Upload
gia-noor-pratami
View
80
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Presentasi Kasus
SEORANG LAKI-LAKI 18 TAHUN DENGAN MITRAL STENOSIS
DAN INSUFFISIENSI (MSI), TRIKUSPID REGURGITASI (TR)
AKIBAT PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
Oleh:
Iput Syahril
Gia Noor Pratami G99122052
Gloria K. Evasari G99122053
Ratih Puspa Wardani G99122100
Pembimbing: Triadhy Nugraha YS, dr., Sp.JP, FIHA
KEPANITERAAN KLINIK
SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2013
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Sdr. S
Umur : 18 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Mojorojo 03/06 Temon Baturetno, Kebakkramat,
Karanganyar, Jawa Tengah
No. RM : 00953199
Masuk RS : 20 Juni 2013
Tgl pemeriksaan : 21 Juni 2013
B. DATA DASAR
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan
memberat + dalam 1 minggu SMRS dan tidak berkurang dengan istirahat.
Sesak tidak disertai mengi. Pasien merasa nyaman tidur dengan 5-6
bantal. Pasien merupakan pasien PJR dan rutin kontrol ke poli jantung. 3
hari SMRS pasien kontrol dan mendapat obat omeprazole, KI, dan
paracetamol. Sesak tidak membaik sehingga pasien dibawa ke RSDM.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak 1 minggu, dahak berwarna putih
kental, mual (+), muntah (+), pusing (+), nafsu makan menurun (+).
Pasien memang memiliki penyakit jantung sejak usia 15 tahun. Apabila
kecapekan maka sesak kambuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat penyakit jantung: (+) sejak usia 15 tahun
Riwayat Mondok : (+) 5x karena penyakit jantung, terakhir bulan
April 2013
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Asma : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Hipertensi : (-)
Riwayat penyakit jantung: (-)
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok : (-)
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 19 tahun dengan pekerjaan
sebagai pedagang. Pasien dirawat di RSUD Dr. Moewardi dengan
fasilitas Jamkesmas.
C. ANAMNESA SISTEMIK
Keluhan utama : Sesak nafas
Kulit : Sawo matang, kering (-), pucat (-), menebal (-),
gatal (-), luka (-), kuning (-).
Kepala : Sakit kepala (-), pusing (+), rambut mudah dicabut
(-), rambut mudah rontok (-)
Mata : Pandangan kabur (-/-), pandangan dobel (-/-),
pandangan berputar-putar (-/-), berkunang-kunang
(-/-).
Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-), gatal
(-).
Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
Mulut : Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-), sariawan
(-), gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir pecah-
pecah (-), luka pada sudut bibir (-).
Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).
Sistem Respirasi : Sesak nafas (+), batuk (+), dahak (+) warna putih,
mengi (-).
Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa tertekan (-), rasa berdebar
(-), sesak nafas karena aktivitas (+)
Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+),
BAB (+) normal, perut sebah (-), nyeri ulu hati (-),
mbeseseg (-), kembung (-), tinja warna kuning.
Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-), nanah (-),
anyang-anyangan(-), sering menahan kencing (-),
BAK warna seperti teh(-).
Sistem Muskuloskeletal : Lemas (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), bengkak
sendi (-).
Ekstremitas : Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor (-),
kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-).
Bawah Kanan/Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor (-),
kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-).
Neuropsikiatri : Kejang (-), emosi tidak stabil (-), kesemutan (-),
lumpuh (-), gelisah (-), menggigau(-).
D. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 21 Juni 2013
1. Keadaan umum : sakit sedang, lemas, compos mentis, GCS
E4V5M6
2. Vital Sign : Tekanan Darah
HR
Nadi
RR
: 110/70 mmHg
: 64x /menit
: 54x /menit
: 24x/menit
Suhu : 36,8o C
3. Mata : conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
4. Leher : JVP ≠ meningkat
5. Thorax : retraksi (+/+)
6. Cor : I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS
P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS,
thrill di apex
P: batas jantung melebar ke caudolateral
A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler,
bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks
3/6, bising diastolik di apeks 3/6, gallop
(-)
6. Pulmo : I : pengembangan dada kiri=kanan
P : fremitus raba kiri = kanan
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH (+/+) di 1/3 lapang paru
7. Abdomen
8. Ekstremitas
: I : dinding perut sejajar dinding dada
A : BU (+) N
P : Tympani
P : Supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba
: Akral dingin
- -
- -
Oedem
- -
- -
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
20/06/2013 Satuan nilai rujukan
Hb 11,7 Gr/dl 12,0-15,6
Hct 35 % 33-45
AE (uL) 4,17 106/uL 4,10-5,10
AL 7,9 103/uL 4,5-11
AT 170 103/Ul 150-450
PT 20,4 detik 10.0 – 15.0
APTT 37 detik 20.0 – 40.0
INR 1,870 -
Ureum 31 Mg/Dl <50
Kreatinin 0,6 Mg/Dl 0,6-1,1
Na+ 129 mmol/L 136-145
K+ 4,8 mmol/L 3,5-5,1
Cl 99 mmol/L 98-106
HbsAg Non reaktif
EKG 20 Juni 2013
Kesimpulan: AF rapid VR, HR 124x/menit, LVH
Echocardiography 21 Juni 2013
Dimensi LV dilatasi, IVS dan PW tidak menebal, massa tidak meningkat
Fungsi sistolik LV normal rendah (EF 55%)
Wall motion: global normokinetik
Dimensi LA giant, RA dan RV dilatasi
Kontraktilitas LV menurun (TAPSE 1,7 cm)
Katup-katup jantung:
aorta: dalam batas normal
pulmonal: tampak M-mode PH (+)
trikuspid: TR severe
mitral : MR severe
Kesimpulan: Menyokong PJR dengan MR dan TR severe, dilatasi seluruh
ruang jantung EF 55%
F. DIAGNOSIS KERJA
A(x) : MSI, TR, LVH
F(x) : Decomp cordis NYHA IV, AF rapid VR (perbaikan normo VR)
E(x) : PJR
G. TERAPI
1. Bed rest ½ duduk
2. Infus RL 10cc/jam
3. O2 6 lpm kanul nasal
4. Diet jantung 2100 kkal
5. Injeksi furosemid 20mg/12 jam
6. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam
7. Warfarin 2 mg / 0-0-II
8. Spironolacton 25 mg 1-0-0
9. Captopril 3x6,25 mg
10. Injeksi lanoksin ½ ampul/ 8 jam
11. Alprazolam 0,5 mg 0-0-I
12. Antasyd syrup 3xCI
H. PLAN
-
I. PROGNOSIS
Ad vitam :
Ad sanam :
Ad fungsionam :
FOLLOW UP
Tgl 22 Juni 2013 23 Juni 2013
S Sesak (+) berkurang, batuk (-) Sesak (-), batuk (-)
O KU : compos mentis, sakit sedang
Vital Sign:
T : 100/70 mmHg
HR : 78x/menit
N : 78x/menit
Rr : 18x/menit
t : 36.5oC
Mata : CA (-/-) SI(-/-)
Leher : JVP ≠ meningkat
Cor :
Vital Sign:
T :
HR :
N :
Rr :
t : 36.5oC
Mata : CA (-/-) SI(-/-)
Leher : JVP ≠ meningkat
Cor :
I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS
P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS,
A
I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS
P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS,
thrill di apex
P: batas jantung melebar ke caudolateral
A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler,
bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks 3/6,
bising diastolik di apeks 3/6, gallop (-)
Pulmo :
I : pengembangan dada kiri=kanan
P : fremitus raba kiri = kanan
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH (-/-)
Abdomen :
I : dinding perut sejajar dinding dada
A : BU (+) N
P : Tympani
P : Supel, NT (-)
Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
Diagnosa:
A (x) : MSI, TR, LVH
F (x) : Decomp cordis NYHA IV, AF normo
VR
E (x) : PJR
Terapi
1. Bed rest tidak total
2. Infus RL 10cc/jam
3. O2 3 lpm kanul nasal
thrill di apex
P: batas jantung melebar ke caudolateral
A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler,
bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks 3/6,
bising diastolik di apeks 3/6, gallop (-)
Pulmo :
I : pengembangan dada kiri=kanan
P : fremitus raba kiri = kanan
P : sonor/sonor
A : SDV (+/+), RBH (-/-)
Abdomen :
I : dinding perut sejajar dinding dada
A : BU (+) N
P : Tympani
P : Supel, NT (-)
Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
Diagnosa:
A (x) : MSI, TR, LVH
F (x) : Decomp cordis NYHA IV, AF normo VR
E (x) : PJR
Terapi
1. Bed rest tidak total
2. Infus RL 10cc/jam
3. O2 3 lpm kanul nasal
4. Diet jantung 2100 kkal
5. Injeksi furosemid 20mg/12 jam
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
4. Diet jantung 2100 kkal
5. Injeksi furosemid 20mg/12 jam
6. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam
7. Warfarin 2 mg / 0-0-II
8. Spironolacton 25 mg 1-0-0
9. Captopril 3x6,25 mg
10. Digoxin 0,25 mg I-0-0
11. Alprazolam 0,5 mg 0-0-I
12. Antasyd syrup 3xCI
13. Injeksi .....
Plan:
Cek....
6. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam
7. Warfarin 2 mg / 0-0-II
8. Spironolacton 25 mg 1-0-0
9. Captopril 3x6,25 mg
10. Digoxin 0,25 mg I-0-0
11. Alprazolam 0,5 mg 0-0-I
12. Antasyd syrup 3xCI
13. Injeksi .....
Plan:
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Jantung Rematik
1. Definisi
Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat
jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit jantung
sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung. Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR
adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu
setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas
(Underwood J.C.E, 2000).
2. Faktor Risiko
Faktor risiko yang berpengaruh pada timbulnya PJR dibagi menjadi faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain :
2.1 Demam Rematik (DR)
2.1.1. Definisi DR
Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu akibat
infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh satu atau
lebih manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan, dan eritema
marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali (Afif, A dkk.)
Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma klinik
penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada
tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala
mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema
marginatum (Meador R.J. et al, 2009).
2.1.2. Etiologi DR
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus
Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus
Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas
antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini
lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi
hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR.
Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR
terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari
lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan
bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus beta
hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008).
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi saluran
nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan
terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada saat serangan
DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat
ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan
dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode
faringitis setiap tahunnya dan 15%-20% disebabkan oleh Streptokokus grup A dan
80% lainnya disebabkan infeksi virus. Insidens infeksi Streptococcus beta
hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara berbagai negara dan di
daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -15 tahun.
Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan
sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor
genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab
dan perubahan suhu yang mendadak (Park M.K., 1996).
2.1.3. Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan
terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons
manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic
host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis
yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibilitas
mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera
setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam
patogenesis penyakit ini.
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat
sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di faring. Streptococcus
adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron dan
mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis,
yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis
hemolitik.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O (ASTO),
antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes yang biasa
dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A.
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang berlebihan
(hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh Streptococcus beta
hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang
antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A dengan otot jantung yang
mempunyai susunan antigen mirip antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A.
Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
Dalam keadaan normal,sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari
antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen, tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi
autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibodi.
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala
klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli
sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.
2.1.4. Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis, korea, nodulus
subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung terjadi
bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini terjadi
pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam urutan yang berdekatan.
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan manifestasi minor,
yaitu :
Manifestasi Klinis Mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema marginatum, dan nodul
subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR Akut.
Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan
reaksi radang.
Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang seperti
bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi.
Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa
hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5
minggu, tanpa gejala sisa apapun.
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokarditis, miokarditis,
dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis, miokarditis, dan
perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada
daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini
menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap.
Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-tanda gagal jantung.
Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan
sekaligus disebut pankarditis.
Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala dini karditis adalah rasa
lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak tampak sakit meskipun belum ada gejala-
gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan
dapat menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit. Diagnosis klinis karditis
yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda berikut ini dapat ditemukan,
seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik, ukuran jantung yang bertambah
besar, terdapat tanda perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif.
Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan tiba-tiba,
tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot dan emosi yang
tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota
gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Korea biasanya muncul
setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi Streptokokkus dan
pada waktu seluruh manifestasi DR lainnya mereda. Korea ini merupakan satu-
satunya manifestasi klinis yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering
pada anak perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa bercak-bercak
merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas,
berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal. Tempatnya dapat
berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas atau paha, tetapi tidak
pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari
penderita DR dan merupakan manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis.
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah kulit, keras,
tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit diatasnya
dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian terutama
sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu
setelah serangan DR Akut.
Manifestasi Klinis Minor
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik tetapi
diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini meliputi
demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis.
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang melebihi 39°C
dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan.
Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri, merah,
hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan bertambah
bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut dan epistaksis,
nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan epistaksis berulang merupakan
tanda subklinis dari DR.
Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu umumnya dimulai
dengan demam remiten yang tidak melebihi 39°C atau arthritis yang timbul setelah 2-
3 minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda umum
berupa malaise, astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat berupa
atralgia, yaitu nyeri persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri
tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis pada DR dapat mengenai beberapa sendi
secara bergantian. Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan
perikarditis), nodul subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen
(Mansjoer A. dkk., 2000). Langkah pertama dalam mendiagnosis PJR adalah
menetapkan bahwa anak anda baru-baru ini mengalami infeksi streptokokus. Dokter
mungkin melakukan tes hapusan tenggorokan, tes darah, atau keduanya untuk
memeriksa adanya antibodi Streptokokus. Namun, ada kemungkinan bahwa tanda-
tanda infeksi strep mungkin hilang pada saat anda membawa anak anda ke dokter.
Dalam hal ini, dokter akan memerlukan anda untuk mencoba mengingat apakah anak
anda baru-baru ini mengalami sakit tenggorokan atau gejala lain dari infeksi
streptokokus.
Seterusnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan memeriksa anak anda untuk
tanda-tanda demam rematik, termasuk nyeri sendi dan peradangan. Dokter juga akan
mendengarkan jantung anak anda untuk memeriksa irama abnormal atau murmur
yang mungkin menandakan bahwa jantung telah tegang. Selain itu, ada beberapa tes
yang dapat digunakan untuk memeriksa jantung dan menilai kerusakan, termasuk :
* Chest X-ray, untuk memeriksa ukuran jantung dan untuk melihat apakah ada
kelebihan cairan di jantung atau paru-paru
* Ekokardiogram, sebuah tes non-invasif yang menggunakan gelombang suara untuk
menciptakan sebuah gambar bergerak dari jantung dan terpaparnya ukuran dan
bentuk
2.1.5. Diagnosis
Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut kriteria Jones
(direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis demam rematik (AHA,
1992). Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor
untuk diagnosis demam rematik.
o Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul subkutan
dan eritema marginatum.
o Kriteria diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval PR pada
EKG, peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit
[ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan leukositosis.
2.2. Faktor Ekstrinsik
Faktor DR tersebut juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor
genetik, umur, dan jenis kelamin.
Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan terdapatnya
beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini, serta fakta bahawa
DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh reaksi dizigotik. (Afif A
dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit yang dihasilkan oleh
Streptococcus beta hemolitycus grup A. (Tobing , T.C.L, 1998) Konsep genetika ini
diperkuat oleh penemuan yang mempergunakan teknologi yang canggih, yaitu
bahawa penderita DR ditemukan antigen HLA (Human Leucocyte Antygen) tertentu
(Afif A. dkk., 1988).
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR. Penyakit ini
sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus pada anak usia
sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000 penduduk usia 5-15
tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada anak perempuan
daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai gejala sisa PJR juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin (Afif A, dkk., 2008).
Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :
a. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya
DR. Golongan masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan yang rendah dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan,
perumahan dan lingkungan yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan, dan
pelayanan kesehatan yang kurang baik, merupakan golongan yang paling
rawan. Pengalaman di negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa
angka kejadian DR akan menurun seiring dengan perbaikan tingkat sosial
ekonomi masyarakat negara tersebut. (Brooks, G.F, dkk, 2001) Menurut
penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup dengan tingkat sosial ekonomi
rendah memiliki risiko 2,68 kali menderita DR (RR=2,68). (Mbeza, B.L,
2007)
b. Iklim dan Geografi
Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang,
tetapi daerah tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang
letaknya tingi mempunyai insidens DR lebih tinggi daripada di dataran
rendah. Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens
infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga
meningkat. (Sudoyo, A, 2006) Pada musin hujan kemungkinan terjadinya PJR
3,24 kali (RR=3,24). (Mbeza, B.L, 2007)
3. Pencegahan
3.1. Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat
supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk penyakit
jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara kesehatan dan
kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat mempergunakan
tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya sehari-hari. Cara tersebut
adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup memakan makanan
dan minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan pekerjaan sehari-hari
dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya depresi, dan
memelihara lingkungan hidup yang sehat.
3.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR seringkali
disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha pencegahan primer
terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien anak-anak yang
menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus grup A pada
pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya dengan melakukan
pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya
menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas badan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang pada THT
tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk golongan sulfa
untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha
pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut.
3.3. Pencegahan Sekunder
Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi streptococcus
beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut dilakukan
dengan cara, diantaranya :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama 10
hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin, dapat diganti dengan eritromisin
dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan selama 10 hari. Hal ini harus tetap
dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, kerana kuman masih ada
dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
2. Obat anti radang
Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam
rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut sangat efektif untuk
mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Lebih khusus lagi,
salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki
keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat
menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian
besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang cukup. Selain itu
diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, dan serat untuk
menghindari konstipasi. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan
dapat diberikan tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.
4. Tirah baring
Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap
hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi
dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, sehingga pengamatan yang ketat harus
dilakukan selama masa tersebut.
3.4. Pencegahan Tertier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana penderita
akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral, insufisiensi
mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta
B. Mitral Regurgitasi
1. Definisi dan Klasifikasi
Regurgitasi Katup Mitral (Inkompetensia Mitral, Insufisiensi Mitral),
(Mitral Regurgitation) adalah kebocoran aliran balik melalui katup
mitral setiap kali ventrikel kiri berkontraksi. Pada saat ventrikel kiri
memompa darah dari jantung menuju ke aorta, sebagian darah mengalir
kembali ke dalam atrium kiri dan menyebabkan meningkatnya volume dan
tekanan di atrium kiri. Terjadi peningkatan tekanan darah di dalam pembuluh
yang berasal dari paru-paru, yang mengakibatkan penimbunan cairan
(kongesti) di dalam paru-paru.
Derajat beratnya MR dapat diukur dalam persentase dari stroke
volume ventrikel kiri yang mengalir balik ke atrium kiri (regurgitant fraction)
menggunakan ekokardiografi. Adapun derajat-derajatnya antara lain:
2. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab dari kondisi ini dibagi menjadi penyebab primer dan penyebab
sekunder. Penyebab primer menyerang katup mitral secara langsung, antara
lain:
a. Degenerasi miksomatosa pada katup mitral
b. Penyakit jantung iskemi, penyakit arteri koroner
c. Endokarditis
d. Penyakit vaskuler kolagen
e. Penyakit jantung rematik
f. Trauma.
Adapun penyebab sekunder yaitu disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri
sehingga terjadi pelebaran annulus ring yang menyebabkan
displacement daun katup mitral. Dilatasi ini dapat disebabkan oleh dilatasi
kardiomiopati, termasuk insufisiensi aorta.
3. Patofisiologi
Patofisiologi regurgitasi mitral dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu:
a. Fase akut
MR akut (yang dapat diakibatkan rupture mendadak korda tendinea
atau muskulus pappilaris) dapat menyebabkan volume overload dari
ventrikel dan atrium kiri. Hai ini karena setiap kali memompa darah,
tidak hanya aliran darah ke arah aorta (forward stroke volume) saja
yang dipompa, melainkan aliran regurgitasi ke arah atrium
(regurgitant volume) juga dipompa. Total stroke volume ventrikel
kiri merupakan kombinasi forward stroke volume dan regurgitant
volume.
Pada keadaan akut stroke volume ventrikel kiri meningkat
tetapiforward cardiac output menurun. Mekanisme yang
menyebabkan total stroke volume meningkat dinamakan dengan
Frank-Starling Mechanism. Regurgitant volume menyebabkan
overload volume dan tekanan pada atrium kiri. Kenaikan tekanan ini
akan mengakibatkan kongestif paru, karena drainase darah dari paru-
paru terhambat.
b. Fase kronik terkompensasi
Apabila MR timbulnya lama atau fase akut dapat teratasi dengan
obat. Maka individu ini akan masuk ke dalam fase kronik
terkompensasi. Pada fase ini, ventrikel kiri mengalami hipertrofi
yang eksentrik sebagai kompensasi peningkatan stroke volume.
Individu dengan fase ini biasanya tidak ada keluhan dan dapat
melakukan aktivitas seperti biasa.
c. Fase kronik dekompensasi
Fase ini ditandai dengan overload kalsium pada miosit. Pada fase ini
miokard ventrikel tidak dapat lagi berkontraksi secara kuat sebagai
kompensasi overload volume pada MR, dan stroke volume ventrikel
kiri akan menurun. Dengan keadaan ini akan terjadi kongesti vena
pulmonalis. Pada fase ini akan terjadi dilatasi ventrikel kiri, yang
berakibat dilatasi annulus fibrosus yang akan memperburuk derajat
RM
Gambar 1 regurgitasi mitral
4. Gambaran Klinis
Regurgitasi katup mitral yang ringan bisa tidak menunjukkan
gejala. Kelainannya bisa dikenali hanya jika dokter melakukan
pemeriksaan dengan stetoskop, dimana terdengar murmur yang khas, yang
disebabkan pengaliran kembali darah ke dalam atrium kiri ketika ventrikel
kanan berkontraksi. Secara bertahap, ventrikel kiri akan membesar untuk
meningkatkan kekuatan denyut jantung, karena ventrikel kiri harus
memompa darah lebih banyak untuk mengimbangi kebocoran balik ke
atrium kiri.
Ventrikel yang membesar dapat menyebabkan palpitasi (jantung
berdebar keras), terutama jika penderita berbaring miring ke kiri. Atrium
kiri juga cenderung membesar untuk menampung darah tambahan yang
mengalir kembali dari ventrikel kiri. Atrium yang sangat membesar sering
berdenyut sangat cepat dalam pola yang kacau dan tidak teratur (fibrilasi
atrium), yang menyebabkan berkurangnya efisiensi pemompaan jantung.
Pada keadaan ini atrium betul-betul hanya bergetar dan tidak memompa;
berkurangnya aliran darah yang melalui atrium, memungkinkan
terbentuknya bekuan darah. Jika suatu bekuan darah terlepas, ia akan
terpompa keluar dari jantung dan dapat menyumbat arteri yang lebih kecil
sehingga terjadi stroke atau kerusakan lainnya.
Gejala yang timbul pada MR tergantung pada fase mana dari
penyakit ini. Pada fase akut gejala yang timbul seperti decompensated
congestive heart failure yaitu: sesak nafas, oedem pulmo, orthopnea,
paroksimal nocturnal, dispnoe, sampai syok kardiogenik. Pada fase kronik
terkompensasi mungkin tidak ada keluhan tetapi individu ini sensitive
terhadap perubahan volume intravaskuler.
5. Pemeriksaan Diagnsotik
Regurgitasi katup mitral biasanya diketahui melalui murmur yang
khas, yang bisa terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop ketika
ventrikel kiri berkontraksi. Elektrokardiogram (EKG) dan rontgen dada
bisa menunjukkan adanya pembesaran ventrikel kiri. Pemeriksaan yang
paling informatif adalah ekokardiografi, yaitu suatu tehnik penggambaran
yang menggunakan gelombang ultrasonik. Pemeriksaan ini dapat
menggambarkan katup yang rusak dan menentukan beratnya penyakit.
Jika penyakitnya berat, katup perlu diperbaiki atau diganti sebelum
ventrikel kiri menjadi sangat tidak normal sehingga kelainannya tidak
dapat diatasi. Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki
katup (valvuloplasti) atau menggantinya dengan katup mekanik maupun
katup yang sebagian dibuat dari katup babi. Memperbaiki katup bisa
menghilangkan regurgitasi atau menguranginya sehingga gejala dapat
ditolerir dan kerusakan jantung dapat dicegah.
Setiap jenis penggantian katup memiliki keuntungan dan kerugian.
Katup mekanik biasanya efektif, tetapi menyebabkan meningkatnya resiko
pembentukan bekuan darah, sehingga biasanya untuk mengurangi resiko
tersebut diberikan antikoagulan. Katup babi bekerja dengan baik dan tidak
memiliki resiko terbentuknya bekuan darah, tetapi tidak mampu bertahan
selama katup mekanik. Jika katup pengganti gagal, harus segera diganti.
Fibrilasi atrium juga membutuhkan terapi. Obat-obatan seperti
beta-blocker, digoxin dan verapamil dapat memperlambat denyut jantung
dan membantu mengendalikan fibrilasi. Permukaan katup jantung yang
rusak mudah terkena infeksi serius (endokarditis infeksius). Karena itu
untuk mencegah terjadinya infeksi, seseorang dengan katup yang rusak
atau katup buatan harus mengkonsumsi antibiotik sebelum menjalani
tindakan pencabutan gigi atau pembedahan.
C. Trikuspid Regurgitasi
1. Pendahuluan
Regurgitasi katup trikuspidalis biasanya muncul akibat pembesaran
ventrikel kanan dan bukan karena penyakit katup primer. Beberapa penyebab
dari regurgitasikatup trikuspidalis yaitu:
a. Demam rheumatic; 80% pasien demam rheumatic memiliki TR fungsional
akibat hipertensi pulmonal dengan pembesaran ventrikel kanan, sedangkan
20%nya memiliki TR organik karena kelainan pada katup trikuspid akibat
inflamasi dari rheumatic tersebut
b. Sindrom karsinoid, merupakan tipe tumor yang biasanya terdapat
pada usus kecil atau apendiks dan bermetastasis hingga ke liver. Tumor ini
melepaskan metabolit serotonin yang dapat membentuk plak endokardial
di bagian kanan jantung. Jika plak tersebut mengenai katup trikuspid,
dapat terjadi imobilisasi katup, dan dapat berujung pada TR atau stenosis
tricuspid. Umumnya, regurgitasi katup trikuspidalis bersifat
fungsional dan sekunder terhadap dilatasi dari annullus trikuspid. TR yang
bersifat fungsional dapat menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. TR
biasanya terdapat pada fase akhir gagal jantung akibat demam rheumatik
atau penyakit jantung kongenital yang disertai hipertensi pulmonal.
Demam rheumatik dapat menyebabkan TR primer/organik dan
berhubungan dengan stenosis trikuspid. Selain itu, keadaan yang
menyebabkan TR yaitu infark otot papilaris ventrikel kanan, prolaps katup
trikuspid, penyakit jantung karsinoid, fibrosis endomyocardial,
endokarditis infektif, dan trauma. Penyakit malformasi Ebstein yang
menunjukkan adanya defekpada kanal atrioventrikularis juga dapat
menyebabkan TR walaupun tidak sering.Gejala klinis pada TR
biasanya merupakan akibat dari kongesti vena sistemik danreduksi curah
jantung. Terdapat pulsasi ventrikel kanan pada daerah parasternalkiri dan
terdapat murmur holosistolik sepanjang garis sternal kiri, yang
menjadilebih jelas saat inspirasi dan berkurang selama ekspirasi.
Gambar 2 regurgitasi trikuspidalis2. Pemeriksaan fisik
Berdasarkan pemeriksaan TR yang dilakukan, dapat ditemukan beberapa hasil
yaitu:
a. Tekanan tinggi pada vena jugularis
b. Liver yang teraba pulsasinya karena regurgitasi darah dari ventrikel kanan
menyebabkan peningkatan tekanan di vena sistemik
c. Murmur sistolik yang terdengar pada batas sternal kiri bawah, biasanya
terdengar pelan tapi menjadi keras ketika inspirasi
d. EKG menunjukkan perubahan akibat pembesaran ventrikel kanan, seperti
infark myokard dinding inferior, yang dapat menyebabkan TR
e. Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kanan dan
katup trikuspid yang mengalami prolaps, scarring , atau abnormalitas letak
katup. Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk menentukan derajat
TR
3. Tatalaksansana
Terapi untuk menangani TR bertujuan untuk menangani kondisi
peningkatan ukuran atau tekanan ventrikel kanan, yang dapat diatasi dengan
pemberian obat diuretic. Penanganan dengna pembedahan dilakukan pada
keadaan yang berat. TR yang tidak memiliki hipertensi pulmonal, seperti yang
terjadi pada endokardtis infektif atau trauma, biasanya dapat sembuh tanpa
pembedahan.
Pada pasien dengan penyakit katup mitral dan TR akibat adanya hipertensi
pulmonal dan pembesaran ventrikel kanan, penanganan dengna pembedahan pada
katup mitral dapat mengurangi tekanan pulmonal dan mengurangi terjadinya TR.
Pada TR yagn berat dengan adanya kelainan primer pada katup, dapat dilakukan
annuloplasti trikuspidalis (teknik memasukkan cincin plastic ke dalam katup),
perbaikan katup tricuspid terbuka atau penggantian katup tricuspid.
DAFTAR PUSTAKA
Edwards MM., O’Gara PT, Lilly LS. 2007. Valvular Heart Desase. Dalam Lilly
LS( editor). Patophysiology of Heart Disease. Ed ke-4. Philadelphia :
Lippincott.
Kurt, Eugene, et al. 2000. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. Singapore:
Graw Hill
Green and Chiaramida. 2006. EKG-12 sadapan terpercaya. Jakarta : EGC. pp: 20-
25,31
Guyton AC and Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,edisi 11. Jakarta :
EGC. pp: 111-113, 120-124
Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Jakarta:ECG
Sloane, E. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC. pp: 228-234