Upload
citra-novi-m-pakpahan
View
30
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. DIABETES MELLITUS TIPE 2
III.1.1.Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang mengganggu metabolisme karbohidrat,
lipid, dan protein karena defisiensi sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya
(Masharani dan Michael, 2007). Selan itu, DM juga merupakan kumpulan
masalah anatomi dan kimiawi akibat dari banyak faktor. Hal ini mengakibatkan
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani,
2006). Pada kasus DM tipe 2 dapat terjadi dominan resistensi insulin relatif
disertai defisiensi insulin relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (Perkeni, 2011).
III.1.2.Faktor Resiko
Faktor risiko pada DM ada yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi (Perkeni, 2011), yaitu :
Faktor risiko tidak bisa dimodifikasi :
Ras dan Etnik
Usia lebih dari 40 tahun
Riwayat keluargan dengan DM
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
Berat badan lebih (IMT > 23)
Hipertensi (140/90 mmHg)
Dislipidemia
Diet yang tidak sehat (diet tinggi gula dan rendah serat)
Kurang aktivitas fisik
III.1.3.Patofisiologi
Permasalahan utama pada DM tipe 2 bukan karena kekurangan insulin,
tetapi pada sensitivitas dari sel target yang berkurang terhadap insulin atau disebut
dengan resistensi insulin (Sherwood, 2010). Resistensi insulin menyebabkan
hiperglikemia karena terjadi gangguan penggunaan glukosa pada sel dan
peningkatan output glukosa hepar (Powers, 2005). Ada banyak spekulasi yang
menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Salah satu teori yang dikemukakan
adalah penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase. Tetapi, hal ini
bukan penyebab primer dari resistensi insulin, karena penurunan tersebut
merupakan dampak dari hiperinsulinemia. Defek pada post reseptor diyakini
sebagai penyebab primer dari resistensi insulin, yaitu defek sinyal PI-3 kinase
yang menyebabkan translokasi GLUT-4 pada membran plasma berkurang
(Powers, 2005). Teori lainnya menyebutkan bahwa obesitas dapat menyebabkan
resistensi insulin. Adiposit yang berlebih akan mensekresi sitokin TNF- , yang
berperan untuk menghambat lipogenesis dan meningkatkan aktivitas lipolisis
sehingga kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) meningkat. TNF-
akan mengganggu sinyalisasi insulin dalam proses fosforilasi reseptor insulin dan
mengurangi ekspresi GLUT-4 (Kahn dan Jeffrey 2000). Hal ini akan menggangu
konsumsi glukosa oleh otot rangka, menstimulus produksi glukosa hepar dan
menggangu fungsi sel beta sehingga terjadi hiperglikemia (Powers, 2005).
Gambar 1. Mekanisme Kerja Insulin (Powers, 2005).
III.1.4.Gejala
Gejala khas atau klasik dari DM, yaitu : poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan gejala
tidak khasnya berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, difungsi ereksi
pada pria, pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).
III.1.5.Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui berbagai cara, diantaranya adalah
sebagai berikut (Perkeni, 2011) :
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan keluhan klasik
Tes toleransi glukosa oral (TTGO) 200 mg/dl, dengan menggunakan
beban glukosa setara dengan 75 gr glukosa yang dilarutkan ke dalam air.
Pemeriksaan HbA1C 6,5 % dengan gejala klasik
Sedangkan untuk kelompok tanpa keluhan khas, yang mendapatkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah pertama kali abnormal, diagnosis DM belum
cukup kuat untuk ditegakkan. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan
melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sekali lagi, jika hasil pemeriksaan
glukosa darah masih menunjukkan hasil yang abnormal, diagnosis DM dapat
ditegakkan (Gustaviani, 2006).
III.1.6.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita DM (Perkeni, 2011). Tujuan penatalaksanaan DM, yaitu:
Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : mencegah dan terhambat progresivitas penyulit berupa
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka morbiditas
dan mortalitas dini DM.
Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2 - 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011).
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien DM meliputi pemahaman tentang :
perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM,
penyulit DM dan risikonya, intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta
target perawatan, interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat
hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain, cara pemantauan glukosa
darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi sementara
keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia, pentingnya latihan
jasmani yang teratur, masalah khusus yang dihadapi (contoh: DM pada
kehamilan), serta pentingnya perawatan diri.
2. Terapi gizi medis (TGM)
Pada penderita DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2011).
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
a. Karbohidrat
Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi
Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian.
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat per hari
b. Lemak
Dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori. Lemak jenuh < 7%
kebutuhan kalori dan Lemak tidak jenuh ganda < 10 % kebuthan kalori.
Membatasi makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak
trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal
dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty
Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 15 – 20% total asupan
energi
Sumber protein yang baik adalah ikan,
seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi
d. Garam
Tidak > 3000 mg atau sama dengan 6 – 7 g (1
sendok teh) garam dapur
Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama
pada penderita hipertensi
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari,
diutamakan serat larut
f. Pemanis
Batasi penggunaan pemanis bergizi
Fruktosa tidak dianjurkan karena efek
samping pada lipid plasma
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman
3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit
yang sifatnya CRIPE, yaitu:
Continous Latihan berkesinambungan, terus-menerus tanpa henti.
Rytmical Latihan olah raga harus dipilih yang berirama agar otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
Interval Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat.
Progressive Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari
intensitas ringan.
Endurance Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging,
berenang dan bersepeda.
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai
memulai olah raga sebelum makan.
4. Terapi Farmakologis
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Perkeni, 2011). Berdasarkan cara
kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :
Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan
glinid
Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase α
DPP IV inhibitor
Cara pemberian OHO terdiri dari :
Dimulai dengan dosis kecil, ditingkatkan
secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai
dosis hampir maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30
menit sebelum makan
Glimepiride, Repaglinid, Nateglinid :
sebelum / sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum / pada saat / sesudah
makan karbohidrat
Tiazolidindion : tidak bergantung pada
jadwal makan
Acarbose : bersama suapan pertama
makan
DPP – IV inhibitor : bersamaan dengan
makan dan atau sebelum makan
Tabel 1. Perbandingan Golongan OHO
Golongan Cara KerjaEfek
SampingPenurunan A1C
SulfonilureaMeningkatkan sekresi insulin
BB naik, hipoglikemia
1 – 2 %
GlinidMeningkatkan sekresi insulin
BB naik, hipoglikemia
0,5 – 1,5 %
Metformin Menekan produksi glukosa hati &
Diare, dyspepsia,
1 – 2 %
menambah sensitifitas terhadap insulin
asidosis laktat
Penghambat glukosidase α
Menghambat absorpsi glukosa
Flatulens, tinja lembek
0,5 – 0,8 %
Tiazolidindion
Menambah sensitifitas terhadap insulin
Edema 0,5 – 1,4 %
DPP – IV Inhibitor
Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon
Sebah, muntah 0,5 – 0,8 %
Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011
b. Suntikan
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar nonketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan TGM,
gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, serta kontraindikasi dan atau alergi
terhadap OHO. Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin )
Insulin kerja pendek ( short acting insulin )
Insulin kerja menengah ( intermediate acting
insulin )
Insulin kerja panjang ( long acting insulin )
Insuln campuran tetap ( premixed insulin )
Efek samping terapi insulin yang utama adalah terjadinya hipoglikemia. Selain
itu, efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin
Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan baru untuk pengobatan DM adalah Agonis GLP-1/Incretin
Mimetic. Agonis GLP-1 bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia atau peningkatan berat badan yang biasanya terjadi
pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan
mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenensis. Efek samping yang timbul adalah sebah dan muntah.
Tabel 2. Perbandingan Obat Hipoglikemia Suntikan
Golongan Cara KerjaEfek
SampingPenurunan
A1C
InsulinMenekan produksi glukosa hati, stimulasi pemanfaatan glukosa
Sebah, muntah 1,5 – 3,5 %
DPP – IV Inhibitor
Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon
Hipoglikemi, BB naik
0,5 – 1 %
Tabel 3. Jenis – Jenis Insulin
Nama Lama Kerja Kemasan
Insulin Short Acting
Reguler (Actrapid, Humulin-R) 3 – 5 jam Vial, pen/cartridge
Insulin Analog Rapid Acting
Insulin Lispro (Humalog) 3 – 5 jam Pen/cartridge
Insulin Glulisine (Apidra) 3 – 5 jam Pen
Insulin Aspart (Novorapid) 3 – 5 jam Pen, vial
Insulin Intermediate Action
NPH (Insulatard, Humulin N) 10 - 16jam Vial, pen/cartridge
Insulin Long Acting
Insulin glargine (Lantus) 18 – 26 jam Pen
Insulin Detemir (Levemir) 22 – 24 jam Pen
c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO. Untuk
kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral
dihentikan dan diberikan insulin. (PERKENI, 2011)
III.1.7.Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut maupun
menahun, diantaranya adalah :
1. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus
ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka
kematiannya dapat ditekan serendah mungkin.
Ketoasidosis diabetik
Hiperosmolar nonketotik
Hipoglikemia
2. Penyulit menahun
Makroangiopati, yang melibatkan :
Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi
Pembuluh darah otak
Mikroangiopati:
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati
III.2. GAGAL GINJAL KRONIK
III.2.1.Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m². 1.2
Pada pasien dengan penyakit GGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai
laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit
ginjal kronik dalam lima stadium, yaitu :
Tabel 4. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG.1,3
Derajat PenjelasanLFG
(mL/menit/1,73m2)
1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
III.2.2.Etiologi1,3,4
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal dimana mekanisme imun
memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang mengakibatkan
kerusakan pada membran basal, mesangium atau endotelium kapiler. Hippocrates
awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans mampu
menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar
penelitian asli berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut
didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria,
proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai
dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu.2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Kebanyakan kasus terjadi
pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada pasien yang lebih tua dari
40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi hematurim oligouri,
edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri
pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2
2. Diabetes Melitus (DM)
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya. DM sering
disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua
organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Terjadinya DM ditandai dengan gangguan metabolisme dan
hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intrakapiler. Di ginjal,
perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran
protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat
menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya
mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan
ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .2,4
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.5,6
Tabel 5. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup,
serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6
Klasifikasi Tekanan
Darah
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Modifikasi Gaya Hidup
Terapi
Normal < 120 < 80 Edukasi Tidak perlu obat antihipertensiPrehipertensi 120 – 139 80 – 89 Ya
Stage 1 HT 140 – 159 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik.
Dapat juga ACEI, ARB, BB, CCB/kombinasi
Stage 2 HT > 160 > 100 Ya
Kombinasi 2 jenis obat (misalnya thiazid tipe diuretik dan ACEI/ARB/BB/ CCB)
Target tekanan darah pada pasien dengan CKD atau DM adah <130/80 mmHg.
III.2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit GGK diperkitakan 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru GGK pertahunnya.
Di Negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus
perjuta penduduk per tahun. Penyebab GGK yang menjalani hemodialisis di
Indonesia tahun 2000:1,7
Glomerulonefritis (46,39%)
Diabetes Mellitus (18,65%)
Obstruksi dan infeksi (12,85%)
Hipertensi (8,46%)
Sebab lain (13,65%)
Penyakit GGK lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya
pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2
III.2.4.Faktor risiko
Faktor risiko GGK, yaitu pada pasien dengan DM atau hipertensi, penyakit
autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, berat
badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit DM,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan
terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.3
III.2.5.Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial.1
Perjalanan umum GGK dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum
dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal
mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada
ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan
test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba.1
Stadium berat dan stadium terminal GGK disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih
utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin
sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan
kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap
penurunan LFG. Pada stadium akhir, penderita mulai merasakan gejala-gejala
yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada
berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus.
Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1
III.2.6.Gambaran Klinik
Gambaran klinik GGK berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: 1,2,7
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien GGK. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun
kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab
utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1,7
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
GGK terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum
jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera
mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.2
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien GGK. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan GGK yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien GGK. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien GGK akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3
5. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya.
6. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada GGK sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien GGK terutama pada stadium terminal dan
dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
III.2.7.Pendekatan Diagnosis
Pendekatan diagnosis GGK dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
Menentukan strategi terapi rasional
Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. Gambaran klinis pasien penyakit
ginjal kronik meliputi :
Sesuai dengan penyakit yang mendasari;
Sindrom uremia yang terdiri dari : lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
Gejala komplikasinya antara lain : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, chlorida).1
2. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit GGK sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan
urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerolus, selain itu dikhawatirkan terjadi
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, mass
Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.
III.2.8.Penatalaksanaan1,2,3,7
1. Terapi konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Peranan diet Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk
GGK harus adekuat agar dapat mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan
elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar
penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena
meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali (sodium
bicarbonat) yang harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien GGK. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis
pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan
tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.8 Transfusi darah misalnya Paked
Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan
efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan utama yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit Tindakan yang diberikan tergantung jenis keluhan di kulit.
Kelainan neuromuskular Terapi yang dilakukan adalah hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa / operasi subtotal paratiroidektomi.
Hipertensi Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (ACE inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
Kelainan sistem kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan
yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita,
termasuk pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit GGK stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut, yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >
120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Serta indikasi elektif, yaitu LFG : antara
5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal.
Transplantasi ginjal
III.2.9.Prognosis
Pasien dengan GGK umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani
dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien
dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup
lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah
karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak
(6%), dan keganasan (4%).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. GGK. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article
/238798-overview , 05 Februari 2011.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05
Februari 2011.
4. Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/ article/777272-overview , 22 Agustus 2010.
5. Editorial. Tekanan Darah Tinggi. Diunduh dari:
http://id.wikipedia.org/wiki /Tekanan_darah_tinggi , 05 Februari 2011.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis
R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
hlm 168-70.
7. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007.
294-97.
8. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.