10
Ungkapan Tradisional Jawa dalam Pranata Sosial Bidang Politik dan Pemerintahan Esay ini Ditulis Guna Memenuhi Tugas Mid Semester Mata Kuliah Pranata Sosial Jawa Dosen : Prof. Dr. Suharti Oleh : Nama : Rista Sapta Perwitasari NIM : 10205241074 Kelas : B PBD 2010 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

Ungkapan Tradisional Jawa dalam Pranata Sosial

Bidang Politik dan Pemerintahan

Esay ini Ditulis Guna Memenuhi Tugas Mid Semester Mata Kuliah Pranata Sosial

Jawa

Dosen : Prof. Dr. Suharti

Oleh :

Nama : Rista Sapta Perwitasari

NIM : 10205241074

Kelas : B PBD 2010

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2012

Page 2: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

Ungkapan Tradisional Jawa dalam Pranata Sosial Bidang Politik dan

Pemerintahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pranata merupakan kata

benda yang berarti sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-

istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya

guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat;

institusi.

Istilah pranata ditinjau dari sudut pandang sosiologi merupakan

terjemahan dari kata institution. Pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan

yang menyangkut aktivitas masyarakat di dalam kehidupannya (Sarjana, dan

Kuswa Endah, 2009:1).

Sesuai dengan pernyataan tersebut maka pranata mendasari segala

kehidupan manusia, mengatur tingkah laku anggota masyarakat sesuai dengan

adat-istiadat, norma, serta aturan moral yang berlaku di suatu masyarakat. Pranata

sosial tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan karena pranata sosial tersebut

merupakan wujud dari berbagai nilai-nilai moral dan sosial yang berkembang

dalam masyarakat tertentu. Salah satu jenis pranata sosial, berdasarkan fungsinya

dalam memenuhi kebutuhan manusia adalah pranata dalam bidang politik dan

pemerintahan. Pranata bidang politik dan pemerintahan membahas berbagai sikap,

tata cara, ajaran, dan tingkah laku yang baik dalam berpolitik dan jika duduk di

kursi pemerintahan. Dalam masyarakat Jawa juga memiliki pranata sosial bidang

politik tentang cara berpolitik dengan benar dan lurus yang dituangkan dalam

berbagai produk kebudayaan jawa, salah satunya budaya lisan atau verbal.

Produk budaya Jawa khususnya budaya verbal, memiliki variasi jenis yang

sangat banyak. Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kekhasan nilai dan norma

yang dapat dijadikan identitas atau jatidiri manusia Jawa (Sarjana dan Kuswa

Endah, dalam Endang : 2011).

Dalam setiap ungkapan tradisonal mengandung makna filosofis tersendiri

yang merupakan perwujudan nilai moral, ide, gagasan dari masyarakat

pembuatnya. Ungkapan tradisonal diwariskan secara turun-turun dari nenek

moyang, dengan memahami arti ungkapan tradisional Jawa kita dapat mengilhami

Page 3: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

bagaimana kehidupan serta norma dan tata krama dalam kehidupan para

pendahulu. Lebih dari itu kita dapat mengambil pesan moral berharga dari

ungkapan-ungkapan yang telah dibuat sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa

contoh ungkapan tradisional jawa bidang politik dan jalannya pemerintahan :

a. Bhineka tunggal ika.

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini

berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat

“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Semboyan ini dicuplik dari Kakawin Sutasoma

karangan Mpu Tantular. Dari semboyan ini dapat diambil pesan moral untuk

menghargai perbedaan satu sama lain. Dalam suatu negara terdiri dari rakyat yang

berbeda-beda, berbagai suku, ras, agama dan lain sebagainya. Hendaknya sebagai

orang yang duduk di jajaran pemerintah memandang Indonesia sebagai suatu

kesatuan yang utuh bukan hanya mementingkan diri pribadi dan golongan saja.

b. Sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati.

Arti ungkapan ini adalah “Sekali sentuhan dahi, sejengkal saja tanah akan

diperjuangkan sampai mati”. Maksudnya adalah menjaga kehormatan dan harga

diri dengan sekuat tenaga. Masyarakat Jawa menempatkan istri dan kepemilikan

tanah sebaagai simbol harga diri dan kehormatan yang harus diperjuangkan

sampai titik darah pengahabisan. Nilai yang dapat diambil dari ungkapan ini

adalah menjunjung tinggi nilai nasionalisme, yaitu sebagai warga negara

hendaknya menjaga serta membela tanah air, kehormatan bangsa dan negara.

c. Negara mawa tata, desa mawa cara.

Artinya “negara memiliki undang-undang dan peraturan-peraturan, desa

mempunyai adat istiadat”. Nilai yang terkandung dari ungkapan ini adalah

memberi pengertian bahwa setiap negara, setiap wilayah memiliki aturan dan

yang berbeda. Dalam bernegara hendaknya saling menghormati aturan yang

dimiliki oleh setiap golongan, tidak bisa memaksakan satu aturan kepada

masyarakat lain dengan sewenang-wenang, jika bertamu hendaknya mengikuti

aturan dari tuan rumah.

Page 4: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

d. Asu gedhe menang kerahe.

Artinya “anjing yang besar selalu menang dalam berkelahi”. Ini

merupakan perumpaan bahwa orang yang kuat dan berkuasa selalu memenangkan

perselisihan bahkan dalam bidang hukum negara sekalipun. Telah banyak kasus

yang sangat menunjukan kebenaran ungkapan ini. Dari kasus itu terlihat betapa

masih tidak adilnya hukum di negara kita. Untuk itu dalam berpolitik diharapkan

dapat menghayati ungkapan ini, sehingga dapat menghargai hak orang lain dan

bersikap adil. Para petinggi juga diharapkan tidak bertindak sewenang-wenang

pada rakyat jelata.

e. Sepi ing pamrih rame ing gawe.

Artinya “sepi dalam imbalan, ramai dalam pekerjaan”, maksudnya rajin

dalam bekerja tetapi tidak mengharapkan imbalan. Nilai yang terkandung dalam

ungkapan ini adalah bila duduk di bangku pemerintahan hendaklah

mengutamakan pengabdian kepada masyarakat dan rela berkorban untuk

kepentingan rakyatnya tan mengharap-harapkan pamrih tertentu demi meraih

kepentingan pribadi.

f. Kacang mangsa ninggal lanjaran.

Artinya “kacang panjang tidak akan meninggalkan kayu tempatnya

merambat”, merupakan sebuah kiasan yang maksudnya orang yang hidup jangan

sekali-sekali melupakan asal-usulnya. Apabila telah menjadi pejabat harus tetap

mengingat masa lalunya, mengingat orang yang telah membawanya kepada

posisinya itu, termasuk juga rakyat yang telah mempercayainya untuk mewakili

mereka. Tidak lupa jika ia telah berada di posisi yang berkuasa wajib menengok

ke bawah dan mementingkan kepentingan rakyat.

g. Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi, mulat

sarira hangrasa wani

Artinya “merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, mencermati diri

sendiri dan mawas diri”. Merasa ikut memiliki maksudnya agar kita menganggap

negara ini adalah sesuatu yang menjadi milik kita hak kita sendiri, sehingga

timbul perasaan wajib membela negara dan tanah air kita ini dengan sekuat

tenaga. Selain itu sebagai manusia biasa kita wajib berhati-hati pada tindakan kita

Page 5: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

dan senantiasa mawas diri agar terhindar dari perbuatan dan hal-hal yang tidak

baik. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini membangkitkan rasa

nasionalisme yang ada pada diri kita masing-masing.

h. Aja adigang, adigung, adiguna.

Artinya “jangan merasa lebih kaya, lebih kuasa dan lebih pandai”, ungkapan ini

mengandung konsep jawa “aja dumeh”. Yaitu jangan mentang-mentang memiliki

kekuasaan, kekayaan, kepandaian lantas menyepelekan orang lain dan berlaku

sewenang-wenang. Hindarilah sifat sombong, memamerkan apa yang dimilikinya,

walaupun ia seorang Presiden dengan kekayaan berlimpah dan di depan belakang

namanya berderet berbagai gelar akademik sejatinya ia tetap manusia. Manusia

tidak bisa hidup sendirian dan selalu membutuhkan bantuan orang lain sehingga

menjaga perasaan orang lain adalah hal yang sangat penting.

i. Aja mung melik gebyar.

Artinya “jangan hanya menginginkan kemewahan”. Kemewahan identik dengan

kebutuhan duniawi semata, merujuk pada piweling agar jangan korupsi. Sebagai

seorang wakil rakyat hendaklah menghindari sifat hedonis dan serbamewah

karena itu bukanlah sifat yang bermanfaat. Justru dapat menimbul malapetaka jika

nantinya dia terjerumus dalam korupsi karena ingin memenuhi keinginannya akan

kemewahan. Sebagai figur yang dicontoh oleh banyak orak sifat sederhana dan

bersahaja karena dengan begitu akan lebih menarik simpati serta kepercayaan dari

rakyatnya.

j. Aja mung nggedhekake puluk.

Secara harfiah artinya “jangan hanya mengedepankan makan”. Hampir sama

dengan aja mung melik gebyar ungkapan ini juga mengingatkan agar kita jangan

sekali kali tergiur untuk memuaskan nafsu kita akan harta atau korupsi. Nilai yang

dapat dipetik dari ungkapan ini jika duduk di pemerintahan dan telah bersedia

mengemban tanggung jawab tertentu jangan sekali-sekali memikirkan kebutuhan

pribadi kita. Jangan hanya memikirkan bagaimana cara ‘mengenyangkan perut’

yang utama adalah bagaimana cra agar dapat menyelesaikan segala tanggung

jawab dengan baik.

Page 6: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

Sesuai dengan beberapa contoh Sebagai orang yang diberi kepercayaan

dan telah bersedia memikul tanggung jawab besar untuk menjalankan

pemerintahan hendaknya memiliki sikap moral yang baik. Sebagai seorang yang

meiliki jabatan harus menghindari sikap sombong karena setinggi apapun jabatan

seseorang ia tetap merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang lemah, tidak pantas

untuk menyombongkan apa yang dimilikinya karena itu hanyalah titipan yang

dapat diambil sewaktu-waktu. Lebih dri itu diatas langit masih ada langit, jadi

masih banyak yang melebihi.

Kepentingan umum adalah diatas segalanya sehingga harus didahulukan.

Jabatan yang sedang dipangku hanyalah titipan dari rakyat, tanpa dukungan dari

rakyat jabatan itu tak berati dan dapat dengan mudah ditumbangkan. Oleh karena

itu kepentingan rakyat harus diperhatikan dan diutamakan. Sebagai pejabat

pemerintak juga harus mampu menahan keinginan dan nafsu pribadi untuk

memperkaya diri sehingga ia dapat terbebas dari korupsi.

Sementara, kalangan rakyat juga wajib memiliki pengabdian kepada

negara. Memupuk rasa nasionalisme dan cinta kepada tanah air. Menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa dengan menghargai perbedaan. Serta berkewajiban

memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan

tanah airnya sekuat tenaga hingga tetes darah penghabisan. Tanah air adalah

lambang martabat, harga diri dan kehormatan dari suatu bangsa sehingga jika ada

yang mengusik harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.

Page 7: Pranata Sosial - Mid - Ungkapan Trad. Jawa

Daftar Pustaka

Sarjana, dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.

, 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Hadiatmaja, Sarjana. 2011. Etika Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.

Sadono, Bambang. Peneguhan Bahasa Dan Sastra Jawa Sebagai Sumber Kearifan Kehidupan Bernegara Dalam Produk Perundang-Undangan, http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1573-peneguhan-bahasa-dan-sastra-jawa-sebagai-sumber-kearifan-kehidupan-bernegara-dalam-produk-perundang-undangan.html.

Bhinneka Tunggal Ika, http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika.

Nurhayati, Endang. 2011. Nilai-Nilai Luhur dalam Ungkapan Jawa sebagai Fondamen Kehidupan masyarakat Berbudaya. Surabaya: Makalah (http://ki-demang.com/kbj5/index.php?option=com_content&view=article&id=1278&Itemid=1087).

Widyastuti, Sri Harti. 2011. Reaktualisasi Ungkapan Tradisional Jawa Sebagai Sumber Kearifan Lokal Dalam Masyarakat untuk Penguat Kepribadian Bangsa. Surabaya: Makalah (http://ki-demang.com/kbj5/index.php?option=com_content&view=article&id=1263&Itemid=1072).