.000.000

    Bunga obligasi di bursa

    diterima Dana Pensiun Rp.1.500.000.000 Rp. 1.500.000.000

    Dividen saham di bursa

    diterima Dana Pensiun Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000

    Capital gain jual beli saham di bursa

    Rp.2.000.000.000 Rp. 2.000.000.000

    Bunga pinjaman dari PT

    Putra BUMN Rp. 500.000.000 Rp. 500.000.000

    Dividen dari PT Putra

    BUMN Rp. 100.000.000 Rp. 100.000.000

    Jumlah Pemasukan Rp.5.300.000.000 Rp. 600.000.000 Rp. 2.000.000.000 Rp. 2.700.000.000

    Biaya :

    Non Deductible Expense:

    Biaya transaksi saham di

    bursa saham efek

    Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000

    Biaya transaksi obligasi di

    bursa saham efek

    Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000

    Non Deductible

    Expense :

    1. biaya transaksi saham di

    bursa saham efek

    Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000

    2. biaya transaksi obligasi di

    bursa saham efek Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000

    Deductible Expense :

  • Pajak Penghasilan Badan

    18

    1. bagian dari join cost

    secara proporsional

    menurut perbandingan

    penghasilan objek pajak

    tidak final dengan total

    penghasilan

    600.000 x Rp. 2M

    5.300.000

    Rp.2.000.000.000 Rp. 226.415.000 Rp. 754.716.981 Rp. 1.018.867.925

    Laba secara komersial Rp.2.950.000.000 Rp. 373.585.000 Rp. 1.095. 283.019 Rp. 1.679.132.075

    Penjelasan:

    Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh, iuran yang diterima Dana Pensiun bukan

    merupakan objek pajak. Sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh jo KMK-

    651/KMK.04/1994 jo SE-16/PJ.4/1995 jo. PMK 252/MK.03/2008 hasil investasi Dana Pensiun

    dalam bentuk bunga deposito, bunga obligasi dan pasar modal serta dividen saham, bukan objek

    pajak. Penghasilan berupa capital gain / biaya berupa capital loss direkonsiliasi karena transaksi

    di bursa dikenakan PPh final 0,1%.

    Penghasilan bunga dividen dan bunga dari PT PUTRA BUMN tidak terdapat dalam daftar

    penghasilan yang bukan objek pajak dan tidak pula tercantum dalam daftar penghasilan yang

    dikenakan dari PPh final sehingga merupakan objek pajak.

    Biaya yang terkait Iangsung dengan penghasilan bukan objek pajak dan penghasilan final

    tidak boleh menjadi pengurang. Yang diperbolehkan adalah biaya yang terkait langsung dengan

    penghasilan yang termasuk objek pajak. Jika terdapat biaya yang digunakan secara bersama-

    sama untuk mendapatkan semua jenis penghasilan diatas maka biaya yang diakui sebagai

    pengurang penghasilan dihitung secara proporsional.

  • 19

    BAB IV

    BIAYA FISKAL

    PENGANTAR

    Kita sudah pernah belajar bahwa untuk mendapatkan laba fiskal kita harus melakukan

    rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal ini dilakukan atas semua pendapatan dan biaya perusahaan.

    Rekonsiliasi atas pendapatan dilakukan terhadap pendapatan-pendapatan yang bukan merupakan

    objek pajak (Pasal 4 ayat (3)) serta penghasilan-penghasilan yang telah dikenakan PPh Final pasal 4

    ayat (2).

    Sedangkan biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah :

    a. biaya-biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.

    b. biaya yang dikeluarkan untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang

    bukan Objek Pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

    c. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang

    bersifat final yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaannya.

    d. biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar)

    e. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak menggunakan bukti,

    daftar nominatif, dan tanpa dokumen)

    f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :

    a) Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan

    bahwa atas Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP.

    b) Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9 ayat (1)

    UU PPh.

    g. Biaya untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang dikenakan pajak

    berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus

    sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.

    Apabila terdapat biaya-biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan

    penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun

    penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan objek pajak dengan

    jumlah pendapatan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak (penjelasan

    Pasal 6 UU PPh)

    PENGGOLONGAN BIAYA FISKAL

    Biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan usaha/kegiatannya tidak

    seluruhnya diakui oleh pajak sebagai pengurang. Pada prinsipnya biaya tersebut dibedakan menjadi 3

    (tiga) yaitu :

    1. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN TANPA SYARAT APAPUN YAITU:

    a. Beban atau biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang

    memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).

    Contohnya : biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa

    termasuk upah gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam

    bentuk

  • Pajak Penghasilan Badan

    20

    uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,

    biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;

    b. Kerugian dan selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh)

    2. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN DENGAN SYARAT-SYARAT

    TERTENTU YAITU : a. Beban penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi

    atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyi manfaat

    lebih dari 1 tahun (pasal 6 ayat (2)).

    Syarat : Harta berwujud yang penyusutannya dapat dibiayakan atau harta tidak berwujud

    yang dapat amortisasinya dapat dibiayakan adalah harta yang dimiliki dan digunakan

    (syarat kumulatif) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 A ayat (1));

    b. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh).

    Syarat : Dana Pensiun yang menerima iuran pensiun tersebut pendiriannya telah

    disahkan oleh Menteri Keuangan;

    c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh).

    Syarat : Harta yang dijual atau dialihkan dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

    penghasilan;

    d. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh).

    Syarat : Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia;

    e. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh);

    Syarat : Berkaitan dengan kepentingan perusahaan;

    f. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh)

    Syarat : memenuhi 4 syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo PMK-57/PMK.03/2010yaitu :

    1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

    2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

    Direktorat Jenderal Pajak; dan

    3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi

    pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis

    mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

    bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau

    adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah

    utang tertentu;

    4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang

    tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU

    PPh

    g. Sumbangan dalam rangka penanganan bencana nasional

    h. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia

    i. Biaya pembangunan infrastruktur sosial

    j. Sumbangan fasilitas pendidikan

    k. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

    Syarat untuk point g, h, i, j, k berdasarkan PP 93 tahun 2010

    1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak

    Penghasilan Tahun Pajak Sebelumnya

    2. Pemberian subangan dan/atau tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak Sumbangan

    dan/atau biaya diberikan.

    3. Didikung oleh bbukti yang sah; dan

  • 21

    4. Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib

    Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-

    Undang Pajak Penghasilan.

    Khusus untuk biaya pembangunan infrastuktur soisla atau CSR (Corporate Social Responsibility) ada syarat tambahan yaitu:

    1. Besarnya biaya yang dapat dikurangkan untuk 1 (satu) tahun tidak melebihi 5% (lima persen) dari

    penghasilan neto Fiskal tahun pajak sebelumnya,

    2. Diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

    3. BIAYA-BIAYA YANG TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG (PASAL 9 UU PPH)

    Jenis-jenis biaya yang tidak bisa dikurangkan berdasarkan Pasal 9 UU PPh dapat

    dikelompokkan menjadi beberapa kriteria/alasan yaitu :

    a. Alasan Pengalihan titik pemajakan

    Titik pemajakan atas pengeluaran-pengeluaran dibawah ini bukan pada pihak yang

    menerima tetapi pada pihak yang melakukan pengeluaran. Pihak yang melakukan

    pengeluaran dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran

    tersebut. Pengalihan titik pemajakan dilakukan karena Iebih mudah mengenakan pajak

    kepada WP Badan yang mengeluarkan biaya daripada mengenakan pajak kepada pihak

    yang menerima penghasilan. Biaya-biaya yang masuk kategori non deductable karena

    alasan pengalihan titik pemajakan adalah:

    a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang

    saham, sekutu atau anggota. (Pasal 9 ayat (1) huruf b); dan

    b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak

    atau orang yang menjadi tanggungannya. (Pasal 9 ayat (1) huruf i) Pengeluaran semacam ini dapat juga berbentuk pengeluaran dalam jumlah yang

    melebihi kewajaran untuk kepentingan pihak yang memiliki hubungan istimewa

    dan keluarganya yang Iebih merupakan dividen terselubung.

    Contoh : Pengeluaran untuk biaya sekolah anak direksi/pemegang saham, biaya

    perbaikan rumah direksi/pemegang saham, biaya perawatan mobil pribadi

    direksi/pemegang saham dan lain-lain. WP Badan yang melakukan pengeluaran

    kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa atau orang

    yang menjadi tanggungannya dikenakan pajak dengan cara tidak dapat

    membiayakan pengeluaran tersebut.

    c. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas

    penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk

    agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

    disahkan oleh Pemerintah ((pasal 9 ayat (1) huruf g).

    Contoh : Induk Perusahaan menghibahkan sebagian assetnya untuk anak

    perusahaan. Induk perusahaan dikenakan pajak dengan cara harta yang dihibahkan

    tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan.

    d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai secara bersama-sama di tempat usaha atau pekerjaan, serta

    penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu

    dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan

    Keputusan Menteri Keuangan. (pasal 9 ayat (1) huruf e).

  • Pajak Penghasilan Badan

    22

    Contoh : Pemberian pakaian seragam yang tidak berhubungan dengan keselamatan

    kerja pegawai, pemberian parcel untuk pegawai dan biaya catering yang hanya

    diberikan kepada direksi tidak dapat dijadikan biaya menurut pajak. Perusahaan

    yang memberikan natura/fasilitas dikenakan pajak dengan cara tidak boleh

    membebankan natura/fasilitas sebagai pengurang.

    b. Alasan Pengalihan saat pemajakan

    Saat pemajakan atas biaya-biaya berupa premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,

    asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak

    orang pribadi tidak bisa dijadikan biaya, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9

    ayat (1) huruf d)

    Contoh :

    Pegawai mengikuti program Jamsostek, dimana sebagian dibayar oleh perusahaan dan

    sebagian lagi dibayar sendiri oleh pegawai. Pembayaran iuran Jamsostek yang dibayar

    sendiri oleh pegawai tidak boleh menjadi biaya perusahaan (dikenakan pajak saat diawal

    karena pada saat menerima klaim tidak dikenakan pajak)

    c. Alasan Insentive Investasi dan Prinsip Realisasi

    Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak bisa dijadikan biaya kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha

    pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan

    Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat (1) huruf c). Ketentuan ini merupakan insentive investasi bagi usaha bank dan sewa guna usaha

    dengan hak opsi, untuk usaha asuransi, dan usaha pertambangan. Alasan lain adalah

    prinsip realisasi yang dianut pajak dalam pembebanan piutang tidak tertagih dimana

    piutang tak tertagih tersebut harus benar-benar tidak tertagih dengan memenuhi 4 syarat

    sebagaimana tercantum dalam UU PPh No 36 Tahun 2008.

    d. Alasan Membina Kepatuhan Wajib Pajak

    Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak

    bisa dijadikan biaya untuk membina kepatuhan Wajib Pajak . (pasal 9 ayat (1) huruf k)

    Contoh : Sanksi berupa denda STP, bunga penagihan, bunga terlambat bayar dan sanksi

    perpajakan lain tidak boleh menjadi biaya perusahaan agar WP berusaha menghindari

    sanksi adininistrasi.

    e. Menghindari Perhitungan Berganda (Multiple Counting) Pajak Penghasilan; Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9 ayat

    (1) huruf h)

    Contoh : Pembayaran angsuran PPh pasal 25 serta pembayaran PPh pasal 29 akhir tahun

    tidak boleh mengurangi penghasilan. Apabila PPh dijadikan pengurang maka

    perhitungan pajaknya menjadi berulang sampai ke titik nihil.

    f. Penegasan Standar Akuntansi

    Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer

    yang modalnya tidak terbagi atas saham (pasal 9 ayat (1) huruf j)

    Contoh : Gaji bagi anggota firma dan CV bukanlah biaya karena firma dan CV bukan

    merupakan entitas harta yang terpisah dari pemiliknya. Pembayaran gaji tersebut juga

    bukan merupakan dividen karena bukan merupakan pembagian laba Firma atau CV. Jadi

    anggota Firma atau CV membayar pajak melalui Firma atau CV tersebut. Apabila

  • 23

    penghasilan anggota firma atau CV semata-mata berasal dari gaji yang dibayar oleh Firma

    atau CV, maka ia tidak lagi berkewajiban membayar PPh atas nama pribadinya.

    4. PERLAKUAN KHUSUS BIAYA-BIAYA FISKAL

    Terdapat beberapa biaya yang harus memenuhi syarat-syarat khusus agar dapat dibebankan sebagai

    biaya secara fiskal. Biaya-biaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini.

    1. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan Pembentukan cadangan yang diperbolehkan adalah yang berdasarkan PMK 81/PMK.03/2009.

    Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :

    A. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan

    kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan

    perusahaan anjak piutang, yang meliputi :

    5. cadangan piutang tak tertagih untuk:

    a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;

    b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

    c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;

    d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

    syariah;

    6. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan

    kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank

    umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang

    meliputi :

    a. Koperasi simpan pinjam; dan

    b. PT Permodalan Nasional Madani (Persero);

    7. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan

    piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal

    untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan

    pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);

    8. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan

    piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk

    pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara

    angsuran;

    9. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak

    tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk

    pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas

    piutang tersebut;

    B. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi :

    1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan

    asuransi kerugian;

    2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;

    C. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk

    lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam

    memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;

    D. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan

    yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat

    kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai

    peruntukannya;

    E. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya

    penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas

  • Pajak Penghasilan Badan

    24

    hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang

    bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara

    terpadu; dan

    F. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk

    usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi

    perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan,

    pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan

    hasil pengolahan limbah industri.

    Besarnya cadangan untuk masing-masing item dapat Anda lihat di PMK 81/PMK.03/2009 jo PMK-219/PMK.011/2012

    2. Penyediaan Makanan Dan minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai Di Tempat Kerja Tetap Deductible Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 Tanggal 5 Agustus 2003 ketentuan penyediaan makanan dan

    minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja tidak mutlak harus seluruh pegawai

    perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang

    tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi,

    dan dinas luar lainnya), maka hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip

    tersebut di atas.

    3. Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan KEP-163/PJ./2003 tanggal 10 Juni 2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat

    atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah

    dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang

    bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat

    atas penghasilan tersebut.

    Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagal bukti sekurang-kurangnya harus memuat:

    a. Nama Iengkap Wajib Pajak;

    b. Alamat jelas Wajib Pajak;

    c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

    d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya;

    e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tah polehnya;

    f. Besarnya penghasilan;

    g. Besarnya zakat atas penghasilan.

    4. Pembayaran Pajak Dan Retribusi Daerah (PDRD) Menjadi Biaya Tahun Pajak Yang Bersangkutan Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002, semua pengeluaran untuk PDRD harus

    langsung dibiayakan di tahun berjalan kecuali sanksi Bunga, Denda atau Kenaikan yang harus

    dikapitalisasi.

    5. Kenikmatan Dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Sudah Dapat Dibiayakan 50% Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian

    Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 diatur hal-hal

    sbb :

    a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50%nya dicatat sebagai

    pembelian aktiva tetap kelompok I dan dijadikan biaya melalui penyusutan;

    b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan;

    c. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap

    golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;

  • 25

    d. Biaya servis rutin atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai

    dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya;

    e. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas sedan atau sejenis yang dimiliki

    & digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50 %-nya sebagai pembelian aktiva

    tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;

    f. Biaya servis rutin atas sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena

    jabatannya dicatat 50%-nya sebagai biaya;

    g. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas bukan penghasilan pegawai;

    h. Termasuk kategori ponsel adalah pager;

    i. Termasuk kategori sedan adalah minibus ( Kijang dan sejenisnya);

    j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.

    6. Pembelian Software Umum Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembelian Software Khusus Harus Melalui Amortisasi Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan

    upgrade software diatur hal-hal sebagai berikut

    a. Perlakuan PPh atas software umum

    - Software umum adalah software yang digunakan oleh users umum;

    - Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada

    saat pengeluaran;

    - Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi

    bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1;

    b. Perlakuan PPh atas software khusus

    - Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan otomatisasi kegiatan

    tertentu;

    - Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan

    diamortisasi selama 4 tahun;

    Bila software khusus di-upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada NSBF software yang

    bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan.

    7. Pembayaran PBB Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembayaran BPHTB Harus Melalui Amortisasi Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang perlakuan PPh untuk PBB dan

    BPHTB maka :

    c. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan;

    d. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud dan diamortisasi

    sesuai pasal 11 A sesuai masa hak atas tanah;

    e. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dikapitalisasi ke nilai bangunan dan didepresiasi sesuai

    pasal 11;

    Kasus :

    PT Aneka adalah perusahaan milik keluarga Tn. Hernowo. Kantornya menempati sebagian

    ruangan rumahnya. PT Aneka adalah supplier alat-alat bagi kantor-kantor seperti ATK, meja,

    kursi, filling cabinet, AC,Komputer dll. Karena perusahaan keluarga maka dana untuk keperluan

    keluarga Tn. Hernowo juga diambil dari kas perusahaan, misalnya untuk keperluan berobat Tn.

    Hernowo biaya sekolah anak-anak Tn Hernowo, pembayaran cicilan rumah dll. Bila Tn.

    Hernowo sedang membutuhkan dana untuk keperluan proyek, ia sering menggunakan uang

    tabungan pendidikan anaknya & tabungan pribadi juga tabungan hajinya. Setelah proyek selesai,

    tabungan tersebut diisi lagi ditambah sejumlah komisi. Tn. Hernowo merasa bahwa manajemen

    keuangannya seperti diatas sudah cukup baik selama ini, terbukti ia tidak perlu berhutang ke bank

    untuk melaksanakan proyek-proyeknya dan membayar gaji keponakannya yang membantu

    administrasi setiap bulannya.

  • Pajak Penghasilan Badan

    26

    Pertanyaan :

    Akhir bulan lalu PT Aneka diperiksa oleh Kantor Pajak dan terkena SKPKB yang cukup besar

    karena dianggap pembukuannya selama ini salah. Kira-kira dimana kesalahannya ? Tn Hernowo

    merasa yakin sudah dipotong pajak terutama saat menjual barang ke kantor-kantor pemerintah. Ia

    meminta anda menjelaskan kesalahannya !

    Pembahasan :

    Kesalahan utama pembukuan PT Aneka adalah tidak memisahkan biaya-biaya perusahaan dengan

    biaya untuk keperluan pribadi pemegang saham sehingga banyak biaya-biaya perusahaan yang

    tidak diakui secara fiskal. Selain itu banyak biaya-biaya yang seharusnya dibebankan melalui

    pembebanan penyusutan ternyata dibebankan sekaligus pada tahun berjalan.

  • 27

    BAB V

    PENILAIAN HARTA PERUSAHAAN

    PENGANTAR

    Pada waktu kita belajar tentang penghasilan yang menjadi obyek pajak disebutkan bahwa salah

    satu obyek pajak adalah keuntungan atas pengalihan harta yaitu selisih harga pasar wajar harta

    tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang-kadang harga pasar wajar suatu harta susah ditentukan

    karena jual beli dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul

    masalah dalam penentuan berapa laba atau rugi pengalihan harta.

    Disamping itu timbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat harga

    perolehan harta tersebut. Bagi pembeli masalah penilaian harta menentukan biaya penyusutan atas

    harta tersebut. Agar tidak terjadi perdebatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak tentang

    masalah ini maka Fiskus menetapkan ketentuan tentang penilaian harta.

    Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tata cara penilaian harta milik Wajib Pajak seperti

    aktiva tetap dan persediaan. Selain itu diuraikan juga cara menghitung penghasilan sehubungan

    dengan penggunaan harta dalam perusahaan, cara menghitung keuntungan atau kerugian apabila

    terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan cara penghitungan penghasilan dan penjualan barang

    dagangan. (pasal 10 UU PPh)

    PENILAIAN HARTA

    Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan penilaian harta-

    harta menurut ketentuan pajak :

    1. Persediaan Barang Dagangan

    Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah FIFO dan

    rata-rata dengan mendasarkan diri pada historical cost (harga perolehan) persediaan tersebut.

    Metode yang lain seperti LIFO tidak diperkenankan. (Berdasarkan pasal 10 ayat (6))

    2. Aktiva Tetap (Bangunan, Mesin dan Kendaraan)

    Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan

    dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya angkut, dan biaya

    pemasangan. ( Berdasarkan pasal 10 ayat (1)).

    Contoh :

    Mesin diimpor dengan harga (Nilai Impor) Rp. 100 juta. Biaya pengangkutan dari pelabuhan ke pabrik, biaya pemasangan, pengetesan dan lain-lain sampai mesin tersebut siap digunakan sebesar

    Rp. 20 juta. Maka sebesar Rp. 20 juta tersebut dikapitalisasikan ke harga mesin sehingga nilai

    perolehan mesin menjadi Rp. 120 juta.

    3. Tanah

    Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah

    dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasikan dalam harga tanah.

    (Berdasarkan pasal 10 Ayat (1) dan (2)).

    Contoh :

  • Pajak Penghasilan Badan

    28

    Tanah dibeli seharga Rp. 1 miliar. Untuk pengurusan status dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200 juta. Maka

    sebesar Rp. 200 juta dikapitalisasikan ke harga perolehan tanah sehingga harga tanah tercatat

    sebesar Rp. 1.200 juta.

    4. Biaya Pra Operasi

    Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih

    dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. (Berdasarkan pasal 11 ayat

    (6)).

    Contoh :

    Biaya studi kelayakan, biaya produksi percobaan, biaya untuk mendapatkan izin usaha dari instansi

    berwenang dan biaya pendirian perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.

    Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi

    Biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon,

    dan biaya kantor Iainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun

    pengeluaran.

    TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA

    Beberapa transaksi akan mempengaruhi harga perolehan suatu aktiva, diantaranya :

    1. Jual Beli

    Suatu transaksi jual beli mungkin dipengaruhi oleh hubungan istimewa dan mungkin juga

    tidak. Dalam hal jual beli dipengaruhi hubungan istimewa (kepemilikan maupun hubungan.

    darah) maka penentuan harga bagi penjual dan pembeli adalah :

    - bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang seharusnya dibayar

    - bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima

    Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga jual beli :

    - bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang sesungguhnya dibayar

    - bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima

    Contoh :

    Tuan A adalah pemegang saham utama PT X. Tuan A memasok bahan baku produksi PT X. PT X

    membeli bahan baku dari Tuan A seharga Rp. 1.500.000,- per unit padahal harga bahan baku yang

    sama di pasar bebas hanya sebesar Rp. 1.000.000,- Karena transaksi tersebut adalah transaksi yang

    dipengaruhi hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai perolehan bahan baku sebesar

    Rp.1.000.000,-, bukan Rp. 1.500.000,-

    Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga perolehan menjadi Iebih besar/Iebih kecil dari

    harga pasar wajar. OIeh karena itu perlu dikoreksi untuk mendekatkan pada kondisi riil pasar.

    2. Tukar Menukar

    Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan

    atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan

    harga pasar. (Berdasarkan pasal 10 ayat (2) UU PPh )

    Contoh

    Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang dimiliki Tuan B. Harga pasar

    mesin tersebut adalah Rp 5.000.000 dengan NiIai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp 1.000.000.

    Mobil Tuan B sendiri memiliki harga pasar Rp 6.000.000 dengan NSBF sebesar Rp 3.000.000. Berapa

    keuntungan yang didapat dan transaksi tersebut?

    Jawaban

  • 29

    Selisih Iebih harga pasar dan NSBF adalah keuntungan yang dikenakan pajak. Keuntungan Tuan A

    sebesar selisih Harga Pasar mobil yang diterima (Rp.6.000.000,00)dengan NSBF mesin yang

    diserahkan (Rp.1.000.000)= 5.000.000 dan keuntungan Tuan B adalah sebesar selisih Harga Pasar

    mesin yang diterima (Rp. 5.000.000,-) dengan NSBF mobil yang diserahkan (Rp. 3.000.000) =

    2.000.000,-

    3. Penarikan Harta

    Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun

    terjadinya penjualan dan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) dari harta tersebut dibebankan sebagai

    kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan atau kerugian karena pengalihan

    harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.

    Apabila suatu harta terbakar, maka penggantian asuransinya ( kalau ada) dibukukan sebagai

    penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta

    tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.

    Contoh

    Sebuah mesin semi konduktor milik PT Electron terbakar karena terjadi konslet pada tanggal 10

    Januari 2009. Mesin tersebut dibeli tahun 2006 seharga Rp. 1 miliar. Nilai Sisa Buku Fiskal ( NSBF )

    pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp. 625 juta. Penggantian asuransi yang didapat sebesar Rp. 500

    juta.

    NSBF sebesar Rp. 625 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2006 sedangkan penggantian asuransi

    sebesar Rp. 500 juta dicatat sebagai penghasilan.

    Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti

    di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian

    dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

    4. Pengalihan harta untuk Setoran Modal.

    Pada prinsipnya pengalihan harta dalam bentuk apapun (jual beli, setoran modal, tukar

    menukar, dan lain- lain), penilaian hartanya didasarkan pada harga pasar.

    Contoh

    Tuan A ingin menambah modalnya di PT X dengan menyerahkan sebuah gudang. Nilai sisa buku

    Fiskal gudang sebelum penyerahan adalah Rp. 500 juta sedangkan harga pasarnya Rp. 1 miliar.

    Maka PT X mencatat setoran modal berupa gudang dari Tuan A sebesar Rp. 1 miliar sedangkan

    Tuan A harus mengakui keuntungan pengalihan harta sebesar harga pasar gudang ( Rp. 1 miliar)

    dikurangi NSBF-nya ( Rp. 500 juta) = Rp. 500 juta.

    5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi, pemekaran atau pengambilalihan

    PMK 43/PMK.03/2008.

    (1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.

    (2) Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.

    (3) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang

    modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu

    badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang

    lebih kecil.

    (4) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang

    modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.

    (5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku

    adalah:

  • Pajak Penghasilan Badan

    30

    a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana

    (Initial Public Offering); atau

    b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran

    melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).

    (6) Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas

    saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha

    baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut

    yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

    6. Hibah, Sumbangan dan Warisan

    Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan yang memenuhi pasal 4 ayat 3

    huruf a dan b ( yang menyerahkan adalah orang pribadi dan yang menerima adalah anggota

    keluarga sedarah lurus satu derajat atau badan sosial ) dicatat sebesar nilai buku harta yang

    dihibahkan oleh penerima. Sedangkan pemberi hibah dan sumbangan tidak boleh mencatat

    kerugian atas penyerahan harta tersebut.

    Contoh

    Tuan A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT X dan kepada sebuah

    badan sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, Tuan A

    mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi

    atas hibah gedung kepada PT X, Tuan A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan

    harus laba/rugi.

    7. Revaluasi aktiva tetap

    Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar Nilai Buku Fiskal menjadi

    sebesar harga pasar. Nilai harta setelah dilakukan revaluasi adalah sebesar nilai yang disetujui

    oleh Ditjen Pajak. Untuk dapat disetujui oleh Ditjen Pajak, atas selisih antara nilai buku

    sebelum revaluasi dan nilai buku setelah revaluasi WP dikenakan PPh Final sebesar 10 %.

    Setelah revaluasi disetujui, WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan yang baru

    (sebesar nilai harta yang disetujui Ditjen PaJak). Berdasarkan PMK 79/PMK.03/2008.

    Contoh

    NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp. 100 juta. Harga pasar wajar tersebut adalah Rp. 500

    juta. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga

    pasarnya ( Rp. 500 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar penyusutan yang

    baru

  • 31

    BAB VI

    PENYUSUTAN DAN AMORTISASI

    PENGANTAR

    Setelah kita belajar tentang nilai perolehan harta perusahaan, sekarang kita belajar tentang

    penyusutan atas harta tersebut. Biaya penyusutan suatu harta sangat dipengaruhi oleh nilai harta

    tersebut pada saat perolehannya. Hal lain yang berpengaruh adalah umur ekonomis, metode

    penyusutan serta nilai sisa harta tersebut setelah berakhirnya umur ekonomis.

    Dalam akuntansi komersial pengusaha bebas menentukan metode penyusutan, umur ekonomis

    serta nilai sisa suatu harta. Tetapi hal tersebut akan menimbulkan biaya penyusutan serta beban pajak

    yang tidak seragam diantara wajib pajak. Selain itu dalam audit pajak juga akan timbul perdebatan

    antara wajib pajak dan pemeriksa tentang masalah diatas. Agar tidak terjadi perdebatan antara

    pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak maka pemerintah menganggap perlu adanya keseragaman

    metode penyusutan atas suatu harta. Bab ini akan membahas masalah metode penyusutan atas suatu

    harta menurut ketentuan pajak.