17

ppt hal 15-23

Embed Size (px)

Citation preview

PowerPoint Presentation

Pasal 2. Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989

semua tindakan medis yang dilaksanakan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang aekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya,Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.

Pasal 3. Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989

Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujun lisan.Persetujuanm sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau secara diam-diam.

Pasal 4. Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989

Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien baik diminta maupun tidak diminta.Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, keculai bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat paramedik lainnya sebagai saksi.

dirumuskan dalam Permenkes No. 290 Tahun 2009pengertian persetujuan tindakan kedokteran dapat dilihat dalam dua sudut, yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. pengertian umum, persetujuan tindakan kedokteran aladah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan kedokteran apapun yang akan dilakukandalam pengertian khusus, persetujuan tindakan kedokteran mengacu pada persetujuan yang dikaitkan dengan izin tertulis dari pasien atau keluarga pada tindakan operatif atau invasive lain yang berisiko.

Hak atas informasiPermenkes Nomor 290 Tahun 2008 mengatur mengenai beberapa hal yang hendaknya disampaikan dokter kepada pasiennya selama proses komunikasi di antara mereka. Menurut pasal 7 ayat 3 Permenkes No. 290 Tahun 2008,penjelasan tentang tindakan kedokteran sekurang-kurangnya mencakup Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran,Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukanAlternatif tindakan lain dan risikonyaRisiko dan komplikasi yang mungkin terjadiPrognosis terhadap tindakan yang dilakukan

yang berhak atas suatu informasi adalah mereka yang cakap bertindak Pasien yang kompeten menurut Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan, atau telah/pernah menikah, tidak terganggu keasadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan mental, dan tidak mengalami penyakit mental, sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

Seseorang tidak diberikan informasi tentang suatu tindakan jikaHak persetujuan atau penolakanDalam perkembangan dunia hukum kesehatan, dikenal dua macam bentuk informed consent, yaitu :Expressed consentadalah bentuk persetujuan yang dinyatakan secara langsung dan umumnya diwajibkan dalam tindakan kedokteran yang berisiko tinggi.Implied consentadalah persetujuan yang diberikan secara tidak langsung atau dianggap telah diberikan dan umumnya diberikan dalam keadaan normal di mana dokter juga bisa menangkap adanya persetujuan tindakan medis tersebut melalui isyarat yang diberikan pasien.

Menurut J. Guwandi persetujuan dapat dibagi menjadi :

Persetujuan tindakan medis nyataPersetujuan tindakan medis diam-diamSelain hak memberikan persetujuan, pasien juga memiliki hak untuk memberikan penolakan terhadap usul dokter padanya, mengenai tindakan kedokteran yang akan dilaksanakan informed refusal.

Proses Informed Consent

Menurut Guwandi , terbagi atas 3 fase:Fase pertama : seorang pasien datang ke tempat dokter, di mana tindakan ini dapat disimpulkan sebagai pemberian persetujuan dari pasienuntuk melakukan pemeriksaan. Fase kedua : dokter melakukan anamneses terhadap pasien dan mencatatnya dalam rekam medis, dan di tahap ini telah terjadi hubungan antara dokter dan pasienFase ketiga : dokter melakukan pemeriksaan fisik dan kemungkinan pemeriksaan penunjang lainnya, sehingga dokter dapat mengambil kesimpulan mengenai penyakit pasien dan memberikan pengobatan, nasihat, anjuran, serta tindakan medis, lengkap dengan penjelasan yang cukup.

Peraturan Perundang-Undangan Terkait TransplantasiPeraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Pasal 1Huruf c : alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta fungsi tertentu untuk tubuh tersebut.Huruf d : jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yangsama dan tertentu.Huruf e : transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baikHuruf f : donor adalah orang yang menyumbangkan alat dan/atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.

Pasal 10Ayat 1 : transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu bedah mayat boleh dilakukan dalam keadaan dengan persetujuan tertulis penderitadan/ataukeluarganya terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti, atau tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya.Ayat 2 : tata cara transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia diatur oleh menteri kesehatan.

Pasal 11Ayat 1 : transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.Ayat 2 : transplantasi alat dan/atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.

Pasal 12Dalam rangka transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh dua orang dokter yang tidak ada sangkut paut medis dengan dokter yang melakukan transplantasi.17