17
Profil KPHP Delta Mahakam A. Latar belakang : Kawasan hutan merupakan wilayah yang paling sering mengalami tekanan dan gangguan berupa deforestasi dan degradasi. Indonesia yang memiliki luas hutan ke-3 terbesar di dunia, setelah Brazil dan Zaire, tak luput dari deforestasi dan degradasi yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Data dari Departemen Kehutanan ( kini Kementerian Kehutanan), luas hutan Indonesia terus menciut. Tahun 1950, luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 1950 sebesar 162 juta; tahun 1992 berkurang menjadi 118,7 juta ha; tahun 2003 menurun menjadi 110,0 juta ha; dan pada 2005 tinggal menjadi 93,92 juta ha. Indonesia yang merupakan negara maritim, memiliki kurang lebih 17 ribu pulau yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas daratannya sekitar 1,93 juta km2 (SUKARDJO 1996). Dari wilayah pantai tersebut dapat dijumpai hutan mangrove, tetapi tidak semua wilayah pesisir ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya ada persyaratan atau faktor lingkungan yang mengontrolnya. Indonesia yang merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas didunia, beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai tekanan. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan hutan mangrove bahkan ada kemungkinan hilangnya ekosistem tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove, baik itu dalam bentuk ekplorasi hasil hutan maupun konversi lahan untuk keperluan lain, sebetulnya sudah sejak ratusan tahun lalu, dan keadaan ini masih terus berlangsung hingga saat ini (BUDIMAN & KARTAWINATA 1986). Bahkan PRAMUDJI (1997, 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau kegiatan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan akibat sampingannya. Pembangunan KPH mutlak dilakukan setelah melihat situasi lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di lapangan. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP. No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menandai orientasi baru

Profil KPHP Delta Mahakam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KPH, Mahakam, Kutai Kartanegara, hutan, phbm

Citation preview

Profil KPHP Delta Mahakam

A. Latar belakang : Kawasan hutan merupakan wilayah yang paling sering mengalami tekanan dan gangguan berupa deforestasi dan degradasi. Indonesia yang memiliki luas hutan ke-3 terbesar di dunia, setelah Brazil dan Zaire, tak luput dari deforestasi dan degradasi yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Data dari Departemen Kehutanan ( kini Kementerian Kehutanan), luas hutan Indonesia terus menciut. Tahun 1950, luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 1950 sebesar 162 juta; tahun 1992 berkurang menjadi 118,7 juta ha; tahun 2003 menurun menjadi 110,0 juta ha; dan pada 2005 tinggal menjadi 93,92 juta ha. Indonesia yang merupakan negara maritim, memiliki kurang lebih 17 ribu pulau yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas daratannya sekitar 1,93 juta km2 (SUKARDJO 1996). Dari wilayah pantai tersebut dapat dijumpai hutan mangrove, tetapi tidak semua wilayah pesisir ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya ada persyaratan atau faktor lingkungan yang mengontrolnya. Indonesia yang merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas didunia, beberapa tahun terakhir ini mengalami berbagai tekanan. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan hutan mangrove bahkan ada kemungkinan hilangnya ekosistem tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove, baik itu dalam bentuk ekplorasi hasil hutan maupun konversi lahan untuk keperluan lain, sebetulnya sudah sejak ratusan tahun lalu, dan keadaan ini masih terus berlangsung hingga saat ini (BUDIMAN & KARTAWINATA 1986). Bahkan PRAMUDJI (1997, 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama subsektor perikanan yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak, penambangan atau kegiatan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan akibat sampingannya. Pembangunan KPH mutlak dilakukan setelah melihat situasi lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di lapangan. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP. No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menandai orientasi baru pembangunan kehutanan yang menyelamatkan fungsi publik atas hutan dan mewujudkan mimpi kawasan hutan yang akan dipertahankan sebagai hutan tetap, serta menjadi dasar pengelolaan hutan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Terbentuknya organisasi pengelolaan hutan dalam bentuk KPH akan lebih mendorong implementasi desentralisasi yang nyata, optimalisasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sebagai salah satu jalan untuk resolusi konflik, kemudahan dan kepastian investasi, tertanganinya wilayah tertentu yang belum ada pengelolanya yaitu areal yang belum dibebani ijin, serta upaya untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan perlindungan hutan.

B. Landasan Pembangunan KPH : Pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui pembangunan KPH didasarkan pada : UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan; - PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; Permenhut P. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH; Permenhut P. 6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP); Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah;

Pembentukan KPH pada tingkat daerah, khusus penetapan wilayah KPH di Propinsi Kalimantan Timur telah ditindaklanjuti dengan peraturan sebagai berikut : SK.674/MENHUT-II/2011 tanggal 1 Desember 2011 tentang Penetapan Wilayah KPHL dan KPHP di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya pembentukan KPHP Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara ditetapkan melalui : Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 25 tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara.

Gambar 1. Peta Lokasi KPHP Delta Mahakam

III. GAMBARAN UMUM A. Fungsi dan luas kawasan hutan di wilayah KPHP Delta Mahakam : - Hutan produksi seluas : 110.153 ha

B. Letak geografis Kawasan Delta Mahakam terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, secara geografis terletak antara 117o1438,2117o3945,7 BT dan 0o2010,20o5543,6 LS. Kawasan Delta Mahakam ini berjarak 25 Km ke timur dari ibu kota provinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Untuk menuju ke lokasi yang terdiri atas pulau-pulau terluar dapat ditempuh menggunakan kapal tradisional dongfeng atau speed boat dari pelabuhan Samarinda atau dari pelabuhan Sei Meriam, Kecamatan Anggana dengan sistem sewa. Batas-batas wilayah Delta Mahakam yaitu sebagai berikut : Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Anggana dan Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kecamatan Anggana dan Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara.

C. Kegiatan Pembangunan Kehutanan di Wilayah KPHP Delta Mahakam Banyak program beserta dana pendukungnya telah dilaksanakan dengan tujuan utama menghijaukan kembali Delta serta meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat petambak. Dinas Kehutanan Kukar mendanai penanaman bakau dari alokasi Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) atau Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Sejak dimulai tahun 2002, areal hutan produksi Delta yang sudah ditanami bakau dengan dana DAK DR mencapai 206 Ha. Sedangkan areal yang ditanami lewat proyek Gerhan sejak tahun 2004 mencapai 150 Ha. Berdasarkan kesepakatan longgar yang dicapai pada tahun 2001, dinas kehutanan memfokuskan diri untuk menanam bakau pada areal-areal kritis. Sementara Bapedalda Kukar mengambil porsi untuk menanam di sempadan pantai dan sungai. Sedangkan dinas perikanan dan kelautan mengambil bagian di areal-areal yang diperuntukan menjadi tambak percontohan. Pada saat yang sama pelaku swasta seperti Total E&P Indonesie , Cevron dan Vico juga ambil bagian dalam program ini. Sepanjang tahun 2001-2005, Total telah menanam bibit pohon bakau sebanyak 3.549.977 buah, di atas areal seluas 646 Ha. Sasaran penanaman oleh Total adalah areal-areal yang sebelumnya ditebangi untuk keperluan pemasangan jalur pipa. Selain kegiatan penanaman bakau, berbagai instansi terkait juga melaksanakan kegiatan penataan batas dan pembinaan melalui sosialisasi dan penyuluhan. Departemen Kehutanan melalui BPKH Wilayah IV bekerjsama dengan UPTD Planologi Kehutanan Dinas Kehutanan Kaltim melakukan kegiatan penataan batas kawasan hutan sejak tahun 2001. Hasilnya, seluas 103. 682 Ha telah berhasil ditata batas. Sisa yang belum ditatas batas hanya seluas 6.786 Ha. Dinas Kehutanan Pemprov melalui UPTD PHH Samarinda melakukan kegiatan penyuluhan. Hal yang sama dilakukan oleh Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Dinas Kehutanan Kukar. Pada tanggal 30 April 2008, Bupati Kukar membentuk tim sosialisasi melalui surat keputusan bernomor 180.188/HK-340/2008 tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Sementara Bappeda Kukar, seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya, sejak tahun 2001 telah mengkoordinir perumusan kebijakan pengelolaan Delta Mahakam yang berkarakter terpadu dan berorientasi pemanfaatan yang berkelanjutan. Berjarak kira-kira 7 bulan sejak acara lokakarya di Ancol tahun 2001, pada November 2001, Bupati Kukar membentuk Tim Pengelolaan Delta Mahakam Terpadu dan Berkelanjutan melalui surat keputusan nomor 180.188/HK-458/2001. Setelah bekerja selama lebih kurang 2 tahun, pada tahun 2003 dihasilkan 3 rancangan kebijakan, yakni: (1) Rencana Stratejik Badan Pengelola Kawasan Lindung Delta Mahakam; (2) Raperda tentang Pembentukan Organisasi Badan Pengawasan Kawasan Lindung Delta Mahakam; dan (3) Rancangan Keputusan Bupati Kukar tentang Uraian Tugas dan Tata Kerja Badan Pengelola Kawasan Lindung Delta Mahakam. Salah satu proyeksi Kabupaten Kutai Kartanegara kedepannya adalah menciptakan pembangunan ekonomi di bidang ekowisata. Delta Mahakam merupakan lokasi yang sangat mungkin untuk dikembangkan sebagai tujuan ekowisata mengingat di delta ini terdapat kekhasan yang mungkin tidak terdapat di daerah lain yaitu kombinasi wisata alam mangrove dan kegiatan migas. Apabila ekowisata ini bisa dikelola dengan baik, maka sektor ini bisa menciptakan berbagai lapangan pekerjaan dan menjanjikan pendapatan yang berkelanjutan pula. Memang untuk mengembangkan ekowisata ini dibutuhkan pengembangan sumber daya manusia yang tidak sedikit. Oleh karena itu sektor pendidikan dan kesehatan pun kita kembangkan guna menunjang proyeksi kita kedepan tersebut.

Gambar 2. Peta Lokasi Kegiatan RHL oleh Dinas Kehutanan Kutai Kartanegara di Kawasan Delta Mahakam

D. Potensi Wilayah KPHP Delta Mahakam1. Penutupan Vegetasi Ekosistem Hutan mangrove Delta Mahakam termasuk tipe ekosistem mangrove yang didominasi sungai. Tipe ekosistem ini dicirikan oleh tingginya pasokan air tawar yang dibawa aliran sungai, tingginya sedimentasi dan tidak rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan salinitas, genangan (pasang surut), komposisi substrat lahan akan mempengaruhi jenis flora dan fauna yang menghuni termasuk zona vegetasi. Delta Mahakam dengan tutupan lahan alamiah didominasi oleh ekosistem mangrove. Sebagai ekosistem pesisir, Delta Mahakam secara alami ditutupi oleh Nipah sebagai vegetasi dominan, diikuti oleh beberapa jenis tumbuhan mangrove, seperti Api-api (Avicennia spp), dan Bakau (Rhizophora spp) (Dutrieux, 2001). Keanekaragaman vegetasi mangrove yang tumbuh di Delta Mahakam adalah bakau merah (Rhizophora apiculata), tumu (Bruguiera parviflora), nyirih (Xylocarpus granatum), pidada (Sonneratia caseolaris), perepat (Sonneratia alba), api-api (Avicennia spp), dungun (Heritiera littoralis) dan nipah (Nypa fructicans). Sebagai ekosistem pesisir, Delta Mahakam dengan luas sekitar 1.500 km2 secara alami ditutupi oleh Nipah sebagai vegetasi dominan, diikuti oleh beberapa jenis tumbuhan mangrove, seperti Api-api (Avicennia spp), dan Bakau (Rhizophora spp) (Dutrieux, 2001). Dengan luas tutupan Nipah terbesar di dunia, ekosistem Delta Mahakam memiliki produktivitas hayati yang sangat tinggi dan mendapat pasokan bahan organik potensial sebagai hara dari lahan atas melalui aliran sungai. Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki potensi sumberdaya ikan, udang dan kepiting yang besar. Selain potensi sumberdaya alam hayati (renewable resources), ekosistem Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya alam nir-hayati (non-renewable resources) (minyak dan gas bumi) potensial. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem utama Delta Mahakam memiliki peran biologis yang sangat penting untuk tetap menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir. Hal ini mengingat bahwa ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) beberapa jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan (Bengen dan Dutton, 2004) (Gambar 2). Menurut Turner (1977) dan Martosubroto dan Naamin (1978) produksi hasil tangkapan udang di suatu perairan pesisir berbanding lurus dengan luas hutan mangrove di wilayah tersebut. Ekosistem mangrove merupakan sumber utama kehidupan dan budaya masyarakat lokal di wilayah pesisir, yang memanfaatkan ekosistem ini untuk produksi bahan makanan, obat-obatan, tannin, arang dan bahan konstruksi (Quarto, 2000). Selain itu, ekosistem ini juga memiliki fungsi yang sangat penting sebagai pelindung pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang (abrasi) dan erosi pantai. Karena itu pengelolaan ekosistem Delta Mahakam baik langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antara daratan dan laut (ecological integrity). Sebaran populasi bekantan di Kalimantan terdapat hampir di sepanjang pantai, khususnya daerah hutan rawa. Namun demikian laju degradasi hutan rawa ini sangat cepat, terutama konversi menjadi lahan budidaya dan pemukiman (persawahan, permukiman dan pertambakan). Dengan demikian populasi bekantan di delta Mahakam juga mendapat ancaman dari kegiatan pmbangunan tambak. Berbagai jenis fauna endemik dan spesifik penting seperti bekantan, burung raja, udang, sikatan, burung madu, elang bondol, elang hitam, enggang juga memerlukan kawasan hutan mangrove sebagai habitat hidupnya. Berdasarkan peta penutupan lahan yang dikeluarkan oleh BPKH wilayah IV Samarinda Tahun 2012 dapat di lihat pada tabel berikut : Tutupan Lahan Luas (Ha) Belukar Rawa 10,183.02 Hutan Mangrove Primer 392.11 Hutan Mangrove Sekunder 25,481.68 Hutan Rawa Sekunder 6,126.93 Lahan Terbuka 876.66 Pertanian Campuran 3,001.28 Perkebunan 1,032.65 Permukiman 212.64 Pertanian 482.43 Rawa 24.19 Tambang 50.78 Tambak 68,108.08

E. Penyebaran Satwa / Fauna Liar 1. Habitat Hutan mangrove Delta Mahakam secara alami merupakan habitat penyebaran satwa liar (mamalia dan burung), termasuk bekantan sebagai satwa Pulau Kalimantan. Ruang gerak habitat satwa liar ini terus mengalami penurunan akibat meningkatnya konversi hutan mangrove untuk pencetakan tambak-tambak baru. Habitat utama bekantan (Nasalis larvatus) ini adalah hutan mangrove yang ditumbuhi pidada (Sonneratia alba), karena binatang tersebut memakan daun/ bunga dan buah pidada. 2. Sebaran Populasi Berdasarkan hasil kajian PKSPL IPB (2001 dan observasi di lapangan (Juli September 2002) diperoleh keanekaragaman satwa liar sebanyak 5 jenis mamalia dan 24 jenis burung yang menghuni kawasan hutan mangrove Delta Mahakam. Diantara satwa liar yang tergolong satwa dilindungi karena kelangkaan, keaslian (endemik) dan populasinya terancam punah adalah Bekantan (Nasalis larvatus); burung raja udang (Halcyon chloris); Elang (accipiter trivirgatus); Elang bondol (Haliastur indus); Sikatan (Rhipidura javanica) dan burung madu (Nectarina sp). Adapun secara rinci satwa liar yang dilindungi berikut lokasi penyebarannya di Delta Mahakam disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Lokasi Sebaran Satwa Liar Dilindungi di Delta Mahakam No. Jenis Satwa Nama ilmiah Lokasi Sebaran Status 1. Bekantan Nasalis larvatus Hutan mangrove air tawar, hutan pidada (Muara Jawa, Muara Pegah, P. Layangan, Muara Kembang Dilindungi 2. Burung Raja Udang - Halcyon chloris Muara jawa, P. Selayangan, P. Tunu, P. Selete, Handil, Tanjung Una, Muara Kembang (Hutan Rawa Air Tawar) Dilindungi - Pelargopsis capensis Pulau Tunu Dilindungi 3. Elang bondol Haliastur indus Muara Jawa, Muara Ulu, Muara Tani Baru Dilindungi 4. Elang Acciptrer trivirgatus Pulau Tunu Dilindungi 5. Kuntul Egretta sp. Muara Ulu Dilindungi 6. Sikatan Rhipidura javanica Tj. Una, Handil, Muara Kembang Dilindungi 7. Burung Madu Nectarina sp. Muara Kembang, Handil Dilindungi Sumber : - Kajian PKSPL IPB (2001) - Observasi Lapangan (2002) Kawasan Delta Mahakam sebagaimana diuraikan di atas, adalah kawasan yang berlumpur, berawa dan ditumbuhi oleh tetumbuhan (pohon kayu) hutan, tetumbuhan nipah-nipah, tetumbuhan bakau dan tetumbuhan rawa jenis lainnya. Tetumbuhan (pohon kayu) hutan, menempati bagian hulu dari delta (upper delta lain) yang mengandung air payau, yang masih mengalami pengaruh air tanah dan air (tawar) sungai sangat besar. Tetumbuhan nipah-nipah berada di kawasan tengah Delta (lower delta plain), yang mengandung air payau sampai asin, karena adanya pengaruh air (tawar) sungai, air payau dan air (asin) laut, sedangkan hutan bakau, umumnya, menempati bagian dari kawasan delta yang mengandung air payau dengan pengaruh air (asin) laut lebih dominan. Pepohonan kayu hutan, nipah dan bakau di dalam kawasan delta tersebut sebagian telah ditebang, namun secara terbatas dan terkendali, untuk keperluan eksplorasi migas, pengeboran sumur-sumur migas, penghamparan instalasi pipa-pipa produksi migas, pembangunan instalasi dan anjungan produksi migas. Rona lingkungan ini tidak bertahan lama karena muncul gangguan terhadap keberadaan sumberdaya alam hayati ini. Gangguan ini makin lama makin meluas dan tidak terkendali, yang mengakibatkan penyusutan tutupan lahan secara cepat, yang terjadi sejak awal 1990-an. Gangguan ini berupa perambahan dan penebangan kawasan hutan kayu, nipah dan bakau oleh para warga masyarakat guna keperluan pembangunan tambak udang. Lebih dari separuh kawasan daratan delta kini sudah tidak ditumbuhi oleh tetumbuhan dan pepohonan. Dengan luas tutupan Nipah terbesar di dunia, ekosistem Delta Mahakam memiliki produktivitas hayati yang sangat tinggi dan mendapat pasokan bahan organik potensial sebagai hara dari lahan atas melalui aliran sungai. Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki potensi sumberdaya ikan, udang dan kepiting yang besar. Selain potensi sumberdaya alam hayati (renewable resources), ekosistem Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya alam nir-hayati (non-renewable resources) (minyak dan gas bumi) potensial. Keunikan ekosistem mangrove Delta Mahakam ditampakkan dari luasnya sebaran dominasi vegetasi nipah disetiap lahan pasang surut Delta Mahakam (luas semula 75.000 ha dari luas lahan delta sebesar 100.000). Zona Nypa fructicans penyebarannya dapat mencapai sekitar 50% dari seluruh kawasan Delta Mahakam dan merupakan formasi nipah paling luas di dunia, namun arealnya kini tinggal 11.000 ha akibat dikonversi menjadi lahan tambak (Total Fina Elf, 2001). Potensi spesifik lain yang menjadi andalan ekspor adalah banyaknya lokasi lahan wilayah Delta Mahakam yang menyimpan cadangan minyak dan gas alam baik yang telah dieksploitasi maupun yang belum dieksploitasi. Dengan kehadiran kegiatan eksplorasi tesebut telah mendorong terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Potensi sumber daya kawasan delta didominasi oleh ikan dan udang. Selain itu terdapat potensi sumber tambang minyak dan gas. Kawasan delta juga merupakan potensi bagi pengembangan areal pertambakan. Pada saat sekarang juga telah terjadi konversi areal hutan dan persawahan pada beberapa lokasi menjadi areal tambak dengan menggunakan sistem perairan tawar. Potensi sumber daya lain yang belum optimal dikembangkan di kawasan Delta Mahakam adalah jasa kelautan dan kepariwisataan. Menurut White dalam Naamin (1990) ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang subur dengan produktivitas tinggi yang mana produktivitas primer ekosistem mangrove bisa menyumbang sekitar 400 sampai 5000 g karbon/m2/tahun. Keeley (2007) menambahkan manfaaat yang diberikan oleh rawa mangrove yaitu menyumbang 24% dari 6,4% yang menyelimuti bumi untuk produktivitas global dapat menyerap karbon dalam jumlah besar dan mengubahnya menjadi makanan bagi hewan lain. Kemudian diperkuat lagi oleh data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Suryandari (2008) bahwasannya mangrove dengan luasan 93 ribu Km2 memiliki daya serap karbon sejumlah 75,4 juta ton per tahun atau dengan kata lain 1 hektar luasan mangrove mampu menyerap 8,11 ton karbon per tahunnya. F. Data Informasi Sosial Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai luas wilayah sekitar 27.263,10 Km2. Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terletak antara 1152628 BT - 1173643 BT dan 12821 LU - 10806 LS. Secara administrasi Wilayah KPHP Delta Mahakam berada di 3 Kecamatan (Muara Jawa, Anggana dan Muara Badak) yang termasuk dalam wilayah KPHP Delta Mahakam, dimana pada ketiga kecamatan tersebut jumlah penduduk dapat diihat pada tabel berikut :1. Kecamatan Anggana : Desa/KelurahanLuas (Km2)Jumlah RTJumlah PendudukKepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

[1][2][3][4][5]

1. Sepatin624,87931415,03

2. Muara Pantuan

513,32 17 5065 9,87 3. Tani Baru 71,50 20 2982 41,71 4. Kutai Lama 308,95 11 2834 9,17 5. Anggana 97,12 14 2521 25,96 6. Sungai Meriam 116,54 28 9568 82,10 7. Sidomulyo 30,00 17 3025 100,83 8. Handil Terusan 36,50 12 3638 99,672. Kecamatan Muara Badak : Desa/Kelurahan Luas (Km2) Jumlah RT Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) [1] [2] [3] [4] [5] 1. Saliki 375,34 10 4.237 11,29 2. Salo Palai 156,02 9 1.203 7,71 3. Muara Badak Ulu 81,96 14 4.443 54,21 4. Muara Badak Ilir 41 14 4.474 109,12 3. Kecamatan Muara Jawa : Desa/Kelurahan Luas (Km2) Jumlah RT Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1. Muara Jawa Ilir 23,79 11 2.604 1092. Muara Jawa Tengah 62,45 14 4.165 673. Muara Jawa Ulu 29,74 24 9.659 325 44. Muara Kembang 262,90 13 2.657 10

G. Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan1. Isu Strategis Seiring dengan pelaksanaan pembangunan, pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan ruang untuk melakukan aktivitas, sumber daya hutan juga mengalami tekanan yang cukup besar, sehingga menjadi perhatian berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini perubahan iklim menjadi perhatian serius dunia. Ancaman dan resiko cukup besar dari perubahan iklim mendorong negara-negara maju dan berkembang terus memikirkan upaya-upaya strategis, baik untuk menekan laju perubahan iklim maupun memikirkan tindakan-tindakan adaptasi yang diperlukan." Indonesia juga memberikan perhatian serius soal isu perubahan iklim ini. Beberapa isu strategis terkait pengelolaan kawasan Delta Mahakam antara lain sebagai berikut : a. Kerusakan Hutan Mangrove di kawasan Delta Mahakam b. Belum optimalnya pemantapan kawasan dan penyelesaian tenurial masyarakat c. Masih cukup tingginya angka kemiskinan masyarakat dalam dan sekitar kawasan hutan d. Belum optimalnya kontribusi parapihak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar kawasan hutan Fungsi kawasan hutan yang ada pada wilayah KPHP Delta Mahakam serta di Kabupaten Kutai Kartanegara pada umumnya masih pada tahap penunjukan kawasan (berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 79/KPTS-II/2001, 15 Maret 2001, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Kalimantan Timur). Dilapangan masih terdapat ketidakpastian status dan fungsi kawasan sehingga masih terdapat overlap/ketidakcocokan antara fungsi kawasan dengan ijin pengelolaan pemanfaatan dan penggunaan kawasan seperti keberadaan perkampungan, perkebunan dan pertanian, perikanan di dalam kawasan Hutan Produksi.

2. Kendala dan Permasalahan Pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak permasalahan yang merupakan prasyarat-prasyarat pengelolaan hutan secara lestari yang belum dapat diselesaikan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sampai saat ini belum disahkan. b. Belum optimalnya pengelolaan kawasan lindung termasuk pengalokasian dan pengawasannya oleh pihak berwenang. c. Data dan informasi Biofisik dan sosial budaya serta Spatial (keruangan) terkait dengan sumberdaya alam hutan di wilayah KPHP Delta Mahakam masih belum lengkap dan belum sinkron pada berbagai tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten ) serta belum tersedianya protokol pertukaran dan sinkronisasi data di berbagai tingkatan d. Kapasitas kelembagaan KPHP Delta Mahakam masih sangat terbatas baik kapasitas sumberdaya manusia SDM, prasarana dan sarana, pendanaan maupun bentuk struktur organisasi yang masih sangat sederhana. e. Tata hubungan kerja, secara umum pembagian peran diantara stakeholder tidak berjalan pada tataran implementasi. Partisipasi institusi non kehutanan dan para pihak sangat terbatas. Komunikasi antar instansi juga sangat minim baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi. f. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumberdaya alam hutan, baik partisipasi dalam ijin pemanfaatan yang sudah ada maupun pengelolaan secara langsung melalui skema-skema berbasis masyarakat seperti: Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa, serta belum optimalnya pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan jasa lingkungan dan pengembangan wisata alam.

III. RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN KPHP Delta Mahakam merupakan wilayah kelola yang memiliki potensi yang cukup besar, akan tetapi pengelolaan dan pemanfaatannya belum optimal. Eksploitasi kawasan hutan masih berorientasi pada pembukaan tambak, sedangkan pemanfaatan HHBK, Jasa Lingkungan belum dilihat sebagai potensi ekonomi. KPHP Delta Mahakam juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang terkait dengan kelembagaan, kepastian kawasan, integrasi peran antara pihak yang melakukan kegiatan, partisipasi masyarakat yang masih rendah dalam pengelololaan hutan. sehingga diperlukan beberapa strategi pengelolaan jangka panjang untuk memaksimalkan semua potensi yang ada. A. Inventarisasi berkala wilayah kelola dan penataan hutan 1. Inventarisasi berkala Lima tahun sekali pengelola KPHP Delta Mahakam akan melakukan inventarisasi hutan di wilayah yang belum dibebani ijin. Untuk wilayah yang telah dibebani ijin, pengelola akan mencari data sekunder dari inventarisasi hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin/pengguna kawasan. Inventarisasi meliputi aspek biogeofisik dan sosekbud, aspek Jasa lingkungan, objek wisata, aspek pemetaan Kawasan Rawan Keamanan Hutan dan Inventarisasi aspek biomassa dan karbon hutan. 2. Pembagian blok Wilayah KPHP Delta Mahakam dibagi kedalam beberapa blok-blok pemanfaatan dan penggunaan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial budaya. Blok-blok tersebut berada di blok perlindungan, Blok pemanfaatan Jasa lingkungan dan HHBK, Blok Pemanfaatan HHK-HA, Blok HHK/HT, Blok Pemberdayaan dan Blok Khusus. Selanjutnya blok-blok tersebut dibagi kedalam petak-petak untuk memudahkan dalam perencanaan pemanfaatan hutan/hasil hutan dan jasa lingkungan. 3. Pemancangan batas Dalam waktu tiga tahun pertama, pengelola KPHP Delta Mahakam ditargetkan pemancangan pal batas luar wilayah KPHP. Pada tahun ke empat, pengelola KPHP mulai melakukan pemancangan pal batas blok.

B. Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu Pada blok pemanfaatan wilayah tertentu pengelola KPHP Delta Mahakam akan melakukan pemanfaatan hutan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk kemitraan. Hasil hutan yang dimanfaatkan dapat berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Strategi yang diterapkan adalah : 1) IUPHHK-HA Skala Kecil dengan penerapan pembalakan, hasilnya antara lain diarahkan untuk budidaya arang aktif. 2) Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), misalnya buah mangrove untuk jus, dodol dan sebagainya. 3) Skema-Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Hutan Desa, HKM, HTR)

C. Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung guna peningkatan kesejahteraan, maka perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1. Melakukan pengumpulan data sosial ekonomi dan budaya masyarakat. 2. Melakukan analisis data sosial ekonomi tingkat unit kelestarian. 3. Melakukan analisis kelembagaan masyarakat pada wilayah KPH baik kelembagaan internal maupun antara kampung. 4. Menyusun program pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. 5. Membangun pola kemitraan dengan pemegang ijin / pengguna kawasan dan stakeholder lain. 6. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan Kelembagaan terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan. 7. Mengembangkan skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti: HKM, Hutan Desa dan HTR. 8. Peningkatan Teknologi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

D. Pembinaan dan pemantauan pada areal KPHP yang telah ada ijin pemanfaatan maupun penggunaan Kawasan Untuk mencapai kelestarian hutan pengelola KPHP akan memantau pelaksanaan kegiatan pemegang ijin yang ada dalam wilayah KPHP Delta Mahakam agar pemegang ijin atau pengguna kawasan hutan mematuhi peraturan. Pemantauan dilakukan melalui pemeriksaan dokumen, penafsiran citra satelit dan pengecekan lapangan. E. Penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar ijin Pada areal hutan yang tidak dibebani ijin yang mengalami degradasi karena aktifitas illegal akan dilakukan rehabilitasi dengan penanaman jenis pohon sesuai dengan kondisi ekologis dan peruntukan lahan. Pada Kawasan Delta Mahakam yang merupakan kawasan pesisir maka akan ditanami dengan jenis Mangrove (Rhizopora, api-api). Jika kerusakan terjadi di areal lain yang datar, dekat dengan permukiman, maka jenis yang dipilih adalah pohon-pohon kehidupan yang memiliki nilai ekonomi. F. Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi pada areal yang sudah ada ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan Di dalam wilayah KPHP Delta Mahakam yang telah dibebani izin / pengguna, kewajiban rehabilitasi dan reklamasi hutan menjadi kewajiban pemegang ijin / pengguna kawasan. Pengelola KPHP akan memantau pelaksanaan rehabiltasi dan reklamasi hutan melalui pemeriksaan dokumen, pengecekan lapangan dan penafsiran citra. G. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam Penyelenggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Strategi yang dilakukan adalah : 1. Menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan pengamanan kawasan hutan dan sumber daya hutan. 2. Melaksanakan pengamanan kawasan dan sumberdaya hutan . 3. Merencanakan alokasi kawasan lindung di dalam wilayah KPH dan mengintegrasikannya dalam penataan hutan. 4. Menilai dan memetakan kawasan bernilai konservasi tinggi untuk alokasi kawasan lindung. 5. Menyusun masterplan pengelolaan kawasan lindung sesuai dengan karakteristiknya. 6. Pengelolaan kawasan lindung secara partisipatif dan kolaboratif dengan berbagai pihak. 7. Menilai kinerja pengelolaan kawasan lindung di dalam wilayah KPH. 8. Inventarisasi dan Pemetaan Kawasan Lindung dan Kawasan yang mempunyai Nilai Konservasi Tinggi (HCV).

H. Koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang ijin/Pengguna Kawasan Dalam wilayah KPHP Delta Mahakam, dilakukan koordinasi dan sinkronisasi secara periodik untuk menghindari konflik batas areal kerja, menyamakan persepsi terhadap peraturan-peraturan di bidang kehutanan dan mensukseskan program-program KPHP. Koordinasi dan sinkroninasi dilakukan dengan melakukan pertemuan secara rutin. Ijin penggunaan kawasan hutan merupakan ijin pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan-kegiatan di luar sektor kehutanan. Pada Wilayah KPHP Delta Mahakam kegiatan utama penggunaan kawasan yaitu kegiatan pertambangan migas, terhadap kegiatan tersebut perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian dengan kegiatan sebagai berikut : a. Menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dan ijin penggunaan kawasan hutan. b. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan ijin penggunaan kawasan hutan secara berkala. c. Membangun data base rencana dan realisasi kegiatan Ijin Penggunaan Kawasan hutan. I. Koordinasi dan sinergi dengan instansi stakeholder terkait Wilayah kelola KPHP Delta Mahakam bersinggungan dengan areal peruntukan lain dengan berbagai penggunaan sehingga dalam mengelola wilayah KPHP tersebut, pengelola perlu melakukan koordinasi dan sinergi dengan para pemangku kepentingan (stake holder). Pemangku kepentingan terdiri dari unsur pemerintah, yaitu SKPD-SKPD yang lingkup kerjanya berkaitan dengan kegiatan KPHP, penegak hukum, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar KPHP serta melakukan integrasi kegiatan dengan LSM. J. Pemantapan Kelembagaan KPH dan peningkatan kapasitas Personil Untuk menjalankan KPHP Delta Mahakam secara efektif, pengelola harus memiliki kelembagaan yang mantap dalam sistem administrasi. Selain itu tenaga kehutanan dengan jumlah dan kompetensi yang memadai, yang memenuhi standard yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 42/Menhut-II/ 2011 tentang Standar Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. Upaya yang ditempuh adalah melalui pelatihan teknis. K. Penyediaan Pendanaan Pada tahap awalnya, KPHP Delta Mahakam belum dapat mandiri karena organisasinya belum berjalan penuh, sehingga pengelola KPHP masih bergantung pada dana dari pemerintah, pemerintah daerah. Pada tahap selanjutnya, diharapkan setelah organisasi pengelola berjalan dengan efektif, pendanaan dapat diperoleh dari penerimaan pemanfaatan hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan. Pengelola KPHP akan mengusahakan dana program-program tertentu baik dari APBD, DAK Bidang Kehutanan, maupun kerjasama dengan LSM nasional dan internasional. L. Pengembangan Database Untuk menunjang kelancaran operasional KPHP Delta Mahakam, pengelola akan menyusun data base yang meliputi, data biogeofisik (geologi, tanah, curah hujan, suhu, kelembaban, tutupan vegetasi, jenis tumbuhan, jenis satwa) dan sosekbud (kependudukan, pendidikan, kesehatan, perekonomian, penggunaan lahan, pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat, adat istiadat dan sarana kesehatan dan transportasi). Pengembangan database terdiri dari kegiatan: a. Pengadaan sarana peralatan pendukung database. b. Pengembangan sistem database, meliputi pengadaan software, pelatihan SDM dan penyusunan data base. c. Pemutakhiran data secara terus menerus. M. Rasionalisasi Wilayah Kelola Pengelolaan KPHP Delta Mahakam akan berjalan dengan efektif jika terdapat tenaga yang memadai secara kualitas dan kuantitas, sesuai dengan luas wilayah yang dikelola. Pembagian wilayah ke dalam blok-blok dan petak-petak, kegiatan dalam blok pemanfaatan hasil hutan kayu lebih intensif daripada kegiatan di dalam blok perlindungan. Kegiatan yang dilakukan untuk rasionalisasi wilayah kelola adalah: 1. Analisis data hasil inventarisasi dan laporan kegiatan 2. Penentuan luas dan lokasi masing-masing RKPH (jika diperlukan)

N. Review rencana pengelolaan 5 tahun sekali Rencana pengelolaan jangka panjang yang disusun pertama kali tentunya jauh dari sempurna. Seiring waktu akan terjadi perubahan kebijakan pemerintah dan dinamika masyarakat, sehingga rencana jangka panjang ini perlu dievalusi secara periodik. Dalam waktu lima tahun sekali, rencana pengelolaan KPHP Delta Mahakam perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan kebijakan pemerintah dan dinamika persoalan yang dihadapi di lapangan. O. Pengembangan investasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Delta Mahakam dirancang sebagai suatu unit pengelolaan hutan yang mandiri, termasuk dalam hal finansial. Oleh karena itu pengelola KPHP Delta Mahakam akan menjalin kerjasama dengan penyandang dana untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan.

DOKUMENTASI DI KAWASAN DELTA MAHAKAM PADA KPHP UNIT XXIX DELTA MAHAKAM Foto kerusakan hutan mangrove dan pembukaan tambak pada kawasan delta mahakam : Upaya parapihak dalam perlindungan Delta Mahakam pada tingkat Desa dan Pemukiman Aktifitas Migas di Kawasan Delta Mahakam KPHP DELTA MAHAKAM Kantor sementara KPHP Delta Mahakam di Tenggarong Pengelola KPHP Delta Mahakam.