Upload
praktikumhasillaut
View
20
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SPIRULINA
Citation preview
FIKOSIANIN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Anggit Mardiana Permatasari
13.70.0168
Kelompok B2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
Acara III
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Dalam praktikum Teknologi Hasil Kuliner dengan bab Fikosianin adalah sentrifuge,
pengaduk/stirrer, oven, dan plate stirrer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum Fikosianin ini antara lain biomasa Spirulina basah,
aquades, dan dekstrin.
1.2. Metode
8 gram biomasa Spirulina dimasukkan dalam Erlenmeyer
Dilarutkan dalam aquades (biomasa : aquades = 1 : 10)
Diaduk dengan stirrer selama ± 2 jam
Disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh endapan dan supernatan
Supernatan diencerkan dan divortex hingga pengenceran 10-2
Diukur kadar fikosianinnya dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm
8 ml supernatan ditambah dekstrin (supernatan : dekstrin = 1 : 1)
Dicampur rata dan dituang ke wadah
Dioven pada suhu 45ºC hingga kadar air ± 7%
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai OD, Konsentrasi Fikosianin, Yield, dan Warna dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran OD, Konsentrasi Fikosianin (KF), Yield, dan Warna Fikosianin
Kelompok
Berat Biomas
sa (gram)
Jumlah Akuades (ml)
Total Filtrat (ml)
OD 615
OD 652
KF (mg/ml)
Yield (mg/g)
Warna
Sebelum di oven
Setelah dioven
B1 8 80 56 0,1521 0,1094 1,877 13,139 + +B2 8 80 56 0,1481 0,1094 1,800 12,600 ++ ++B3 8 80 56 0,1393 0,1732 1,071 7,497 + +B4 8 80 56 0,1676 0,1749 1,586 11,103 + +B5 8 80 56 0,1217 0,1743 0,732 5,124 + +
Keterangan :Warna :
Diperoleh adonan kering yang gempal
Dihancurkan dengan alat penumbuk hingga berbentuk powder
+ : biru muda++ : biru+++ : biru tua
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa pada kelompok B1, memiliki
nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm sebesar 0,1521 dan pada panjang
gelombang 652 nm sebesar 0,1094 sehingga, konsentrasi fikosianin dan yield nya adalah
1,877 mg/ml dan 13,139 mg/g. Pada kelompok B2 memiliki nilai absorbansi pada panjang
gelombang 615 nm dan 652 nm secara berturut-turut sebesar 0,1481 dan 0,1094 sehingga
menghasilkan konsentrasi fikosianin 1,800 mg/ml dan yield 12,600 mg/g. Pada kelompok
B3 memiliki nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm secara berturut-
turut sebesar 0,1393 dan 0,1732 sehingga menghasilkan konsentrasi fikosianin 1,071 mg/ml
dan yield 7,497 mg/g. Kelompok B4, memiliki nilai absorbansi pada panjang gelombang
615 nm sebesar 0,1676 dan pada panjang gelombang 652 nm sebesar 0,1749 sehingga,
konsentrasi fikosianin dan yield nya adalah 1,586 mg/ml dan 11,103 mg/g. Pada kelompok
B5 memiliki nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm secara berturut-
turut sebesar 0,1217 dan 0,1743 sehingga menghasilkan konsentrasi fikosianin 0,732 mg/ml
dan yield 5,124 mg/g. Warna sampel sebelum pengovenan adalah muda sementara warna
setelah pengovenan juga biru muda. Konsentrasi Fikosianin tertinggi adalah 1,877 mg/l
sementara, konsentrasi terendah adalah 0,732 mg/l. Yield tertinggi adalah 13,139 mg/g
sementara yield terendah adalah 5,124 mg/ml
3. PEMBAHASAN
Mikroalga merupakan tumbuhan air yang berukuran mikroskopik, memiliki berbagai
potensi yang dapat dikembangkan sebagai sumber pakan, pangan, dan bahan kimia lainnya.
Budidaya mikroalga sangat menarik karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi, mampu
menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang bervariasi (Borowitzka, 1997).
Sesungguhnya, mikroalga merupakan produsen alami dari ekosistem perairan yang dapat
menghasilkan energi. Selain itu mikroalga juga dapat menghasilkan metabolit yang sangat
bermanfaat, sehingga keberadaannya sebagai organisme hidup yang berukuran mikroskopis
sudah mulai banyak dikaji. Pemanfaatan mikroalga pada saat ini sudah cukup berkembang,
selain sebagai pakan alami dan makanan sehat, mikroalga juga memiliki potensi yang dapat
menghasilkan komponen bioaktif untuk bahan farmasi, kedokteran, industri pangan dan
sebagainya. Salah satu jenis mikroalga yang potensial untuk dikembangkan adalah
Spirulina sp., yang mana telah diproduksi untuk pangan sehat sebagai sumber protein,
vitamin, dan mineral. Selain itu juga dapat menghasilkan komponen bioaktif untuk bahan
farmasi, kedokteran, industri pangan dan sebagainya (Metting dan Pyne, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga diklasifikasikan menjadi faktor
sumber daya dan faktor pendukung. Faktor sumberdaya merupakan faktor-faktor yang
terdiri dari sumberdaya yang secara langsung dipergunakan oleh sel-sel alga untuk
pertumbuhannya, seperti unsur hara, cahaya matahari dan CO2. Sedangkan faktor
pendukung merupakan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses metabolisme
dalam sel mikroalga, antara lain suhu dan pH (Goldman, 1979).
Sel mikroalga dapat dibagi menjadi sepuluh divisi, dan setiap divisi mempunyai
karakteristik yang ikut memberikan andil pada kelompoknya, tetapi spesies-spesiesnya
cukup memberikan perbedaan-perbedaan dari lainnya. Ada empat karakteristik yang
digunakan untuk membedakan divisi mikroalga yaitu tipe jaringan sel, ada tidaknya
flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan
bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni atau filamen adalah merupakan
informasi penting didalam membedakan masing-masing kelompok (Sutomo, 2005).
Pertumbuhan sel mikroalga sangat dipengaruhi oleh tiga komponen penting untuk tumbuh,
yaitu cahaya, karbondioksida dan nutrien. Cahaya mempunyai pengaruh langsung dalam
proses fotosintesis dan pengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan.
Kurangnya intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh mikroalga untuk aktivitas fotosintesis
akan menyebabkan proses fotosintesis tidak berlangsung normal sehingga menggangu
biosíntesis sel selanjutnya. Untuk itu intensitas cahaya sangat diperlukan oleh mikroalga
untuk menjalankan proses fotosintesis (Diharmi, 2001).
Menurut Richmond (1988), Spirulina merupakan organisme yang termasuk dalam
kelompok alga hijau biru atau disebut juga blue green algae. Spirulina adalah organisme
multiseluler yang tubuhnya berbentuk filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan
tidak bercabang. Ukuran dari Spirulina adalah 100 kali lebih besar dari sel darah merah
manusia. Spirulina mengandung pigmen fikosianin tinggi yaitu sebanyak 20% dari total
protein selnya. Menurut Romay et al. (1998), kandungan fikosianin yang tinggi inilah yang
menjadikan Spirulina memiliki potensi yang besar dalam industri kesehatan. Hal ini
disebabkan fikosianin memiliki karakteristik antioksidan dan dapat berfungsi inflamatori,
menghambat tumor nekrosis, dan melindungi sel-sel syaraf. Pigmen fikosisanin larut dalam
pelarut polar seperti air. Pigmen fikosianin yang dihasilkan dari Spirulina memiliki potensi
sebagai pewarna alami (Spolaore et al., 2006). Di dalam koloni besar Spirulina berwarna
hijau tua.Warna hijau ini disebabkan karena adanya klorofil dalam jumlah yang
tinggi.Secara alami, Spirulina tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu
hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze, 2004).
Menurut Sze (1993) dalam Diharmi (2001), Spirulina memiliki membran tilakoid yang di
dalamnya terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari
fikobiliprotein.Fungsi dari fikobiliprotein ini adalah untuk menyerap cahaya dan juga dapat
melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya dengan intensitas tinggi.
Cahaya yang diserap oleh fikosianin akan ditransfer ke allofikosianin dan kemudian
diteruskan menuju pusat reaksi, yaitu klorofil a di membrane tilakoid. Trainor (1978) dalam
Diharmi (2001) menambahkan jika klorofil a merupakan pigmen fotosintesis Spirulin
ayang terletak pada membran tilakoid di dalam kromoplas. Menurut Richmond (1988),
pigmen yang terdapat di dalam Spirulina dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu klorofil
a sebesar 1,7% dari berat sel, karotenoid dan xantofil sebesar 0,5% berat sel, dan
fikobiliprotein yang secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara kuantitatif
merupakan pigmen yang paling dominan pada Spirulina.
Warna merupakan salah satu faktor yang penting dalam produk pangan. Hal ini disebabkan
karena dalam memilih makanan, konsumen akan memilih produk yang terlihat lebih
menarik disamping faktor-faktor lain seperti rasa, kesegaran, nilai gizi, kebersihan dan
harga. Untuk menghasilkan produk makanan yang menarik, industri pangan banyak
menggunakan zat warna alami ataupun sintesis. Zat warna sintesis lebih banyak digunakan
karena lebih murah, mudah didapat, beraneka ragam, bersifat stabil dan tahan lama.
Namun, sekarang ini keamanan penggunaan sintetis mulai banyak dipertanyakan
(Steinkraus,1983). Zat warna sebenarnya dapat diperoleh secara alami dari pigmen yang
dihasilkan oleh berbagai tanaman (kunyit, wortel, pacar cina, coklat, dan sebagainya),
hewan dan mikroorganisme. Penggunaan pewarna makanan diatur oleh pemerintah, namun
sayangnya masih ditemukan produsen makanan yang menggunakan bahan pewarna
dilarang dan berbahaya bagi kesehatan (Syah et al., 2005).
Pewarna alami yang ada di tumbuhan memiliki berbagai macam kelebihan yang
berhubungan dengan kesehatan. Pewarna alami juga dapat menyembuhkan penyakit pada
manusia.Hal ini merupakan salah satu bukti yang menunjukkan jika pewarna alami yang
terdapat pada tanaman merupakan potensi yang dapat dikembangkan.Sayangnya pewarna
alami masih memiliki kelemahan (Astawan & Kasih, 2008). Menurut Syah et al. (2005),
pewarna alami terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan pada
industri pangan. Penggunaan pewarna alami untuk produksi skala besar juga akan
meningkatkan biaya produksi. Pewarna alami juga memiliki sifat yang tidak homogen
sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil dan akan menghambat proses produksi.
Namun, akhir-akhir ini masyarakat lebih memperhatikan kesehatan, sehingga pewarna
alami memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Perwarna pada alga dapat diambil
dengan cara ekstraksi. Secara umum, metode ekstraksi adalah kunci untuk pemulihan
maksimum phycobiliproteins di negara alami dari ganggang. Ekstraksi phycobiliproteins
melibatkan pecah sel dan pelepasan protein ini dari dalam sel. Dinding sel cryptophytes
mudah terganggu, tapi cyanobacteria sangat tahan (Moraes, 2011).
Komposisi kimia Spirulina meliputi protein dengan kadar 50-70% dari berat keringnya
(Richmond, 1988), lemak dengan kadar 4-7% dalam bentuk asam lemak esensial yang
setiap 10 gram mengandung 225 mg asam lemak esensial dalam bentuk linoleat dan
Gamma Linolenic Acid (GLA), rendah kalori dan sodium, serta memiliki sembilan jenis
vitamin dan empat belas jenis mineral yang terdapat dalam bentuk terikat dengan asam
amino (Henrikson, 2009). Menurut Monteiro et al. (2010), Spirulina mengandung protein
sebesar 60-70% dari berat keringnya, kaya kandungan lipid yang sebagian besar dalam
bentuk asam lemak tidak jenuh terutama gamma linolenic acid. Selain itu Spirulina jug
bermanfat sebagai antioksidan yang bisa digunakan dalam obat-obatan.
Berdasarkan struktur selnya, Spirulina digolongkan menjadi bakteri prokariotik yang di
dalam selnya mengandung beberapa pigmen utama yaitu karotenoid, klorofil, dan
fikosianin. Pigmen fikosianin terletak pada sistem tilakoid atau lamellas fotosintesis dalam
membran sitoplasma. Maka dari itu, untuk diperoleh pigmen ini perlu dilakukan perusakan
dinding sel Spirulina yaitu dengan cara mekanis yang dilakukan melaui penggilingan,
sonikasi, dan tekanan tinggi; penggunaan panas, pembekuan dan pencairan, atomisasi, dan
dekompresi; serta menggunakan litik agen untuk merobak atau lisis secara kimia dan
enzimatik (Duangsee et al., 2009). Klasifikasi Spirulina adalah sebagai berikut :
Kingdom : Protista
Filum : Cyanobacteria
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscillatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.
(Bold & Wyne, 1978)
Gambar 1.Spirulina sp. (Mussagy et al., 2006)
Spirulina hidup dalam lingkungan yang sangat basa (pH 8-11) dengan kandungan senyawa
karbonat-bikarbonat yang tinggi. Spirulina membutuhkan cahaya dan karbon dioksida
untuk berfotosintesis. Hasil fotosintesis berupa oksigen dapat meningkatkan kandungan
oksigen dalam medium pertumbuhannya.Mikroalga tidak dapat mengkonsumsi nitrogen
dari udara, sehingga perlu ditambahkan pada media pertumbuhan.Pada kondisi yang baik,
biomadsa kering Spirulina yang didapat bisa mencapai 60-70 ton/hektar kolam (TriPanji et
al., 1996).
Dalam praktikum ini pengunaan spirulina sp adalah untuk menghasilkan pewarna alaami
dari pigmen fikosianinn yang dimilikinya. Fikosianin merupakan senyawa protein yang
termasuk dalam kelompok fikobiliprotein seperti fikosianin dan fikoeritrin serta terdapat
dalam devisi Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga biru-hijau) dan Cryptophyta (alga
kriptomonad) (Richmond, 1988). Fikosianin memiliki beberapa karakteristik yaitu larut air,
dapat membentuk struktur senyawa fikobilosom yang melekat pada membran tilakoid
(Chopra & Bishnoi, 2007), menyerap warna jingga, merah terang, memancarkan warna biru
terang sehingga pigmen biru fikosianin ini memiliki absorbsi maksimum pada panjang
gelombang 620 nm, dapat mengalami kerusakan akibat suhu tinggi, dan pemudaran warna
sebesar 30% setelah disimpan selama 5 hari dan menjadi bening setelah disimpan selama
15 hari pada suhu 30°C (Richmond, 1988). Fikosianin merupakan pigmen biru dan
memancarkan cahaya pendar merah kuat yang berfungsi sebagai pigmen asesoris yang
membantu klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis Spirulina (Ó Carra &
Ó hEocha, 1976). Selain berfungsi sebagai pigmen fotosintetik utama pada Spirulina,
fikosianin juga berperan sebagai penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino (Angka &
Suhartono, 2000). Struktur fikosianin adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Struktur Fikosianin (Ó Carra & Ó hEocha, 1976)
Fikosianin merupakan pigmen yang paling banyak terdapat pada alga hijau biru.Jumlah
fikosianin lebih dari 20% dari berat kering alga (Richmond, 1988). Ekstrak fikosianin segar
pada beberapa spesies memiliki berat molekul yang lebih besar, yaitu 262 kDa.(Ó Carra &
Ó hEocha 1976). Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan
fragmen fikobilisom (Kessel et al., 1973 dalamÓ Carra & Ó hEocha, 1976). Menurut
Romay et al. (1998), struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrroles terbuka yang
mempunyai kemampuan menangkap radikal oksigen. Struktur ini merupakan struktur kimia
chromophores pada c-fikosianindan memiliki kemiripan dengan bilirubin. Menurut Stocker
et al. (1987) dalam Romay et al. (1998), bilirubin merupakan antioksidan yang penting
untuk fisiologis, karena mampu mengikat radikal peroksi dengan cara mendonorkan atom
hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul tetraphyrroles. Selain itu, fikosianin
merupakan salah satu dari tiga pigmen selain klorofil dan karotenoid yang mampu
menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Hall & Rao, 1999). Fikosianin adalah
kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam pemanenan cahaya
dan energi transduksi (Boussiba & Richmond, 1980).
Menurut Walter (2011), kondisi kultur Spirulina dapat mempengaruhi fase pertumbuhan,
perubahan komposisi, dan dapat meningkatkan atau menurunkan proporsi phycobiliproteins
termasuk fikosianin. Jumlah komponen fenolik dapat ditingkatkan dengan mengubah
kondisi kultur sehingga dapat meningkatkan antioksidan dan biomassa dari Spirulina. Di
dalam hidupnya, mikroalga membutuhkan sinar matahari sebagai sumber energi dan
karbondioksida sebagai sumber karbon untuk memproduksi karbohidrat dan ATP. Kultur
media dalam air laut yang optimal juga mengandung nutrisi seperti C, N, O, H, P, dan Ca,
S, Mg, dan K sebagai trace metal, serta chelating agent seperti Fe, Mn, Cu, Mo, dan Co.
Dalam pembuatan pewarna alami fikosianin yang berasal dari mikrolaga, pertama-tama
sebanyak 8 gram biomassa spirulina dilarutkan dengan aquades hingga 80 ml. Biomassa
Spirulina mudah larut dalam pelarut polar seperti air dan buffer fosfat (Angka & Suhartono,
2000). Sehingga, pencampuran dengan aquades berfungsi untuk mengekstrak pigmen
fikosianin yang terdapat pada biomassa sprirulina. Hal ini sesuai dengan pendapat Syah et
al. (2005), bahwa Spirulina dapat menghasilkan pigmen fikosianin yang dapat larut pada
pelarut polar seperti air. Kemudian larutan diaduk dengan menggunakan stirrer selama 2
jam. Pengadukan ini berfungsi untuk menghomogenkan campuran pelarut, yaitu aquades
dengan Spirulina dan memaksimalkan ekstraksi pigmen fikosianin (Lorenz, 1998). Tahap
berikutnya, adalah sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm hingga
terbentuk endapan dan supernatant. Supernatant ini lah yang digunakan untuk uji
selanjutnya. Menurut Silveira et al. (2007) proses sentrifugasi berfungsi untuk
mengendapkan debris sel dan mengambil pigmen fikosianin yang larut dalam aquades.
Selain itu, sentrifugasi juga bertujuan untuk memisahkan padatan dan cairan sehingga
proses pengukuran absorbansi tidak terganggu.
Selanjutnya, sebagian supernatan yang diperoleh diambil untuk diukur kadar fikosianinnya
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Pengukuran
absorbansi ini bertujuan untuk untuk mengetahui kelarutan fikosianin pada larutan
(Achmadi et al., 1992). Panjang gelombang yang digunakan telah sesuai dengan teori
Silviera et al. (2007) yang mengatakan jika analisa fikosianin dilakukan dengan cara
mengukur supernatan atau filtrat hasil ekstraksi menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Nilai absorbansi yang didapat kemudian
digunakan untuk menghitung konsentrasi fikosianin (mg/ml) dengan rumus :
Konsentrasi fikosianin (KF) =
Perhitungan ini sesuai dengan Luc et al. (2007) dimana panjang gelombang 615 nm
merupakan panjang gelombang maksimal dari fikosianin (pigmen biru) sementara panjang
gelombang 652 nm adalah absobsi maximum allofikosianin (pigmen biru kehijauan). Pada
percobaan ini, dilakukan absorbansi terhadap larutan dengan 2 panjang gelombang yaitu
615 nm serta 652 nm. Ekstraksi pada percobaan ini menggunakan pelarut polar sehingga
akan mengekstrak senyawa-senyawa polar yang ada dalam sel Spirulina sp. Senyawa polar
yang bisa terambil oleh pelarut air/buffer terdiri dari golongan fikobiliprotein/fikobilin dan
protein-protein yang sifatnya larut air. Zat-zat tersebut akan merespon/menyerap cahaya
dengan kisaran panjang gelombang 500-730 nm (Arlyza, 2005).
Sementara, untuk menghitung yield, maka supernatant diambil dan dicampur dengan
dextrin dengan perbandingan 1 : 1,25. Menurut Murtala (1999) penambahan dekstrin
bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan mencegah kerusakan akibat panas, untuk
melapisi komponen flavor, meningkatkan total padatan, serta memperbesar volume.
Penambahan dekstrin juga bertujuan untuk menekan kehilangan komponen volatile selama
proses pengolahan, yaitu pigmen fikosianin yang menurut teori Richmond (1988), mudah
rusak akibat suhu tinggi, dan membantu menurunkan kadar air atau menaikkan konsentrasi
dekstrin dari 5-15% (Winarno, 2002). Hal ini disebabkan karena struktur molekul dekstrin
berbentuk spiral, sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap di dalam struktur ini
(Arief, 1987).
Dekstrin merupakan polisakarida yang dihasilkan dari proses hidrolisa pati yang diatur oleh
enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam. Warna dekstrin berkisar putih hingga
kuning.Dekstrin bersifat mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental, serta
lebih stabil dibandingkan pati (Reynold, 1982). Pada pembuatan dekstrin, rantai panjang
pati mengalami pemutusan oleh enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang
lebih pendek yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n yang
menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang tidak larut dalam air menjadi
dekstrin yang mudah larut dalam air dan memiliki kekentalan lebih rendah dibandingkan
pati.
Setelah tercampur rata, larutan dituangkan ke dalam wadah yang dapat digunakan sebagai
alas untuk proses pengeringan. Pada praktikum ini, proses penuangan supernatan dan
dekstrin dilakukan dengan menuangkan dekstrin ke dalam alas pengering kemudian
supernatan dituangkan sedikit demi sedikit pada bagian atas. Proses ini perlu dilakukan
secara hati-hati agar dekstrin dan supernatan dapat tercampur dengan sempurna.
Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 45°C hingga kering atau mencapai kadar air
sekitar 7%. Menurut Desmorieux & Dacaen (2006), suhu pengeringan di atas 60oC akan
menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi maillard. Pengeringan
menggunakan matahari langsung juga dapat digunakan, namun tidak direkomendasikan
untuk produk yang akan dikonsumsi dengan manusia, karena dapat menimbulkan aroma
yang tidak diinginkan dan juga meningkatkan kontaminasi bakteri. Selain itu, proses
pengeringan menggunakan spray dryer juga dapat digunakan. Metode ini akanmemberikan
hasil yang baik dan secara umum tidak berakibat buruk terhadap kandungan gizinya.
Menurut Angka dan Suhartono (2000), proses penyimpanan Spirulina dilakukan pada
keadaan kering, karena dalam kondisi ini Spirulina tidak mudah mengalami fermentasi.
Tidak dilakukan pengamatan kadar air, namun cukup menggunakan spatula untuk melihat
sampel yang sudah kering atau masih gempal. Setelah dikeringkan maka akan terlihat dan
terbentuk adonan kering yang gempal sehingga perlu dihancurkan dengan menggunakan
penumbuk hingga berbentuk powder. Yield (mg/g) yang dihasilkan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
Yield =
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap warna, pigmen yang didapatkan oleh semua
kelompok adalah sama yaitu dari biru muda (sebelum pengovenan) menjadi biru muda
(setelah pengovenan) kecuali yang terjadi pada kelompok B2 yakni biru tua (sebelum
pengovenan) dan warna tetap biru tua setelah pengovenan. Tidak adanya perubahan warna
pigmen fikosianin menjadikan percobaan ini kurang sesuai dengan teori yang ada yang
menyatakan bahwa konsentasi dextrin yang semakin tinggi akan menyebabkan bubuk
fikosianin yang didapatkan menjadi pudar atau cenderung pucat. Warna dekstrin adalah
putih sehingga dapat memudarkan warna fikosianin yang didapatkan (Wiyono, 2007).
Berdasarkan hasil pengamatan, kelompok B1 memiliki nilai absorbansi pada panjang
gelombang 615 nm sebesar 0,1521 dan pada panjang gelombang 652 nm sebesar 0,1094
sehingga, konsentrasi fikosianin dan yield nya adalah 1,877 mg/ml dan 13,139 mg/g. Pada
kelompok B2 memiliki nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm
secara berturut-turut sebesar 0,1481 dan 0,1094 sehingga menghasilkan konsentrasi
fikosianin 1,800 mg/ml dan yield 12,600 mg/g. Pada kelompok B3 memiliki nilai
absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm secara berturut-turut sebesar
0,1393 dan 0,1732 sehingga menghasilkan konsentrasi fikosianin 1,071 mg/ml dan yield
7,497 mg/g. Kelompok B4, memiliki nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm
sebesar 0,1676 dan pada panjang gelombang 652 nm sebesar 0,1749 sehingga, konsentrasi
fikosianin dan yield nya adalah 1,586 mg/ml dan 11,103 mg/g. Pada kelompok B5 memiliki
nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm dan 652 nm secara berturut-turut sebesar
0,1217 dan 0,1743 sehingga menghasilkan konsentrasi fikosianin 0,732 mg/ml dan yield
5,124 mg/g. Warna sampel sebelum pengovenan adalah muda sementara warna setelah
pengovenan juga biru muda. Konsentrasi Fikosianin tertinggi adalah 1,877 mg/l sementara,
konsentrasi terendah adalah 0,732 mg/l. Yield tertinggi adalah 13,139 mg/g sementara yield
terendah adalah 5,124 mg/ml. Kandungan pigmen tertinggi dalam Spirulina sp. adalah
fikosianin. Kadarnya bisa mencapai 1-10% berat kering (Burtin, 2003). Pigmen ini bisa
dikembangkan sebagai pewarna biru alami dengan berbagai pertimbangan. Sehingga, hasil
yang didapat pada praktikum ini telah sesuai karena menghasilkan produk yang berwarna
biru. Menurut Kastanek (2011), kebutuhan fikosianin diprediksi dapat melampaui
pertumbuhan pewarna biru sintetis, dikarenakan pewarna biru alamiah sangat jarang tetapi
permintaan pasar tinggi, non toksik, non karsinogenik, bisa digunakan sebagai pewarna
kosmetik dan makanan (produk susu, es krim, permen, minuman ringan, minuman
beralkohol, dekorasi kue).
Akan tetapi, terdapat hasil yang tidak seragam yaitu pada konsentrasi fikosianin dan yield.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain jumlah sel mikroalga per ml larutan
yang digunakan tiap kelompok tidak sama sehingga, apabila jumlah selnya berbeda maka
jumlah pigmen fikosianin yang terekstrakpun berbeda. Kemungkinan lainnya adalah
hilangnya kandungan fikosianin dalam bahan akibat terdegradasi oleh suhu tinggi dan
proses penyimpanan yang dapat mengurangi pigmen warna. Semakin lama proses
penyimpanan maka kandungan fikosianin yang hilang akan semakin besar (Richmond,
1988). Kemurnian pigmen fikosianin merupakan salah tolok ukur kualitas pewarna alami
yang dihasilkan sehingga untuk memurnikannya dapat dilakukan dengan menggunakan
system aqueous 2 fase dimana menurut penelitian dari Francine et al. (2010) dengan
metode tersebut dapat menghasilkan konsentrasi fikosianin sebesar 2,67 mg/ml dengan
kemurnian 0,73.
4. KESIMPULAN
Konsentrasi Fikosianin tertinggi adalah 1,877 mg/l sementara, konsentrasi terendah
adalah 0,732 mg/l.
Yield tertinggi adalah 13,139 mg/g sementara yield terendah adalah 5,124 mg/g
Spirulina adalah organisme multiseluler yang tubuhnya berbentuk filamen berwarna
hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang.
Spirulina mengandung pigmen fikosianin tinggi yaitu sebanyak 20% dari total protein
selnya
Proses sentrifugasi (5000 rpm, 10 menit) berfungsi untuk mengendapkan debris sel dan
mengambil pigmen fikosianin yang larut dalam aquades.
Panjang gelombang 615 nm merupakan panjang gelombang maksimal dari fikosianin
(pigmen biru) sementara panjang gelombang 652 nm adalah absobsi maximum
allofikosianin (pigmen biru kehijauan).
Suhu pengeringan di atas 60oC akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya
reaksi maillard.
Konsentasi dextrin yang semakin tinggi akan menyebabkan bubuk fikosianin yang
didapatkan menjadi pudar atau cenderung pucat.
Semarang, 01 Oktober 2015
Asisten Praktikum,
- Deanna Suntoro
- Ferdyanto Juwono
Anggit Mardiana Permatasari
13.70.0168
Kelompok B2
5. DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS, Jayadi, Tri-Panji.(2002). Produksi pigmen oleh Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media limbah lateks pekat.Hayati. 9(3):80-84.
Angka SL, Suhartono TS. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Hlm 49-56.
Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas Gajahmada Press.Yogyakarta.
Arlyza, I.S. 2005. Isolasi pigmen biru phycocyanin dari mikroalga Spirulina platensis. Oseanol. Limnol. Indonesia 38: 79-92
Borowitzka M.A. (1997). Microalgae for Aquaculture, Opportunities and Constraints. Journal Application Phycology Vol. 9, hal. 393-401.
Boussiba S and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as a storage protein in the blue-green alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.
Burtin, P. 2003. Nutritional value of seaweeds. EJEAFChe.2 : 498–503
Chopra K. and Bishnoi M. (2007). Antioxidant Profile of Spirulina: A Blue Green Microalga. Di dalam: Gershwin M.E. dan Belay A., editor. Spirulina in Human Nutrition and Health. Perancis: CRC Press.
Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.
Diharmi A. (200)1.Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikrolaga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Duangsee, Rachen; Natapas Phoopat; and Suwayd Ningsanond. (2009). Phycocyanin extraction from Spirulina platensis and extract stability under various pH and
temperature.Website : http://www.ajofai.info/Abstract/Phycocyanin%20extraction%20from%20spirulina%20platensis%20and%20the%20extracts%20stability%20under%20various%20ph%20and%20temperature.pdf. Diakses tanggal 01 Oktober 2015.
Francine, Antelo; Andréia Anschau; Jorge A. V. Costa; Susana J. Kalil. 2010. Extraction and purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis in conventional and integrated aqueous two-phase systems. J. Braz. Chem. Soc. vol.21 no.5 São Paulo 2010
Goldman J.C. (1979). Outdoor Algal Mass Culture. II. Photosynthetic Yield Limitations. Water Research 13, 119-136
Hall DO, Rao KK. (1999). Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge University Press.
Henrikson R. (2009). Earth Food Spirulina. Ed Ke-6. Hawai: Ronore Interprise, Inc. Hal 37.
Kastanek, P. 2011. Blue natural colorant from Spirulina platensis algae. EcoFuel Laboratories ( w w w . e c o f u e l . c z . / f i l e s / EcoFuel%20Phycocyanin; akses 1-3-2012).
Lorenz R.T. (1998). Quantitative Analysis of C-phycocyanin from Spirulina pasifica (low teperature method). www.cyanotech.com. Diakses tanggal 01 Oktober 2015.
Luc, Brient;Marion Lengronne; Emilie Bertrand; Delphine Rolland; Arnaud Sipel; Delphine Steinmann; sabelle Baudin; Miche` le Legeas; Bertrand Le Rouzica and myriam Bormans.2007. A phycocyanin probe as a tool for monitoring cyanobacteria in freshwater bodies. Journal of Environmental Monitoring
Metting, B. dan Pyne, J.W. (1986). Biologically active compounds from microalgal.Mishra SK, Shrivastav A, Mishra S. (2008). Effect of preservatives for food grade C-PC
from Spirulina platensis. Process Biochemistry 43:339–345.
Monteiro, M.P.; Rosa H.L.; and Theresinha M.A. (2010).Effect of Three Different Types of Culture Conditions on Spirulina maxima Growth. Vol.53, n. 2: pp. 369-373.
Murtala, S. S. (1999). Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang.
Mussagy A, Annadotter H, Cronberg G. (2006). An experimental study of toxin production in Arthrospira fusiformis (Cyanophyceae) isolated from African waters. Toxicon 48:1027–1034.
Ó Carra P and Ó hEocha C. (1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press inc. Hal 328-371.
Reynolds, James E.F. (1982). Martindale The Extra Pharmacopolia, Edition Twenty Eigth. The Pharmacentical Press. London.
Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor. Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.
Romay C, González R, Ledón N, Remirez D, Rimbau V. (2003). C-phycocyanin: a Biliprotein with Antioxidant, Anti-inflammatory and Neuroprotective Effects. Current Protein and Peptide Science 4:207-216.
Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.(2007). Bioresour.Technol., 98, 1629.
Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. (2006). Comercial Application of Microalgae Review.J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96.
Steinkraus, H. (1983). Indigenous Fermented Food. Marcel Dekker. New York
Syah et al. (2005).Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Tietze HW. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing.Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.
Tri Panji S, Achmadi, Tjahjadarmawan E. (1996). Produksi asam gammalinolenat dari ganggang mikro Spirulina platensis menggunakan limbah lateks pekat.Menara Perkebunan 64 (1): 34-44.
Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S. (2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different Light Spectra. Vol. 54, pp 675-682.
Winarno, F. G. (2002). Pangan Gizi Teknologi Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus perhitungan :
Konsentrasi Fikosianin / KF (mg/ml) =
Yield (mg/g) =
Kelompok B1
KF = = 1,877 mg/ml
Yield = = 13,139 mg/g
Kelompok B2
KF = = 1,800 mg/ml
Yield = = 12,600mg/g
Kelompok B3
KF = = 1,071 mg/ml
Yield = = 7,497 mg/g
Kelompok B4
KF = = 1,586 mg/ml
Yield = = 11,103 mg/g
Kelompok B5
KF = = 0,732 mg/ml
Yield = = 5,124 mg/g
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal