444
ISBN : 978 – 979 – 99314 – 3 – 6 Tim Penyunting Artikel Seminar : Dr. Hartono Dr. Heru Kuswanto Dr. Suyanta Dr. Heru Nurcahyo Tim Editor: Dr. Endang Widjajanti LFX Agus Purwanto, M.Sc Nur Hadi Waryanto, S.Si Tri Atmanto, M.Si Artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA pada 30 Mei 2008 di FMIPA-UNY FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN 2008 P P P R R R O O O S S S E E E D D D I I I N N N G G G S S S E E E M M M I I I N N N A A A R R R N N N A A A S S S I I I O O O N N N A A A L L L P P P e e e n n n e e e l l l i i i t t t i i i a a a n n n , , , P P P e e e n n n d d d i i i d d d i i i k k k a a a n n n d d d a a n n n P P P e e e n n n e e e r r r a a a p p p a a a n n n M M M I I I P P P A A A 30 Mei 2008, R. Sidang FMIPA UNY, Yogyakarta

PPRROOSSEEDDIINNGG SSSEEMMIINNAARR · PDF filePenyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan Konstruksi ... dalam Pembelajaran Peluang Pada Siswa ... 13 Kesiapan Siswa Sma Menghadapi

  • Upload
    buidung

  • View
    410

  • Download
    19

Embed Size (px)

Citation preview

ISBN : 978 – 979 – 99314 – 3 – 6

Tim Penyunting Artikel Seminar : Dr. Hartono Dr. Heru Kuswanto Dr. Suyanta Dr. Heru Nurcahyo

Tim Editor:

Dr. Endang Widjajanti LFX Agus Purwanto, M.Sc Nur Hadi Waryanto, S.Si Tri Atmanto, M.Si

Artikel dalam prosiding ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA pada 30 Mei 2008 di FMIPA-UNY

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

TAHUN 2008

PPPRRROOOSSSEEEDDDIIINNNGGG SSSEEEMMMIIINNNAAARRR NNNAAASSSIIIOOONNNAAALLL PPPeeennneeellliiitttiiiaaannn,,, PPPeeennndddiiidddiiikkkaaannn dddaaannn P PPeeennneeerrraaapppaaannn MMMIIIPPPAAA

30 Mei 2008, R. Sidang FMIPA UNY, Yogyakarta

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

PROSIDING SEMINAR NASIONAL MIPA 2008 Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA serta Peranannya Dalam Peningkatan Keprofesionalan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNY, Yogyakarta 30 Mei 2006 Diselenggarakan oleh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Kampus Karangmalang, Sleman, Yogyakarta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNY, 2008 Cetakan ke – 1 Terbitan Tahun 2008 Katalog dalam Terbitan (KDT) Seminar Nasional (2008 Mei 30: Yogyakarta) Prosiding/ Penyunting: Endang Widjajanti Laksono Laksono…. [et.al] – Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2008 …jil

1. Nasional Seminar I. Judul II. Laksono Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Penyuntingan semua tulisan dalam prosiding ini dilakukan oleh Tim Penyunting Seminar Nasional FMIPA 2008 dari FMIPA UNY

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Mahaesa atas segala Karunia dan

Rahmatnya proseding ini dapat diselesaikan. Proseding ini merupakan kumpulan dari

makalah dari peneliti, dosen dan guru yang berkecimpung di bidang MIPA dan

Pendidikan MIPA yang berasal berbagai daerah di Indonesia.

Makalah yang dipresentasikan meliputi 2 makalah utama dan 121 makalah

pendamping yang terdiri dari 32 makalah bidang matematika dan pendidikan matematika,

41 makalah bidang fisika dan pendidikan fisika, 21 makalah dari bidang kimia dan

pendidikan kimia serta 27 makalah bidang biologi dan pendidikan biologi.

Pada kesempatan ini panitia mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu dan mendukung penyelenggaraan seminar ini. Dan kepada seluruh peserta

seminar diucapkan terimakasih atas partisipasinya dan selamat berseminar semoga

bermanfaat.

Yogyakarta, 30 Mei 2008

Panitia

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Assalamuallaikum wr. wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksanakannya

seminar nasional Penelitian , Pendidikan dan Penerapan MIPA dengan tema “Peningkatan

Keprofesionalan Peneliti, Pendidik dan Praktisi MIPA untuk Mendukung Pengembangan

Kecerdasan Spiritual dan Emosional” .

Seminar ini merupakan agenda rutin tahunan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta yang biasanya diagendakan sekitar

bular Agustus-September, namun untuk tahun ini kegiatan semnas diadakan dalam rangka

menyambut dan memeriahkan Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta yang ke- 44.

Panitia mohon maaf karena pembicara utama Bapak Menteri Komunikasi dan Informatika

tidak bisa hadir dikarenakan ada kegiatan yang bersamaan dengan semnas ini dan sebagai

pengantinya beliau Bapak Dr. Ari Santosa

Pelaksanaan semnas ini terbagi dalam dua sesi yakni sesi pertama adalah sidang

pleno yaitu panel dua pembicara utama dan sesi yang kedua adalah siding parallel yang

terbagi dalam 4 bidang yaitu Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi dengan total

malakah/artikel yang dipresentasikan sebanyak 118 makalah yang ditulis oleh para dosen

atau peneliti dari berbagai instansi di tanah air.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua anggota panitia yang

telah bekerja keras demi kelancaran semnas ini. Namun apabila masih ada kekurangan-

kekurangan dalam pelayanan kami panitia mohon maaf yang sebesarbesarnya. Akhir kata

kami sampaikan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada para peserta seminar

atas partisipasinya dan selamat dating di FMIPA UNY dan selamat berseminar.

Wasalamuallaikum wr. wb.

Yogyakarta, 30 Mei 2008

Ketua Panitia

SAMBUTAN REKTOR

Assalmu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan nikmatNya yang selalu dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita dapat bersama-sama di tempat ini dalam rangka mengikuti seminar nasional MIPA dengan tema:

Peningkatan Keprofesionalan Peneliti, Pendidik, dan Praktisi MIPA untuk mendukung Pengembangan Kecerdasan Spiritual dan Emosional.

Tema ini dipilih dengan semangat kebersamaan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme peneliti, pendidik dan para praktisi MIPA. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang telah dituangkan baik dalam Undang-Undang RI No. : 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Undang-Undang RI No.: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.: 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan. Apalagi dua diantara empat kompetensi yang dituntut dalam keprofesionalan pendidik tersebut sangat kental kaitannya dengan kendali dalam bidang kecedasan emosional dan spiritual.

Selanjutnya, dengan seminar nasional MIPA ini diharapkan para peserta seminar dapat semakin bersemangat dalam berinovasi dan berkarya nyata tentang MIPA atas dasar ibadah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas. Dengan kata lain, harus selalu diusahakan terwujudnya pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) yang sinergis dengan peningkatan Iman dan Taqwa (IMTAQ) sehingga terwujud peningkatan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.

Akhirnya, saya sampaikan banyak terimakasih kepada segenap panitia penyelenggara seminar nasional MIPA, FMIPA-UNY, atas kesungguhan dan kerjasama dalam mensukseskan penyelenggaraan seminar nasional MIPA kali ini.

Selamat berseminar, dan semoga sukses. Terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 23 Mei 2008 REKTOR

Prof. Sugeng Mardiyono, Ph.D. NIP. 130687369

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Sambutan Ketua Panitia iii

Sambutan Rektor iv

Daftar Isi v

Makalah Utama Dr. Chairil Anwar Riset Biomasa Dalam Konteks EQ dan SQ

Makalah Bidang Pendidikan Matematika

Kode Judul Hal

PM – 1 Pengembangan Soal Cerita Matematika dengan Empat Pilar

Belajar (Bambang Sumarno HM)

1

PM – 2 Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru

Matematika: Apa dan Bagaimana Mengembangkannya

(Djamilah Bondan Widjajanti)

15

PM – 3 Eksplorasi Program Winplot Untuk Mendukung Pembelajaran

Matematika Di SMA (Mg. Erni Harmiati)

25

PM – 4 Keterampilan Berpikir dalam Pendidikan Matematika Realistik

(Hasratuddin)

37

PM – 5 Mengestimasi Reliabilitas Perangkat Tes Melalui Pendekatan

Analisis Faktor (Heri Retnawati)

51

PM – 6 Konsep-Konsep dan Prinsip-Prinsip Yang Digunakan dalam

Penyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan Konstruksi

Geometri (Himmawati Piji Lestari)

61

PM – 7 Analisis Kesiapan Guru Smp Negeri Di Kabupaten Tabalong dalam Menghadapi Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis)

69

PM – 8 Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI (Team-Assisted Individualization) dalam Pembelajaran Peluang Pada Siswa Kelas IX SMP Idhata Banjarmasin Tahun Pelajaran 2007/2008 (Karim, Sohrah)

81

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

PM – 9 Kegiatan Penelitian Sebagai Usaha Untuk Meningkatkan

Profesionalisme Guru Matematika (Marsigit)

95

PM – 10 Analisis Pembelajaran Mata Kuliah Semester I Jurusan Tadris

Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin

(Muhamad Sabirin)

116

PM – 11 Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Untuk

Pembelajaran Materi Himpunan (Nila Kesumawati )

133

PM – 12 Penggunaan Metakognitif Scaffolding Untuk Meningkatkan

Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency) Siswa

(Risnanosanti)

143

PM – 13 Kesiapan Siswa Sma Menghadapi UAN Matematika (Studi

Kasus Pada Siswa Berkesulitan Belajar Matematika)

(R.Rosnawati)

153

PM – 14 Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi Untuk

Memaksimalkan Kemampuan Pemahaman Konsep,

Pemecahan Masalah dan Afektif Matematik Peserta Didik

(Rudy Kurniawan)

164

PM – 15 Kajian Kritis Keterlaksanaan Kurikulum Matematika Sekolah

(Sumaryanta)

179

PM – 16 Kemampuan Representasi dalam Pembelajaran Matematika

(Syarifah Fadillah)

192

PM – 17 Studi Tentang Model Pembelajaran Matematika Interaktif

Berbantuan Teknologi Multimedia Untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Siswa (Yonandi)

200

PM – 18 Penyusunan Peta Konsep dalam Setting Pembelajaran

Kooperatif Model "Stad" Pada Mahasiswa Pend. Mat. FKIP

Untan (Yulis Jamiah)

222

PM – 19 Membantu Siswa SD dalam Memecahkan Soal Aplikasi Matematis Melalui Pembelajaran Tidak Langsung Dengan Strategi ”ARIFIN” (Zaenal Arifin)

234

PM – 20 Information Literacy Kunci Sukses Pembelajaran Di Era Informasi (Sri Andayani)

248

Makalah Bidang Matematika

Kode Judul Hal

M – 1 Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval (M. Andy Rudhito,

Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.)

255

M – 2 Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval (M. Andy

Rudhito, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.)

263

M – 3 Teorema Pemetaan Kontraksi dan Penerapannya Pada

Persamaan Integral Fredholm (Herry Pribawanto Suryawan)

273

M – 4 Teori Matematika Dalam Perang (Don Bosco Priyo Edhi,

Antonius Yudhi Anggoro, Ratna Bunga, Christiansen

Pasaribu, Herry Pribawanto S)

285

M – 5 Ideal Fuzzy Semigrup (Karyati, Indah Emilia W, Sri Wahyuni,

Budi Surodjo, Setiadji)

297

M – 6 Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi

Binomial Negatif (Kismiantini)

306

M – 7 Efisiensi Sumber Daya dengan Virtualisasi Server (Kuswari

Hernawati)

315

M – 8 Ruang Assosiat Terhadap Ruang Fungsi Terboboti

[ ]( ), ,X a b v dan Beberapa Permasalahan (Muslim Ansori,

Y.D Sumanto)

327

M – 9 A Henstock Integral For Multifunctions (Y. D. Sumanto,

Muslim Ansori)

341

M – 10 Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert (Dede

Suratman)

347

M – 11 Perluasan Konsep Bilangan Ramsey (Isnaini Rosyida) 354

M - 12 Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linear dengan Metode 364

Pseudo-Newton (Lusia Krismiyati Budiasih)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

OlehChairil Anwar

Disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies FMIPA UNY

Yogyakarta, 30 Mei 2008

Riset Biomasa Dalam Konteks EQ danSQ

Alur PresentasiAlur Presentasi

• Pendahuluan• Kecerdasan : Tinjauan Neurologi,

Psikologi dan Agama• Teori Penemuan Sains• Energi dan Kelangsungan Hidup• Riset Biomasa• Riset Biomasa dan Kecerdasan• Kesimpulan

PendahuluanPendahuluan• UNY memberikan gelar Dr HC pada Ary Ginanjar, Pencetus

dan yang mempopulerkan pelatihan ESQ• Kemajuan Sains dan Teknologi saat ini diyakini sebagai

produk unggulan manusia yang dihasilkan utamanyamelalui kerja otak (IQ) dalam memahami alam danmemanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia.

• Diketahui bahwa kecerdasan manusia tidak hanya tunggalmelainkan majemuk (Multiple Intelligence) yang perlu terusdigali dan diaktualisasikan agar dapat menyelesaikanberbagai persoalan manusia.

• Manusia moderen dan energi tidak dapat dipisahkan. Dampak negatif penggunakan bahan bakar fosil (minyakbumi,gas, batu bara) adalah pemanasan global.

• Harga minyak mentah saat ini telah mencapai lebih dari AS $135 per barel.

• Melalui kecerdasannya manusia mencoba mengatasimasalah energi dan pemanasan global salah satunyamelalui penganekaan pemanfaatan biomasa.

Studi KecerdasanStudi Kecerdasan

• Tinjauan Neurologi- Sains Otak• Psikologi-Agama• Teori Penemuan Ilmiah

Definisi KecerdasanDefinisi Kecerdasan

Howard Gardner

Kecerdasan adalah kemampuanmenyelesaikan masalah, ataumenciptakan produk,yang bernilaimenurut lingkungan satu budayaatau lebih

Gardner mengusulkan 7 kecerdasan : bahasa(1), logika-matematika(2), ruang(3), tubuh-kinestetik(4), musik(5), intra personal(6) dan antarpersonal(7). Dua yang lain : naturalist(8), spiritual, daneksistensial(9)

9 Kecerdasan Majemuk9 Kecerdasan Majemuk

IntelligenceIntelligence• Intelligence is a summary and multifaceted concept

of general mental capability, reflecting the ability to comprehend, adapt to, and interact with the environment.

• Patterns among components of intelligence, those reflecting "hold" versus "don't hold" skills, provide a strong basis for inferring changes in current intelligence from inferred premorbid intelligence.

• Intelligence is not a specific domain but a composite of several domains.

• It is usually included in neurofunctional assessment, however, as a comprehensive functional index and, because it is multifaceted, may not reflect some forms of brain injury or disorder.

• Otak mempunyai berat sekitar 1.4 kilogram, terdiri dari tiga struktur utama: cerebrum , cerebellum dan brainstem .

• Otak berfungsi sebagai pusat kontrol bagiberbagai fungsi tubuh dan membantu kitamengatasi lingkungan.

• Perkataan, perbuatan, fikiran,dan perasaanberpusat di otak.

• Otak sangat kompleks sehingga sebagianahli percaya bahwa kita tidak akan dapatmemahami otak sepenuhnya .

Kebutuhan Energi OtakKebutuhan Energi Otak

KebutuhanEnergi otak20 % dari total energi tubuh : 2/3 untukdigunakanuntukmenyalakanneuron dan 1/3 untuk menjagakomponen otak(Wei Chen )

Emosi dan OtakEmosi dan Otak

Emosi adalah sesuatu yang lebih banyakterjadi pada diri kita daripada sesuatu yang kita putuskan agar terjadi pada kita

Pengukuran Gelombang OtakPengukuran Gelombang Otak

Neurokimia Maaf dan MelupakanNeurokimia Maaf dan Melupakan

• Kepercayaan menjadi dasar hubungan yang sehat antarmanusia. Saat ini saintis sedang meneliti bahwakepercayaan ternyata dapat dipicu oleh bahan kimia didalam otak.

• Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hormon oxytocindapat menjadikan kita mempercayai teman walaupunmereka telah menunjukkan ketidak setiaanya melaluipenekanan pada daerah otak yang menunjukkan signal takut.

• Penemuan ini dapat membantu memahami masalahterjadinya fobia sosial serta kelainan lainnya.

• Thomas Baumgartner, ahli syaraf di Universitas Zürich, Swiss dan koleganya memantau aktivitas otak 49 pria padasaat mereka bermain game tentang trust dan betrayal

Akar Moral dalam OtakAkar Moral dalam Otak

Studi neuroimaging berhasil menghubungkan beberapa bagian otak denganmoral cognition. Temporoparietal junction kanan (brown), terkait denganpemahaman, atau ventromedial prefrontal cortex (green), yang memprosesemosi, telah diketemukan dapat merubah penilaian moral. Greene dkkkemudian menyarankan bahwa aktivitas di dalam anterior cingulate cortex (pink) menandai konflik diantara emosi, dipantulkan oleh aktivitas dalammedial frontal gyrus (blue) dan area lain (orange, brown), serta "cold" kognisi, dipantulkan oleh aktivitas dalam dorsolateral prefrontal cortex (yellow).

Bagian Percaya di OtakBagian Percaya di Otak

Hormon oxytocindapat menjadikankita percaya padaorang lain walaupun merekatidak loyal padakita, dengan caramenekan aktivitasdalam dorsal striatum (atas, daerah merah) and amygdala (bawah).

KecerdasanKecerdasan

• Tinjauan Psikologi dan Agama

Apa : Emotional Intelligence?Apa : Emotional Intelligence?

•Faktor terkait dengan keberhasilanhidup•Membantu kita memahami mengapasebagian orang berhasil dalamhidupnya sedangkan sebagian lainnyagagal•EI berbeda dari IQ (Cognitive Intelligence)

Definisi EI (lainnya)Definisi EI (lainnya)

• Kemampuan untuk mengenalperasaan kita maupun orang lain, untuk memotivasi serta mengelolaemosi diri kita dengan baik danmenjaga hubungan baik dengansesamanya.

•Daniel Goldman

The Hay EQ Competency Framework

The Hay EQ Competency Framework

• Emotional Self-Awareness• Accurate Self-Assessment• Self-Confidence

• Self-Control• Trustworthiness• Conscientiousness• Adaptability• Achievement Orientation• Initiative

• Empathy• Organisational Awareness• Service Orientation

• Developing others• Leadership• Influence• Communication• Change Catalyst• Conflict Management• Building Bonds• Teamwork &Collaboration

Self AwarenessSelf Awareness Social AwarenessSocial Awareness

Self ManagementSelf Management Social SkillsSocial Skills

EQ dan UmurEQ dan Umur

90

92

94

96

98

100

102

104

16-19 Average 40-49

Kecerdasan-Tuhan-ManusiaKecerdasan-Tuhan-Manusia

Tafsir KecerdasanTafsir Kecerdasan

Piramida Motivasi Sesudah TerjadiPerubahan Budaya

Piramida Motivasi Sesudah TerjadiPerubahan Budaya

Teori Penemuan Ilmiah"Cha-Cha-Cha"

Teori Penemuan Ilmiah"Cha-Cha-Cha"

• Setiap penemuan ilmiah terjadi melaluipenataan neuron dalam otak seorangindividu dan karenanya ia idiosyncratic.

• Dengan melihat beberapa abad kebelakang ternyata penemuan ilmiahmenunjukkan pola yang dapatdikelompokkan menjadi tiga katagori yaitu: Charge, Challenge, dan Chance—yang dapat disingkat sebagai Teori PenemuanIlmiah "Cha-Cha-Cha“. (Daniel E. Koshland Jr.)

CATEGORIES OF DISCOVERY

Problem that needed solving Discovery Discoverer Category of discovery

Movement of stars, Earth, and Sun Gravity Newton Charge

Structure of C6H6 Benzene structure Kekulé Challenge

Clear spots on petri dish Penicillin Fleming Chance

Constant speed of light Special relativity Einstein Challenge

Preventing heart attacks Cholesterol metabolism Brown & Goldstein Charge

Crystals of D- and -L tartaric acid Optical activity Pasteur Chance

Atomic spectra that could not be explained Quantum mechanical atom Bohr Challenge

How DNA replicates and passes on coding

Base pairing in double helix Watson & Crick Challenge

Reagent "stuck" in storage cylinder Teflon Plunkett Chance

Why offspring look like their parents Laws of heredity Mendel Charge

Kondisi Hidup Ibarat PosisiAir

Kondisi Hidup Ibarat PosisiAir

Masalah GlobalMasalah Global

Makin banyak Jenis PenyakitTerkait pangan

Permintaan bahan pangan berkualitasTerus meningkat

Masalah Sosial

PemanasanGlobal

Bahan bakudan Energi Terbatas

Penyakit InfeksiKhewan meningkat

Revolusi Abu-abu

Perubahan IklimPerubahan Iklim

Pergerakan Harga Minyak DuniaPergerakan Harga Minyak Dunia

Riset BiomasaRiset Biomasa

• Dalam katagori teori 3-Cha risetbiomasa bisa masuk dalam katagorichallenge.

• Sumber energi ada dua macam : tidak terbarukan (energi fosil: minyakbumi, gas alam dan batu bara) danterbarukan (biomasa, air,angin,matahari/solar, nuklir)

Kenapa BiomasaKenapa Biomasa

• Tantangan Pemanasan Global• Terbarukan dan ramah lingkungan

(dapat mengatasi penggundulanhutan dengan memilih jenis tanamanyang produktif dan efisien)

• Harga minyak bumi yang makin tinggi• Sebagai tanggung jawab

kemanusiaan

TantanganTantangan

• Manfaatkan berbagai sumberbiomasa : selulosa, serat, jagung

• Gunakan Bioteknologi danNanoteknologi untukmengembangkan jalur konversi bio-katalitik melalui : yeast, enzim, katalisbed-tetap

Bambu Penghasil BiomassaPaling Efisien

Bambu Penghasil BiomassaPaling Efisien

Kiprah EU dalam RisetBiomasa

Kiprah EU dalam RisetBiomasa

• Berikut adalah contoh riset terpaduNegara-Negara Uni Eropa (EU) dalam riset biomasa

Simulasi Daur Hidup untuk ProduksiBiofuel

Simulasi Daur Hidup untuk ProduksiBiofuel

Konversi Biomasa MenjadiEnergi, dll

Konversi Biomasa MenjadiEnergi, dll

Kolaboratif Riset EU dalam Pangan, Pertanian-Bioteknologi

Kolaboratif Riset EU dalam Pangan, Pertanian-Bioteknologi

Produksi Biomassa EUProduksi Biomassa EU

Produksi Enzim EropaProduksi Enzim Eropa

Bio-EkonomiBio-Ekonomi

Manfaat Bio-EkonomiManfaat Bio-Ekonomi

Kompetisi Global Bio-Ekonomi

Kompetisi Global Bio-Ekonomi

Produksi Bioalkana CairProduksi Bioalkana Cair

Proses H2CarbonProses H2Carbon

Is your academic reputation valuable

to you?

Jarak Pagar (Jatropa Curcas)Jarak Pagar (Jatropa Curcas)

Pertanyaan?

KesimpulanKesimpulan• Menurut pengetahuan neurologi dan psikologi pusat kecerdasan

ada di otak yang kemudian disalurkan ke berbagai aspek diri: kognitif (matematik,ruang); afektif (intra,ekstra,eksistensi) danmotorik (bahasa,fisik).

• Kecerdasan emosi (EI) dan spiritual (SI) terutama terkait denganhubungan antar manusia dan hubungan antara manusia denganYang Maha Kuasa.

• Melalui EI dan SI maupun kecerdasan majemuk (MI) manusiabertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan peningkatankualitas hidup yang berkelanjutan.

• Awal abad 21 ditandai dengan masalah besar kemanusiaan yaitu‘isu’Pemanasan Global atau GW.

• Riset biomasa adalah salah satu cara manusia mengatasi GW. Melalui riset ini diharapkan CI,EI dan EI manusia dapat terusterasah sekaligus diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidupmanusia maupun bumi (sustainable earth and humankind live)

Terima Kasih!

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Pengembangan Soal Cerita Matematika Dengan Empat Pilar Belajar

Bambang Sumarno HM

Jurdik Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Permasalahan pembelajaran Matematika, paradigma kecerdasan dan kualitas kehidupan manusia saling mengait. Matematika tidak terlepaskan dari kehidupan manusia. Tetapi pada kenyataannya, eksistensinya menyempit sebatas ranah kognitif, seperti sebagai alat bantu perhitungan dan angka/batas “kelulusan”. Matematika belum dapat mempertegas perannya di ranah afektif yang banyak diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya pergerakan keberadaan Matematika ke ranah afektif sejalan dengan berkembangnya paradigma kecerdasan emosional yang sangat berperan di dalam peningkatan kualitas kehidupan manusia.

Soal cerita Matematika merupakan salah satu bentuk penyajian permasalahan Matematika yang cukup kental dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kehidupan sehari-hari sebagai upaya agar peserta didik dapat menemukan dan mengkomunikasikan konsep-konsep Matematika dengan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, sebagai upaya menjaga evolusi kehidupan manusia, UNESCO (United Nation Education, Social and Cultural Organization) melalui Task Force-nya menyampaikan refleksi Learning: the Treasure Within yang dikenal dengan “Empat Pilar Belajar”, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together and learning to be.

Pengembangan soal cerita matematika yang mengacu pada Empat Pilar Pendidikan tersebut diharapkan Matematika tidak sekedar identik dengan kecerdasan intelektual (IQ/Intelligence Quotient) juga dapat mendukung terbentuknya kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotient). Adanya dukungan peningkatan kecerdasan emosional, peserta didik dapat menyinergikan belajar untuk mengetahui, melakukan/berkarya, hidup bersama dan menjadi individu yang berkembang secara utuh.

Kata Kunci: Soal Cerita Matematika, Empat Pilar Belajar, dan Kecerdasan Emosional

I. Latar Belakang

Ketakutan peserta didik terhadap Matematika merupakan cerminan pembelajaran

Matematika yang kurang berhasil. Hal ini berdampak rendahnya prestasi dan minat

belajar Matematika di sebagian besar sekolah. Kalaupun terbaca keberhasilan,

Matematika masih berkutat di ranah kognitif. Hal ini tersaji dengan besaran-besaran

nominal yang masih sebatas ukuran kelulusan.

Kurang disenanginya Matematika oleh sebagian besar peserta didik dapat

disebabkan pembelajaran Matematika yang kurang menyenangkan dan kurang

bermakna. Penyampaian materi Matematika yang didominasi ranah kognitif kurang

bermakna bagi peserta didik. Abstraksi yang terlalu kental dan kurangnya peluruhan

kembali ke permasalahan kehidupan sehari-hari semakin menjauhkan Matematika dari

peminatnya, yaitu peserta didik.

Lebih luas, keprihatinan akan pembelajaran secara umum memancing badan dunia

UNESCO menyampaikan refleksinya yang dikenal dengan Empat Pilar Belajar yang

terdiri dari learning to know, learning to do, learning to live together and learning to

be. Pernyataan ini sejalan berkembangnya paradigma tentang kecerdasan yang selama

ini memunculkan bias. Kecerdasan yang selama ini identik dengan intelektual

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

1

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

(IQ/Intelligence Quetiont) ternyata tidak sepenuhnya dapat menjawab keutuhan tolok

ukuran kesuksesan seseorang. Kecerdasan emosional (EQ/Emotional) menyeruak

sebagai salah satu bentuk kecerdasan yang sangat penting perannya di dalam kehidupan

seseorang, sebagai individu dan masyarakat dunia.

Soal cerita Matematika merupakan salah satu bentuk soal yang sebagian besar

peserta didik kurang menyenangi dan kurang berhasil. Hal ini dapat disebabkan di

dalam soal cerita Matematika tidak hanya sebatas persoalan matematis sederhana, tetapi

juga bersinggungan dengan permasalahan bahasa dan pemodelan dari kehidupan sehari-

hari. Di sisi lain, soal cerita Matematika sangat berpotensi menjadi bentuk pembelajaran

matematika yang dapat masuk ke ranah afektif. Dengan soal cerita Matematika yang di

dalamnya menanamkan nilai-nilai afektif diharapkan dapat mendukung terbentuknya

kecerdasan emosional bagi masing-masing peserta didik.

II. Soal Cerita Matematika dan Kecerdasan Emosional

Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika

yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi

tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan

kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami

masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan

solusinya.

Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan

pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan

mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk

menguasai konsep matematika.

Untuk dapat memecahkan masalah dalam situasi nyata secara matematika, maka

masalah tersebut perlu dimodelkan terlebih dahulu. Pembuatan model matematika

merupakan suatu usaha untuk menggambarkan situasi nyata ke dalam istilah

matematika yang bertujuan untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut.

Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang cukup berkembang pesat baik

menyangkut materi maupun kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut

Ruseffendi di dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], kegunaan matematika sangat luas,

baik sebagai ilmu pengetahuan, sebagai alat, maupun sebagai pembentuk sikap yang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

2

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

diharapkan. Matematika memegang peranan penting dalam pendidikan masyarakat baik

sebagai objek langsung (fakta, keterampilan, konsep, prinsipil) maupun objek tak

langsuug (bersikap kritis, logis, tekun, mampu memecahkan masalah, dan lain-lain).

Sesuai dengan fungsinya tersebut maka pelajaran matematika mulai diberikan dari

pendidikan dasar sampai pendidikan menengah yang secara umum bertujuan: (1)

Memper-siapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan

melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan

efektif. (2) Memper-siapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir

matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu

pengetahuan.

A. Soal Cerita Matematika

Soal yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang studi

matematika dapat berbentuk soal cerita dan soal non cerita. Soal cerita adalah soal

matematika yang disajikan dalam bentuk cerita dan berkaitan dengan keadaan yang

dialami peserta didik atau dekat dengan kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, peserta

didik diajarkan soal-soal yang diambil dari hal-hal yaug sering dialami siswa.

Topilow dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], menyatakan bahwa “Soal cerita

adalah bentuk soal matematika yang dinyatakan dalam bentuk kalimat yang perlu

diterjemahkan menjadi notasi kalimat terbuka.” Haji yang dikutip oleh Winarni,

menyatakan soal cerita adalah soal matematika yang diungkapkan dengan rangkaian

kata-kata (kalimat yang bermakna). Abidin mengemukakan soal cerita adalah soal yang

disajikan dalam bentuk cerita. Manalu mengemukakan soal cerita adalah soal yang

bentuknya bukan dalam kalimat matematika, melainkan disajikan dalam bentuk cerita

baik secara lisan maupun secara tulisan.

Pada umumnya soal ini diangkat dari kegiatan keseharian yang di dalamnya

terkandung berbagai konsep matematika. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita dengan

baik diperlukan prasyarat penguasaan konsep yang bersangkutan.

Terdapat beberapa cara yang dapat membantu siswa menghadapi soal cerita dan

menum-buhkan kemampuan analisis adalah sebagai berikut: (a) membaca soal dengan

cermat untuk menangkap makna tiap kalimat, (b) memisahkan dan mengungkapkan:

apa yang diketahui, diminta/ditanyakan, dan dikerjakan, (c) membuat model matematika

dari soal, (d) menyele-saikan model menurut aturan-aturan matematika sehingga

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

3

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

mendapat jawaban dari model tersebut, dan (e) mengembalikan jawaban model kepada

jawab soal asal.

B. Kecerdasan Emosional

Goleman di dalam Zainun [http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm],

mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik.

Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain

atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan

akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih

lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih

yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,

mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan

kecerdasan emosionalnya, seseorang dapat menempat-kan emosinya pada porsi yang

tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Cooper dan Sawaf, mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemam-puan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan

kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan

emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada

diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi

emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Howes dan Herald mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional

merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk

hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati,

kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh

tentang diri sendiri dan orang lain.

Tiga unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola

diri sendiri) kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial

(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain). Lebih nyata,

Goleman (1995) mengungkapkan 5 (lima) wilayah kecerdasan emosional yang dapat

menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-

hari, yaitu:

1. Mengenali emosi diri

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

4

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan

dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan

dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada

dalam kekuasaan perasaan. Hal ini dapat menjadikan seseorang tidak peka akan

perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi pengambilan keputusan

masalah.

2. Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan

tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi

dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan,

dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali

dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam

mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau

melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.

3. Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai

berikut: (a) cara mengendalikan dorongan hati; (b) derajat kecemasan yang berpengaruh

terhadap unjuk kerja seseorang; (c) kekuatan berfikir positif; (d) optimisme; dan (e)

keadaan mengikuti aliran (flow), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya

tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu

objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan

cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi

dalam dirinya.

4. Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri.

Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan

terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu

menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu

menghormati perasaan orang lain.

5. Membina hubungan dengan orang lain

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

5

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial

yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki

keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah

yang menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak

berperasaan.

C. Belajar Holistik dan Empat Pilar Belajar (Learning: the Treasure Within)

Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari

pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna

dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-

nilai spiritual.

Para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan

holistik dengan sebutan 3 R’s, akronim dari relationship, responsibility dan reverence.

Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan

sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan

calistung (membaca, menulis dan berhitung).

Basil Bernstein di dalam Akhmad [http://akhmadsudrajat.wordpress.com], tujuan

pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana

pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis

melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan

holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam

arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar

melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat

mengembangkan karakter dan emosionalnya.

Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta

didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan

spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi

tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada

bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus

dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya:

(1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur pembelajaran

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

6

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu, (4) pembelajaran

yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada.

Hamalik di dalam Yasin [http://www.siaksoft.net/], berpendapat bahwa belajar

adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (Learning is definet

as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Belajar adalah

penambahan pengetahuan. Pendapat lain, Hilgard mengatakan “Belajar adalah suatu

proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan apakah

dalam laboratorium atau dalam lingkungan alamiah yang dibedakan dari perubahan-

perubahan oleh faktor-faktor yang tidak termasuk latihan, misalnya perubahan karena

mabuk atau minuman keras, bukan termasuk hasil belajar.” Dari pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan sikap yang positif melalui berbagai cara

seperti pengetahuan, pengalaman, latihan dan lain-lain.

Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia

yang sangat cepat, UNESCO merekomendasikan empat pilar belajar yang wajib

diimplementasikan di sekolah negara-negara anggota PBB. Rumusan keempat pilar

belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do),

belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh

(learning to be) [http://akhmadsudrajat.wordpress.com].

1. Belajar mengetahui (learning to know)

Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan

informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu sedikit

banyak dipengaruhi perkembangan yang sangat cepat ilmu pengetahuan, teknologi dan

seni (ipteks), khususnya teknologi informasi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan

untuk memperoleh, memper-dalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan

dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatkan

kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dan lain-lain.

Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning: the Treasure

Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat

(mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk

pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi

lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil,

pengetahuan sebagai dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

7

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena

itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing

much (berusaha tahu banyak).

Belajar mengetahui hendaknya mampu mengarahkan para peserta didik untuk

mengetahui sesuatu atau untuk memperoleh pengetahuan. Selain itu pendidikan

hendaknya mampu menciptakan budaya belajar sepanjang masa atau long life

education. Belajar tidak hanya terjadi di sekolah dan pada suatu kurun waktu tertentu,

tapi terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga terjadi perubahan mindset dan

paradigma belajar, dari schooling ke learning.

2. Belajar berkarya (learning to do)

Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang

berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya

berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan.

Dalam konsep komisi UNESCO, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu

dalam kaitan dengan vokasional.

Belajar berkarya adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan

kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan, tidak hanya pada tingkat keterampilan,

kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional.

Setiap individu harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak); Belajar sambil

berbuat (learning by doing) atau belajar sambil mengetahui (experiential learning) dan

belajar membuat sesuatu dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah ada.

3. Belajar hidup bersama (learning to live together)

Kehidupan dewasa ini, masing-masing individu tidak hanya berinteraksi dengan

beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi

hidup bersama dan bekerja sama. Agar mampu berinteraksi, berkomunikasi, bekerja

sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok

memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang

berbeda Untuk mewujudkan kerjasama dan hidup rukun, setiap individu harus banyak

belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama).

Di alam pembelajaran, peserta didik dimotivasi dan dibimbing untuk belajar hidup

bersama dalam situasi yang terwujud atas dasar prinsip kebersamaan, kekeluargaan,

kesejajaran, kemitraan dan kerjasama yang dilandasi oleh kasih saying dan kepercayaan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

8

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

satu sama lain. Dengan prinsip ini, setiap lembaga pendidikan/sekolah hendaknya selalu

menciptakan suasana belajar yang menghargai keberagaman dan kesetaraan antara

peserta didik satu dengan yang lain, sehingga ketika mereka terjun dimasyarakat sudah

terbiasa dengan nilai-nilai kesetaraan, keberagaman (pluralisme) dan demokrasi.

4. Belajar berkembang utuh (learning to be)

Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut

pengembangan individu secara utuh. Individu yang seluruh aspek kepribadiannya

berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik,

maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar

mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan

kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya individu secara menyeluruh

dan utuh, tetapi juga individu utuh yang unggul. Untuk itu setiap individu harus

berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat

dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau

being morally.

Peserta didik dibimbing untuk tetap menjadi dirinya sendiri dengan segala

karakteristiknya yang berbeda satu sama lain. Proses pembelajaran di sekolah

hendaknya mampu memberikan inspirasi dan stimulasi tentang gambaran masa depan

karier dan pekerjaan yang hendak dijalani oleh masing-masing peserta didik.

III. Studi Kasus: Pengembangan Soal Cerita Matematika

Salah satu buku pelajaran Matematika yang digunakan di salah satu SMP di wilayah

Kabupaten Bantul adalah Cerdas Aktif Matematika: Pelajaran Matematika untuk SMP

Kelas VII tulisan dari Sudirman. Pada buku cerdas aktif ini, materi matematika

disajikan dalam bab-bab: (1) Bilangan, (2) Aljabar dan Aritmetika Sosial, (3)

Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel, (4) Perbandingan, (5) Himpunan,

(6) Garis dan Sudut, dan (7) Seigiempat dan Segitiga.

Pada beberapa bab cukup banyak dijumpai penyajian soal matematika dalam bentuk

soal cerita. Dari

Soal cerita Matematika 1: bab tentang Bilangan diawali dengan sebuah cerita

sebagai berikut [Sudirman, 2005:1]:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

9

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Seorang ayah meninggal dunia. Ia meninggalkan warisan untuk

seorang istri, seorang putra dan seorang putrinya berupa 20 kg emas.

Saat meninggal si Ayah masih mempunyai hutang senilai 4 kg emas.

Setelah hutang dilunasi, sisa harta dibagikan kepada ahli warisnya.

Istrinya mendapatkan 1/8 bagian dari warisan tersebut. Sisanya

dibagikan untuk putra-putrinya dengan ketentuan putranya

mendapatkan dua kali bagian putrinya. Tahukah kamu berapa bagian

yang didapat putranya?

Sepintas keberadaan cerita ini sebagai upaya menghadirkan permasalahan

Matematika dengan wajah realistik, berangkat dari kehidupan sehari-hari. Adanya cerita

ini, harapannya dapat membangkitkan kesadaran peserta didik akan pentingnya

matematika bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, Matematika adalah kehidupan

sehari-hari.

Tetapi pada cerita kurang tepat mengambil sudut pandangnya. Di masyarakat,

kematian seorang ayah kurang tepat langsung berhubungan/membahas pembagian

warisan. Akan lebih tepat jika cerita ditata ulang dengan latar permasalah satu keluarga

yang berusaha mengumpulkan dana keluarga untuk mengobati salah satu anggota

keluarga. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar berkarya, hidup bersama, dan

berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan membina hubungan

dengan orang lain.

Soal cerita Matematika 2: pada tugas mandiri sebagai pengantar tentang peta

koordinat, disajikan dalam sebuah cerita yang disertai ilustrasi sebuah peta sebagai

berikut [Sudirman, 2005:23]:

Harta karun yang terpendam di Pulau Kelapa ini ditandai dengan T.

Bayangkan saja bahwa beberapa orang baru saja berlabuh atau

mendarat di tempat tersebut. Ke arah manakah mereka harus berjalan

untuk menemukan harta karun tersebut?

Cerita yang sangat menyesakkan. Pada kondisi kehidupan yang menuntut kerja

nyata dari setiap invidu, disajikan soal cerita layaknya kisah sinetron/dongeng pengantar

tidur. Akan lebih bijaksana jika ditata ulang menjadi cerita seorang anak yang dimintai

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

10

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

bantuan oleh orang tuanya untuk membelikan bibit tanaman di pusat pertanian yang

lokasinya digambarkan dalam suatu peta. Dengan latar demikian dapat ditanamkan

belajar berkarya dan hidup bersama untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan

membina hubungan dengan orang lain.

Soal cerita Matematika 3: pada contoh pengenalan bentuk bilangan pecahan,

diberikan sebuah cerita sebagai berikut [Sudirman, 2005:46]:

Seorang montir sepeda motor akan memasang baut dengan diameter

tidak lebih dari 0,5 inci. Dapatkah montir tadi memasang baut yang

ukurannya 4/7 inci?

Di kehidupan nyata, cerita ini kurang rasional. Pada kenyataannya, baut mempunyai

bentuk dan ukuran tertentu. Sangat sulit menemukan ukuran baut seperti halnya

membeli barang dengan ukuran yang sangat luwes. Akan lebih rasional jika cerita

menyangkut panjang baut, bukan diameternya. Adanya sisa panjang, pertanyaan

memotong panjang sisa baut menjadi rasional. Dengan latar demikian dapat ditanamkan

belajar mengetahui dan untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan mengelola emosi.

Soal cerita Matematika 4: pada bab Aljabar dan Aritmetika, juga diawali dengan

sebuah cerita sebagai berikut [Sudirman, 2005:63]:

Rahmat membeli 120 kg jeruk. Kemudian, ia menjual kembali Rp.

11.000,00 per kg. Ia hanya memperoleh Rp. 1.287.000,00 dari hasil

penjual jeruk karena ada jeruk yang busuk. Tahukah kamu berapa

banyak jeruk yang busuk?

Mencermati penggunaan kata “hanya” kurang tepat untuk menanamkan rasa

bersyukur. Cerita ini semakin kurang tepat ketika yang ditanyakan adalah banyaknya

jeruk yang busuk. Akan lebih bijak jika penggunaan kata yang kurang mencerminkan

kepribadian yang baik ditiadakan, dan pertanyaan menyangkut kegiatan/hal yang

positif. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, berkarya dan

berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi dan mengelola emosi.

Soal cerita Matematika 5: salah satu soal latihan untuk materi Aritmetika Sosial

dalam Kegiatan Ekonomi diceritakan [Sudirman, 2005:77]:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

11

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Pak Udin menjual dua buah mobil dengan harga masing-masing Rp.

46.000.000,00. Tentukan harga beli masing-masing mobil terbut jika:

a. ia memperoleh untung sebesar Rp. 2.025.000,00

b. ia menderita rugi sebesar Rp. 1.300.000,00

Ini juga merupakan contoh soal cerita Matematika yang kurang mempunyai latar

yang kuat. Alasan/tujuan pemilik menjual kedua mobilnya tidak muncul, dan pengertian

untung atau rugi tidak jelas pengukurannya. Akan lebih bijak jika dimunculkan

tujuannya, seperti: untuk tambahan modal pengembangan; sedangkan untung rugi lebih

baik diarahkan ke peraihan margin pasar yang lebih besar dengan adanya tambahan

modal tersebut. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, berkarya,

hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,

mengelola emosi dan membina hubungan dengan orang lain.

Soal cerita Matematika 6: pada salah satu soal latihan untuk materi Persamaan

Linier Satu Variabel, diceritakan [Sudirman, 2005:104]:

Ibu memberi uang kepada Suci Rp. 6.450,00. Suci membelanjakan

uang tersebut Rp. 500,00 per hari. Sekarang Suci masih mempunyai

Rp. 450,00. Sudah berapa harikah Suci membelanjakan uang tersebut?

Kembali tersaji contoh soal cerita Matematika yang kurang mempunyai latar yang

kuat. Alasan/tujuan pemberian uang dan pembelanjaannya sama sekali tidak dapat

menyentuh ranah afektif. Dengan memunculkan urgensi pemberian uang sebagai

pemenuhan kebutuhan studi dan pembelanjaan yang berhubungan dengan studi

diharapkan dapat menanamkan kepedulian terhadap masalah pendidikan dan hubungan

orangtua dan anak. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui,

berkarya, hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,

mengelola emosi dan membina hubungan dengan orang lain.

Soal cerita Matematika 7: awal tentang materi Perbandingan Berbalik Harga,

disajikan sebuah cerita [Sudirman, 2005:123]:

Pak Amin membeli sekantong permen. Permen tersebut dibagikan

kepada 5 anak, masing-masing anak menerima 60 biji tanpa sisa.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

12

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Hitunglah jumlah permen yang diterima masing-masing anak apabila

permen tadi dibagikan kepada:

a. 6 anak, b. 10 anak, c. 15 anak, d. 25 anak

Pemilihan contoh permen kurang bijaksana, karena permen identik dengan cemilan

yang kurang menyehatkan. Hubungan antara pemberi (Pak Amin) dengan yang

menerima (anak) juga tidak jelas. Hal ini tentu saja menyebabkan kurang terbentuknya

latar yang kuat, sehingga tujuan membelikan permen juga sulit dimunculkan. Dengan

memunculkan hubungan antar pelaku akan dapat memperkuat urgensi pemberian

tersebut. Ditambah dengan menyesuaikan ke benda yang lebih sesuai dan

kebergunaannya akan memperkuat ranah afektif yang dapat dimasuki. Dengan latar

demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui, hidup bersama dan berkembang utuh

untuk memotivasi diri, mengenali emosi, mengelola emosi dan membina hubungan

dengan orang lain.

Soal cerita Matematika 8: Salah satu soal latihan tentang Himpunan dan Diagram

Venn, diceritakan [Sudirman, 2005:158]:

Dari 90 orang ibu PKK yang mengikuti kegiatan, terdapat 35 orang

suka menjahit, 40 orang suka memasak, 45 orang suka merangkai

bunga, 12 orang suka menjahit dan memasak, 17 orang suka

menjahit dan merangkai bunga, 14 orang suka memasak dan

merangkai bunga, serta 7 orang suka ketiganya.

Latar cerita ini cukup baik untuk memperkuat citra perempuan sebagai ibu. Tetapi

gambaran terhenti sebatas kebutuhan memenuhi persoalan matematis yang akan

diselesaikan. Pada contoh ini akan lebih kuat penanaman di ranah afektif ketika

dihadirkan sosok dan peran ibu di tengah-tengah keluarganya dan penyertaan peserta

didik sebagai “anaknya”. Dengan latar demikian dapat ditanamkan belajar mengetahui,

berkarya, hidup bersama dan berkembang utuh untuk memotivasi diri, mengenali emosi,

mengelola emosi, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang

lain.

V. Penutup

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

13

PM – 1 : Pengembangan Soal Cerita.... Bambang Sumarno HM

Dari paparan di atas, soal cerita Matematika dapat menjadi alat penanaman aspek

afektif di pembelajaran Matematika. Empat pilar belajar (UNESCO) sebagai pedoman

pelaksanaan pembelajaran secara umum dapat menjadi pegangan pengayaan bentuk soal

cerita Matematika yang dapat menyisipkan aspek afektif sebagai upaya pembentukan

kecerdasan emosinal.

Daftar Pustaka Akhmad Sudrajat, Tanggal 19/5/2008, Empat Pilar Belajar,

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/08/empat-pilar-belajar/ Akhmad Sudrajat, Tanggal 19/5/2008, Pendidikan Holistik,

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/ pendidikan-holistik/ Sudirman, 2005, Cerdas Aktif Matematika: Pelajaran Matematika untuk SMP Kelas VII, Jakarta: Ganeca Exact Yasin Setiawan, Tanggal 19/5/2008, Terobosan Metode Pengajaran Matematika,

http://www.siaksoft.net/ Zainun Mu'tadin, Tanggal 19/5/2008, Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja,

http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

14

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

Kemampuan Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika : Apa dan Bagaimana Mengembangkannya

Oleh:

Djamilah Bondan Widjajanti Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstrak

Komunikasi adalah cara untuk berbagi (sharing) gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Bagi seorang guru matematika, mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang memadai akan sangat menunjang perannya sebagai fasilitator dan mediator yang membantu agar proses belajar siswa dapat berjalan dengan baik. Dengan kemampuan komunikasi matematis yang memadai, seorang guru matematika akan dapat memberi gambaran yang wajar tentang matematika kepada siswa-siswanya, sedemikian hingga para siswa akan dapat memandang matematika tidak lagi sebagai pelajaran yang sulit dan sangat abstrak.

Untuk mempersiapkan seseorang menjadi guru matematika yang mampu mengkomunikasikan ide-ide matematik secara efektif kepada siswanya, mahasiswa calon guru matematika harus dilatih untuk mampu: (1) menyebutkan dan menuliskan alasan dari setiap langkah penyelesaian masalah matematika yang dikemukakannya dengan masuk akal, benar, lengkap, sistematis, dan jelas, (2) menggunakan istilah, gambar, tabel, diagram, notasi, atau rumus matematika secara tepat, dan (3) menganalisis atau menilai pikiran matematis orang lain. Kemampuan ini dapat ditingkatkan melalui perkuliahan.

Di dalam makalah ini akan dibahas bagaimana meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru matematika melalui perkuliahan berbasis masalah. Perkuliahan berbasis masalah dicirikan dengan diberikannya masalah kepada mahasiswa untuk diselesaikan, baik secara individu maupun kelompok. Masalah yang digunakan sebagai basis perkuliahan dipilih sedemikian hingga dapat “memandu” mahasiswa mempelajari konsep tertentu. Selain mengembangkan kemampuan komunikasi matematis, perkuliahan berbasis masalah mempunyai keunggulan lain yaitu dapat membantu mahasiswa mengembangkan penalaran, pemecahan masalah, dan ketrampilan berfikir kritis. Kata kunci: komunikasi matematis, calon guru matematika

Pendahuluan

Ada banyak masalah dalam pendidikan matematika saat ini. Masalah klasik

yang tidak mudah mengatasinya adalah rendahnya prestasi belajar matematika siswa.

Begitu banyak faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Salah satu diantaranya adalah

masih banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dan

sangat abstrak, sehingga siswa tidak cukup antusias dan percaya diri dalam belajar

matematika.

Bagaimanapun, guru memegang peranan penting dalam memberikan gambaran

yang wajar tentang matematika kepada siswa. Kunci dari gambaran siswa yang

dibangun melalui interaksinya dengan guru ini terletak pada komunikasi, yaitu pada

bagaimana selama ini guru matematika mengkomunikasikan konsep, struktur, teorema,

atau rumus matematis kepada siswa.

Bisa dibayangkan akibatnya, jika para guru matematika kurang dapat

mengkomunikasikan pikiran matematisnya kepada siswa pada saat melaksanakan

pembelajaran. Misalkan saja guru kurang dapat memberi penjelasan untuk pertanyaan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

15

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

siswa “mengapa demikian”, atau guru menulis langkah-langkah pembuktian atau

penyelesaian masalah kurang terurut atau kurang logis bagi pikiran siswa, atau guru

menggunakan notasi matematis tidak konsisten, atau menggambar bangun geometri

kurang tepat, atau guru dapat menyalahkan jawaban siswa tetapi kurang dapat memberi

alasan yang bisa diterima pikiran siswa, dan lain-lain, tentulah semakin mengukuhkan

gambaran matematika yang sulit dan abstrak bagi siswa. Oleh karena itu mempunyai

kemampuan komunikasi matematis yang memadai sangatlah penting bagi seorang guru

matematika.

Kemampuan komunikasi matematis ini bisa dilatihkan, atau dipersiapkan sejak

yang bersangkutan menjadi mahasiswa calon guru. Tentu tidaklah efektif dan efisien,

jika para mahasiswa calon guru matematika hanya mendapatkan teori tentang

komunikasi matematis pada suatu mata kuliah, tanpa mendapatkan cukup banyak

kesempatan untuk mempraktekkannya. Akan lebih baik jika pembekalan kemampuan

komunikasi matematis ini terpadu dalam setiap perkuliahan.

Setiap dosen dapat memilih pendekatan perkuliahan yang memungkinkan

terjadinya peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Salah satu pendekatan

perkuliahan yang direkomendasikan adalah perkuliahan berbasis masalah (Problem-

Based Learning/PBL). Berikut ini pembahasan mengenai peran guru, apa yang

dimaksud dengan kemampuan komunikasi matematis, dan bagaimana

meningkatkankannya melalui PBL.

Pembahasan

1. Peran Guru

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Pendidikan, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen

pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi

pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Di dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidik sebagai agen pembelajaran (learning

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

16

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

agent) pada ketentuan ini adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitator,

motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Lebih dulu ada dari peraturan pemerintah tersebut di atas, pada tahun 2000

National Council of Teachers of Mathemathics (NCTM) sudah menerbitkan Principles

and Standards for School Mathematics, yang antara lain memuat standar-standar proses

untuk matematika sekolah. Salah satu diantaranya adalah standar untuk pengajaran,

yaitu bahwa pengajaran matematika yang efektif mensyaratkan pemahaman pada apa

yang perlu diketahui dan perlu dipelajari siswa, dan kemudian menantang dan

mendukung siswa untuk mempelajarinya dengan baik. Masih menurut standar NCTM,

pengajaran matematika yang efektif mensyaratkan pengetahuan dan pemahaman tentang

matematika, para siswa sebagai si pembelajar, dan strategi-strategi kependidikan.

Memperhatikan peran guru sebagai agen pembelajaran seperti disebut dalam

peraturan pemerintah di atas, dan apa yang dipersyaratkan oleh NCTM untuk

pengajaran matematika yang efektif, maka dapatlah disimpulkan bahwa sangatlah

penting bagi seorang guru matematika untuk memahami matematika yang akan

diajarkannya, trampil memilih strategi untuk mengajarkannya, dan mempunyai

pemahaman yang baik atas siswa-siswanya. Pemahaman atas siswa-siswanya ini,

khususnya tentang bagaimana para siswa berpikir tentang matematika dan bagaimana

mereka belajar matematika, menjadi hal yang sangat penting bagi seorang guru

matematika, terlebih jika dikaitkan dengan paham konstruktivis.

Menurut konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang

guru kepada siswa begitu saja, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing

siswa, sebagaimana dikatakan oleh Bettencourt, yang dikutip Suparno (1996), bahwa

bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari

guru ke siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri

pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan

justifikasi. Oleh karena itu peran guru adalah sebagai fasilitator dan mediator yang

membantu agar proses belajar siswa dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya

dapat berjalan dengan baik.

Sebagai fasilitator dan mediator, seorang guru dituntut untuk dapat berinteraksi

dan berkomunikasi secara efektif, khususnya dengan para siswa di dalam kelasnya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

17

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

Menurut Supano (1996) untuk menunjang perannya sebagai fasilitator dan mediator,

seorang guru antara lain harus mampu memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan

apakah pemikiran seorang siswa itu benar ataukah tidak. Dalam peran yang

demikianlah, pentingnya kemampuan komunikasi matematis bagi seorang guru

matematika tidaklah diragukan lagi.

2. Komunikasi Matematis

Ada banyak cara orang berkomunikasi, misalnya melalui percakapan, nyanyian,

tanda suara tertentu, isyarat nonverbal, gambar, bahasa tubuh, sentuhan, kontak mata,

dan juga tulisan. Beberapa ketrampilan dari bentuk komunikasi tersebut, khususnya

percakapan, bahasa tubuh, kontak mata, dan tulisan, sangat diperlukan oleh guru bidang

apapun, terutama agar ia dapat menjalin interaksi yang baik dengan para siswanya,

sehingga dapat menjadi fasilitator dan mediator yang berguna dalam mengembangkan

potensi siswa.

Melalui interaksi guru-siswa yang baik, seorang guru akan dapat mengetahui apa

yang dipikirkan siswa atau apa yang menjadi ketidaktahuan siswa. Dengan cara

menyimak apa yang dikatakan siswa, apa yang ditanyakan siswa, apa yang siswa

tuliskan/gambarkan, dan juga dengan memperhatikan ekspresi siswa, seorang guru akan

dapat mengetahui manakala seorang siswa memerlukan bantuannya.

Dalam matematika, komunikasi memegang peranan yang sangat penting.

Komunikasi menjadi bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika.

Komunikasi adalah cara untuk berbagi (sharing) gagasan dan mengklarifikasi

pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan-gagasan menjadi objek-objek refleksi,

penghalusan, diskusi, dan perombakan. Proses komunikasi juga membantu membangun

makna dan kelanggengan untuk suatu gagasan-gagasan, serta juga menjadikan gagasan-

gagasan itu diketahui publik (NCTM, 2000).

Bagi siswa, terlibat dalam komunikasi matematis, baik dengan guru maupun

dengan teman-temannya, baik secara lisan maupun tertulis, baik pada saat pembelajaran

berlangsung maupun di luar kelas, akan sangat banyak manfaatnya untuk meningkatkan

pemahaman matematis mereka. Menurut NCTM (2000) saat para siswa ditantang untuk

berfikir dan bernalar tentang matematika, serta untuk mengkomunikasikan hasil-hasil

pemikiran mereka itu pada orang lain secara lisan atau tertulis, maka mereka telah

belajar untuk menjadi jelas dan meyakinkan. Menyimak penjelasan-penjelasan orang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

18

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

lain juga memberi para siswa kesempatan untuk membangun pemahaman mereka

sendiri. Percakapan-percakapan di mana gagasan-gagasan matematis dieksplorasi dari

berbagai perspektif membantu mereka yang ikut dalam percakapan itu untuk

mempertajam pemikiran mereka dan membuat hubungan-hubungan.

NCTM (2003) menyebutkan bahwa seorang calon guru matematika haruslah

mampu mengkomunikasikan pikiran matematisnya secara lisan dan tertulis kepada

teman-temannya, para dosen, dan kepada yang lainnya, dengan indikator-indikator,

mampu (1) mengkomunikasikan pikiran matematisnya secara koheren dan jelas kepada

teman-temannya, para dosen, dan kepada yang lainnya, (2) menggunakan bahasa

matematika untuk mengekspresikan ide/gagasannya secara tepat, (3) mengelola pikiran

matematisnya melalui komunikasi, dan (4) menganalisis dan mengevaluasi pikiran

matematis dan strategi-strategi orang lain.

Indikator pertama, yaitu mampu mengkomunikasikan pikiran matematisnya

secara koheren dan jelas kepada teman-temannya, para dosen, dan yang lainnya, dapat

dimaknai bahwa seorang mahasiswa calon guru matematika haruslah mampu

menyebutkan dan menuliskan alasan dari setiap langkah penyelesaian masalah

matematika yang dikemukakannya dengan masuk akal, benar, lengkap, sistematis, dan

jelas. Kemampuan ini sangat penting baginya kelak kalau menjadi guru, sebab ia akan

berperan menjadi fasilitator dan mediator bagi siswa yang belajar matematika.

Indikator kedua, yaitu mampu menggunakan bahasa matematika untuk

mengekspresikan ide/gagasannya secara tepat, bermakna bahwa sangatlah penting bagi

seorang calon guru matematika untuk mampu menyampaikan ide matematisnya dalam

istilah yang formal digunakan dalam matematika, karena ia nanti harus mampu

membimbing siswa beralih dari bahasa sehari-hari ke bahasa matematis, atau dari

informal ke formal. Hal pokok yang penting terkait hal ini adalah seorang calon guru

harus mampu menggunakan istilah, gambar, tabel, diagram, notasi, atau rumus

matematika secara tepat.

Indikator ketiga, yaitu mampu mengelola pikiran matematisnya melalui

komunikasi, bermakna bahwa seorang calon guru matematika harus dapat

menyampaikan ide/gagasannya tentang matematika, melalui komunikasi, baik lisan

maupun tertulis. Berlatih menulis sesuatu tentang matematika atau pendidikan

matematika akan sangat berguna baginya dalam meningkatkan pemahaman akan apa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

19

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

yang ditulisnya, sebab ketika seseorang menuliskan gasasannya ia akan dituntut untuk

merefleksi atau mengklarifikasi apa-apa yang ditulisnya.

Indikator keempat, yaitu mampu menganalisis dan mengevaluasi pikiran

matematis dan strategi-strategi orang lain, penting bagi seorang calon guru matematika

agar kalau ia menjadi guru nantinya ia akan mampu: (1) memahami, menerima, dan

menghargai jalan pikiran siswa yang beragam, (2) mengklarifikasi, mengoreksi, atau

meluruskan jalan pikiran siswa yang keliru, (3) membimbing diskusi siswa, dan (4)

merespon pertanyaan dan jawaban siswa dengan cepat dan tepat.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang

dikatakan mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang baik apabila ia mampu

mengkomunikasikan ide matematisnya kepada orang lain dengan jelas, tepat, dan

efektif, dengan menggunakan istilah matematis yang sesuai, baik secara lisan maupun

tertulis.

3. Perkuliahan Berbasis Masalah

Perkuliahan atau pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based

Learning/PBL), adalah perkuliahan yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis

bagi mahasiswa untuk belajar. Menurut Duch et.al. (2000) prinsip dasar yang

mendukung konsep dari PBL ada sudah lebih dulu dari pendidikan formal itu sendiri,

yaitu bahwa pembelajaran dimulai (diprakasai) dengan mengajukan masalah,

pertanyaan, atau teka-teki, yang menjadikan pembelajar (siswa yang belajar) ingin

menyelesaikannyan. Dalam pendekatan berbasis masalah, masalah yang nyata dan

kompleks memotivasi siswa untuk mengidentifikasi dan meneliti konsep dan prinsip

yang mereka perlu ketahui dalam rangka untuk berkembang melalui masalah tersebut.

Siswa bekerja dalam tim kecil, dan memperoleh, mengkomunikasikan, serta

memadukan informasi dalam proses yang menyerupai/mirip dengan menemukan

(inquiry).

Tan (2004) juga menyebutkan bahwa PBL telah diakui sebagai suatu

pengembangan pembelajaran aktif dan pendekatan yang berpusat pada siswa, dimana

masalah-masalah yang tidak terstruktur (masalah-masalah dunia nyata atau masalah-

masalah simulasi yang kompleks) digunakan sebagai titik awal dan jangkar (sauh) untuk

proses pembelajaran. Sedangkan Roh (2003) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

20

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

masalah adalah strategi pembelajaran di kelas yang mengatur/mengelola pembelajaran

matematika disekitar kegiatan pemecahan masalah dan memberikan kepada para siswa

kesempatan untuk berfikir secara kritis, mengajukan ide kreatif mereka sendiri, dan

menkomunikasikan dengan temannya secara matematis.

Pembelajaran atau perkuliahan berbasis masalah (PBL) menggambarkan suatu

suasana pembelajaran dimana masalah yang memandu, mengemudikan, menggerakkan,

atau mengarahkan pembelajaran. Yaitu, pembelajaran dimulai dengan suatu masalah

yang harus diselesaikan, dan masalah tersebut diajukan dengan cara sedemikian hingga

para siswa (mahasiswa) memerlukan tambahan pengetahuan baru sebelum mereka dapat

menyelesaikan masalah tersebut. Tidak sekedar mencoba atau mencari jawab tunggal

yang benar, para siswa (mahasiswa) akan menafsirkan masalah tersebut, mengumpulkan

informasi yang diperlukan, mengenali penyelesaian yang mungkin, menilai beberapa

pilihan, dan menampilkan kesimpulan (Roh, 2003)

Memperhatikan beberapa pengertian PBL seperti tersebut di atas dapatlah

disimpulkan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan

masalah nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran,

dengan karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2) Para

siswa (mahasiswa) bekerja dalam kelompok kecil, (3) Guru (dosen) mengambil peran

sebagai ”fasilitator” dalam pembelajaran.

Dibandingkan pembelajaran konvensional, PBL mempunyai banyak

keunggulan, antara lain lebih menyiapkan mahasiswa untuk menghadapi masalah pada

situasi dunia nyata, memungkinkan mahasiswa menjadi produsen pengetahuan, dan

dapat membantu mahasiswa mengembangkan komunikasi, penalaran, dan ketrampilan

berfikir kritis. Menutut Smith, Ericson, dan Lubienski, yang dikutip oleh Roh (2003)

kebalikan dengan lingkungan atau suasana kelas yang konvensional, lingkungan atau

suasana kelas PBL memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan

kemampuannya untuk menyesuaikan diri dan mengubah suatu metode atau cara

kedalam situasi baru yang cocok. Sementara itu, siswa-siswa yang telah belajar dalam

lingkungan atau suasana pendidikan matematika yang tradisional telah asyik dengan

latihan soal, rumus, dan persamaan-persamaan yang perlu dipelajari, tetapi terbatas

penggunaannya dalam situasi yang tidak biasa seperti dalam tes-tes khusus. Lebih

lanjut, siswa-siswa dalam lingkungan atau suasana kelas PBL secara khusus mempunyai

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

21

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan

komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran.

Melalui PBL, mahasiswa dalam kelompok akan berdiskusi secara intensif,

sehingga secara lisan mereka akan saling bertanya, menjawab, mengkritisi, mengoreksi,

dan mengklarifikasi setiap konsep atau argumen matematis yang muncul dalam diskusi.

Dalam diskusi yang demikian akan berkembang juga kemampuan mahasiswa untuk

membuat, memperhalus, dan mengeksplorasi dugaan-dugaan (konjektur), sehingga

memantapkan pemahaman mereka atas konsep matematis yang sedang dipelajari, atau

terhadap masalah matematika yang dipecahkan. Pada akhirnya, para mahasiswa juga

harus mampu mengkomunikasikan ide mereka, baik secara lisan maupun tertulis, dalam

rangka menyelesaikan masalah yang diberikan.

Dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

mahasiswa calon guru matematika, agar nantinya mampu menjadi fasilitator dan

mediator yang baik, maka PBL yang dimaksud harus dilaksanakan dengan persiapan

yang memadai, baik oleh dosen maupun mahasiswa. Pada awal perkuliahan, dosen

harus menginformasikan pendekatan yang akan digunakan dalam perkuliahan, yaitu

PBL, dan menyampaikan dengan jelas hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dan

dipatuhi oleh mahasiswa. Penting juga untuk disampaikan kepada mahasiswa, bahwa

keaktifan dan keterlibatan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dalam kelompok

akan mendapatkan penilaian.

Dikarenakan perkuliahan mendasarkan pada masalah, maka pemilihan masalah

menjadi hal yang penting. Masalah seharusnya dipilih sedemikian hingga menantang

minat mahasiswa untuk menyelesaikannya, menghubungkan dengan pengalaman dan

belajar sebelumnya, dan membutuhkan kerjasama dan berbagai strategi untuk

menyelesaikannya. Untuk keperluan ini, masalah yang open-ended yang disarankan

untuk dijadikan titik awal pembelajaran.

Sesuai karakteristik PBL, dosen perlu pandai-pandai menempatkan diri sebagai

fasilitator. Dosen disarankan mengintervensi diskusi mahasiswa hanya jika benar-benar

diperlukan. Dalam keadaan diskusi menemui kebuntuan, dosen dapat memancing ide

mahasiswa dengan pertanyaan yang menantang, atau memberi petunjuk kunci tanpa

mematikan kreativitas. Menurut Duch et.al. (2000) peran dosen dalam PBL adalah

membimbing, menggali pemahaman yang lebih dalam, dan mendukung inisiatip

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

22

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

mahasiswa, tetapi tidak memberi kuliah pada konsep yang berhubungan langsung

dengan masalah esensial yang dipecahkan, dan juga tidak mengarahkan atau

memberikan penyelesaian yang mudah.

Tingkat yang mana suatu perkuliahan PBL akan menjadi ”student-directed”

ataukah ”teacher-directed”, diputuskan oleh dosen berdasarkan pada ukuran kelas,

kedewasaan intelektual mahasiswa, dan tujuan perkuliahan. Sebagai contoh, pada kelas

yang besar dari mahasiswa baru, dosen dapat menginterupsi proses penyelesaian

masalah dalam kelompok setiap selang 10 – 15 menit untuk keseluruhan diskusi kelas,

atau memberi perkuliahan singkat yang membantu mahasiswa memperoleh sedikit

petunjuk/jalan, atau mengijinkan mereka untuk membandingkan catatannya dalam

mendekati masalah tersebut (Duch et.al, 2000).

Penutup

Memperhatikan pentingnya seorang guru matematika mempunyai kemampuan

komunikasi matematis yang memadai, maka sudah seharusnya pengelola dan dosen-

dosen Program Studi Pendidikan Matematika menaruh perhatian yang serius terhadap

upaya untuk membekali calon guru matematika dengan kemampuan komunikasi

matematis yang memadai. Sebanyak mungkin memberi kesempatan mahasiswa

menyampaikan, mengklarifikasi, atau mempertahankan ide/gagasan matematisnya, baik

secara lisan maupun tertulis, baik kepada dosen maupun temannya, akan membantunya

kelak menjadi guru matematika yang efektif.

Manfaat lain dari mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang memadai

bagi seorang guru matematika adalah ia akan mampu memberi gambaran yang wajar

tentang matematika kepada siswa, sehingga lambat laun, perlahan-lahan, gambaran

matematika yang sulit dan sangat abstrak bagi siswa akan semakin berkurang. Kalau hal

ini terjadi, yaitu sebagian besar siswa tidak lagi menganggap matematika merupakan

pelajaran yang sulit atau sangat abstrak, maka besar kemungkinan siswa-siswa akan

belajar matematika dengan rasa senang, antusias, dan percaya diri, sehingga dapat

mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Daftar Pustaka Duch, Barbara J., Allen, Deborah E., and White, Harold B. (2000). Problem-Based

Learning: Preparing Students to Succeed in the 21st Century.[online]. Tersedia

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

23

PM – 2 : Kemampuan Komunikasi Matematis …….. Djamilah Bondan Widjajanti

http://www.hku.hk/caut/homepage/tdg/5/Teaching%20Matter/Dec.98.pdf. [ 15 Januari 2008].

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM

National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program Standards.

Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/uploadedFiles/Math_Standards/ [ 10 Maret 2008].

Presiden RI .(2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005

Tentang Standar Nasional Pendidikan. Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC

Digest. ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/. [4 Desember 2007]

Suparno, Paul. (1996). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tan, Oon-Seng. (2004). ”Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning”, in

Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore: Thomson Learning.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

24

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

Eksplorasi Program Winplot Untuk Mendukung Pembelajaran Matematika di SMA

MG. Erni Harmiati

Guru Matematika SMA K Sang Timur Jl. Batikan No. 7 Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji i) fasilitas apa saja dari program Winplot yang dapat digunakan untuk membantu pembelajaran matematika di SMA, ii) materi apa saja pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan menggunakan program Winplot, dan iii) penyusunan rencana kegiatan pembelajaran matematika di SMA menggunakan program Winplot. Dari hasil pengkajian diperoleh hasil berikut i) fasilitas-fasilitas dari program Winplot antara lain: dapat melukis berbagai grafik fungsi matematika yang cukup lengkap, seperti: grafik fungsi kuadrat, trigonometri, logaritma, dan sebagainya; dapat menampilkan beberapa grafik dalam satu sumbu; dapat menampilkan grafik yang menarik dengan memberi warna, membuat animasi, memberi label, mengatur skala diperbesar atau diperkecil sesuai kebutuhan dan; dapat juga memberi tanda pada titik-titik optimum atau titik potong grafik. ii) materi pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan menggunakan program Winplot antara lain: Fungsi Kuadrat, Fungsi Trgonometri, Persamaan Lingkaran, Fungsi Invers, Limit, Diferensial, Integral, Program Linear, Fungsi Eksponen dan Logaritma. iii) dapat disusun kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan pemahaman konsep Fungsi Kuadrat berbantuan program Winplot. Kata-kata kunci: Pembelajaran Matematika, Program Winplot, Grafik Fungsi

A. PENDAHULUAN

Mata pelajaran matematika pada tingkat SMA cenderung abstrak. Hal ini

menyebabkan matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit

bagi siswa. Salah satu bagian dari matematika yang bersifat abstrak adalah fungsi.

Beberapa fungsi yang dipelajari di SMA antara lain adalah fungsi kuadrat, fungsi

trigonometri, fungsi invers, dan sebagainya.

Pembelajaran fungsi di SMA selama ini kurang menyoroti grafiknya. Hal ini

dikarenakan guru sendiri kurang menyadari akan pentingnya memahami grafik dalam

kaitannya untuk memahami materi fungsi secara lebih mendalam dan lebih bermakna,

sehingga dalam pembelajaran materi grafik kurang diberi tempat yang semestinya.

Padahal pemahaman siswa terhadap suatu fungsi akan lebih kuat apabila siswa juga

memahami fungsi tersebut melalui grafiknya.

Pembelajaran yang berkaitan dengan materi grafik fungsi tersebut selama ini

diajarkan hanya menggunakan media papan tulis dan kapur sehingga seringkali kurang

efisien karena guru masih harus menggambar grafiknya di papan tulis. Selain itu guru

juga harus menggambar grafik tersebut dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga

untuk menggambar satu grafik saja kadang-kadang harus membutuhkan waktu yang

lama. Bagi siswa pun tentu juga akan kesulitan dalam menggambar grafik tersebut

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

25

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

sehingga siswa cenderung akan merasa malas untuk menggambarnya. Untuk itu

dibutuhkan media lain yang dapat membantu siswa untuk mempelajari grafik dengan

lebih mudah dan menyenangkan.

Salah satu media yang sesuai dengan perkembangan jaman saat ini adalah media

komputer. Program komputer untuk membantu pembelajaran matematika juga telah

banyak tersedia di internet yang dapat diperoleh secara gratis, salah satu di antaranya

adalah program komputer untuk menggambar grafik, yaitu Winplot. Program Winplot

ini memiliki fasilitas dan kemampuan untuk membantu menggambar berbagai macam

grafik.

Mengingat pentingnya grafik dalam pembelajaran matematika, khususnya

fungsi, maka dalam makalah ini akan dibahas fasilitas apa saja dari program Winplot

yang dapat digunakan untuk membantu pembelajaran matematika di SMA, dan materi

apa saja pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan

menggunakan program Winplot serta bagaimana menyusun rencana kegiatan

pembelajaran matematika di SMA menggunakan program Winplot ?

B. LANDASAN TEORI

1. Pembelajaran Matematika Berbantuan Komputer

Komputer telah memainkan peranan penting dalam pembelajaran matematika.

Dari berbagai studi tentang penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika

ditemukan bahwa hasil belajar siswa yang belajar matematika dengan komputer lebih

baik daripada yang tidak menggunakan komputer. Hasil penelitian Kulik, Bangert, dan

Williams (1983:19-26 dalam Yohanes, 1995:4) menyebutkan bahwa pembelajaran

berbantuan komputer merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan sikap lebih

tertarik, tidak mudah menyerah, dan aktif menyelesaikan tugas.

Sedangkan menurut Taylor (1987 dalam Suparno, 1998:234), kehebatan

komputer terutama terletak pada:

1) Kemampuannya untuk mengerjakan secara matematis model-model sistem fisis

yang dihadapi.

2) Kemampuannya untuk men-display-kan hasil-hasil model-model itu dengan grafik

yang bagus dan jelas.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

26

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

Suparno (1998:236) berpendapat bahwa guru tidak diharapkan untuk tetap

memberikan penjelasan seperti sebelum ada program-program komputer. Guru perlu

mencari dan menemukan peranan yang baru, yang akan lebih memajukan proses belajar

siswa. Beberapa peran guru yang perlu diperhatikan antara lain:

1) Guru lebih sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk dapat belajar sendiri

dengan media komputer yang ada.

2) Guru dapat berkeliling untuk bertanya kepada siswa tentang bahan yang ditekuni

dalam komputer.

3) Guru lebih menantang agar siswa sungguh aktif untuk meneliti, mencari sendiri,

dan menemukan apa yang dipelajarinya dalam komputer.

4) Ada baiknya guru sering membuat penelitian apakah siswa memang terbantu

dengan komputer dan bagaimana akan meningkatkannya.

5) Guru diharapkan dapat mengusulkan program-program komputer yang sesuai

dengan bahan yang mau dipelajari siswanya. Syukurlah bila guru mau

bekerjasama dengan para pembuat program agar bahan dan metode yang

dijadikan program sungguh tepat dengan kebutuhan dan situasi siswa.

2. Pembelajaran dengan Menggunakan Komputer Program Grafik

Program grafik merupakan suatu perangkat lunak yang dapat mengambar grafik

secara akurat dan cepat. Menurut Yoong, W.K (1998) kelebihan program grafik inilah

yang akan dipakai untuk mendapatkan beberapa tujuan pembelajaran, diantaranya

adalah:

a. Untuk mengembangkan konsep melalui pemahaman siswa tentang

hubungan simbol, grafis dan numeris. Sebagai contoh identitas fungsi alajabar

trigonometri dapat diilustrasikan dengan mengimpitkan grafik yang satu pada

yang lain. Ilustrasi ini dapat membantu menguatkan pembuktian secara analitis.

Program grafik juga dapat membantu guru maupun siswa untuk bekerja secara

cepat untuk mempelajari contoh dan contoh penyangkal untuk mengembangkan

pemahaman hubungan antara simbol, grafik, dan numeris. Pemahaman ini

merupakan aspek yang penting dalam pemahaman metematis.

b. Untuk menguatkan konsep. Guru terlebih dulu mengawali penjelasan tanpa

meggunakan komputer. Setelah mereka memperoleh gagasan dari konsep,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

27

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

mereka dapat bekerja dengan program gradik untuk mengeksplorasi contoh

selanjutnya tanpa hambatan kekurangterampilan dasar aritmatika, perhitungan

yang membosankan, atau kesalahan dalam menggambar secara manual.

c. Untuk memperbaiki kesalahan yang sering terjadi. Siswa sering

menyamakan bentuk aljabar yang nampak serupa, sebagai contoh (x + 1)2 = x2 +

1 dan sin 2x = 2 sin x. Dengan menggambar grafik yang sesuai, siswa ini dapat

melihat secara visual bagaimana bentuk alajaba tersebut berbeda. Guru dapat

menggunakan hal ini sebagai suatu aktivitas remidial tambahan untuk membantu

siswa memperbaiki kesalahan dan mis konsepsinya. Pendekatan grafis ini harus

dikuatkan dengan penjelasan analitis.

d. Untuk memeriksa penyelesaian secara grafis dan analitis. Siswa dapat

menggunakan program grafis untuk memeriksa jawabannya pada masalah grafis

dan nongrafis. Hal ini mengembangkan kebiasaan yang sangat diperlukan dalam

hal memeriksa sendiri jawaban dalam pemecahan masalah.

e. Untuk menyelesaikan persamaan secara grafis. Dalam dunia nyata ada

banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan secara analitis. Dalam kasus ini,

metode pendekatan seperti grafik adalah hanya suatu kemungkinan untuk

menyelesaikan masalah. Program grafis adalah suatu alat yang efisien untuk

mencari pendekatan penyelesaian. Siswa seharusnya berani menggunakan

teknologi grafik ini sehingga mereka akan mengapresiasi bahwa beberapa

masalah matematis tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan rumus

tertentu karena memang tidak ada.

f. Untuk mencari jawaban atas dugaan pada suatu masalah. Berilah siswa

kesempatan untuk menemukan pola untuk mengeksplorasi sifat-sifat matematis

dan untuk memeriksa dugaan melalui pengajuan masalah “apa yang terjadi jika”

pada dirinya sendiri. Hal ini adalah proses yang penting dari proses berpikir

matematis. Ketika suatu program grafis digunakan untuk tujuan ini siswa tidak

dihambat oleh kekurangannya dalam perhitungan atau kemampuannya

menggambar secara manual. Bagaimanapun tipe pembelajaran dengan

penemuan akan lebih baik dibawah panduan guru.

g. Menjadi metakognitif. Siswa seharusnya belajar untuk memeriksa jawabannya

sendiri dengan menggunakan hasil dalam layar dan bertanggung jawab untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

28

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

pembelajarannya. Diskusi kelompok dapat diadakan untuk meningkatkan

pembelajaran dengan pendekatan konstruktifis dan reflektif.

h. Untuk memperoleh keterampilan teknologi informasi. Hal ini diperoleh

dalam suatu cara yang tidak langsung melalui pembelajaran bagaimana

menggunakan program yang sangat kuat.

i. Untuk meningkatkan motivasi belajar. Siswa secara umum termotivasi untuk

belajar dengan menggunakan komputer. Pogram grafik dapat menambah minat

untuk belajar matematika karena mudah dan menyenangkan. Gambar yang

diahasilkan dapat menjadi sangat hidup dan mengesankan.

Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan program grafik

secara efektif, guru harus menyediakan panduan pada siswa. Tanpa ada panduan,

eksplorasi yang dilakukan siswa seringkali memakan banyak waktu dan tidak mengarah

pada tujuan pembelajaran. Rangkaian pembelajaran yang disarankan oleh Yoong, W.K.

(1998) yaitu:

menggambar manual menggambar dengan komputer menggambar manual

Penjelasan dari rangkaian pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:

a. Menjelaskan konsep atau keterampilan yang dimaksud tanpa menggunakan

komputer. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan peragaan, ceramah atau

diskusi kelompok. Langkah awal ini membekali siswa dengan latar belakang

matematis yang diperlukan untuk mengikuti aktivitas berbasis komputer.

b. Mengadakan pembelajaran dengan menggunakan program grafik. Hal ini dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1) Pembelajaran kelas secara menyeluruh. Guru mendemonstrasikan contoh dan

contoh penyangkal dengan menggunakan program grafik dan menjelaskan

hasil yang dimaksud. Hal ini dilakukan dengan cara tanya jawab untuk

medorong pembelajaran aktif. Pembelajaran dilakukan dengan bantuan sebuah

panel LCD untuk memproyeksikan layar komputer sehingga seluruh kelas

dapat melihat.

2) Aktivitas siswa. Dalam cara ini aktivitas akan dilaksanakan di laboratorium

komputer. Siswa bekerja dengan menggunakan lembar kerja, baik secara

individu, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja secara berpasangan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

29

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

adalah pilihan yang disarankan karena diskusi antar pasangan akan

memfasilitasi pembelajaran secara bermakna. Mendorong siswa untuk bekerja

menggunakan kertas, pensil dan kalkulator dan memeriksa hasil dalam layar.

Hal ini mendoong pembelajaran aktif melalui corat-coret dan main-main

(coba-coba). Selama pembelajaran berlangsung sebaiknya guru berkeliling

untuk memeriksa siswa yang sedang mengerjakan dan memberikan bantuan

jika diperlukan. Hentikan pembelajaran secara periodik untuk mendiskusikan

atau membuat ringkasan. Kumpulkan lembar kerja dan tandailah sebagai

pekerjaan kelas atau pekerjaan rumah.

c. Memberikan penguatan setelah aktivitas komputer dilaksanakan untuk penguatan

konsep dan mengembangkan keterampilan untuk penilaian tingkat yang

diperlukan.

C. PEMBAHASAN

1. Fasilitas-fasilitas Program Winplot

Ada beberapa program grafik seperti Mathematica, MathCad, dan MathLab

yang bisa dipakai dalam pembelajaran matematika. Akan tetapi program tersebut tidak

gratis, lebih besar memorynya dan lebih sulit untuk dipelajari. Winplot adalah suatu

program yang diciptakan dan diproduksi oleh Richard Parris. Program ini dapat

diperoleh secara gratis melalui internet yaitu (http://www.exeter.edu/public

/peanut.html). Program ini sangat mudah untuk diinstal atau dicopy dan tidak

menghabiskan banyak tempat karena file program Winplot ini hanya berukuran sekitar

1,359 KB . Semua keterangan tentang cara-cara pengoperasian program Winplot dapat

dilihat pada menu Help di mana diberikan informasi yang lengkap tentang cara kerja

masing-masing menu yang ada pada program ini.

Program Winplot ini dapat digunakan untuk menggambar grafik fungsi yang

lengkap dengan sumbu-sumbu koordinatnya sehingga akan memudahkan siswa untuk

menggambar grafik fungsi dan mengeksplorasi sifat-sifat grafik fungsi. Fasilitas yang

dimiliki dalam program Winplot yaitu mampu untuk:

a. digunakan pada bermcam-macam fungsi matematis seperti sin x, ex, dan

lain-lain.

b. dapat memperlihatkan beberapa grafik dalam sumbu yang sama.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

30

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

c. memvariasikan macam-macam warna, gaya dan ketebalan, dari grafik

fungsi.

d. memberi label pada grafik, sumbu, dan titik.

e. menyisipkan teks pada grafik.

f. mengatur kembali skala sumbu koordinat dengan mudah, termasuk

memperbesar dan memperkecil.

g. memberi tanda pada titik-titik tertentu yang perlu diperhatikan seperti titik

maksimum atau titik potong.

h. membut animasi pada grafik.

i. menggambar hasil operasi dua buah fungsi

j. menggambar transformasi (rotasi, refleksi) suatu grafik

k. menggambar luasan hasil perputaran grafik

l. mengarsir daerah dengan batas-batas kurva tertentu

2. Materi Matematika SMA yang Pembelajarannya Dapat Dibantu Winplot

Program Winplot ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran grafik

fungsi dimensi dua karena program Winplot ini dapat digunakan untuk menggambar dan

memvisualisasikan materi grafik fungsi dimensi dua dengan mudah dan cepat. Ada

banyak fungsi yang dipelajari di SMA, untuk itu masing-masing fungsi tersebut dan

fasilitas program Winplot yang dapat dimanfaatkan akan ditampilkan dalam suatu tabel

sebagai berikut:

No. Materi Fasilitas Program Winplot yang

Dimanfaatkan

1 Grafik Fungsi Kuadrat a, c, d, e, f, g

2 Grafik Fungsi

Trigonometri

a, b, c, d, e, f, g

3 Persamaan Lingkaran a, b, c, d, e, f, g

4 Fungsi Invers a, b, c, d, e, f, g, i, j

5 Limit Fungsi a, b, c, d, e, f, g

6 Diferensial a, b, c, d, e, f, g

7 Integral a, b, c, d, e, f, g, k

8 Program Linear a, b, c, d, e, f, g, l

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

31

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

9 Tranformasi a, b, c, d, e, f, g, j

10 Fungsi Eksponen dan

Logaritma

a, b, c, d, e, f, g

3. Rancangan Kegiatan Pembelajaran Grafik Fungsi Kuadrat Berbantuan

Program Winplot

Dalam makalah ini akan disusun sebuah rancangan kegiatan pembelajaran

berbantuan program Winplot. Kegiatan pembelajaran yang akan disusun sesuai dengan

yang disarankan oleh Yoong, W.K. (1998), yaitu :

menggambar manual menggambar dengan komputer menggambar manual

Rancangan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Guru menjelaskan pengertian grafik fungsi kuadrat kemudian menjelaskan

langkah-langkah meggambar grafik fungsi kuadrat dan memberikan contoh

menggambarnya dengan cara manual di papan tulis.

b. Guru mengelompokkan siswa dua-dua (berpasangan), kemudian diberi

lembar kerja siswa. Siswa mulai melakukan kegiatan pembelajaran sesuai

dengan lembar yang ada, guru berkeliling untuk memeriksa siswa yang

sedang mengerjakan dan memberikan bantuan bila diperlukan. Guru dan

siswa membahas hasil atau kesimpulan yang diperoleh siswa selama

berekplorasi dengan tanya jawab.

c. Guru menguatkan pemahaman yang diperoleh siswa dengan mengadakan

tanya jawab kemudian memberikan soal-soal latihan yang dikerjakan siswa

dengan cara manual.

Di bawah ini akan diberikan contoh lembar kerja siswa yang dipakai dalam

pembelajaran fungsi kuadrat berbantuan program Winplot.

Tujuan pembelajaran (penekanan materi):

a. Mengetahui hubungan akar persamaan kuadrat dan titik potong grafik dengan

sumbu x.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

32

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

b. Menentukan penyelesaian dari dua persamaan (kuadrat atau linear) dengan cara

menemukan absis titik potong irisan kedua grafik.

c. Menentukan persamaan grafik fungsi kuadrat jika diketahui akarnya.

Tujuan proses pembelajaran:

a. Untuk menguatkan pemahaman siswa dengan memahami hubungan antara

simbol dengan visual.

b. Untuk mencari jawaban atas dugaan suatu masalah dengan eksplorasi program

Winplot.

Lembar Kerja Siswa

Tujuan: Untuk menyelesaikan persamaan kuadrat dengan menentukan absis titik

potong grafik dengan sumbu x.

1. Lengkapilah tabel berikut dengan menggunakan Winplot.

Persamaan

Kuadrat

Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)

a x2 - 3x + 4 = 0 y = x2 - 3x + 4

x =

b x2 – 4 = 0

x =

c (x + 1)(x – 2) = 0

x =

d (2 – x)(2x + 7) = 0

x =

e 2(x – 3)(x + 4)

x =

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

33

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

Cobalah lagi untuk beberapa contoh persamaan kuadrat yang kamu miliki.

2. Persamaan berikut tidak dapat difaktorkan dengan mudah. Gunakan zoom in dengan

cara menekan tombol page down pada keyboard untuk memperoleh hasil yang lebih

akurat.

Persamaan Kuadrat

Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)

a x2 + 3x + 2 = 0 y = x2 + 3x + 2

x =

b 3x2 – 5x + 2 = 0

x =

c 5 – 3x – 2x2 = 0

x =

d x2 – x - 3 = 0

x =

Cobalah lagi untuk beberapa contoh persamaan kuadrat yang kamu miliki.

3. Selesaikan persamaan berikut dengan menggambarkan dua grafik persamaan

tersebut dan menemukan absis titik potongnya. Gunakan zoom in dengan cara

menekan tombol page down pada keyboard untuk memperoleh hasil yang lebih

akurat.

Persamaan Kuadrat

Sketsa Grafik Penyelesaian (Akar)

a x2 – 3x – 1 = x – 3 y = x2 – 3x – 1 dan y = x – 3

x =

b x2 + 2x – 3 = 2x – 1

x =

c 3 – 2x – 2x2 = 3x2 - 5

x =

d x2 – x – 3 = 4 – 2x – x2

x =

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

34

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

4. Tuliskan beberapa persamaan kuadrat yang berbeda yang mempunyai akar 2 dan 5.

Periksa jawabanmu menggunakan program Winplot.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Fasilitas-fasilitas dari program Winplot yang dapat digunakan dalam

pembelajaran antara lain: dapat melukis berbagai grafik fungsi matematika yang

cukup lengkap, seperti: grafik fungsi kuadrat, trigonometri, logaritma, dan

sebagainya; dapat menampilkan beberapa grafik dalam satu sumbu; dapat

menampilkan grafik yang menarik dengan memberi warna, membuat animasi,

memberi label, mengatur skala diperbesar atau diperkecil sesuai kebutuhan dan;

dapat juga memberi tanda pada titik-titik optimum atau titik potong grafik.

Selain itu juga dapat untuk menggambar hasil operasi dua fungsi, trasformasi

suatu grafik, luasan hasil perputaran grafik dan dapat mengarsir daerah dengan

batas-batas kurva tertentu.

b. Materi pada pembelajaran matematika di SMA yang dapat dibantu dengan

menggunakan program Winplot antara lain: Fungsi Kuadrat, Fungsi

Trigonometri, Persamaan Lingkaran, Fungsi Invers, Limit, Diferensial, Integral,

Program Linear, Transformasi, Fungsi Eksponen dan Logaritma.

c. Sebuah rancangan kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan

motivasi belajar siswa dan pemahaman konsep Fungsi Kuadrat berbantuan

program Winplot.

2. Saran/Rekomendasi

Beberapa hal yang perlu dipikrkan dan dikembangkan lebih lanjut adalah:

a. Rancangan kegiatan pembelajaran pada makalah ini perlu untuk

ditindaklanjuti, misalnya dengan dilaksanakan di kelas dan dievaluasi

hasilnya dalam suatu penelitian tindakan kelas.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

35

PM – 3 : Eksplorasi Program Winplot …. MG. Erni Harmiati

b. Rancangan kegiatan pembelajaran yang di buat pada makalah ini hanya

sebuah topik yaitu Fungsi Kuadrat, masih ada banyak topik yang dapat

dirancang kegiatan pembelajarannya.

E. DAFTAR PUSTAKA

Suparno, P. (1998). Penggunaan Komputer dalam Proses Belajar Mengajar Fisika di Sekolah Menengah. Dalam Pendidikan Matematika dan Sains: tantangan dan harapan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Yohanes, R. S. (1995). Pengaruh Pengajaran Berbantuan Komputer Terhadap Tingkat

Kecemasan dan Prestasi Belajar Matematika. Dalam Widya Dharma Edisi Oktober 1995.

Yoong, W. K. (1998). Computers for Mathematics Instruction (CMI) Project Module 2

Graphing Software. Universiti Brunei Darusalam. http://www.exeter.edu/public/peanut.html.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

36

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

Keterampilan Berpikir dalam Pendidikan Matematika Realistik

Hasratuddin Universitas Negeri Medan

Abstrak

Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberikan suatu alternatif pembelajaran matematika dalam mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir. Matematika memiliki objek-objek kajian yang bersifat abstrak yang hanya ada dalam pikiran, sedangkan yang dilihat dan dipelajari hanyalah merupakan gambar atau lukisan untuk mempermudah mempelajarinya. Salah satu tujuan pengajaran matematika adalah tujuan formal yaitu penataan nalar dan pengembangan ketrampilan berpikir logis, sistematis, kritis dan kreatif serta sikap jujur dan taat azas. Di dalam matematika, alat-alat dan gaya-gaya tentang bepikir yang merupakan cirikhas matematis harus dipelihara; dipertahankan, dan digunakan untuk memecahkan permasalahan. Pengajaran matematika realistik merupakan pengajaran yang kompeten mengembangkan sikap dan keterampilan berpikir yang bersifat konstruktif, interaktif dan reflektif.

Kata kunci: berpikir, matematika, realistik, konstruktif, interaktif, reflektif.

A. Pendahuluan

Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini, terutama penomena-penomena yang

diakibatkan oleh kemajuan teknologi modern yang berubah begitu cepat memfasilitasi

informasi-informasi yang banyak dan mudah ditemukan dari berbagai sumber, maka

tidak berlebihan apabila disektor pendidikan mengharuskan untuk mempersiapkan anak

didik untuk menjadi pemikir-pemikir yang efektif sebagai kelangsungan hidupnya

dikemudian hari. Robinson (1987: 16), mengatakan bahwa mengajar anak menjadi

pemikir-pemikir yang efektif harus menjadi tujuan utama dalam sektor pendidikan.

Dari suatu fakta dan pertanyaan yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan

pembelajaran matematika, antara lain, adalah mengapa kelihatannya ada anak-anak,

tingkat dasar sampai perguruan tinggi, ada yang dengan mudah belajar matematika,

ada anak yang harus bekrja keras untuk memahami matematika, ada anak yang sangat

sulit dengan matematika? Mengapa ada anak dengan mudah dan baik memamahi aljabar

tetapi sulit pada geometri, dan sebaliknya? (Stemberg R.J,Talia BZ, 1996; vii).

Salah satu gagasan yang paling abadi mengenai pengajaran matematika adalah

matematika terdiri dari sperangkat aturan-aturan dan pengetahuan yang tidak terbantah;

memiliki struktur yang sudah tetap dan dapat diperoleh melalui pengulangan dan

penghafalan (Nelissen, 2005). Berkaitan dengan pengajaran matematika yang

berlangsung di sekolah-sekolah kita sekarang ini, maka ada suatu pertanyaan yang

mendasar yang perlu dipertimbangkan, yaitu: bagaimana matematika dapat diajarkan

lebih baik, bagaimana anak-anak didorong untuk tertarik dan berminat dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

37

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

matematika, bagaimana cara sesungguhnya anak-anak belajar matematika, dan apa yang

merupakan nilai dari matematika bagi mereka?

Menurut Goffree, Freudenthal, dan Schoemaker (1981), pokok dari matematika

adalah unsure esensial dalam berpikir itu sendiri melalui pertimbangan-pertimbangan

didaktikal dalam pengajaran matematika. Hal itu menekankan bahwa pengetahuan

adalah hasil dari suatu aktivitas dan usaha-usaha belajar, dan belajar bukan hanya

sebagai penerima yang passif terhadap informasi.

Ada tiga teori pengetahuan menurut Confrey (1981) yaitu teori absolute,

progresif absolute dan perubahan konseptual. Di dalam teori absolut pertumbuhan dari

pengetahuan adalah dipandang sebagai suatu akumulasi objek dan fakta yang ditentukan

secara empiric. Menurut progresif absolute, pengetahuan dipandang sebagai suatu teori

yang baru dan benar, dan bahkan melebihi pengetahuan sebelumnya. Para penganut

perubahan konseptual memandang pengetahuan sebagai asas (paradigmatical)

perubahan-perubahan dan bukan usaha untuk menemukan kebenaran-kebenaran absolut.

Suatu teori dapat memiliki kekuatan lebih besar dan memberikan argumentasi lebih

tangguh dibanding yang lain apabila nilai-nilai teori tersebut tidak dapat disangkal

kevalidannya (Lakatos, 1976). Selama ini matematika dipandang sebagai ilmu

pengetahuan yang mutlak atau pasti. Confrey (1981) mengatakan bahwa matematika

dipandang sebagai ringkasan simbol-simbol dari kepastian, kebenaran-kebenaran yang

abadi dan metoda-metoda yang tidak dapat dibantah. Para ahli matematik lain, sudah

meninggalkan teori penganut kemutlakan dan menjelaskan bahwa matematika adalah

suatu subjek di mana kita tidak pernah mengetahui apa yang kita berbicarakan atau apa

yang kita katakan itu benar. (Whitney, 1985; Russell & Bishop, 1988)

Dewasa ini matematika dipandang sebagai suatu hasil dari aktivitas manusia dan

bukan sebagai jenis dari struktur akhir (Freudenthal, 1983). Pengajaran matematika

perlu mengungkapkan bagaimana sejarah penemuan-penemuan itu dibuat. Itu berarti

pengajaran matematika itu bukan sekedar suatu praktek latihan matematis yang terdiri

dari mencari satu sistem yang berjalan, tetapi lebih tentang menciptakan dan

menemukan hal baru. Jika matematika merupakan pengetahuan yang tidak dapat

dibantah dan prosedur-prosedur sudah jadi, lalu tujuan utama matematika itu tentu saja

adalah anak-anak menguasai prosedur-prosedur. Tetapi, sekarang ini banyak para

peneliti dan matematisian (Fredenthal, 1973, 1983, 1991; Treffers, 1987; Gravemeijer,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

38

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

1994; de Moor, 1994; de Lange, 1998; Blanchard, Devaney, &Hall, 1998; Borelli &

Coleman, 1998; Kostelich & Armbruster, 1997; Hubbard & West, 1997), mengatakan

bahwa jika matematika dilihat sebagai penyelidikan-penyelidikan dan pencarian,

meneliti dan mengerjakannya sendiri dengan kritis, merumuskan hipotesis, dan tentu

saja manusia dapat berbuat keliru, maka pengajaran matematika ditempatkan dalam

suatu pandangan yang sesungguhnya berbeda dengan pandangan absolutsm. Pengajaran

matematika berarti lebih dari sekedar memperkenalkan anak-anak dengan isi matematis,

tetapi juga mengajar mereka bagaimana pekerjaan para ahli matematik, metoda-metoda

yang mereka gunakan dan bagaimana mereka berpikir. Untuk alasan ini, anak-anak

harus dilibatkan dan diberi kesempatan berpikir untuk diri mereka dan melaksanakan

pekerjaan mereka sendiri tentang penyelidikan, dan diizinkan untuk membuat kesalahan

karena mereka juga dapat belajar melalui kekeliruan-kekeliruan tersebut, diizinkan

untuk mengembangkan pendekatan mereka sendiri, dan belajar bagaimana caranya

mempertahankannya dan juga untuk memperbaikinya kapan pun perlu. Hal ini semua

bermakna bahwa para siswa belajar untuk menggunakan pemikiran matematis mereka

sendiri, strategi mereka sendiri, operasi mental mereka dan solusi mereka sendiri.

Di dalam penelitian Greer (1997), Verschaffel, dkk., (1997), menemukan suatu

kecenderungan yang kuat dari anak-anak untuk berbuat sesuatu terhadap permasalahan

konteks tentang ‘masalah kata' dengan tak mengindahkan situasi-situasi nyata tentang

permasalahan, dari hasil penelitiannya menemukan bahwa hanya 48% dari 332 siswa

yang memberi respon terhadap kasus masalah kata yang diberikan, selebihnya

mempertimbangkan masalah kata yang kompleks dan berliku tidak sesuai dengan anak-

anak. Tujuan pemecahan masalah kata dalam pengajaran di sekolah, setelah mereka

memberi pendapat, adalah “...belajar untuk menemukan jawaban masalah nilai yang

benar untuk setiap masalah dengan operasi-operasi aritmetika formal yang tersembunyi

di dalam masalah” (Verschaffel dkk., 1997, p.357). Ketika para siswa memecahkan

masalah kata, siswa perlu membuat lompatan belajar dan latihan-latihan mekanis untuk

menerapkan pengetahuan mereka ( Wyndhamn &Säljö, 1997). Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa para siswa usia 10-12 tahun, kebanyakan memberi jawab yang

tidak konsisten secara logika. Siswa menyelesaikan masalah matematika hanya berfokus

kepada sintak atau susunan kata dari masalah dibanding mengartikannya. Itu berarti

bahwa hubungan aturan dasar yang diketahui antara hasil simbol-simbol yang kurang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

39

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

dimaknai mengakibatkan penyimpangan arti. Reusser dan Stebler (1997) dalam temuan

penelitiannya yang menarik bahwa para murid menyelesaikan masalah yang tak dapat

diselesaikan tanpa reaksi-reaksi realistis. Sebagai contoh: - Ada 125 ekkor kambing dan

5 anjing di suatu lapangan yang diangon seorang pengembala. Berapa umur si

pengembala?' Banyak siswa yang memberikan jawaban, seperti: 125 + 5 = 130......., ini

terlalu besar, dan 125 - 5 = 120, masih terlalu besar,......sekarang 125 : 5 = 25....., ini

baru cocok. Saya kira si pengembala berusia 25 tahun. Sepertinya, opini mereka bahwa

semua masalah dalam matematika mempunyai penyelesaian. Salah satu dari

kesimpulan-kesimpulan penulis adalah bahwa perlu pemahaman tentang semantic,

penyamaan-penyamaan yang disamarkan pada rancangan yang baik akan lebih

menantang proses berpikir. Sedemikian dalam pengajaran matematika diperlukan

masalah-masalah dan konteks-konteks yang baik dalam mengkonstruk pemikiran anak.

Matematika sering dilihat sebagai suatu pelajaran yang sangat terkait eksklusif

dengan pengetahuan abstrak dan formal. Menurut pandangan ini, objek matematis yang

abstrak harus diajarkan dengan membuat lebih konkrit. Pandangan ini ditentang oleh

Freudenthal (1983), dalam pendapatnya, bahwa kita menemukan matematika melalui

pengamatan gejala atau penomena konkrit di sekitar kita. Itulah sebabnya kita perlu

dasar mengajar tentang fenomena konkrit yang dikenal baik dalam dunia anak-anak.

Fenomena ini memerlukan pemakaian teknik-teknik penggolongan tertentu, seperti

gambar-gambar, diagram dan model-model seperti garis bilangan. Oleh karena itu, perlu

menghindari anak-anak berhadapan langsung dengan rumus-rumus matematis formal

yang akan hanya berfungsi untuk menakut-nakuti mereka, tetapi perintahnya lebih

berdasar pada struktur-struktur matematis yang kaya, dan anak akan mampu mengenali

lingkungannya. Dengan cara ini matematika menjadi penuh arti bagi anak-anak dan juga

jelas bahwa anak-anak belajar matematika bukan melalui latihan rumus-rumus tetapi

melalui refleksi pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

B. Pembahasan

Salah satu pembelajaran matematika yang mengacu kepada aktivitas siswa

adalah pendidikan matematika realistik berasal dari negeri Belanda yang lazim

disebut Realistics Mathematics Education (RME). Dalam matematika realistik,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

40

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. (Freudenthal,1973; Treffers, 1987;

Gravemeijer, 1994; de Moor, 1994; de Lange, 1998). Sehingga matematika tersebut

harus tidak diberikan kepada siswa dalam bentuk ‘hasil-jadi’, melainkan siswa harus

belajar sendiri menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur matematika

tersebut melalui penyelesaian masalah-masalah realistik atau kontekstual. De Lange

(1987) mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses “conseptual

mathematizing”, yang dapat berlangsung dari situasi nyata yang dimiliki siswa secara

intuitis. Kemudian mengorganisasikan, menyusun dan mengidentifikasi aspek-aspek

masalah secara matematis, memformalkan dan mengaplikasikannya pada masalah

dan situasi yang berbeda dan akhirnya dikembalikan pada dunia nyata. Dalam hal ini,

pengembangan matematika dapat dibedakan dalam dua komponen yaitu komponen

matematisasi secara horizontal dan komponen matematisasi secara vertikal.

Matematisasi secara horizontal adalah proses perumusan masalah kontekstual ke

dalam masalah secara matematika agar dapat lebih dipahami. Dalam matematisasi

horizontal siswa menggunakan matematika sehingga dapat membantu mereka

mengorganisasikan dan menyelesaikan suatu masalah yang ada pada situasi nyata.

Sebagai contoh matematisasi horizontal adalah; pengidentifikasian, perumusan dan

penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah

dunia nyata ke masalah-masalah matematika. Sedangkan proses matematisasi secara

vertikal adalah proses transormasi masalah yang sudah diubah ke dalam suatu yang

nyata atau model matematika secara informal yang disuguhkan melalui alat-alat

matematika seperti operasi, konsep atau prosedur matematika. Contoh dalam

matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, dan

penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan

model matematika dan penggeneralisasian.

Gravemeijer (1994) mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci dalam

matematika realistik, yaitu:

Guided reinvention / progressive mathematizing (penemuan terbimbing /

matematisasi progressif). Dalam proses ini, untuk membangun dan menemukan

kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep matematis, siswa seharusnya diberi

kesempatan untuk mengalaminya melalui dorongan situasi dan jenis masalah

kontekstual. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

41

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat

dikonstruksi pebelajar sendiri.

Didactical phenomenology (fenomena didaktis). Dalam hal ini fenomena

pembelajaran menekankan pentingnya masalah-masalah kontekstual untuk

memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal ini dengan

mempertimbangkan aspek kecocokan aplikasi konteks dalam pengajaran dan

kecocokan dampak dalam proses reinvention, bentuk dan model matematika dari

soal kontekstual tersebut.

Self-developed model ( pengembangan model mandiri). Prinsip ini berfungsi

menjembatani jurang antara pengetahuan matematika informal dengan formal dari

siswa. Model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh

siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model

(formal dan informal) yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan

masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah dikenal siswa, kemudian

ditemukan “model-dari” (model-of) situasi tersebut (bentuk informal), dan

kemudian diikuti dengan penemuan “model-untuk” (model-for) bentuk tersebut

(bentuk formal matematika), sehingga mendapatkan penyelesaian masalah dalam

bentuk pengetahuan matematika formal. Gravemeijer (1994) menyebutkan siswa

belajar dari tahap situasi nyata, tahap referensi (pemodelan), tahap general

(generalisasi), dan tahap formal.

Model pembelajaran dengan pendekatan realistik menekankan bagaimana siswa

menemukan konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui

dorongan masalah-masalah konstekstual. Dalam menyelesaikan masalah-masalah

kontekstual tersebut siswa diarahkan pada situasi belajar mandiri atau koperatif dalam

kelompok kecil. Dalam RME, Verschaffel (1997) mengatakan bahwa langkah-langkah

untuk menyelesaikan masalah-masalah realistik atau tentang aplikasi matematika

adalah; memahami situasi masalah, membangun model, menyusun model matematika

atau operasi dalam unsur-unsur soal yang diketahui, interpretasi dan evaluasi hasil

pekerjaan komputasi model dan mengkomunikasikan hasil.

Pendekatan realistik tentang belajar dan proses berpikir pada anak-anak

mempunyai konsekuensi-konsekuensi jangkauan yang luas. Matematisasi dipandang

sebagai suatu aktivitas yang bersifat konstruktif, reflektif dan yang interaktif. Berikut ini

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

42

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

akan diberikan contoh keutamaan-keutamaan matematika realistis dalam pengajaran

matematika yang dihubungkan dengan konteks, model-model dan karakteristik proses

matematisasi yang meliputi konstruksi, refleksi dan interaksi.

Belajar matematika adalah suatu aktivitas yang bersifat konstruksi (Bruner,

1986, 1996; Cobb, 1994; Cobb dkk., 1997; Resnick & Klopfer, 1989; Steffe, Cobb,

&Von Glazersfield, 1988). Anak-anak mengkonstruksi secara internal, representasi

mental yang dapat mengkonkritkan gambaran-gambaran, schemata, prosedur-prosedur,

metoda kerja pada level symbol yang abstrak, intuisi-intuisi, konteks-konteks, schemata

penyelesaian, atau melalui percobaan-percobaan. Mengkonstruksi representasi dengan

pengetahuan awal adalah statu langkah yang krusial dalam penyelesaian masalah (Davis

& Maher, 1990, 1997; Kiczek & Maher, 1998). Representasi yang dikonstruksi itu

selalu dicek dan dimodifikasi oleh siswa itu sendiri dalam belajar kolaborasi. Kadang-

kadang, beberapa percobaan yang dikehendaki untuk membangun representasi itu

memuaskan dan bermanfaat dalam penyelesaian masalah. Tugas yang diajukan kepada

siswa seharusnya menjadi tantangan dan memungkinkan mereka dapat membangun

pengetahuan mereka sebelumnya (Francisco & Maher, 2005; Benko, 2006).

Lo, Grayson, Wheatly, dan Smith (1990) mengatakan hubungan erat antara

konstruksi dan interaksi adalah bahwa dari suatu perspektif constructivist belajar terjadi

ketika seorang anak mencoba untuk menyesuaikan fungsi skemanya untuk menetralkan

gangguan-gangguan yang muncul melalui interaksi-interaksi dengan dunia-dunia kita

(Heuvel-Panhuizen, 2003 p. 116). Dua aspek penting, konstruksi dan interaksi, bersifat

penting di dalam statemen tersebut. Meski konstruksi tentang pengetahuan adalah suatu

perbuatan pribadi, namun itu tidak sama sekali satu aktivitas yang terisolasi seperti

penafsiran-penafsiran orang-orang terhadap penerapan constructivism. Konstruksi

tentang representasi mental internal adalah salah satu dari keutamaan proses belajar

matematika. Kita mengerti pengembangan dari represesntasi internal sebagai suatu

proses yang sangat berarti ( Kirshner &Whitson, 1997; Walkerdine, 1997). Jadi kita

tidak membuat suatu pembedaan antara representasi dunia secara eksternal dan secara

internal.

Pengajaran realistik di dalam matematika bukan hanya bersifat mengkonstruk

tetapi juga interaktip. Bishop (1988) memberi alasan untuk menggantikan ‘belajar

impersonal dan ‘belajar teks dengan ‘elkulturasi matematis, dengan demikian

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

43

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

menekankan hubungan antara pendidikan dan kultur. Pimm (1990) menggunakan

istilah ‘percakapan matematis, sedangkan Salomon (1989) mengatakan dengan mitra

kognitif. Granott dan Gardner (1994) mengatakan bahwa membangun suatu kerangka

teoritis tentang interaksi, harus didasarkan pada pandangan pendekatan multipel

inteligensi. Dari pendapat tersebut, pengaruh interaksi bergantung pada dua dimensi.

Dimensi yang pertama adalah keahlian relatif: bukan symmetric (aktivitas paralel)

hingga yang tidak simetris (‘masa magang'). Dimensi yang kedua adalah derajat

kolaborasi. Scafolding adalah kejadian satu contoh kerja sama atau kolaborasi derajat

yang tinggi, sedangkan lainnya adalah suatu kenyataan aktivitas independen

(nokolaborasi). Belajar interaktip disebut belajar kooperatif (Slavin, 1986), ‘kelas

percakapan (Cazden, 1988), ‘instruksi timbal balik' (Glas, 1991) ‘konstruksi yang

dipandu oleh pengetahuan' (Mercer, 1995) dan ‘instruksi yang interaktip' ( Treffers

&Goffree, 1985). Sekarang ini, pandangan tentang pengembangan kognitif dan belajar

adalah digolongkan sebagai social-constructivism, suatu penggolongan yang saling

bertautan dengan pendekatan realistik pada pengajaran matematika. Dalam beberapa

penelitian (Driver, Asoko, Leach, Mortimer, &Scott, 1994; Roazzi &Bryant, 1994)

mengatakan bahwa belajar dan berpikir selalu berlangsung dalam situasi yang sosial.

Belajar adalah situasi belajar ( Kirshuer &Whitson, 1997), pengamatan adalah

pengamatan sosial. Bruner (1986) mengatakan bahwa pengetahuan adalah ‘negosiasi

tentang makna. Tidak hanya kata-kata, konsep-konsep, isyarat-isyarat, dan ritual, tetapi

juga angka-angka, lambang, gambaran-gambaran, visual dan representasi grafik, dll.

memiliki jangkauan menyeluruh tentang arti. Dalam hal anak-anak, maksud atau arti

dari sesuatu konteks sering sangat subjektif. Sebagai jawaban atas pertanyaan “Berapa

umur anda?”, seorang anak yang mendengar menjawab “Aku adalah empat, tetapi jika

aku di dalam bus, aku adalah tiga” (Nelissen, 2005). Dengan kasus yang sama, ada juga

anak lain yakin bahwa ketika dadu digulingkan, mereka berpendapat bahwa angka 6

lebih sering muncul dibanding yang lain. Vygotsky (1977) mengatakan bahwa fungsi

batin yang lebih tinggi seorang anak (seperti bahasa dan berpikir) pertama mengambil

tempat sebagai suatu aktivitas interaksi sosial (yang interaktip) dan kemudian menjadi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

44

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

aktivitas perorangan. Fungsi bahasa yang pertama sebagai makna dari komunikasi;

setelah itu menjadi internalis dan pelayan individual, fungsi pengatur diri sendiri.

Pengajaran matematika realistik adalah besifat interaktif, bahkan berpikir anak mesti

secara alami diberi tantangan untuk dikerjakan secara independen.

Menurut Hiebert (1992), refleksi atau metacognition dapat didefinisikan sebagai

pertimbangan yang sadar tentang pengalaman sendiri, sering menjadi penghubung

antara ide dengan perbuatan. Refleksi mengingat kebelakang atas pengalamannya

sendiri. dan mengambil pengalaman sebagai object berpikir. Refleksi dimulai ketika

bertanya tentang diri sendiri, bagaimana pendekatan yang paling baik untuk mendekati

masalah: ‘Perlukah aku melakukan itu dengan cara itu?' (planning). Begitu kita mulai

bekerja, pertanyaan-pertanyaan lain muncul: “Apakah kerja?” (self-monitoring),

barangkali bahkan “Dapatkah aku melakukan itu?” (self-evaluation). Pertanyaan-

pertanyaan lain yang nyata adalah “Akankah hal ini berhasil?” (antisipation) dan,

akhirnya, “Adakah aku berbahagia dengan hal ini?” (evaluation). Jika penyelesaian

mendatangkan jalan buntu, lalu didorong untuk bertanya kepada diri sendiri “Tidakkah

aku mencoba hal lain?” (considering; methods switching). Ini adalah unsur-unsur

refleksi yang paling penting selama proses pemecahan masalah.

Refleksi memainkan peran yang penting di dalam belajar untuk memecahkan

permasalahan matematis, dan merupakan tindakan manusia sungguh secara umum.

Melalui refleksi siswa belajar untuk meneliti tindakan-tindakan mereka sendiri dengan

kritis dan juga menjadikan siswa kurang tergantung dengan guru dan pemikiran

mereka menjadi lebih sistematis. Refleksi juga memberi kebebasan kepada siswa untuk

menyelidiki metoda-metoda pemecahan masalah dan prosedur-prosedur untuk

mengaplikasikannya secara umum, dan meningkatkan fleksibilitas pemikiran mereka.

Aspek yang paling penting adalah bahwa refleksi membangun keyakinan diri dengan

membiarkan para murid untuk menemukan apa yang mereka benar-benar pikirkan dan

mengapa mereka berpikir. Tanpa adanya refleksi, setiap hasil akan mungkin

kelihatannya berhasil tetapi kurang membangun keyakinan dan menjadi kurang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

45

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

beruntung pada kemudiannya. Bahwa refleksi adalah sangat melekat pada proses belajar

matematika dan untuk berpikir matematis.

Starting point pembelajaran bukan belajar aturan-aturan dan rumus-rumus, tetapi

lebih kepada bekerja dengan konteks-konteks. Suatu konteks adalah situasi yang

menuntut kepada anak-anak dan mereka dapat mengenali secara teori. Situasi tersebut

boleh jadi berbentuk yang riil atau khayal, dan mendorong anak-anak untuk

menghadirkan pengetahuan yang mereka sudah miliki melalui pengalaman

sebelumnya. Suatu konteks yang dipilih dengan baik dapat mempengaruhi satu proses

berpikir yang aktif pada anak-anak. Berikut diberikan contoh permasalahan. Andaikan

diberikan masalah yang bukan bentuk konteks kepada anak, katakan 6 : 43 = ...

Dalam menyelesaikan masalah ini, banyak diantara anak-anak mengalami kesulitan

(Streefland, 1991), mereka memanipulasinya secara acak dengan memberikan angka-

angka sebarang, misalnya; 6 : 3 = 2, sehingga 6 : 43 haruslah menjadi

42 . Anak ini

memandang bilangan pecahan sebagai bilangan keseluruhan, demikian juga anak yang

lainnya ( Lesh et al., 1987). Tetapi beberapa siswa akan menghitung bahwa; 6 × 4

=24 dan bahwa 24 dibagi oleh 3 sama dengan 8. Adalah benar bahwa jawaban yang

belakangan benar, tetapi jika anak-anak ini ditanyakan lebih dekat, itu kembali

jawabannya menyimpang keluar, mereka hampir tidak ada memahami sesuatupun

tentang operasi yang mereka sendiri baru saja laksanakan. Mereka hanya ingat aturan

yang mereka hapal melalui perasaan, mereka mengetahui bahwa penyelesaian yang

diberikan benar namun mereka tidak mengetahui mengapa benar.

Sekarang, anak-anak yang sama diberi berikutnya masalah konteks yang disertai

oleh suatu kontsks gambar: suatu halaman panjangnya 6 meter; anda ingin menyususn

batu bata baru dan batu bata yang anda akan gunakan mempunyai ukuran 75 cm (43

meter). Berapa banyak batu bata yang diperlukan untuk panjangnya? Masalah ini sama

seperti yang sebelumnya, tetapi pada kasus ini diperkenalkan dalam suatu konteks,

suatu gambar dari suatu halaman dan batu bata untuk menurunkannya. Kontsks ini

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

46

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

menimbulkan suatu kepunyaan anak, pendekatan yang informal. Pendekatan ini

menyediakan pengertian yang mendalam pada masalah, sesuatu wujud secara simbolis

(6 :43 ) tidak dilakukan. Beberapa siswa memanipulasi dan mengambil ukuran

sebenarnya, ini berarti mereka membagi secara bertahap 75 cm dan setelah meletakkan

8 batu bata mereka mencapai 6 meter. Sehingga mereka menyimpulkan jawaban harus

‘delapan'. Contoh ini menunjukkan bahwa bekerja dengan konteks-konteks - yang jika

dikonstruk secara hati-hati, maka dapat membentuk dasar untuk urutan-urutan abstrak-

abstrak dan untuk konseptualisasi. Anak-anak dilanjutkan dengan bekerja bersama

tentang konteks-konteks, tetapi konteks-konteks ini dibuat terus meningkatkan

pengetahuan formal secara alami. Dalam hal ini anak-anak selalu dihubungkan dengan

konteks-konteks yang asli dan seharuskan menggambarkan suatu perlakuan tertentu

yang menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan suatu strategi

penyelesaian dan atau suatu model berpikir. Proses meningkatkan berpikir matematis

formal secara terus disebut proses mathematisasi progresif. ( van Heuvel-Panhuizen,

1996).

Mencari-cari model-model, sesungguhnya merupakan hal yang perlu dalam

menyelesaiakan konteks yang memiliki objek abstrak-abstrak dengan menggunakan

reduksi dan skematisasi untuk mendorong ke arah bentuk formal yang lebih tinggi.

Matematika realistik berbasis pada aturan model-model yang dapat dirubah dari suatu

model-of dengan aktivitas matematis menjadi model-for dalam pembelajaran persamaan

differensial. (Gravemeijer & Doorman, 1997; Gravemeijer, 1997) mengatakan bahwa

pengembangan model-of ke model-for dijelaskan melalui empat tingkat aktivitas yang

berbeda; situasional, referensional, general, dan formal. Pada tahap situational,

interpretasi dan penyelesaian berdasar pada pengertian bagaimana cara melakukannya.

Situasi ini berarti ketika dia menafsirkan permasalahan dari satu konteks realistis yg

dialaminya, dia telah memahami bagaimana cara melakukannya. Pada level referensial,

models-of didasarkan pada pemahaman siswa yang pragmatis, dan melalui pengalaman

aktual. Pada level formal, aktivitas belajar sering ditandai oleh penggunaan bentuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

47

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

formal tentang notasi secara konvensional. Fakta ini adalah suatu cara yang penting dan

bermanfaat untuk membedakan aktivitas pada level general dari aktivitas level formal.

Berdasarkan pembelajaran RME, siswa di dalam menyelesaikan masalah

melakukannya dengan tindakan pertama memahami situasi masalah matematis dalam

cara yang lebih formal di mana konteks matematika dijadikan sebagai suatu model-of,

dan diharapkan berkembang menjadi model-for sehingga mendapatkan penalaran

matematis.

C. Simpulan

Sekarang ini telah ada perubahan-perubahan radikal di dalam pendekatan pada

pengajaran matematika. Perubahan-perubahan ini terjadi akibat suatu kajian penelitian

para ahli matematika yang mulai memandang disiplin mereka sendiri dengan cara yang

berbeda, mendorong ke arah penelitian baru dalam metodologi pengajaran. Penelitian

tersebut didukung oleh pengembangan-pengembangan yang baru di dalam psikologi

bidang pendidikan. Glas (1991) menganalisis adanya kecenderungan untuk

menghubungkan belajar dan berpikir pada daerah-daerah yang spesifik. Pengajaran

matematika sekarang ini sudah saatnya berfokus pada ketrampilan berpikir dan refleksi

belajar ( Stepanov &Semenov, 1985; Zak, 1984), interaksi (Davydov et al., 1982), dan

pengembangan dari konsep-konsep berpikir spesifik (Davydov, 1977), pendidikan dan

pengajaran adalah dipandang sebagai interrelation yang aktif tentang sistem simbolik

dan makna budaya (Leont'ev, 1980; Van Oers, 1987). Belajar berlangsung dalam

konteks sosial (Bruner, 1996; Slavin, 1986). Belajar adalah suatu proses di mana anak

menguasai budaya melalui belajar simbol-simbol. Jika anak-anak mampu menaruh ide-

ide mereka ke dalam kata-kata, maka mereka akan memiliki suatu dasar yang lebih

baik tentang cara berpikir mereka. Di dalam matematika, alat-alat dan gaya-gaya

tentang bepikir yang merupakan cirikhas matematis harus dipelihara; dipertahankan,

dan digunakan untuk memecahkan permasalahan. Untuk menjadi mampu merefleksi,

bagaimanapun, pengetahuan tentang isi adalah perlu; seseorang dapat hanya merefleksi

dalam menggunakan alat-alat, strategi dan konsep-konsep jika mereka telah

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

48

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

mengetahuinya. Dari hasil temuan-temuan penelitian dan ulasan di atas, konstruksi,

interaksi dan refleksi adalah penting dalam belajar matematika, lalu pengajaran

matematika harus diubah secara radikal.

Daftar References Cobb, P. (1994). Where is the mind? Constructivist and sociocultural perspectives on

mathematical development. Educational Researcher Journal, 23, 7, 13-20. Cobb, P., Gravemeijer K., Yackel E., McClain K., & Whitenack J. (1997).

Mathematizing and symbolizing: The emergence of chains of signification in one first-grade classroom. In D. Kirshner & J.A. Whitson (Eds.), Situated cognition Journal CRME (pp. 151-233). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Confrey, J. (1985). Towards a framework for constructivists instruction. In L. Streefland

(Ed.), Proceedings of the Ninth Conference for the Psychology of Mathematics EducationJournal (Vol. I, pp. 477-483). Noordwijkerhout: PME.

Freudenthal H.1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Reidel Publishing. Gravemeijer K. 1994. Developing Realistik Mathematics Education. Utrecht:

Freudenthal Institute. Hiebert, J. (1992). Reflection and communication: Cognitive considerations in school

mathematics reform. International Journal of Educational Research, 17, 439-456.

Kwon O.N. 2006. Conceptualizing The Realistic Mathematics Education Approach In

The Teaching And Learning Of Ordinary Differential Equations. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education Vol 2, Number 2, July 2006

Lang J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC. Moor E. 1994. Geometry Instruction in the Netherlands. The Realistik Approach.

Netherlands: Utrecht CD B Press. Nelissen, J.M.C. 2005. Thinking Skill in realistics mathematics. Jmc_nelissen :Journal

PME. Vol 2 p 108-119 2005. Pimm, D. (1990). Certain metonymic aspects of mathematical discourse. In G. Booker,

P. Cobb, & T. de Mendicuti (Eds.) Proceedings of the Fourteenth Conference for the Psychology of Mathematics Education (p129-136) Mexico: PME. Vol iv. 1990.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

49

PM – 4 : Keterampilan Berpikir dalam ...... Hasratuddin

Slavin RE. 1994. Education Psychology Theory and Practice. Boston Allyn and Bacon Publisher.

Treffers, A., & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics education.

In L. Streefland (Ed.), Proceedings of the Ninth Conference for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 2, pp. 97-123). Noordwijkerhout: PME.

Van den Heuvel-Panhuizen, M. 2003. the Learning Paradox the learning miracle:

Thoughts on Primary School Mathematics Education. Journal fur Mathematics Didaktik, 24(2)-96-121

Verschaffel. 1997. Mathematics Teaching and Learning: New York. MacMillan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

50

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Mengestimasi Reliabilitas Perangkat Tes melalui Pendekatan Analisis Faktor

Oleh :

Heri Retnawati ([email protected])

Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Dalam mengembangkan suatu instrumen, reliabilitas instrumen merupakan parameter yang menjadi perhatian. Biasanya reliabilitas yang diestimasi oleh suatu pengembang instrumen merupakan reliabilitas yang terkait dengan konsistensi internal. Reliabilitas jenis ini diestimasi dengan koefisien-α dari Cronbach misalnya, hanya dapat mewakili satu faktor dominan yang terukur dalam instrumen tersebut. Jika ada beberapa faktor yang terukur dalam suatu instrumen, maka faktor-faktor selain faktor dominan tentu memberikan sumbangan terhadap varians total, dan sudah tentu mempengaruhi reliabilitas. Pada tulisan ini akan dibahas tentang reliabilitas suatu intrumen yang tidak hanya mengukur satu faktor dominan saja, namun juga mengukur faktor-faktor lain, yang muatan faktornya diketahui dengan analisis faktor. Kata kunci : reliabilitas, faktor, analisis faktor

Pendahuluan

Dalam penelitian maupun evaluasi, intrumen merupakan hal yang menjadi

perhatian. Instrumen ini dapat berupa tes, kuisioner, maupun dalam bentuk lain yang

pada intinya digunakan sebagai alat ukur. Agar sesuai dengan maksud yang dikehendaki

oleh peneliti ataupun evaluator, alat ukur ini harus memiliki karakteristik yang baik.

Baik atau tidaknya suatu instrument yang digunakan, salah satu parameternya yakni

reliabilitas.

Reliabilitas pada teori tes klasik diartikan sebagai keajegan atau kestabilan hasil

pengukuran. Alat ukur yang reliabel adalah alat ukur yang mampu memberikan hasil

pengukuran yang stabil (Lawrence, 1994) dan konsisten (Mehrens dan Lehmann, 1973:

102). Artinya suatu alat ukur dikatakan memiliki reliabilitas tinggi manakala digunakan

untuk mengukur hal yang sama pada waktu berbeda hasilnya sama atau mendekati

sama. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, prestasi atau kemampuan seorang

siswa dikatakan reliabel jika dilakukan pengukuran, hasil pengukuran akan sama

informasinya, walaupun penguji berbeda, korektornya berbeda atau butir soal yang

berbeda tetapi memiliki karakteristik yang sama.

Pada pendekatan klasik, tes dianggap hanya mengukur satu kemampuan atau

satu faktor yang paling dominan saja, atau sering dinamai dengan unidimensi.

Unidimensi, artinya setiap butir tes hanya mengukur satu kemampuan. Asumsi

unidimensi dapat ditunjukkan hanya jika tes mengandung hanya satu komponen

dominan yang mengukur prestasi suatu subyek. Pada praktiknya, asumsi unidimensi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

51

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

tidak dapat dipenuhi secara ketat karena adanya faktor-faktor kognitif, kepribadian dan

faktor-faktor administratif dalam tes, seperti kecemasan, motivasi, dan tendensi untuk

menebak. Memperhatikan hal ini, asumsi unidimensi dapat ditunjukkan hanya jika tes

mengandung hanya satu komponen dominan yang mengukur prestasi suatu subyek.

Pada kenyataannya di lapangan, asumsi unidimensi sulit terpenuhi. Hal ini sesuai

dengan pendapat bahwa kebanyakan tes pendidikan dan psikologi pada beberapa

tingkat bersifat multidimensi (Bolt dan Lall, 2003; Ackerman, dkk., 2003). Pada

keadaan ini, analisis dengan pendekatan unidimensi sudah tidak sesuai lagi, dan akan

mengakibatkan adanya kesalahan sistematis dan informasi yang diperoleh akan

menyesatkan.

Terkait dengan hal ini, pada tulisan ini akan dibahas mengestimasi reliabilitas

pada perangkat tes yang mengukur lebih dari satu faktor dan dengan melibatkan muatan

faktor. Analisis reliabilitas pada data dengan multifaktor ini masih jarang menjadi

perhatian pengembang instrumen.

Pembahasan

Teori tes klasik atau disebut teori tes skor murni klasik (Allen dan Yen, 1979:57)

didasarkan pada suatu model aditif, yakni skor amatan merupakan penjumlahan dari

skor sebenarnya dan skor kesalahan pengukuran. Jika dituliskan dengan pernyataan

matematis, maka kalimat tersebut menjadi

X = T + E ……………….……………………………………………….. ( 1)

dengan :

X : skor amatan,

T : skor sebenarnya,

E : skor kesalahan pengukuran (error score).

Asumsi ini digunakan untuk menurunkan rumus untuk mengestimasi reliabilitas.

Reliabilitas disimbulkan dengan ρxx diestimasi dengan :

ρxx = 2

2

X

T

σσ

Dengan merupakan varians skor sebenarnya, merupakan varians skor amatan.

Persamaan reliabilitas ini kemudian dikembangkan menjadi rumus-

2Tσ

2Xσ

α dari Cronbach,

rumus KR20, rumus Flanagan, dan lain-lain.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

52

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Allen dan Yen (1979: 62) menyatakan bahwa tes dikatakan reliabel jika skor

amatan mempunyai korelasi yang tinggi dengan skor yang sebenarnya. Selanjutnya

dinyatakan bahwa reliabilitas merupakan koefisien korelasi antara dua skor amatan yang

diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan tes yang paralel. Dengan demikian,

pengertian yang dapat diperoleh dari pernyatan tersebut adalah suatu tes itu reliabel jika

hasil pengukuran mendekati keadaan peserta tes yang sebenarnya.

Untuk melihat reliabilitas suatu alat ukur, dapat digunakan indeks reliabilitas.

Nilai ini juga dinamakan dengan koefisien reliabilitas (reliability coefficient). Menurut

Nunnally (1978) ada tiga cara mengestimasi reliabilitas, yaitu: (1) konsistensi internal,

(2) tes paralel, dan (3) belah dua. Dalam cara konsistensi internal tes dilakukan hanya

sekali pada sekelompok subjek kemudian dilakukan analisis atau diestimasi besarnya

reliabilitas. Secara umum rumus untuk mengestimasi reliabilitas ini dapat digunakan

rumus alpha dari Cronbach. Namun apabila pilihan jawaban butir-butir

pertanyaan/pernyataan yang ada dalam instrumen/tes itu dikotomi maka dapat

digunakan persamaan KR-20.

Tipe tes lainnya yang sering digunakan untuk mengestimasi reliabilitas adalah

tipe tes paralel. Dalam tipe ini, tes dilakukan dua kali pada subjek yang sama namun

soalnya berbeda meskipun paralel. Seperti yang telah dijelaskan di muka jarak antara ke

dua tes ini sekitar dua minggu. Hasil kedua tes ini dikorelasikan, apabila koefisien

korelasi ini kecil berarti tes itu kurang reliabel.

Selain konsistensi internal dan tes bentuk paralel, ada cara lain untuk

mengestimasi reliabilitas, yaitu belah dua. Cara ini hanya menuntut satu kali tes untuk

subjek yang sama kemudian hasilnya dibelah dua. Idealnya pembelahan ini harus

dilakukan secara random, namun adakalanya yang menggunakan cara skor dari butir-

butir pertanyaan/pernyataan bernomor ganjil dipisahkan dengan skor dari butir-butir

pertanyaan/pernyataan yang ber-nomor genap. Skor dari kelompok ini kemudian

dikorelasikan dan selanjutnya digunakan rumus Spearman-Brown.

Namun sayangnya mengestimasi reliabilitas dengan ketiga pendekatan tersebut,

baik konsistensi internal, paralel, maupun belah dua hanya berlaku untuk data yang

hanya mengukur satu dimensi dominan saja. Estimasi dengan cara ini kurang

memperhatikan keberadaan faktor yang lainnya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

53

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Dengan menggunakan analisis faktor, banyaknya faktor yang terukur pada suatu

instrumen dapat diketahui. Ide dasar analisis faktor baik eksploratori maupun

konfirmatori adalah mereduksi banyaknya variabel. Misalkan variabel awalnya adalah

x1, …, xq, yang selanjutnya akan ditemukan himpunan faktor laten ξ1, …, ξn (dengan q

> n). Variabel yang dapat diamati (observable) tergantung pada kombinasi linear faktor

laten ξ1 yang dinyatakan dengan

Xi = λi1 ξ1 + λi2 ξ2 +...+λin ξn+ δi .....................................................................(2)

Dengan δi (kesalahan pengukuran) merupakan bagian unik dari xi yang diasumsikan

tidak berkorelasi dengan ξ1, ξ2, ...., ξn. Untuk i ≠j, maka δi ≠ δj. Faktor laten ξ sering

pula disimbolkan dengan F, sehingga skor suatu butir dapat dinyatakan sebagai

kombinasi linear dari faktor-faktor yang terukur oleh butir tersebut, atau dinyaatakan

dengan

Xi = λi1 F1 + λi2 F2 +...+λin Fn+ δi ..................................................................(3)

Ada dua jenis analisis faktor, yakni eksploratori dan konfirmatori.

Analisis faktor eksploratori merupakan suatu teknik untuk mendeteksi dan

mengases sumber laten dari variasi atau kovariasi dalam suatu pengukuran (Joreskog &

Sorbom, 1993). Analisis faktor eksploratori bersifat mengeksplorasi data empiris untuk

menemukan dan mendeteksi karakteristik dan hubungan antarvariabel tanpa

menentukan model pada data. Pada analisis ini, peneliti tidak memiliki teori a priori

untuk menyusun hipotesis (Stapleton, 1997). Hubungan antara variabel, yang dalam

penelitian ini merupakan butir tes dengan faktor digambarkan pada gambar 6.

Hubungan ini juga disebut dengan full-model. Model ini yang selanjutnya akan

digunakan pada penelitian ini.

Analisis faktor konfirmatori didasarkan pada premis bahwa masing-masing

variabel manifes atau variabel yang dapat diamati secara sendiri tidak dapat

menggambarkan secara sempurna suatu konsep atau suatu variabel laten atau variabel

konstruk. Terkait dengan hal ini, dengan berlandaskan teori, satu konsep atau variabel

laten atau variabel konstruk dapat digambarkan secara bersama oleh beberapa variabel

manifes.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

54

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Faktor butir

Gambar 1. Hubungan antara butir dan faktor pada analisis faktor eksploratori

Pada model unidimensi, matriks kovarians dari skor observed didekomposikan

sebagai

uΨ+=∑ 'λλ ................................................................................................(4)

Dengan λ(p×1) merupakan vektor muatan faktor dari p butir dan ψu merupakan matriks

kovarians dari kesalahan residu.

Reliabilitas dinyatakan ρ11 (≤ρxx ) dinyatakan sebagai

ρ11 = 2

2

X

T

σσ =

∑1'11''1 λλ ..........................................................................................(5)

Dengan 1 merupakan vektor dengan p anggota yang semuanya 1. Pada instrumen yang

mengukur lebih dari 1 faktor, estimasi uΨ+=∑ 'λλ tidaklah tepat, karena ρ11 hanya

melibatkan faktor tunggal yang paling dominan (Bentler, 2004). Pada instrumen yang

memuat lebih dari 1 faktor, matriks varians kovarians dapat diestimasi dengan

................................................................................................(6) uΨ+ΛΛ=∑ '

Dengan Λ(p×k) merupakan matriks muatan faktor.

Reliabilitas konsistensi internal dari suatu skor dengan model faktor k tetap

didedefinisikan sebagai proporsi menjawab dari varians utama terhadap varians total

atau dinyatakan sebagai

ρkk = 2

2

X

T

σσ =

∑ΛΛ

1'11''1 ............................................................................................(7)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

55

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Untuk mengestimasi reliabilitas dari skor total X dengan model k faktor, McDonald

(1989), Kamata, dkk (2003) dan Bentler (2004) mendefinisikan reliabilitas sebagai

proporsi varians ‘common’ terhadap varians total. Selanjutnya mereka membuktikan

persamaan untuk mengesimasi reliabilitas skor total dengan model k-faktor yakni

dengan persamaan :

kkρ̂ = 1ˆ'11'ˆˆ'1

ΣΛΛ =

1ˆ'11'11

ΣΨ

− ...................................................................................(8)

Persamaan (8) merupakan reliabilitas suatu instrumen yang melibatkan faktor.

Selanjutnya muatan faktor dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan analisis

faktor.

Sebagai gambaran, misalnya akan diestimasi reliabilitas pada perangkat Ujian

Akhir (UN) mata pelajaran matematika 2005. Langkah pertama yang dilakukan yakni

analisis faktor. Hasil analisis dengan uji Keiser-Meyer-Oldkin dan uji Barlett diperoleh

hasil sebagai berikut.

Tabel 1

Hasil Uji KMO dan Bartlett

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of

Sampling Adequacy. .957

Bartlett's Test of

Sphericity

Approx. Chi-

Square

29739.9

11

Df 435

Sig. .000

Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai KMO > 0,5, yang menunjukkan bahwa ukuran

sampling untuk instrumen ini telah sesuai. Hasil Uji bartlett juga menunjukkan bahwa

nilai-p kurang dari 5%, yang menunjukkan bahwa butir-butir UAN matematika 2005

merupakan butir-butir yang saling independen. Selanjutnya, dengan memperhatikan

nilai eigen yang lebih dari 1, dapat diketahui vatians total yang dapat dijelaskan oleh

perangkat UAN mata pelajaran matematika 2005. Hasil analisis menunjukkan bahwa

ada 5 nilai eigen yang lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa perangkat tes UAN

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

56

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

matematika 2005 mengukur 5 faktor kemampuan matematika. Dengan menggunakan

30 butir UAN 2005 yang telah ada, varians total yang dapat dijelaskan hanya 36,023%.

Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2

Nilai Eigen dan Varians Total yang Dapat Dijelaskan

Initial Eigenvalues

Extraction Sums of

Squared Loadings

Rotation Sums of

Squared Loadings Com

pone

nt

Total

% of

Varia

nce

Cumulati

ve % Total

% of

Varian

ce

Cumul

ative

% Total

% of

Varian

ce

Cumulati

ve %

1 6.44

5

21.4

84 21.484

6.44

5 21.484 21.484

3.85

3 12.842 12.842

2 1.22

3

4.07

8 25.562

1.22

3 4.078 25.562

2.72

0 9.068 21.911

3 1.12

4

3.74

5 29.307

1.12

4 3.745 29.307

1.96

8 6.559 28.469

4 1.01

4

3.38

1 32.688

1.01

4 3.381 32.688

1.21

6 4.054 32.523

5 1.00

0

3.33

4 36.023

1.00

0 3.334

1.05

0 36.023 3.499 36.023

Nilai-nilai eigen hasil analisis ini dapat disajikan dengan Scree plot pada Gambar 2.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

57

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

Scree Plot

Component Number

2927252321191715131197531

Eige

nval

ue7

6

5

4

3

2

1

0

Gambar 2. Scree Plot Nilai Eigen Hasil Analisis UAN Matematika 2005

Selanjutnya hasil estimasi varians kovarians dan matriks muatan faktor dapat

diketahui. Hasil ini dapat digunakan untuk mengestimasi reliabilitas, dan dapat

dilakukan dengan bantuan software untuk operasi matriks, misalnya MATLAB. Hasil

estimasi dengan hanya melibatkan satu faktor dominan saja, diperoleh sebesar 0,8641.

Nilai ini hampir sama jika diestimasi dengan rumus-α dari Cronbach sebesar 0,8624

(dilakukan dengan bantuan software SPSS). Hasil ini akan menjadi lebih besar jika

diestimasi dengan persamaan (8) yang melibatkan kelima faktor yang terukur dalam

perangkat UN, yakni sebesar 0,8728. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan melibatkan

semua faktor yang terukur, varians yang dapat dijelaskan oleh suatu instrumen akan

menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan indeks reliabilitas instrumen tersebut.

Kesimpulan dan Diskusi

Instrumen dapat mengukur lebih dari satu faktor dominan. Estimasi reliabilitas

yang hanya melibatkan satu faktor dominan kurang dapat menjelaskan varians. Jika ada

beberapa faktor yang terukur dalam suatu instrumen, maka faktor-faktor selain faktor

dominan tentu memberikan sumbangan terhadap varians total, dan sudah tentu

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

58

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

mempengaruhi besarnya indeks reliabilitas. Estimasi reliabilitas yang melibatkan

muatan faktor dapat dilakukan dengan mengestimasi matriks varans kovarians dan

matriks muatan faktor, dengan pendekatan analisis faktor.

Reliabilitas yang melibatkan faktor-faktor yang terukur selain faktor dominan

masih jarang dilakukan peneliti. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut tentang estimasi reliabilitas yang melibatkan faktor. Stabilitas estimasi reliabilitas

yang melibatkan banyaknya faktor juga perlu diteliti, misalnya pengaruh panjang

instrumen, banyaknya peserta, banyaknya faktor yang terukur, dan besarnya korelasi

antar faktor yang terukur. Penelitian dengan pendekatan simulasi perlu dilakukan untuk

mengetahui pengaruh variable-variabel tersebut terhadap estimasi reliabilitas yang

memuat faktor.

Referensi Allen, M. J dan Yen, W. M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, CA

: Brooks/Cole Publishing Company. Ackerman, T.A., dkk. (2003). Using multidimensional item response theory to evaluate

educational and psychological tests. Educational Measurement, 22, 37-53. Bentler,P.M. (2004). Maximal reliability for uni-weighteg composites. UCLA Statistics

Preprint No. 405. Diambil dari http://wwwpreprint.stat.ucla.edu/405/MaximalReliabilityforUnit-weightedComposites.pdf pada tanggal 1 Oktober 2007.

Bolt, D.M. & Lall, V.M. (2003). Estimation of compensatory and noncompensatory

multidimensional item response models using Marcov chain Monte-Carlo. Applied Psychological Measurement, 27, 395-414.

Joreskog, K. & Sorbom, D. (1993). Lisrel 88 : Structural equation modeling with the

SIMPLIS command language. Hillsdale, NJ : Scientific Software International. Kamata, A.,dkk. (2003). Estimating reliability for multidimensional composite scale

scores. Paper presented at annual meeting of American Educational Research Association, Chicago, April 2003. Diambil dari http://www.www.coe.fsu.edu_aera_Kamata2.pdf pada tanggal 1 Oktober 2007.

Lawrence M.R. (1994). Question to ask when evaluating test. Eric digest. Artikel.

Diambil dari: http://www. ericfacility. net/ ericdigest/ ed.385607.html tanggal 6 Januari 2007.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

59

PM – 5 : Mengestimasi Reliabilitas .... Heri Retnawati

McDonald, R.P. (1999). Test theory : A unified treatment. Mahwah, NJ : Lawrence Elrbaum.

Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. (1973). Measurement and evaluation in education and

psychology. New York : Hold, Rinehart and Wiston,Inc.

ndNunally, J. (1978). Psychometric theory (2 ed.) . New York : McGraw Hill. Stapleton. (1997). Basic concepts and procedures of confirmatory factor analysis.

Diambil dari http://ericae.net/ft/Cfa.HTM tanggal 25 September 2006.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

60

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

Konsep-Konsep dan Prinsip-Prinsip Yang Digunakan dalam Penyelesaian Soal-Soal Imo Yang Terkait Dengan Konstruksi Geometri

Oleh : Himmawati Piji Lestari

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Soal-soal International Mathematical Olympiad (IMO) merupakan soal-soal tingkat tinggi yang penyelesaiannya melibatkan banyak konsep dan prinsip. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri.

Tulisan ini disusun dengan metode kajian pustaka. Penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri dikaji sehingga akan diperoleh identifikasi konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diperlukan dalam penyelesaiannya.

Hasil kajian menunjukkan penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri memerlukan banyak konsep dan prinsip. Konsep tersebut antara lain tentang segitiga dan garis-garis istimewanya, unsur-unsur lingkaran, titik dan garis, segi empat tali busur, segiempat garis singgung, kesebangunan dan kekongruenan dua segitiga. Beberapa prinsip yang diperlukan antara lain teorema tentang sudut keliling dalam, sudut pusat, garis sumbu tali busur, garis singgung lingkaran, sifat segiempat tali busur dan segiempat garis singgung, dan teorema tentang kekongruenan dua segitiga.

Kata kunci : konsep, prinsip, IMO, konstruksi lingkaran

1. PENDAHULUAN

Mempelajari matematika tidak akan lepas dari konsep-konsep dan prinsip-

prinsip. Menurut Begle (Herman Hudoyo, 2003), sasaran atau obyek penelaahan

matematika adalah fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Menurut Winkel (1991), konsep

adalah suatu sistem satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri

yang sama. Konsep matematika dapat juga diartikan sebagai suatu ide abstrak tentang

suatu objek atau kejadian yang dibentuk dengan memandang sifat-sifat yang sama dari

sekumpulan objek sehingga seseorang dapat mengklasifikasikan objek kejadian.

Penyajian konsep matematika yang baru harus didasarkan pada kosep-konsep yang telah

dikenal sebelumnya. Prinsip adalah rangkaian konsep, beserta penjelasan mengenai

hubungan antara konsep-konsep tersebut. Umumnya prinsip berupa pernyataan

(Depdikbud, 1994).

Soal-soal International Mathematical Olympiad (IMO) merupakan soal-soal

tingkat tinggi yang penyelesaiannya biasanya tidak sederhana dan melibatkan banyak

konsep dan prinsip dalam matematika. Bahkan konsep dan prinsip tersebut seringkali

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

61

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

tidak diajarkan dalam pembelajaran matematika di sekolah. Untuk itu perlu ditelaah

konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal-soal

IMO. Kesalahan dalam mengenal dan memahami suatu konsep atau prinsip dapat

mengakibatkan siswa tidak mampu menyelesaikan suatu masalah matematika. Dalam

tulisan ini akan dikaji konsep dan prinsip yang diperlukan untuk menyelesaikan soal

IMO yang terkait dengan konstruksi geometri. Konstruksi suatu objek merupakan salah

satu keterampilan dalam geometri.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini akan dibahas beberapa soal IMO yang terkait dengan konstruksi

geometri beserta penyelesaiannya. Selanjutnya akan diidentifikasi beberapa konsep dan

prinsip yang diperlukan dalam penyelesaiannya.

1). Given the length |AC|, construct a triangle ABC with ∠ABC = 90o, and the

median BM satisfying BM2 = AB·BC.

Penyelesaian

Area = AB·BC/2 (because ∠ABC = 90o= BM2/2 (required) = AC2/8 (because

BM = AM = MC), so B lies a distance AC/4 from AC. Take B as the intersection of a

circle diameter AC with a line parallel to AC distance AC/4.

Pembahasan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

62

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

Karena diketahui segitiga ABC siku-siku dengan ∠ABC = 90o, maka segitiga

ABC dapat digambar dalam lingkaran dengan AC merupakan diameternya. Hal ini

memerlukan prinsip besar sudut keliling yang menghadap setengah lingkaran adalah

90o. Selanjutnya, soal di atas memerlukan konsep tentang luas segitiga untuk

menghitung luas segitiga ABC. Proses selanjutnya memerlukan konsep tentang jari-jari

lingkaran, jarak titik ke garis, dan kesejajaran dua garis.

2). Construct a triangle ABC given the lengths of the altitudes from A and B and the

length of the median from A.

Penyelesaian

Let M be the midpoint of BC, AH the altitude from A, and BI the altitude from

B. Start by constructing AHM. Take X on the circle diameter AM with MX = BI/2. Let

the lines AX, HM meet at C and take B so that BM = MC. [This works because CMX

and CBI are similar with MX = BI/2 and hence CM = CB/2.]

Pembahasan

Misal diberikan AH garis tinggi dari titik sudut A dan BI garis tinggi dari B dan

AM garis berat dari titik A. Untuk menyelesaikan soal di atas, terlebih dahulu harus

memahami tentang garis tinggi dan garis berat suatu segitiga. Garis berat segitiga terkait

dengan titik tengah suatu ruas garis (sisi). Proses selanjutnya memerlukan prinsip sudut

keliling dalam lingkaran yang menghadap setengah lingkaran merupakan sudut siku-

siku. Karena AH garis tinggi sehingga AH tegak lurus dengan BC (AH tegak lurus juga

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

63

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

dengan HM dengan M titik tengah BC). Dengan demikian dapat dibentuk lingkaran

dengan AM sebagai diameternya. Selanjutnya dilukis garis MX dengan X pada

lingkaran dan MX=BI/2. Kemudian dilukis garis AX dan HM yang berpotongan di titik

C. Titik B ditentukan dengan melukis segitiga CBI yang sebangun dengan segitiga

CBX. Hal ini memerlukan pemahaman tentang kesebangunan dua segitiga.

3). An arbitrary point M is taken in the interior of the segment AB. Squares AMCD

and MBEF are constructed on the same side of AB. The circles circumscribed about

these squares, with centers P and Q, intersect at M and N.

(a) prove that AF and BC intersect at N;

(b) prove that the lines MN pass through a fixed point S (independent of M);

Penyelesaian

(a) ∠ANM = ∠ACM = 45o. But ∠FNM = ∠FEM = 45o, so A, F, N are collinear.

Similarly, ∠BNM = ∠BEM = 45o and ∠CNM = 180o - ∠CAM = 135o, so B, N, C are

collinear. Pembahasan

Persegi AMCD dan MBEF merupakan segi empat tali busur. Karena ∠ACM dan ANM keduanya merupakan sudut keliling dalam lingkaran yang menghadap busur yang sama yaitu busur AM maka besarnya sama dan karena AC adalah diagonal persegi maka diperoleh ∠ANM = ∠ACM = 45

o. Dengan alasan yang sama, diperoleh

juga hasil yang sama untuk pasangan dua sudut ∠ANM dengan ∠ACM dan ∠BNM

dengan �BEM , yaitu �ANM = �ACM = 45o dan �BNM = �BEM = 45o. Karena

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

64

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

�FNM = �ANM, maka ketiga titik A, F, dan M segaris. Segi empat ACNM adalah segi empat tali busur sehingga pasangan dua sudut yang berhadapan merupakan dua sudut yang saling berpelurus, yaitu �CNM dan �CAM. Karena �BNM = �BEM = 45o dan �CNM = 180o - �CAM = 135o, maka ketiga titik B, N, dan C segaris. (b) Since �ANM = �BNM = 45o, �ANB = 90o, so N lies on the semicircle diameter AB. Let NM meet the circle diameter AB again at S. �ANS = �BNS implies AS = BS and hence S is a fixed point. Pembahasan

Penyelesaian soal ini memerlukan prinsip bahwa sudut keliling dalam lingkaran yang menghadap setengah lingkaran adalah sudut siku-siku, sudut pusat besarnya dua kali sudut keliling dalam jika menghadap busur yang sama. Di samping itu juga harus memahami konsep besar busur, yaitu besar suatu busur adalah besar sudut pusat yang bersesuaian.

Karena ANB siku-siku, maka ∠ ∠ANB adalah sudut keliling dalam lingkaran dan titik N terletak pada setengah lingkaran dengan diameter AB. Selanjutnya, misal titik S adalah titik potong NM dengan lingkaran. Karena ∠ABS=∠BNS maka besar sudut pusat yang bersesuaian juga sama sehingga besar busur di hadapannya, yaitu busur AS dan busur BS juga sama. Jadi titik S tertentu. 4). Given three distinct points A, B, C on a circle K, construct a point D on K, such that a circle can be inscribed in ABCD. Penyelesaian

Let I be the center of the inscribed circle. Consider the quadrilateral ABCI. �BAI = 1/2 �BAD and �BCI = 1/2 �BCD, so �BAI + �BCI = 90o, since ABCD is cyclic. Hence �AIC = 270o - �ABC. So if we draw a circle through A and C such that for X points on the arc AC �AXC = 90o + �ABC, then the intersection of the circle with the angle bisector of �ABC gives the point I.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

65

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

To draw this circle take the diameter AE. Then �CAE = 180o - �ACE - �AEC = 90o - �ABC. So we want AE to be tangent to the circle. Thus the center of the circle is on the perpendicular to AE through A and on the perpendicular bisector of AC.

To prove the construction possible we use the fact that a quadrilateral ABCD has an inscribed circle iff AB + CD = BC + AD. For D near C on the circumcircle of ABC we have AB + CD < BC + AD, whilst for D near A we have AB + CD > BC + AD, so as D moves continuously along the circumcircle there must be a point with equality. [Proof that the condition is sufficient: it is clearly necessary (use fact that tangents from a point are of equal length). So take a circle touching AB, BC and AD and let the other tangent from C (not BC) meet AD in D'. Then CD' - CD = AD' - AD, hence D'= D.]

Pembahasan Soal ini adalah soal tentang bagaimana menentukan suatu titik pada lingkaran jika diberikan tiga titik pada lingkaran sedemikian sehingga keempat titik tersebut membentuk segi empat garis singgung atau segi empat tersebut mempunyai suatu lingkaran dalam.

Misalkan titik I adalah pusat lingkaran dalam tersebut. Garis AB dan AD adalah garis singgung lingkaran dengan pusat I tersebut. Garis AI merupakan garis bagi dari sudut BAD, karena sudut yang dibentuk oleh kedua garis singgung yang ditarik dari suatu titik di luar lingkaran dibagi menjadi dua sama oleh garis yang melalui titik tersebut dan pusat lingkaran.

Langkah-langkah penyelesian selanjutnya memerlukan beberapa prinsip berikut: dua sudut yang berhadapan pada suatu segi empat tali busur saling berpelurus, melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dilukis tepat satu lingkaran, jari-jari lingkaran yang tegak lurus suatu tali busur akan membagi dua sama tali buusr tersebut atau garis sumbu suatu tali busur akan melalui pusat lingkaran. Untuk menunjukkan bahwa segi empat ABCD merupakan segi empat garis singgung, harus ditunjukkan berlaku AB + CD = BC + AD, yaitu memenuhi jumlah panjang dua sisi berhadapan pada suatu segi empat garis singgung adalah sama. 5). Two circles in a plane intersect. A is one of the points of intersection. Starting simultaneously from A two points move with constant speed, each traveling along its own circle in the same sense. The two points return to A simultaneously after one revolution. Prove that there is a fixed point P in the plane such that the two points are always equidistant from P.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

66

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

Penyelesaian

Let the circles have centers O, O' and let the moving points by X, X’. Let P be

the reflection of A in the perpendicular bisector of OO'. We show that triangles POX, X'O'P are congruent. We have OX = OA (pts on circle) = O'P (reflection). Also OP = O'A (reflection) = O'X' (pts on circle). Also �AOX = �AO'X' (X and X' circle at same rate), and �AOP = �AO'P (reflection), so �POX = �PO'X'. So the triangles are congruent. Hence PX = PX'. Pembahasan

Untuk menyelesaikan soal di atas, perlu pemahaman tentang garis sumbu, pencerminan, dan kekongruenan dua segitiga. Salah satu teorema yang dapat digunakan untuk menunjukkan dua segitiga kongruen adalah teorema sisi-sudut-sisi, yaitu jika dari dua segitiga diketahui dua pasang sisi yang bersesuaian kongruen dan sudut yang diapit oleh kedua sisi tersebut kongruen maka kedua segitiga tersebut kongruen. 3. PENUTUP

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa untuk menyelesaikan soal-soal geometri dalam IMO diperlukan pemahaman yang luas tentang banyak konsep dan prinsip dalam geometri. Langkah-langkah penyelesaiannya melibatkan konsep-konsep antara lain segitiga siku-siku, luas segitiga, jari-jari lingkaran, diameter, jarak titik ke garis, dan kesejajaran dua garis, garis tinggi segitiga, sudut keliling dalam lingkaran, sudut pusat, garis berat segitiga, kesebangunan dua segitiga, segi empat tali busur, segi empat garis singgung, tiga titik segaris, besar busur, garis sumbu, pencerminan, dan kekongruenan dua segitiga. Adapun beberapa prinsip yang perlu dipahami dinyatakan dalam teorema-teorema beriku : sudut keliling yang menghadap setengah lingkaran adalah sudut siku-siku, sudut pusat besarnya dua kali sudut keliling dalam jika menghadap busur yang sama, dua sudut yang berhadapan pada suatu segi empat tali busur saling berpelurus, melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dilukis tepat satu

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

67

PM – 6 : Konsep-Konsep Dan ...... Himmawati Piji Lestari

lingkaran, jari-jari lingkaran yang tegak lurus suatu tali busur akan membagi dua sama tali busur tersebut atau garis sumbu suatu tali busur akan melalui pusat lingkaran, sudut yang dibentuk oleh kedua garis singgung yang ditarik dari suatu titik di luar lingkaran dibagi menjadi dua sama oleh garis yang melalui titik tersebut dan pusat lingkaran, jumlah panjang dua sisi berhadapan pada suatu segi empat garis singgung adalah sama, dan jika dari dua segitiga diketahui dua pasang sisi yang bersesuaian kongruen dan sudut yang diapit oleh kedua sisi tersebut kongruen maka kedua segitiga tersebut kongruen. Secara ringkas konsep yang diperlukan dalam menyelesaikan soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi lingkaran adalah konsep tentang segitiga dan garis-garis istimewanya, unsur-unsur lingkaran, titik dan garis, segi empat tali busur, segiempat garis singgung, kesebangunan dan kekongruenan dua segitiga. Beberapa prinsip yang diperlukan antara lain teorema tentang sudut keliling dalam, sudut pusat, garis sumbu tali busur, garis singgung lingkaran, sifat segiempat tali busur dan segiempat garis singgung, dan teorema tentang kekongruenan dua segitiga. Tulisan ini hanya membahas sedikit tentang penyelesaian soal-soal IMO yang terkait dengan konstruksi geometri. Masih banyak hal yang dapat digali dari soal-soal olimpiade matematika untuk mempersiapkan pembinaan peserta olimpiade matematika ke tingkat internasiaonal.

DAFTAR PUSTAKA Hudoyo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : IMSTEP JICA UPI ________. 1994. Kurikulum SLTP Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Depdikbud International Mathematical Olympiad. http://www.kalva.demon.co.uk/imo.html. Diunduh pada 11 Januari 2007.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

68

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong dalam Menghadapi Sertifikasi Guru Dalam

Jabatan

Oleh : Karim, Rabiyatul Adawiyah, dan Barkis Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalsel

ABSTRAK

Salah satu wujud perhatian pemerintah terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru adalah dengan dilakukannya sertifikasi guru dalam jabatan. Sesuai dengan Permendiknas No. 18 Tahun 2007, maka sertifikasi guru dilakukan dengan menggunakan Portofolio. Berkaitan dengan evaluasi terhadap portofolio guru di Kalimantan Selatan, untuk jatah tahun 2006 yang berjumlah 254 orang hanya 182 orang (71,7%) yang dinyatakan lulus. Selanjutnya untuk jatah tahun 2007 yang berjumlah 3.784 orang, yang dinyatakan lulus hanya sekitar 50% (Banjarmasin Post, Jumat 16 Nopember 2007). Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan sangat rendah.

Mengingat rendahnya tingkat kelulusan guru dalam mengikuti sertifikasi ini, maka perlu dilakukan pemetaan sejak awal sehingga dapat diketahui komponen apa saja dari sepuluh komponen yang harus dilengkapi guru dalam membuat portofolio itu yang masih kurang. Dengan demikian, kekurangan yang ada dan telah diketahui lebih awal dapat diantisipasi dan diusahakan kelengkapannya sebelum seorang guru membuat portofolio mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat kesiapan guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong dalam menghadapi sertifikasi guru.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong yang berstatus sebagai PNS, yang berjumlah 385 orang. Penelitian ini menggunakan teknik sampling, dimana jumlah sampel yang diambil sebanyak 88 orang guru. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan prosentase.

Hasil verifikasi portofolio menunjukkan bahwa hanya 31,8% guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong yang dapat dinyatakan lulus sertifikasi guru. Ada 5 komponen dari 10 komponen dalam portofolio, dimana skor dominan yang diperoleh guru adalah NOL. Kelima komponen tersebut adalah komponen prestasi akademik (55,7%), karya pengembangan profesi (79,5%), keikutsertaan dalam forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial (38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan (68,2%). Secara keseluruh dapat dinyatakan bahwa guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong belum siap dalam menghadapi sertifikasi guru. Kata Kunci : Sertifikasi guru dalam jabatan dan komponen portofolio

PENDAHULUAN

Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal

39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat

1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No.

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis

dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen

yang tinggi pihak pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan

penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan

nasional.

Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003

mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi

sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

69

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali

dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;

dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki

kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang

meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, profesional, dan sosial. Kompetensi guru

sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Menurut UU RI Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik

diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan

kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang

yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi

pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu

hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi

pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih,

membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik. Sesuai dengan

PERMENDIKNAS NO. 18 Tahun 2007, maka sertifikasi guru dilakukan dengan

menggunakan Portofolio.

Berkaitan dengan evaluasi terhadap portofolio guru di Kalimantan Selatan, untuk

jatah tahun 2006 yang berjumlah 254 orang hanya 182 orang (71,7%) yang dinyatakan

lulus. Selanjutnya untuk jatah tahun 2007 yang berjumlah 3.784 orang, yang dinyatakan

lulus hanya sekitar 50% (Banjarmasin Post, Jumat 16 Nopember 2007). Berdasarkan

fakta ini, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti

sertifikasi guru dalam jabatan sangat rendah.

Mengingat rendahnya tingkat kelulusan guru dalam mengikuti sertifikasi ini,

maka perlu dilakukan pemetaan kesiapan guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong

sejak awal sehingga dapat diketahui komponen apa saja dari sepuluh komponen yang

harus dilengkapi guru dalam membuat portofolio itu yang masih kurang. Dengan

demikian, kekurangan yang ada dan telah diketahui lebih awal dapat diantisipasi dan

diusahakan kelengkapannya.

Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana kesiapan guru SMP Negeri dalam menghadapi

sertifikasi guru dalam jabatan melalui portofolio di Kabupaten Tabalong ?

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

70

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis kesiapan guru SMP Negeri dalam menghadapi sertifikasi guru dalam

jabatan melalui portofolio di Kabupaten Tabalong.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : (i) bagi guru dapat

dijadikan sebagai bahan instrospeksi guna meningkatkan profesional dan kompetensi

sesuai dengan tuntutan masyarakat dan pemerintah. Seorang guru dapat menyiapkan diri

sedini mungkin kelengkapan komponen fortofolio. (ii) bagi sekolah dapat dijadikan

sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada para peserta

didik. Sekolah dapat mengambil kebijakan yang bersifat akademik untuk membantu

guru guna melengkapi komponen sertifikasi. (iii) bagi Pemkab Tabalong dapat

dijadikan sebagai bahan masukan atau pertimbangan untuk menyusun kebijakan-

kebijakan atau program-program di daerah, khususnya yang berkaitan dengan upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesiapan guru dalam mengikuti

sertifikasi.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Alasan

digunakannya metode ini adalah karena metode ini orientasinya pada meneliti status

kelompok manusia, suatu objek set kondisi, suatu sistem pemikiran atau sesuatu

peristiwa yang terjadi sekarang ini. Fenomena yang ingin dipelajari pada penelitian ini

adalah tentang kesiapan guru SMP dalam menghadapi sertifikasi guru dalam jabatan.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru-guru SMP Negeri se Kabupaten

Tanjung yang berstatus sebagai PNS. Jumlah guru SMP Negeri yang berstatus sebagai

PNS sebanyak 385 orang. Mengingat jumlah populasi yang cukup besar, maka dalam

penelitian ini akan dilakukan teknik sampling. Sampel diambil berdasarkan sampel

wilayah dan sampel sekolah. Sampel wilayah dalam hal ini adalah ada sekolah yang

mewakili daerah perkotaan dan ada sekolah yang mewakili daerah pinggirin.

Kemudian pada sekolah yang terambil sebagai sampel akan dilakukan lagi sampel

untuk menentukan guru yang terpilih dengan menggunakan teknik purposive

sampling. Guru yang terpilih sebagai sampel adalah guru yang berstatus sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS), berlatar belakang pendidikan sarjana S1, dan telah

memiliki masa kerja minimal 2 tahun.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

71

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Selanjutnya

kedua jenis data tersebut akan dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data, yaitu :

1. Penelusuran dokumen dan arsip tentang kualifikasi akademik guru di Dinas

Pendidikan Kabupaten Tabalong akan dikumpulkan melalui teknik dokumentasi.

2. Penelitian lapangan, berupa kunjungan ke sekolah-sekolah SMP Negeri di

Kabupaten Tabalong. Data penelitian lapangan akan dikumpulkan melalui teknik

kuesioner dan wawancara.

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa

kuesioner dan wawancara. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan

menggunakan data dokumentasi yang ada di Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong.

Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, dan pedoman wawancara .Instrumen

yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan pembelajaran dan kompetensi

keperibadian serta social menggunakan instrumen yang digunakan dalam portofolio

sertifikasi guru dalam jabatan. Kompetensi guru dengan menggunakan kedua instrumen

ini diukur oleh kepala sekolah (atasan langsung mereka). Selain dari itu, guru juga

diminta untuk mengisi instrumen yang berisi informasi tentang komponen portofolio.

Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis

deskriptif. Variabel yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini meliputi 10

komponen portofolio sesuai dengan Permendiknas No. 18 Tahun 2007. Masing-masing

komponen portofolio akan dideskripsikan dengan menggunakan prosentase.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Sesuai dengan PERMENDIKNAS Nomor 18 Tahun 2007 bahwa sertifikasi guru

dalam jabatan akan dilakukan melalui portofolio. Ada 10 komponen portofolio yang

harus dipenuhi oleh seorang guru dan seorang guru dikatakan lulus sertifikasi jika telah

memiliki nilai fortofolio minimal 850.

Kesepuluh komponen tersebut adalah kualifikasi akademik, pengalaman

mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, pendidikan dan pelatihan,

penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengambangan profesi,

keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan

sosial, serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

72

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Gambaran tentang hasil penilaian fortofolio secara umum dapat dilihat pada tabel

1 berikut ini.

Tabel 1

Hasil Penilaian Portofolio

No. Kategori Hasil Portofolio Frekuensi Persentase

1.

2.

Lulus

Tidak Lulus

28

60

31,8

68,2

Jumlah 88 100

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa 68,2% guru dinyatakan tidak lulus didalam

mengikuti sertifikasi. Hanya ada 31,8% guru yang dinyatakan lulus.

Untuk mengetahui sebaran skor untuk masing-masing komponen dapat dilihat

pada tabel 2 sampai dengan tabel 10 berikut ini.

Tabel 2

Skor Pengalaman Mengajar

No. Skor Pengalaman Mengajar Frekuensi Persentase

1.

2.

3.

40

41 – 100

101 – 160

20

36

32

22,7

40,9

36,4

Jumlah 88 100

Tabel 2 di atas menunjukkan skor pengalaman mengajar guru. Berdasarkan rubrik

penilaian (pada lampiran), guru dengan masa kerja 2 – 4 tahun diberi skor pengalaman

mengajar sebesar 40. Guru yang mengajar dengan masa kerja 14 – 16 tahun diberi skor

100 dan guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 25 tahun diberi skor 160.

Berdasarkan tabel di atas skor yang dominan adalah 41 – 100 (40,9%), lalu diikuti oleh

skor 101 – 160 (36,45). Fakta di atas menunjukkan bahwa sebagian terbesar guru telah

memiliki pengalaman mengajar di atas 10 tahun.

Skor komponen rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan

pembelajaran dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Skor maksimum perencanaan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

73

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

pembelajaran adalah 40 dan skor maksimum pelaksanaan pembelajaran adalah 120.

Hasil perhitungan komponen rencana dan pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada

tabel 3 berikut ini.

Tabel 3

Skor Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Dan Pelaksanaan Pembelajaran

No. Skor RPP dan Pelaksanaan Pembelajaran Frekuensi Persentase

1. 2. 3. 4.

< = 120 121 – 130 131 – 140 141 – 160

2 31 28 27

2,3 35,2 31,8 30,7

Jumlah 88 100

Tabel 3 di atas menunjukkan skor rencana dan pelaksanaan pembelajaran yang

dominan (35,2%) berada pada interval 121 – 130. Kemudian diikuti oleh interval 131 –

140 sebanyak 31,8% dan interval 141 – 160 sebanyak 30,7%. Hasil ini menunjukkan

bahwa komponen rencana dan pelaksanaan pembelajaran relatif cukup baik.

Penilaian terhadap komponen pendidikan dan pelatihan dapat dilihat pada tabel 4

berikut ini.

Tabel 4

Skor Pendidikan dan Pelatihan

No. Skor Pendidikan dan Pelatihan Frekuensi Persentase

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Skor 0 1 – 50 51 – 100 101 – 200 201 – 500 Lebih dari 500

1 20 10 19 24 14

1,1 22,7 11,4 21,6 27,3 15,9

Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa 35,3% guru yang memiliki skor

pendidikan dan pelatihan 100 atau kurang dari 100. Padahal komponen pendidikan dan

pelatihan ini sangat menentukan apakah seorang guru dapat lulus dalam mengikuti

sertifikasi. Kenapa hal ini terjadi karena 5 komponen lainnya selain kualifikasi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

74

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

akademik, pengalaman mengajar, perencaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian

dari atasan/pengawas pada umumnya sangat sukar diperoleh. Sehingga dapat dipastikan

bahwa komponen pendidikan dan pelatihan merupakan komponen yang cukup

menentukan kelulusan seorang guru dalam mengikuti sertifikasi.

Skor maksimum penilaian dari atasan/pengawas adalah 50. Penilaian dari

atasan/pengawas ini berisikan kompetensi kepribadian dan sosial seorang guru.

Kompetensi kepribadian dan sosial guru akan dinilai oleh atasan langsung mereka.

Sebaran hasil penilaian dari atasan/pengawas dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 5

Skor Penilaian dari Atasan/Pengawas

No. Skor Penilaian dari Atasan/Pengawas Frekuensi Persentase

1. 2. 3.

< = 35 36 – 40 41 - 50

1 14 73

1,1 15,9 83,0

Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan kompetensi

kepribadian dan sosial guru relatif tinggi. Selanjutnya, berkaitan dengan prestasi

akademik guru dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.

Tabel 6

Skor Prestasi Akademik

No. Skor Prestasi Akademik Frekuensi Persentase 1. 2. 3. 4. 5. 6.

SKOR 0 1 – 10 11 – 25 26 – 50 51 – 100 > 100

49 6 3 10 8 12

55,7 6,8 3,4 11,4 9,1 13,6

Jumlah 88 100

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebagian terbesar guru (55,7%) memiliki

prestasi akademik dengan skor NOL. Selanjutnya hanya ada 22,7% guru yang memiliki

skor prestasi akademik 51 atau lebih.

Berkaitan dengan skor pengembangan karya profesi dapat dilihat pada tabel 7

berikut ini.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

75

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Tabel 7

Skor Pengembangan Karya Profesi

No. Skor karya Pengembangan Profesi Frekuensi Persentase

1. 2. 3.

SKOR 0 1 – 10 11 – 20 21 - 50 > 50

70 11 1 3 3

79,5 12,5 1,1 3,4 3,4

Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian terbesar guru (79,5%)

memiliki skor pengembangan karya profesi dengan skor NOL. Hasil menunjukkan

betapa minim karya yang dapat dikerjakan oleh guru. Berkaitan dengan skor komponen

keikutsertaan guru dalam mengikuti forum ilmiah dapat dilihat pada table 8 berikut ini.

Tabel 8

Skor Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah Skor Keikutsertaan dalam Forum Ilmiah

No.

Skor Keikutsertaan Dalam forum Ilmiah

Frekuensi Persentase

1. 2. 3. 4.

SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20

49 25 6 8

55,7 28,4 6,8 9,1

Jumlah 88 100

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian terbesar guru (55,7%)

memiliki skor keikutsertaan dalam forum ilmiah dengan skor NOL. Selanjutnya, ada

28,4% guru yang memiliki skor berkisar antara 1 – 10, dan 15,9% guru memiliki skor

keikutsertaan dalam forum ilmiah di atas skor 10. Hasil juga menunjukkan betapa

minimnya aktivitas guru dalam mengikuti forum ilmiah. Berkaitan dengan skor

komponen pengalaman organisasi dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini.

Tabel 9

Skor Pengalaman Organisasi

di Bidang Pendidikan dan Sosial

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

76

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

No. Skor Pengalaman Organisasi Frekuensi Persentase

1. 2. 3. 4.

SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20

34 42 10 2

38,6 47,7 11,4 2,3

Jumlah 88 100

Tabel 9 menunjukkan pengalaman guru dalam organisasi di bidang pendidikan

dan sosial. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa ada sebanyak 38,6% guru yang

memiliki pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan social dengan skor NOL.

Fakta ini menunjukkan bahwa betapa minimnya aktivitas guru diluar tugas akademik

mereka. Skor penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada

tabel 10 berikut ini.

Tabel 10

Skor Penghargaan yang Relevan

dalam Bidang Pendidikan dalam Bidang Pendidikan

No.

Skor Penghargaan yang Relevan dalam Bidang Pendidikan

Frekuensi Persentase

1. 2. 3. 4.

SKOR 0 1 – 10 11 – 20 > 20

60 8 8 12

68,2 9,1 9,1 13,6

Jumlah 88 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagai terbesar guru (68,2%) memiliki skor NOL

terhadap komponen penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan. Hanya ada

13,6% guru yang memiliki skor di atas 20. Sisanya masing-masing sebesar 9,1% untuk

skor antara 1 – 10 dan skor antara 11 – 20.

Pembahasan Hasil Penelitian

Kesiapan guru dalam mengikuti sertifkasi perlu diketahui sedini mungkin

sehingga Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota ataupun Pemkab/Pemkot dimana guru

tersebut bertugas dapat mengetahui dan mengambil langkah-langkah yang akurat agar

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

77

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

guru yang akan diikutsertakan untuk mengikuti sertifkasi benar-benar guru yang telah

siap (dari segi pemenuhan nilai, telah memenuhi nilai minimum kelulusan yaitu 850).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 31,8% guru yang dapat dinyatakan lulus

dalam mengikuti sertifikasi. Tingkat kelulusan sebesar 31,8% ini jauh dibawah hasil

verifikasi sertifikasi Kalimantan Selatan untuk jatah tahun 2006 yaitu sebesar 71,7%.

Begitu juga masih di bawah hasil verifikasi untuk Kalimantan Selatan untuk jatah tahun

2007 yaitu sekitar 50% (Banjarmasin Post, 16 Nopember 2007).

Analisis untuk masing-masing komponen portofolio menunjukkan bahwa ada 5

komponen, dimana pencapaian skor yang dominan adalah skor NOL. Kelima

komponen tersebut adalah prestasi akademik (55,7%), karya pengembangan profesi

(79,5%), keikutsertaan dalam forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang

pendidikan dan sosial (38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan

(68,2%).

Berdasarkan buku pedoman penilaian portofolio, dinyatakan bahwa nilai unsur C

yang terdiri dari 3 komponen yaitu keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman

organisasi di bidang pendidikan dan sosial, serta piagam yang relevan dalam bidang

pendidikan tidak boleh bernilai NOL. Dengan kata lain, salah satu dari ketiga komponen

ini harus memiliki nilai, minimal dengan skor SATU. Jika dikaitkan dengan 5

komponen diatas, dimana skor dominan yang diperoleh guru adalah nol, maka tentunya

banyak guru yang tidak memenuhi ketentuan nilai unsur C tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya guru belum banyak

melakukan kegiatan diluar tugas rutinitas yang bersifat akademik. Berdasarkan hasil ini

dapat disimpulkan bahwa secara umum guru SMP di Kabupaten Tabalong belum siap

untuk mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan dalam bentuk portofolio ini.

P E N U T U P

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Hasil verifikasi portofolio menunjukkan bahwa hanya 31,8% guru SMP Negeri di

Kabupaten Tabalong yang dapat dinyatakan lulus sertifikasi guru dalam jabatan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

78

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

2. Ada 5 komponen dari 10 komponen dalam portofolio, dimana skor dominan yang

diperoleh guru adalah NOL. Kelima komponen tersebut adalah komponen prestasi

akademik (55,7%), karya pengembangan profesi (79,5%), keikutsertaan dalam

forum ilmiah (55,7%), pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial

(38,6%), dan penghargaan yang relevan dalam pendidikan (68,2%).

3. Secara keseluruh dapat dinyatakan bahwa guru SMP Negeri di Kabupaten Tabalong

belum siap dalam menghadapi sertifikasi guru.

Saran/Rekomendasi

Saran-saran yang dapat direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian adalah

sebagai berikut :

1. Perlu sosialisasi kepada para guru SMP di Kabupaten Tabalong, baik oleh Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tabalong maupun pihak-pihak terkait

lainnya tentang penyusunan portofolio sertifikasi guru.

2. Penentuan guru yang akan diikutkan dalam sertifikasi guru hendaknya berdasarkan

petunjuk yang telah diberikan oleh Konsorsium Sertifkasi Guru, sehingga mereka

yang dikirim diharapkan benar-benar dapat lulus dalam verifikasi.

3. Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Pemerintah Kabupaten Tabalong

hendaknya dapat menyikapi akan ketidaksiapan guru SMP negeri dalam

menghadapi sertifikasi guru. Kebijakan hendaknya dapat diarahkan untuk

mengadakan kegiatan-kegiatan akademik, khususnya terhadap 5 komponen yang

sebagian terbesar guru belum dapat memenuhinya. Kelima komponen tersebut

adalah prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum

ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan

yang relevan dalam pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Rineka Cipta,

Jakarta. Depdiknas. 2005. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Depdiknas RI, Jakarta. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan. Depdiknas RI, Jakarta.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

79

PM – 7 : Analisis Kesiapan Guru SMP Negeri….. Karim, Rabiyatul Adawiyah, Barkis

Depdiknas. 2007. Panduan Penyusunan Portofolio (Sertifikasi Guru dalam Jabatan

Tahun 2007).. Depdiknas RI, Jakarta. Fajar, Malik. 2000. Pendidikan Indonesia. Artikel Majalah Gerbang. Lembaga

Penelitian dan Pengenbangan Pendidikan (LP3) Universitas Muhammadiyah, Malang.

Haryoko, Sapto. 1995. Studi Tingkat Profesionalisme Guru Sekolah Teknologi

Menengah Negeri di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Pendidikan. IKIP, STKIP dan ISPI.

Sahertian, AM. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. RajaGrafindo

Persada, Jakrta. Usman, M.U. (2002). Menjadi Guru Profesional Edisi ke-2. Remaja Rosdakarya,

Bandung.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

80

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI (Team-Assisted Individualization) Dalam Pembelajaran Peluang Pada Siswa Kelas IX SMP Idhata

Banjarmasin Tahun Pelajaran 2007/2008

Oleh :

Karim*) dan Sohrah**)

*) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin, Kalsel **) Guru Mata Pelajaran Matematika SMP Idhata Banjarmasin, Kalsel

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran adalah dengan melakukan berbagai variasi model pembelajaran. Banyak siswa yang menyenangi suatu pelajaran tertentu karena berawal dari rasa senang terhadap cara yang dilakukan guru dalam menyampaikan pelajaran, sehingga merasa termotivasi untuk mengikuti pelajaran tersebut, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil belajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe TAI, dimana dengan model pembelajaran ini diharapkan belajar matematika menjadi menyenangkan dan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas IX SMP IDHATA Banjarmasin yang terbagi dalam 2 kelas, yaitu kelas IXA dan IXB dengan jumlah siswa sebanyak 32 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik sampling bertujuan dengan mengambil siswa kelas IX B yang berjumlah 16 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi, tes, angket dan lembar observasi. Data dianalisis melalui skor perkembangan individu, pengukuran hasil belajar kelompok, tingkat penghargaan kelompok, dan pengukuran hasil belajar individu. Selain dari itu, juga dilakukan observasi terhadap aktivitas siswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI sesuai aspek-aspek aktivitas dalam pembelajaran kooperatif dan termasuk dalam kualifikasi cukup baik dan hasil belajar siswa setelah pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam pembelajaran peluang berada pada kualifikasi cukup. Kata Kunci: model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan hasil belajar siswa

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat mendorong

setiap bangsa untuk terus meningkatkan kualitas pendidikannya. Pendidikan yang

berkualitas memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi yang melimpah,

cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Dengan demikian, melalui

bidang pendidikan, siswa diharapkan memiliki kemampuan multidimensional meliputi

kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan

hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang

pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Konsep-konsep

matematika yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan diberikan secara bertahap

dan berjenjang sesuai dengan perkembangan mental dan intelektual siswa. Konsep-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

81

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

konsep tersebut tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari

konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.

Matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang lebih menekankan

aktivitas pada dunia rasio (penalaran). Oleh sebab itu, diperlukan suatu sistem

pengajaran yang berkualitas. Dalam hal ini, inovasi pembelajaran merupakan suatu

upaya untuk menemukan sesuatu yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.

Adapun salah satu bentuk inovasi pembelajaran tersebut adalah dengan menerapkan

berbagai model pembelajaran.

Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru di

kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang

diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (Tim MKPBM, 2001). Salah

satu model pembelajaran yang dipertimbangkan adalah pembelajaran kooperatif.

Pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja

sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar (Nur & Wikandari, 2000).

Pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, yaitu STAD (Student Teams-

Achievement Division), TGT (Teams-Games-Tournaments), TAI (Team-Assisted

Individualization), Jigsaw, LT (Learning Together), GI (Group Investigation), Think-

Pair-Share (Chairani, 2003).

TAI (Team-Assisted Individualization) merupakan model pembelajaran kooperatif

yang disusun dengan berbagai alasan. Pertama, model ini mengkombinasikan

keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini

memberikan tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk

memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar

siswa secara individual. Pada pembelajaran kooperatif tipe TAI, pokok bahasan mata

pelajaran dibagi menjadi unit-unit, dimana materi pada unit yang satu berkaitan dengan

unit berikutnya. Hal ini sesuai jika diterapkan pada pokok bahasan mata pelajaran

matematika karena konsep-konsep matematika dipelajari siswa secara bertahap dan

tersusun secara hierarkis (Widdiharto, 2004).

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang

akan diteliti sebagai berikut : (1) bagaimana aktivitas siswa dalam pembelajaran

matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI di kelas IX SMP IDHATA

Banjarmasin tahun pelajaran 2007/2008; (2) bagaimana hasil belajar siswa pada

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

82

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI di kelas IX

SMP IDHATA Banjarmasin tahun pelajaran 2007/2008.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) menggambarkan

aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe TAI di

kelas IX SMP IDHATA Banjarmasin; (2) mengetahui hasil belajar siswa pada

pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe TAI di kelas IX SMP IDHATA

Banjarmasin.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : (1)

sebagai informasi bagi guru tentang alternatif model pembelajaran yang dapat

digunakan dalam mengajarkan matematika untuk mencapai tujuan yang optimal; (2)

sebagai informasi bagi sekolah dalam rangka perbaikan dan peningkatan mutu

pembelajaran; (3) sebagai masukan bagi peneliti untuk meningkatkan kemampuan dan

pengetahuan dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan matematika.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu

metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran

ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Fenomena yang akan dideskripsikan

dalam penelitian ini adalah aktivitas siswa dan hasil belajar mereka terhadap

pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe TAI.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX yang dibagi menjadi 2

kelas yaitu kelas A dan kelas B. Jumlah siswa untuk kedua kelas tersebut berjumlah 32

orang, dimana masing-masing kelas memiliki 16 orang siswa. Penelitian ini dilakukan

pada kelas IXB.

Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui: (1) Observasi yang digunakan

untuk memperoleh gambaran mengenai aktivitas siswa pada saat pembelajaran

berlangsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi

aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI. (2) Tes yang digunakan untuk

mendapatkan data tentang hasil belajar siswa. Adapun perangkat instrumen dalam

penelitian ini terdiri atas soal tes penempatan (placement test), LKS, soal latihan, soal

tes formatif, soal tes unit dan soal tes akhir.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

83

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

Sebelum dilakukan proses pembelajaran matematika dengan model kooperatif

tipe TAI, terlebih dahulu diadakan tes penempatan (placement test) untuk menentukan

pada unit mana masing-masing siswa berada. Kemudian dilakukan pembentukan

kelompok. Formasi anggota kelompok didasarkan pada hasil tes tersebut yang disusun

dari skor tertinggi sampai terendah. Nama anggota ditandai dengan huruf abjad

kemudian disusun dalam tabel. Kelompok yang dibentuk adalah kelompok yang

heterogen. Heterogenitas anggota kelompok dapat ditinjau dari jenis kelamin, etnis,

prestasi akademik maupun status sosial.

Setelah dilakukan proses pembelajaran, maka diperoleh data yang kemudian

dianalisis. Teknik analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut:

(1) Skor perkembangan individu

Sesuai dengan karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe TAI, maka

dalam penelitian ini baik tanggung jawab individual dan penghargaan kelompok

sangat diperhatikan. Setelah beberapa kali pertemuan, guru menjumlahkan

banyaknya unit yang telah diselesaikan oleh semua anggota tim dan memberikan

sertifikat atau penghargaan lainnya kepada tim yang memenuhi kriteria berdasarkan

jumlah unit yang diselesaikan oleh masing-masing anggota kelompok dan skor

perkembangan individu berdasarkan nilai tes unit. Penghitungan skor perkembangan

individu dilakukan dalam upaya memberikan kesempatan bagi setiap siswa untuk

menunjukkan gambaran pencapaian hasil belajar maksimal yang telah dilakukan

oleh setiap individu. Skor perkembangan siswa ditentukan berdasarkan selisih

perolehan skor tes terdahulu dengan skor tes terkini. Setiap siswa memiliki

kesempatan yang sama untuk menyumbangkan skor maksimal bagi kelompoknya.

Kriteria pemberian nilai perkembangan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Kriteria Pemberian Nilai Perkembangan Individu

No Skor Siswa Nilai Perkembangan

1. Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar 0

2. 10 poin hingga 1 poin di bawah skor dasar 10

3. Skor dasar sampai 10 poin di atasnya 20

4. Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30

5. Pekerjaan sempurna (tidak berdasarkan skor awal) 30

(Ibrahim dkk, 2000)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

84

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

(2) Pengukuran Hasil belajar Kelompok

Setelah kegiatan perhitungan skor perkembangan individu selesai, langkah

selanjutnya adalah pemberian penghargaan (reward) kepada kelompok.

Penghargaan kelompok berdasarkan banyaknya unit yang dapat diselesaikan oleh

masing-masing anggota kelompok dan skor perkembangan yang diperoleh setiap

kelompok. Untuk menentukan skor yang dicapai kelompok digunakan rumus yang

diadaptasi dari Slavin (Chairani, 2003).

N = kelompokanggotaBanyak

kelompokanperkembangskortotaljumlah

keterangan : N = Nilai perkembangan kelompok

(3) Tingkat Penghargaan Kelompok

Berdasarkan banyaknya unit yang telah diselesaikan oleh semua anggota kelompok

dan skor perkembangan yang diperoleh setiap kelompok, terdapat tiga tingkat

penghargaan yang diberikan untuk kelompok seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Kriteria Tingkat Penghargaan Kelompok

Nilai rata-rata kelompok Penghargaan

15 ≤ N < 20 Baik

20 ≤ N < 25 Hebat

N ≥ 25 Super

(Depdiknas, 2004)

(4) Pengukuran Hasil Belajar Individu

Cara penilaian hasil belajar siswa secara individu menggunakan rumus yang

dimodifikasi dari Usman dan Setiawati (2001) yaitu:

100MaksimalSkor PerolehanSkor N ×=

Keterangan : N = Nilai Akhir

Interpretasinya menggunakan kriteria sebagai berikut :

Tabel 3. Interpretasi Hasil Belajar

Nilai *) Kualifikasi

≥ 95,0 Istimewa

80,0 – 94,9 Amat Baik

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

85

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

65,0 – 79,9 Baik

55,0 – 64,9 Cukup

40,1 – 54,9 Kurang

≤ 40,0 Amat Kurang

Keterangan : *) = Nilai dalam skala 0 - 100

(Dinas Pendidikan Pemprov Kalsel, 2004)

(5) Pengukuran Aktivitas Siswa dalam Proses Pembelajaran

Aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran matematika dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI disimpulkan dengan

memperhatikan ketentuan penilaian dengan pilihan terbanyak. Adapun kriteria

penilaian terhadap aktivitas siswa dan guru berdasarkan option pada lembar

observasi yakni sangat baik, baik, cukup baik dan kurang baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pembelajaran Unit Satu

Berdasarkan hasil tes penempatan pada pertemuan sebelumnya, ternyata seluruh

siswa harus belajar mulai dari unit satu. Pembelajaran unit satu ini dimulai pada

pertemuan kedua. Guru membagikan LKS unit satu kepada seluruh siswa sebagai

panduan untuk memahami materi pada unit satu. Sebelum pembelajaran kooperatif

dilaksanakan, terlebih dahulu guru melaksanakan pengajaran klasikal unit satu. Guru

menjelaskan pengertian ruang sampel dan titik sampel, cara menentukan ruang sampel

dan titik sampel dari suatu percobaan disertai dengan beberapa buah contoh soal.

Penjelasan materi berdasarkan LKS yang dipegang oleh masing-masing siswa. Sesekali,

guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang

belum/kurang dipahaminya.

Pengajaran klasikal pada unit satu ini memerlukan waktu sekitar satu jam

pelajaran. Pada jam pelajaran berikutnya, dimulai pembelajaran kooperatif. Untuk

mempercepat perpindahan siswa dalam pembentukan kelompok dan mencegah

kekacauan, guru memberikan instruksi tempat yang harus dituju oleh masing-masing

kelompok. Kegiatan ini cukup memakan waktu karena siswa harus memindahkan kursi

dan meja. Setelah semua siswa berada di kelompoknya masing-masing, maka aktivitas

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

86

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

kelompok pun dimulai. Semua siswa dalam tiap-tiap kelompok berada pada unit satu,

sehingga aktivitas yang mereka lakukan pun sama.

Langkah-langkah dalam diskusi kelompok diuraikan sebagai berikut: langkah

pertama, masing-masing anggota kelompok mengerjakan latihan sebanyak 4 butir soal

secara berturut-turut dari 16 butir soal yang tersedia secara individual. Kemudian dalam

kelompok masing-masing, mereka secara berpasangan bertukar lembar jawaban untuk

saling memeriksa jawaban kemudian menuliskan hasilnya di lembar penilaian

kelompok. Dalam mengerjakan soal latihan, masing-masing anggota kelompok harus

dapat menjawab benar keempat butir soal tersebut. Jika ada yang salah, siswa tersebut

harus mengerjakan empat butir soal selanjutnya secara berturut-turut sampai mampu

mengerjakan empat butir soal dengan benar. Pada saat mengerjakan latihan ini, siswa

dapat berdiskusi dengan teman sekelompoknya jika mengalami kesulitan. Siswa yang

lebih cepat memahami materi dan mengerjakan soal dapat membantu teman

sekelompoknya yang kesulitan dalam memahami materi atau mengerjakan soal, tetapi

masing-masing anggota kelompok tetap bekerja secara individual.

Anggota kelompok yang telah selesai mengerjakan latihan dan memenuhi

ketentuan dalam mengerjakan latihan, dapat diajukan oleh kelompoknya untuk

mengikuti tes formatif bagian A. Anggota-anggota kelompok mengerjakan tes formatif

secara individual dan tetap berada pada posisi di kelompoknya. Kemudian setelah

selesai mengerjakan tes formatif, siswa dalam masing-masing kelompok kembali

bertukar lembar jawaban seperti pada latihan dan menuliskan hasilnya di lembar

penilaian kelompok. Siswa yang mengerjakan tes formatif bagian A harus dapat

menjawab benar 8 butir soal. Jika siswa belum dapat menjawab benar 8 butir soal, ia

harus mengikuti tes formatif bagian B. Namun sebelumnya, siswa yang harus

mengikuti tes formatif B tersebut dapat meminta bantuan temannya atau guru untuk

memperbaiki kesalahannya pada tes formatif bagian A. Setelah dapat melewati tes

formatif, siswa dapat mengikuti tes unit pada unit satu. Selama mengerjakan tes unit,

siswa tetap berada pada posisi masing-masing di kelompoknya dan bekerja secara

individual. Guru berkeliling diantara kelompok sambil memantau hasil kerja siswa.

Lembar jawaban tes unit setiap siswa akan diperiksa dan dinilai oleh guru. Siswa

yang telah selesai mengerjakan tes unit satu dapat melanjutkan ke unit berikutnya.

Adapun ketentuan untuk dapat melanjutkan ke unit berikutnya adalah siswa tersebut

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

87

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

harus dapat meraih minimal nilai 60 pada tes unit tersebut. Jika siswa belum dapat

mencapai nilai 60, siswa tersebut harus kembali mengerjakan soal tersebut. Sebelum

mengerjakan kembali, siswa diberi kesempatan untuk belajar lagi beberapa saat.

Pada pembelajaran unit satu ini, guru tidak melaksanakan pengajaran individual

karena setelah pengajaran klasikal, siswa mulai bekerja di kelompoknya masing-

masing, berdiskusi dan mengerjakan latihan. Pembelajaran unit satu berlangsung dalam

dua kali pertemuan yaitu pertemuan kedua dan pertemuan ketiga. Namun setiap kali

selesai satu pertemuan, guru selalu meminta semua kelompok mengumpulkan semua

lembar jawaban latihan, tes formatif dan tes unit semua anggota kelompok serta lembar

penilaian kelompok. Hal ini dilakukan untuk memantau dan mengecek pemahaman

siswa melalui jawaban mereka. Jika terlihat ada bagian yang belum dipahami siswa,

guru dapat menjadikannya bahan apersepsi untuk pertemuan berikutnya. Sementara itu

pekerjaan siswa yang belum selesai akibat habisnya waktu pada pertemuan kedua dapat

dilanjutkan kembali pada pertemuan ketiga. Dari kedua pertemuan tersebut, tidak ada

siswa yang berhalangan hadir dan pada akhirnya semua siswa dapat menyelesaikan

pembelajaran unit satu secara bersamaan. Selanjutnya mereka akan bersiap-siap untuk

memasuki pembelajaran pada unit dua pada pertemuan berikutnya.

Pembelajaran Unit Dua

Sebelum memulai pembelajaran unit dua pada pertemuan keempat, terlebih dahulu

guru memberikan penghargaan berupa sertifikat kepada masing-masing kelompok

sebagai salah satu upaya untuk menghargai hasil kerja kelompok dan untuk memotivasi

siswa agar bekerja lebih baik. Penghargaan diberikan berdasarkan perolehan skor

perkembangan kelompok setelah melewati unit satu.

Pada pertemuan keempat ini, seluruh siswa secara bersamaan memasuki unit dua.

Oleh karena itu, pengajaran yang harus diberikan adalah pengajaran klasikal seperti

pada unit satu. Pembelajaran dimulai dengan guru membagikan LKS unit dua kepada

seluruh siswa sebagai panduan dalam memahami materi unit dua tersebut yaitu tentang

peluang suatu kejadian.

Berdasarkan penjelasan dan pemberian beberapa contoh soal, siswa pun akhirnya

dapat mulai memahami materi. Setelah itu, guru meminta siswa untuk kembali ke

kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit satu. Proses

pembelajaran pada unit dua ini pun berlangsung sama seperti pada pembelajaran unit

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

88

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

satu. Siswa mengerjakan soal latihan, tes formatif dan tes unit untuk menentukan

apakah mereka dapat melanjutkan ke unit tiga atau tidak. Pada kegiatan kelompok,

siswa ditekankan untuk berdiskusi dengan teman jika mengalami kesulitan memahami

materi. Tetapi pada saat mengerjakan latihan, tes formatif dan tes unit, siswa harus

bekerja secara individual. Proses pembelajaran unit dua berlangsung pada pertemuan

keempat dan pertemuan kelima.

Pembelajaran Unit Tiga

Pembelajaran unit tiga dimulai pada pertemuan keenam yang diawali dengan

pemberian sertifikat kepada masing-masing kelompok berdasarkan perolehan skor

perkembangan kelompok setelah melewati unit dua. Pada pertemuan ini, sebanyak 13

orang siswa secara bersamaan memasuki unit tiga. Guru pun membagikan LKS unit tiga

bagi siswa yang sudah memasuki unit tiga. Pada saat mengenalkan materi pada unit tiga

yaitu tentang kisaran nilai peluang, guru tidak langsung melaksanakan pengajaran

individual tetapi secara klasikal sekitar 20 menit. Setelah itu meminta siswa untuk

kembali ke kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit satu

dan unit dua.

Proses pembelajaran pada unit tiga juga berlangsung sama seperti pada unit satu

dan unit dua. Siswa mengerjakan soal latihan, tes formatif dan akhirnya tes unit untuk

menentukan apakah mereka dapat melanjutkan ke unit empat atau tidak. Tampak

beberapa siswa saling berdiskusi dengan temannya ketika menemui kesulitan, tetapi

pada saat mengerjakan latihan, tes formatif dan tes unit, siswa harus bekerja secara

individual. Proses pembelajaran pada unit tiga berlangsung pada pertemuan keenam

sampai pertemuan ketujuh. Namun sampai pertemuan ketujuh berakhir, masih terdapat

beberapa siswa yang terlambat menyelesaikan unit tiga ini sehingga harus melanjutkan

kembali pekerjaan mereka pada pertemuan berikutnya.

Pembelajaran Unit Empat

Seperti pada pembelajaran unit-unit sebelumnya, pembelajaran unit empat juga

berlangsung dalam dua kali yaitu pada pertemuan kedelapan dan pertemuan

kesembilan. Pertemuan kedelapan juga diawali dengan pemberian sertifikat kepada

tiap-tiap kelompok setelah berhasil melewati unit tiga. Pada pertemuan ini, sebanyak 10

orang siswa secara bersamaan memasuki unit empat. Guru pun membagikan LKS unit 4

kepada siswa-siswa yang sudah memasuki unit empat, sementara siswa yang terlambat

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

89

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

dapat melanjutkan kembali pekerjaannya menyelesaikan unit tiga dan segera menyusul

memasuki unit empat. Untuk mengenalkan materi frekuensi harapan pada unit ini, guru

melaksanakan pengajaran individual bagi mereka yang telah memasuki unit empat ini.

Mereka menerima LKS unit empat untuk dibaca dan dipahami materinya sambil

berdiskusi dengan teman-temannya. Setelah itu, guru meminta siswa untuk kembali ke

kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit-unit sebelumnya.

Siswa yang terlambat menyelesaikan unit empat segera menyusul siswa-siswa lain yang

telah memasuki unit empat, namun mereka kembali harus menunggu beberapa saat

untuk mengetahui nilai tes unitnya sebelum melanjutkan ke unit empat. Setelah

mengetahui bahwa hasil tes unit tiga mereka telah memenuhi syarat memasuki unit

empat, para siswa ini pun mengikuti pengajaran individual unit empat. Dalam

pengajaran individual ini, sesekali guru juga mengingatkan kembali tentang materi pada

unit-unit sebelumnya. Setelah mengikuti pengajaran individual, siswa pun kembali ke

kelompoknya masing-masing untuk kembali bekerja seperti pada unit-unit sebelumnya.

Dalam pembelajaran ini, guru selalu mengawasi kegiatan kelompok dan memberikan

bantuan jika diperlukan. Pembelajaran unit empat berakhir pada pertemuan kesembilan.

Semua siswa pada akhirnya dapat menyelesaikan tes unit dengan baik sebelum

pertemuan berakhir, sementara untuk penyerahan sertifikat atas kinerja kelompok

diberikan pada pertemuan berikutnya (pertemuan terakhir) yaitu pada saat tes pemberian

tes akhir.

Observasi Terhadap Aktivitas Siswa

Aktivitas siswa pada saat proses pembelajaran peluang dengan model kooperatif

tipe TAI berjalan cukup baik, Hal tersebut dapat dilihat dari lembar obervasi aktivitas

siswa dan guru dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dilakukan oleh satu orang

pengamat yaitu guru di SMP tempat penelitian dilaksanakan. Observasi terhadap

aktivitas siswa ini dilakukan untuk memperhatikan apakah aktivitas yang dilakukan

siswa sudah terlaksana dengan baik atau tidak. Khusus untuk aktivitas siswa, perlu

diperhatikan apakah aspek-aspek aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe

TAI sudah terlaksana dengan baik atau belum.

Berdasarkan lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif,

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

(1) aktivitas mempunyai keberanian untuk bertanya termasuk kualifikasi sangat baik,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

90

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

(2) aktivitas mendengarkan dengan aktif dan menanyakan kebenaran/memeriksa

ketepatan termasuk baik,

(3) aktivitas menghargai pendapat orang lain, mengambil giliran dan berbagi tugas,

berada dalam tugas, menunjukkan penghargaan dan simpati dan mengungkapkan

ketidaksetujuan dengan cara yang diterima termasuk cukup baik,

(4) aktivitas memancing orang lain untuk berbicara dan mendorong orang lain untuk

berpartisipasi termasuk kurang baik.

Evaluasi dan Hasil Belajar Siswa

Evaluasi pembelajaran kooperatif tipe TAI terdapat dua macam, yaitu evaluasi

secara kelompok dan evaluasi secara individu. Pelaksanaan evaluasi bertujuan untuk

mengetahui hasil belajar siswa dan juga untuk menentukan tingkat penghargaan

kelompok Evaluasi secara kelompok dilakukan berdasarkan nilai tes unit/final tes

masing-masing unit untuk menentukan tingkat penghargaan kelompok setelah beberapa

kali pertemuan. Setiap siswa dalam kelompoknya diharapkan dapat menyumbangkan

poin yang tinggi bagi kelompoknya sehingga kelompoknya mendapat penghargaan yang

bagus, tetapi dalam hal ini tidak ada istilah peringkat. Masing-masing kelompok akan

mendapatkan penghargaan sesuai dengan skor yang mereka hasilkan.

Sedangkan evaluasi secara individu dilaksanakan pada akhir kegiatan

pembelajaran secara keseluruhan yaitu melalui tes akhir. Tes akhir ini berlangsung

lancar. Selama kegitan berlangsung, siswa dengan serius mengerjakan soal-soal yang

diberikan. Evaluasi yang dilakukan bersifat tertutup dan siswa tidak diperkenankan

bekerjasama dengan siswa yang lain. Guru mengawasi dengan ketat berlangsungnya tes

akhir.

Pemberian poin perkembangan dilakukan dengan menentukan selisih perolehan

nilai tes terdahulu (dasar) dengan nilai tes unit yang telah dilewati siswa. Nilai dasar

yang digunakan adalah nilai tes formatif siswa untuk kompetensi dasar yang telah

diujikan oleh guru mata pelajaran matematika. Nilai dasar dapat dilihat pada lampiran

10. Setelah dilakukan perhitungan poin perkembangan individu, selanjutnya dilakukan

perhitungan poin perkembangan kelompok dengan cara menjumlahkan poin

perkembangan masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota

kelompok sehingga didapatkan rata-rata poin perkembangan kelompok. Berdasarkan

poin rata-rata perkembangan kelompok, masing-masing kelompok mendapatkan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

91

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

penghargaan sesuai dengan kriteria yang ada. Ada tiga jenis penghargaan yang dapat

diberikan yaitu super, hebat dan baik. Selama pembelajaran kooperatif tipe TAI,

penghargaan diberikan sebanyak empat kali, yaitu setelah melewati unit satu, unit dua,

unit tiga dan unit empat.

Evaluasi secara individu dilakukan melalui tes akhir. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan pada siswa kelas IX B SMP IDHATA Banjarmasin dengan model

kooperatif tipe TAI dapat diketahui bahwa rata-rata nilai tes akhir siswa kelas IX B

adalah 61,88 yang berada pada kualifikasi cukup.

Berdasarkan hasil tes akhir tersebut, dapat diperoleh prosentase keseluruhan

kualifikasi siswa yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Prosentase Kualifikasi Hasil Belajar Siswa

Kualifikasi Interval Nilai Frekuensi Persentase (%)

Istimewa ≥ 95,0 0 0,0

Amat Baik 80,0 – 94,9 2 12,5

Baik 65,0 – 79,9 5 31,3

Cukup 55, 0 – 64,9 4 25,0

Kurang 40,1 – 54,9 4 25,0

Amat Kurang ≤ 40,0 1 6,2

Jumlah 16 100,0

Berdasarkan tabel 4, diperoleh bahwa dari 16 orang siswa yang mengikuti

pembelajaran diperoleh frekuensi banyak siswa pada masing-masing kualifikasi. Tidak

terdapat siswa yang termasuk kualifikasi istimewa. Frekuensi banyak siswa pada

kualifikasi amat baik sebanyak 2 orang atau 12,5% sedangkan untuk kualifikasi baik

sebanyak 5 orang atau 31,3%. Frekuensi banyak siswa pada kualifikasi cukup dan

kualifikasi kurang masing-masing sebanyak 4 orang atau 25,0%, sedangkan banyaknya

siswa yang berada pada kualifikasi amat kurang hanya 1 orang atau 6,2%.

Pembahasan

Pembelajaran kooperatif tipe TAI sangat baik untuk menumbuhkan partisipasi

siswa didalam proses pembelajaran. Sesuai dengan filosofi pembelajaran kooperatif,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

92

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

maka dengan tipe TAI ini semangat kebersamaan dan sosial siswa dapat ditumbuhkan.

Meskipun demikian, dari sisi hasil belajar untuk pokok bahasan peluang ternyata nilai

yang diperoleh siswa tidak terlalu istimewa.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe

TAI adalah masalah kehadiran siswa. Ternyata kehadiran siswa dalam pembelajaran

kooperatif tipe TAI mempunyai pengaruh tersendiri. Jika dalam satu kali pertemuan ada

siswa yang tidak hadir mengikuti pembelajaran, maka akan menghambat aktivitasnya

secara individu dan aktivitasnya sebagai anggota kelompok. Selama pembelajaran

kooperatif tipe TAI, seluruh siswa kelas IX B dapat mengikuti pembelajaran namun

dalam beberapa pertemuan, ada siswa yang tidak hadir. Hal ini kadang menghambat

aktivitas dalam kelompoknya karena dalam aktivitas kelompok pembelajaran kooperatif

tipe TAI ini sangat memerlukan kerja sama yang baik antar anggota kelompok, baik

dalam kegiatan menuntaskan materi maupun saat mereka saling memeriksa lembar

jawaban.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada siswa kelas IXB SMP IDHATA Banjarmasin

tahun pelajaran 2007/2008 dengan materi Peluang dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut :

(1) aktivitas siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI telah memenuhi aspek-

aspek aktivitas dalam pembelajaran kooperatif dan termasuk dalam kualifikasi

cukup baik,

(2) hasil belajar siswa setelah pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe

TAI berada pada kualifikasi cukup, dimana frekuensi yang dominan (31,3%)

siswa memperoleh nilai antara 65,0 – 79,9.

Saran/Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan

dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :

(1) untuk melaksanakan pembelajaran model kooperatif tipe TAI perlu

dipertimbangkan masalah waktu, karena pembelajaran kooperatif tipe ini relatif

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

93

PM – 8 : Penerapan Model Kooperatif Tipe TAI Karim, Sohrah

memakan waktu yang lebih banyak sehingga guru harus mampu memanejemen

waktu sebaik mungkin.

(2) pembelajaran model kooperatif tipe TAI dapat dijadikan sebagai salah satu

alternatif dalam upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan

memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan yang disebutkan di atas.

DAFTAR PUSTAKA Chairani, Z. 2003. Model Pembelajaran Kooperatif Sebagai Inovasi Pembelajaran.

Balai Penataran Guru, Banjarmasin. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian

berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Depdiknas, Jakarta. ________. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Proyek Pengembangan

Sistem Pengendalian Program SLTP, Depdiknas, Jakarta. Dinas Pendidikan Pemprov Kalsel. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Ujian Akhir

Sekolah dan Ujian Akhir Nasional bagi Sekolah/Madrasah Tahun Pelajaran 2003/2004 Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin.

Djamarah, S. B. & Zain, A. 2002. Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta. Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur, M., & Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.

University Press, Surabaya. Nur, M. & Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan

Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya.

Widdiharto, R. 2004. Model – Model Pembelajaran Matematika SMP.

http://zainurie.files.wordpress.com/2007/11/modelpembelajaran1.pdf

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

94

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru Matematika

Oleh:

Dr. Marsigit Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universias Negeri Yogyakarta

Penelitian merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut sebagai ilmu, dilakukan dengan prosedur tertentu yang bersifat sistematis dan didukung oleh suatu metodologi yang merupakan suatu pengkajian dari aturan-aturan dalam metodenya. Sebagai seorang guru atau calon guru matematika yang inovatif dituntut untuk selalu melakukan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran matematika yang sesuai dengan trend terkini. Pengetahuan kita tentang aspek pembelajaran matematika dikehendaki sebagi pengetahuan yang bersifat ilmiah yaitu suatu pemahaman tentang cara bekerjanya pikiran individu siswa dalam mempelajari matematika, bagaimana memperoleh pemahaman tentang aspek pembelajaran secara arkitektural serta bagaimana seorang guru memahami adanya analogi-analogi di antara pengetahuan siswa, pengetahuan guru dan pengetahuan praktisi tentang pembelajaran matematika. Usaha tersebut dapat dicapai jika dikembangkan suatu metode ilmiah yang memenuhi sifat koherensi dan sifat korespondensi. Penjelasan mengenai fenomena yang terjadi dalam proses belajar matematika sebagai suatu deskripsi kebenaran, memerlukan langkah-langkah empiris yang bersifat rasional untuk memperoleh teori tentang kebenaran dan idealitas praktek pembelajaran matematika. Pengetahuan demikian pada akhirnya baik secara ontologis maupun secara legal formal dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam bidang pendidikan matematika

Key Word: penelitian, pendidikan matematika, profesionalisme guru

I. Pendahuluan

Guru atau calon guru matematika sebagi seorang peneliti dapat dengan sengaja

mengadakan perubahan dalam pembelajaran matematika di sekolah dengan melakukan

berbagai eksperimen; sehingga mencullah metode ilmiah. Pendekatan penelitian

pendidikan matematika dapat dilakukan dengan barbagai cara antara lain penelitian

kuantitatif. Penelitian kuantitatif pembelajaran matematika mengandalkan metode

ilmiah untuk menemukan aturan-aturan, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tentang

kenyataan pembelajaran matematika di sekolah. Hukum-hukum ditemukan baik dengan

cara deduksi maupun induksi. Realitas pendidikan matematika dapat dipecah menjadi

bagian-bagian Hukum yang berlaku bagi keseluruhan yang menggambarkan pendidikan

matematika juga berlaku bagi bagian-bagiannya. Penelitian kuantitatif memandang

bahwa belajar matematika bersifat obyektif dan dapat diukur. Eksperimen dapat

dilakukan dengan memanipulasi variabel yang dapat diukur secara kuantitatif agar dapat

dicari hubungan antara berbagai variabel belajar mengajar matematika.

Namun mencari hukum universal dapat dilakukan pada semua kasus

pembelajaran matematika dengan suatu tingkat probabilitas tertentu. Pada penelitian

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

95

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

kuantitatif peneliti bersifat netral dan hanya meneliti gejala-gejala yang dapat diamati

dan diukur dengan instrumen yang valid dan reliabel. Netralitas memugkinkan

penelitian dapat direplikasi. Peneliti kemuadian dapat mengandalkan pendekatan

kuantitatif dalam pengambilan data maupun pengolahannya; sehingga lahirlah

penelitian dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan

metode logiko-hipotetiko-verivikatif dalam kerangka berpikirnya, dengan langkah-

langkah urut sebagai berikut : penentuan masalah-perumusan hipotesis tentang aspek

belajar mengajar matematika; pengumpulan data tentang praktik pembelajaran

matematika; analisis data; pengujian hipotesis; kesimpulan; penulisan laporan; dan

selesai.

Nasution, S (1992) menyadari bahwa pengalaman manusia begitu kompleks

sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu. Teori haruslah bersifat terbuka;

artinya siap untuk direvisi setiap saat. Tidak ada pendidikan yang netral, maka tidak ada

pula penelitian yang netral (Freire, 1973 dalam Nasution, S, 1992). Pengetahuan

dipandang sebagai sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, sejarah, dan nilai-nilai.

Penelitian hendaknya dilakukan dalam situasi yang wajar atau dalam konteks yang

natural dan data yang diambil perlu memperhatikan data kualitatif. Sehingga lahirlah

suatu penelitian menggunakan metode atau pendekatan kualitatif. Dengan demikian

pendekatan penelitian kualitatif pada pendidikan matematika pada hakekatnya adalah

pengamatan terhadap proses belajar matematika dalam lingkungan belajar matematika,

berinteraksi dengannya, berusaha memahami bahasa dan tafsirannya tentang belajar

matematika. Untuk itu peneliti perlu terjun kelapangan dan berada di sana untuk kurun

waktu tertentu untuk mengadakan observasi atau mencari data lainnya yang relevan

dengan permasalahan penelitian. Kebenaran yang dicari bukanlah kebenaran mutlak

melainkansuatu kebenaran yang bergantung kepada dunia realitas empirik dan

konsensus dalam pendidikan matematika. Pendekatan kualitatif mengakui adanya

kegiatan belajar matematika yang berada diluar dirinya yang sebagaian tidak dapat

mereka kenal; dan mengakui perbedaan pandangan bagi tentang pembelajaran

matematika yang baik atau yang kurang baik. Setiap peneliti dapat mengamati

pembelajaran matematika dengan pandangan masing-masing dengan kemungkinan

terdapatnya kesesuaian pengamatan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

96

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

II. Mengembangkan Penelitian Pendidikan Matematika

A. Penelitian Sebagai Kegiatan Hermenitik

Keadaan dan usaha mengungkap fenomena pembelajaran matematika dapat

digambarkan dengan lingkaran hermenitik dalam mana seorang guru atau seorang

peneliti berusaha mengungkap aspek pembelajaran matematika sebagai suatu gejala

atau fenomena baik berupa fakta-fakta yang dapat diamati secara langsung maupun

berupa potensi-potensi yang memerlukan perlakukan bagi pengembangannya.

Lingkaran hermenitik di dalam penelitian pendidikan matematika memberikan

kesadaran penuh kepada peneliti bahwa pembelajaran matematika beserta komponennya

tidak bersifat steril, melainkan bersifat terkait atau terhubung dengan berbagai aspek

dan konteks pembelajaran baik diwaktu yang telah lampau maupun di waktu sekarang

yaitu waktu bagi berlangsungnya pembelajaran. Kesadaran hermenitik mempersiapkan

guru sebagai peneliti untuk menggunakan temuan-temuan pada saat sekarang untuk

dapat digunakan untuk perbaikan atau saran bagi kegiatan pembelajaran di waktu

berikutnya.

Pada garis besarnya terdapat dua macam hermenitik dalam penelitian pendidikan

matematika. Jika peneliti mengarahkan perhatiannya kepada hal-hal spesifik dan

berusaha mengungkapkan fenomena atau gejala pembelajaran matematika sebagai dunia

real yang dapat ditentukan dengan teori-teori atau metode-metode tertentu; kemudian

peneliti mengembangkan metode penelitian maka hermenitiknya bersifat realistik.

Investigating on Teachilng Learning of Mathematics (Ross, 2004)

Pada penelitian dengan hermenitik realistik guru atau peneliti menfokuskan kepada

aspek-aspek tertentu dari pembelajaran matematika dengan keyakinan usahanya akan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

97

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

dapat mengungkap atau menjelaskan dunia yang sedang dihadapi yaitu dunia

pembelajaran matematika.

Keadaan dan usaha mengungkap fenomena pembelajaran matematika disertai

dengan kesadaran bahwa pembelajaran matematika sebagai suatu dunia menyimpan

banyak misteri. Manusia atau guru bersifat terbatas untuk mengetahuinya, namun guru

perlu berupaya agar memperoleh gambaran tentang dunia pembelajaran matematika

dengan serta merta melakukan dekonstruksi dunia yang dihadap yaitu dunia pendidikan

matematika. Hermenitik demikian bersifat dekonstruktif. Gambaran hermenitik

dekonstruktiftampak seperti diagram berikut:

Investigating on Teachilng Learning of

Mathematics (Ross, 2004)

B. Lingkup Penelitian Pendidikan Matematika

Ruang lingkup penelitian pendidikan matematika dapat berasal dari adanya

dorongan oleh peneliti untuk melakukan pembaharuan pendidikan matematika; di mana

disadari bahwa inovasi pendidikan matematika dapat bersumber kepada faktor-faktor

konseptual, nilai, pragmatis, empirik maupun politis. Dengan menempatkan komponen

pembelajaran matematika, dalam konteks penelitian pendidikan matematika, maka

Grouws, D.A (1992) menggambarkan berbagai variasi hubungan antar komponen pada

level sederhana maupun pada level kompleks. Lingkup dan macam penelitian

pendidikan matematika dapat terjadi pada diagram seperti tampak sebagai berikut:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

98

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

Content Pedagogy Cognitive Affective Student Learning Pupil Characteristic Teacher Knowledge Achievement Teacher Teacher Pupil Pupil Characteristic Behaviour Behaviour Outcomes Attitudes Teacher

Attitudes Teacher Matematics Believe about Self Teaching Matematics Diagram di atas menunjukkan bahwa lingkup penelitian tergantung dari si

peneliti sendiri yang menentukan. Dalam level sederhana maka guru dapat meneliti

hubungan antara kharakteristik siswa dengan pencapaian hasil belajar; atau hubungan

antara sikap guru dengan kreativitas siswa. Pada level yang lebih tinggi dapat diteliti

misalnya sumbangan pengetahuan guru terhadap keberhasilan belajar siswa. Sedangkan

pada level yang paling tinggi kegiatan penelitian ditentukan oleh banyaknya aspek dan

hubungan yang akan diselidiki.

C. Metode Penelitian

Ditinjau dari praktek pembelajaran matematika maka paling tidak terdapat dua

faktor utama yaitu praktek pembelajaran itu sendiri dan faktor nilai atau value. Jika

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

99

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

peneliti ingin memperbaiki pembelajaran matematika dalam bidang kontent atau materi

pembelajaran maka peneliti dapat melakukan pengamatan terhadap sibelajar ketika

mempelajari matematika. Jika peneliti ingin memperbaiki atau ingin memperoleh

metode pembelajaran matematika yang inovatif maka peneliti perlu memperhatika

konteks belajar matematika, metode yang digunakan guru serta pengelolaan

pembelajaran matematika. Adapun jika peneliti ingin memahami tentang mengapa

subyek didik belajar matematika dengan cara demikian, dan metode pembelajaran

dilakukan dengan demikian pula, dan apa makna yang terkandung di balik pembelajaran

matematika maka mungkin peneliti sedang berhadapan dengan masalah nilai atau value

dari seorang guru matematika dan siswanya, sekolah dan bahkan kurikulumnya.

Jika peneliti ingin mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor

pembelajaran matematika berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor

lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Penelitian ini cocok dilakukan bila variabel-

variabel yang diteliti rumit dan atau tak dapat diteliti dengan menggunakan

eksperimental atau tidak dapat dimanipulasi. Variabel yang rekaitan dengan aspek

pembelajaran matematika dan saling hubungannya secara serentak dapat diukur dalam

keadaan realistiknya. Peneliti dapat mengungkap taraf atau tinggi-rendahnya saling

hubungan dan bukan ada atau tidak adanya saling hubungan tersebut. Namun hal

demikian terdapat kelemahan yaitu bahwa kesimpulan tentang pola hubungan sering tak

menentu dan kabur. Jika peneliti hendak menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-

akibat dengan berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada dalam pembelajaran

matematika, kemudian mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab

melalui data tertentu, maka peneliti dapat menggunakan penelitian kausal-komparatif.

Misalnya penelitian untuk mencari pola tingkah laku dan prestasi belajar matematika

yang berkaitan dengan perbedaan umur pada waktu masuk sekolah, dengan cara

menggunakan data deskriptif tentang tingkah laku dan nilai prestasi belajar yang

terkumpul sampai anak-anak tersebut duduk di kelas VI SD. Penelitian kausal-

komparatif bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang

dipersoalkan berlangsung.

Penelitian pendidikan matematika kontemporer pada hakekatnya merupakan

penelitian pendidikan matematika dalam mana sipeneliti mempunyai kesadaran tentang

perlunya memahami hakekat matematika, hakekat matematika sekolah dan hakekat

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

100

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

pendidikan matematika, metodologi penelitian pendidikan matematika, teori

pembelajaran matematika, teori belajar matematika, profesionalisme guru matematika,

teknologi pembelajaran matematika, teori assessment pembelajaran matematika,

perspective internasional pembelajaran matematika, prediksi pembelajaran matematika,

filsafat dan ideologi pembelajaran matematika. Lebih dari itu, pemahaman demikian

kemudian menjadi landasan sekaligus tujuan yang akan dicapai di dalam penelitian

yang bersifat “grounded-theory” yaitu membangun teori pendidikan dengan teori

pendidikan matematika.

Ditinjau dari prosedurnya penelitian pendidikan matematika dapat laksanakan

dengan berbagai macam penekanan yang berbeda. Penelitian historis bertujuan untuk

merekonstruksi pendidikan pada masa lampau di suatu negara atau area tertentu yang

dilakukan secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi,

memverivikasi, dan mensntesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan

memperoleh kesimpulan. Penelitian historis sedikit banyak tergantung kepada data yang

diobservasi orang lain daripada yang diobservasi oleh peneliti sendiri. Penelitian historis

perlu dilakukan secara tertib, ketat, sistematis dan tuntas. Penelitian historis

mengandalkan kepada data primer dan data sekunder. Bobot penelitian diukur dengan

kritik eksternal dan kritik internal. Pendekatan penelitian bersifat kualitatif-kuantitatif.

Sedangkan langkah-langkah penelitian historis misal mendefinisikan masalah,

merumuskan tujuan, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis-

dan menarik kesimpulan.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mencandra secara sistematis pembelajaran

matematika. Penelitian deskriptif bersifat faktual, akurat tentang fakta-fakta dan sifat-

sifat populasi dan sampelnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan situasi-

situasi dan kejadian-kejadian berkaitan dengan praktik pembelajaran matematika.

Penelitian deskriptif merupakan akumulasi data dasar dalam cara deskriptif .

Pendekatan yang digunakan bersifat kualitatif-kuantitafif. Jika peneliti ingin mengetahui

tentang pendapat, sikap, keinginan, dan persepsi dari sejumlah responden maka peneliti

dapat menggunakan penelitian jenis survey. Untuk itu biasanya survey menggunakan

angket dan/atau wawancara. Survey dapat digunakan untuk meneliti permasalahan lebih

lanjut misalnya tentang efektivitas sekolah dalam menyelenggarakan pembelajaran

matematika. Pendekatan penelitian survey dapat bersifat kuantitatif. Adapun langkah-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

101

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

langkahnya dapat berupa perumusan masalah-perumusan tujuan, perumusan hipotesis,

pengumulan data, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.

Jika peneliti ingin menyelidiki pola dan perurutan pertumbuhan dan /atau

perubahan fungsi waktu yang terjadi pada diri siswa maka peneliti dapat menggunakan

penelitian perkembangan. Dasar dari penelitan ini adalah psikologi perkembangan.

Namun bentuk dari penelitian perkembangan dapat berupa penelitian longitudinal,

penelitian cross-sectional, dan penelitian kecenderungan. Penelitian perkembangan

memusatkan perhatian kepada studi mengenai variabel-variabel pembelajaran

matematika dan perkembangannya selama kurun waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan

untuk menjawab pertanyaa tentang pola pertumbuhan pemahaman atau konsep

matematika seorang atau beberapa orang siswa, laju, arah, dan perurutannya, dan

bagaimana berbagai faktor berhubungan satu dengan yang lain dan mempengaruhi sifat-

sifat perkembangan itu. Masalah sampling bersifat kompleks kerena terbatasnya subyek

yang dapat diteliti. Metode longitudinal tidak memungkinkan perbaikkan dalam hal-hal

teknis tanpa kehilangan kontinuitas. Studi longitudinal menuntut kontinuaitas proses

penelitian dengan segala aspeknya. Penelitian perkembangan dapat dilakukan dengan

pendekatan kualitatif maupun pendekatan kuantitatif. Adapun langkah-langkah dapat

dilakukan dengan mendefinisikan masalah dan tujuan, menentukan garis dasar

informasi yang ada, membandingkan metode-metode, alat, dan teknik pengumpulan

data, merancang pendekatan, mengumpulkan data, mengevaluasi data, dan menyusun

laporan.

Jika peneliti ingin mempelajari mempelajari secara intensif tentang latar

belakang proses pembelajaran matematika, variasi interaksi yang mungkin berkembang,

serta faktor-faktor pendukung yang dapat dikembangkan, maka peneliti dapat

menggunakan penelitian studi kasus dan penelitian lapangan. Studi kasus merupakan

penelitian mendalam mengenai proses belajar mengajar matematika di suatu sekolah

tertentu di mana hasil penelitian merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisasi

dengan baik mengenai proses belajar mengajar matematika tersebut. Namun berbagai

variasi penelitian studi kasus dapat dilakukan dengan cara melakukan perbedaan fokus,

misalnya bergantung kepada tujuannya, ruang lingkup, serta siklus keseluruhan proses

pembelajaran matematika atau hanya segmen-segmen tertentu saja. Yang diselidiki

dapat berupa faktor-faktor tententu atau keseluruhan faktor beserta kejadian-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

102

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

kejadianpada proses pembelajaran matematika. Pendekatan studi kasus dapat dilakukan

secara kualitatif atau kuantitatif. Adapun langkah-langkahnya dapat berupa:

merumuskan tujuan, menentukan pendekatan, mengumpulkan data, rekonstruksi studi,

dan membuat laporan.

Pada perkembangan selanjutnya dirasakan bahwa di dalam khasanah pendidikan

matematika, perlu dikembangkan suatu penelitian yang dapat mengembangkan

ketrampilan-ketrampilan baru dalam bidang pembelajaran matematika atau cara

pendekatan baru bagi guru dalam mengelola kelas dan untuk memecahkan masalah

berkaitan dengan proses pembelajaran matematika dan bagaimana penerapan langsung

di lapangan. Penelitian demikian tentunya lebih bersifat praktis dan relevan untuk

situasi aktual, bersifat fleksibel dan adaptif yaitu membolehkan perubahan-perubahan

atau action selama masa penelitian. Baik penelitian tindakan kelas maupun penelitian

lain yang termasuk di dalam Lesson Study, memerlukan rangka-kerja yang teratur untuk

pemecahan masalah pembelajaran matematika dan perkembangan baru dan

menggunakan pendekatan berdasar prinsip-prinsip hermenitik. Dasar filosofis dari

penelitian demikian adalah untuk menggapai masa depan, maka sekarang kita perlu

merefleksikan apa yang telah kita perbuat di masa lampau. Dengan demikian penelitian

dilakukan secara empiris yaitu mendasarkan diri kepada observasi aktual dan data

mengenai tingkah laku guru dan sibelajar matematika.

III. Hakekat Matematika Sekolah dan Implikasinya bagi Penelitian Pendidikan Matematika

Pandangan tentang hakekat dan karakteristik matematika sekolah akan

memberikan karakteristik mata pelajaran matematika secara keseluruhan. Ditengarai

bahwa banyaknya siswa yang belum menyukai pelajaran matematika salh satu sebabnya

adalah jenis matematika yang diajarkan. Karakteristik matematika ada bermacam-

macam tergantung dari jenis matematika apakah matematika murni, matematika terapan

atau matematika sekolah. Matematika murni sering didefinisikan sebagai ilmu

pengetahuan yang disusun secara deduksi yang terdiri dari definisi, aksioma dan

teorema dalam mana di dalamnya tidak boleh ada saling kontradiksi. Sedangkan

matematika terapan adalah bagaimana menerapkan matematika di dalam kehidupan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

103

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

sehari-hari secara seluas-luasnya. Kiranya dapat dimaklumi bersama bahwa pandangan

tentang matematika murni yang bersifat aksiomatis beserta matematika terapan belum

cukup operasional jika digunakan oleh guru untuk berinteraksi dengan siswa. Oleh

karena itu Ebbutt dan Straker (1995: 10-63) mendefinisikan matematika sekolah yang

selanjutnya disebut sebagai matematika, sebagai berikut.

Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan, yang berimplikasi

dari pandangan ini terhadap penelitian pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1)

memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan

penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan, (2) memberi kesempatan kepada

siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara, (3) mendorong siswa untuk

menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb, (4)

mendorong siswa menarik kesimpulan umum, (5) membantu siswa memahami dan

menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang lainnya. Matematika sebagai

kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan, yang berimplikasi dari

pandangan ini terhadap penelitian dan pembelajaran matematika adalah guru perlu : (1)

mendorong inisiatif siswa dan memberikan kesempatan berpikir berbeda, (2)

mendorong rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan

kemampuan memperkirakan, (3) menghargai penemuan yang diluar perkiraan sebagai

hal bermanfaat daripada menganggapnya sebagai kesalahan, (4) mendorong siswa

menemukan struktur dan desain matematika, (5) mendorong siswa menghargai

penemuan siswa yang lainnya, (6) mendorong siswa berfikir refleksif, dan (7) tidak

menyarankan hanya menggunakan satu metode saja.

Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), yang

berimplikasi terhadap penelitian dan pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1)

menyediakan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan

matematika, (2) membantu siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan

caranya sendiri, (3) membantu siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk

memecahkan persoalan matematika, (4) mendorong siswa untuk berpikir logis,

konsisten, sistematis dan mengembangkan sistem dokumentasi/catatan, (5)

mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan persoalan, (6)

membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan menggunakan berbagai alat

peraga/media pendidikan matematika seperti : jangka, penggaris, kalkulator, dsb.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

104

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

Matematika sebagai alat berkomunikasi, yang berimplikasi terhadap penelitian dan

pembelajaran matematika adalah guru perlu: (1) mendorong siswa mengenal sifat-sifat

matematika, (2) mendorong siswa membuat contoh sifat matematika, (3) mendorong

siswa menjelaskan sifat matematika, (4) mendorong siswa memberikan alasan perlunya

kegiatan matematika, (5) mendorong siswa membicarakan persoalan matematika, (6)

mendorong siswa membaca dan menulis matematika, (7) menghargai bahasa ibu siswa

dalam membicarakan matematika.

IV. Penalaran Matematika di Sekolah dan Implikasinya bagi Penelitian

Menurut Ebbutt dan Straker (1995) untuk semua jenjang pendidikan baik SD,

SMP maupun SMA, kajian materi pembelajaran matematika meliputi : Fakta (facts),

meliputi: informasi, nama, istilah dan konvensi tentang lambang-lambang; Pengertian

(concepts), meliputi: struktur pengertian, peranan struktur pengertian, berbagai macam

pola, urutan, model matematika, operasi dan algoritma; Keterampilan penalaran,

meliputi: memahami pengertian , berfikir logis, memahami contoh negatif, berpikir

deduksi, berpikir induksi, berpikir sistematis dan konsisten, menarik kesimpulan,

menentukan metode dan membuat alasan, dan menentukan strategi; Keterampian

algoritmik, meliputi: keterampilan untuk memahami dan mengikuti langkah yang dibuat

orang lain, merancang dan membuat langkah, menggunakan langkah, mendefinisikan

dan menjelaskan langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan dan

memilih langkah yang efektif dan efisien, serta memperbaiki langkah; Keterampilan

menyelesaikan masalah matematika (problem solving) meliputi: memahami pokok

persoalan, mendiskusikan alternatif pemecahannya, memecah persoalan utama menjadi

bagian-bagian kecil, menyederhanakan persoalan, menggunakan pengalaman masa

lampau dan menggunakan intuisi untuk menemukan alternatif pemecahannya, mencoba

berbagai cara, bekerja secara sistematis, mencatat apa yang terjadi, mengecek hasilnya

dengan mengulang kembali langkah-langkahnya, dan mencoba memahami dan

menyelesaikan persoalan yang lain; serta Keterampilan melakukan penyelidikan

(investigation), meliputi: mengajukan pertanyaan dan mencari bagaimana cara

memperoleh jawabannya, membuat dan menguji hipotesis, mencari dan menentukan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

105

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

informasi yang cocok dan memberi penjelasan mengapa suatu informasi diperlukan,

mengumpulkan, mengelompokkan, menyusun, mengurutkan dan membandingkan serta

mengolah informasi secara sistematis, mencoba metode alternatif, mengenali pola dan

hubungan, dan menyimpulkan matematika.

Sementara itu Shigeo Katagiri (2004) menguraikan bahwa penalaran matematika

di sekolah dapat meliputi tiga aspek utama yaitu penalaran yang berkaitan dengan sikap

(attitude), penalaran yang berkaitan dengan metode (method), dan penalaran yang

berkaitan dengan isi matematika (content). Daftar berikut adalah macam penalaran

matematika yang diuraikan oleh Shigeo Katagiri:

I. Mathematical Thingking related to Attitudes 1. Attempting to grasp one’s own problems or objectives or substance clearly, by oneself

(1) Attempting to have questions (2) Attempting to maintain a problem consciousness (3) Attempting to discover mathematical problems in phenomena

2. Attempting to take logical actions (1) Attempting to take actions that match the objectives (2) Attempting to establish a perspective (3) Attempting to think based on the data that can be used, previously learned

items, and assumptions 3. Attempting to express matters clearly and succinctly

(1) Attempting to record and communicate problems and results clearly and succinctly (2) Attempting to sort and organize objects when expressing them

4. Attempting to seek better things (1) Attempting to raise thinking from the concrete level to the abstract level (2) Attempting to evaluate thinking both objectively and subjectively, and to

refine thinking (3) Attempting to economize thought and effort

II. Mathematical Thinking Related to Mathematical Methods 1. Inductive thinking 2. Analogical thinking 3. Deductive thinking 4. Integrative thinking (including expansive thinking) 5. Developmental thinking 6. Abstract thinking (thinking that abstracts, concretizes, idealizes, and thinking

that clarifies conditions) 7. Thinking that simplifies 8. Thinking that generalizes 8. Thinking that specializes 9. Thinking that symbolize 10. Thinking that express with numbers, quantifies, and figures

III. Mathematical Thinking Related to Mathematical Contents 1. Clarifying sets of objects for consideration and objects excluded from sets,

and clarifying conditions for inclusion (Idea of sets) 2. Focusing on constituent elements (units) and their sizes and relationships

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

106

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

(Idea of units) 3. Attempting to think based on the fundamental principles of expressions (Idea

of expression) 4. Clarifying and extending the meaning of things and operations, and

attempting to think based on this (Idea of operation) 5. Attempting to formalize operation methods (Idea of algorithm) 6. Attempting to grasp the big picture of objects and operations, and using the

result of this understanding (Idea of approximation) 7. Focusing on basic rules and properties (Idea of fundamental properties) 8. Attempting to focus on what is determined by one’s decisions, finding rules of

relationships between variables, and to use the same (Functional Thinking) 9. Attempting to express propositions and relationships as formulas, and to read

their meaning (Idea of formulas)

V. Hakekat Siswa Belajar Matematika dan Implikasinya bagi Penelitian dan Pembelajaran Ebbutt dan Straker (1995: 60-75), memberikan pandangannya bahwa agar

potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari matematika secara optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik dan impikasi terhadap pembelajaran matematika diberikan sebagai berikut: Murid akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi, dengan implikasi bagi penelitian dan pembelajaran bahwa guru perlu : menyediakan kegiatan yang menyenangkan, memperhatikan keinginan siswa, membangun pengertian melalui apa yang diketahui oleh siswa, menciptakan suasana kelas yang mendukung kegiatan belajar, memberikan kegiatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, memberikan kegiatan yang menantang, memberikan kegiatan yang memberikan harapan keberhasilan, menghargai setiap pencapaian siswa. Murid mempelajari matematika dengan caranya sendiri, yang mengandung makna bahwa: siswa belajar dengan cara yang unik dan kemungkinan berbeda dengan teman yang lain, tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri yang terhubung dengan pengalamannya di waktu lampau, tiap siswa mempunyai latar belakang sosial-ekonomi-budaya yang berbeda. dengan implikasi bagi penelitian dan pembelajaran Oleh karena itu, implikasi terhadap pembelajaran matematika adalah bahwa guru perlu:mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya, merencanakan kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, membangun pengetahuan dan ketrampilan siswa baik yang dia peroleh di sekolah maupun di rumah, dan menggunakan catatan kemajuan siswa (assessment)

Murid mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan temannya, yang berimplikasi bahwa guru perlu: memberikan kesempatan belajar dalam kelompok untuk melatih kerjasama, memberikan kesempatan belajar

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

107

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri, melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan dilakukannya, dan mengajarkan bagaimana cara mempelajari matematika. Murid memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika, yang berimplikasi bahwa guru perlu: menyediakan dan menggunakan berbagai alat peraga, memberi kesempatan belajar matematika di berbagai tempat dan keadaan, memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk berbagai keperluan, mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah, menghargai sumbangan tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika, dan membantu siswa menilai sendiri kegiatan matematikanya.

Interaksi sosial diantara para siswa dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep, sehingga siswa akan memperoleh perbaikan konsep. Dengan demikian diharapkan pengetahuan subyektif matematikanya telah sama dengan pengetahuan obyektifnya. Hubungan antara pengetahuan objektif dan pengetahuan subyektif dari matematika, serta langkah-langkah enkulturisasi dapat ditunjukkan melalui diagram yang diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut:

Public Criticism and

Reformulation

Objective Knowledge of Mathematics

Subjective Knowledge Of Mathematics

Personal

Reformulation

Representation New Knowledge

Publication New Knowledge

SOCIAL NEGOTIATION PROCESSES

Learning Re‐construction (Ernest, P, 1995) 

CREATION

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

108

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

Diagram di atas menunjukkan hubungan antara “objective knowledge of algebra”

dan “subjective knowledge of mathematics” . Melalui “social negotiation processes”

maka rekonstruksi pembelajaran matematika dalam enkulturisasinya, menunjukkan

proses yang sangat jelas bahwa pengetahuan baru tentang matematika “new knowledge”

dapat berada pada lingkup sosial atau berada pada lingkup individu. Pengetahuan baru

aljabar pada lingkup sosial, dengan demikian bersifat obyektif dan pengetahuan baru

pada lingkup individu akan bersifat subyektif. Dengan demikian, interaksi sosial dalam

pembelajaran aljabar menjadi sangat penting untuk mendekatkan pengetahuan subyektif

matematika menuju pengetahuan obyektifnya. Hal demikian akan dengan mudah

dipahami dan diimplementasikan jikalau dosen yang bersangkutan juga memahami

asumsi-asumsi yang disebut terdahulu.

VI. Model Pembelajaran Matematika, Penelitian Tindakan Kelas dan

Profesi Guru

Berdasarkan atas penekanan terhadap aspek-aspek tertentu maka dengan

mengadaptasi dari Joyce dan Weill (1986), dapat dikembangkan beberapa model

pembelajaran sebagai konteks dilakukannya kegiatan penelitian pendidikan matematika,

misalnya: Model Pencapaian Konsep; Model Latihan Penelitian; Model Sinektik; Model

Pertemuan Kelas; Model Investigasi Kelompok; Model Penelitian Jurisprudensi; Model

Latihan Laboratorium; Model Penelitian Sosial; Model Kontrol Diri; dan Model

Simulasi. Dalam berbagai model yang dikembangkan maka sesungguhnya seorang guru

akan selalu berada diantara dua kutub paradigma pembelajaran matematika yaitu antara

pendekatan teacher-centered dan student-centered. Secara umum telah dimaklumi

bahwa pendidikan matematika ke depan akan lebih bersifat student-centered dimana

siswa merupakan pusat pembelajaran, siwa lebih bersifat aktif, berinisiatif dan ikut

bertangungjawab terhadap proses pembelajaran. Siswa diharapkan juga lebih bersifat

otonom. Dengan demikian peran guru berlaku sebagai fasilitator dan dinamisator

pembelajaran matematika.

Jika di dalam pembelajarannya guru lebih menekankan kepada penguasaan

konsep matematika, sifat matematika, struktur matematika dengan metode diskusi dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

109

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

melibatkan siswa maka ditengarai guru tersebut sedang menerapkan model

pembelajaran pencapaian konsep. Model demikian biasanya berstruktur moderat, guru

berusaha mendorong inisiatif siswa dan keterlibatan siswa. Guru melakukan apersepsi

dengan inti pokok membangkitkan motivasi dan memberi kesiapan psikologis agar

siswa siap dan senang belajar matematika. Model pembelajaran yang lainnya juga dapat

dikembangkan misalnya model kegiatan penelitian. Model ini memberi kesempatan

kepada siswa untuk melakukan penelitian menyelidiki sifat-sifat matematika dengan

dibantu LKS (Lembar kerja Siswa). Terdapat prosedur penelitian dimana guru

mengembangkan skema pembelajaran untuk pencapaian hasil penelitian. Para siswa

mempunyai kesempatan bekerja bersama atau berkolaborasi dan diskusi secara

terbukadan bersama-sama memecahkan masalah matematika. Tahap selanjutnya siswa

secara mandiri atau bersama-sama mengumpulkan data, melakukan percobaan,

menyusun data menganalisis dan menjelaskan kepada teman lain atau kepada guru.

Model-model yang lain dapat dikembangkan guru misalnya model pembelajaran

laboratorium, metode diskusi, metode pemberian tugas, dsb.

Penelitian tindakan kelas (PTK) di satu sisi dapat digunakan oleh guru untuk

mengembangkan dan menyempurnakan model-model pembelajaran dengan cara

memperoleh masukan langsung dari persoalan yang muncul dalam kelas pembelajaran

matematika. PTK lebih bermanfaat untuk meningkatkan profesi guru dan waktu

pelaksanaannya relatif cepat dibanding dengan penelitian konvensional; dan

memanfaatkan teknologi informasi untuk mengenbangkan diri. Penelitian kelas

bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penelitian kelas dapat dilakukan

menggunakan studi kasus atau lebih memfokuskan dan merefleksikan siatuasi

pembelajaran oleh guru yang sudah berpengalaman. Dalam penelitian ini, guru sebagai

seorang peneliti, terlibat dalam aktivitas kelas dalam refleksi gaya mengajarnya.

Namun, secara rinci terdapat beberapa penekanan yang berbeda dalam tujuan

peneltitian kelas yang berbeda. Seorang guru peneliti dapat melakukan penelitian kelas

untuk menganalisis dan meningkatkan aspek gaya mengajarnya. Guru lain dapat

melakukannya untuk mempelajari ketrampilan mengajar tertentu untuk siswa dengan

kemampuan tertentu. Guru yang lainnya lagi dapat menyelidiki aspek penggunaan

model-model pembelajaran. Terdapat pandangan bahwa guru yang bersifat terbuka

cenderung lebih mudah menerima pembaharuan; guru yang bersifat terbuka lebih

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

110

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

mudah menerima saran/kritik; guru yang bersifat terbuka lebih mudah melakukan

penelitian; guru yang bersifat terbuka lebih mampu merefleksikan gaya mengajarnya;

guru yang bersifat terbuka lebih toleran terhadap siswa dan koleganya; kegiatan

penelitian melatih guru bersifat terbuka. Dengan demikian apa yang diharapkan oleh

Kemmis dan McTaggart dalam Hopkins, (1993) akan bisa terwujud yaitu bagaimana

guru melaksanakan PTK seperti skema berikut:

Perencanaan Tindakan Revisi Perencanaan Tindakan Refleksi Observasi Refleksi Observasi

Di dalam penelitian tindakan kelas guru dapat melakukan identifikasi masalah;

klarifikasi masalah; identifikasi konteks; penjelasan fakta; menetapkan langkah-

langkah; dan mengembangkan langkah-langkah. Penelitian kelas tidak harus dimulai

dengan merumuskan masalah. Yang diperlukan adalah sikap guru peneliti yang merasa

perlu mengadakan perbaikkan. Pengembangan fokus dapat dilakukan dengan menjawab

pertanyaan-pertanyaan : Apa yang terjadi sekarang di dalam pembelajaran

matematika? Pada aspek mana pada pembelajaran matematika saya merasa terdapat

masalah ? Apa yang dapat saya lakukan terhadapnya permasalahan tersebut ? Secara

lebih khusus, di dalam kegiatan penelitia pendidikan atau secara khusus penelitian kelas

dapat dimulai dari pernyataan-pernyataan berikut : saya ingin memperbaiki tentang ....;

beberapa rekan guru menyoroti tentang ...; apa yang dapat saya lakukan untuk merubah

situasi ?; saya merasa terganngu oleh ...; saya mempunyai gagasan untuk mencobanya

di kelas; bagaimana ketrampilan ini ... diterapkan di.... kepada ...?; dst. Adapun terhadap

subyek belajar matematika, fokus dapat diarahkan dengan menjawab pertanyaan-

pertanyaan : apa yang telah dan sedang dikerjakan siswa ? apa yang telah mereka

palajari ? seberapa manfaatkah yang telah mereka pelajari ? apa yang telah saya lakukan

untuk mereka ? apa yang telah saya pelajari dan saya persiapkan untuk mereka ? apa

yang akan saya lakukan sekarang ?

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

111

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

Profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan

keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan inteltualitas (Volmer & Mills,

1966, Cully, 1969) di Depdiknas. Profesi sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual

yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan menciptakan ketrampilan,

pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga ketrampilan dan pekerjaan itu diminati,

disenangi oleh orang lain, dan dia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat

imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji (Sagala, 2000). Di dalam kelas guru berperan

sebagai komunikator dan guru sebagai fasilitator memiliki peran memfasilitasi siswa

untuk belajar secara maksimal dengan menggunakan berbagai strategi/metode, media,

dan sumber belajar. Dalam proses pembelajaran siswa sebagai titik sentral belajar, siswa

yang lebih aktif, mencari dan memecahkan permasalahan belajar, dan guru membantu

kesulitam siswa yang mendapat hambatan, kesulitan dalam memahami, dan memcahkan

permasalahan. Kompetensi profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik

guru meliputi menguasai karakteristik peserta didik dan aspek fisik, moral, spiritual,

sosial, kultural, emosional, dan intelektual; menguasai teori belajar dan priinsip-prinsip

pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata

pelajaran yang diampu; menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik;

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran;

memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai

potensi yang dimiliki; berkomunikasi secara efektif, emperik, dan santun dengan peserta

didik; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi, proses dan hasil belajar;

memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; dan

melakukan tindakan reflektif untuk kepentingan kualitas pebelajaran.

Adapun kompetensi kepribadian guru meliputi: bertindak sesuai dengan norma

agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; menampilkan diri sebagai

pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat;

menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa;

menunjukkan etos keja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan

rasa percaya diri; dan menjunjung tingi profesi guru. Sedangkan kompetensi sosial

meliputi aspek: bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskrimintif, karena

pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondoisi fisdik, latar belakang keluarga, dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

112

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

status ekonomi; bekomunikasi secara efektif empati, dan satun dengan sesama

penddidik, tebnaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; beradaptasi ditempat tugas

di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; berkomunikasi

dengan komuniats profesi sendiri, dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk

lain. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: menguasai materi, struktur, konsep,

dan pola pikir keilmuan, yang mendukung mata pelajaran yang diampu; menguasai

standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu;

mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; mengembangkan

keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, termasuk di

dalamnya melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk peningkatan

keprofesionalan (termasuk guru mata pelajaran).

Secara legal formal profesi guru dewasa ini dikembangkan dengan pemberian

Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan (Permendiknas No 18 Tahun 2007) dengan

ketentuan-ketentuan: sertifikasi guru dalam jabatan adalah proses pemberisn sertifikat

pendidik dalam jabatan; sertifikasi dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah

memliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau D-IV; sertifikasi bagi guru dalam

jabatan diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program

pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri

Pendidikan Nasional; sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji

kompetensi untuk memperoleh serrtifikat pendidik; uji kompetensi dilakukan dalam

bentuk penilaian portofolio; penilaian portofolio merupakan pengakuan atas

pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian, terhadap kumpulan dokumen

yang dideskripsikan yang meliputi: kualifikasi akademik; pendidikan dan pelatihan;

pengalaman mengajar; perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; penilaian dari

atasan dan pengawas; prestasi akademik; karya pengembangan profesi; keikutsertaan

dalam forum ilmiah; pengalaman organisasi dibidang kependidikan dan sosial; dan

penghargaan yang relevandenganh bidang pendidikan.Berdasarkan hal-hal tersebut di

atas maka pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan kompetensi

guru berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik, kepribadian, sosial, dan

profesional). Cara pengembangan profesi dapat dilakukan melalui (antara lain): forum

MGMP; semnar/workshop; penerbitan majalah ilmiah; lesson study; pelatihan; studi

lanjut. Keempat kompetensi tersebut (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

113

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

perlu dilakukan secara terus-menerus atau berkelanjutan agar profesionelisme guru terus

meningkat.

VII. Kesimpulan dan Saran

Jika kita para guru menghendaki pembaharuan pendidikan matematika maka

penelitian pendidikan matematika akan menjadi suatu kebutuhan. Selain dari aspek

legal formal maka kegiatan penelitian pendidikan matematika baik oleh guru, dosen

maupun oleh calon guru akan memberi banyak manfaat. Dengan penelitian pendidikan

matematika kita dapat mengetahui adanya perbedaan individu atau kelompok di dalam

mempelajarai matematika, kita dapat menentukan kedudukan siswa dalam kelompok,

dapat membandingkan hasil belajar antar kelompok. Kita juga dapat melakukan

pemeriksaan kesesuaian antara tujuan dan hasil hasil belajar; apakah standar kompetensi

atau kompetensi dasar telah dicapai? Hasil-hasil penelitian dapat digunakan untuk

penyempurnaan program, bimbingan, pemberian informasi kepada masyarakat.

Disamping itu kita juga dapat melakukan perbandingan antara performance dan kriteria

untuk setiap dimensi program serta penyempurnaan program dan penyimpulan hasil

pendidikan matematika secara keseluruhan. Selanjutnya kita dapat melakukan studi

tentang pelaksanaan program, pengaruh lingkungan belajar, pengaruh program,

kurikulum atau silabus terhadap hasil belajar; dan pada akhirnya digunakan untuk

penyempurnaan program pendidikan matematika secara keseluruhan.

Dari paparan di muka tidak berlebihan kiranya kepada para guru diberikan suatu

masukkan sebagai saran agar kegiatan penelitian pendidikan selalu melekat dengan

kegiatan pembelajaran matematika. Secara lebih spesifik, sebelum pembelajaran

matematika diselenggarakan maka seyogyanya guru melakukan hal-hal sebagai berikut

sebagai langkah persiapan:

Merencanakan lingkungan belajar matematika

− menentukan sumber ajar yang diperlukan

− merencanakan kegiatan yang bersifat fleksibel

− merencakan lingkungan fisik pembelajaran matematika.

− melibatkan siswa dalam menciptakan lingkungan belajar matematika.

Mengembangkan lingkungan sosial siswa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

114

PM – 9 : Kegiatan Penelitian Sebagi Usaha.... Marsigit

− merencanakan kegiatan untuk bekerja sama.

− mendorong siswa saling menghargai.

− menelusuri perasaan siswa tentang matematika

− mengembangkan model-model matematika.

Merencanakan kegiatan matematika

− merencanakan kegiatan matematika yang seimbang dalam hal : materi,

waktu, kesulitan, aktivitas, dsb.

− merencanakan kegiatan matematika yang terbuka (open-ended)

− merencanakan kegiatan sesuai kemampuan siswa.

− mengembangkan topik matematika.

− membangun mental matematika.

− kapan dan bilamana membantu siswa ?

− menggunakan berbagai sumbar ajar (buku yang bervariasi).

Daftar Pustaka: Elliot, J., 1991, Action Research for Educational Change, Philadelpia : Open University Press. Grouws, D.A, 1992, Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning, New York : Macmillan Publishing Company. Marsigit, 1996, Investigating Good Practice in Primary Mathematics Education: Case-

Studie and Survey of Indonesian Styles of Primary Mathematics Teaching, London : University of London.

Nasution, S, 1992, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. Suryabrata, S, 1988, Metodologi Penelitian, Jakarta : CV. Rajawali Weil, M dan Joice B, 1978, Social Models of Teaching, New jersey : Prentice Hall

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

115

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Analisis Pembelajaran Mata Kuliah Semester I Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin

Oleh:

Muhamad Sabirin Email: [email protected]

Abstrak

Pengontrolan kualitas terhadap proses pembelajaran dalam sebuah lembaga pendidikan perlu dilakukan. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah kualitasnya masih sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga apabila masih terdapat kekurangan dapat dilakukan perbaikan. Dalam tulisan ini diberikan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol proses pembelajaran. Kata Kunci: Pengontrolan kualitas, proses pembelajaran.

A. PENDAHULUAN

Pengontrolan kualitas adalah sebuah hal yang sangat penting dilakukan, jika kita

tidak ingin kalah bersaing dengan orang lain dalam menghasilkan produk yang sejenis

dengan yang kita hasilkan. Kualitas produk ini tidak lain adalah kualitas proses yang

dilakukan dalam rangka menghasilkan produk tersebut. Proses yang dilakukan harus

senantiasa dikontrol, agar kualitas produk tidak berubah dari standar yang telah

ditetapkan.

Dalam dunia akademik juga sangat perlu dilakukan pengontrolan kualitas, agar

output yang dihasilkan benar-benar sesuai standar yang diinginkan dan mampu bersaing

dalam dunia global. Faktor yang paling dominan dan esensial salah satunya adalah

pengontrolan terhadap proses pembelajaran atau perkuliahan.

Beberapa hal yang menjadikan pengontrolan terhadap proses pembelajaran ini

penting adalah:

- untuk mengetahui apakah proses perkuliahan telah berjalan sesuai dengan standar

yang dirancang sebelumnya (kurikulum).

- untuk mengetahui apakah bahan-bahan yang diberikan selama perkuliahan telah

terserap baik sesuai dengan tujuan dan sasarannya.

- Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antar mata kuliah, sehingga dapat

dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan berbagai kebijakan yang relevan.

- Sebagai bahan acuan bagi pengembangan kurikulum.

Dari uraian di atas dapat kita lihat bagaimana pentingnya pengontrolan terhadap

sebuah proses pembelajaran, agar hasilnya sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Dalam makalah ini disajikan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk melakukan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

116

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

kontrol terhadap proses pembelajaran/perkuliahan. Data yang digunakan di sini adalah

data nilai mahasiswa jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari

Banjarmasin pada semester I tahun 2006.

Data nilai mahasiswa semester I tahun 2006 terdiri dari 8 mata kuliah yang

diberikan secara paket oleh pihak jurusan. Mata kuliah tersebut adalah:

1. Kalkulus A (Kalk A), dinotasikan dengan X1.

2. Pengantar Dasar Matematika (PDM), dinotasikan dengan X2.

3. Teori Bilangan (TBil), dinotasikan dengan X3.

4. Pancasila (Panc), dinotasikan dengan X4.

5. Ulumul Qur’an (Ul-Qur), dinotasikan dengan X5.

6. Ulumul Hadits, dinotasikan dengan X6.

7. Bahasa Arab A (B-Arb A), dinotasikan dengan X7.

8. Bahasa Arab B (B-Arb B), dinotasikan dengan X8.

Jumlah mahasiswa angkatan 2006 seluruhnya sebanyak 34 mahasiswa., tetapi

yang memenuhi syarat (nilai yang lengkap untuk seluruh mata kuliah) hanya sebanyak

26 mahasiswa.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana hubungan dan keterkaitan sebuah mata kuliah dengan mata kuliah yang

lainnya yang diambil pada waktu bersamaan oleh mahasiswa. Secara khusus 8 mata

kuliah tersebut akan dibagi dalam 2 kelompok, yakni kelompok matematika (Kalkulus

A, Teori Bilangan, PDM) dan kelompok non matematika (Pancasila, Ulumul Qur’an,

Ulumul Hadits, Bahasa Arab A, dan Bahasa Arab B).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan dan

keterkaitan sebuah mata kuliah dengan mata kuliah yang lainnya sehingga dapat

dijadikan sebagai masukan untuk mengontrol proses pembelajaran di perguruan tinggi.

Secara lebih khusus ingin diketahui:

1. Mata kuliah apa yang paling predictable jika ditinjau dari seluruh mata kuliah yang

ada.

2. Mata kuliah apa dalam kelompok matematika yang paling predictable.

3. Mata kuliah apa dalam kelompok non matematika yang paling predictable.

4. Bagaimana persamaan regresi dari mata kuliah tersebut yang layak untuk digunakan

sebagai prediksi.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

117

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

B. METODE ANALISIS DATA Data diperoleh dari arsip akademik Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari

Banjarmasin, melalui kiriman seorang staf jurusan via paket TIKI berupa data mentah (di Fakultas belum ada database). Dengan menggunakan Microsoft Excel selanjutnya data diolah dengan tahapan sebagai berikut.

- Menghitung mean dan variansi dari setiap mata kuliah. - Menghitung matriks varians bersama (S) - Menghitung Determinan dari matriks (S), yakni Det(S) - Menghitung Invers matriks (S), yakni Inv(S) - Menghitung Determinan dari invers matriks (S), yakni Det [Inv(S)] - Menghitung matriks Korelasi bersama (R) - Menghitung Determinan Matriks (R), yakni Det(R). - Menghitung Invers matriks (R), yakni Inv(R) - Menghitung Determinan dari invers matriks (R), yakni Det [Inv(R)]

Langkah selanjutnya adalah melihat hubungan antar setiap mata kuliah dengan mata kuliah lainnya secara keseluruhan. Kemudian juga akan dilihat bagaimana hubungan mata kuliah tersebut dalam kelompok matematika dan non matematika. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Seluruh Variabel 1.1 Analisis Matriks Variansi (S)

Matriks variansi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel 1. Variansi sampel dapat dilihat sepanjang diagonal utama dari matriks (S), sedangkan pada sel lainnya (off diagonal) berisi kovariansi antara variabel. Karena matriks (S) simetris maka yang ditampilkan hanya matriks segitiga bawah saja. Tabel 1. Matriks variansi sampel

Kalk A 90.36PDM 32.90 73.03

Tbil 45.32 49.83 80.88Panc 5.40 6.78 4.61 8.82

Ul-Qur 4.90 5.29 12.08 7.81 13.86Ul-Had 24.76 17.00 16.99 9.20 6.84 33.81

B-Arb A 17.20 -4.24 8.76 -1.93 -4.77 -1.37 49.59B-Arb B 15.34 -1.57 13.54 -2.18 -4.12 -1.54 43.26 45.44Means 64.42 60.95 63.25 79.67 77.54 73.07 78.55 78.08

Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

118

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata

kuliah berbeda. Secara umum, nilai rata-rata tertinggi (79,67) dan variansi terkecil

(8,82) ada pada mata kuliah Pancasila. Pada kelompok mata kuliah matematika

(Kalkulus A, Pengantar Dasar Matematika & Teori Bilangan) nilai rata-rata tertinggi

ada pada mata kuliah Kalkulus A (64,42), tetapi nilai variansi terbesar (90,36), baik

dalam kelompok matematika maupun secara keseluruhan. Meskipun demikian

perbedaan dengan dua mata kuliah lainnya yakni Pengantar Dasar Matematika dan

Teori Bilangan tidak terlalu jauh.

Idealnya melalui proses pembelajaran yang baik diharapkan diperoleh nilai mata

kuliah dengan rata-rata yang tinggi dengan variansi yang kecil. Dengan beracuan pada

kriteria ini, maka secara umum dari data diatas mata kuliah Pancasila memenuhi kriteria

ini.

1.2 Analisis Matriks Korelasi (R)

Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian

sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.

Matriks Korelasi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Matriks Korelasi

Kalk A 1PDM 0.41 1

Tbil 0.53 0.65 1Panc 0.19 0.27 0.17 1

Ul-Qur 0.14 0.17 0.36 0.71 1Ul-Had 0.45 0.34 0.32 0.53 0.32 1

B-Arb A 0.26 -0.07 0.14 -0.09 -0.18 -0.03 1B-Arb B 0.24 -0.03 0.22 -0.11 -0.16 -0.04 0.91 1

Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Range nilai bervariasi dari yang paling rendah –0,18 antara Bahasa Arab A dengan

Ulumul Qur’an sampai yang paling tinggi 0,91 antara Bahasa Arab A dengan Bahasa

Arab B. Dalam kelompok mata kuliah matematika korelasi yang tertinggi sebesar 0,65

antara mata kuliah Teori Bilangan dengan Pengantar Dasar Matematika, sedangkan

yang terendah sebesar 0,41 antara Kalkulus A dan Pengantar Dasar Matematika. Hal

yang menarik yang dapat dilihat adalah mata kuliah Ulumul Hadits relatif memiliki

korelasi yang cukup tinggi dengan seluruh variabel lainnya, kecuali dengan Bahasa

Arab A dan Bahasa Arab B.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

119

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

1.3 Analisis Invers Matriks Korelasi

Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 3. Invers Matriks Korelasi

Kalk A 1.74PDM -0.12 2.28

Tbil -0.70 -1.76 3.22Panc -0.02 -1.01 1.38 3.22

Ul-Qur 0.16 1.06 -1.74 -2.34 3.06Ul-Had -0.56 0.07 -0.34 -1.09 0.44 1.79

B-Arb A -0.66 0.20 0.55 -0.29 0.24 0.11 6.37B-Arb B 0.34 0.36 -1.25 -0.14 0.42 0.13 -5.75 6.51

Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan

proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.

Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan

, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel

sisanya.

)1/(1 2R−

Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah

Kalkulus A dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah

, sedangkan Proporsi variasi dari mata

kuliah Bahasa Arab B dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah

. Proporsi variasi untuk seluruh variabel

disajikan dalam tabel berikut.

%5.4274.1/)174.1(sisa) ;AKalk (2 =−=R

%6.8451.6/)1.516(sisa) ;B Arab-B(2 =−=R

Tabel 4.Proporsi variasi setiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.

M-Kuliah Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.425 0.562 0.689 0.690 0.673 0.442 0.843 0.846

Dari seluruh data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling

predictable adalah nilai mata kuliah Bahasa Arab B, sedangkan mata kuliah Kalkulus A

yang paling tidak predictable.

Dari sini kita bisa membuat persamaan regresi untuk masing-masing mata kuliah

yang kita inginkan. Sebagai contoh, persamaan regresi untuk nilai mata kuliah Bahasa

Arab B (Y = X8) adalah:

arbABUlHadUlQurPancTBilPDMKalkAY

'85.002.012.005.014.004.004.055.14ˆ

+−−++−−= ……….(1)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

120

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Dari persamaan diatas terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah Bahasa

Arab A.

1.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.

Tabel 5. Scaled Invers Matriks Korelasi

Kalk A 1PDM -0.06 1

Tbil -0.30 -0.65 1Panc -0.01 -0.37 0.43 1

Ul-Qur 0.07 0.40 -0.56 -0.74 1Ul-Had -0.32 0.03 -0.14 -0.45 0.19 1

B-Arb A -0.20 0.05 0.12 -0.06 0.06 0.03 1B-Arb B 0.10 0.09 -0.27 -0.03 0.09 0.04 -0.89 1

Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif

dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given)

variabel sisanya.

Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah

0,89 yakni antara Bahasa Arab A dengan Bahasa Arab B. Dalam kelompok matematika

korelasi parsial terbesar adalah antara Teori Bilangan dan PDM sebesar 0,65. Hal yang

menarik yang perlu menjadi perhatian adalah rendahnya korelasi parsial antara Kalkulus

A dengan PDM yang hanya sebesar 0,06.

1.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.

Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk

memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan

entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.

Tabel 6. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi

Kalk A *PDM 0 *

Tbil * * *Panc 0 * * *

Ul-Qur 0 * * * *Ul-Had * 0 * * * *

B-Arb A * 0 * 0 0 0 *B-Arb B * 0 * 0 0 0 * *

Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

121

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Dari tabel diatas dapat kita bahwa PDM dan Kalkulus A independent

conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Indikasi ini

sudah dapat terlihat dari rendahnya nilai korelasi parsial keduanya pada analisis

sebelumnya yakni sebesar 0,06. Demikian pula antara Kalkulus A dan Pancasila,

Kalkulus A dan Ulumul Qur’an, dan seterusnya. Dari sini kita dapat membuat sebuah

graph yang memudahkan untuk menginterpretasikan hubungan-hubungan yang ada.

TBil

PDM

UQ

KalUH

Pan

BaA

BaB

Gambar 1. Graph independent dari nilai mata kuliah keseluruhan

Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas

antara lain adalah:

- Kita dapat mereduksi objek 8 dimensi diatas menjadi dua kelompok yang lebih

sederhana, yakni kelompok (Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an, Pancasila, PDM dan

Teori Bilangan) dan Kelompok (teori Bilangan, Kalkulus, Bahasa Arab A dan

Bahasa Arab B).

- Secara umum Teori Bilangan sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara

mata kuliah yang lainnya.

- Mata kuliah Teori Bilangan, PDM, Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sudah cukup

untuk memprediksi Pancasila; dan Mata kuliah Teori Bilangan, Kalkulus dan

Bahasa Arab A sudah cukup untuk memprediksi Bahasa Arab B, tetapi seluruh nilai

mata kuliah dibutuhkan untuk memprediksi Teori Bilangan.

Berdasarkan kesimpulan ini kita juga dapat membuat persamaan regresi untuk

masing-masing kelompok tersebut sebagai berikut:

UlHadUlQurTBilPDMPancY 17.055.012.009.043.26)(ˆ ++−+= ……(2)

Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,675. Jika kita

bandingkan dengan nilai R-square Pancasila pada tabel 4 sebesar 0,690, maka terlihat

bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita

menggunakan persamaan regresi (2) untuk memprediksi Pancasila, dimana kita hanya

memerlukan empat variabel untuk keperluan tersebut.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

122

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Persamaan regresi lainnya adalah :

arB'27.0a'52.052.044.009.21)(ˆ BrbABUlHadTBilKalY −+++−= ……...(3)

……………………...(4)

……………..….(5)

UlQurPancTBilPDMY 89.020.168.077.8)(ˆ −++−=

arbBBarbABUlHadUlQurPancPDMKalkATBilY

'52.0'22.016.031.130.157.021.062.18)(ˆ

+−++−++−=

UlHadPancTBilPDMUlQurY 10.099.019.013.079.1)(ˆ −++−= …….......(6)

UlQurPancTBilKalkUlHadY 30.015.109.018.067.12)(ˆ −+++−= ……….(7)

arB'95.009.075.011.5)arA'(ˆ BTBilKalkBY +−+= ………………………..(8)

…………………...(9) ArbABTBilKalkArbBBY _87.010.005.037.6)'(ˆ ++−=

Nilai R-square persamaan regresi tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 7. Nilai R-square persamaan regresi seluruh mata kuliah.

M-Kuliah Kalk A PDM Tbil Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.416 0.511 0.689 0.675 0.626 0.427 0.842 0.843 Jika kita bandingkan dengan nilai R-square pada tabel diatas dengan nilai R-

square pada tabel 4., maka terlihat bahwa juga tidak ada perbedaan yang signifikan.

Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan persamaan regresi (2) s/d (9),

dimana kita hanya memerlukan lebih sedikit variabel saja untuk memprediksinya.

2. Analisis Kelompok Mata Kuliah Matematika

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa mata kuliah yang dimasukkan dalam

kelompok ini adalah: Kalkulus A, Pengantar Dasar Matematika dan Teori Bilangan.

2.1 Analisis Matriks Variansi (S)

Matriks variansi dari 3 mata kuliah disajikan dalam tabel 7 berikut.

Tabel 8. Matriks variansi sampel

Kalk A 90.36PDM 32.90 73.03

Tbil 45.32 49.83 80.88Means 64.42 60.95 63.25

Kalk A PDM Tbil Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata

kuliah berbeda. Secara umum, nilai rata-rata tertinggi ada pada mata kuliah Kalkulus A

(64,42), tetapi nilai variansi terbesar (90,36),

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

123

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Idealnya melalui proses pembelajaran yang baik diharapkan diperoleh nilai mata

kuliah dengan rata-rata yang tinggi dengan variansi yang kecil. Dengan beracuan pada

kriteria ini, maka secara umum ketiga mata kuliah diatas performancenya kurang lebih

sama.

2.2 Analisis Matriks Korelasi (R)

Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian

sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.

Matriks Korelasi dari 3 mata kuliah matematika disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 9. Matriks Korelasi

Kalk A 1PDM 0.41 1

Tbil 0.53 0.65 1Kalk A PDM Tbil

Korelasi yang tertinggi sebesar 0,65 antara mata kuliah Teori Bilangan dengan

Pengantar Dasar Matematika, sedangkan yang terendah sebesar 0,41 antara Kalkulus A

dan Pengantar Dasar Matematika.

2.3 Analisis Invers Matriks Korelasi

Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 10. Invers Matriks Korelasi

Kalk A 1.40PDM -0.15 1.74

Tbil -0.65 -1.05 2.02Kalk A PDM Tbil

Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan

proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.

Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan

, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel

sisanya.

)1/(1 2R−

Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah

Kalkulus A dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah

. Proporsi variasi untuk seluruh variabel

disajikan dalam tabel berikut.

%6.2840.1/)140.1(sisa) ;AKalk (2 =−=R

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

124

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Tabel 11.Proporsi variasi tiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.

M-Kuliah Kalk A PDM TbilR2 0.286 0.425 0.505

Dari data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling predictable

adalah nilai mata kuliah Teori Bilangan, sedangkan mata kuliah Kalkulus A yang paling

tidak predictable.

Persamaan regresi dan nilai untuk ketiga mata kuliah tersebut adalah

PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++= ……….(10)

TBilKalkAPDMY 57.008.077.19)(ˆ ++= ……….(11)

TBilPDMKalkAY 49.012.039.26)(ˆ ++= ……….(12)

Dari persamaan diatas terlihat bahwa Teori Bilangan sangat baik diprediksi oleh

Kalkulus A dan PDM, dimana koefisien masing-masingnya cukup besar jika

dibandingkan dengan persamaan lainnya.

2.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.

Tabel 12. Scaled Invers Matriks Korelasi

Kalk A 1PDM -0.095 1

Tbil -0.384 -0.559 1Kalk A PDM Tbil

Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif

dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given)

variabel sisanya.

Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah

0,559 yakni antara Teori Bilangan dan PDM. Sebaliknya korelasi parsial antara

Kalkulus A dengan PDM hanya sebesar 0,095, sedangkan korelasi parsial antara

Kalkulus A dan Teori Bilangan sebesar 0,384.

2.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.

Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk

memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan

entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.

Tabel 13. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

125

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Kalk A *PDM 0 *

Tbil * * *Kalk A PDM Tbil

Dari tabel diatas dapat kita bahwa PDM dan Kalkulus A independent

conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Indikasi ini

sudah dapat terlihat dari rendahnya nilai korelasi parsial keduanya pada analisis

sebelumnya yakni sebesar 0,095. Dari sini kita dapat membuat sebuah graph

independent yang memudahkan untuk menginterpretasikan hubungan-hubungan yang

ada.

TBil

Kal

PDM

Gambar 2. Graph independent dari kelompok mata kuliah matematika

Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas antara

lain adalah:

- Kita dapat mereduksi objek 3 dimensi diatas menjadi objek 2 dimensi lebih

sederhana, yakni kelompok (Teori Bilangan, PDM) dan Kelompok (Teori Bilangan,

Kalkulus A).

- Secara umum Teori Bilangan sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara

mata kuliah yang lainnya.

- Mata kuliah Teori Bilangan sudah cukup untuk memprediksi Kalkulus dan dan juga

PDM, tetapi keduanya dibutuhkan untuk memprediksi Teori Bilangan.

Berdasarkan kesimpulan ini kita dapat membuat persamaan regresi untuk

masing-masing kelompok tersebut. Persamaan regresi untuk PDM adalah:

TBilPDMY 62.099.21)(ˆ += ……(13)

Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,42. Jika kita bandingkan dengan

nilai R-square Pancasila pada tabel 11 sebesar 0,425, maka terlihat bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan

persamaan regresi (13) untuk memprediksi PDM, dimana kita hanya sebuah variabel

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

126

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

untuk keperluan tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dari meningkatnya koefisien

persamaan regresi dari 0,57 pada persamaan (11) menjadi 0,62 pada persamaan (13).

Persamaan regresi untuk Kalkulus A adalah :

TBilKalkY 56.099.28)(ˆ += ………..(14)

Nilai R-square dari persamaan regresi tersebut adalah 0,281. Jika kita bandingkan

dengan nilai R-square Kalkulus A pada tabel 11 sebesar 0,287, maka terlihat bahwa

juga tidak ada perbedaan yang signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita

menggunakan persamaan regresi (14), dimana kita hanya memerlukan satu variabel saja

untuk memprediksinya. Hal ini juga ditunjukkan dari meningkatnya koefisien

persamaan regresi dari 0,49 pada persamaan (12) menjadi 0,56 pada persamaan (14).

3. Analisis Kelompok Mata Kuliah Non Matematika

3.1 Analisis Matriks Variansi (S)

Matriks variansi dari 5 mata kuliah dalam kelompok non matematika disajikan

dalam tabel berikut.

Tabel 14. Matriks variansi sampel

Panc 8.82Ul-Qur 7.81 13.86Ul-Had 9.20 6.84 33.81

B-Arb A -1.93 -4.77 -1.37 49.59B-Arb B -2.18 -4.12 -1.54 43.26 45.44Means 79.67 77.54 73.07 78.55 78.08

Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Dari matriks variansi (S) diatas menunjukkan bahwa variansi dari setiap mata

kuliah berbeda. Nilai rata-rata tertinggi (79,67) dan variansi terkecil (8,82) ada pada

mata kuliah Pancasila. Mata kuliah Bahasa Arab A rata-ratanya (78,55) tetapi

variansinya terbesar dikelompoknya yakni (49,59).

3.2 Analisis Matriks Korelasi (R)

Matriks korelasi diperoleh dari matriks variansi dengan membuat sedemikian

sehingga seluruh diagonal utamanya sama dengan 1.

Matriks Korelasi dari 8 mata kuliah disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 15. Matriks Korelasi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

127

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Panc 1Ul-Qur 0.71 1Ul-Had 0.53 0.32 1

B-Arb A -0.09 -0.18 -0.03 1B-Arb B -0.11 -0.16 -0.04 0.91 1

Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Range nilai bervariasi dari yang paling rendah –0,18 antara Bahasa Arab A

dengan Ulumul Qur’an sampai yang paling tinggi 0,91 antara Bahasa Arab A dengan

Bahasa Arab B. Hal yang menarik yang dapat dilihat adalah mata kuliah Pancasila

relatif memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits,

tetapi tidak dengan Bahasa Arab A dan Bahasa Arab B.

3.3 Analisis Invers Matriks Korelasi

Invers Matriks korelasi disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 16. Invers Matriks Korelasi

Panc 2.56Ul-Qur -1.55 2.08Ul-Had -0.87 0.17 1.41

B-Arb A -0.38 0.45 0.05 6.00B-Arb B 0.34 -0.23 -0.05 -5.43 5.94

Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Setiap elemen diagonal utama dari invers matriks korelasi berhubungan dengan

proporsi variasi dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya.

Secara lebih eksplisit dapat dinyatakan bahwa setiap elemen diagonal sama dengan

, dimana R adalah koefisien korelasi multiple suatu variabel dengan variabel

sisanya.

)1/(1 2R−

Dari data diatas, dapat kita lihat bahwa proporsi variasi dari mata kuliah

Pancasila dapat yang dijelaskan oleh seluruh variabel sisanya adalah

.Proporsi variasi untuk seluruh variabel

disajikan dalam tabel berikut.

%9.6056.2/)156.2(sisa) ;P(2 =−=ancR

Tabel 17.Proporsi variasi tiap variabel yang dijelaskan oleh variabel sisanya.

M-Kuliah Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.609 0.520 0.291 0.833 0.832

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

128

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Dari seluruh data ini dapat kita simpulkan bahwa variabel yang paling

predictable adalah nilai mata kuliah Bahasa Arab A dan Bahasa Arab B, sedangkan

mata kuliah Ulumul Hadits yang paling tidak predictable.

Dari sini kita bisa membuat persamaan regresi untuk masing-masing mata kuliah

yang kita inginkan. Sebagai contoh, persamaan regresi untuk nilai mata kuliah Bahasa

Arab A (Y = X7) adalah:

arbBBUlHadUlQurPancarbABY '95.001.014.015.047.4)'(ˆ +−−+= ……(15)

Dari persamaan diatas terlihat bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah Bahasa

Arab A, yang mana ditunjukkan oleh koefisien yang besar yakni 0,95.

Persamaan regresi untuk mata kuliah lainnya adalah sebagai berikut:

arBBarbABUlHadUlQurPancY '06.0'06.017.048.015.29)(ˆ −+++= …….(16)

arbBBarbABUlHadPancUlQurY '06.0'12.005.093.048.11)(ˆ +−−+= ……(17)

arbBBarbABUlQurPancUlHadY '03.0'03.019.021.130.9)(ˆ +−−+−= ……(18)

arbABUlHadUlQurPancarBBY '87.001.007.013.039.13)'(ˆ +++−= ……..(19)

3.4 Analisis Scaled Invers Matriks Korelasi.

Tabel 18. Scaled Invers Matriks Korelasi

Panc 1Ul-Qur -0.67 1Ul-Had -0.46 0.10 1

B-Arb A -0.10 0.13 0.02 1B-Arb B 0.09 -0.07 -0.02 -0.91 1

Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Elemen-elemen off diagonal dari Scaled Invers Matriks Korelasi adalah negatif

dari koefisien korelasi parsial antara pasangan variabel terhadap (bersyarat/given) variabel sisanya.

Dari data diatas, dapat terlihat bahwa Koefisien korelasi parsial terbesar adalah 0,91 yakni antara Bahasa Arab A dengan Bahasa Arab B.

3.5 Analisis Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi.

Dari Scaled Invers Matriks Korelasi kita buat aproksimasi matriksnya untuk

memudahkan menginterpretasi hubungan antara variabelnya. Tanda * menunjukkan

entri yang tak nol (non-zero entries) dari matriks tersebut.

Tabel 19. Aproksimasi Scaled Invers Matriks Korelasi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

129

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

Panc *Ul-Qur * *Ul-Had * * *

B-Arb A 0 * 0 *B-Arb B 0 0 0 * *

Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb B Dari tabel diatas dapat kita bahwa Bahasa Arab A dan Pancasila independent

conditional atas variabel sisanya (ditunjukkan oleh entri yang bernilai nol). Demikian

pula antara Bahasa Arab B dan Pancasila, dan seterusnya. Seluruhnya ada 5 entri yang

bernilai nol. Dari sini kita dapat membuat sebuah graph yang memudahkan untuk

menginterpretasikan hubungan-hubungan yang ada.

UQ

UH

BaA

Pan

BaB

Gambar 3. Graph independent dari kelompok mata kuliah non-matematika

Beberapa kesimpulan yang dapat kita buat berdasarkan informasi graph diatas

antara lain adalah:

- Kita dapat mereduksi objek 5 dimensi diatas menjadi dua objek 3 dimensi yang

lebih sederhana, yakni kelompok (Pancasila,Ulumul Hadits, Ulumul Qur’an) dan

Kelompok (Ulumul Qur’an, Bahasa Arab A & Bahasa Arab B)

- Secara umum Ulumul Qur’an sangat krusial dalam menganalisis interrelasi antara

mata kuliah yang lainnya.

- Mata kuliah Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sudah cukup untuk memprediksi

Pancasila, mata kuliah Ulumul Qur’an dan Pancasila sudah cukup untuk

memprediksi Ulumul Hadits, mata kuliah Ulumul Qur’an dan Bahasa Arab B

sudah cukup untuk memprediksi Bahasa Arab A; untuk memprediksi Bahasa Arab

B cukup dengan Bahasa Arab A saja, sedangkan untuk memprediksi Ulumul Qur’an

dibutuhkan Pancasila, Ulumul Hadits dan Bahasa Arab A.

Berdasarkan kesimpulan ini kita dapat membuat persamaan regresi untuk

masing-masing kelompok tersebut. Persamaan regresi untuk Pancasila adalah:

UlHadUlQurPancY 18.048.085.29)(ˆ ++= ……….(20)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

130

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

UlHadPancUlQurY 05.094.043.6)(ˆ −+= ………...(21)

UlQurPancUlHadY 19.021.171.8)(ˆ −+−= ………..(22)

arbBBUlQurarbABY '94.006.052.9)'(ˆ +−= ………(23)

arbABarbBBY '87.056.9)'(ˆ += …………………….(24)

Nilai R-square dari persamaan-persamaan regresi tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 20.Nilai R-square dari kelompok mata kuliah non matematika.

M-Kuliah Panc Ul-Qur Ul-Had B-Arb A B-Arb BR2 0.606 0.504 0.291 0.831 0.830

Jika kita bandingkan nilai R-square dari persamaan-persamaan regresi pada (15)

s/d (19) dan pada (20) s/d (24), maka terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan. Sehingga akan lebih efektif jika kita menggunakan persamaan regresi (20)

s/d (24) untuk memprediksinya, dimana kita menggunakan variabel yang jauh lebih

sedikit. Hal ini juga ditunjukkan dari relative konstannya koefisien persamaan regresi

dari variabel yang terlibat dalam persamaan tersebut.

Dari penjelasan yang dapat kita lihat dari menganalisis data dengan

menggunakan statistik multivariat dapatlah memberi gambaran bahwa begitu

pentingnya data. Dimana data dapat dijadikan landasan dalam membuat keputusan

yang tepat di kemudian hari terutama dalam rangka mengontrol dan memperbaiki

proses pembelajaran dalam sebuah sistem pendidikan.

D. KESIMPULAN

1. Secara keseluruhan dari 8 mata kuliah yang ada yang paling predictable adalah mata

kuliah Bahasa Arab B. Persamaan regresinya adalah:

arbABUlHadUlQurPancTBilPDMKalkAarbBBY

'85.002.012.005.014.004.004.055.14)'(ˆ

+−−++−−=

dengan nilai R-square sebesar 0,846.

2. Pada kelompok mata kuliah matematika yang paling predictable adalah nilai mata

kuliah Teori Bilangan Persamaan regresinya adalah:

PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++=

dengan nilai R-square sebesar 0,505.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

131

PM – 10 : Analisis Pembelajaran Muhamad Sabirin

3. Pada kelompok mata kuliah non-matematika yang paling predictable adalah nilai

mata kuliah Bahasa Arab A. Persamaan regresinya adalah:

arbBBUlHadUlQurPancarbABY '95.001.014.015.047.4)'(ˆ +−−+=

dengan nilai R-square sebesar 0,833.

4. Beberapa persamaan regresi yang layak digunakan untuk memprediksi adalah:

; R-square sebesar 0,831. arbBBUlQurarbABY '94.006.052.9)'(ˆ +−=

arbABarbBBY '87.056.9)'(ˆ += dengan R-square sebesar 0,830.

PDMKalkATBilY 54.030.047.10)(ˆ ++= dengan R-square sebesar 0,505.

E. REKOMENDASI

1. Analisis lebih luas diperlukan untuk seluruh mata kuliah yang ada dalam kurikulum

jurusan tadris matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin.

2. Perlunya pengarsipan data baik oleh masing-masing dosen, maupun lingkup

program studi, fakultas dan Universitas, karena data sangat penting untuk melihat

bagaimana kinerja yang telah dilakukan sebagai upaya untuk mengadakan

perbaikan.

3. Bagi dosen maupun pemegang jabatan tertentu sebaiknya selalu berusaha

mengadakan kontrol terhadap kualitas proses pembelajaran dalam ruang lingkup

wewenangnya.

F. DAFTAR PUSTAKA

Whittaker, Joe. 1996. Graphical Models in Applied Multivariate Statistics. New

York: John Wiley & Sons.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

132

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Untuk Pembelajaran Materi Himpunan

Nila Kesumawati

Dosen FKIP Pendidikan Matematika Universitas PGRI Palembang

Abstrak

Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk memperbaiki dan menyiapkan aktifitas-aktifitas belajar yang bermanfaat bagi siswa yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar matematika. Reformasi yang tampaknya perlu dilakukan terutama adalah pada pembuatan materi matematika yang difokuskan kepada aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari dengan merepresentasikan semua level dari tujuan belajar matematika (level rendah, sedang, dan tinggi) dan penggunaan metode belajar mengajar matematika yang membuat siswa dapat belajar secara aktif tentang matematika. Pendekatan yang berorientasi pada pengalaman siswa sehari-hari yang menekankan pada kebermaknaan siswa dalam belajar adalah Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) atau pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pembelajaran dengan pendekatan realistik dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengetahuan yang telah dimiliki siswa, serta melihat kelebihan pendekatan realistik maka pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat membantu siswa tidak hanya belajar dan mengerti konsep himpunan seperti yang diharapkan kurikulum pendidikan matematika tetapi mereka juga dapat belajar matematika dengan menyenangkan. Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa dengan menggunakan metode konvensional ( Trisna, 2005; Hasanah, 2005; Fauzan, 2001). Akan tetapi uraian berikut ini akan mengkaji secara teoritis penerapan PMR pada materi Himpunan. Kata Kunci: RME, Himpunan

A. PENDAHULUAN

Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses

pembelajaran (Sanjaya, 2007). Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk

mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas tempat

mereka belajar diarahkan kepada siswa untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa

untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami

informasi yang diingat untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut Polla (2001: 48) “Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya

perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Hal ini disebabkan karena sampai

saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat

sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada

pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan

mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan

pendekatannya.” Ini berarti perlu dilakukan reformasi dalam pendekatan

pembelajarannya, dari pendekatan pembelajaran matematika yang terpusat pada guru ke

pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa. Guru sebagai fasilitator dan

pembimbing sedangkan siswa membangun matematika untuk mereka sendiri, tidak

hanya menyalin dan mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

133

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk

memperbaiki dan menyiapkan aktifitas-aktifitas belajar yang bermanfaat bagi siswa

yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar

matematika. Reformasi yang tampaknya perlu dilakukan terutama adalah pada

pembuatan materi matematika yang difokuskan kepada aplikasi matematika dalam

kehidupan sehari-hari dengan merepresentasikan semua level dari tujuan belajar

matematika (level rendah, sedang, dan tinggi) dan penggunaan metode belajar mengajar

matematika yang membuat siswa dapat belajar secara aktif tentang matematika.

Pendekatan yang berorientasi pada pengalaman siswa sehari-hari yang menekankan

pada kebermaknaan siswa dalam belajar adalah Pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) atau pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR).

Dalam PMR diawali dengan pemberian masalah dalam kehidupan sehari-hari di

lingkungan siswa (kontekstual), siswa aktif membangun konsep, prinsip atau prosedur

yang dibutuhkan, guru sebagai fasilitator, siswa bebas mengeluarkan idenya serta

suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pemberian masalah yang berkaitan dengan

kehidupan siswa sehari-hari kurang mendapatkan perhatian dalam pembelajaran

matematika. Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan

sehari-hari adalah himpunan. Selain itu himpunan juga merupakan konsep dasar dari

matematika. Kenyataan yang terjadi dalam pembelajaran materi himpunan selama ini

adalah penyajiannya yang terlalu abstrak. Hal ini berdampak pada kurangnya

pemahaman konsep matematika, sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan suatu

permasalahan dalam matematika.

Pembelajaran dengan pendekatan realistik dirancang berawal dari pemecahan

masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengetahuan yang telah dimiliki

siswa, serta melihat kelebihan pendekatan realistik maka pembelajaran matematika

realistik diharapkan dapat membantu siswa tidak hanya belajar dan mengerti konsep

himpunan seperti yang diharapkan kurikulum pendidikan matematika tetapi mereka

juga dapat belajar matematika dengan menyenangkan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk mengkaji secara teoritis

pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) pada pokok bahasan himpunan di

kelas VII SMP.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

134

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

B. PEMBAHASAN

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada

tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. PMR atau RME merupakan

suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang didasari atas pandangan bahwa

matematika sebagai aktivitas manusia (Gravemeijer, 1994). Matematika diusahakan

dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan bila

mungkin harus real bagi siswa. Dalam proses pembelajarannya siswa diberi kesempatan

yang leluasa untuk belajar melakukan aktivitas bekerja matematika, siswa diberi

kesempatan mengembangkan strategi belajarnya dengan berinteraksi serta bernegosiasi

baik dengan sesama siswa maupun dengan guru (Streefland, 1991).

Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar

matematika siswa. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hasil belajar siswa

dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa dengan

menggunakan metode konvensional ( Trisna, 2005; Hasanah, 2005; Fauzan, 2001).

Tiga Prinsip PMR

1. Guided reinvention and didactical phenomology

Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas manusia maka

guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar matematika

harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat matematika

ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan prosedur secara

informal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi

yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata

terhadap kehidupan sehari-hari.

2. Progressive mathematization

Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam

pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa

sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam

mathematization haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar

matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal.

3. Self-developed models

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

135

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

Peran Self-developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke

situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika. Artinya, siswa

membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah dari suatu situasi yang dekat

dengan alam siswa. Melalui generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah

menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah

sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model formal matematika.

Matematisasi Horizontal dan Vertikal

Matematisasi adalah suatu proses untuk mengkontruksi konsep-konsep

matematika dan strategi penyelesaian suatu masalah. Dalam mengkonstruksi itu siswa

harus aktif. Proses matematisasi dapat dibedakan atas matematisasi horizontal dan

matematisasi vertikal. Dalam Matematika horizontal, siswa menggunakan matematika

untuk mengatur dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan situasi nyata.

Contoh aktivitas dalam matematisasi horizontal adalah mengidentifikasi atau

menggambarkan matematika yang spesifik dalam suatu konteks umum, memformulasi

dan memvisualisasi suatu masalah dalam berbagai cara, melakukan penyelidikan antar

berbagai hubungan, mengatur aspek-aspek yang sama dalam berbagai masalah berbeda,

melakukan transfer masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika, dan transfer

masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika yang sudah dikenal. Sedangkan

matematisasi vertikal adalah proses mereorganisasi sistem matematika ke dalam dirinya

sendiri. Contoh aktivitas matematisasi vertikal adalah mengkombinasikan model,

memformulasikan model matematik, merepresentasi suatu relasi ke dalam rumus,

membuktikan, memperbaiki model, menggunakan berbagai model dan

menggeneralisasi.

Menurut de Lange yang dikutip Marpaung (2007) kegiatan matematisasi

horizontal (proses informal) dapat berupa:

1. mengidentifikasi konsep matematika tertentu dalam suatu konteks umum,

2. membuat suatu skema,

3. merumuskan dan memvisualisasi suatu masalah dengan cara yang berbeda,

4. menemukan relasi,

5. menemukan keteraturan,

6. mengenali aspek-aspek yang isomorphis dalam masalah yang berbeda,

7. mentransfer masalah dunia nyata (kontekstual) ke masalah matematika dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

136

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

8. mentransfer masalah kontekstual ke model matematika yang sudah ada atau

sudah dikenal.

Kegiatan-kegiatan matematisasi vertikal dapat berupa:

1. merepresentasikan suatu relasi dalam bentuk suatu formula rumus,

2. membuktikan regularitas (keteraturan),

3. menghaluskan dan mengatur model,

4. menggunakan model yang berbada,

5. menggabungkan atau mengintegrasikan model,

6. merumuskan konsep matematika yang baru dan

7. melakukan generalisasi.

Gambar 1 berikut menunjukkan siklus dua proses matematisasi yang

menggunakan ‘real world’ tidak juga hanya sebagai sumber matematisasi tetapi sebagai

area untuk mengaplikasikan kembali matematika.

Real World

Mathematization Mathematization

In Applications and Reflection

Abstraction and

Formalization

Gambar 1. Matematisasi de Lange dikutip Ilma (2007)

Karakteristik PMR

Menurut De Lange, Treffers, Gravemeijer yang dikutip dalam Darhim (2004)

ada lima karakteristik PMR, yaitu:

1. Menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual sebagai peluang

bagi aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana suatu konep matematika yang

diinginkan muncul.

2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal. Perhatian

diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi daripada

mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

137

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

3. Menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses

pembelajaran diharapkan datang dari murid sendiri dimana mereka ditutut

dari cara-cara informal ke arah yang formal atau standar.

4. Terjadinya interaktivitas dalam proses pembelajaran. Negosiasi secara

eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah

faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dengan

menggunakan strategi informal murid sebagai jantung untuk mencapai yang

formal.

5. Menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan

terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik,

menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara

terpisah tetapi keterkaitan dan keintegrasian harus diwujudkan dalam

pemecahan masalah.

Sama halnya dengan yang diuraikan di atas, Reewijk dikutip oleh Marpaung

(2007) merumuskan prinsip RME itu dengan singkat dalam 5 pokok, (a) Dunia ‘nyata’,

(b) Produksi bebas dan konstruksi, (c) Matematisasi, (d) Interaksi dan (e) Aspek

pembelajaran secara terintegrasi. Selanjutnya Marpaung (2007) merumuskan

karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sebagai berikut:

1. Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia).

2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah

kontekstual/realistik.

3. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara

sendiri.

4. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

5. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).

6. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi

ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data).

7. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan

siswa, juga antara siswa dan guru.

8. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur

kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model).

9. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tut Wuri Handayani).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

138

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

10. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan

dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (santun, terbuka,

komunikatif dan menghargai pendapat siswa)

Pada dasarnya ketiga pendapat tentang karakteristik PMR di atas mengarah

pada satu tujuan, yaitu bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMR

digunakan agar kualitas pendidikan matematika di sekolah meningkat dan dapat

bersaing dengan kualitas pendidikan matematika dengan negara-negara lain khususnya

negara-negara maju.

Sintak

Pada pendekatan PMR terdapat enam aktivitas yang sangat penting dilakukan

guru dan siswa. Guru mengawali pelajaran dengan pemberian masalah kontekstual

pada siswa. Siswa secara sendiri atau kelompok mengerjakan masalah dengan strategi-

strategi informal.

Selanjutnya guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan

kesempatan untuk memikirkan strategi yang paling efektif. Siswa secara sendiri atau

berkelompok menyelesaikan masalah kontekstual yang telah diarahkan oleh guru dan

meminta siswa untuk mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.

Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan. Guru mengenalkan konsep dan

siswa merumuskan bentuk matematika formal. Guru memberikan tugas di rumah, yaitu

membuat masalah cerita serta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.

Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru. Rangkuman

aktivitas tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

TABEL 1

Sintak Implementasi Matematika Realistik

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa Guru memberikan siswa masalah kontekstual.

Siswa secara sendiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.

Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.

Siswa memikirkan strategi yang paling efektif.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

139

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.

Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.

Guru mengelilingi siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.

Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.

Guru mengenalkan istilah konsep. Siswa merumuskan bentuk matematika formal.

Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.

Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

Suharta dalam Kadir (2006)

Himpunan

Himpunan adalah konsep dasar semua cabang matematika. Secara intuitif,

himpunan adalah kumpulan objek (konkrit atau abstrak) yang mempunyai syarat

tertentu dan jelas. Teori himpunan dikembangkan pertama kali oleh seorang ahli

Matematika bangsa Jerman bernama George Cantor (1845-1918). Teori himpunan dapat

membantu kita dalam membandingkan himpunan-himpunan dan melihat hubungan-

hubungannya. Untuk menyelesaikan persamaan, menggambar grafik mempelajari

peluang, menjelaskan konsep-konsep atau gambar-gambar geometri akan lebih mudah

dan sederhana bila menggunakan konsep dan bahasa himpunan.

Pada umumnya himpunan diberi nama dengan huruf kapital, misalnya A, B, X, ...

Sedangkan anggota suatu himpunan dinyatakan dengan huruf kecil, misalnya a, b, c, ...

Penulisan suatu himpunan dapat dinyatakan dalam tiga (3) cara, yaitu:

a. dengan mendaftar anggota-anggotanya diantara duakurung kurawal.

Misalnya: X = { a, b, c}

b. dengan menyatakan sifat-sifat yang dipenuhi oleh anggota-anggotanya.

Misalnya A = himpunan warna-warna pelangi.

c. Dengan menggunakan notasi pembentuk himpunan. Misalnya: P = {x / x

adalah bilangan cacah}.

Himpunan A dikatakan himpunan bagian dari himpunan B, bila setiap anggota A

juga anggota B, ditulis A B (ada yang menggunakan simbol A B). Dua himpunan A ⊂ ⊆

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

140

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

dan B dikatakan sama jika setiap anggota A juga menjadi anggota B dan sebaliknya,

ditulis A = B.

Untuk menggambarkan himpunan dapat digunakan diagram yang disebut

dengan diagram Venn. Perkataan Venn diambil dari nama John Venn (1834-1923) ahli

logika bangsa Inggris. Suatu himpunan digambarkan dengan daerah yang dibatasi oleh

kurva tertutup, sedangkan untuk himpunan semesta biasanya digambarkan dengan

daerah persegi panjang. Untuk menggambarkan anggota-anggota himpunan dapat

digunakan noktah-noktah. Tetapi seandainya himpunan tersebut mempunyai anggota

yang cukup banyak, anggota-anggota himpunan tersebut tidak usah digambarkan.

Operasi Himpunan

Beberapa operasi himpunan yang sudah dikenal.

(1) Komplemen himpunan A dalam semesta S, adalah himpunan semua anggota S yang

bukan anggota A, ditulis: Ac = {x / x ∈S dan x∉A}

(2) Union (gabungan) dua himpunan A dan B ditulis:

A B = {x / x ∪ ∈A atau x∈B}.

(3) Interseksi (irisan) dua himpunan A dan B ditulis:

A ∩ B = {x / x ∈A dan x∈B}.

(4) Pengurangan dua himpunan A dan B ditulis:

A \ B = {x / x ∈A dan x∉B }

= {x / x ∈A dan x∈ Ac }.

(5) Penjumlahan dua himpunan A dan B ditulis:

A + B = {x / x ∈A \ B dan x∈B \ A} atau

= (A \ B) (B \ A). ∪

(6) Perkalian (Cartesius) dua himpunan A dan B ditulis:

A x B = {(x, y) / x ∈A dan y∈B } dan (x, y) ≠ (y, x).

C. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang terpusat

pada guru hendaknya diubah menjadi terpusat kepada siswa. Oleh karena itu hendaknya

materi matematika yang disajikan kepada siswa sebaiknya berupa suatu proses bukan

sebagai barang jadi yang siap diberikan kepada siswa. Alternatif pembelajaran yang

dapat diterapkan antara lain adalah Pendekatan Matematika Realistik. Berdasarkan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

141

PM – 11: Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik... Nila Kesumawati

kajian teoritis yang diuraikan di atas, ternyata materi himpunan dapat diajarkan kepada

siswa menggunakan pendekatan matematika Realistik.

DAFTAR PUSTAKA Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil

Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Fauzan. (2001). “Pengembangan dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat

Pembelajaran geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME,” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tenggal 24 Februari 2001.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Culemborg:

Technipress. Hasanah, Sri Indriati. (2005). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Materi Pokok

Aritmatika Sosial di Kelas VII MTsN Pademawu Pamekasan. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.2 Juli 2006. PPs UNESA.

Ilma, Ratu. (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Pokok Bahasan Statistika

Menggunakan Pendekatan RME di SMAN 17 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.

Kadir. (2006). Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Bersama, Volume 5, No.2, Juli 2006. Kendari.

Marpaung, Jansen. Matematisasi Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal

Pendidikan Matematika Vol.1, No.1 Januari 2007. PPs UNSRI.. Sanjaya, Wina. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana Soedjadi. (1988). Pengantar Logika Matematik (non-aksiomatik). Jakarta: Depdikbud

Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan LPTK. Streefland. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary school. Freudenthal

Institute. Utrecht. Trisna, Benny N. (2005). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Topik Persamaan

Garis Lurus di Kelas VIII.. Mathedu Jurnal Pendidikan Matematika Vol.1, No.2 Juli 2006. PPs UNESA.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

142

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Penggunaan Metakognitif Scaffolding Untuk Meningkatkan Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency) Siswa

Oleh: Risnanosanti

Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Abstrak

Kebutuhan terhadap penerapan matematika tidak hanya untuk keperluan sehari – hari, tetapi terutama juga untuk kebutuhan dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu untuk membantu siswa berpartisipasi secara total di masyarakat, maka siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman, bagaimana menghubungkan ide – ide matematika, dan bagaimana memberikan alasan secara matematika.

Seorang siswa dapat membangun pengetahuannya melalui interaksi dan mengkoneksikan pengalaman yang telah diperolehnya dengan situasi yang dihadapi saat ini. Siswa juga dapat mempunyai strategi belajar yang akan membantu membangun pemahaman dan pengetahuannya. Sehingga kesuksessan dan keefektifan pengajaran matematika dapat dicapai dengan menekankan pada strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk merencanakan, memonitor, mengevaluasi serta membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri.

Sehingga siswa membutuhkan suatu pembelajaran yang efektif agar memungkinkan mereka dapat mengaplikasikan strategi metakognitifnya, melakukan penalaran secara matematik dan pada akhirnya belajar matematika dengan pemahaman. pembelajaran matematika dengan pemahaman memerlukan penguasaan dan transfer kecakapan matematik yang meliputi: pemahaman konseptual (conceptual understanding), kelancaran prosedural (procedural fluency), kompetensi strategi (strategic competence), penalaran adaptif ( adaptive reasoning) dan disposisi produktif (productive disposition) dengan cara yang terintegrasi. Kata Kunci : Metakognitif, Scaffolding, Mathematical Proficiency

A. Pendahuluan

Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini tidak terlepas

dari peran matematika sebagai ilmu dasar. Matematika juga memiliki nilai - nilai

strategis dalam menumbuhkembangkan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis,

dan kreatif. Banyak kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang baik memerlukan

kemampuan matematika tingkat tinggi. Topik – topik matematika muncul di surat

kabar, majalah, artikel ilmiah, dunia hiburan dan dalam percakapan sehari – hari.

Matematika juga merupakan sesuatu yang spesifik, hanya diketahui dan dipahami oleh

beberapa orang tertentu saja, serta mempunyai sisi estetika. Selain itu matematika

sangat universal, merupakan subjek yang bermanfaat, sehingga apabila seseorang ingin

berpartisipasi secara total sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan modern maka

dia harus menguasai matematika dasar. Jadi kebutuhan terhadap penerapan matematika

tidak hanya untuk keperluan sehari – hari, tetapi terutama juga untuk kebutuhan dalam

dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu untuk membantu siswa berpartisipasi secara total di masyarakat,

maka siswa harus mempelajari matematika dengan pemahaman, bagaimana

menghubungkan ide – ide matematika, dan bagaimana memberikan alasan secara

matematika. Menurut Kilpatrick et. al (2001) seorang siswa tanpa pemahaman

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

143

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

matematika akan kehilangan tidak hanya kesempatan tetapi juga kompetensi dari tugas

sehari – hari. Sehingga pengajaran matematika haruslah menekankan pada beberapa

variable sebagai hasil belajar dengan pemahaman agar dapat memenuhi permintaan

masyarakat.

Pengajaran matematika telah melewati sederetan fase perkembangan, pergeseran

dari paham behaviourisme ke paham kontruktivisme yang melalui kognitivisme

menggambarkan perubahan pandangan pembelajaran dari pandangan ekternal menuju

ke pandangan internal. Menurut Jonassen (1991) bagi kaum behaviurisme proses

internal sama sekali tidak diminati sedangkan untuk kaum kognitivisme proses internal

hanya penting untuk memperjelas bagaimana kenyataan eksternal dipahami, sebaliknya

kontrukstivisme memandang siswa sebagai pembangun pengetahuannya sendiri.

Pandangan konstruktivist ini menjadikan suatu proses pembelajaran untuk

memperlakukan siswa tidak hanya sebagai penerima pengetahuan tetapi siswa juga

harus diperlakukan sebagai pembangun pengetahuannya sendiri. Seorang siswa dapat

membangun pengetahuannya melalui interaksi dan mengkoneksikan pengalaman yang

telah diperolehnya dengan situasi yang dihadapi saat ini. Siswa juga dapat mempunyai

strategi belajar yang akan membantu membangun pemahaman dan pengetahuannya.

Sehingga kesuksessan dan keefektifan pengajaran matematika dapat dicapai dengan

menekankan pada strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk

merencanakan, memonitor, mengevaluasi serta membangun pengetahuan dan

pemahamannya sendiri.

Pemahaman matematik sebagai suatu subjek akademik merupakan hal yang

sangat penting di sekolah serta memainkan peranan yang besar dalam kehidupan sehari

– hari. Hasil penelitian Sternberg dan Rifkin (1979) serta Thornton dan Toohey (1985)

menunjukkan bahwa siswa mendapatkan manfaat dari penggunaan pengalamannya

sebagai strategi untuk menyelesaikan masalah – masalah matematika.

Tetapi sebagian besar pembelajaran yang terjadi di Indonesia saat ini belum

memanfaatkan kemampuan siswa yang sebenarnya dalam pengajaran matematika.

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengajaran yang terjadi masih

didominasi oleh guru dan siswa hanya diminta untuk mengerjakan soal – soal rutin

dibangkunya, diberi pekerjaan rumah, dan kemudian dibahas kembali bersama – sama

secara klasikal. Pembelajaran seperti ini menunjukkan strategi mengajar yang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

144

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

digunakan membuat guru matematika hanya berkonsentrasi pada penguasaan prosedur

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas – tugas rutin. Guru secara umum mengajar

siswanya secara konvensional, mereka memilih masalah – masalah matematika,

memberikan hal – hal yang diperlukan dalam langkah – langkah penyelesaiannya

kemudian siswa mengikuti langkah – langkah yang sama untuk masalah yang hampir

sama. Pendekatan pedagogik seperti ini mungkin efektif untuk siswa mempunyai

kemampuan tinggi tetapi tidak efektif untuk siswa dengan kemampuan rendah.

Sehingga siswa membutuhkan suatu pembelajaran yang efektif sehingga

memungkinkan mereka dapat mengaplikasikan strategi metakognitifnya, melakukan

penalaran secara matematik dan pada akhirnya belajar matematika dengan pemahaman.

Dengan kata lain siwa harus diberi pembelajaran serta dukungan agar dapat

merencanakan, memformulasi dan menggambarkan masalah matematika, menganalisis

dan mengidentifikasi variabel matematika, mengkoneksikan hubungan antara variabel

matematika, bertanya pada diri sendiri berkenaan dengan situasi matematika,

melakukan penalaran secara matematika, mengevaluasi strategi dan hasil belajarnya

(Kilpatrick et al., 2001 ; King, 1992). Selain itu siswa juga harus bekerja secara

kooperatif untuk belajar dengan pemahaman (Palincsar and Brown, 1984). Jadi siswa

membutuhkan belajar bagaimana belajar yaitu menjadi terlatih secara metakognitif yang

selama ini masih kurang mendapat perhatian dalam proses pembelajaran di Indonesia.

Belajar dengan pemahaman sebagai bagian dari suatu metode yang

komprehensip dapat mengembangkan kecakapan matematik siswa. Menurut Kilpatrick

et al. (2001) pembelajaran matematika dengan pemahaman memerlukan penguasaan

dan transfer kecakapan matematis yang meliputi: pemahaman konsep (conceptual

understanding), kelancaran prosedur (procedural fluency), kompetensi strategi

(strategic competence), penalaran adaptif ( adaptive reasoning) dan disposisi produktif

(productive disposition) dengan cara yang terintegrasi. Mugney dan Doise (1978);

Vygotsky (1978) ; Rogoff (1990) berkonsentrasi pada pembelajaran kooperatif untuk

belajar dengan pemahaman. Sedangkan Flavell et al (1970) dan Brown (1987)

memfokuskan pada strategi metakognitif dalam pembelajaran yang memungkinkan

siswa untuk belajar matematika dengan pemahaman.

B. Kecakapan Matematik (Mathematical Proficiency)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

145

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Istilah kecapakan matematik dipilih untuk menggabungkan semua aspek dari

keahlian, kemampuan, pengetahuan, dan kecakapan dalam matematika, agar siapapun

dapat mempelajari matematika dengan sukses. Hal yang paling penting dari kecakapan

matematik adalah bagian - bagiannya yang terjalin satu sama lain dan tidak dapat

dipisahkan. Sehingga untuk mengembangkan kecakapan matematik Kilpatrick et. al,

(2001) mengatakan tidak dapat dicapai hanya dengan mengutamakan satu atau dua

bagian saja, seperti yang tergambar dibawah ini

Bagian – bagian dari kecakapan matematik ini menyediakan suatu kerangka agar

dapat mendiskusikan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kepercayaan dalam

matematika. Kerangka ini mempunyai beberapa kesamaan dengan salah satu penilaian

matematika yang digunakan oleh National Assessment of Educational Progress

(NAEP), yang mencirikan tiga kemampuan matematik yaitu pemahaman konsep

(conceptual understanding), pengetahuan prosedur (procedural knowledge) dan

pemecahan masalah (problem solving), termasuk juga penalaran (reasoning), koneksi

(connection) dan komunikasi (communication).

Azas pokok dari kecakapan matematik ini adalah peranan utama dari

representasi mental. Bagaimana siswa menyajikan dan mengkoneksikan bagian – bagian

pengetahuannya adalah faktor kunci apakah mereka akan memahami materi secara

mendalam dan dapat menggunakannya untuk pemecahan masalah. Jadi belajar dengan

pemahaman lebih bermakna dibandingkan hanya dengan menghafal karena

mengorganisasikan peningkatan ingatan, mempromosikan kelancaran dan

memudahkan siswa mengaitkan materi – materi matematika.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

146

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Secara umum belajar matematika dengan pemahaman melibatkan lebih dari

sekedar kompetensi dalam keterampilan dasar, lebih dari sekedar penguasaan aritmatika

dan geometri, pembelajaran matematika dengan pemahaman berhadapan dengan

pemahaman konsep, kelancaran prosedur dan penalaran. Belajar matematika dengan

pemahaman lebih dari sekedar belajar tentang aturan – aturan dan operasi – operasi, hal

ini berkaitan dengan koneksi, melihat hubungan, dan pegetahuan untuk membangun

kembali segala sesuatu yang dapat dilakukan siswa. Jadi belajar matematika dengan

pemahaman adalah pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan kecakapan

matematik dan mengaktifkan pengetahuan metakognitif siswa.

Salah satu cara untuk mendukung dan meningkatkan kecakapan matematis dan

pengetahuan metakognitif siswa adalah dengan menyediakan strategi metakognitif,

yang merupakan suatu metode untuk berkonsentrasi pada monitoring tingkat

pemahaman seseorang dan menentukan apakah hal itu cukup atau tidak (Bransford et

al., 2000). Hal ini akan membantu siswa untuk mengatur pemikirannya, mengakui jika

mereka belum mengerti, dan mengatur pemikiran mereka secara tepat. Dengan kata lain

strategi metakognitif memandu siswa untuk berpikir sebelum, selama dan setelah

penyelesaian masalah. Ini diawali dengan menuntun siswa merencanakan untuk

memilih strategi yang tepat dalam menyelesaikan tugas – tugas, dilanjutkan dengan

menyeleksi strategi yang paling efektif , dan akhirnya mengevaluasi proses dan hasil

belajarnya.

Vygotsky (1978) menjelaskan perbedaan antara kemampuan siswa pada saat ini

dan perkembangan potensialnya sebagai suatu jarak antara tingkat ‘actual independent’

siswa dengan tingkat potensialnya yang harus dipandu, didukung atau berkolaborasi

dengan teman – teman yang lebih mampu. Scaffolding menyediakan suatu kesempatan

bagi siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya melebihi tingkat

kemampuan independent nya, dan ini memperkecil jarak antara pengetahuan yang

dimiliki sekarang dengan pengetahuan yang mungkin dicapai oleh siswa. Itu sebabnya

dengan scaffolding mendukung siswa untuk melampaui proses berpikirnya saat ini,

sehingga secara kontinu akan meningkatkan kapasitas pengetahuan yang dimiliki oleh

siswa.

Penelitian – penelitian (Palincsar and Brown, 1984; Wood et al., 1976) telah

menyelidiki peranan dari scaffolding untuk memudahkan pengertian, pemahaman dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

147

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

refleksi siswa terhadap tugas – tugas yang rumit. Penggunaan Strategi scaffolding

dapat meningkatkan kognisi melalui keaktifan siswa dalam pembelajaran, mempertinggi

proses siswa mendapatkan pengetahuannya kembali, mempertinggi pemahaman dan

metakognisi siswa dengan membuat pemikiran siswa menjadi lebih eksplisit dan

memandu siswa untuk memonitor pemahamannya.

Diantara strategi – strategi yang dapat meningkatkan kecakapan matematik dan

pengetahuan metakognitif NCTM (1989); Kramarski (2001) merekomendasikan untuk

menggunakan pembelajaran kooperatif. Menurut Vygotsky (1978) belajar dengan

pemahaman terjadi dalam konsteks sosial, dimana siswa berinteraksi satu sama lain,

siswa menerima umpan balik, dan mendapat informasi tentang sesuatu yang mungkin

kontradiksi dengan pemahamannya saat ini. Konflik ini akan menyebabkan siswa

mengakui dan membangun kembali pengetahuannya yang sudah ada.

Pembelajaran kooperatif direkomendasikan untuk digunakan dalam

meningkatkan performen kognitif siswa, hubungan social dan pengetahuan

metakognitif. Laporan dari National Governors’ Association (Brown and Goren, 1993)

mengindikasikan bahwa dalam setting pembelajaran kooperatif gabungan siswa dengan

berbagai kemampuan dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan melengkapi

tugas – tugas yang diberikan. Dalam setting ini, siswa dengan kemampuan rendah

mempunyai kesempatan untuk mempelajari model keterampilan dan kebiasaan belajar

siswa pandai. Dalam proses menjelaskan materi pelajaran, siswa dengan kemampuan

tinggi dapat mengembangkan penguasaannya dengan mengembangkan pemahaman

yang mendalam dari tugas – tugas.

C. Penutup

Bagaimanapun masih ada ketidakpastian mekanisme yang dapat meningkatkan

kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitif siswa yang terjadi dalam berbagai

variasi lingkungan pembelajaran kooperatif. Apakah hanya pembelajaran kooperatif

yang dapat meningkatkan kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitif siswa?

Atau kooperatif membutuhkan suatu struktur lain atau panduan (scaffolding)? Jika

strategi metakognitif menyediakan panduan (scaffolding) untuk siswa bekerjasama,

apakah siswa dapat mengaplikasikan strategi metakognitif pada dirinya sendiri, atau

siswa membutuhkan scaffolding dari luar untuk melakukannya? Apakah siswa dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

148

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

kemampuan tinggi mendapatkan manfaat lebih dari siswa berkemampuan rendah dari

strategi scaffolding metakognitif? Elawar (1992) mengobservasi bahwa siswa dengan

kemampuan rendah sering kebingungan pada saat berhadapan dengan masalah

matematika dan mereka tidak dapat menjelaskan strategi yang digunakan untuk

menemukan jawaban yang benar. Costa (1985), Strenberg (1986) dan Elawar (1992)

mengindikasikan bahwa siswa dengan kemampuan rendah secara umum kurang

mengembangkan secara baik keterampilan metakognitifnya.

Walaupun telah banyak penelitian yang dilakukan secara terpisah mengenai

pengaruh dari strategi metakognitif atau pembelajaran kooperatif dalam pencapaian

prestasi matematika, sikap, dan kepercayaan diri, tetapi belum ada penelitian yang

ditujukan untuk melihat pengaruh dari pembelajaran kooperatif dengan metakognitif

scaffolding terhadap kecakapan matematik siswa.

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari

pembelajaran kooperatif dengan metakognitif scaffolding dapat memainkan peranan

dalam mengembangkan kecakapan matematik siswa. Secara khusus direncanakan

penelitian ini akan menyelidiki apakah ada perbedaan yang signifikan dalam kecakapan

matematik dan tingkat pengetahuan metakognitif siswa yang dalam pembelajarannya

menggunakan pembelajaran kooperatif dengan metakognitif scaffolding, siswa yang

dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif tanpa metakognitif

scaffolding dan siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran

konvensional. Penelitian ini juga direncanakan untuk melihat pengaruh dari metode

pembelajaran terhadap siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah

dalam kecakapan matematik dan pengetahuan metakognitifnya.

Daftar Pustaka Ansari, I. B. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematik Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan

Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian

Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory. Thesis Doctor Kependidikan Tidak Dipublikasikan, Universitas Twente Enschede, Nedherlands.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

149

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Bransford, J.D., Brown, A.L., and Cocking, R.R. (Eds). (2000). How People Leran: Brain, Mind, Experience, and School. Washington, DC: National Academy Press

Brown, A.L. (1987). Metacognition, Executive Control, Self-Regulation, and Other

Even More Mysterious Mechanisms. In Weinert, F.E and Kluwe, R.H. (Eds). Metacognition, Motivation, and Understanding. Hillsdale, N.J: Lawrence Erlbaum Associates

Brown, P., and Goren, P. (1993). Ability, Grouping and Tracking: Current Issues and

Concern. Washington, DC : National Governors’ Association Costa, A. L. (1985). Developing Minds: A Resource Book of Teaching Thingking.

Reston, VA: Association for Supervision and Curriculum Development Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik

Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Ended. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan

Djajuli, A. (1999). Kebijakan Strategi Kantor Wilayah Depatemen Kebudayaan

Propinsi Jawa Barat dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Guru Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika, FPMIPA IKIP Bandung, 7 Agustus

Elawar, M. (1992). Effects of teaching metacognitive skills to students with low

mathematical ability. Teaching and Teacher Education, 8(2) 109-121. Hamzah. (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan

Herman, T. (2003). Pengembangan Multimedia Matematika Interaktif untuk

Menumbuhkembangkan Kemampuan Penalaran Matematik (Mathematical Reasoning) Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Tahun Anggaran 2003/2004

Herman, T. (2006). Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan

Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan

Jacob, C. (2003). Mengajar Keterampilan Metakognitif dalam Rangka Upaya

Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Belajar Matematika. Jurnal Matematika, Aplikasi, dan Pembelajarannya. Vol. 2, (1), 17-18. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.

Jonassen, D. H. (1991) Objectivism Versus Constructivism: Do We Need a New

Philosophical Paradigm? Educational Technology Research and Development, 39, 3, 5 – 14.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

150

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Kariadinata, R. (2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika

Siswa SMU Melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan

Kariadinata, R. (2006). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMU

Melalui Pembelajaran dengan Multimedia. Disertasi UPI Bandung: Tidak dipublikasikan

Kilpatrick,.J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn

Mathematics. Washington, DC: National Academy Press. King, A. (1992). Facilitacing Elaborative Learning Through Guided Student-generated

Questioning. Educational Psychologist, 27, 1, 111 – 126. Kramarski, B., Mevarech, Z. R., and Lieberman, A. (2001). Effects of Multilevel Versus

Unilevel Metacognitive Training on Mathematical Reasoning. Journal of Educational Research, 94, 292-301

Mohammed, Ibrahim, A.J., (2003) The Effects of Metacognitif Scaffolding and

Cooperative Learning on Mathematics Performance and Mathematics Reasoning Among Fifth-Grade Students in Jordan. [On Line]. Tersedia: http://cleo.murdoch.edu.au/gen/aset/ajet/ajet12/wi96p46.html.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A., O’Connor,

K.M., Krotowski, S.J., and Smith, T.A. (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: ISC

Mugny, G., and Doise, W. (1978). Socio-cognitive Conflicts and Structure of Individual

and Collective Performances. European Journal of Social Psychology, 8, 1181-1192

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Palincsar, A.S., and Brown, A.L. (1984). Reciprocal Teaching of Comprehension-

Fostering and Comprehension-Monitoring Activities. Cognition and Instruction, 2, 117 – 175.

Rogoff, B. (1990). Apprenticeship in Thinking: Cognitive Development in Social

Context. NY: Oxford University Press Sapa’at, A. (2001) Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk

mengembangkan Kompetensi Matematik Siswa. [On Line]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/martingale. %28betting.system.

Sharples, J., & Mathews, B. (1989). Learning How To Learn: Investigating Effective

Learning Strategies. Victoria: Office of Schools Administration Ministry of education.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

151

PM – 12: Penggunaan Metakognitif Scaffolding…. Risnanosanti

Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Surabaya: Vera Sternberg, R.J. (1986). Intelligence Applied. New York: Harcourt Brace Jovanovich,

Publisher Sumarmo, U. (1999). Implementasi Kurikulum Matematika 1994 pada Sekolah Dasar

dan Sekolah Menengah. Lemlit IKIP Bandung: Laporan Penelitian Sumarmo, U, dkk (1998, 1999, 2000). Pengembangan Model Pembelajaran

Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Hibah Bersaing Tahap I, Tahap II, dan Tahap III

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta

Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan

Suzana (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU. Disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi, 15 Mei 2004, Bandung.

Vygotsky.L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological

Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press. Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya

Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan

Yoong, W. (2002). Helping Your Student to Become Metacognitive in Mathematics: A

Decade Later. [On Line]. Tersedia: http://intranet.moe.edu.sg/maths/ Newsletter/FourthIssue/Vol2No.5.html.

Yuwono, I. (2001). Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM Malang

Wood, D.J., Bruner, J.S., and Ross, G. (1976). The Role of Tutoring in Problem Solving.

Journal of Child Psychology and Psychiatry, 17, 89 – 100.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

152

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

Kesiapan Siswa SMA Menghadapi UAN Matematika (Studi Kasus Pada Siswa Berkesulitan Belajar Matematika)

R.Rosnawati

[email protected]

Abstrak Diperlukan strategi belajar yang tepat agar siswa berkesulitan belajar matematika dapat menghadapi UAN dengan rasa percaya diri yang tinggi. Pemberian latihan pemecahan soal akan membantu siswa menjadi pengguna strategi yang tepat.

Strategi yang diberikan berkaitan dengan strategi yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu, yang mengarahkan siswa tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi soal tertentu. Diberikan pula strategi umum berkaitan dengan strategi metakognitif, yang akan memberikan kerangka kerja umum bagi siswa untuk menghadapi soal-soal matematika dan memperoleh informasi tentang kemajuan upaya pemecahannya. Kata kunci: Kesiapan, Kesulitan Belajar

I. Pendahuluan

Terlepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN),

pemerintah tetap melaksanakan UAN 2008 untuk tingkat SMA dan sederajat pada

tanggal 22 – 24 April 2008. Pemerintah tetap berpegang pada Undang-Undang (UU)

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 UU yang

menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau

proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Pasal itu juga menghendaki adanya sebuah lembaga independen untuk merumuskan dan

melaksanakan ujian akhir sesuai dengan standar nasional.

Penetapan kenaikan standar kelulusan bagi siswa dianggap memberatkan

terutama pada siswa yang memiliki pestasi matematika yang rendah. Siap atau tidak

siswa ini harus mengikuti ujian akhir yang telah ditetapkan waktunya, dengan kriteria

kelulusan yang telah ditetapkan pula. Banyak cara dilakukan oleh pihak sekolah

maupun orang tua, agar siswa siap untuk menghadapi UAN, misalnya dengan

menggelar doa bersama (aksi ihtiar batin untuk meningkatkan moril). Dorongan

semangat telah diperoleh siswa untuk menghadapi ujian, namun tentunya tidak hanya

dorongan moril yang diperlukan siswa khususnya yang berkesulitan belajar matematika,

diperlukan pula strategi belajar yang tepat agar penguasan strategi penyelesaian soal

matematika meningkat, sehingga dapat menghadapi ujian akhir dengan rasa percaya

diri.

Makalah ini menguraikan tentang usaha yang dilakukan salah satu sekolah

swasta di DIY yang telah melakukan try out pertama kali yang diadakan dinas Propinsi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

153

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

DIY tidak satupun siswa lulus dalam mata pelajaran matematika, yang akan dibahas

dari segi strategi belajar. Seluruh siswa XII IPA berjumlah 16 orang siswa yang

memiliki prestasi belajar matematika yang rendah.

II. Kesulitan dalam Belajar Matematika

Pemahaman belajar saat ini tidak lagi dipandang sebagai hasil dari penerimaan

pengetahuan secara pasif oleh siswa, saat ini belajar dipandang sebagai hasil proses

aktif dari sudut pandang siswa. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah

membentuk pengetahuan pada pebelajar dalam hal ini siswa. Pengetahuan terbentu

karena adanya ketidakseimbangan (disequibrium), siswa akan terus membentuk

konstruk sehingga terjadi keseimbangan. Paul Suparno (1997) mengemukakan bahwa

belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi arti baik teks, dialog pengalaman

fisis dan lain-lain.

Beberapa peneliti merepresentasikan tempat pengetahuan sebagai suatu blok-

blok apartemen yang terdiri dari banyak ruangan. Bila siswa memperoleh banyak

pengetahuan, maka kepingan-kepingan pengetahuan atau informasi baru bagi siswa

tersebut akan masuk ke ruangan yang berbeda-beda. Banyaknya pengetahuan yang

dimiliki siswa, dapat diekspresikan sebagai banyaknya ruangan yang telah ditempati

oleh kepingan-kepingan pengetahuan atau informasi yang spesifik.

Antara penghuni apartemen tersebut mungkin terjadi interaksi atau mungkin

pula tidak terjadi. Interaksi antara penghuni blok apartemen tersebut untuk setiap siswa

akan sangat beragam. Indikasi telah terjadi kontak antara berbagai kepingan blok

pengetahuan dapat diamati dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan

dalam hal ini persoalan matematika. Kemampuan siswa menyelesaikan persoalan

matematika pada situasi yang berbeda sangat bergantung pada kualitas interaksi

fungsional antara blok apartemen dalam hal ini adalah blok pengetahuan tersebut. Ini

berarti bahwa telah terjadi kontak antara berbagai kepingan informasi itu.

Situasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah kepingan-kepingan informasi

itu memiliki kemampuan dan keinginan untuk bekerjasama, bertukar fungsi dan saling

memberikan tantangan. Bila seorang siswa memiliki tempat penyimpanan pengetahuan

dalam blok-blok aparteman yang tertata dengan baik, dan memiliki fungsi interaksi

dengan baik pula, maka diharapkan siswa tersebut dapat memanfaatkan pengetahuan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

154

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

tersebut untuk menyelesaikan beragam situasai yang dihadapi, dan pemahaman

pengetahuan siswa tersebut akan dapat mendorong perkembangan pengetahuan

matematika siswa. Permasalahan yang sering terjadi adalah sangat dimungkinkan siswa

telah menyimpan pengetahuan dalam blok-blok apartemen tetapi apabila siswa

dihadapkan pada situasi yang berbeda, sangat mungkin siswa tidak dapat

menyelesaikannya atau membutuhkan waktu yang sangat lama dalam

menyelesaikannya, padahal ukuran waktu sangat menentukan keberhasilan siswa saat

menghadapi tes.

Keberhasilan atau kegagalan dalam belajar matematika sering kali ditentukan

oleh hasil yang ditunjukkan dalam tes prestasi yang distandarisasi. Tetapi umumnya, tes

yang dikembangkan berbentuk pilihan berganda sehingga tidak memberikan informasi

yang lengkap mengenai proses mental yang mungkin mempengaruhi prestasi siswa.

Umumnya seorang siswa dikatakan berkesulitan belajar matematika apabila perolehan

hasilnya jauh dibawah rata-rata kelompoknya. Dibanding dengan teman sebayanya yang

normal dalam matematika, siswa yang berkesulitan belajar matematika ditandai dengan

penggunaan strategi pemecahan soal yang tidak efisien, membutuhkan waktu yang lebih

lama dalam menyelesaian soal, dan seringnya membuat kesalahan penghitungan dan

kesalahan yang terkait dengan ingatan.

Dalam tulisan ini asumsi yang diberikan adalah siswa sebenarnya telah memiliki

pengetahuan yang tidak berbeda secara signifikan, karena mereka mengikuti

pembelajaran matematika yang diselenggarakan sekolah dengan jumlah waktu yang

sama. Dengan kata lain secara kuantitas mereka memiliki kuantitas pengetahuan

matematika yang sama. Beberapa penelitian terhadap siswa yang berkesulitan dalam

matematika telah difokuskan pada kualitas pengetahuan matematikanya. Secara

spesifik, model jaringan telah juga dipergunakan sebagai dasar untuk menggambarkan

karakteristik pengetahuan spesifik yang dimiliki oleh siswa-siswa ini (Halford 1993).

Beberapa peneliti telah mengindikasikan bahwa kualitas pengetahuan

mencerminkan bagaimana pengetahuan itu direpresentasikan (Ostad 2000). Lebih

spesifik lagi, sebuah tempat penyimpanan pengetahuan matematika akan lebih

fungsional apabila keping-keping informasi itu disusun di dalam otak menjadi suatu

jaringan bagian-bagian yang saling berketergantungan. Oleh karena itu, satu keping

informasi tertentu menjadi bagian dari pengetahuan matematika yang fungsional jika,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

155

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

dan hanya jika, siswa mengetahui bagaimana keping informasi spesifik ini dapat

dihubungkan dengan keping-keping informasi lainnya (Hiebert & Lefevre 1986).

Siswa mengalami kesulitan belajar matematika apabila keping-keping informasi

yang dia peroleh masih berdiri sendiri dan belum terbentuk jaringan antar keping-

keping pengetahuan. Dengan asumsi ini diperlukan pembelajaran matematika untuk

siswa yang berkesulitan belajar agar dapat mengembangkan strategi belajarnya sehingga

setiap siswa dapat membentuk jaringan antar keping-keping pengetahuan untuk dapat

memanfaatkan semua keping informasi dalam menyelesaikan seluruh persoalan yang

dihadapi dalam UAN.

III. Definisi Strategi Belajar

Satu definisi umum dari strategi dalam kamus adalah suatu “prosedur untuk

mencapai tujuan”. Dalam beberapa penelitian dan kajian, strategi mengacu pada suatu

prosedur yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Dalam definisi yang

paling sederhana dan paling jelas, strategi adalah perilaku pemecahan soal yang

terorganisasi yang diarahkan pada pencapaian sebuah tujuan. Makna lain strategi

meliputi berbagai cara untuk mencapai tujuan, yang meliputi “semua” proses yang

dilibatkan dalam pelaksanaan tugas.

Beberapa peneliti membedakan antara strategi tugas yang spesifik dan strategi

umum. Menurut Goldman, strategi tugas yang spesifik difokuskan pada operasi kognitif

yang diperlukan untuk memecahkan jenis soal tertentu. Strategi ini mengarahkan

seseorang tentang apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi soal tertentu

(Goldman et. al. 1988). Strategi tugas yang spesifik dapat terdiri dari bermacam-macam

bentuk dengan tingkat kompleksitas yang berbeda-beda.

Menurut Goldman, strategi jenis ini memberikan kerangka kerja umum bagi

siswa untuk menghadapi tugas-tugas matematika dan memperoleh informasi tentang

kemajuan upaya pemecahannya (Goldman et. al. 1988). Kesimpulannya, terdapat

sekurang-kurangnya dua macam cara fundamental untuk mendefinisikan strategi (1)

sebagai aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan, atau (2) sebagai

aktivitas yang direncanakan dan berorientasi pada tujuan juga temasuk proses sebelum

pemilihan yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan prosedur tertentu guna

memecahkan soal.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

156

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

Untuk membekali siswa menghadapi UAN diberikan strategi umum dari teori-

teori kognitif dan pemrosesan informasi menjadi strategi-strategi belajar khas. Beberapa

strategi belajar yang dimaksud adalah strategi mengulang, strategi elaborasi, strategi

organisasi.

1. Strategi Mengulang

Strategi ini sangat penting untuk siswa yang berkesulitan belajar matematika,

mengingat kesalahan sering terjadi pada kesalahan mengingat. Untuk penyerapan

pengetahuan yang lebih kompleks diperlukan strategi mengulang kompleks, yaitu perlu

melakukan upaya lebih jauh sekedar mengulang informasi. Menggarisbawahi ide-ide

kunci dan membuat catatan pinggir adalah dua strategi mengulang kompleks yang dapat

diajarkan kepada siswa untuk membantu mereka mengingat bahan ajar yang lebih

kompleks.

a. Menggarisbawahi

Menggarisbawahi membantu siswa belajar lebih banyak dari teks karena

beberapa alasan. Pertama, dengan menggarisbawahi siswa dapat menemukan ide-ide

kunci (dalam bentuk tulisan), oleh karena itu pengulangan dan penghafalan lebih cepat

dan lebih efisien. Kedua, pada saat siswa melakukan pemilihan pada apa yang

digarisbawahi tentunya tidak terlepas dari pengetahuan sebelumnya, dan hal ini akan

membantu dalam menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah ada.

Kenyataan dilapangan banyak siswa yang tidak memiliki buku matematika dari

kelas XI sampai XII, untuk mengatasi hal tersebut umumnya siswa membeli buku

rangkuman rumus matematika. Sehingga aktivitas menggarisbawahi tidak begitu

tampak pada kondisi ini, mengingat buku rangkuman mengandung ide-ide kunci dalam

bentuk tulisan atapun gambar.

b. Membuat Catatan-catatan Pinggir

Membuat catatan pinggir dan catatan lain membantu melengkapi garis bawah.

Memberi catatan pinggir bertujuan untuk memberikan penjelasan pada kata yang telah

digarisbawahi, mengidentifikasi kalimat yeng membingungkan dan siswa menulis

catatan-catatan dan komentar-komentar untuk diingat. Strategi ini baik digunakan pada

saat siswa membuat catatan. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru adalah meminta

siswa untuk menjadi dua kolom dalam buku catatan, seperti tampak pada gambar:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

157

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

Catatan Catatan pingir

Siswa

2. Strategi-strategi Elaborasi

Elaborasi merupakan proses penambahan rincian sehingga informasi baru akan

menjadi lebih bermakna. Strategi elaborasi membantu pemindahan informasi baru dari

memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan

hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah diketahui

a. Pembuatan Catatan

Sejumlah besar informasi diberikan kepada siswa melalui presentasi dan

demonstrasi guru. Pembuatan catatan membantu siswa dalam mempelajari informasi ini

secara singkat dan padat menyimpan informasi untuk ulangan dan dihafal kelak. Bila

dilakukan dengan benar, pembuatan catatan juga membantu mengorganisasikan

informasi sehingga informasi itu dapat diproses dan dikaitkan dengan pengetahuan yang

telah ada secara lebih efektif.

b. Analogi

Analogi adalah pembandingan yang dibuat untuk menunjukan kesamaan antara

ciri-ciri pokok suatu benda atau ide-ide, selain itu seluruh cirinya berbeda, seperti

translansi dengan perpindahan.

c. Preview, Question, Read, Reflect, Recite dan Review (PQ4R)

Metode PQ4R digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka

baca. Melakukan preview dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum membaca

mengaktifkan pengetahuan awal dan mengawali proses pembuatan hubungan antara

informasi baru dengan apa yang telah diketahui.

3. Strategi Organisasi

Seperti halnya strategi elaborasi, strategi organisasi bertujuan membantu siswa

meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan

mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut.

Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-

istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi sub set yang lebih kecil.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

158

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

Strategi- strategi ini juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci

dari sekumpulan informasi yang lebih besar. Outlining, mapping, dan mnemonics

merupakan strategi organisasi yang umum.

a. Outlining

Dalam outlining atau membuat kerangka garis besar, siswa belajar menghubungkan

berbagai macam topik atau ide dengan beberapa ide utama. Dalam pembuatan

kerangka garis besar tradisional satu-satunya jenis hubungan adalah satu topik

kedudukannya lebih rendah terhadap topik lain. Sama dengan strategi lain, siswa

jarang sebagai pembuat kerangka yang baik pada awalnya, namun mereka dapat

belajar menjadi penulis kerangka yang baik apabila diberikan pengajaran tepat dan

latihan yang cukup.

b. Pemetaan Konsep

Agar supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan

konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Berkenaan dengan itu

Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988:149) mengemukakan bahwa cara

untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar

bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.

c. Mnemonics

d. Chunking (potongan)

e. Akronim (singkatan)

4. Strategi Metakognitif

Metakognisi berhubungan dengan pengetahuan siswa tentang cara berpikir

mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu

dengan tepat. Siswa diminta untuk merencanakan strategi (strategi deiberikan sebagai

pengetahuan) yang cocok dengan dirinya, kemudian melakukan managemen diri serta

melakukan evaluasi sebagai atas apa yang telah direncanakan dan dilakukan serta

dihasilkan.

IV. Strategi untuk memecahkan soal-soal matematika

Pada bagian berikut ini akan diuraikan sejumlah strategi yang diterapkan pada

pengerjaan soal matematikatika. Secara keseluruhan, fokus utama kajian ini adalah: (1)

memberikan gambaran tentang kondisi anak berkesulitan belajar matematika dalam

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

159

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

usaha mempersiapkan UAN (2) menawarkan saran-saran untuk penelitian tentang

strategi di masa mendatang yang melibatkan siswa-siswa yang berkesulitan dalam

matematika.

Pihak sekolah umumnya telah mengadakan try out UAN, baik yang

diselenggarakan oleh dinas Propinsi DIY, maupun oleh pihak sekolah, artinya sekolah

telah menerapkan strategi mengulang. Strategi lain yang diberikan adalah siswa diberi

rangkuman berkaitan dengan fakta dalam matematika dan rumus matematika, termasuk

didalamnya berkaitan dengan peta konsep matematika. Tujuan dari pemberian ini

adalah siswa diminta untuk mengingat sebagai salah satu strategi untuk mereduksi

kesalahan yang dilakukan siswa terkait dengan ingatan, sekaligus memberikan makna

pada pembelajaran matematika.

Mengkomunikasikan sandar kelulusan merupakan strategi lain yang dilakukan

sekolah, hal ini untuk meminta siswa berkesulitan belajar unuk mencapai target minimal

kelulusan yang ditetapkan, yaitu 5,01, sehingga apabila soal matematika dalam UAN

berjumlah 30 soal, maka siswa tersebut harus menargetkan menjawab dengan benar 16

soal yang ada yang dianggap siswa paling mudah. Siswa diminta untuk memilih

minimal 15 soal dari 30 soal-soal ujian akhir nasional tahun 2007 yang ada. Dari 15 soal

yang dipilih, berikut adalah 7 soal yang menurut siswa dianggap mudah. Berikut adalah

soal yang mereka anggap mudah dari 30 soal yang ada.

1. Jika diketahui alog b = m dan blog c = n, tentukan ablog bc

A. m+n C. mnm

++

1)1( E.

mmn++

11

B. m.n D. nmn

++

1)1(

2. Bentuk sederhana dari ( )24332758 −−−

A. 31422 + C. 31422 +− E. 3422 −

B. 3422 −− D. 3422 +−

3. Diketahui x1 dan x2 akar-akar persaaan : 0133

109 =+− xx

A. 2 C. 1 E. -2

B. 23 D. 0

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

160

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

4. Diketahui matriks A=2Bt (Bt adalah trnspose B), dengan , dan

. Nilai a + b + c = .....

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

cba

A324

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛++−

=71232

baabc

B

A. 6 C. 13 E. 16

B. 10 D. 15

5. Diketahui segitiga PQR dengan P (0,1,4); Q (2,-3,2) dan R (-1,0,2). Besar sudut

PRQ adalah ...

A. 120o C. 60o E.30o

B. 90o D. 45o

6. Ali, Budi, dan Dedi pergi ke toko koperasi membeli buku tulis, pena, dan pensil

dengan merk yang sama. Ali membeli 3 buku tulis, 1 pena dan 2 pensil dengan

harga Rp. 11.000,00. Budi membeli 2 buku tulis 3 pena, dan 1 pensil dengan harga

Rp. 14.000,00. Cici membeli 1 buku tulis, 2 pena dan 3 pensil dengan harga Rp.

11.000,00. Dedi membeli 2 buku tulis 1 pena, dan 1 pensil. Berapa rupiah Dedi

harus membayar?

A. Rp. 6.000,00 C. Rp. 8.000,00 E. Rp. 10.000,00

B. Rp. 7.000,00 D. Rp. 9.000,00

7. Diketahui premis-pemis berikut:

Premis 1 : Jika Dodi rajin belajar, maka ia naik kelas

Premis 2 : Jika Dodi naik kelas, maka ia akan dibelikan baju

Kesimpulan yang sah adalah :

A. Dodi tidak rajin belajar tetapi ia akan dibelikan baju

B. Dodi rajin belajar tetapi ia tidak akan dibelikan baju

C. Dodi rajin belajar atau ia akan dibelikan baju

D. Dodi tidak rajin belajar atau ia akan dibelikan baju

E. Dodi rajin belajar atau ia tidak akan dibelikan baju

Berikut adalah pengetahuan serta strategi yang mereka gunakan untuk

menyelesaikan soal tersebut, yang tentunya tidak semua strategi yang digunakan sesuai

dengan yang diharapkan dalam kompetensi dalam matematika :

1. Digunakan log ab = log a + log b, sedangkan bilangan dasar tidak diperhatikan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

161

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

Analisa : siswa lupa dengan sifat-sifat logaritma, sehingga tidak dapat

mengembangkan strategi dalam menyelesaikan soal tersebut.

2. Digunakan kalkulator untuk menghitung soal no 2 dan 3

Analisa : Siswa tidak mengetahui keterkaitan soal dengan bentuk kuadratik

3. Digunakan makna kesamaan dua buah matriks, dengan mengabaikan transpose.

Analisa : siswa lupa dengan konsep transpose, serta belum terampil menggabungkan

konsep transpose dan kesamaan dua buah matriks

4. Digambar kemudian diperkirakan nilai sudut

Analisa : Siswa belum terampil memanfaatkan aturan cosinus serta konsep jarak

5. Digunakan tabel untuk memodelkan soal no 6

Analisa : strategi sudah baik, tetapi penentuan solusi masih terjadi kesalahan hitung

6. Digunakan perbandingan untuk menghitung soal no 6.

Analisa : srategi dapat digunakan untuk soal sejenis yang mudah

7. Digunakan logika umum untuk menyelesaikan soal no 7

Analisa : untuk masalah sederhana dapat digunakan strategi tersebut.

Dilihat dari pengerjaan soal siswa masih minim akan strategi penyelesaian,

disamping karena mereka melakukan kesalahan berkaitan dengan ingatan. Asumsi

dasarnya adalah perkembangan yang normal ditandai oleh fakta bahwa bila siswa

bertambah pengetahuan, strategi baru pun terbentuk (baru menjadi asumsi, masih

memerlukan dukungan data). Jadi, jumlah pengetahuan tentang strategi tugas yang

spesifik itu meningkat, dan siswa perlahan-lahan mendapatkan koleksi strategi yang

lebih bervariasi. Kemiskinan akan strategi menandakan bahwa penggunanya belum

matang, (sangat muda), sedangkan kekayaan strategi menandakan bahwa pengguna

strategi itu sudah matang.

Untuk dapat mengaitkan penggunaan strategi dengan berbagai kondisi yang

berubah-ubah, penting bagi siswa untuk memiliki pengetahuan tentang bermacam-

macam strategi. Ini mengisyaratkan bahwa fungsionalitas penggunaan strategi siswa

sebagian dapat merupakan fungsi kuantitas pengetahuan strateginya. Faktor sentral

lainnya dalam perkembangan adalah bahwa tempat penyimpanan strategi siswa itu

berubah terus.

Di dalam alur perkembangan, kualitas dasar pengetahuan strategi berubah ke

arah yang lebih fleksibel dalam hal kemampuan untuk mengadaptasikan pengetahuan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

162

PM – 13 : Kesiapan Siswa SMA...... R Rosnawati

strategi itu dengan berbagai situasi yang berbeda-beda (Ostad; 2000). Bila seorang

siswa, dalam kurun waktu yang sangat panjang, misalnya dua tahun, selalu

menggunakan strategi yang sama tanpa variasi dari satu situasi ke situasi lainnya, ini

dapat disebabkan oleh kemiskinannya akan strategi. Tetapi mungkin juga pengetahuan

strateginya tidak disimpan dengan tepat.

V. Kesimpulan

Untuk memperhatikan kebutuhan siswa-siswa yang berkesulitan belajar

matematika, metode pengajaran perlu mengubah fokusnya, sejak siswa masuk di tahun

pertama sekolah, dari cara belajar yang memberikan banyak materi matematika menjadi

cara belajar matematika dengan menggunakan strategi yang tepat. Hal ini akan dapat

membantu siswa menjadi pengguna strategi yang baik dan adanya pergeseran dari

sekedar menghafal keterampilan-ketrampilan dasar, menjadi belajar bermakna.

Disamping itu diberikan pengetahuan tentang strategi belajar, seperti antara lain

membuat catatan, teknik mengingat (dengan memberi contoh), serta pentingnya

melakukan evaluasi pada strategi yang telah dipilih. Pengajaran cara pemecahkan soal

akan membantu siswa yang kekurangan strategi pemecahan soal dengan pengajaran

yang eksplisit untuk memudahkan mereka membaca, memahami, mengerjakan dan

mengevaluasi soal.

Daftar Pustaka Goldman, S.R., Pellegrino, J.W., & Mertz, D.L. (1988). Extended practice of basic

addition facts: Strategy changes in learning disabled students. Cognition and Instruction , 5, 223-265.

Halford, G.S. (1993). Children’s understanding. The development of mental models.

Hillsdale, NJ: Erlbaum. Ostad, S.A. (1989). Mathematics trough the fingertips. Hosle-Oslo: The Norwegian

Institute for Special Education. Ostad S.A. (2000). Cognitive subtraction in a developmental perspective: Accuracy,

speed-of-processing and strategy-use differences in normal and mathematically disabled children. FOCUS on learning Problems in Mathematics, 22(2), 18-31.

Paul Suparno.(1997). Filsafat Konstruktivise dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

163

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep, Pemecahan Masalah dan

Afektif Matematik Peserta Didik ( Artikel Kajian Hasil Penelitian Internasional Pendidikan Matematika )

Rudy Kurniawan

(STKIP YASIKA Majalengka)

Abstrak Kajian hasil penelitian internasional pendidikan matematika yang berbasis teknologi ini diarahkan untuk menemukan isu-isu pembelajaran matematika terkini yang dapat dijadikan salah satu sumber utama untuk mendorong para praktisi pendidikan dalam meningkatkan doing math peserta didik, yang mungkin timbul dari praktek pembelajarannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran matematika berupa Kalkulator Grafik, Sistem Multi Media Teknologi Komputer serta Evaluasi pembelajaran matematika berbasis web-komputer dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah matematik dan sikap peserta didik terhadap matematika, diberbagai level pendidikan. Walaupun demikian, peranan guru, rancangan materi ajar, mathematical task, kondisi dan kemampuan siswa, perkembangan mental, kemampuan prasyarat peserta didik, sarana dan prasarana serta aspek-aspek pedagogis harus dipertimbangkan dalam pelaksanaannya, sehingga aspek kemampuan doing math dan afektif yang diharapkan dapat tercapai. Kata kunci : Pembelajaran berbasis teknologi, kemampuan doing math.

A. Pendahuluan

Pembelajaran matematika yang sering dilakukan pada level sekolah dan

perguruan tinggi pada umumnya menggunakan pembelajaran konvensional, artinya

pembelajaran tersebut dilakukan pendidik beupa penyampaian materi kepada peserta

didik, latihan penyelesaian soal, pemberian tugas-tugas, dan diakhiri dengan ujian tulis

peserta didiknya.

Pembelajaran konvensional yang dilakukan pada level-level tersebut pada

umumnya hanya berjalan satu arah, sehingga aktifitas mental proses pembentukan

konsep matematika (minds on) peserta didik kurang dilibatkan secara maksimum,

pembelajaran berkesan tidak bermakna, bahkan tidak jarang suatu konsep tertentu hanya

dipahami sebagai bentuk hafalan, bukan sebagai pengertian, sehingga konsep-konsep

tersebut akan mudah hilang. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, terkadang konsep

matematika dipahamani secara keliru (miskonsepsi), sehingga peserta didik tidak

mampu menerapkan dengan baik konsep-konsep dan teorema-teorema yang telah

dipelajarinya untuk menyelesaikan soal-soal latihan, apalagi dalam menyelesaikan suatu

soal/ permasalahan yang berkaitan dengan konsep-konsep materi yang lainnya

(misalnya untuk level mahasiswa dalam membuktikan suatu teorema), ataupun

menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan keseharian.

Pembelajaran berbasis tehnologi adalah salah satu alternatif yang dapat

digunakan untuk mengatasi dampak negatif dari pembelajaran konvensional.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

164

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

Pembelajaran berbasis tehnologi dapat meliputi pembelajaran matematika yang dilihat

dari dua sisi, yaitu pembelajaran matematika sebagai sebuah pembelajaran konsep yang

dipelajari secara formal, deduktif dan pembelajaran matematika sebagai sebuah aktivitas

manusia yang aktif dinamik. Artinya, pembelajaran matematika berbasis tehnologi akan

memperhatikan konstruktivis peserta didik dalam membangun suatu konsep matematika

dan menerapkannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi peserta

didik secara sistematis, logis dan mudah. Pembelajaran tersebut akan melibatkan siswa

secara aktif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran matematikanya, selanjutnya

melalui rasa senang dan ketertarikan peserta didik terhadap pembelajaran matematika

maka akan meningkatkan prestasi belajar khususnya kemampuan pemahaman konsep,

pemecahan masalah matematik maupun kemampuan afektifnya.

B. Kajian Teori Mengenai Pembelajaran Berbasis Tehnologi

Pembelajaran matematika berbasis tehnologi, baik itu menggunakan kalkulator

grafik, komputer, sistem multi media, web-jaringan tinggi serta tehnologi lainnya adalah

salah satu pembelajaran yang dapat disajikan untuk memicu konstruktivis peserta didik

dalam membangun suatu konsep matematika dan menerapkkannya dalam mencari

solusi yang dihadapi peserta didik, hal ini senada dengan pendapat Mayer (Su dan Lee,

2005) yang menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran berbasis tehnologi

(multimedia) dapat memunculkan pembelajaran yang bersifat konstruktif dan

memungkinkan siswa untuk menemukan pemecahan suatu masalah dengan mudah.

Menurut Kastberg dan Leatham (2005), kalkulator grafik pertama kali di

gunakan pada tahun 1985 dan beberapa tahun kemudian para pendidik matematika

mulai melakukan studi tentang cara dan pengaruh alat ini pada pengelolaan kegiatan

belajar mengajar. Area penelitian tersebut dikumpulkan menjadi sebuah alat penelitian

pada penampilan dan belajar siswa yang menggunakan kalkulator grafik, yang kini terus

tumbuh dan berkembang sebagai batang tubuh penelitian tentang penggunaan serta

pengaruh pengetahuan kalkulator grafik pada proses pembelajaran matematika. Hal

yang perlu diperhatikan adalah pemanfatan akses kalkulator grafik seharusnya

digunakan sebagai fasilitas untuk memahami suatu konsep matematika bukan sebagai

alat hitung semata.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

165

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

Demana & Waits (Serhan, 2006) menyatakan bahwa kalkulator-kalkulator grafik

memberi penawaran untuk memecahkan suatu masalah yang cakupannya luas, yang

tidak perlu dibatasi lagi oleh ketrampilan-ketrampilan aljabar dan aritmetika siswanya.

Bahkan Dick, Fey (Serhan, 2003) berpendapat bahwa penggunaan peralatan kalkulator

grafik di dalam instruksi pengajaran matematika akan memberi peluang para siswa

untuk mengeskplorasi suatu jangkauan fungsi secara lebih luas. Alat ini menyediakan

para siswa dengan akses yang mudah untuk melakukan multiple representasi. Hal itu

menggeser perhatian siswa dari perhitungan rutin menuju bentuk pengujian dan

eksplorasi secara mathematical, mempromosikan satu pendekatan elementer analytical

secara visual, dan mempromosikan pemakaian grafik-grafik untuk memonitor kemajuan

di dalam pemecahan suatu masalah. Selain itu, penggunaan kalkulator grafik,

memungkinkan juga untuk meminimalkan waktu dalam membuat suatu kemampuan

manipulasi simbolis siswa, sehingga dalam pembelajaran matematika akan

meningkatkan waktu untuk memecahkan masalah dan aplikasi-aplikasi suatu konsep

matematika.

Pemakaian alat teknologi seperti kalkulator grafik yang dirancang sesuai dengan

pembelajaran suatu konsep matematika dan karakteristik sekolah, maka dalam

pembelajaran matematikanya tersebut siswa akan lebih banyak mengambil dan

membutuhkan tanggung jawabnya dalam pembelajaran mereka sendiri, sehingga

dinamika aktivitas kelas lebih aktif, lebih banyak diskusi, konsep ditanamkan secara

inquiri dan pembelajaraan dapat dilakukan secara kooperatif multi dimensi, tidak

monoton satu arah. Dengan demikian melalui suatu perencanaan pembelajaran yang

baik, penggunaan tehnologi selain sebagai alat bantu perhitungan yang digunakan dalam

pembelajaran matematika juga dapat digunakan sebagai alat untuk membangun konsep-

konsep matematika, hal ini sesuai dengan pendapat Thomas dan Sullivan (Arnold dan

Lawson, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan tehnologi /

komputer dalam kelas-kelas matematika dapat membantu siswa untuk memahami

konsep-konsep abstrak.

Terlebih dengan makin merambahnya tehnologi dalam globalisasi dunia

pendidikan, maka pembelajaran konstruktivisme dengan berbasis teknologi mau tidak

mau harus dilakukan sebagai sebuah alternatif pembelajaran matematika, hal ini sesuai

dengan pendapat Zorn (Arnold dan Lawson,2003) bahwa teknologi komputer membuat

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

166

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

revolusi dalam pembelajaran pendidikan matematika, bahkan Koarndt (Su dan Lee,

2005) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis komputer dan multimedia sangatlah

penting, tidak hanya dalam pendidikan formal tetapi dalam konteks pendidikan kejuruan

lainnya.

Pembelajaran sebuah konsep matematika yang menggunakan tehnologi, dapat

meningkatkan rasa ketertarikan siswa, dan sifat enjoyment peserat didik dalam

mempelajari konsep-konsep matematika selanjutnya.. Oleh karena itu, kemampuan

penggunaan tehnik-tehnik yang lebih mahir serta perencanaan dan penerapan

pembelajaran untuk menuju pada penguasaan konsep matematika peserta didik dengan

berbasis tehnologi terus dikembangkan oleh para ahli. Usaha penjembatanan tersebut

adalah logis, karena menurut Nooriafshar (2004) berdasarkan bukti penelitian sejak

tahun 1996 hingga tahun 2000 mengungkapkan bahwa 50% siswa tidak dapat menyerap

materi pelajaran selama kegiatan belajar mengajarnya, bahkan menurut hasil survei di

Toowomba High School Students (THSS) mengungkapkan bahwa 39% siswa tahun ke-

12 tidak merasakan pembelajaran matematika secara menyenangkan. Hasil investigasi

THSS dalam pembelajaran statistika adalah : 51% siswa menyukai melihat grafik,

membayangkan gambar yang sesuai selama pembelajaran berlangsung, 44% siswa

menyukai guru memberikan penjelasan secara lisan, hanya 5% siswa yang mempunyai

kesempatan suka membaca buku atau hand out, dan bertanya pada guru bila mereka tak

memahami suatu konsep.

Sebenarnya Standar National Council Teachers/NCTM (Olkun, Sinoplu,

Deryakulu, 2002) telah mengisyaratkan bahwa pembelajaran matematika (konsep

geometri) untuk tingkat siswa sekolah dasar sekalipun dapat menggunakan alat

tehnologi seperti sofware geometri interaktif, ‘geometers skettchpad’ untuk

meningkatkan pembelajaran siswanya, selain itu dari NCTM Mathematics menuntut

suatu kurikulum matematika, yang "menekankan pemahaman konseptual, multiple

representasi dan koneksi-koneksi, pemodelan matematik, dan pemecahan masalah

matematik.

Walaupun pada umumnya para ahli berpendapat bahwa pembelajaran

matematika berbasis tehnologi, kalkulator grafik dan komputer membawa efek yang

positif terhadap hasil pembelajaran matematika, namun ada juga yang berpendapat

sebaliknya. Clark dkk (Arnold dan Lawson, 2003) menyatakan bahwa penggunaaan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

167

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

interaktif multi media tidak menemukan efek positif yang konsisten terhadap

pembelajaran matematika, begitu pula Rieber (Su dan Lee, 2005) ia menyimpulkan

bahwa animasi pada sebebuah program komputer tidak dapat membantu dan

memfasilitasi efektifitas proses pembelajaran, bahkan Lin dan Dwyer (Su dan Lee,

2005) menunjukan bahwa animasi tidak efektif dalam hal biaya atau strategi yang

efektif untuk meningkatkan prestasi siswa dalam pencapaian pengetahuan berdasarkan

intruksi web dan objek yang dilakukan.

Kasberg dan Leatham (2005) menemukan bahwa akses kalkulator grafik

membentuk sebuah kritikan bagi guru – guru matematika SMP Amerika, walaupun

demikian hal ini menjadi dasar dimensi bagi partisipasinya guru, tentang keyakinan

penggunaan tekhnologi di ruang kelas.

Seperti halnya pembelajaran matematika yang berbasis tehnologi, evaluasi

pembelajaran matematika mempunyai alternatif asesmen lain yang berbeda seperti pada

umumnya asesmen yang sering dilakukan dengan menggunakan pinsil dan kertas.

Kinzer, Cammak serta Morgan & O’Rielly (Nguyen, 2005) menyatakan bahwa

penilaian berbasis-web melalui pembelajaran jarak jauh, di dalam kelas, atau di lab

komputer memungkinkan guru memonitor kemajuan siswa, memungkinkan siswa

menilai diri sendiri (self-asses) dan mengatur sendiri (self-regulate), serta menjadi

pembelajar yang mengarahkan sendiri (self-directed).

Selanjutnya, menurut Allen (2001), Lin (2002) dan Chung dan Baker (2003),

penilaian berbasis-web memperkenalkan siswa pada cara yang menggairahkan dalam

belajar dan memperkenalkan guru pada alat yang sangat kuat dalam menilai kemajuan

siswa.

Menurut pengkajian dari Middleton dan Spanias, 1999; Beevers, McGuire,

Sterling, dan Wild, 1995 (Nguyen, 2005) praktek evaluasi berbasis-web dapat

menciptakan konteks belajar dan penilaian yang berbeda, dan menghasilkan pendekatan

yang fleksibel dalam pembelajaran dan evaluasi. Pendekatan yang fleksibel ini

memungkinkan siswa menerima informasi tepat waktu mengenai perbaikan dan

penyesuaian mereka. Bahkan Carter (2004) menyatakan bahwa dengan keunggulan

yang unik ini, penilaian berbasis-web membawa misi instruksional bahwa penilaian

kertas-dan-pinsil pada pembelajaran tradisional tidak pernah dapat tersempurnakan.

Disamping itu, agar sukses dalam pembelajaran berbasis web atau e-learning Sumarmo

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

168

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

(2006) merekomendasikan peserta didik seharusnya : a) have a high selft regulated

learning, b) have their own objectives, c) select learning materials and ways of

learning, d) select and solve learning tasks, e) reflect and self-evaluate their learning

progress. Dengan demikian, maka kondisi-kondisi tersebut mengharuskan para pendidik

untuk mengembangkan materi pembelajaran yang beragam dan sesuai dalam memenuhi

kebutuhan belajar matematika peserta didiknya. Melalui pengkondisian ini, tentulah

peningkatan hasil belajar berupa kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah

matematik dan afektif matematika siswa akan memberi peluang yang baik.

C. Hasil Penelitian

Berikut ini dikemukakan hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran matematika

berbasis tehnologi komputer, kalkulator grafik dan penilaian berbasis web dari peneliti-

peneliti, seperti Arnold dan Lawson (2003), Nooriafshar (2004), Su dan Lee (2005),

Kasberg dan Leatham (2005), Nguyen (2005) serta Serhan (2006).

Arnold dan Lawson (2003), meneliti tentang problem solving untuk masalah-

masalah spasial (ruang), yaitu hidden cubes, mapping, rotasi, simetri, dan visualisasi.

Subjek dalam penelitian ini adalah 52 orang siswa kelas 7 di Australia yang terbagi dari

26 siswa-siswa bekerja secara berpasangan menggunakan komputer dengan program

Working Mathematically Space (WMS) dan 26 siswa-siswa menggunakan pembelajaran

dengan alat peraga konvensional. Dari 26 siswa tersebut dibagi kedalam 6 pasang siswa

dibimbing guru, dan 7 pasang siswa tanpa pembimbingan guru, mereka diminta

menyelesaikan suatu instrumen berupa tugas problem solving untuk membentuk suatu

menara simetris dari berbagai bentuk dan ukuran balok yang jumlahnya 44, tingginya 4

tingkat dengan satu balok berada di puncak, serta semua balok harus terpakai.

Hasil penelitian mereka, ternyata menunjukan bahwa kemampuan problem

solving siswa-siswa yang menggunakan program WMS tidak berbeda secara signifikan

hasil pembelajarannya dibandingkan dengan kemampuan siswa yang menggunakan alat

peraga konvensional baik yang dibimbing guru maupun yang tidak dibimbing guru

dalam menyelesaikan masalah-masalah ruang/spasial tersebut.

Berbeda dengan hasil penelitian Arnold dan Lawson, penelitian kualitatif oleh

Nooriafshar (2004) menunjukan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan

program dinamik melalui metode general porpose dan adopsi general porpose tabel

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

169

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

serta generalised recursive formula (GRF) dengan multimedia ternyata memberikan

respon yang positif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas 3 SMA di

Toowomba Australia, sedangkan instrumen yang digunakannnya berupa masalah

kontekstual program dinamik (program linier).

Hasil penelitiannya menunjukan bahwa siswa-siswa belajar matematika secara

menyenangkan, dan hasil pencapaian kemampuan matematika siswa pada topik materi

dinamik programing terus meningkat, lebih dari 95% hasil penilaian siswa sangat

memuaskan, 52% siswa lebih menyukai pembimbingan dalam mencari solusi, 55%

siswa menyukai pengunaan grafik, animasi dan corak secara visual, 95 % siswa

umumnya sukses menggunakan GRF setelah mengerjakan 2 sampai 3 kali contoh

masalah program dinamik. Selain itu terungkap bahwa kegiatan belajar mengajar

melalui pembelajaran berbasis tehnologi ini menghasilkan suatu pemberian kesempatan

bagi para siswa dengan kemampuan matematika yang mulanya ada pada level kedua

berubah menjadi sukses pada level yang lebih tinggi serta siswa belajar menjadi lebih

mudah sekalipun mempelajari topik matematika yang relatif tinggi/sulit.

Su dan Lee (2005), melakukan penelitian eksperimen, mereka meneliti tentang

pemahaman konsep mahasiswa tentang topik limit dengan menggunakan tehnologi

multimedia. Mereka mengunakan subjek penelitian dengan sampel 96 mahasiswa

jurusan bisnis manajemen yang terbagi kedalam 2 kelompok, yaitu 50 mahasiswa

melakukan pembelajaran topik limit dengan menggunakan buku teks dan 46 mahasiswa

kelompok eksperimen menggunakan tehnologi multimedia antara lain flash animations

program, gambar statis matematik, power poin dan software e-plus, termasuk konsep

komputer animasi flash, contoh matematika static, power point dan software

berdasarkan instruksi e-plus. Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang

penguasaan limitnya, digunakan instrumen masalah konsep limit yang meliputi 3 jenis

pertanyaan, yaitu: a) Tiga pertanyaan tentang pengetahuan limit, b) Lima pertanyaan

tentang kemampuan berpikir rasional, c) Dua pertanyaan tentang aplikasi limit. Selain

itu, dalam mengumpulkan informasi tentang sikap mahasiswa, yaitu sikap belajar

mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan tehnologi multi media, sikap

guru selama pembelajaran, sikap lingkungan belajar terhadap multimedia, sikap

mahasiswa terhadap evaluasi diri dan hasil belajar, peneliti menggunakan penilaian

skala lima tingkatan dari Likert yang dikembangkan oleh Su.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

170

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa mahasiswa yang pembelajaran

matematikanya menggunakan tehnologi multimedia lebih baik pemahaman limitnya

dibandingkan mahasiswa yang tidak menggunakan multimedia, selain itu berdasarkan

hasil dari skala sikap mahasiswa kelompok eksperimen memberi hasil respon yang

positif. Artinya pembelajaran matematika pada topik limit dengan menggunakan

tehnologi multimedia, dilihat daris segi hasil belajar mahasiswa maupun sikap pendidik

dan peserta didiknya mendapatkan hasil kemampuan kognitif dan afektif pembelajaran

yang menggembirakan.

Serhan (2006), melakukan penelitian dengan menggunakan metodologi

penelitaian kuantitatif dan kualitatif tentang perbandingan pemahaman dan gambaran

konsep derivatif di suatu titik antara mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik

dengan yang tidak menggunakan kalkulator grafik pada pembelajaran kalkulus. Sampel

yang berrperan dalam penelitian ini, yaitu 71 mahasiswa semester 1 program sarjana di

dua universitas USA yang berbeda, terdiri dari 24 mahasiswa di kelas eksperimen

menggunakan pembelajaran materi kalkulus dengan berbantuan kalkulator grafik dan 47

mahasiswa pada kelas kontrolnya (tradisonal) tidak berbantuan kalkulator grafik. Selain

itu 11 mahasiswa, 5 mahasiswa kelas eksperimen dan 6 mahasiswa di kelas tradisional

melakukan wawancara. Instrumen pretes dan postes sebanyak 11 soal berbentuk uraian

tentang konsep derivatif disuatu titik dilakukan selama 50 menit. Sebagian dari soal-soal

uraian ini meminta siswa untuk menemukan tingkat perubahan rerata, nilai derivative

yang diberikan pada suatu titik, dan apa yang dimaksud dengan konsep derivative pada

suatu titik. Sebagian pertanyaan dari test ini diambil dari riset studi-studi yang

berhubungan dengan derivative, misalnya dari Orton (1983), dan Zandieh (1997),

Serhan (2006). Selain itu, untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat

pengembangan, pemahaman dan gambaran konsep derivatif mahasiswa digunakan

instrumen wawancara yang terdiri dari 8 Probing Question tentang konsep derivatif

yang dilakukan secara terbuka.

Berdasarkan hasil tes setelah pembelajaran, ternyata pemahaman konsep

kalkulus mahasiswa tentang derivatif disuatu titik dengan mengunakan kalkulator grafik

lebih baik hasilnya dibandingkan dengan yang tidak menggunakan kalkulator grafik.

Artinya mahasiswa yang menggunakan kalkultor grafik bisa membentuk koneksi yang

lebih baik dalam merepresentasikan secara berlainan tentang derivative pada suatu titik

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

171

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

dibandingkan dengan para mahasiswa yang tidak menggunakan kalkulator grafik.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara terungkap bahwa, kedua kelompok penelitian

tidak berbeda dalam hal : a)membangun suatu kesan visual tentang derivative pada

suatu titik sebagai kemiringan dari garis singgung pada titik tersebut, b) penguasaan

aturan turunan dan menggunakannya dalam menemukan derivative dari suatu fungsi

pada suatu titik yang spesifik, c) kebanyakan mahasiswa tidak mampu menggunakan

definisi secara simbolis tentang derivative pada suatu titik secara benar. Walaupun

demikian ternyata mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik pada umumnya

mengevaluasi derivative dengan suatu tabel dari nilai fungsinya dan mengunakan titik-

titik magnifikasi yang berbeda dalam membuat grafik, serta pada umumnya mahasiswa

mampu membuat koneksi antara tingkat perubahan rerata dan tingkat perubahan sesaat,

tetapi untuk kelompok tradisional pada umumnya mahasiswa tidak mampu membuat

koneksi antara tingkat perubahan rerata dan tingkat perubahan sesaatnya. Artinya

mahasiswa yang menggunakan kalkulator grafik menekankan secara visual dan

representasi numerik tentang konsep derivative, kalkulator grafik membantu para

mahasiswa mengembangkan suatu gambaran konsep, representasi yang berbeda tentang

derivative, dengan koneksi representasi-representasinya yang lebih baik dari pada

mahasiswa kelas tradisionalnya. Dengan demikian penggunaan kalkulator grafik,

memungkinkan juga untuk meminimalkan waktu dalam membuat suatu kemampuan

manipulasi simbolis siswa, sehingga dalam pembelajaran matematika akan

meningkatkan waktu untuk memecahkan masalah dan aplikasi-aplikasi suatu konsep

matematika.

Kasberg dan Leatham (2005), melakukan penelitian studi literatur tentang aspek

kalkulator grafik, penempatan kalkulator grafik dalam kurikulum matematika dan

koneksi antara kalkulator grafik dengan praktek pedagogik. Penelitian survey ini

ditujukan pada penelitian-penelitian akses kalkulator grafik yang diasosiasikan dengan

peningkatan penilaian siswa dan keluasan dari pendekatan problem solving terhadap

guru-guru dan calon guru serta siswa-siswa dari jenjang SD, SMP hingga perguruan

tinggi di USA.

Hasil penelitian memberi kesan bahwa penilaian siswa memberi efek yang

positif ketika mereka menggunakan kurikulum yang di-disain menggunakan kalkulator

grafik sebagai alat utama dalam pembelajaran matematika, selain itu penelitian pada

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

172

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

guru yang menggunakan kalkulator grafik mengilustrasikan pengaruh yang kuat

terhadap profesionalisme, pengetahuan kemampuan matematika siswa dan penggunaan

kalkulator pada pembelajarannya.

Walaupun penggunaan kalkulator grafik pada pembelajaran matematika sekolah

memberi hasil yang beragam pada performance siswa di USA, namun peneliti

mengusulkan bahwa penggunaan kalkulator grafik bisa ditempatkan pada kurikulum.

Para guru dan calon guru matematika secara pedagogik harus mampu memanfaatkan

kalkulator grafik untuk proses pembelajarannya. Oleh karena itu pembelajaran

matematika dengan menggunakan kalkulator grafik seharusnya hanya digunakan setelah

siswa memahami prosedur matematika dengan aktivitas yang dilakukan siswa.

Penggunaan kalkulator grafik seharusnya digunakan sebagai fasilitas untuk memahami

suatu konsep matematika bukan hanya digunakan sebagai pengecekan atas pekerjaan

siswa semata.

Berkaitan dengan penelitian mengenai penilaian/asesment berbasis tehnologi,

Nguyen (2005) meneliti tentang perbandingan prestasi belajar siswa tentang penguasaan

konsep siswa tentang perhitungan pecahan dan perhitungan dalam bentuk kontekstual.

Subjek penelitian adalah 95 orang siswa-siswa sekolah menengah pertama di Texas

bagian tenggara USA, terdiri dari 50 orang siswa tingkat tujuh (kelas 1 SMP) dan 45

orang tingkat delapan (kelas 2 SMP) dengan 41 orang siswa perempuan dan 54 orang

siswa laki-laki. Komposisi rasialnya adalah 12% Afrika Amerika, 25 % Hispanic, dan

63 % kulit putih. Sembilan siswa (tujuh dari satu sekolah dan dua dari sekolah lain)

dikelompokkan oleh sekolah mereka sebagai yang berhadapan dengan resiko,

berdasarkan pedoman negara. Semua siswa, kecuali satu, pandai berbicara bahasa

inggris. Siswa dari enam kelas matematika secara acak ditetapkan kedalam dua

kelompok perlakuan dalam masing-masing kelas. Setengah siswa dalam setiap kelas

berpartisipasi dalam pembelajaran dan praktek berbantuan basis-web (WALA) dan

menghabiskan waktu prakteknya di lab komputer. Setengah dari sisanya dikelas dan

melakukan praktek pembelajaran tradisional dengan bimbingan guru matematika

(TALA) selama waktu praktek pekerjaan rumah. Sesi praktek ini berakhir 30 menit

setiap hari, tiga kali seminggu selama tiga minggu. Instrumen untuk mengetahui

kemampuan konsep pecahan dan desimal menggunakan tes tentang perhitungan

pecahan dan desimal dalam bentuk kontekstual. Sedangkan untuk mengetahui sikap

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

173

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian berbasis tehnologi menggunakan angket

skala lima yang diadaptasi dari Instrument for Assessing Educator Progress in

Technology Integration from the University of North Texas.

Hasil penelitian ternyata prestasi siswa-siswa yang menggunakan pembelajaran

dan praktek penilaian berbasis tehnologi web dan komputer memberikan hasil

kemampuan matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak

menggunakan tehnologi berbasis web dan komputer. Selain itu berdasarkan hasil angket

ternyata 94% siswa (46 dari 49 siswa) lebih menyukai praktek pemebelajaran dan

penilaian berbasis-web daripada praktek pembelajaran dan penilaian berbasis kertas-

dan-pinsil.

D. Diskusi Hasil Penelitian

Dari penelitian Arnold dan Lawson (2005) ditemukan bahwa siswa yang

pembelajaran matematikanya menggunakan komputer pada program WMS ternyata

hasil belajarnya tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang

menggunakan alat peraga konvensional. Mananggapi hal ini penulis menduga bahwa

akses-akses kemampuan siswa dalam menggunakan software komputer bisa jadi belum

dikuasai siswa, selain itu perlu dikaji tingkat kemudahan/kesulitan penggunaan software

WMS-nya. Soal-soal/matehmatical task problem solving serta kedalam materi yang

digunakan harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik agar layak digunakan

sebagai suatu instrumen penelitian yang menggunakan multimedia/pembelajaran

berbasis tehnologi. Dalam memilih tugas matematika/matehmatical task, Sumarmo

(2006) berpendapat bahwa tugas-tugas tersebut dapat merupakan proyek pertanyaan,

soal, konstruksi, penerapan, atau latihan soal. Pemilihan tugas harus dilakukan dengan

pertimbangan ; matematika yang relevan; pemahaman minat dan pengalaman belajar

siswa; cara belajar siswa.

Hasil penelitian Nooriafshar (2004) yang menyoroti tentang pemaksimalan

pembelajaran program dinamik secara lebih mudah dan menyenangkan,

mengindikasikan bahwa pembelajaran matematika dengan berbasis tehnologi tetap

memerlukan kuantitas latihan siswa dalam mengerjakan tugas dan praktek latihan

menyelesaiakan suatu permasalahan/soal. Oleh karenanya, suatu sistem multimedia

tidak harus menjadi pengganti pengajaran tradisional, sistem multimedia yang paling

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

174

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

efektif adalah peranan guru yang nyata didalam kelas, yaitu guru yang menggunakan

bahasa tubuh dan guratan ekspresi, berubah nada suara dan menetapkan kontak mata

dengan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Selain itu karena penelitian

Nooriafshar (2004) bersifat kualitatif pada sebuah sampel dengan topik dinamik

programing, maka perlu adanya bentuk penelitian dan subjek yang lain, yang

menggabungkan pembelajaran matematika berbasis tehnologi/multimedia dan

pembelajaran berbantuan/bimbingan guru.

Su dan Lee (2005), melakukan penelitian eksperimen, mereka meneliti tentang

pemahaman konsep mahasiswa tentang topik limit dengan menggunakan tehnologi

multimedia, serta melihat kemampuan afektifnya menggunakan skala lima dari likert.

Namun penulis berpendapat bahwa sistem multimedia ataupun pembelajaran berbasis

tehnologi harus bisa meningkatkan keberadaan materi pelajaran, artinya multi media

pendidikan jangan hanya berperan sebagai alat tehnologi untuk mempercepat dan

mempermudah perhitungan semata, tetapi harus juga dapat berperan untuk

memudahkan penanaman konsep matematika, terlebih lagi pada konsep-konsep

matematika yang kompleks. Dengan demikian melalui pendisainan animasi dan

simulasi, serta penggunaan grafik, animasi dan corak visuilnya maka pembelajaran

matematika dapat dilakukan secara interaktif, menyenangkan, sehingga pembelajaran

akan memberikan hasil kemampuan kognitif dan afektif yang lebih baik dan positif dari

peserta didik. Selain itu, untuk melihat kemampuan afektif peserta didik dapat

menggunakan skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan, hal ini dimaksudkan untuk

menggiring teste untuk berpihak pada pilihan positif atau negatif dari suatu pernyataan,

dengan demikian opstion pilihan ragu-ragu atau ketakberpihakan siswa terhadap suatu

pernyataan dapat dihilangkan.

Secara pedagogik, Kasberg dan Leatham (2005) mengusulkan adanya pelatihan

bagi para calon guru dan guru matematika tentang personal filosofis dan keyakinan

tentang penggunaan kalkulator grafik agar pembelajaran matematika dapat berjalan

efektif. Artinya para guru membutuhkan pengalaman dalam proses belajar mengajar

dengan menggunakan kalkulator grafik secara konstruktivisme sehingga nantinya dapat

meningkatkan hasil belajar siswa berupa kemampuan pemahaman konsep matematika,

pemecahan maslah dan kemampuan afektifnya. Oleh karena itu guru matematika

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

175

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

seharusnya mempunyai akses pengetahuan dalam mengembangkan ketrampilan

mengajar dan mendidik sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Selain itu menurut hasil penelitian Serhan (2006), kalkulator grafik sebagai salah

satu hasil tehnologi yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, dapat

berperan untuk memudahkan serta menggiring para siswa dalam mengkonstruksi

konsep matematika (derivatif), seperti fungsi grafik, dan juga menyediakan para siswa

suatu gambaran yang dapat menolong mereka untuk memperjelas suatu grafik di setiap

titiknya. Namun untuk penggeneralisasian pada high order thinking lainnya, seperti

kemampuan komunikasi, penalaran siswa, dan pemecahan masalah, perlu adanya

penelitian pada sampel dan topik materi lainnya. Selain itu untuk melihat peningkatan

kemampuan afektif peserta didik terhadap proses pembelajaran perlu digunakan tatacara

pembuatan suatu pernyataan skala sikap dan perhitungan pengolahan data hasil skala

sikap dengan tehnik yang lebih mahir, misalnya seperti pengolahan data kualitatif yang

dikuantitatifkan, dan instrumen harus memiliki validitas logis dan empirik yang baik.

Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian Serhan (2006), ternyata bahwa

kedua kelompok penelitian tidak mampu menggunakan definisi secara simbolis tentang

derivative pada suatu titik secara benar. Hal ini disebabkan karena pemahaman

awal/prasyarat tentang derivative seperti perbandingan, limit, dan fungsi tidak dikuasai

mahasiwa dengan baik, untuk itu perlu kiranya penelitian pembelajaran matematika

yang menggunakan kalkulator grafik ataupun berbasis tehnologi lainnya memperhatikan

kemampuan awal/prasyarat dari suatu konsep matematika peserta didik sebelumnya.

Nguyen (2005), meneliti meneliti tentang perbandingan prestasi belajar siswa

tentang penguasaan konsep siswa tentang pecahan dan desimal melalui pembelajaran

dan penilaian berbasis web dan komputer. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa

kemampuan pemahaman dan sikap siswa yang menggunakan pembelajaran dan penilain

berbasis web dan komputer lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran tradisional,

namun perlu juga diteliti peningkatan kemampuan pemecahan masalah, serta faktor-

faktor lain yang menyebabkan prestasi siswanya menjadi tinggi, sedang atau rendah.

Selain itu, pengawasan, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasinya harus

disesesuaikan dengan prinsip-prinsip pedagogis.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

176

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

E. Kesimpulan

Pembelajaran matematika berbasis tehnologi harus dirancang sesuai dengan

materi ajar, mathematical task, kondisi dan kemampuan siswa terhadap akses tehnologi

yang digunakan, tingkat perkembangan mental dan kemampuan awal/materi prasyarat

peserta didik, serta sarana dan prasarana yang tersedia serta aspek-aspek pedagogis,

sehingga penyajian suatu materi konsep dapat diikuti dengan baik.

Gabungan antara peranan guru dan sistem pembelajaran matematika berbasis

tehnologi, nampaknya akan menjadi peluang yang besar untuk meningkatkan kualitas

proses dan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah dan kemampuan

afektif/sikap peserta didik.

Pembelajaran matematika berbasisi tehnologi merupakan suatu alat yang efektif

dalam menguatkan proses belajar siswa,. Oleh karena itu, proses kegiatan belajar

mengajarnya akan meminimalkan waktu belajar peserta didik, waktu yang tersedia bisa

dimanfaatkan untuk mempelajari materi/konsep lain atau praktek latihan mathematical

task, sehingga akan memberi peluang peserta didik dalam meningkatkan kemampuan

afektifnya..

Sikap dan minat siswa dalam pembelajaran matematika dengan berbasis

tehnologi pada umumnya positif, sikap dan minat siswa yang baik ini akan menjadi

pemicu pembelajaran yang efektif dan efesien, melalui pembelajaran yang efektif dan

efesien tentu akan meningkatkan kemampuan pemahaman konsep, pemecahan masalah

dan kemampuan afektif matematika peserta didik.

Daftar Pustaka

Arnold, L dan Lawson, M (2003). Spatial Problem-Solving in Year 7 Mathematics: An Examination of the Effects of Use of a Computer-Mediated Sofware Program. Matehematics Education Research Journal th 2003, Vol.15, No2,187-202.

Su dan Lee (2005). Anew Evaluation for Integrating Multimedia Technology with Science S tudent Perpormance in Mathematical Limit Teaching. World Transaction on Engineering and Technology Education Vol. 4 No 2.UICEE.

Kastberg, S., & Leatham, K (2005). Research on Graphing Calculators at the Secondary Level: Implications for mathematics teacher education. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education [Online serial], 5(1). Tersedia : http://www.citejournal.org/vol5/iss1/mathematics/article1.cfm (29 November 2007).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

177

PM – 14 : Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi.... Rudy Kurniawan

Malabar, I dan Pountney, D.C (2002).. Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education. Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002, Journal Research of Mathematics Education.

Nooriafshar, M (2004). The Use of Inovative Teaching Methods for Maximising The Enjoyment From Learning. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. Tersedia : http://www.usq.edu.au/users/mehryar. ( 5 September 2007).

Serhan, D (2006). The Effect of Graphing Calculators Use on Students Understanding of the Derivative at a Point. IJMTL. Tersedia : http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/serhan.pdf (10 Desember 2007).

Sumarmo, U (2006). High Level Mathematical Thinking: Experiments With High School and Undergraduate Students Using Various Approaches and Strategies. Paper Presented at The First International Confrence on Mathematics and Staistics (IcoMS-1). Bandung, West-Java, Indonesia, June 19-211,2006

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

178

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

Kajian Kritis Keterlaksanaan Kurikulum Matematika Sekolah

Oleh :

Sumaryanta Guru SMA Negeri 1 Nglipar

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengkaji keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah. Kajian difokuskan pada implementasi Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006 (KTSP) di SMA Pelaksana Terbatas Kurikulum Berbasis Kompetensi di Kodya Yogyakarta, yaitu SMA Negeri 7 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis menurut Miles dan Huberman, yang meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) guru menerima secara positif tugas sebagai pengembang kurikulum, (2) struktur kompetensi pada Permendiknas No 23 tahun 2006 perlu penataan ulang urutan, (3) beban belajar siswa cukup berat karena jumlah KD pada struktur kurikulum cukup banyak dibandingkan jumlah jam tatap muka per minggu, (4), penerapan program pembejaran sistem paket berdampak pada sulitnya pembelajaran tuntas, (5) pembelajaran berorientasi kompetensi relatif sulit dilaksanakan, dan (6) permasalahan yang dihadapi guru antara lain: a) perbedaan pemahaman antar stakeholders tentang standar keberhasilan pendidikan berdampak pada kerancuan fokus/target pencapaian pembelajaran, b) guru kurang berkesempatan mengembangkan KD baru, c) guru kesulitan menerapkan pembelajaran tuntas, d) tata urut KD yang kurang tepat mengakibatkan guru mengalami kendala ketika harus mengajarkan KD yang prasyaratnya justru belum diajarkan. Kata Kunci: Kajian, Kurikulum, Matematika

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Saat ini pemerintah sedang melakukan pembaharuan kurikulum di sekolah,

termasuk pada mata pelajaran Matematika. Mulai tahun 2003 sebagian sekolah mulai

menggunakan kurikulum baru, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan

dilanjutkan dengan menggunakan Kurikulum 2004 pada tahun 2004. Pada tahun

pelajaran 2006/2007 kurikulum sekolah diperbaharui lagi setelah diterbitkannya

Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 dimana kurikulum sekolah kemudian

dikenal dengan sebutan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Pembaharuan kurikulum tersebut perlu dikaji sejauh mana bisa diterapkan dan

memberikan kemajuan dibandingkan kurikulum sebelumnya. Sebagai sebuah inovasi

baru, implementasi kurikulum baru ini mungkin tidak mudah dan tidak serta merta

menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Berbagai hambatan dan permasalahan pasti

ditemui dalam pelaksanaan di lapangan. Oleh karena itu, ketika sebuah kurikulum

dilaksanakan, perlu dilakukan kajian yang sungguh-sungguh tentang keterlaksanaannya

agar diperoleh kepastian menyangkut kemanfaatan yang diperoleh dari penerapannya.

Informasi empiris yang diperoleh dari kajian ini dapat digunakan sebagai bahan

masukan untuk perbaikan kurikulum selanjutnya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

179

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

KTSP memang baru diterapkan mulai tahun pelajaran 2006/2007 sehingga belum

bisa menunjukkan hasil sepenuhnya. Namun kajian ini tetap relevan agar diperoleh

informasi yang akurat demi penyelenggaraan yang lebih baik di masa mendatang.

Kekeliruan yang sering terjadi adalah pemikiran yang menganggap bahwa evaluasi

belum perlu dilakukan sebelum nampak hasil program tersebut. Hal ini tidak tepat

karena hasil program baru hanya salah satu aspek program. Terdapat komponen lain

yang perlu dicermati dan dievaluasi dalam pelaksanaan program tersebut. Dengan

evaluasi dilakukan sejak awal, jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai atau ditemukan

kendala dalam pelaksanaannya dapat segera dilakukan perbaikan dan penyempurnaan.

2. Perumusan Masalah

a. Lingkup dan batasan penelitian

Mengingat keterbatasan peneliti, lingkup penelitian ini dibatasi pada kaijan

terhadap kurikulum mata pelajaran matematika di tingkat SMA. Penelitian ini juga

dibatasi pelaksanaannya di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya pada SMA pelaksana

terbatas (piloting) KBK.

Untuk mendapatkan hasil kajian yang mendalam, penelitian ini hanya difokuskan

pada salah satu SMA Pelaksana Terbatas KBK, yaitu: SMA Negeri 7 Yogyakarta.

Kajian keterlaksanaan kurikulum ini tidak dilakukan pada keseluruhan aspek, tetapi

hanya difokuskan pada: 1) guru sebagai pengembang kurikulum, 2) struktur

kompetensi, 3) beban belajar, 4) sistem pembelajaran, 5) pelaksanaan pembelajaran, 6)

penilaian, dan 7) hambatan dan permasalahan.

b. Rumusan masalah

Bagaimanakah keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah

dilihat pada aspek 1) guru sebagai pengembang kurikulum, 2) struktur kompetensi, 3)

beban belajar, 4) sistem pembelajaran, 5) pelaksanaan pembelajaran, 6) penilaian, dan

7) hambatan serta permasalahan?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji keterlaksanaan

kurikulum mata pelajaran matematika di sekolah. Melalui penelitian ini diharapkan

diperoleh informasi empiris keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran matematika di

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

180

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

sekolah sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan di

masa yang akan datang.

4. Manfaat Penelitian

a. Memberikan refleksi keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran Matematika yang

dikembangkan menurut Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006.

b. Memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka penyempurnaan kurikulum,

terutama kurikulum mata pelajaran matematika

c. Memberikan wawasan dan inspirasi bagi peneliti lain serta pihak-pihak yang

berkompeten untuk melakukan kajian yang lebih mendalam untuk mendukung

perbaikan kurikulum.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini pada bulan Juli s.d. Oktober 2007. Sesuai dengan fokus penelitian

yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian

evaluasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Data penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Pengumpulan

data dengan wawancara ditujukan pada guru dan siswa. Pengamatan difokuskan untuk

mengamati keterlaksanaan pembelajaran Matematika di kelas untuk melengkapi data

yang diperoleh dari wawancara.

Dalam penelitian ini, untuk meningkatkan objektivitas dan kredibilitas data

dilakukan beberapa langkah, yaitu : memperpanjang waktu penelitian, pengamatan yang

terus menerus, triangulasi, dan mengadakan member check. Melalui berbagai langkah

ini diharapkan data yang diperoleh lebih objektif dan kredibel.

Teknik analisis kualitatif dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif

menurut Miles dan Hubermen, meliputi: pengumpulan data, reduksi data, penyajian

data, dan penarikan kesimpulan.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Guru Sebagai Pengembangan Kurikulum

KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan

komite sekolah berpedoman pada (Permendiknas No. 22, 23, dan 24 Tahun 2006). Pada

pembelajaran Matematika, ketentuan ini berimplikasi pada kewajiban guru Matematika

untuk mengembangkan kurikulum mata pelajaran yang diampunya. Guru tidak lagi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

181

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah, tetapi guru

memiliki tugas untuk mengembangkan kurikulum yang akan diterapkan.

Guru-guru Matematika SMA N 7 Yogyakarta menerima secara positif tugas

sebagai pengembang kurikulum tersebut. Ketika guru diberi keleluasaan untuk

mengembangkan kurikulum sendiri, guru memiliki keleluasaan mengembangkannya

sesusai dengan kebutuhan dan keinginannya. Guru bisa menyesuaikan dengan kondisi

siswa, visi, dan misi sekolah. Berbeda ketika kurikulum sudah ditetapkan sepenuhnya

oleh pemerintah, kewenangan mengembangkan kurikulum yang dimiliki guru pada

KTSP dianggap memberi keleluasaan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum

sesuai dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan dan lingkungan

siswa. Guru juga dapat mendisain kurikulum sesuai keragaman karakteristik siswa serta

tuntutan perkembangan IPTEK secara menyeluruh dan berkesinambungan. Hal-hal

tersebut tidak mungkin bisa dilakukan jika kurikulum telah jadi. Jika kurikulum secara

utuh telah disediakan pemerintah, maka guru hanya bisa sebagai pelaksana tanpa

berkesempatan berimprovisasi. Keragaman karakteristik dan kebutuhan siswa serta visi,

misi, dan tujuan sekolah sulit bisa diakomodasi dalam kurikulum jika sepenuhnya telah

dibuatkan pemerintah.

2. Struktur Kompetensi

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, struktur kompetensi yang tertera pada

Permendiknas no 23 tahun 2006 relatif cukup baik, namun masih ada yang perlu

dilakukan perbaikan dan penataan ulang urutan penempatannya. KD yang perlu ditinjau

ulang penempatannya antara lain adalah KD 4.2. ”Menggunakan notasi sigma dalam

deret dan Induksi Matematika dalam pembuktian” diajarkan di kelas XII, tetapi sudah

diperlukan pada KD 1.3. ”Menghitung ukuran pemusatan, ukuran letak, dan ukuran

penyebaran data, serta penafsirannya” di kelas XI. Ketika pembahasan tentang ukuran

pemusatan dan ukuran penyebaran data di kelas XI seharusnya siswa telah mempelajari

terlebih dahulu tentang notasi sigma karena digunakan untuk merumuskan ukuran

pemusatan dan ukuran penyebaran.

Selain masalah tata urut penempatan, terdapat KD yang perlu direvisi, yaitu

KD1.4 pada kelas XI IPA dan IPS. Pada rumusannya KD tersebut tertulis

”Menggunakan aturan perkalian, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan

masalah”, seharusnya ditambah menjadi “Menggunakan aturan perkalian dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

182

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

penjumlahan, permutasi, dan kombinasi dalam pemecahan masalah”. Kata

“penjumlahan’ perlu ditambahkan secara eksplisit mengingat dalam prakteknya ada

permasalahan yang membutuhkan pemanfaatan aturan campuran “perkalian dan

penjumlahan’ untuk memecahkannya.

Menurut guru, ada KD pada Permendiknas No 23 Tahun 2006 yang sebenarnya

tidak tepat. Hal ini terjadi pada KD 1.5 pada Program IPA dan IPS kelas XI semester 1,

atau KD 2.2 pada program Bahasa kelas XI semester I, yaitu KD “Menentukan ruang

sampel suatu percobaan”. Menurut guru, “Menentukan ruang sampel suatu percobaan”

tidak perlu dijadikan KD sendiri dan sebaiknya cukup menjadi sub kompetensi saja.

Kompetensi ”Menentukan ruang sampel suatu percobaan” dianggap terlalu sederhana

jika diangkat menjadi KD sendiri, mengingat KD tersebut cukup sederhana dan tidak

membutuhkan waktu banyak untuk mengajarkannya pada siswa. “Menentukan ruang

sampel suatu percobaan” dianggap cukup menjadi indikator dari KD lain, misal sub KD

”Menentukan peluang suatu kejadian dan menafsirkannya”.

Penempatan urutan KD pada mata pelajaran Matematika juga perlu disinkronkan

dengan tata urutan KD pada mata pelajaran lain, terutama mata pelajaran Fisika.

Beberapa kemampuan Matematika yang dibutuhkan untuk mempelajari Fisika justru

belum dipelajari pada Matematika karena penempatannya yang lebih akhir dibanding

kebutuhan penerapan di Fisika. Hal tersebut terjadi antara lain pada: (1) kompetensi

tentang vektor dimana pada Matematika baru dipelajari pada kelas XII semester I yaitu:

KD 3.4 ”Menggunakan sifat-sifat dan operasi aljabar vektor dalam pemecahan

masalah” dan KD 3.5 ”Menggunakan sifat-sifat dan operasi perkalian skalar dua

vektor dalam pemecahan masalah”, sementara pada Fisika telah dibutuhkan

pemanfaatannya pada kelas X semester I, yaitu pada KD 1.2. ”Melakukan penjumlahan

vektor”, dan kelas XI semester I KD 1.1 ”Menganalisis gerak lurus, gerak melingkar

dan gerak parabola dengan menggunakan vektor”; (2) kompetensi tentang integral yang

di Matematikabaru dipelajari di kelas XII, yaitu KD 1.1 “Memahami konsep integral tak

tentu dan integral tentu” dan KD 1.2 “Menghitung integral tak tentu dan integral tentu

dari fungsi aljabar dan fungsi trigonometri yang sederhana”, sementara pada Fisika

telah digunakan pada kelas XI, dan kompetensi tentang turunan yang pemanfaatan di

Fisika mendahului pembelajaran yang dilaksanakan pada Matematika.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

183

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

Penempatan SK dan KD menurut Permendiknas No 23 Tahun 2006 dalam

prakteknya agak terganggu dengan keberadaan program UNAS, terutama pada kelas

XII. Program sukses UNAS telah berdampak pada kebutuhan untuk melakukan

pemadatan pembelajaran, yaitu SK-KD yang seharusnya dipelajari siswa pada kelas XII

semester genap terpaksa digeser lebih awal pada semester ganjil. Dengan penggeseran

ini dimaksudkan untuk menyediakan waktu yang lebih memadai bagi siswa untuk

mempersiapkan UNAS melalui latihan-latihan soal. Selain UNAS, penggeseran SK-KD

pada semester ganjil juga dikarenakan untuk kebutuhan mempersiapkan siswa lanjut

studi. Kondisi ini tentu berdampak pada meningkatnya beban siswa untuk mencapai

kompetensi yang telah ditetapkan. SK-KD yang telah disusun dengan perhitungan

waktu tertentu terpaksa harus dikuasai siswa dengan waktu yang lebih singkat.

3. Beban Belajar

Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada

SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK berlangsung selama 45 menit. Menurut guru, jumlah

kompetensi yang ditetapkan pada struktur kurikulum dianggap cukup banyak

dibandingkan waktu yang tersedia. Kompetensi yang ditetapkan dalam Permendiknas

Nomor 23 Tahun 2006 sebenarnya adalah jumlah minimal yang perlu diajarkan di

sekolah. Setiap sekolah berhak mengembangkan kompetensi sesuai kebutuhan. Namun

sebagai jumlah minimal, kompetensi yang ada dianggap terlalu banyak sehingga kurang

memberi kesempatan guru mengembangkan kompetensi baru.

Dilihat dari tingkat kompleksitas, guru menyatakan bahwa tidak ada KD yang

terlalu sulit dipelajari siswa. Beberapa KD memang perlu diajarkan dengan lebih hati-

hati karena memiliki tingkat kesulitan yang relatif tinggi, akan tetapi secara umum

semua KD yang ada masih terjangkau untuk dipelajari siswa setingkat SMA. Namun

karena keterbatasan waktu mengakibatkan ada KD yang tidak sempat diajarkan. Hal ini

terjadi karena pengurangan beban kurikulum juga disertai dengan pengurangan jumlah

jam pelajaran Matematika, sehingga beban belajar siswa tetap cukup berat.

4. Program Pembelajaran dengan Sistem Paket

Pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006, dinyatakan bahwa satuan pendidikan

pada semua jenis dan jenjang pendidikan dapat menyelenggarakan program pendidikan

dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua sistem tersebut

dapat dipilih berdasarkan jenjang dan kategori satuan pendidikan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

184

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

Selama ini SMA N 7 Yogyakarta masih menerapkan sistem paket. Sistem paket

adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan

mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan

untuk setiap kelas sesuai dengan stuktur kurikulum yang berlaku.

Sistem paket yang diterapkan dalam prakteknya telah memunculkan sejumlah

permasalahan. Sistem kelas berimplikasi masih adanya siswa naik atau tidak naik kelas.

Permasalahan muncul ketika ada siswa tidak naik kelas karena tidak tuntas pada mata

pelajaran tertentu maka siswa tersebut harus mengikuti pembelajaran lain yang

sebenarnya telah tuntas. Permasalahan lain juga terjadi ketika ada siswa yang

dinyatakan naik kelas padahal masih ada sejumlah kompetensi yang belum tuntas maka

siswa tersebut tidak perlu lagi mempelajari ulang kompetensi yang belum tuntas

tersebut karena telah ada di kelas yang berbeda.

Permasalahan lain terkait dengan kebijakan kelulusan. Saat ini masih berlaku

siswa lulus atau tidak lulus. Ketentuan tentang kelulusan telah diatur tersendiri oleh

pemerintah. Namun terlepas dari aturan main tentang kelulusan tersebut, permasalahan

yang muncul adalah ketika ada siswa yang karena belum memenuhi syarat kelulusan

maka siswa tersebut harus mengulang penuh belajar di kelas XII. Siswa tersebut harus

mengulang mempelajari KD yang sebenarnya telah tuntas. Hal ini tentu bertolak

belakang dengan prinsip belajar tuntas dimana kewajiban belajar siswa ditentutan pada

ketuntasan belajarnya.

Pembelajaran yang dilaksanakan secara klasikal juga menghambat perlakuan

terhadap keberagaman kemampuan belajar siswa. Pada pembelajaran berbasis

kompetensi, siswa seharusnya berkesempatan menguasai kompetensi menurut

kecepatan masing-masing secara alami. Mengingat kecepatan tiap siswa dalam

pencapaian KD tidak sama, mungkin sekali terjadi perbedaan kecepatan belajar antara

siswa yang sangat pandai dan pandai dengan yang kurang pandai dalam pencapaian

kompetensi. Sementara itu pembelajaran tuntas mengharuskan pencapaian ketuntasan

dalam menguasai kompetensi dasar secara individual. Implikasi dalam pembelajaran

harus dilaksanakan program remedial, pengayaan dan percepatan. Ketiga program ini

tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam program pembelajaran sistem paket.

Pada pembelajaran di kelas, siswa seharusnya mencapai ketuntasan KD 1 dahulu

sebelum melanjutkan KD 2, dst. Jika terdapat siswa yang belum tuntas maka siswa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

185

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

tersebut harus remidi baru mempelajari KD selanjutnya. Akan tetapi ini sulit dilakukan

sepenuhnya karena pembelajaran kelas tidak dapat selalu menunggu ketuntasan belajar

setiap siswa untuk melanjutkan pembelajaran.

Dalam suatu kelas memungkinkan adanya siswa yang luar biasa cendas dan

mampu menguasai KD jauh lebih cepat. Siswa dengan kecerdasan luar biasa ini

memiliki karaktenistik khusus, yaitu tidak banyak memerlukan bantuan berupa program

remedial maupun pengayaan. Siswa tersebut sebaiknya langsung dipersilahkan untuk

mempelajari KD berikutnya. Dengan cara seperti itu mereka mungkin akan

menyelesaikan belajar lebih cepat. Akan tetapi, dalam program pembelajaran sistem

paket, program percepatan ini sulit dilaksanakan secara alami.

5. Pelaksanaan Pembelajaran

Prinsip pembelajaran dalam KTSP hampir sama dengan pembelajaran pada KBK

dan Kurikulum 2004, yaitu pembelajaran berorientasi pada kompetensi. Dalam

pembelajaran berorientasi pada kompetensi harus lebih ditekankan pada ketercapaian

kompetensi oleh peserta didik. Penguasaan terhadap materi pembelajaran bukan tujuan

akhir dari pembelajaran. Materi hanya merupakan sarana bagi siswa untuk mencapai

kompetensi yang telah ditetapkan.

Pada pelaksanaan di kelas, pembelajaran berorientasi pada kompetensi ini relatif

agak sulit dilaksanakan. Rumusan kompetensi (SK/KD) yang banyak menyuratkan

rumusan berkaitan dengan materi membuat kecenderungan pembelajaran lebih pada

materi ajar. Pengalaman guru dan siswa yang selama ini lebih berkonsentrasi pada

pembelajaran berbasis materi juga tidak mudah untuk diubah begitu saja. Walaupun

guru menyatakan telah memahami bahwa penguasaan kompetensi merupakan sasaran

akhir pembelajaran, akan tetapi tetap saja dalam pembelajaran guru kadang lebih

terpaku pada mengajarkan materi. Begitu juga dengan siswa. Walaupun telah

disampaikan bahwa pembelajaran mereka harus diorientasikan pada penguasaan

kompetensi, tetapi tetap saja siswa lebih cenderung pada materi. Bahkan siswa sering

tidak mengerti tentang KD yang sedang dipelajari, yang mereka perhatikan hanyalah

materi apa yang sedang mereka pelajari. Dalam penilaianpun siswa jarang yang

memperhatikan ketercapaian kompetensi tersebut. Siswa lebih menaruh perhatian pada

penguasan materi yang dipelajari.

6. Penilaian

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

186

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

Model penilaian yang menyertai penerapan KTSP adalah ”Penilaian Kelas”.

Secara umum prinsip-prinsip penilaian kelas yang menjadi tuntutan KTSP telah dapat

diterapkan pada pembelajaran matematika di kelas. Di SMA Negeri 7 Yogyakarta,

penilaian pada mata pelajaran Matematika di tidak dilakukan berdasarkan aspek (1)

pemahaman konsep, (2) penalaran dan komunikasi, dan (3) pemecahan masalah, tetapi

berdasarkan aspek kognitif dan afektif. Sebagian guru mengaku hanya tahu pembagian

penilaian aspek koginitif dan afektif, sedangkan pembagian menjadi tiga aspek tersebut

kurang dimengerti.

Secara umum penilaian aspek kognitif dapat dilaksanakan dengan baik.

Permasalahan yang ditemui guru dalam melaksanakan penilaian kognitif adalah

menyangkut tindak lanjut. Setiap penilaian harus dilanjutkan dengan analisis hasil untuk

menetapkan apakah siswa telah tuntas menguasai kompetensi atau belum. Jika siswa

belum tuntas, guru harus melaksanakan remidial dengan siswa tersebut belum boleh

melanjutkan mempelajari KD berikutnya. Akan tetapi karena pembelajaran masih

dilakukan dengan sistem kelas dengan jumlah siswa yang cukup banyak (36 orang)

maka hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Ketika jumlah siswa yang

belum tuntas cukup banyak, guru melakukan remidial klasikal. Hal ini tentu

menguntungkan bagi siswa yang belum tuntas tersebut, tetapi tentu merugikan siswa

yang telah tuntas karena masih harus mengikuti pembelajaran ulang tersebut. Hal

sebaliknya, jika jumlah siswa yang belum tuntas relatif sedikit, pembelajaran di kelas

dilanjutkan pada KD selanjutnya dengan siswa yang belum tuntas tersebut tetap

mengikuti walaupun masih harus menyelesaikan tugas remidinya. Hal ini tidak sesuai

dengan konsep awal dimana siswa hanya boleh melanjutkan mempelajari KD

selanjutnya ketika siswa tersebut telah tuntas.

Pada penilaian afektif, kendala yang dihadapi sering disebabkan karena guru

mengajar banyak kelas dengan jumlah siswa per kelas yang jumlahnya cukup banyak.

Hal ini agak menyulitkan karena untuk menilai afektif guru perlu secara jeli memahami

siswa secara individual. Perhatian pada perkembangan siswa secara individual relatif

sulit dilakukan ketika guru dihadapkan pada beban mengajar yang banyak dan jumlah

siswa yang besar. Walaupun instrumen penilaian aspek afektif telah disediakan dari

sekolah, tetapi dalam prakteknya pelaksanaan penilaian afektif masih saja muncul

kendala. Jumlah item penilaian yang cukup banyak cukup merepotkan guru dalam

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

187

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

melaksanakan penilaian. Selain itu, masing-masing guru kadang memiliki fokus

penilaian yang tidak selalu sama. Selain itu, beban pembelajaran yang terkait dengan

aspek kognitif telah menyita banyak energi dan perhatian guru. Penilaian untuk aspek

kognitif juga cukup banyak mengingat satu KD penilaian dilakukan dengan beberapa

jenis tagihan. Hal ini semakin bertambah bebannya jika ternyata terdapat sejumlah

siswa yang belum tuntas sehingga harus memberikan remidial.

Namun begitu, walaupun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya seperti

tersebut di atas, penilaian aspek afektif ternyata memberikan dampak positif yang cukup

signifikan bagi kinerja belajar siswa. Berdasar pengakuan guru dan siswa, penilaian

aspek afektif telah mendorong siswa menjadi lebih rajin, aktif, dan termotivasi belajar.

Pelaksanaan penilaian terhadap ketujuh aspek di atas selama pembelajaran telah

mendorong siswa meningkatkan belajarnya. Mengingat aspek-aspek penilaian afektif

tersebut sangat erat kaitannya dengan kegiatan belajar siswa, maka pembelajaran siswa

pada aspek kognitif juga menjadi lebih baik.

7. Hambatan dan Permasalahan

Salah satu permasalahan yang muncul diantaranya terkait dengan perbedaan

pemahaman di antara stakeholders dalam hal indikator keberhasilan belajar siswa.

Secara teroritis telah ada kesepahaman bahwa keberhasilan diukur dari ketercapaian

kompetensi oleh siswa. Tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan dalam memandang

ketercapaian kompetensi itu. Sebagian pihak beranggapan bahwa siswa dikatakan

berhasil belajar jika mampu meraih nilai yang tinggi. Sementara sekolah berkeinginan

tidak sekedar nilai yang di kejar, akan tetapi pengembangan kompetensi yang lebih luas

dan utuh dari siswa meliputi penguasaan akademik, perilaku, pengembangan wawasan

dan cara berpikir. Kedua capaian ini kadang tidak selalu selaras satu dengan yang lain.

Pelaksanaan UNAS dengan kebijakan kelulusan yang menyertainya juga

berdampak pada pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Hasil UNAS sering

digunakan sebagai pijakan sementara orang untuk melihat tingkat keberhasilan sekolah

dalam memberikan layanan pendidikan. Padahal hasil UNAS hanya salah satu indikator

saja dari aspek-aspek lain yang seharusnya juga dilihat untuk memahami keberhasilan

siswa belajar. Hal ini telah membuat sekolah (termasuk guru Matematika) melakukan

beberapa penyesuaian program pembelajaran untuk mengejar proyek UNAS ini.

Keterjebakan pada pemenuhan kebutuhan sukses UNAS dirasakan guru kadang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

188

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

mempengaruhi pembelajaran yang dikembangkannya. Target perluasan penguasaan

kompetensi siswa harus disinkronkan dengan kebutuhan mempersiapkan siswa

menghadapi UNAS.

Permasalahan lain yang muncul terkait dengan beban belajar yang telah ditetapkan

pemerintah. Struktur kompetensi yang seharusnya hanya diposisikan sebagai jumlah

minimal ternyata sulit dikembangkan lagi pelaksanaannya di sekolah. Hal ini karena

jumlah kompetensi yang ada dalam Permendiknas No 23 Tahun 2006 telah cukup

banyak, sedangkan jumlah jam belajar Matematika dikurangi berdampak pada

keterbatasan kesempatan pengembangan/penambahan SK/KD baru.

Penerapan program pembejaran sistem paket juga menyebabkan beberapa

permasalahan dalam pembelajaran di kelas. Seperti terurai pada point C di atas, program

paket berdampak pada sulitnya pembelajaran tuntas (mustery learning) diterapkan.

Program pembelajaran sistem paket juga telah menyebabkan kesulitan guru dalam

memberikan perlakuan bagi keberagaman kemampuan siswa. Program remidal dan

program percepatan yang merupakan bagian bentuk layanan pembelajaran bagi siswa

dengan tingkat kecepatan belajar berbeda relatif sulit dilakukan dengan baik dalam

program pembelajaran sistem paket tersebut.

Guru juga mengalami hambatan dalam pembelajaran yang disebabkan tata urut

KD yang kurang tepat. Seperti disebutkan pada point D di atas, terdapat KD yang

seharusnya telah dipelajari untuk bisa mempelari KD lain ternyata justru dalam sturktur

kompetensi ditempatkan di belakang. Hal ini berdampak guru mengalami kendala

ketika harus mengajarkan KD yang prasyaratnya justru belum diajarkan. Oleh karena itu

perlu dilakukan penataan ulang KD agar pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih

baik.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Guru menerima secara positif tugas sebagai pengembang kurikulum. Keleluasaan

mengembangkan kurikulum membuat guru berkesempatan mengembangkannya

sesusai dengan kebutuhan, kondisi siswa, visi, dan misi sekolah.

b. Struktur kompetensi yang tertera pada Permendiknas no 23 tahun 2006 relatif cukup

baik, namun masih perlu penataan ulang urutan kompetensinya. Urutan KD perlu

disesuaikan dengan hirarkis pembelajaran Matematika dan disinkronkan dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

189

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

kebutuhan pembelajaran mata pelajaran lain. Selain masalah tata urut penempatan,

terdapat KD perlu direvisi.

c. Beban belajar siswa cukup berat karena jumlah kompetensi (SK/KD) yang

ditetapkan pada struktur kurikulum cukup banyak dibandingkan jumlah jam tatap

muka per minggu. Dilihat dari tingkat kompleksitas, tidak ada KD yang terlalu sulit

dipelajari siswa.

d. Penerapan program pembejaran sistem paket menyebabkan pembelajaran tuntas

(mastery learning) sulit diterapkan secara utuh. Program pembelajaran sistem paket

juga menyebabkan kesulitan guru dalam memberikan perlakukan bagi keberagaman

kemampuan siswa.

e. Pembelajaran berorientasi kompetensi relatif masih sulit dilaksanakan. Guru dan

siswa sering lebih terpaku pada pembelajaran materi.

f. Hambatan dan permasalahan guru antara lain: 1) perbedaan pemahaman antar

stakeholders tentang standar keberhasilan pendidikan berdampak pada kerancuan

fokus/target pencapaian pembelajaran, 2) beban belajar siswa cukup berat, 3)

penerapan program pembejaran sistem paket menyebabkan sulitnya pembelajaran

tuntas, 4) guru kesulitan menerapkan pembelajaran tuntas, dan 5) tata urut

kompetensi yang kurang pas.

2. Saran

a. Kajian keterlaksanaan kurikulum mata pelajaran Matematika menurut Permendiknas

Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 di tingkat SMA perlu perlu dipertajam dan

diperluas ruang lingkupnya pada sekolah-sekolah lain sehingga diperoleh hasil lebih

komprehensif.

b. Perlu dilakukan penelitian serupa untuk mengkaji keterlaksanaan kurikulum mata

pelajaran Matematikadi tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMK/MA sehingga apabila

ternyata juga ditemukan permasalahan-permasalahan dalam implementasinya segera

dapat ditemukan solusinya.

DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2002). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas

-------------- (2006). Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas

-------------- (2006). Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

190

PM – 15 : Kajian Kritis Keterlaksanaan...... Sumaryanta

Finch & Crunkilton. (1979). Curriculum development in vocasional and technical education:Planning, content and implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Mardapi, D. (2004). Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi. Makalah di sajikan dalam seminar nasional rekaya sistem penilaian dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, 26-27 Mei di Hotel Saphir Yogyakarta.

Nasution, S. (2003). Asas-asas kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. Sukmadinata. (2004). Pengembangan kurikulum: Teori dan praktek. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

191

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

Kemampuan Representasi Dalam Pembelajaran Matematika

Oleh : Syarifah Fadillah

STKIP PGRI PONTIANAK

Abstrak

Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa menurut NCTM adalah kemampuan representasi. Representasi adalah ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda konkrit, atau simbol matematika. Pencantuman representasi sebagai komponen standar proses dalam Principles and Standards for School Mathematics cukup beralasan karena untuk berpikir matematika dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai cara. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa obyek dalam matematika itu semuanya abstrak dan untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu memerlukan representasi.

PENDAHULUAN

Tujuan pembelajaran matematika telah mengalami perubahan, tidak lagi hanya

menekankan pada peningkatan hasil belajar, namun juga diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan: (1) komunikasi matematika (mathematical communication);

(2) penalaran matematika (mathematical reasoning); (3) pemecahan masalah

matematika (mathematical problem solving); (4) mengaitkan ide-ide matematika

(mathematical connections); (5) representasi matematika (mathematical representation)

(NCTM, 2000)

Salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa adalah kemampuan

representasi. Standar representasi pada National Council of Teacher of Mathematics

(NCTM), menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak

sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk:

1. menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat,

dan mengkomunikasikan ide-ide matematika;

2. memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematika untuk

memecahkan masalah;

3. menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan

fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematika

(NCTM, 2000).

Ainsworth, Labeke, dan Peevers (2001) mengemukakan bahwa tugas-tugas

kognitif siswa yang berkenaan dengan representasi adalah:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

192

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

1. Siswa harus memahami suatu representasi (yaitu: mana yang merupakan

bentuk dan operator dari suatu representasi).

2. Siswa harus memahami hubungan antara representasi dan domainnya.

3. Siswa harus menerjemahkan antar representasi.

4. Jika representasi dirancang mereka sendiri, siswa perlu memilih dan

membangun representasi yang sesuai.

Kemampuan representasi merupakan salah satu komponen proses standar dalam

Principles and Standards for School Mathematics selain kemampuan pemecahan

masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi. Hal ini mengandung beberapa alasan.

Menurut Jones (2000), terdapat tiga alasan mengapa representasi merupakan salah satu

dari proses standar, yaitu:

1. kelancaran dalam melakukan translasi di antara berbagai jenis representasi

yang berbeda merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa untuk

membangun suatu konsep dan berpikir matematika;

2. ide-ide matematika yang disajikan guru melalui berbagai representasi akan

memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap siswa dalam mempelajari

matematika; dan

3. siswa membutuhkan latihan dalam membangun representasinya sendiri

sehingga siswa memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang baik dan

fleksibel yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.

Pencantuman representasi sebagai komponen standar proses dalam Principles and

Standards for School Mathematics cukup beralasan karena untuk berpikir matematika

dan mengkomunikasikan ide-ide matematika, seseorang perlu merepresentasikannya

dalam berbagai cara. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa obyek dalam matematika

itu semuanya abstrak dan untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu

memerlukan representasi.

DEFINISI REPRESENTASI

Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli berkenaan tentang

representasi sebagaimana dikemukakan berikut ini.

1. Representasi adalah model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah atau

aspek dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi, sebagai

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

193

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan obyek, gambar, kata-kata,

atau simbol matematika (Jones & Knuth, 1991).

2. Representasi merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengkomunikasikan

jawaban atau gagasan matematik yang bersangkutan (Cai, Lane, & Jacabcsin, 1996:

243).

3. Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari

gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya

untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000:

67).

4. Terdapat empat gagasan yang digunakan dalam memahami konsep representasi.

Pertama, representasi dapat dipandang sebagai abstraksi internal dari ide-ide

matematika atau skemata kognitif yang dibangun oleh siswa melalui pengalaman;

kedua, sebagai reproduksi mental dari keadaan mental yang sebelumnya; ketiga,

sebagai sajian secara struktur melalui gambar, simbol ataupun lambang; dan yang

terakhir, sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain

(Pape & Tchoshanov dalam Luitel, 2001).

5. Representasi didefinisikan sebagai aktivitas atau hubungan dimana satu hal

mewakili hal lain sampai pada suatu level tertentu, untuk tujuan tertentu, dan yang

kedua oleh subjek atau interpretasi pikiran. Representasi menggantikan atau

mengenai penggantian suatu obyek, penginterpretasian pikiran tentang pengetahuan

yang diperoleh dari suatu obyek, yang diperoleh dari pengalaman tentang tanda

representasi (Parmentier dalam Ludlow, 2001:39).

6. Representasi merupakan proses pengembangan mental yang sudah dimiliki

seseorang, yang terungkap dan divisualisasikan dalam berbagai model matematika,

yakni: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif atau

kombinasi dari semuanya (Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, & Reijs dalam

Hudoyo, 2002: 47).

7. Representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menyajikan suatu benda dalam

suatu cara (Goldin, 2002: 209).

8. Representasi adalah suatu konfigurasi dan sejenisnya yang berkorespondensi dengan

sesuatu, mewakili, melambangkan atau menyajikan sesuatu (Palmer dalam Kaput &

Goldin, 2004: 2).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

194

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

9. Dalam psikologi umum, representasi berarti proses membuat model konkret dalam

dunia nyata ke dalam konsep abstrak atau simbol. Dalam psikologi matematika,

representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang,

Chen, Dung, & Yang, 2007).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa representasi adalah

ungkapan-ungkapan dari ide matematika yang ditampilkan siswa sebagai model atau

bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi

dari masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya. Suatu

masalah dapat direpresentasikan melalui gambar, kata-kata (verbal), tabel, benda

konkrit, atau simbol matematika. Jenis-jenis representasi akan dibicarakan lebih lanjut

di bagian lain dari tulisan ini.

Vergnaud (Goldin, 2002: 207) menyatakan representasi merupakan unsur yang

penting dalam teori belajar mengajar matematika, tidak hanya karena pemakaian sistem

simbol yang juga penting dalam matematik dan kaya akan kalimat dan kata, beragam

dan universal, tetapi juga untuk dua alasan penting yakni: (1) matematika mempunyai

peranan penting dalam mengkonseptualisasi dunia nyata; (2) matematika membuat

homomorphis yang luas yang merupakan penurunan dari struktur hal-hal lain yang

pokok.

Penjelasan kedua alasan di atas yakni matematika merupakan hal yang abstrak,

maka untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika,

representasi sangat berperan, yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang

nyata, misalkan dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik dan lain-lain. Selain itu

matematika memberikan gambaran yang luas dalam hal analogi konsep dari berbagai

topik yang ada. Dengan demikian diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke

representasi-representasi dan gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka, maka

mereka memiliki sekumpulan alat yang secara signifikan siap memperluas kapasitas

mereka dalam berpikir secara matematis (NCTM, 2000).

JENIS-JENIS REPRESENTASI

Hiebert dan Carpenter (dalam Hudojo, 2002) mengemukakan bahwa pada

dasarnya representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang

ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

195

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide

matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut

merupakan representasi internal.

Representasi internal dari seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena

merupakan aktivitas mental dari seseorang dalam pikirannya (minds-on). Tetapi

representasi internal seseorang itu dapat disimpulkan atau diduga berdasarkan

representasi eksternalnya dalam berbagai kondisi; misalnya dari pengungkapannya

melalui kata-kata (lisan), melalui tulisan berupa simbol, gambar, grafik, tabel ataupun

melalui alat peraga (hands-on). Dengan kata lain terjadi hubungan timbal balik antara

representasi internal dan eksternal dari seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu

masalah.

Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua kelas

yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi descriptive

terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan dengan isi

yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni teks,

sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan

dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau pada

tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.

Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2

dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe representasi,

yaitu representasi verbal (representasi descriptive), gambar informational, gambar

decorative, dan garis bilangan (representasi depictive).

Cai, Lane, dan Jacabcsin (1996: 243) menyatakan bahwa ragam representasi yang

sering digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar,

grafik, pernyataan matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Sementara

Steffe, Weigel, Schultz, Waters, Joijner, Reijs (Hudoyo, 2002: 47) menggolongkan

representasi menjadi: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model manipulatif

atau kombinasi dari semuanya.

Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat

mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau

solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar),

secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

196

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007) membagi

representasi yang digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi

representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmetika,

representasi bahasa lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara

kelima representasi tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat

representasi yang lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan

representasi bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang

diselidiki dan hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal

atau bahasa. Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan

menerjemahkan masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan

kemampuan representasi simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah

matematika ke dalam representasi rumus aritmatika.

HUBUNGAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DENGAN KEMAMPUAN

PEMECAHAN MASALAH

Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari

gagasan-gagasan atau ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya untuk

mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian

diharapkan bahwa bilamana siswa memiliki akses ke representasi-representasi dan

gagasan-gagasan yang mereka tampilkan mereka memiliki sekumpulan alat yang siap

secara signifikan akan mempeluas kapasitas mereka dalam berpikir secara matematis

(NCTM, 2000: 67).

Beberapa bentuk representasi, seperti verbal, numerik, aljabar, tabular, diagram,

dan grafik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.

Namun dalam pembelajaran matematika, representasi dipelajari atau diajarkan hanya

sebagai pelengkap dalam menyelesaikan masalah matematika. Seharusnya sebagai

komponen pembelajaran yang esensial, kemampuan representasi matematika siswa

perlu senantiasa dilatih dalam proses pembelajaran matematika di sekolah.

Kemampuan representasi sangat berhubungan dengan pemecahan masalah. Pemilihan representasi matematika yang tepat akan memudahkan siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan tersebut, sebaliknya pemilihan representasi yang keliru membuat masalah menjadi sukar untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

197

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

dipecahkan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan ini antara lain: Brenner dkk (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa proses dari kesuksesan pemecahan masalah bergantung pada ketrampilan representasi yang meliputi konstruksi dan menggunakan representasi matematika dalam kata-kata, grafik, tabel dan persamaan, memecahkan dan manipulasi simbol. Gagne dan Mayer (dalam Hwang, Chen, Dung, & Yang, 2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kemampuan representasi siswa yang yang cerdas merupakan kunci memperoleh solusi yang tepat dalam memecahkan masalah. CONTOH SOAL REPRESENTASI Biaya transportasi dengan menggunakan taxi dalam kota diperlihatkan pada diagram di bawah ini. Gunakan informasi dari diagram tersebut untuk menentukan berapa biaya taxi untuk10 km? Untuk menyelesaikan soal tersebut siswa dapat menggunakan berbagai representasi, misalnya menggunakan grafik dengan memperpanjang garisnya, atau menggunakan tabel data dan dapat pula menyatakannya dengan persamaan (simbolik), ataupun dengan menggunakan representasi verbal.

Biay (Rp) a

05000 1 2 3 4 5

9500

8000

6500

3500

Waktu (menit)

DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth S, Labeke V.N., & Peevers G. (2001). Learning with Multiple Representations. [on-line]. Available: http://www. psychology.nottingham. ac.uk./ staff/Shaaron,Ainsworth.hmtl [3 Maret 2008].

Cai, Lane, Jacabcsin (1996), “Assesing Students’ mathematical communication”. Official Journal of Science and Mathematics. 96(5)

Elia, Iliada. (2007). Multiple representations in mathematical problem solving:

Exploring sex differences. [on-line]. Available: http://www. prema.iacm. forth.gr docs/ws1/papers/Iliada%20Elia.pdf. [10 November 2007]

Gagatsis, Athanasios A Review of The Research on The Role of External

Representations on Understanding And Learning Mathematics And Problem Solving. [on-line]. Available: http://www ........................[18 Desember 2007].

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

198

PM – 16 : Kemampuan Representasi...... Syarifah Fadillah

Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving.

In L.D English (Ed) International Research in Mathematical Education IRME, 197-218. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Hudoyo, H (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal Matematika atau

Pembelajarannya. ISSN: 085-7792. Tahun viii, edisi khusus. Hwang, W.-Y., Chen, N.-S., Dung, J.-J., & Yang, Y.-L. (2007). Multiple Representation

Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.

Jones, A.D. (2000). The Fifth Process Standart:An Argument to Include Representation

in Standards 2000. [on-line]. Available: http://www. math.umd.edu/~dac/650/ jonespaper.hmtl [10 Desember 2007].

Jones, B.F., & Knuth, R.A. (1991). What does research ay about mathematics? [on-

line]. Available: http://www. ncrl.org/sdrs/areas/stw_esys/2math.html. [12 Februari 2008].

Kaput, JJ dan Goldin, G. A. (2004). A Join Persepective on the Idea of Representation

in Learning and Doing Mathematics. [on-line]. Available: http://www. simlac.usmassad.edu. [18 Desember 2007].

Ludlow, A.S. (2001). The Object-process Duality of Representation: A peircean Perspective. In H. Hitt (Ed). Working Group on Representation and Mathematics visualization (1998 – 2001). [on-line]. Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/Adalira.pdf [10 November 2007].

Luitel, B.C. (2001). Multiple Representations of Mathematical Learning. [on-line].

Available: http://www. matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf [18 Desember 2007].

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston. VA: NCTM.

Neria, Dorit & Amit, Miriam. (2004). Students Preference Of Non-Algebraic

Representations In Mathematical Communication. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Vol. 3, pp. 409 - 416

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

199

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Studi Tentang Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbantuan Teknologi Multimedia Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa

Oleh: Yonandi

Email: [email protected]

ABSTRAK

Matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan metode yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa. Untuk itu diperlukan model dan media pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Secara keseluruhan, makalah ini menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap komunitas belajar para siswa. Selain itu dipaparkan pula kajian model pembelajaran matematika interaktif berbantuan multimedia. Hasil penelitian secara umum menunjukan bahwa pembelajaran Interaktif Menggunakan Teknologi Multimedia ini dapat (1) meningkatkan kemampuan berpikir siswa, (2) mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya sendiri, (3) membuat pelajaran matematika menjadi lebih menarik, sehingga memotivasi siswa untuk belajar, (4) digunakan oleh guru untuk mengevaluasi proses berpikir siswa serta melihat bila terjadi kesalahan konsep matematika yang dilakukan oleh siswa.

Kata-kata kunci: Pembelajaran interakt i f , Pembelajaran berbantuan

mult imedia , Kemampuan berpikir

1. PENDAHULUAN

Matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga

dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan metode yang tepat sesuai

dengan tingkat perkembangan mental siswa. Untuk itu diperlukan model dan media

pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mencapai kompetensi dasar dan

indikator pembelajaran. Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu

pelajaran dengan kegiatan membahas tugas-tugas lalu, memberi pelajaran baru,

memberi tugas kepada siswa. Pembelajaran seperti di atas yang rutin dilakukan

hampir tiap hari dapat dikategorikan sebagai 3M, yaitu membosankan,

membahayakan dan merusak seluruh minat siswa. Selama ini media pembelajaran

yang dipakai adalah alat peraga yang sederhana, misalnya untuk menjelaskan

Teorema Pythagoras dibuat segitiga yang terbuat dari tripleks-tripleks. Tetapi seiring

dengan berkembangnya teknologi, media pembelajaran tersebut kurang menarik

perhatian dan minat siswa. Untuk itu diperlukan suatu media pembelajaran yang

dapat lebih menarik perhatian dan minat siswa tanpa mengurangi fungsi media

pembelajaran secara umum.

Dengan metode pembelajaran konvensional, dimana pembelajaran meliputi:

penyampaian materi kepada siswa, pemberian tugas-tugas, dan diakhiri dengan ujian

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

200

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

tulis. Dengan metode seperti ini jelas pembelajaran hanya berjalan satu arah, siswa

kurang aktif, belajarnya kurang bermakna, dan tidak jarang suatu konsep hanya

dipahami sebagai hafalan, bukan sebagai pengertian, sehingga konsep tersebut

mudah dilupakan. Bahkan tidak jarang terjadi suatu matematika dipahamani secara

keliru oleh siswa. Semua ini pada akhirnya menyebabkan siswa tidak dapat

menerapkan dengan baik konsep-konsep dan teorema-teorema yang telah

dipelajarinya dalam menyesesaikan soal-soal latihan.

Berangkat dari kelemahan metode pembelajaran konvensional yang telah

dikemukakan di atas, maka diperlukan suatu pengembangan pendekatan

pembelajaran yang dapat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam ”mencerna”

konsep-konsep matematika dan terutama dapat membuat siswa lebih aktif selama

pembelajaran baik secara fisik, secara mental, maupun secara emosional dan

belajarnya menjadi lebih bermakna.

Pada era multi teknologi saat ini, pembelajaran dengan menggunakan

teknologi (bantuan komputer) untuk mata pelajaran Matematika telah banyak

dilakukan, misalnya pembelajaran matematika dengan VCD interaktif, software

khusus matematika seperti Mathematica, Cabry Geometry, Geometry Skatchpad, dll.

Disisi lain, adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sekarang,

mendorong pemakaian teknologi terbaru dalam pembelajaran, atau mencoba untuk

menemukan suatu cara dimana guru dapat menyampaikan materi pelajaran dengan

lebih baik.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa

digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar

berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar

untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap

komunitas belajar para siswa. Multimedia membantu pengaturan model belajar yang

membantu belajar siswa dan proses belajar dimana para siswa ikut ambil bagian.

Selain itu penggunaan media komputer dapat meningkatkan kemampuan

visualisasi siswa. Namun demikian media komputer bukan alat untuk membantu

siswa menyelesaikan soal-soal matematika seperti halnya penggunaan kalkulator

untuk mempercepat proses perhitungan. Penggunaan komputer hanyalah untuk

membantu siswa dalam memahami konsep matematika, sedangkan penyelesaian soal

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

201

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

tetap diserahkan pada kemampuan siswa.

Pembelajaran matematika dengan multimedia akan lebih berhasil apabila media

yang ada tidak dijadikan tumpuan utama dalam pembelajaran melainkan terjadi

kolaborasi (penggabungan) dengan pembelajaran klasikal.

Teknis penggunaan komputer sebagai media pembelajaran ini bisa dilakukan

dengan cara: Pertama, tiap satu atau dua siswa memegang satu komputer yang

software-nya telah disiapkan oleh guru dan proses pembelajarannya dilakukan dalam

laboratorium komputer. Kedua, proses pembelajaran melalui projektor LCD yang

mampu memtugassikan tampilan pada monitor komputer ke media lain (misal

tembok kelas) dengan perbesaran yang bisa diatur. Namun, untuk memilih mana

yang lebih baik dari kedua cara tersebut perlu ada penelitian lebih lanjut.

Pembelajaran Konvensional, guru memberi pengetahuan kepada siswa, dan

siswa cenderung hanya menerima apa yang diberikan guru, Siswa menggantungkan

pelajaran pada guru, Siswa kurang termotivasi untuk belajar, Hampir tidak ada

interaksi antar siswa

. Pembelajaran Interaktif, guru sebagai fasilitator, membantu siswanya untuk

membangun pengetahuannya sendiri, Siswa dapat belajar secara mandiri, Siswa

termotivasi untuk belajar, Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu

dengan yang lainnya.

Penulis memilih untuk meneliti tentang model pembelajaran interaktif, dengan

beberapa pertimbangan yaitu.

1. Proses pembelajaran pada model pembelajaran ini benar-benar terpusat pada

siswa, mulai dari awal pembelajaran guru sudah tidak lagi menjelaskan materi,

tetapi siswa langsung belajar/bekerja dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang

telah dirancang secara khusus sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan

bagi dirinya sendiri. Peran guru dalam pembelajaran ini hanyalah sebagai

fasilitator dan motivator untuk membantu siswanya dalam belajar.

2. Model pembelajaran ini sangat fleksibel, dalam arti kegiatan pembelajaran bisa

dilakukan secara berkelompok, berpasangan, ataupun individual.

3. Aktivitas-aktivitas yang diberikan guru untuk membantu siswanya belajar, tidak

hanya terbatas pada memecahkan masalah, tetapi tetapi dapat dipilih aktivitas-

aktivitas lainnya, seperti: menginvestigasi, mempelajari secara mandiri suatu

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

202

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

203

topik pembelajaran, atau mengerjakan tugas (tugas) yang tentunya harus

disesuaikan dengan pokok bahasan yang dipilih.

4. Kegiatan-kegiatan dalam model pembelajaran ini cukup lengkap, mulai dari

siswa melakukan aktivitas-aktivitas, berdiskusi, mengkomunikasikan hasil

pekerjaannya, memeriksa dan memperbaiki hasil pekerjaannya, pengecekan

pemahaman siswa, hingga diakhiri kegiatan menarik kesimpulan dari apa yang

telah dipelajari siswa.

2. Kajian Pustaka

Definisi-definisi multimedia bermacam-macam. Richard Mayer, profesor

psikologi di Universitas California, Santa Barbara, menggambarkan multimedia

sebagai presentasi yang berisi kedua-duanya teks dan grafik. Mao Neo dan Ken T.T.

K.Neo, fakultas Multimedia University di Malaysia, mendefinisikan bahwa

multimedia adalah “kombinasi berbagai media digital, seperti teks, images,sound,

dan video, ke dalam satu aplikasi interaktif multisensory yang terintegrasi atau

presentasi untuk menyampaikan suatu pesan atau informasi kepada satu pendengar.”

Di dalam setiap kombinasi-kombinasi atau permutasi-permutasi bentuk-bentuk

media umum, keseluruhan harus lebih besar dari jumlah partisinya. Multimedia pasti

mempunyai potensi itu untuk meluasnya jumlah dan jenis informasi yang tersedia

bagi pelajar-pelajar. Multimedia dapat menawarkan lapisan-lapisan dari sumber daya

menguntungkan, menyediakan informasi beranekaragam.

Berikut ini dipaparkan hasil penelitian dari beberapa peneliti yang berkaitan

dengan Pembelajaran Interaktif menggunakan Teknologi Multimedia.

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Tabel 1. Penelitian-Penelitian Tentang Pembelajaran Interaktif Menggunakan Teknologi Multimedia

No Sumber Jurnal Subjek Tujuan dan Desain

Doing Math/Kemampuan

keterampilan Matematika yang

diukur

Instrumen Pendekatan Hasil Penelitian

1. King-Dow Su & Ming uery Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning”, World Transaction on Engineering and Technology Education Vol 4. No. 2, UICEE.

96 mahasiswa tingka t 1

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman mahasiswa dengan penggunaan teknologi multimedia dalam pengajaran matematika tentang Limit. Ke-96 mhasiswa dibagi menjadi kelas kontrol (50) dan kelas perlakuan (46). Semua kelas homogen dalam kemampuan akademisnya.

kemampuan merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematika tentang limit. kemampuan memahami idea matematika tentang limit secara lebih mendalam, mengamati data dan menggali idea yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, dan generalisasi, menalar secara logik.

Post-tests tentang masalah konsep limit, yang meliputi 3 jenis pertanyaan: 1. Tiga Pertanyaan tentang pengetahuan 2. Lima pertanyaan tentang kemampuan berpikir rasional 3. Dua pertanyaan aplikasi ► Kuesioner tentang sikap dengan skala Likert.

Materi-materi tambahan untuk pembelajaran multimedia telah dikembangkan oleh penulis artikel ini. Gambar animasi komputer menggunakan flash MX (Macromedia) dan gambar statis dihasilkan dengan menggunakan Mathematica 4.2 (Wolfram Research), dan ditampilkan dengan powerpoint dan software e-plus di dalam kelas. Konsep untuk animasi dibuat

Sikap belajar siswa (S1) (F=4.225, p<0.05); Sikap guru (S2) (F=3.563, p<0.05); Sikap terhadap siswa (S4) (F=3.819, p<0.05); Sikap terhadap evaluasi diri (S5( (F=3.995, p<0.05). Metode pembelajaran menggunakan multimedia (animasi, ganbar, dsb) sangat membantu siswa memahami tentang limit yang bersifat abstrak.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

204

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Kelompok kelas Perlakuan mendapatkan pem-belajaran dengan teknologi multimedia, sementara kelompok kelas Kontrol belajar biasa dengan menggunakan teks book.

di program Adobe photoshop 7.01.

Efektivitas pembelajaran akan lebih baik dengan menggunakan kombinasi multimedia

2. Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education, Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002 (Journal Research of Mathematics

Siswa berusia antara 16-19 tahun untuk mempelajari metematika pada tingkat lebih lanjut.

Tujuan penelitian ini adalah membuat rekomendasi yang memberi pertimbangan atas pro dan kontra mengenai pengajaran dan penggunaan alat peraga pada kelas matematika dan berusaha untuk menunjukkan bahwa nantinya

Keterampilan berpikir kreatif adalah kemampuan menguraikan secara berhati-hati dan sistematis, membangun pengetahuan yang ada, membuat beragam jawaban dan mengelaborasi yang dapat membangun sifat kepribadian kreatif

Diberikan grafik (misal jawabannya: y=sinx . e-x). Dalam mencari jawaban atas persoalan yang diajukan dapat diproses melalui penggunaan computer. Sebagai contoh, pada setiap pertanyaan di konsentrasikan untuk menemukan

Digunakan Pendekatan Konstruktif yang bertujuan agar siswa dapat memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dan dianjurkan agar mereka dapat membentuk suatu representative yang berbeda

Melalui pendekatan konstruktif maka akan mempunyai kemampuan matematika tingkat tinggi seperti yang dijelaskan Pada Taxonomi Math grup Pendekatan secara konstruktif dalam mengajar dan belajar membawa untuk lebih banyak

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

205

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Education. menggunakan metode yang lebih baik dari yang terdahulu mengingat penggunaan teknologi sekarang lebih bagus dalam memvisualisasikan dan lebih efektif. Dengan menggunakan perangkat software, siswa mengeksplorasi secara konstruktif, mengoreksi simbol-simbol dari fungsi polynomial, fungsi trigonometri, eksponen dan sebagainya sebagai bagian dari kombinasi pada fungsi-fungsi dasar.

poin-poin, asimtot dan sebagainya. Selain itu dapat memplot sebuah gambar. Contoh lain dalam mengkontruktif pertanyaan, namun bagaimanapun juga ada pertimbangan dalam beberapa fungsi, f(x) dan juga menentukan kejadian-kejadian ketika keterangan-keterangan pada sebuah symbol atau parameter dapat diubah. Para siswa dianjurkan untuk mencari dan menginvestigasinya. Philosiphi dari kontruktif diatas dapat membuat siswa menemukan jawaban yang dicarinya.

sebagaimana mereka membentuk suatu relasi, misalnya dengan Autograph, Sketchpad, Cabri Geometry atau Computer Algebra System seperti Derive

bereksplorasi dalam melakukan pendekatan mengajar, dimana siswa dapat lebih berinisiatif dan mengontrol cara belajar mereka. Hal ini menjadi satu petunjuk yang empiris dalam pendekatannya secara signifikan untuk menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang telah dikonsepkan/ disusun.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

206

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

3. Ken Neo Tse-Kian, 2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”, Australian Journal of Educational Technology, 19(3), 293-310.

46 siswa tingkat dua Fakultas Kreatif Multimedia (FCM) Universitas Multimedia Malaysia

Tujuan: membangun paradigm dengan menggunakan multimedia sebagai alat instruksional, dan dimana pelajar adalah pelajar yang aktif, dilibatkan dalam membangun ilmu pengetahuan mereka sendiri di dalam proses belajar dan menentukan bagaimana untuk memperoleh hasil akhirnya. Ke-46 siswa dibagai menjadi beberapa kelompok terdiri dari 4-6 orang. Setiap kelompok harus memutuskan dari setiap anggota

kemampuan mereka dalam pemecahan masalah, dan latihan menganalisis, kritis dan berpikir kreatif dalm tugas mereka.

Satu kelompok, mengembangkan aplikasi interaktif pada permainan tradisional Malaysia. Aplikasi disain diikuti tampilannya yang tradisional, dengan bagian "Background", "Types" (sesuai dengan variasi permainan), "How to Play" (memberikan informasi detail tentang bagaimana memainkan permainan ini) "Play The Game" (bagian interaktif yang menampilkan animasi ketika permainan sedang dimainkan), "The Future" dari permainan, dan "End Credits" yang

Pendekatan yang dilakukan adalah guru disini adalah sebagai fasilitator dan konsultan bagi para siswa. Guru dan murid bertemu dua kali seminggu untuk membahas tugas diskusi kelompok mereka dan untuk mengkonsultasikan bermacam-macam masalah atau mengkonsestrasikan pada masalah yang mereka hadapi. Disini para siswa ditantang untuk lebih memahami bagaimana memilih materi subjek dan untuk membangun kemampuan mereka dalam mengorganisasi, menganalisis dan, mensintesis tugas

Hasil-hasil dari survey dengan jeias menunjukkan bahwa para murid berkelakuan positif (m=4.09, p=91%; lihat Table 3) clan termotivasi (m=3.98, p=76%; lihat Tabel 3) terhadap pengembangan multimedia dan kerjasama tim (m=3.83,p=78°fo; lihat Tabel 2). Rating item tertinggi dalam survey ini, diutamakan pada penggunaan multimedia (m=4.15, p=91%; lihat table 3), kemampuan berkreatifitas (m=4; i S,p=91 %; lihat Tabel 1), dan tantangan dalam

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

207

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

kelompoknya, topic tim mereka dan alat authoring multimedianya, macromedia director, sebagai alat untuk membuat tugas akhir dan menyampaikannya dalam bentuk CD. Tugas ini harus selesai dalam waktu 14 minggu ( satu trisemester)

menampilkan para anggota kelompok juga tugas-tugas mereka dalam aplikasi ini.

dalam pengaturan kelompok

tugas mereka (m=4.17, p.91%; lihat Tabel 3). Ini memungkinkan para siswa dalam menunjukkan haknya untuk menyatakan ide mereka dengan kombinasi elemen media dan mengarahkan menuj u ke ide inovatif yang dihasilkan dari diskusi grup Multimedia yang membantu proses belajar, seperti yang digambarkan dalam Figur 2, para siswa bisa menggunakan berbagai macam bentuk media untuk menyajikan informasi, hal ini membantu mereka untuk mengembangkan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

208

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

kemampuan presentasi dan gaya bicara, yang sangat penting di tempat kerja

4. Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept, International Journal for Mathematics Teaching and Learning ISSN 1473 – 0111

52 mahasiswa tingkat pertama.

Tujuan dari penelitian ini adalah apakah mahasiswa dapat memahami konsep limit dan mengatasi kesulitannya dengan bantuan komputer. Ke-52 mahasiswa dibagi menjadi: 26 mahasiswa sebagai kelompok kontrol dan sebanayak 26 mahsiswa sebagai kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen (kelas B) melakukan pembelajaran konsep limit dengan bantuan

Kemampuan Representasi Multipel. Yakni kemampuan menyajikan suatu obyek matematika (konsep limit) (masalah, ke dalam berbagai notasi yang meliputi: Simbolik/abstrak formal (bentuk aljabar, formula), dalam memanipulasi, menginterpretasi, dan beroperasi dengan simbol. Visual/ikonik, dalam menginterpretasi, membuat, dan beroperasi pada

Sebuah ujian terapan diterapkan pada kedua kelompok setelah dua minggu. Meskipun kedua kelompok telah dimulai dengan 26 mahasiswa, 25 mahasiswa dari kelompok A dan 21 mahasiswa dari kelompok B berperan serta dalam ujian. Jawaban dari mahasiswa dipisah kedalam dua kelompok tertentu, sebagai jawaban – jawaban benar dan salah. Sebuah jawaban diterima sebagai yang benar

Konsep limit diajarkan dengan menggunakan metode klasikal pada kelompok A di ruang kelas. Konsep tersebut diajarkan pada kelompok B di sebuah laboratorium komputer melalui komputer secara individualyang mempunyai suatu program yang disiapkan oleh penelitii dengan menggunakan MATLAB. Setiap mahasiswa pada kelompok ini mengikuti pelajaran dari komputernya secara interaktif.

Rata-rata persentase jawaban benar adalah Ax = 35,4 pada kelompok A dan Bx = 46,4 pada kelompok B. Untuk memeriksa apakah perbedaan yang bermakna antara rata-rata dilakukan uji-t dalam taraf signifikansi 5%, hal ini terlihat dari hasilnya bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara dua- rata-rata ini.

sikap siswa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

209

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

210

ikan

T

komputer dan dilakukan di laboratorium komputer. Sedangkan kelompok kontrol (kelas A) melakukan pembelajaran di ruangan kelas

grafik dan/atau gambar. Numerik/tabular, dalam menerapkan prosedur, memahami dan menerapkan proses, dan mengintepretasi tabel.

jika diberikan hasil benar dengan penjelasan yang benar jika tidak diterima sebagai sebuah hasil yang salah. Data diperoleh dari hasil ujian diinterpretasikan dengan menggunakan frekuensi, persentase dan uji t.

secara signiflebih menyukai pada program pengajaran berbasis komputer.

5. Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts , Yarmouk University, 2005

52 siswa kelas 9 di Sekolah Model, Yarmouk University, Irbid, Yordan.

Tujuan dari studi ini untuk menyelidiki pengaruh penggunaan Geometer’s Sketchpad) terhadap beberapa pemahaman konsep geometris siswa Kelompok eksperimen dan control masing-

Kemampuan merepresentasikan konsep geometris, kemampuan nalar, dan memecahkan masalah geometri.

Instrumen (tes prestasi belajar) yang digunakan dalam studi ini dirancang oleh peneliti dan divalidasi oleh beberapa pendidik-matematika . Terdiri dari 5 pertanyaan tentang Geometri.

semua siswa baik pada kelompok eksperimen maupun kontrol diberikan test untuk mengukur pemahaman mereka mengenai konsep-konsep dalam geometri

ada perbedaan yang signifikan antara rerata skor prestasi posttes siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini menunjukkan juga bahwa peningkatan rerata skor prestasi siswa dari pretes ke posttest untuk kelompok eksperimen lebih

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

211

masing terdiri dari 26 siswa. Kedua kelompok tersebut dibimbing oleh guru yang sama. Kelompok eksperimen belajar yang beberapa bagian geometri menggunakan buku dan perangkat lunak Geometry Skatchpad, Sementara itu, kelompok kontrol belajar yang beberapa bagian geometri hanya menggunakan buku.

baik daripada kelompok kontrol.

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Ken Neo Tse-Kian, 2003, penelitiannya berorientasi pada membangun

paradigma dalam menggunakan multimedia sebagai alat instruksional, dan dimana

pelajar adalah pelajar yang aktif, dilibatkan dalam membangun ilmu pengetahuan

mereka sendiri di dalam proses belajar dan menentukan bagaimana untuk

memperoleh hasil akhirnya. Sebuah survei telah dilakukan untuk memastikan

reaksi para siswa yang didaftarkan dalam pelatihan multimedia interaktif di

Universitas Multimedia, Malaysia dengan menggunkan metode pembelajaran ini.

Hasilnya mengindikasikan bahwa setiap siswa bereaksi positif terhadap cara

pembelajaran ini dan meningkatkan skill belajar personal dan kolaboratif mereka.

Dalam penelitian ini dihasilkan model konseptual mewakili gaya belajar yang disusun

oleh penyusun yang dapat dilihat pada gambar 1, yang menggambarkan proses

belajar siswa dan berhubungan dengan proses pengembangan multimedia.

Gambar 1: Multimedia membantu model pembelajaran

Diperoleh kesimpulan dari penelitian ini yaitu:

1. Teknologi multimedia menjadi popular dalam pendidikan sebagai motivator para

siswa dalam pembelajaran dan memberikan peluang dalam cara-cara

mengekspresikan ide-ide dan menampilkan informasi mereka. Hal ini juga

membiarkan guru fleksibel menyajikan kurikulum mereka dalam keadaan yang

inovatif. Dalam perancang model pembelajaran, guru menjadi fasilitator,

konsultan atau pembimbing, membantu para siswa untuk mengakses,

mengatur dan mendapatkan informasi untuk menyiapkan solusi masalah-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

212

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

masalah. Proses belajar ini memungkinkan pengetahuan berdasarkan komunitas

belajar dibangun untuk para siswa, pernbimbing dan guru berbagi pengetahuan

dan membantu satu sama lain dalam kemampuan dan menyampaikan ilmu.

2. Multimedia yang membantu membangun situasi belajar, pembelajaran siswa,

fakta-fakta, proses belajar, menjadi fokus utama, bukan isi, guru atau

penggunaan teknalogi, yang hanya menyajikan tugas-tugas suportif. Dalam

proses belajar, bagaimanapun juga, dapat dilihat bahwa teknologi seperti

komputer, alat-alat multimedia dan World Wide Web mempunyai pengaruh

yang sangat besar dalam proses belajar siswa.

3. Multimedia yang membantu proses belajar, seperti yang digambarkan dalam

gambar 1, para siswa bisa menggunakan berbagai macam bentuk media

untuk menyajikan informasi, hal ini membantu mereka untuk mengembangkan

kemampuan presentasi dan gaya bicara, yang sangat penting di tempat kerja.

Para siswa menjadi pencari yang aktif daripada dengan penerima ilmu dan

informasi yang aktif. Mereka juga menjadi termotivasi dalam belajar dan belajar

untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya dalam

memecahkan masalah-masalah autentik. Belajar sambil mengerjakan

memperdalam pemahaman mereka dalam permasalahan.

4. Model pembelajaran ini juga membuat para siswa untuk bekerja dalam tim

dan memecahkan masalah secara berkolaborasi, yang dengan pasti telah

disampaikan oleh Vygotsky's (1978) aspek social dari belajar dan ZPD konsep,

dimana guru dan para pembimbing yang ahli membantu dan mengusahakan para

siswa dalam pembelajaran juga menyelesaikan tugas-tugas mereka. Para

siswa juga belajar untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis mereka

seperi analisis, sintesis, evaluasi, dan refleksi ketika memecahkan masalah-

masalah yang autentik. Pengalaman ini akan mengambangkan kemampuan

memecahkan masalah dan interpersonal mereka. Elemen yang sangat penting

dalam mode belajar ini adalah bahwa para siswa tidak hanya belajar `isi' tapi

juga 'proses belajar' hal ini membuat mereka belajar 'bagaimana cara belajar'

dan menjadi pelajar-pelajar yang abadi.

Patti Shank, 2004, multimedia yang efektif di dalam belajar tidak hanya

terdiri atas penggunaan multimedia bersama-sama, tetapi mengkombinasikan media

dengan penuh perhatian dalam cara-cara yang berperan besar di karakteristik-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

213

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

karakteristik dari tiap medium individu dan meluas serta dapat meningkatkan

pengalaman pembelajaran. Riset menunjukkan bagaimana multimedia dapat meluas

dan meningkatkan pelajaran. Penggunaan-penggunaan dari berbagai jenis

multimedia, mulai dari praktek game-game sampai pelajaran penemuan. Para

perancang pertama harus menentukan hasil-hasil yang mereka mau capai dan lalu

memilih unsur-unsur yang cocok untuk hasil-hasil ini (sebagai contoh, memilih

audio yang membiarkan pelajar mendengar perbedaan-perbedaan di dalam nada).

Lalu mereka perlu memastikan bahwa unsur-unsur multimedia dirancang baik dan

bekerja dengan baik bersama-sama.

Tall,2000,2001, Ativitas konstruktif dengan menggunakan teknologi

memperbolehkan kesempatan untuk mengubah sifat alam dari sebuah materi untuk

menjadi bahan pelajaran dari aktivitas yang telah rutin ke penemuan yang telah

dilaksanakan. Pengetahuan,sebagai bahan diskusi sebelum masuk pada langkah

awal,adalah membangun kembali dari setiap pengalaman individu dan membuat

pengalaman itu menjadi lebih dinamis dengan bantuan pengembangan pada struktur

kognitif.

Siswa-siswa yang berusia antara 16-19 tahun menemukan kesulitan dalam

menjawab soal-soal mengenai konsep yang mempunyai arti yang berbeda dalam

konteks yang terpisah dari pengalaman cara berfikir mereka yang lamban. Melalui

pendekatan Konstruktif dengan dilengkapi oleh komputer menghasilkan tenaga bagi

siswa untuk memberikan semangat baru dalam pengalamnnya untuk mengubah

sesuatu yang konkret kedalam sesuatu yang abstrak agar lebih berhasil

(Dubinsky,1991).

Aktivitas pembentukkan image dianjurkan dengan segera, oleh karena itu

diperlukan pelajaran matematika. Siswa-siswa yang biasanya menggunakan image

dalam pikiran mereka biasanya membuat sebuah novel matematika dalam tugas

mereka walaupun mereka tidak terlalu bagus dalam penggambarannya. Hal ini

sangat diperlukan untuk membangun sebuah pengembangan aktivitas belajar untuk

mempromosikan pengembangan dalam keahlian membuat sebuah image bagi semua

siswa (Habre, 2001).

Guru membantu dalam belajar untuk menyelesaikan aktivitasnya, tapi tidak

mengerjakannya atau memberikan jawaban yang benar, tetapi dengan memberikan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

214

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

petunjuk yang diperlukan untuk memformulasikan sehingga mereka dapat

menyelesaikan tugasnya sendiri (Honebein et al., 1993).

Beberapa penelitian yang mendukung konsep:”Efektivitas pembelajaran

akan lebih baik dengan menggunakan kombinasi media”, seperti:

1. Chang, 2001, .Metode CBL (Computer-based learning) akan membantu

siswa untuk memperoleh kemampuan dasar dalam teknologi dan informasi,

juga akan lebih mendalami bidang matematika, menggabungkan pemikiran

yang bebas dan akan memenuhi program karir dan belajar seumur hidup.

2. Mayer dkk, 1989, 1992, 1995, meningkatkn teori generatif dalam desain

multimedia.Teori ini berpendapat bahwa bahan ajar akan memfasilitasi

integrasi informasi multimedia dalam pemilihannya, pengorganisasian serta

desain instruksinya.

3. Peranan multimedia mampu menstimulasi motivasi belajar dan

meningkatkan efektivitas (Moore, dkk, 1996 dan Rieber, 1996).

Beberapa penelitian yang menyatakan pembelajaran menggunakan

penggabungan antara teknologi multimedia dengan sains tidak berpengaruh terhadap

peningkatan dan efektifitas proses pembelajaran”, seperti:

1. Rieber (1990), membuat penelitian berdasarkan hokum Newton di sekolah

dasar, yang menyimpulkan bahwa animasi tidak dapat membantu

memfasilitasi proses pembelajaran.

2. Lai (1998), mengindikasikan bahwa animasi tidak memfasilitasi daya ingat

didalam analogi pembelajaran bahasa komputer.

3. Lai (2000), Kemajuan terbaru dalam teknologi komputer telah membuat

para pendidik untuk menyertakan teks, sumber visual dan aural kedalam

sebuah program komputer mediasi.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

215

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

3. Pembahasan

Dari beberpa penelitian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Pembelajaran

Multimedia adalah suatu kegiatan belajar mengajar di mana dalam penyampaian

bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa, guru menggunakan atau menerapkan

berbagai perangkat media pembelajaran. Adapun media pembelajaran itu sangatlah

beraneka macam, baik itu dalam bentuk media cetak, media / alat peraga ataupun

media elektronik.Media cetak sudah sangat lazim bagi guru maupun siswa, media

cetak meliputi buku paket, buku referensi, majalah, tabloid, koran, atlas / peta atau

mediamedia cetak lainnya. Alat peraga meliputi model / bentuk, globe, relief,

gambar bagan, alat musik, dll. Sedang media elektronik meliputi TV, Radio, Tape

Recorder, OHP, Komputer, LCD Tugastor, Slide, dll. Secara khusus penulis

membatasi permasalahan ini dengan pembahasan penggunaan media elektronik /

komputer, berikut dengan pemanfaatan hardware, software dan alat - alat pendukung

lainnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Komputer merupakan suatu alat

yang canggih dan lengkap, karena dengan satu unit komputer yang baik dapat

difungsikan untuk berbagai keperluan, dan seorang guru yang jeli tentunya dapat

memanfaatkan perangkat canggih tersebut untuk keperluan pembelajaran. Bagi

sekolah-sekolah yang sudah cukup mampu untuk mengadakan alatalat tersebut,

sudah semestinya guru-guru dianjurkan supaya dapat memanfaatkannya dalam

kegiatan pembelajaran. Karena disamping guru memperoleh pengalaman baru dalam

pembelajaran. Pembelajaran multimedia ini juga akan terasa menyenangkan bagi

siswa. Dan yang tak kalah pentingnya adalah metode pembelajaran seperti ini sangat

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dari beberapa pendapat di atas, siswa dalam memahami konsep dan prinsip

dari suatu materi dimulai dari bekerja dan belajar terhadap situasi atau masalah yang

diberikan, melalui investigasi, inkuiri dan pemecahan masalah siswa membangun

konsep atau prinsip dengan kemampuannya sendiri yang mengintegrasikan

keterampilan dan pengetahuan yang sudah dipahami sebelumnya. Hal ini berbeda

dengan proses belajar-mengajar yang biasa dilakukan pada umumnya yaitu masalah

disajikan setelah pemahaman konsep, prinsip dan keterampilan. Kondisi seperti ini

memungkinkan siswa untuk melakukan investigasi, eksplorasi sebelum sampai pada

pemecahan masalah, hal ini melatih siswa dalam mengembangkan kemampuan

berpikir seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan pemecahan masalah.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

216

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan

mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke dalam materi yang sedang dipelajari,

mengkomunikasikan sendiri pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal dan

diberi orang lain (guru). Guru bertindak sebagai pembimbing, motivator, dan

fasilitator yang artinya bahwa guru membantu siswa pada permulaan dan pada saat-

saat diperlukan saja apabila siswa mengalami kesulitan (scaffolding). Hal ini sesuai

dengan pandangan konstruktivisme dengan didukung oleh teori belajar dari Ausubel,

Bruner, dan Vygotsky.

5. Diskusi Penelitian

Hasil penelitian secara umum menunjukan bahwa pembelajaran Interaktif

Menggunakan Teknologi Multimedia ini dapat (1) meningkatkan kemampuan

berpikir siswa, (2) mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya

sendiri, (3) membuat pelajaran matematika menjadi lebih menarik, sehingga

memotivasi siswa untuk belajar, (4) digunakan oleh guru untuk mengevaluasi proses

berpikir siswa serta melihat bila terjadi kesalahan konsep matematika yang

dilakukan oleh siswa.

Selanjutnya Penulis mengkaji kelemahan dan kelebihan dari beberapa

penelitian di atas, sebagai berikut:

No Judul Penelitian Kelemahan Kelebihan 1 King-Dow Su &

Ming uery Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning

Instrumennya sedikit, kurang variasi soal yang diberikan terhadap responden, sehingga tidak cukup reliable dalam hasil akhir.

- Menggunakan gabungan media sehingga materi dipresentasikan dengan lebih menarik tanpa menghilangkan maknanya

2 Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education

Disain pembelajaran tertumpu pada penggunaan software, sementara pembelajran klasikal tidak dilakukan. Sehingga hasil akhir tidak merepresentasikan pemahan konsep yang mendalam pada diri siswa.

Instrumennya menarik, sehingga siswa terpacu untuk selalu mencoba dan mencoba apalagi dengan dibantu software yang mudah digunakan seperti Cabry Geometry atau Mathematica.

3 Ken Neo Tse-Kian, Instrumen berupa kasus matematis Disain pembagian kelompok

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

217

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”,

umum, tidak spesifik membahas suatu kajian/materi matematika. Sehingga tidak dapat merepresentasikan dengan baik dan akurat kaitan penggunaan teknologi multimedia terhadap pemahaman matematika.

dengan jumlah orang yang sedikit meacu siswa mandiri dan bebas berkreasi, berinovasi, sehingga mendapatkan hasil yang optimal

4 Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept

Pembelajaran matematika dengan multimedia tidak digabung/dikolaborasi dengan pembelajaran klasikal. Artinya, di kelompok B dalam penelitian di atas, setelah mereka paham dengan visualisasi konsep limit lewat media komputer, semestinya mereka juga diberikan materi tentang konsep limit dengan metode klaiskal seperti di kelompok A, sehingga hasilnya tidak cukup baik.

Program/software yang digunakan cukup rumit dalam penggunaannya, sehingga menyita banyak waktu.

Program dan software yang digunakan sangat teliti dalam dan akurat.

5 Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts

• Dikelas expreimen dan kontrol tidak terlihat jelas perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan,

• Dari sampel hanya siswa laki-laki, maka untuk pengembangan ke depan diupayakan dicampur, Ini perlu kajian lagi apakah masalah gender berpengaruh atau tidak.

- Menggunakan software yang friendly, mudah digunakan dan akurat dalam merepresentasikan masalah geometri.

Secara keseluruhan, tulisan ini menunjukkan bahwa teknologi multimedia bisa

digunakan seefisien alat instruksional dalam menciptakan lingkungan belajar

berdasarkan pengaturan di dalam kelas yang ada, dimana para siswa bisa belajar

untuk menanamkan kemampuan belajar interpersonal dan kolaborasi terhadap

komunitas belajar para siswa. Multimedia membantu pengaturan model belajar,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

218

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

seperti dalam Figur 2, dimungkinkan untuk membantu belajar siswa dan proses

belajar dimana para siswa ikut ambil bagian.

Penggunaan media komputer dapat meningkatkan kemampuan visualisasi

siswa. Namun demikian media komputer bukan alat untuk membantu siswa

menyelesaikan soal-soal matematika seperti halnya penggunaan kalkulator untuk

mempercepat proses perhitungan. Penggunaan komputer hanyalah untuk membantu

siswa dalam memahami konsep matematika, sedangkan penyelesaian soal tetap

diserahkan pada kemampuan siswa.

Usaha-usaha harus dilakukan untuk memastikan bahwa personil pengajaran

dan pengawas sekolah memahami betapa penting kemampuan staf pengajaran untuk

mengedepankan penggunaan teknologi dan untuk menyingkapkan para siswa pada

lingkungan pelajaran yang interaktif dan kreatif . sehinggan mereka semua akan

terus menerus terbiasa menyesuaikan dengan perangkat lunak yang baru.

DAFTAR PUSTAKA Pustaka Utama Farouq Almeqdadi, The Effect of Using The Geometer’s Sketchpad (GSP) on

Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts, Yarmouk University, 2005

Ken Neo Tse-Kian, 2003. “Using multimedia in a constructivist learning Environment in the Malaysian classroom”, Australian Journal of Educational Technology, 19(3), 293-310.

King-Dow Su & Ming Query Lee, 2005. “A New Evaluation For Integrating Multimedia Technology With Science:Student Performance In Mathematical Limit Learning”, World Transaction on Engineering and Technology Education Vol 4. No. 2, UICEE.

Mr. I Malabar dan Dr. D C Pountney, Using Technology To Integrate Constructivism and Visualisation In Mathematics Education, Proceeding of th 2nd International Conference on the 2002 (Journal Research of Mathematics Education.

Taner Buyukkoroglu, et. All., The Effect Of Computer On Teaching The Limit Concept, International Journal for Mathematics Teaching and Learning ISSN 1473 – 0111

Pustaka Tambahan Chang, K.E., Sung, Y.T. and Chen, S.F., Learning through computer-based concept

mapping with scaffolding aids. J. of Computer Assisted Learning, 17, 21-33 (2001).

Dubinsky, E. & Tall, D (1991). “Advanced Mathematical Thinking and The Computer”, dalam Advanced Mathematical Thinking.(1991),London: Kluwer Academic Publiser.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

219

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Habre, S. (2001). “Visualization Enhanced by Technology in the Learning of Multivariate Calculus”, The International Journal of Computer Algebra in Mathematics Education, Vol. 8, No. 2, pp 115-129.

Holmes, Emma. E. (1995). New Directions in Elementary School Mathematics, Interactive Teaching and Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Honebein, P.C., Duffy, T.M., Fishman, B.J. (1993). “Constructivism and the Design of Learning Environments: Context and Authentic Activities for Learning”, Designing Environments for Constructive Learning, Springer-Verlag Berlin, pp 87-108.

House, J.D., Motivational qualities of instructional strategies and computer use for mathematics teaching in Japan and the United States: Results from the TIMSS 1999 assessment. Inter. J. of Instructional Media, 32, 1, 89-101 (2005).

Lai, S.L., Influence of audio-visual presentations on learning abstract Concepts. Inter. J. of Instructional Media, 27, 2, 199-206 (2000).

Lai, S.L., The effects of visual display on analogies using computer-based learning. Inter. J. of Instructional Media, 25, 2, 151-160 (1998).

Mayer, R.E. and Anderson, R.B., The instructive animations: helping students build connections between words and pictures in multimedia learning. J. of Educational Psychology, 84, 444-452 (1992).

Mayer, R.E., A generative theory of textbook design: using annotated illustrations to foster meaningful learning of science text. Educational Technology Research and Development, 43, 31-43 (1995).

Mayer, R.E., Bove, W., Bryman, A., Mars, R. and Tapangco, L., When less is more: meaningful learning from visual and verbal summaries of science textbook lessons. J. of Educational Psychology, 88, 1, 64-73 (1996).

Mayer, R.E., Multimedia aids to problem-solving transfer. Inter. J. of Educational Research, 31, 611-623(1999).

Mayer, R.E., Systematic thinking fostered by illustrations in scientific text. J. of Educational Psychology, 81, 240-246 (1989).

measurement concepts and methods associated with school science. J. of Science Educ. and Technology, 11, 2, 193-198 (2002).

Moore, R. and Miller, I., How the use of multimedia affects student retention and learning. J. of College Science Teaching, February, 289-293 (1996).

Patti Shank, 2004, “The Value of Multimedia in Learning: How do you create a truly effective multimedia learning experience? Explore the latest research and discover best practices for creating enriching educational experiences”. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13(1), 3-21.

Rieber, L., Using computer animated graphics in science instruction with children. J. of Educational Psychology, 82, 135-140 (1990).

Rieber, L.P., Animation as feedback in a computer-based simulation: representation matters. Educational Technology Research and Development, 44, 5-12 (1996).

Tall, D.O. (2000). “Technology and Versatile Thinking in Mathematical Development”, In Michael O.J. Thomas (Ed.), Proceedings of TIME 2000, Auckland, New Zealand, pp 33-50.

Tall, D.O. (2001). “Cognitive Development in Advanced Mathematics Using Technology”, Mathematics Education Research Journal, Vol. 12, No. 3, pp 196-218.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

220

PM – 17 : Studi Tentang Model Pembelajaran...... Yonandi

Thompson, S.V. and Riding, R.J., The effect of animated diagrams on the understanding of a mathematical demonstration facilitates the understanding in 11-14 year old pupils. British J. of Educational Psychology, 60, 1, 93-98 (1990).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

221

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

Penyusunan Peta Konsep Dalam Setting Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" Pada Mahasiswa Pend. Mat. Fkip Untan

Yulis Jamiah

( FKIP Universitas Tanjungpura, Jl. A. Yani Pontianak, Kalimantan Barat )

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kemampuan nalar mahasiswa dalam mengkaitkan konsep yang satu dengan konsep yang lain melalui peta konsep. Melalui penelitian tindakan yang melibatkan 10 kelompok dari 54 mahasiswa, terungkap bahwa jalinan konsep atau peta konsep 70% dari kelompok yang ada menunjukkan antusias yang tinggi untuk menyusun jalinan konsep. Peta Konsep tersusun yang berkategori baik ada 7 kelompok dan 3 kelompok yang berketegori belum baik.

Kata kunci : Kooperatif tipe STAD, Peta Konsep

Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu yang universal. Artinya,sebagian besar disiplin

ilmu yang ada (di luar matematika), secara langsung maupun tak langsung

memanfaatkan konsep matematika. Menurut Hudoyo (1990:4) bahwa matematika

berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkhis dan

penalarannya deduktif, sehingga belajar matematika itu merupakan kegiatan mental

yang tinggi. Dari pernyataan Hudoyo tersebut, ada tiga unsur yang patut diperhatikan

yaitu konsep yang abstrak, hirarkis dan penalaran deduktif.

Konsep matematika itu tergolong abstrak, hal ini merupakan salah satu

penyebab matematika "dipandang sulit" untuk dipahami. Karena, untuk memahami

yang abstrak, tahap awal biasanya perlu ungkapan yang konkrit (ilustrasi). Namun

kenyataan yang ada, tidak setiap konsep dalam matematika diikuti dengan ilustrasi yang

konkrit. Contoh memang diberikan, namun hanya contoh tentang pembatasan konsep

dimaksud.

Oleh karena itu, apabila dosen mengajar tanpa memperhatikan miskonsepsi

mahasiwa sebelum materi diajarkan, dosen tidak akan berhasil menanamkan konsep

yang benar (Van den Berg, 1991). Konsekwensinya, konsep awal mahasiswa perlu

diidentifikasi dan dipahami oleh dosen, sebagai titik awal dalam perubahan konseptual

(Dreyfus, et al, 1990)

Kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah bidang matematika

masih cukup variatif. Dari hasil ujian semester ganjil mahasiswa Pendidikan

Matematika tahun 2007/2008 menunjukkan bahwa untuk mata kuliah Aljabar diperoleh

prosentase kelulusan (nilai C ke atas) adalah 64 % (69 dari 107 orang mahasiswa). Hasil

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

222

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

penelitian Yulis dkk (2006) menunjukkan bahwa dari 33 orang mahasiswa, terdapat 76

% (22 mahasiswa) kurang memahami konsep-konsep pada materi matematika SLTP,

terutama materi : Kelipatan Persekutuan Kecil (FPK) dan Faktor Persekutuan Besar

(FPB); Barisan dan Deret; Persamaan Kuadrat; dan Logaritma. Fakta lain, dari hasil

penelitian Halini menunjukkan bahwa penalaran induktif maupun deduktif mahasiswa

Pendidikan Matematika FKIP Untan, secara umum daya nalarnya masih tergolong

rendah.

Rendahnya daya nalar maupun perolehan nilai mahasiswa tersebut, tentu banyak

faktor yang mempengaruhi, di antaranya : (1) proses pembelajaran kurang bervariasi

atau pembelajarannya berlangsung secara konvensional, yaitu pembelajaran lebih

banyak mentransfer pengetahuan dari dosen, sehingga mahasiswa hanya sebagai

pendengar saja; (2) mahasiswa kurang terampil menggunakan konsep-konsep

matematika, jika dihadapkan dengan soal-soal (hasil diskusi dengan beberapa dosen

matematika pada Jurusan PMIPA FKIP Untan.

Sehubungan dengan kenyataan tersebut, perlu adanya suatu perbaikan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kerja sama antar mahasiswa, dan dapat meng- ungkapkan permasalahannya serta antar mereka memungkinkan untuk menemukan cara menanggulanginya. Salah satu model pembelajaran yang dapat ditawarkan berdasarkan kondisi tersebut yakni peenyusuna peta konsep dalam setting pembelajaran kooperatif model STAD (Student Team-Achievement Divition). Di sini, mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil dengan kemampuan yang berbeda untuk saling bekerja sama dan diskusi guna mengkaitkan/menghubungkan konsep-konsep yang dipelajari dalam bentuk peta konsep. Permasalahan dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah efektifitas penyusunan peta konsep dalam setting pembelajaran

kooperatif model STAD dalam upaya meningkatkan penalaran matematika pada mahasiswa semester 4 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan?

2. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa dalam menghubung-hubungkan konsep yang satu dengan konsep yang lain dalam bentuk jalinan konsep (Peta Konsep)?

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi konstrbusi kepada: 1. Para mahasiswa sehingga mereka dapat melatih sikap berkompetisi dalam

matematika secara intektual, dan dapat menumbuhkan motivasi internal terhadap bidang matematika, melalui sikap kompetisi antar sesama teman.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

223

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

2. Para dosen sehingga mereka dapat memahami kemampuan nalar mahasiswa secara kelompok, dan dapat termotivasi untuk mencari alternatif yang efektif dalam pembelajaran matematika.

Pengertian Peta Konsep Menurut Navak & Gowin (1985 : 15) peta konsep merupakan suatu alat (berupa skema) yang digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi- proposisi. Proposisi merupakan gabungan dua konsep atau lebih yang dihubungkan oleh kata-kata penghubung. Dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu peta konsep terdiri dari dua konsep yang dihubungkan oleh satu kata penghubung untuk membentuk suatu proposisi. Selanjutnya menurut Orton (1992: 26) " a concept map is simply a linked network of related elements of learning material. It can be used in a variety of ways. It can be used by teachers in course planning, it can be given to pupils as a model for revision, it can be used by a learner in a deliberate way in the learning process. Lebih lanjut menurut Suparno (1997: 56 ) peta konsep merupakan suatu bagan skematik untuk menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian pernyataan. Peta konsep bukan hanya menggambarkan konsep-konsep yang penting, melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu, seperti contoh tentang Konsep logarima berikut ini.

LOGARIM

mantisa karakteristik

Logarima umum

ln x

Hokum-hukum dari logaritma

log x

Logarima natural

Tersusun dari

Dapat berupa

ditulis ditulis

diselesaikan dengan

seperti

Log AB = log A + log B Log A/B = log A – log B Log M = n log M

Gambar 1 ( John Volmik, Dikutip dari Novak;1985, 179)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

224

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

Novak dan Gowin (1985: 15) menyatakan bahwa fungsi peta konsep dapat

membuat jelas gagasan pokok bagi guru yang sedang memusatkan perhatian pada

materi pelajaran yang spesifik. Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai

jalan yang dapat ditempuh dalam menghubungkan pengertian- pengertian konsep di

dalam permasalahannya. Peta konsep pada akhirnya dapat digunakan sebagai ringkasan

sekematik materi pelajaran yang berisi hubungan konsep-konsep. Selain itu peta konsep

merupakan suatu cara yang baik bagi sesorang untuk memahami dan mengingat

sejumlah informasi baru (Arends, 1997 : 251)

Williams (1998: 414) mengemukakan bahwa peta konsep dapat dijadikan sebagai

alat untuk mengetahui pemahaman konseptual seseorang. Wilcox (1998, 464)

mengemukakan bahwa peta konsep sangat membantu memahami konsep yang sedang

dipelajari. Ini berarti penggunaan peta konsep dalam belajar memudahkan untuk

memahami atau menguasai konsep-konsep yang dipelajari. Selain itu penggunaan peta

konsep dalam belajar mengarah pada belajar bermakna. Belajar bermakna akan

terwujud jika seseorang dapat mengaitkan informasi yang dimiliki dengan informasi

baru. Belajar bermakna akan menguatkan ingatan seseorang dan transfer belajar mudah

tercapai (Hudojo, 1989: 62)

Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif

Menurut Kauchak dan Eggan (1996: 277) pembelajaran kooperatif merupakan

strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara partisipatif dan

koloboratif dalam mencapai tujuan. Sedangkan Slavin (1994: 287) mengatakan bahwa

dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerja sama dalam kelompok kecil saling

membantu untuk mempelajari suatu materi.

Karakteristik pembelajaran kooperatif yakni, (a) anggota bekerja dalam

kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademik, (b) anggota kelompok di atur

terdiri dari berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (c) jika mungkin, masing-masing

anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya dan jenis kelamin, dan (d) sistem

penghargaan lebih berorentasi pada kelompok dari pada individu (Arends, 1997: 111)

Dengan memperhatikan beberapa keragaman dalam suatu kelompok diharapkan muncul

sikap partisipatif dan koloboratif dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

225

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

Pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan, yakni prestasi akademik,

penerimaan keanekaragaman,dan pengembangan ketrampilan sosial (Arends, 1997:111)

Diharapkan melalui kelompok yang kooperatif, rata-rata prestasi akademik mahasiswa

dapat terangkat, karena mahasiswa yang berprestasi rendah dan tinggi secara bersama-

sama menangai tugas akademik yang dibebankan melalui tutor teman sebaya.

Pembelajaran kooperatif menyajikan peluang bagi mahasiswa dari berbagai latar

belakang dan kondisi, untuk bekerja dalam kondisi saling ketergantungan yang positif

dalam menangani tugas akademis. Dari aspek keterampilan sosial, pembelajaran

kooperatif mampu membentuk sikap bekerjasama.

Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" dan Penyusunan Peta Konsep

Student Team-Achievement Devision (STAD) adalah salah satu tipe

pembelajaran kooperatif yang dikatagorikan sederhana, Ada lima tahap pemebelajaran

kooperatif model "STAD" dalam proses kegiatan pemebalajaran, yakni (1) penyajian

materi, (2) kegiatan kelompok, (3) tes, (4) perhitungan skor perkembangan individu,

dan (5) pemberian penghargaan kelompok (Slavin, 1995:71). Sementara itu, Kauchak

dan Eggan (1996:289) juga mengungkapkan 6 tahap dalam pembelajaran kooperatif

model "STAD", yakni (1) penjelasan materi, (2) pembentukan kelompok, (3) kegiatan

kelompok, (4) disertai monitoring (5) tes, dan (6) penghargaan kelompok.

Tahap-tahap Penyusunan Peta Konsep dalam setting Pembelajaran Kooperatif Model

"STAD" sebagai berikut.

(a) Tahap Persiapan

Dalam tahap ini, dosen mempersiapkan materi yang dirancang sedemikian rupa untuk

pembelajaran kelompok. Untuk setiap kelompok terdiri dari 5 orang mahasiswa, yang

terdiri dari berkemampuan berbeda (tinggi, sedang, dan rendah).

Sebelum memulai kegiatan pembelajaran, pengajar menjelaskan cara menyusun

peta konsep, dan memperkenalkan ketrampilan kooperatif dan menjelaskan tiga aturan

dasar pembelajaran, yakni (1) tetap berada dalam kelompok, (2) mengajukan

pertanyaan kepada kelompok sebelum mengajukan kepada dosen, dan (3) memberikan

umpan balik terhadap ide-ide dan menghindari mengkritik orang.

(b) Tahap Penyajian Materi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

226

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

Kegiatan penyajian materi dalam pembelajaran kooperatif model STAD

umumnya melalui pembelajaran langsung. Dalam tahap ini, dosen memulai

pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan memotivasi

rasa ingin tahu mahasiswa tentang konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya dosen

memberikan apersepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi prasyarat

yang telah dipelajari, agar mahasiswa dapat menghubungkan ide-ide yang akan

disajikan dengan informasi yang telah dimiliki.

Dalam mengembangkan materi pembelajaran ditekankan hal-hal sebagai berikut: (1)

mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari

mahasiswa dalam kelompok, (2) menekankan bahwa belajar adalah memahami

makna, dan bukan hapalan, (3) memberikan umpan balik sesering mungkin untuk

mengontrol pemahaman mahasiswa, (4) memberi penjelasan mengapa jawaban

pertanyaan tersebut benar atau salah, (5) beralih pada konsep yang lain, jika

mahasiswa telah memahami pokok masalahnya.

(c) Tahap Kegiatan Kelompok

Untuk kegiatan kelompok, dosen membagikan materi (bahan bacaan) yang akan

dipelajari oleh mahasiswa. Dalam kegiatan kelompok, tiap kelompok bekerja untuk

menyusun konsep-konsep yang dipelajari sehingga terbentuk dalam peta konsep, dan

selanjutnya saling memberikan informasi hasil pekerjaannya. Jika ada diantara

mahasiswa yang belum memahami, maka teman sekelompoknya bertanggungjawab

untuk menjelaskannya. sedangkan dosen bertindak sebagai fasilator yang

memonitoring kegiatan masing-masing kelompok.

(d) Tahap Tes Hasil Belajar

Tes di laksanakan 2 kali, yakni tes awal dan tes akhir. Tes awal diberikan untuk

mengetahaui sejauhmana pengetahuan awalnya, dan tes akhir diberikan agar

mahasiswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama

bekerja dalam kelompok. Hasil tes digunakan sebagai nilai perkembangan individu

dan disumbangkan sebagai nilai kelompok.

(e) Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu

Ide dalam tahap ini adalah memberi kesempatan setiap mahasiswa untuk meraih

prestasi maksimal, dan agar siswa dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya

berdasarkan prestasi sebelumnya (skor awal). Berdasarkan skor awal, setiap

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

227

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberi sumbangan skor

maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya.

Cara perhitungan skor perkembangan individu (sumbangan untuk skor kelompok)

seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel. 1

Skror Perkembangan Individu

Skor Tes Sumbangan Skor untuk

Kelompok

Lebih dari 10 poin skor awal 5

Satu hingga 10 poin di bawah skor awal 10

Skor sampai 10 poin di atas skor awal 20

Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30

Ibrahim, dkk (2000, 57)

(f) Tahap Penghargaan Kelompok

Setelah melakukan tes dan melakukan perhitungan skor perkembangan

individu, maka dilakukan perhitungan skor kelompok. Perhitungan skor kelompok

dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing sumbangan skor individu anggota

dalam kelompok dan hasilnya dibagi dengan jumlah anggota kelompok tersebut,

sehingga didapat skor rata-rata kelompok.

Dalam pemberian penghargaan terhadap prestasi kelompok, terdapat tiga tingkat

penghargaan sebagai berikut.

i. Kelompok dengan skor rata-rata maksimal 15, sebagai kelompok baik

ii. Kelompok dengan skor rata-rata lebih dari 15 sampai 20, sebagai kelompok hebat.

iii. Kelompok dengan skor rata-rata lebih dari 20, sebagai kelompok super.

Pendekatan dan Jenis Peneltian

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian pengembangan model pembelajaran

dan tindakan. Penelitian tindakan tampak dalam perencanaan dan pengimplementasian

perangkat pembelajaran yang sedang dikembangkan dengan penerapan pembelajaran

kooperatif model "STAD" .

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif dengan pendekatan

kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

228

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

kegiatan mahasiswa dan dosen selama proses pembelajaran. Sedangkan pendekatan

kuantitatif dilakukan dengan melakukan dengan mengadakan uji awal dan uji akhir

untuk memperoleh data skor tes mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

Setting Penelitian

Dalam penelitian ini, sebagai subyek penelitian adalah mahasiswa semester 4

Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Untan Pontianak.

Sumber & Alat Pengumpul Data

1. Observasi dan catatan lapangan digunakan untuk menjaring data yang berkaitan

dengan kualitas proses kegiatan pembelajaran

2. Tes digunakan untuk menjaring data yang berkaitan dengan prestasi belajar

mahasiswa.

3. Peta Konsep yang dibuat/disusun oleh setiap kelompok mahasiswa digunakan

untuk menjaring penguasaan ketuntasan konsep yang dipelajari pada materi yang

diberikan, dan untuk menjaring kemampuan bernalar mahasiswa dalam kelompok

tersebut

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil kerjaan mahasiswa berupa Peta Konsep, wawancara, dan catatan lapangan serta lembar hasil pemantauan dianalisis secara bersamaan: yaitu (1) mereduksi data, kegiatan mereduksi data ini berlansung terus menerus untuk mengklasifikasi dan menyederhanakan data tersebut sehingga tersusunnya laporan; (2) menyajikan data dilakukan dengan cara menyusun secara naratif sekumpulan informasi yang telah diperoleh dari hasil reduksi, sehingga dapat memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan berikutnya; (3) Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan data yang telah disajikan, dan merupakan pengungkapan akhir dari hasil tindakan.. Tes hasil belajar dianalisis menggunakan statistiks deskriptif dan analisis statistiks inferensial. Analisis statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi,, skor maksimum, skor minimum, proporsi ketuntasan pencapaian tiap-tiap tujuan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

229

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

pembelajaran, dam prosentase ketuntasan belajar mahasiswa. Sedangkan analisis statistiks inferensial menggunakan analisis Uji-t dan dilanjutkan dengan menentukan effect size, untuk mengetahui tingkat efektifitas pembelajaran kooperatif model :STAD" dan penyusunan peta konsep. Pengorganisasian data berdasarkan konsep-konsep yang diungkapkan dalam bentuk peta konsep, kemudian memasukkan data tersebut dalam kategori yang sesuai, seperti "baik", "belum mantap", dan "kurang mantap". Pelaksanaan Penelitian Untuk mengimplementasikan perangkat pembelajaran berorentasikan pembelajaran kooperatif model "STAD" dan penyusunan peta konsep di kelas digunakan rancangan penelitian tindakan. Penelitian tindakan, pada dasarnya berguna untuk memecahakan masalah-masalah praktis atau memperbaiki kualitas praktek. Penelitian tindakan yang dimaksud melalui 4 tahap yakni: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi; yang dilakukan dalam dua siklus. Secara skema digambarkan sebagai berikut.

Refleksi Awal

Rencana Siklus 1

Pelaksanaan & Evaluasi

Evaluasi & Refleksi

Berhasil ?

Ya Tidak

Rencana Siklus 2

Pelaksanaan & Observasi

Evaluasi & Refleksi

Tidak Ya

Berhasil ?

Tes Akhir

Penulisan Laporan

Gambar 2. Alur Kegiatan Tindakan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

230

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

Hasil dan Pembahasan

1. Hasil analisis Data pada Tindakan

Berdasarkan hasil pemantauan/observasi, Peta Konsep diperoleh simpulan sebagai

berikut.

a) Dosen sudah menekankan bahwa kegiatan pembelajaran lebih dipusatkan pada

kegiatan belajar mahasiswa, sehingga bagi mahasiswa yang berkemampuan

kurang terlihat turut bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas yang

dibebankan kepada mereka.

b) Dalam pembelajaran tindakan ini, mahasiswa yang berkemampuan tinggi terlihat

lebih bersemangat dan aktif, sehingga memunculkan kerja sama dalam kelompok

dan bersedia membantu teman menyesaikan tugas.

c) Dilihat dari hasil pekerjaan mahasiswa (Peta Konsep yang tersusun dari kelompok

mahasiswa) pada umumnya dapat diklasifikasikan sudah baik dalam memahami

konsep-konsep pada materi yang dipelajari.

d) Dari hasil pengamatan, sudah 70% dari kelompok yang ada (10 kelompok) sudah

menunjukkan antusias yang tinggi untuk bekerja/penyusunan Peta Konsep. Hal

ini ditunjukkan dengan tersusunnya Peta Konsep yang berkategori baik ada 7

kelompok dan 3 kelompok yang berketegori belum baik.

2. Tes Hasil Belajar Mahasiswa

Hasil analisis deskriptif penguasaan konsep pada materi Vektor diperoleh skor

rata-rata yang dicapai 54 mahasiswa adalah 27,67 dengan skor maksimal 44 yang harus

dicapai. Dari hasil analisis terungkap 30 (56,5%) mahasiswa yang mendapat skor di atas

skor rata-rata tersebut.

Hasil analisis inferensial penguasaan konsep pada materi Vektor diperoleh ES =

3,09, dan berdasarkan kriteria efektifitas, maka nilai tersebut tergolong tinggi. Hal ini

berarti penyusunan Peta Konsep dalam setting pembelajaran kooperatif model STAD

dalam upaya meningkatkan penalaran matematika pada mahasiswa semester 4 Program

Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan adalah tinggi.

Ditinjau dari pemahaman mahasiswa yang diukur dengan perolehan skor, dan

dari pencapaian ketuntasan belajar secara individu dari mahasiswa ini, menunjukkan

bahwa pembelajaran yang diterapkan dapat menumbuhkan kerja sama untuk berdiskusi,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

231

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

mahasiswa yang mempunyai kemampuan lebih baik membantu temannya yang kurang.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Slavin dan Madden (Slavin, 1995: 17) yang

menemukan bahwa pembelajaran kooperatif membuat siswa bersemangat belajar dan

aktif untuk saling menampilkan diri/berperan di antara teman sebaya. Selain itu menurut

Arend (1997: 112) yang mengemukakan bahwa belajar kooperatif dapat

menguntungkan antar siswa berkemampuan rendah dan berkemampuan tinggi yang

bekerja sama-sama mengerjakan suatu tugas akademik, siswa yang berkemampuan

lebih tinggi dapat sebagai tutor bagi temannya yang berkemampuan lebih rendah. Selain

itu hasil penelitian yang terkait dengan penyusunan peta konsep oleh Park Found (dalam

Carol, 1998: 415) mengemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara skor peta konsep

dan skor postes, serta dapat meningkatkan hasil belajar.

Simpulan

Berdasarkan data, analisis data dan pembahasan tentang upaya yang dilakukan

untuk meningkatkan nalar matematika melalui Penyusunan Peta Konsep dalam setting

Pembelajaran Kooperatif Model "STAD", disimpulkan sebagai berikut.

1). Jika ditinjau berdasarkan pengujian hasil analisis inferensial, diperoleh Efec Size

(ES) = 3,09 Hasil ini memberikan informasi bahwa Penyusunan Peta Konsep dalam

Setting Pembelajaran Kooperatif Model "STAD" ternyata efektif dapat

meningkatkan nalar matematika pada mahasiswa.

2) Dari hasil pengamatan (observasi) dikelas dengan menggunakan alat pemantau,

menunjukkan bahwa mahasiswa yang berkemampuan tinggi terlihat lebih

bersemangat dan aktif, sehingga memunculkan kerja sama dalam kelompok dan

bersedia membantu teman menyesaikan tugas, serta 70% dari kelompok yang ada

(10 kelompok) sudah menunjukkan antusias yang tinggi untuk bekerja/penyusunan

Peta Konsep. terdapat 3 (tiga) kelompok yang berkategori belum baik, dan 7 (tujuh)

kelompok yang berkategori baik. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan

penalaran mahasiswa/kemampuan mahasiswa dalam mengkaitkan atau

menghubung-hubungkan konsep-konsep pada materi yang dipelajari.

Saran

a. Kegiatan ini memberikan manfaat bagi dosen, dan mahasiswa. Oleh karena itu ada

baiknya para dosen yang lainnya menerapkan atau mengembangkan pembelajaran

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

232

PM – 18 : Penyusunan Peta Konsep..... Yulius Jamiah

melalui Penyusunan Peta Konsep dalam setting Pembelajaran Kooperatif, dengan

memperhatikan kesesuaian materinya.

b. Pengembangan perangkat pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tersedianya

waktu yang ada dalam pembelajaran matematika.

Daftar Pustaka Arends, Richard, (1997), Classroom Intruction and Management, New York : Mc

Grow-Hill Companics Inc. Dahar, Ratna Willis, (1989), Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga. Ernest. Goetz, Patricia A. Alexander, Michael J. Ash, (1992), Education Psychology A

Classroom Perspective, Sydney : New York Oxford. Hudojo, Herman, (1979), Pengembangan Kurikulum Matematika & Pelaksanaannya

Di Depan Kelas, Surabaya: Usaha Nasional. ___________, (1989), Mengajar Belajar Matematika, Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta

: P2LPTK. Kauchak, Donald P and Eggen, PaulD. 1996, Learning and Teaching, Research-Based

Method, Needham Heihts: Allyu and Bacon Puublisher. Martin, David J, (1994) Concept Mapping As Aid to Lesson Planning: A Longitudinal

Study, Journal of Elementary Science Education, Vol 6 No. 2 , Pp 11-30 , The University of West Florida..

Novak, J.D.,& Gowin, G.B., (1985), Learning How To Learn, London New York New Rochelle Melbourne Sydney: Cambridge Universty Press..

Orton, Anthony, 1992, Learning Mathematics Issues, Theory and Classroom Practice, Second Edition, New York USA

Slavin, Robert E. 1995 Cooperative Learning: Theory, Research and Pratice, Scecond Edition, Massachusetts: Allyu and Bacon Publisher.

Suparno, Paul, (1997), Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius. Van den Berg E. 1990, Salah Konsep dan Pembelajaran Data dalam Otak Manusia,

Yogyakarta, UKSW FPMIPA. Williams, Carol G., (1998), Using Concept Maps to Assess Conceptual Knowledge

of Function, Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 29, No. 4, Pp 414- 421, Department of Mathematics, Alilene Christian University.

Wilcox, Sandra K., (1998), Another Perspertive on Concept Maps: Empowering Students, Mathematics Teaching in the Middle School, Vol. 3, No. 7, Pp 464-469.

Yulis J., (1998), Penggunaan Peta Konsep Dalam strategi Belajar Mengajar Matematika, Thesis tidak dipublikasikan, PPs IKIP Surabaya.

_________, dkk (2006) Upaya Peningkatan Pemahaman Konsep Dasar Matematika Dalam Menghadapi PPL-1 dan PPL-2 Melalui Pembelajaran Collaborative Teamwork Teaching Pada Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP Untan, Laporan Penelitian FKIP Untan Pontianak

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

233

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Membantu Siswa SD dalam Memecahkan Soal Aplikasi Matematis melalui Pembelajaran Tidak Langsung dengan Strategi ”ARIFIN”

Oleh: Zaenal Arifin *)

Abstrak: Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak anak kelas atas SD (kelas 4, 5 dan 6), masih belum tuntas dalam menyelesaikan soal-soal aplikasi matematis. Dalam pembahasan ini, pembelajaran tidak langsung dalam dengan stretegi ”ARIFIN” diterapkan untuk memodelkan bagaimana memecahkan soal-soal aplikasi matematis. Dengan pembelajaran tidak langsung melalui strategi ARIFIN diharapkan para siswa dapat menerapkan berpikir reflektif, kritis, kretaif dan heuristic dengan mengerahkan seluruh strategi metakognitive mereka untuk memecahkan soal aplikasi matematis. Implementasi dan keefektivan strategi ARIFIN yang dirancang dapat diuji secara teoritis maupun empiris. Pembelajaran tidak langsung dengan stretegi ”ARIFIN” diharapakan memiliki pengaruh positif terhadap aspek kemampuan siswa dalam memodelkan dan memecahkan soal aplikasi matematis.

Kata Kunci: Pembelajaran tidak langsung, Soal Aplikasi Matematis, Strategi ARIFIN

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Apabila kita tengok sejarah masa lalu pendidikan di Indonesia, dapat dikemukakan

dua hal penting terkait dengan proses pembelajaran matematika di sekolah. Pertama,

pada awalnya para ahli di bidang pendidikan matematika masih dalam tahap mencari-

cari bentuk kurikulum pembelajaran matematika yang sesuai dengan kultur dan kondisi

sosial budaya bangsa. Kedua para pemikir pendidikan matematika kita mengharapkan

kurikulum matematika sekolah harus relevan dengan kurikum standar internasional.

Pada awal dekade setelah kemerdekaan, kurikulum matematika yang diterapkan di

Indonesia masih belum bayak berubah dari yang diterapkan pada masa penjajahan. Pada

saat ini, tepatnya pada tahun 1950, di Amerika Serikat sedang gencar-gencarnya

melakukan pembaharuan, hingga dipilihnya matematika modern (New Math) sebagai

kurikulum standar (Ruseffendi, 1991: 65).

Sedangkan di Indonesia sendiri, gagasan tentang pembaharuan kurikulum baru

muncul tahun 1964. Pembaharuan ini baru benar-benar terealisasi pad tahun 1970. Pada

masa ini, pengajaran berhitung di SD berangsur-angsur berubah menjadi pengajaran

matematika (matematika modern). (Ruseffendi, 1991:95). Matematika modern ini

mewarnai kurikulum matematika sekolah di Indonesia hingga memasuki kurikulum

1984. Selama kurun waktu tersebut, tradisi mengajar para guru matematika lebih

dominan berpusat pada guru. Guru lebih senang mengajarkan pengetahuan matematika

secara langsung dan berorientasi pada belajar hafala, yang ditandai oleh diterapkannya

metode drill (latihan soal) pada proses pembelajarannya. Dapat disimpulkan, proses

pembelajaran matematika pada kurun waktu tersebut lebih bersifat mekanistik.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

234

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Sehingga siswa lebih banyak diperlakukan seperti obyek yang dapat digiring ke arah

manapun sesuai keinginan guru, tanpa diberi kesempatan menggunakan pengalamannya

untuk membangun pengetahuan dan menerapkannya dalam konteks dunia nyata.

Permasalahan yang masih menjadi kendala hingga saat ini adalah fakta bahwa

kebiasaan guru dalam mengajar masih banyak didominasi oleh aktivitas menjelaskan

secara langsung, tanpa memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk mencoba

mencari, mengkonstruksi atau menemukan secara mandiri pengetahuan matematikanya.

Upaya merubah paradigma lama pembelajaran matematika ini sungguh amat sulit.

Karena budaya mengajar secara langsung dengan penekanan pada aspek kemampuan

hafalan sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun. Tradisi ini sudah menyatu dengan

gaya dan pola mengajar yang mereka praktikkan sehari-sehari. Mereka berpandangan

bahwa, kalau ada cara mengajar yang lebih mudah dan praktis, mengapa harus

mengambil cara mengajar yang sulit, rumit serta menguras pikiran dan tenaga. Sehingga

upaya melakukan perubahan mendasar terhadap kebiasan mengajar dari proses

pembelajaran yang berpusat kepada guru menuju proses pembelajaran yang berpusat

kepada siswa harus diimbangi dengan membuka kesadaran mereka bahwa di balik

kerumitan dan beratnya tugas-tugas yang diemban guru dalam pembelajaran berpusat

pada siswa, ada manfaat yang sangat luar biasa besarnya. Manfaat ini dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat yang terkait dengan sikap dan motivasi

belajar siswa, serta manfaat yang mengarah kepada kebermaknaan ilmu pengetahuan

yang diperoleh siswa dan proses berpikir selama memproses pengetahuan hingga

menjadi miliknya.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana merubah budaya mengajar secara langsung menjadi budaya mengajar

secara tidak langsung dengan melibatkan konteks dunia nyata?

2. Bagaimanakah langkah-langkah pengajaran matematika dalam strategi ARIFIN?

3. Bagaimana implementasi Strategi ARIFIN dalam proses pembelajaran matematika

untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal aplikasi

matematis?

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

235

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Urgensi Masalah

Masalah tersebut penting untuk dibahas dengan alasan sebagai berikut:

1. Budaya mengajar secara langsung sulit menciptakan pribadi-pribadi peserta didik

yang kritis, kreatif, dan memiliki penalaran tinggi.

2. Perlu adanya upaya inovasi pembelajaran yang termasuk dalam kategori

pembelajaran tidak langsung.

3. Perlu adanya upaya menterjemahkan pendekatan kontekstual atau pendekatan

realistik dalam pembelajaran matematika dalam bentuk strategi atau langkah-

langkah pengajaran, termasuk strategi ARIFIN.

PEMBAHASAN

Untuk melakukan pembiasaan pengajaran tidak langsung dapat dilakukan dengan

pendekatan realistik. Salah satu strategi yang relevan dengan pendekatan ini adalah

strategi ARIFIN. Untuk membudayakan strategi ini diperlukan waktu yang tidak sedikit.

Sehingga diperlukan peran serta aktif dari semua pihak yang terkait. Pengembangan

pembelajaran matematika realistik di Indonesia yang dipelopori oleh tim PMRI, perlu

mendapat dukungan yang kuat dari seluruh komponen pendidikan, baik pemerintah,

guru, siswa, dan masyarakat. Untuk memasyarakatkan pendekatan ini, harus dicari akar

permasalahan, mengapa guru-guru matematika pada umumnya lebih senang

mengajarkan matematika dengan pendektan langsung melalui metode ceramah dan

latihan. Pandangan ini lebih banyak dipengaruhi oleh kurang adanya kesadaran akan

pentingnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi siswa untuk

menggunakan pengalaman sehari-harinya dalam membangun pengetahuan matematika.

Dua jenis matematisasi dalam pendekatan realistik sebagaimana yang

diformulasikan Treffer (1991) adalah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.

Sebagai upaya pengembangan matematika realistik terkait dengan dua jenis

matematisasi tersebut, perlu dibiasakan pada diri siswa untuk melakukan

pengidentifikasian sifat-sifat matematis terhadap obyek-obyek nyata, perumusan dan

pemvisualisasian msalah melalui sketsa atau gambar-gambar yang telah dikenalnya,

serta pengalihan masalah dunia nyata (kontekstual) menuju masalah matematika. Di

samping itu perlu pula siswa dibimbing untuk dapat menyatakan hubungan-hubungan

antar konsep matematika dalam bentuk rumus-rumus, proses perbaikan dan penyusunan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

236

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

model-model matematika, penggunaan model yang bervariasi, serta kemampuan dalam

melakukan penggeneralisasian.

Sebagai contoh, dalam pengajaran sudut pada umumnya guru lebih senang

mengajarkan konsep sudut secara langsung dalam bentuk konsep yang sudah jadi, baik

dalam bentuk gambar maupun dalam bentuk kalimat definisi. Padahal, pengajaran ini

dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan

pengalaman dan menerapkan berbagai strategi informalnya untuk memahami berbagai

pengetahuan tentang sudut.

Dalam dokumen hasil reformasi pendidikan matematika terkini, seperti:

Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics di US, Mathematics

Count di United Kingdom, A National Statement on Mathematics for Australian

Schools, The Dutch Proeve Van Een National Programma voor Het Reken/Wiskindeon

derwijs op de Basisschool (Arifin, 2007), ada suatu kekuatan besar yang menekankan

kepada kemampuan problem solviong dan ketrampilan penalaran dan sikap matematis,

serta ketrampilan mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam kehidupan nyata,

sebagai salah satu tujuan pendidikan matematika pada level sekolah dasar.

Tidak sedikit hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa banyak siswa kelas

tinggi SD (kelas 5-6), masih belum tuntas atau setidaknya belum cukup mampu

mencapai perubahan tingkah laku (aptitude) yang diharapkan dalam menyelesaikan

problem aplikasi matematis dengan cara efektif dan berhasil (Schoenfeld, 1988).

Pertama, ada kekurangan (kelemahan) siswa kelas tinggi SD yang dapat

diatribusikan dengan berkurangnya domain ketrampilan dan pengetahuan khusus . .

Kekurangan pada domain pengetahuan khusus siswa didasarkan pada hubungan

keluasan ragam sumber hubungan materi (content), yang harus atau dapat mereka

terapkan dalam problem aplikasi matematis (seperti: simbol, formula, konsep,

algoritma). Sebagai ilustrasi dari ketidakcukupan ini adalah, adanya miskonsepsi

”perakalian membuat jadi lebih besar”, atau ” pembagian membuat jadi lebih kecil” (De

Corte, at al. 1988).

Kedua, tidak sedikit siswa SD kelas atas (kelas 5-6) memiliki kelemahan dalam

heuristic, metakognitive, dan aspek-aspek afektif dari kompetensi matematika. Jika

siswa dihadapkan kepada situasi problem yang kompleks dan non-routin, banyak siswa

tidak dapat menerapkan secara spontan strategi heuristic, seperti: membuat sketsa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

237

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

permasalahan, menggambarkan situasi permasalahan, memilah-milah permasalahan,

atau menebak dan mengecek jawaban (Verschaffel,1999)

Dengan penekanan kepada kemampuan metakognisi, beberapa study

menemukan bahwa sebagian besar upaya solusi siswa berupa aktivitas self-regulatory,

seperti menganalisis problem, memonitor proses penyelesaian, dan mengevaluasi

hasilnya kurang ditunjukkan pada diri siswa. Jenis pendekatan yang digunakan siswa

antara lain: melihat secara sepintas problem, memutuskan dengan cepat kalkulasi apa

yang digunakan untuk memanfaatkan bilangan yang diberikan pada soal, kemudian

meneruskan perhitungan tanpa mempertimbangkan alternatif lainnya, meskipun belum

ada kemajuan yang ditunjukkan pada setiap hasil pekerjaannya (De Corte et al, dalam

Arifin, 2007).

Ketiga, dengan penekanan pada aspek afektif, beberapa penelitian menemukan

bahwa banyak siswa (walaupun terkadang lebih baik dari pada yang lain), memiliki

kekurangan dalam mendukung kemajuan pengajaran dan pembelajaran matematika dan

problem solving. Sikap yang ditunjukkan ini merupakan pengaruh negatif bagi

kesadaran siswa untuk ”mengikatkan ” diri dalam aktivitas problem solving

matematika. Ketika menghadapi problem matematika, pada suatu jenis pengetahuan

yang diujikan untuk mereka manfaatkan dalam upaya penyelesaian soal, dan pada suatu

cara yang dapat mereka evaluasi kegagalan atau keberhasilan mereka dalam

memecahkan problem matematika (Lester et al, dalam Arifin, 2007)

Berbagai macam contoh sikap dan keyakinan kontra produktif tersebut

ditunjukkan dengan adanya: (1) problem matematika yang hanya memiliki satu jawaban

benar; (2) hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikannya;(3) sebagian siswa

tidak dapat menyelesaikan soal matematika non-routin (un familiar problem) secara

mandiri; (4) dapat menyelesaikan soal cerita yang melibatkan pertanyaan kemujuran

(keberuntungan/nasib); dan (5) ada pembatas antara matematika yang dipelajari dengan

matematika yang diinginkan dalam dunia nyata.

Ketidakcukupan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal terapan

matematika berbasis kontekstual ini dihubungkan dengan karakteristik budaya

pengajaran terkini terkait dengan pemecahan permasalahan nyata (soal cerita).

1. Keaslian problem digunakan dalam pembelajaran pemecahan soal cerita.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

238

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

2. Cara yang dilakukan guru dengan menekankan problem ini pada siswa dalam

pembelajaran pemecahan soal cerita.

3. Budaya pembelajaran di kelas (classroom culture)

4. Peneliti melihat aspek-aspek yang tak terlihat dalam praktek pengajaran sehari-

hari di kelas yang memberikan kontribusi bagi munculnya hal yang tidak

diinginkan terkait dengan tujuan pengajaran dan perilaku matematis.

Berikut ini adalah contoh-contoh soal yang termasuk dalam katagori soal aplikasi

matematis.

1. Martha sedang membaca buku. Sesaat kemudian dia menemukan bahwa beberapa

halaman bukunya hilang, karena setelah halaman 135 berikutnya adalah halamn

173. Berapa halaman yang hilang tersebut ?

2. Lis memiliki dua mainan rumah-rumahan. Lantai persegi dari rumah-rumahan yang

kecil tersebut memiliki panjang sisi 40 cm dan terdiri dari 16 ubin. Sedangkan lantai

persegi rumah-rumahan yang besar memeiliki tepat dua kali panjang sisi lantai pada

rumah-rumahan yang kecil.

Guru sebagai penanggung jawab utama proses pembelajaran harus mampu

menentukan metode atau model yang tepat untuk diterapkan dalam suatu proses

pembelajaran. Secara khusus guru juga harus menentukan cara yang tepat dalam

mengajarkan pemecahan soal aplikasi matematis sebagaimana yang telah disajikan

tersebut. Melalui proses pengajaran diharapkan tujuan utama agar siswa mampu

memahami konsep matematika, prinsip-prinsip, fakta maupun skill dengan baik, dapat

tercapai. Melalui berbagai kajian terhadap teori-teori belajar yang ada, penulis

menggagas (create) suatu strategi pengajaran (strategy of teaching) yang memiliki

keterkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan soal

aplikasi matematis. Model tersebut berupa rangkaian 6 tahap dalam proses

pembelajaran matematika. Tahap-tahap tersebut adalah Action (tahap aksi), Reflection

(tahap refleksi), Interaction (tahap interaksi), Formalization (tahap formalisasi),

Interconnection (tahap penjalinan koneksi), dan Narration (tahap narasi). Berdasarkan

huruf awal dari keenam tahap tersebut, strategi ini penulis perkenalkan dengan istilah

strategi ARIFIN.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

239

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Munculnya gagasan strategi ARIFIN terinspirasi oleh hasil telaah kritis penulis

terhadap beberapa temuan dalam studi terkait pembelajaran matematika di tingkat

internasional. Beberapa pendekatan dalam kajian tersebut ada yang cenderung cocok

diterapkan pada siswa tingkat rendah, seperti pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) yang dirintis di Belanda dan Mathematics in Context (MiC) yang

dikembangkan di United State of America (USA), ada pula kajian hasil studi

pembelajaran matematika yang relevan dengan siswa pada level lebih tinggi, seperti

teori APOS (Action, Process, Object, Schema). Berikut ini akan diuraikan secara

terperinci tahap demi tahap dalam strategi ARIFIN serta beberapa teori belajar dan

hasil-hasil studi yang relevan.

Penerapan Strategi ARIFIN dalam Pembelajaran Matematika

Upaya membantu siswa dalam memecahkan soal aplikasi matematis dapat

dilakukan dengan berbagai pendekatan, metode, model maupun strategi pengajaran.

Salah satu strategi yang relevan dengan maksud tersebut adalah strategi ARIFIN.

Ada empat hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam membangun

kemampuan problem solving matematis, yaitu: (1) Tindakan Khusus apa yang dapat

dilakukan guru untuk menciptakan komunitas inquiry dalam proses pembelajaran

matematika di Secondary School; (2) Bagaimana guru memberikan rangsangan awal

(inisiated) siswanya ke dalam menciptakan suatu budaya inquiry; (3) Praktek

pembelajaran jenis apa yang dapat mengkondisikan partisipasi aktif siswa; dan (4)

Tindakan spesifik apa yang dilakukan guru, untuk memunculkan atau meningkatkan

(improve) partisipasi siswa.

Empat hal tersebut dapat didukung oleh suatu model pembelajaran khusus yang

mengkondisikan pembelajaran matematika berjalan secara hidup dan interaktif dalam

bentuk inquiry matematik. Tahap action (tindakan) sebagai jawaban atas pertanyaan

pertama, tahap reflection dan formalization, sebagai jawaban atas pertanyaan kedua,

tahap interaction sebagai jawaban atas pertanyaan ketiga dan keempat. Sedangkan tahap

interconnection dan narration sebagai aktivitas yang menunjang kelengkapan dari

keempat tahap sebelumnya.

1. Aksi (action)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

240

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Penyelidikan pada pembelajaran konseptual didasarkan pada tujuan eksplisit dari

pengidentifikasian gagasan yang melengkapi dasar rekonseptualisasi pada aspek

pengajaran matematika. Mekanisme dalam pengembangan konseptual yang dikaji

dalam analisis ini adalah hasil interpretasi, sintesa, dan ekstensi dari literatur yang telah

ada dan studi longiotudinal tentang proses pembelajaran siswa

(Simon&Blume,1994,Tzur, 1999).

Konstruksi teoritis telah dibangun pada interpretasi konstruktivis radikal pada proses

pembelajaran dan pemrosesan pengetahuan. Von Glaservald (dalam Simon, 2005:305)

menegaskan tiga prinsip konstruktivisme radikal yang menjadi asumsi paradigma ini,

yaitu:

1. Matematika dibangun melalui aktivitas manusia. Manusia tidak memiliki akses

kepada sesuatu yang lepas dari cara mereka untuk mengetahuinya.

2. Apa yang seseorang ketahui terkini (konsepsi terkini) dihasilkan oleh apa yang

dapat mereka assimilasi, mengerti atau pahami.

3. Pembelajaran matematika adalah proses transformasi cara seseorang dalam

memahami konsep dan melakukan aksi.

Ketiga kunci utama tersebut, relevan dengan pendapat Freudenthal bahwa, (1)

matematika adalah aktivitas manusia, maka hendaknya pembelajaran lebih

mengutamakan pembimbingan kepada siswa untuk menggunakan kesempatan

menemukan kembali (reinvention) matematika dan membawanya kembali dalam

kehidupan mereka (Gravemeijer,1994; Van den Kooij,1998); (2) jenis matematika apa

yang bermanfaat bagi siswa dan harus dipelajari; (3) fenomena aktual mana yang

mampu menghadirkan peluang bag siswa untuk membangun pengetahuan dan

pemahaman matematika yang dimaksud; (4) bagaimana mengkondisikan agar siswa

dapat berinteraksi dengan fenomena aktual tersebut; dan (5) bagaimana

mengidentifikasi problem dan situasi problem yang dapat memberikan peluang bagi

siswa untuk membangun konsep dan model matematika (Heuvel&Panhui-zen,2003).

Jadi, prinsip-prinsip yang dikemukakan Freudenthal, lebih spesifik dan mendasari

ketiga kunci utama konstruktivisme radikal.

Walaupun obyek-obyek matematika bersifat abstrak, pengajarannya dapat diawali

dengan menghadirkan situasi nyata dari fenomena alam. Salah satu cara yang relevan

uantuk maksud tersebut adalah mengkondisikan siswa melakukan aksi. Aksi ini berupa

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

241

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

rangkaian kegiatan yang di samping melibatkan mental juga melibatkan aktivitas fisik.

Aksi tersebut merupakan respon siswa terhadap intruksi guru, seperti melakukan

peragaan tertentu, mengamati fenomena, dan tindakan lain. Selain melibatkan aktivitas

mental seperti memahami permasalahan dan mencari pemecahannya, aksi dapat berupa

pengamatan terhadap obyek yang akan diidentifikasi sifat matematisnya.

2. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan aktivitas berpikir sangat penting dalam proses pembelajara

matematika. Gofree dan Dolk (dalam Sabandar, 2001) menyatakan bahwa refleksi

menunjuk kepada suatu situasi yang diamati, dikenali, direnungkan, serta dianalisis

dengan berdasarkan pengalaman serta pengetahuan seseorang. Dalam pembelajaran

matematika, refleksi dapat dimunculkan ketika siswa dihadapkan kepada suatu

fenomena atau peristiwa yang akan diidentifikasi sifat-sifat matematisnya. Proses

pembelajaran yang menekankan pada aktivitas berpikir reflektif mengantarkan siswa

mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Siswa yang berpikir reflektif selalu berpikir

tentang apa yang mereka amati atau mereka lakukan, dengan mengumpulkan informasi

sebanyak-banyaknya dan menganalisisnya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.

Hampir setiap pembelajaran selalu melibatkan berpikir reflektif. Hal tersebut sesuai

dengan penjelasan Reed (2001) bahwa berpikir reflektif merupakan sentral dalam setiap

proses pembelajaran. Gejala-gejala fisik yang tampak pada siswa yang melakukan

berpikir reflektif antara lain, mencatat tentang hubungan antar informasi yang mereka

amati, berbicara dengan diri mereka dan merekam gagasan mereka dalam pikirannya.

Pada gejala terakhir terse-but, siswa melakukan komunikasi dengan diri sendiri

sebagaimana yang dikemukakan Skemp (1982:27), “Reflecting is communicating within

oneself”. Berpikir reflektif adalah suatu aktivitas komunikasi dengan dirinya sendiri.

3. Interaksi (Interaction)

Tiga alternative interaksi yang mengacu kepada teori ZPD dapat digunakan guru

sebagai alat untuk menciptakan kebiasaan yang tepat untuk mengetahui, berbicara, dan

bertindak, menuju terciptanya budaya inquiry matematik. Pandangan sosiokultural dapat

memberikan suatu rasionalisasi teoritis untuk suatu perubahan dalam upaya

mereformasi pendidikan matematika. Pendekatan sosiokultural dibedakan menurut

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

242

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

frame work (kerangka kerja) teoritis dalam aktivitas berpikir, yang mengklaim bahwa

kegiatan berpikir manusia adalah aktivitas yang terjiwai secara alami.

Teori sosiokultural menawarkan cara memajukan pemahaman mendasar antara

proses pembelajaran dengan hasil pembelajaran. Pendapat ini menun-jukkan tentang

bagaimana pembelajaran matematika dikomunikasikan dalam konteks sosial dan

kehidupan nyata (Kozulin & Presseisen, 1995; Gardener, 1991). Sementara Lave &

Winger (1991) memandang pembelajaran matematika sebagai aktivitas sosial dan

komunikatif yang harus disesuaikan dengan formasi komunitas budaya matematika di

kelas.

4. Formalisasi (Formalization)

Prinsip penting lain yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran

matematika adalah formalisasi. Para siswa seharusnya didorong menemukan kembali

(reinvention) matematika dengan bantuan guru dan materi pembelajaran (Gravemeijer,

1994; Treffer, 1987). Untuk melakukan reinvention ini para siswa seharusnya

memperoleh kesempatan untuk berpindah dari penggunaan model pemecahan informal,

intuitive, dan konkrit melalui berbagai model pre-formal, kepada penggunaan model

pemecahan standar yang lebih formal dan abstrak. Proses ini dikenal dengan istilah

formalisasi progressive (progressive formalization), yang juga sebagai ciri-ciri dari

Realistik Mathematics Education (Freudenthal, 1983; Treffers, 1987).

Pada tahap ini siswa akan diajak untuk menikmati obyek-obyek matematika melalui proses abstraksi, idealisasi atau manipulasi. Pada tahap ini diharapkan transfer pengetahuan formal matematika terjadi pada diri siswa. Kondisi yang diharapkan pada tahap ini adalah: (1). terbentuknya konsep-konsep matematika, (2).dipahaminya fakta-fakta dan simbol-simbol, (3).dikuasainya ketrampilan, prosedur atau skill, dan (4). dipahaminya prinsip-prinsip matematika. Cara paling efektif dan praktis dilakukan guru pada tahap ini adalah teknik pengajaran langsung (dirrect instruction). Pada tahap ini siswa melakukan abstraksi (abstacting), idealisasi (idealizing), simbolisasi (simbolizing), generalisasi (generalizing), dan formulasi (formulating) (Farrell & Farmer,1980).

5. Interkoneksi (Interconnection)

Hal-hal yang harus menjadi perhatian kita dalam pembelajaran matematika adalah:

(1) bagaimana para siswa berpikir ketika gurunya mengharapkan atau mendorong agar

mereka tetap bekerja di kelas.; (2) cara terbaik apa yang telah mereka lakukan untuk

mempelajari dan memahami matematika?’; (3) ’apa yang telah mereka lakukan untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

243

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

belajar matematika di kelas ?’; (4) ’ Bagaimana guru mereka atau teman mereka

membantu mereka untuk belajar’, dan (5) ’model apa yang mereka gunakan untuk

memecahkan permasalahan matematis?’

Setelah siswa dinilai cukup memahami obyek-obyek matematika, guru dapat

melanjutkan aktivitas pembelajaran dengan mengajak siswa menerapkan pengetahuan

yang baru diperoleh dalam menyelesaikan permasalahan teoritis (formal problem) atau

permasalahan realistis (kontekstual problem) melalui kegiatan interkoneksi. Pada tahap

ini siswa diharapkan mampu mengkaitkan pengetahuan barunya dengan permasalahan

teoritis atau realistis dan diharapkan dapat memecahkan masalah secara bermakna dan

dapat memperluas wawasan dan pemahaman matematika secara komprehensif.

6. Narasi (narration) dalam Pembelajaran Matematika

Aktivitas lain yang berperan models dalam meningkatkan kemampuan problem

solving matematis adalah narasi. Ahli psikologi kognitif pada aspek narrative

mengemukakan bahwa, bentuk narrative merupakan cara utama manusia untuk

mengutarakan maksud tentang dunia sekitarnya (Sarmiento, et al, 2003). Hal ini

diperkuat oleh hasil studi Narrative Learning Environment (NLE) yang

mempromosikan tiga aktivitas utama siswa dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) ikut

ambil bagian dalam aktivitas naratif; (2) terlibat dalam eksplorasi tugas-tugas,

mengapresiasi narasi dan memahami dan bernalar tentang lingkungan dan obyeknya;

serta (3) menganalisis secara konsekuen apa yang terjadi dalam proses pembelajaran

(Burton, 1986; Burton, 1999).

Dalam tinjauan budaya, aktivitas narasi sudah menjadi bagian dari tradisi

masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia secara historis merasa lebih dekat dengan

kultur bahasa lisan atau bahasa tutur (walaupun disajikan dalam bentuk tertulis) dari

pada bahasa tulis. Kecenderungan ini harus dihargai dengan memberikan kesempatan

seluas-luasnya bagi siswa untuk mengungkapkan pengetahuan barunya dalam

bahasanya sendiri. Di sinilah letak aspek etnomathematics dari aktivitas narasi.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

244

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

PENUTUP

Simpulan

Salah satu upaya untuk merubah budaya mengajar secara langsung menjadi budaya

mengajar secara tidak langsung dengan melibatkan konteks dunia nyata adalah dengan

menerapkan strategi ARIFIN dalam pembelajaran matematika.Strategi “ARIFIN”

dirancang sebagai rangkaian aktivitas yang runtut, melibatkan matematisasi horisontal

maupun matematisasi vertikal secara proporsional. Filsafat pembelajaran

konstruktivisme dan behavioristik secara fleksibel ikut melandasi model ini. Secara

umum dapat penulis kemukakan bahwa aspek-aspek pembelajaran yang mengacu

kepada filsafat konstruktivisme lebih dominan pada tahap aksi, refleksi, interaksi, dan

narasi.. Sedangkan paham behavioristik lebih dominan pada tahap formalisasi dan

interkoneksi. Keenam tahap tersebut diharapkan dapat berperan sebagai konduktor

dalam meningkatkan kemampuan problem solving matematis

Langkah-langkah pengajaran matematika dalam strategi ARIFIN meliputi enam

tahap atau langkah yang terdiri dari melakukan aksi, baik aksi fisik maupun aksi mental,

melakukan refleksi, mengkondisikan siswa untuk berinteraksi, lanjutnya membangun

pengetahuan formal matematika melalui langkah formalisasi, memperkuat pemahaman

dengan mengkaitkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep atau prinsip lain dalam

matematika maupun di luar matematika, dan diakhiri dengan mengkondisikan siswa

melakukan narasi pengetahuan yang baru diperolehnya.

Berpikir reflektif sangat multi interpretatif pada berbagai konteks. Dalam model

ARIFIN, penulis batasi pada reflektif atas problem atau pertanyaan guru atau tindakan

(action) yang dilakukan mereka pada awal pembelajaran. Refleksi tersebut dapat

dilakukan terhadap obyek-obyek fisik sasaran aksi (aksi fisik) yang oleh Piaget disebut

”empirical abstraction”. Dan refleksi terhadap obyek mental (mental action) berupa

permasalahan teoritis (matematika formal) yang disebut ”reflective abstraction”.

Budaya berpikir reflektif ini sangat membantu siswa dalam memunculkan ide, teknik,

atau inspirasi dalam memecahkan soal-soal aplikasi matematis.

Saran

Tahap-tahap dalam pembelajaran ARIFIN, tidak selalu berjalan satu rangkaian

dalam sekali tatap muka. Tetapi rangkaian kegiatan ini dapat terjadi lebih dari satu kali

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

245

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

dalam sekali tatap muka sesuai kondisi, tujuan pengajaran, dan pengetahuan

matematika yang ingin dibangun pada diri siswa. Apabila suatu konsep, prinsip, atau

skill yang dibangun sudah melalui rangkaian aktivitas pada model pembelajaran ini,

maka pembelajaran dapat dilanjutkan untuk konsep, prinsip, atau skill berikutnya,

demikian seterusnya. Tetapi ada pula beberapa pengetahuan formal matematika yang

dapat sekaligus dijalankan melalui tahap-tahap dalam model pembelajaran ini.

Rekomendasi

1. Bagi para praktisi pendidikan matematika, disaankan untuk selalu berupaya

mengembangkan berbagai inovasi pembelajaran yang mengacu pada prinsip-prinsip

pembelajaran tidak langsung dengan pendekatan kontekstual atau realistik.

2. Bagi para guru yang ingin menerapkan strategi ARIFIN dalam proses

pembelajarannya, disarankan untuk berupaya mempersiapkan berbagai

perlengkapan yang diperlukan untuk masing-masing tahap atau langkah

pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zaenal (2007). Minangkatkan Motivasi, Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis, dan hasil Belajar Siswa melalui Pembelajaran Matematika Realistik dalam Seting Kooperatif. Proposal Disertasi SPs UPI, tidak dipublikasikan.

Burton, L.(1986). Mathematics and Its Learning, as Narrative- a Literacy for the twenty-first century. In D. Baker, J. Clay & C. Fox (Eds.), Changing Ways of Knowing: in English, Mathematics and Science. London: Falmer Press.

Burton, L.(1999). The Implications of a Narrative Approach to the Learning of Mathematics, in L. Burton (Ed) Learning Mathematics: From Hierarchies Lti Networks. London: Falmer Press.

De Corte, E., Verschaffel, L., Van Coillie, V. (1988). Influence of Number Size, Problem Structure and Response Mode on Children’s Solution of Multipli-cation Word Problems, Journal of Mathematical Behavior, 7, 197-216.

Farrell, M.A., Farmer, W.A. (1980). Systematic Instruction in Mathematics. for The Middle and High School Years. Reading, Massachusetts, U.S.A., London, England: Addison-Wesley Publishing Company.

Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute

Heuvel, Van den, Panhuizen (2003). Guides for Didactical Decicion Making in Primary School Mathematics education: The Focus on The Content Domain of Estimation. Opplaeringen, 1, 139-152. http://www.geocities.com/nikza-fri/pedagogi.html

Reed, Arthea J.S. Bergemann, Verna E. (2001). A Guide to Observation, Participation and Reflection in Classroom. Fourth Edition. Boston. Mc.Graw Hill.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

246

PM – 19 : Membantu Siswa SD..... Zaenal Arifin

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Bandung.

Sabandar, Jozua. (2001). Refleksi dalam Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah Disajikan pada Workshop Pengembangan Pembelajaran RME untuk SD di PPPG Matematika Yogyakarta Tanggal 4-11 Juli 2001.

Schoenfeld, A. (1988). When Good Teaching Least to Bad Results: The Disasters of “Well-Taught” Mathematicas Courses. Educational Psychologyist. 23, 145-166.

Simon,M. Tzur,R.,Heinz, K.Kinzel, M.(2004). Explicating a Mechanism for Conceptual Learning: Elaborating the Construct of Reflectif Abstraction. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 35, No. 5, 305-329.

Skemp, R. (1982). The Psychology of Learning Mathematics. London: Penguin Book. Treffers, A. (1991). Realistic Mathematics Education in The Netherlands 1980-1990. In

L. Streefland (Ed.). Realistic Mathematics Education in Primary School Utrecht: Freudenthal Institut.

Verschaffel,L., et al.(1999). Learning to Solve Mathematical Application Problems: A Design Experiment with Fifth Graders. Mathematical Thinking and Learning, 1999, 1(3), 195-229

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

247

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

Information Literacy Kunci Sukses Pembelajaran Di Era Informasi

Sri Andayani Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Pembelajaran di abad informasi menyebabkan terjadinya pergeseran fokus dari hanya penyampaian sumber

informasi yang spesifik ke arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi. Kemampuan untuk mengelola informasi yang digunakan untuk melanjutkan pengembangan profesionalitas dikenal dengan information literacy.

Derasnya arus informasi menjadikan dunia pendidikan harus mampu membekali anak didik dengan kemampuan memilih dan memilah informasi, agar dapat unggul berkompetisi di era informasi. Mengingat pentingnya kemampuan mengelola informasi tersebut, maka sudah selayaknya kebijakan dunia pendidikan mengambil rencana strategis agar kompetensi tersebut diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulum. Kata kunci: information literacy, abad informasi.

Pendahuluan

Tidak diragukan lagi bahwa kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh

keahlian mengelola informasi yang dimilikinya, menjadi pengetahuan dan selanjutnya

menjadi dasar pengambilan keputusan yang mendasari langkahnya. Di abad informasi,

informasi telah memegang peran sedemikian penting dalam setiap aspek kehidupan,

dalam pengambilan kebijakan yang menentukan strategi mengahadapi tantangan masa

depan. Dunia pendidikan sudah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap

tantangan dalam abad informasi saat ini. Proses pembelajaran dalam berbagai tingkatan

sebagai bagian inti dalam dunia pendidikan juga harus menyikapi pentingnya peran

informasi yang setiap saat senantiasa terbarukan. Dewasa ini perubahan informasi

sedemikian cepatnya, sehingga bukan lagi dapat dikatakan up to date, tetapi up to

second.

Abad informasi mengharuskan adanya pergeseran fokus dalam proses

pembelajaran. Semula, pembelajaran hanya berfungsi untuk menyampaikan sumber

informasi yang spesifik. Tuntutan era informasi menjadikan pembelajaran bergeser ke

arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi.

Di sisi lain, paradigma pembelajaran dewasa ini juga mengalami pergeseran dari

paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. Perubahan paradigma ini memberikan

pemahaman baru bahwa proses pembelajaran bukan sebagai proses transfer ilmu dari

guru ke siswa. Kegiatan pembelajaran lebih diartikan sebagai upaya aktif guru untuk

membantu siswa dalam membangun pengetahuannya dengan menggunakan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

248

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

pengalaman-pengalaman atau pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki siswa.

Perubahan paradigma ini berpengaruh pada berbagai aspek, tertutama mengenai peran

guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Guru tidak lagi diposisikan sebagai

pemegang otoritas yang berusaha mentransfer pengetahuannya kepada siswa, melainkan

lebih berfungsi sebagai fasilitator yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

membangun pengetahuannya melalui aktivitas pembelajaran yang bermakna.

Ernest Boyer (Rockman, 2004:2) menyatakan bahwa memberdayakan peranan

informasi adalah tujuan terpenting dalam pembelajaran. Jika diorganisasikan dengan

baik, maka informasi selanjutnya akan menjadi pengetahuan. Pembelajaran seharusnya

menjadi dasar penyiapan siswa agar dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan

berkelanjutan serta bekerja profesional melalui pengembangan bakat mereka untuk

memformulasikan pertanyaan dan mencari jawabannya. Hal tersebut dapat terwujud jika

siswa mempunyai kemampuan mengelola informasi dengan baik.

Kemampuan mengelola informasi yang dimaksud adalah mengidentifikasi

informasi yang dibutuhkan, mencari informasi yang relevan dan tepat, dan

mengevaluasi informasi tersebut apakah sesuai dengan kebutuhannya, dan

menggunakan informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah

diidentifikasi. Kemampuan itulah yang disebut dengan information literacy.

Informasi dapat diperoleh dari bermacam sumber, dan dalam berbagai macam

bentuk, cetakan, video, audio, informasi online dsb. Tantangan yang dihadapi dunia

pendidikan untuk meletakkan information literacy sebagai dasar kemampuan

pembelajaran seumur hidup bukanlah dikarenakan sedikitnya informasi yang dapat

diakses. Kesulitan terbesar justru dikarenakan informasi yang ada melimpah, dan belum

dapat dipastikan reliabilitas dan validitasnya.

Information Literacy

Pada dasarnya information literacy dideskripsikan sebagai kemampuan untuk

mencari, mengelola, mengevaluasi secara cerdas, dan menggunakan informasi untuk

memecahkan masalah, melakukan riset, mengambil keputusan dan melanjutkan

pengembangan profesionalitas (Kasowitz-Scheer & Pasqualoni,

http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

249

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

Lebih rinci, information Literacy dapat didefinisikan sebagai kemampuan

individu untuk: (1) mengenali kebutuhan informasi, (2) mengidentifikasi dan mencari

sumber-sumber informasi yang tepat, (3) mengetahui cara memperoleh informasi yang

terkandung dalam sumber yang ditemukan, (4) mengevaluasi kualitas informasi yang

diperoleh, (5) mengorganisasikan informasi, dan (6) menggunakan informasi yang telah

diperoleh secara efektif. (Hancock, http://www.libraryinstruction.com/information-

literacy.html )

Lebih lanjut, Doyle (http://www.libraryinstruction.com/information-

literacy2.html) menyatakan bahwa seorang disebut information literate jika memiliki

kemampuan: (1) menyadari bahwa informasi yang akurat dan lengkap adalah dasar

dalam pengambilan keputusan yang cerdas, (2) mengenali kebutuhan informasi, (3)

menyusun pertanyaan-pertanyaan berdasarkan kebutuhan informasi, (4)

mengidentifikasi sumber-sumber informasi yang potensial, (5) mengembangkan strategi

pencarian informasi yang berhasil guna, (6) mengakses informasi baik yang bersumber

dari komputer maupun teknologi lain, (7) mengevaluasi informasi, (8)

mengorganisasikan informasi untuk aplikasi-aplikasi praktis, (9) mengintegrasikan

informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, dan (10) menggunakan informasi

dalam pemecahan masalah dan berfikir kritis.

Pembelajaran bercirikan information literacy

Information literacy telah mendorong terjadinya pergeseran peran guru dan

siswa dalam pembelajaran. Perubahan tersebut sangat penting untuk menyiapkan siswa

dalam menghadapi tantangan masa depan dalam abad informasi. Sedemikian

pentingnya kemampuan memilih dan memilah informsi dari berbagai macam sumber

yang belum dapat dipastikan keakuratan dan kebenarannya, menjadikan information

literacy sebagai kunci kesuksesan proses pembelajaran di era informasi.

Information literacy merupakan metode yang sangat potensial dalam

memberdayakan siswa melalui pendekatan resource-based learning. Information

literacy menuntut siswa mampu mengenali kapan suatu informasi dibutuhkan dan

mampu mencari informasi tsb, mengevaluasinya dan menggunakan secara efektif.

Berbagai macam bentuk informasi dapat diakses dari berbagai macam sumber, yang

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

250

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

akan menjadikan siswa terlatih dalam mempelajari sesuatu hal baru atau memperdalam

pengetahuannya yang lama.

Dalam lingkungan information literacy, siswa dituntut lebih aktif, belajar

mandiri, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator yang mendorong siswa melalui

pembelajaran yang memungkinkan siswa berpetualang dalam mencari informasi

sebanyak-banyaknya. Siswa akan lebih dituntut aktif untuk: (1) mencari sumber-sumber

informasi yang lebih beragam, (2) mengkomunikasikan isi informasi yang diperoleh,

(3) memunculkan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan isi informasi yang seharusnya

dipelajari, (4) memanfaatkan lingkungan, orang-orang dan peralatan pendukung lain di

sekitarnya sebagai sarana untuk belajar, (5) merefleksikan pembelajarannya sendiri, (6)

menilai pembelajarannya sendiri, dan (7) bertanggungjawab atas pembelajarannya

sendiri.

Information literacy dalam pembelajaran matematika

Menghadapi tantangan abad informasi, siswa yang terbiasa dengan pembelajaran

tradisional harus dikondisikan untuk banyak melatih kemampuan mereka dalam hal

berkomunikasi, berfikir kritis dan memecahkan masalah.

Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan cukup kepada

siswa untuk mengembangkan kemampuan matematis yang memungkinkan siswa

menjadi pembelajar yang mandiri (independent learner). NCTM dalam Principle and

Standars for School Mathematics sebagaimana dikutip oleh Wanti Wijaya (2003)

menegaskan bahwa prinsip belajar matematika yaitu adalah: siswa harus mempelajari

matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari

pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dalam pembelajaran yang

menekankan pemahaman ini, kemampuan-kemampuan melakukan eksplorasi, bertanya,

merumuskan masalah, membuat dugaan-dugaan (conjectures), dan memecahkan

masalah memegang peranan yang sangat penting.

“Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics" yang ditetapkan

oleh The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) memandang

matematika lebih daripada sekumpulan konsep dan keahlian yang harus dikuasai.

Matematika meliputi metode investigasi dan penalaran, berkomunikasi dan

menyampaikan ide-ide. Pembelajaran matematika melibatkan pengembangan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

251

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

kepercayaan diri seseorang. (Doyle, http://www.libraryinstruction.com/information-

literacy2.html)

Konsep Information literacy dalam pembelajaran matematika tampak dalam

aktivitas-aktivitas yang: (1) melibatkan pemecahan masalah (problem solving), (2)

pemakaian estimasi-estimasi, (3) memikirkan strategi fakta-fakta dasar, (4)

memformulasikan dan menginvestigasi pertanyaan-pertanyaan dari problem situasi, (5)

pemakaian komputer dan kalkulator dan teknologi lain. Penilaian dalam bidang

matematika juga berada dalam kerangka besar information literacy, dikarenakan

evaluasi yang dilakukan adalah pada pemanfaatan informasi dalam cara yang paling

bermakna untuk mendemonstrasikan pemahaman matematika.

Information Literacy di Perguruan Tinggi

Pembelajaran di perguruan tinggi bertujuan menyiapkan lulusannya agar unggul

dalam persaingan di era global. Tidak disangkal lagi, era global saat ini ditandai dengan

dominasi informasi dalam setiap laju perkembangannya. Dengan demikian, keunggulan

berkompetisi di era global juga ditentukan oleh kecakapan lulusan menggunakan

informasi (pengetahuan) yang dimilikinya dan kepiawaian mencari dan memanfaatkan

informasi yang digunakan sebagai pijakan dalam mengambil keputusan. Mengingat

pentingnya kemampuan mengelola informasi tersebut, maka sudah selayaknya

kebijakan di perguruan tinggi mengambil rencana strategis agar kompetensi tersebut

diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulumnya. Bahkan, jika

perlu, perguruan tinggi dapat menetapkan kemampuan mengelola informasi sebagai

salah satu syarat kelulusan.

Pada umumnya proses pembelajaran yang terjadi pada siswa sebelum memasuki

dunia pendidikan tinggi belum dapat membuat siswa dapat mengelola informasi dengan

baik. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari kesulitan siswa pada saat diminta untuk

melakukan penelitian, atau mengidentifikasi pertanyaan sekaligus mencari jawaban atas

pertanyaannya sendiri. Idealnya, pada saat siswa baru memasuki jenjang pendidikan di

perguruan tinggi, siswa dikenalkan dengan information literacy melalui materi ”

Ekspositori Menulis dan Meneliti”, ”Pengenalan Dunia Universitas” , ”Teknologi dan

Informasi”, dan ” Dasar-dasar Information Literacy”. (Rockman, 2004: 16).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

252

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

Penguasaan Information Literacy tidaklah sama dengan penguasaan teknologi

informasi. Teknologi informasi merupakan sebagian teknik untuk menguasai

Information Literacy. Information Literacy mempunyai fokus pada bagaimana mencari

informasi, mengorganisasikannya, meneliti, menganalisis informasi, menilai dan

mengevaluasi informasi. Cara memperoleh informasi yang diolah tersebut diantaranya

dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Pengintegrasian information literacy dalam pembelajaran di perguruan tinggi

dapat dilaksanakan dalam beberapa macam bentuk, di antaranya: stand-alone courses or

classes, online tutorials, workbooks, course-related instruction, atau course-integrated

instruction. (Plotnick, http://www.libraryinstruction.com/ infolit2.html)

Rockman (2004:47) memaparkan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

mengintegrasikan information literacy dalam kurikulum, yaitu: program pelatihan guru,

seminar dan experience program bagi siswa perguruan tinggi tahun pertama, program

menulis yang lintas materi dalam kurikulum, pusat pengembangan fakultas, unit

pelayanan pembelajaran, dan program teknologi informasi yang mendukung kelas

online.

Penutup

Era global yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan informasi

yang sangat pesat membuat kemampuan untuk belajar, keahlian mencari dan

memanfaatkan informasi, berfikir kritis dan bertindak profesional dalam memecahkan

masalah menjadi sangat penting. Dunia pendidikan sebagai pusat penyiapan kader

generasi masa depan sudah seharusnya membekali anak didik dengan kemampuan

tersebut, kemampuan information literacy. Tidak diragukan lagi, information literacy

merupakan kunci sukses pembelajaran di era informasi.

DAFTAR PUSTAKA Doyle, Christina S., Information Literacy in an Information Society, . Diakses tgl 25

April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy2.html Hancock, Vicki E, Information Literacy for lifelong learning. Diakses tgl 25 April 2008

dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy.html Kasowitz-Scheer,A. & Pasqualoni, M. Information Literacy Instruction in Higher

Education. Diakses tgl 25 April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

253

PM – 20 : Information Literacy...... Sri Andayani

Plotnick, E. Information Literacy. . Diakses tgl 25 April 2008 dari http://www.libraryinstruction.com/infolit2.html

Rockman, Ilene.F and Associates. 2004. Integrating Information Literacy into the

Higher educatian Curriculum. San Francisco, John Wiley & Sons. Inc. Wanti Wijaya. 2003. Penggunaan Spreadsheet Excel dalam Mendukung Paradigma

Belajar Pada Topik Persamaan Garis Lurus. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 27 – 28 Maret 2003.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

254

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval

M. Andy Rudhito Mahasiswa S3 Matematika FMIPA UGM,

Staff Pengajar Jurusan PMIPA FKIP USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta [email protected]

Sri Wahyuni

Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected] , [email protected]

Ari Suparwanto

Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected]

F. Susilo, S.J. Jurusan Matematika FST USD. Paingan Maguwoharjo Yogyakarta

[email protected]

Abstrak Makalah ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval yang dapat menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi.

Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear max-plus interval, dengan matriks interval persegi, di mana unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama dengan interval ε selalu mempunyai subpenyelesaian interval terbesar. Vektor batas bawah vektor subpenyelesaian interval terbesar tersebut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem persamaan linear max-plus dengan matriks koefisiennya adalah matriks batas bawah dari matriks interval sistem tersebut. Sedangkan vektor batas atas vektor subpenyelesaian interval terbesar tersebut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem persamaan linear max-plus dengan matriks koefisiennya adalah matriks batas atas dari matriks interval sistem tersebut. Kata-kata kunci: aljabar max-plus, interval, sistem persamaan linear.

1. Pendahuluan

Aljabar max-plus (himpunan R ∪{−∞}, dengan R adalah himpunan semua bi-langan real, yang dilengkapi dengan operasi maximum dan penjumlahan) telah diguna-kan untuk memodelkan dan menganalisis jaringan, seperti penjadwalan proyek , sistem produksi, jaringan antrian, dan sebagainya. Pemodelan dan analisa suatu jaringan den-gan pendekatan ini dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah pada kompu-tasinya, seperti dalam Bacelli, et al. (2001), Rudhito, A. (2004), Krivulin, N.K. (2001). Pemodelan tersebut kebanyakan masih berupa model deterministik, di mana waktu aktifitas pada jaringan berupa bilangan real. Pada kenyataannya, oleh karena beberapa faktor, misalkan operator mesin, kadang waktu aktifitas pada jaringan tidak pasti. Dalam masalah ini, aljabar max-plus telah dikembangkan untuk model stokastik, di mana waktu aktifitasnya berupa peubah acak, seperti dalam Bacelli, et al. (2001) dan B. Heidergott, B., et. al. (2005). Peubah acak dalam model stokastik diasumsikan mengikuti suatu distribusi peluang tertentu. Distribusi ini biasanya disusun berdasarkan data-data yang diperoleh setelah jaringan dioperasikan untuk jangka waktu tertentu.

Dalam masalah pemodelan dan analisa suatu jaringan di mana waktu aktifitasnya belum diketahui, misalkan karena masih pada tahap perancangan, data-data

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

255

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

mengenai waktu aktifitas belum diketahui secara pasti maupun distribusinya. Waktu aktifitas ini dapat diperkirakan berdasarkan pengalaman maupun pendapat dari para ahli maupun operator jaringan tersebut. Untuk itu waktu aktifitas jaringan dimodelkan dalam suatu bilangan kabur (fuzzy number). Akhir-akhir ini telah berkembang pemodelan jaringan yang melibatkan bilangan kabur. Untuk masalah penjadwalan yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada Chanas, S., Zielinski, P. (2001). Sedangkan untuk masalah model jaringan antrian yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada Lüthi, J., Haring, G. (1997).

Pemodelan dan analisa pada masalah-masalah jaringan yang melibatkan bilan-gan kabur, sejauh penulis ketahui, belum ada yang menggunakan pendekatan aljabar max-plus. Dalam pemodelan input-output suatu jaringan dengan pendekatan aljabar max-plus, graf untuk jaringan tersebut dinyatakan dengan menggunakan matriks, den-gan unsur-unsurnya menyatakan waktu aktifitas antar titik pada jaringan tersebut. Selan-jutnya pemodelan terkait dengan sistem persamaan linear max-plus A ⊗ x = b dengan x dan b berturut-turut sebagai vektor input dan vektor output. Pemodelan waktu aktifitas jaringan dengan menggunakan bilangan kabur dengan pendekatan aljabar max-plus akan terkait dengan sistem persamaan linear input-output max-plus bilangan kabur.

Operasi-operasi pada bilangan kabur dapat dilakukan menggunakan Teorema Dekomposisi, yaitu melalui potongan-potongan-α-nya yang berupa interval-interval (Susilo, F. 2006). Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear max-plus bilangan ka-bur melalui Teorema Dekomposisi pasti akan memerlukan hasil-hasil penyelesaian sis-tem persamaan linear max-plus interval. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas ten-tang suatu vektor interval yang merupakan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval. 2. Aljabar Max-Plus dan Sistem Persamaan Linear Max-Plus Dalam bagian ini dibahas konsep dasar aljabar max-plus dan kaitannya dengan teori graf, serta eksistensi dan ketunggalan penyelesai sistem A ⊗ x = b . Pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada Baccelli et.al (1992) dan Rudhito A (2003). Diberikan Rε := R ∪{ε } dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan ε : =

−∞. Pada Rε didefinisikan operasi berikut: ∀ a, b ∈ Rε , a ⊕ b := max(a, b) dan a ⊗ b

: = a + b. Dapat ditunjukkan bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif

idempoten dengan elemen netral ε = −∞ dan elemen satuan e = 0. Lebih lanjut (Rε, ⊕,

⊗) merupakan semifield, yaitu bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif di

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

256

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

mana untuk setiap a ∈ R terdapat −a sehingga berlaku a ⊗ (−a) = 0. Kemudian (Rε, ⊕,

⊗) disebut aljabar max-plus, yang selanjutnya cukup dituliskan dengan Rmax.

Aljabar max-pus Rmax tidak memuat pembagi nol yaitu ∀ x, y ∈ Rε berlaku: jika

x ⊗ y = ε maka x = ε atau y = ε. Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada R max dengan x

mp y ⇔ x ⊕ y = y merupakan urutan parsial pada Rmax. Lebih lanjut relasi ini

merupakan urutan total pada Rmax. Dalam Rmax, operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap

urutan mp , yaitu ∀a, b, c ∈ R max , jika a mp b , maka a ⊕ c mp b ⊕ c, dan a ⊗ c mp b

⊗ c.

Operasi ⊕ dan ⊗ pada Rmax dapat diperluas untuk operasi-operasi matriks dalam

: = {A = (Anm×maxR ij)⏐Aij ∈ Rmax, untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n}. Untuk α ∈ Rmax,

dan A, B ∈ didefinisikan α ⊗ A, dengan (α ⊗ A)nm×maxR ij = α ⊗ Aij dan A ⊕ B, dengan (A

⊕ B)ij = Aij ⊕ BBij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Untuk A ∈ , B ∈

didefinisikan A ⊗ B, dengan (A ⊗ B)

pm×maxR np×

maxR

ij = . Didefinisikan matriks E ∈ ,

(E )

kjik

p

kBA ⊗⊕

=1

nn×maxR

ij : = dan matriks ε ∈ , (ε )⎩⎨⎧

≠=

jiεji

jika, jika,0 nm×

maxR ij := ε untuk setiap i dan j . Dapat

ditunjukkan bahwa ( , ⊕, ⊗) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral

matriks ε dan elemen satuan matriks E. Sedangkan merupakan semimodul atas

R

nn×maxR

nm×maxR

max.

Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada dengan A nm×maxR mp B ⇔ A ⊕ B = B

merupakan urutan parsial pada . Perhatikan bahwa A nm×maxR mp B ⇔ A ⊕ B = B ⇔ Aij ⊕

BBij = BijB ⇔ Aij mp BBij untuk setiap i dan j. Dalam ( , ⊕, ⊗), operasi ⊕ dan ⊗

konsisten terhadap urutan

nm×maxR

mp , yaitu ∀A, B, C ∈ , jika A nn×maxR mp B , maka A ⊕ C mp B

⊕ C, dan A ⊗ C mp B ⊗ C .

Didefinisikan := { x = [ xnmaxR 1, x2, ... , xn]T | xi ∈ R max, i = 1, 2, ... , n}.

Perhatikan bahwa dapat dipandang sebagai , sehingga merupakan

semimodul atas R

nmaxR 1

max×nR n

maxR

max. Unsur-unsur dalam disebur vektor atas RnmaxR max. Karena Rmax

merupakan semifield maka untuk setiap x ≠ ε dalam dapat didefinisikan −x =

[−x

nmaxR

1, −x2, ... , −xn ]T.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

257

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

Diberikan A ∈ dan b ∈ . Vektor nn×maxR n

maxR x′ ∈ disebut subpenyele-saian

sistem persamaan linear A ⊗ x = b jika memenuhi A ⊗

nmaxR

x′ mp b. Suatu subpenyelesaian

dari sistem A ⊗ x = b disebut subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b jika x̂

x′ mp x̂ untuk setiap subpenyelesaian x′ dari sistem A ⊗ x = b. Diberikan A ∈

dengan unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama dengan ε dan b ∈ R

nn×maxR

n.

Subpenyelesaian terbesar A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh = − (Ax̂ T ⊗ (− b)).

3. Aljabar Max-Plus Interval dan Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval

Bagian ini membahas konsep dasar dan teknik pengopersian matriks atas aljabar

max-plus interval. Pembahasan lebih lengkap dapat dilihat pada Rudhito, A. dkk

(2008a, 2008b)

Interval (tertutup) x dalam Rmax adalah suatu himpunan bagian dari Rmax yang

berbentuk x = [ x , x ] = {x ∈ Rmax | x mp x mp x }. Interval x dalam Rmax di atas

disebut interval max-plus, yang selanjutnya akan cukup disebut interval. Suatu bilangan

x ∈ Rmax dapat dinyatakan sebagai interval [x, x ]. Didefinisikan I(R)ε := { x = [ x , x ] |

x , x ∈ R , ε mp x mp x } ∪ { ε }, dengan ε := [ε, ε ].

Pada I(R)ε didefinisikan operasi ⊕ dan ⊗ dengan: x ⊕ y = [ x ⊕ y , x ⊕ y ] dan x ⊗

y = [ x ⊗ y , x ⊗ y ] , ∀ x, y ∈ I(Rε). Dapat ditunjukkan bahwa (I(R)ε, ⊕ , ⊗ )

merupakan semiring idempoten komutatif dengan elemen netral ε = [ε, ε] dan elemen

satuan 0 = [0, 0]. Semiring idempoten komutatif (I(R)ε , ⊕ , ⊗ ) selanjutnya disebut

dengan aljabar max-plus interval yang dilambangkan dengan I(R)max.

Didefinisikan I(R) := {A = (Anm ×max ij)⏐Aij ∈ I(Rmax), untuk i = 1, 2, ..., m dan j =

1, 2, ..., n}. Matriks anggota I(R) disebut matriks interval max-plus. Selanjutnya

matriks interval max-plus cukup disebut dengan matriks interval. Untuk α ∈ I(R)

nm ×max

max,

A, B ∈ I(R) , didefinisikan α nm×max ⊗ A, dengan (α⊗ A)ij = α⊗ Aij dan A⊕ B,

dengan (A ⊕ B)ij = Aij ⊕ Bij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n . Untuk A ∈

I(R) , B ∈ I(R) , didefinisikan A pm×max

np×max ⊗ B dengan (A ⊗ B)ij = kjik

p

k

BA1

⊗⊕=

untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Dapat ditunjukkan (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ )

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

258

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

merupakan semiring idempoten dengan elemen netral matriks ε dengan (ε )ij := ε untuk

setiap i , j dan elemen satuan adalah matriks E, dengan (E )ij : = .

Sedangkan I(R) merupakan semimodul atas I(Ρ)

⎩⎨⎧

≠=

jiji

jika,ε jika,0

nm ×max max,

Untuk A ∈ I(R) didefinisikan matriks nm ×max A = ( A ij) ∈ dan nm ×

maxR A = ( A ij) ∈

yang berturut-turut disebut matriks batas bawah dan matriks batas atas dari

matriks interval A. Diberikan matriks interval A ∈ I(R) , dengan

nm ×maxR

nm×max A dan A berturut-

turut adalah matriks batas bawah dan matriks batas atasnya. Didefinisikan interval

matriks dari A, yaitu [ A , A ] = { A ∈ ⎜nm×maxR A mp A mp A } dan I( )nm×

maxR * = {

[ A , A ] | A ∈ I(R) }. Untuk α ∈ I(Ρ)nm×max max, [ A , A ], [ B , B ]∈ I( )nm×

max*, didefinisikan

α ⊗ [ A , A ] = [α⊗A , α ⊗A ] dan [ A , A ]⊕ [ B , B ] = [ A ⊕B , A ⊕ B ]. Untuk

[ A , A ]∈ I( )pm×max

*, [ B , B ] ∈ I( )np×max

*, didefinisikan [ A , A ] ⊗ [ B , B ]= [ A ⊗B ,

A ⊗ B ]. Dapat ditunjukkan pula bahwa (I( )nxnmaxR *, ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring

idempoten dengan elemen netral adalah interval matriks [ε, ε] dan elemen satuan adalah

interval matriks [E, E]. Sedangkan I( )nm×maxR * merupakan semimodul atas I(R)max.

Semiring (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) isomorfis dengan semiring (I( )nxn

maxR *, ⊕ , ⊗ ),

dengan pemetaan f : I(R) → I( )nn×max

nxnmaxR *, f (A) = [ A , A ], ∀A ∈ I(Ρ) . Sedangkan

semimodul I(R) atas I(R)

nn×max

nm×max max isomorfis dengan semimodul I( )nm×

maxR * atas I(R)max

Dengan demikan untuk setiap matriks interval A selalu dapat ditentukan interval

matriks [ A , A ] dan sebaliknya untuk setiap interval matriks [ A , A ] ∈ I( )nxnmaxR *, maka

A , A∈ , sehingga dapat ditentukan matriks interval A ∈ I(R) , di mana [nn×max

nn×max A ij ,

A ij ] ∈ I(R)max , ∀i dan j. Dengan demikian matriks interval A ∈ I(Ρ) dapat

dipandang sebagai interval matriks [

nm×max

A , A ] ∈ I( )nm×maxR *. Interval matriks [ A , A ] ∈

I( )nxnmaxR * disebut interval matriks yang bersesuaian dengan matriks interval A ∈

I(R) dan dilambangkan dengan A ≈ [nn×max A , A ]. Akibat isomorfisma di atas, maka

berlaku α ⊗ A ≈ [ α ⊗ A , α ⊗ A ], A ⊕ B ≈ [ A ⊕ B , A ⊕ B ] dan A ⊗ B ≈

]BA,BA[ ⊗⊗ .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

259

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

Didefinisikan I(R) nmax := {x = [x1, x2, ... , xn ]T| xi ∈ I(R)max, i = 1, 2, ... , n }.

Himpunan I(R) dapat dipandang sebagai I(R) . Unsur-unsur dalam I(R)

disebut vektor interval atas I(R)

nmax

1max×n n

max

max. Vektor interval x bersesuaian dengan interval vektor [ x , x ], yaitu x ≈ [ x , x ].

4. Sistem Persamaan Linear Max-Plus Interval A⊗ x = b Bagian ini merupakan hasil utama makalah ini, yaitu penyelesaian sistem persamaan linear max-plus interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi. Definisi 1

Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max

nmax

* ∈ I(R) disebut

penyelesaian interval sistem interval A

nmax

⊗ x = b jika berlaku A⊗ x* = b. Definisi 2

Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max

nmax ′ ∈ I(R) disebut

subpenyelesaian interval sistem A

nmax

⊗ x = b jika berlaku A ⊗ x′ Imp b.

Definisi 3

Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval x ∈ I(R) disebut

subpenyelesaian terbesar interval sistem interval A

nn×max

nmax ˆ n

max

⊗ x = b jika x′ Imp x̂ untuk setiap

subpenyelesaian interval dari sistem Ax′ ⊗ x = b. Teorema berikut memberikan eksistensi subpenyelesaian terbesar interval sistem

interval A⊗ x = b. Teorema 1

Diberikan A ∈ I(R) dengan unsur-unsur setiap kolomnya tidak semuanya sama

dengan ε dan b ∈ I(R) , di mana A ≈ [

nn×max

nmax A , A ] dan b ≈ [ b , b ]. Subpenyelesaian

terbesar A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh vektor interval x ≈ [− (ˆ TA ⊗ (−b )), −

(T

A ⊗ (−b )) ]. Bukti:

Menurut hasil pada bagian 2, ∀ A ∈ [ A , A ] dan ∀ b ∈ [ b , b ], subpenyelesaian

terbesar sistem A ⊗ x = b ada dan diberikan oleh = −(Ax̂ T ⊗ (− b)). Khususnya untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

260

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

sistem A ⊗ x = b subpenyelesaian terbesarnya adalah vektor x̂ = −( TA ⊗ (− b )),

sedangkan subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b adalah vektor x̂ = −(T

A ⊗

(−b )) . Karena operasi ⊕ dan ⊗ pada matriks konsisten terhadap urutan “ mp ”, maka T

A ⊗ (−b ) mp AT ⊗ (−b) mpTA ⊗ (−b ) , sehingga diperoleh −( TA ⊗ (−b )) mp −(AT ⊗

(− b)) mp −( TA ⊗ (−b )). Jadi terbukti [− ( TA ⊗ (−b )), −(T

A ⊗ (− b ))] merupakan

suatu interval matriks. Jadi terbukti vektor interval x ≈ [−(ˆ TA ⊗ (−b )), −(T

A ⊗

(−b )) ] = [ x̂ , x̂ ] merupakan subpenyelesaian terbesar sistem A ⊗ x = b. ■

Contoh 1

Diberikan sistem A ⊗ x = b, dengan A = dan b , maka ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−−

−−

]10,5[]0,0[],[]2,3[

]1,2[]3,1[εε

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

]10,5[]5,2[

10,6[

A = ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−

503

21ε A =

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−

1002

13ε , b = dan

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

526

b = . Dapat ditentukan bahwa ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

105

10x̂ =

dan ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡05

x̂ = , sehingga x ≈ , . Jadi x = . Perhatikan bahwa x

merupakan penyelesaian interval sistem A

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡07

ˆ ⎢⎣

⎡⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡05

⎥⎦

⎤⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡07

ˆ ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]0,0[]7,5[

ˆ

⊗ x = b, karena berlaku:

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−−

−−

]10,5[]0,0[],[]2,3[

]1,2[]3,1[εε ⊗ ⎥

⎤⎢⎣

⎡]0,0[]7,5[

= . ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

]10,5[]5,2[

10,6[

Contoh 2

Diberikan sistem A ⊗ x = b, dengan A = dan b = , maka ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]6,5[]5,4[]4,3[]3,2[

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]10,7[

7,6[x̂ =

dan ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡23

x̂ = , sehingga x = . Perhatikan bahwa x ini bukan penyelesaian

interval sistem tersebut, karena

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡34

ˆ ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]3,2[]4,3[

ˆ

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]6,5[]5,4[]4,3[]3,2[

⊗ ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]3,2[]4,3[

= . ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡]9,7[]7,5[

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

261

M – 1 : Sistem Persamaan Linear...... M. Andy Rudhito, Sri Wahyuni, Ari S, F. Susilo, S.J.

5. Kesimpulan dan Permasalahan Lebih Lanjut

Sistem persamaan linear max-plus interval dengan unsur-unsur setiap kolomnya

tidak semuanya sama dengan ε selalu mempunyai subpenyelesaian terbesar. Vektor in-

terval subpenyelesaian terbesar tersebut bersesuaian dengan vektor interval di mana ba-

tas bawah dan atasnya berturut-turut adalah vektor subpenyelesaian terbesar sistem den-

gan matriks koefisiennya adalah matriks batas bawah dan matriks batas atas dari matriks

interval koefisiennya. Jika subpenyelesaian terbesar interval tersebut memenuhi sistem

interval, maka subpenyelesaian terbesar tersebut merupakan penyelesaian sistem terse-

but.

Permasalahan selanjutnya yang dapat dibahas adalah bagaimana menggunakan

hasil-hasil di atas untuk menyelesaikan sistem persamaan linear max-plus bilangan ka-

bur melalui Teorema Dekomposisi, di mana potongan-potongan-α sistem merupakan

sistem persamaan linear max-plus interval.

Kepustakaan

Bacelli, F., et al. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons. Boom, T.J.J., et al. 2003. , Identication of stochastic max-plus-linear systems. Proceed-

ings of the 2003 European Control Conference (ECC'03), Cambridge, UK, 6 pp., Sept. 2003. Paper 104.

B. Heidergott, B., et. al. (2005). Max Plus at Work, Princeton: Princeton University

Press. Chanas, S., Zielinski, P. 2001. Critical path analysis in the network with fuzzy activity

times. Fuzzy Sets and Systems. 122 (2001) 195–204. Lüthi, J., Haring, G. 1997. Fuzzy Queueing Network Models of Computing Systems.

Proceedings of the 13th UK Performance Engineering Workshop, Ilkley, UK, Edinburgh University Press, July 1997.

Rudhito, Andy. 2003. Sistem Linear Max-Plus Waktu-Invariant. Tesis: Program

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rudhito, Andy, dkk. 2008a. “Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding Seminar Nasional

Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit). Rudhito, Andy, dkk. 2008b. “Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding

Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).

Susilo, F. 2006. Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya. Edisi kedua.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

262

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval

M. Andy Rudhito Mahasiswa S3 Matematika FMIPA UGM,

Staff Pengajar Jurusan PMIPA FKIP USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta [email protected]

Sri Wahyuni

Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected] , [email protected]

Ari Suparwanto

Jurusan Matematika FMIPA UGM. Sekip Utara, Yogyakarta [email protected]

F. Susilo, S.J. Jurusan Matematika FST USD. Paingan Maguwoharjo Yogyakarta

[email protected]

Abstrak

Makalah ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi. Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear iteratif max-plus interval, dengan matriks interval persegi yang semidefinit, selalu mempunyai penyelesaian interval maksmum. Batas bawah dan batas atas penyelesaian interval maksmum tersebut berturut-turut adalah penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks batas bawah dan penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks batas atas dari matriks intervalnya. Jika matriks interval persegi dalam sistem definit, maka penyelesaian tersebut tunggal. Kata-kata kunci: aljabar max-plus, interval, sistem persamaan linear iteratif.

1. Pendahuluan

Aljabar max-plus (himpunan R ∪{−∞}, dengan R adalah himpunan semua bi-

langan real, yang dilengkapi dengan operasi maximum dan penjumlahan) telah diguna-

kan untuk memodelkan dan menganalisis jaringan, seperti penjadwalan proyek , sistem

produksi, jaringan antrian, dan sebagainya. Pemodelan dan analisa suatu jaringan den-

gan pendekatan ini dapat memberikan hasil analitis dan lebih mudah pada kompu-

tasinya, seperti dalam Bacelli, et al. (2001), Rudhito, A. (2004), Krivulin, N.K. (2001).

Pemodelan tersebut kebanyakan masih berupa model deterministik, di mana waktu

aktifitas pada jaringan berupa bilangan real. Pada kenyataannya, oleh karena beberapa

faktor, misalkan operator mesin, kadang waktu aktifitas pada jaringan tidak pasti.

Dalam masalah ini, aljabar max-plus telah dikembangkan untuk model stokastik, di

mana waktu aktifitasnya berupa peubah acak, seperti dalam Bacelli, et al. (2001) dan B.

Heidergott, B., et. al. (2005). Peubah acak dalam model stokastik diasumsikan

mengikuti suatu distribusi peluang tertentu. Distribusi ini biasanya disusun berdasarkan

data-data yang diperoleh setelah jaringan dioperasikan untuk jangka waktu tertentu.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

263

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Dalam masalah pemodelan dan analisa suatu jaringan di mana waktu

aktifitasnya belum diketahui, misalkan karena masih pada tahap perancangan, data-data

mengenai waktu aktifitas belum diketahui secara pasti maupun distribusinya. Waktu

aktifitas ini dapat diperkirakan berdasarkan pengalaman maupun pendapat dari para ahli

maupun operator jaringan tersebut. Untuk itu waktu aktifitas jaringan dimodelkan dalam

suatu bilangan kabur (fuzzy number). Akhir-akhir ini telah berkembang pemodelan

jaringan yang melibatkan bilangan kabur. Untuk masalah penjadwalan yang melibatkan

bilangan kabur dapat dilihat pada Chanas, S., Zielinski, P. (2001). Sedangkan untuk

masalah model jaringan antrian yang melibatkan bilangan kabur dapat dilihat pada

Lüthi, J., Haring, G. (1997).

Pemodelan dan analisa pada masalah-masalah jaringan yang melibatkan bilan-

gan kabur, sejauh penulis ketahui, belum ada yang menggunakan pendekatan aljabar

max-plus. Dalam pemodelan dinamika suatu jaringan dengan pendekatan aljabar max-

plus, graf untuk jaringan tersebut dinyatakan dengan menggunakan matriks, dengan un-

sur-unsurnya menyatakan waktu aktifitas antar titik pada jaringan tersebut. Selanjutnya

pemodelan terkait dengan sistem persamaan linear iteratif max-plus x = A ⊗ x ⊕ b.

Pemodelan waktu aktifitas jaringan dengan menggunakan bilangan kabur dengan

pendekatan aljabar max-plus akan terkait dengan sistem persamaan linear iteratif max-

plus bilangan kabur.

Operasi-operasi pada bilangan kabur dapat dilakukan menggunakan Teorema

Dekomposisi, yaitu melalui potongan-potongan-α-nya yang berupa interval-interval

(Susilo, F. 2006). Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear iteratif max-plus bilan-

gan kabur melalui Teorema Dekomposisi pasti memerlukan hasil-hasil penyelesaian

sistem persamaan linear iteratif max-plus interval. Untuk itu dalam makalah ini akan

dibahas tentang suatu vektor interval yang merupakan penyelesaian sistem persamaan

linear iteratif max-plus interval.

2. Aljabar Max-Plus dan Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus

Dalam bagian ini dibahas konsep dasar aljabar max-plus dan kaitannya dengan

teori graf, serta eksistensi dan ketunggalan penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b .

Pembahasan selengkapnya dapat dilihat pada Baccelli et.al (1992), Rudhito A (2004)

dan Rudhito A (2007).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

264

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Diberikan Rε := R∪{ε } dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan ε : =

−∞. Pada R εdidefinisikan operasi berikut: ∀a,b ∈ R ε,

a ⊕ b := max(a, b) dan a ⊗ b : = a + b.

Dapat ditunjukkan bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif idempoten dengan

elemen netral ε = −∞ dan elemen satuan e = 0. Lebih lanjut (Rε, ⊕, ⊗) merupakan

semifield, yaitu bahwa (Rε, ⊕, ⊗) merupakan semiring komutatif di mana untuk setiap a

∈ R terdapat −a sehingga berlaku a ⊗ (−a) = 0. Kemudian (R ε, ⊕, ⊗) disebut

dengan aljabar max-plus, yang selanjutnya cukup dituliskan dengan R max.

Aljabar max-pus Rmax tidak memuat pembagi nol yaitu ∀ x, y ∈ Rε berlaku: jika x

⊗ y = ε maka x = ε atau y = ε. Relasi “ mp ” yang didefinisikan pada Rmax dengan x mp

y ⇔ x ⊕ y = y merupakan urutan parsial pada Rmax. Lebih lanjut relasi ini merupakan

urutan total pada Rmax. Dalam Rmax, operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap urutan mp ,

yaitu ∀a, b, c ∈ Rmax , jika a mp b , maka a ⊕ c mp b ⊕ c, dan a ⊗ c mp b ⊗ c. Pangkat

k dari elemen x ∈ R dilambangkan dengan didefinisikan sebagai berikut: := 0

dan := x ⊗ , dan didefinisikan pula : = 0 dan : = ε, untuk k = 1, 2, ... .

kx⊗ 0⊗xkx⊗ 1−⊗kx 0⊗ε

kε⊗

Operasi ⊕ dan ⊗ pada Rmax dapat diperluas untuk operasi-operasi matriks dalam

: = {A = (Anm×maxR ij)⏐Aij ∈ Rmax, untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n}. Untuk α ∈ Rmax,

dan A, B ∈ didefinisikan α ⊗ A, dengan (α ⊗ A)nm×maxR ij = α ⊗ Aij dan A ⊕ B, dengan (A

⊕ B)ij = Aij ⊕ BBij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n. Untuk A ∈ , B ∈

didefinisikan A ⊗ B, dengan (A ⊗ B)

pm×maxR np×

maxR

ij = . Didefinisikan matriks E ∈ ,

(E )

kjik

p

kBA ⊗⊕

=1

nn×maxR

ij := dan matriks ε ∈ , (ε )⎩⎨⎧

≠=

jiεji

jika, jika,0 nm×

maxR ij := ε untuk setiap i dan j . Dapat

ditunjukkan bahwa ( , ⊕, ⊗) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral

matriks ε dan elemen satuan matriks E. Sedangkan merupakan semimodul atas

R

nn×maxR

nm×maxR

max. Pangkat k dari matriks A ∈ dalam aljabar max-plus didefinisikan dengan:

= E

nxnmaxR

0⊗A n dan = A ⊗ untuk k = 1, 2, ... . Relasi “kA⊗ 1−⊗kA mp ” yang didefinisikan

pada dengan A nm×max mp B ⇔ A ⊕ B = B merupakan urutan parsial pada . nm×

max

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

265

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Perhatikan bahwa A mp B ⇔ A ⊕ B = B ⇔ Aij ⊕ BijB = BBij ⇔ Aij mp BijB untuk

setiap i dan j. Dalam ( , ⊕, ⊗), operasi ⊕ dan ⊗ konsisten terhadap urutan nm×maxR mp ,

yaitu ∀A, B, C ∈ , jika A nn×maxR mp B , maka A ⊕ C mp B ⊕ C, dan A ⊗ C mp B

⊗ C .

Suatu graf berarah G didefinisikan sebagai suatu pasangan G = (V, A) dengan

V adalah suatu himpunan berhingga tak kosong yang anggotanya disebut titik dan A

adalah suatu himpunan pasangan terurut titik-titik. Anggota A disebut busur. Suatu

lintasan dalam graf berarah G adalah suatu barisan berhingga busur (i1, i2), (i2, i3), ... ,

(il−1, il) dengan (ik, ik+1) ∈ A untuk suatu l ∈ N (= himpunan semua bilangan asli), dan k

= 1, 2, ... , l − 1. Suatu lintasan disebut sirkuit jika titik awal dan titik akhirnya sama.

Diberikan graf berarah G = (V, A) dengan V = {1, 2, ... , p}. Graf berarah G

dikatakan berbobot jika setiap busur (j, i) ∈ A dikawankan dengan suatu bilangan real

Aij. Bilangan real Aij disebut bobot busur (j, i), dilambangkan dengan w(j, i). Graf

preseden dari matriks A ∈ adalah graf berarah berbobot G(A) = (V, A) dengan

V = {1, 2, ... , n}, A = {(j, i)|w(i, j) = A

nn×maxR

ij ≠ ε }.

Suatu matriks A ∈ dikatakan semi-definit jika semua sirkuit dalam G(A)

mempunyai bobot takpositif dan dikatakan definit jika semua sirkuit dalam G(A)

mempunyai bobot negatif. Diberikan A ∈ . Jika A semi-definit, maka ∀p ≥ n,

nn×maxR

nn×maxR

pA⊗mp E ⊕ A ⊕ ... ⊕ . Diberikan matriks semi-definit A ∈ .

Didefinisikan A

1−⊗nA nn×maxR

* : = E ⊕ A ⊕ ... ⊕ ⊕ ⊕ ... . nA⊗ 1+⊗nA

Didefinisikan := { x = [ xnmaxR 1, x2, ... , xn]T | xi ∈ Rmax, i = 1, 2, ... , n}.

Perhatikan bahwa dapat dipandang sebagai . Unsur-unsur dalam disebur

vektor atas R

nmaxR 1×n

maxR nmaxR

max. Diberikan A ∈ dan b ∈ . Jika A semi-definit, maka xnn×maxR n

maxR * = A*

⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b. Lebih lanjut jika A definit,

maka sistem tersebut mempunyai penyelesaian tunggal.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

266

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

3. Aljabar Max-Plus Interval dan Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval

Bagian ini membahas konsep dasar dan teknik pengopersian matriks atas aljabar

max-plus interval. Pembahasan lebih lengkap dapat dilihat pada Rudhito, A. dkk

(2008a, 2008b).

Interval (tertutup) x dalam Rmax adalah suatu himpunan bagian dari Rmax yang

berbentuk x = [ x , x ] = {x ∈ Rmax | x mp x mp x }. Interval x dalam Rmax di atas

disebut interval max-plus, yang selanjutnya akan cukup disebut interval. Suatu bilangan

x ∈ Rmax dapat dinyatakan sebagai interval [x, x ]. Didefinisikan I(R)ε := { x = [ x , x ] |

x , x ∈ R , ε mp x mp x } ∪ { ε }, dengan ε := [ε, ε ].

Pada I(R)ε didefinisikan operasi ⊕ dan ⊗ dengan: x ⊕ y = [ x ⊕ y , x ⊕ y ] dan x ⊗

y = [ x ⊗ y , x ⊗ y ] , ∀ x, y ∈ I(Rε). Dapat ditunjukkan bahwa (I(R)ε, ⊕ , ⊗ )

merupakan semiring idempoten komutatif dengan elemen netral ε = [ε, ε] dan elemen

satuan 0 = [0, 0]. Semiring idempoten komutatif (I(R)ε , ⊕ , ⊗ ) selanjutnya disebut

dengan aljabar max-plus interval yang dilambangkan dengan I(R)max.

Didefinisikan I(R) := {A = (Anm ×max ij)⏐Aij ∈ I(Rmax), untuk i = 1, 2, ..., m dan j =

1, 2, ..., n}. Matriks anggota I(R) disebut matriks interval max-plus. Selanjutnya

matriks interval max-plus cukup disebut dengan matriks interval. Untuk α ∈ I(R)

nm ×max

max,

A, B ∈ I(R) , didefinisikan α nm×max ⊗ A, dengan (α⊗ A)ij = α⊗ Aij dan A⊕ B, dengan

(A ⊕ B)ij = Aij ⊕ Bij untuk i = 1, 2, ..., m dan j = 1, 2, ..., n . Untuk A ∈ I(R) , B

∈ I(R) , didefinisikan A

pm×max

np×max ⊗ B dengan (A ⊗ B)ij = kjik

p

k

BA1

⊗⊕=

untuk i = 1, 2, ...,

m dan j = 1, 2, ..., n. (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring idempoten dengan

elemen netral matriks ε dengan (ε )ij := ε untuk setiap i , j dan elemen satuan adalah

matriks E, dengan (E )ij : = . Sedangkan I(R) merupakan semimodul

atas I(�)

⎩⎨⎧

≠=

jiji

jika,ε jika,0 nm ×

max

max,

Untuk A ∈ I(R) didefinisikan matriks nm ×max A = ( A ij) ∈ dan nm ×

maxR A = ( A ij) ∈

yang berturut-turut disebut matriks batas bawah dan matriks batas atas dari

matriks interval A. Diberikan matriks interval A ∈ I(R) , dengan

nm ×maxR

nm×max A dan A berturut-

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

267

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

turut adalah matriks batas bawah dan matriks batas atasnya. Didefinisikan interval

matriks dari A, yaitu [ A , A ] = { A ∈ ⎜nm×maxR A mp A mp A } dan I( )nm×

maxR * = {

[ A , A ] | A ∈ I(R) }. Untuk α ∈ I(�)nm×max max, [ A , A ], [ B , B ]∈ I( )nm×

max*, didefinisikan

α ⊗ [ A , A ] = [α⊗A , α ⊗A ] dan [ A , A ]⊕ [ B , B ] = [ A ⊕B , A ⊕ B ]. Untuk

[ A , A ]∈ I( )pm×max

*, [ B , B ] ∈ I( )np×max

*, didefinisikan [ A , A ] ⊗ [ B , B ]= [ A ⊗B ,

A ⊗ B ]. (I( )nxnmaxR *, ⊕ , ⊗ ) merupakan semiring idempoten dengan elemen netral

adalah interval matriks [ε, ε] dan elemen satuan adalah interval matriks [E, E].

Sedangkan I( )nm×maxR * merupakan semimodul atas I(R)max.

Semiring (I(R) , nn×max ⊕ , ⊗ ) isomorfis dengan semiring (I( )nxn

maxR *, ⊕ , ⊗ ),

dengan pemetaan f : I(R) → I( )nn×max

nxnmaxR *, f (A) = [ A , A ], ∀A ∈ I(�) . Sedangkan

semimodul I(R) atas I(R)

nn×max

nm×max max isomorfis dengan semimodul I( )nm×

maxR * atas I(R)max

Dengan demikan untuk setiap matriks interval A selalu dapat ditentukan interval

matriks [ A , A ] dan sebaliknya untuk setiap interval matriks [ A , A ] ∈ I( )nxnmaxR *, maka

A , A∈ , sehingga dapat ditentukan matriks interval A ∈ I(R) , di mana [nn×max

nn×max A ij ,

A ij ] ∈ I(R)max , ∀i dan j. Dengan demikian matriks interval A ∈ I(�) dapat

dipandang sebagai interval matriks [

nm×max

A , A ] ∈ I( )nm×maxR *. Interval matriks [ A , A ] ∈

I( )nxnmaxR * disebut interval matriks yang bersesuaian dengan matriks interval A ∈

I(R) dan dilambangkan dengan A ≈ [nn×max A , A ]. Akibat isomorfisma di atas, maka

berlaku α ⊗ A ≈ [ α ⊗ A , α ⊗ A ], A ⊕ B ≈ [ A ⊕ B , A ⊕ B ] dan A ⊗ B ≈

]BA,BA[ ⊗⊗ .

Didefinisikan I(R) nmax := {x = [x1, x2, ... , xn ]T| xi ∈ I(R)max, i = 1, 2, ... , n }.

Himpunan I(R) dapat dipandang sebagai I(R) . Unsur-unsur dalam I(R)

disebut vektor interval atas I(R)

nmax

1max×n n

max

max. Vektor interval x bersesuaian dengan interval

vektor [ x , x ], yaitu x ≈ [ x , x ].

Definisi 1

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

268

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Suatu matriks A ∈ I(R) dikatakan semi-definit jika A ∈ semi-definit ∀A ∈

[

nn×max

nn×maxR

A , A ] dan dikatakan definit jika A ∈ definit ∀ A ∈ [nn×maxR A , A ].

Berikut diberikan Teorema mengenai syarat perlu dan cukup suatu matriks A ∈

I(R) semi-definit. nn×max

Teorema 1.

Diberikan A ∈ I(R) . Matriks interval A semi-definit jika dan hanya jika nn×max A semi-

definit.

Bukti:

(⇒): jelas menurut Definisi 1.

(⇐): Andaikan A ∈ semi-definit, maka semua sirkuit dalam G(nn ×maxR A ) mempunyai

bobot takpositif. Ambil sembarang matriks A ∈ [ A , A ], maka A mp A mp A ,

sehingga berlaku ( A )ij mp (A)ij mp ( A )ij untuk setiap i dan j. Karena semua sirkuit

dalam G( A ) mempunyai bobot takpositif, maka semua sirkuit dalam G(A) juga

mempunyai bobot takpositif, yang berarti A semi-definit. ■

4. Sistem Persamaan Linear Iteratif Max-Plus Interval

Bagian ini membahas penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus

interval yang akan menjadi dasar pembahasan penyelesaian sistem persamaan linear

iteratif max-plus bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi.

Definisi 2.

Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Suatu vektor interval xnn×max

nmax

* ∈ I(R) disebut

penyelesaian interval sistem interval x = A

nmax

⊗ x ⊕ b jika x* memenuhi sistem interval

tersebut.

Berikut diberikan Teorema mengenai eksistensi dan ketunggalan penyelesaian

interval sistem interval x = A⊗ x ⊕ b.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

269

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Teorema 2.

Diberikan A ∈ I(R) dan b ∈ I(R) . Jika A semi-definit, maka vektor interval xnn×max

nmax

* ≈

[ b⊗*A , b⊗*A ], merupakan penyelesaian interval sistem x = A ⊗ x ⊕ b. Lebih

lanjut jika A definit, maka penyelesaian interval tersebut tunggal.

Bukti:

Andaikan A semi-definit, maka A ∈ semi-definit ∀A ∈ [nn×maxR A , A ], sehingga menurut

hasil pada bagian 2, x* = A* ⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b,

∀ b ∈ [b , b ]. Karena operasi ⊕ dan ⊗ pada matriks konsisten terhadap urutan “ mp ”,

maka b⊗*A mp A* ⊗ b mp b⊗*A , ∀A ∈ [ A , A ] dan ∀ b ∈ [ b , b ], sehingga

[ b⊗*A , b⊗*A ] merupakan interval vektor di mana A* ⊗ b ≈ [ b⊗*A , b⊗*A ]. Jadi

vektor interval x* ≈ [ b⊗*A , b⊗*A ] merupakan penyelesaian interval untuk sistem x

= A⊗ x ⊕ b.

Lebih lanjut jika A definit, maka A ∈ definit ∀ A ∈ [nn×maxR A , A ], sehingga menurut

hasil pada bagian 2, x* = A* ⊗ b merupakan suatu penyelesaian sistem x = A ⊗ x ⊕ b,

∀ b ∈ [b , b ]. Dengan cara yang analog dengan pembuktian di atas dapat disimpulkan

bahwa penyelesaian interval sistem interval tersebut tunggal. ■

Contoh 1

Diberikan sistem x = A⊗ x ⊕ b, dengan A = , dan b =

, maka

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

−−−−−−

−−−−

]1,3[]0,0[],[],[]2,2[]1,1[]1,3[]1,1[]3,4[

εεεε

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡ −

]2,1[]0,0[]1,1[

A = , ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

−−−

−−−

3021

314

εε A = ,

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

−−−

1021

113

εε b = ,

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−

101

b = . Dapat ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

201

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

270

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

diperoleh b⊗*A = dan ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−−

132

b⊗*A = , sehingga x⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

223

* ≈ . Jadi

penyelesaian interval sistem tersebut adalah vektor interval x

⎥⎥⎥

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎢⎢⎢

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−−

223

,132

* = . ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−−

]2,1[]2,3[]3,2[

4. Kesimpulan dan Permasalahan Lebih Lanjut

Dapat ditunjukkan bahwa setiap sistem persamaan linear iteratif max-plus interval,

dengan matriks interval persegi yang semidefinit, selalu mempunyai penyelesaian inter-

val maksmum. Batas bawah dan batas atas penyelesaian interval maksmum tersebut ber-

turut-turut adalah penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks

batas bawah dan penyelesaian sistem persamaan linear iteratif max-plus untuk matriks

batas atas dari matriks intervalnya. Jika matriks interval persegi dalam sistem definit,

maka penyelesaian tersebut tunggal.

Permasalahan selanjutnya yang dapat dibahas adalah bagaimana menggunakan

hasil-hasil di atas untuk menyelesaikan sistem persamaan linear iteratif max-plus

bilangan kabur melalui Teorema Dekomposisi, di mana potongan-potongan-α sistem

merupakan sistem persamaan linear iteratif max-plus interval.

Daftar Pustaka Bacelli, F., et al. 2001. Synchronization and Linearity. New York: John Wiley & Sons. Boom, T.J.J., et al. 2003. , Identification of stochastic max-plus-linear systems. Pro-

ceedings of the 2003 European Control Conference (ECC'03), Cambridge, UK, 6 pp., Sept. 2003. Paper 104.

B. Heidergott, B., et. al. (2005). Max Plus at Work. Princeton: Princeton University

Press. Chanas, S., Zielinski, P. 2001. Critical path analysis in the network with fuzzy activity

times. Fuzzy Sets and Systems. 122 (2001) 195–204. Lüthi, J., Haring, G. 1997. Fuzzy Queueing Network Models of Computing Systems.

Proceedings of the 13th UK Performance Engineering Workshop, Ilkley, UK, Edinburgh University Press, July 1997.

Rudhito, Andy. 2003. Sistem Linear Max-Plus Waktu-Invariant. Tesis: Program

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

271

M – 2 : Sistem Persamaan Linear Iteratif ..... M. Andy R, Sri Wahyuni, Ari Suparwanto, F. Susilo, S.J.

Rudhito, Andy, dkk. 2008a. “Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).

Rudhito, Andy, dkk. 2008b. “Matriks atas Aljabar Max-Plus Interval”. Prosiding

Seminar Nasional Matematika S3 UGM. Yogyakarta. 31 Mei 2008. (akan terbit).

Susilo, F. 2006. Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya edisi kedua. Graha

Ilmu, Yogyakarta.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

272

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Teorema Pemetaan Kontraksi dan Penerapannya Pada Persamaan Integral Fredholm

Herry Pribawanto Suryawan

Jurusan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta E-mail: [email protected]

Abstrak

Di dalam makalah ini akan dibicarakan Teorema Pemetaan Kontraksi yang menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian suatu persamaan operator di ruang Banach. Selanjutnya teorema ini akan digunakan untuk mempelajari persamaan integral Fredholm jenis kedua baik yang linear maupun tak linear. Khususnya akan diturunkan suatu metode iteratif untuk menentukan penyelesaian dari persamaan integral tersebut.

Kata kunci: titik tetap, teorema pemetaan kontraksi, persamaan integral Fredholm

Pendahuluan

Persamaan di dalam matematika seringkali dapat dituliskan dalam suatu

persamaan operator berbentuk

xTx = …..(1)

dengan suatu operator di ruang Banach dan T x adalah suatu anggota ruang Banach

yang tak diketahui. Penyelesaian dari (1) disebut titik tetap operator T . Jadi dapat

dikatakan bahwa titik tetap merupakan anggota dari ruang tersebut yang tidak berubah

terhadap aksi dari T . Banyak permasalahan di dalam matematika terkait dengan

eksistensi dan penentuan titik tetap. Sebagai contoh diberikan yaitu ruang fungsi

kontinu bernilai kompleks yang terdefinisi pada interval dan didefinisikan operator

dengan

]1,0[C

]1,0[

]1,0[]1,0[: CCT →

.)()0())(( dttffxTfx

o∫+=

Maka untuk setiap bilangan kompleks c , fungsi ( ) xf x ce= merupakan titik tetap dari

T .

Pada makalah ini akan dibicarakan salah satu teorema yang menjamin eksistensi

titik tetap dari operator di ruang Banach, yang dikenal sebagai Teorema Pemetaan

Kontraksi atau Teorema Titik Tetap Banach. Teorema ini mempunyai banyak sekali

penerapan, khususnya dalam hal menjamin eksistensi penyelesaian suatu persamaan

dalam matematika. Dalam makalah ini dibahas penerapan pemetaan kontraksi untuk

mempelajari penyelesaian persamaan integral Fredholm, yaitu persamaan berbentuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

273

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

∫=b

a

dttftxKx )(),()(φ

dan

)()(),()( xdttftxKxfb

a

φ+= ∫

dengan fungsi φ dan fungsi kernel K diberikan, sementara adalah fungsi yang tidak

diketahui. Persamaan integral Fredholm seringkali muncul dalam masalah fisis dan

analisis Fourier.

f

Teorema Pemetaan Kontraksi dan Persamaan Integral Fredholm

Pada bagian ini pertama dibicarakan pengertian pemetaan kontraksi. Pemetaan

:f E E→ dimana E suatu subhimpunan dari ruang bernorma disebut pemetaan

kontraksi jika terdapat bilangan positif 1α < sehingga berlaku

( ) ( )f x f y x yα− ≤ − untuk setiap ,x y E∈ . Cukup jelas bahwa setiap pemetaan

kontraksi bersifat kontinu. Contoh pemetaan kontraksi adalah pemetaan :f X X→

dengan 1( )2xf x

x= + dan { }: 1X x R x= ∈ ≥ .

Sekarang diberikan teorema pemetaan kontraksi dan buktinya.

Teorema 1. Jika subhimpunan tertutup dari ruang Banach F E dan :f F F→

pemetaan kontraksi, maka f mempunyai titik tetap yang tunggal, yaitu terdapat tepat

satu sehingga p F∈ ( )f p p= .

Bukti: Misalkan 0 1α< < sehingga ( ) ( )f x f y x yα− ≤ − untuk setiap ,x y F∈ .

Ambil sebarang 0x F∈ dan definisikan 1(n n )x f x −= untuk 1, 2,n = K . Pertama,

perhatikan bahwa untuk setiap bilangan asli berlaku n2

1 1 1 2n

n n n n n n 1 0x x x x x x xα α α+ − − −− ≤ − ≤ − ≤ ≤ −K x .

Jadi untuk setiap sehingga ,m n N∈ m n< berlaku

( )1 1 2 1

1 21 0

1 0 01

n m n n n n m m

n n m

m

x x x x x x x x

x x

x x

α α α

αα

− − − +

− −

− ≤ − + − + + −

≤ + + + −

−≤ →

K

K

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

274

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

untuk . m→∞

Hal ini menunjukkan bahwa ( )nx merupakan barisan Cauchy. Karena subhimpunan

tertutup dari ruang yang lengkap, maka ada

F

p F∈ sehingga nx p→ untuk n .

Selanjutnya karena

→∞

1

1

( ) ( )

( ) ( )

0

n n

n n

n n

f p p f p x x p

f p f x x p

p x x pα−

− ≤ − + −

= − + −

≤ − + − →

untuk , maka diperoleh bahwa n →∞ ( )f p p= . Terakhir diandaikan bahwa ( )f q q=

untuk suatu , maka q F∈

( ) ( )p q f p f q p qα− = − ≤ − .

Jadi haruslah . ■ p q=

Teorema pemetaan kontraksi tidak hanya memberikan jaminan eksistensi dan

ketunggalan, tetapi juga memberikan algoritma untuk mencari penyelesaian dari suatu

persamaan dengan prosedur iteratif.

Sifat selanjutnya merupakan perumuman dari Teorema 1, dan menjadi bagian esensial

dalam bukti eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm.

Teorema 2. Diberikan E ruang Banach. Jika operator kontinu sehingga

merupakan pemetaan kontraksi untuk suatu m

:T E E→mT N∈ , maka T mempunyai titik tetap

tunggal.

Bukti : Menurut Teorema 1, mempunyai titik tetap tunggal mT 0x E∈ , yaitu

persamaan mempunyai penyelesaian tunggal. Jika mT x x= x sebarang titik di E maka

( ) 0limnm

nT x x

→∞= atau ( ) 0lim

nm

nT Tx x

→∞= . Jadi

( ) ( )( )0 0lim limn nm m

n nx T T x T T x Tx

→∞ →∞= = =

0 0 0

.

Misalkan dan , maka 0Tx x= 0Ty y= 0mT x x= dan 0

mT y y0= . Karena pemetaan

kontraksi maka

mT

0 0x y= . Jadi T mempunyai titik tetap yang tunggal. ■

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

275

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Teorema 3. Jika A operator linear terbatas pada ruang Banach E dan sebarang

anggota

g

E , maka operator dengan definisi Tf Af gα= + mempunyai titik tetap

tunggal untuk α yang cukup kecil. Lebih jauh, jika adalah konstanta positif

sehingga

k

Af k f≤ untuk setiap f E∈ dan 1kα < , maka persamaan Tf

mempunyai penyelesaian tunggal.

f=

Bukti : Karena A terbatas maka ada konstanta sehinggak 1 2 1 2Af Af k f f− ≤ − untuk

setiap 1 2,f f E∈ . Jadi

1 2 1 2 1 2Tf Tf Af Af k f fα α− = − ≤ −

yang berarti T merupakan pemetaan kontraksi apabila 1kα < . Dalam hal demikian

maka menurut Teorema 1, T mempunyai titik tetap tunggal. ■

Apabila proses iteratif diterapkan pada teorema di atas, diperoleh barisan hampiran

untuk penyelesaian persamaan operator tersebut yaitu

0f sebarang anggota E

1 0 0 ,f Tf Af gα= = =

( ) 2 22 0 0 ,f T Af g A f Ag gα α α= + = +

M

+

1 1 2 20 ,n n n n

nf A f A g A g Ag gα α α α− −= + + + +K

M

+

Oleh karena itu, penyelesaian f dapat dituliskan sebagai

.....(2) 2 2 n nf g Ag A g A gα α α= + + + + +K K

Secara formal, ekspansi (2) dapat diperoleh langsung dari persamaan f Af gα− =

dengan menjabarkan ( ) 1I Aα −− menjadi deret geometri

( ) 1 2 2I A I A Aα α α−− = + + +K .....(3)

Deret (3) dikenal sebagai deret Neumann.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

276

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Teorema 4. Jika A operator linear terbatas pada suatu ruang Banach E dan A λ< ,

maka ( 1)A A Iλ λ −= − merupakan operator terbatas, 10

n

nn

AAλ λ

+=

= −∑

dan 1AAλ λ

≤−

.

Bukti : Karena 1Aλ

< , maka 0 0

nn

nn n

A Aλ λ

∞ ∞

= =

≤ < ∞∑ ∑ . Oleh karena itu, dengan

mengingat bahwa ruang semua operator linear terbatas dari E ke E merupakan ruang

Banach, maka ada operator linear terbatas B pada E sehingga 0

n

nn

ABλ

=

=∑ .

Lebih jauh,

( ) ( )1 1

10 0 0

n n n n n

n n n nn n n

A A A A AA I B A I Iλλ λ λλ λ λ λ

∞ ∞ ∞+ +

+= = =

⎛ ⎞ ⎛ ⎞−− = − = = − = −⎜ ⎟ ⎜ ⎟

⎝ ⎠⎝ ⎠∑ ∑ ∑ λ .

Dengan cara yang sama diperoleh ( )B A I Iλ λ− = − . Dengan demikian diperoleh

( ) 11

0

n

nn

B AA A Iλ λλ λ

∞−

+=

= − = − = −∑ .

Selanjutnya,

0

1 1 11

n

nAn

AAAλ

λλ λ λ λ

=

≤ = =−−∑ 1 . ■

Akibat 5. Jika A operator linear terbatas pada suatu ruang Banach dan 1Aα < ,

maka persamaan 0x x Axα= + mempunyai penyelesaian tunggal yang diberikan oleh

00

n n

n

x A xα∞

=

=∑ .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

277

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Teorema selanjutnya dikenal sebagai Alternatif Fredholm untuk operator kompak self-

adjoint. Teorema ini memberikan kriteria untuk eksistensi penyelesaian persamaan

operator linear.

Teorema 6. Diketahui A operator kompak self-adjoint pada ruang Hilbert H . Maka

persamaan operator tak homogen

f Af g= + .....(4)

mempunyai penyelesaian tunggal untuk setiap g H∈ jika dan hanya jika persamaan

homogen

h Ah= .....(5)

hanya mempunyai penyelesaian trivial 0h = .

Lebih jauh, jika persamaan (4) mempunyai penyelesaian maka ,g h = 0 untuk setiap

penyelesaian dari (5). h

Bukti : Menurut teorema spektral untuk operator kompak self-adjoint (misalnya pada

Debnath [2] Th. 4.10.2), H memiliki basis ortonormal ( )nv yang terdiri dari vektor-

vektor karakteristik dari A yang berkorespondensi dengan nilai-nilai karakteristik ( )nλ .

Tuliskan

1

n nn

g c∞

=

= v∑ .....(6)

Akan dicari penyelesaian dari (4) dalam bentuk 1

n nn

f a v∞

=

=∑ . Dari sini diperoleh

1 1 1n n n n n n n

n n n

a v a v c vλ∞ ∞ ∞

= = =

= +∑ ∑ ∑ , yang berarti

1

nn

n

caλ

=−

.....(7)

untuk setiap , asalkan n N∈ 1nλ ≠ . Apabila (5) tidak mempunyai penyelesaian tak nol,

maka 1 bukanlah nilai karakteristik dari A sehingga (7) benar. Oleh karena itu jika (4)

mempunyai penyelesaian, maka penyelesaian tersebut haruslah berbentuk

1

.1

nn

nn

cf vλ

=

=−∑

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

278

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Ini menunjukkan bahwa jika (4) mempunyai penyelesaian, maka penyelesaian tersebut

tunggal. Untuk memperlihatkan eksistensi penyelesaian (4), cukup ditunjukkan bahwa

deret di atas selalu konvergen. Menurut sifat nilai karakteristik operator kompak self-

adjoint, berlaku 0nλ → dan karenanya 11 n

≤−

untuk suatu konstanta M dan untuk

setiap n . Akibatnya, N∈

2

22

1 11n

nnn n

c M cλ

∞ ∞

= =

≤ < ∞−∑ ∑ .

Jadi deret di atas konvergen dan jumlahannya adalah penyelesaian dari (4). Sekarang

jika (5) mempunyai penyelesaian tak nol , dan h f adalah penyelesaian dari (4), maka

f ch+ merupakan penyelesaian dari (4) untuk setiap c C∈ . Hal ini berakibat (4)

mempunyai tak hingga banyak penyelesaian. Misalkan f penyelesaian dari (4) dan

penyelesaian dari (5), maka

h

, , , , , , ,f h Af h g h f Ah g h f h g h= + = + = + .

Hal ini berarti ,g h = 0 . Jadi jika (4) mempunyai penyelesaian,maka g ortogonal

terhadap setiap penyelesaian dari (5). ■

Selanjutnya hasil-hasil di atas akan digunakan untuk mempelajari penyelesaian

persamaan integral Fredholm yang berbentuk

( ) ( , , ( )) ( )b

a

f x K x y f y dy xα φ= +∫

dengan fungsi dan fungsi kernel 2[ , ]L a bφ ∈ K .

Pertama dipelajari persamaan integral Fredholm jenis kedua tak homogen. Teorema 7. Persamaan integral

( ) ( , ) ( ) ( )b

a

f x K x y f y dy xα φ= +∫

mempunyai penyelesaian tunggal 2[ , ]f L a b∈ , apabila fungsi kernel K kontinu pada

, , dan [ , ] [ , ]a b a b× 2[ , ]L a bφ ∈ 1kα < , dengan 2( , )b b

a a

k K x y dxdy= ∫ ∫ .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

279

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

Bukti : Diperhatikan operator

. ( )( ) ( , ) ( ) ( )b

a

Tf x K x y f y dy xα φ= +∫Karena , jika 2[ , ]L a bφ ∈ 2[ , ]Tf L a b∈

.....(8) 2( , ) ( ) [ , ]b

a

K x y f y dy L a b∈∫Menggunakan ketaksamaan Cauchy-Schwarz, diperoleh

1 12 2

2 2

( , ) ( ) ( , ) ( )

( , ) ( ) .

b b

a a

b b

a a

K x y f y dy K x y f y dy

K x y dy f y dy

⎛ ⎞ ⎛⎜ ⎟ ⎜≤⎜ ⎟ ⎜⎝ ⎠ ⎝

∫ ∫

∫ ∫⎞⎟⎟⎠

Oleh karena itu,

2

2 2( , ) ( ) ( , ) ( )b b b

a a a

K x y f y dy K x y dy f y dy⎛ ⎞⎛⎜ ⎟⎜≤⎜ ⎟⎜⎝ ⎠⎝

∫ ∫ ∫⎞⎟⎟⎠

dan

2

2 2

2 2

( , ) ( ) ( , ) ( )

( , ) ( ) .

b b b b b

a a a a a

b b b

a a a

K x y f y dy dx K x y dy f y dy dx

K x y dy dx f y dy

⎛ ⎞⎜ ⎟≤⎜ ⎟⎝ ⎠

∫ ∫ ∫ ∫ ∫

∫ ∫ ∫

Karena

2 2( , ) dan ( )b b b

a a a

K x y dydx f y dy< ∞ <∫ ∫ ∫ ∞

maka (8) dipenuhi dan ini berarti T memetakan ke . Selain itu

diperoleh hasil lain yaitu operator

2[ , ]L a b 2[ , ]L a b

A dengan definisi (

terbatas. Dengan demikian menurut Teorema 3, persamaan operator Tf mempunyai

penyelesaian tunggal apabila

)( ) ( , ) ( )b

a

Af x K x y f y dy= ∫f=

1kα < . ■

Sebagai contoh perhatikan persamaan integral

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

280

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

2( ) ( ) ( )x y

b

a

f x e f y dy xα−

= ∫ φ+ .....(9)

dengan φ suatu fungsi yang diberikan. Karena ( ) ( )2

22x y

b b b a

a ba a

e ee dxdy

e−

+

−=∫ ∫ , maka

persamaan (9) mempunyai penyelesaian tunggal jika 2

a b

b a

ee e

α+

<−

.

Teorema selanjutnya menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm tak linear. Teorema 8. Diketahui

(a) ( , , ( ))b

a

K x y f y dy M f≤∫ untuk setiap 2[ , ]f L a b∈

(b) 1 2 1( , , ) ( , , ) ( , )K x y z K x y z N x y z z− ≤ 2− untuk setiap 1 2, , , [ , ]x y z z a b∈

(c) 2 2( , )b b

a a

N x y dxdy k= < ∞∫ ∫ .

Maka persamaan integral Fredholm tak linear

( ) ( , , ( )) ( )b

a

f x K x y f y dyα φ= +∫ x

mempunyai penyelesaian tunggal 2[ , ]f L a b∈ untuk setiap dan untuk setiap 2[ , ]L a bφ ∈

α sehingga 1kα < .

Bukti : Perhatikan persamaan operator Tf Afα φ= + dengan

. Maka berlaku ( )( ) ( , , ( ))b

a

Af x K x y f y dy= ∫

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

281

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

12

12

1 2 2 2

2

1 2

2

1 2

1 2

( , , ( )) ( , , ( ))

( , , ( )) ( , , ( ))

( , ) ( ) ( )

.

b

a

b b

a a

b b

a a

Tf Tf K x y f y K x y f y dy

K x y f y K x y f y dy dx

N x y f y f y dy dx

k f f

α

α

α

α

− = −

⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟≤ −

⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠

⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟≤ −

⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠≤ −

∫ ∫

∫ ∫

Cukup jelas apabila 1kα < , maka T suatu pemetaan kontraksi dan T mempunyai titik

tetap tunggal yang merupakan penyelesaian dari persamaan integral tersebut. ■ Terakhir akan diturunkan suatu prosedur iteratif untuk menentukan penyelesaian persamaan integral Fredholm berdasarkan hasil-hasil di atas. Perhatikan persamaan operator f Tfφ α= + .....(10)

Jika T merupakan operator integral dengan kernel K ,

, ( ) ( ) ( , ) ( )b

a

Tf x K x t f t dt= ∫maka (10) merupakan persamaan persamaan integral Fredholm jenis kedua

( ) ( ) ( , ) ( )b

a

f x x K x t f tφ α= + ∫ dt .....(11)

Dalam hal tersebut berlaku

2( )( ) ( , ) ( )

( , ) ( , ) ( ) .

( , ) ( , ) ( ) .

b

a

b b

a a

b b

a a

T f x T K x t f t dt

K x z K z t f t dt dz

K x z K z t dz f t dt

⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠

⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠

⎛ ⎞⎜ ⎟=⎜ ⎟⎝ ⎠

∫ ∫

∫ ∫Oleh karena itu merupakan suatu operator integral dengan kernel

. Secara induktif diperoleh secara umum

2T

( , ) ( , )b

a

K x z K z t dz∫

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

282

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

( ) ( , ) ( ) untuk 2b

nn

a

T f x K x t f t dt n= ≥∫dengan kernel dari diberikan dengan nK nT

1( , ) ( , ) ( , ) untuk 2.b

n n

a

K x t K x K t d nξ ξ ξ−= >∫Kernel ini juga dapat dituliskan

1 1 2 1 1 2( , ) ( , ) ( , ) ( , ) .b b

n n n n n n

a a

K x t K x K K t d d d 1ξ ξ ξ ξ ξ ξ ξ− − − − −= ∫ ∫K K K

Selanjutnya dengan menerapkan Akibat 5, akan diperoleh hasil di bawah terkait

keterselesaian (10) dan juga persamaan integral (11). Apabila 1Tα < , maka

persamaan (10) mempunyai penyelesaian tunggal yang diberikan oleh deret Neumann

1

n n

n

f Tφ α∞

=

= +∑ φ …..(12)

Jadi persamaan integral (11) mempunyai penyelesaian tunggal f yang diberikan oleh

1

1

( ) ( ) ( , ) ( )b

nn

na

f x x K x t tφ α α φ∞

=

⎛ ⎞= + ⎜ ⎟

⎝ ⎠∑∫ dt …..(13)

Tuliskan 1

1

( , , ) ( , )nn

n

x t Kα α∞

=

Γ =∑ x t , maka penyelesaian di atas dapat ditulis dalam

bentuk

( ) ( ) ( , , ) ( )b

a

f x x x t tφ α α φ= + Γ∫ dt …..(14)

Fungsi sering disebut kernel resolven. Γ

Terakhir diberikan contoh sederhana terkait pembicaraan di atas. Akan dicari penyelesaian deret Neumann untuk persamaan integral Fredholm

1

1

1( ) ( ) ( )2

f x x t x f t d−

= + −∫ t . Pertama pilih 0 ( )f x x= , maka

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

283

M – 3 : Teorema Pemetaan Kontraksi...... . Herry Pribawanto Suryawan

1

1

1

1( ) ( )2 3

f x x t x t dt x−

= + − = +∫1 , dan dengan menyubstitusikan 1f ke persamaan semula

diperoleh ( )1

2

1

1 1( ) .2 3

13 3

xf x x t x t dt x−

⎛ ⎞= + − + = + −⎜ ⎟⎝ ⎠∫ Dengan melanjutkan proses ini

diperoleh

3 2

1 1( ) ,3 3 3

xf x x= + − −

4 2 2

1 12

1 1

1 1( ) ,3 3 3 3

( ) ( 1) 3 ( 1) 3 .n n

m m m mn

m m

x xf x x

f x x x− − − −

= =

= + − − +

= + − − −∑ ∑M

Dengan mengambil , diperoleh n →∞ 3( )4 4

f x x 1= + . Dapat diperiksa bahwa fungsi ini

benar merupakan penyelesaian persamaan integral di atas. Penutup Teorema pemetaan kontraksi menjamin eksistensi dan ketunggalan penyelesaian dari persamaan operator di ruang Banach. Penyelesaian yang diperoleh merupakan titik tetap dari operator yang terkait. Teorema ini juga memberikan suatu prosedur iteratif untuk mencari penyelesaian persamaan operator tersebut. Selanjutnya, teorema pemetaan kontraksi juga telah digunakan untuk mempelajari keterselesaian persamaan integral Fredholm jenis kedua khususnya dalam penjaminan eksistensi dan ketunggalan penyelesaian persamaan integral Fredholm jenis kedua baik yang linear maupun tak linear. Daftar Pustaka [1] Davis, B. (2002). Integral Transforms and Their Applications, 3rd ed. New York : Springer-Verlag. [2] Debnath, L. & Mikusinski, P. (1999). Introduction to Hilbert Spaces with Applications, 2nd ed. San Diego : Academic Press. [3] Jerry, A. J. (1999). Introduction to Integral Equations with Applications, 2nd ed. New York : John Wiley and Sons. [4] Kress, R. (1989). Linear Integral Equations. New York : Springer-Verlag. [5] Reddy, B. D. (1998). Introductory Functional Analysis with Applications to Boundary Value Problem and Finite Elements. New York : Springer-Verlag. [6] Zeidler, E. (1995). Applied Functional Analysis: Applications to Mathematical Physics. New York : Springer-Verlag.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

284

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

Teori Matematika dalam Perang

Don Bosco Priyo Edhi Antonius Yudhi Anggoro

Ratna Bunga Christiansen Pasaribu Herry Pribawanto S

Program Studi Matematika Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Abstrak

Makalah ini membahas suatu model matematika untuk perang. Pertama dibicarakan teori konflik menurut Richardson dan selanjutnya dikembangkan menjadi teori perang menurut Lanchester. Sebagai contoh kasus akan dibicarakan perang Iwo Jima pada Perang Dunia II. Model matematika untuk perang ini berbentuk sistem persamaan diferensial dan sebagian hanya akan dibicarakan secara kualitatif saja. Kata kunci: teori konflik, teori perang, sistem persamaan diferensial

Pendahuluan

Suatu konflik atau perang dapat dimodelkan secara matematis dalam bentuk sistem

persamaan diferensial. Sistem ini dibentuk berdasarkan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Dalam kenyataannya, perang dapat terjadi dalam bentuk perang

konvensional atau perang gerilya. Hal ini berdampak pada model perang yang akan

dipelajari. Makalah ini mempelajari tentang bagaimana faktor-faktor yang muncul dan

berpengaruh dalam perang, menentukan seberapa jauh model perang dapat digunakan.

Pertama akan dibicarakan teori konflik Richardson dan teori perang Lanchester, dan

selanjutnya dibahas sebuah contoh kasus yaitu pada perang Iwo Jima.

Teori konflik L. F. Richardson

Terdapat dua pendapat berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi peningkatan

potensi perang suatu negara. Potensi perang di sini adalah banyaknya persenjataan,

pasukan, besarnya anggaran perang, serta kemampuan perang suatu negara. Kedua

pendapat tersebut yaitu:

a. Faktor kekuatan perang

Pendapat ini dikemukakan pertama kali oleh Thucydides berdasarkan hasil

pengamatannya pada perang Peloponesia antara Athena dan Lacedaemonian.

Menurutnya, pertumbuhan kekuatan Athena yang cukup mengkhawatirkan bagi

Lacedaemonian justru menciptakan perang di antara mereka. Sir Edward Grey

menambahkan bahwa upaya peningkatan senjata dari suatu negara, yang semula

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

285

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman, justru menimbulkan kesadaran akan

kekuatan perang dan rasa takut negara lain.

b. Faktor ambisi

Pendapat ini dikemukakan oleh seorang anggota parlemen Inggris bernama L.S.

Amery. Secara lengkap dia menyatakan bahwa peningkatan potensi perang

suatu negara terjadi karena adanya ambisi dari negara tersebut untuk meraih

suatu kepentingan tertentu.

Dari dua pendapat ini, akan dikonstruksi model matematika untuk suatu konflik

yang melibatkan dua negara. Misalkan Jedesland dan Andersland adalah dua negara

yang sedang berkonflik. Misalkan ( )x t dan berturut-turut melambangkan potensi

perang Jedesland dan Andersland. Laju perubahan

( )y t

( )x t bergantung pada kesiapan

perang Andersland , keluhan terhadap Andersland , serta besar biaya perang

yang dibutuhkan Jedesland

( )ky ( )g

( )xα . Laju perubahan bergantung pada kesiapan

perang Jedesland , keluhan terhadap Andersland ( , serta besar biaya perang yang

dibutuhkan Andersland

( )y t

( )lx )h

( )xβ .

Perhatikan bahwa faktor kesiapan perang dan keluhan mengakibatkan laju perubahan

potensi perang meningkat. Sebaliknya faktor biaya mengakibatkan laju potensi perang

berkurang. Oleh kerena itu, model yang terbentuk dari uraian di atas berbentuk sistem

persamaan diferensial orde satu yaitu

dx ky x gdt

α= − + dy lx y hdt

β= − + (1)

k : konstanta kesiapan perang Andersland

α : konstanta biaya perang Jedesland

l : konstanta kesiapan perang Jedesland

β : konstanta biaya perang Andersland

dengan k, α, g, l, h dan β adalah konstanta-konstanta positif.

Model di atas akan ditinjau dari beberapa kasus khusus yang mungkin terjadi.

1. Kasus 0g h x y= = = =

Dalam kasus ini model (1) tereduksi menjadi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

286

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

0dxdt

= 0dydt

=

Perhatikan bahwa solusi dari sistem ini adalah 1( )x t c= dan 2( )y t c= . Kondisi

ini diinterpretasikan sebagai kondisi damai yang konstan. Dalam hal ini potensi

perang tiap negara tidak akan pernah naik.

2. Kasus 0x y= =

Dalam kasus ini model (1) tereduksi menjadi

dx gdt

= dy hdt

= .

Keadaan ini diinterpretasikan sebagai saat pelucutan senjata. Masing-masing

negara melucuti senjatanya. Namun demikian, keluhan terhadap negara lain

masing tetap ada. Hal ini nampak dari masih munculnya konstanta g dan

dalam sistem persamaan diferensial di atas. Dengan mudah dapat dihitung

bahwa solusi sistem di atas adalah

h

1( )x t gt c= + 2( )y t ht c= + .

Grafik solusi ( )x t dan adalah garis lurus dengan gradien positif. Hal ini

menunjukkan bahwa untuk nilai t yang semakin besar, potensi perang juga akan

semakin besar. Lebih lanjut, kasus ini menunjukkan bahwa situasi damai yang

muncul karena pelucutan senjata tidaklah permanen bila disertai keluhan

terhadap negara lain.

( )y t

3. Kasus salah satu atau 0x = 0y =

Kasus ini diinterpretasikan sebagai kasus pelucutan senjata sepihak. Dalam

kasus ini model (1) tereduksi menjadi

dx ky gdt

= + dy y hdt

β= − + atau

dx x gdt

α= − + dy lx hdt

= + .

Sebagai contoh, akan diambil kasus 0y = , artinya negara Andersland melucuti

senjatanya. Karena l dan masing-masing adalah konstanta positif, maka laju

perubahan

h

x terhadap t positif. Artinya, potensi perang Andersland akan

meningkat seiring dengan waktu. Jadi, Andersland akan kembali mempersenjatai

diri meskipun pada awalnya melucuti senjatanya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

287

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

4. Kasus g hα β= = =

Kasus ini diinterpretasikan sebagai kasus perlombaan senjata. Dalam hal ini

model (1) tereduksi menjadi

dx kydt

= dy lxdt

= .

Solusi dari sistem tersebut adalah

( ) kl t kl tx t Ae Be−= + ( )1( ) kl t kl ty t Ae Bek

−= − .

Kasus ini menunjukkan bahwa tiap-tiap negara terus meningkatkan potensi

perangnya. Dengan kata lain terjadi perlombaan senjata. Bila hal ini terus terjadi,

kemungkinan besar perang akan terjadi. Interpretasi seperti ini dilihat dengan

mengambil lim ( )t

x t→∞

dan li . Jadi diperoleh m ( )t

y t→∞

lim ( ) lim kl t

t tx t Ae

→∞ →∞= dan 1lim ( ) lim kl t

t ty t Ae

k→∞ →∞= .

Bila diambil , maka 0A > lim ( )t

x t→∞

= ∞ dan lim ( )t

y t→∞

= ∞ . Keadaan ini

diinterpretasikan sebagai pecahnya perang.

5. Kasus , , , , , 0g h x y α β ≠

Dalam kasus ini model (1) tetap akan berbentuk:

dx ky x gdt

α= − + dy lx y hdt

β= − + .

Solusi ekuilibrium sistem ini adalah 0kh gx x

klβ

αβ+

= =−

dan 0lg hy y

klα

αβ+

= =−

dengan syarat 0klαβ − ≠ . Sekarang tulis persamaan (1) dalam

dengan masing-masing w , dan didefinisikan sebagai berikut:

= +w Aw f&

f A

( )

( )( )

x tt

y t⎛ ⎞

= ⎜ ⎟⎝ ⎠

w , , dan gh

⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎝ ⎠

fk

β−⎛ ⎞

= ⎜ ⎟−⎝ ⎠A .

Tulis kembali solusi ekuilibrium dari (1) dengan

0

0

xy

⎛ ⎞= = ⎜ ⎟

⎝ ⎠0w w .

Perhatikan bahwa . Pandang + =0Aw f 0 = − 0z w w maka diperoleh:

( )= = + = + + = + + =0 0z w Aw f A z w f Az Aw f Az& & .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

288

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

Solusi ekuilibrium dari ( )t = 0w w = +w Aw f& stabil jika dan hanya jika =z 0

adalah solusi yang stabil dari =z Az& . Untuk memeriksa kestabilan dari ,

dicari akar –akar karakteristik dari A yaitu

=z 0

( )

( )

12

12

2

1,2

2

( ) 4( )2

( ) 4 )2

kl

kl

α β α β αβλ

α β α β

⎡ ⎤− + ± + − −⎣ ⎦=

⎡ ⎤− + ± − +⎣ ⎦=

Kedua akar tersebut bernilai real negatif jika αβ – kl > 0, dan salah satu akar

bernilai real positif jika αβ – kl < 0, sebagai konsekuensinya solusi ekuilibrium

x(t) ≡ x0 dan y(t) ≡ y0 stabil jika αβ – kl > 0 dan tidak stabil jika αβ – kl < 0.

Persoalan yang saat ini menarik dipecahkan adalah berapakah perkiraan masing-

masing nilai koefisien α, β, k, l, g dan h. Mendapatkan perkiraan untuk nilai g

dan h tidak mungkin dilakukan. Namun masing-masing koefisien α, β, k, dan l

dapat diduga dengan logika yang masuk akal.

Perhatikan bahwa setiap koefisien ini berkebalikan dengan waktu.

Seorang fisikawan atau mekanik akan menyebut 1α − dan 1β − waktu istirahat

karena jika y dan g sama dengan nol, maka 0( )0( ) ( )t tx t e x tα− −= . Hal ini

mengakibatkan 10 0( ) ( )x t x tα −+ = e . Jadi, 1α − adalah waktu yang dibutuhkan

Jedesland untuk mereduksi peralatan perangnya dengan rasio 2,718 dengan

syarat negara tersebut tidak memiliki keluhan dan negara lain tidak mempunyai

peralatan perang. Richardson menduga 1α − adalah waktu hidup untuk parlemen

Jedesland.

Untuk memperkirakan k dan l ambil kasus khusus g = 0 dan y = y1, sehingga

model (1) tereduksi menjadi

1dx ky xdt

α= − 1dy lx y hdt

β= − + .

Ketika x = 0 diperoleh 11dxdt

yk= . Jadi, 1

k adalah waktu yang dibutuhkan untuk

Jedesland untuk mengejar Andersland dengan ketentuan bahwa (i) peralatan

perang Andersland berjumlah konstan, (ii) tidak ada keluhan-keluhan, dan (iii)

biaya peralatan perang tidak memperlambat langkah Jedesland.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

289

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

Teori Perang Lanchester

Dalam Perang Dunia I, F.W. Lanchester membuat suatu model matematis untuk

melihat sejauh mana hasil yang diharapkan dari suatu pertempuran. Ada dua model

yang akan dijabarkan, yaitu model pertempuran konvensional melawan konvensional

dan model pertempuran gerilya melawan konvensional. Lanchester menyatakan bahwa

kekuatan dari suatu pasukan perang proporsional dengan kuadrat banyaknya pejuang

yang terlibat di dalam pertempuran.

Andaikan ( )x t dan menyatakan banyaknya pasukan dari kedua kubu yang

terlibat dalam suatu pertempuran pada hari ke-t yang dihitung mulai dari awal terjadinya

pertempuran. Maka laju perubahan dari masing-masing kubu sama dengan laju bala

bantuan dikurangi laju kerugian operasional dan laju hilangnya pasukan.

( )y t

Laju hilangnya pasukan menggambarkan banyaknya pasukan dari suatu kubu

yang terbunuh di dalam medan pertempuran. Perhitungan mengenai laju hilangnya

pasukan bergantung pada model peperangan dari masing-masing kubu. Misalnya

pasukan-x adalah kekuatan konvensional yang beroperasi secara terbuka di mana setiap

anggota dari pasukan ini berada dalam cakupan pembunuhan dari pasukan-y. Andaikan

bahwa penyerangan pasukan dikonsentrasikan terhadap pejuang yang masih tersisa.

Maka laju hilangnya pasukan sama dengan , dengan adalah suatu konstanta

positif yang menggambarkan efektifitas pasukan-y untuk membunuh lawan.

( )a y t a

Jika pasukan-x adalah pasukan gerilya maka ketika pasukan-y menyerang,

mereka tidak tahu kapan pembunuhan terjadi. Maka, probabilitas pasukan-y terbunuh

juga lebih besar. Jadi, laju hilangnya pasukan-x proporsional terhadap ( )x t . Sebaliknya,

laju hilangnya pasukan-x juga proporsional terhadap . Karena itu laju hilangnya

pasukan gerilya-x sama dengan , dimana c suatu konstanta positif yang

menyatakan efektifitas pasukan-y membunuh lawan.

( )y t

( ) ( )c x t y t

Laju bala bantuan menggambarkan laju banyaknya pasukan baru dari suatu kubu

yang masuk dalam pertempuran. Laju bala bantuan untuk pasukan-x dan pasukan-y

masing-masing akan dinyatakan dengan ( )f t dan . ( )g t

Akhirnya, laju kerugian operasional dari suatu pasukan menggambarkan laju

hilangnya pasukan yang disebabkan oleh karena sesuatu yang terjadi di luar

pertempuran. Misalnya, penyakit, pemberontakan, dan sebagainya. Meskipun

Lanchester sendiri mengusulkan bahwa laju kerugian operasional sebanding dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

290

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

kekuatan pasukan, namun hal tersebut tidaklah realistik. Sebab hal tersebut sangat sulit

untuk diukur. Misalkan, tingkat pemberontakan dalam suatu pasukan sangat bergantung

pada kondisi psikologis suatu pasukan dan faktor-faktor lainnya yang tentu saja sulit

untuk digambarkan bahkan untuk diukur. Karena itu, untuk memudahkan perhitungan,

laju kerugian operasional diabaikan.

Dari asumsi yang digambarkan di atas, maka dua model perang Lanchesterian

dapat digambarkan sebagai berikut

Kekuatan konvensional-konvensional ( )

( )

dx ay f tdtdy bx g tdt

⎧ = − +⎪⎪⎨⎪ = − +⎪⎩

(2.a)

Kekuatan gerilya-konvensional ( )

( )

dx cxy f tdtdy ex g tdt

⎧ = − +⎪⎪⎨⎪ = − +⎪⎩

(2.b)

( x = gerilya) Perhatikan bahwa persamaan (2.a) adalah sistem linear yang dapat diselesaikan secara eksplisit bila a, b, f(t), dan g(t) diketahui. Persamaan (2.b) berbentuk sistem tak linear dimana solusinya jauh lebih sulit ditentukan daripada solusi persamaan (2.a). Untuk kasus yang terjadi dalam pertempuran pada saat laju bantuan sama dengan nol maka dari persamaan (1.a) dan (1.b) nampak bahwa

aydtdx

−= bxdtdy

−= (3.a)

cxydtdx

−= bydtdy

−= (3.b)

Orbit dari persamaan 3.a adalah kurva solusi dari ay dy = bx dx. Dengan mengintegralkan persamaan ini diperoleh: (4) Kbxaybxay =−=− 2

020

22

gambar 1

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

291

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

Gambar 1 menunjukan kurva dari persamaan (4) dalam bidang-xy. Arah panah

kurva tersebut menunjukan arah perubahan kekuatan kedua kubu seiring dengan waktu.

Dari gambar 1, nampak bahwa pasukan-y akan menang jika K > 0. Hal disebabkan

karena pasukan-x telah musnah pada saat aKty /)( = . Sebaliknya pasukan-x menang

jika K < 0. Perhatikan bahwa kubu-y akan mengusahakan diri sedemikian sehingga K >

0. Hal ini dapat diperoleh dengan menaikkan a, misal dengan menggunakan senjata

yang lebih canggih dan kuat, atau dengan meningkatkan kondisi awal dari kubu-y.

Orbit dari persamaan 3.b adalah kurva solusi dari persamaan cy dy = e dx.

Dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diperoleh:

(5) Mexcyexcy =−=− 020

2 22

gambar 2

Gambar 2 menunjukan kurva dari persamaan (5) dalam bidang-xy. Dari gambar 2,

nampak bahwa pasukan-y menang jika M > 0. Hal disebabkan karena pasukan-x telah

musnah pada saat cMty /)( = . Sebaliknya pasukan-x menang jika M < 0.

Perang Iwo Jima

Pada bagian ini ditunjukan penerapan model Lanchester dalam kasus perang Iwo

Jima, yang disebut sebagai salah satu perang terdahsyat pada Perang Dunia II. Dari data

yang ada diketahui bahwa invasi Amerika ke Iwo Jima, sebuah pulau di selatanTokyo,

dimulai pada 19 Februari 1945 dan pertempuran terjadi selama sebulan penuh. Pulau

Iwo Jima dinyatakan aman oleh pasukan Amerika pada pertempuran hari ke-28 dan

semua aktifitas perang berakhir pada hari ke-36.

Selama konflik berlangsung, Jepang tidak mengirimkan pasukan bantuan dan

pasukan yang ada diminta untuk bertempur habis-habisan. Sementara, Amerika

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

292

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

mendatangkan 54.000 tentara pada hari pertama pertempuran, 6.000 tentara pada hari

ketiga, dan 13.000 tentara pada hari keenam. Tabel 1 menunjukan bahwa ada 21.000

orang tentara Jepang. Namun perhitungan ini masih kasar karena tidak

memperhitungkan orang-orang yang mati dan yang ditemukan di gua-gua pada hari

terakhir perang. Dalam pemodelan ini, misalkan bahwa sebenarnya jumlah pasukan

Jepang yang bertempur di Iwo Jima sebanyak 21.500 orang.

Tabel 1

Sistem persamaan berikut menggambarkan model Perang Iwo Jima,

( )dx ay f tdt

= − + dy bxdt

= − (6)

dengan x(t) dan y(t) berturut-turut menyatakan tentara aktif Amerika dan tentara Jepang

pada hari ke-t setelah perang dimulai, a dan b menyatakan koefisien efektifitas pasukan

Jepang dan Pasukan Amerika. Sistem persamaan (6) dapat dibentuk ke dalam

persamaan matriks ( )0

f t⎛ ⎞= + ⎜

⎝ ⎠x Ax& ⎟

, dengan kondisi awal dan

. Dari persamaan karakteristik

0

0 021.500y

⎛ ⎞ ⎛ ⎞= =⎜ ⎟ ⎜ ⎟

⎝ ⎠⎝ ⎠0x

00a

b−⎛ ⎞

= ⎜−⎝ ⎠A det( ) 0A Iλ− = , diperoleh nilai-nilai

eigen dari A, yaitu 1 abλ = − dan 2 abλ = , dengan . Vektor- vektor eigen

yang bersesuaian,

0ab >

1

a

ab

⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎜ ⎟−⎝ ⎠

v dan 2

a

ab

⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠

v .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

293

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

Dari persamaan dan dengan menggunakan metode variasi

parameter, diperoleh solusi umum.

( )0

0

( ) ( )t

t t st e e f s d−= + ∫A Ax x s

( ) ( )( )0

0

( ) cosh cosh ( )t

ax t y ab t ab t s f s dsb

= − + −∫

( ) ( )( )0

0

( ) cosh sinh ( )t

ay t y ab t ab t s f s dsb

= − −∫ .

Koefisien efektifitas pasukan a dan b dapat dihitung dengan mengintegralkan

persamaan (6) bagian kedua antara 0 dan s, diperoleh

0

0

( ) ( )s

y s y b x t d− = − t∫ .

Untuk s = 36, menghasilkan

036 36

0 0

( ) 21.500 .( ) ( )

y y sbx t dt x t dt

−= =

∫ ∫

Bentuk integral pada ruas kanan dapat diperkirakan melalui penjumlahan Riemann 36 36

10

( ) ( )i

x t dt x i=

≅∑∫ .

dengan ( )x i menyatakan banyaknya tentara Amerika pada hari ke-i pertempuran.

Dengan menggunakan data yang tersedia dari Morehouse, seorang pimpinan tentara

Amerika pada perang Iwo Jima, diperoleh nilai

21.500 0,01062.037.000

b = = .

Pengintegralan persamaan pertama dari (6) antara t = 0 dan t = 28 menghasilkan

.

Data yang ada menunjukkan masih terdapat 52.735 tentara Amerika yang efektif pada

hari ke 28. Jadi,

28

0

(28) ( ) 73.000x a y t dt= − +∫

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

294

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

28 28

0 0

73.000 52.735 20.265 .( ) ( )

ay t dt y t dt

−= =

∫ ∫

Dengan cara yang sama, bentuk integral dari ruas kanan persamaan a dengan jumlahan

Riemann 28 28

10

( ) ( )j

y t dt y j=

≅∑∫ dan didekati dengan persamaan ( )y j

010

( ) ( ) 21.500 ( )j j

i

y j y b x t dt b x i=

= − ≅ − ∑∫

dengan ( )x i menyatakan banyaknya tentara Amerika yang efektif pada pertempuran

hari ke-i. Hasil dari perhitungan ini adalah 20.265 0,0544372.500

a = = .

Gambar 3 di bawah ini adalah perbandingan kekuatan nyata pasukan Amerika

dengan nilai yang diprediksi (a = 0,0544 dan b = 0,0106). Tampak bahwa model

Lanchesterian menggambarkan pertempuran yang sesungguhnya

Gambar 3. Perbandingan kekuatan pasukan yang sebenarnya

dengan kekuatan pasukan yang diprediksi

Gambar 3 memperlihatkan banyaknya bantuan Amerika yang meliputi seluruh personil

yang ditempatkan, tentara perang dan juga tentara pendukung. Jadi banyaknya a dan b

dapat diinterpretasikan sebagai rata-rata efektifitas setiap tentara yang ditempatkan.

Penutup

Telah dibicarakan model konflik Richardson dan perang Lanchester.

Pembahasan model konflik Richardson meliputi pembentukan model, interpretasi untuk

beberapa kasus khusus, serta tinjauan kualitatif untuk model secara umum. Pembahasan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

295

M – 4 : Teori Matematika Dalam Perang Don Bosco Priyo Edhi, Antonius YA Ratna Bunga, Christiansen Pasaribu, Herry P S

model perang Lanchester meliputi pembentukan model dan contoh kesesuaian model

dalam perang Iwo Jima.

Daftar Pustaka [1] Braun, M. (1975). Differential Equations and Their Applications, 4th ed. New York: Springer-Verlag. [2] Engel, J.H. (1954). A Verification of Lanchester Law, Operation Research, 2. [3] Kapur, J.N. (2001). Mathematical Modelling. New Delhi: New Age Int. Lim. [4] Liu, J. H. (2003). A First Course in the Qualitative Theory of Differential Equations. New York: John Wiley and Sons. [5] Perko, L. (1993). Differential Equations and Dynamical Systems. New York: Springer-Verlag.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

296

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Ideal Fuzzy Semigrup

Karyati Mahasiswa S3 Matemaika, FMIPA

Universitas Gadjah Mada

Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Uiversitas Negeri Yogyakarta E-mail: [email protected]

Indah Emilia W, Sri Wahyuni, Budi Surodjo, Setiadji

Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Gadjah Mada

Abstrak Semigrup merupakan bentuk struktur aljabar yang hanya melibatkan satu operasi biner yang

bersifat asosiatif. Teorema fundamental homomorfisma semigrup dalam versi fuzzy telah berhasil ditunjukkan dengan menggunakan sifat subhimpunan levelnya.

Dalam semigrup, penyelidikan terhadap sifat-sifat idealnya masih sangat terbatas. Dalam tulisan ini akan diselidiki terkait dengan ideal fuzzy semigrupnya. Dengan menggunakan subhimpunan level dan juga peta homomorfis suatu subsemigrup fuzzynya, berhasil diselidiki beberapa sifat ideal fuzzy semigrupnya.

Kata Kunci: subsemigrup fuzzy, ideal fuzzy semigrup, subhimpunan level, peta homomorfis

1. Pendahuluan

Semigrup adalah suatu himpunan yang di dalamnya didefinisikan satu operasi

biner yang bersifat asosiatif. Berikut diberikan contoh semigrup:

Contoh 1.1:

Diberikan suatu himpunan { }cbaS ,,= dengan operasi biner ‘∗ ’ yang disajikan

dalam Tabel Caley berikut:

* a b c

a a b a

b b a b

c a b a

Himpunan ( )∗,S adalah semigrup

Subhimpunan suatu semigrup ( )∗,S disebut subsemigrup jika terhadap operasi yang

sama, bersifat tertutup. Dari Contoh 1.1 jika diambil ='S { }ba, , maka diperoleh contoh

subsemigrup sebagai berikut :

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

297

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Contoh 1.2:

Bentuk tabel Caley dari himpunan ='S { }ba, dengan operasi ’*’ sebagai berikut:

* a b

a a b

b b a

Berdasarkan tabel Caley tersebut, maka operasi ’∗ ’ tertutup pada .

Dengan demikian, adalah subsemigrup dari

='S { }ba,

='S { ba, } ( )∗,S

Misalkan adalah semigrup dan S I adalah subsemigrup , maka S I disebut ideal kiri

(kanan ) dari jika ( ). Jika S ISI ⊆ IIS ⊆ I merupakan ideal kiri sekaligus ideal

kanan, maka disebut ideal (Howie; 1976 ). Sebagai contoh, subsemigrup adalah

ideal di . Tabel pada Contoh 13 berikut menunjukkan bahwa adalah ideal di .

'S

S 'S S

Contoh 1.3:

Tabel Caley : SS '

* a b c

a a b a

b b a b

Tabel Caley : 'SS

* a b

a a b

b b a

c a b

Berdasarkan tabel Caley tersebut, maka terbukti bahwa dan atau

' adalah ideal di .

SSS ⊆' SSS ⊆'

S S

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, dikembangkan

tentang struktur-struktur aljabar dalam versi fuzzy termasuk subsemigrup fuzzy.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

298

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Menurut Asaad (1991), Kandasamy (2003) dan Mordeson & Malik (1998) didefinisikan

suatu subsemigrup fuzzy sebagai berikut: misalkan adalah semigrup, fungsi S

[ 1,0: →S ]μ disebut subsemigrup fuzzy jika untuk setiap , Syx ∈,

{ )(),(min)( yxxy }μμμ ≥ . Subhimpunan level dari tμ adalah himpunan semua elemen

, Sx∈ tx ≥)(μ dengan . Apabila adalah homomorfisma semigrup

dan

]1,0[∈t ': SSf →

μ adalah subsemigrup pada , maka S )(μf adalah subsemigrup pada . Dalam

hal ini

'S

)(μf { )(sup)(1

xyfx

}μ−∈

= jika dan φ≠− )(1 xf )(μf 0= jika .

Selanjutnya

φ=− )(1 xf

)(μf disebut dengan peta homomorfis ( Ajmal;1994). Berhasil dibuktikan

oleh Karyati, et.al. jika adalah homomorfisma semigrup dengan kernel ': SSf → K

dan μ adalah subsemigrup fuzzy pada , maka pemetaan S ]1,0[/: →KSKμ yang

didefinisikan )}({sup)( xkxKKk

K μμ∈

= membentuk subsemigrup fuzzy pada . Jika

homomorfisma surjektif, maka

KS /

f μμμ ≈)(f .

Dalam penelitian sebelumnya (Karyati, et.al), terkait dengan subsemigrup fuzzy,

telah diselidiki bahwa teorema fundamental homomorfisma semigrup juga berlaku pada

subsemigrup fuzzy. Sekalipun dalam semigrup biasa, belum banyak penyelidikan

terhadap sifat-sifat idealnya, namun dalam penelitian saat ini akan diselidiki sifat-sifat

ideal fuzzy semigrup.

2. Pembahasan

Pada awal pembahasn ini diawali dengan mendefinisikan suatu ideal fuzzy pada

suatu semigrup sebagai berikut:

Definisi 2.1. Subhimpunan fuzzy μ pada semigrup disebut ideal fuzzy semigrup jika

memenuhi:

S

{ })(),()( yxmaksxy μμμ ≥

Contoh 2.1

Dari Contoh 1.1, himpunan { }cbaS ,,= dengan operasi biner ‘∗ ’ membentuk

semigrup. Selanjutnya didefinisikan suatu pemetaan μ sebagai beikut:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

299

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

⎩⎨⎧

==

=cx

baxx

21

,1)(μ

Dapat dibuktikan bahwa μ adalah ideal fuzzy pada S

Pada semigrup biasa, setiap ideal adalah subsemigrup. Dalam hal ini akan

diselidiki sifat yang analog tersebut pada ideal fuzzy semigrup sebagai berikut:

Proposisi 2.1. Jika μ ideal fuzzy semigrup , maka S μ subsemigrup fuzzy pada S

Bukti:

μ ideal fuzzy semigrup S ⇒ { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥ { })(),(min yx μμ≥

⇒ ≥)(xyμ { })(),(min yx μμ

⇒ μ subsemigrup fuzzy pada S

Jelas bahwa jika μ ideal fuzzy semigrup pasti S tμ dan adalah subsemigrup pada

.

>tμ

S

Proposisi tersebut tidak berlaku sebaliknya, sebab: { }SsxxsS tt ∈∈= ,μμ . Ambil

Sy tμ∈ , maka xsy = untuk suatu tx μ∈ dan Ss∈ . Selanjutnya berlaku

)()( xsy μμ = , dan nilai )(xsμ ini belum tentu lebih besar atau sama dengan t .

Misal adalah semigrup, sehingga didefinisikan S

{ }⎩⎨⎧

∪=

identitaselemenmemuattidakSJikaSidentitaselemenmemuatSJikaS

S1

1

Dengan 1 adalah elemen identitas yaitu sss == .11. .

Terkait dengan definisi tersebut, diperoleh proposisis berikut:

Proposisi 2.2. Misalkan μ adalah subhimpunan fuzzy pada yang didefinisikan 1S

11)( Sx =μ , sehingga berlaku: μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 1S μ

adalah ideal fuzzy semigrup 1S .

Bukti:

(⇐ ) pasti berlaku

( )⇒ { }=≥ )(),(min)( yxxy μμμ { }1,1min 1= { } { })(),(1,1 yxmaksmaks μμ==

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

300

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Sehingga dipenuhi { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥

Selanjutnya juga didefinisikan :

{ }⎩⎨⎧

∪=

nolelemenmemuattidakSJikaSnolelemenmemuatSJikaS

S0

0

Dengan adalah elemen nol, yaitu 0 00..0 == ss

Proposisi 2.3. Misalkan adalah semigrup dengan S Sx 0)( =μ untuk setiap ,

sehingga berlaku:

Sx∈

μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 0S μ ideal fuzzy

pada 0S

Bukti:

(⇐ ) pasti berlaku

( )⇒ { }=≥ )(),(min)( yxxy μμμ { }0,0min 0= { } { })(),(0,0 yxmaksmaks μμ==

Sehingga dipenuhi { })(),()( yxmaksxy μμμ ≥

Proposisi 2.4. Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk

setiap dan Sx∈ [ 1,0 ]∈t tertentu, maka tμ adalah ideal di . S

Bukti:

Ambil Sxs tμ∈ dengan tx μ∈ dan Ss∈ , sehingga diperoleh:

{ } { tttsxxs }=≥≥ ,min)(),(min)( μμμ . A kibatnya txs ≥)(μ atau txs μ∈

Jadi tt S μμ ⊆ .

Akibat 2.1. Jika μ adalah ideal fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap

dan tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

301

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Bukti:

Menurut Poposisi 2.1. maka μ adalah subsemigrup fuzzy , menurut Proposisi 2.4

sehingga tμ adalah ideal di . S

Masih terkait dengan homomorfisma semigrup, proposisi berikut menjamin

bilamana suatu pra peta suatu subsemigrup fuzzy pada semigrup sebagai kodomain

homomorfisma semigrup membentuk ideal fuzzy:

'S

Proposisi 2.5. Misalkan ' adalah homomorphisma semigrup dan : SSf → η adalah

subhimpunan fuzzy pada , sehingga berlaku: jika 'S η ideal fuzzy pada semigrup ,

maka ideal fuzzy pada

'S

)(1 η−f S

Bukti:

{ }))'(()),(())'()(())'(()')((1 xfxfmaksxfxfxxfxxf ηηηηη ≥==−

{ })')((),)(( 11 xfxfmaks ηη −−=

Jadi ideal fuzzy pada . )(1 η−f S

Akibat 2.2. Misalkan adalah homomorfisma semigrup. Jika ': SSf → η adalah ideal

fuzzy pada semigrup dengan 'S ty ≥)(η untuk setiap 'Sy∈ dan untuk

tertentu, maka

[ ]1,0∈t

( )tf )(1 η− adalah ideal pada S

Bukti:

Menurut Proposisi 2.6, maka ideal fuzzy pada . Diketahui )(1 η−f S ty ≥)(η untuk

setiap ' dan untuk tertentu, maka untuk setiap

. Sehingga menurut Akibat 2.1 maka terbukti

Sy ∈ [ 1,0∈t ] txfxf ≥=− ))(())((1 ηη

Sx∈ ( )tf )(1 η− adalah ideal pada S

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

302

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Proposisi 2.6. Misalkan ' adalah homomorphisma semigrup dengan

kernelnya adalah

: SSf →

K dan μ suatu ideal fuzzy pada , sehingga berlaku S

]1,0[/: →KSKμ ideal fuzzy pada KS /

Bukti:

( ))(sup)()( xykxyKxKyKKk

KK μμμ∈

== { }( ))(),(sup ykxkmaksKk

μμ∈

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧

≥∈∈ KkKk

ykxkmaks ))(sup()),((sup μμ { })(),( yKxKmaks KK μμ=

Akibat 2.4. Misalkan adalah homomorfisma semigrup yang surjektif

dengan kernel

': SSf →

K . Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dengan S tx ≥)(μ

untuk setiap dan untuk tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] ( )tKμ adalah ideal di . KS /

Bukti:

Menurut Proposisi 2.6. jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada , maka S Kμ adalah

subsemigrup fuzzy pada . Selanjutnya dipenuhi KS / ( ) { )(sup xkxKKk

K μμ∈

= }. Karena

tx ≥)(μ untuk setiap dan untuk Sx∈ [ ]1,0∈t tertentu, maka txKK ≥)(μ untuk setiap

. Menurut Akibat 2.1 , maka KSxK /∈ ( )tKμ adalah ideal di . KS /

3. Kesimpulan

Berdasarkan penyelidikan pada pembahasan di atas, maka dapat diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Jika μ ideal fuzzy semigrup , maka S μ subsemigrup fuzzy pada S

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

303

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

2. Misalkan μ adalah subsemigrup fuzzy pada yang didefinisikan 1S 11)( Sx =μ ,

sehingga berlaku: μ subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 1S μ adalah

ideal fuzzy semigrup 1S

3. Misalkan semigrup dengan S Sx 0)( =μ untuk setiap Sx∈ , sehingga berlaku: μ

subsemigrup fuzzy pada jika dan hanya jika 0S μ ideal fuzzy pada 0S

4. Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap

dan tertentu, maka

Sx∈

[ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S

5. Jika μ adalah ideal fuzzy pada semigrup dan S tx ≥)(μ untuk setiap dan

tertentu, maka

Sx∈

[ 1,0∈t ] tμ adalah ideal di . S

6. Misalkan adalah homomorphisma semigrup dan ': SSf → η adalah subhimpunan

fuzzy pada , sehingga berlaku: jika 'S η ideal fuzzy pada semigrup , maka

ideal fuzzy pada

'S

)(1 η−f S

7. Misalkan adalah homomorfisma semigrup. Jika ': SSf → η adalah ideal fuzzy

pada semigrup dengan 'S ty ≥)(η untuk setiap 'Sy∈ dan untuk tertentu,

maka

[ 1,0∈t ]

( )tf )(1 η− adalah ideal pada S

8. Misalkan adalah homomorfisma semigrup yang surjektif dengan kernel ': SSf →

K . Jika μ adalah subsemigrup fuzzy pada semigrup dengan S tx ≥)(μ untuk

setiap dan untuk tertentu, maka Sx∈ [ 1,0∈t ] ( )tKμ adalah ideal di . KS /

DAFTAR PUSTAKA Ajmal, Naseem. 1994.Homomorphism of Fuzzy groups, Corrrespondence Theorm and

Fuzzy Quotient Groups. Fuzzy Sets and Systems 61, p:329-339. North-Holland Asaad, Mohamed.1991. Group and Fuzzy Subgroup. Fuzzy Sets and Systems 39, p:323-

328. North-Holland Howie, J.M, 1976. An Introduction to Semigroup Theory. Academic Press, Ltd, London Kandasamy, W.B.V. 2003. Smarandache Fuzzy Algebra. American Research Press and

W.B. Vasantha Kandasamy Rehoboth. USA

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

304

M – 5 : Ideal Fuzzy Semigrup Karyati, Indah E W, Sri Wahyuni, Budi S, Setiadji

Karyati, et.al. 2008. The Fuzzy Version of the Fundamental Theorem of Semigroup

Homomorphism, Seminar Internasional IcoMS IPB, Bogor. Mordeson, J.N, Malik, D.S. 1998. Fuzzy Commutative Algebra. World Scientifics

Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

305

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

Perbandingan Model Regresi Poisson Dan Model Regresi Binomial Negatif

Kismiantini Jurusan Pendidikan Matematika

FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak Dalam menganalisis hubungan antara beberapa peubah, terdapat sejumlah fenomena dimana peubah

responnya bukan lagi kontinu melainkan berbentuk diskret. Fenomena peubah respon berbentuk diskret dengan data berupa cacahan biasanya dianalisis dengan regresi Poisson. Permasalahan yang sering muncul dari regresi Poisson adalah overdispersi (ragam melebihi rata-ratanya), untuk menanganinya dapat digunakan teknik regresi binomial negatif. Hipotesis parameter dispersi sama dengan nol atau tidak dapat digunakan untuk mengetahui model yang lebih baik diantara model regresi Poisson dan model regresi binomial negatif.

Kata kunci : Data cacahan, regresi Poisson, regresi binomial negatif

PENDAHULUAN

Seringkali penelitian mengkaji hubungan antara peubah respon (atau peubah tak

bebas) dengan peubah bebas, dengan peubah respon dapat berupa kontinu maupun

diskret. Hubungan fungsional antara peubah respon dengan peubah bebas dapat

dijelaskan oleh teknik analisis regresi (Kutner et al., 2005). Analisis regresi klasik

mengasumsikan bahwa peubah respon merupakan peubah kontinu dan mengikuti

distribusi normal. Apabila peubah respon tidak lagi kontinu melainkan diskret maka

analisis ini tidak dapat digunakan.

Salah satu fenomena dimana peubah responnya diskret adalah fenomena

banyaknya kejadian yang jarang terjadi. Misalnya banyaknya kecelakaan mobil setiap

bulan, banyaknya hujan badai setiap tahun, banyaknya kebakaran hutan setiap tahun,

banyaknya barang yang cacat dalam suatu produksi tertentu. Data yang diperoleh

berupa cacahan. Model regresi yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan

antara peubah bebas dengan peubah respon berupa cacahan adalah regresi Poisson dan

regresi binomial negatif (Park, 2005). Regresi binomial negatif sering digunakan untuk

mengatasi masalah overdispersi pada regresi Poisson (Berk & MacDonald, 2007).

Overdispersi terjadi ketika ragam melebihi rataan pada kasus Poisson.

PEMBAHASAN

Data cacahan merupakan data yang sering dijumpai pada penelitian kriminologi,

kesehatan maupun biologi. Ketika peubah respon berupa cacahan, sangat umum untuk

menggunakan regresi Poisson (kasus khusus dari model linear terampat). Masalah yang

sering dihadapi dalam regresi Poisson adalah overdispersi, hal ini disebabkan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

306

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

diantaranya peubah bebas yang tidak termuat dalam model, sehingga masih

dimungkinkan adanya keragaman dari peubah respon yang disebabkan oleh peubah lain.

Regresi Poisson

Model regresi untuk data cacahan diantaranya adalah model regresi Poisson.

Pada model regresi ini, peubah respon berupa data cacahan yang mengikuti distribusi

Poisson. Distribusi Poisson sering digunakan untuk kejadian-kejadian yang jarang

terjadi dengan data berupa cacahan yang mempunyai nilai non negatif.

Peubah acak Y dikatakan berdistribusi Poisson dengan parameter μ dengan y = 0,

1, 2, ... bila fungsi peluangnya adalah

( ) 0,!

>=−

μμμ

yeyp

y

(1)

Distribusi Poisson ini mempunyai rata-rata dan ragam berikut

( ) ( ) μ== YVarYE (2)

Karena rata-rata sama dengan ragamnya, maka sembarang faktor akan berpengaruh

terhadap lainnya, sehingga asumsi homogenitas tidak harus dipenuhi pada data Poisson

(Rodriquez, 2001).

Selanjutnya untuk membangun model regresi Poisson, dimisalkan sampel acak

( )ii PoissonY μ~ , dan rata-rata μni ...,,2,1= i bergantung pada vektor peubah bebas

(peubah penjelas) xi dan vektor koefisien regresi β, yaitu

(3) βxTii =μ

Tetapi model ini memiliki kelemahan yaitu prediktor linear ( ) dapat diasumsikan

dengan sebarang nilai, padahal rata-rata Poisson merupakan harapan cacahan yang

nilainya harus non negatif. Untuk mengatasi permasalahan ini digunakan log rata-rata

dengan model linear sebagai berikut

βxTi

( ) βxTii =μlog (4)

Regresi Binomial Negatif

Jika model regresi Poisson tidak fit dengan data cacahan dan ragam peubah

respon melebihi rata-ratanya yang sering disebut sebagai overdispersi (hal ini dapat

dilihat dari plot sisaan dengan prediktor linear dengan titik-titik berpola menyebar)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

307

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

maka model regresi binomial negatif dapat digunakan sebagai alternatif untuk

mengatasi permasalahan tersebut (Cameron & Trivedi, 1999).

Langkah pertama dalam membangun model regresi binomial negatif adalah

dengan mengasumsikan bahwa peubah respon Yi merupakan peubah acak yang saling

bebas dan identik yaitu ( )i

iid

ii PoissonY λλ ~ , dengan fungsi peluang ( )!i

yi

ii ye

yfiiλ

λλ−

= ,

dan K,2,1,0=iy 0>iλ .

Langkah kedua adalah dengan mengasumsikan bahwa ( )βαλ ,~ Gammai dengan rata-

rata αβ, ragam dan fungsi padat peluang berikut 2αβ

( ) ( ) ( )⎪⎩

⎪⎨

⎧ >−Γ=

lain yang , 0

0,exp1 1

i

iiiim

λ

λβλλαβλ

αα (5)

Maka diperoleh fungsi bersama adalah

( ) ( ) ( )βλλαβ

λλ α

α

λ

iii

yi

ii ye

yfii

−Γ

= −−

exp1!

, 1 , 0;,1,0 >= iiy λK (6)

Selanjutnya diperoleh fungsi marjinal dapat diperoleh merupakan fungsi peluang dari

distribusi binomial negatif sebagai berikut

( ) ( ) iiii dyfym λλ∫∞

=0

,

( )( )

α

βββ

αα

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛+Γ

+Γ=

11

1!

iy

i

i

yy

, K,2,1,0=iy (7)

Distribusi binomial negatif dengan fungsi peluang pada (7) ini mempunyai rata-rata

( ) ( )[ ] ( ) αβλλ === EYEEYE ii

dan ragam

( ) ( )[ ] ( )[ ]

( ) ( )2

αβαβ

λλλλ

+=

+=

+=

EVarYEVarYVarEYVar iii

Selanjutnya dalam membangun model regresi binomial negatif, diasumsikan bahwa

αβμ =i dan ακ 1= , sehingga ( ) iiYE μ= dan ( ) 2iiiYVar κμμ += , ragam ini

merupakan fungsi kuadratik yang mengakomodasi parameter overdispersi κ >0.

Sehingga distribusi Yi menjadi

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

308

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

( ) ( )( )

κ

κμκμκμ

κκ

/1

1

1

11

1! ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛+Γ

+Γ= −

i

y

i

i

i

ii

i

yy

ym (8)

Jika 0→κ maka distribusi ini mendekati Poisson(μ). Binomial negatif mampu

mengakomodasi overdispersi ( 0>κ ) tetapi tidak underdispersi ( 1<κ ) pada model

Poisson. Secara umum didefinisikan bahwa peubah respon merupakan peubah acak

berdistribusi binomial negatif dengan parameter iμ dan κ berikut

( )κμ ,~ ii BNY (9)

dan fungsi hubung log yaitu

βxTii =μlog (10)

dengan xi vektor peubah bebas (peubah penjelas) dan β vektor koefisien regresi.

Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi Binomial Negatif

Model regresi Poisson dan model regresi binomial negatif termasuk dalam

model linear terampat (Generalized Linear Model). Ada tiga komponen utama dalam

GLM yaitu (McCullagh & Nelder, 1989):

1. Komponen acak, yaitu komponen dari Y yang bebas dan fungsi padat peluang atau

fungsi peluang Y termasuk dalam keluarga sebaran eksponensial dengan ( ) μ=YE .

2. Komponen sistematik, yaitu yang menghasilkan penduga linear pxxx ,,, 21 K η

dimana pp xx βββη +++= ...110 .

3. Fungsi penghubung (link function) g(.), yang menggambarkan hubungan antara

penduga linear η dengan nilai tengah μ. (η = g(μ)).

Berikut adalah tabel yang menjelaskan tiga komponen utama GLM pada model regresi

Poisson dan model regresi binomial negatif.

Tabel 1. Komponen GLM

Model Regresi Komponen acak Komponen Sistematik Fungsi hubung

Poisson ( )i

iid

i PoissonY μ~ βxTi log

Binomial Negatif ( )κμ ,~ i

iid

i BNY βxTi log

Model regresi binomial negatif memuat parameter dispersi κ yang

mengakomodasi overdispersi. Menurut Long (1997), uji likelihood ratio dapat

digunakan untuk memeriksa hipotesis nol tidak ada overdispersi, yaitu hipotesis H0 : κ

= 0 lawan H1 : κ ≠ 0. Statistik uji yang digunakan ( ) 2)1(~lnln2 χPoissonBN LLLR −= . Jika

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

309

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

H0 ditolak maka terjadi overdispersi dengan kata lain model regresi binomial negatif

lebih baik digunakan daripada model regresi Poisson.

Tabel 2. Perbandingan Model Regresi Poisson dan Model Regresi Binomial Negatif

Model Regresi Poisson

Model Regresi Binomial Negatif

Peubah respon ( )i

iid

i PoissonY μ~ ( )κμ ,~ i

iid

i BNY Rata-rata dan ragam dari peubah respon Yi

( ) ( ) iii YVarYE μ== ( ) iiYE μ= ,

( ) 2iiiYVar κμμ +=

Parameter dispersi (κ) Tidak ada Ada Hipotesis H0 : κ = 0 H1 : κ ≠ 0

H0 diterima maka model regresi Poisson lebih baik daripada model regresi binomial negatif.

H0 ditolak maka model regresi binomial negatif lebih baik daripada model Poisson.

Tabel 2 menjelaskan secara garis besar perbedaan dari model regresi Poisson dan model

regresi binomial negatif, walaupun kedua model ini sama-sama digunakan untuk

memodelkan data berupa cacahan.

Ilustrasi

Data yang digunakan dalam makalah ini adalah dua data sekunder. Data pertama

diambil dari Gail (1978) dalam Stokes et al. (2000) yaitu tentang penderita melanoma

pada pria berkulit putih dari tahun 1969-1971 di dua wilayah. Data ini berupa

banyaknya penderita melanoma (sebagai peubah respon), wilayah, kelompok usia

(sebagai peubah bebas), dan banyaknya penduduk yang beresiko pada wilayah dan

kelompok usia tertentu. Input data melanoma pada SAS versi 9.1,

data melanoma;

input age $ region $ cases total;

ltotal=log(total);

datalines;

35-44 south 75 220407

45-54 south 68 198119

55-64 south 63 134084

65-74 south 45 70708

75+ south 27 34233

<35 south 64 1074246

35-44 north 76 564535

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

310

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

45-54 north 98 592983

55-64 north 104 450740

65-74 north 63 270908

75+ north 80 161850

<35 north 61 2880262

;

proc genmod data=melanoma order=data;

class age region;

model cases = age region

/ dist=poisson link=log offset=ltotal;

run;

Berikut output SAS versi 9.1 dari data melanoma dengan model regresi Poisson.

Criteria For Assessing Goodness Of Fit

Criterion DF Value Value/DF

Deviance 5 6.2149 1.2430

Scaled Deviance 5 6.2149 1.2430

Pearson Chi-Square 5 6.1151 1.2230

Scaled Pearson X2 5 6.1151 1.2230

Log Likelihood 2694.9262

Selanjutnya untuk mendapatkan Likelihood Ratio dari model regresi binomial negatif

pada data melanoma adalah dengan mengganti distribusi pada input data, yaitu semula

dist=poisson menjadi dist=negbin, sehingga diperoleh output berikut :

Criteria For Assessing Goodness Of Fit

Criterion DF Value Value/DF Deviance 5 20.0285 4.0057 Scaled Deviance 5 20.0285 4.0057 Pearson Chi-Square 5 18.4675 3.6935 Scaled Pearson X2 5 18.4675 3.6935 Log Likelihood 2697.4922

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

311

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

Berdasarkan kedua output SAS ini diperoleh bahwa LR = 2×(2697.4922 – 2694.9262) =

2.566. Bila dipilih taraf nyata α = 0.05, , maka LR < 3.841 sehingga H841,32)1(05.0 =χ 0

diterima (κ = 0), yang berarti tidak terjadi overdispersi atau dengan kata lain model

regresi Poisson lebih baik digunakan daripada model regresi binomial negatif.

Data kedua diambil dari LaVange et al. (1994) tentang infeksi pernapasan

pendek. Data ini berupa banyaknya penderita pernapasan pendek setiap tahun (sebagai

peubah respon), banyaknya perokok pasif dalam rumahtangga, status sosial ekonomi,

crowding, ras dan kelompok usia (sebagai peubah bebas), dengan jumlah pengamatan

ada sebanyak 284 anak. Dalam kasus ini, sangat masuk akal bahwa anak yang terserang

batuk kebanyakan disebabkan oleh hal lain, sehingga dimungkinkan tambahan

keragaman atau terjadi overdispersi pada data ini. Input data infeksi pernapasan pendek

pada SAS versi 9.1,

data lri;

input id count risk passive crowding ses agegroup race @@;

logrisk =log(risk/52);

datalines;

1 0 42 1 0 2 2 0 96 1 41 1 0 1 2 0 191 0 44 1 0 0 2 0

2 0 43 1 0 0 2 0 97 1 26 1 1 2 2 0 192 0 45 0 0 0 2 1

3 0 41 1 0 1 2 0 98 0 36 0 0 0 2 0 193 0 42 0 0 0 2 0

4 1 36 0 1 0 2 0 99 0 34 0 0 0 2 0 194 1 31 0 0 0 2 1

. . .

92 1 3 1 0 1 3 1 187 0 42 0 0 0 2 0 282 1 32 1 0 2 2 0

93 0 26 1 0 0 2 1 188 0 38 0 0 0 2 0 283 0 22 1 1 2 2 1

94 0 35 1 0 0 2 0 189 0 36 1 0 0 2 0 284 0 35 0 0 0 2 1

95 3 37 1 0 0 2 0 190 0 39 0 1 0 2 0

;

proc genmod data=lri;

class ses id race agegroup;

model count = passive crowding ses race agegroup /

dist=negbin offset=logrisk type3;

run;

Berikut output SAS versi 9.1 dari data infeksi pernapasan pendek dengan model regresi

Poisson.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

312

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

Criteria For Assessing Goodness Of Fit

Criterion DF Value Value/DF

Deviance 276 408.1549 1.4788

Scaled Deviance 276 408.1549 1.4788

Pearson Chi-Square 276 495.4493 1.7951

Scaled Pearson X2 276 495.4493 1.7951

Log Likelihood -260.4117

Berdasarkan output ini, diperoleh nilai 1.4788 untuk deviance/df dan 1.7951 untuk

Perason/df, nilai ini mengindikasikan terjadinya overdispersi. Selanjutnya dengan cara

yang sama pada data pertama, untuk mendapatkan Likelihood Ratio dari model regresi

binomial negatif pada data infeksi pernapasan pendek ini adalah dengan mengganti

distribusi pada input data, yaitu semula dist=poisson menjadi dist=negbin, sehingga

diperoleh output berikut :

Criteria For Assessing Goodness Of Fit

Criterion DF Value Value/DF

Deviance 276 256.9688 0.9310

Scaled Deviance 276 256.9688 0.9310

Pearson Chi-Square 276 298.2410 1.0806

Scaled Pearson X2 276 298.2410 1.0806

Log Likelihood -242.2932

Berdasarkan output ini, nilai 0.9310 untuk deviance/df dan 1.0806 untuk Perason/df,

nilai ini mengindikasikan tidak terjadinya overdispersi. Dari kedua output SAS ini

diperoleh bahwa LR = 2×(-242.2932 – (-260.4117) = 18.1185. Bila dipilih taraf nyata α

= 0.05, , maka LR > 3.841 sehingga H841,32)1(05.0 =χ 0 ditolak (κ ≠ 0), yang berarti

terjadi overdispersi atau dengan kata lain model regresi binomial negatif lebih baik

digunakan daripada model regresi Poisson.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

313

M – 6 : Perbandingan Model Regresi Poisson........ Kismiantini

PENUTUP

Model regresi binomial negatif memiliki parameter dispersi κ yang mampu

mengakomodasi permasalahan overdispersi pada model regresi Poisson. Bila hipotesis

nol tidak terjadi overdispersi diterima maka model regresi Poisson lebih baik daripada

model regresi binomial negatif dan sebaliknya bila hipotesis nol tidak terjadi

overdispersi ditolak maka model regresi binomial negatif lebih baik digunakan daripada

model regresi Poisson. Bila nilai deviance/df dan Pearson/df pada goodness of fit

mendekati satu maka tidak mengindikasikan terjadinya overdispersi.

DAFTAR PUSTAKA Berk, D. & MacDonald, J. 2007. Overdispersion and Poisson regression. Department of

Statistics, Department of Criminology, University of Pennsylvania. Cameron, A.C. & Trivedi, P.K. 1999. Essentials of count data regression. A Companion

to Theoretical Econometrics, Blackwell. Gail, M. 1978. The analysis of heterogeneity for indirect standardized mortality ratios.

Journal of the Royal Statistical Society A 141: 224-234. Kutner, M.H., Nachtsheim, C.J., Neter, J. & Li, W. 2005. Applied Linear Statistical

Models. New York: McGraw-Hill. Lavange, L.M., Keyes, L.L., Koch, G.G. & Margolis, P.E. 1994. Application sample

survey methods for modelling ratios to incidence densities. Statistics in Medicine 13: 343-355.

Long, J.S. 1997. Regression models for categorical and limit dependent variables.

Advanced Quantitative Techniques in the Social Sciences. Sage Publications. McCullagh, P. & Nelder, J.A. 1989. Generalized Linear Models. London: Chapman &

Hall. Park, H.M. 2005. Regression models for event count data using SAS, STATA, and

LIMDEP. Indiana: The Trustees of Indiana University. Rodriguez, G. 2001. Poisson models for count data. [terhubung berkala]

http://data.pricenton.edu/wws509/notes/c4.pdf [13 Juni 2006]. Stokes, M.E., Davis, C.S. & Koch, G.G. 2000. Categorical data analysis using the

SAS® system second edition. North Carolina: John Wiley & Sons.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

314

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

Efisiensi Sumber Daya dengan Virtualisasi Server

Kuswari Hernawati

Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Abstrak

Perkembangan teknologi jaringan komputer yang pesat memungkinkan komunikasi dan pertukaran data

dalam jaringan komputer menjadi semakin mudah, mampu menyajikan suatu dokumentasi informasi secara terpadu,

lebih bersifat dinamis dan dapat dibuat dalam format digital. Komputer-komputer yang dihubungkan ke jaringan

komputer dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni komputer penyedia layanan (server) dan komputer

pengguna layanan (client). Contoh dari aplikasi server ini adalah Server DHCP, Server Mail, Server HTTP, Server

FTP, Server DNS dan lain sebagainya. Banyaknya aplikasi server yang diperlukan, memerlukan suatu manajemen

khusus untuk mengelola server-server tersebut. Dari segi finansial banyaknya hardware server akan membuat biaya

operasional melonjak tinggi seperti tenaga listrik, pendingin ruangan, luas ruangan dan mahalnya harga hardware

mesin server.

Virtualisasi merupakan teknik pengelolaan sistem dan sumber daya secara fungsional, dengan

menyembunyikan karakteristik fisik dari sumber daya. Virtual Server adalah teknologi server side tentang sistem

operasi dan software yang memungkinkan sebuah mesin dengan kapasitas besar di bagi ke beberapa virtual mesin.

Tiap virtual mesin ini melayani sistem operasi dan software secara independen dan dengan konfigurasi yang cepat.

Konsep virtualisasi ini memungkinkan beberapa server berjalan di atas satu mesin. Keuntungan utamanya selain

tentang kesinambungan jalannya organisasi/perusahaan juga tentang fleksibilitas, kesederhanaan, konsolidasi server,

recovery yang cepat, dan pengurangan biaya administrasi, seperti yang diharapkan. Virtualisasi memungkinkan

terjadinya isolasi sistem yang lebih baik, sehingga bisa digunakan untuk menambahkan keamanan dan kehandalan

sistem

Kata kunci : Virtualisasi, server, sumber daya

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia Teknologi Informasi (IT) saat ini terus meningkat dan terus

mengalami perkembangan baik dari segi bentuk, ukuran, kecepatan, kemampuan untuk

mengakses multimedia dan jaringan komputer. Sejalan dengan perkembangan IT,

perkembangan teknologi jaringan komputer yang pesat memungkinkan komunikasi dan

pertukaran data dalam jaringan komputer menjadi semakin mudah, mampu menyajikan

suatu dokumentasi informasi secara terpadu, lebih bersifat dinamis dan dapat dibuat

dalam format digital, termasuk hadirnya teknologi Internet berupa Web dengan berbagai

macam teknologi pendukungnya yang memungkinkan dilakukannya komunikasi dan

layanan informasi secara mudah dan efisien. Pesatnya perkembangan jaringan komputer

ini juga memaksa suatu organisasi untuk menyediakan peralatan yang memadai untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

315

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

mendukung segala kegiatan yang berhubungan. Komputer-komputer yang dihubungkan

ke jaringan komputer dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni komputer penyedia

layanan (server) dan komputer pengguna layanan (client). Server adalah sebuah sistem

komputer yang menyediakan jenis layanan tertentu dalam sebuah jaringan komputer.

Server didukung dengan prosesor yang bersifat scalable dan RAM yang besar, juga

dilengkapi dengan sistem operasi khusus, yang disebut sebagai sistem operasi jaringan

atau network operating system. Server juga menjalankan perangkat lunak administratif

yang mengontrol akses terhadap jaringan dan sumber daya yang terdapat di dalamnya,

seperti halnya berkas atau alat pencetak (printer), dan memberikan akses kepada

workstation anggota jaringan.

Umumnya, di atas sistem operasi server terdapat aplikasi-aplikasi yang menggunakan

arsitektur klien/server. Contoh dari aplikasi ini adalah Server DHCP, Server Mail,

Server HTTP, Server FTP, Server DNS dan lain sebagainya.

Banyaknya aplikasi server yang diperlukan, memerlukan suatu manajemen

khusus untuk mengelola server-server tersebut. Bila terjadi sesuatu gangguan terhadap

sebuah server yang diandalkan sebagai infrastruktur utama seluruh aplikasi dalam suatu

organisasi/perusahaan, maka dapat dipastikan seluruh proses kegiatan dalam

organisasi/perusahaan akan terganggu, atau bahkan berhenti sama sekali. Server

pengganti harus segera disediakan, namun dibutuhkan waktu untuk melakukan proses

instalasi ulang atau konfigurasi ulang. Dapat dibayangkan berapa banyak potensi

pendapatan yang hilang dari selang waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki server

dan mengembalikan sistem ke keadaan semula, untuk itulah diperlukan suatu konsep

virtualisasi server. Konsep virtualisasi memungkinkan beberapa server berjalan di atas

satu mesin. Hal ini menurunkan space yang dibutuhkan oleh server dan memaksimalkan

utilisasi server. Setiap role dapat berjalan di sebuah lingkungan virtual yang terisolasi

sehingga relatif lebih aman dan mudah untuk diatur. Bila salah satu server down, maka

administrator cukup mematikan server tersebut dan menyalakan cadangannya, semudah

melakukan aktivitas copy dan paste. (Robby, 2008)

Dari segi finansial banyaknya hardware server akan membuat biaya operasional

melonjak tinggi seperti tenaga listrik, pendingin ruangan, luas ruangan dan mahalnya

harga hardware mesin server. Dengan virtualisasi server yang hanya memerlukan satu

mesin untuk beberapa server akan mereduksi biaya yang diperlukan, selain itu dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

316

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

teknologi virtualisasi ini maka terjadi penambahan fitur untuk berbagai sistem operasi

sehingga satu perangkat keras dapat digunakan bersama-sama oleh lebih dari satu

sistem operasi. Virtualisasi memungkinkan terjadinya isolasi sistem yang lebih baik,

sehingga bisa digunakan untuk menambahkan keamanan dan kehandalan sistem

B. Server

Server adalah sebuah sistem komputer yang menyediakan jenis layanan tertentu dalam

sebuah jaringan komputer. Server didukung dengan prosesor yang bersifat scalable dan

RAM yang besar, juga dilengkapi dengan sistem operasi khusus, yang disebut sebagai

sistem operasi jaringan atau network operating system. Server juga menjalankan

perangkat lunak administratif yang mengontrol akses terhadap jaringan dan sumber

daya yang terdapat di dalamnya, seperti halnya berkas atau alat pencetak (printer), dan

memberikan akses kepada workstation anggota jaringan.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Server)

Umumnya, di atas sistem operasi server terdapat aplikasi-aplikasi yang menggunakan

arsitektur klien/server. Beberapa aplikasinya antara lain :

1. DHCP Server,

DHCP (Dynamic Host Configuration Protocol) adalah protokol yang berbasis

arsitektur klien/server yang dipakai untuk memudahkan pengalokasian alamat IP

dalam satu jaringan. Sebuah jaringan lokal yang tidak menggunakan DHCP harus

memberikan alamat IP kepada semua komputer secara manual. Jika DHCP dipasang

di jaringan lokal, maka semua komputer yang tersambung di jaringan akan

mendapatkan alamat IP secara otomatis dari server DHCP. Selain alamat IP, banyak

parameter jaringan yang dapat diberikan oleh DHCP, seperti default gateway dan

DNS server. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dynamic_host_ configuration_protocol)

2. Mail Server,

Surat elektronik atau nama umumnya disebut email adalah sarana mengirim

surat melalui jalur internet. (http://id.wikipedia.org/wiki/E-mail)

3. HTTP Server,

HTTP (HyperText Transfer Protocol) adalah protokol yang dipergunakan untuk

mentransfer berbagai macam tipe dokumen dalam World Wide Web (WWW).

(http://id.wikipedia.org/wiki/Hypertext_transfer_protocol)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

317

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

4. FTP Server,

FTP (singkatan dari File Transfer Protocol) adalah sebuah protokol Internet

yang berjalan di dalam lapisan aplikasi yang merupakan standar untuk pentransferan

berkas (file) komputer antar mesin-mesin dalam sebuah internetwork. FTP

merupakan salah satu protokol Internet yang paling awal dikembangkan, dan masih

digunakan hingga saat ini untuk melakukan download dan upload berkas-berkas

komputer antara klien FTP dan server FTP.

(http://id.wikipedia.org/wiki/File_transfer_protocol)

5. DNS Server

DNS (Domain Name System) adalah sebuah sistem yang menyimpan informasi

tentang nama host maupun nama domain dalam bentuk basis data tersebar

(distributed database) di dalam jaringan komputer, misalkan: Internet. DNS

menyediakan alamat IP untuk setiap nama host dan mendata setiap mail exchange

server yang menerima surat elektronik (email) untuk setiap domain. DNS

menyediakan layanan yang cukup penting dalam Internet. Jika perangkat keras

komputer dan jaringan bekerja dengan alamat IP untuk pengalamatan dan routing,

maka user pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan nama host dan nama

domain, contohnya adalah URL dan alamat e-mail. DNS dapat menghubungkan

kebutuhan ini. (http://id.wikipedia.org/wiki/Domain_name_system)

C. Virtualisasi

Virtualisasi merupakan teknik pengelolaan sistem dan sumber daya secara

fungsional, dengan mengabaikan letak/lokasi fisiknya. Virtualisasi pada dasarnya adalah

teknik untuk menyembunyikan karakteristik-karakteristik fisik sumber daya komputasi

dimana sistem, aplikasi-aplikasi, atau user lain saling berhubungan dengan sumber daya

tersebut, membuat suatu physical resource (seperti server, sistem operasi, aplikasi, atau

alat penyimpanan) berfungsi sebagai logical resource, membuat multiple physical

resource(seperti device penyimpan atau server-server) terlihat sebagai single logical

resource.

Tipe Virtualisasi :

1. Virtualisasi Sistem Operasi

yaitu metode untuk menjalankan beberapa logical/sistem operasi virtual

di atas sistem operasi host. Metode ini biasanya menggunakan Windows,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

318

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

Macintosh atau Linux sebagai host, ditambah Virtual mesin manajer untuk

menjalankan Guest OS.

Gambar 1. Virtualisasi Sistem Operasi

2. Virtualisasi Server

Virtualisasi Server berbasis pada virtualisasi hardware, mengijinkan beberapa

guest OS mengakses perangkat keras tanpa memerlukan sistem operasi host yang

lengkap. Virtualisasi perangkat lunak akan berjalan pada hardware dasar dan sistem

operasi tertentu akan di-install ke dalam software virtualisasi tersebut, biasanya

dikenal sebagai virtualisasi server dan biasanya digunakan pada server-server besar.

Gambar 2. Virtualisasi. Server

Virtual Server adalah teknologi server side tentang sistem operasi dan software

yang memungkinkan sebuah mesin dengan kapasitas besar di bagi ke beberapa

virtual mesin. Tiap virtual mesin ini melayani sistem operasi dan software secara

independen dan dengan konfigurasi yang cepat.

Traditional shared hosting yang biasa dikenal memiliki sangat banyak

keterbatasan terhadap aplikasi yang berjalan, karena user hanya mempunyai hak

akses sebagai level user biasa. Apabila user ingin mendapatkan akses terhadap

aplikasi dan resource yang lebih dari sekedar level user biasa maka user harus

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

319

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

menggunakan ke Dedicated Server, hal ini membuat dana melonjak sangat tinggi

seiring dengan mahalnya harga dedicated hardware dan sewa lokasi data center.

Dengan menggunakan teknologi Virtual Server memberikan solusi jembatan

penghubung antara budget financial, resource sistem dan level user.

Penggunaan Virtual Server antara lain adalah untuk web hosting dan backup

Server untuk menjamin layanan selalu berjalan normal adalah sangat penting. Backup

server ini bisa meliputi website, mail, file, dan database. Semua layanan ini berada

dalam kondisi fisik dan logical yang terpisah sehingga meminimalisasi kerusakaan

atau kehilangan data. (http://id.wikipedia.org/wiki/Virtual_private_server)

3. Virtualisasi Aplikasi

Virtualisasi Aplikasi dimana aplikasi disediakan untuk end user, umumnya dari

lokasi jarak jauh(misal server pusat), tanpa perlu menginstall secara lengkap di

sistem lokal user, misalnya aplikasi web, dan aplikasi lain yang ditentukan pada

server untuk dapat diakses dari komputer end user. Tidak seperti operasi klien

server tradisional, aplikasi itu sendiri tidak perlu didesain untuk digunakan beberapa

user di satu waktu, dan tidak seperti dibagi bersama dengan cara yang sama.

Masing-masing user memiliki lingkungan aplikasi yang berfungsi secara penuh,

seolah-olah aplikasi tersebut diinstall di komputer lokal

Gambar 3 Virtualisasi Aplikasi

4. Virtualisasi desktop

Virtualisasi Desktop menyediakan end user suatu lingkungan desktop yang

mengizinkan untuk melakukan akses pada aplikasi yang diautorisasi, dengan

mengabaikan di mana aplikasi yang sebenarnya berada. Hal ini mengizinkan end

user untuk memiliki antar muka tunggal dimana mereka dapat mengakses Web dan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

320

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

aplikasi lainnya yang ada pada server. Virtual desktop yang menjadi host di server

pusat, memberi hak akses kepada pengguna hanya untuk aplikasi-aplikasi yang

dapat diakses dari jarak jauh, atau juga dapat diakses secara lokal dari komputer

server, sehingga memberi akses pada pengguna lokal, sebagaimana aplikasi-

aplikasi yang diakses dari jarak jauh.

Gambar 4 Contoh virtualisasi desktop Windows pada MAC

5. Streaming Streaming pada dasarnya merupakan subset dari teknologi virtualisasi yang memungkinkan komponen software (termasuk aplikasi, desktop, Sistem operasi yang lengkap) secara dinamis dikirimkan dari lokasi pusat ke end-user pada jaringan. Tidak seperti pengiriman software tradisional, komponen software biasanya dapat digunakan oleh end-user sebelum download lengkap. Tidak ada proses instalasi yang kompleks dan panjang.

Gambar Proses Streaming

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

321

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

6. Virtualisasi Penyimpanan

Virtualisasi penyimpanan mengijinkan beberapa user atau aplikasi untuk

mengakses media penyimpan tanpa memikirkan dimana atau bagaimana

penyimpanan tersebut secara fisik diletakkan atau dikelola. Sebagai contoh satu disk

dengan kapasitas yang besar dapat dipartisi menjadi beberapa partisi yang lebih

kecil, logical disk yang dapat diakses tiap user adalah sebuah drive network tunggal

atau sejumlah disk yang dikumpulkan untuk menyediakan sebuah interface

penyimpanan tunggal kepada end-user dan aplikasi.

Gambar Virtualisasi Penyimpanan

7. Virtualisasi Data Virtualisasi Data mengijinkan user mengkases data sumber dari server (termasuk file, database, dokumen metadata, pesan informasi , dsb) dan menyediakan lapisan untuk mengakses data dengan metode akses data yang berbeda – beda (seperti SQL, XML, JDBC, File access, MQ, JMS, dsb). Lapisan akses data secara umum menginterpretasikan panggilan dari sebarang aplikasi dengan menggunakan protokol tunggal dan menterjemahkan permintaan aplikasi ke protokol yang diperlukan untuk menyimpan dan mengambil data dari metode penyimpanan data yang didukung. Virtualisasi data mengijinkan user/aplikasi untuk mengakses data dengan mengabaikan dimana dan bagaimana data sebenarnya disimpan. (Mann, 2006)

Gambar 5. Virtualisasi Data

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

322

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

Beberapa software yang digunakan untuk virtualisasi antara lain :

• Microsoft Virtual PC 2004, menggunakan software bawaan langsung dari

microsoft

• Microsoft Virtual Server,

• VMWare Workstation ( untuk virtualisasi workstation )

• VMWare ESX Server ( untuk virtualisasi server dengan VMWare OS )

• VMWare GSX Server ( untuk virtualisasi server dengan Platform OS, misalnya

linux, windows )

• Xen

(Raffael, 2006)

Gambar 4 menjelaskan virtualisasi dengan ESX Server

Gambar 4 virtualisasi dengan ESX Server

Sebelum Virtualisasi:

• Single OS image per mesin

• Software and hardware terhubung sangat

erat/menyatu

• Menjalankan beberapa aplikasi pada

mesin yang sama sering menyebabkan

konflik

• Sumber daya yang digunakan tidak

fleksibel/efisien dan mahal

Setelah Virtualisasi:

• Ketidak tergantungan Sistem operasi

dan aplikasi pada hardware.

• Virtual mesin bisa dibagi menjadi

beberapa system

• Bisa mengatur Sistem operasi dan dan

aplikasi sebagai unit tunggal dengan

mengenkapsulasinya ke dalam virtual

mesin.

(VMware,2006)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

323

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

Berbagai kelebihan virtualisasi :

1. Penghematan biaya.

Investasi hardware dapat ditekan lebih rendah karena virtualisasi hanya

mendayagunakan kapasitas yang sudah ada. Tak perlu ada penambahan

perangkat komputer dan pheriperal secara fisik. Kalaupun ada penambahan

kapasitas harddisk dan memori, itu lebih ditujukan untuk mendukung stabilitas

kerja komputer induk, yang jika dihitung secara finansial, masih jauh lebih

hemat dibandingkan investasi hardware baru. (Muhammad Rifai, 2006)

Sebagai contoh kasus misalnya di sebuah komputer server dijalankan 4 buah

virtual machine sekaligus. 1 buah menjalankan OS Windows sebagai database

server Oracle, satu buah menjalankan OS Solaris 8, satu buah menjalankan OS

Suse Linux Enterprise, dan satu lagi OS Windows 2000 server. Sehingga, tidak

perlu membeli 4 buah server fisik, cukup membeli 1 buah saja, bahkan VMware

server juga bisa diakses dari jarak jauh sehingga tidak perlu lagi membeli

monitor/keyboard/mouse untuk setiap server (server bisa headless), dan diakses

dari jarak jauh.

2. Murah : VMware Server kini sudah disediakan cuma-cuma, tanpa biaya.

Demikian juga dengan berbagai solusi virtualisasi lainnya; VirtualPC, QEMU,

Xen, dan lain-lainnya.

3. Kemudahan maintenance : Biasanya, untuk maintenance sebuah server, perlu

berada di lokasi server, dan ada monitor/keyboard/mouse untuk setiap server.

Kini VMware server sudah bisa diakses jarak jauh sehingga dari komputer

pribadi bisa mengakses puluhan server sekaligus yang berada di belahan dunia

yang lain sekalipun pada saat yang bersamaan.

4. Reliabilitas : Makin banyak server fisik berarti semakin besar kemungkinan

terjadi kerusakan. Jika jumlah server fisik dikurangi, maka infrastruktur akan

menjadi lebih reliable.

5. Kemudahan backup : Umumnya sebuah server tidak bisa dibackup secara

utuh, karena jika suatu saat backup tersebut di restore di komputer yang berbeda

hardwarenya, maka Windows biasanya akan gagal booting. Biasanya backup per

layanan (database, fileserver, dst), membuat proses backup menjadi lebih rumit,

dan proses restorenya juga lebih memakan waktu. Berbeda dengan konsep

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

324

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

virtual machine, dimana semua konfigurasinya sama. Contoh; semua virtual

machine di VMware akan selalu mendapatkan card VGA VMware, network

card PCnet, dst. Karena itu, backupnya jadi sangat mudah. Cukup meng-copy

virtual machine tersebut (biasanya berupa beberapa file) ke tempat backup dan

merestore kembali dengan cara menginstall VMware di komputer yang lain, dan

meng-copy virtual machine tersebut ke komputer tersebut dan semua kembali

berjalan normal.

6. Kemudahan recovery. Server-server yang dijalankan didalam sebuah mesin

virtual dapat disimpan dalam 1 buah image yang berisi seluruh konfigurasi

sistem. Jika satu saat server tersebut crash, kita tidak perlu melakukan instalasi

dan konfigurasi ulang. Cukup mengambil salinan image yang sudah disimpan,

merestore data hasil backup terakhir dan server berjalan seperti sedia kala.

Hemat waktu, tenaga dan sumber daya.(Harry, 2006)

Kesimpulan

Virtualisasi, di dalam semua tipe, adalah suatu teknologi yang sangat

menguntungkan Organisasi/perusahaan menggunakan virtualisasi untuk sejumlah

manfaat-manfaat penting dan riil. Keuntungan utamanya selain tentang kesinambungan

jalannya organisasi/perusahaan juga tentang fleksibilitas, kesederhanaan, konsolidasi

server, recovery yang cepat, dan pengurangan biaya administrasi, seperti yang

diharapkan.

Manajemen lingkungan virtual bagaimanapun juga, lebih sederhana dibanding dengan

yang bersifat “dedicated”/fisik. .

Saran

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengeloaan lingkungan virtual,

diantaranya adalah pelatihan dan pengembangan staff yang sesuai dan juga perlu secara

hati-hati merencanakan penggunaannya, mempertimbangkan biaya yang mungkin akan

timbul dan kompatibilitas system

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

325

M – 7 : Efisiensi Sumber Daya....... Kuswari Hernawati

Daftar Pustaka Harry Sufehmi, 2006, Pengenalan Virtualisasi, http://harry.sufehmi.com/archives/2006- 07-29-1222/), diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/E-mail, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Dynamic_host_configuration_protocol, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Server, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Hypertext_transfer_protocol, diakses tanggal 19 Mei 2008

http:// id.wikipedia.org/wiki/Domain_name_system, diakses tanggal 19 Mei 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Virtual_private_server Muhammad Rivai Andargini, 2008, Virtualization on Production Server http://www.vavai.com/blog/index.php?/archives/670-Virtualization-on- Production-Server.html, diakses tanggal 19 Mei 2008 Mann Andi ,2006, Virtualization 101: Technologies, Benefits, and Challenges, EMA Senior Analyst Robby Sugara Silaen, 2008, Melangkah ke Dunia Virtualisasi, (http://sugara.wordpress.com/2008/02/25/technet-flash-newsletter-melangkah- ke-dunia-virtualisasi/), diakses tanggal 19 Mei 2008 Raffaell, 2006, Virtualisasi, http://www.myraffaell.com/blog/?p=344, diakses tanggal 19 Mei 2008 VMware, 2006, Virtualization Overview, VMware Inc., USA

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

326

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Ruang Assosiat Terhadap Ruang Fungsi Terboboti [ ]( ), ,X a b v Dan Beberapa Permasalahan

Muslim Ansori1 dan Y.D Sumanto2

1)Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Lampung

Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 E-mail: [email protected]

2)Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Diponegoro Jln. Prof. H. Soedarto SH, Tembalang, Semarang

ABSTRACT

This paper discuss a weighted function space [ ]( ), ,X a b v . We construct conjugate and associate space of this space

by generalize the concept of that of a function space [ ]( ),X a b . We give some conditions to make these two spaces

having relationship and some problems are proposed. Keywords : weighted function space, conjugate space, associate space

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji suatu ruang fungsi terboboti [ ]( ), ,X a b v . Selanjutnya, dikonstruksikan ruang konjugat dan

ruang assosiat terhadap ruang ini dengan menggeneralisasikan konsep pada ruang fungsi [ ]( ),X a b . Terakhir

diberikan kaitan antara kedua ruang tersebut. Beberapa permasalahan baru diberikan. Katakunci: Ruang fungsi terboboti, ruang konjugat, ruang assosiat

PENDAHULUAN

Kajian tentang ruang assosiat terhadap ruang barisan X antara lain telah dilakukan oleh

Polly (1982, 1984). Selanjutnya, dengan memperhatikan kesamaan konsep ruang

barisan dan ruang fungsi maka Sunarsini (1998) mengembangkannya pada ruang fungsi

[ ],X a b , [ ],a b ⊂ℜ . Pada kajian ini, akan dikembangkan suatu konsep generalisasi atau

perumuman konsep ruang assosiat terhadap ruang fungsi terboboti [ ]( , ,X a b v) dengan

fungsi bobot . Pada penulisan seterusnya, 0v > [ ]( ), ,vx X a b v∈ cukup ditulis

[ ]( ), ,x X a b v∈ .

PENGERTIAN DASAR

Lambang [ ],m a b dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi terukur bernilai real pada

selang . Jika [ ,a b] ( ) ( )f t g t= hampir di mana-mana (h.d) pada [ ],a b , artinya ada

[ ],E a b⊂ sehingga ( ) 0Eμ = dan ( ) ( )f t g t= untuk semua [ ], \t a b E∈ , maka fungsi

[ ], ,f g m a b∈ dikatakan sama, ditulis singkat f g= . Diberikan [ ] [ ): , 0,v a b → ∞

sebagai fungsi bobot pada [ ],m a b .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

327

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Definisi 1.1(norma-B)

Diketahui [ ]( , , )X a b v ruang linear atas ℜ .

Fungsi [ ]( ). : , ,X a b v →ℜ disebut norma-B (B-norm) pada [ ]( ), ,X a b v jika untuk

setiap [ ](, , ),x y X a b v∈ dan skalar α ∈ℜ berlaku:

(i) 0x ≥ ,

(i) 0x = jika dan hanya jika x θ= , θ vektor nol,

(ii) x xα α=

(iii) x y x y+ ≤ +

Jika (i’) diganti dengan (i’’) 0x = jika x θ= , maka . disebut norma-semi (semi-

norm).

Selanjutnya, [ ]( )( , , , .X a b v ) disebut ruang bernorma-B, atau ruang bernorma jika .

suatu norma-B dan disebut ruang bernorma-semi jika . merupakan norma-semi.

Definisi 1.2 (Ruang Fungsi Banach Terboboti)

Suatu ruang linear [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ dikatakan Ruang Fungsi Banach Terboboti

disingkat RFBT jika kelima aksioma berikut dipenuhi:

(i) Norma [ ]( , ,X a b vf ) weldefined untuk semua [ ],f m a b∈ dan [ ]( ), ,f X a b v∈

jika dan hanya jika [ ]( ), ,X a b vf < ∞ ,

(ii) [ ]( ) [ ](, , , ,X a b v X a b v

f f=)untuk semua [ ],f m a b∈ .

(iii)Jika 0 nf f≤ h.d pada [ ],a b , maka [ ]( ) [ ]( ), , , ,n X a b v X a b vf f ,

(iv) Jika ( ) ( )E

v E v t dt= ∫ < ∞ , maka [ ]( ), ,E X a b vχ ∈ , dengan Eχ menyatakan

fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ ,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

328

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

(v) Untuk setiap [ ],E a b⊂ dengan ( )Eμ < ∞ , terdapat suatu konstanta EC

sehingga ( ) ( ) [ ]( , ,E X a b vEf t v t dt C f≤∫ ) untuk semua [ ]( ), ,f X a b v∈ .

Diberikan suatu ruang bernorma-B [ ]( )( ) [ ], , , . ,X a b v m a b⊂ dan [ ]( )0 , ,X a b v

[ ]( , , )X a b v= ruang bernorma terhadap norma ( )0. .= . Untuk setiap bilangan asli ,

dibentuk himpunan

k

[ ]( ) [ ] ( ) ( ) ( ) [ ]( ){ }1, , , : , , ,b

k kaX a b v g m a b f t g t v t dt f X a b v−= ∈ < ∞ ∈∫ .

Mudah dipahami bahwa [ ]( ), ,kX a b v merupakan ruang linear atas field . ℜ

Didefinisikan fungsi ( ) [ ]( ). : , ,k

kX a b v →ℜ dengan rumus

[ ]( ) ( ){ }1

1sup : , , dan 1b k

kag fgv f X a b v f −

−= ∈∫ ≤

untuk setiap [ ]( ), ,kg X a b v∈ .

Karena [ ]( )0 , ,X a b v [ ]( , , )X a b v= , maka untuk menyederhanakan pemakaian setiap

[ ]( 0 , , )X a b v ditulis dengan [ ]( ), ,X a b v .

Selanjutnya, akan diperlihatkan bahwa ( ). k merupakan norma-semi, khususnya untuk

, karena akan dipergunakan untuk pemahasan berikutnya. Dengan demikian

diperoleh

1k =

[ ]( ) [ ] ( ) ( ) ( ) [ ]( ){ }1 , , , : , , ,b

aX a b v g m a b f t g t v t dt f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫

dan

( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b

ag fgv f X a b v f= ∈∫ ≤

untuk setiap [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) . Jelas bahwa [ ]( )1 , ,X a b v ruang linear atas ℜ .

Bahwa ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v dapat diperlihatkan pada teorema

berikut ini:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

329

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Teorema 1.3 ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v .

Bukti:

(i) Jika [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka ( )1 0g ≥ , sebab: ( )1 0b

ag fgv≥ ∫ ≥ untuk setiap

[ ]( ), ,f X a b v∈ .

(i') jika g θ= , maka jelas bahwa ( )1 0g =

(ii) Untuk setiap [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) dan skalar α ∈ℜ , ( ) ( )1 1gα α= g sebab:

( ) ( ) [ ]{ }[ ]{ }[ ]{ }

( )

1

1

sup : , , 1

sup : , , 1

sup : , , 1

b

a

b

a

b

a

g f g v f X a b f

fgv f X a b f

a fgv f X a b f

a g

α α

α

= ∈

= ∈

= ∈

=

(iii)Untuk setiap [ ]( ) ( ) ( ) ( )1 1

1, , , ,g h X a b v g h g h∈ + ≤1

+ sebab :

( ) ( ) [ ]{ }[ ]{ }

[ ]{ }[ ]{ } [ ]{ }

( ) ( )

1

1 1

sup : , , 1

sup : , , 1

sup : , , 1

sup : , , 1 sup : , , 1

b

a

b

a

b b

a a

b b

a a

g h f g h v f X a b f

fg hv f X a b f

fgv fhv f X a b f

fgv f X a b f fhv f X a b f

g h

+ = + ∈ ≤

= + ∈ ≤

≤ + ∈ ≤

≤ ∈ ≤ + ∈

≤ +

∫ ∫

∫ ∫ ≤

Terbukti bahwa ( )1. merupakan norma-semi pada [ ]( )1 , ,X a b v . Jadi

[ ]( ) ( )( )1

1 , , , .X a b v merupakan ruang bernorma-semi dan norma-semi assosiat ke-1

terhadap . .

Definisi 1.3(Fungsi Karakteristik)

Jika [ ],E a b⊂ , maka fungsi [ ]: ,E a bχ →ℜ sehingga

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

330

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

[ ]1,0, , \E

t Et a b E

χ∈⎧

= ⎨ ∈⎩

disebut fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ .

Selanjutnya, dengan mengasumsikan bahwa [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ dengan

1Ef χ= ≤ dan [ ]( )1 , ,X a b v memuat fungsi terukur non negatip, akan dibuktikan

bahwa ( )1. merupakan norma pada [ ]( )1 , ,X a b v , sebagai berikut:

Teorema 1.4

Jika [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ dengan 1Ef χ= ≤ , maka ( )1. merupakan norma-B pada

[ ]( )1 , ,X a b v .

Bukti: Diketahui bahwa fungsi [ ]( ), ,Ef X a b vχ= ∈ sehingga 1Ef χ= ≤ , maka

kondisi (i),(ii),(iii) pada Teorema 1.3 sudah terpenuhi. Tinggal menunjukkan kondisi

(i’’) yaitu jika ( )1 0g = , maka g θ= , sebagai berikut:

Berdasarkan definisi ( )1. diperoleh:

Jika

( ) [ ]( ){ }[ ]( ){ }

1 sup : , , , 1

sup : , , , 1 0

b

a

b

E Ea

g fgv f X a b v f

gv f X a b vχ χ

= ∈ ≤

= ∈

∫ ≤ =

maka

[ ]( )0, untuk setiap , , dengan 1b

E Eagv f X a b vχ χ= ∈∫ ≤

atau

[ ]0, untuk setiap , dengan 1b

E Eagv f X a bχ χ= ∈∫ ≤

⇔ 0E

gv =∫ g θ⇔ = ,θ fungsi nol.

Dengan demikian terbukti bahwa ( )1. merupakan norma pada [ ]( )1 , ,X a b v .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

331

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Definisi 1.5 (Norma saturated)

Norma . dikatakan saturated pada himpunan terukur E , jika dan hanya jika

[ ]( , , )X a b v memuat semua fungsi terukur [ ], , ,Ef f E a b⊂ dengan

( ) ( )[ ]0 ,E

f t t Ef t

t a b E⎧ ∈⎪= ⎨ ∈⎪⎩ \ .

Telah dibuktikan bahwa [ ]( 1 , , )X a b v merupakan ruang bernorma terhadap norma ( )1. ,

maka pengertian saturated berlaku pula pada [ ]( )1 , ,X a b v . Mudah dipahami bahwa jika

. saturated, maka [ ]( 1 , , )X a b v memuat fungsi karakteristik pada [ ],E a b⊂ dan

fungsi iδ dengan

( ) [ ][ ]

1, , ,0, , ,i

i t i a bt

i t i a bδ

⎧ = ∈⎪= ⎨ ≠ ∈⎪⎩

Teorema 1.6 (Ketidaksamaan Holder)

Untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dan [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka berlaku

( )1

Efgv f g≤∫

Bukti:Diketahui [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka b

afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dan

( )1g < ∞ , dengan

( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b

ag fgv f X a b v f= ∈∫ ≤

Dengan demikian telah diperoleh f < ∞ dan ( )1g < ∞ .

Kejadian I:

Jika f θ= atau g θ= , jelas bahwa ( )1

Efgv f g≤∫ .

Kejadian II:

Jika f θ≠ dan g θ≠ , diambil fungsi [ ]( ), ,h X a b v∈ dengan fhf

= sehingga

1f

hf

= = . Berdasarkan definisi ( )1. diperoleh:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

332

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

( ) [ ]( ){ }1 sup : , , dan 1b

ag hgv h X a b v h= ∈ ≤∫ < ∞

akibatnya: ( )1b

ahgv g≤∫

untuk setiap [ ]( ), ,h X a b v∈ , dengan 1h ≤ dan

( )11b b

a a

f gv fgv gf f

= ≤∫ ∫ .

Jadi terbukti ( )1

Efgv f g≤∫ .

Teorema 1.7.

Jika ( )1. saturated, dan { } [ ],nf X a b⊂ dengan 0,nf n→ →∞ , maka

{ } 0,n Ef nχ → →∞ .

Bukti: Diketahui ( )1. saturated. Menurut definisi jelas bahwa [ ]( )1 , ,X a b v memuat

fungsi Eχ dengan

( ) [ ]1,0, , \E

t Et

t a b Eχ

∈⎧= ⎨ ∈⎩

Diambil fungsi [ ]( ), ,nf X a b v∈ dengan [ ]( )1 , ,E X a b vχ ∈ . Menurut teorema

sebelumnya diperoleh ( )1

E EEf fχ χ≤∫ .

Karena { } 0,n Ef nχ → →∞ , maka ( )1 0, .n Ef nχ → →∞ Akibatnya,

{ } 0,n Ef nχ → →∞ .

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Pada bagian ini, akan diperkenalkan ruang konjugat dan ruang assosiat terhadap

[ ]( , , )X a b v . kemudian akan diselidiki keterkaitan antara keduanya.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

333

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Definisi 2.1. Diberikan [ ]( ), ,X a b v dan [ ]( ), ,Y a b v masing-masing ruang bernorma.

[ ]( ) [ ](( , , , , ,cL X a b v Y a b v)) dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi linear kontinu

dari [ ]( ), ,X a b v ke [ ]( ), ,Y a b v .

Mudah dipahami bahwa [ ]( ) [ ]( )( , , , , ,cL X a b v Y a b v ) merupakan ruang bernorma-B

terhadap norma:

( ) [ ]( ){ }sup : 1, , ,F F f f f X a b= ≤ ∈ v .

(Bukti lihat Kreyzig,1978, hal 118).

Selanjutnya, jika [ ]( )( ), , , .Y a b v ruang Banach dan [ ]( ), ,Y a b v = ℜ , maka

[ ]( )( , , ,cL X a b v ℜ)

)

, merupakan ruang Banach.

Definisi 2.2

[ ]( )( ) [ ](, , , , ,cL X a b v X a b v∗

ℜ = dimaksudkan sebagai koleksi semua fungsi linear

kontinu dari [ ]( )X , ,a b v ℜ ke atau koleksi semua fungsional linear kontinu pada

[ ]( , , )X a b v , dan disebu ruang konjugat terhadap [ ]( ), ,X a b v .

Berdasarkan definisi di atas diturunkan teorema berikut ini:

Teorema 2.3 Jika [ ]( )1 , ,g X a b v∈ maka [ ]( ): , ,gT X a b v →ℜ dengan rumus

untuk setiap ( )b

g aT f fgv= ∫ [ ]( ), ,f X a b v∈ , maka gT merupakan fungsional linear

terbatas pada [ ]( ), ,X a b v dengan ( )1

gT g= .

Bukti:

(i) gT fungsional linear ,sebab : untuk setiap [ ]( ), , ,f h X a b v∈ dan skalar sebarang

,α β ∈ℜ berlaku:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

334

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

( ) ( )

( ) ( ).

b

g a

b b

a a

b b

a a

g g

T f h f h gv

fgv hgv

fgv hgv

T f T h

α β α β

α β

α β

α β

+ = +

= +

= +

= +

∫∫ ∫∫ ∫

(ii) Untuk setiap [ ]( )1 , ,g X a b v∈ dan [ ]( ), , ,f h X a b v∈ , diperoleh

( ) ( ) ( )

( )

b b b

g g a a a

g g

T f T h fgv hgv f h gv

T f h T f h ε

− = − = −

= − ≤ − <

∫ ∫ ∫

asalkan 11g

f hT

δ− < =+

Berdasarkan (i) dan (ii) terbukti bahwa gT merupakan fungsional linear terbatas pada

[ ]( ), ,X a b v .

Tinggal menunjukkan bahwa ( )1gT g= , sebagai berikut:

( ) [ ]( ){ }[ ]( ){ }

( )1

sup : , , dengan 1

sup : , , dengan 1

g g

b

a

T T f f X a b v f

fgv f X a b v f

g

= ∈

= ∈

=

Dari teorema di atas, diperoleh bahwa [ ]( ), ,gT X a b v∗

∈ dengan [ ]( ), ,X a b v∗ adalah

ruang konjugat terhadap [ ]( ), ,X a b v dan ( )b

g aT f fgv= ∫ .

Definisi 2.4

Ruang Assosiat terhadap [ ]( , , )X a b v , dinotasikan dengan [ ]( )' , ,X a b v dimaksudkan

sebagai koleksi semua fungsi [ ],g m a b∈ sehingg b

afgv < ∞∫ , untuk setiap

[ ]( ), ,f X a b v∈ . Jadi [ ]( ) [ ] [ ]( ){ }' , , , : , , ,b

aX a b v g m a b fgv f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫

Sebelum menyajikan keterkaitan antara ruang konjugat dengan ruang assosiat

terhadap [ ]( , , )X a b v , terlebih dahulu disajikan teorema berikut ini.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

335

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

Teorema 2.5

Diberikan ( )1. saturated dan [ ]( , , )X a b v lengkap, maka [ ]( )1 , ,g X a b v∈ jika dan

hanya jika [ ]( )' , ,g X a b v∈

Bukti: Diketahui ( )⇒ [ ]( )1 , ,g X a b v∈ , maka b

afgv < ∞∫ , untuk setiap

[ ]( , , )f X a b v∈ . Akibatnya, b

afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ . Dengan kata

lain, [ ]( )' , ,g X a b v∈ .

(⇐)Diketahui [ ]( )' , ,g X a b v∈ , maka b

afgv < ∞∫ , untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ . Akan

dibuktikan bahwa [ ]( 1 , ,g X a b v∈ ) . Diambil barisan { } [ ],nx a b⊂ sehingga

. Karena ,nx b n→ →∞ ( )1. saturated, maka [ ]( )1 , ,X a b v memuat semua fungsi nxg ,

dengan

( ) ( ) ,0,n

nx

n

g t t xg t

t x⎧ ≤

= ⎨>⎩

Diambil fungsi [ ]( ), ,f X a b v∈ . Tulis ( ) nx

n aF f f= gv∫ . Menurut teorema sebelumnya

diperoleh ( ) nx

n aF f fgv= < ∞∫ . Jadi { }nF barisan fungsional linear terbatas pada

[ ]( , , )X a b v . Maka menurut teorema keterbatasan seragam diperoleh { }sup nF < ∞ ,

untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ . Akibatnya, terdapat suatu konstanta

sehingga 0K ≥

nF K≤ < ∞

untuk semua 1, 2,...n =

Dalam hal ini khususnya ( )nF f K≤ , untuk semua 1, 2,...n = dan semua

[ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ .

Selanjutnya,

( )limb

nn aF f fgv K

→∞= ≤ < ∞∫

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

336

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

untuk setiap [ ]( ), ,f X a b v∈ dengan 1f ≤ . jadi b

afgv < ∞∫ , untuk setiap

[ ]( , , )f X a b v∈ . dengan kata lain, [ ]( )1 , ,g X a b v∈ .

Di bawah ini akan diperkenalkan sifat AK pada ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v . Kemudian

akan ditunjukkan bahwa ruang assosiat terhadap [ ]( ), ,X a b v yaitu [ ]( )' , ,X a b v sama

dengan ruang konjugatnya, [ ]( ), ,X a b v∗.

Definisi 2.6

Ruang [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ dikatakan mempunyai sifat AK jika [ ]( ), ,X a b v memuat

fungsi karakteristik dan untuk setiap [ ]( ), ,x ,f f X a b v∈ berakibat 0,xf f x− → → b ,

dengan

( ) ( ) [ ][ ]

, ; ,0 ;x ,

f t t x x a bf t

t x x a b⎧ ≤ ∈⎪= ⎨ < ∈⎪⎩

Teorema 2.7

Jika ( )1. saturated, [ ]( , , )X a b v lengkap dan mempunyai sifat AK, maka

[ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗

= .

Bukti: Diambil sebarang [ ]( )' , ,g X a b v∈ . Karena ( )1. saturated, [ ]( ), ,X a b v lengkap,

maka menurut teorema sebelumnya, [ ]( )1 , ,g X a b v∈ . Oleh karena itu,

untuk setiap

( )b

g aT f fgv= ∫

[ ]( , , )f X a b v∈ merupakan fungsional; linear terbatas, dengan norma

( )1

gT g= . Jadi [ ]( ), ,g X a b v∗

∈ . Dengan kata lain,

[ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗

⊂ ……(i).

Sebaliknya, diambil [ ]( ), ,h X a b v∗

∈ , dan [ ]( ), ,t X a b vδ ∈ dengan

( ) [ ][ ]

1, , ,0, , ,t

i t i a bi

i t i a bδ

⎧ = ∈⎪= ⎨ ≠ ∈⎪⎩.

Diambil [ ]( ), ,f X a b v∈ dan [ ]( ), ,xf X a b v∈ dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

337

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

( ) ( ) [ ][ ]

, , ,0, , ,x

f t t x x a bf t

t x x a b⎧ ≤ ∈⎪= ⎨ > ∈⎪⎩

Diperoleh ( )x

x taf t f vδ= ∫ . Karena [ ]( ), ,X a b v mempunyai sifat AK, maka

0,xf f x− → → b

< ∞

. Selanjunya karena kontinu, maka h

( ) ( ) ( )lim limx

x tx b x b ah f h f fh vδ

→ →= = ∫

Akibatnya, . Jadi fungsi ( )b

tafh vδ < ∞∫ ( ) [ ]( ), ,th X a bδ v

∗∈ . Karena ( )1. saturated dan

[ ]( , , )X a b v lengkap, maka menurut teorema sebelumnya, ( ) [ ]( )1 , ,th X a bδ ∈ v dan

( ) [ ]( ){ } ( ) ( )1sup : , , ,dan 1

b

t tah fh v f X a b v f hδ δ= ∈ ≤ =∫

ini menunjukkan bahwa [ ]( ), ,h X a b v∗

∈ . Jadi [ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗

⊃ ……….(ii).

Berdasarkan (i) dan (ii), diperoleh [ ]( ) [ ]( )' , , , ,X a b v X a b v∗

= .

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ruang assosiat terhadap [ ]( ), ,X a b v

yaitu

[ ]( ) [ ] [ ]( ){ }' , , , : , , ,b

aX a b v g m a b fgv f X a b v= ∈ < ∞ ∈∫

dengan

[ ]( ) [ ]( ){ }' , ,sup : , , dengan 1

b

X a b v ag fgv f X a b v= ∈∫ f ≤

memenuhi Definisi 1.2, sebagai salah satu Ruang Fungsi Banach terboboti, RFBT.

KESIMPULAN DAN MASALAH TERBUKA

Telah dikonstruksi transformasi linear dan kontinu pada ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v dan

ruang assosiat terhadap ruang fungsi [ ]( ), ,X a b v dapat dilakukan dengan memberikan

syarat bahwa suatu ruang linear [ ]( ) [ ], , ,X a b v m a b⊂ memenuhi kelima aksioma

berikut dipenuhi:

(i) Norma [ ]( , ,X a b vf ) weldefined untuk semua [ ],f m a b∈ dan [ ]( ), ,f X a b v∈ jika

dan hanya jika [ ]( ), ,X a b vf < ∞ ,

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

338

M – 8 : Ruang Assosiat Terhadap……… Muslim Ansori, Y.D Sumanto

(ii) [ ]( ) [ ](, , , ,X a b v X a b v

f f=)untuk semua [ ],f m a b∈ .

(iii)Jika 0 nf f≤ h.d pada [ , maka ],a b [ ]( ) [ ]( ), , , ,n X a b v X a b vf f ,

(iv) Jika ( ) ( )E

v E v t dt= ∫ < ∞ , maka [ ]( ), ,E X a b vχ ∈ , dengan Eχ menyatakan fungsi

karakteristik pada [ ],E a b⊂ ,

(v) Untuk setiap [ ],E a b⊂ dengan ( )Eμ < ∞ , terdapat suatu konstanta EC sehingga

( ) ( ) [ ]( ) untuk semua , ,E X a b vE

f t v t dt C f≤∫ [ ]( ), ,f X a b v∈ .

Beberapa masalah terbuka dapat dikemukakan sebagai berikut : didefinisikan suatu

operator [ ]( ): , , qL X a b v L→ dengan rumus

( ) ( ) ( ),b

aL f l x t f t= ∫ dt

dengan ( ) [ ] [ ]( ), ,l x t m a b a b∈ × , . Didefinisikan [ ]( )' , , ,1qL X a b v q< < ∞ sebagai

koleksi semua ( ) [ ] [ ]( ), ,l x t m a b a b∈ × , sehingga

[ ]( )( )( )

[ ]( )

1

' , ,

' , ,

,q

q

X a b v

q

b

L X a b v a

l x tl

v t

⎛ ⎞⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟= < ∞⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠∫

Patut diselidiki apakah ruang [ ]( )' , , ,1qL X a b v q< < ∞ yang dilengkapi norma . di

atas merupakan ruang Banach. Selanjutnya, jika ruang tersebut merupakan ruang

Banach perlu dicari keterkaitan antara L dan l , khususnya kondisi [ ]( )' , ,qL X a b vL l≤

yang mempunyai dampak lebih luas dalam penelitian lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Kreyzig, E., 1979, Introductory Functional Analysis with Application, John Wiley and

Sons, New York. Royden, H.L., 1988, Real Analysis, Macmillan Publ. Company, New York. Sunarsini, 1998, Ruang A-Assosiat terhadap fungsi [ ],X a b , Tesis, UGM. Sy, P.W., 1982, Kothe Dual and Matrix Transformations, Dissertation,University of

The Philippines. Sy, P.W., 1982, A-Associate Spaces and Matrix Transformations, Bull. SEA. Math.

Soc. Vol. 8 No. 1, Hal. 29-35.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

339

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

A Henstock Integral For Multifunctions

Y. D. Sumanto1) and Muslim Ansori 2)

1)Mathematics Departement, Universitas Diponegoro Jln. Prof H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang. Email: [email protected]

2)Mathematics Departement, Universitas Lampung Jln. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung. Email: [email protected]

ABSTRACT In this paper we introduce a “generalized” Henstock integration for Banach-valued multifunctions with weakly compact and convex values. Keywords: Henstock integral, multifunction, Banach spaces, Rådstrom embedding theorem.

I. INTRODUCTION The notion of integral of a multivalued function is very useful in many branches of mathematics like mathematical economics, control theory, differential inclusions, convex analysis, etc. It has been introduced by many authors and in different ways. The first was Aumann in 1965, in order to apply it to general equilibria in economics. This integral was built using selections, but some properties were missing, so Debreu introduced the multivalued Bochner integral. In both cases the definition of measurable multifunction is crucial since it is necessary to ensure that at least a selection exists. Here we introduce a new kind of multivalued integral which does not need a priori the notion of measurability; this fact looks interesting for example in differential inclusions. Here we extend these results in two directions: we consider in fact multifunctions defined in the whole real line and moreover taking values in a Banach space not necessarily separable. We introduce the (∗ )-integral by using Henstock integrable single valued functions. When the Henstock multivalued integral exists, then the(∗ )-integral exists too and it coincides with it, and so all the properties of the single valued Henstock integral are inherited by the multivalued one. For Henstock and McShane Integral with measurable concept we refer to Gordon,1990, Fremlin,1994,Ansori,2007, Ansori and Sumanto,2007.

II. PRELIMINARIES AND KNOWN RESULTS ON THE

GENERALIZED HENSTOCK INTEGRAL.

The generalized Henstock integral (Henstock integral briefly), as a limit of suitable

Riemann sums, was developed in the vector valued. In this section, we assume that S is

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

341

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

a space and T a topology on S making ( S,T,Σ,μ ) a non–empty σ -finite quasi-Radon

measure space which is outer regular, namely such that

( ){ } ∑∈∀Τ⊆⊆= BGBGB ,:inf)(μ

A generalized Perron partition P of S is disjoint sequence ( ) Ν∈iii tE , of measurable

sets of finite measure, with for every Sti ∈ Ν∈i and 0)\( =ii ES Uμ

A gauge on S is a function ∆ : S → T such that ∈s ∆(s) for every Ss∈ . A generalized

Perron partition is ∆-fine if iii tE ),( ⊂∈ ii Et ∆ ( ti ) for every Ν∈i .

From now on the symbol P we denote the class of all generalized Perron partitions of

[a,b], and with P∆ those elements from P that are ∆-fine.

Let X be a Banachh space. We say that:

Definition 1 A function is a Henstock integrable,, with integral w, if for

every

XSf →:

0>ε there exists a gauge ∆ : S→ T such that

( ) εμ ≤− ∑=+∞→

n

iii

ntfEw

1)(suplim

For every generalized P∆ Perron partition . In this case, we write iii tE ),( wfs

=∫II. RESULTS AND DISCUSSION : APPLICATIONS TO MULTIVALUED

INTEGRATION

Throughout this section, let S = [ a,b ], where [ ] baba <+∞∞−∈ ,,, . Moreover, assume

that T, Σ and μ are respectively the families of all open subsets of [ a,b ], the −σ algebra

of all Lebesgue measurable subsets of [ a,b ] and the lebesgue measure on [a,b]

respectively.

Let cwk(X) [ck(X)] denote the family of all convex and weakly compact

[respectively convex and compact] subsets of a Banach space X. We denote with the

symbol the usual distance between a point and a nonempty set , namely ),( Cxd XC ⊂

{ }CyyxCxd ∈−= :inf),( , and by U ( )ε,C the ε-neighborhood of the set C, i.e.

}:{),( εε ≤−∈∃∈= zxwithCxEzCU

Observe that, if C is convex, then ( )( )εε ,),( CUcoCU = .

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

342

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

If C, D are two nonempty subsets of X, we denote with the symbol the excess of

C with respect to D, namely

),( DCe

( ){ }CxDxdDCe ∈= :,sup),( , while the Hausdoff

distance between c and D is ( ){ }),(,,max),( EDeDCeDCh = . We remember that

if and only if , where the symbol denotes the closure of

the considered set with respect to the norm topology.

0),( =Ch }{}{ DclCcl = {.}cl

Definition 2 Let F: [a,b] → 2X \ Ø be a multifunction. We call (∗ )-integral of F over

[a,b] the set Ф(F, [a,b]) given by: Ф(F, [a,b]) = ∃>∀∈ ,0:{ εXx a gauge ∆ : for every

generalized P∆ Perron partition ( ) Niii tE ∈, there holds

where, as usual, ( ) ( ) },suplim1

εμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ ∑=

n

iii

nEtFxd

( ) ( ) ( ) ( ){ }∑∑ ==∈=

n

i iiiiin

i i tFxExEtF11

:: μμ

Observe that, if F is single-valued, then Ф(F, [a,b]) coincides with the Henstock

integral, if it exists. We now show that :

Proposition 1 If F is bounded valyed, then

( )( )

( ) ( )UIIU I∞

=

= => Δ Ρ∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛=Φ ∑

Δ 1 10 ,

,],[m mn

n

iii

tE

EtFUbaFiii

εμε

………….(1)

Proof. Let ; for every ε > 0, there exists a gauge ∆ ( ε / 2 ) such that for

every generalized P

( ],[, baFz Φ∈ )

∆ Perron partition ( )iii tE ,

( ) ( ) ( ) ( ) 2,supinf,suplim111

εμμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛=⎟

⎞⎜⎝

⎛ ∑∑=≥≥

=

n

iii

mnm

n

iii

nEtFzdEtFzd

From this it follows that there exists Nm∈ such that

( ) ( ) εμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ ∑=

n

iii EtFzd

1, for every , mn ≥

and thus

( ) ( )UI∞

=

= =

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

1 1,

m mn

n

iii EtFUz εμ

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

343

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

Hence, . ( )

( ) ( )UIIU I∞

=

= => Δ Ρ∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

Δ 1 10 ,

,m mn

n

iii

tE

EtFUziii

εμε

Conversely, let . Then, for every ε >

0, there exists a gauge ∆ such that, for every generalized P

( )( ) ( )UIIU I

=

= => Δ Ρ∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

Δ 1 10 ,

,m mn

n

iii

tE

EtFUziii

εμε

∆ Perron partition , ( )iii tE ,

( ) ( )UI∞

=

= =

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

1 1,

m mn

n

iii EtFUz εμ ,

which means that for every 0>ε , there exists a gauge ∆ such that, for every

generalized P∆ Perron partition , ( )iii tE ,

( ) ( ) ,,suplim1

εμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ ∑=

n

iii

nEtFzd

namely . ( )],[, baFz Φ∈

Remark 1 (a) Observe that, by definition, the set ( )],[, baFΦ is closed; in fact if

is a sequence in which converges to

( )nnz

( ],[, baFΦ ) Xz ∈ then, for every ε > 0 there

exists an integer k and a gauge kΔ such that for every generalized P∆ Perron

partition ( )iii tE ,

,2ε≤− kzz ( ) ( ) ;2,suplim1

εμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ ∑=

∞→

n

iiikn

EtFzd

then

( ) ( ) ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ ∑=

∞→

n

iiin

EtFzd1

,suplim μ ( ) ( ) εμ ≤⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛+− ∑

=∞→

n

iiikkn

EtFzdzz1

),(suplim

and therefore, by definition, ( )],[, baFz Φ∈ .

(b) Moreover, if F is closed and convex valued, ( )],[, baFΦ is convex too.

In fact, since

[ ]( )( )

( ) ( )UIIU I∞

=

= => Δ Ρ∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛=Φ ∑

Δ 1 10 ,

,,,m mn

n

iii

tE

EtFUbaFiii

εμε

……….(2)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

344

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

If then for every ε > 0 there exists ( ],[,, baFyx Φ∈ ) yx ΔΔ , such that

( )( ) ( )UII

=

= =∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

Δ 1 1,

,m mn

n

iii

PtE

EtFUxxiii

εμ

( )( ) ( )UII

=

= =∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

Δ 1 1,

,m mn

n

iii

PtE

EtFUyyiii

εμ .

Let yx Δ+Δ=Δ . Then, for every generalized P∆ Perron partition , we

have

( iii tE , )

}

( )( ) ( )UII

=

= =∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

Δ 1 1,

,,m mn

n

iii

PtE

EtFUyxiii

εμ

and so there are two integers such that 21,mm

( ) ( ) ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

=

=

n

iiii

mn

EtFUx1

,1

εμI ,

( ) ( ) ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

=

=

n

iiii

mn

EtFUy1

,2

εμI .

If we take { 21,max mmm = then

( ) ( ) ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈ ∑

=

=

n

iiii

mn

EtFUyx1

,, εμI

and so, since this last set is convex, for every [ ]1,0∈a ,

( )( )

( ) ( )UII∞

=

= =∈

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛∈−+ ∑

Δ 1 1,

,1m mn

n

iii

PtE

EtFUyaaxiii

εμ .

Then the convexity of follows. ( ],[, baFΦ )

(c) If F is integrably bounded, namely there exists [ ]( )baLg ,1∈ such that

a.e., then ( ) { }( ) tgtFh ≤0, ( ) ( )],[, baFΦ is bounded. Indeed for every

and for every ( ],[, baFz Φ∈ ) 0>ε there are a gauge ∆ and a point

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

345

M – 9 : A Henstock Integral For Multifunctions Y. D. Sumanto, Muslim Ansori

( ) ( )iin

i i EtFx μ∑ =∈

1 (where ( )iii tE , is generalized P∆ Perron partition) such

that ε≤− xz and hence

1gxxzz +≤+−≤ ε

By the arbitrariness of , it follows that z ( )],[, baFΦ is bounded.

III. CONCLUDING REMARKS

A kind of multivalued integral which does not need a priori the notion of measurability.

Extention of these results are consider in two directions: we consider in fact

multifunctions defined in the whole real line and moreover taking values in a Banach

space not necessarily separable.

The (∗ )-integral by using Henstock integrable is introduced by single valued functions.

When the Henstock multivalued integral exists, then the(∗ )-integral exists too and it

coincides with it, and so all the properties of the single valued Henstock integral are

inherited by the multivalued one.

REFERENCES Ansori,M., 2007, On the Henstock-Kurzweil integral for values in Riesz spaces defined

on Euclidean spaces, Proceeding of National seminar FMIPA, UNY, Yogyakarta. Ansori,M., and Sumanto,Y,D.,2007, On the convergence of the McShane integral for

Riesz spaces valued function defined on real line, Phytagoras Journal,FMIPA, UNY, 3, 2,15-25

Aumann, R, J., Integral for set-valued functions, J. math. Anal. Appl., 12,1-12 Debrue, B. and Urbina, W., Measurable functions in non separable Banach spaces,

SIAM J. Math anal., 28, 5, 1212-1226. Fremlin, D,H and Mendoza, J., 1994, On the integration ofvector-valued functions,

Illinois J. math., 38,127-147. Gordon, R., 1990, The McShane integral of Banach valued functions, Illinois, J.,

math.,34,3,557-567.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

346

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert

DEDE SURATMAN

ABSTRAK. Misalkan A aljabar-C*. Modul-A Hilbert X adalah sebuah ruang vektor bernorm X yang lengkap terhadap norm yang dibentuk dari hasilkali dalam yang bernilai di A. Secara umum ruang operator linier-A terbatas pada modul-A Hilbert membentuk ruang Banach, tetapi belum tentu membentuk aljabar-C*. Disini ditunjukkan dua fakta penting yaitu terdapat operator linier-A terbatas pada sebuah modul-A Hilbert yang tidak adjointable dan himpunan semua pemetaan adjointable pada modul-A Hilbert X, yang dinotasikan ℒ (X), membentuk aljabar-C*. Pada bagian akhir dibahas bahwa untuk

sembarang aljabar-C* A terdapat isomorfisma dari A ke subaljabar dari ℒ (X).

Pendahuluan

Aljabar-C* adalah sebuah aljabar-* Banach A yang memenuhi ||a*a|| = ||a||2 , ∀ a ∈ A.

Salah satu contoh aljabar-C* yang sangat menarik adalah ruang operator linier terbatas pada

ruang Hilbert H biasa dinotasikan B(H). Untuk setiap aljabar-C* A terdapat homomorfisma

nondegenerate faithful dari A ke ruang operator linier terbatas pada suatu ruang Hilbert H

([RW], Theorem A.11), yang dikenal dengan teorema Gelfand-Naimark.

Bermula dari sebuah aljabar-C* A, dibangun modul-A Hilbert X, yaitu suatu ruang

hasilkali dalam yang bernilai di A yang lengkap terhadap norm yang dibangun dari hasilkali

dalam tersebut, Murphy dalam [Mur] dan Lance dalam [Lan] dituliskan sebagai Hilbert C*-

module. Sebuah ruang Hilbert H dapat dipandang sebagai modul-C Hilbert, juga sebuah

aljabar-C* A dapat dipandang sebagai modul-A Hilbert.

Pada bagian akhir dari tulisan ini dibahas pemetaan adjointable, yaitu sebuah pemetaan

pada modul-A Hilbert X yang mempunyai adjoint. Kemudian pada ([RW], lemma 2.18)

ditunjukkan bahwa setiap pemetaan ad- jointable merupakan operator linier-A terbatas.

Tetapi tidak semua operator linier-A terbatas merupakan pemetaan adjointable. Hal ini

yang mengakibatkan ruang operator linier-A terbatas tidak membentuk aljabar-C*,

namun hanya membentuk ruang Banach. Himpunan semua pemetaan ad- jointable pada

modul-A Hilbert, dinotasikan £(X), membentuk aljabar-C*. Selanjutnya ditunjukkan bahwa

untuk sembarang aljabar-C* A terdapat isomorfisma dari A pada subaljabar dari ℒ (X), dengan

X adalah modul-A Hilbert.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

347

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

Modul Hilbert

Sebelum masuk dalam pembahasan modul Hilbert dibahas lebih dulu aljabarC*. Sebuah

aljabar-* Banach A dikatakan aljabar - C* apabila memenuhi

|| a*a || = || a ||2, ∀ a ∈ A.

Unsur a di aljabar-C* A dikatakan positif, a≥ 0, apabila terdapat unsur b ∈ A

sehingga a = b*b. Contoh aljabar-C* yang paling sederhana adalah himpunan bilangan

kompleks C dengan operasi aljabar biasa, norm

|| z || = | z | , dan z* = z sebagai involusi. Kemudian contoh yang cukup menarik

adalah ruang dari semua operator linier terbatas pada sebuah ruang Hilbert B(H) dengan

operasi jumlah (S + T)h = S(h) + T(h) , operasi kali (ST)h = S ο T(h), norm || T || =

sup{ || Th || : h ∈ H dan || h || ≤ 1}, dan adjoint operator sebagai involusi. Ruang semua

fungsi kontinu bernilai kompleks pada sebuah ruang kompak C(X) juga merupakan

aljabar - C* dengan operasi jumlah (f + g)x = f(x) + g(x) , operasi kali (fg)x = f(x)g(x),

norm || f || = sup{ || f(x) || : x ∈ X }, dan f*(x) = )(xf sebagai involusi. Untuk

selanjutnya dalam tulisan ini A menyatakan aljabar-C*

Definisi 2.1. Ruang vektor X dikatakan sebagai modul-A kanan apabila X dilengkapi

dengan sebuah pemetaan bilinier (x, a) → x ⋅ a dari X × A ke X sehingga untuk setiap x, y

∈ X, a, b ∈ A, dan α ∈ C berlaku:

( i ) ( x + y ) ⋅ a = x ⋅ a + y ⋅ a

( i i ) x ⋅ ( a + b ) = x ⋅ a + x ⋅ b

( i i i ) (x ⋅ a) ⋅ b = x⋅ (ab)

( i v ) (α x) ⋅ a = x⋅ (α a).

Notasi yang sering digunakan adalah XA atau X saja sebagai modul-A kanan.

Definisi 2.2. Misalkan X adalah modul-A kanan. Pemetaan ⟨⋅ , ⋅⟩ : X × X → A

dikatakan hasilkali dalam yang bernilai di A bila untuk setiap x, y, z ∈ X, a ∈ A,

dan α, β ∈ C berlaku:

(i) ⟨x,(α y + β z)⟩ = α ⟨x,y⟩ + β ⟨x,z⟩

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

348

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

(ii) ⟨x,y-a⟩ = ⟨x,y⟩a

(iii) ⟨x,y⟩* = ⟨y,x⟩

(iv) ⟨x,x⟩ ≥ 0

( v ) ⟨x , x ⟩ = 0 ⇔ x = 0 .

Dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa || x || := || ⟨x , x⟩ ||1/2 merupakan norm pada A.

Definisi 2.3. Sebuah modul-A kanan X yang dilengkapi hasilkali dalam yang bernilai

di A disebut modul-A Hilbert kanan apabila (X, || ⋅ || ) adalah lengkap.

Untuk selanjutnya modul-A Hilbert kanan disebut sebagai modul-A Hilbert atau modul

Hilbert saja.

Dalam hal ini ruang Hilbert H atas C dapat dipandang sebagai modulC Hilbert

HC dengan bilinier x• λ = x λ, hasilkali dalam ⟨x, y⟩ = ( y | x ), dan norm || x || =

|| ⟨x, x⟩ ||1/2 = || x*x||1/2 = || x||.

Demikianjuga sebuah aljabar-C* A dapat dipandang sebagai modul-A Hilbert AA dengan

bilinier x• y = xy, hasilkali dalam ⟨x, y⟩ = x*y, dan norm || x | | = ||⟨x,x⟩ | |1 /2 = | |

x*x | |1 /2 = ||x| | .

Pemetaan Adjointable pada Modul Hilbert

Pemetaan adjointable pada modul Hilbert didefinisikan seperti pemetaan adjointable

pada ruang Hilbert.

Definisi 3.1. ([RW], Definition 2.17) Misalkan X adalah modul-A Hilbert.

Pemetaan T : X → X dikatakan adjointable apabila terdapat pemetaan T* : X → X

sedemikian sehingga

⟨Tx, y⟩ = ⟨x, T*y⟩ untuk setiap x, y ∈ X.

Selanjutnya pemetaan T* disebut pemetaan adjoint dari T dan himpunan semua

pemetaan adjointable pada modul-A Hilbert X dinotasikan ℒ (X, X). Berikut ini adalah dua

contoh pemetaan adjointable yang sering digunakan. Misalkan A aljabar-C* dan X adalah

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

349

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

modul-A Hilbert. Untuk a ∈ A, definisikan La : X → X dengan La(b) = ab. Maka La

merupakan pemetaan adjointable dengan (La)* = La* untuk semua a ∈ A.

Contoh yang lainya, misalkan X dan Y adalah Hilbert modul-A. Untuk x ∈ X, y ∈ Y,

definisikan pemetaan θy,x : X → Y, dengan θy,x(z) = y⋅⟨x, z⟩. Maka θy,x adalah pemetaan

adjointable dengan (θy,x)* = θy,x .

Berikut diperkenalkan pemetaan linier-A, yaitu sebuah pemetaan yang linier terhadap

koefisien di C juga linier terhadap keofisien di A.

Definisi 3.2. Pemetaan T : X → X dikatakan linier-A apabila

(i) T(αx + βy) = αTx + βTy, untuk setiap x, y ∈ X, α,β ∈ C, dan

(ii) T(x⋅ a) = (Tx)⋅ a, untuk setiap x ∈ X, a ∈ A.

Sebagaimana pemetaan adjointable pada ruang Hilbert, pemetaan adjointable pada modul-A

Hilbert juga merupakan operator terbatas dan linier-A.

Lema 3.3. ([RW], lemma 2.18) Setiap pemetaan adjointable T : X → X

merupakan operator linier-A terbatas.

Bukti.

⟨T (x-a ) , y ⟩ = ⟨x . a ,T* (y ) ⟩

= a* ⟨x ,T* (y ) ⟩ =

a * ⟨T ( x ) , y ⟩

= ⟨T(x )-a ,y ⟩,

yang menunjukkan bahwa T(x · a) = T(x) · a. Sehingga pemetaan T linier-A. Kemudian

untuk melihat T terbatas, gunakan teorema closed graph. Misalkan xn → x di X dan

T(xn) → z di YA. Maka untuk setiap y ∈ X berlaku ⟨T(xn),y⟩ -* ⟨z,y⟩ dan

⟨xn,T*(y) ⟩ → ⟨x,T *(y) ⟩ = ⟨T(x),y⟩, akibatnya ⟨T(x), y⟩ = ⟨z, y⟩ untuk semua x ∈ X dan

y ∈ X dan diperoleh T(x) = z. Jadi T terbatas.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

350

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

Tetapi tidak semua pemetaan linier-A terbatas T : X -* X merupakan pemetaan

adjointable.

Berikut ini adalah sebuah contoh pemetaan linier-A terbatas yang tidak adjointable.

Misalkan A = C([0,1]) dan J = {f ∈ A : f(0) = 0}. Maka dapat ditunjukkan bahwa A

dan J merupakan modul-A Hilbert. Kemudian pandang X = A ⊕ J sebagai modul-A

Hilbert, selanjutnya definisikan pemetaan T : X → X dengan T(f,g) = (g,0). Disini dapat

ditunjukkan bahwa T merupakan operator linier-A dan terbatas dengan || Tk || = 1.

Sekarang andaikan T adjointable, maka terdapat pemataan adjoint T* sehingga ⟨Tx, y⟩ = ⟨x,

T*y⟩. Kemudian jika T*(1, 0) = (h, k), maka untuk semua (f,g) ∈ X berlaku:

g = ⟨ (g, 0), (1,0) ⟩ = ⟨T(f, g), (1,0) ⟩ = ⟨ (f, g), (h, k) ⟩ = f h + g k

Karena berlaku untuk setiap (f, g) E X maka f ≡ 0 dan g ≡ 1, yang kontradiksi dengan

g(0) = 0 (karena g ∈ J). Jadi T tidak adjointable.

Himpunan ℒ (X, X) membentuk ruang vektor dan akan dituliskan secara singkat sebagai

ℒ (X). Sedangkan himpunan semua pemetaan T : X → X linier-A terbatas dituliskan sebagai

ℬ (X). Ruang ℬ (X) membentuk aljabar Banach dengan norm ||T || = sup{ ||Tx || : || x || ≤

1}.

Teorema 3.4. Misalkan A aljabar-C* dan X modul-A Hilbert, maka ruang vektor ℒ (X)

membentuk aljabar-C* dengan komposisi sebagai operasi perkalian TS(x) = T(S(x)), ∗

: T → T* sebagai involusi dan norm

|| T || = sup{|| Tx || : ||x|| ≤ 1}.

Bukti. Perhatikan bahwa himpunan operator terbatas, ℬ(X), merupakan ajabar Banach

terhadap norm operator (|| T || = sup{|| Tx || : ||x|| ≤ 1}).

Kemudian,

| | T | | 2 = sup{ | | (Tx ,Tx ) | | : | | x | | ≤ 1}

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

351

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

= sup{ | | (T*Tx ,x ) | | : | | x | | ≤ 1}

= sup{ | | (T*Tx , z ) | | : x , z ∈ X , | |x | | ≤ 1}

= | | T * T | |

≤ || T * || || T ||.

Sehingga || T || ≤ || T*||. Karena T** = T maka ||T || = ||T* ||, dan diperoleh ||T*T ||

≤ || T * || || T || = | | T | | 2 . Jadi ||T*T || = | |T | | 2 . Akibatnya diperoleh ℒ (X) sebagai

aljabar-C* .

Definisi 3.5. ([RW], Definition 2.24) Subruang linier tutup dari ℒ (X) yang dibangun

oleh{θy,x: y, x ∈ X} dinotasikan K(X). Subruang linier tutup K(X) sering disebut aljabar

operator kompak pada X.

Lema 3.6.([RW], lemma 2.25) Untuk sembarang modul-A Hilbert X, K(X) merupakan

ideal dua sisi tutup di ℒ (X).

Bukti. Misalkan T E ℒ (X). Maka

T θy,x (z) = T(x. ⟨y,z⟩)

= T(x). ⟨y,z ⟩

= θT (x),y(z).

Jadi K(X) adalah ideal kiri. Kemudian karena θy,x = θ*y,x maka K(X) merupakan ideal

kanan. Kemudian karena K(X) tertutup maka merupakan ideal dua sisi tertutup.

Lema berikut mirip dengan teorema Gelfand Naimark untuk ruang operator terbatas pada

ruang Hilbert. Lema ini dibahas juga pada ([RW], example 2.26)

Lema 3.7. Misalkan A = aljabar-C* dan X = AA, maka A ≅ K(X).

Bukti. Pertama, definisikan pemetaan L : a ↦ La kemudian tunjukkan bahwa L adalah *-

homomorphisma . Selanjutnya karena || La || ≤ || a ||, dan || a | | | | a* | | = || aa* | | = ||

La(a*)|| ≤ | | La | | | |a* | |, maka ||La | | = ||a| |, sehingga L satu-satu. Untuk

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

352

M – 10 : Pemetaan Terbatas Pada Sebuah Modul Hilbert Dede Suratman

menunjukkan pemetaan L pada, misalkan a, b, c ∈ A doperoleh

θa,b(c) = a ⟨ b, c⟩

= ab*c

= Lab*(c).

Karena {ab: a, b ∈ A} padat di A ([RW], corollary 2.7), maka La ∈ K(X), untuk setiap

a ∈ A. Akibatnya untuk setiap θ ∈ K(X) terdapat a ∈ A demikian sehingga La = θ.

Daftar Pustaka [Lan] E. C. Lance, Hilbert C*-modules: A toolkit for operator algebraists , Soc. Lecture

Note Series, vol.210, Cambridge Univ. Press, Cambridge, 1994. [Mur] G. J. Murphy, Positive Definite Kernels and Hilbert C*-module, Proc. Edinbergh

Math. Soc. II. Ser.,40, (1997). 367-374. [RW] I. Raeburn and D. P. Williams, Morita equivalence and continuous-trace

C*-algebras, Math. Surveys and Monographs, Amer. Math. Soc., Providence, (1998).

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Yogyakarta, 30 Mei 2008

353

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

Perluasan Konsep Bilangan Ramsey

Isnaini Rosyida Jurusan Matematika FMIPA UNNES

Abstrak

Makalah ini akan mengkaji beberapa perluasan konsep bilangan Ramsey. Muncunya konsep bilangan Ramsey diawali dengan bilangan Ramsey klasik oleh oleh Frank Plumpton Ramsey. Konsep Bilangan Ramsey klasik didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap dengan dua warna. Konsep tersebut kemudian diperluas dengan bilangan Ramsey klasik multiwarna (multicolour Classical Ramsey numbers). Berikutnya muncul konsep bilangan Ramsey untuk obyek tidak hanya graf lengkap saja tetapi telah diperumum untuk jenis graf yang lain. Berdasarkan jenis obyek graf yang digunakan muncul pula konsep bilangan Ramsey bipartite, bilangan Ramsey bipartit multiwarna (multicolour Bipartite Ramsey numbers). Kata Kunci: Bilangan Ramsey klasik, bilangan Ramsey klasik multiwarna ,Bilangan Ramsey bipartit, bilangan Ramsey bipartit multiwarna

A. PENDAHULUAN

Kajian tetang bilangan Ramsey telah berkembang dengan pesat dan banyak

dijadikan sebagai fokus penelitian dalam kelompok matematika kombinatorik. Konsep

bilangan Ramsey ini pertama kali dikenalkan oleh Frank Plumpton Ramsey (Graham,

1980). Konsep awal bilangan Ramsey ini didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap.

F.P. Ramsey menyatakan bahwa jika diberikan bilangan asli a dan b maka terdapat

bilangan asli R(a,b) sedemikian hingga jika sisi sisi graf lengkap dengan R(a,b) titik

diwarnai dengan 2 warna (katakan merah dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Ka

merah atau Kb biru. Bilangan R(a,b) ini yang kemudian disebut sebagai bilangan

Ramsey klasik. Selanjutnya konsep bilangan Ramsey ini juga telah diperluas melalui

pewarnaan sisi graf lengkap dengan lebih dari dua warna, yang disebut dengan bilangan

Ramsey klasik multiwarna .

Dari konsep bilangan Ramsey klasik tersebut hanya dapat ditentukan bilangan

Ramsey untuk graf lengkap saja. Masalah yang muncul adalah bagaimana menentukan

bilangan Ramsey klasik untuk jenis graf yang lain? . Dengan adanya permasalahan ini

maka perlu dikaji konsep bilangan Ramsey klasik dengan obyek tdak hanya graf

lengkap tetapi diperluas untuk jenis graf yang lain.

Permasalahan berikutnya adalah bagaimana menentukan bilangan Ramsey

klasik R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang besar?. Hasil-hasil yang terkait dengan

penentuan bilangan Ramsey klasik R(a,b) ini masih terbatas untuk nilai-nilai a dan b

yang kecil (S.P. Radziszowski, 2002). Hal ini dikarenakan konsep bilangan Ramsey

klasik ini masih didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap, sehingga masih sulit

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 354 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

menentukan bilangan Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar. Dengan

demikian, perlu dikaji konsep bilangan Ramsey yang lain tanpa didasarkan pada konsep

pewarnaan sisi sebuah graf.

Dalam makalah ini penulis akan mengkaji tentang beberapa konsep bilangan

Ramsey yang lain sebagai perluasan dari bilangan Ramsey klasik. Dengan demikian

diharapkan dengan membaca makalah ini akan menambah pengetahuan pembaca bahwa

masih banyak masalah-masalah yang belum diteliti yang terkait dengan masalah

penentuan bilangan Ramsey graf.

Sedangkan berikut ini adalah konsep-konsep dasar yang digunakan

dalam pembahasan tulisan ini dan diambil dari Chartrand (2000). Graf G=G(V,E)

adalah suatu sistem yang terdiri dari himpunan titik )(GVV = yang tak kosong dan

himpunan sisi E=E(G) yang trdiri dari pasangan tak terurut unsur-unsur di V. Semua

graf dalam tulisan ini sederhana dan hingga. Orde dari graf G menyatakan banyaknya

titik dari graf G . Banyaknya titik dari graf G dinotasikan dengan )G(VG = . Jika

e={u,v}=uv∈E(G) dengan u,v ∈V(G) maka titik u disebut bertetangga dengan titik v

atau sebaliknya. Untuk sebarang v∈V(G) dan B ⊆ V(G), definisikan

dan )}G(Evx:Bx{)v(NB ∈∈= [ ] )v(N}v{vN BB ∪= . Derajat dari titik x

didefinisikan sebagai )x(N)x( V=δ , )}G(Vx)x({maks)G( ∈δ=Δ . Komplemen dari

graf G dinotasikan dengan G adalah sebuah graf dengan V( G )=V(G) dan uv∈E( G )

jika dan hanya jika uv≠E(G). Graf H disebut subgraf dari graf G jika V(H)⊆V(G) dan

E(H) ⊆E(G).

Graf G dengan n titik dan setiap dua titiknya bertetangga disebut graf lengkap,

dinotasikan dengan Kn. Graf G dikatakan graf bipartit jika V(G) dapat dipartisi menjadi

dua himpunan bagian V1 dan V2 sedemikian hingga setiap sisi di E(G) menghubungkan

suatu titik di V1 dengan suatu titik di V2. Graf Bipartit G dikatakan lengkap jika setiap

titik di V1 bertetangga dengan setiap titik di V2. Graf bipartit lengkap dengan partisi V1,

V2 dimana mV =1 dan nV =2 dinotasikan dengan Km,n.

Prinsip Pigeon-Hole berbunyi jika k+1 obyek ditempatkan dalam k kotak maka

paling sedikit terdapat satu kotak yang memuat dua obyek atau lebih. Atau secara

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 355 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

umum, jika N obyek di tempatkan ke dalam k kotak maka paling sedikit terdapat satu

kotak yang memuat sedikitnya ⎡N/k⎤ obyek.

B. PEMBAHASAN

Munculnya konsep bilangan Ramsey diawali dengan bilangan Ramsey klasik

seperti disajikan berikut ini.

1. Konsep Bilangan Ramsey Klasik

Definisi 1. Diberikan s dan t bilangan asli dengan s,t ≥ 2, bilangan Ramsey klasik R(s,t)

adalah bilangan asli terkecil n sedemikian hingga jika sisi-sisi graf lengkap Kn diwarnai

dengan 2 warna (sebut merah dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Ks merah atau

Kt biru.

Contoh 1. Akan ditunjukkan bahwa bilangan Ramsey antara graf K3 dengan K3 atau

R(3,3)=6

Ambil sembarang titik di K6, sebut v. Terdapat 5 sisi yang terkait dengan v, Karena sisi-sisi di graf K6 diwarnai dengan 2 warna (merah dan biru) maka menurut prinsip Pigeon-Hole sedikitnya 3 sisi dari 5 sisi yang terkait dengan v akan berwarna sama, katakan merah. Misalkan 3 sisi yang berwarna merah tersebut adalah vr, vs dan vt. Selanjutnya, salah satu sisi dari rs, rt dan st tidak dapat diwarnai merah, karena jika salah satu sisi dari rs, rt dan st juga diwarnai merah maka akan terdapat K3 merah. Sehingga semua sisi rs, rt dan st harus diwarnai dengan biru.Tetapi akibatnya akan terbentuk K3 biru. Menurut definisi 1: R(3,3)≤6.

Sebaliknya, sisi-sisi graf K5 masih dapat diwarnai dengan dua warna (merah dan biru) tanpa membentuk subgraf K3 merah atau K3 biru. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Sehingga R(3,3)≥6. Jadi R(3,3)=6

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 356 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

Hasil-hasil yang terkait dengan penentuan bilangan Ramsey klasik R(a,b) ini

masih terbatas untuk nilai-nilai a dan b yang kecil, seperti ditunjukkan dalam tablel 1

berikut ini. (S.P. Radziszowski, 2002).

n

m

3

4

5

6

7

8

9

3 6 9 14 18 23 28 36

4 18 25

Jadi bilangan Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar dari 9

belum ditemukan. Hal ini terkait dengan konsep bilangan Ramsey klasik yang masih

didasarkan pada pewarnaan sisi graf lengkap, sehingga masih sulit menentukan bilangan

Ramsey R(a,b) untuk nilai-nilai a dan b yang lebih besar. Sehingga diperlukan sebuah

konsep bilangan Ramsey tanpa menggunakan pewarnaan sisi.

Selanjutnya konsep bilangan Ramsey klasik tersebut juga telah diperluas untuk

multiwarna seperti didefinisikan berikut ini

2. Bilangan Ramsey klasik multiwarna (multicolour Classical Ramsey numbers)

Definisi 2. Diberikan bilangan asli c dan n1, n2,…, nc. Bilangan Ramsey klasik

multiwarna R(n1,n2,…, nc) adalah bilangan asli terkecil N sedemikian hingga jika sisi-

sisi graf lengkap KN diwarnai dengan c warna berbeda maka senantiasa terdapat subgraf

dengan semua sisinya berwarna i (1≤i≤c). inK

Contoh: Akan ditunjukkan bahwa R(3,3,3)=17

Diberikan graf lengkap Kn dengan sisi-sisinya diwarnai dengan 3 warna, merah, kuning

dan hijau.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 357 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

Misalkan tidak terdapat subgraf K3 dengan semua sisinya diwarnai sama .

(*)

Akan ditunjukkan bahwa n≤16. Ambil sembarang titik di Kn, sebut v. Misal Nmerah(v) adalah himpunan titik-titik yang bertetangga dengan v dan sisi-sisi yang menghubungkan berwarna merah. Jika ada dua titik di Nmerah(v) yang dihubungkan oleh sisi yang berwarna merah maka akan terbentuk subgraf K3 merah.Hal ini bertentangan dengan pernyataan (*). Sehingga, setiap dua titik di Nmerah(v) tidak dihubungkan oleh sisi yang berwarna merah, Akibatnya setiap dua titik di Nmerah(v) hanya dapat dihubungkan oleh sisi yang diwarnai kuning atau hijau. Agar tidak terbentuk K3 kuning atau K3 hijau pada subgraf Nmerah(v) dan menurut contoh 1 R(3,3)=6 maka banyaknya titik pada Nmerah(v) paling banyak 5. Selanjutnya misalkan Nkuning(v) dan Nhijau(v) adalah himpunan titik-titik yang bertetangga dengan v dan sisi-sisi yang menghubungkan berwarna kuning dan hijau. Dengan cara yang sama, banyaknya titik pada Nkuning(v) dan Nhijau(v) juga paling banyak 5. Setiap titik pada graf lengkap Kn akan termuat pada Nmerah(v), Nkuning(v) atau Nhijau(v) . Sehingga graf lengkap Kn yang tidak memuat subgraf K3 merah, K3 kuning ataupun K3 hijau tersebut akan memuat titik paling banyak 1+5+5+5= 16 (n≤16). Dengan demikian R(3,3,3)≤17. Sebaliknya, sisi-sisi graf K16 masih dapat diwarnai dengan tiga warna merah, kuning dan hijau tanpa membentuk subgraf K3 merah atau K3 kuning ataupun K3 hijau. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. Dengan demikian R(3,3,3)≥17. Jadi terbukti bahwa R(3,3,3)=17

Gambar 2. Pewarnaan sisi pada graf K16 dengan 3 warna tanpa memuat K3 merah atau

K3 kuning ataupun K3 hijau

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 358 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

Hasil-hasil tentang bilangan Ramsey klasik multiwarna belum banyak ditemukan, yang

sudah diketahui adalah R(3,3,3)=17 dan R(3,3,4)=31. (S.P. Radziszowski, 2002:17-18)

Berdasarkan konsep bilangan Ramsey klasik pada definisi 1 dan 2 belum dapat

ditentukan bilangan Ramsey untuk obyek selain graf lengkap. Sehingga konsep

bilangan Ramsey klasik perlu diperluas untuk obyek selain graf lengkap

Berikut ini akan disajikan konsep bilangan Ramsey yang lebih umum (tanpa

menggunakan pewarnaan sisi) serta bilangan Ramsey klasik dengan obyek yang

diperluas.

2. Konsep Bilangan Ramsey yang lebih umum

Berikut ini akan disajikan konsep bilangan Ramsey yang diperumum dengan

obyek tidak hanya graf lengkap, sebagai pengembangan dari konsep bilangan Ramsey

klasik.

Definisi 3. Diberikan dua graf G dan H. Bilangan Ramsey R(G,H) adalah bilangan asli

terkecil n sedemikian hingga untuk setiap graf F dengan n titik akan memuat G atau F

memuat H.

Bilangan Ramsey R(G,H) ini juga dapat ditentukan melaui definisi berikut ini.

Definisi 4. Graf F disebut (G,H)-goodgraph jika F tidak memuat G dan F tidak memuat

H. Sebarang (G,H)-goodgraph dengan n titik dinotasikan dengan (G,H,n)-goodgraph.

Bilangan Ramsey R(G,H) juga dapat didefinisikan sebagai bilangan asli terkecil n

sehingga tidak ada (G,H,n)-goodgraph.

Melaui definisi 2 dan 4 telah banyak hasil-hasil yang diperoleh. (S.P.

Radziszowski, 2002). Salah satu hasil yang sangat penting dalam penentuan bilangan

Ramsey suatu graf adalah ditemukannya batas bawah:

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 359 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

1)1)H()(1)G(V()H,G(R +−χ−≥ , dengan )H(χ bilangan kromatik dari graf H. (V.

Chavatal and F. Harary, 1972).

Sedangkan penulis telah menemukan bilangan Ramsey untuk kombinasi graf

bintang dan graf bipartit lengkap, sebagai berikut. (Isnaini; 2004, 2005, 2007)

1. untuk n ≥ 4 dan q ≥ 2 4qn2)K,S(R q,2n −+≤

2. Untuk n≥5: q)1n()3n)(1p()K,S(R q,pn +−+−−≤ dengan 3 ≤p≤ n-1 dan q ≥ 2

3. 2),( ,4 ++= nmKSR nm , 2, ≥nm

4. ⎩⎨⎧

≥+≥+

=3,,62,,5

),( ,25 nganjilnnngenapnn

KSR n

5. = n+7, n ≥ 2 ),( ,26 nKSR

3. Bilangan Ramsey Bipartit

Definisi 5. Bilangan Ramsey bipartite b(m,n) adalah bilangan asli terkecil b sedemikian

hingga setiap pewarnaan sisi-sisi graf bipartite lengkap Kb,b dengan dua warna (merah

dan biru) maka senantiasa terdapat subgraf Km,m merah atau Kn,n biru.

Salah satu hasil yang sangat penting terkait dengan penentuan bilangan Ramsey

bipartite adalah ditemukannya batas atas:

(Hattingh dan Henning, 1998) 1),( −⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +≤

mnm

nmb

Contoh: Hattingh dan Henning Hattingh dan Henning telah membuktikan b(2,2)=5 ,

artinya h bilangan asli terkecil b sedemikian hingga setiap pewarnaan sisi-sisi graf

bipartite lengkap Kb,b dengan dua warna (merah dan biru) maka senantiasa terdapat

subgraf K2,2 merah atau K2,2 biru adalah b=5

Beberapa hasil yang terkait dengan penentuan Bilangan Ramsey bipartite b(m,n)

sebagai berikut: (Hattingh dan Henning,1998)

1. b(2,2)=5 dan b(3,3)=17

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 360 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

2. b(2,3)=9 dan b(2,4)=14

3. 16≤b(2,5)≤19 dan b(2,6)≤25

Dengan demikian masih banyak masalah yang terkait dengan penentuan Bilangan

Ramsey bipartite b(m,n) yang belum terpecahkan

Selanjutnya konsep bilangan Ramsey bipartit tersebut juga telah diperluas untuk

multiwarna seperti didefinisikan berikut ini

4. Bilangan Ramsey Bipartit Multiwarna (multicolour Bipartite Ramsey numbers)

Definisi 6. Diberikan bilangan asli c dan n1, n2,…, nc. Bilangan Ramsey bipartite

multiwarna R(n1,n2,…, nc) adalah bilangan asli terkecil N sedemikian hingga jika sisi-

sisi graf lengkap KN,N diwarnai dengan c warna berbeda maka senantiasa terdapat

subgraf dengan semua sisinya berwarna i (1≤i≤c). ii nnK ,

Hasil yang terkait dengan penentuan penentuan Bilangan Ramsey bipartite multiwarna

adalah: b(2,2,2)=11 (Goddard,2004).

Jadi masih banyak Bilangan Ramsey bipartite multiwarna yang belum ditemukan,

sehingga masih banyak peluang meneliti masalah penentuan Bilangan Ramsey bipartite

multiwarna

C.PENUTUP

1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep bilangan Ramsey

telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Diawali dengan munculnya konsep

bilangan Ramsey klasik, kemudian diperluas menjadi bilangan Ramsey klasik

multiwarna. Berdasarkan obyek graf yang diteliti, konsep tersebut diperluas lagi

sehingga muncul bilangan Ramsey bipartite dan bilangan Ramsey bipartit multiwarna.

Selanjutnya muncul pula konsep bilangan Ramsey yang lebih umum yang tidak

didasarkan pada pewarnaan sisi sebuah graf.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 361 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

2. Saran

a) Hasil yang telah diperoleh dalam penentuan bilangan Ramsey bipartite dan

bilangan Ramsey bipartit multiwarna, yaitu:

1. (2,2)=5 dan b(3,3)=17 3. 16≤b(2,5)≤19 dan b(2,6)≤25

2. b(2,3)=9 dan b(2,4)=14 4. b(2,2,2)=11

Sehingga masih banyak Bilangan Ramsey bipartite dan bipartit multiwarna

yang belum ditemukan. Jadi masih banyak peluang meneliti masalah penentuan

Bilangan Ramsey bipartite dan bipartit multiwarna

b) Masih ada perluasan konsep bilangan Ramsey lainnya yang belum dikaji pada

makalah ini, seperti bilangan Ramsey multipartit, Bilangan Ramsey Irredundant,

Bilangan Ramsey mixed, Bilangan Zarankiewicz , dll. Pembaca yang tertarik

dapat mengkajinya lebih lanjut.

D. DAFTAR PUSTAKA

1. Chartrand, G and Lesniak, L. 2000.Graphs and Digraphs. New York. Chapman and Hall.

2. Goddard, W , Henning, M.A, Oellermann. 2004. Bipartite Ramsey Numbers and

Zarankiewicz Numbers. University of Natal and the South African Foundationfor Research Development

3. Graham, R.L.1980. Rudiments of Ramsey Theory. Regional Conference Series in

Mathematics, 45.

4. Hattingh, J.H and Henning, M.A. 1998. Bipartite Ramsey theory. Utilitas Math. 53: 217-230.

5. Isnaini Rosyida. 2004. Bilangan Ramsey untuk Graf Bintang dan graf bipartite

lengkap. Makalah dalam Kongres Nasional Matematika XII. Bali: Universitas Udayana

6. Isnaini Rosyida.2005. Batas atas dari bilangan Ramsey untuk graf bintang dan

graf bipartit lengkap. Makalah dalam Seminar Nasional Matematika. Semarang: UNDIP

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 362 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 11 : Perluasan Konsep Bilangan Ramsey Isnaini R

7. Isnaini Rosyida. 2007. Penentuan Formula Umum Dari Bilangan Ramsey Graf Bintang dan Bipartit Lengkap. Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda. Semarang: UNNES

8. S.P. Radziszowski, 2002. Small Ramsey numbers. The Electronic Journal of

Combinatorics DS1.9

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 363 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linear Dengan Metode Pseudo-Newton

Lusia Krismiyati Budiasih

Jurusan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta [email protected]

Abstrak

Sistem persamaan non-linear adalah himpunan n persamaan non-linear dengan yang dapat

dinotasikan dengan . Sistem tersebut dapat diselesaikan secara numeris, antara lain dengan metode Newton. Proses iter si yang dibangkitkan dalam metode Newton adalah

1>n( ) ( )( ) 0xxF == if

a( ) ( ) ( )( ) ( )( )1111 −−−− −= kkkk xFxJxx dengan , untuk suatu titik awal 1≥k ( )0x dan J(x) adalah matriks

Jacobian dari sistem. Untuk menghindari penghitungan matriks Jacobian, yang memerlukan penghitungan turunan parsial untuk setiap iterasinya, akan digunakan aproksimasi beda hingga untuk matriks tersebut yang pada umumnya dapat diterapkan untuk sembarang sistem persamaan non-linear. Dengan memodifikasi matriks tersebut maka dapat dibentuk metode pseudo-Newton. Perbedaan antara matriks Jacobian dengan hampirannya tidak akan mempengaruhi konvergensi metode pseudo-Newton untuk masalah sistem persamaan non-linear dengan nilai awal.

2n

Kata kunci: sistem persamaan non-linear, metode Newton, matriks Jacobian, metode pseudo-Newton,

aproksimasi beda hingga.

A. Pendahuluan

Sistem persamaan non-linear adalah himpunan n persamaan non-linear, dengan

. Secara umum sistem persamaan dengan n persamaan dan n variabel dapat

dinyatakan sebagai:

1>n

( )

( ) 0,...,,

0,...,,

21

211

=

=

nn

n

xxxf

xxxfM

(1.1)

di mana setiap fungsi merupakan pemetaan vektor if ( )tnxxx ,...,, 21=x dari nR ke R.

Sistem ini dapat ditulis dalam bentuk lain dengan mendefinisikan fungsi F, yang

memetakan nR ke nR , yakni

F ( ) ( ) ( )( )tnnnn xxxfxxxfxxx ,...,,,...,,...,,,...,, 2121121 = . (1.2)

Dengan menggunakan notasi vektor, sistem (1.2) dapat ditulis dalam bentuk

( ) ( )( ) 0xxF == if . (1.3)

Secara umum, suatu sistem persamaan dapat diselesaikan secara analitis atau

secara numeris. Namun biasanya sistem persamaan non-linear tidak mudah untuk

diselesaikan secara analitis, karena sistem terlalu rumit atau melibatkan banyak

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 364 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

persamaan non-linear serta variabel. Salah satu metode iteratif untuk menyelesaikan

sistem persamaan non-linear secara numeris adalah metode Newton. Metode ini

merupakan pengembangan dari iterasi titik-tetap (fixed-point) dan metode Newton-

Raphson untuk menyelesaikan persamaan non-linear.

Langkah awal penyelesaian persamaan non-linear dengan metode Newton-

Raphson adalah mencari turunan fungsinya. Demikian juga dalam metode Newton

untuk sistem persamaan non-linear. Langkah awal dalam metode ini adalah mencari

turunan parsial semua fungsinya terhadap setiap variabel yang ada dalam sistem

tersebut. Semua turunan parsial dalam sistem ini dapat dibentuk menjadi suatu matriks

yang disebut sebagai matriks Jacobian. Namun terkadang tidak mudah untuk

mendapatkan matriks Jacobian ini, yakni apabila persamaan fungsi terlalu rumit. Untuk

itu akan diberikan pendekatan untuk mendapatkan matriks Jacobian ini, yakni dengan

aproksimasi beda hingga. Dan metode Newton yang menggunakan aproksimasi matriks

Jacobian biasa disebut sebagai metode Pseudo-Newton.

B. Metode Newton untuk Fungsi Satu Variabel.

Misalkan diberikan suatu fungsi diferensiabel bernilai real f(x) yang terdefinisi

pada R. Untuk mencari penyelesaian persamaan

( ) 0=xf , (2.1)

dengan metode Newton dimulai dengan penyelesaian awal ( )0x .

Metode Newton untuk satu variabel didasarkan pada perluasan aproksimasi

kuadratik dari fungsi θ pada suatu titik yang diberikan , yakni kx

( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )( ) ( )( )2''21')( kkkkk xxxxxxxxf −+−+= θθθ . (2.2)

Titik dipilih sedemikian sehingga 1+kx 0)(' =xf . Dengan demikian, dari persamaan

(2.2) diperoleh ( )( ) ( )( ) ( ) ( )( ) 0''' 1 =−+ + kkkk xxxx θθ , (2.3)

sehingga

( ) ( )( )( )( )( )k

kkk

xxxx

'''1

θθ

−=+ , (2.4)

atau dapat juga dinyatakan dengan

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 365 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

( ) ( )( )( )( )( ) 0,

'1 ≥−=+ k

xfxfxx k

kkk .

(2.5)

Secara geometris, rumusan iterasi pada persamaan (2.5) dapat diilustrasikan seperti

dalam gambar berikut (Peressini, 1988).

x

y = f(x) garis singgung

( )( ) ( )( ) ( )( )kkk xxxfxfy −=− '

( ) ( )( )( )kk xfx ,

Gambar 2.1. Ilustrasi metode Newton untuk fungsi satu variabel

Titik )x merupakan x-intersep dari garis singgung fungsi di titik ( 1+k ( )xfy =( ) ( )( )( )kk xfx , . Persamaan garis singgung tersebut adalah

( )( ) ( )( ) ( )( )kkk xxxfxfy −=− ' . (2.6)

Dengan menentukan y = 0 dan menyelesaikan persamaan (2.6) terhadap x maka akan

diperoleh penyelesaian ) seperti rumusan iterasi pada persamaan (2.5).

Iterasi pada persamaan (2.5) akan berhenti bila

( 1+kx( ) ( ) ε<−+ kk xx 1 atau pada saat

( )( ) ε<kxf , di mana ε adalah suatu skalar yang ditentukan. Iterasi pada persamaan

(2.5) hanya bisa digunakan apabila ( )( )kxf ' ada dan akan terdefinisi dengan baik bila ( )( ) 0' ≠kxf untuk setiap k. Selain itu, barisan ( ){ }kx yang dihasilkan dari metode Newton

akan konvergen ke suatu penyelesaian apabila *x

a. Penyelesaian awal tidak terlalu jauh dari ; ( )0x *x

b. Grafik tidak terlalu goyang.

( )1+=x-intersep kx

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 366 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

C. Metode Newton untuk Sistem Persamaan Non-Linear.

Konsep penggunaan metode Newton untuk menyelesaikan persamaan (1.3) pada

dasarnya sama dengan pada kasus satu variabel. Garis singgung di titik ( ) ( )( )( )kk xfx ,

pada fungsi satu variabel akan menjadi hyperplane singgung di titik dari grafik

fungsi , , ..., yang merupakan n komponen dari f

( )kx

( )x1f ( )x2f ( )xnf ( )x .

Dalam membangun algoritma Newton ini akan digunakan pendekatan metode

fixed-point untuk kasus satu dimensi, yakni mencoba untuk menemukan suatu fungsi φ

yang memenuhi

( ) ( ) ( )xfxxxg φ−=

yang akan konvergen kuadratik ke titik p dari g. Dari kondisi tersebut, metode Newton

mengembangkannya dengan memilih ( ) ( )xf '/1x =φ . Dengan menggunakan

pendekatan serupa, untuk kasus n-dimensi, algoritma ini memerlukan A(x) sehingga

memenuhi

nyebabkan penyelesaian dari F(x) = 0 akan konvergen kuadratik jika A(x)

onsingular.

h penyelesaian dari G(x) = x untuk suatu fungsi G

nR →

(x)F(x)AxG(x) 1−−= (3.1)

yang akan me

n

Teorema 3.1

Misalkan p adala ( )tggg n,...,, 21=

yang memetakan nR .

Jika ada sebuah 0>δ dengan sifat:

i). j

i

xg∂∂ kontinu pada { }δδ <−= pxxN untuk setiap i, j = 1, 2, ..., n

ii). ( )kj xx ∂∂

ig∂ x2

kontinu dan ( ) Mxx

gkj

i ≤∂∂

∂ x2

untuk suatu konstanta M, jika untuk

etiap i, j, k

iii).

δN∈x

s = 1, 2, ..., n

( ) 0=∂ jx

∂ ig p untuk setiap i, j = 1, 2, ..., n

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 367 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

δδ ≤)

maka ada sebuah sedemikian sehingga barisan yang dibangkitkan oleh ( ) ( )( )1−kxG akan konvergen secara kuadratik ke p untuk sebarang ( )0x yang dipilih,

a ( )

=kx

asalkan bahw δ)

<−px 0 (Burden, 1985).

Da atas, misri Teorema 3.1 di alkan A(x) adalah matriks n x n dari fungsi

Misalkan A(x) adalah nonsingular yang dekat dengan penyelesaian p dari

menyatakan elemen dari pada baris ke-i kolom ke-j.

Karena dengan

maka

RRf n →: .

F(x) = 0 dan ( )xijb (x)A 1−

(x)F(x)AxG(x) 1−−= ( ) ( ) ( )xxx j

n

jijii fbxg ∑

=

−=1

( )( ) ( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( )⎪⎪

⎪⎪

⎟⎞

⎜⎛ ∂

+∂

⎜⎝ ∂∂

=

nijj

jj

kkij

fbf

b

xxg 1

,xxx

x

x

⎪⎩

≠⎟⎠

⎜⎝ ∂∂

=⎟⎟⎠

⎞⎜⎛ ∂

+∂

=∂

=jj

kkij

nijj

k

i

kixx

kifbf

b

x

1. jika

, jika,1 xxx

x

(3.2)

Teorema 3.1 menyatakan bahwa supaya ( ) ( )( )1−= kk xGx konvergen ke p ma a k

( ) 0=∂

k

i

xg p untuk setiap i = 1, 2, …, n dan k = 1, 2, …, n.

Hal ini mengakibatkan

( ) ( )

( ) ( )∑

=

= ∂j ix1

≠=∂∂

==∂

n

j k

jij

nj

ij

kix

fb

kif

b

1. jika0

, jika,1

pp

pp

(3.3)

(3.4)

Didefinisikan matriks Jacobian J(x) dengan

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )⎥

( )

⎥⎢⎢

∂∂∂nnn

xf

xf

xf xxx

L2

⎥⎥

⎥⎥

⎢⎢

⎢⎢

∂∂∂

∂∂

∂∂

∂∂

n

n

nxf

xf

xf xxx

MOMM

L

1

21

1

2

1

1

1

⎥⎥

⎢⎢

∂∂

∂∂

∂∂

= xf

xf

xf

Jxxx

x L 222.

(3.5)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 368 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

Dari syarat pada persamaan (3.3) dan (3.4) diperoleh bahwa

(p1 (3.6)

sehingga , dan akibatnya pilihan pendekatan untuk A(x) adalah

dapat

IA =− )(p) , J

(p)(p) JA =

(x)(x) JA = . Dengan demikian, fungsi G dapat didefinisikan sebagai

F(x)(x)xG(x) 1−−= J , (3.7)

Jadi, untuk ( )0x yang dipilih, untuk 1≥k dibangkitkan ( ) ( )

( ) ( ) ( ) )F(x)(xx)G(xx 1111 −−−− −== kkkk J . (3.8)

Metode ini sering disebut sebagai metode Newton

1−k

untuk sistem non-linear dan pada

um nya g konvergen, bila diberikan suatu

pendekatan awal yang cukup tepat dan ada. Kelemahan dari metode ini adalah

erlunya menghitung invers dari matriks pada setiap langkah. Pada prakteknya,

men

um diharapkan memberikan iterasi yan1−(p)J

p (p)J

metode Newton dibentuk dalam dua langkah utama:

i. emukan vektor y yang memenuhi ( )( ) ( )( )k , kJ xFyx −=

ii. menentukan ( )1+kx , yakni ( ) ( ) yxx =+k 1 +k .

Algoritma Me m Persamaan Non-Linear

nya persamaan nonlinear dalam sistem

ektor p katan awal

si

Tol : to esalahan

Langkah 1: Set k = 1

F(x) dan J(x),

tode Newton untuk Siste

INPUT n : banyak

( )0x : v ende

N : maksimum banyaknya itera

leransi k

Langkah 2: While )Nk ≤ do ( Langkah 3: Hitung

( )dengan )(

jji x

J∂

x ,if∂

=x

untuk .,1 nji ≤≤

( ) ( )xFyx −=J Langkah 4: Selesaikan sistem linear .

Langkah 5: Set yxx += .

Langkah 6: If Tol<y then OUTPUT(x);

Langkah 7: Set k = k + 1.

STOP.

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 369 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

D. Metode Pseudo-Newton untuk Sistem Persamaan Non-Linear

Hambatan dalam menggunakan metode Newton untuk menyelesaikan suatu

sistem persamaan non-linear adalah dibutuhkannya penghitungan matriks Jacobian,

ang memerlukan penghitungan turunan parsial untuk setiap iterasinya. Salah satu

ngatasi hal tersebut adalah dengan penggunaan hampiran beda hingga

Teorema 4.1

Misalkan dan

2ny

cara untuk me

untuk matriks Jacobian.

[ ]baCf ,3∈ ],[,, bahxxhx ∈+− .

aka M

( ) ( ) ( )h

hxfhxfxf2

' −−+=

(4.1).

rema di atas, maka aproksimasi matriks Jacobian untuk kasus n dimensi

pada iterasi ke-k adalah

Dari teo

( )( ) ( )( )( ) ( )( ) ( )( )( )kij

kkij

k xMxMxJxJ =≈= untuk nji ...,,2,1, =

dengan

( )( ) ( )( ) ( ) ( )h

xxhxfxxhxf kn

kkkn

kkkk

2,,,,,, )()(

2)(

11)()(

2)(

111111

LL −−+=≈ xMxJ

M

( )( ) ( )( ) ( ) ( )h

hxxxfhxxxf kn

kkkn

kkk

nk

n 2,,,,,, )()(

2)(

11)()(

2)(

1111

−−+=≈

LLxMxJ

M

( )( ) ( )( ) ( ) ( )h

xxhxfxxhxf kn

kkn

kn

kknk

nk

n 2,,,,,, )()(

2)(

1)()(

2)(

111

LL −−+=≈ xMxJ

M

( )( ) ( )( ) ( ) ( )hnnnn 2

dimana h cukup kecil.

hxxxfhxxxf kn

kkn

kn

kknkk ,,,,,, )()(

2)(

1)()(

2)(

1 −−+=≈

LLxMxJ

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 370 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

Pemilihan titik awal ( )0x yang ”baik” amatlah penti untuk keberhasilan

metode pseudo-Newton. Jika ( )0x terlalu jauh dari

ng

, penyelesaian dari ,

aka barisan metode pseudo-Newton

*x ( ) 0xg =

( ){ }kx dengan titik awal ( )0xm mungkin saja tidak

u tidak kon .

ontoh 4.2.

Misalkan diketahui sistem persamaan non-linear

engan menggunakan titik awal (0.1 , 0.7), hasil penghitungan dengan metode Newton

antuan program Matlab adalah sebagai berikut:

3 0.06177039 0.72449052

13 0.72449052

lapsed_time =

-Newton

2 0.06176990 0.72449125

13 0.72449052

lapsed_time =

terdefinisi ata vergen ke *x

C

4441224

44

32

=++

=+−

yyxyxx

D

dan metode pseudo-Newton dengan b

Hasil iterasi dengan metode Newton

iterasi x(1) x(2)

0 0.10000000 0.70000000

1 0.05219367 0.72526257

2 0.06196486 0.72449142

4 0.061770

e

0.01600000000000

Hasil iterasi dengan metode pseudo

iterasi x(1) x(2)

0 0.10000000 0.70000000

1 0.06103863 0.72525881

3 0.061770

e

0.01500000000000

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 371 Yogyakarta, 30 Mei 2008

M – 12 : Penyelesaian Sistem Persamaan Non-Linea... Lusia Krismiyati Budiasih

Kedua metode akan memberikan penyelesaian yang sama, yakni

x = (0.06177013 , 0724495052).

Namun dapat dilihat bahwa metode pseudo-Newton memiliki proses iterasi yang lebih

dingkan metode Newton.

rbentuk metode pseudo-Newton. Dengan

etode pseudo-Newton ini memungkinkan untuk mendapatkan proses iterasi yang lebih

n ke suatu titik tertentu.

1. nalysis. Boston: PWS Publisher.

tice-Hall.

s of Nonlinear

nger-Verlag.

. http://math.fullerton.edu/mathews/n2003/BroydenMethodMod.html

singkat diban

E. Penutup

Metode Newton merupakan salah satu metode untuk menyelesaikan sistem

persamaan non-linear. Dalam proses iterasinya, metode ini memerlukan penghitungan

matriks Jacobian dari sistem yang terdiri dari turunan parsial pertama dari setiap fungsi

pada setiap iterasi. Untuk menghindari penghitungan turunan parsial yang terkadang

melibatkan fungsi yang rumit, maka matriks Jacobian dapat dihampiri dengan

aproksimasi beda hingga, sehingga dapat te

m

cepat yang konverge

F. Daftar Pustaka

Burden, R.L, and Faires, J.D. (1985). Numerical A

2. Mathews, J.H. (1992). Numerical Methods for Mathematics, Science, and

Engineering, Second Edition. NJ: Pren

3. Peressini, A.L., F.E. Sullivan, and J.J. Uhl, Jr. The Mathematic

Programming. NY: Spri

4

(Diakses 19 Mei 2008)

Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA 372 Yogyakarta, 30 Mei 2008