Upload
dina-septiana
View
65
Download
17
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GGP
Citation preview
PRINSIO TERAPI FARMAKA NYERI
Prinsip Terapi Farmaka Nyeri/Jakarta, Oktober 2001
dr. Riki Sukiandra, SpS.PRINSIP TERAPI FARMAKA NYERI
Lucas Meliala
Secara patofisiologik, dalam buku ini, nyeri dibagi atas 3 jenis, yaitu:
1. Jenis I
Nyeri dengan stimulasi singkat dan tidak menimbulkan kerusakan jaringan. Pada umumnya, tipe nyeri ini tidak memerlukan terapi khusus karena perlangsungannya yang singkat.
2. Jenis II
Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan atau lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien dengan tipe nyeri ini, paling banyak datang ke fasilitas kesehatan.
3. Jenis III
Merupakan nyeri yang terjadi akibat adanya lesi sistem saraf perifer atau sentral dan sering disebut nyeri neuropatik. Perbedaan nyeri tipe III dengan nyeri tipe II, terutama dalam mekanisme dan terapi.
Terapi
Nyeri Akut
Penyebab nyeri akut antara lain operasi, kolik renal, infark miokard, nyeri punggung bawah, artritis reumatoid, kanker, trauma, luka bakar, proses melahirkan, gigi geligi dan sebagainya. Pada umumnya, pengobatan nyeri akut hanya dengan terapi farmaka. Berbagai intervensi untuk nyeri akut dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
Bagan I. Intervensi Nyeri Akut (McQuay and Moore, 1999 - terjemahan bebas penulis)
Nyeri akut akibat lesi jaringan dapat berlangsung singkat, namun terkadang, seiring berjalannya waktu, nyeri akut dapat menjadi nyeri kronik. Hal ini disebabkan lesi jaringan akan memacu berbagai respon fisiologik yang dapat bertahan lama dan bahkan ireversibel. Oleh karena itu penanganan nyeri akut yang tepat disertai rekaman medik sederhana merupakan usaha yang baik.
Berikut adalah contoh kartu penderita yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas penatalaksanaan nyeri. Kartu ini hanya contoh, dapat dimodifikasi sendiri oleh masing-masing fasilitas kesehatan atau dokter.
Oxford Pain Chart
Tanggal
Intensitias Nyeri
Seberapa beratkah nyeri anda hari ini?Berat
Sedang
Ringan
Tidak nyeri
Efek Pengobatan
Bagaimana efek obat penghilang nyeri yang anda minum hari ini?Sempurna
Baik
Sedang
Sedikit
Tidak ada
Efek samping
Bagaimana hasil pengobatan minggu ini?
Jelek, sedang, baik, baik sekali (lingkari sesuai dengan pilihan anda)
Nyeri Kronik
Berbagai intervensi penanganan nyeri kronik, baik nosiseptif/inflamasi maupun neuropatik dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
Bagan II. Intervensi Nyeri Kronik (McQuay and Moore, 1999 - terjemahan dan modifikasi penulis)
Sebagian besar intervensi di atas dapat dikerjakan oleh dokter umum maupun dokter spesialis kecuali tindakan-tindakan seperti operasi atau destruksi saraf yang ireversibel, yang merupakan wewenang spesialis tertentu. Untuk memilih tindakan yang paling tepat, sebaiknya dilakukan asesmen untuk masing-masing pasien dengan nyeri kronik.
Nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut. Nyeri akut jelas merupakan simtom. Pada beberapa jenis nyeri kronik tampak di mana etiologi sudah berlalu, seperti pada nyeri pasca herpes, tetapi nyeri tetap mengganggu. Untuk jenis-jenis nyeri kronik tertentu, sebaiknya dipikirkan bahwa nyeri kronik itu adalah penyakit dengan tanda-tanda (signs) seperti raut muka merengut, postur abnormal, pincang, doctor shopping, dan sebagainya
Sebagai simtom, misalnya cemas, ansietas, gangguan tidur, marah, depresi dan sebagainya. Dari gambaran ini tampak bahwa penanganan kedua jenis nyeri tersebut, terdapat perbedaan untuk akut dan kronik . Pada nyeri akut mungkin cukup dangan analgetik, sedangkan untuk nyeri kronik selain analgetik, mungkin diperlukan ajuvan analgetik seperti antikonvulsan, antidepresan maupun intervensi lain seperti biofeedback atau pain coping lainnya.
Komponen Nyeri
Pengenalan komponen nyeri sangat penting untuk terapi. Berdasarkan definisi, nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Terdapat 2 komponen utama nyeri yaitu komponen sensorik dan komponen emosional. Komponen sensorik dapat dikatakan merupakan dasar dari nyeri, tetapi sensorik saja tidak cukup untuk menimbulkan fenomena nyeri. Stimuli dengan kekuatan yang sama, yang menimpa dua orang belum tentu menimbulkan persepsi yang sama untuk kedua orang tersebut.
Sebagai contoh kasus, misalnya dalam suatu peperangan, kadang ditemukan seorang serdadu tertembak peluru di tubuhnya namun nyeri baru dirasakan setelah istirahat (ada selang waktu antara terjadinya lesi dengan munculnya persepsi nyeri). Dari contoh ini tampak jelas peranan emosional (psikologik) sangat menonjol. Pada penderita nyeri, khususnya yang kronik, tidak jarang ditemukan kelainan psikiatrik seperti depresi, ansietas, gangguan tidur dan sebagainya yang merupakan komponen psikologik. Oleh karena itu bagi seorang klinisi sangat penting untuk melakukan assesmen untuk masing-masing komponen nyeri tersebut.
Secara umum, perlu dibuat suatu model seperti gambar berikut ini.
Gambar 1. Keterangan lihat teksModel ini menggambarkan derajat penderitaan (suffering) dari seseorang dengan nyeri yang dipengaruhi oleh komponen sensorik dan komponen psikologik. Aspek psikologik dipengaruhi tipe kepribadian premorbid, sosial, budaya dan sebagainya.
Kepentingan Model Nyeri
A
B
NOCICEPTIVE
Gambar 2. Keterangan lihat teks
Sebagai contoh, dalam gambar 2 ini, ada dua orang penderita A dan B yang mengalami penderitaan yang sama (dalam satu arkus). Penderita A mengalami nyeri karena proses keganasan sehingga sangat mengganggu secara psikologik. Akibatnya, komponen psikologiknya lebih besar dari komponen sensoriknya. Penderita B mengalami nyeri oleh karena patah tulang. Penderitaan (suffering) pada kedua penderita lebih kurang sama (dalam 1 arkus), akan tetapi komponen psikologik (emosional) dan nosiseptif (sensorik) masing-masing berbeda. Penanganan nyeri kedua penderita memerlukan intervensi pengobatan yang berbeda. Penderita A lebih memerlukan konseling dan penderita B cukup dengan analgetik.
Penilaian masing-masing komponen nyeri dapat dilakukan dengan berbagai instrumen. Asesmen nyeri VAS (Visual Analog Scale) berguna untuk pengukuran nyeri sensorik. MPQ (McGill Pain Questionnaire) berguna untuk penilaian sensorik maupun mood dan motivational, MMPI untuk komponen psikologik sedangkan Back Depression Inventory untuk penilaian depresi.
Terapi Farmaka
Tidak semua nyeri harus diberikan terapi farmaka (TF). Ada beberapa keadaan dimana nyeri dapat dihilangkan dengan terapi fisik misalnya dengan pijatan, kompres es dan sebagainya. Bila harus memberikan TF maka perlu dipertimbangkan yang paling efektif. Untuk itu sebaiknya dilakukan penilaian sifat dan derajat nyeri, akut atau kronik, benigna atau maligna, organik atau psikogenik.
Pemberian TF umumnya didasarkan atas derajat nyeri. Banyak metode yang lazim diperkenalkan untuk menentukan derajat nyeri, antara lain:
1. Numeric Rating Scale
Pasien diminta untuk menentukan berat nyeri yang diderita saat diperiksa
dengan memilih angka dari 0-10 di mana angka 0 berarti tidak ada rasa
nyeri dan 10 berarti nyeri paling berat.
< 4 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
7-10 : Nyeri berat
2. Visual Analog Scale (VAS)
0 - 4 - 7 10 : Berat
3. Skala Kategori
Pasien diminta memilih kata-kata yang sesuai dengan kualitas nyeri yang diderita, yaitu : ringan sedang berat berat sekali
Tabel di bawah ini melukiskan penggunaan analgetik maupun OAINS untuk masing-masing nyeri dengan derajat ringan sampai berat, kecuali nyeri akut dan berat sekali.
Bagan Farmakoterapi
OBATINDIKASIMEKANISMEDOSIS
EFEK SAMPING
NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
ASPIRINAnalgesik
Anti inflamasi
Anti Piretik
Anti PlateletInhibisi
Sintesis
ProstaglandinUsia (Tahun)TakaranPerdarahan gastrointestinal
Gangguan pendengaran s/d tuli
Depresi AL
Anemia hemolitik
< 2
2 -11
> 11 dan DewasaDasar BB
64 mg/kg/hari 4-6 X
325 - 650 mg tiap 4 jam
maksimal 4 g/
hari
ASETAMI-
NOFENAnalgesik
Antipiretik
Toleransi terhadap aspirin (-)Inhibisi sintesis prostaglandin dengan efek anti - inflamasi minimalDewasa
11
9-10
6-8
4-5
2-3
1-2
4-11 bulan
< 4 bulan
325-650 mg/4-6 jam
480 mg
400 mg
320 mg
240 mg
160 mg
120 mg
80 mg
40 mgHepatotoksik
Perdarahan gastrointestinal
Anemia
Ruam kulit
Nefrotoksik
Farmakoterapi Tingkat II
IBUPROFENBila respon terhadap aspirin & asetaminofen (-)
Analgesik
Anti-inflamasi
Anti-plateletMenurunkan konsentrasi prostaglandin jaringanDewasa
11-15,9 kg
16-21,9 kg
22-26,9 kg
27-31,9 kg
32-42,9 kg200 mg / tiap 4-6 jam
100 mg
150 mg
200 mg
250 mg
300 mgAsma
Polip hidung
Tukak lambung
Gangguan perdarahan / Gangguan sel darah
Kerusakan ginjal
Gangguan pola menstruasi
SODIUM NAPROKSENAnalgesik
Anti-inflamasi
Anti-piretik
Anti-plateletMenurunkan konsentrasi prostaglandin jaringanDewasa
>65
>13 kg
>25 kg
>38 kgD/ awal 440 mg
Selanjutnya
220 mg/8-12 jam
220 mg/8-12 jam
25 mg
50 mg
75 mgIritasi gastrointestinal
Komplikasi hati dan ginjal
Tukak lambung aktif
Gangguan perdarahan
Gangguan sel darah
KETOPROFEN
Nyeri pada demam
Nyeri punggung bawah ringan
Nyeri gigi
Kram menstruasi
Nyeri otot
Nyeri ringan pada arthritis
Dewasa
3 bl-14 th
12,5 mg/ 4-6 jam
0,5-1,0 mg/kgIritasi gastrointestinal
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat III
ASETAMINO-FEN
IBUPROFEN
SODIUM NAPROKSEN
KETOPROFENPenyesuaian dosis
(Misal: Aspirin 1000 mg)Iritasi gastrointestinal
OBAT
INDIKASIMEKANISMEDOSISEFEK SAMPING
Farmakoterapi Tingkat IV
Jika farmakoterapi tingkat III gagal, AINS yang dipilih dapat diganti. Pilihan AINS ke-2 sebaiknya dari kelompok kimia yang berbeda
(Lihat tabel analgetik non-opioid yang paling sering digunakan) (hal. 12)
Farmakoterapi Tingkat V
OPIOID
(Mis. Kodein)Analgesik
Ikatan & aktivasi reseptor stereo-specifik pada sistem sarafEfek gastrointestinal: nausea, konstipasi, distres lambung
Depresi pernafasan
Euforia
Dependensi fisis
Farmakoterapi Tingkat VI
TRAMADOLAktivasi receptor opioid-(Inhibisi reuptake
norepinefrin50-100 mg/4-6 jamHepatotoksik
Perdarahan gastrointestinal
Anemia
Ruam kulit
Nefrotoksik
NYERI BERAT
Farmakoterapi tingkat VII
MORFINBila terapi dengan non-narkotik tak efektif
Bila terdapat riwayat terapi narkotik untuk nyeriAgonis murni
CAMPURAN
Agonis-antagonis
pentazosinBlok aktivasi komponen ( kompleks receptor
AGONIS PARSIALBlok aktivasi komponen ( kompleks receptor
Tabel 1.Analgetik Non Opioid Yang Paling Sering Digunakan
Nama ObatDosisJadwal
Aspirin325-1000 mg4-6 jam sekali
Kalium Diklofenak50-200 mg8 jam sekali
Natrium diklofenak50 mg8 jam sekali
Ibuprofen200-800 mg 4-8 jam sekali
Indometasin25-50 mg8-12 jam sekali
Ketoprofen25-75 mg6-12 jam sekali
Asam mefenamat250 mg6 jam sekali
Naproxen250-500 mg12 jam sekali
Piroksikam10-20 mg 12-24 jam sekali
Tenoksikam20-40 mg24 jam sekali
Meloksikam75 mg24 jam sekali
Celecoxib100 mg12 jam sekali
Nimesulfid100 mg12 jam sekali
Ketolorak10-30 mg 4-6 jam sekali
Asetaminofen500 mg6-8 jam sekali
Tramadol50-100 mg8 jam sekali
Pemilihan Analgesik
Obat-obat yang sering dipergunakan sebagai analgesik standar untuk nyeri akut dan nyeri nosiseptif kronik ialah morfin untuk pemberian parenteral, parasetamol, aspirin dan ibuprofen untuk pemberian per oral. Untuk nyeri neuropatik tidak ada obat yang dapat dipergunakan sebagai standar walaupun antidepresan trisiklik dan karbamasepin dapat mencapai status tersebut. Karbamasepin merupakan satu-satunya anti konvulsan yang diizinkan oleh FDA (Food and Drug Administration) di Amerika sebagai terapi nyeri.
Selama ini kita mengenal berbagai hasil uji klinik obat dengan istilah-istilah statistik seperti nilai P tertentu, odds ratio, relative risk dan sebagainya, yang kadang-kadang sangat membingungkan. Untuk mempermudah bacaan hasil uji coba klinik, akhir akhir ini dipergunakan istilah NNT (number needed to treat). NNT melukiskan jumlah penderita yang diterapi dengan obat tertentu untuk mendapatkan hasil satu orang diantaranya dengan pengurangan nyeri minimal 50 % selama 4 - 6 jam yang bukan karena efek plasebo.
Perhitungan NNT untuk uji coba analgesik ialah dengan rumus berikut:
NNT = 1
Nilai NNT yang terbaik pada umumnya antara 2 sampai 5. Nilai NNT 2 berarti setiap dua orang diterapi dengan obat tersebut satu orang akan mendapat pengurangan nyeri minimal 50 % selama 6 jam. Makin kecil nilai NNT makin efektif obat tersebut.
Untuk menilai efek samping dipergunakan istilah NNH (number needed to harm), di mana makin kecil angkanya makin besar efek sampingnya. Dalam gambar 3 dapat dilihat nilai NNT untuk berbagai obat dan dosisnya.
Gambar 3. NNT untuk berbagai obat dan dosisnya
Untuk Nyeri Akut dan Berat
Obat pilihan morfin
Berikan injeksi i.m atau s.c. 10-20 mg untuk orang dewasa
Tiap 4-6 jam, dengan prinsip descending the ladder
Kemudian dosis diturunkan pelan-pelan.
Bila perlu pemberian morphin jangka panjang, untuk selanjutnya lebih baik diberikan peroral dan dipilih obat yang long acting.
Gambar 4. Analgesic Dosing Ladder
Untuk Nyeri Kronik Berat
Obat pilihan morphin sulfat peroral
Parenteral, dapat diberikan bila ada gangguan pemberian oral.
Dosis peroral dari 10-100 mg, tergantung beratnya nyeri
(Catatan: Makin tinggi dosis makin tinggi efek analgesik)
Pemberian obat around the clock lebih menguntungkan daripada pemberian as needed.
Nyeri Kronik Maligna
Ikuti Three Step Analgesic Ladder (gambar 5)
Langkah pertama
Aspirin, asetaminofen atau OAINS dikombinasikan dengan obat-obat ajuvan analgesik.
Ajuvan Analgesic:
Sebagai analgesik :
- Antidepresant TCA
Anti konsulvan
Memperkuat efek analgesik dari narkotik.
Misal: TCA, Coffein, Dextroamphetamin
Anti nausea :
Anti histamin
Phenothiazines
Anti sedasi :
Amphetamin
Mengurangi kompresi pada serabut saraf:
Kortikosteroid
Mengurangi konstipasi:
Laxansia
Mengurangi rasa gatal:
Anti histamin
Langkah kedua
Bila langkah pertama kurang efektif, maka obat pada langkah pertama diteruskan ditambah dengan narkotik oral dan ajuvan analgesik
Narkotik pilihan adalah Codein. Bisa dikombinasikan dengan aspirin, Asetaminofen atau OAINS.
Langkah ke 3
Langkah ketiga diambil bila langkah kedua kurang efektif. Obat-obatan di langkah kedua dihentikan, obat di langkah pertama diteruskan, ditambah dengan grup narkotik yang lebih poten. Obat pilihan adalah morfin dengan dosis dapat dinaikkan tanpa batas, sementara diawasi respirasi, mental status dan kesiagaan.
(Catatan: Pada penderita kanker dengan fase terminal, pemberian morfin dosis tinggi dapat menyebabkan komunikasi terganggu, maka dapat diberikan stimulan, misalnya methylphenidate (Ritalin)
Gambar 5. Three-Step Ladder
KHUSUS NYERI NEUROPATIK
Sampai saat ini banyak obat yang digunakan untuk terapi nyeri neuropatik (NN) seperti antikonvulsan, antidepresan, anestesi lokal dan sebagainya. Walaupun banyak obat yang digunakan, belum satu pun dari obat-obatan tersebut dapat dikatakan sebagai obat pilihan (drug of choice) untuk nyeri neuropatik.
McQuay and More (1999) mengatakan, analgesik standar untuk nyeri akut dan nyeri nosiseptik kronik ialah morfin secara parenteral, sedangkan parasetamol, aspirin dan ibuprofen untuk pemberian per oral. Belum ada obat standar untuk nyeri neuropatik walau pun antidepresan trisiklik (amiptriptilin) dan karbamasepin dapat dikatakan telah mencapai status tersebut. Oleh karena itu sampai saat ini, sebagai obat pilihan pertama (first line) hanya amitriptilin dan karbamasepin.
Mekanisme Nyeri Neuropatik Sebagai Dasar Farmakoterapi
Banyak pakar menyatakan bahwa pemahaman patofisiologi nyeri neuropatik yang mendasari timbulnya simtom sangat membantu dalam penanganan nyeri neuropatik . Pengobatan berdasarkan mekanisme merupakan hal yang penting, mengingat banyak pasien dengan sindroma nyeri neuropatik yang sama, misalnya menderita neuropati diabetika tetapi menunjukkan simtom yang berbeda. Satu penderita neuropati diabetika dengan simtom panas yang berkepanjangan di kaki (spontaneous burning pain) dan penderita neuropati diabetika lainnya menunjukkan gejala disestesia (spontan) Kedua gejala tersebut yaitu panas dan disestesia menggambarkan mekanisme yang berbeda. Oleh karena itu pengobatan untuk masing-masing simtom tersebut sebaiknya ditujukan kepada mekanisme yang mendasari terjadinya simtom tersebut.
Seperti sudah banyak diterangkan dalam bab patofisiologi nyeri (dalam buku ini), terdapat tiga proses utama dalam mekanisme atau patofisiologi nyeri yaitu :
1. Sensitisasi perifer
2. Sensitisasi sentral
3. Disinhibisi sentral
Sensitisasi Perifer
Dalam mekanisme sensitisasi perifer, proses yang paling banyak berperan ialah aktivitas ektopik (AE). Terdapat 3 tempat munculnya AE yaitu:
1. Neuroma
2. Serabut saraf yang lesi, misalnya akibat kompressi
3. Neuron di ganglion radiks dorsalis dari serabut saraf yang lesi
AE menimbulkan NN melalui :
1. Aliran impuls yang abnormal ke susunan saraf pusat (SSP) yang langsung dapat menimbulkan simtom parestesia, disestesia dan nyeri.
Misalnya: - Aktivitas yang dijalarkan melalui serabut saraf C menyebabkan
timbulnya persepsi panas (burning pain)
- Aktivitas spontan yang intermitten di serabut A( atau A(
menyebabkan nyeri seperti ditikam (lancinating) disestesia atau
parestesia.
2. Adanya saluran-saluran ion baru di daerah lesi (neuroma, lokasi lesi, ganglion radiks dorsalis) menyebabkan timbulnya reseptor-reseptor yang sensitif terhadap impuls mekanikal, termal maupun kemikal. Kumpulan reseptor yang ektopik ini menyebabkan terjadinya hiperalgesia, misalnya ketukan ringan di lokasi ektopik dapat menimbulkan nyeri seperti pada sindroma terowongan karpal (Tinel sign). Stres menyebabkan nyeri memberat karena katekolamin yang mengaktivasi reseptor adrenergik.
3. AE menyebabkan sensitisasi sentral sebagai penyebab utama hiperalgesia maupun allodinia.
Peranan Saluran Ion Na (Na+ Channel)
Saluran ion Na (SI-Na) terdapat di seluruh sel saraf yang merupakan generator impuls utama. Penjalaran impuls di akson sangat tergantung dari fungsi SI-Na. Adanya AE disebabkan oleh munculnya SI-Na di daerah lesi, neuroma mau pun ganglion radiks dorsalis. Sampai saat ini terdapat lebih dari 12 macam SI-Na yang telah ditemukan. Semua SI-Na dibagi atas 2 bagian besar yaitu:
1. SI-Na - TTX-s
Yaitu saluran ion natrium yang sensitif terhadap tetrodotoksin
2. SI-Na - TTX-r
Yaitu saluran ion NA yang resisten terhadap tetrodotoksin
Masing-masing jenis SI-Na tersebut terdiri atas berbagai SI-Na. SI-Na TTX-s sangat sensitif terhadap tetrodotoksin. Pada binatang percobaan dengan nyeri neuropatik, pemberian tetrodotoksin (TTX) menyebabkan penghambatan aktivitas neuronal dengan memblok SI-Na TTX-s di lokasi lesi. Akan tetapi, SI-Na TTX-s di seluruh serabut saraf juga turut diblok dan menyebabkan efek samping yang berat. SI-Na TTX-r sering disebut dengan istilah PN3, yang terdapat di neuron-neuron kecil di ganglion radiks dorsalis. Diperkirakan PN3 berfungsi sebagai transmisi nyeri. Dari berbagai percobaan ditemukan bahwa PN3 dari neuron kornu dorsalis menyebar ke serabut saraf C dan A( yang mengalami lesi dan menimbulkan aktivitas ektopik.
Redistribusi yang dinamis SI-Na yang spesifik nyeri menggambarkan adanya perbedaan molekul SI-Na yang terdapat di serabut aferen nilai ambang rendah maupun yang terdapat di jantung dan otak. Perbedaan ini memungkinkan pencarian obat baru yang selektif memblok SI-Na spesifik nyeri (silent nociceptors).
Proses Sentral dalam Mekanisme NN
Seperti telah diterangkan dalam patofisiologi nyeri (dalam bab patofisiologi) ada 2 gejala utama sebagai akibat adanya perubahan fungsi maupun struktural di sistem saraf pusat (SSP), yaitu hiperalgesia dan allodinia. Dalam proses di SSP, yang sangat berperan ialah neurotransmiter glutamat sebagai eksitatori, GABA sebagai inhibitori dengan masing-masing reseptornya dan saluran ion yang dinamakan voltage sensitive sodium channel (VSSC) dan voltage sensitive calcium channel (VSCC). Peran, glutamat, GABA. VSSC dan VSCC beberapa kelainan di SSP dapat dilihat pada tabel berikut (lihat tabel 1).
Tabel 2. Peranan glutamat, GABA, VSSC, VSCC pada gangguan SSP
GlutamatGABAVSSCVSCC
Seizures (bangkitan)SeizuresSeizuresSeizures
Nyeri neuropatikNNNNNN
Neurotoksisitas-NeurotoksisitasNeurotoksisitas
Penyakit degeneratifGangguan bipolar Penyakit degeneratifPenyakit degeneratif
MigrenMigrenGangguan bipolarMigren
Di samping sensitisasi sentral, mekanisme lain yang terjadi di SSP yaitu disinhibisi. Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Penurunan inhibisi, misalnya konsentrasi GABA/glisin menurun dan penurunan fungsi opioid. Penurunan fungsi opioid diperkirakan oleh penurunan aktivitas inhibisi desendens, di mana yang berperan adalah serotonin dan noradrenalin
Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
Pemeriksaan neurologik harus dilakukan untuk setiap penderita NN. Pada bab ini secara singkat dibicarakan pemeriksaan sensorik secara kuantitatif khusus untuk tujuan pengobatan (lihat tabel 3)
Tabel 3. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
Hiperalgesia
Sub tipeProsedur tusuk kulitRespon klinis
Tusukan mekanikTusukan kulit secara manual dengan jarumNyeri tajam superfisial
Temperatur (dingin)Kontak kulit dengan pendingin, mis: asetonNyeri serasa terbakar
Temperatur (panas)Kontak kulit dengan objek 46(CNyeri serasa terbakar
Allodinia
Sub tipeProsedurRespon Klinis
Mekanik statisTekanan ringan pada kulit secara manualNyeri tumpul
Sentuhan mekanikTusukan ringan secara manual (dengan filamen von Frey, tusuk gigi)Nyeri tajam superfisial
Mekanik dinamisRabaan kulit (dengan si
kat, cotton bud/lidi kapas)Nyeri tajam superfisial
Mekanik somatis yang dalamTekanan ringan pada persendianNyeri dalam pada persendian
Temperatur (dingin)Kontak kulit dengan objek 20(CNyeri serasa terbakar
Temperatur (panas)Kontak kulit dengan objek 40(CNyeri serasa terbakar
Tolle, 2000; terjemahan bebas penulis
Farmakoterapi Berdasarkan Mekanisme Simtom
Telah diterangkan di atas bahwa SI-Na memegang peranan penting untuk timbulnya AE. Oleh karena itu, obat-obatan yang berfungsi sebagai Na+channel blocker, dianggap bermanfaat sebagai terapi. Obat-obat tersebut antara lain anestesi lokal (lidokain), antiaritmia (mexiletin) dan antikonvulsan (karbamasepin). Dalam praktek, obat yang paling banyak digunakan dan berdasarkan uji coba obat ialah antikonvulsan.
Antikonvulsan
Epilepsi dan NN timbul dari aktivitas yang berlebihan dari sistema nervorum. Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas SSP yang dapat menyebabkan bangkitan spontan yang paroksismal yang sama dengan kejadian pada NN berupa nyeri spontan dan paroksismal. Pada epilepsi, peran reseptor NMDA dalam influks Ca2+ merupakan dasar proses kindling, sama halnya dengan proses terjadinya wind-up pada NN. Epilepsi dan NN juga menunjukkan adanya proses plastisitas (lihat tabel 2). Prinsip pengobatan pada epilepsi adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok SI-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan perubahan inhibisi.
Antikonvulsan yang memblok SI-Na ialah karbamasepin, okskarbasepin, lamotrigin, fenitoin, sedangkan yang mampu mencegah sensitisasi sentral adalah gabapentin (gambar 6, gambar 9, tabel 2)
Gambar 6. Mekanisme Kerja Oxcarbazepine pada Nyeri Neuropatik
Dosis dan frekuensi antikonvulsan dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Dosis dan Frekuensi Pemberian Anti Konvulsan
Nama ObatDosisJadwal
Gabapentin300 -1500 mg/ hariBID-QID
Oxcarbazepin900 -1800 mg/ hariQID
Carbamazepin100-1000 mg/hariBID-QID
Lamotrigin150-500 mg/hariBID
Fenitoin100-300 mg/hariQID
Topiramat25-200 mg/hariBID
Asam Valproat150-1000 mg/hariTID
Klonazepam1,5 - 6 mg/hariTID
Efek Samping Obat:
1. Carbamazepin : diplopia, pusing, sakit kepala, mengantuk, neutropeni hiponatremi
2. Feniton : nistagmus, ataksia, mual-muntah, hipertofi gusi, mengantuk, anemia megaloblastik
3. Lamotrigin : diplopia, mengantuk
4. Gabapentin : somnolen, pusing dan ataksia
5. Asam Valproat: tremor, berat badan meningkat, dispepsia, mual-muntah dan alopesia
6. Topiramat : kelelahan, nervous, ataksia, problem kognitif dan anoreksia.
7. Klonazepam: sedasi, ataksia, hipersalivasi, iritabel
Antikonvulsan tersebut di atas sering digunakan sebagi terapi NN. ganan Nyeri Neuropatik. Dalam gambar 7 dapat dilihat NNT berbagai obat dan antikonvulsan.
Tinjauan Khusus
1. Karbamasepin dan Okskarbasepin
Amitriptilin dan karbamasepin merupakan obat yang memenuhi syarat sebagai standar terapi untuk nyeri neuropatik. Karbamasepin merupakan satu-satunya antikonvulsan yang diizinkan untuk beredar di Amerika Serikat sebagai terapi NN. Kedua obat tersebut dalam penggunaannya untuk terapi NN dibatasi oleh efek samping yang cukup tinggi yang kadang-kadang mengharuskan penghentian obat. Okskarbasepin (Trileptal() merupakan antikonvulsan yang struktur kimianya mirip dengan karbamasepin maupun amitriptilin (gambar 8).
Dari beberapa uji coba klinik, pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis NN menunjukkan hasil sangat memuaskan, sama atau sedikit di atas karbamasepin dengan efek samping minimal.
Gambar 8. Mekanisme kerja beberapa ikatan trisiklik
2. Lamotrigin
Merupakan antikonvulsan baru yang bekerja untuk stabilisasi membran melalui voltage sensitive sodium channel (VSSC). Blok VSSC menghambat pelepasan glutamat. Dalam uji coba klinik untuk penderita nyeri neuropati diabetika, lamotrigin unggul dari plasebo, khususnya untuk simtom nyeri spontan.
3. Gabapentin
Pada tahun 1995 Gabapentin diizinkan beredar di AS sebagai adjunctive therapy untuk epilepsi. Telah dilaksanakan uji coba klinis gabapentin terhadap nyeri neuropati diabetika dan untuk nyeri pasca herpes dengan hasil yang memuaskan dengan efek samping minimal. Mekanisme kerja gabapentin belum diketahui dengan pasti tetapi diperkirakan kerja utama obat tersebut sebagai antagonis reseptor (2( yang merupakan subunit dari saluran ion Ca2+ (gb.9)
Keterangan: . VGSC= Voltage-Gate Sodium Channel
VGCC= Voltage-Gate Calcium Channel
GBP=Gabapentin
CBZ=Carbamazepine
OXC=Oxcarbazepine
LTG=Lamotrigin
Gambar 9. Diagram yang menunjukkan aksi antikonvulsan di saluran ion
Di samping sebagai antagonis dari (2(, gabapentin diperkirakan juga bekerja untuk peningkatan GABA. Oleh karena itu gabapentin sangat berguna sebagai terapi allodinia. Selain sebagai terapi untuk NN dari uji coba klinis, gabapentin juga dapat memperbaiki siklus tidur yang merupakan gejala ikutan nyeri neuropatik.
Akhir-akhir ini penggunaan gabapentin dalam pengobatan nyeri neuropatik cukup meluas. Hal tersebut terutama disebabkan efektivitas gabapentin hampir sama dengan farmakoterapi lini pertama, amitriptilin dan karbamasepin (gambar 7), sedangkan insiden efek samping sangat rendah, mudah dimonitor, rentang dosis yang luas dan jarang terjadi interaksi antar obat.
Beberapa obat antikonvulsan yang sering dipergunakan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5. Dosis dan Frekuensi Pemberian Anti Konvulsan
Nama ObatDosisJadwal
Gabapentin300 -1500 mg/ hariBID-QID
Oxcarbazepin900 -1800 mg/ hariQID
Carbamazepin100-1000 mg/hariBID-QID
Lamotrigin150-500 mg/hariBID
Fenitoin100-300 mg/hariQID
Topiramat25-200 mg/hariBID
Asam Valproat150-1000 mg/hariTID
Klonazepam1,5 - 6 mg/hariTID
Antidepresan Sebagai Analgetik Ajuvan
Cara penggunaan antidepresan dapat dilihat dalam bab khusus dalam buku ini dan Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Mekanisme kerja antidepresan terutama sebagai reuptake inhibition dari serotonin (5HT) dan norepinefrin (NE) di sinap neuron SSP . Inhibisi terhadap reuptake 5HT dan NE menyebabkan kadar kedua zat tersebut di sinap tetap tinggi sehingga memacu neuron pasca sinap untuk mengeluarkan enkefalin yang berfungsi sebagai inhibisi. Mengingat fungsi antidepresan terutama jenis trisiklik (TCA) yang memperkuat inhibisi, maka penggunaan TCA dapat dikatakan cukup luas sebab dapat digunakan untuk terapi berbagai tipe nyeri. TCA cukup efektif untuk terapi nyeri kanker, nyeri punggung bawah, berbagai nyeri kepala dan nyeri kronik lainnya.
Dalam tabel di bawah ini dapat dilihat beberapa antidepresan yang sudah digunakan untuk terapi NNTabel 6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Obat Anti Depresan
1. Tertiary Amine
NAMA OBATDOSIS ORAL (MG/HARI)JADWAL
Amitriptilin(Elavil) 10-150mg/hari 1 - 3 X
Imipramine(Tofranil)25-75 mg/hari 1 - 3 X
Maproptilin25-150 mg/hari 1 - 3 X
Clomipramine(Anafranil)10-150mg/hari 1 - 3 X
Nortriptilin10-30 mg/hari 1 - 3 X
2. Secondary Amine
NAMA OBATDOSISJADWAL
Nortriptyline(Pamelor)10-150mg/hari QD-BID
Desipramine(Norpramin)10-300mg/hariQD-BID
Maprotiline(Ludiomil)10-225mg/hari QD
Protriptyline(Vivactil)15-40mg/hari TID-QID
3. Anti Depresan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
NAMA OBATDOSISJADWAL
Paroxetine(Paxil)20-40mg/hari QD
Fluoxetine(Prozac)20 mg/hari QD
Sertraline(Zoloft)50 mg/hari QD
Fluvoxamine(Luvox)50-100mg/hari QD- BID
KEPUSTAKAAN
1. Brune K, Zeilhofer HU: Antipyretic (non-narcotic) Analgesics. In Wall PD,
Melzack R (eds). Textbook of pain, Churchill Livingston,
Edinburgh, 1999, pp1139-53
2. Miyoshi HR: Systemic Nonopioid Analgesics. In Loeser JD, Butler SH,
3. Fordyce WF: Back Pain in Workplace. IASP Press, Seattle, 1995, pp5-9
4. Loeser, JD, Melzack R: Pain: An Overview, The Lancet, 353: 1999,
pp.1607-09
5. Fields. H, Baron R, Rowbotham MC: Peripheral Neuropathic Pain: An
Approach to Management. In Wall PD, Melzack R (eds).
Textbook of Pain, Churchill Livingston, Edinburgh, 1999, pp1523-
33
6. Watt-Watson JH, Clark AJ, Finley GA, Watson CPN Canadian Pain
Society: Position Statement on Pain Relief. Pain Res Manage 4:
2, 1999, pp 75-8
7. Tollison CD: Pain and It's Magnitude. In Weiner RS (Ed): Pain
Management. CRC Press, Ill., 1998, pp3-6
8. Cervero F and Laird JMA: From Acute to Chronic Pain: Mechanisms and
Hypothesis. In: Carli G and Zimmermann, (eds) Progress in Brain
Research. Vol.110, Elsevier Amsterdam, 1996
9. Carr DB, Goudas LC: Acute Pain. Lancet 353, 1999, pp 2051-8
10. Turk DC, Okifuji A: Assessment of Patients Reporting of Pain: an Integrated Perspective. The Lancet, 1999, pp 1784-88
11. Meliala L, Suryamiharja, Purba JS: Konsensus Nasional Penanganan Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi Nyeri, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia, 2000.
12. Haddox JD, Psychological Aspects of Pain. In Abram SE, Haddox JD,
Kettler RE (eds.) The Pain Clinic Manual Tippincott Comp.
Philadelphia, 1990
13. McQuay HI, Moore RA: An Evidence-based Resource for Pain Relief,
Oxford University Press, 1999
14. McQuay HI, Moore RA: Method of Therapeuticals. In Wall PD, Melzack R
(eds). Textbook of pain, Churchill Livingston, Edinburgh, 1999,
pp1125-38
15. Moore Ra: Understanding Clinical Trials: What Have We Learned From
Systematic Review. In Devor M, Rowbotham MC, Wiesenfeld-
Hallin Z (eds). Proceedings of the 9th World Congress on Pain.
IASP Press Seattle, 2000, pp 757-70
Chapman CR, Turk DC (eds). Bonicas Management of Pain.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2001, pp1667-81
16. Meldrum B. Trileptal Rationale and Potential Role for Its Use Beyond Epylepsy. Dibacakan di Satellite Symposium of the 17th World
Congress of Neurology, London,2001
17. Attal, N. The Potential Role of Oxcarbazepine in the Treatment of
Neuropathic Pain. Dibacakan di Satellite Symposium of the 17th
World Congress of Neurology, London, 2001
18. Serra, J., 1999. Overview of Neuropathic Pain Syndromes. Acta Neural
Scond: Suppl. 173, pp7-11
19. Rowbotham, M. C., Petersen, K.L., Davies, P.S., Friedman, E.K., & Fields,
H.L.,2000. Recent Development in The Treatment of
Neuropathic Pain. In: Devor, M., Rowbotham, M.C., &
Wiesenfeld-Hallin, Z. (ed).
Proceeding of the 9th World on Pain. IASP Press, Seattle, pp
833-855.
20. Attal, N., Nicholson, B., Serra, J., 2000. New Directions in Neuropathic Pain: Focusing Treatment Symptoms and Mechanisms. Royal
Society of Medicine Press Ltd., London
21. Tolle, T.H., 2000. Mechanisms to Pain Management: The Issues of
Diagnosis. In: Highlights of Symposium Rationale Treatment
Strategies for the Succesful Management of Neuropathic Pain,
Cannes, France
22. Meliala, L., Suryamiharja, A., Purba, J.S., Anggraini, H., 2000. Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Perdossi
23. Cummins, T.R., Dib-Hajj, S.D., Black, J.A., Waxman, S.G., 2000. Sodium
Channels as Molecular Targets in Pain. In: Devor, M.,
Rowbotham, M.C., & Wiesenfeld-Hallin, Z., (eds) Proceedings
of the 9th World Congress on Pain. IASP Press, Seattle, pp 77-
91
24. Rowbotham M.C. and Pettersen, K.L., 2001. Anticonvulsant and Local
Anaesthetic Drugs. In: William Loeser J.D. et al (eds) Bonicas
Management of Pain, Lippincott & Wilkins Philadelphia, pp
1727-35
25. Luria, Y., Brecker, C., David, D., Ishay, A., Eisenberg, E., 2000.
Lamotrigin in the Treatment of Painful Diabetic Neuropathy: A
Randomized Placebo-controlled Study. In: Devor & Rowbotham,
M.C., Wiesenfeld-Hallin, Z., Proceeding of the 9th World Congress
of Pain, IASP Press, Seattle, pp 857-62
26. Backonja, M., Beydoun, A., Edwards, K.R, et al, 1998. Gabapentin Monotherapy for the Treatment of Painful Neuropathy: A
Multicenter, Double Blind, Placebo-controlled Trial in Patients with
Diabetes Mellitus. JAMA 280, pp 1831-36
27. Rowbotham M., Harden, N., Stacey, B., et al 1998. Gabapentin for the
Treatment of Postherpetic Neuralgia: A Multicenter Double-blind,
Placebo-controlled Study, JAMA 280 pp 1837-42
28. Harden, R.N., 1999. Gabapentin: A New Tool in the Treatment of
Neuropathic Pain. Acta Neural Scond: Suppl. 173, pp 43-47
29. Fields, H.L., Baron, R., Rowbotham, M.C., 1999. Peripheral Neuropathic
Pain: An Approach to Management. In: Wall, P.D and Melzack, R.
(eds), Textbook of Pain, Churchill Livingstone, London, pp 1523-48
Nyeri Akut: Intervensi
METODE TERAPI
Medikasi
Menghilangkan
penyebab nyeri
Pendekatan
psikologis
Metode
secara fisik
Analgesia regional
Fisioterapi
Manipulasi
TENS
Akupunktur
Es
Cara sederhana
Blok saraf
Anestesi lokal
( opioid
Operasi
"Splinting"
Opioid
Morphine
Lain-lain
Teknologi tinggi
Epidural infusion
Local anaesthetic
( opioid
Non-opioid
Aspirin &
AINS
Paracetamol
Kombinasi
Relakasasi
Psikoprofi-
laksis
Hipnosis
Nyeri Kronik: Intervensi
METODE TERAPI
Alternatif
Blok Transmisi
saraf
Terapi farmaka
Ireversibel
Operasi
Destruksi saraf
Stimulator
Akupunktur
Hipnosis
Psikologi
Analgesik
NSAID/
Paracetamol
- opioid
Reversibel
Injeksi anestesi lokal
(steroid
Ajuvan analgesik
Antidepresan
Antikonvulsan
Dan lain-lain
P
S
Y
C
H
O
L
O
G
I
C
A
L
SUFFERING
NOCICEPTIVE
PSYCHOLOGICAL
Pethidine Inj.(i.m)100 mg
5061
2283
1167
257
790
2898
946
816
636
963
8
7
5
4
6
3
,
Woolf & Mannion,
Lancet 1999
Attal & Bouhassira, Acta Neurol Scand 1999
EMBED MSGraph.Chart.8 \s
Perubahan fenotip
Perubahan
sistem
modulasi
Aktivitas ektopik
Sensitisasi sentral
A( fiber
C fiber
Lesi saraf
Aktivitas ektopik
-
-
Oxcarbazepine
Plastisitas
neuron
Serabut aferen
Medula spinalis
EMBED PowerPoint.Slide.8
Proporsi penderita yang
mendapatkan pengurangan
nyeri minimal sebesar
50% dengan analgesik
tertentu
Proporsi penderita dengan
pengurangan nyeri minimal
50% dengan plasebo
322Dr. KRT. Lucas Meliala, SpKJ, SpS(K)/Yogyakarta/2001
_1063793888.xls
_1063441619.ppt
NMDA ++AMPAKainate
Hyperexitability
OpioidsGABA
+
BRAIN
VGCC
VGSC
VGSC
VGSC
CBZOXCLTG
GBP?
VGSC
GBP?
Ca++
Ca++
GLUTAMATE
PEPTIDES
Altered Properties
Altered Activity