16
PAJAK PENGHASILAN Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25 adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. Pajak penghasilan di Indonesia Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business taxatau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah. Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312 ) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925

Pph

Embed Size (px)

DESCRIPTION

b

Citation preview

PAJAK PENGHASILANPajak penghasilandikenal sebagaiPajak Penghasilan (PPh) Pasal 25atauPPh 25adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukanprogresif,proporsional, atauregresif.Pajak penghasilan di IndonesiaSejarah pengenaan Pajak Penghasilan diIndonesiadimulai dengan adanyatenement tax(huistaks) pada tahun1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun1908terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orangAsiadanEropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuanperpajakanTercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknyabusiness taxataubedrijfsbelastinguntuk orangpribumi. Di samping itu, sejak tahun1882hingga1916dikenal adanyaPoll Taxyang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orangEropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah,pensiundan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun1920dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannyaGeneral income taxyakniOrdonansi pajak pendapatanyang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili danasas sumber.Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun1925ditetapkanlahOrdonasi pajak perseroantahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain denganUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1970tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak Kekayaan1932dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah denganUU No. 8 tahun 1970dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuancuti pajak(tax holiday).Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember1983, yakni pada saat diadakannyareformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932,Staatsblad1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenalasas sumberdanasas domisili.Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun1935ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gajipegawaiyang mempunyaitarif progresifdari 0% sampai dengan 15%. Pada zamanPerang Dunia IIdiberlakukanOorlogsbelasting(Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan namaOvergangsbelasting(Pajak Peralihan). DenganUndang-Undang Nomor 21 Tahun 1957nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan PajakPerseroan1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannyareformasi pajakdi Indonesia.KetentuanSubjek pajakMenurutUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:1. Subjek pajak pribadiyaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.2. Subjek pajak harta warisan belum dibagiyaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.3. Subjek pajak badanbadan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan4. Bentuk usaha tetapyaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.Bukan subjek pajakUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2000menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk objek pajak sebagai berikut:1. Badan perwakilan negara asing.2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.Objek pajakObjek pajakpenghasilanyaitu setiaptambahan kemampuan ekonomisyang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperolehwajib pajakdarimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satuTahun Pajaksuatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.Kronologi perubahan undang-undangSesuai dengan amandemen ketigaUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.[2]Pajak Penghasilan(disingkatPPh) diIndonesiadiatur pertama kali denganUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983dengan penjelasan padaLembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 19912. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 19943. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 20004. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008MulaiJuli2003sampaiDesember2004, pemerintah menerapkan sistempajak yang ditanggung pemerintahyang diatur dalamPeraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003danKeputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.PerubahanPenghasilan Tidak Kena Pajak(PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak2005(sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak2006.

Cara Penghitungan PPh Pasal 21 Terbaru

Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:Gaji3.000.000,00

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 15.000,00

Premi Jaminan Kematian9.000,00

Penghasilan bruto3.024.000,00

Pengurangan

1. Biaya jabatan

5%x3.024.000,00151.200,00

2. Iuran Pensiun50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua60.000,00

261.200,00

Penghasilan neto sebulan2.762.800,00

Penghasilan neto setahun

12x2.762.800,0033.153.600,00

PTKP

- untuk WP sendiri24.300.000,00

- tambahan WP kawin2.025.000,00

26.325.000,00

Penghasilan Kena Pajak setahun6.828.600,00

Pembulatan6.828.000,00

PPh terutang

5%x6.828.000,00341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli

341.400,00 : 1228.452,00

Catatan: Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak. Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

3. Pajak Penghasilan(PPh)Pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Pajak Penghasilan termasuk salah satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final.Filosofi PPhDefinisi penghasilan menurut UU PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah objek pajak. Atas dasar penyederhanaan, keadilan dan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak maka atas beberapa hal diberlakukan pajak final, diantaranya ialah pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan bersifat final dimaksudkan agar:1. Proses administrasi menjadi lebih sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarif yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas,2. Untuk keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarif yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh,3. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena PPh ini memiliki tarif tunggal yaitu sebesar 5% (lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat.Dengan semakin meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk melakukan pengujian data, maka diharapkan akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Dasar HukumDasar hukum pemberlakuan PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan ialah pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Peraturan terkait lainnya antara lain:1. Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008,2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008,3. Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER 28/PJ/2009, 20 April 2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 tentang Perubahan ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.Objek PajakObjek pajak Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengalihan hak yang dimaksud adalah semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dapat dilakukan dengan cara :1. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bukan pemerintah,2. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus misalnya penjualan atau pelepasan hak tanah kepada pemerintah untuk proyek Rumah Sakit Umum dan untuk proyek kampus universitas,3. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.Subjek PajakSubjek pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah orang pribadi atau badan yang mengalihkan tanah dan atau bangunan.Dasar Pengenaan PajakPPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan bersifat final dengan DPP adalah jumlah bruto nilai pengalihan. Adapun batas pengalihan yang dikenakan PPh adalah sebesar Rp. 60.000.000,-.Nilai pengalihan adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP, kecuali :1. Pengalihan hak kepada pemerintah, maka nilai yang digunakan adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan,2. Pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, maka nilai yang digunakan adalah nilai menurut risalah lelang.NJOP yang dimaksud adalah NJOP menurut SPPT PBB tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT tersebut belum terbit maka WP dapat mengajukan permohonan ke KPP Pratama untuk memperoleh Surat Keterangan NJOP. Misalnya WP akan melakukan transaksi pada tanggal 5 Januari, sedangkan pada bulan-bulan tersebut pada umumnya SPPT masih dalam proses pengadministrasian. Sehingga belum dapat diketahui berapa benchmark NJOP untuk tahun berjalan bila diperkirakan nilai pengalihan akan lebih rendah dari NJOP tahun sebelumnya. Untuk itu WP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan NJOP yang pada dasarnya isinya sama dengan SPPT PBB.Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama, maka NJOP yang dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada atau bisa juga WP bersangkutan memohon untuk terlebih dahulu diterbitkan SPPT PBB atas objek yang akan ditransaksikan.TarifTarif pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.Pengertian RS/RSS menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2008 adalah: Rumah Sederhana adalah bangunan yang terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dcngan ketentuan peraturan perundang-undangan.Ketentuan PembayaranPembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan bersifat final bagi Wajib Pajak orang pribadi dan yayasan atau organisasi sejenis yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai kegiatan usaha pokoknya. Pembayaran penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final yang dibayar paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.Dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran, maka Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran, wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.Yang DikecualikanDikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:1. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah,2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,3. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan,4. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan,5. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan,6. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.PPh Atas Persewaan Tanah dan Atau BangunanAtas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari Persewaan tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.Dasar HukumSeperti halnya pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, prinsip dasar yang mendasari pemberlakukan PPh final ialah kesederhanaan, keadilan, dan peningkatan kepatuhan. Dasar hukum dari pemberlakuan PPh final atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan atau bangunan ialah pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Peraturan terkait lainnya antara lain:1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 merupakan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan,2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 120/KMK.03/2002 tanggal 2 April 2002 merupakan perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 394/KMK.04/1996 tanggal 5 Juni 1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan.3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002 merupakan pengganti Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-22/PJ.41/1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan.TarifAtas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan PPh final sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewakan termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya danservice chargebaik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.Pemotong PPhPemotong PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah:1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan, dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilian perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa dan penyewa wajib memberikan bukti potong kepada yang menyewakan atau yang menerima penghasilan,2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.Saat TerutangPPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa.Penyetoran dan PelaporanDalam hal PPh terutang harus dilunasi melalui pemotongan oleh penyewa, penyetoran ke bank persepsi dan Kantor Posselambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewadengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk pelaporan pemotongan dan penyetorannya dilakukan ke KPP Pratamaselambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewadengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2).Apabila PPh terutang harus disetor sendiri oleh yang menyewakan, maka yang menyewakan wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos selambat-lambatnyatanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewadengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk pelaporan penyetorannya dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnyatanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewadengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2).Kesimpulan1. Objek pajak dari jenis pajak ini adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,2. Subjek pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan,3. DPP PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah jumlah bruto nilai pengalihan. Adapun batas pengalihan yang dikenakan PPh adalah sebesar Rp. 60.000.000,-,4. Tarif pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas RS dan RSS yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.5. Atas penghasilan yang diterima dari Persewaan tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final,6. Atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan PPh final sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.