Upload
pramuditya-harimurti-burhan
View
3.536
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para pendiri bangsa telah menyadari sejak awal bahwa Indonesia sebagai
kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi, sehingga ditampung dalam pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang
menyatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara”, secara eksplisit ayat ini menyatakan bahwa Negara
akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi. Selama pasal 33 UUD 1945 masih tercantum
dalam konsitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam
perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan.
Untuk itu pembinaan usaha diarahkan untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan.
Paling tidak terdapat 3 visi yang saling terkait yaitu visi dari founding fathers yang terdapat
dalam UUD, visi dari badan pengelola BUMN dan visi masing-masing perusahaan BUMN.
Visi ini juga harus diterjemahkan dalam ukuran yang jelas sebagai pegangan untuk
pembinaan.
Visi UUD mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pengelolaannya diarahkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Visi ini harus diterjemahkan dalam ukuran yang lebih rinci
dan kemudian dilakukan identifikasi jenis usaha yang masih perlu dikelola oleh negara,
sehingga dapat menghasilkan jenis BUMN yang masuk kategori public service obligation
atau PSO.
Sungguhpun suatu BUMN masuk dalam kategori PSO, pengelolaannya harus
didasarkan pada prinsip prinsip bisnis. Dalam hal ini harus ada perhitungan yang jelas, berapa
biaya produksi per unit yang efisien dan berapa banyak porsi biaya yang harus menjadi beban
fiskal dan atau subsidi silang. Kriteria manfaat yang diperoleh rakyat harus jelas dan terukur
sehingga dapat dihitung pula sumbangannya terhadap kemajuan tingkat kemakmuran
sebagaimana diamanatkan oleh founding fathers republik ini.
Selanjutnya, BUMN non-PSO harus diarahkan dan dibina menjadi perusahaan
komersial murni yang sebagian atau keselurahan pemilikan sahamnya oleh negara. Dengan
prinsip komersial ini, visi BUMN harus diarahkan menjadi perusahaan yang sustainable
[1]
dengan kinerja diatas rata-rata industri dan secara bertahap bisa berperan dari national player
menjadi global player.
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang
bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN
dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak
tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan
listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945,
seyogyanya dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi
BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan
lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan
kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan
perekonomian lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra
kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan
pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar
lokasi BUMN.
Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum
belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih
sangat rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk
melunasi pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Dan
salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah
dengan melakukan privatisasi BUMN.
Namun demikian, privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus
tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat
karena terus merugi. Namun ada pula kalangan masyarakat yang berpendapat bahwa
pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat
mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana dampak privatisasi BUMN
bagi perekonomian Indonesia?
[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Kondisi BUMN Indonesia
Kondisi BUMN yang menghadapi masalah keterbatasan dana internal menjadi sangat
bergantung kepada dana luar negeri. Sementara itu, untuk memperoleh dana luar negeri,
BUMN harus menempuh prosedur rumit dan biaya yang tinggi. Akibatnya investasi sarana
dan prasarana produksi barang dan jasa menjadi sangat terbatas, sehingga produktivitas,
pendapatan, dan kualitas produk yang dihasilkan BUMN tersebut menjadi rendah.
Hal ini menyebabkan BUMN tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen atau
bersaing di pasar. Arus kas (cash flow) yang dimiliki dan laba yang dihasilkan pun sangat
kecil, bahkan terkadang negatif. Di lain pihak, keterbatasan investasi untuk mengganti
peralatan yang aus dan tidak produktif mengakibatkan beban hutang dan biaya modal semakin
tinggi. Kondisi ini diperburuk dengan inefisiensi pengoperasian perangkat usaha yang telah
berusia tua tersebut.
Berbagai permasalahan yang dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya
berbagai permasalahan eksternal seperti: (1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2)
tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang tidak seimbang; (4) resiko politik; (5)
peraturan yang tidak stabil; dan (6) kurangnya tekanan untuk melakukan kegiatan secara lebih
efisien atau meningkatkan kemampuan teknologi. Kesemuanya itu menjadikan permasalahan
BUMN ibarat lingkaran yang tidak berujung pangkal (vicious-funding cycle).
Sesungguhnya pemerintah Indonesia sejak awal orde baru telah menerapkan prinsip-
prinsip pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdiri dari dekonsentrasi,
debirokrasi, dan desentralisasi. Prinsip-prinsip pengelolaan BUMN tersebut diatur melalui
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara menjadi Undang-
undang.
Pasca Reformasi, pengelolaan BUMN diatur dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1999 mengenai: (1) penataan BUMN secara efisien, transparan dan profesional; (2)
penyehatan BUMN yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (3) mendorong BUMN
yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum untuk melakukan privatisasi di pasar modal.
Untuk melaksanakan TAP MPR tersebut, diterbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
[4]
Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang peraturan pelaksanaannya diatur melalui Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri.
Meskipun peraturan perundangan yang diterbitkan oleh pemerintah bertujuan untuk
menciptakan iklim usaha yang sehat, baik bagi badan usaha milik pemerintah maupun
swasta, namun dalam prakteknya, BUMN banyak mendapatkan peluang untuk monopoli.
Monopoli yang diberikan kepada BUMN, menjadikan BUMN yang bersangkutan tidak
memiliki daya saing global. Padahal, globalisasi dan pasar bebas menantang manajemen
BUMN untuk melakukan beberapa kebijakan stratejik dalam rangka menciptakan efisiensi
operasi perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan diantaranya meliputi restrukturisasi usaha,
pengurangan jumlah karyawan, sistem pengendalian manajemen, dan beberapa kebijakan
stratejik lainnya. Salah satu alternatif untuk menciptakan efisiensi dan menumbuhkan daya
saing perusahaan adalah dengan melakukan penjualan sebagian kepemilikan atau pengalihan
kendali perusahaan kepada pihak swasta melalui privatisasi.
Salah satu manfaat nyata yang bisa dihasilkan dari privatisasi adalah terlaksananya
prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), yang meliputi
transparansi, kemandirian, dan akuntabilitas. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pra kondisi
untuk meningkatkan kinerja badan usaha dan merupakan kunci keberhasilan menciptakan
lingkungan bisnis yang sehat. Melalui penerapan prinsip-prinsip good corporate governance
dalam pengelolaan badan usaha, diharapkan semua pihak akan memiliki acuan yang sama
dalam pengelolaan usaha.
Memasuki era globalisasi, beberapa BUMN yang telah melakukan perbaikan
manajemen, khususnya efisiensi operasi, mampu menghadapi persaingan pasar. Langkah
perbaikan yang dilakukan meliputirestrukturisasi usaha, pengurangan jumlah karyawan,
penerapan sistem pengendalian manajemen, dan kebijakan strategis lainnya. Adapun BUMN
yang tidak melakukan perbaikan manajemen, menghadapi berbagai kesulitan, terutama
finansial. Sebagian BUMN mengalami kekurangan likuiditas bahkan untuk menjalankan
kegiatan rutin merekapun menghadapi permasalahan ini.
Guna mengatasi permasalahan yang dihadapi, sekaligus memperluas skala usaha agar
mencapai skala ekonomis, maka langkah yang ditempuh sebagian besar BUMN yang
berkinerja buruk adalah meningkatkan hutang perusahaan. Dapat diduga bahwa dengan tetap
menjalani operasi dengan biaya tinggi, dan dalam beberapa kasus diperburuk dengan
intervensi pemerintah yang berlebihan, maka kinerja BUMN tidak mengalami perbaikan.
[5]
Oleh karena itu diperlukan berbagai langkah alternatif untuk mempercepat proses
penyehatan BUMN terutama melalui penciptaan nilai (value creation) perusahaan. Hal
tersebut dapat dilakukan melalui: (1) restrukturisasi usaha, keuangan, manajemen, dan
organisasi; (2) merger dan akuisisi; (3) kerjasama antar badan usaha; (4) likuidasi, divestasi,
dan privatisasi; serta (5) spin-off atau pemisahan kegiatan perusahaan yang bersifat non-core
competence dan non-performance businesses.
Apabila kondisi politik dan pasar memungkinkan, maka program privatisasi
merupakan alternatif yang mempunyai dampak positif terhadap perwujudan good corporate
governance dan perbaikan kinerja BUMN. Karena pada umumnya BUMN yang telah
diprivatisasi mampu menghasilkan laba yang lebih besar.
2. Privatisasi
Sejak mulai dikenal pada awal tahun 1960-an, privatisasi terkesan sebagai program
yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah suatu negara yang hendak menata ulang
perekonomiannya. Di daratan Eropa, privatisasi diawali pada tahun 1961 oleh Kanselir
Jerman Barat, Konrad Adenaur, pada perusahaan mobil Volkswagen. Melalui penjualan
saham Volkswagen kepada publik, pemerintah Jerman Barat berhasil mengumpulkan dana
DM 1,2 milyar.
Namun demikian, tujuan utama privatisasi saat itu bukanlah untuk meningkatkan
penerimaan negara, melainkan untuk pemerataan pemilikan saham kepada masyarakat
(publik). Implementasi privatisasi di perusahaan mobil Volkswagen ini telah meningkatkan
jumlah pemilik saham dari 500.000 orang menjadi 3 juta orang.
Kebijakan pemerintah di bidang privatisasi mulai meningkat kembali sejak
keberhasilan pemerintah Inggris melaksanakan privatisasi sektor publik. Di bawah kendali
Perdana Menteri Margareth Tatcher, pemerintah Inggris antara lain melakukan privatisasi
British Telecom pada tahun 1984. Kebijakan privatisasi juga dilakukan oleh pemerintah
Jepang dengan menjual sebagian besar saham NTT (Nippon Telephone & Telegraph) kepada
publik. Program privatisasi khususnya sektor telekomunikasi, di beberapa negara berkembang
seperti di Amerika Latin dan Asia, sebagian besar mengacu kepada keberhasilan pemerintah
Inggris dan Jepang.
Terkait dengan peran pemerintah di dalam perusahaan negara, Savas (Privatization,
The Key to Better Government,1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan
mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas
[6]
yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Butler (1991), yaitu bahwa privatisasi adalah pergantian fungsi dari sektor publik
menuju sektor swasta, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebenarnya asumsi dasar
penyerahan pengelolaan pelayanan publik kepada sektor swasta adalah peningkatan efisiensi
penggunaan sumber daya. Privatisasi akan mengembalikan mekanisme pasar, sehingga
memungkinkan terjadinya efisiensi ekonomi.
Beberapa karakteristik privatisasi secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Perubahan peran pemerintah dari pemilik dan pelaksana, menjadi regulator dan
fasilitator kebijakan serta penetapan sasaran nasional maupun sektoral.
2. Para pengelola yang bertanggung jawab kepada pemilik baru, diharapkan mampu
mencapai sasaran perusahaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan, keselamatan
kerja, dan peraturan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Termasuk kewajiban pelayanan
masyarakat.
3. Pemilihan metode dan waktu pelaksanaan kebijakan privatisasi mengacu kepada
kondisi pasar dan regulasi sektoral.
Terdapat tiga metode privatisasi, yaitu: (1) penjualan langsung; (2) pelelangan; dan (3)
penawaran melalui tender. Sedangkan alternatif dalam menentukan struktur kepemilikan
perusahaan antara lain meliputi: (1) penjualan langsung kepada pembeli domestik; (2)
penjualan langsung kepada pembeli asing; (3) ekuitas diserahkan kepada pemegang saham;
dan (4) ekuitas dipegang oleh pemerintah.
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan
nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham
Persero. Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas
landasan hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait
serta sekaligus merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN.
Privatisasi bukan semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk
mengatur aktivitas ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat
membantu pemerintah dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN
sekaligus menjadikan BUMN lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di
dalam pengelolaannya sehingga membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam
perekonomian.
[7]
B. Analisis
1. Dampak Privatisasi BUMN di Indonesia
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan
pemerintah dan kontrol regulasi. Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju
pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih
kompetitif, dengan adanya jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan,
regulasi maupun subsidi. Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang
penting seperti tarif, tingkat nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut
kebijakan domestik, antara lain keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan
pajak dan regulasi yang adil, dan kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi
kemungkinan munculnya kasus perselisihan bisnis.
Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya
kepemilikan pemerintah kepada swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu
kelompok atau konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas
ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan jaminan
tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu
diperlukan perombakan hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat
membantu perkembangan dan menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan
dari kepemilikan pemerintah. Seharusnya program privatisasi ditekankan pada manfaat
transformasi suatu monopoli publik menjadi milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan
ekonomi dan politik. Dengan pengalihan kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan
pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan BUMN yang bersangkutan dapat ikut
melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para karyawan karena merasa ikut memilki
dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kinerja BUMN yang
sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan produktivitas karyawan yang berujung pada
kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an.
BUMN-BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero)
Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik
(Persero) Tbk., ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan
pergerakan pasar modal. Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan
privatisasi secara lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula
[8]
bahwa terdapat beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3
tahun pertama setelah diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT.
Kimia Farma (Persero) Tbk. Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai
sepenuhnya.
Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih
berbentuk penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh
dari hasil penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya
masuk ke dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka
mengembangkan usahanya.
Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah
memperoleh pendapatan penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak
kurang menguntungkan, karena dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk
melakukan berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana
segar yang cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya
terdahulu yang sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.
Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi
saham kepada pihak asing ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip nasionalisme. Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan terbangnya
keuntungan BUMN kepada pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.
2. Kondisi Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut
Indonesia adalah sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem
ekonomi yang demikian di Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Dalam
konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan
sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat. Demokrasi
ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran
individu-individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh
proses produksi dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian
Indonesia adalah kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai
pemandu pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus
dapat beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan produk-produk vital
[9]
yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga harus
berupaya memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber
pendanaan utama bagi pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini
akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah
pengelola sumber daya yang vital bagi hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat
merugikan rakyat jika BUMN jatuh bangrut atau pailit.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat
demokrasi ekonomi untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang
diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup
signfikan. Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme
Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang diberikan wewenang khusus untuk
mengelola sumber daya vital yang meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33
UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi
BUMN kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang
bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong
oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang
terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi
pihak asing, sehingga dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing,
bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan
antara lain adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu
privatisasi dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal,
penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan
saham BUMN kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN
oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham
BUMN kepada pihak karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan
sosial budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti:
1. Ukuran nilai privatisasi ;
2. Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
[10]
3. Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
4. Kondisi pasar ;
5. Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
6. Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah
dikemukakan di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah
penawaran saham BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau
karyawan. Pasalnya, dengan metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu
berarti akan ada pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini
kurang sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan
kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas
BUMN akan sangat berbahaya jika pihak yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk
kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan
jatuh ke tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan
demikian, maka akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia
melalui pemerataan saham pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh
manajemen atau karyawan, pemerataan pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan
kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan manajemen BUMN. Namun cara ini
masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN jatuh ke tangan pihak asing.
Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang
optimal. Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya
direstrukturisasi terlebih dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja BUMN yang
bersangkutan dapat mengalami peningkatan.
Landasan hukum privatisasi juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi,
tidak ada lagi kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada
kesepahaman antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan publik,
sehingga semuanya sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak positif bagi
kesejahteraan rakyat, sehingga kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.
Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena
sebenarnya, kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene
akan menentukan nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini dilaksanakan dengan baik,
[11]
maka akan mampu membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan
tercapai efisiensi dan perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang
optimal akan sangat membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah
dapat meminimalkan pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan
privatisasi BUMN akan memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN
sebagai pengelola bidang-bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital
tersebut untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD
1945.
[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fakta memang menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh swasta hasilnya
secara umum lebih efisien. Berdasarkan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa negara
lebih baik tidak langsung menjalankan operasi suatu industri, tetapi cukup sebagai regulator
yang menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menikmati hasil melalui penerimaan pajak.
Oleh karena itu, privatisasi dinilai berhasil jika dapat melakukan efisiensi, terjadi
penurunan harga atau perbaikan pelayanan. Selain itu, privatisasi memang bukan hanya
menyangkut masalah ekonomi semata, melainkan juga menyangkut masalah transformasi
sosial. Di dalamnya menyangkut landasan konstitusional privatisasi, sejauh mana privatisasi
bisa diterima oleh masyarakat, karyawan dan elite politik (parlemen) sehingga tidak
menimbulkan gejolak.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan ialah Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara
BUMN, semestinya mempersiapkan diri dalam rangka pergeseran peran dari penentu
kebijakan dan pelaksana kegiatan di BUMN menjadi fasilitator dan regulator kegiatan
BUMN.
[13]
DAFTAR PUSTAKA
http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa
http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/
apa_masalah_bank_bumn_dan_bkpm?
http://cafe-ekonomi.com/2009/05/restrukturisasi-dan-privatisasi-bumn
Hanggraeni ,Dewi. Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan
Kinerja?,Artikel dalam Manajemen Usahawan Indonesia No.6 Tahun 2009
Kwik Kian Gie, Gonjang-ganjing Ekonomi Indonesia, Jakarta :Gramedia Pustaka Utama,
1998
Puspopranoto, Sawaldjo.Manajemen Bisnis. Penerbit PPm : Jakarta,2006
[14]