Upload
ngonhan
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK (Macacanemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE
SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE INTRADERMAL
RANTI ASRYYUNI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBERINFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Profil Antibodi IgM dan IgGpada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue serotipe-3(DEN-3) melalui Rute Intradermal adalah karya saya dengan arahan dari komisipembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkanmaupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dandicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010
Ranti AsryyuniNIM B04060931
ABSTRACT
RANTI ASRYYUNI. Profile of Immunoglobulin M (IgM) and IgG Antibodies in Pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) Infected by Dengue Virus Serotype-3(DEN-3) by Intradermal Route. Under direction of JOKO PAMUNGKAS andRACHMITASARI NOVIANA.
The aim of this study was to detect IgM and IgG antibodies titer on plasmaof pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) which were infected with denguevirus sero (DEN-3) through intradermal route. Eighty four plasma samples werecollected from six animals for fourteen days in the study, i.e. on day 0 beforeinfection and followed by day 1 through day 13 post infection. The serological testused for detection of IgM and IgG titer was indirect ELISA using ELISA kit(HUMAN®, Germany). The results showed that IgM titer started to increase onday 4 or day 5 post infetion and reached its peak on day 9 post infection andstarted to decline afterwards. The IgG titer started to increase on day 6 or day 7post infection and continued to increase until day 13 post infection. These resultsin general showed that IgM titer increase occured earlier than IgG titer increase,and IgM titer was higher than IgG titer, and each individual animal had differentability with the humoral immune response against dengue virus serotype-3 (DEN-3) when primary infection was performed through intradermal route.
Keywords: IgM, IgG, plasma, indirect ELISA, intradermal route
RINGKASAN
RANTI ASRYYUNI. Profil Antibodi IgM & IgG pada Beruk (Macaca nemestrina)setelah Diifeksi Virus Dengue serotipe-3 (Den-3) melalui Rute Intradermal. Dibawah bimbingan JOKO PAMUNGKAS dan RACHMITASARI NOVIANA.
Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa titer antibodi IgM dan IgG padaplasma dari beruk (Macaca nemestrina) yang diinfeksi primer dengan virusdengue serotipe-3 (DEN-3) melalui rute intradermal. Penelitian ini menggunakandelapan puluh empat sampel plasma dari enam ekor beruk yang dikoleksiselama empat belas hari, yaitu pada hari ke-0 sebelum infeksi primer dan diikutihari ke-1 sampai dengan hari ke-13 pasca infeksi. Uji serologi yang digunakanuntuk memeriksa titer antibodi IgM dan IgG adalah uji ELISA tidak langsungdengan menggunakan ELISA kit (HUMAN®, Germany). Hasil pemeriksaanmenunjukkan titer IgM mulai meningkat pada hari ke-4 atau hari ke-5 pascainfeksi dan mencapai puncaknya pada hari ke-9 pasca infeksi dan menurunsetelahnya; sedangkan titer IgG mulai meningkat pada hari ke-6 atau hari ke-7pasca infeksi dan terus meningkat sampai hari ke-13 pasca infeksi. Secaraumum hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi primer titer IgMmeningkat lebih awal daripada titer IgG, titer IgM lebih tinggi dibandingkandengan titer IgG dan masing-masing beruk memiliki kemampuan responkekebalan humoral yang berbeda terhadap virus dengue (DEN-3) ketikadilakukan infeksi primer melalui rute intradermal.
Kata Kunci : IgM, IgG, Plasma, ELISA Tidak Langsung, Rute Intradermal
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atautinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPB.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK (Macacanemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE
SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE INTRADERMAL
RANTI ASRYYUNI
Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan padaFakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
Judul Skripsi : Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macacanemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3(DEN-3) melalui Rute Intradermal
Nama Mahasiswa : Ranti AsryyuniNIM : B04060931
Disetujui
Dr. drh. Joko Pamungkas, M.Sc Rachmitasari Noviana, SKHPembimbing I Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti KusumoriniWakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan atas segala karunia Allah SWT sehinggakarya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulanMaret 2009 dengan judul Profil Antibodi IgG dan IgM pada Beruk (Macacanemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui RuteIntradermal. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak.Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, Bapak Zakri Oktarinal danIbu Asmarni, serta kedua adikku (Harsy Tamimi dan Hifzhuzzilal) dan tidak lupapula kepada keluarga besar yang telah memberikan dorongan moral dan doanya.
Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Dr. drh. Joko Pamungkas,M.Sc. selaku pembimbing I dan Rachmitasari Noviana, SKH. selaku pembimbingII skripsi yang telah membimbing dan memberikan motivasi untuk menyelesaikanskripsi ini; drh. Muhammad Kusdiantoro, M.Si. selaku dosen pembimbingakademik yang senantiasa memberikan arahan selama menjalani masaperkuliahan di FKH IPB; drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS selaku dosen penilaiseminar; drh. Savitri Novelina, M.Si dan Dr. Drh. Muhammad Agil, M.Sc.Agr.selaku dosen penguji ujian akhir sarjana; seluruh dosen Fakultas KedokteranHewan IPB yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis;seluruh staf Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP IPB yang telahmemfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian; Fenny, Rahma dan Yusniaatas kerja sama dalam penelitian dan persahabatan yang indah; Laras Andini,Yulia Riza, Fifit, dan Upik yang selalu menghadirkan keceriaan dan kak ratnaserta kak ulfa yang selalu memberi masukan kepada penulis; warga pondok senayang selalu memberi semangat kepada penulis; seluruh anggota Aesculapius 43atas kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin selama penulis belajar di FKHIPB dan teman-teman HIMPRO SATLI FKH IPB, DKM An-nahl, IMAKAHI danVEC atas pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2010
Ranti Asryyuni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuak Tarok kabupaten Sijunjung pada tanggal 12Agustus 1988 dari ayah H. Zakri Oktarinal dan ibu Asmarni. Penulis merupakanputri pertama dari tiga bersaudara.
Penulis bersekolah di SDN 13 Jambu Lipo kecamatan Lubuak Tarok danlulus pada tahun 2000, kemudian melanjutkan di MTsN Sijunjung dan lulus padatahun 2003. Pada tahun 2006, penulis berhasil menyelesaikan studi pada jenjangSMA dari SMA Negeri 1 Sijunjung. Pada tahun yang sama penulis diterimasebagai mahasiswi IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) danmemilih mayor Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai ketua keputrianDewan Keluarga Mushala An Nahl (2009-2010), pengurus HIMPRO SATLI FKHIPB (2008-2009), Pengurus IMAKAHI cabang FKH IPB (2008-2010) dan pernahmenjadi panitia di berbagai acara internal kampus.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1Latar Belakang .............................................................................. 1Tujuan Penelitian ........................................................................... 2Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3Virus Dengue ................................................................................ 3
Morfologi Virus Dengue............................................................... 3Infeksi Virus Dengue terhadap Sel Inang .................................... 4Inokulasi Virus Dengue secara Intradermal ................................. 5Respon Kekebalan Humoral Tubuh Inang terhadap Virus Dengue.................................................................................................... 6Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue ..................................... 8Diagnosa Virus Dengue .............................................................. 8
Beruk (Macaca nemestrina) .......................................................... 9Morfologi Beruk .......................................................................... 9Status Konservasi ...................................................................... 10
Primata sebagai Hewan Laboratorium .......................................... 11Plasma Darah ................................................................................ 12ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ............................. 12ELISA Tidak Langsung .................................................................. 15
MATERI DAN METODE ........................................................................... 16Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 16Materi Penelitian ........................................................................... 16
Sampel Plasma Beruk................................................................. 16Alat dan Bahan ........................................................................... 16
Metode Penelitian ......................................................................... 17Pendeteksian Antibodi IgM dan IgG melalui Uji ELISA TidakLangsung .................................................................................... 17Rumus Interpretasi Hasil ............................................................ 18
HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 20Titer IgM pada Plasma Beruk yang Diinfeksi Virus Dengue............ 21Titer IgG pada Plasma Beruk yang Diinfeksi Virus Dengue............ 25Perbandingan Peningkatan Rataan Titer IgM dan IgG padaPlasma Beruk yang Diinfeksi Virus Dengue ................................... 27
SIMPULAN DAN SARAN.......................................................................... 30Simpulan ..................................................................................... 30Saran .......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 31
xi
LAMPIRAN................................................................................................ 35
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Virus dengue….. ………..…………………………………………………….. 4
2 Siklus hidup virus dengue di dalam sel inang………..…………………….. 5
3 Beruk (Macaca nemestrina)..………………………………………………… 9
4 Tahap ELISA tidak langsung..……….……………………………………….. 15
5 Profil peningkatan titer IgM selama empat belas hari pada plasmaberuk yang diinfeksi virus dengue…………..……………………………….. 21
6 Profil titer IgM pada hewan kontrol selama empat belas hari……………… 24
7 Profil peningkatan titer IgG selama empat belas hari pada plasmaberuk yang dinfeksi virus dengue……….…………………………………… 25
8 Profil titer IgM pada hewan kontrol selama empat belas hari………..……. 27
9 Profil perbandingan rataan kenaikan titer IgM dan IgG selamaempat belas hari pada plasma beruk yang diinfeksi virus dengue………… 28
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Titer antibodi IgM terhadap virus dengue…………………………………….. 35
2 Titer antibodi IgG terhadap virus dengue …………………………………… 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Virus dengue merupakan virus dari keluarga Flaviviridae dan merupakan
virus patogenik yang dapat menyebabkan kematian pada manusia. Infeksi virus
dengue terhadap manusia terjadi pada setiap tahunnya dengan jutaan orang
yang berada di wilayah tropis dan subtropis akan terpapar virus ini dan infeksi
virus dengue digolongkan sebagai penyakit re-emerging yang sangat penting
(Yamada et al. 2002). Virus ini dapat menyebar secara endemik dan epidemik,
umumnya bentuk penyakit yang ditimbulkan oleh virus dengue adalah demam
dengue secara akut, sedangkan bentuk fatal dan serius dari infeksi virus ini
dikenal sebagai DHF atau dengue haemorrhagic fever dan DSS atau dengue
shock syndrome (PAHO 2003).
Pada tahun 1975 dilaporkan bahwa sekitar dua puluh provinsi di
Indonesia terjangkit DHF (Sumarmo 1988). Kejadian penyakit demam berdarah
dengue di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh tingginya kepadatan
jumlah penduduk, sehingga akan berdampak terhadap kebersihan lingkungan
yang akan menyebabkan meningkatnya jumlah nyamuk Aedes aegypti yang
berperan sebagai vektor penyebaran virus (Sumarmo 1988).
Salah satu diagnosa laboratorium yang digunakan untuk melihat infeksi
dari virus dengue secara serologi adalah dengan menggunakan uji ELISA. IgG
ELISA merupakan salah satu kualitas pengujian untuk mendeteksi antibodi IgG
ketika terjadi demam dengue. Umumnya IgG ELISA digunakan untuk membantu
diagnosa infeksi virus sebelum terjadinya demam berdarah dengue atau sebagai
diagnosa infeksi sekunder, sedangkan IgM ELISA digunakan untuk melihat
antibodi IgM ketika demam dengue terjadi secara akut atau sebagai diagnosa
infeksi primer (Buchy et al. 2007).
Indonesia merupakan negara yang memiliki jenis fauna yang beraneka
ragam salah satunya adalah satwa primata, diantara jenis satwa primata yang
melimpah di Indonesia adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan
beruk (Macaca nemestrina). Gambaran antibodi IgM dan IgG terhadap virus
dengue pada hewan khususnya satwa primata belum banyak diketahui, tetapi
Infeksi virus dengue pada hewan dapat dibuktikan salah satunya melalui isolasi
virus dari monyet yang terinfeksi secara alami (WHO 1985). Malaysia pernah
mengoleksi 600 serum dari monyet liar yang jauh dari populasi manusia, dan
2
dihasilkan 8% dari serum monyet terpapar oleh virus dengue (Rudnick 1966).
Mengingat satwa primata sebagai hewan yang memiliki kedekatan filogeni
dengan manusia dan beresiko terpapar virus dengue (Kuiken et al 2003), maka
perlu penelitian lebih lanjut terhadap satwa primata, salah satunya terhadap
serum atau plasma dari beruk (Macaca nemestrina) ketika terinfeksi virus
dengue, sehingga bisa diambil kesimpulan apakah satwa primata dapat dijadikan
sebagai hewan model penelitian virus dengue.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati profil kenaikan titer antibodi IgM
dan IgG pada plasma dari beberapa ekor beruk (Macaca nemestrina) yang telah
diinfeksi virus dengue melalui rute intradermal menggunakan analisis
laboratorium dengan teknik uji ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay).
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan memberikan manfaat diperolehnya pengetahuan
mengenai profil kenaikan titer antibodi IgM dan IgG pada beruk setelah diinfeksi
primer dengan virus dengue serotipe-3 (DEN-3) sehingga memudahkan
penelusuran respon kekebalan terhadap kasus demam berdarah pada manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Dengue
Morfologi Virus Dengue
Virus dengue (DENV) adalah virus yang mempunyai genom RNA serabut
tunggal (single-stranded) dengan panjangnya adalah 11 kilobasa dan tergolong
sebagai positif sense, jenis virus ini termasuk ke dalam genus Flavivirus (bentuk
arbovirus kelompok B) dari keluarga Flaviviridae (Beasley dan Alan 2008). Virus
dengue mempunyai tiga protein struktural yaitu kapsid (protein C), premembran
(protein M) dan amplop atau glikoprotein E (protein E) yang berada di permukaan
virion yang berfungsi untuk menempel, fusi membran spesifik virus dan perakitan
yang akhirnya akan meningkatkan infeksi virus, kemudian mempunyai tujuh
protein nonstruktural yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5 (Silva et
al. 2009). Virus ini stabil pada pH 7-9 dan pada suhu rendah, sedangkan pada
suhu yang relatif tinggi infektivitas cepat menurun. Sifat dari virus dengue adalah
sangat peka terhadap beberapa zat kimia seperti sodium deoksicholat, eter,
kloroform dan garam empedu karena adanya amplop lipid pada virus
(Kusumawati 2005).
Menurut PAHO (2003), virus dengue terdiri atas dua tipe yaitu tipe
homolog dan heterolog serta mempunyai empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Kekebalan tubuh untuk menghadapi virus ini tergantung pada
tipenya, virus dengue yang bertipe homolog akan ditanggapi oleh kekebalan
tubuh dengan lengkap dan lama, sedangkan tipe heterolog akan ditanggapi
dengan sebagian dan durasi yang singkat, persilangan protein tidak akan terjadi
antar serotipe sehingga tidak akan melindungi individu yang terinfeksi oleh salah
satu serotipe terhadap infeksi serotipe yang lain (White dan Frank 1994).
Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor untuk semua jenis serotipe yang ada di
dunia, sedangkan nyamuk Aedes albopictus adalah sebagai vektor untuk
beberapa wilayah di Asia tenggara (PAHO 2003).
Virus DEN-3 memiliki 493 asam amino, sehingga variasi asam amino
akan meningkatkan ikatan dan neutralisasi oleh antibodi (Wahala et al. 2010).
Virus DEN-3 berasal dari Asia Tenggara yang mempunyai virulensi yang tinggi,
perbedaan genotipe pada DEN-3 akan menggambarkan perbedaan asam amino
pada gen struktural dan nonstruktural, DEN-3 dibagi atas empat genotipe, yaitu
genotipe I,II,III, dan IV (King et al. 2008).
4
Gambar 1 Virus Dengue (Anonimus 2009)
Infeksi Virus Dengue terhadap Sel Inang
Infeksi virus dengue yang ada di saliva nyamuk ditularkan ke manusia
melalui gigitan akan dimulai dengan menempelnya virus pada permukaan sel
inang, kemudian virus akan masuk ke dalam sel secara endositosis melalui
peran reseptor, kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ
targetnya seperti makrofag dan monosit, lalu menginfeksi sel-sel darah putih dan
jaringan limfatik (Fenner et al. 1987). Setelah virus dilepaskan ke dalam aliran
darah, maka endosom yang mempunyai pH asam akan menyebabkan fusi pada
virus dan membran sel, kemudian nukleokapsid akan dilepaskan ke dalam
sitoplasma, selanjutnya terjadi pemisahan antara protein C dan RNA. Sekali
genom dilepaskan ke sitoplasma maka positif sense dari RNA diterjemahkan ke
dalam bentuk poliprotein tunggal.
Replikasi genom terjadi di dalam membran intraselular. Perakitan dan
pembuatan partikel virus yang belum matang terjadi di permukaan retikulum
endoplasma ketika adanya struktur protein yang baru dan sintesis dari tunas
RNA ke lumen retikulum endoplasma, walaupun partikel virus terdiri atas protein
E dan M, membran lipid dan nukleokapsid, tetap saja partikel virus tidak mampu
untuk memfusi sel inang sisa non infeksius, hal ini dikarenakan protein M
membutuhkan proses yang lebih (Stiasny dan Frans 2006).
Pembentukan dari partikel subviral di retikulum endoplasma hanya
mengandung glikoprotein, membran dan sedikitnya protein C serta genom RNA,
membuat mereka tidak infeksius atau masih belum matang, tetapi pemotongan
purin protease inang menghasilkan partikel infeksius yang telah matang, virion
5
yang telah matang dan partikel subviral akan dilepaskan dari sel inang secara
eksostosis (Stiasny dan Frans 2006).
Gambar 2 Siklus hidup virus dengue di dalam sel inang (Stiasny dan
Heinz 2006)
Inokulasi Virus Dengue secara Intradermal
Inokulasi intradermal digunakan ketika dilakukan immunisasi pada hewan
besar, inokulasi intradermal bertujuan untuk melepaskan immunogen/virus
dengue secara sangat lambat diantara lapisan kulit dan diserap sangat lambat ke
dalam tubuh (Harlow dan Lane 1988).
Virus dengue yang diinokulasi secara intradermal akan mempertinggi
efisiensi inokulasi, karena secara langsung diketahui target virus dengue adalah
di antigen presenting cells (APC) dari makrofag dan monosit pada dermis dan
epidermis, sehingga inokulasi intradermal juga akan menginduksi respon kebal
(Roukens et al. 2008).
Sel pertahanan yang terdapat di epidermis dan dermis dinamakan sel
langerhans, sel ini akan menginisiasi target selama virus bereplikasi dan
inokulasi virus dengue secara intradermal pada satwa primata akan
mengakibatkan proliferasi lokal dan migrasi aktif dari sel langerhans. Hanya virus
dengue hidup yang berkemampuan menginduksi pematangan dan migrasi sel
langerhans ke limponodus lokal dan membangkitkan respon antibodi dan sel T
sitoksik limfosit (Brandlers et al. 2005).
6
Respon Kekebalan Humoral Tubuh Inang terhadap Virus Dengue
Setiap makhluk hidup (mamalia) di dunia ini mempunyai sistem pertahanan
terhadap gangguan dari dalam dan luar tubuhnya, terutama untuk hewan dan
manusia mempunyai system pertahanan yang sering disebut sebagai sistem
kekebalan atau sistem imun. Menurut Bellanti (1978), kata immune berasal dari
kata latin “immunis” yang berarti bebas dari beban atau pajak, secara klasik
dapat diartikan sebagai kekebalan dari inang yang resisten terhadap reinfeksi
mikroba (bakteri, virus, parasit, protozoa dan jamur).
Ketika antigen (khususnya virus) menyerang maka antibodi sebagai salah
satu kekebalan humoral akan mengadakan perlawanan, disamping itu akan ada
perlawanan secara nonimmunologis yaitu dengan interferensi ( menghambat
replikasi virus). Antibodi yang dilepaskan untuk melawan virus mengandung
protein sehingga disebut immunoglobulin. (Tizard 2004). Menurut Tizard (2004)
kata immunoglobulin digunakan untuk menggambarkan semua reseptor antigen
sel B, ada lima kelas (isotope) dari immunoglobulin yaitu :
1. Immunoglobulin G (IgG) merupakan antibodi yang paling banyak
berada dalam serum yaitu 80% dari total serum (Kindt et al. 2007).
Immunoglobin ini disekresikan oleh sel plasma yang ada di limpa,
limponodus, dan sumsum tulang belakang. Ukuran immunoglobulin ini
adalah 180 kDa sehingga bisa keluar dari pembuluh darah dengan
mudah, IgG merupakan satu-satunya immunoglobulin yang dapat
melewati plasenta sehingga menjadi pertahanan bagi bayi yang baru
lahir terhadap infeksi bakteri dan virus (Tizard 2004).
2. Immunoglobulin M (IgM) merupakan antibodi yang utama dihasilkan
dalam tanggap kebal primer, dan juga diproduksi dalam tanggap
kebal sekunder tetapi jumlahnya tertutup oleh IgG yang banyak sekali,
IgM hanya dihasilkan 5-10% dari total .serum dengan rata-rata
konsentrasi 1,5 mg/ml dan berbentuk pentamer, dan berukuran besar
yaitu 900 kDa sehingga tidak berdifusi secara baik dan akan
ditemukan dalam konsentrasi yang rendah dalam jaringan interseluler.
(Kindt et al. 2007).
3. Immunoglobulin A (IgA) merupakan immunoglobulin yang banyak
mengandung karbohidrat berstruktur konvensional. Immunoglobulin
7
jenis ini sebanyak 10-15% dari total serum. IgA merupakan
immunoglobulin utama yang terdapat dalam sekresi eksternal tubuh,
itulah sebabnya IgA sangat berperan penting untuk perlindungan
saluran-saluran intestinal, respirasi dan urogenital, serta kelenjar susu
dan mata terhadap invasi mikroba, diperkirakan cara kerja IgA adalah
mencegah melekatnya antigen pada permukaan tubuh. Walaupun IgA
merupakan immunoglobulin terbanyak di serum manusia biasanya
dalam serum hewan hanya berupa komponen minor (Tizard 2004).
4. Immunoglobulin E (IgE) mempunyai konsentrasi 0,3 µg/ml di dalam
serum, IgE akan menginisiasi reaksi hipersensitifitas I (alergi dan
anafilaksis). IgE memiliki bagian Fc yang unik sehingga
memungkinkan berikatan dengan jaringan tertentu, terutama sel mast
dan basofil serta antigen sehingga nantinya metranslokasi granulnya
ke membran plasma, immunoglobulin ini akan hancur dengan
pemanasan 56ºC selama 30 menit. (Tizard 2004).
5. Immunoglobulin D (IgD) pertama ditemukan karena adanya pasien
multiple myeloma yang protein myelomanya gagal untuk bereaksi
dengan dengan antiisotipe antisera melawan IgA, IgM dan IgG.
Konsentrasi di dalam serum 30 µg/ml yaitu sebanyak 0,2% dari total
serum. Immunoglobulin ini ditemukan di permukaan limfosit terutama
pada waktu baru lahir (Bellanti 1978).
Selain lima tipe immunoglobulin diatas pada unggas ada bentuk
immunoglobulin lain yaitu Immunoglobulin Y (IgY) terdapat pada telur
(Imunoglobulin Yolk) ayam yang mampu melawan berbagai serangan infeksi.
Imunoglobulin Y atau lazim disebut Ig-Y adalah antibodi humoral utama pada
ayam. Diantara tiga kelas imunoglobulin unggas (IgA, IgM, dan IgY) yang analog
dengan imunoglobulin mamalia, IgY adalah imunoglobulin yang tersedia dalam
jumlah yang paling banyak ditemukan pada serum dan didepositkan ke dalam
kuning telur (Haak-Frendscho 1994). IgY mengemban fungsi yang setara dengan
IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE
mamalia. Molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan.
Infeksi virus dengue akan mengakibatkan terbentuknya antibodi sebagai
sistem kekebalan humoral. Antibodi yang pertama dibentuk ialah neutrilizing
8
antibodi (NT) atau IgM dan IgG yaitu kira-kira pada hari ke-5. Titer antibodi ini
naik sangat cepat, kemudian menurun secara lambat dalam waktu yang lama,
biasanya seumur hidup serta antibodi ini bersifat spesifik. Setelah neutrilizing
antibodi maka akan timbul hemaglutination inhibiting antibodi (HI), antibodi ini
akan naik secara sejajar dengan NT dan kemudian akan turun secara perlahan-
lahan, lebih cepat daripada antibodi NT, untuk waktu yang lama tetapi dalam
waktu yang relatif singkat jika dibandingkan dengan antibodi NT. Antibodi yang
terakhir timbul adalah complement fixing antibodi (CF) yaitu pada hari ke-20 titer
naik mencapai waktu 1-2 bulan dan kemudian turun secara cepat dan
menghilang selam 1-2 tahun (Sumarmo 1988).
Gejala Klinis Demam Berdarah Dengue
Penyakit demam berdarah dengue terbagi dalam empat derajat tingkatan
yaitu derajat I, demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet positif. Derajat II, derajat I disertai perdarahan
spontan kulit atau perdarahan yang lain. Derajat III, ditemukannya kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau
hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi gelisah.
Derajat IV, renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan
darah yang tidak dapat diukur (WHO 1997).
Diagnosa Virus Dengue
Diagnosa laboratorium yang bisa dilakukan untuk mendeteksi virus
dengue diantaranya diagnosa secara serologi, identifikasi virus, isolasi virus, RT-
PCR (Gubler 1998). Diagnosa secara serologis yang dapat dilakukan adalah
haemaglutination inhibition (HI), complement fixation (CF), indirect
immunoflurescence (fluorescence antibody technique/ FAT), ELISA untuk
antibodi IgM dan IgG, RIA (radioimmunoassay), uji imunodifusi atau agar gel
presipitasi (AGPs) dan serum neutalization (PAHO 2003 dan Malole 1988).
Beruk (Macaca nemestrina)
Menurut Dolhinow dan Fuentez (1999), klasifikasi beruk (Macaca
nemestrina) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
9
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Primata
Suborder : Anthropoieda
Infraorder : Cattarhini
Superfamily : Cercopithecoidea
Family : Cercopithecidae
Subfamily : Cercopithecine
Genus : Macaca
Species : Macaca nemestrina
Morfologi Beruk (Macaca nemestrina)
Beruk merupakan jenis monyet yang mempunyai ekor pendek, seperti
ekor babi sehingga sering disebut dengan “Pigtail Macaque” dan kira-kira
mempunyai panjang ekor sepertiga dari panjang tubuhnya atau sekitar 180 mm.
Warna rambut mulai dari cokelat sampai cokelat kekuningan, dengan bagian
mahkota bewarna lebih gelap. Memiliki panjang tubuh 450-600 mm. Berat tubuh
jantan antara 7-9 Kg, sedangkan betina antara 4-6 Kg ( Supriatna dan Wahyono
2000).
Gambar 3 Beruk (Macaca nemestrina)
Sumber : Properti Pusat Studi Satwa Primata PSSP
10
Status Konservasi
Untuk memastikan terjaganya kelestarian primata dan juga jenis satwa
lainnya di Indonesia, secara umum telah diatur dalam Undang-Undang nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya. Menurut
UU No. 5 tahun 1990 satwa dikelompokan menjadi 2 yaitu satwa yang dilindungi
dan satwa yang tidak dilindungi. Satwa yang dilindungi dilarang untuk
diperdagangkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 dari
sekitar 40 jenis primata Indonesia hanya 2 jenis yang belum dilindungi yaitu
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina)
(Purnama 2007).
Penangkapan Beruk sering terjadi terutama di Sumatera, biasanya untuk
diperdagangkan dan dijadikan sebagai alat untuk memetik buah kelapa, tidak
hanya itu habitat Beruk juga semakin berkurang sampai 49% dari habitat asalnya
(Supriana dan Wahyono 2000). Beruk diklasifikasikan sebagai primata yang
rentan (vulnerable) dalam daftar IUCN (International Union for Conservation of
Nature) tahun 2008 (IUCN 2010), dan dimasukkan kedalam Appendix II CITES
(Convention on International Trade in Endangered Spesies of wild fauna and
flora). Beruk juga sering dijadikan sebagai hewan penelitian biomedik seperti
halnya monyet ekor panjang (Supriana dan Wahyono 2000).
Menurut Soehartono dan A. Mardiastuti (2003), beberapa orang dan
lembaga telah menentang penggunaan satwa primata utuk penellitian medis,
karena adanya anggapan bahwa peneliti melaksanakan eksperimen dengan
kejam terhadap satwa primata tersebut.
Primata sebagai Hewan Laboratorium
Hewan laboratorium adalah setiap hewan yang digunakan untuk
percobaan di dalam laboratorium dan dipelihara secara intensif. Meskipun
beberapa hewan percobaan dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan
ekonomi. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) pada dasarnya hewan
percobaan digunakan antara lain untuk :
1. Untuk memperoleh hasil yang benar
2. Untuk memperoleh prosedur sebaik-baiknya yang dapat dipakai untuk
penelitian lebih lanjut
3. Untuk memperoleh data maksimum dalam penelitian simulasi
11
4. Uji pengamanan dan diagnostik
5. Untuk studi komparatif termasuk dalam dunia pendidikan
6. Untuk memperoleh hasil yang dapat dipergunakan pada hewan dan
manusia
Primata adalah salah satu hewan laboratorium yang sangat erat
hubungannya dengan manusia misalnya fisiologi dan patologinya hampir sama
sehingga hewan ini sering digunakan untuk penelitian yang berhubungan dengan
manusia. Satwa primata peka terhadap penyakit yang berasal dari manusia,
sebaliknya satwa primata juga dapat menularkan penyakit kepada manusia
terlebih lagi penyakit yang berhubungan dengan virus .
Fiennes (1976) acuan dalam Smith dan Soesanto (1988) mengusulkan
ada tiga ketentuan sederhana dalam menggunakan satwa primata dalam
penelitian yaitu :
1. satwa ini tidak boleh digunakan jika masih ada hewan jenis
lain yang dapat digunakan, tapi jika tidak ada maka harus
dipilih primata yang tepat.
2. Satwa primata harus digunakan untuk penelitian tahap akhir
yaitu setelah melalui penelitian melalui hewan jenis lain.
3. Satwa primata harus diberi akomodasi yang senyaman
mungkin selama penelitian
Plasma Darah
Plasma merupakan bagian dari cairan darah berbentuk suspensi dengan
45%-78% dari total volume darah tergantung spesies hewan dan ukuran sel
darah merah (Colville dan Bassert 2002). Menurut Schaller et al. (2008),
komponen plasma darah adalah air dengan banyak 90% dari total plasma, ion
dan garam mineral, komponen dengan berat molekul yang tinggi seperti
olisakarida, komponen dengan berat molekul yang ringan seperti glukosa, gas
terlarut seperti oksigen dan karbondioksida, buangan metabolit.
Samuelson (2007) menyatakan bahwa ada berbagai macam protein
primer yang terdapat dalam plasma, termasuk albumin dan globulin yang
memiliki peranan penting dalam respon imun dan transportasi hormon, logam
dan non logam. Selain itu juga terdapat fibrinogen sehingga plasma bisa
12
membeku, biasanya plasma berwarna kuning. Banyak sekali uji kimia dari
diagnosis klinis yang memanfaatkan plasma ataupun serum, setelah sampel
disentrifus maka plasma ataupun serum telah siap untuk dianalisa atau
dibekukan agar bisa bertahan untuk pengujian selanjutnya (Colville dan Bassert
2002).
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Prosedur yang berhubungan dengan pendeteksian reaksi antigen dan
antibodi pada serum maupun plasma yang melibatkan enzim sebagai konjugasi
maka dikategorikan ke dalam EIA test (Enzyme immunoassay). EIA dibagi
berdasarkan ikatan antara antigen dan antibodi, reaktan, metode pendeteksian,
dan metode pemisahan ikatan dan reaktan bebas. Ada dua tipe EIA yaitu : tipe
heterogenous (reaksi antigen dan antibodi tidak mempengaruhi aktivitas enzim)
dan tipe homogenous (reaksi antara antigen dan antibodi memodulasi aktivitas
enzim), adapun uji-uji yang termasuk ke dalam EIA (melibatkan konjugasi
dengan enzim) yaitu ELISA dan Dot Blot Immuno Assay (Nakamura et al. 1992).
ELISA dapat diklasifikasikan kedalam bentuk heterogenus dan homogenus,
tetapi dalam diagnosa secara immunologi yang banyak digunakan adalah ELISA
heterogenus (Rose et al. 1992).
Prinsip dasar ELISA heterogenus adalah penggunaan konjugat antibodi
dengan enzim yang akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan reaksi
warna. Perubahan warna yang terjadi bisa dilihat secara fisik maupun dengan
menggunakan spektrometer untuk menjelaskan proporsi diantara jumlah warna
dan jumlah analisis yang dihasilkan (Rose et al. 1992). Sedangkan Menurut
Wagner dan Martinez (2004), ELISA menggunakan konjugasi yang berisi enzim
(antibodi sekunder) yang bisa memproses warna substrat yang mengandung
target enzin dan kromagen ke warna ikatan produk yang ada di FC region. Ketika
molekul antibodi primer diikat oleh antigen maka enzim akan terikat juga ke FC
region, dan jika ikatan antigen dan antibodi kompleks diinkubasi dengan substrat
yang tepat untuk pengikatan enzim maka pembentukan warna bisa digunakan
sebagai pembuktian terdapatnya antibodi
Menurut Crowther (2001) dan Tritten (2009), ada beberapa manfaat
pendiagnosaan ELISA yaitu :
1. Mempunyai kualitas diagnosa yang serbaguna
2. Perlakuan yang sederhana
13
3. Memiliki sensitivitas yang tinggi
4. Bisa dipresentasikan berupa angka
5. dapat diproduksi dengan banyak
6. memerlukan peralatan yang sedikit
7. bisa diaplikasikan pada laboratorium di lapangan.
ELISA merupakan salah satu jenis uji pengikatan primer, uji jenis ini
merupakan uji yang mengukur tanggap kebal humoral yang paling peka. Ciri
utama teknik ini adalah dipakai indikator enzim untuk reaksi imunologi.
Keragaman terbesar dalam merancang ELISA dapat dilihat dalam pemilihan
konjugat dan subtratnya, berbagai enzim telah tersedia dan enzim ini akan
mengikat secara langsung ke antibodi atau antigen secara tak langsung melalui
biotin atau jembatan protein A. Banyak keuntungan yang akan didapatkan kalau
digunakan kombinasi enzim dan subtrat tertentu dan berbagai pilihan harus
diteliti supaya sampai pada cara optimal (Burges ed 1988).
Menurut Crowther (2001) ada eberapa aspek penting yang harus
diperhatikan dalam proses pengujian ELISA yaitu:
a. Fase padat (solid phase) adalah sumur mikrotiter yang terdapat dalam
satu plate yang bisa terbuat dari bahan plastik, nitroselulosa, agarosa,
selulosa dan lain sebagainya, umumnya berjumlah 96 sumur.
b. Antigen adalah protein atau karbohidrat yang disuntikkan ke hewan
dan akan mempengaruhi terbentuknya antibodi
c. Antibodi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh tubuh mamalia sebagai
respon dari antigen
d. Konjugat enzim adalah enzim yang berikatan secara tetap ke protein
seperti antibodi
e. Substrat adalah senyawa kimia yang mengandung kromogen dan
target enzim sehingga berikatan dengan enzim secara spesifik yang
digunakan untuk mengasilkan tanda yang dibaca sebagai reaksi
warna, jika terlalu lama membiarkan reaksi antara substrat dan enzim
akan mempertinggi intensitas warna (Rose et al. 1992).
f. Larutan basa atau asam kuat yang digunakan untuk menghentikan
aksi enzim dalam substrat
14
Ada tiga dasar metode pengujian ELISA yaitu ELISA langsung, ELISA
tidak langsung dan ELISA penangkap antigen (sandwich). Gabungan dari tiga
metode dasar itu akan membentuk metode baru yang dikenal sebagai ELISA
kompetisi (Crowther 2001).
ELISA tidak langsung
ELISA ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana yang dapat
digunakan untuk mengukur titer antibodi. Prinsip dari metode ELISA tidak
langsung adalah menghubungkan antara antigen, antibodi primer dan konjugat
(antibodi sekunder), disini sampel uji mengandung antibodi yang bisa berikatan
dengan masing-masing antigen target yang telah menempel pada fase padat.
Penambahan konjugat sebagai antibodi antispesies yang dilabel enzim akan
menghaslkan perubahan warna jika bereaksi dengan substrat yang mengandung
target enzim dan kromogen (Crowther 2001). Keuntungan dari metode ini adalah
beberapa jumlah antiserum bisa diujikan selama mengikat ke antigen yang
menggunakan konjugat antispesies single. Sedangkan kelemahan dari metode
ini adalah bervariasinya ikatan nonspesifik dalam serum individual sehingga
memperlebar dispersi pada hasil pengujian (Crowther 2001). Pada metode ini
ditambahkan blocking agent untuk mencegah terjadinya ikatan nonspesifik
antara antibodi dengan antigen bukan target yang mempunyai afinitas yang
rendah (Rose et al. 1992).
15
Gambar 4 Tahap ELISA tidak langsung (Anonimous 2010)
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 di Laboratorium
Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (PSSP- LPPM ) IPB Jalan Lodaya II No. 5,
Bogor.
Materi Penelitian
Sampel Plasma Beruk (Macaca nemestrina)
Sampel yang digunakan merupakan plasma yang berasal dari enam ekor
beruk (Macaca nemestrina) yang telah diinfeksi virus dengue serotipe-3 (DEN-3)
dengan dosis 107-108 Pfu/ml melalui rute intradermal dan empat ekor beruk
sebagai hewan kontrol yang diinokulasi larutan PBS (Phosphate buffer saline )
serta telah mendapat persetujuan dari Komisi Pengawas Kesejahteraan dan
Penggunaan Hewan Penelitian (Animal Care and Use Committe, ACUC ) di
PSSP-LPPM IPB dengan nomor P.09-08-IR.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah ELISA reader/microplate reader BIO-
RAD 3550, lemari pendingin, inkubator, mesin pencuci otomatis (automatic
washing machine/immunowash) BIO-RAD MODEL 1575, adhessive strips,
vortex, pipet volumetrik, barrier tips, mikropipet single chanel dan mikropipet
multichanel.
Bahan yang digunakan adalah plasma beruk (Macaca nemestrina) dari
berbagai titik waktu pengambilan sebelum dan sesudah infeksi primer, aquades,
larutan PBS (phosphate buffer saline) tween 20% (larutan pencuci), kemudian kit
ELISA komersial dari HUMAN® (human Gesellschaft für Biochemia und
Diagnostica mbH, Germany) yang berisi antigen (virus dengue) yang telah
dilekatkan pada plate pengujian, rabbit antihuman IgM/ IgG yang dikonjugasi
dengan enzim peroksidase (konjugat), 3,3´, 5,5´-tetrametilbenzidin (substrat),
larutan penyangga, antibodi virus dengue kontrol negatif, antibodi virus dengue
kontrol positif dan larutan pemberhenti reaksi (asam sulfat 0,2 mol/ l)
17
Metode Penelitian
Pendeteksian Antibodi (IgM dan IgG) melalui Uji ELISA Tidak Langsung
Penelitian ini menggunakan metode ELISA Indirect (tidak langsung) untuk
mendeteksi terdapatnya antibodi (IgM dan IgG) di dalam sampel plasma dari
beruk (Macaca nemestrina) yang diinfeksikan virus dengue (DEN-3). Sebagai
langkah awal adalah pemisahan plasma beruk (Macaca nemestrina) dari sampel
darah utuh (whole blood), selanjutnya sampel plasma yang telah tersedia
dilanjutkan dengan pengujian ELISA mengikuti metode yang dijelaskan pada
manual yang disediakan oleh pembuat kit (kit manufactured).
Langkah ke-1 adalah pembuatan rancangan template pada kertas yang
tersedia sesuai dengan yang akan diatur dalam plate kit (paket perlengkapan uji
ELISA dengan sumur pada plate yang telah dilekatkan antigen dan blocking
agent) dengan susunan sumur A1 sebagai blanko control, B1 dan C1 sebagai
antibodi virus dengue kontrol negatif serta D1 dan E1 sebagai antibodi virus
dengue kontrol positif sehingga hasil pembacaan akan optimal. Langkah ke-2,
masing-masing sampel plasma dari berbagai titik waktu pengambilan dilarutkan
dengan pelarut yang telah tersedia dalam kit dengan perbandingan 1: 100,
selanjutnya sumur-sumur yang terdapat dalam plate akan diisikan sampel
plasma sebanyak 100 µl yang sudah diencerkan kecuali terhadap sumuran yang
ditetapkan sebagai blanko control. Pengisian plate dengan sampel plasma
bertujuan agar terbentuk ikatan kompleks antara antibodi dan antigen yang telah
dilekatkan ke dinding sumuran yang terbuat dari bahan polistiren sebagai solid
phase. Kemudian plate ditutup dengan adhesive strips dan siap diinkubasi pada
suhu 37ºC selama 60 menit supaya ikatan antara antibodi dan antigen terjadi
dengan sempurna.
Langkah ke-3 adalah pencucian plate sebanyak tiga kali menggunakan
automathic washing machine/immunowash yang berisi larutan PBS (phosphate
buffer saline) tween 20% yang diencerkan 10 kali dengan tujuan untuk
membersihkan antibodi yang tidak berikatan dengan antigen (nonspesifik
antibody) agar tidak mengganggu pembacaan hasil oleh ELISA reader. Langkah
ke-4, pemberian konjugat (rabbit anti-human IgG/ IgM ) yang dikonjugasikan
dengan peroxidase) pada setiap sumuran sebanyak 100 µl, dilanjutkan dengan
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit. Langkah ke-5 yaitu melakukan
pencucian dengan cara yang sama dengan langkah ke-3.
18
Langkah ke-6 adalah pemberian larutan substrat yang berisi TMB (tetra
metil benzidin) sebanyak 100 µl. Substrat yang digunakan harus dipilih yang
sesuai dengan enzim yang digunakan. Substrat tersebut berisi target enzim dan
kromogen serta larutan penyangga. Apabila enzim mengurai targetnya akan
dihasilkan O2 yang selanjutnya mengoksidasi kromogen sehingga terjadi
pembentukan warna. Intensitas warna yang terbentuk berkorelasi positif dengan
konsentrasi IgM/ IgG pada sampel plasma yang diperiksa. Proses pembentukan
warna terjadi selama inkubasi 15 menit pada 25ºC (suhu ruang) dengan
meletakannya pada tempat yang terlindung dari sinar matahari. Pembentukan
warna dihentikan dengan menambahkan larutan pemberhenti reaksi (stop
solution) sebanyak 100 µl pada sumuran, dilanjutkan pembacaan hasil dengan
alat ELISA reader pada pada panjang gelombang 450 nm sehingga diperoleh
nilai optical density (OD) yang selanjutnya akan dikonversi menjadi konsentrasi
IgM/ IgG menggunakan kurva standar yang dibangun dengan immunoglobulin
standar dan telah diketahui konsentrasi antibodinya.
Rumus Interpretasi Hasil
a. Penghitungan nilai kontrol dan cut-off
MNC = A450 (B1) + A450(C1)
2
Cut-off value (COV) = MNC +0,35
Cut-off value adalah nilai yang dihasilkan untuk mengklasifikasikan antara
kasus positif dan negatif serta didasarkan atas standar deviasi yang
berada diatas nilai MNC.
Keterangan :
MNC → Mean absorbance value/ Mean control negative
B1 dan C1→ Kontrol Negatif
Hasil uji akan valid jika :
1. Sumur yang Blank <0,100
2. MNC ≤ 0,300
3. Kontrol Positif : nilai absorbnce sama atau lebih besar dari nilai COV
*Sampel POSITIF apabila A450(sampel) ≥ COV +10%
*Sampel GREY ZONE apabila COV - 10% < A450(sampel) < COV+ 10%
19
*Sampel NEGATIF apabila A450(sampel) < COV - 10%
b. Titer antibody IgG atau IgM
Nilai absorbansi sampel x 10 = U/ml
Cut-off value (COV)
Cut-off = 10 U/ml Grey Zone = 9-11 U/ml
Negatif = < 9 U/ml Positif = > 11 U/ml
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan enam ekor beruk (Macaca nemestrina) yang
bebas dari infeksi virus dengue dan kemudian diinfeksi virus DEN-3 melalui rute
intradermal, sehingga belum ada sel memori yang akan menstimulasi antibodi
khusus terhadap virus dengue. Sel memori merupakan sel yang berasal dari sel
limfosit B yang peka antigen dan mempunyai reseptor serta hidup berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun setelah terpapar antigen pertama kali (Tizard 2004).
Menurut Parija (2009), rute inokulasi antigen (virus) sangat mempengaruhi
terjadinya replikasi pada virus dan juga berpengaruh terhadap munculnya
antibodi sebagai respon kekebalan humoral.
Inokulasi virus dengue melalui rute intradermal akan mencapai dermis
kulit yang mempunyai banyak pembuluh darah kapiler yang akan mengalirkan
virus untuk mencapai sel targetnya. Secara umum inokulasi intradermal
digunakan ketika dilakukan immunisasi pada hewan besar, inokulasi intradermal
bertujuan untuk melepaskan immunogen/virus dengue secara sangat lambat
diantara lapisan kulit dan diserap sangat lambat ke dalam tubuh (Harlow dan
Lane 1988). Respon kebal antibodi terhadap virus dengue yang diinokulasikan
secara intradermal pada beruk (Macaca nemestrina) dapat dilihat dengan
menggunakan uji ELISA tidak langsung (indirect) yaitu dengan melihat
interpretasi hasil dari uji ELISA. Menurut Tritten (2009), ELISA merupakan
metode yang sederhana untuk dilakukan, menggunakan peralatan yang sedikit,
sangat banyak diproduksi dan mampu untuk diaplikasikan pada laboratorium di
lapangan. Berdasarkan interpretasi hasil dari uji ELISA, IgM menghasilkan nilai
COV= 0,4245, MNC =0,0745, sedangkan IgG menghasilkan nilai MNC = 0,1385
dan COV= 0,4885
Nilai COV dan MNC masing-masing antibodi dihasilkan dan dipengaruhi
oleh nilai ODnya, terbentuknya nilai OD yang beragam sangat bergantung pada
kontrol, hubungan antara kejadian sebenarnya dan nilai OD tidak akan selalu
bersifat linear walaupun tidak terlalu menunjukkan perbedaan dan secara ideal
nilai OD ELISA adalah berbentuk linear (Tran et al. 2006)
Titer IgM pada Plasma Beruk yang Diifeksi Virus Dengue
Kekebalan humoral oleh antibodi memainkan peranan penting melawan
infeksi ekstraseluler dan melawan viremia oleh virus, kekebalan humoral juga
21
menghambat multiplikasi sitolitik oleh virus. Viremia akan dipengaruhi oleh onset
masuknya virus, titer antibodi dan strain virus (Gubler 1998). IgM merupakan
antibodi yang akan melakukan respon pertama kali (primer) terhadap antigen
yang menyerang tubuh mamalia dan juga berfungsi sebagai tanggap kebal
humoral (Bellanti 1978).
Gambar 5 Profil peningkatan titer IgM selama empat belas hari pada plasmaberuk yang diinfeksi virus dengue
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap plasma beruk yang
diinfeksi virus dengue secara intradermal, maka dapat dilihat pada Gambar 5
bahwa respon IgM terhadap virus dengue pada hari ke-0 sampai hari ke-4
berbeda-beda pada setiap beruk. Hal ini dikarenakan setiap beruk mempunyai
kekuatan pertahanan yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor genetik,
umur, status nutrisi, rute antigen, dosis antigen dan jenis antigen (Parija 2009).
Faktor genetik akan mempengaruhi respon inang terhadap antigen (virus) karena
adanya perbedaan kontrol genetik dan pengontrolan gen respon kebal yang
terletak pada kromosom keenam pada inang. Perbedaan umur pada inang akan
mempengaruhi respon kekebalan contohnya pada manusia umur 5-7 tahun
respon IgG akan lebih sempurna. Kemudian status nutrisi, ketika malnutrisi
terjadi maka akan mempengaruhi kekebalan humoral dan kekebalan seluler
seperti kekurangan asam amino dan vitamin yang dapat menurunkan produksi
antibodi. Selanjutnya rute antigen, induksi respon kebal pada inang tergantung
pada rute administrasi antigen (virus), terbukti bahwa administrasi parenteral
lebih baik daripada administrasi secara oral dan nasal. Berdasarkan dosis
22
antigen (virus), jika terlalu sedikit atau terlalu tinggi dosis virus yang masuk maka
akan menurunkan stimulasi sistem kebal (Parija 2009).
Terlihat secara umum bahwa menjelang hari ke-5, titer IgM pada
sebagian besar beruk belum terlalu menunjukkan kenaikan dan boleh dikatakan
masih stabil karena diduga IgM pada masa ini masih mengalami lag phase yaitu
masa ketika IgM mengalami keterlambatan menanggapi virus yang masuk atau
fase ini bisa disebut sebagai masa adaptasi bagi antibodi (Tizard 2004), selain itu
menurut Gubler (1998) aktivitas virus dapat dihambat oleh beberapa faktor yaitu
temperatur yang panas, pH, dan bahan kimia sehingga faktor-faktor tersebut bisa
menjadi penyebab belum terlalu terjadinya kenaikan titer IgM. Hal ini terlihat
dengan bentuk grafk yang masih stabil dan nilai titer yang rendah pada Gambar
5, tetapi mulai pada hari ke-4 atau ke-5 sampai hari ke-9 jumlah IgM pada
sebagian besar beruk mengalami kenaikan titer (kecuali pada beruk (1.8875)
dengan titik puncaknya pada hari ke-9.
Beruk yang paling tinggi titer IgMnya pada hari ke-9 adalah beruk (8882)
yaitu 33,14 U/ml. Peningkatan IgM tergantung pada replikasi virus dan waktu
pematangan antibodi (Bernardo et al. 2008). Kenaikan jumlah IgM ini
membuktikan bahwa IgM bertambah banyak untuk mengaktivasi komplemen,
melakukan opsonisasi, netralisasi dan aglutinasi virus. Hal ini merupakan bukti
bahwa tercapainya tanggap kebal yang baik dari IgM. Secara teori ketika infeksi
primer dari virus terjadi maka respon IgM akan terdeteksi sebelum hari ke-7
setelah infeksi (Parija 2009).
Berdasarkan penelitian Raviprakash et al. (2000) yang dilakukan infeksi
virus dengue melalui rute intradermal pada monyet rhesus (Macaca mullata), IgM
akan mulai naik dan terdeteksi pada hari ke-7 dan akan mencapai puncaknya
pada hari ke-14 setelah infeksi primer, sehingga jika dibandingkan dengan
muncul dan meningkatnya IgM pada penelitian ini, maka akan terlihat bahwa IgM
pada penelitian ini lebih awal terdeteksi dan lebih cepat mengalami kenaikan
daripada yang terjadi terhadap monyet rhesus. Terjadinya hal ini karena
dipengaruhi oleh : faktor genetik inang, dosis antigen, faktor nutrisi dan lain-lain
(Parija 2009. Kemudian juga dipengaruhi oleh kemampuan antigen
(antigenitas/virulensi) termasuk keasingan dan limitasi fisikokimiawi (Tizard 2004)
serta sensitivitas pengujian terhadap antibodi. Beruk (8882) merupakan beruk
yang mengalami peningkatan lebih awal dan titer IgM yang paling tinggi pada
23
saat puncak peningkatan, hal ini membuktikan bahwa beruk (8882) memiliki
respon kebal humoral yang paling baik diantara beruk yang lainnya.
Menurut Sa-Ngasang et al. (2005) respon kebal humoral pada manusia
ketika infeksi primer virus dengue terjadi, maka IgM akan terdeteksi pertama kali
pada hari ke-5 dan menunjukkan kenaikan pada hari ke-6. Semakin tinggi
jumlah IgM maka dapat dikatakan semakin banyak dan kuatnya ikatan yang
terjadi antara antibodi IgM dengan virus dengue sebagai antigen. Kekuatan
ikatan antibodi dan antigen ini disebut dengan aviditas, adapun ikatan–ikatan
yang terbentuk yaitu ikatan hidrogen, hidrofobik, van der waals dan ikatan ionik
(Tizard 2004).
Penurunan jumlah IgM terjadi pada hari ke-10 seragam dialami oleh
semua beruk, pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa kecenderungan titer IgM
mengalami penurunan terjadi secara perlahan sampai hari ke-13. Menurut Parija
(2009), IgM secara umum akan mengalami penurunan setelah hari ke-13 ketika
IgG akan mulai naik dan terdeteksi sehingga keadaan IgM terhadap virus dengue
akan berkurang dan akan mulai didominasi oleh IgG sebagai tanggap kebal
sekunder.
Menurut Raviprakash et al. (2000), penurunan titer IgM pada monyet
rhesus ketika diinfeksikan virus dengue serotipe-1 (DEN-1) dimulai setelah
melewati hari ke-14 setelah infeksi primer, tetapi penurunan ini terjadi secara
perlahan. Perbedaan penurunan titer IgM pada beruk dan monyet rhesus tidak
lepas dari peran transmisi oleh virus yang menginfeksi, transmisi ini akan
dipengaruhi oleh replikasi pada virus serta adanya amplop pada virus (Parija
2009). Jika replikasi virus di dalam tubuh meningkat, maka titer IgM juga akan
meningkat, beberapa hari kemudian kemampuan virus akan berkurang karena
telah diopsonisasi, dinetralkan dan diaglutinasi oleh IgM dan IgM pun mulai
mengalami penurunan titer sebagai pengaruh umpan balik negatif dari titer IgM
yang tinggi. IgM akan bereaksi secara spesifik dengan epitop yang awalnya
diidentifikasi oleh reseptornya, spesifisitas pada IgM dipengaruhi oleh asam
amino dan konfigurasi tiga dimensinya (White dan Frank 1994), selain itu karena
virus DEN-3 memiliki 493 asam amino, sehingga variasi asam amino akan
meningkatkan ikatan dan neutralisasi oleh antibodi (Wahala et al. 2010).
Silva et al. (2009) menyatakan bahwa amplop (protein E) yang terdapat
pada permukaan partikel virion mempunyai fungsi untuk menempel pada inang,
fusi pada membran, dan untuk perakitan sehingga akan meningkatkan infeksi
24
virus, tetapi dengan kemampuan pendeteksian yang spesifik oleh IgM
(spesifisitas antibodi) serta adanya aviditas tinggi (kemampuan terikat kuat
dengan antigen/virus) sehingga mampu menetralkan infektivitas dari virus
dengue (White dan Frank 1994), oleh karena itu IgM disebut juga sebagai
neutralizing antibody. Bersamaman dengan berhasilnya IgM untuk menetralisasi
virus, maka titer IgM akan mulai menurun sehingga terjadi penurunan titer IgM
lebih awal pada beruk dibandingkan pada monyet rhesus karena perbedaan
kemampuan dari amplop pada masing-masing virus yang menginfeksi kedua
hewan tersebut.
IgM akan bertahan selama 30-90 hari setelah infeksi primer dan hanya
beberapa waktu ketika infeksi sekunder (Gubler dan Burns 2008), walaupun
pada penelitian ini hanya menggambarkan titer IgM selama empat belas hari,
tetapi jika ditelusuri lebih lanjut maka IgM masih terdeteksi, dari Gambar 5 kita
juga bisa melihat bahwa penurunan IgM terjadi secara perlahan, maka
penurunan titer IgM akan berlanjut melewati hari ke-13 sampai waktu yang tidak
lebih dari 90 hari walaupun titer IgM lebih sedikit dari biasanya.
Gambar 6 Profil titer IgM pada hewan kontrol selama empat belas hari
Berdasarkan Gambar 6 dapat kita amati bahwa titer IgM di dalam plasma
beruk kontrol (diinokulasi larutan PBS) selama empat belas hari pengamatan
menunjukkan tidak terjadi kenaikan titer, terbukti dengan adanya bentuk grafik
pada Gambar 6 yang cenderung terlihat stabil dan mendatar, hal ini sangat
berbeda sekali jika dibandingkan dengan beruk yang telah diinfeksikan virus
dengue secara intradermal, maka akan terlihat kenaikan dan penurunan titer IgM.
25
Titer IgG pada Plasma Beruk yang Diinfeksi Virus Dengue
IgG merupakan antibodi yang mempunyai konsentrasi tertinggi di dalam
serum darah yaitu 80% dibandingkan dengan antibodi yang lain (Kindt et al.
2007).
Gambar 7 Profil peningkatan titer IgG selama empat belas hari pada plasmaberuk yang diinfeksi virus dengue
Berdasarkan jumlah IgG yang ditunjukkan pada Gambar 7, titer IgG pada
hari ke-0 sampai hari ke-6 pada semua beruk belum terlalu menunjukkan
kenaikan. Hal ini disebabkan respon terhadap antigen masih didominasi oleh IgM
dan secara umum pun IgG akan terlihat pada hari ke 5-7 setelah onset infeksi
primer dari virus dengue (Gubler dan Burns 2008). Pada hari ke-7 titer IgG mulai
mengalami kenaikan sedangkan kemunculan IgG pada monyet rhesus menurut
Raviprakash et al. (2000) terjadi pada hari ke-14, sehingga IgG yang terdeteksi
lebih cepat pada beruk. Hal ini dipengaruhi oleh derajat ransangan virus dan lag
phase yang singkat dari IgG (Tizard 2004) serta perbedaan strain virus yang
diinokulasikan juga akan memengaruhi respon kebal humoral inang (Gubler
1998). Selain itu terlalu cepatnya IgG terdeteksi menunjukkan bahwa adanya
perbedaan faktor genetik inang antara monyet rhesus dan beruk sehingga
mempengaruhi kekebalan humoral masing-masing hewan model
kenaikan titer IgG tertinggi pada sebagian besar beruk terjadi pada hari
ke-11 dan hari ke-13 tetapi terjadi secara berbeda pada tiap beruk. Perbedaan
kenaikan IgG pada setiap beruk dipengaruhi oleh faktor genetik, umur, status
nutrisi (Parija 2009), kemampuan kekebalan inang, dan virulensi (White dan
26
Frank 1994). Kemampuan kekebalan inang akan mengalami penurunan jika
terjadi immunodepresi yang disebabkan oleh penyakit lain dan obat-obatan yang
dapat menurunkan kekebalan tubuh, sedangkan virulensi (kemampuan infeksi
virus) juga dapat mempengaruhi meningkatnya titer IgG, salah satu parameter
yang berkaitan dengan virulensi adalah strain virus, karena setiap strain virus
memiliki virulensi yang berbeda.
Kenaikan titer IgG tertinggi dialami oleh beruk (1.6791) pada hari ke-11
yaitu 19,30 U/ml. Menurut Raviprakash et al. (2000), kenaikan titer IgG dimulai
terjadi pada hari ke-29 pada monyet rhesus. Jika dibandingkan pada beruk maka
kenaikan IgG yang terlalu awal dipengaruhi oleh kemampuan kekebalalan inang,
tingginya virulensi dari virus berdasarkan strain virus, karena adanya umpan balik
negatif yang terlalu awal terhadap IgM sehingga IgG meningkat dengan cepat,
umpan balik ini juga akan menekan IgG lebih lanjut terhadap virus yang sama
(Tizard 2004). Penelitian ini hanya mendeteksi IgG selama empat belas hari
setelah infeksi primer, sehingga lanjutan peningkatan dan penurunan titer IgG
tidak bisa terlihat secara lengkap. Secara umum virus akan menyebabkan
kenaikan IgG oleh infeksi primer setelah melewati hari ke-14 (Parija 2009), tetapi
secara khusus kenaikan IgG yang disebabkan oleh virus dengue pada manusia
terjadi pada hari ke-14 setelah onset infeksi primer (Sa-Ngasang et al. 2005).
Pada hari ke-12 secara umum titer IgG mulai mengalami kestabilan yang
tidak bisa diamati setelah hari ke-13 dan terjadi berbeda pada setiap beruk. Hal
ini dipengaruhi oleh afinitas dan derajat infeksi virus, faktor genetik pada beruk
tersebut (Gubler 1998), kemampuan kekebalan inang (White dan Frank 1994),
dan serotipe dan titer virus (Vaughn DW et al. 2000). Pengamatan lanjutan tidak
bisa dilihat secara lengkap pada Gambar 2, karena penelitian ini hanya
mendeteksi IgG selama empat belas hari, sedangkan masa bertahan untuk IgG
pada infeksi primer virus dengue akan sampai ratusan hari dan jarang melewati
640-1280 hari (Gubler dan Burns 2008).
Infeksi Primer dari virus dengue akan memperlihatkan titer IgM dan IgG
yang berbeda dengan keadaan infeksi sekundernya, pada infeksi sekunder IgG
akan lebih banyak daripada IgM pada awal hari infeksi karena merupakan
lanjutan dari infeksi primer, sedangkan jumlah IgM sedikit karena tertutup oleh
jumlah IgG (Sa-Ngasang et al. 2005).
27
Gambar 8 Profil titer IgG pada hewan kontrol selama empat belas hari
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa titer IgG pada beruk kontrol
(diinokulasikan larutan PBS) tidak menunjukkan kenaikan, hal ini sangat berbeda
jika dibandingkan dengan beruk yang telah diinfeksikan virus dengue yang
cenderung terlihat kenaikan titer IgG.
Perbandingan Peningkatan Rataan Titer IgM dan IgG
Tizard (2004) menyatakan bahwa IgM merupakan antibodi utama yang
dihasilkan dalam tanggap kebal primer, walaupun IgM pada tanggap kebal
sekunder juga diproduksi tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit dari IgG,
berdasarkan hal itu maka akan terlihat pada Gambar 7 perbandingan kenaikan
dan penurunan yang terjadi pada kedua antibodi tersebut secara jelas.
28
Gambar 9 Profil perbandingan rataan kenaikan titer IgM dan IgG selama empatbelas hari pada plasma beruk yang diinfeksi virus dengue
Melalui rataan titer IgM dan IgG pada Gambar 7 diatas dapat diamati
bahwa IgM mulai mengalami kenaikan mulai pada hari ke-4 yang terjadi hampir
pada semua beruk, sedangkan pada IgG mulai mengalami kenaikan pada hari
ke-7. Hal ini sesuai dengan teori dinyatakan oleh Tizard (2004) bahwa IgM
merupakan antibodi utama yang dihasilkan dalam tanggap kebal primer,
walaupun IgM pada tanggap kebal sekunder juga diproduksi tetapi jumlahnya
jauh lebih sedikit dari IgG. Selain itu hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
Kindt et al. (2007) bahwa respon IgM akan muncul pertama kali sebagai respon
pimer terhadap antigen dan juga merupakan immunoglobulin yang pertama
diproduksi setelah lahir serta IgM akan lebih efisien daripada IgG dalam
mengaktivasi komplemen. Setelah titer IgM mulai turun maka akan diikuti oleh
munculnya IgG, pada penelitian ini jarak antara mulai naiknya IgM dan
munculnya IgG sangat berdekatan walaupun titer IgM masih cukup tinggi. Hal ini
terjadi karena meningkatnya replikasi virus dengan cepat di dalam intravaskular
sehingga memaksa IgM diproduksi lebih banyak tetapi karena efek umpan balik
negatif dari tingginya titer IgM mengakibatkan lanjutan IgM akan tertekan titernya,
sehingga IgG akan muncul lebih awal untuk mengantisipasi sedikitnya IgM yang
diproduksi (Tizard 2004).
Berdasarkan Gambar 7, titik puncak titer IgM pada hari ke-9 lebih tinggi
daripada titik tertinggi titer IgG pada hari ke-11 sampai ke-13 karena dipengaruhi
oleh peningkatan replikasi dari virus dengue di dalam darah yang semakin hari
akan semakin meningkat serta karena perbedaan aviditas dari jenis antibodi
29
yang muncul (Tizard 2004). Tetapi perbedaan titer antara kedua antibodi tidak
bisa dijadikan acuan untuk membandingkan antara IgM dan IgG. Penurunan titer
IgM dan IgG sebenarnya belum bisa dijelaskan secara utuh pada penelitian ini,
karena gambaran kedua antibodi hanya bisa dijelaskan selama empat belas hari.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi infeksi virus dan induksi
respon imun adalah rute masuk virus (Parija 2009). Pemilihan rute injeksi
diputuskan berdasarkan atas tiga pertimbangan yaitu volume yang harus
dimasukkan, penyangga dan komponen yang akan diinjeksikan dengan
immunogen, serta kecepatan pelepasan immunogen ke limfatik dan sirkulasi
(Harlow dan Lane 1988). Perbandingan rute masuk virus dengue antara rute
intradermal, intravena, subkutan dosis rendah dan subkutan dosis tinggi
menyebabkan tanggapan humoral (IgM dan IgG) yang berbeda pada setiap
beruk, hal ini dapat dilihat dari segi kenaikan, puncak kenaikan dan penurunan
titer IgM dan IgG.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
1. Uji ELISA tak langsung akan mendeteksi peningkatan titer IgM
dan IgG terhadap virus dengue (DEN-3) pada plasma beruk yang
diinokulasikan melalui rute intradermal
2. Infeksi primer oleh virus dengue (DEN-3) akan mengakibatkan
munculnya IgM terlebih dahulu daripada IgG
3. Titer IgM akan terdeteksi lebih tinggi daripada titer IgG ketika
infeksi primer oleh virus dengue melalui rute intradermal
4. Peningkatan titer IgM dan IgG pada penelitian ini terlihat berbeda
pada setiap beruk (Macaca nemestrina) yang dipengaruhi oleh
faktor genetik.
SARAN
Perlunya penelitian lanjutan untuk melihat peningkatan dan
penurunan IgM dan IgG secara lengkap pada plasma beruk (Macaca
nemestrina) yang telah diinokulasikan virus dengue (DEN-3) secara
primer melalui rute intradermal.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonimus]. 2009. Emerging Viruses. [terhubung berkala]
http://thevirologyblogspot.com [ 2 Mei 2010]
[Anonimus]. 2010. ELISA Indirect. [terhubung berkala]http://entomology.tfrec.wsu.edu [21 Mei 2010]
Beasley D. dan Alan B. 2008. The Infectious Agent. Di dalam : Halstead, Scott,editor. Tropical Medicine : Science and Practice. Vol-5. USA : ImperialCollege Press. Hlm 29-57
Bellanti AJ. 1978. Immunology II. Asian Edition. Philadelphia : W.B SaundersCompany.
Bernardo L, Izquierdo A, Prado A, Rosario ID, Alvarez M, Santana E, Castro J,Martinez R, Rodrìguez R, Morier L, Guillèn G, dan Guzmán MG. 2008.Primary and secondary infection of Macaca fascicularis monkeys withAsian and American genotypes of dengue virus 2. Clinical and VaccineImmunology 15 (3) : 439-446
Brandler S, Brown N, Ermak TH, Mitchell F, Parsons M, Zhang Z, Lang J, MonathTP, dan Guirakhoo F. 2005. Repilications of chimeric yellow fever virusdengue serotypes 1-4 virus vaccine strains in dendritic and hepatic cells.Am. J. Trop. Med. Hyg 72(1) : 74-81
Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, dan Hunsperger E. 2007. Laboratory Test forThe Diagnosis of Dengue Virus Infection. Switzerland : TDR
Burgess WG, ed. 1988. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Bab 2hlm 50-60. Artama, T. Wayan, penerjemah. Yogyakarta : Gajah MadaUniversity Press. Terjemahan dari : ELISA Technology in Diagnosis andResearch.
Colville T dan Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for VeterinaryTechnicians. Missouri : Mosby, Inc.
Crowther JR. 2001.The ELISA Guidebook : Methods in Molecular Biology, vol.14. New Jersey : Humana Press Inc
Dolhinow P dan Fuentez A. 1999. The Non Human Primates. California : MayfieldCompany
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, dan White DO. 1987.Virology Veteriner 2
nd Edition. USA : Academic Press
Fiennes RN. 1976. Primates. In the UFAW Handbook on the Care andManagement of Laboratory Animals, 5th edition. Hal : 377-391. Edinburgh: Churchill Livingstone
Ginanjar G. 2007. Demam Berdarah. Jakarta : Pustaka Mizan
32
Gubler DJ dan Burns JA. 2008. Dengue Viruses. USA : Elsevier Ltd
Gubler DJ. 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical MicrobiologyReviews Vol II (3): 480-496
Haak-Frendscho M. 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody, anAppealingAlternative. Promega Notes Magazine: 11.
Halrow ED dan Lane D. 1988. Antibody a Laboratory Manual. USA : Cold SpringHarbor Laboratory
[IUCN] International Union of Conservation Nature . 2010. The IUCN Red List ofThreatened Species. [terhubung berkala].http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/12555/0/full [15 Juli 2010]
Jones V. 2010. Inexpensive Immuno-Marking Systems to Measure InsectMovement Patterns. [terhubung berkala]. http://entomology.tfrec.wsu.edu[ 24 April 2010]
Kindt TJ, Goldsby RA, dan Osborne BA. 2007. Immunology. 6th Ed. USA : W.H.Freeman and Company
King C, Chao DY, Chien LJ, Chang GJJ, Lin TH, Wu YC, dan Huang JH . 2008.Comparative analysis of full genomic sequences among differentgenotypes of dengue virus type 3. Virology Journal (5) : 63
Kuiken T, Rimmelzwaan GF, van Amerongen G, dan Ostehaus ADME. 2003.Pathology of human influenza A (H5N1) virus infection in cynomolgusMacaques (Macaca fascicularis). J Vet Pathol 40 : 304-310
Kusumawati L. 2005. Teori Sequential Infection dari Halstead. Medan : USU.[terhubung berkala]. http://library.usu.ac.id/download/fk/mikrobiologi-lia%20kusumawati.pdf [2 Mei 2010]
Malole MB.1988. Virologi. Bogor : Pusat antar Universitas IPB bekerja samadengan lembaga sumberdaya informasi-IPB
Nakamura RM, Kasahara Y, dan Rechnitz GA.1992. Immunochemical Assay andBiosensor Technology for the 1990s. Washington DC : American Societyfor Microbiology
[PAHO] Pan American Health Organization. 2003. Zoonoses and CommunicableDiseases Common to Man and Animals. 3rd Ed. Volume II. WashingtonDC : PAHO HQ Library
Parija SC. 2009. Textbook of Microbiology and Immunology. India : Elsevier
Purnama RA. 2007. Konservasi Primata Indonesia. Volume XI. [terhubungberkala] www.Profauna.org. [14 Juli 2009]
Raviprakash K, Porter KR, Kochel J, Ewing D, Simmons M, Philips I, Murphy G,WR Weiss, dan Hayes CG. 2000. Dengue virus type 1 DNA vaccineinduces protective immune responses in Rhesus Macaques. Journal ofGeneral Virology 81 : 1659-1667
33
Ridge S.E dan Vizard A.L. 1993. Determination of the optimal cut off value for aserological assay an example using the Johnes absorbed EIA. Journal ofClinical Microbiology, Vol 31 (5): 1256-1261
Rose NR, de Macario EC, dan Fahey JL. 1992. Manual of Clinical LaboratoryImmunology, 4th Edition. Washington DC: American Society forMicrobiology
Roukens AH, Vossen AC, Bredenbeek PJ, van Dissel JT, dan Visser LG. 2008.Intradermally administrated yellow fever vaccine at reduce dose induces aprotective immune response : a randomized controlled non-inferiority trial.PloS ONE 3 (4) : e19993
Rudnick A. 1966. Studies of the ecology of dengue in Malaysia. Bull world HealthOrgan 35 : 78-79
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri : Saunders, animprint of Elsevier Inc.
Sa-Ngasang A, Anantapreecha S, A-Nuegoonpipat A, Chanama S,Wibulwattanakij S, Pattanakul K, Sawanpanyalert P, dan Kurane I. 2005.Specific IgM and IgG responses in primary and secondary dengue virusinfections determinated by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay.Epidemiol Infect 134(4) : 820-825
Schaller J,Gerber S, dan Kampfer U. 2008. Human Blood Plasma Protein.England : John Wiley & Sons Ltd
Silva R da ANM, Nascimento E, Cordeiro MT, Gil LG, Abath FGC, MontenegroSML, dan Marques ETA. 2009. Identification of continous human B-cellepitopes in the envelope glycoprotein of dengue virus type 3 (DENV-3).Plos ONE 4(10) : e7425
Singh G. 2007. Determination of cutoff score for a diagnostic Test. The InternetJournal of Laboratory Medicine, Volume II: 1
Smith BJ dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan danPenggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UniversitasIndonesia Press.
Stiasny K dan Franz H. 2006. Flavivirus Membran Fusion. J Gen Virol 87: 2755-2766
Soehartono T dan Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES diIndonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency.
Sumarmo S. 1988. Demam berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UniversitasIndonesia Press.
Supriatna J dan Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.Jakarta : Yayaan Obor Indonesia.
34
Tizard RI. 2004. Veterinary Immunology an Introduction. 7th Ed. USA : Saundersan Imprint of Elsevier.
Tran NTT, de Vries PJ, Hoang LP, Phan GT, Le HQ, Tran BQ, Vo CMT, NguyenNV, Kager PA, Nagelkerke N, dan Groen J. 2006. Enzyme-linkedimmunoassay for dengue virus IgM dan IgG antibodies in serum and filterpaper blood. BMC Infectious Diseases 6 : 13
Tritten L. 2009. A New double-antibody sandwich ELISA tergeting Plasmodiumfalciparum aldolase to evaluate anti-malaria drug sensitive. Malar J 8 :226
Vaughn DW, Green S, Kalayana S. 2000. Dengue viremia titer antibody responspatern and virus serotype correlate with disease severity. J.Infect 181: 2-9
Wagner KE dan Martinez HJ. 2004. Basic Virology. Second Edition. USA :Blackwell Publishing
Wahala MPB, Donaldson EF, de Alwis R, Accavitti-Loper MA, Baric RS, dan deSilva AM. 2010. Natural strain variation and antibody netralization ofdengue serotype 3 viruses. PLos Pathog 6 (3) : e1000821
White OD dan Frank FJ. 1994. Medical Virology. California: Academic Press.
[WHO] World Health Organization. 1985. Viral Hemorrhagic Fever. Report of aWHO Expert Committee. Jenewa : WHO
Yamada KI, T Takasaki, Nawa M, dan Kurane I. 2002. Virus isolation as one ofthe diagnostic methods for dengue virus infection. J Clin Virol 24 : 203-209
LAMPIRAN
Antibodi IgM
Lampiran 1 Titer antibodi IgM terhadap virus dengue
AI/DAY 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1.6791 2,90 3,82 4,19 4,15 4,90 8,01 12,72 19,03 24,38 24,43 22,78 18,37 18,00 16,23
1.8875 3,72 4,24 3,82 4,31 3,96 6,10 11,31 16,09 18,82 20,07 17,39 16,73 14,72 14,30
6099 3,84 3,79 3,58 5,02 8,55 11,47 12,79 15,97 18,47 24,43 24,76 23,30 20,66 18,82
8882 4,90 4,99 4,69 4,52 5,09 4,95 11,54 20,45 29,09 33,14 30,25 27,59 24,41 24,12
1.8258 0,92 0,97 1,18 1,20 1,34 2,71 3,96 9,19 16,58 19,55 19,18 17,03 14,42 12,89
9173 3,46 4,76 4,10 5,02 5,09 7,30 13,52 23,39 26,48 28,86 24,00 21,96 22,61 20,14
Antibodi IgG
Lampiran 2 Titer antibodi IgG terhadap virus dengue
AI/DAY 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1.6791 0,27 0,31 0,35 0,41 0,41 0,41 0,90 2,97 8,72 13,80 16,38 19,30 18,30 18,49
1.8875 0,29 0,27 0,27 0,16 0,18 0,41 1,00 5,08 9,40 13,41 15,15 16,91 17,09 17,91
6099 0,43 0,51 0,41 0,47 0,55 1,04 2,54 5,77 8,45 12,69 14,00 17,18 16,60 15,68
8882 0,18 0,25 0,23 0,27 0,25 0,29 0,45 2,78 8,86 13,74 15,01 17,97 17,93 19,02
1.8258 0,45 0,45 0,47 0,59 0,43 0,47 0,55 1,64 6,63 12,47 16,46 16,40 16,11 16,27
9173 0,23 0,27 0,20 0,20 0,27 0,35 0,82 2,93 9,38 12,18 16,13 17,22 16,91 16,97