Upload
inoki-ulma-tiara
View
46
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dipisahkan dari sejarah
perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan usia yang telah mencapai lebih
dari setengah abad, TNI mengalami pasang surut dalam mempertahankan
eksistensinya sebagai tentara profesional.
Dalam negara demokrasi profesionalisme militer diartikan peran militer
(tentara) dibatasi pada pelaksanaan perintah dibidang pertahanan nasional dan
keamanan dalam negeri (keadaan darurat) dibawah supremasi sipil.1 Adanya
supremasi sipil mengharuskan militer mengabdikan diri secara profesional pada
keputusan-keputusan politik sipil. Sebagai alat negara, militer harus dibawah
kendali dan kontrol masyarakat sipil. Institusi militer hanyalah menjadi agen
operasional atau pelaksana efektif di lapangan, yang diikuti pula oleh mekanisme
pertanggungjawaban ke publik secara transparan. Cara kontrol demikian, tentu
saja tetap mempertimbangkan pada prinsip penghargaan atas otoritas
profesionalisme yang diberikan kepada kemandirian militer.
Secara historis ada tiga peristiwa penting yang menjadikan TNI merasa
lebih berjasa dan tidak berada dibawah otoritas sipil. Pertama adalah revolusi
kemerdekaan tahun 1945-1949. Pada revolusi fisik ini, perjuangan bersenjata
1 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini, dan Kelak (Jakarta:Surya Multi Grafika) hal v
1
yang dilakukan oleh TNI diklaim sebagai saham terbesar mereka ketika
mendirikan negara Indonesia. Kedua adalah saat pemberontakan muncul di
berbagai daerah pada dekade 50-an. Keberhasilan TNI untuk membungkam
pemberontakan-pemberontakan tersebut melalui operasi militer diklaim sebagai
saham penting TNI untuk mempertahankan keutuhan negara Indonesia. Ketiga,
keberhasilan TNI menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah
peristiwa G 30 S/PKI semakin memperbesar saham TNI dalam menjaga keutuhan
dan kedaulatan bangsa. Dari ketiga peristiwa penting tersebut, keberadaan TNI
yang berada di garis depan untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan
mendapatkan legitimasi.
Faktor historis tersebut membuat Indonesia belum memiliki pengalaman
otentik bagaimana sistem politik secara substansial menempatkan posisi tentara
dalam kerangka subordinasi sipil, apalagi dalam bentuk kontrol efektif
sebagaimana diberlakukan pada negara demokratis. Bahkan, yang terjadi di
Indonesia justru sebaliknya. Militerlah yang cenderung mendominasi civil society.
Ini dapat dirunut dari pengalaman panjang dari masa revolusi kemedekaan dan
semakin intens ketika Orde Baru berkuasa.
Kebijakan negara Indonesia untuk membentuk TNI menjadi militer
profesional dibawah supremasi sipil sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin,
militer ditempatkan dalam posisi alat negara dibawah kendali pemerintah sesuai
dengan supremasi sipil2. Namun, militer berpandangan kebijakan tersebut tidak
realistik mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR yang mengangap dirinya
2 Reid J.S Anthony, Revolusi Nasional Indonesia ( Jakarta: Penebar Swadaya,1996) hal. 139
2
sebagai alat perjuangan rakyat dan bukannya sebagai alat negara belaka di bawah
kendali pemerintah3.
Kegagalan kebijakan profesional militer dibawah supremasi sipil di
Indonesia berhubungan erat dengan perkembangan sistem ketatanegaraan dan
sistem politik, karena militer profesional muncul didalam sistem politik yang
stabil. Dinamika politik nasional yang kacau menciptakan perspektif dikalangan
militer untuk turut campur dalam politik praktis dan keraguan terhadap
kepemimpinan kaum sipil maupun terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Di sisi lain gagalnya kebijakan profesional militer di bawah supremasi
sipil militer di Indonesia adalah karena militer digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan oleh rezim yang berkuasa. Pada masa Sukarno, militer diakui sebagai
kekuatan politik dalam lembaga negara (Dewan Nasional) yang dibentuk oleh
pemerintah. Pemerintah melibatkan TNI dalam politik dengan membiarkan
berlangsungnya proses balance of power antara dua kekuatan politik utama pada
waktu itu yakni TNI dan PKI. Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September”
pada tanggal 1 Oktober 1965, merupakan suatu turning point dalam
perkembangan politik nasional Indonesia memperkuat posisi dan kelanggengan
dominasi politik tentara dalam sistem politik nasional.
Begitu pun dengan pemerintahan Orde Baru, militer ditempatkan pada
kedudukan yang istimewah sebagai motor pembangunan dan atas penilaian
ketidakmampuan sipil. Di bawah kendali Soeharto yang menempatkan militer
pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas
3 Soebijono, DWIFUNGSI ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997) hal 13
3
militer sebagai salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah
menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan dalam konsep dwifungsi
ABRI, dimana angkatan bersenjata dilihat secara sah sebagai kekuatan militer dan
sosial-politik dimana kekuatan sosial-politiknya dikukuhkan secara legal.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru mendorong reformasi di semua lini,
termasuk mereformasi ABRI yang selama ini menjadi alat dan bagian dari
kekuasaan. Berbagai tuntutan bermunculan agar TNI kembali ke barak.4 yang
disebabkan praktik-praktik otoriterisme secara massif semasa Orde Baru dimana
militer merupakan "mesin resmi" kekerasan negara. Tidak mengherankan jikalau
momentum ledakan perlawanan masyarakat atas praktik kesewenang-wenangan
mengawali gerakan reformasi politik beberapa tahun berikutnya, senantiasa
menempatkan sasaran utama pada sikap dan perilaku militer.
Sejumlah bukti mengenai ekspresi kekerasan aparat bersenjata selama ini
telah menjadi ingatan kolektif yang mengenaskan, yang dengan sendirinya
menyebabkan keprihatinan dan kebencian masyarakat. Seperti yang dicatat Bhakti
dalam Makhasyin (2002:6-7) beberapa kekerasan yang dilakukan TNI adalah
terjadinya penculikan sejumlah aktivis prodemokrasi dan terbunuhnya empat
mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan belum ada pengusutan
menjadikan masyarakat tidak percaya pada kemampuan TNI untuk menjaga
stablitas. Karenanya, semua itu kian menebalkan argumen atas adanya keyakinan
bahwa, gerakan reformasi politik di Indonesia saat ini dianggap "berhasil' jikalau
4 Asren Nasution, 2003, Religiositas TNI Refleksi Pemikiran Jenderal Besar Soedirman (Jakarta: Prenada Media) hal 25
4
prasyarat penting dapat dipenuhi, yakni dilakukannya perombakan mendasar atas
posisi dan peran militer di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dimulai rintisan kebijakan
untuk “menghalau” militer dari arena politik praktis, karena alasan mendasar
perlunya institusi militer untuk kembali pada fungsi utamanya dan memperbaiki
kembali konsep hubungan sipil-militer dengan lebih mengedepankan pada
supremasi sipil. Kebijakan tersebut diantaranya strategi untuk pemisahan antara
militer dengan kepolisian, yang dilandasi oleh perbedaan substansial posisi dan
perannya dalam kehidupan masyarakat. Carut-marutnya posisi keduanya
menyebabkan hancurnya profesionalisme yang semestinya diemban oleh kedua
institusi tersebut. Tentara, yang sesungguhnya hanya memiliki wilayah pertahanan
negara ternyata merasuki area keamanan yang merupakan otoritas kepolisian.
Sebaliknya pula, kepolisian yang semestinya merupakan kekuatan sipil malahan
mengalami militerisasi. Upaya-upaya membatasi ruang militer sebelumnya juga
diawalinya dengan proses sipilisasi institusi pertahanan, dimana secara simbolis
diwujudkan dalam bentuk pengisian jabatan menteri pertahanan dari kalangan
sipil.
Transisi demokrasi yang diupayakan di Indonesia memang masih
mewarisi gurita militerisasi yang berakar kuat dalam rezim otoritarian (Orde
Baru) sebelumnya. Oleh karena itu, dimasa pemerintahan Megawati Soekarno
Putri dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia yang berarti prasyarat penting tegaknya supremasi sipil, absennya
militer dari arena politik dan terbangunnya militer profesional.
5
Perubahan-perubahan kebijakan negara untuk membangun militer yang
profesional membawa dampak terhadap militer secara keseluruhan, yakni meliputi
komando kewilayahan diberbagai daerah di Indonesia. Salah satunya adalah
Korem 032/Wirabraja yang berada dibawah Kodam I/ Bukit Barisan sebagai basis
kekuasaan tentara (AD) TNI penyelenggaraan pertahanan untuk wilayah Sumatera
Barat yang membawahi 10 Kodim dan 2 Bataliyon. 5 Profesionalisme militer pada
tatanan implementasinya di Korem 032 Wirabraja menunjukkan perubahan-
perubahan signifikan sekitar organisasi TNI khususnya Angkatan Darat sebagai
proses dialektika prajurit Angkatan Darat dalam memaknai profesionalisme.6
Dengan demikiaan penelitian tentang profesionalisme militer menarik
untuk dilakukan karena: pertama, profesionalisme merupakan karakteristik militer
yang paling utama. Terwujudnya TNI profesional, akan membawa dampak
terhadap kemampuan TNI untuk menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menjaga keselamatan bangsa dan negara serta kelangsungan pembangunan
nasional. Kedua, perjalanan sejarah militer begitu kompleks sehingga masih
banyak celah dan ruang yang belum diteliti, baik secara nasional maupun secara
kedaerahan. Ketiga, profesionalisme militer merupakan isu-isu populer dalam
wacana hubungan sipil-militer dalam demokrasi di Indonesia.
5 Korem 032/Wirabraja adalah hasil penggabungan 2 (dua) Korem sebelumnya yaitu Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di Bukittinggi dan Korem 033/Wirayudha yang berkedudukan di Solok. Keputusan Kasad No. Kep/30/I/1985 tanggal 22 Januari 1985 dan surat perintah Pangdam III/17 Agustus No. Sprin/91/I/1985 tanggal 23 Januari yang Makoremnya berkedudukan di Kota Madya Padang. Mulai saat itu resmilah berdirinya Korem 032/Wirabraja yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab penuh kepada Pangdam III/17 Agustus yang kemudian dilikuidasi ke dalam Kodam I Bukit Barisan.6 Kusnanto Anggoro, 2008, Pengantar Profesonalisme Militer, Profesinalisasi TNI (Malang: UMM Press) hal xv
6
B. Masalah dan Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini akan melihat bagaimana
profesionalisme militer di Sumatera Barat. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola pemahaman para perwira di Korem 032 Wirabrajadi
Sumatera Barat tentang tuntutan profesionalisme militer dalam jajaran kesatuan
mereka?
2. Apa langkah-langkah yang diambil oleh para perwira di Korem 032Wirabraja
tersebut dalam menjawab tuntutan reformasi militer?
3. Bagaimana mereka menyesuaikan diri antara tuntutan pusat dan realitas di
daerah tersebut. Apa kendala-kendala utama yang mereka hadapi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk memahami pola pemahaman para perwira di Korem 032 Wirabrajadi
Sumatera Barat tentang tuntutan profesionalisme militer dalam jajaran kesatuan
mereka
2. Untuk memahami langkah-langkah yang diambil oleh para perwira di Korem
032Wirabraja tersebut dalam menjawab tuntutan reformasi militer
3. Untuk memahami penyesuaian diri mereka antara tuntutan pusat dan realitas di
dearah. Mendiskripsikan kendala-kendala utama yang mereka hadapi
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Studi profesinalisme militer ini adalah studi dari sudut pandang
sosiologi militer. Kendatipun begitu penelitian ini tetap bersinggungan
dengan ilmu sosial lain yaitu politik dan sejarah.
7
Khusus dalam sosiologi militer ini, penelitian ini memiliki peluang
untuk menyempurnakan atau melengkapi teori yang pernah dikemukakan
oleh teorisi di bidang kajian militer, khususnya mengenai pemikiran dan
konsepsi tentang profesionalisme militer di luar Jawa.
2. Secara Praktis
a) Bagi peneliti
Untuk memenuhi syarat gelar Magister Pendidikan Program
Studi Sosiologi-Antropologi di Universitas Negeri Padang dan
memamahi militer secara sosiologi lebih dalam.
b) Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat tentang informasi
profesionalisme militer Indonesia di luar Jawa sehingga ketika bicara
militer bukan hanya tentang Jawa.
c) Bagi pemerintah dan militer
Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan
militer di pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan tentang
profesionalisme militer yang tidak hanya berpusat pada nilai-nilai
budaya Jawa. Sehingga nilai-nilai di luar Jawa ikut membentuk nilai-
nilai profesionalisme militer Indonesia.
8
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Militer dan Profesionalisme Militer
Penelitian ini merupakan penelitian yang memakai pendekatan sosiologi yaitu
menurut William Ogburn dan Meyer F. Nimkoff bahwa sosiologi adalah
penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi
sosial7. Dan lembaga militer khusus Korem 032 Wirabraja adalah organisasi
sosial. Penelitian memfokuskan pemahaman tentang profesionalisme militer yang
berorientasi pada nilai-nilai militer profesionalime lama (Old Professionalism).
Dengan mengunakan teori interaksi simbolik untuk mencari definisi atau makna
profesionalisme militer dari kaca mata militer itu sendiri. Berikut ini teori dan
konsep yang berkaitan dengan penelitian “Profesionalisme Militer” yang akan
dilakukan.
Dimulai dengan konsep profesionalisme, menurut Huntington ahli militer ini
mengatakan bahwa orang yang profesionalisme adalah seorang yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan khusus dalam suatu bidang yang penting yang
merupakan kerja keras manusia. Pengetahuan profesional pada dasarnya bersifat
intelektual dan dapat disimpan dalam bentuk tulisan.”8 Ada spealisasi dalam suatu
pekerjaan sehingga ditekuni secara terus-menerus dan bisa diwariskan kepada
generasi selanjutnya karena ada dokumentasi salah satunya berbentuk tulisan.
7 Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial dan Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. (Jakarta: Gramedia) hal 248 Hungtington. P Samuel. 2003 Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (Jakarta. PT Grasindo) hal 4
9
Ketika bicara tentang profesionalisme ini bukan sebuah hasil yang pembelajaran
hari ini tetapi adalah sebuah proses terus-terus dari masa lalu.
Sedangkan menurut Effendi profesionalisme adalah seorang profesional yang
bekerja dalam konteks sosial dan melakukan fungsi pelayanan yang sangat
penting manfaatnya bagi masyarakat9. Selain hasil yang maksimal dituntut secara
individu dan kelompok profesionalisme juga harus berfungsi untuk masyarakat
secara keseluruhan.
Setelah berbicara tentang profesionalisme maka selanjutnya adalah
merumuskan tentang militer, seperti yang dikemukakan Huntington bahwa
gambaran tentang militer adalah bersifat disiplin, kaku, logis, ilmiah; sifat tidak
fleksibel, toleran, instuitif, dan emosional. Bekerja terus-menerus dalam fungsi
kemiliteran akan membangkitkan sifat-sifat tersebut yaitu gemar berperang10.
Sifat-sifat militer tersebut adalah pembeda militer dengan sipil batasan antara
dirinya dan orang awam atau warga sipil secara umum dilambangkan dengan
seragam dan pangkat, ketika ada tindakan secara individu, kelompok dan atas
nama institusi maka ketika akan memberikan interprestasi bahwa ini adalah
berisfat sipil atau bersifat militer.
Sebelum kita merumuskan profesionalisme militer, penulis ingin
menyampaikan bahwa pada umumnya para penulis tentang militer di Indonesia
menyamaratakan antara profesionalime militer dalam konteks peran institusi
militer dalam negara dengan profesionalisme militer secara individu (perwira)
sebagai pimpinan institusi militer yang memiliki keahlian dan tanggung jawab
9 Munadjir Effendi, 2008, Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI (Malang, UMM Press) hal 1910 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 64
10
sebagai seorang perwira militer profesional11. Walaupun pada akhirnya
perwiralah yang mewakili militer ketika berhadapan dengan pemerintah atau
negara. Maka penulis membagi profesionalisme militer sebagai institusi dengan
perannya dalam negara dan Perwira sebagai militer profesional.
2. Profesionalisme Militer sebagai Institusi dan Perannya dalam Negara Tabel 1 : Peran Militer dalam Sistem Pemerintahan
Indikator Demokratis Komunis OtoritarianOrientasi Militer Profesionalisme
di bawah supremasi sipil
Mengikuti partai
Pretorian
Fungsi Militer Sebagai pertahanan
Pelindung partai
Disemua sektor
Institusionalisai militer
Militer sebagai lembaga negara yang terpisah dari pemerintah
Militer sebagai aset partai
Militer sebagai pemerintah atau setidak-tidaknya mengusai pemerintah
Militerisme Terbatas Sangat tertutup Sangat kuatPosisi militer di hadapan sipil
Supremasi sipil, militer subordinat
Militer dominan, sipil subordinat
Miter dominan, militer subordinat
Hak kontestasi Rendah atau moderat
Sangat tinggi (dominan)
Sangat tinggi
Hak istimewah militer
Terbatas Sangat tinggi Sangat tinggi
Kontrol sipil terhadap militer
Sangat kuat Kuat Sangat lemah, bahkan tidak ada.
Sumber Effendy (2008:66)
Dari tabel diatas bisa disimpulkan bahwa yang menentukan sistem
pemerintahan bukan hanya idiologi dan sistem pemerintahan tetapi peran militer
dalam suatu negara. Kita bicara tentang demokrasi tetapi militer memegang
11 Baca Marsekal TNI Djoko Suyanto. 2007, Menuju TNI Profesional Dan Dedikatif, Jakarta, Pusat Penerangan TNI, Salim Said, 2006, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan, Panglima TNI Djoko Santoso,2010, Doktrin Tentara Nasional Indonesia Tridarma Ekakarma (TRIDEK), Jakarta, Markas Besar TNI, dan Connie Rahakundini Bakrie, 2007, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia)
11
seluruh tampuk pemerintahan, logika demokrasi demikian hanya logika omong
kosong belaka. Militer bukan hanya mengambarkan kekuatan perang semata
namun juga mengambarkan corak negara tersebut.
Profesionalisme militer dan perannya dalam negara seperti yang tercermin
dalam UU nomor 34 tahun 2004 dan ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan
Kepolisian yaitu:
Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahternaannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.12 Tentara nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara13.
Ketika negara Indonesia berusaha menuju demokrasi dalam arti yang
sebenarnya maka peran militer sebagai pertahanan negara harus dirumuskan
secara jelas dan terperinci, undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentan TNI dan
Tap MPR tentang pemisahan polisi dari TNI adalah untuk mengantar Indonesia
pada demokrasi dalam arti sebenarnya. Sesuai dengan pernyataan di atas tabel di
bawah mengambarkan kesusain the old profesionalisme of external defence
dengan UU nomor 34 dan Tap MPR nomor tahun 2000 tentang pemisahan
kepolisian dengan TNI.
12 Bambang Kesowo. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.(Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 2213 Bambang Kesowo. 2005, Ketetapan MPR RI No/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI Pasal 2 ayat 1 hal 5, (Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 5
12
Tabel 2, Perbedaan Paradigma: Profesionalisme Lama adalah Keamanan keluar (pertahanan), profesionalisme baru adalah pertahanan ke dalam dan pembangunan nasional
Profesionalisme Lama Profesionalisme BaruFungsi Militer Pertahanan keluar Pertahanan ke dalamSikap masyarakat terhadap pemerintah
Masyarakat menerima kewenangan pemerintah
Masyarakat mempunyai posisi tawar atas kebijakan pemerintah
Keahlian militer yang dibutuhkan
Ketrampilan khusus sesuai dengan keinginan pemerintahan
Ada kaitan antara kemampuan politik dan kemampuan militer
Ruang lingkup kewenangan militer
Terbatas Tidak terbatas
Ruang lingkup militer di luar keahlian militer (perang)
Militer netral secara politik
Militer ikut berpolitik
Dampak terhadap hubungan sipil militer
Militer hanya mengontrol militer dan tidak ikut dalam urusan sipil
militer bersama sipil mengontrol militer dan berperan diluar peran militer
Sumber Stepan dalam Fortuna (2004:165)
Huntington (2003:70) mengatakan bahwa ada tiga tanggung jawab militer
terhadap negara :
1. Fungsi represetatif. Yaitu mewakili tuntunan keamanan militer di dalam peralatan negara. Ia harus menjaga agar otoritas negara tetap memperoleh informasi mengenai batas minimal kemanan militer yang harus dimiliki di tengah-tengah kemampuan negara lainnya. Pada umumnya ia memiliki hak dan tugas untuk mengemukakan pandangannya kepada lembaga-lembaga umum, baik ekskutif maupun legislatif.
2. Perwira militer memiliki sebuah fungsi penasihat, untuk menganalisis dan melaporkan segala implikasi dari bidang alternatif mengenai tindakan negara menimbang tiga kemungkinan kebijakan.
a. kebijakan pertama dapat dilaksanakan lebih mudah dengan kekuatan militer yang saat ini tersedia
b. kebijakan kedua melibatkan resiko-resiko serius kecuali ada tambahan kekuatan militer,
c. kebijakan ketiga berada diluar kemampuan militer
3. Perwira memiliki fungsi eksekutif, yaitu mengimplementasi keputusan negara dalam hal keamanan militer bahkan jika keputusan tersebut menimbulkan pertentangan yang keras dengan pertimbangan secara militer yang dimilikinya.
13
Huntington mengatakan (2003:69-70) pandangan militer terhadap
kebijakan nasional mencerminkan tanggung jawab profesional terhadap keamanan
militer negara. Tanggung jawab menuntun militer :
“(1) untuk memandang negara sebagai unit dasar organisasi politik; (2) menitikberatkan pada ancaman terus-menerus terhadap keamanan negara dan keadaan perang yang berkelanjutan;(3) menekankan besarnya dan kedekatan ancaman keamanan; (4) mendorong dipertahankan kekuatan militer yang kuat, beraneka ragam, dan siap siaga; (5) menentang diperluasnya komitmen negara dan keterlibatan negara dalam perang, kecuali kemenangan sudah ditangan.”Dari rumusan Huntington di atas memperlihatkan bahwa peran militer dalam
bidang pertahanan, selalu keadaan siaga, dan siap perang. Militer mengajukan
anggaran untuk alusista (Alat Utama (dan) Sistem Senjata)14 dan dipenuhi oleh
negara. Militer memliki otonom tentang bagaimana pertahanan dibentuk dan
kesiapan perang tersebut namun sipil yang berhak menyatakan perang.
Lebih jauh mengenai posisi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari
dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Genschel dalam KontraS (2003:20-22),
KontraS (2003:22-23), IDEA dalam Fortuna (2004:169), Senoaji dalam Effendy
(2008:60), dan Effendy (2008:60), pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh
para ahli diatas terlihat, bahwa prinsip-prinsip tersebut lahir dari kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh militer khususnya pada Orde Baru, dan prinsip-
prinsip tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Militer tidak ikut dalam partispasi politik atau bersifat netral dalam politik
2. Tidak boleh berbisnis baik secara institusi maupun secara perorangan atau militer tidak dibenarkan mendapat dukungan keuangan diluar pendapatan dan belanja negara
3. Militer menjaga keamanan eksternal negara (pertahanan)
14 Ingo Wandelt, May 2009,Kamus Keamanan Komprehensif Indonesia: Akronim danSingkatan (Jakarta, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia) hal 23
14
4. Supremasi sipil diartikan dalam beberapa poina) Menteri pertahan dipegang sipilb) Militer tunduk dan dikontrol oleh kekuasaan sipil (ekskutif,
legislatif dan yudikatif)c) Menciptakan doktrin militer yang mengakui supremasi sipild) Keluarnya militer dari administrasi sipil
5. Militer tunduk pada hukum
6. Perwira dalam Organisasi Militer Profesional
Merujuk pada Huntington bahwa hanya perwira yang disebut sebagai militer profesional sedangkan prajurit yang dibawahnya bintara dan tamtama hanya pelaksana keputusan perwira.
“Perwira modern merupakan profesional. Dan perwira militer modern adalah orang yang profesional...keperwiraan memenuhi kreteria utama profesionalisme, sedangkan tamtama adalah speasialis dalam menerapkan kekerasan, dan bukan dalam mengelola kekerasan15.”
a. Tanggung-Jawab Perwira Profesional
Kemampuan militer yang unik, yang sama sekali tidak asing lagi bagi hampir
semua perwira, dan justru membedakan mereka dengan warga sipil. Keahlian
utama ini diungkapan oleh Harold Lasswel dalam Huntington (2003:8)
mengatakan istilah manajemen kekerasan adalah fungsi kekuatan militer adalah
keberhasilan dalam pertempuran bersenjata. Tugas perwira meliputi :
“(1) pengaturan perlengkapan, dan pelatihan angkatan bersenjata; (2) perencanaan kegiatannya; dan (3) pengarahan kegiatan operasinya di dalam dan di luar pertempuran. Perwira disini tinggal barak (Bataliyon) menyiapkan, melatih, merencanakan perang dan siap ditugaskan untuk perang.”
b. Keahlian Perwira Profesional
15 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 64
15
Huntington dalam Perlmuter (2000:14) mengatakan bahwa perwira
profesional di zaman modern merupakan satu kelas sosial yang baru mempunyai
ciri-ciri dasar berikut:
1. Keahlian (“manajemen kekerasan”)2. Pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara),3. Korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi dan )4. Ideologi (“semangat militer”)
Yhudoyono dalam Effendi (2008:27) mengatakan bahwa prajurit
profesional menpunyai kriteria sebagai berikut. Apabila ia bertindak (dalam
ukuran tertentu) sebagai:
1. Seorang patriot.2. Seorang komando 3. Seorang pembina (manajer).4. Seorang pemikir (strategis and tactian) dan5. Seorang yang ahli pada bidangnya atau kecabangan. Selain itu, sosok
dan kreteria seorang prajurit yang profesional sesuai hakikat dan filsafat Tri Sakti Wiratama, yaitu (1) harus mempunyai mental yang tangguh, (2) intelegensi yang tinggi, dan (3) fisik yang kuat.”
Secara detail Mantiri dalam Effendy (2008:29-30) menguraikan bahwa
profesionalisme militer pada dasarnya terwujud karena lima aspek, yaitu sebagai
berikut:
1. Adanya kemampuan intelektual personil2. Memiliki kemampuan berkomunikasi atau dengan kata lain kemampuan
berbahasa Indonesia dan bahasa asing. Hal itu penting karena transfer teknologi hanya dapat dilaksanakan apabila para prajurit menguasai asal teknologi tersebut
3. Kemampuan kemampuan, karena pada dasarnya setiap personil militer harus mampu menjadi pemimpin dari tingkat terbawah hingga teratas
4. Dimilikinya, motivasi dari sanubari setiap personil untuk ingin menjadi personel yang selalu profesional.
c. Organisasi Perwira Profesional
16
Untuk menjamin keahlian dan tanggung jawab diperlukan sebuah kesatuan
standar dalam operasionalnya, kesatuan tersebut bisa berbentuk korp, asosiasi dan
lain-lain yang di sana berkumpulnya orang-orang profesional tersebut.
“. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung jawab sosial yang unik. Rasa kesatuan terwujud dalam suatu organisasi profesional yang membentuk dan menerapkan standar tanggung jawab profesional. Organisasi-organisasi profesional pada umumnya berbentuk asosiasi atau birokrasi.”16
Huntington dalam Effendy (2008:32-33) mengatakan bahwa syarat agar
korps militer menjadi korps militer yang profesional yaitu:
1. Adanya spealisasi fungsional dan pembagian kerja. Alasan yang mendasari adalah tidak mungkin menjadi seorang yang ahli dalam pengelolaan kekerasaan (militer) untuk pertahanan dan pada saat yang bersamaan ahli dalam bidang politik dan kenegaraan.
2. Keberadaan satu sumber otoritas kekuasaan. Seorang perwira yang profesional dikaruniai pemikiran untuk melayani negara. Dalam pratiknya, ia harus setia pada satu institusi tertentu yang pada umumnya diterima sebagai perwujudan otoritas bangsa. Merujuk pada pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa agar korps militer dan personilnya menjadi profesional maka mereka harus bersikap netral dalam politik dan tidak memihak golongan tertentu.
3. Pertumbuhan bangsa-bangsa. Sebagai bagian dari birokrasi negara, korps perwira hanya dapat dipertahankan oleh lingkungan masyarakat yang memiliki badan pemerintahan yang maju. Bangkitnya berbagai pemikiran partai-partai demokratis pada dasarnya merupakan sistem untuk mengorganisasikan institusi-institusi politik. Namun, para pendukungnya berusaha membentuk institusi-institusi militer ke dalam pola tersebut juga. Oleh karena itu, korps militer jangan sampai menjadi sebuah partai politik, bertujuan politik, dan menjadi bagian partai politik tertentu. Selain itu, juga personil juga tidak boleh menjadi anggota partai politik atau mendukung partai tertentu.
4. Korps perwira merupakan profesi yang bersifat birokratis sekaligus organisasi yang bersifat birokratis juga. Dalam profesi ini, tingkat kemampuan dibedakan dengan hirarki kepangkatan; dalam organisasi, tugas dan pekerjaan dibedakan dengan hirarki kantor. Pangkat melekat pada pribadi perwira dan mencerminkan keberhasilan profesionalnya diukur dengan pengalaman, senioritas, pendidikan, dan kemampuan17.
16 ibid hal 517 Ibid hal 13
17
Dalam kenaikan pangkat dan pemberian jabatan faktor senioritas menjadi salah satu faktor terpenting. Seperti komandan meninggalkan tempat maka yang bertanggung jawab adalah yang memiliki pangkat tertinggi, ketika terdapat 2 orang atau lebih mempunyai pangkat yang sama, maka dilihat siapa yang lebih senior.
5. Pemaknaan Profesionalisme Militer dengan Teori Interaksi Simbolik
dan Teori Kontruksi Sosial
a. Teori Interaksi Simbolik
Untuk memaknai profesionalisme militer tersebut dari militer itu sendiri,
disini digunakan teori interaksi simbolik. Joas dan Rock dalam Ritzer dan
Goodman (2004:266) mengatakan bahwa
“Pertama realitas diciptakan secara aktif saat kita bertindak di dalam dunia nyata. Kedua manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka mengenai dunia nyata pada apa yang telah terbukti berguna bagi mereka. Ada kemungkinan mereka menganti apa-apa yang tidak lagi bekerja . ketiga manusia mendefinisikan objek sosial dan fisik yang mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Keempat bila kita ingin memahami aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu diatas apa-apa yang sebenarnya mereka kerjakan dalam dunia nyata. Ada tiga hal yang penting bagi interaksi simbolik. (1) memusatkan perhatian pada interaksi antara aktor dengan dunia nyata, (2) memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan sebagai struktur yang statis, (3) dan arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.Menurut Johnson (1986: 35-37) yang menjadi dasar interaksionisme simbolik
masa kini meliputi:
“Saling ketergantungan organis antara konsep diri dan organisasi sosial, gambaran tentang kenyataan sosial yang muncul dari komunikasi simbol, tekanan pada asal-usul sosial dari konsep diri dan sikap-sikap seseorang, ide terhadap respons terhadap stimulus lingkungan sangat bervariasi dan mencerminkan arti subyektif yang dimiliki bersama, dan penggunaan konsep-konsep secara meluas seperti peran, melaksanakan peran, dan mengambil peran. Bagi interaksionisme simbol, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi organisasi sosial muncul dari proses interaksi.
18
Blumer dalam Ritzer & Goodman (2004:270) menegaskan unit analisis
adalah proses penting dalam interaksi simbolik adalah memberikan aktor kekuatan
bertindak terhadapnya dan yang memberikan makna atas prilakunya sendiri.
Sedangkan menurut Bulmer dalam Veeger (1990:224-226) menyambung pada
gagasan-gagasan Mead menyampaikan konsep-konsep :
1. Konsep diri ; manusia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinter aksi dengan dirinya sendiri. Ia mengarahkan diri kepada objek-objek termasuk diri sendiri, berunding dan berwancara dengan diri sendiri. Ia memasalahkan mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisir perbuatan-perbuatannya. Lalu proses interkaksi dengan diri sendiri dan proses pemaknaan dan penafsiran tampak dengan jelas
2. Konsep perbuatan (action) oleh karena perbuatan manusia bentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, manusia menghadapkan diri pada macam-macam hal sepeti kebutuhan, perasaan, tujuan, perbuatan orang lain, pengharapan dan tuntutan orang lain, peraturan-peraturan masyarakatnya situasinya self image, ingatannya dan cita-cita untuk masa depan. Manusia sendiri adalah konstruktor kelakuannya.
3. Konsep objek; manusia hidup ditengah objek-objek kata dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan..., kebendaan Empire State Building atau abstrak seperti konsep kebebasan, hidup atau tidak hidup, terdiri golongan atau terbatas pada satu orang, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat.
4. Konsep interaksi sosial; interaksi berarti bahwa peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental di dalam posisi orang lain. dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari arti maksud yang oleh pihak lain diberikan kepada aksinya, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Dalam interaksi simbolik orang mengartikan dan menafsiran gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Orang menimbang perbuatan masing-masng orang secara timbal balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lain, melainkan menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut suatu transaksi dalam arti bahwa perbuatan-perbuatan yang diasalkan dari masing-masing pihak diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.
5. Konsep join action, artinya ialah aksi kolektif yang lahir di mana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokan dan diserasikan satu sama lain.
19
Blummer, Manis dan Meltzer, Rose, Snow dalam Ritzer & Goodman
(2010: 392-393) mencoba mengemukakan prinsip-prinsip dasar terori
interaksionisme simbolik diantaranya:
a. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh kemampuan berfikir
b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosialc. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir tersebutd. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
interaksi khas manusiae. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang
mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi tersebut
f. Orang mamapu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri
g. Jalinan pola tindakan dan interaksi ini kemudian menciptakan kelompok masyarakat
Dewey dalam Veeger (1990:221-222) menjelaskan prinsip berlandaskan suatu
teori pengenalan yaitu :
“Yang tidak memahami pikiran manusia sebagai fotocopy atau pencerminan dunia melainkan sebagai hasil kegiatan/aktivitas manusia sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan. Ia mengahadapkan kesadaran pada hal-hal yang diluar. Dalam proses aktif ini pemikiran manusia tidak hanya berperan menjadi instrumen atau sarana untuk bertindak, tetapi menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia. Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia dinamis, anti deterministik dan penuh optimisme. Manusia tidak secara pasif menerima saja pengetahuannya di luar, tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan kelakuannya.”
Mead dalam Veeger (1990:223) mengatakan:
“Sebelum bertindak, manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada dunianya sesuai skema-skema interprestasi yang telah disampaikan kepadanya melalui proses-proses sosial. Baik kelakuan sendiri maupun kelakuan orang lain senantiasa disesuaikan dan diserasikan dengan arti-arti tertentu. Sehubungan dengan proses-proses ini yang mengawali perilaku manusia, konsep “pengambilan peran” (role taking) amat penting. Sebelum seorang diri bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dan coba memahami apa yang diharapkan oleh
20
pihak itu. Pola kelakuan harus diserasikan dengan yang diandaikan oleh masyarakat”
Faris dalam Ritzer & Goodman (2004:271) menyatakan preferensi Mead
mungkin bukan buah pikiran baru masyarakat tetapi masyarakatlah yang pertama
dan kemudian baru pikiran yang muncul dalam masyarakat, bahwa masyarakat
atau lebih luasnya kehidupan sosial, adalah sesuai dengan prioritas dalam analisis
Mead. Mead dalam Ritzer & Goodman (2004:272) preferensi berbentuk :
1. Tindakan, tindakan sosial sebagai “unit primitif” dalam teorinya. Dalam menganalisis tindakan, pendekatan Mead hampir sama dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan tangapan (renponse). Tetapi, stimulus di sini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis dan tanpa dipikirkan. Kita membayangkan stimulus sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah.
2. Impuls, impuls yang meliputi “stimulasi/ransangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap ransangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap ransangan itu. Rasa lapar adalah contoh yang tepat untuk impuls. Aktor secara spontan dan tanpa pikir memberikan reaksi atas impuls, tetapi aktor manusia lebih besar kemungkinan akan memikirkan reaksi yang tepat. Dalam berfikir tentang reaksi, manusia hanya mempertimbangkan situasi kini, tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dan tindakan di masa depan. Secara menyeluruh, impuls, seperti semua unsur teori mead, melibatkan aktor dan lingkungan.
3. Persepsi, aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap ransangan yang berhubungan dengan impuls. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menangapi stimuli dari luar, tetapi memikirkan sebentar dan menilainya melalui bayangan mental. Manusia tak hanya tunduk kepada ransangan dari luar; mereka juga memilih secara aktif memilih ciri-ciri ransangan dan memilih di antara sekumpulan ransangan. Artinya sebuah ransangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan. Mereka menolak memisahkan orang dari objek itulah yang menyebabkan sesuatu itu menjadi objek bagi seseorang. Pemahaman dan objek tak dapat dipisahkan satu sama lain (berhubungan secara dialektis)
4. Manipulasi, segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu.
21
5. Komsumasi, tahap pelaksanaan atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.
b. Teori Kontruksi SosialBerger dan Luckmann dalam Ma’mun (2009:23-24) mengatakan bahwa
kenyataan itu dibangun secara sosial. Namun, kenyataan sosial itu bukanlah
tunggal melainkan ganda. Kenyataan sosial itu bersifat ganda karena memiliki
dimensi objektif dan subjektif.
Berger dan Lukman dalam Poloma (2010:300) meringkas teori mereka
dengan menyatakan “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu
pengetahuan harus menganalisa proses bagaimana hal itu terjadi. Membatasi
realitas sebagai “kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dinggap berada
di luar kemaun kita.
Berger dalam Poloma (2010:301) berpendapat realitas kehidupan sehari-
hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif. Manusia merupakan
instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhi melalui proses internalisasi (yang
mencerminkan realitas subjektif). Berger melihat masyarakat (Korem 032 Sumbar
sebagai unit sosial) sebagai produk manusia, dan manusia (perwira menengah)
sebagai produk masyarakat.
Masyarakat sebagai Realitas Objektif
Berger dalam Poloma (2010:302) melihat struktur sosial yang objektif
memiliki karakter tersendiri, tetapi asal mulanya harus dilihat sehubungan dengan
eksternalisasi manusia atau interaksi manusia dalam struktur yang ada.
Eksternalisasi ini kemudian memperluas institusional aturan sosial, sehingga
struktur merupakan proses yang kontinyu. Bukan penyelesain yang sudah tuntas.
Sebaliknya, realitas objektif yang terbentuk melalui eksternalisasi kembali
membentuk manusia dalam masyarakat. Proses dialektika ini merupakan proses
yang berjalan terus, dimana internalisasi dan eksternalisasi menjadi “momen”
dalam sejarah. Sebagai elemen ketiga ialah proses internalisasi, atau sosialisasi
individu kedalam dunia sosial objektif. Ketiga elemen ini internalisasi,
22
eksternalisasi, dan objektivikasi, saling bergerak secara dialektis. Hukum dasar
yang mengendalikan dunia sosial objektif ialah peraturan.
Berger dan Luckmann dalam Poloma (2010:303) mengatakan bahwa
sebagai mata rantai antara organisme manusia dan struktur sosial juga mirip
dengan rumusan fungsional struktural. Struktur sosial terdiri dari peranan perilaku
yang terpola atau memiliki lambang-melambangkan timbal balik. Walau individu
tidak identik dengan ukuran-ukuran pelaksanaan peranan tersebut. Tipologi
peranan peranan itu merupakan “hubungan yang diperlukan bagi institusionalisasi
itu merupakan “hubungan yang diperlukan bagi institusionalisasi kelakuan.
“dengan demikian, peranan dapat dikatakan sebagai unit dasar aturan terlembaga
objektif.
Masyarakat sebagai Realitas Subjektif
Berger dan Luckmann dalam Poloma (2010:304-305) mengatakan bahwa
dalam menguraikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi yang dialami individu di
masa kecil, di saat mana dia diperkenalkan pada dunia sosial objektif. Karena
realitas yang ada tidak mungkin diserap dengan sempurna maka sianak akan
menginternalisir penafsiran terhadap relaitas tersebut. Setiap orang memiliki
“versi” realitas yang dianggapnya cermin dari dunia objektif. Dengan demikian
Berger dan Luckmann menekankan eksistensi realitas sosial berganda.
a. Realita objektif: realitas objektif yang terbentuk melalui eksternalisasi
kembali membentuk manusia dalam masyarakat contohnya adalah undang-
undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
b. Realita subjektif: Undang-undang nomor 34 tentang TNI yang diberikan oleh
negara kepada TNI tidak terserap sempurna sehingga individu atau perwira
menengah daerah resort militer 032 dan menginterprestasikan sendiri aturan-
aturan yang telah ditetapkan.
23
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Sumber utama yang menjadi studi relevan dalam membantu memudahkan
penelitian ini adalah disertasi saudara Muhadjir Effendy yang berjudul “Studi
Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme Tentara Nasional
Indonesia (Berdasar Pengalaman Pendidikan, Pelatihan dan Penugasan pada
Perwira Menengah TNI AD Daerah Garnizun Malang) pada tahun 2009. Muhadjir
memfokuskan penelitian pada pola pembentukan atau internalisasi pemahaman
tentang profesionalisme militer. Penelitian ini hanya menitik beratkan nilai-nilai
yang mendasari konstruksi pemahaman sebagaimana tersebut di atas adalah
bersumber dari gagasan tentang “Ksatriya” yang berakar dalam tradisi
keprajuritan kerajaan Jawa Mataram. Oleh sebab itu TNI profesional dapat diberi
label lebih spesifik sebagai “Tentara Profesional Ksatriya”
Sumber studi relevan yang kedua adalah tesis saudara Nasirul Makhasin
yang berjudul Implikasi reposisi TNI terhadap pengembangan Karier Perwira
Menengah Pada Komando Teritorial (Suatu Kajian Kelembagaan dan
Profesionalisme Militer di Kodam IV/Diponogoro Jawa Tengah). Penelitian ini
memfokus reposisi (pengembalian posisi TNI untuk fungsi) pertahanan)
mengkajinya implikasinya terhadap karir perwira menengah di Kodam tersebut
ketika TNI kehilangan fungsi sosial politiknya.
Sumber studi relevan yang ketiga adalah buku Mestika Zed tentang
Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatera. Yang menarik dalam buku
ini adalah tesis unsur pembentuk TNI selama ini yang kenal dan selalu ditulis
adalah Peta, KNIL dan Laskar, dengan adanya buku ini mematahkan tesis
24
tersebut. PETA, KNIL dan Laskar hanya berlaku di Jawa, tidak bisa diberlakukan
atas nama Indonesia sedangkan di Sumatera adalah Giyugun. berdasarkan buku
ini di Borneo juga didirikan pelatihan militer oleh Jepang tetapi sepengetahuan
penulis belum yang menulisnya secara detil. Yang kedua adalah Sumatera Barat
(Minang Kabau) masyarakatnya tidak tertarik untuk masuk tentara, kesadaran dan
peran tokoh-tokoh Sumatera Baratlah yang membujuk, memprovokasi
menyadarkan untuk masuk tentara, yang nanti dipergunakan untuk kepentingan
kemerdekaan.
C. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini mengunakan skema identitas militer profesional yang
dikemukakan oleh Yuddy Crisnandi (2005:154-156) dan dilengkapi dengan
undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, menurut penulis identitas
profesionalisme militer yang dikemukakan oleh Yuddy Crisnandi dan UU No.34
tahun 2004 tentang TNI telah mewakili pemikiran Samuel Huntington tentang
profesionalisme militer lama (old profesionalism), karena bisa menerangkan
posisi militer dalam negara maupun perwira sebagai militer profesional. Skema
identitas militer profesional Indonesia adalah sebuah narasi tentang
profesionalisme militer di Indonesia, skema ini menjadi jelas ketika di lihat dalam
konteks Sumatera Barat yaitu Korem Wirabraja 032. Baik isu sentral yang akan
sampaikan dalam penelitian maupun isu lokal tentang fenomena militer yang
terjadi di Sumatera Barat.
25
Untuk memahami kerangka pemikiran ada beberapa konsep yang perlu di
pahami :
1. Perwira sebagai militer profesional18.
2. Perwira sebagai manajer kekerasan
3. Perwira menengah TNI Angkatan Darat (Mayor, Letkol, Kolonel)19.
18 Huntington.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori.... hal 6419 Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim, Reformasi Tentara Nasional Indonesia, (Jakarta, IDSPS dan DCAF,2009) hal 5
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang
mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran ilmiah. Kualitas
27
kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan
kualitas prosedur kerjanya.20
A. Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah dan fokus penelitian, maka penelitian ini mengunakan
pendekatan kualitatif. Salah satu alasan penting untuk melakukan penelitian
kualitatif adalah bersifat penyelidikan dan subjek penelitian yang diteliti sesuatu
yang menarik dan belum banyak mendapat perhatian dari peneliti-peneliti lain,
dan peneliti harus mendengar informasi dan membuat gambaran berdasarkan
keterangan informan. Pendekatan ini digunakan agar dapat memahami lebih luas
tentang profesionalisme militer di Sumatera Barat.
Teknik pengambilan data kualitatif, yaitu pengamatan, wawancara, atau
penelaahan dokumen21. Sedangkan menurut Moleong pada buku berbeda, metode
kualitatif adalah prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskritif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang berprilaku yang diamati.22 Dan
menurut Saifullah mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai kemampuan untuk
melakukan pengamatan secara cermat untuk mendapatkan data yang shahih dan
handal serta kecakapan untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan baik dengan
komunitas masyarakat yang diamati dan diwawancarai23.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Korem 032 Wirabraja Provinsi
Sumatera Barat. Alasan penelitian dilakukan di Korem 032 di Sumatera Barat
karena ingin memahami realitas profesionalisme militer secara konteks sosial di
20 Noeng Muhadjir, Metolodologi Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta, Rake Sarasin, 2002) hal 521 Lexi J. Moleong. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung cet. XXI,, PT Remaja Rosdakarya, 2005) hal 422 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,PT.Remaja Rosdakarya, 1992) hal 923 Saifullah, Metodologi Penelitian , (Malang, Fakultas Syari’ah, 2006), hal 15
28
Sumatera Barat dan Korem 032 Wirabraja adalah institusi tertinggi Angkatan
Darat di Sumatera Barat.
Penelitian militer selama ini berpusat di Jawa sebagai pusat kajian militer
baik secara kekuataan militer, sejarah militer, ataupun latar sosial militer. Dan
menurut peneliti Sumatera Barat juga mempunyai nilai-nilai militer yang belum
diteliti yang bisa menjadi sumbangan terhadap pemikiran militer modern yang
profesional khususnya untuk militer Indonesia.
C. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama. Data primer dapat berupa opini subjek (orang)
secara individu ataupun kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik),
kejadian atau kegiatan dan hasil penguji.24 Sedangkan data sekunder adalah data-
data yang mendukung data utama atau data yang bukan diusahakan sendiri oleh
peniliti, data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya yang mendukung
operasionalisasi penulisan hasil penelitian.25Karena data sekunder ini membantu
peneliti untuk mendapatkan bukti maupun bahan yang akan diteliti,sehingga
peneliti dapat memecahkan atau menyelesaikan suatu penelitian dengan baik
karena karena didukung dari buku-buku baik yang sudah dipublikasikan maupun
yang belum dipublikasikan.26
Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan :
1. Observasi
Untuk mendapatkan data-data yang akurat dan autentik, peneliti mengadakan
pengamatan secara langsung (observasi) terhadap objek yang diteliti, termasuk
didalamnya kejadian atau perististiwa-peristiwa tertentu yang erat hubungannya
24 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Study Kasus, (Sidoarjo, CV, Citra Media,2003) hal 5725 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986) hal 1226 Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian dan Study Kasus, hal 57
29
dengan penelitian.27 Peneliti akan mengobservasi aktivitas perwira-perwira
menengah militer tersebut dan institusinya, atas izin dari institusi mereka maka
observasi ini bisa dilakukan. Karena diawal observasi yang peneliti lakukan pada
lembaga militer tersebut sangat prosedural dan cenderung tertutup.
2. Wawancara atau interview
Wawancara merupakan suatu proses interaksi untuk mendapatkan informasi
secara langsung dari informan, metode ini digunakan untuk menilai keadaan
seseorang dan merupakan tulang punggung suatu penelitian survei, karena tanpa
wawancara maka akan kehilangan informasi yang valid dan orang yang menjadi
sumber data utama dalam penelitian28. Pendapat lain mengatakan wawancara
adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam
mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan.29
Teknik wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara mendalam
melalui pertanyaan yang terstruktur atau tergantung situasi dengan mengunakan
pedoman wawancara. Teknik ini dirasa perlu karena dalam pengamatan saja
lembaga militer yang dikenal tertutup tidak semuanya bisa terlihat dengan jelas.
Wawancara tersebut dilakukan ketika jam dinas perwira menengah tersebut
dari senin sampai hari Jum’at di Korem 032 Wirabraja, dan yang diwawancarai
adalah perwira menengah yang berasal dari Sumatera Barat. Wawancara
dilakukan berdasarkan informan penelitian. Informan penelitian adalah subjek
penelitian yang ditentukan sebagai sumber informasi yang relevan dengan
permasalahan profesionalisme militer, oleh karena itu diharapkan informannya
adalah orang yang mengerti, paham, mengenai situasi dan kondisi, lokasi dan
menguasai permasalahan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah orang-
orang yang mampu memberikan informasi yang rinci dan mendalam mengenai
profesionalisme militer. Informan dalam penelitian ini adalah pada perwira
27 Hamdani Nawawi, Pengantar Metodologi Riset, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,1996) hal 10028 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan,... hal 106.29 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) Hal 83
30
menengah TNI Angkatan Darat (Mayor, Letkol, Kolonel)30 yang bertugas Korem
032 Wirabraja di Sumatera Barat.
Pemilihan informan dilakukan dengan memakai cara purpusif sampling.
Di mana informan penelitian peneliti pilih sesuai dengan maksud dan tujuan
penelitian. Purposife sampling di sini berarti disini berarti peneliti telah
menentukan informan dengan anggapan atau pendapat sendiri. Untuk mendapat
kan kelengkapan data maka perwira menengah di bagi dalam beberapa kriteria
dari perwira Korem 032 Wirabraja berjumlah 34.31
1. Perwira menengah yang memahami profesionalisme militer
2. Perwira menengah yang berasal dari Sumatera Barat dan memahami budaya Minangkabau Sumatera Barat
3. Perwira Menengah dari suku Jawa dan Bima
Menurut Faisal (1990:56) teknik pemilihan informan dilakukan dengan
metode purposive sampling informan ditentukan secara sengaja atas pertimbangan
tertentu bukan secara acak. Menurut Muhadjir (2009:12) mengatakan bahwa
banyak informan yang dibutuhkan ditetapkan di lapangan atas prinsip kejenuhan
informasi. Bila dengan informan yang telah diambil, ada informasi yang masih
diperlukan, dikejar lagi informan yang diperkirakan kebutuhan informasi yang
belum diperoleh, sebaliknya jika dengan menambah informan hanya diperoleh
informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup, karena informasi
sudah jenuh.
Penelitian kualitatif menurut Sarantakos menekankan bahwa banyaknya
jumlah sampel bukan menjadi prioritas utama, untuk menjamin tingginya akurasi,
validitas dan keberhasilan dalam penelitian kualitatif32. Dan pengambilan sampel
30 Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim,Reformasi Tentara Nasional Indonesia, (Jakarta, IDSPS dan DCAF,2009) hal 5
31 www.kodam.bukitbarisan32 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Penelitian Perilaku Manusia, (Perfecta LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2005) hal 95-96
31
tersebut dijelaskan Patton dengan mengkategorikan pengambilan sampel dengan
variasi maksimum, dimana pengambilan sampel dilakukan bila subyek penelitian
menampilkan banyak variasi, dan keterwakilan semua variasi penting untuk
memanfaatkan adanya perbedaan-perbedaan yang ada untuk menampilkan
kekayaan data.33
3. Dokumenter
Metode dokumentern yaitu mengenai hal-hal atau variebel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notolen rapat, legger,
agenda, dan sebagainya.34Studi dokumenter dalam penelitian dibutuhkan karena
data ada yang bersifat administratif, monografi daerah, historis daerah, adat
istiadat dan kondisi sosial budaya yang berkaitan dengan profesionalisme militer
di Sumatera Barat.
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik penjamin keabsahan data merupakan faktor menentukan dalam
penelitian kualitatif. Dalam hal ini untuk menperkuat keabsahan data penelitian
tentang profesionalisme militer, langkah-langkah yang dilakukan menurut
Moleong (2000:175-180) mengatakan bahwa:
1. Perpanjangan keikutsertaan
Dalam hal ini peneliti melakukan observasi partisipasi dan berusaha
membaurkan diri dan terlibat dalam kegiatan militer yang dilalukan oleh perwira-
perwira menengah tersebut. Hal ini memungkin peneliti dapat menangkap
fenomena-fenemena yang terkait dengan profesionalisme militer. Perpanjangan
keikutsertaan menjadi penting guna berorientasi dengan situasi dan kondisi, guna 33 Ibid ., hal 9834Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan,...hal 206
32
memastikan apakah konteks itu telah dipahami atau belum. Contoh perpanjangan
keikutsertaan adalah ikut menyaksaksikan kegiatan harian perwira seperti apel
pagi dan sore.
2. Ketekunan pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur
dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan dan isu yang berhubungan
dengan profesionalisme militer dan memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara
rinci. Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup,
maka ketekunan pengamatan menyediakan pengalaman. Pengamatan dengan teliti
dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol.
Ketekunan pengamatan menghasilkan kedalaman dalam sebuah penelitian.
3. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu.
Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui
sumber lainnya. Denzin dalam Moleong (2004:178) menbedakan empat macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan pengunaan sumber,
metode, penyidik dan teori.
Patton dalam Moleong (2004:178) mengatakan bahwa triangulasi dengan
sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode
kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan (1) membandingkan data hasil
pengamatan dengan hasil wawancara, (2) membandingkan apa yang dikatakan
orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3)
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan
33
persfektif seorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat
biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan, (4) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen
berkaitan.
Pada triangulasi metode, menurut Patton dalam Moleong (2004:178)
mengatakan terdapat dua strategi, yaitu (1) pengecekan derajat kepercayaan
penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, (2) pengecekan
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama
Teknik triangulasi jenis ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau
pengamat lain untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
Pemanfaatan pengamat lainnya memnbantu mengurangi kemencengan dalam
pengumpulan data. Pada dasarnya pengunaan suatu tim penelitian dapat
direalisasikan dilihat dari segi teknik ini.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong
(2004:178) mengatakan bahwa fakta tertentu tidak sederajat kepercayaan dengan
satu atau lebih teori. Dipihak lain, Patton dalam Moleong (2004:179) mengatakan
bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakan penjelasan banding (rival
explanation). Dalam hal ini, analisis telah menguraikan pola, hubungan, dan
menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk
mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing.
Peneliti mengunakan teknik traingulasi data dengan bentuk triangulasi sumber
dan metode, dengan beberapa sumber data (informan) diberikan pertanyaan yang
sama yang berpedoman pada pedoman wawancara, sehingga bisa dikumpulkan
data yang sama. Ketika dicek kembali kepada informan yang berbeda dan
mendapat jawaban yang sama, sehingga diperoleh kebenaran data, dengan
demikian data-data yang diperoleh bisa dipertanggung jawab secara penulisan
ilmiah.
F. Teknik Pengelolahan dan Analisis Data
Menurut Miles dan Haberman (1992:20) mengatakan beberapa langkah
dalam analisis data dalam penelitian dengan metode kualitatif :
34
1. Reduksi Data
Reduksi yaitu suatu proses pemilihan, pemfokusan, dan penyederhanaan data-
data “kasar” yang mungkin muncul dari catatan tertulis di lapangan. Setiap
mengumpulkan data, data di tulis dengan rapi, terinci dan sistematis. Kemudian
dibaca, dipelajari, dan dipahami agar data-data yang didapat bisa dimengerti.
Selanjutnya dilakukan proses pemilihan yaitu memilih hal-hal yang pokok,
membuat ringkasan, dan difokuskan pada hal-hal yang penting sehingga sesuai
dengan rumusan masalah.
Mereduksi data yaitu menerangkan data yang sudah terkumpul tentang
profesionalisme militer, lalu data diseleksi dan dikumpulkan ke dalam kategori
sebagai profesionalisme militer. Setelah itu jawaban yang dari informan
dikelompokkan sehingga nampak perbedaan-perbedaan informasi yang
didapatkan dari lapangan. Data yang masih belum lengkap dicari kembali dengan
melakukan wawancara ulang dengan informan.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu proses penyajian ke dalam bagian yang sesuai atau
membentuk jalinan antara satu faktor dengan faktor lainnya, sedangkan data yang
tidak lengkap dilacak kembali ke lapangan. Pada tahap penyajian data ini, penulis
berusaha menyimpulkan kembali data-data yang telah disimpulkan pada tahap
reduksi data sebelumnya. Data yang telah disimpulkan diperiksa kembali dan
dibuat dalam bentuk laporan penelitian. Melalui penyajian data peneliti dapat
memahami profesionalisme militer di Sumatera Barat.
3. Penarikan Kesimpulan
Dari awal melakukan penelitian, peneliti mencari makna dari data yang
diperoleh, verikasi dengan cara berfikir ulang selama melakukan penulisan,
meninjau kembali catatan di lapangan, bertukar pikiran agar bisa mengembangkan
data. Selanjutnya menganalisis data dengan cara membandingkan jawaban dari
informan mengenai permasalahan penelitian yang sifat penting, dan dirasa sudah
35
sempurna maka hasil penelitian yang telah diperoleh nantinya akan ditulis dalam
bentuk laporan akhir.
Penarikan kesimpulan akhir atau penelitian dari hasil deskripsi berupa laporan
ilmiah. Kesimpulan akhir diambil dengan cara menggabungkan dan menganalisis
keseluruhan data yang didapatkan di lapangan baik dengan wawancara maupun
observasi yang dilakukan dalam penelitian ini tentang profesionalisme militer di
Sumatera Barat.
BAB IV
TEMUAN UMUM
1. Sejarah Pembentukan Korem 032 Wirabraja
36
Korem 032 Wirabraja Sumatera Barat merupakan lembaga tertinggi militer
angkatan darat di Sumatera Barat yang membawahi 10 Kodim dan 2 bataliyon.
Korem beralamat di Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di jalan Sudirman
No.29 Padang Sumatera Barat. Sebelum menjadi Korem 032 Wirabraja, Korem
032 Wirabraja dahulunya adalah Kodam III/17 Agustus. Kodam III/17 Agustus
dibentuk di wilayah Sumatera bagian Barat versi TNI adalah dalam rangka
menjaga keamanan dan mempertahankan daerah dari serangan
pemberontak , berdasarkan Skep Kasad nomor skep 265/4/1959 tanggal 15 april
195935 bertepatan dengan peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) yang berpusat di Sumatera Barat.
Setelah 25 tahun Kodam III/17 Agustus menjalankan tugasnya didaerah
Sumatera Barat dan Riau, yang dimulai dari tanggal 17 April 1959 berdasarkan
surat keputusan Kasad No. Kpts 265 / 1959 dengan Panglima Ahmad Yani, maka
pada akhir tahun 1984 Kodam III/17 Agustus telah berhasil menyelesaikan setiap
tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan sukses. Baik dalam tubuh Kodam
III/17 Agustus sendiri maupun dalam menegakkan kedaulatan dan stabilitas
diwilayah Sumbar dan Riau. Hasil yang menonjol sekali dalam tugas Kodam
III/17 Agustus dalam wilayah jajarannya ialah pembangunan desa di Sumatera
Barat. Semua itu adalah berkat kebijaksanaan Kodam III/17 Agustus dan kerja
sama yang baik dengan aparat pemerintah daerah, dengan pemuka masyarakat dan
masyarakat itu sendiri, sebutan kemanunggalan ABRI dengan Rakyat.
Kodam III/17 Agustus meliputi dua Propinsi yaitu : Propinsi Sumatera Barat
dan Riau. Mempunyai 3 Satpur, 3 Banpur, 1 Unit Pendidikan dan satuan teritorial
35 Yonif 133/Yhuda Sakti, Sejarah Yonif 133/Yhuda Sakti (Padang:1) Yonif 133/Yhuda Sakti
37
yaitu Korem 031/Wirabima, Korem 032/Wirabraja dan Korem 033/Wirayudha.
Berdasarkan kebijakan pimpinan TNI AD tentang rencana pembangunan kekuatan
TNI AD yaitu pelaksanaan program reorganisasi jajaran TNI-AD yang harus siap
operasi pada bulan April 1986, maka reorganisasi tersebut dilaksanakan
secepatnya. Reorganisasi dilaksanakan secara menyeluruh, ada likuidasi terhadap
suatu susunan organisasi, dan ada penggabungan beberapa unsur terhadap pihak
lain, yang kesemuanya itu bersifat menyeluruh dalam pelaksanaannya akan di atur
dari bawah keatas.
Secara kelembagaan militer dari Kodam III/17 Agustus menjadi Korem 032
Wirabraja adalah penurunan kelembagaan karena Korem adalah bagian dari
Kodam baik secara kewenangan atau kewilayaan dan penurunan dari Kodam
menjadi Korem akan mengurangi alat kelengkapan lembaga secara personil
maupun secara fasilitas fisik. Korem 032/Wirabraja yang berkedudukan di jalan
Sudirman No.29 Padang, wilayahnya meliputi Propinsi Sumatera Barat adalah
hasil penggabungan 2 (dua) Korem sebelumnya yaitu Korem 032/Wirabraja yang
berkedudukan di Bukittinggi dan Korem 033/Wirayudha yang berkedudukan di
Solok.
Brigjen TNI Soeripto melantik Kolonel Iding Suwardi Nrp 19280 menjadi
Danrem 032/Sumatera Barat yang kemudian berganti nama dengan Wirabraja
sesuai dengan surat Keputusan Kasad No. Kep/30/I/1985 tanggal 22 Januari 1985
dan surat perintah Pangdam III/17 Agustus No. Sprin/91/I/1985 tanggal 23
Januari yang Makoremnya berkedudukan di Kota Madya Padang36. Mulai saat itu
36 Korem 032 Wirabraja, Sejarah Korem 032 Wirabraja, (Padang:Korem 032 Wirabraja 2011) hal 25
38
resmilah berdirinya Korem 032/Wirabraja yang dalam melaksanakan tugasnya
bertanggung jawab penuh kepada Kodam I Bukit Barisan yang baru.
Wilayah Korem 032/Wirabraja meliputi wilayah Kodam III/17 Agustus
kecuali wilayah Korem 031/Wirabima, dengan batas-batas wilayahnya sebagai
berikut :
1. Sebelah utara berbatas dengan Tapanuli Selatan.
2. Sebelah selatan berbatas dengan kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi.
3. Sebelah timur berbatas dengan daerah Propinsi Riau atau wilayah Korem
031/Wirabima
2. Komandan Korem Dari Waktu ke Waktu
Pimpinan Satuan yang pernah menjabat sebagai Danrem 032/Wirabraja
mulai semenjak berdirinya Korem 032/Wirabraja adalah sbb :
1. Kolonel Inf Iding Suwardi tmt 26-01-1985 s.d. 01-09-1987.
2. Kolonel Inf Afifuddin Thaib tmt 01-09-1987 s.d. 28-09-1989
3. Kolonel Inf Musa tmt 28-09-1989 s.d 22-03-1991
4. Kolonel Inf Soewarno Adiwijo tmt 22-03-1991 s.d 31-03-1993
5. Kolonel Kav Suparwantoro tmt 31-03-1993 s.d 31-09-1994
6. Kolonel Inf Edi Waluyo tmt 31-09-1994 s.d. 12-04-1995
7. Kolonel Art M Iskak tmt 12-04-1995 s.d. 03-02-1997
8. Kolonel Kav Soegiono tmt 03-02-1997 s.d. 06-11-1998
9. Kolonel Inf Dahler S.Hasibuan tmt 06-11-1998 s.d. 02-12-2000
10. Kolonel Inf Soeprianto S.IP tmt 02-12-2000 s.d. 10-04-2003
11. Kolonel Czi Karsidi ST tmt 10-04-2003 s.d. 05-03-2005
12. Kolonel Inf Kusmintardjo tmt 05-03-2005 s.d 20-06-2007
39
13. Kolonel Arm Bambang Subagio tmt 20-06-2007 s.d 28-03-2008
14. Kolonel Arm Danu Nawawi, S.Sos tmt 28-03-2008 s.d 24-03-2009
15. Kolonel Inf Mulyono tmt 24-03-2009 s.d 29-03-2010
16. Kolonel M. Bambang Taufik tmt 29-09-2010 s.d 03-05-2012
17. Kolonel Inf Drs. Amrin tmt 03-05-2012 s.d Sekarang
Sejak berdirinya Korem 032 Wirabraja dari tahun 1985 sampai tahun 2013
dan telah 17 orang yang memimpin Korem 032 Wirabraja. Pada tahun 2012
komandan Korem 032 Wirabraja untuk pertama kali di pimpin oleh putra daerah
Sumatera Barat yaitu Kolonel Inf Drs. Amrin. Kepemimpinan Korem 032
Wirabraja diserahkan kepada putra daerah Sumatera Barat berindikasi adanya
kepercayaan Mabes TNI AD kepada putra daerah Sumatera Barat untuk
memimpin daerahnya sendiri.
3. Personil Korem 032 Wirabraja
Korem 032 Wirabraja disebut juga dengan Makorem 032 Wirabraja
mempunyai rekapitulasi personel militer dan PNS catatan terakhir pada bulan
Maret 2013, kenapa diajukan catatan terakhir karena mutasi di lembaga militer
tinggi, pindah tugas, operasi perang, promosi jabatan dan lain sebagainya.
Tabel 1
40
Keterangan Perwira Bintara Tantama PNS Jumlah
Sesuai TOP/DSPP 34 65 83 43 225
Persentasse 100% 100% 100% 100% 100%
Sejarah Korem 032 Wirabraja hal 14
Tabel 1 memperlihatkan standar yang ditetapkan oleh lembaga tertinggi TNI
AD yang menjadi acuan bagi Makorem 032 Wirabraja bagi penempatan personil,
standar ini dilakukan karena ada kajian TNI tertentu berdasarkan luas wilayah dan
kebutuhan.
Tabel 2
Keterangan Perwira Bintara Tantama PNS Jumlah
Keadaan Nyata 30 87 87 29 233
Persentase 88.2% 133.8% 104.8% 67.4% 103.6%
Sumber Sejarah Korem 032 Wirabraja hal 15
Tabel 2 memperlihatkan personil Makorem yang sebenarnya,
memperlihatkan bahwa perwira yang ada Makorem masih kurang 4 orang perwira
karena ada dua posisi yang masih belum diisi yaitu wakil komandan Korem dan
Pasi Bakti dan dua perwira lainnya. Tetapi jumlah Bintara lebih dari 33 persen
dari standar yang diberikan yaitu 22 orang, sedangkan Tamtama lebih 4 persen
dari standar yaitu 4 orang. Dalam lembaga militer juga ada sipil yang
diperkejakan oleh negara untuk membantu tugas kewilayaan walaupun tidak ada
sipil yang memegang jabatan penting di lembaga militer khusus Korem 032
Wirabraja. Personil di Korem 032 Wirabraja berlebih secara jumlah berlebih
tetapi kurang secara komposisi yang ditetapkan oleh markas besar angkatan darat.
4. Struktur Perwira Menengah di Korem Wirabraja
41
NO JABATAN NAMA PKT/CORPS/NRP TMT JAB
1 DAMREM DRS. AMRIN KOLONEL INFANTRI
21-03-2012
2 KASREM Lowong
3 KASI INTEL DRS. JAMES SITANGGANG LETKOL CAJ 05-03-2012
4 PASI INTEL HASIHOLAN DAMANIK. SH
MAYOR INF 01-02-2010
5 KASI OPS LAMBOK SITOHANG LETKOL INF 01-08-2012
6 PASI LAT AMRIZAL NASUTION KAPTEN INF 16-08-2011
7 PASI OPS BARAMULI MAYOR ARH 03-09-2010
8 KASI PERS DRS. SUHERMAN M. SI LETKOL CAJ 07-09-2012
9 PASI PERS DEKKI SUJATMIKO S.PD MAYOR INFANTRI
08-08-2011
10 KASI LOG HOTLAN MARATUA GURNING
MAYOR INF 08-11-2012
11 PASI LOG M. KASNI S.PD MAYOR INF 31-08-2012
12 KASI TER IGIT DONOLEGO LETKOL INF 01-07-2010
13 PASI KOMSOS
HAJIJAH GULTOM, S.PD MAYOR CAJ 15-11-2010
14 PASI WANWIL
DRS. ISNAINI MAYOR INF 10-02-2011
15 PASI BAKTI Lowong
16 PAKUM DESTRIO ELVANO SH MAYOR CHK 22-12-2008
17 KAPEN SUPADI MAYOR INF 31-08-2012
Sumber Sejarah Korem 032 Wirabraja 2011
Perwira menengah di Korem 032 Wirabraja seharusnya berjumlah 17
orang untuk mengisi jabatan yang ada, tetapi ada dua jabatan yang belum diisi
yaitu Kasrem dan Pasi Bakti. Dua jabatan ini dalam lembaga Korem sangat vital
akan menperlambat kinerja Korem. Kasrem atau Kepala Staff Korem dijabat oleh
seorang Pamen TNI AD berpangkat Letnan Kolonel, merupakan pembantu utama
Danrem, berfungsi:
42
“ Pertama, memimpin, mengatur, megkoordinasikan dan mengawasi segala kegiaan staf. Kedua, menyusun Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) Korem sebagai bahan masukan RKA Kodam.Ketiga, menyusun rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan sebagai sub sistem rencana tata ruang wilayah sesuai peraturan pemerintah serta mewakili Danrem dalam pelaksanaan Rakorbangda. Keempat, mengkoodinasikan dan mengawasi penyelenggaraan latihan perorangan, kesatuan, badan dan Komando dalam jajaran Korem termasuk Wanra. Kelima, melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh Danrem. Keenam, dalam melaksanakan tugas kewajibannya bertanggung jawab kepada Danrem37.
Kasrem mempunyai wewenang yang besar sesudah Komandan Korem,
sedangkan Pasi Bakti adalah pembantu Kasi Teritorial dalam menjalankan tugas
komando teritorial. Di Korem 032 Wirabraja perwira menengah berjumlah
sebanyak 15 orang secara kesukuan didominasi oleh suku Batak dan Jawa. Suku
minang atau berasal dari Sumatera Barat hanya tiga orang. Secara nasional
komposisi suku atau asal daerah dalam tubuh TNI didominasi oleh suku Jawa dan
Batak38, khususnya TNI AD.
5. Visi Dan Misi Korem 032/Wirabraja
Visi dan misi Korem 032 Wirabraja ditujukan untuk mewujudkan satuan yang siap operasional, pembinaan satuan dimulai dari tingkat perorangan s.d Batalyon dalam rangka membentuk mental dan fisik prajurit dalam satuan yang profesional :
a) Terwujudnya disiplin dan tata tertib.b) Terwujudnya profesionalisme prajurit. c) Terwujudnya kepemimpinan lapangan.d) Terwujudnya pemahaman hakekat sebagai tentara rakyat dan tentara
pejuang.e) Terwujudnya keimanan dan ketaqwaan prajurit Korem 032/Wbr kepada
Tuhan Yang Maha Esa. f) Terwujudnya kondisi fisik prajurit.g) Terwujudnya semangat juang, motivasi dan jiwa korsa.
37 Letnan Jenderal Budiman, Komando Resort Militer, (:Seskoad;Jakarta) hal 738 P. Hasudungan Sirait, Orang Batak Melesat di Jalur Militer (Medan: Sorot) hal 5
43
h) Terwujudnya pembinaan administrasi satuan.i) Terwujudnya penghayatan kemanunggalan TNI dan Rakyat. j) Terwujudnya kemampuan manajerial Perwira dan Bintara39.
6. Birokrasi Militer
Setelah penulis mendapatkan izin penelitian dari Pasca Sarjana UNP
(Universitas Negeri Padang) di Korem 032 Wirabraja Padang penulis langsung
menuju Korem 032 Wirabraja yang beralamat di jalan Sudirman nomor 29
Padang Sumatera Barat. Sesampai di Korem 032 Wirabraja penulis mengalami
keraguan juga sebagai orang sipil yang masuk ke lingkungan militer yang dan
tidak mempunyai kenalan yang bekerja di lembaga tersebut, akan melakukan
penelitian. Militer sebagai lembaga tertutup, eksklusif, sensitif dan arogan
menempel keras di kepala penulis, tetapi saat penulis bertekad bahwa penelitian
adalah sebuah penghargaan karena kesulitan itu ada harganya. Ibarat meminum
air pengunungan dari dalam kemasan akan berbeda prosesnya dengan meminum
air pengunungan langsung dari mata airnya.
Selama ini penulis kuliah di Pasca UNP dari semester satu menyukai topik
militer hanya dengan membaca buku dan sumber berita lainnya tentang militer.
Penulis sebagai orang yang membaca atau mendengar berita tentang militer atau
bukan sumber berita, dengan penelitian penulis berharap menjadi sumber berita.
Meminum air kemasan dari pengunungan hanya butuh uang dan sedikit waktu
tetapi meminum air pengunungan dari sumbernya akan menjadi sebuah proses
pencarian dan perjalanan panjang untuk sampai bisa menikmati air dari sumber
yang sama. Begitu juga dengan memahami militer yang selama ini didapat dari
39 Ibid hal 15
44
membaca buku, berita, dan mendengar cerita tentang militer, akan berbeda dengan
langsung datang dan menjadi bagian dikehidupan militer tersebut khususnya
Korem 032 Wirabraja Sumatera Barat.
Korem 032 Wirabraja adalah lembaga birokrasi militer, ketika penulis
berusaha mendapatkan izin penelitian di Korem 032 Wirabraja maka berhadapan
dan menyesuaikan diri dengan birokrasi militer seperti mengurus izin penelitian di
Korem 032 Wirabraja. Ketika pertama memasuki Korem 032 Wirabraja ada dua
pintu masuk dengan tujuan yang sama, satu pintu masuk khusus umum dan satu
pintu masuk khusus untuk kedinasan, ini penulis ketahui ketika penulis masuk
melalui pintu masuk kedinasan, penjaga pos tersebut memberikan keterangan
bahwa besok ketika masuk Korem pintu satu lagi yang khusus untuk umum,
karena pintu masuk ini khusus kedinasan. Akhirnya penulis masuk dari pintu satu
lagi.
Di pos penjagaan tertulis “Tamu Wajib Lapor” dengan hal tersebut penulis
melapor kepada tentara yang menjaga yang berpangkat Prada ( prajurit dua)
secara umum bisa digambarkan adalah satu garis merah di lengan bajunya yang
terkesan curiga, penulis ditanya punya keperluan apa dan darimana, lalu penulis
menperlihatkan surat izin penelitian dari Pasca Sarjana UNP lalu penulis di
antarkan ke ruangan bagian sekretariat yang hampir sejajar dengan pos penjagaan
untuk umum, di sana penulis diterima dengan baik lalu beritahu bahwa suratnya di
proses dulu dan tunggu 3 hari lagi. Dalam obrolan meminta izin di bagian
sekretariat ternyata staff yang melayani penulis dalam kepengurusan izin tersebut
ternyata istrinya orang Batusangkar dan penulis kenal dengan lingkungan istrinya
45
karena adalah orang dari Tanah Datar sehingga obrolan akhir bercerita tentang
Tanah Datar. Dalam hal ini ikatan-ikatan daerah atau tempat tinggal masih
menjadi rujukan untuk bisa lebih diterima dalam kepengurusan izin. Dari
keterangan staff kesekretariatan mengatakan bahwa belum ada selama 5 tahun ia
bekerja di bagian sekretariat Korem 032 Wirabraja mahasiswa atau lembaga di
luar lembaga yang kaitan dengan militer melakukan penelitian. penulis terkejut
dan pesimis belum ada sebuah format yang jelas dalam mendapatkan izin
penelitian dari lembaga militer ini, ada kemungkinan izin penelitian ini ditolak.
Setelah membaca surat izin penelitian dari Pasca sarjana maka staff tersebut
mendisposisi surat masuk tersebut dan diminta datang 3 hari lagi ke bagian
kesekretariatan.
Setelah 3 hari berlalu penulis kembali ke Korem 032 Wirabraja ketika masuk
di pos penjagaan ditanya dengan pertanyaan yang sama keperluannya apa dan
darimana, lalu penulis menerangkannya, setelah itu dipersilahkan ke sekretariat,
lalu dari sekretariat surat tersebut sudah disposisi lalu diarahkan ke bagian intel
Korem 032 Wirabraja yang berada di sebelah pos penjagaan khusus kedinanasan,
setelah sampai di bagian intel tersebut diterima oleh dua staff bagian intel satu
dari seorang laki-laki berpangkat Prada dan perempuan berseragam kuning
kecoklat-coklatan artinya bukan tentara wanita (kowad) tetapi PNS (pegawai
negeri sipil). Pertanyaan yang sama penulis dapatkan dari mana, keperluannya
apa?. Lalu penulis jelaskan seperti di pos penjagaan dan kesekretariatan, lalu staff
mengatakan datang 4 hari lagi.
46
Setelah 4 hari penulis mendatangi lagi Korem 032 Wirabraja melewati pos
penjagaan dengan proses yang sama dan langsung ke bagian Intel. Di bagian Intel
ini setelah menunggu sekitar dua jam di ruang tunggu. Di ruang tunggu penulis
antri dengan tentara muda yang mau menikah, untuk bisa menikah harus
mendapatkan izin dari bagian intel dan personil (sumber daya manusia) dengan
membawa calon istrinya ke Korem tersebut. Tentara yang menikah dengan
berpakain lengkap kedinasan dan calon istrinya memakai pakain dharma wanita
nya atau Persit. Setelah menunggu sekitar dua jam penulis di persilahkan masuk
dan salah satu staff intel tersebut mewawancarai penulis dengan banyak
pertanyaan, dari tahap ini penulis melihat bahwa lembaga militer adalah lembaga
yang tertutup untuk diteliti.
Selain pembicaraan di atas penulis juga merasakan ada ketakutan dan
kecurigaan dari staff intel yang mewancarai penulis, karena tidak ada sebelumnya
yang melakukan penelitian di Korem 032 Wirabraja. Dalam berahadapan dengan
militer atau tentara penulis pernah membaca ketika ditanya oleh tentara jawablah
dengan pertanyaan singkat dan jelas atau tidak berbelit-belit, ketika berhadapan
denga staff intel yang mewancarai penulis menjawab dengan singkat dan jelas,
sehingga pembicaraan berjalan cepat. Setelah diwawancarai penulis diarahkan
untuk langsung mengahadap komandan Korem 032 Wirabraja yaitu Kolonel Inf
Drs. Amrin.
Setelah dari bagian intel tersebut penulis langsung menghadap komandan
Korem 032 Wirabraja yaitu Kolonel Amrin untuk memastikan apakah penulis
diizinkan melakukan penelitian di lembaga yang dipimpinya. Penulis menunggu
47
cukup lama sekitar 2 jam di ruang tunggu, karena komandan ini lagi ada tamu
dan setelah itu penulis di suruh memasuki ruangan.
Setelah bersalaman dengan kolonel Amrin, penulis ditanya darimana asal,
kegiatan sehari-hari, dan penelitian ini untuk kepentingan apa?. Lalu penulis
menerangkan seperti apa yang telah penulis terangkan sebelumnya, dan beliau
mengizinkan untuk melakukan penelitian di lembaga yang beliau pimpin,
percakapan berlangsung cepat sekitar 10 menit, lalu penulis keluar dari ruangan
komandan Korem 032 Wirabraja tersebut.
Setelah keluar penulis menanyakan kepada staff beliau kapan surat izin
penelitian bisa di dapatkan dan jawabannya sekitar 2 hari lagi. Setelah dua hari
penulis kembali ke Korem 032 Wirabraja dan menanyakan ke sekretariat dan
arahkan bagian intel berdasarkan nomor surat, setelah sampai di bagian Intel
penulis menanyakan surat izin penelitian tersebut, ternyata penulis harus
menghadap kepada Kasi (kepala seksi) Intel yaitu Letkol Caj Drs James
Sitanggang. Setelah menunggu beberapa jam sesudah makan siang penulis
dipersilahkan oleh staffnya untuk masuk ke ruangan kasi Intel. Setelah bersalaman
penulis diwawancarai. Kasi Intel adalah bagian di Korem 032 Wirabraja yang
ditugaskan untuk menyaring apakah penelitian bisa dilanjutkan atau tidak.
Pertemuan dengan kasi intel berlangsung cepat dan penulis merasakan
dalam pembicaraan ada kecurigaan terhadap penelitian yang akan dilakukan, atau
dalam pemikiran penulis karena intel di Korem 032 Wira Braja ini dilatih dan
ditugaskan untuk selalu curiga dan waspada.
48
Setelah berakhir pembicaraan tersebut akhirnya penulis di arahkan ke Pasi
Pers. Setelah keluar ruangannya penulis langsung ke ruangan Pasi Pers (Perwira
Seksi Sumber Daya Manusia di lembaga militer). Pasi Pers yaitu mayor Inf Dekki
Sujatmiko, setelah bertemu dengan Pasi Pers penulis menerangkan hanya 3 orang
Pamen yang berasal Sumatera Barat yaitu Komandan Korem 032 Wirabraja
Kolonel Amrin, Kasi Pers yaitu Suherman, dan Pakum (perwira bantuan hukum
untuk TNI dan Staff khusus Komandan Korem 032 Wirabraja) Mayor Destrio
Elvano dan setelah berdiskusi dengan pembimbing ditambah dua orang dari
bagian teritorial Mayor Isnaini dari NTB dan Pasi Pers sendiri Mayor Dekki
Sujadmiko, dan sejak itu penulis mulai meneliti di Korem 032 Wirabraja Padang.
Setelah menghadap Pasi Pers ini secara administrasi penelitian ini bisa
dilakukan. Perjalanan dan proses panjang dalam mendapatkan izin penelitian di
Korem 032 Wirabraja ini bagi penulis adalah pencapain yang mengkecewakan
karena penulis sempat putus asa karena proses yang lama yang menghabis sekitar
11 hari dan harus menemui banyak orang.
Skema Birokrasi dalam izin penelitian di Korem 032 Wirabraja
Pintu masuk Interogasi
49
Sekretariat diarahkan
Intel interogasi
Pasi Pers diarahkan
Komandan Korem
Kasi Intel Interogasi
Izin Penelitian
Seharusnya mengurus izin penelitian di lembaga negara tidak layak
memakan waktu 11, hari hal ini terjadi karena proses birokrasi militer yang
berbelit-belit. Seperti pernyataan Rina (2012:13) berbelit-belit birokrasi di
Indonesia akibat para pegawai tidak dapat berkembang optimal dalam
menjalankan tugasnya karena dia hanya menerima perintah dari atasannya saja.
Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional
kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial.
Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat.
Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata
tidak mampu mendorong reformasi birokrasi khususnya birokrasi militer. Cita-
cita dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin.
Cita-cita birokrasi tidak terwujud karena sistem sentralisasi birokrasi yang
diwariskan oleh pemerintah orde baru telah menyebabkan birokrasi terjebak
dalam pengembangan kultur organisasi yang berorientasi vertikal dari pada kultur
horisontal, sehingga norma dan nilai- nilai yang menjadi acuan bertindak lebih
berorientasi pada penguasa yang pada akhirnya berkembang fenomena suka dan
tidak suka dalam birokrasi40.
7. Tata Kelola Lingkungan di Korem 032 Wirabraja
Karakter bersih dan rapi ini akan terlihat ketika kita masuk dilingkungan
TNI khususnya Makorem 032 Wirabraja, hasil observasi penulis Makorem 032
40 Dwiyanto, Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta, , hal 105
50
Wirabraja dari pintu masuk sampai ke halaman paling belakang tidak menemukan
sampah berupa tisu, puntung rokok, plastik atau sampah yang biasa ditemui di
tempat-tempat sipil seperti kampus Universitas Negeri Padang khususnya area
Pasca Sarjana yang notaben adalah kaum intelektual yang tertinggi secara
pendidikan, sampah yang ada di Makorem 032 Wirabraja adalah sampah daun
kering yang gugur itupun disiang hari karena paginya telah dibersihkan.
Pengertian sampah dikemukakan oleh Azwar dalam Ketut (2012:14)
mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan
bersifat padat. Dan Kodoatie dalam Ketut (2012:15) menyebutkan bahwa sampah
adalah limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah padat yang merupakan
hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau siklus kehidupan manusia, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Hampir setiap aktivitas manusia, hewan dan
tumbuhan menghasilkan sampah maka pengelolahan sampah menjadi sangat
penting seperti yang dilakukan di Korem 032 Wirabraja.
Militer di Korem 032 Wirabraja mempunyai kesadaran sampah yang
tinggi baik secara lembaga ataupun secara individu, ketika penulis masuk ke
ruangan Pamen-Pamen atau ruangan tunggu yang menjadi informan penulis, tidak
ada abu rokok, debu di atas meja atau tisu berserakan di lantai. Ruangan perwira
menengah tersebut sangat sederhana jauh dari kemewahan kecuali ruangan
komandan Korem tetapi kebersihan dan kerapiannya membuat tempat itu
nyaman.
51
Kesadaran sampah ini memang penting. Adanya petugas kebersihan khusus
yaitu satuan yang bertanggung untuk kebersihan dan kerapian Korem 032
Wirabraja yaitu bagian Barak, bagian ini terletak di belakang Korem 032 di dekat
kantin Korem 032 Wirabraja. Bagian ini selalu sibuk setiap hari mulai
membersihkan bagian luar Korem seperti halaman, jalan-jalan, taman-taman,
memperbaiki bagian-bagian bangunan rusak, dan mengecat, sedangkan kebersihan
ruangan adalah tanggung jawab masing-masing satuan. Cat di Korem 032
Wirabraja terlihat selalu baru hal ini dilakukan oleh bagian barak, sehingga dari
luar Korem selalu terlihat indah.
8. Prajurit Tidak Suka Membaca
Di Korem 032 Wirabraja terdapat pustaka yaitu dari ruang pos penjagaan
untuk umum belok kiri dan sesudah ujung bangunan belok kanan, di dekat bagian
penerangan. Pustaka yang ada di Korem tersebut cukup lengkap, penulis terkejut
karena ada buku Harold Crouch yang berjudul Militer dan Politik di Indonesia
yang pada tanggal 31 Mei tahun 1986 ditarik dari peredaran oleh pemerintah orde
baru41, buku itu berisikan kritikan terhadap pemerintahan militer yang berkuasa
waktu itu.
Ketika penulis memasuki pustaka ada seorang tentara yang bertugas jaga di
pustaka, petugas tersebut main game sendiri karena mungkin bosan karena
sendirian. Lalu penulis mengisi buku tamu yang sediakan, penulis melihat nama
penulis yang pertama. Di halaman sebelumnya hanya ada satu dan dua nama
41 Ag, Ditarik dari Peredaran, Buku “Militer dan Politik Indonesia (Jakarta:Kompas)
52
tentara yang berkunjung ke pustaka tersebut dan beberapa hari sebelumnya
kosong. Selama penulis membaca buku di perpuskaan tersebut dan menjadi
kegiatan rutin penulis ketika ada jadwal wawancara dengan perwira menengah,
dalam menunggu penulis sering ke pustaka dan tidak pernah penulis temukan ada
tentara meminjam buku atau membaca buku bersama penulis di ruangan pustaka
tersebut. Sepinya pustaka di Korem 032 Wirabraja mengidentifikasikan minat
baca tentara khususnya anggota Korem 032 Wirabraja sangat rendah. Berdasarkan
pengamatan penulis dengan sepinya pustaka Korem 032 Wirabraja dapat
diidentifiksasikan minat baca tentara khususnya anggota Korem 032 Wirabraja
sangat rendah.
9. Tata Ruang Korem
Tata ruang Korem 032 Wirabraja cukup bagus karena satu bangunan dengan
bangunan lain terpisah mempunyai ruang hijau juga tempat parkir yang luas.
Korem 032 tertutup untuk orang umum yang tidak memiliki tujuan dan
kepentingan yang jelas. Orang umum hanya bisa masuk ke Korem 032 Wirabraja
hanya pada hari Jumat ketika Sholat Jumat karena pagar belakang Korem dibuka
untuk umum. Masyarakat dan tentara di Korem sholat bersama-sama di mesjid
korem yang terletak di bagian belakang di depan parkir truk-truk dan mobil dinas
pimpinan Korem.
Ketika masuk Makorem hanya ada dua pos masuk, yaitu sebelah kiri dan
kanan ketika menghadap ke Korem, yang kiri untuk rutinitas dan umum, sebelah
kanan untuk kedinasan. Ketika masuk Korem 032 Wirabraja nuansa militer
53
langsung terasa karena dipintu masuk langsung ditanya dengan cara militer.
Bangunan kedua jaga menyatu dengan ruanga Intel. Sedangkan ruangan
Komandan Korem terlihat dengan jelas dari luar dengan lapangan besar di
depannya yaitu sebelah kanan ruangan intel. Untuk bisa masuk ke ruangan
komandan adalah lurus dan belok kanan, di ruangan komandan cukup mewah,
karena ini lambang marwah kesatuan Korem 032 Wirabraja, walaupun tidak
semewah ruangan bupati atau walikota hari ini. Korem 032 sebagai lembaga
lengkap secara fasilitas , karena ada kantin yang besar di belakang, mesjid yang
besar, lapangan badmiton, koperasi di samping kanan yang lengkap menjual
berbagai kebutuhan harian.
10. Pangkat dan Lencana Militer
Pertama masuk penulis sebagai orang sipil merasa asing karena semua
orang berpakain seragam, bersenjata, dan berbagai macam pangkat dan lencana
sedangkan penulis tidak. Dalam keseharian di Korem tanda pangkat dan lencana
inilah yang menjadi simbol sekaligus hirarki kekuasan maupun penghormatan.
Dari pangkat dan lencana ini kita bisa langsung tahu tentara berkuasa atau tidak,
baru atau sudah lama, kesatuannya apa (Infantri atau Kavaleri), pernah ditugaskan
diwilayah konflik, dan jenis-jenis penghargaan yang dia dapat selama jadi tentara.
Pangkat dan pakain dinas tersebut di buat umumnya dalam tiga bentuk
dengan tujuan berbeda. Pertama untuk upacara-upacara kemiliteran tanda
kepangkatannya berwarna kemerah-kemerahan, kedua untuk dinas harian
54
berwarna hijau tua, ketiga untuk ke lapangan berwarna hijau muda juga
sedangkan warna dan bentuk pakaian juga menyesuaikan.
11. Bahasa Militer
Salah satu sifat bahasa yaitu dinamis, artinya bahasa itu tidak lepas dari
berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Demikian
halnya dengan bahasa suatu komunitas tidak terlepas dari hal tersebut. Dalam
masyarakat yang multikultural, muncul berbagai ragam bahasa dari kelompok-
kelompok sosial tertentu. Keberagaman bahasa ini dipengaruhi oleh faktor usia,
tingkat pendidikan, jenis kelamin, status sosial ekonomi, profesi, dan asal daerah.
Salah satu keragaman yang muncul di masyarakat di antaranya adalah
bahasa militer . Bahasa militer merupakan salah satu bagian dari bahasa suatu
komunitas, yang memiliki karakteristik khusus dalam penggunaannya. Timbulnya
variasi bahasa pada komunitas tidak terlepas dari adanya budaya tertentu yang
mereka jalani. Hal tersebut menarik untuk karena kondisi kebahasaan yang terjadi
pada komunitas militer mempunyai keunikan dibandingkan komunitas lainnya.
Studi tentang bahasa militer tidak dapat dilepaskan dari pendekatan
sosiologi. Pendekatan ini menempatkan studi bahasa dalam kerangka berpikir
bahwa bahasa adalah sebagai fakta sosial. Bahasa merupakan alat komunikasi
terpenting bagi manusia dalam interaksi sosial. Dengan menggunakan bahasa,
manusia berusaha untuk menjaga kebersamaan dan komunitasnya atas berbagi
informasi, sikap, gagasan, dan saling memahami (Treece, 1983: 24-25).
55
Dari sudut pandang pragmatik kekhasan bahasa militer ditandai dengan
pemakaian tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif yang khas
dilingkungan militer. Tindak tutur tersebut berbeda antara karakteristik yang
digunakan oleh atasan dengan yang digunakan oleh bawahan. Bahasa militer juga
memiliki karakteristik khusus dalam menggunakan prinsip-prinsip komunikasi
tutur, khususnya prinsip kerja sama. Pemakaian kata-kata kuantitas, kualitas,
relevansi, dan pelaksanaan amat dominan dalam tuturan militer.
Sistem komunikasi militer menghendaki jenis-jenis informasi yang
langsung, singkat, dan akurat; tidak mendua dan tidak menimbulkan keraguan.
Oleh karenanya, mengenai prinsip kesopanan dalam komunikasi resmi militer
tidak banyak digunakan tetapi keefesiennya bahasa dalam perintah dari komandan
kepada anak buah. Dalam keseharian militer menunjukkan bahwa terdapat
bentuk-bentuk bahasa militer yang khas sesuai dengan fungsi pemakaiannya,
misalnya terdapat bentuk khas bahasa militer dalam bertelepon, berte muka,
bahasa dalam upacara, bahasa dalam rapat, bahasa dalam amanat pejabat atau
komandan, dan bahasa dalam pertempuran/latihan pertempuran. Bentuk-bentuk
bahasa ini tidak dapat dipertukarkan fungsi pemakaiannya karena akan
menimbulkan kekacauan komunikasi. Di samping itu, dalam bahasa militer ini
ditemukan fenomena lain yang penting, yakni bentuk-bentuk bahasa yang
digunakan oleh atasan berbeda dengan bahasa yang digunakan bawahan. Kedua
bentuk bahasa ini tidak dapat dipertukarkan pula pemakaiannya.
Bahasa komandan kepada anak buahnya mempunyai sifat-sifat dari tipe
kepemimpinan militeristik adalah: (1) lebih banyak menggunakan sistem
56
perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang
bijaksana, (2) menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, (3) sangat
menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang
berlebihan, (4) menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya,
(5) tidak menghendaki saran, usul, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, (6)
komunikasi hanya berlangsung searah. Kata-kata komandan terhadap bawahan
seperti pahami, laksanakan, diperintahkan, kerjakan, sedangkan bahasa anak buah
kepada komandanya adalah siap laksanakan komandan, mohon arahan, mohon
ijin, siap salah komandan, Ungkapan tersebut menjadi sebuah kelaziman untuk
diucapkan bagi seluruh personil Korem 032 Wirabraja baik sipil apalagi militer.
Untuk bahasa dapat ditemukan dari penyebutan “mohon izin” dan “siap”
dalam setiap pembicaraan antara bawahan dengan atasan. Kata “mohon izin”
kerap digunakan bila seorang bawahan ingin mengutarakan suatu hal pada atasan.
Ini merupakan kebiasaan pada personil militer termasuk juga selalu mengatakan
“siap” manakala atasan memberi arahan atau perintah. Anak buahnya selalu
menjawab “Siap Komandan”, bila ia menyuruh mengerjakan sesuatu. Ketika
tidak tahu apa yang harus dikerjakan maka kata-kata yang kita dengar adalah
mohon petunjuk, ketika permasalahan ini masih belum sepenuhnya selesai kata-
kata selanjutkan mohon diarahkan.
57
BAB V
TEMUAN KHUSUS
Cita-cita militer profesional secara ideal dikontruksikan lewak doktrin-
doktrin TNI seperti Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Kode
Etik Perwira, Tridarma Ekakarma dan undang-undang nomor 34 tahun 2004
tentang TNI yang telah dibahas sebelumya. Namun dalam realitas objektif
58
profesionalisme militer di kalangan perwira menengah Korem 032 Wirabraja yang
menjadi subjek penelitian perlu dilihat dari pengalaman hidup mulai dari masa
kanak-kanak, remaja, memasuki pendidikan militer. dan penugasan (militer
aktif).
1. Cita-cita menjadi Militer dalam Realitas Objektif
Realitas sosial objektif dunia kemiliteran untuk perwira menengah subjek
penelitian dimulai dari masa kecil dan remaja ketika bercita-cita menjadi tentara
seperti yang disampaikan oleh Drs. Mayor Isnaini:
Alasan menjadi tentara di waktu kecil (SD) karena dulu melihat tentara melakukan kegiatan TMMD (Tentara Nasional Indonesia Manunggal Membangun Desa), saya melihat tentara iklas dan disiplin dalam bekerja, TMMD itu bukan tugas pokok tentara, setelah saya kuliah masuk Menwa (resimen mahasiswa) saya menyukai disiplin dan latihan militer, , menjadi tentara adalah untuk mendarmabaktikan diri kepada negara juga akhirnya untuk mendapatkan pekerjaan”
Keinginan subjek penelitian berprofesi menjadi tentara bukanlah cita-cita
keluarga atau keinginan keluarga supaya anaknya menjadi tentara, sedangkan
subjek penelitian ini orang tuanya seorang guru di sekolah dasar. Internalisasi
pada subjek penelitian juga tidak dari materi pembelajaran sekolah yang
berhubungan dengan pelajaran sejarah atau pengetahuan tentang tentara. tentang
tentara biasanya berhubungan dengan internalisasi kemiliteran di sekolah yang
bergantung pada tokoh-tokoh militer tertentu seperti Jendral Soedirman, Jenderal
Soeharto atau yang lainnya, tetapi subjek penelitian mendapatkan ketertarikan
menjadi tentara berasal dari identitas di luar sekolah yaitu identitas tentara yang
sedang bertugas di lingkungan subjek penelitian. Cita-cita menjadi tentara datang
kegiatan-kegiatan tentara yang disaksikan secara berulang kali. Pernyataan ini
59
juga diperkuat oleh pernyataan subjek penelitian lainnya yaitu komandan Korem
032 Wirabraja Kolonel Amrin:
Menjadi tentara ketika masih di SMA (SMA Don Bosco Padang), disini umumnya bercita-cita jadi dokter, insinyur dan pengusaha jarang yang menjadi tentara. Saya masuk tentara karena waktu itu adalah ingin mengabdi terhadap negara dan menurut saya jalur tentara yang bisa saya dicapai, saat itu orang tua mempunyai kemampuan terbatas secara finansial dan keluarga saya tidak ada yang berprofesi tentara.Berdasarkan pendapat informan diatas dapat dipahami bahwa faktor
lingkungan pergaulan teman sebaya tidak selalu menjadi acuan untuk menentukan
sikap dan pilihan hidup tetapi kesempatan dan kemampuan. Menurut subjek
penelitian merasa mampu dan mempunyai kesempatan untuk menekuni bidang
militer dan ditambah keadaan orang tua yang terbatas. Status menjadi tentara dan
perbaikan kehidupan ekonomi menjadi acuan lainnya untuk menjadi tentara.
Ditambahkan oleh subjek penelitian lainya tentang keinginan setelah
tamat dari sekolah militer Sepa (sekolah perwira) seperti yang disampaikan oleh
subjek Mayor Infantri Isnaini yang lahir dan bertugas di zaman Orde Baru yaitu
Setelah tamat Sepa saya ingin pangkat terakhir Letkol dengan jabatan terakhir jadi Dandim. Saya tamat dizaman Dwifungsi ABRI, tentara bisa jadi bupati atau walikota, saya dulu ingin jadi bupati di Bima.
Diwaktu kecil keinginan untuk menjadi tentara diilhami oleh TMMD
tetapi setelah tamat Sepa subjek penelitian melihat kesempatan berbeda yaitu
mendapatkan jabatan dikemiliteran dan di luar kemiliteran. Bagi subjek penelitian
jabatan didalam kemiliteran adalah sesuatu yang baik sehingga subjek penelitian
akan berusaha melakukan keberhasilan tugas sehingga ada prestasi kerja.
Sedangkan keinginan menjabat di luar kemiliteran dikarenakan di zaman Orde
Baru di bawah pemerintahan Soeharto militer diberi keluluasaan khususnya
60
Angkatan Darat untuk menjabat dalam melaksanakan peran sosial politik.
Umumnya bupati dan walikota disetiap kabupaten kota dizaman orde bar adalah
perwira Angkatan Darat.
Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa internalisasi terhadap realitas
objektif yang menghasilkan pemahaman tentang TNI berasal dari pengalaman,
kesempatan, kemampuan, keinginan mengabdi kepada negara dan mendapatkan
pekerjaan yang akhirnya menjadi konsep kontruksi memasuki profesi sebagai
tentara.
2. Identitas Militer dalam Realitas Objektif
Untuk membentuk tujuan-tujuan militer tersebut menjadi sebuah identitas
militer maka lahirlah realitas sosial objektif dunia kemiliteran. Secara sederhana
organisasi militer digambarkan sebagai organisasi yang di lengkapi persenjataan
dan memiliki tanggung jawab serta bertugas mempertahankan kedaulatan suatu
negara dari serangan musuh baik dari luar maupun dalam negara. Selain dari itu
militer juga disebut sebagai raison d’entre untuk menghadapi dan mengatasi
keadaan darurat (emergency organization) yang bercirikan organisasi keras, ketat,
hirarkhis sentralistis, berdisiplin keras, dan bergerak atas komando. Yang
dimaksud dengan emergency organization adalah sebagai alat/kekuatan
pertahanan keamanan untuk menghadapi, mengendalikan dan mengatasi keadaan
gawat yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan bersenjata dari pihak-pihak lain
yang mengancam negara, kedaulatan, dan integrasi wilayah. Dalam kemiliteran
dibangunlah budaya militer yaitu habit formation, habit formation dimaksudkan
61
untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang mutlak perlu agar tugas dapat
terlaksana dalam keadaan bagaimanapun42.
Dalam organisasi militer membentuk jati diri militer khususnya TNI AD
adalah dari rekrutmen dan pendidikan militer. Adapun penyedia rekrutmen
perwira di TNI AD berdasarkan sumber beberapa masukan atau rekrutmen yaitu
Akademi TNI Angkatan Darat (AAD), Sekolah Perwira Prajurit Karir (Sepa PK),
dan Sekolah Calon Perwira (Secapa). Rekrutmen perwira Akademi Angkatan
Darat umumnya adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berumur
antara 18 tahun sampai 21 tahun, artinya setelah mereka tamat SMA langsung
mendaftar menjadi prajurit dan lama pendidikan yang mereka jalani adalah 3
tahun. Sedangkan Sepa PK adalah rekrutmen yang berasal dari tamatan perguruan
tinggi yang berumur rata-rata 22 tahun sampai 25 tahun, tamatan Sepa PK ini
adalah tamatan militer yang merasakan menjadi sipil di universitas atau
setingkatnya, pendidikan yang dapatkan hanya satu tahun. Sedangkan tamatan
Secapa adalah tamatan yang berasal dari internal angkatan Darat yang sebelum
berpangkat sersan lalu melanjutkan pendidikan perwira. Tamatan Secapa ini
adalah tentara terdidik secara militer yang melanjutkan pendidikan militernya.
Dalam pendidikan militer di AAD, Sepa PK, dan Secapa tersebut juga
ada beberapa tahapan pendidikan yaitu struktur pendidikan pengembangan
perwira bermula dari jenjang Pendidikan Pembentukan (Diktuk), Pendidikan
Pertama(Dikma), Pendidikan Pengembangan Spealisasi (Dikbangspes),
Pendidikan Pengembangan Umum (Dikbangum).
42 Lihat Hasnan Habib ,ABRI dan Demokratisasi Politik, dalam Cholisin,Militer dan Gerakan Prodemokrasi Studi Analisis Tentang Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia,Tiara Wacana,Yogyakarta,2002
62
Setelah tamat dari sekolah perwira TNI AD tetap harus mendapatkan
pendidikan lanjutan seperti jenis dan jenjang pendidikan yang termasuk kategori
Dikbangspes diantaranya adalah, Kursus Perwira Lanjutan (Sus Pala) satu dan
dua, Pendidikan Kursus Kecabangan seperti dilatih untuk menjadi Infantri,
Kavaleri atau lainnya. Kursus Komandan Bataliyon (Sus Danyon), Kursus
Komandan Kodim (Sus Dandim) Kursus Komanda Korem (Sus Danrem),
sedangkan yang termasuk Dikbangum adalah Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (Sesko AD), Sekolah Komando TNI (Sesko TNI) dan Kursus
Lembaga Pertahanan Nasional (Sus Lemhanas).
Pendidikan di lembaga militer seperti Akmil dan Sepa Pk yang membuat
identitas militer menjadi jati diri, sebagai contoh subjek penelitian Kolonel Amrin
ada berasal dari Akmil artinya setelah tamat SMA (Sekolah Menengah Atas)
langsung menjadi militer menempuh pendidikan selama tiga tahun, dalam logika
umum akan berbeda dengan tamatan Sepa PK yang kuliah dulu atau menjadi sipil
lebih lama, lalu masuk ke pendidikan militer selama delapan bulan sampai satu
tahun di lembaga pendidikan militer. Dalam wawancara dengan subjek penelitian
tamatan Akmil dan Sepa PK tidak terdapat perbedaan dalam memahami identitas
sebagai prajurit, seperti yang di sampaikan oleh Mayor Destrio Elvano SH dari
Sepa PK:
“Ketika kita masuk dalam pendidikan kita di “nolkan” semuanya diatur mulai dari cara makan, cara berjalan, cara berpakain, cara berbicara, cara mengatur susunan pakain di almari baju lipatan harus sekian “centi” dan letaknya pakain dalam, celana ada tempatnya masing-masing, tempat tidur harus rapi, tidak boleh ada sampah dan semuanya waktunya diatur dan harus tepat waktu, ketika ada melangar ada hukumannya baik secara individu atau kelompok, kita tidak boleh protes apapun
63
perintah dari pelatih harus dilaksanakan, intinya adalah kita dibentuk menjadi tentara, hasilnya bisa dilihat ketika kita hajatan contohnya pasti kita bisa membedakan mana sipil mana tentara”
Kerangka berfikir militer yang dibentuk adalah disiplin baik itu disiplin
hidup ataupun disiplin mati, seperti yang sampaikan oleh Nitisenito dalam
(2007:32) yaitu dengan adanya kedisiplinan maka dapat diharapkan semua
intruksi, saran dan sebagainya ditaati oleh mereka dengan baik, disiplin tersebut
ada yang disebut “disiplin hidup” yaitu yang dilaksanakan dengan kesadaran dan
tanggung jawab dan “disiplin mati” yaitu hanya disadarkan pada perintah-perintah
saja.
Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan dan kepatuhan, disiplin bagi
seorang anggota militer atau seorang prajurit TNI merupakan suatu keharusan dan
pola hidup yang harus dijalani. Pembentukan disiplin bagi Prajurit diawali dari
masa pendidikan dasar keprajuritan, pembinaan dan pengasuhan. Karena sifatnya
yang ‘harus’ tadi, maka perlu diberlakukan suatu peraturan dan ketentuan demi
lancarnya penegakan disiplin dalam tubuh organisasi militer.
Penegakan hukum disiplin militer bersumber kepada peraturan-peraturan
hukum disiplin prajurit. Terdapat beberapa peraturan yang berlaku ataupun sudah
berlaku dalam rangka penegakkan hukum disiplin militer. Beberapa peraturan
tersebut adalah pertama, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum
Disiplin Prajurit ABRI. Kedua, Peraturan Disiplin Prajurit TNI yang disahkan
dengan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/22/VIII/2005 Tanggal 10 Agustus
2005. Ketiga, Peraturan pelaksanaan lainnya yaitu Peraturan Urusan Dalam
64
(PUD). Keempat, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia. Kelima Sumpah Prajurit, keenam, Sapta Marga, ketujuh,
Delapan (8) Wajib TNI.
Mengenai pembentukan dan penaman nilai-nilai tentara khusus perwira
militer ini dalam struktur kurikulum pendidikan yang diselenggarakan yaitu
meliputi materi Semangat Juang, Pembinaan Mental dan Tauladan Keberanian,
seperti yang disampaikan oleh Letkol Suherman:
Materi-materi pelajaran mengarah pada pembentukan jiwa prajurit mulai sejarah TNI, lalu pelajaran Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Wajib TNI, dan wawasan nusantara iniah yang membentuk jiwa prajurit.
Materi-materi pembentukan dan pelajaran Sapta Marga, Sumpah Prajurit,
Wajib TNI tidak hanya dilakukan ketika dalam pendidikan tetapi diteruskan kita
bertugas sebagai prajurit, materi-materi penting karena inilah jati diri sebagai
Tentara Nasional Indonesia.
Selama dipendidikan lembaga militer internalisasi kemiliteran tertanam
dengan jelas dan terjadwal. Internalisasi militer ini sebagai realitas objektif lebih
tertanam ketika seorang prajurit khususnya perwira militer akan ditugaskan pada
suatu bidang, seperti memimpin pasukan di medan tempur atau memimpin
lembaga militer sebagai tugas teritorial karena sebelumnya dididik dengan
keahlian tertentu. Setelah mengikuti pendidikan dasar militer perwira menengah
tersebut melanjutkan keahlian khusus (Dikbangspes) seperti Mayor Dekki
Sujatmiko mengambil Infantri sebagai keahliannya setelah menempuh pendidikan
dasar, dan Letkol Suherman mengambil keahlian khusus pada pembinaan mental.
65
Pendidikan di lingkungan militer TNI AD tidak hanya mendapatkan keahlian
tetapi untuk kenaikan pangkat. Dari letnan dua ke Letnan Satu harus mengikuti
Sus Lapa 1, dari Letnan Satu ke Mayor harus mengikuti Sus Lapa 2, dari Mayor
ke Letkol harus mengikuti Sesko AD, dari Letkol ke Kolonel harus mengikuti
sesko TNI atau Lemhanas. Perwira adalah prajurit yang telah mendapatkan
pendidikan tertinggi dalam kemiliteran sehingga kemampuan yang dimiliki
perwira akan sesuai dengan tingkat pendidikan yang diikuti, semakin tinggi
pendidikan seseorang maka diasumsikan semakin tinggi pula pengetahuan dan
ketrampilannya, hal ini mengambarkan bahwa pendidikan berperan dalam
membimbing kearah suatu tujuan yang diinginkan.
3. Profesionalisme Militer Dalam Realitas Objektif
Dari beberapa pengertian tentang profesionalisme Perwira menengah TNI AD
di Makorem 032 Wirabraja merupakan kecakapan seseorang perwira dalam
melakukan aktivitas yang ditunjang oleh kecerdasan, ketrampilan, pengalaman,
serta kemampuan individual yang berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan
pergunakan dalam menghadapi tugas-tugas bersifat teknis dan non teknis serta
tanggung-jawab yang tinggi terhadap profesi tentara maupun kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Secara keseluruhan pemikiran utama tentang profesionalisme TNI diwarnai
oleh pandangan yang meliputi tiga dimensi waktu yaitu massa sekarang dan masa
depan dengan pengertian bahwa masa sekarang sebagai akibat masa lalu dan
menentukan masa mendatang. Berbagai koreksi dan evaluasi tentang hasil
66
perubahan lingkungan akan terus berkembang seiring dengan tuntutan zaman.
Upaya pembinaan yang bersifat konseptual sebagai realitas objektif terus
dikembangkan untuk terciptanya TNI yang profesional. Nilai-nilai dasar
keprjuritan yang menjadi norma-norma dasar bagi prajurit untuk bersikap,
berucap dan bertindak sebagai prajurit TNI profesional. Seperti yang disampaikan
oleh Drs Letkol Caj Suherman M.Si sebagai realitas objektif.
“Setelah berpisahnya TNI dan Polri dan diatur oleh undang-undang nomor 34 tahun 2004 menyatakan bahwa tugas TNI atau tentara dibidang pertahanan dan Polri dibidang keamanan”Definisi tentang pertahanan bisa dilihat di undang-undang nomor 34 tahun
2004 tentang TNI, menimbang bahwa:
“Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara.
TNI sebagai kekuatan utama pertahanan negara bisa dilihat pada undang-
undang nomor 34 tahun 2004 pada pertimbangan selanjutnya yaitu:
“Bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”Selanjutnya pemahaman tentara secara jelas bisa dilihat seperti pernyataan
Drs. Mayor Inf Isnaini:
“Tentara adalah seorang yang mendaftarkan sebagai tentara dan didik, yang mendarmakan baktikan dirinya untuk bangsa dan negara secara tulus dan iklas, bukan orang sewaan atau untuk kebendaan dan tidak akan membelokkan haluan Ibu Pertiwi” Dari pengertiaan di atas pada prinsipnya tentara hanya mengabdi pada
negara bukan sewaan, sewaan disini berarti bahwa profesi tentara bukan pada
67
dasar jual beli atau transaksi tetapi ketulusan membela negara. Profesi sebagai
tentara berbeda dengan profesi pada umumnya seperti dokter, pengacara, atau
yang lainnya. Profesi tentara tidak bisa diperjualbelikan karena
pengabdiannya hanya untuk negara, dokter atau pengacara bisa saja memilih
untuk bekerja dengan bayaran dan tawar menawar. Internalisasi profesi
tentara terlihat dari salah satu doktrin tentara yaitu 8 wajib TNI
“Pertama, bersikap ramah tamah terhadap rakyat. Kedua, bersikap sopan santun terhadap rakyat. Ketiga, menjunjung tinggi kehormatan wanita. Keempat, menjaga kehormatan diri dimuka umum. Kelima, senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. Keenam, tidak sekali-kali merugikan rakyat. Ketujuh, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat. Kedelapan, menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.43”
Dan di tambahkan oleh Mayor Destrio Elvano SH yang berdimensi
kesatuan :
“Prajurit atau tentara intinya adalah siapapun dia, ada perintah dilaksanakan dan menerima apa adanya. Ada perintah harus jalan apapun resikonya, ketika perintah maju perang walau hanya ada pisau harus tetap maju”
Tentara, prajurit atau militer adalah sebuah sistim organisasi yaitu
organisasi militer yang mempunyai pedoman yang jelas. Dalam organisasi militer
jelas perintah harus dilaksanakan tidak ada komentar atau protes, ketika penulis
sedang mewancarai subjek penelitian yang notaben adalah perwira menengah
yang memegang jabatan struktural di Korem 032 Wirabraja setiap bawahannya
disebut anak buah, kata-kata yang keluar dari anak buahnya adalah siap dan
(komandan) atau berbicara sesama tentara tetapi pangkat lebih tinggi maka hal
yang sama terjadi. Organisasi militer menganut sistim komando yaitu wewenang
43 http://www.tni.mil.id/view-25287-tni-sebagai-tentara-rakyat.html
68
atau kekuasaan seseorang komandan yang dilaksanakan secara sah, terhadap
anggota bahawannya di lingkungan satuan TNI karena pangkat dan jabatannya.
Komando perlu disertai kewibawaan seorang Komandan, agar anggota yang
dipimpin benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugas.
Pemahaman subjek penelitian tentang profesionalisme militer hampir sama
dengan pemahaman profesionalisme secara umum yaitu ahli dibidangnya. Seperti
yang disampaikan oleh Mayor Inf Isnaini:
“Profesionalisme militer adalah menunjukkan keahlian dibidang militer, ditugas dalam dan luar negeri mampu dia maka akan bagus karirnya, sekarang lebih terbuka dulu tamatan Wamil di cetak hanya untuk perwira staff dan tamatan Akmil untuk perwira komandan, mulai dari angkatan saya (1994-1995) tamatan Wamil dan Akmil dicetak untuk perwira komandan, leting saya sudah ada 13 orang jadi Danyon dan diantaranya ketika dikirim ke daerah konflik mendapatkan penghargaan sangkur perak karena mendapatkan 80 pucuk senjata, dan ada 5 jenderal perempuan tamatan Wamil”
Sedangkan menurut Kolonel Drs. Amrin mengatakan bahwa
profesionalisme militer adalah:
“Apapun jabatan, pangkat, dan tugasnya bisa melakukan dengan kualitas mahir”
Dari pernyataan diatas subjek penelitian bahwa profesionalisme adalah
kompeten dibidangnya, ketika bicara militer maka profesionalisme militer terbagi
dua, pertama profesionalisme militer untuk operasi perang adalah kemampuan
memenangkan perang, menghancurkan musuh, mengamankan dan menguasai
daerah perang, kedua profesionalisme militer selain perang adalah kemampuan
militer kewilayaan seperti, bertugas di Koramil, Kodim, Korem, Kodam dan
69
Mabes TNI. Disamping itu terlihat bahwa dahulunya perwira militer tamatan
Wamil hanya mengisi jabatan-jabatan staff atau kegiatan militer selain perang
yaitu staff kewilayaan di Kodim, Korem, Kodam atau kewilayaan lainnya.
Sedangkan tamatan Akmil yang dididik menjadi perwira komandan yang terjun ke
medan perang. Perubahan ini terjadi menurut informan setelah Kasad Faizal
Tanjung pergi studi banding ke Amerika, di sana perwira-perwira banyak berasal
dari tamatan universitas termasuk Collin Powel sebagai menteri pertahanan, sejak
itulah Akmil dan Wamil diberikan kesempatan yang sama.
Bagi informan yang menjadi tolak ukur profesionalisme perwira militer
adalah kemampuannya ini bisa dilihat salah satunya adanya lima Jendral wanita,
setelah penulis cek informasinya tentang 5 jenderal wanita ini memang benar
adanya dari tamatan Wamil. 3 wanita Jenderal ini ada di Angkatan Darat yaitu
berpangkat brigadir Jenderal yaitu Brigjen TNI AD Herawati, Brigjend TNI AD
Kartini dan Brigjen TNI AD Sri Parmini, satu di angkatan laut yaitu Laksamana
Pertama TNI AL Christina Maria Rantetana, SKM, MPH dan satu di kepolisian
yaitu Brigjen Pol Basaria Panjaitan.
Dari pernyataan di atas militer militer adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan angkatan bersenjata. Militer biasanya terdiri atas para
prajurit atau serdadu. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang,
militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam
kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan
70
harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah pasukan
bersenjata.
4. Identitas Lembaga Militer Dalam Realitas Objektif
Di awal penelitian penulis ingin memberikan definisi yang jelas antara
definisi profesionalisme militer secara institusi dalam negara dengan perwira
militer sebagai pelaku militer profesional. Tetapi temuan penelitian membuktikan
bahwa secara nyata bahwa antara militer sebagai institusi dan perwira sebagai
pelaku militer profesional memiliki perbedaan dalam kacamata militer khususnya
perwira menengah di Korem 032 Wirabraja seperti yang disampaikan oleh Letkol
Suherman:
“Peran militer secara institusi dari waktu ke waktu tidak ada yang salah karena semua peran institusi militer ada dasar zaman soekarno, zaman soeharto , atau zaman reformasi. Jangan melihat zaman orde baru dari kaca mata reformasi. Karena TNI berperan sesuai dengan undang-undang dan peraturan. Zaman orde baru boleh berpolitik diatur oleh Tap MPR, di zaman reformasi tidak boleh berpolitik diatur UU.”
Subjek penelitian mencoba menerangkan kesalahan militer dari sudut
pandang sipil atau masyarakat umum, kesalahan militer tersebut adalah fungsi
militer diluar pertahanan. Fungsi militer diluar pertahanan dizaman pemerintahan
Soeharto dikenal dengan Dwifungsi ABRI diatur oleh undang-undang yang jelas,
ketika ada yang menyimpang adalah pribadi-pribadi karena menurut subjek
penelitian masih banyak secara personil perwira menengah dan perwira tinggi
yang tidak menyalahgunakan jabatannya di zaman Orde Baru ataupun saat
sekarang. Karena dalam pelaksanaan peran ABRI didasarkan pada beberapa
71
undang-undang atau ketetapan MPR yang menjadi landasan legal formal yang
berlaku. Bagi perwira menengah di Korem 032 Wirabraja lembaga militer tidak
pernah salah yang salah adalah individunya.
Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai
pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah
menyinggung kedudukan ABRI sebagai golongan fungsional seperti UU No. 7
Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan
Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada era Orde
Baru, undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS
Nomor XXIV/MPRS/1966, yang kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertahaan Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang
Prajurit ABRI.
Undang-undang nomor 7 tahun 1957 tentang pembentukan Dewan
Nasional yang Pasal 3 ayat 1 mengatakan bahwa Dewan Nasional dipimpin
oleh Presiden44. Di dalam lembaran tersebut disampaikan bahwa negara dalam
keadaan darurat maka perlu dibentuk Dewan Nasional. Keadaan darurat inilah
yang menjadi senjata ampuh Soekarno dalam mengahadapi setiap persoalan dan
jalan masuk bagi militer selain fungsi pertahanan mulai terbuka salah satu adalah
44 G.A. Maengkom, Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, (Jakarta: Kehakiman,1957) hal 10
72
pasal 3 ayat 4 poin c mengatakan pejabat-pejabat militer dan sipil yang dianggap
perlu45.
Sedangkan dalam UU No. 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang
Nasional di pada pasal 9 para Anggota Dewan Perancang Nasional terdiri dari
orang-orang ahli yang memiliki hasrat dan semangat pembangunan dan pada pasal
9 poin disebutkan bahwa anggotanya adalah pejabat-pejabat sipil dan militer yang
ahli dalam soal-soal pembangunan46.
Undang-undang nomor 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengatur tentang keterlibatan ABRI di DPR dan MPR
yaitu:
“Pasal 1. Ayat 3 poin c mengatakan bahwa anggota dpr/mpr adalah Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan. sepertiga dari seluruh anggota M.P. R. dan terdiri: pada ayat1 pasal 4 poin b dikatakan bahwa Anggota tambahan M.P.R. dari golongan Karya Angkatan Bersenjata. Pasal ayat 5 mengatakan Jumlah Utusan Golongan Karya A.B.R.I. dan Golongan Karya bukan A.B.R.I. ditetapkan oleh Presiden.47”
Dari undang-undang nomor 16 tahun 1969 tersebut dilaksanakan pemilu
pada tanggal Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971 Pemilu ditujukan memilih
460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat
45 Ibid hal 346 G.A. Maengkom dan Hardi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1958 Tentang Dewan Perancang Nasional (Jakarta, Lembaran Negara RI) hal 947 Alamsyah. Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (Jakarta:Sekretaris Negara RI,1969) hal 1
73
sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan
fungsional oleh Presiden48.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara mengukuhkan Dwifungsi ABRI sebagai salah satu modal dasar
pembangunan nasional yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di samping
selaku kekuatan Hankam, juga merupakan kekuatan sosial49. Pada UU No. 20
tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara,
pasal 28 ayat 1 mengambarkan tentara sebagai kekuatan sosial yaitu
“Angkatan Bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisasi dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.50”
Dan ABRI mengizinkan berbisnis adalah pasal 32 ayat satu yaitu
Pengamanan sumber daya alam dan sumber daya buatan dilaksanakan dengan
konservasi dan diversifikasi serta didayagunakan bagi kepentingan pertahanan
keamanan negara51. Terakhir UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI
menegaskan dalam penjelasan pasal 6 adalah
“PrajuritAngkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam mengemban tugas di bidang pertahanan keamanan negara adalah penindak dan penyanggah awal, pengaman,pengawal serta penyelamat bangsa dan
48 Seta Basri, Sistim pemilu Indonesia, (Yogyakarta: LeutikaPrio,2011) hal 649 Adam Malik dan dkk, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, (Jakarta:MPR,1978) hal 1850 Sudharmono Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1982) hal 15
51 Ibid hal 16
74
negara, serta sebagai kader, pelopor,pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan negara dalammenghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan dari manapun datangnya.
Dalam bidang sosial politik, bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya bertugas menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan serta mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.52”
Dan TNI sebagai kekuatan pertahanan juga diatur undang-undang yaitu
undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI khususnya Profesionalisme
militer dan perannya dalam negara seperti yang tercermin dalam UU nomor 34
tahun 2004 dan ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Kepolisian yaitu:
“Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik,diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahternaannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.53 Tentara nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara54.”Sejalan dengan argumentasi tersebut Kolonel Drs. Amrin yang mengatakan:
“Secara idiologi atau peran institusi militer indonesia sudah hampir sama dengan dengan yang negara-negara Eropa dan negara Australia yaitu peran militer sebagai pertahanan negara.”Menurut subjek penelitian yang bertugas beberapa kali ke luar negeri seperti
Australia bahwa militer di Indonesia lebih cinta terhadap negara dibandingkan
negara-negara Eropa dan Australia. Di negara-negara Eropa dan Australia tersebut
52 Sudharmono, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, (Jakarta:Sekretaris Negara RI, 1988) hal 2653 Bambang Kesowo. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.(Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 2254 Bambang Kesowo. 2005, Ketetapan MPR RI No/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara RI Pasal 2 ayat 1 hal 5, (Jakarta, BP. Panca Usaha) hal 5
75
setiap perjalanan tugas rutin atau insendentil dihitung sebagai pendapatan, seperti
kegiatan penangulangan bencana alam. Ketika TNI menjalankan tugas seperti
penangulangan bencana dipandang sebagai darmabakti kepada negara.
5.Identitas Perwira Militer sebagai Realitas Objektif
Di dalam organisasi militer terdapat berbagai sumber kekuatan kekerasan
baik berupa personel, peralatan, persenjataan, dan terdapat pembagian tugas serta
wewenang yang diatur dalam hirarkhi yang sangat ketat. Berdasarkan jenis
kemahiran dan ketrampilan, baik dalam penggunaan alat maupun persenjataan.
Hal tersebut menjadikan pekerjaan militer sangat unik. Pengelolanya pun
memerlukan kemampuan yang sangat khusus. Kemampuan itulah yang menjadi
kompetensi utama para prajurit perwira.
Secara realitas objektif perwira tersebut digambarkan sebagai berikut oleh
Mayor Isnaini:
“ Perwira adalah seorang prajurit gagah berani dalam sikap dan prilaku sesuai dengan kode etik dan sumpah perwira karena telah didik untuk berbuat yang terbaik dan contoh suri teladan dari bawahannya serta bertanggung jawab sesuai perbuatannya”Seorang perwira digambarkan sebagai orang yang bisa menyelesaikan
tugas apa saja yang diberikan dan inovatif , dan seluruh informan mengemukakan
bahwa seorang perwira militer seorang komandan, guru, hakim dan teman
seperjuangan seperti yang disampaikan oleh Letkol Suherman M.Si bahwa yang
membedakan antara perwira dengan tamtama dan sersan adalah:
“Perwira adalah orang yang mampu menjadi seorang guru, komandan, teman seperjuangan, dan seorang hakim.”
76
Dalam pemahaman ideal subjek penelitian perwira mampu menjadi guru
maksudnya adalah bahwa seorang perwira harus memiliki perilaku yang bisa
dicontoh dan ditiru oleh bawahannya, juga kemampuan untuk mengembangkan
bawahan secara utuh, maka hendaknya perwira menguasai berbagai hal sebagai
kompetensi dasar dalam kemiliteran ketika perwira tempur maka dia menguasai
taktik, cara menembak, cara mengunakan peralatan perang seperti radio, tank baja
dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini jabatan perwira merupakan pekerjaan
profesi yang membidangi bidang tertentu seperti infantri atau kavaleri. Perwira
sebagai guru bermakna berperan dalam pembentukan sumberdaya manusia
militer yang pontensial dibidang militer untuk pembangunan bangsa dan negara
terutama di sekolah-sekolah militer seperti Akmil (akademi militer), Wamil,
Secaba (sekolah calon bintara), Secata (sekolah calon tamtama).
Ketika perwira berperan sebagai guru maka perwira menjadi orang kedua
setelah orang tua dalam mendidik dan memgawasi anak buah, untuk menuju cita-
cita dan tujuan hidupnya. Seorang perwira harus memiliki dedikasi yang sangat
tinggi dan profesi yang dipilihnya itu bukan pekerjaan sampingan sebab diakui
atau tidak perwiralah yang menentukan keberhasilan pengembangan kemampuan
dan karir anak buahnya.
Perwira sebagai komandan adalah seorang yang mampu memberikan
perintah dan dipatuhi oleh anak buahnya. Komandan ini menjelaskan hirarki
kekuasaan dalam militer yang mempunyai hak veto dalam penentuan kebijakan
dan tidak boleh bantah apapun itu perintahnya, anak buahnya harus
77
melaksanakannya. Kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang dinamakan
komandan regu, komandan pleton, dan komandan kompi.
Perwira sebagai teman seperjuangan adalah orang yang mampu berbaur
dengan anak buahya sehingga terjadi keakraban, seperti makan bersama anak
buah, bahu membahu dimedan pertempuran, dan di luar tugas dengan bermain
bulu tangkis dan bola kaki bersama-sama anak buah.
Perwira sebagai hakim adalah seorang perwira harus mampu menghukum
anak buahnya ketika melakukan kesalahan. Ketika anak buah melakukan
kesalahan dihukum mulai dari hukuman berbentuk fisik, mental, diturunkan
pangkatnya, tidak naik pangkat, hukuman penjara di penjara militer, sampai
pemecatan. Dalam menjelaskan hukuman fisik subjek penelitian tidak mau detil
dalam menjelaskannya tetapi dari cerita mulai dari pendidikan sampai bertugas
penulis menyimpulkan bahwa hukuman fisik berbentuk push up, scoth jump, lari
sampai pukulan atau tamparan. Hukuman mental ini berbentuk teguran sampai
makian secara lisan. Seperti kata-kata bodoh dan tolol kamu, atau dipermalukan
didepan pasukan. Hukuman berbentuk fisik dan mental dilakukan ketika
kesalahan masih bersifat kelalain atau kegagalan dalam menjalankan tugas.
Hukuman berbentuk tidak naik pangkat, turun pangkat, dipenjara di penjara
militer, dan pemecatan. Kesalahan prajurit ini adalah pelanggaran hukum seperti
beristri lagi tanpa izin istri pertama atau menikah diam-diam, narkoba, dan
penyalagunaan senjata api. Dalam hukuman penjara, ketika seorang tentara masih
dipenjara di penjara militer artinya tentara tersebut masih berstatus tentara, tetapi
ketika tentara tersebut dipenjara di penjara umum atau penjara sipil status tentara
78
tersebut sudah dipecat. Tujuan hukuman terhadap prajurit adalah untuk menjaga
kedisiplin, kepatuhan, keberhasilan tugas dan kesatuan korps.
Sedangkan menurut Mayor Destrio Elvano
“Yang membedakan seorang perwira pertama adalah pola pikir yang inovatif, ketika perintah datang kepada perwira maka harus dilaksanakan apapun resikonya, ada atau tidaknya anggaran harus dilaksanakan, ketika kita memerintahkan anak buah kita harus menyediakan peralatan dan perlengkapannya sehingga tugas tersebut bisa terlaksana, dan peran di luar kemiliteran kita aplikasi kepada anggota, bukan hanya memerintah.
Perwira dalam pengertian ini adalah perwira menengah yang harus
mampu menterjemahkan dan melaksanakan perintah kepada bawahannya. Ketika
perintah datang dari komandan teratas perwira menengahlah yang mengeksekusi
perintah ini membuat bisa dipahami dan menyediakan fasilitas untuk
melaksanakan perintah tersebut. Perintah teratas sebagai realitas objektif harus
mampu diterjemahkan sebagai realitas subjektif. Realitas subjektif berupa
perintah pengamanan terhadap presiden ketika melakukan kunjungan ke
Sumatera Barat. Ketika perwira melakukan tugasnya maka dia akan membekali
anak buahnya dengan fasilitas pendukung mulai dari alat transportasi, logistik,
dan kebutuhan lainnya.
6. Tanggung Jawab Perwira dan Keahlian Perwira dalam Realitas
Objektif
Pada topik tanggung jawab perwira subjek penelitian mengemukan
perbedaan terutama perwira berkarir sebagai staff atau kewilayaan dan perwira
yang lahir dari operasi perang. Bagi yang berkarir sebagai staff kewilayaan
79
tanggung jawab perwira adalah mengayomi aggotanya, melaksanakan tugas
dengan baik sesuai program kerja dan keahlian. Tanggung jawab merupakan
konsekuensi logis dari keahlian. Kesadaran bahwa keahlian tidak bisa diterapkan
semena-mena muncul karena adanya rasa tanggung jawab untuk memberikan
keamanan militer kepada negaranya.
Sedangkan bagi perwira yang ditempatkan di operasi perang seperti
dikatakan Mayor Dekki Sujatmiko :
“Keahlian seorang pewira militer tempur adalah pertama memilihara fisiknya tetap kuat karena naik turun gunung dan jangan sampai menjadi beban anggota dalam pertempuran, kedua intelegensi adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan yang bersifat terencana ataupun situasional, ketiga pengetahuan adalah baik militer seperti mendapatkan data akurat tentang keberadaan musuh, keempat kepemimpinan yaitu kemampuan berbaur dengan pasukan untuk keberhasilan pertempuran. Keahlian- keahlian perwira tempur dasarnya adalah pendidikan dan berkembang oleh pengalaman. Sedangkan tanggung jawab perwira adalah menyelesaikan tugas dengan selamat sehingga seluruh anggota bertemu keluarganya”.Mayor Dekki Sujatmiko adalah perwira tamatan Wamil yang langsung
ditugaskan di wilayah operasi yaitu Aceh selama 10 tahun, pengalaman tempur
pertamanya ketika mengawal objek vital Exxon Mobil, hari pertama mengalami
tujuh kali kontak senjata, pertama kontak senjata panik dan binggung, kontak
senjata kedua mulai bisa bertindak, menurut penuturan Mayor Dekki Sujatmiko:
“Pada kontak senjata pertama saya hanya diam dan tiarap tidak tahu apa yang dilakukan. Pada kontak senjata kedua saya panggil sersan yang terbiasa kontak senjata dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), saya tanya apa yang harus dilakukan, sersan tersebut menjawab pasukan dibagi pertama untuk kontak senjata, kedua mencari posisi musuh, ketiga melebar kekanan untuk bisa menemukan musuh, keempat ada anggota yang menjaga kendaraan dan logistik”Subjek penelitian menceritakan pada kontak senjata ketiga sampai
seterusnya terbiasa karena pengalaman. Keberhasilan tugas Mayor Infantri Dekki
80
Sujatmiko setelah ikut pelatihan Rider (pasukan gerak cepat) di Kopassus dan
ditugaskan kembali ke Aceh. Sedangkan tanggung jawab perwira secara
kewilayaan menurut Letkol Suherman adalah
Tanggug jawab perwira keberhasilan tugas, pembinaan anggota dan personil masing sesuai program kerja masing-masing yang telah ditetapkan, seperti saya sebagai kasi pers program kerjanya adalah membantu komandan (Damrem) untuk pembinaan personil, penempatan dan lain-lain.
7. Penafsiran Perwira Menengah terhadap Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 Terhadap TNI sebagai Realitas Subjetif
Dalam pemaparan sebelumnya telah diuraikan jenis-jenis realitas objektif
dunia sosial kemiliteran yang masuk ke dalam kesadaran subjek penelitian,
selanjutnya penulis memaparkan realitas subjektif yang ada dalam dunia
kemiliteran, berdasarkan pengalaman dari subjek penelitian yang diwawancarai.
Pemahaman tersebut dari proses internalisasi yang dilakukan subjek
penelitian, dari sudut pandang realitas subjektif dalam realitas sosial kemiliteran
merupakan media bagi subjek penelitian untuk melakukan eksternalisasi. Dalam
hal ini proses internalisasi dan proses eksternalisasi itu sesungguhnya terjadi
dalam kesadaran subjek penelitian secara bersamaan. Antara realitas sosial
kemiliteran dengan subjek penelitian memiliki keterkaitan dialetik, keterkaitan
dialetik tersebut terjadi disaat yang tepat.
Cooley dalam Effendi (2009:63) mengatakan bahwa hubungan dialetik
inilah disebut “looking glaas self” yang menghasilkan perasaan diri (sense of self),
unsur utama perasaan diri adalah citra diri (self image) dan harga diri (self
81
esteem). Perasaan diri inilah yang sangat mempengaruhi pembentukan jati diri
(self identiti). Konsep-konsep di atas ketika diturunkan dengan fokus penelitian
adalah konsep-konsep tentang profesionalisme militer bersumber dari pandangan
militer terhadap diri mereka sendiri dan penafsiran prajurit TNI itu memandang
atau membuat penilain terhadap dirinya sendiri sebagai realitas sosial.
Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sudah membentuk TNI
kepada TNI yang profesional seperti yang disampaikan oleh subjek penelitian
Letkol Suherman M.Si
“Menurut saya undang-undang nomor 34 tahun 2004 sudah membentuk militer ke arah profesionalisme seperti kenaikan anggaran militer dan pembelian alutsista. Dan keahlian sesuai dengan satuan-satuannya”
Kenaikan anggaran militer secara keseluruhan bisa terlihat dalam postur
anggaran
82
Sumber Jurnal Indonesia Review Reformasi Sektor Kemananan Volume I, Agustus 2013
Disisi lain implikasi dari undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI,
adanya kejelasan wewenang tentara sehingga tidak tumpang tindih dengan
lembaga lain. Sebelum dikeluarkannya undang-undang nomor 34 tahun 2004
tumpang tindih kewenangan TNI dengan kepolisian seperti yang sampaikan oleh
Mayor Isnaini
“Setelah diterapkan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI maka wewenang TNI dan Polri menjadi jelas dan tidak tumpah tindih kewenangan, tentara mempunyai kewenangan dibidang pertahanan dan polisi mempunyai kewenangan dibidang keamanan. Dulu ketika ada maling ketangkap oleh masyarakat dilaporkan di Koramil atau polisi, tetapi kalau kejadiannya sekarang jelas masyarakat melapor ke polisi, TNI bisa turun tangan ketika masalah keamanan kalau permintaan resmi (tertulis) dari kepolisian meminta bantuan TNI”.
Hanya pada keadaan darurat saja tentara bisa mengambil fungsi polisi
dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Seperti yang disampaikan oleh Mayor
Isnaini:
“TNI bisa ikut campur karena keadaan darurat, seperti kejadian di Sumbawa ketika kantor polisi akan dibakar oleh masyarakat. Penyebabnya ada beberapa masyarakat di tahan polisi karena demontrasi keperusahaan Newmont. Diantara demontran yang ditangkap ada yang sakit. Demontran yang sakit di antar ke rumah sakit oleh polisi dan meninggal. Menurut polisi meninggalnya anggota masyarakat di rumah sakit, tetapi dokter rumah sakit mengatakan sudah meninggal ketika diantar. Masyarakat berasumsi bahwa polisi yang membunuh demontran yang ditangkap. Lalu masyarakat menyerang ke kantor Polres, polisi yang ada di Polres menembak masyarakat masyarakat. Penembakan tersebut membuat masyarakat makin marah lalu menyerbu polisi, dan akhirnya polisi terdesak. Dengan kejadian tersebut Bupati menelpon minta bantuan kepada saya (TNI). Akhirnya TNI menduduki Polres tetapi tanpa senjata hanya bermodalkan pakain lengkap dan tameng untuk mengamankan. Hal ini saya lakukan karena saya tidak ingin ketika terjadi tembak menembak antara polisi dan masyarakat nanti
83
tertuduh adalah TNI. Bupati berpendapat mempunyai dasar untuk memerintah TNI karena dia kepala daerah, lalu bupati menelpon Kasad dan Kapolda bahwa Bupati yang bertanggung jawab dalam meminta TNI ikut campur ketika terjadi konflik antara polisi dan masyarakat, pada kejadian tersebut ada petinggi polisi yang tersinggung karena peran kepolisian di ambil oleh tentara, tetapi akhirnya polisi berterimah kasih pada TNI AD”
Diagramnya TNI Bisa Ikut Campur Masalah Keamanan
Keadaan Darurat
BupatiMeminta Bantuan TNI
Bupati/ WalikotaBertanggug Jawab
Kasad Kapolda
TNI masih menggunakan model pembacaan internal security dan bukan
external security Ancaman yang dilihat masih didominasi ancaman internal
84
ketimbang ekternal, sehingga pola pengembangan cenderung berorientasi gelar
kekuatan internal. Hal ini bisa dilihat dari pengembangan postur pertahanan
negara yang di buat Dephan dengan Peraturan Menteri Pertahanan No
PER/24/M/XII/2007 dan dituangkan dalam Postur Pertahanan Negara 2008.
“Dinamika dan kecenderungan lingkungan strategis internasional, kawasan dan regional senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan pada tataran nasional. Isu demokratisasi berindikasi menurunnya rasa kebangsaan; isu otonomi daerah berdampak negatif timbulnya egosektoral dan kedaerahan yang primordialistis. Isu sentral lainnya pemulihan krisis finansial global; Kelangkaan energi, kegiatan ragam ilegal; Masih terdapat fenomena keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan dan kemiskinan, berimplikasi terhadap timbulnya kesenjangan dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat. Prediksi ancaman yang mungkin timbul berkaitan dengan : permasalahan perbatasan, separatis, terorisme, radikalisme, kejahatan transnasional dan konflik komunal/horizontal serta bencana alam. Tahun 2011 merupakan tahun kedua dari Rencana Strategis Pertahanan Negara (Renstra Hanneg) Tahun 2010-2014, dalam rangka melanjutkan pembangunan struktur dan postur pertahanan negara. Strategi pembangunan pertahanan militer diprioritaskan secara konsisten untuk pembangunan mewujudkan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) sesuai sasaran strategi yang telah ditetapkan. Strategi pembangunan pertahanan militer diprioritaskan untuk pemberdayaan industri pertahanan nasional, pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut, peningkatan rasa aman masyarakat, modernisasi deteksi dini keamanan nasional, dalam rangka pembangunan standard detterence.”55
Sedangkan menurut Mayor Dekki Sujatmiko bahwa undang-undang
nomor 34 tahun 2004 tentang TNI implikasinya adalah:
“Dulu tentara ikut-ikut memenangkan Golkar, sekarang tidak lagi, TNI tidak boleh jadi alat kekuasaan, ketika TNI menjadi alat kekuasaan pasti akan dijauhi oleh rakyat.
Undang-undang TNI nomor 34 tahun 2004 Militer kembali pada fungsi tugas
utama sebagai alat pertahanan negara, konsekuensinya militer tidak dibenarkan
55 Menteri Pertahanan,Kebijakan Perencanaan Pertahanan Negara 2011, (Jakarta:Kemhan) hal 5
85
menjadi alat kekuasaan politik tertentu seperti berpihaknya kepada Golkar.
Ketidakterlibatan TNI dipolitik menjadi sorotannya, karena menurut subjek
penelitian politik hanya membebani TNI karena tidak semua tentara menyukai
politik. Bagi subjek penelitian yang lama bertugas di daerah konflik kesiapan dan
kemampuan Tentara yang dibutuhkan dalam menghadapi perang yang menjadi
titik fokusnya. Militer harus netral dari politik, tidak boleh terlibat dalam politik
karena keterlibatan semacam itu akan menjauhkan mereka dari profesionalisme.
8. Kesejahteraan Pribadi Versus Kesejahteraan Lembaga sebagai Realitas Subjektif
Topik ini menarik untuk dibahas karena berdasarkan wawancara dengan
informan mereka merasakan kenaikan pendapatan ketika undang-undang nomor
34 tahun 2004 seperti yang disampaikan oleh informan Mayor Destrio Elvano:
“Dibandingkan dengan tentara dulu atau sebelum dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, sekarang secara kesejahteraan lebih baik walaupun tidak mewah, di Malaysia setingkat Prada gajinya 6 juta rupiah perbulan, Mayor seperti saya sekitar 40 juta, tetapi kita bersyukur itulah kemampuan negara kita”Mayor Dekki Sujatmiko mengatakan bahwa:
“Waktu tahun 2000 gaji pokok saja masih 900.000 rupiah padahal saya perwira tempur di wilayah konflik yaitu Aceh, setelah dikeluarkan undang-undang nomor 34 tahun 2004 kesejahteraan prajurit makin membaik walaupun belum cukup, sekarang rata-rata perbulan gaji pokok ditambah tunjangan berkisar 5,6 juta per bulan dengan pangkat mayor menjabat sebagai Pasi Pers”
Dompet Prajurit TNI: Prada 1.7 juta, Kolonel 5,6 juta56
No Pangkat Masa Kerja Penghasilan rata-rata
56 M. Rizal Maslan, Dompet Prajurit TNI: Prada 1.7 juta, Kolonel 5,6 juta, (Jakarta:11) Detik
86
1 Prada 0 tahun 1.792.7642 Serda 0 tahun 2.000.0643 Letnan dua 0 Tahun 2.642.3644 Kopral dua 15 tahun, menikah,dua anak 2.294.0345 Sersan Mayor 15 tahun, menikah,dua anak 2.605.0266 Mayor 15 tahun, menikah,dua anak 4.001.5827 Kopral Kepala 30 tahun, menikah,dua anak 2.533.6628 Pelda 30 tahun, menikah,dua anak 2.998.7829 Kolonel 30 tahun, menikah,dua anak 5.610.654
Dalam pemberitaan media juga terungkap bahwa kenaikan pendapatan
tentara seperti yang diberitakan Vivanews.com:
“Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 72 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), disebutkan tunjangan kinerja TNI terdiri atas 19 kelas jabatan. Kelas jabatan tertinggi atau 19 mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp29,22 juta. Untuk kelas di bawahnya yaitu ke-18 sebesar Rp21,64 juta, kelas 17 (Rp17,47 juta), dan kelas 16 mendapat tunjangan Rp12,94 juta. Sementara itu, untuk kelas jabatan di tengah-tengah seperti kelas jabatan 9 mendapatkan tunjangan kinerja Rp2,24 juta. Dan untuk kelas jabatan terendah mendapat remunerasi Rp924 ribu untuk kelas jabatan 2. Selanjutnya, menurut Peraturan Presiden No. 73/2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian Negara RI mendapatkan tunjangan tertinggi sebesar Rp21,3 juta di kelas jabatan 18. Untuk kelas di bawahnya yaitu kelas 16 sebesar Rp16,21 juta, kelas 15 (Rp8,57 juta), dan kelas 14 sebesar Rp6,23 juta. Untuk kelas di tengah-tengah atau kelas 8 mendapatkan tunjangan sebesar Rp1,45 juta dan kelas paling rendah atau ke-2 mendapatkan tunjangan kinerja Rp553 ribu.”57
Dibalik kesejateraan personil membaik dijajaran TNI AD khusus
Makorem 032 Wirabraja, namun yang miris adalah keadaan Makorem sebagai
lembaga TNI AD. Ketika masuk ke lembaga tersebut dari luar memang terlihat
rapi, bersih dan catnya yang selalu baru. Tetapi ketika masuk mulai dari ruangan
ke ruangan, dari fasilitas ke fasilitas, dari peralatan dan perlengkapan diketahui
bahwa ada fakta miris di sana.
57 Vivanews.com didown load 03-04-2013
87
“Kendaraan operasional di atas 30 tahun, ada bencana atau musibah kita yang turun tangan duluan karena kewajiban (operasi militer selain perang).”Berdasarkan observasi penulis yaitu bagian paling belakang Makorem
tempat truk-truk tersebut dari sekilas saja memang truk-truk tersebut sudah
terlihat tua dilihat dari modelnya walaupun catnya kelihatan baru yaitu hasil cat
tangan dengan kuas. Tidak layaknya truk-truk sebagai alat tranportasi TNI
membuat personil TNI tersebut khawatir dan cemas kalau menjalankan tugas dari
Makorem 032 Wirabraja ke luar daerah seperti yang sampaikan oleh Mayor Inf
Dekki Sujatmiko
“Berpergian jarak jauh atau keluar daerah seperti contoh ke Solok khawatir dan cemas juga apalagi kalau banyak tanjakan takut los karena tenaga truknya tidak kuat lagi.”Lembaga militer sebagai lembaga negara harus difasilitasi secara layak
karena militer juga mempunyai tugas fungsi yang jelas baik sebagai operasi
militer untuk perang maupun operasi militer selain perang salah satunya adalah
alat transfortasi yaitu truk militer. Truk-truk tersebut berjumlah 14 buah truk ½ T
dan 4 truk ¾ T58, namun yang bisa jalan hanya dua buah truk. Truk 2 buah ini bisa
berjalan karena sistem kanibal yang lakukan dengan 18 truk secara keseluruhan.
Sebagai pejabat negara perwira-perwira menengah yang menjabat pada
posisi-posisi tertentu juga mendapatkan fasilitas tertentu seperti mobil dinas,
dilihat dari susunan personel dan perlengkapan mobil dinas model sedan ada
sekitar 7 buah dan Jeep sekitar 10 buah semua kendaraan dinas di parkir rapi di
dibagian belakang Makorem. Berdasarkan observasi penulis bahwa kendaraan-
kendaraan tersebut sudah tua dan kumal, mungkin karena tidak pernah dipakai
lagi, alasan kendaraan dinas ini tidak dipakai lagi adalah :
58 Syaiful Rizal, lampiran Peraturan Kasad daftar susunan personel dan perlengkapan, (2008)
88
“Sebagai perwira menengah yang mejabat dilingkungan TNI AD Makorem 032 Wirabraja kami diberikan mobil dinas tetapi mobil dinas bisa jalan tetapi sudah tidak layak jalan, daripada mogok di tengah perjalananan lebih baik memakai mobil sendiri.”Selama penulis melakukan penelitian disana bahwa pejabat-pejabat
Makorem yang umumnya adalah perwira menengah tidak memakai mobil dinas
tetapi mobil sendiri. Kadangkala menurut informan komandan Korem juga
memakai mobil pribadi untuk perjalanan jauh menurut Mayor Destrio:
“Mobil komandan Korem itu adalah Izuzu Phanter pengadaan 2005”
Berbagai alasan dikemukakan oleh subjek penelitian mulai dari tidak
adanya anggaran dan militer tidak lagi berbisnis. Mobil dinas komandan Korem
tersebut tidak layak lagi sebagai mobil dinas komandan Korem 032 Wirabraja
karena ketika ada tamu dari Jakarta atau lainnya, mobil tersebut tidak bisa
mengikuti rombongan karena keterbatasan kemampuan mobil tersebut.
Perwira menengah di Korem 032 Wirabraja mempunyai ruangan sendiri
karena memangku jabatan-jabatan struktural seperti komandan Korem, Kasi dan
Pasi Pers, staff khusus komandan, atau Pasi teritorial. Ketika masuk keruangan
pejabat korem ini yang kelihatan marwahnya hanya ruangan komandan korem,
sedangkan ruangan kasi-kasi terlihat sederhana, sedangkan ruangan pasi-pasinya
kurang layak sebagai ruangan pejabat setingkat provinsi. Ketidak layakan ini
bukan karena pejabat harus mewah tetapi kelayakan sebagai institusi negara.
Untuk membuat nyamannya ruangan kerja salah seorang informan mengatakan
yaitu Mayor Destrio
“Menpergunakan uang sendiri, bisa dari gaji atau keuangan pribadi komandan untuk membeli AC dan kursi tamu”
89
9. Karir Terbaik Militer Putra Daerah Sumatera Barat Berakhir di
Bintang 3
Dari hasil wawancara dengan subjek penelitian adalah untuk mencapai
pangkat tertinggi di TNI AD (Kasad) maka harus dimiliki adalah :
a. Kompetensi Pribadi
Untuk mencapai jabatan diTNI AD khususnya harus memiliki kemampuan
yang baik dan selalu memperbaiki kualitas pribadi. Salah satu penilaian terhadap
kualitas pribadi terlihat dari penugasan terhadap personil tentara tersebut dan
keberhasilan tugas seperti yang disampaikan oleh Mayor Inf Dekki Sujatmiko
“Karir militer yang sampai ke perwira tinggi dan mejabat dikemiliteran biasanya dilihat dari karir militernya yaitu pernah menjabat disatuan tempur (wilayah konflik), Kewilayaan, dikirim keluar negeri dan di lembaga pendidikan” Untuk mencapai pangkat kolonel dari pangkat letnan dua di TNI AD
harus menempuh beberapa kali pendidikan yaitu Suslapa 1, Suslapa 2, Seskoad,
dan Sesko TNI. Setelah itu baru mendapatkan kesempatan menjadi letnan
jenderal sampai Jenderal bintang 4 dengan menjabat pada posisi tertentu seperti
komandan Kodam, Kasad atau di Mabes TNI. Menurut Kolonel Inf Amrin bahwa
kenapa orang Minang Kabau atau Sumatera Barat belum ada yang memimpin TNI
AD (Kasad) atau mencapai Jenderal bintang 4 adalah:
“Tidak ada orang Sumatera Barat memimpin TNI dan hanya sampai bintang tiga (Brigjen) adalah masalah kualitas, saya sudah 27 tahun dinas tidak mendengar dari pimpinan pusat atau kawan-kawan di militer bahwa orang Sumatera Barat tidak bisa jadi pimpinan TNI karena dikaitkan dengan masalah asal daerah dan PRRI”
Menurut subjek penelitian kualitaslah yang menentukan karir seorang
tentara bukan pada asal daerah ataupun kejadian masa lalu. Menurutnya belum
90
ada kualitas orang Sumatera Barat yang mampu sampai ke jenderal bintang 4,
faktanya orang Sumatera Barat hanya sampai bintang 3 brigadir jenderal.
b. Rekomendasi Sosial Kemasyarakatan
Putra daerah Sumatera Barat belum mencapai pangkat tertinggi di militer
yaitu jenderal bintang 4 karena tidak adanya rekomendasi dari masyarakat baik
secara bersama maupun secara individu. Menurut Mayor Destrio Elvano:
“Korem di Sumatera Barat harus menjadi Kodam, karena membawahi 10 Kodim dan 2 satuan tempur dan wilayah yang luas. Karena biasanya satu Korem membawahi 4 atau 5 Kodim, dan 2 Korem layak menjadi satu Kodam. Ketika ada komandan Korem berasal dari Sumatera Barat maka dukungan dan rekomendasi dari masyarakat menjadi penting, seperti contoh Kapolri Bintang satu, Laktamal bintang satu harusnya komandan Korem bintang satu. Wilayah Laktamal lebih kecil dan anggotanya juga sedikit. Ketika ada keadaan darurat dan bencana yang bertanggung jawab adalah komandan Korem. Ketika ada desakan dari masyarakat maka komandan Korem bisa bintang satu atau menjadi Kodam, dari kami (tentara) tidak mungkin desakan itu karena kami sebagai tentara harus menerima apa adanya dan tidak boleh protes karena begitu dogmanya.”
Menurut subjek penelitian bahwa Makorem 032 Wirabraja mempunyai
wilayah kerja yang luas tetapi yaitu sepuluh Kodim dan 2 satuan tempur, menurut
subjek penelitian ini sudah layak dijadikan Kodam, sehingga akhirnya
mendapatkan fasilitas militer sesuai dengan ketentuan Kodam. Dengan adanya
putra daerah yang menjadi komandan Makorem sebenarnya adalah kesempatan
untuk meminta ke pusat (Kasad atau Pangab) oleh masyarakat dan tokoh
masyarakat menjadikan Kodam sehingga juga membantu karir putra daerah.
Kapolda (kepala kepolisian) dan Laktamal adalah jabatan yang setingkat
memiliki pimpinan perwira tinggi Letnan Jenderal atau bintang satu sedangkan
komandan Korem hanya kolonel. Seharusnya dengan wilayah yang setara pangkat
91
yang memimpin harusnya sama sehingga ada kesetaraan. Namun subjek
penelitian melihat bahwa masyarakat Sumatera Barat tidak mempunyai dukungan
terhadap pengusulan permasalahan Makorem menjadi Kodam ataupun dukungan
terhadap putra daerah yang berkarir di militer. Subjek penelitian tidak bisa
melakukan ini karena tentara harus patuh dan taat pada keputusan pimpinan.
Hal ini ditambahkan oleh komandan Korem yaitu Kolonel Drs Amrin
mengatakan bahwa :
“Rekomendasi dari daerah bisa membantu, masyarakat dan tokoh masyarakat kompak meminta ke pusat putra daerah menjadi pimpinan TNI”
Menurut subjek penelitian bahwa masyarakat secara organisasi
kemasyarakatan dan pribadi tidak ada mendukung sama sekali, masyarakat
Sumatera Barat atau Minangkabau bersikap tidak peduli. Ketika ada putra daerah
Sumatera Barat yang memiliki jabatan-jabatan strategis di pusat kekuasaan juga
tidak ada kepeduliannya. Seperti Gamawan Fauzi menteri Dalam Negeri juga
tidak peduli terhadap Korem 032 Wirabraja atau putra daerah yang berkarir
dibidang militer.
c. PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
Selain masalah kompetensi pribadi dan tidak adanya rekomendadi sosial
kemasyarakatan bagi sebahagian perwira menengah di Korem 032 Wirabraja
tidak adanya orang Sumatera Barat mencapai pangkat Jendral penuh atau bintang
4 karena menurut Mayor Destrio Elvano
Dengan adanya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), mungkin menyebabkan putra Sumatera
92
Barat tidak mendapatkan rekomendasi menjadi bintang 4, karena peristiwa PRRI sebuah legenda
Menurut subjek penelitian peristiwa PRRI adalah sebuah peristiwa besar
yang menguncang Indonesia yang berpusat di Sumatera Barat. Peristiwa PRRI
bagi pemerintah pusat adalah pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi di
Sumatera dan Sulawesi juga merupakan pemberontakan yang paling berbahaya,
karena mendapat dukungan dari pihak Amerika dan Inggris59. Sedangkan bagi
masyarakat Sumatera Barat PRRI untuk mencapai otonomi daerah dan tindakan
mereka sesungguhnya untuk mempengaruhi karakter Republik60 yang sentralistik.
Dengan adanya peristiwa PRRI khusus bagi putra daerah Sumatera Barat yang
berkarir bidang militer memutuskan karir mereka militer secara keseluruhan
karena umumnya perwira militer yang berasal dari Minangkabau terlibat PRRI.
Pemerintah pusat pada waktu itu mengambil kebijakan mendatangkan
pejabat dan tentara Jawa tumpah ke sini (Sumatera Barat) selama dan sesudah
pemberontakan... dengan orang Jawa menduduki hampir semua pos senior di
kantor gubernur (Gubernur orang Minang) militer dan kepolisian, orang Sumatera
Barat melihat diri mereka sebagai warga negara kelas dua61. Dan Zed dan
Chaniago dalam Kahin (2005:395) mengatakan bahwa Gubernur mencatat bahwa
tahun 1971, hanya lima belas orang dari 100 perwira militer di provinsi ini
(Sumatera Barat) dengan pangkat Mayor keatas putra daerah Sumatera Barat.
59 Lihat Audrey Kahin dan George Mc. Turnan Kahin. Subversi Politik Luar Negeri, Pen. RZ. Leirissa, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2000), hal. 222. ; R.Z. Leirissa, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1991), hal 217 dan 92.60 Ibid 26561 Ibid 360
93
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini telah menemukan adanya realitas sosial yang khas dalam
kehidupan perwira menengah militer militer di Korem 032 Wirabraja yang bisa
disebut realitas sosial kemiliteran. Bagi individu-individu perwira menengah di
Korem 032 Wirabraja realitas sosial kemiliteran mempunyai dua makna realitas
objektif dan makna realitas objektif. Realitas objektif sebagai internalisasi yang
membatasi,menentukan, bahkan memaksa diri perwira menengah di Korem 032
Wirabraja harus berprilaku (berfikir, bersikap, dan bertindak) tertentu, yaitu pola
kelakuan seorang perwira TNI. Sedangkan makna selanjutnya adalah makna
realitas subjektif yaitu makna yang ditafsirkan sendiri oleh perwira TNI sebagai
aktor sosial. Maka dalam pemahaman ini perwira militer memiliki makna ganda
dalam menjalankan fungsi dan status sosialnya. Realitas subjektif militer
terbentuk oleh realitas objektif yang mereka terima.
Realitas objektif kemiliteran dibentuk oleh pengalaman masa anak-nak dan
remaja, perjalanan karir yang terlihat dari jenjang pendidikan militer, dan masa
94
tugas, jenjang pangkat, dan penugasan-penugasan. Semakin tinggi pendidikan
militer, semakin lama masa tugas, semakin tinggi pangkat, semakin banyak
penugasan-penugasan maka semakin dalam realitas objektif di dalam diri perwira
menengah tersebut.
Realitas objektif ini bisa diterangkan dalam tiga fase, pertama fase sebelum
memasuki pendidikan militer (masa anak-anak dan remaja), kedua fase
pendidikan militer, dan ketiga fase bertugas atau dinas aktif.
Realitas objektif masa anak dan remaja ini terdiri dari pengalaman yang
berhubungan dengan kegiatan militer seperti TMMD dan keinginan memperbaiki
kehidupan. Realitas objektif masa pendidikan terdiri dari Pendidikan Pertama
(Dikma) Pendidikan Pembentukan (Diktuk), Pendidikan Pengembangan
(Dikbang), Dikbang terbagi dua yaitu Dikbang Spesialisasi (Dikbangspes) dan
Umum (Dikbangum).
Realitas objektif masa tugas atau militer aktif adalah Suslapa Satu dan
Dua, Pendidikan Kursus Kecabangan seperti dilatih untuk menjadi Infantri,
Kavaleri atau lainnya. Kursus Komandan Bataliyon (Sus Danyon), Kursus
Komandan Kodim (Sus Dandim) Kursus Komanda Korem (Sus Danrem),
sedangkan yang termasuk Dikbangum adalah Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (Sesko AD), Sekolah Komando TNI (Sesko TNI) dan Kursus
Lembaga Pertahanan Nasional (Sus Lemhanas).
Pemahaman mengenai profesionalisme militer terjadi dalam sebuah
dialektika yang kompleks, antara realitas sosial objektif kemiliteran di satu sisi
dengan realitas subjektif kemiliteran di sisi lainnya. Di antara dua realitas tersebut
95
banyak terjadi momen-momen yang berbarengan berupa internalisasi dan
eksternalisasi. Internalisasi terjadi dalam realitas objektif kemiliteran ke arah
realitas subjektif kemiliteran. Sejalan dengan hal tersebut eksternalisasi terjadi
dari realitas subjektif kemiliteran ke arah realitas objektif kemiliteran.
Realitas objektif kemiliteran adalah penciptaan dunia sosial TNI yang
dilakukan oleh TNI sendiri. Realitas objektif TNI ini tidak hanya berhubungan
dengan masalah pertahanan sebagai domain utamaTNI tetapi juga pengetahuan di
luar pertahanan, seperti masalah politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan
disebagainya. Pengetahuan ini didapat ketika perwira TNI melalui jalur
pendidikan karir atau kenaikan pangkat.
Proses eksternalisasi merupakan proses dimana perwira menengah yang tersosialisasi tidak sempurna secara bersama-sama akan membentuk makna-makna itu. Melalui eksternalisasi inilah sifat struktur sosial menjadi terbuka secara luas. Dalam realitas objektif ini banyak hal di sekitar perwira menengah yang sebenarnya tidak langsung saja menjadi makna, tetapi harus melewati proses yang cukup panjang yang melewati proses sejarah. Maka dari proses sosialisasi dan penegakan aturan orang akan menjadi anggota dalam suatu masyarakat. Seperti pemikiran dari Emile Durkheim yang coba di jelaskan oleh Peter L. Berger bahwa ”masyarakat sebagai realitas obyektif” yang memiliki kekuatan memaksa sekaligus sebagai fakta sosial.
Menurut Berger dan Luckman (1966:1) menyatakan, realitas terbentuk
secara sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk
menganalisa proses atau fenomena bagaimana hal itu terjadi secara nyata dan
memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan sehari-hari. Realitas
obyektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan
fenomena yang kita anggap berada di luar kemauan atau keinginan kita, karena
Peter L. Berger juga mencoba menelusuri pemikiran dari Karl Marx yang
menyatakan bahwa ”individu adalah produk masyarakat”, dan ”masyarakat adalah
96
produk manusia”. Perwira adalah produk masyarakat militer dan masyarakat
militer adalah produk manusia.
Perwira menengah sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas
objektif ditafsiri secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah
berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk
’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung
seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi
adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang
dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu atau
perwira menengah bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi
lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses
mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara,
sekaligus mengubah masyarakat.
Deskripsi mengenai proses dialektika yang terjadi antara realitas objektif
kemiliteran dengan realitas subjektif kemiliteran dapat di gambarkan dari dalam
skema
1 PE
2 Internalisasi MA
HA
3 Ekternalisasi MAN
97
Realitas Objektif Realitas Subjektif
1. Pendidikan
2. Doktrin
3. Penugasan
Tabel Interaksi Simbolik Dunia Kemiliteran di Korem 032 WirabrajaDialektika Eksternalisasi,
Objektivasi, dan Internalisasi Momen
Proses Fenomena
Internalisasi Identifikasi diri dengan dunia kemiliteran
Hasil pemahaman perwira menengah Korem 032 sebaga para elit militer yang bersumber dari Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib TNI, Kode Etik Perwira, Tridarma Ekakarma dan undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI baik secara tertulis maupun lisan. Dan menyesuaikan diri dengan simbol-simbol komando militer tentang pola kebiasaan para tentara dalam bersikap, berprilaku dan melakukan tugas.
Objektivasi Interaksi diri dengan dunia kemiliteran di Korem 032 Wirabraja
Penyadaran bahwa militer tidak sama dengan sipil. Karena itu semua elemen yang terkait dengan militer tersebut selalu dianggap keharusan. Penyadaran menjadi militer melalui pendidikan militer dan penugasan militer. Pendidikan tersebut adalah dari rekrutmen (Akmil, Sepa PK dan Secapa), dan pendidikan dalam menjalani peran sebagai Perwira militer aktif (Suslapa 1 dan 2 sampai Sesko TNI atau Sesko Lemhanas). Penugasan mulai tugas teritorial (tugas militer
98
selain perang) sampai penugasan di wilayah konflik (tugas militer untuk perang)
Eksternalisasi Penyesuaian diri dengan dunia kemiliteran di Korem 032 Wirabraja
Munculnya jati diri militer yang didasarkan atas pertimbangan dan perubahan peraturan perundang-undangan dan doktrin TNI, sehingga tindakan-tindakan para militer normatif melahirkan profesionalisme militer
Berdasarkan keterangan di atas profesionalisme militer merupakan salah
satu isu yang kontroversial dibandingkan isu yang ada pada umumnya dianggap
sebagai bagian dari kajian militer. Teori-teori mengenai profesionalisme militer
seperti yang ditulis oleh Samuel Huntington, Alfred Stefan, Morris Janowits, dan
lainnya berhasil mengidentifikasi beragam karakter profesionalisme militer, mulai
dari kemampuan mereka menguasai kemampuan teknis, membangun etika profesi
sampai mematuhi otoritas politik. Di Indonesia atau secara nasional
profesionalisme TNI menjadi isu yang ramai dibicarakan, kalangan militer
menafsirkan secara sempit dengan menitikberatkan pada netralitas politik atau
ketidakikutsertaan dalam politik praktis. Sedangkan profesionalisme militer tidak
muncul begitu saja melainkan hasil dari konteks sosial, kultural, dan politik yang
terjadi di dalam dan di luar militer.
Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara merupakan
bagian yang tidak terlepaskan dari upaya penegakan kedaulatan dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya pembangunan pertahanan
diarahkan untuk membangun Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang profesional
sebagai komponen utama fungsi pertahanan negara yang mampu melindungi,
99
memelihara, dan mempertahankan keutuhan NKRI. Pembangunan kekuatan dan
kemampuan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap
untuk mewujudkan pertahanan yang efektif, efisien, dan modern sehingga mampu
menindak dan menanggulangi ancaman yang datang dari dalam maupun luar
negeri. Nilai-nilai militer dibangun untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, nilai tersebut adalah nilai-nilai militer profesional
menekankan nasionalisme dan pengabdian nasional, Kemajuan dalam bidang
militer diperoleh melalui prestasi dan bukan keturunan atau unsur primodial.
Dengan kerja keras, anggota- anggota militer yang berbakat dapat maju terus lebih
cepat daripada anggotaanggota kelompok yang lain, teknologi militer yang
berkembang terus menjadi begitu amat kompleks memerlukan latihan yang lebih
luas dan mendalam, perjalanan, dan pengenalan-pengenalan nilai-nilai baru,
keefektifan dan prestise militer memerlukan penggelaran sistem persenjataan
modern. Karena dukungan mesin militer yang modern pada umumnya
memerlukan landasan industri yang kuat, perwira-perwira militer telah menjadi
pendukung utama bagi pembangunan industri atau industrialisasi.
Yang menjadi permasalahan adalah dinamika pada tingkat nasional akan
membawa cerita yang sama pada tingkatan lokal. Pemaknaan profesionalisme
militer di tingkat lokal khusus Korem 032 Wirabraja bisa untuk memahamami
jatidiri TNI dari dari TNI itu sendiri. Sehingga bisa menjadikan institusi militer
sebagai institusi untuk bina watak tentara agar demikian dapat memainkan peran
untuk transformasi jatidiri tentara yang bersifat nasional.
100
Sedangkan hambatan profesionalisme militer adalah masih terbatasnya
secara kuantitas maupun kualitas kemampuan peralatan pertahanan, khususnya
alat utama sistem senjata (alutsista) TNI menjadikan kemampuan pertahanan
negara belum mampu secara optimal menghadapi ancaman pertahanan dan
keamanan yang dapat mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kurang memadainya kondisi dan jumlah alutsista, sarana dan
prasarana, serta masih rendahnya tingkat kesejateraan anggota TNI merupakan
permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme
TNI.
Upaya-upaya menterjemahkan profesionalisme militer sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang menuntut untuk patuh dan taat pada undang-
undang dan peraturan yang ada. TNI telah melakukan dalam rangka meningkatkan
profesionalisme. Namun profesionalisme militer yang dikembangkan TNI bukan
diarahkan pada profesionalisme seperti yang kemukakan oleh Huntington.
Profesionalisme menurut Huntington bercirikan keahlian yaitu tingkat
ketrampilan dan pengetahuan militer yang tinggi; korporasi yang ditandai dengan
keterikatan kelompok; solidaritas korp yang kuat; serta tanggung jawab yang
mendalam dalam profesi, yang akhirnya menjadi karakter militer. Profesionalisme
militer yang dikembangkan adalah pendalaman dan penyesuain terhadap
perkembangan politik yang bisa dibuktikan dari berbagai pandangan yang
berkembang baik secara institusi maupun secara pribadi. Keengganan TNI untuk
secara total keluar dari peran sosial politik juga bisa dilihat dari upaya untuk tetap
mempertahankan keberadaan komando teritorial, padahal komando teritorial ini
101
merupakan jembatan penghubung tentara dengan persoalan di luar bidang
kemiliteran. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa profesionalisme
tentara yang dikembangkan bukan profesionalisme sebagaimana tentara berbuat,
namun lebih merupakan pendalaman terhadap peran-peran yang sudah dijalankan
sebelumnya denga menyesuaikan pada situasi dan kondisi.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penilitian yang diperoleh dari lapangan dan berdasarkan
telaah dari berbagai sumber yang telah dituangkan dalam pembahasan sebelumnya
maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemahaman manajemen kepemimpinan tentara di Korem 032 Wirabraja
bukan hanya manajemen dalam mengelola kekerasan semata atau
manajemen perang (operasi militer perang) tetapi juga terdapat
manajemen militer selain perang (operasi militer selain perang). Implikasi
dari pemahaman tersebut, maka tugas-tugas operasi militer selain perang
(teritorial) adalah memiliki derajat yang hampir sama dengan operasi
militer untuk perang. Sehingga pemahamman profesionalisme militer yang
ditawarkan oleh Samuel Huntington tidaklah sama dengan pemahanan
profesionalisme militer dalam realitas Korem 032 Wirabraja.
2. Profesionalisme militer di Indonesia umumnya dan Korem 032 Wirabraja
adalah profesionalisme setengah hati, baik dari pemerintah terhadap
102
militer maupun militer itu sendiri. Setengah hati profesionalisme militer
dari pemerintah, pemerintah tidak menyiapkan militer secara penuh untuk
perang mulai kemampuan personil, teknologi dan peralatan militer dan
masih dibebani dengan dengan kegiatan selain perang yang kadang kala
tidak hubungan dengan profesionalisme militer seperti Singkarak Go
Green. Dari militer sendiri profesionalisme militer setengah hati adalah
tugas kewilayaan atau teritorial masih menjadi domain utama militer.
Militer tidak mau menghapus peran teritorial, Penghapusan peran teritorial
akan membuat militer memfokuskan diri sebagai lembaga pertahanan
negara untuk perang.
Saran
1. Profesionalisme militer Indonesia pada umumnya dan Korem 032
Wirabraja tidak hanya pada tatanan konsep dan aturan tetapi pada tatanan
realitas, mulai dari perencanaan matang dan berakhir dengan pengangaran
yang sesuai dengan perencanaan yang berpedoman kebutuhan militer,
karena hari ini anggaran militer jauh dari kebutuhan militer, kemenangan
perang tidak lagi ditentukan oleh jumlah dan kualitas personil tetapi
kualitas personil, peralatan dan teknologi militer yang unggul. Kebutuhan
militer di Indonesia berdasarkan kebutuhan daerah operasi militer, pada
perang modern yang menjadi salah satu kunci kemenangan perang adalah
adaptasi dan fleksibelitas baik secara tekonologi militer ataupun dalam
strategi perang.
103
2. Lembaga militer Korem 032 Wirabraja harus diperbaiki baik secara
fasilitas lembaga ataupun secara teknologi militer yang teruji, terencana
dan menyesuaikan dengan perkembangan militer dunia. .
DAFTAR PUSTAKAAmos Perlmutter, 1985, Militer dan Politik, Jakarta, Rajawali PersAndi Widjajanto, 2005, Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, Jakarta. Anonim. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Tentara Nasional
Indonesia Pertahanan Negara dan Kepolisian Negara.Jakarta BP. Panca Usaha
Anonim, Rabu, 30 Mei 2012, Kasus Pemukulan Wartawan, DPR Panggil
Panglima TNI, Jakarta, Vivanews
Asren Nasution, 2003, Religiositas TNI Refleksi Pemikiran Jenderal Besar Soedirman. Jakarta. Prenada Media
Bacharuddin Jusuf Habibie, 2006, Detik-Detik Yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta. THC Mandiri
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara
Connie Rahakundini Bakrie, 2007, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Dewi Fortuna Anwar. 2004. Hubungan Sipil Militer Era Megawati. Jakarta. LIPI Danang Widoyoko dkk.Bisnis Militer Mencari Legitimasi, Jakarta, Indonesia
Corruption WatchE. Kristi Poerwandari, 2005 Pendekatan Kualitatif Penelitian Perilaku Manusia,
Perfecta LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2005Geger Riyanto.2011. Rezim Kasak-kusuk Para Jendral.Jakarta. Kompas.com 5
Juli 2011Gabriel Amin Silalahi, 2003, Metode Penelitian dan Study Kasus, Sidoarjo, CV,
Citra MediaHuntington P. Samuel.2003. Prajurit dan Negara Teori dan Teori Hubungan
Militer-Sipil. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.Hamdani Nawawi, 1996, Pengantar Metodologi Riset, Jakarta, Raja Grafindo
104
Persada
HT, 25 Sep 2012, Beberapa Kalangan Masyarakat di Sumbar Masih Menunggu
Mengenai Penuntasan Kasus BBM di Sumbar, Jakarta, Vivanews
Ibrahim Dt, Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minang Kabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang, Bukittingi, Kristal Multimedia
Idrus Hakimy, Dt, Rajo Pengulu, 1991, Rangkain Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
Ingo Wandelt, May 2009,Kamus Keamanan Komprehensif Indonesia: Akronim
dan Singkatan, Jakarta, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Jaleswari Pramodhawardani dan Mufti Makaarim, 2009, Reformasi Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, IDSPS dan DCAF
Kusnanto Anggoro, 2008, Pengantar Profesonalisme Militer, Profesinalisasi TNI Malang, UMM Press
Leo Suryadinata . 1992. Golkar dan Militer Studi Tentang Budaya Politik. Jakarta LP3S
Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (cet. XXI, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Lexi J. Moleong, 1992, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
LKP2M, 2005, Researc Book For LKP2M, Malang, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
Mansyur Alkatiri dkk. 1999, ABRI Masih Mendapat Kursi Besar di DPR Demi Kepentingan Para Elite ABRI Semata. Jakarta UMMAT No.30.IV/8 Februari
Marsekal TNI Djoko Suyanto. 2007, Menuju TNI Profesional Dan Dedikatif, Jakarta, Pusat Penerangan TNI
Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, 2000, Metode Penelitian Survai, Jakarta, Pustaka LP3S
Mathew B. Miles & A. Michael Huberman. 1992, Analisa Data Kualitatif. Jakarta, Universitas Indonesia
Moch. Insan Pratama, 2010, Skripsi: Dinamika Internal Kabinet Sjarir Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, Depok, Universitas Indonesia
Munadjir Effendi, 2008, Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Malang, UMM Press
_____________, 2009, Studi Fenomologi: Jati Diri dan Profesi TNI, Malang, UMM Press
Mestika Zed.2005. Giyugun Cikal-bakal Tentara Nasional di Indonesia. Jakarta. Pustaka LP3ES
105
Muhadjir Nung, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya
Moch. Insan Pratama, 2010, Skripsi: Dinamika Internal Kabinet Sjarir Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, Depok, Universitas Indonesia
Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, 2000, Proposal Penelitian di Perguruan tinggi, Bandung, Sinar Baru Algasindo
Nasirul Makhasin, 2002, Tesis, Implikasi Reposisi TNI Terhadap Pengembangan Karier Perwira Menengah Pada Komando Teritorial, Semarang, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Noeng Muhadjir, 2002, Metolodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin
Reid J.S Anthony. 1996. Revolusi Nasional Indonesi, Jakarta, Penebar SwadayaRitzer & Goodman. 2010. Teori sosiologi dari Teori sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir teori Sosial Postmodern. Cetakan kelima. Jakarta.: Kreasi Wacana Offset
Salim Said, 2006, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta,Pustaka Sinar Harapan
Soebijono. 1997. DWIFUNGSI ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia.Gajah Mada University Press.
Sanafiah, Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar dan Aplikasi”.MalangYA3 IKIP Malang
Saifullah, 2006, Metodologi Penelitian , Malang, Fakultas Syari’ahS. Nasution, 1982, Metode Researh Penelitian Ilmiah, Bandung, Jemmers Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan, Jakarta,
Rineke CiptaSoerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas
Indonesia PressSuwardi Endaswara, 2006, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:
Idiologi, Epistimologi, dan Aplikasi, Sleman, Pustaka WidyatamaSoejono dan Abdurrohnian, 1997, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Jakarta: PT Rieneka CiptaTim KontraS. 2003. Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan
Kontras Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta, KontraS_________. 2008, Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru
(1998- 2008), Jakarta, KontraSPerlmuter, Armos. 1985. Militer dan Politik, Jakarta, Rajawali PersPoloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Komtemporer.. Jakarta: PT. RajaGrafindo
PersadaPeter Britton . 1996. Profesionalisme Militer Indonesia persfektif tradisi-tradisi
Jawa dan Barat.Jakarta. LP3SPanglima TNI Djoko Santoso,2010, Doktrin Tentara Nasional Indonesia
Tridarma Ekakarma (TRIDEK), Jakarta, Markas Besar TNIVeeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial dan Hubungan
Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.
106
Yuddy Chrisnandi, 2005, Reformasi TNI Persfektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Jakarta, LP3s
107