Upload
hoangthien
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT
TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Zaenal Arifin
NIM: 101033221853
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H. / 2008 M.
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 03 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta,
03
Januari
2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Edwin Syarif, M.A. NIP. 150 262 447 NIP. 150 283 228
iii
Anggota
.A.M, Sirojuddin Aly. Dr .Si.M, Haniah Hanafi. Dra
NIP. 150 318 684 NIP. 150 299 932
.Bamualim MA. Chaider S. Drs NIP: 150 295 313
iv
KATA PENGANTAR
îmhmân al rahBismillâh al ra
Dengan penuh rasa syukur atas selesainya skripsi ini, penulis memanjatkan
lah Dzat yang Maha Agung yang -Dia. ânah wa Ta‘âlahSubpuji kepada Allah
telah menciptakan manusia dan seluruh ciptaan-Nya baik di bumi maupun di
langit. Dia-lah yang selalu ada ketika manusia fana. Shalawat dan salam tetap
penulis haturkan kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad shalla Allâh ‘alaih
wa sallam yang telah meletakkan pondasi yang kuat bagi peradaban manusia.
Perjalanan menempuh sarjana bagi penulis memang tidak semudah yang
dibayangkan. Berbagai halangan yang mengganggu baik selama perkuliahan
maupun dalam penyelesaian skripsi ini selalu ada. Namun dengan kekuasaan-Nya,
Allah memperlihatkan kasih sayang-Nya dengan cara-Nya sendiri sehingga
penulis mampu menuntaskan skripsi ini sesuai ketentuan tradisi akademik. Dalam
hal ini penulis mengangkat tema tentang “Pengaruh Invasi Militer Amerika
Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”
Skripsi ini disusun untuk menambah khazanah keilmuan dan
pengembangan wacana politik Islam di Afghanistan pasca invasi Amerika Serikat.
Atas selesainya skripsi ini, penulis sangat berterima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan peranan penting dan kontribusi berharga terhadap
penulis, baik selama penyusunan skripsi ini maupun ketika menjalani masa
perjuangan di kampus tercinta sampai menempuh jenjang pendidikan sarjana.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa terima kasih dari
v
lubuk hati yang dalam atas kerjasamanya.Ucapan terima kasih ini saya haturkan
kepada:
1. Kedua orang tuaku, H. Ali Murtadlo dan Hj. Siti Rahmah. Tanpa mereka
penulis mustahil bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini.
Merekalah sesungguhnya yang telah berhasil melewati masa-masa sulit
dengan segala kesabarannya. Adik-adikku yang sangat aku sayangi yaitu
Rien Zumaroh, Nurul Afifah Marwatin, dan Fatmawati (Almh) yang
selalu bertanya: mas …, kapan skripsinya selesai? Pertanyaan inilah
yang mengusik hati penulis untuk secepatnya menyeselasikan studi ini.
2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, beserta para pembantu rektor lainnya, semoga cita-cita UIN
Jakarta menjadi universitas Islam bertarap internasional segera terwujud.
Amin…..
3. Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang
telah berusaha menciptakan lingkungan intelektual yang kondusif
sehingga memungkinkan penulis khususnya dan mahasiswa Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat umumnya bisa belajar dengan nyaman.
4. Drs. Agus Darmaji, M.Fils., Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam yang
telah memberikan masukan dan saran yang berharga pada draft awal
pengajuan skripsi ini.
5. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A., Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam
yang telah memberikan pelayanan akademik sebaik-baiknya.
.
vi
6. Drs. Chaider S. Bamualim MA. selaku pembimbing yang dengan segala
kesibukannya bersedia menyempatkan waktunya untuk membimbing
penulis serta mendukung penulis dalam kehidupan kampus yang lain.
7. Penguji Skripsi yaitu Bpk. Dr. Sirojuddin Aly MA. Dan Ibu Dra. Haniah
Hanifie M.Si. yang telah banyak memberikan masukan-masukan dan
saran-saran atas skripsi ini.
8. Kyai saya, guru saya KH. Abdurrahman Wahid selaku pengasuh
PONPES Luhur Mahasiswa Ciganjur, KH. Jamaluddin Ahmad selaku
pengasuh PONPES Tambak Beras Jombang, K. Imam Syafa’at selaku
pengasuh PONPES Nurul Isyhar Nganjuk, K. Syamsul Hadi (Alm)
selaku pengasuh PONPES Mambaul Ulum Bojonegoro, beserta kyai-
kyai yang lain.
9. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama
UIN, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Freedom Institute, CSIS,
Deplu, dan LIPI.
10. Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan pelayanan
pengetahuan dengan profesional, memberikan ruang diskusi yang
dialogis, terbuka dan memberikan kebebasan berpikir pada setiap pokok
bahasan yang disampaikan, telah memberikan wawasan intelektual
dengan penuh rasa saling menghargai, terbuka, dengan tetap bertumpu
pada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Mereka juga telah memberikan
apresiasi terhadap aneka ragam pemikiran yang muncul sehingga
memungkinkan terjadinya pendewasaan intelektual.
vii
11. Bapak HM. Mukri dan Mr. Foo Kim Chooi, pimpinan saya di PT.
Pertamina, UPms-III Cab. Bandara Internasional Soekarno-Hatta atas
partisipasinya selama proses penelitian ini.
12. Giyono dan Lek Lilin beserta keluarga di Pondok Ranji yang telah
banyak memberikan motivasi dan dukungan selama proses perkuliahan.
13. Keluarga besar Yayasan Wahid Hasyim khususnya kepada Bpk. H.
Muhammad Musthafa, Prof. KH. Said Aqiel Siroj, H. Syaifullah Yusuf,
H. Muhaimin Iskandar M.Si, dan H. Aris Junaidi.
14. Para kawan-kawan di organisasi HMI, PMII, IMM, Formaci, Kompak,
HIMABI, dll.
15. Teman-temanku angkatan 2001 di program studi Pemikiran Politik
Islam: Abdul Muhid, Abdul Manaf, Bahrul Ulumuddin, Nyai Susilawati,
Ramdan Muhaimin, Sondang Ria, dll.
Penulis yakin masih banyak nama yang belum disebutkan yang memiliki
andil besar dalam penulisan karya ilmiah ini, baik langsung maupun tidak
langsung. Kepada mereka semua, penulis tetap menghaturkan rasa terima kasih
yang banyak. Semoga Allah membalas amal mereka dengan balasan yang
lebih…..Amin Ya Robbal Alamin.
Jakarta, 3 Januari 2008
Z
a
e
viii
n
a
l
A
r
i
f
i
n
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... .
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI...................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 8
D. Metode Penelitian ........................................................... 9
E. Sistematika Pembahasan ................................................. 10
BAB II DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN
A. Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan..... 12
B. Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban 19
C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban.....................…. 28
D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban....................... 30
BAB III PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA
SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI
DI AFGHANISTAN
A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan ....
tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban...................... 34
A.1. Pelaksanaan Invasi Militer..................................... 35
x
A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap..
Afghanistan................................................................ 36
B. Proses Menuju Demokrasi .............................................. 44
B.1. Terjadinya Transisi Rezim di
Afghanistan.................................................................. 45
B.2. Terbentuknya Pemerintahan
Transisional Afghanistan 47
B.3. Peran AS dalam Proses Rekonstruksi
Pasca Transisi
di Afghanistan ........................................................... 56
C. Proses Demokrasi di Afghanistan ................................... 60
C.1. Peran AS dalam Proses
Demokrasi di Afghanistan........................................... 63
C.2. Pemilihan Umum 2004 Wujud
dari Demokrasi............................................................. 66
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 72
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia
Konsonan
ا b ب t ت ts ث j ج h ح kh خ d د r ر z ز s س sy ش
s ص d ض t ط z ظ ‘ ع g غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h ـه ’ ء y ي
Arab Indonesia
Vokal
a ــَـ i ــِـ u ــُـ
Vokal Panjang â اــ û وــ î يــ â ى â’ آ
Difthong
aw/au وـــ ay يـــ
Kata Sandang
-al ...ـل ا al-sy ــشل ا -wa’l ...ـل او
Lainnya
ât تاــ âh ةاــ
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Serangan teroris internasional terhadap World Trade Center (WTC) dan
Pentagon pada 11 September 2001 secara langsung membuktikan kepada bangsa
Amerika termasuk dunia internasional mengenai rendahnya kesiapsiagaan sistem
pertahanan domestik Amerika sebagai negara adidaya dalam melindungi
masyarakat sipil dan infrastruktur- infrastruktur yang vital dari suatu serangan
yang dipola secara lokal. WTC dan Pentagon sebagai lambang supremasi
ekonomi dan militer untuk pertama kalinya dilumpuhkan oleh suatu serangan
yang non-militer oleh satu kelompok teroris.
Kejadian katastropik itu menciptakan celah kerawanan dan celah
kesempatan bagi setiap teroris lokal atau internasional untuk menyerang Amerika
Serikat kembali. Hal tersebut menimbulkan suatu ketakutan yang mendalam
dalam masyarakat atau pemerintah Amerika.1
Sejak peristiwa 11 September 2001, tampak jelas Amerika Serikat (AS)
telah mendemonstrasikan praktek politik unilateralis2 dan arogansi tanpa ragu-
ragu. Tanpa proses penyidikan dan penyelidikan yang seksama atas kasus itu,
1 Perasaan takut itu seperti terungkap dalam kata-kata Menteri Pertahanan Amerika
Serikat, William J. Perry (1994-1997), “As Deadly as the World Trade Center disaster was, it could have produced a hundredfold more victims if the terrorist had possessed nuclear or biological weapons. And the future threat could come form hostile nations as well as terrorist”. Lihat Badan pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Wilayah Amerika Program Pasca-Sarjana Universitas Indonesia, “Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” (Jakarta: UI Press, 2003), h. 2 2 Unilateralis adalah kebijakan sepihak dalam urusan internasional tanpa mengindahkan aturan, kesepakatan, atau lembaga internasional atau kepentingan negara serta pihak non-negara lainnya. Sebagaimana telah kita lihat, Unilateralisme itu ditampakkan secara terang-terangan dalam sikap Amerika Serikat terhadap PBB, terutama dalam hal terorisme global. Dimana
Amerika Serikat menunjukkan penolakan nyata terhadap resolusi Dewan keamanan PBB.
13
dengan serta merta Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap
Afghanistan tanpa mandat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk mendapatkan pembenaran atas serangan militer yang sangat kejam
itu, Afghanistan dituduh melindungi teroris bernama Osama bin Laden tanpa
bukti yang nyata. Jadilah negara Islam yang lemah itu sebagai korban kekerasan
militer Amerika Serikat yang dengan gencar membombardir tanah para mullah
yang lemah dan sedang tercabik pertikaian internal itu. Inilah peristiwa pertama
dalam sejarah, melancarkan serangan militer besar-besaran dengan dalih mengejar
teroris yang sedang dicari. Menurut Presiden George W.Bush, tindakan atas
negeri naas itu sengaja dilakukan demi kebebasan dan Demokrasi.3
Tetapi mengapa dalam upaya untuk menyebarluaskan kebebasan dan
demokrasi Amerika Serikat menggunakan cara yang tidak berkeprimanusiaan,
misalnya dalam kasus Afghanistan dan Irak. Amerika Serikat mengaku ingin
menggulingkan rezim otoriter dari kedua negara tersebut demi terjaminya
perdamaian dunia serta menciptakan dunia yang menghargai hak asasi manusia.
Namun, proses ini di lakukan dengan menggunakan kekerasan, yaitu melalui
invasi militer.4
Dengan tindakan militer itu, seluruh infrastruktur Afghanistan hancur dan
belasan ribu warga tidak berdosa tewas sia-sia. Ternyata Osama pun tidak
tertangkap, dicari pun tidak ditemukan hingga kini. Pastinya, serangan militer
Amerika Serikat itu berakhir dengan kehancuran segala fasilitas dan infrastruktur
sosial ekonomi, kerugian jiwa raga dan psikologi rakyat Afghanistan, pendepakan
rezim berkuasa yang sah di Afghanistan dan dipasangnya rezim boneka yang
3 Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 32-34
4 Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 ( Mei 2005 ): h.42
14
bersedia disetir. Jadi, jelas sepak terjang Amerika Serikat sangat bertentangan
dengan demokrasi, sebagaimana ditunjukkan dengan pembunuhan umat manusia
secara kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Apakah tindakan menangkap
seorang teroris dengan pengerahan kekuatan militer dan membombarder besar-
besaran terhadap negara kecil, lemah, dan tidak bersalah dapat dibenarkan?
Apalagi tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ).
Sangat jelas, bahwa apa yang dimaksud Amerika Serikat sebagai serangan
balasan (Counter Attack) terhadap terorisme itu sesungguhnya merupakan invasi
militer yang tidak dapat diterima karena negara Afghanistan tidak terbukti berbuat
salah terhadap Amerika Serikat dan juga tanpa dasar yang kuat dituduh sebagai
pelindung teroris. Serangan militer itu juga merupakan serangan yang melawan
hukum internasional karena dilancarkan pada saat keadaan dalam negeri
Afghanistan sedang dilanda kecamuk pertikaian antar faksi yang berkepanjangan
dan melelahkan.
Jadi, Invasi militer sepihak tanpa mandat PBB itu ternyata bertujuan untuk
menyelamatkan wajah teroris yang sebenarnya yang berada di dalam jaringan
birokrasi tingkat tinggi pemerintahan Amerika Serikat.5 Hal ini tampak jelas
karena kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elit politik Gedung Putih.
Mereka yang dimotori Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Deputi
Menhan Paul Dundes Wolfowitz, serta Penasehat Keamanan Nasional (NSC)
Condoleezza Rice, memang dikenal sebagai kelompok “neokonservatif“ yang
selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristik. Yang ada
dalam benak mereka hanya perang dan perang. Sementara persoalan HAM dan
5 Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika, h. 32-34.
15
demokrasi justru dikesampingkan. Tidak mengherankan, jika seorang Nelson
Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan) menuduh AS di bawah Bush sebagai
negara yang sama sekali tidak memiliki sopan santun dalam pergaulan
Internasional.6
Tindakan pembalasan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap rezim
Taliban di Afghanistan, untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu
dari negara lain yang tidak berkaitan langsung dengan rezim tersebut, melangkah
jauh dari perang pembalasan yang diperbolehkan oleh piagam PBB ketika
menghadapi agresi militer dari negara lain. Namun hal ini tampaknya tidak
diperdulikan oleh pemerintahan Bush, walaupun aksi militer Amerika Serikat di
Afghanistan mendapat banyak kecaman Internasional. AS berdalih bahwa rezim
Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok Al-Qaeda yang
tetap merupakan ancaman bagi Amerika Serikat, Sehingga untuk menghancurkan
Al-Qaeda dan mencegah aksi teror selanjutnya rezim Taliban pun harus ikut
dihancurkan. Dalam perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat
negara yang membiarkan kelompok teroris berada di wilayahnya tampaknya juga
dianggap sebagai teroris atau pendukung terorisme sehingga perlu diperangi,
sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.
Sikap Pemerintah Bush itu merupakan kelanjutan dari doktrin pre- emptive
strike7 yang dikemukakan Pentagon tahun 1992, sama sekali tidak mengindahkan
piagam PBB dan hukum internasional lainnya tentang perang yang sah. Doktrin
ini membenarkan tindakan agresi terhadap negara lain hanya berdasarkan
kecurigaan Amerika Serikat terhadap niat atau kemampuan yang dimiliki negara
6 Riza Sihbudi, Menyandera Timur-Tengah (Jakarta : Mizan, 2007) Cet. I h.151 7 Pre emptive strike adalah menyerang lebih dulu sebelum kembali diserang.
16
tersebut. Tentara Amerika Serikat dapat melakukan serangan dimana saja, kapan
saja, melawan siapa saja sesuai persepsi ancaman Washington, tanpa memerlukan
mandat PBB ataupun dukungan internasional.8
Secara sepihak upaya yang telah dilakukan Amerika Serikat dalam
melawan terorisme adalah: pertama, mengisolasi negara yang memberi dukungan
terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua,
memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme
melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak
upaya tawar-menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris.
Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau
melindungi teroris. Bagi Amerika, hal itu penting dilakukan karena selama masih
ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok
senjata, maupun memberikan bantuan logistik maka upaya pemberantasan
terorisme akan sulit dilakukan. Setiap tahun pemerintah Amerika Serikat
melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme
dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme, negara yang tidak mau
bekerjasama menanggulangi terorisme, dan negara yang tidak sungguh-sungguh
menanggulangi kegiatan terorisme.9 Kebijakan yang diterapkan apakah itu
tekanan ekonomi, diplomatik maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut
dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait.10
8 “ Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak, “ Jurnal Demokrasi & HAM,Vol.3 No.2
, (Mei – September 2003), h.21-22 9 Setiyo Budhi Cahyo Padma Gandhi, “ Respon Amerika Serikat menghadapi terorisme (
Studi Kasus ); Pasca serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ), Tahun 2001-2002,“ (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003), h.7
10 Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara
17
Sementara, pemerintah George W. Bush telah bekerja cepat dan
menyimpulkan bahwa dalang dari serangan terorisme ke negaranya adalah Osama
bin Laden dengan jaringan al-Qaedanya yang bermarkas di Afghanistan sejak
tahun 1996. Keputusan Taliban untuk tidak menyerahkan Osama bin Laden
kemudian dianggap sebagai upaya pemerintah negeri itu melindungi terorisme,
dan ini menimbulkan kemarahan Amerika Serikat. Osama bin Laden sendiri
dianggap menjadi gembong teroris yang menjadi perhatian Amerika Serikat sejak
terjadinya serangan bom terhadap kedutaan Besar Amerika Serikat di Afrika.11
Taliban merupakan suatu kelompok kekuatan politik yang berkuasa di
Afghanistan. Osama memang sedang dicari oleh intel Amerika Serikat beberapa
tahun terakhir ini, karena tuduhan melakukan beberapa aksi teror terhadap fasilitas
Amerika Serikat di luar negeri. Kelompok Taliban menjadi kuat karena bantuan
Amerika Serikat ketika perang melawan Uni Soviet (1979-1989).12
Sebelum memutuskan untuk melakukan serangan militer terhadap
Afghanistan, Amerika Serikat terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan
pemerintahan Taliban di Afghanistan, tetapi upaya ini gagal karena pemerintahan
pendukung terorisme ini, sehingga negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk pembangunan nasionalnya. Tekanan ekonomi baru dihentikan setelah negara tersebut mau mematuhi keinginan Amerika Serikat. Kuba, Irak, Iran, Libya, Korea Utara, Sudan, dan Suriah sejak 1993 selalu masuk dalam daftar negara sponsor terorisme yang dibuat oleh Amerika Serikat. Sedangkan Afganistan sejak tragedi 11 September 2001 telah dikategorikan sebagai negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme karena menolak menyerahkan Osama bin Laden dan menolak tuduhan memberi pelatihan militer bagi pejuang Chechnya, sehingga telah lama mendapat hukuman sanksi ekonomi dari PBB dan embargo bahan bakar.
11 Jauh sebelum peristiwa 11 September 2001 terjadi, al-Qaeda telah memiliki catatan pembunuhan dan penghancuran yang panjang. Pada Oktober 1993, mata-mata yang dilatih jaringan al-Qaeda membunuh 18 tentara Amerika Serikat yang sedang bertugas sebagai penjaga perdamaian PBB di Somalia. Pada Agustus 1998, organisasi ini mengebom kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania dan membunuh 223 orang dan melukai lebih dari 4000 orang, yang sebagian merupakan warga negara Kenya. Lalu pada Oktober 2000, para teroris tersebut menyerang kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Cole dengan menabrakkan perahu kecil yang membawa bom. Sebanyak 17 awak berkebangsaan Amerika tewas. Al-Qaeda disinyalir juga memiliki jaringan dengan gerakan jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekisan dan beberapa kelompok teroris.
12 Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat MenghadapiTerorisme, h.5.
18
Taliban merasa diintimidasi oleh Amerika Serikat. Pemerintahan Taliban merasa
keberatan untuk menyerahkan Osama bin Laden yang telah berjasa dalam
membangun Afghanistan, tanpa ada bukti-bukti yang jelas mengenai keterlibatan
Osama bin Laden dalam serangan 11 september 2001. Keputusan Pemerintahan
Taliban telah membuat Amerika Serikat marah, sehingga konflik di antara kedua
negara tidak dapat dihindarkan.13
Amerika Serikat memutuskan untuk jalan terus dan menyatakan perang
terhadap terorisme. Menghancurkan basis kelompok teroris yang dituding berada
di balik serangan 11 September, al-Qaeda adalah tujuan terdekat dan paling
mendesak. Hal ini menyebabkan serangan militer berkelanjutan di Afghanistan.
Sebelas bulan setelah operasi militer dimulai, Amerika berhasil
menjatuhkan Taliban dari tampuk kekuasaan di Afghanistan dan telah
mengguncang serta memperlemah, jaringan sel-sel al-Qaeda. Namun, Pemimpin
al-Qaeda, Osama bin Laden belum tersentuh. Demikian pula Mullah Muhammad
Omar, Pemimpin Taliban yang sudah dijatuhkan namun sulit ditangkap.14
Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dan dengan
bersendikan kepada ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti
perkuliahan di Jurusan Pemikiran Politik Islam maka, penulis tertarik untuk
mengkaji, memahami, dan menganalisa fenomena yang menjadi perhatian dunia
internasional ini. Dengan ini, penulis mengambil judul, " Pengaruh Invasi
Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”
13 Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat Menghadapi Terorisme, h.22 14 Chandra Muzaffar, Muslim, Dialog dan Teror (Jakarta : Profetik, 2004) Cet.I, h.174
19
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Mengingat kompleksitas masalah di atas, penulis perlu membatasi
penelitian ini pada pelaksanaan serangan militer Amerika Serikat terhadap
Afghanistan pada Oktober 2001 hingga berakhirnya proses pemilihan umum di
Afghanistan pada Oktober 2004, yang menandakan hadirnya sebuah
pemerintahan baru. Maka dari itu, dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
Bagaimanakah pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses
demokrasi di Afghanistan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hubungan internasional dan pengetahuan tentang ilmu
pemikiran politik Islam khususnya kepada peneliti umumnya kepada pembaca.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses
demokrasi di Afghanistan.
2. Untuk menjelaskan terjadinya transisi rezim di Afghanistan pasca
kekalahan Taliban.
3. Untuk menjelaskan pengaruh Amerika Serikat dalam suksesi pemerintahan
di Afghanistan sampai pelaksanaan Pemilu 2004.
20
4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)
pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Di dalam karya ilmiah metode penelitian merupakan hal yang harus
dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur
sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini,
maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis.
Pendekatan penelitian kualitatif ini, didasarkan pada pertimbangan untuk
menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang pengaruh invasi militer
Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan.15
Dalam hal ini penulis berusaha menggambarkan fenomena pengaruh
invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan secara
sistematis, faktual, dan akurat, kemudian mengkritisinya dengan menggunakan
berbagai literatur yang tersedia.16
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (library research), yaitu tehnik pengumpulan data yang
dilakukan dengan mempelajari buku-buku wajib dan bahan-bahan tertulis lainya
seperti dokumen Surat Kabar, Majalah, Internet dan lain-lain dari literatur-literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
15 Lexi J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 4 – 8
16 Moch. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 63
21
Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa
seluruh data yang terkumpul untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok
bahasan dalam proses penelitian.
Adapun dalam penulisan Skripsi ini, Penulis berpedoman kepada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, Disertasi ) Ceqda, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta Tahun 2006.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan secara keseluruhan pembahasan Skripsi ini, Maka
diperlukan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan Skripsi ini
adalah sebagai berikut :
BAB I : Bab I berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Bab II adalah bagian pembahasan yang akan diarahkan untuk
menggambarkan dinamika kehidupan sosial dan politik di
Afghanistan yang dipengaruhi oleh etnisitas dan selalu mengalami
pergolakan, kegagalan pemerintahan mujahidin: lahirnya Taliban,
dan akar-akar sosial doktrinal Taliban serta sikap Amerika Serikat
terhadap Taliban dari keempat bagian ini, diharapkan akan dapat
terlihat jelas mengenai kemunculan Taliban dan hubungannya
dengan alasan Amerika Serikat melakukan invasi tersebut.
BAB III : Bab III merupakan bagian dari pembahasan, namun akan lebih
difokuskan pada penjelasan mengenai invasi militer Amerika Serikat
22
dan pengaruhnya terhadap proses demokrasi di Afghanistan, transisi
menuju demokrasi, proses menuju demokrasi, proses demokrasi di
Afghanistan, serta terlaksananya pemilihan umum 2004 sebagai
wujud dari demokrasi.
BAB IV : Kesimpulan, bab ini merupakan akhir dari Skripsi yang berisikan
kesimpulan penelitian.
23
BAB II
DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN
A. Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan
Afghanistan merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia
Barat Daya. Negara ini berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Tajikistan di sebelah utara, dengan Pakistan di sebelah timur dan selatan, serta
dengan Iran di sebelah barat.17 Afghanistan memiliki nama nasional Dowlat-e
Eslami-ye Afghanestan, atau Emirat Islam Afghanistan, dan mendapat
kemerdekaannya dari Inggris pada 19 Agustus 1949. Luas area Afghanistan
adalah 647.500 km2 yang dihuni oleh 28.513.677 penduduk menurut sensus tahun
2004. Pertumbuhan penduduk di Afghanistan kira-kira mencapai 4,9% per-
tahun.18
Terdapat 34 provinsi di Afghanistan, yaitu Badakhsthan, Badghis,
Baghlan, Balkh, Bamian, Daykondi, Farah, Faryab, Ghazni, Ghor, Helmand,
Herat, Jowzjan, Kabul, Kandahar, Kapisa, Khost, Konar, Kunduz, Laghman,
Loghar, Nangarhar, Nimruz, Nurestan, Oruzgan, Pakhtia, Paktika, Panjshir,
Parvan, Samangan, Sar-e Pol, Takhar, Vardak, dan Zabol. 19 Kelompok-kelompok
suku utama adalah Pashtun (35-40%), Tajik (25-30%), Uzbek (10%), Hazara (10-
15%), Turkman (5%) dan lain-lain (2%). Bahasa resmi Afghanistan adalah Pashto
1. Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” dalam Verinder Grover (ed).,
Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan (New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002), h.1.
18 “Afghanistan,” diakses pada 13 November 2007 dari http://www.infoplease.com/ipa /A0107264. html.
19 “Afghanistan,” diakses pada 16 November 2007 dari http://www.odci.gov /cia/ publication /factbook /geos/af.html,
24
dan Dari.20 Sementara itu, agama mayoritas adalah Islam, yang terdiri dari 84%
Islam Sunni dan 15% Islam Syi’ah.21
Afghanistan bukan merupakan unit etnis yang self-contained22 dan
kebudayaan nasionalnya tidaklah seragam. Hanya sedikit di antara kelompok etnis
di Afghanistan yang benar-benar berasal dari negara tersebut.23 Hal ini menjadi
salah satu penyebab adanya sejarah perang yang panjang di negaranya, sehingga
kehidupan sosial dan politik rakyat Afghanistan dapat dikatakan tidak pernah
berjalan mulus. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menjelaskan masalah dan
pengaruh etnisitas dalam kehidupan sosial dan terutama politik Afghanistan.
Seperti halnya negara-negara ataupun wilayah-wilayah lain yang dilanda
konflik, salah satu akibat sosial yang paling terlihat adalah munculnya masalah
pengungsian yang sangat serius. Hampir sepanjang sejarah Afghanistan, terutama
dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir, kehidupan rakyat Afghanistan diwarnai
dengan kegiatan pengungsian ke negara-negara tetangga terdekatnya, terutama
Pakistan dan Iran. Pada masa perang internal misalnya, yaitu sekitar 1992 hingga
1994, jumlah pengungsi Afghanistan di Pakistan adalah sekitar 3,2 juta penduduk
dan di Iran sebanyak 2,9 juta penduduk.24 Walaupun kemudian sejak 1993 banyak
pengungsi Afghanistan dibantu oleh PBB untuk pulang ke negara mereka, namun
jumlah pengungsi Afghanistan masih besar. Ketika invasi militer Amerika Serikat
ke Afghanistan, pengungsian rakyat Afghanistan secara besar-besaran ke negara-
negara terulang kembali.
20 Dari adalah dialek Afganistan dari bahasa Persia 21 Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” hlm. 2. 22 Self-Contained adalah negara yang dapat berdiri sendiri. 23 P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 1, Afghanistan: The Land
and People (New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD., 2002), h. 62. 24 Diakses pada 17 November 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com
/Afghanistan_ timeline_1991-1995,
25
Gambaran seperti inilah yang kerap terjadi ketika Afghanistan dilanda
perang besar. Para pengungsi Afghanistan telah mengalami gangguan-gangguan
yang radikal dalam kebudayaan, organisasi sosial, serta kehidupan perekonomian
mereka, terutama sejak mereka diharuskan mengungsi akibat perang yang
berkepanjangan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial budaya rakyat
Afghanistan sangat kental dengan unsur agama Islam. Hal ini dikarenakan hampir
seluruh rakyat Afghanistan, terutama etnis Pashtun, merupakan muslim taat
bahkan cenderung fanatik. Pihak-pihak yang berusaha mempropagandakan ajaran
agama selain Islam diancam oleh hukum adat dengan hukuman mati. Sekitar 40%
rakyat Afghanistan mengikuti aliran sunnah wal jama’ah dari mazhab Hanafiah
Maturidiyah (sunni hanafi). Mazhab Hanafi dikembangkan oleh Abu Hanifah,
salah seorang pelajar Islam pertama yang berupaya menginterpretasikan syari’at-
syari’at Islam ke dalam kehidupan sehari-hari manusia. Interpretasinya terhadap
hukum Islam sangat toleran terhadap perbedaan di dalam komunitas-komunitas
umat Islam. Beliau juga membedakan antara kepercayaan dan pelaksanaan, di
mana beliau menganggap bahwa kepercayaan lebih penting.25 Aliran ini memiliki
ciri-ciri pemahaman agama yang sangat tekstual, sesuai dengan apa yang tersurat
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan sikap hidup keagaman seperti itu kaum
muslimin Afghanistan dengan cepat dapat memutuskan apa yang halal
(diperbolehkan dalam Islam) dan apa yang haram (dilarang oleh Islam), tanpa
melalui banyak prosedur yang membutuhkan interpretasi yang tinggi dari para
ulama mereka. Kepercayaan tersebut juga sebenarnya membuat rakyat
25 Diakses pada 17 November 2007 dari http://countrystudies.us/afghanistan/65.htm,.
26
Afghanistan menjadi toleran terhadap perbedaan, dengan syarat ada kepercayaan
antara satu kelompok dengan yang lainnya.
Rakyat Afghanistan hidup dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran
agama Islam yang disesuaikan dengan norma-norma suku Pashtun dan adat-
istiadat lokal lainnya. Meski demikian, terdapat perbedaan pandangan terhadap
implementasai syari’ah Islam di antara mereka. Ada yang liberal, konservatif,
maupun ortodoks. Walaupun beberapa pemimpin Afghanistan pernah mencoba
untuk melakukan reformasi yang radikal terhadap nilai-nilai yang dianut oleh
rakyat Afghanistan, misalnya penghapusan kewajiban menggunakan cadar bagi
perempuan Afghanistan yang digantikan dengan pakaian bergaya internasional,
nilai-nilai Islam telah tertanam dengan mendalam di kehidupan sehari-hari rakyat
Afghanistan. Selain itu, tradisi-tradisi kesukuan juga tidak memperbolehkan
perubahan yang diusulkan tersebut.
Dengan demikian, dari sisi norma-norma sosial yang berlaku, kehidupan
masyarakat Afghanistan secara sosial diatur berdasarkan syari’ah Islam, yang oleh
pihak asing disebut hukum adat. Kewibawaan para ulama yang lebih dikenal
dengan gelar mullah sangat kuat. Untuk memenuhi kebutuhan menghadapi
tantangan dunia modern, pemerintah Afghanistan mendirikan sekolah-sekolah
agama untuk mempersiapkan para ulama yang diharapkan akan lebih handal.26
Berkaitan dengan syari’at Islam di atas, ketika Taliban mengambil alih
kekuasaan pada September 1996, kehidupan di Afghanistan bagi kaum wanita
seolah-olah berhenti. Perlu diingat bahwa organisasi Taliban sendiri sebagian
besar beranggotakan rakyat Afghanistan dari kelompok etnis Pashtun. Di bawah
26 Z.A. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia
Tengah (Jakarta: Dalancang Seta, 2002), h. 4-5.
27
pemerintahan Taliban, wanita direnggut dari hak asasinya sebagai manusia, antara
lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk memberikan dan mendapatkan
pelayanan kesehatan, hak untuk bekerja, dan hak untuk dapat secara bebas
berjalan di rumah.27 Padahal, sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, kaum
perempuan Afghanistan menikmati kebebasan dalam menjalani hidup. Pada saat
itu, sebagian besar perempuan Afghanistan bukan saja berpendidikan tinggi,
tetapi juga merupakan 70% dari seluruh guru sekolah Afghanistan, setengah dari
pejabat pemerintah, dan 40% dari seluruh dokter di Kabul.28
Dari sisi kehidupan sehari-hari, perjalanan kehidupan rakyat Afghanistan
sangat memprihatinkan. Perang yang berkepanjangan menyebabkan banyak
terjadinya masalah sosial seperti: pengungsian, kelaparan, angka kematian yang
tinggi (terutama balita), banyaknya perempuan yang menjadi janda perang, serta
pendidikan rakyat yang semakin tidak terurus. Anak-anak terbuka terhadap risiko
trauma, terpisah dari keluarga, mengalami gangguan perekonomian, tidak
memiliki negara, marjinalisasi sosial, serta tidak memiliki kesempatan untuk
mengenyam pendidikan formal. Kenyataan ini didukung oleh data yang
dikumpulkan oleh CIA, yaitu bahwa tingkat kematian bayi di Afghanistan adalah
163,07 kematian per 1.000 jiwa, usia harapan hidup rata-rata adalah 42,9 tahun,
penyakit menular utama yang berisiko tinggi berupa diare, hepatitis A, typhus,
malaria, rabies, dan tingkat buta huruf hanya 36% dari seluruh populasi. 29
27Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage.
com/partners/wapha. html. 28 P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 6: US War on Terror in
Afghanistan and Aftermath (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD, 2002), h.127. 29 Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology/projects/
Afghan refugees/project.html.
28
Sementara, dalam kehidupan politik, pergolakan selalu terjadi di
Afghanistan. Kudeta pemerintahan telah terjadi sejak sejarah politik kontemporer
Afghanistan dimulai pada 1919, hingga Afghanistan mengalami invasi eksternal
oleh Uni Soviet. Pada 1979 pun perebutan kekuasaan politik terus berlangsung.
Pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menginvasi Afghanistan berkaitan
dengan perjanjian persahabatan 1978. Dewan Revolusi kemudian memilih Dr.
Sayid Mohammed Najibullah sebagai Presiden Afghanistan pada September
1987.
Setelah melakukan perundingan pada November 1991 dengan gerakan
oposisi Afghanistan (Mujahidin), pemerintah Uni Soviet setuju untuk mentransfer
dukungannya dari rezim Najibullah ke rezim Islamic Interim Government atau
pemeritahan Islam Interim. Ketika pasukan mujahidin mulai menguasai Kabul,
Presiden Najibullah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 16
April 1992.
Setelah kepergian Presiden Najibullah, power di Afghanistan dipegang
dan dikuasai penuh oleh dewan pemimpin yang beranggotakan 10 orang,
dipimpin oleh Burhanuddin Rabbani yang dinobatkan menjadi presiden Interim
Afghanistan pada 28 Juni 1992. Pada Desember 1992, pertemuan dewan yang
terdiri dari 1.335 delegasi nasional mengikuti konvensi dan memilih kembali
Burhanuddin Rabbani sebagai presiden Afghanistan. Mandat Presiden Rabbani
seharusnya berakhir pada Juni 1994, namun ia tetap memegang jabatannya,
sehingga kembali terpilih menjadi presiden Afghanistan secara resmi pada 30
Januari 1995.
29
Setahun berikutnya, Taliban telah berhasil mengendalikan dua pertiga
Afghanistan, termasuk Kabul. Sejak saat itu, Afghanistan terpecah antara wilayah
selatan yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis Taliban dan wilayah utara
yang dikuasai faksi yang lebih liberal.30 Hanya tiga negara, yaitu Pakistan, Arab
Saudi, dan Uni Emirat Arab yang mengakui Taliban sebagai pemerintah sah
Afghanistan. Pengakuan internasional sebagai pemerintahan yang sah merupakan
salah satu agenda kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas Taliban pada saat
mereka berkuasa. Perlu dicatat bahwa kursi Afghanistan dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) masih didelegasikan kepada perwakilan pemerintahan
yang dijatuhkan oleh Taliban pada 1996, yang masih juga diakui dan dilayani oleh
faksi United Islamic Front for the Salvation of Afghanistan (UIFSA).
UIFSA merupakan cikal bakal kelompok Aliansi Utara yang didirikan
oleh Ahmad Shah Mashood. UIFSA merupakan koalisi anti-Taliban yang
melibatkan pihak-pihak yang merupakan bagian dari rezim pemerintahan yang
didukung oleh Uni Soviet, serta beberapa kelompok yang berbasis suku minoritas
yang sangat menentang pemerintahan Taliban yang keras serta menentang prinsip
untuk dipimpin oleh pemerintahan yang sangat didominasi oleh tokoh-tokoh dari
kelompok etnis Pashtun, seperti Abdul Rashid Doshtum dari kelompok milisi
Uzbek dan Ahmad Shah Mashood yang mendapatkan dukungan dari Tajikistan.
Komponen kunci dari kekuatan ini adalah kelompok etnis Tajik yang
mengendalikan lembah Panshjir yang sangat penting secara strategis. Taliban
gagal mengusir mereka dari wilayahnya meskipun telah melakukan serangan-
serangan hebat. Namun mereka telah berhasil memberikan pukulan hebat terhadap
30 Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/encyclopedia /
country facts /afghanistan.html.
30
kelompok oposisinya dengan membunuh ketua militer Aliansi Utara yang menjadi
tokoh kunci, yaitu Ahmad Shah Mashood, “Singa Lembah Panshjir”.
Pasukan Aliansi Utara hanya menguasai lima persen dari total wilayah
negara Afghanistan, namun pemerintahan Taliban yang keras telah
membangkitkan rasa benci yang semakin berkembang, bahkan di antara rakyat
Afghanistan yang pada awalnya menyambut baik pengambil-alihan mereka atas
pemerintahan Afghanistan.31
B. Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban
Sejarah Afghanistan modern memperlihatkan bahwa tidak ada satu
kelompok etnis pun yang mampu memerintah Afghanistan sendirian. Maka cara
terbaik untuk membentuk pemerintahan adalah dengan melakukan koalisi
tradisional yang memiliki legitimasi nasional. Untuk mencapai kesepakatan dalam
hal ini, para pemimpin kelompok-kelompok mujahidin harus membagi kekuasan
antara mereka sendiri, karena terciptanya stabilitas di Afghanistan banyak
tergantung pada penyelesaian elit, di mana banyak pemimpin mujahidin tidak
hanya bertindak atas nama kelompok atau faksinya, namun juga
merepresentasikan perbedaan etnolinguistik. Hasil dari pemikiran di atas adalah
Peshawar Accord pada 24 April 1992, yang melibatkan para pemimpin mujahidin
yang berbasis di Pakistan serta pemerintah Pakistan yang saat itu berada di bawah
pimpinan Perdana Menteri Nawaz Syarif. Secara esensial kesepakatan ini
dirancang untuk menghasilkan kerangka kerja pemerintahan sementara yang
diimplementasikan dalam dua tahap. Pertama, menobatkan Sibghatullah
31 Tony Karon, “Understanding Bin Laden’s Hosts, the Dilemma He Poses for Them,and the Politics of the Neighborhood,” Artikel ini diakses pada 24 November 2007. Dari http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,175372,00.html.
31
Mojaddedi sebagai pemimpin pemerintahan transisi. Kedua, memberikan
kesempatan kepada pemerintahan sementara selanjutnya yang dipimpin oleh
Burhanuddin Rabbani.32
Hekmatyar, yang juga tidak sempat menandatangani Peshawar Accord
tersebut, mengacaukan pelaksanaan kesepakatan ini. Dia berpendapat, sesuai
dengan kesepakatan mengenai kedudukan perdana menteri (yang ada pada
penandatanganan dari Hezb), ia tidak harus tunduk kepada presiden dan
kedudukan menteri pertahanan, dijabat oleh Mashood yang diangkat oleh
Mojaddedi, berada di bawah kontrol perdana menteri. Hekmatyar kemudian
mengambil inisiatif untuk menempatkan tangan kanannya, Abdul Sabur Farid,
untuk menempati posisi perdana menteri. Hekmatyar sendiri menolak memasuki
Kabul dan menggunakan segala alasan untuk meruntuhkan pemerintahan
Rabbani. Pada awal Agustus 1992, Hekmatyar melancarkan serangan roket ke
Kabul dengan tujuan melemahkan dominasi faksi Jami’at Islami. Serangan dan
konflik antara Hekmatyar dan Rabbani menjadikan Afghanistan sekali lagi
menjadi medan perang, di mana keadaan sudah tidak aman bagi rakyatnya sendiri.
Oleh karena itu, pemerintahan mujahidin tidak dapat bertahan lama, dan diambil
alih oleh Taliban pada September 1996.33
Beberapa literatur telah berupaya menjelaskan asal mula gerakan Taliban.
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk menjelaskan asal usul Taliban
adalah bahwa sosok Taliban relatif dapat mudah ditemui diperbatasan Barat Laut
Pakistan di daerah itu bertebaran para penuntut ilmu (Talib-ul-ilm) mereka bukan
hanya muncul dari Afghanistan namun juga dari Pakistan, yaitu dari partai ulama
32 Amin Saikal, “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” dalam William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 45.
33 Amin Saikal, “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” hal. 46.
32
Islam pimpinan maulana Fazlur Rahman yang menyediakan sarana pendidikan
agama konservatif bagi anak laki-laki dari kamp-kamp pengungsi Afghan,
khususnya anak-anak dhuafa’. Mereka mengenyam pendidikan madrasah di
sekitar Quetta dan Peshawar yang tidak puas dengan keadaan mereka di
Afghanistan. Para pejabat senior pemerintah Pakistan menyangkal dengan
mengatakan bahwa tidak ada madrasah di Pakistan yang menjadi tempat belajar
para anggota Taliban, walaupun terdapat bukti kuat yang menunjukkan demikian.
Professor Ahmad Hasan Dani mempercayai bahwa Taliban mendapatkan
pendidikan madrasah di Pakistan dan juga mendapatkan dukungan dari elemen-
elemen atau pihak-pihak tertentu di Pakistan. Dani menegaskan bahwa para
pelajar muda tersebut dipersiapkan untuk melakukan jihad melawan siapa pun
yang dirasa tidak mentaati syari’at Islam. Hal inilah yang menyebabkan mereka
dilaporkan memiliki rasa tidak suka terhadap kelompok-kelompok Afghan, yang
mereka salahkan sebagai pihak yang mengakibatkan begitu banyak kematian dan
kehancuran tanah kelahiran mereka.34
Sementara itu, terdapat alasan langsung yang dianggap menyebabkan
munculnya gerakan Taliban. Pada 1992 rata-rata penduduk Afghanistan sudah
merasa muak dan lelah akan terus berlangsungnya perang saudara di negeri
mereka yang telah berkobar selama tiga tahun. Masoom Afghani menyatakan
bahwa sekitar 50.000 penduduk Afghanistan terbunuh dalam pertikaian untuk
mendapatkan kekuasaan antara Hekmatyyar dan Rabbani. Rakyat Afghanistan
kemudian kehilangan kepercayaan mereka terhadap para pemimpin, yang terus
beraliansi ataupun memutuskan aliansi hampir setiap hari. Rakyat juga
34 P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan Vol. 5: Taliban and Muslim
Fundamentalism (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD., 2002), hal. 182.
33
menganggap tidak ada satupun di antara pemimpin tersebut yang dapat dipercayai
lagi karena kenyataannya tidak ada yang menepati janji. Pesimisme terhadap
kepemimpinan para elit politik Afghanistan ini semakin meningkat ketika rakyat
melihat tidak ada tanda-tanda bahwa perang dan pembunuhan yang terjadi akan
segera berakhir saat itu. Kondisi yang selalu nyaris kelaparan terus menambah
kemarahan rakyat Afghanistan dan menumbuhkan keinginan untuk melawan
kepemiminan Afghanistan yang sangat mereka hormati pada awalnya.35
Dengan demikian, seiring berjalannya waktu, popularitas mujahidin di
Afghanistan semakin lama semakin berkurang. Mereka tidak saja gagal dalam
mewujudkan perdamaian di negara mereka yang dilanda perang, namun yang
lebih buruk lagi adalah mereka mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan asusila.
Beberapa di antara mereka memiliki peran ganda sebagai bandit yang memeras
uang dari para pemilik toko dan memajak kendaraan-kendaraan berpenumpang
yang melalui wilayah-wilayah kekuasaan mereka. Salah satu alasan mereka
meminta uang dengan paksa, selain keserakahan pribadi, adalah kenyataan bahwa
para pejuang tidak lagi menerima bayaran tetap dari pemimpin yang merekrut
mereka. Selain itu banyak di antara para pejuang juga terlibat dalam kasus-kasus
korupsi, penjarahan, pengedaran narkoba, dan pemerkosaan.
Kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam
tata pemerintahan dan tata kehidupan di seluruh Afghanistan. Kepemimpinan
mujahidin pada saat itu tidak mau dan tidak mampu meredam berkembangnya
anarkisme di Afghanistan. Kondisi kacau mewarnai seluruh Afghanistan pada saat
itu, kecuali enam provinsi di bagian utara Afghanistan yang dipimpin dan dikelola
35 P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan.,h. 184.
34
oleh Jenderal Uzbek, Abdul Rashid Dostum. Kondisi yang terjadi membuat
Afghanistan masuk dalam kategori failed state, seperti halnya Somalia, Rwanda
dan Burundi. Walaupun perbatasan fisik masih ada, dan negaranya masih
memiliki bendera nasional, lagu kebangsaan, pemerintahan, keanggotaan PBB,
dan perwakilan di luar negeri, namun perintah tertulis bagi pemerintah sama
sekali tidak dijalankan, bahkan di ibukota sekalipun. Warlord dan kepala-kepala
suku telah mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, yang terjadi ketika
keamanan Afghanistan berada dalam kondisi kacau balau akibat konflik perebutan
kekuasaan antara Hekmatyar dan Rabbani.
Ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan mujahidin Afghanistan
semakin lama semakin meningkat. Kerukunan yang telah terbentuk di antara
mereka pada masa jihad Afghanistan telah pudar dan rakyat Afghanistan kembali
mencari “juru selamat” yang baru. Oleh karena itu, tidaklah sulit bagi Taliban
untuk mendapatkan dukungan dari rakyat yang berharap mereka dapat
menghentikan anarkisme yang telah menyebar ke seluruh Afghanistan.
Pendidikan yang didapatkan oleh para anggota Taliban menjadikan
mereka orang-orang yang fanatik dalam beragama. Mereka diyakinkan bahwa
tidak ada seorang pun dari pemimpin Afghanistan saat itu yang tulus dalam niat
dan upaya untuk membentuk negara Islam di Afghanistan. Mereka juga
diinformasikan bahwa perselisihan antara Rabbani dan Hekmatyar dan juga para
pemimpin lain merupakan suatu proses perebutan kekuasan dan power, bukan
mengenai upaya untuk memperkenalkan praktik-praktik Islam dan perbedaan
pandangan mereka mengenai Islam.36 Hal ini mudah untuk dilakukan terhadap
36 P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan., hal. 185.
35
rakyat Afghanistan karena secara tradisional, rakyat Afghanistan selalu sangat
hormat kepada tetua suku atau tokoh agama untuk membantu mereka
menyelesaiakan masalah, sehingga ketika seseorang muncul dan mampu
mengeluarkan mereka dari masalah yang melanda saat itu, mereka akan patuh
tanpa banyak pertimbangan.
Mullah Mohammad Omar, seorang veteran jihad dari distrik Maiwand di
sebelah barat Kandahar, yang ikut berperang melawan pasukan Uni Soviet untuk
membantu mewujudkan pemerintahan Islam di negaranya, sangat kecewa
terhadap kejadian-kejadian yang menimpa negaranya setelah pembunuhan Dr.
Najibullah. Setelah memutuskan untuk kembali menuntut ilmu di Madrasah Sang
i-Hisar di Maiwand, akhirnya pada September 1994 ia menghentikan studinya
untuk mengupayakan secara konkret tercapainya perdamaian dengan cara
menghancurkan kelompok pro-komunis serta memperkenalkan nilai-nilai Islam di
Afghanistan. Pada 20 September 1994, sebuah keluarga di Herat, dalam
perjalanan mereka menuju Kandahar, diberhentikan di sebuah post pemeriksaan
sekitar 90 kilometer sebelum Kandahar oleh sekelompok bandit mujahidin.
Seluruh anggota keluarga tersebut dibunuh dan jasadnya dibakar. Ketika itu
Mullah Mohammad Omar merupakan orang pertama yang mendatangi tempat
kejadian itu. Ia mengumpulkan para talib (pelajar) untuk membantunya
mengangkat jenazah para korban, dan sejak saat itu ia bersumpah untuk memulai
kampanye serta tindakan untuk melawan para kriminal untuk melindungi rakyat
Afghanistan.
Untuk mencapai tujuannya diatas, Mullah Mohammad Omar pergi dari
masjid ke masjid di desanya untuk mengumpulkan dukungan. Banyak pelajar
36
yang tidak bersedia untuk bergabung dengannya karena merasa bahwa tugas yang
ditawarkan terlalu berat bagi mereka. Pada akhirnya, Mullah Muhammad Omar
berhasil mengumpulkan kurang lebih 50 pelajar yang bersedia mendukung
misinya. Ia kemudian menjelaskan tujuan-tujuan pergerakannya, dan ia tidak
memiliki uang ataupun persenjataan yang dapat ia tawarkan kepada para pelajar.
Namun, Haji Bashar, anak laki-laki dari Haji Isa Khan, seorang mantan komandan
mujahidin dari Hizb-i-Islami memberikan Mullah Mohammad Omar dan
pasukannya persenjataan serta kendaraan. Inilah permulaan dari gerakan Taliban,
sebuah faksi politik baru dengan nama resmi Tehreek-i-Islam-i-Taliban
Afghanistan.37
Gerakan Taliban didirikan oleh para santri militan di Kandahar, sebuah
kota di seberang perbatasan Pakistan, pada Juli 1994. Organisasi itu baru secara
resmi diproklamasikan pada Oktober 1994. pada 1996, Taliban resmi berkuasa di
Afghanistan dan membentuk pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, dengan
syari’at Islam sebagai dasar negara. Para pejabat negara Emirat Islam Afghanistan
dipilih di antara para ulama dan tokoh Islam yang amanah sebagaimana masa
Rasulullah SAW. Dengan misi nasional untuk menegakkan amar ma’ruf nahi
mungkar.38
Tujuan langsung dari organisasi yang baru terbentuk ini adalah pertama,
untuk melucuti senjata milisi yang menjadi musuh. Kedua, melawan pihak yang
menolak untuk menyerahkan senjata mereka. Ketiga, menerapkan hukum Islam di
wilayah-wilayah yang telah dibebaskan oleh organisasi Taliban. Keempat,
mempertahankan seluruh wilayah yang telah menjadi kekuasaan Taliban.
37 P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan., hal.186. 38 Z.A. Maulani, Perang Afganistan, h. 9-10.
37
Pemimpin terkemuka yang bergabung dengan Mullah Mohammad Omar antara
lain: Mullah Mohammad Rabbani, Mullah Mohammad Shahod, Mullah
Mohammad Hassan, Mullah Borjan, dan Haji Amir Mohammad Agha. Semua
tokoh ini tadinya merupakan anggota faksi Younus Khalis dari Hizb-e-Islami.
Tokoh-tokoh lain yang ikut bergabung dengan Taliban adalah Syeikh Nuruddin
Turabi, Ustad Sayyaf, Mullah Abbas, Mullah Muhammad Sadiq, dan Syeikh
Abdus Salam Rocketi.39
Dalam praktik pemerintahannya, setelah berhasil menguasai kota Kabul
hanya dalam hitungan hari, para pemimpin Taliban mengeluarkan sederet aturan
sosial yang melumpuhkan aktivitas kota Kabul. Kaum wanita yang selama empat
dekade leluasa melakukan aktivitas sosialnya dan mendominasi Universitas
Kabul, sekarang tiba-tiba dilarang keluar rumah, kecuali memakai Burqah
(pakaian yang menutupi muka dan seluruh badan). Kaum pria diharuskan
memanjangkan jenggot.40 Namun lama-kelamaan, karena keinginannya untuk
mewujudkan hukum Islam yang ketat, maka rakyat Afghanistan, terutama
kelompok-kelompok oposisi lantas menganggap Taliban menjadi terlalu keras dan
ekstrem dalam pemberlakuan hukum Islam tersebut.
Sebenarnya terdapat beberapa tindakan positif yang dilakukan oleh
pemerintahan Taliban, salah satu yang terpenting adalah pelanggaran pengedaran
obat-obatan terlarang. Para pecandu ditahan dan dilakukan investigasi terhadap
bandarnya, yang diberi hukuman berat. Walaupun tidak terlalu berhasil karena
Afghanistan hampir tidak memiliki sumber penghasilan lain, namun langkah ini
patut dipuji. Selain itu, pada dasarnya Taliban meyakini wajib sekolah bagi anak
39 P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan, hal. 187. 40 Iwan Hadi Broto dkk, Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs Taliban
(Jakarta: Gramedia, 2002), h.85.
38
laki-laki dan perempuan. Namun, keikutsertaan perempuan dalam pendidikan dan
sekolah diberhentikan dengan alasan keamanan dan keadaan finansial negara yang
tidak memungkinkan untuk menyokong biaya pendidikan bagi banyak anak
Afghanistan.41
Taliban juga dituduh menyulitkan pihak asing untuk memberikan bantuan
kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan. Namun, terdapat beberapa kasus yang
menunjukkan bahwa pihak Taliban bersedia bekerjasama demi kesejahteraan dan
kebaikan rakyatnya. Sebagai contoh, vaksinasi polio berhasil dilaksanakan pada
September 2001 sebelum pemboman dimulai dan kemudian dilanjutkan kembali
pada November, walaupun beberapa bahkan banyak daerah yang tidak dapat
dicapai pada saat perang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor yang
mengganggu proses vaksinasi atau proses pemberian bantuan kemanusiaan
lainnya-bukanlah Taliban, melainkan konflik dan perang yang terus menerus
terjadi di Afghanistan.42
Berdasarkan realitas yang ada, di mata Taliban, masalah yang terjadi di
Afghanistan tidak terlalu serius pada masa pemerintahannya. Satu-satunya
tindakan terpenting yang dianggap Taliban harus segera dilakukan justru bagi
negara-negara di dunia untuk mengakui Taliban sebagai pemerintahan yang sah
di Afghanistan. Mereka menyatakan bahwa merupakan bagian dari
41 P. Bajpai dan S, Ram (eds), Vol 5, hal.199-200. 42 Stephen R. Shalom dan Michael Albert, “45 Questions and Answers: 9-11 and
Afghanistan One Year Later,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.globalissues.org geopolitics/WarOnTerror/ 45qaAfghan.asp
39
tanggungjawab dunia internasional untuk membantu Afghanistan membangun
kembali negaranya di bawah pemerintahan Taliban.43
C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban
Doktrin Taliban tampaknya banyak dipengaruhi oleh Pashtunwali, hukum
tradisional suku Pashtun. Pashtunwali menjadi pedoman hidup bagi anggota suku
Pashtun, dan dijunjung tinggi terutama di kalangan Pashtun pedesaan di berbagai
kawasan Rural di timur dan selatan Afghanistan. Nilai-nilai dalam Pashtunwali di
antaranya adalah: badal, yaitu tuntutan untuk membalas dendam dengan darah,
tureh, keberanian, istiqamat, kegigihan, kesabaran, budi pekerti yang mulia, dan
pembelaan terhadap kehormatan perempuan. Di antara nilai-nilai utama
Pashtunwali, dua nilai yang sangat dijunjung tinggi adalah malmastiya, yaitu
kewajiban untuk bertingkah laku sopan terhadap tamu tanpa pamrih dan
nanawati, yaitu memberikan suaka kepada yang meminta, bahkan kalau perlu
membela sampai mati siapapun yang telah diberikan suaka. Meski Islam memiliki
tempat yang khusus di dalam kehidupan masyarakat Afghanistan, tetapi tidak
semua nilai dalam Pashtunwali sesuai dengan ajaran Islam. Badal misalnya, yaitu
kewajiban untuk membalas dendam, jika perlu dengan nyawa, hal ini
bertentangan dengan agama Islam yang melarang sesama muslim untuk saling
membunuh.44
43 Laili Helms, “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security and
Options for International Action”, diakses pada tanggal 18 Desember 2007 dari http://www.usip.org/pubs/special reports/early/srafghan.html
44Wilhendra Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994: Penelaahan terhadap Struktur Politik Zaman Modern Negara Afganistan,” (Skripsi S1 Fakultas IIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004), h. 76.
40
Doktrin Taliban banyak juga dipengaruhi oleh mazhab Deoband (berasal
dari Darul Ulum Deoband), sebuah institusi pendidikan yang didirikan di kota
Deoband, India pada tahun 1867. Mazhab Deoband mengajarkan agama dengan
cara-cara ortodoks,45 dan madrasah-madrasah yang berada di bawah pengaruhnya,
telah menghasilkan sejumlah ulama terkemuka di Afghanistan.46
Ciri khas dari ajaran Deoband adalah mereka melihat bahwa dunia ini
pada dasarnya adalah sebuah ketidakberdayaan dan melihat masa lalu dan teks
keagamaan sebagai sumber kebanggaan budaya dan peta jalan yang harus
ditempuh menuju kebangkitan kembali. Diperlengkapi dengan telaah Hadist,
mereka kaum Deoband menyesali sejumlah upacara dan praktek-praktek adat,
termasuk apa yang mereka pandang sebagai perilaku yang berlebihan di kuburan-
kuburan orang suci, perayaan-perayaan siklus kehidupan yang rumit, dan praktek-
praktek yang dihubungkan dengan pengaruh syi’ah.
Kaum Deoband juga memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap
perempuan yang mereka lihat sebagai simbol moral masyarakat. Mereka lebih
suka bergerak secara independen yang terlepas dari institusi kenegaraan dan tidak
terlibat dalam politik praktis. Kelompok lain yang terpengaruh ajaran Deobandi
adalah Jamaah Tabligh47 dan Partai Ulama Islami di Pakistan. Doktrin Taliban
merupakan bentuk ekstrim dari ajaran Deoband. 48
Di samping Deobandi, Doktrin Taliban memiliki beberapa kesamaan
dengan aliran Wahabi yang muncul pada abad ke-18 di Arab Saudi. Gerakan yang
45 Aliran yang berpegang teguh pada ajaran murni. 46 William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan, h.29
47 Jamaah Tabligh adalah jamaah dakwah yang pertama kali muncul di Pakistan pada pertengahan abad ke-19, mengikuti ajaran pemimpin mereka Maulana Muhammad Ilyas. Pengikut Jamaah Tabligh memfokuskan kegiatan dakwahnya kepada sesama muslim yang dinilai telah lepas dari hakekat agama Islam. Di dalam perkembangannya Jamaah Tabligh telah membangun jaringan
yang luas di seluruh dunia, bahkan sampai ke Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Utara. 48 Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994”, h. 75.
41
dipelopori oleh Abdul Wahab (1703-1792) bertujuan untuk membersihkan suku-
suku Badui di Semenanjung Arab dari pengaruh sufisme. Penyebaran wahabisme
menjadi bagian penting di dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi setelah tahun
1970-an wahabisme dan deobandisme memiliki beberapa kesamaan dalam hal
sikap mereka yang menyesalkan tradisi dan praktek-praktek adat yang telah
bercampur dengan agama dan pelarangan terhadap representasi bentuk makhluk
hidup yang merupakan dasar pelarangan segala seni lukis dan gambar, serta foto
dan televisi. Beberapa kesamaan ini ikut menjelaskan tergabungnya kelompok-
kelompok non-Afganistan khususnya Arab yang di dalamnya gerakan Taliban.
Kaum Wahabi telah terlibat di Afganistan sejak masa perlawanan terhadap
penduduk Soviet. 49
D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban
Awalnya, Amerika Serikat ikut menyambut positif lahirnya Taliban dan
memberikan dukungan atas kekuasaan milisi tersebut di Kota Kabul. Amerika
Serikat punya kepentingan politik dari lahirnya Taliban yang menganut madzhab
Sunni, yaitu dalam upaya meredam pengaruh Iran yang menganut madzhab
Syi’ah di Afganistan.50
Kecurigaan AS semakin kuat, setelah Iran juga turut mendukung koalisi
anti Taliban yang berbasis di Afganistan Utara. Hal ini membuat Amerika Serikat
menuding Iran telah melampaui garis merah permainan di Afganistan. Gelagat
49Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994,” h. 76-77.
50 AS menganggap dukungan penuh Iran atas milisi Syi’ah pimpinan Abdul Karim Khalili yang menguasai wilayah Afghanistan Tengah, sebagai bagian dari upaya Teheran ikut nimbrung menanamkan pengaruh di Afghanistan. Lihat Mushafa Abdurrahman, Afghanistan di
Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan ( Jakarta: Kompas, 2002.), h.28.
42
Iran tersebut sudah dianggap mengancam kepentingan Amerika Serikat di
Afganistan. Seperti dimaklumi, hubungan AS-Iran sangat buruk pasca revolusi
Iran tahun 1979. Dalam konteks tersebut, AS memilih berkoalisi dengan Taliban
meskipun diketahui sangat puritan dan konservatif dalam pemahaman agama,
sebagai bagian dari strategi Washington mengepung musuh lamanya, Iran.51
AS juga melihat milisi Taliban yang notabene berasal dari etnik Pashtun,
sebagai penyanggah yang efektif bagi kemungkinan meluasnya pengaruh Rusia di
Afghanistan. Rusia dicurigai main mata dengan etnik-etnik minoritas di
Afghanistan seperti etnik Uzbek dan Tajik. Dua etnik minoritas Afghanistan
tersebut menjalani hubungan khusus dengan Uzbekistan dan Tajikistan yang
berada di bawah atmosfir pengaruh Rusia.
Faktor ekonomi juga berada di balik dukungan AS atas Taliban. Sebuah
perusahaan minyak AS, Delta Oil saat itu berniat membangun pipa untuk
menyalurkan gas alam dari Turkmenistan ke pesisir Pakistan melalui Afghanistan.
Panjang pipa tersebut sekitar 1000 mil dengan menelan biaya 2,5 juta dollar
Amerika Serikat. Tentu saja pihak Delta Oil sangat mendukung kekuasaan
Taliban yang telah mengeluarkan fatwa agama bahwa mendorong investasi asing
bagian ajaran agama. 52
Afghanistan juga merupakan bagian dari suatu mata-rantai yang dikenal
dengan nama ‘Cekungan Kaspia’ (Caspian Basin) yang merentang dari
Turkmenistan, Azerbaijan, Uzbekistan, Afghanistan, Tajikistan, dan Kirgystan
dengan deposit minyak Cekungan Kaspia yang ditaksir tidak kurang dari 30
51 Musthafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan, h.29. 52 “Redupnya Nilai Strategis Taliban,” Kompas, 23 September 2001.
43
trilyun barrel, suatu jumlah yang mampu memasok paling tidak untuk 80-100
tahun kebutuhan minyak Amerika Serikat.
Selama itu rezim Taliban yang ada di Afganistan merupakan kekuatan satu-
satunya di kawasan itu yang bebal dan menentang kehendak Amerika Serikat
yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Ketakukan Taliban kepada
hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Tengah itu membuat Taliban
mempertimbangkannya untuk memberikan konsesi kepada sebuah negara
Amerika Latin. Resikonya lebih kecil, tetapi hal itu membuat Amerika Serikat
murka sekali. Sebuah delegasi presiden Amerika Serikat menemui Mullah
Muhammad Omar, pimpinan Taliban, bekas sekutu Amerika Serikat ketika
memerangi Uni Soviet. Utusan itu kesal sekali ketika pihak Taliban tetap
bersikeras dengan kebijakan mereka. Kesabaran delegasi Amerika Serikat habis
dan ditutup dengan pernyataan, “If you agree with us, we will provide you with
golden carpet; but if you don’t agree with us, we will pump you with carpet
bombing!” Taliban tetap menolak. Kesimpulannya, Taliban harus dihabisi!53
Selain itu, ada empat faktor khusus yang menyebabkan ketidakpuasan
Amerika Serikat terhadap Taliban: pertama, Taliban dianggap tidak mampu untuk
mengontrol Afghanistan akibat ekspansinya yang terlalu cepat. Washington
mengharap bahwa dengan menangnya Taliban, bisa tercipta rasa damai di seluruh
kawasan Afghanistan. Namun harapan itu tidak menjadi kenyataan.
Pengambilalihan Kabul oleh Taliban malah melahirkan “negara polisi” di ibukota,
pembersihan etnis di wilayah utara, dan banyaknya kerusuhan di wilayah-wilayah
yang sebelumnya malah relatif aman. Pendapat yang menyatakan bahwa Taliban
53 Z.A. Maulani, Mengapa? Barat Memfitnah Islam (Jakarta: Daseta, 2002), h.130-131.
44
akan menyebar stabilitas dalam negeri sama sekali tidak terbukti. Kedua, harapan
Taliban akan segera menghentikan penanaman ganja dan opium, seperti banyak
diramalkan akhirnya hanyalah sebuah ilusi. Bukannya Taliban menjadi partner
dalam memerangi beredarnya obat-obat terlarang, namun sebaliknya malah
mereka mengambil untung yang sebesar-besarnya. Di akhir 1997, 7,5% dari
keseluruhan hasil panen opium yang berjumlah 2.500 ton dilaporkan berasal dari
Kandahar, tempat Taliban bermarkas. Dan 90% dari hasil panen opium itu berada
di bawah kontrol Taliban. Ketiga, Taliban sama sekali tidak sensitif terhadap
kebijakan politik AS, tidak seperti yang diharapkan oleh Washington, contoh
paling jelas adalah perlindungan yang diberikan Taliban pada Osama bin Laden,
seorang milliyuner asal Arab Saudi, yang dituduh Amerika Serikat telah mendanai
orang-orang yang anti terhadap Amerika seperti pengeboman barak militer di
Arab Saudi di mana beberapa personil tentara Amerika mati terbunuh. Keempat,
perlakuan Taliban terhadap wanita, yang secara luas disebarkan lewat media
massa menyusul jatuhnya Kabul, dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-
nilai HAM dan Amerika menyatakan diri sebagai pembelanya.
Dan itu menjadikan harapan Taliban untuk diakui oleh Amerika Serikat
setelah setahun penaklukan kota Kabul adalah sia-sia. Amerika Serikat
beranggapan lebih baik menutup kedutaan Afghanistan di Washington, ketimbang
memberikannya kepada orang-orang Taliban.54
54 William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan, h.109-110.
45
BAB III
PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP
PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN
A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan tahun 2001: Akhir
Pemerintahan Taliban
Amerika Serikat melakukan invasi militer sebagai bagian dari pendirian
ideologi, di mana tujuan akhir invasi militer yang dilakukannya adalah untuk
mengubah struktur negara agar sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya.
Satu hal yang dapat menyebabkan invasi militer ini menjadi sah adalah apabila
alasan penyelenggaraan berdasarkan self-defence, yang didefinisikan sebagai
tindakan untuk melawan kekerasan dengan kekerasan juga. Alasan inilah yang
digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan, dengan tujuan
untuk menggulingkan rezim otoriter yang dianggap tidak kooperatif dan
menggantikannya dengan rezim demokratis seperti negaranya.
Menurut John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, 55 Amerika Serikat sering
kali memiliki peran dalam upaya-upaya rekonstruksi pasca konflik internasional
serta memimpin invasi militer ke berbagai negara. Namun, bagi Amerika Serikat,
keputusan untuk terlibat atau tidak dalam proses semacam itu tergantung pada
seberapa besar kepentingan Amerika Serikat. Ketika kepentingan vital
nasionalnya dipertaruhkan, Amerika Serikat berinisiatif untuk mengambil peran
utama.
55 John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, “Toward Postconflict Raconstruction,” dalam
the Washington Quarterly, Vol25 No.4 Autumn 2002, h.93.
46
A.1. Pelaksanaan Invasi Militer Amerika Serikat
Tekad Amerika Serikat untuk menggulingkan rezim Taliban semakin
terlihat ketika dalam waktu empat hari pada November 2001, kota-kota kunci
Afganistan berhasil direbut pasukan anti-Taliban. Pada 9 November, Mazar-i-
Syarif jatuh ke tangan pasukan yang dipimpin Dostum, pemimpin Syiah Ustad
Mohaqqeq, dan Komando Atta Muhammad. Sehari berikutnya, pasukan Front
Persatuan melancarkan serangan-serangan simultan ke bagian utara Afganistan, di
Khwajaghar, Eshkamesh, Baghlan, Pul-e Khumri, Nahrin, Aibak, dan Bamiyan.
Semua kota tersebut berhasil direbut, bersamaan dengan kota Hairatan dan
Shibarghan ke tangan pasukan Dostum. Kota Maimana berhasil direbut pada 11
November, disusul oleh Herat pada 12 November. Pada 13 November, Taliban
melarikan diri dari Kabul, dengan merampok pusat penukaran mata uang asing
dan bank nasional Afganistan, yaitu Da Afghanistan Bank. Front Persatuan
kemudian berhasil menguasai ibukota Kabul tanpa perlawanan. Pada 11
Desember, pasukan bin Laden melarikan diri ke pegunungan di sekitar Gua Tora
Bora yang terletak di Afganistan bagian timur. Amerika Serikat kemudian
melancarkan bom terhadap gua-gua yang diduga sebagai tempat persembunyian
bin Laden dan pasukannya.56
Setelah dibombardir habis-habisan oleh Amerika Serikat, kekuatan
pertahanan Taliban akhirnya ambruk. Kabul pun jatuh dan pasukan Aliansi Utara
hampir tanpa perlawanan berhasil mamasuki ibukota Afghanistan yang selama
56 Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.infoplease.com/sport/taliban-time.
html.
47
lima tahun terakhir ini dikuasai rezim Taliban. Dengan hengkangnya pemimpin
dan pasukan Taliban dari Kabul, harapan akan berakhirnya konflik dan
peperangan tampak dirasakan oleh penduduk setempat.57 Sebuah koran Jakarta
berbahasa Inggris menulis judul dengan huruf yang besar “Kabul Falls, Taliban
Flee” Kabul jatuh, Taliban Melarikan Diri.58
A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan
Terdapat beberapa prinsip yang dapat mendasari suatu aktor eksternal
untuk melakukan invasi militer dengan tujuan melakukan transisi rezim, di
antaranya: kediktatoran pemimpin, profilerasi senjata pemusnah massal, dan
genosida.59 Dalam kasus Afghanistan, alasan yang digunakan Amerika Serikat
adalah kediktatoran rezim. Pemerintahan negara dunia ketiga yang otoriter atau
totaliter dinilai sangat potensial mendukung kelompok pemberontak, bahkan
kelompok teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas
seperti Amerika Serikat. Oleh sebab itu, negara dengan pemerintahan totaliter
seperti Afghanistan sangat dicurigai menampung al-Qaeda yang menyebabkan
Amerika Serikat menyerang Afghanistan.
Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat
memang memiliki kepentingan untuk melindungi kemerdekaan, harkat dan
martabat manusia, kebebasan, kesejahteraan, dan perdamaian, baik di dalam
maupun luar negeri. Oleh karena itu, Amerika Serikat seringkali memutuskan
untuk melakukan invasi militer ke suatu negara dengan misi “membebaskan”
57 T. Yulianti, “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21
November 2001, h.1. 58 The Jakarta Post, 14 November 2001. 59 Pascal Boniface, “What Justifies Regime Change”, dalam The Washington Quarterly,
vol. 26 No. 3 Summer 2003, hal. 64-70.
48
negara yang bersangkutan, dengan tujuan meninggalkan negara tersebut dalam
keadaan yang lebih baik, dalam hal ini artinya lebih bebas dan demokratis
dibandingkan dengan keadaan sebelum invasi militer Amerika Serikat. Hal ini
antara lain dilakukan dengan secara aktif melibatkan diri di seluruh dunia dalam
mendukung negara-negara lain untuk mengkonsolidasikan lembaga-lembaga
pemerintahan yang demokratis, menyokong demokrasi baru, serta memberikan
pencerahan kepada pemerintah yang menginginkan masyarakatnya akan
kebebasan dan kemerdekaan.60
Presiden Bush dalam pidatonya di depan sidang gabungan Kongres
Amerika Serikat pada 20 September 2001, menyatakan dimulainya perang
Amerika Serikat melawan teror atau war on terror. Dalam kesempatan ini
Presiden Bush meminta kepada Taliban untuk menyerahkan seluruh pemimpin
kelompok (teroris) al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan, menutup seluruh
kamp pelatihan teroris, menyerahkan seluruh anggota kelompok teroris kepada
aparat yang berwajib, dan memberikan akses penuh terhadap kamp pelatihan
teroris kepada Amerika Serikat. Presiden Bush juga menyatakan bahwa perang
melawan terorisme dimulai dengan perang melawan al-Qaeda, namun Amerika
Serikat tidak berhenti sampai di situ saja. Amerika Serikat memang menghormati
seluruh rakyat Afghanistan, namun mengutuk rezim Taliban yang dianggap oleh
pemerintah Amerika Serikat menindas rakyatnya sendiri dan mengancam orang di
belahan dunia dengan mendukung dan menampung kelompok-kelompok teroris.
Lebih lanjut, secara spesifik Presiden Bush mengatakan bahwa musuh Amerika
Serikat bukanlah kaum muslimin ataupun bangsa Arab, tetapi jaringan teroris
60 Paula J. Dobriansky, “Shining a ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide
“ (Jurnal US Foreign Policy Agenda: 2003), hal. 25. Vol. 8 No. 1.
49
radikal dan semua pemerintah di dunia yang mendukung mereka.61 Terdapat
pernyataan penting dalam pidato Bush di atas yang sangat menggambarkan
motivasi dan tujuan Amerika Serikat melakukan invasi militer terhadap
Afghanistan :
“In Afghanistan, we see al-Qaeda’s vision for the World. Afghanistan’s people have been brutalized – many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long enought… Americans are asking : why do they hate us? They Hate what we see right here in this chamber – a democratically elected government. Their leaders are self-appointed. They hate our freedoms – our freedoms of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other….. these terrorist kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life. With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the world and forsaking our friend. They stand against us, because we stand in their way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the twentieth century. By sacrificing human life to serve their radical visions – by abandoning every value except the will to power – they follow in the path of fascism, and Nazism, and totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in history’s unmarked grave of discarded lies… This is not, however, just America’s fight. And what is at stake is not just America’s freedom. This is the world’s fight. This is civilization’s fight. This is the fight of all who
believe in progress and pluralism, tolerance and freedom.”
Dari retorika ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Amerika Serikat
ingin mengubah total kehidupan di Afghanistan menjadi kehidupan seperti yang
dianut Amerika Serikat, yaitu kehidupan yang demokratis – sangat menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta perlindungan bagi hak-hak (rakyat) sipil.62 Salah
satu alasan paling kuat bagi Amerika Serikat untuk melakukan hal ini adalah
karena tren ancaman keamanan baru bagi Amerika Serikat adalah anarchy
61 Text: Bush Announces Start of a “War on Terror” Distributed by the office of
International Information Programs, US Departmen of State,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.
62 Colin L. Powell, “Demokrasi Bangkit di Afghanistan”, Kompas 1 Oktober 2004.
50
abroad—kekacauan lain yang terjadi di belahan dunia lain.63 Hal ini dikarenakan
anarki yang terjadi di negara lain memiliki karakteristik di mana pemegang
kekuasaan adalah pihak yang memenangkan peperangan terakhir dan di mana
orang asing dapat bebas untuk keluar masuk perbatasan negara tersebut tanpa ada
catatan apapun, membuat negara tersebut menjadi tempat yang sangat nyaman
bagi kelompok-kelompok teroris untuk mengembangkan rencana mereka. Untuk
mencegah hal ini, maka pemerintah baru di negara-negara semacam ini
memerlukan bantuan dari pihak eksternal hal inilah yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap Afghanistan.
Mendukung pernyataan Presiden Bush, wakil Menteri Pertahanan Amerika
Serikat, Donald Rumsfeld dalam pernyataannya mengenai invasi militer Amerika
Serikat terhadap Afghanistan kepada wartawan di Pentagon pada 7 oktober 2001,
mengatakan bahwa serangan tersebut tidak ditujukan kepada rakyat Afghanistan,
tetapi kepada kaum teroris yang mendapatkan perlindungan di Afghanistan, yang
tindakan-tindakannya mengancam bukan hanya Amerika Serikat tetapi juga
pemerintah-pemerintah lain di seluruh dunia. Dampak yang diharapkan oleh
Amerika Serikat melalui invasi militernya, menurut Rumsfeld, adalah untuk
menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif bagi operasi-operasi militer yang
dilaksanakan pada akhir 2001 dan 2002 memiliki tujuan untuk memperjelas
kepada para pemimpin Taliban dan pendukungnya bahwa memberikan
perlindungan kepada kelompok teroris tidak dapat diterima dan menimbulkan
konsekuensi sanksi tertentu, mendapatkan informasi intelijen untuk memfasilitasi
operasi-operasi di masa depan dengan kelompok-kelompok di Afghanistan yang
63 Kimberly Zisk Marten, “Defending against Anarchy: From War to Peacekeeping in
Afghanistan:, dalam The Washington Quarterly, Vol. 26 No. 1, 2002-2003, hal. 35.
51
menentang rezim Taliban dan kelompok teroris asing yang didukung oleh Taliban
menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para teroris untuk memanfaatkan
Afghanistan secara bebas sebagai markas besar operasi, dan menyediakan bantuan
kemanusiaan untuk rakyat Afghanistan yang menderita dari kondisi kehidupan
serba tertindas dibawah rezim Taliban.64
Dalam kesempatan lain, Rumsfeld mengungkapkan kepada pasukan
Amerika Serikat di Afghanistan bahwa tugas mereka adalah untuk membela
keamanan negara dengan cara menegaskan hukuman terhadap pelaku serangan
terorisme 11 September 2001. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu,
Colin Powell, menyatakan sejak awal bahwa pasukan Amerika Serikat akan tetap
berada di Afghanistan hingga mereka menuntaskan misi mereka, yaitu
mengalahkan Taliban untuk adanya pemerintahan baru.65
Keberadaan pasukan Amerika Serikat, menurut wakil Presiden Amerika
Serikat Dick Cheney, merupakan sebuah kesempatan untuk mengingatkan rakyat
Afghanistan bahwa Amerika Serikat senantiasa mendampingi mereka dalam
membangun negara agar menjadi demokratis. Amerika Serikat semakin
menyadari keberadaan musuh yang memiliki kebencian tidak terbatas terhadap
Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Amerika Serikat memutuskan
bahwa musuh semacam ini bukanlah musuh yang dapat diajak bernegosiasi atau
berkompromi. Singkatnya, teroris merupakan musuh yang harus dikalahkan dan
dimusnahkan.
64 Transcript “Rumsfield, Myers Brief on Military Operation in Afghanistan , Distributed
by the Office of International Information Programs, US Department of state.” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.
65 “Amerika Serikat Kibarkan Bendera di Kedubes Kabul, ” Kompas 14 Januari 2002.
52
Untuk memenangkan perang melawan musuh tersebut, Amerika Serikat
menerapkan sebuah doktrin, bahwa “setiap orang, kelompok, atau rezim yang
memberikan perlindungan atau dukungan bagi aksi-aksi teror sama bersalahnya
dalam tindak kriminal terorisme, dan akan dimintai pertanggungjawabannya”.
Invasi terhadap Afghanistan yang ditujukan untuk mengalahkan Taliban yang
dianggap memberikan perlindungan kepada dalang aksi teror 11 September 2001,
Osama bin Laden, sebagai salah satu bentuk implementasi dari doktrin tersebut.
Amerika Serikat meyakini bahwa ketika manusia diberikan hak-hak dan
kesempatan untuk hidup dalam masyarakat yang bebas, mereka akan
menggunakan energi mereka untuk mewujudkan perdamaian. Tindakan invasi
militer terhadap Afghanistan dipercaya oleh Amerika Serikat dapat mewujudkan
perdamaian di Afghanistan, karena invasi itu ditujukan untuk menjatuhkan rezim
diktator yang dianggap melindungi jaringan teror sehingga dapat membantu
meningkatkan keamanan Amerika Serikat dan bangsanya.66
Selanjutnya, menurut beberapa analis, Amerika Serikat melakukan invasi
ke Afghanistan dalam rangka mencapai tujuan utamanya. Pertama,
menghancurkan kekuatan pasukan al-Qaeda yang diduga kuat berada di
Afghanistan sebagai bagian dari kampanye global Amerika Serikat untuk
memberantas kelompok tersebut hingga tuntas. Kedua, menangkap atau
membunuh Osama bin Laden, walaupun Amerika Serikat menganggap bahwa
keberhasilan invasi militer ke Afghanistan tidak tergantung akan hal ini. Ketiga,
66 “Komentar oleh Wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan
tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember 2001,“ diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html.
53
melumpuhkan serta menjatuhkan rezim pemerintahan Taliban yang menurut
banyak sumber terkait dengan al-Qaeda.67
Setelah Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Taliban, masih
terdapat banyak hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan keadaan aman di
Afghanistan, yaitu pertama, membantu Afghanistan menciptakan situasi dan
kondisi yang sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi kelompok teroris
untuk kembali ke Afghanistan dan kedua, mendukung pembentukan kembali
struktur politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang memungkinkan rakyat
Afghanistan untuk membangun masa depan yang lebih baik.68
Pendapat dari pihak yang kontra mengenai tujuan dan motivasi Amerika
Serikat dalam melakukan invasi ke Afghanistan antara lain datang dari Noam
Chomsky, analis yang seringkali mengambil posisi berseberangan dengan
kebijakan–kebikajakan Amerika Serikat. Chomsky menyatakan bahwa jelas
terjadi perbaikan-perbaikan yang dihasilkan sejak dijatuhkannya rezim Taliban.
Apalagi sejak lama, sebagian besar pihak sangat mendukung digulingkannya
rezim Taliban, kecuali pemerintah Amerika Serikat. Chomsky berupaya
mengingatkan bahwa pada awalnya, penggulingan rezim Taliban bukanlah tujuan
utama dari invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Tujuan perang,
yang diumumkan pada 12 Oktober 2001 atau lima hari setelah pemboman
terhadap Afghanistan dimulai, adalah agar Taliban mau menyerahkan orang-orang
yang dinyatakan sebagai tersangka yang terlibat dalam aksi teror terhadap
Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Amerika Serikat tidak memberikan
bukti yang cukup bagi Taliban untuk melakukan penyerahan itu. Lebih dari dua
67 Frederick W. Kagan, “Did We Fall in Afghanistan?”, dalam commentary Vol. 115 No. 3 March 2003, hal. 40.
68 Hamre dan Sulivan, h.95.
54
minggu setelahnya, ketika perang hampir mencapai akhir, tujuan perang baru
ditambahkan, yaitu untuk menggulingkan rezim Taliban. Bahkan, seorang
komandan Inggris mengumumkan bahwa rakyat Afghanistan akan terus diserang
kecuali jika mereka melakukan perubahan rezim pemerintahan. Pada akhirnya,
Amerika Serikat setuju untuk bergabung dalam menentang rezim Taliban.69
Dikatakan pula bahwa momen tersebut sebenarnya dimanfaatkan oleh
pemerintahan Bush untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar dan dalam negeri.
Saat itu, penasihat keamanan gedung putih Condolezza Rice misalnya,
mengatakan bahwa ia telah “memanggil staf senior dari Dewan Keamanan
nasional (National Security Council-NSC) dan meminta mereka untuk
memikirkan secara serius bagaimana menggunakan kesempatan ini untuk secara
fundamental mengubah doktrin Amerika Serikat serta bentuk tatanan dunia,
terutama pasca 11 september 2001.
Pendapat lain datang dari kepala Staf Kantor Wakil Presiden, Lewis
Libby, yang mengatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa alternatif lain yang
dapat dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi masalah teroris. Presiden
Bush bisa menunggu bukti-bukti hukum untuk dikumpulkan sehingga
memungkinkan adanya pelaksanaan negosiasi dengan pihak Taliban. Namun,
pendekatan ini dinilai tidak akan memberikan kesempatan bagi Amerika Serikat
untuk mengatur kembali peran sentralnya di dunia internasioinal, sehingga
ditolak.70
69 Wawancara David Barsamian terhadap Noam Chomsky, “US Intervention from
Afghanistan to Iraq,” diakses pada tanggal 18 Desember 2007 dari http://www. isreview.org/issue/25/chomsky interview. html.
70 Stephen R. Shalom dan Michael Albert, Diakses pada 18 Desember 2007 dari http:// www. global issues.org /geopolitics/ WarOnTerror/ 45qaAfghan.asp
55
Apapun motivasi dan tujuan yang diungkapkan oleh Amerika Serikat,
kenyataan yang harus diperhatikan adalah hingga pemilihan umum presiden
diselenggarakan pada 2004, Afghanistan masih sangat bergantung pada dukungan
dan bantuan dari Amerika Serikat dan aktor-aktor eksternal lain untuk
membangun kembali negaranya yang hancur akibat perang. Dalam proses
rekonstruksi pasca konflik dan transisi rezim di Afghanistan, aktor eksternal yang
berperan bukan hanya aktor negara, melainkan melibatkan pula banyak aktor non-
negara, meskipun “pemeran” utamanya tetap Amerika Serikat. Hal ini
memprihatinkan mengingat sebuah negara yang kuat dan stabil harus menentukan
nasib dan sikapnya sendiri, dengan seminimal mungkin intervensi asing, dan ini
tidak dimiliki oleh Afghanistan. Ketergantungan secara terus menerus akan
menyebabkan Afghanistan berada dalam kondisi lemah untuk waktu yang lama.
B. Proses Menuju Demokrasi Proses menuju demokrasi untuk membentuk sebuah pemerintahan yang
demokratis di Afghanistan, juga meliputi transisi rezim karena di Afghanistan
sebelumnya selalu dipimpin rezim-rezim otoriter, di mana rakyat Afghanistan
memiliki sedikit sekali suara dalam proses-proses pembuatan kebijakan
negaranya. Akibatnya rakyat Afghanistan tidak pernah puas dengan
pemerintahannya karena bukan merupakan pilihan mereka, sehingga hampir
selalu terjadi transisi rezim dari satu penguasa ke penguasa yang lainnya, oleh
sebab itu pada bagian ini akan dijelaskan tiga hal penting yaitu:
56
B.1. Terjadinya Transisi Rezim di Afghanistan
Menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, transisi adalah
keadaan atau kondisi pemerintahan yang sedang berada dalam interval antara
rezim pertama ke rezim berikutnya. Proses ini berkaitan dengan proses-proses
setelah transisi rezim, misalnya konsolidasi demokrasi, namun proses transisi
rezim dianggap berakhir setelah sebuah rezim baru terbentuk, apapun corak dan
tipenya. Karakteristik pemerintahan yang mengalami transisi adalah tidak adanya
rules of the game dalam politik yang jelas. Oleh sebab itu, pemerintahan yang
berada dalam transisi sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Hal yang
menandakan bahwa sebuah transisi rezim telah dimulai adalah apabila terjadi
modifikasi aturan–aturan kearah yang menyediakan jaminan yang lebih pasti
sebagai perlindungan hak-hak rakyatnya, baik individu maupun kelompok.71
Perubahan rezim yang berlangsung secara dramatis dan tiba-tiba terjadi di
Afghanistan bukan karena masyarakat dunia memutuskan bahwa rakyat
Afghanistan merupakan orang-orang yang sudah saatnya menyelamatkan diri dari
rezim pemerintahan yang telah mengekang kebebasan mereka, tetapi karena
Taliban dan sekutunya dituduh terlibat dalam peristiwa yang sangat merugikan
Amerika Serikat. Apabila serangan 11 September 2001 tidak terjadi, maka
kemungkinan besar Taliban masih berkuasa di Afghanistan.72 Walaupun invasi
militer Amerika Serikat menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan
kehidupan di Afghanistan, namun, serangan tersebut juga sekaligus merupakan
71 Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclutions about Uncertain Democracies (Baltimore & London: The John Hopkins University Press, 1996), p.36.
72 Amin Saikal, Afghanistan after the Loya Jirga, dalam Survival vol.44 No.3Autumn 2002, h.47.
57
jawaban bagi do’a sebagian rakyat Afghanistan yang ingin membebaskan diri dari
apa yang dirasakan sebagai penindasan oleh rezim Taliban.
Proses transisi rezim di Afghanistan sebenarnya memiliki sebuah pilihan
paling optimal bagi Afghanistan untuk dapat memperbaiki kondisi negaranya, di
mana hukum nyaris tidak berlaku serta diwarnai dengan menjamurnya worlodism.
Para elit politik dan tokoh masyarakat Afghanistan harus mampu mengambil alih
kontrol kehidupan di negaranya dan berupaya keras membentuk organisasi-
organisasi berbasis masyarakat sipil di Afghanistan. Elit politik dan kaum
intelektual yang memiliki komitmen kuat terhadap terwujudnya demokrasi dapat
benar-benar mewujudkan terciptanya masyarakat sipil serta lembaga-lembaga
demokratis yang kuat. Namun, hal ini harus dilakukan dengan melibatkan norma-
norma adat dan nilai-nilai yang dianut di Afghanistan, kemudian diselaraskan
dengan konsep Loya Jirga. Ketika Loya Jirga berhasil dibentuk dan masyarakat
Afghanistan dilibatkan dalam proses transisi rezim melalui konsultasi dan
partisipasi publik, sebuah budaya politik yang mampu menopang masyarakat sipil
dan lembaga-lembaga demokratis yang berkelanjutan akan dapat berkembang
dengan baik. Menyelenggarakan pemilihan umum dan menggalang partisipasi
dalam waktu yang terlalu singkat, dan tanpa adanya kerangka kerja yang
terorganisir dengan baik akan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam
upaya-upaya tersebut.73
Namun sejak awal 2002, terlihat bahwa proses transisi rezim yang semula
dirancang sebagai proses demokrasi di Afghanistan tidak berjalan sesuai dengan
pola-pola transisi rezim yang lazim terjadi. Transisi menuju demokrasi justru
73 “Regime Change in Afghanistan,” diakses pada 21 November 2007 dari http://www.
sabawoon.com/news/miniheadlines.asp?dismode=article&artid=8517.
58
diwarnai oleh kembali maraknya warlordism dan kerajaan-kerajaan kecil di tiap-
tiap provinsi dan pinggiran desa, serta sebuah pemerintahan pusat yang masih
otoriter di Kabul. Otoritas interim yang terdiri dari Hamid Karzai dan para
anggota Aliansi Utara memiliki sedikit popularitas di Afghanistan belum terlihat
adanya kebebasan berkompetisi dalam politik, pluralisme dalam ekonomi, sosial,
dan politik yang signifikan yang dapat membentuk kembali struktur masyarakat
sipil dan lembaga-lembaga politik di Afghanistan. Para pegawai negeri sipil yang
bekerja untuk pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap kewenangan para
pemimpin rezim. Selain itu, belum ada persaingan antara partai politik, kebebasan
politik dan keadilan etnis pun belum terwujud. Kebebasan sipil dan politik sangat
dibatasi, yang menyebabkan para pendukung orientasi ataupun kepentingan
politik tentu tidak dapat mengorganisir serta mengekspresikan pendapat mereka
dengan bebas.
B.2. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan Pada 27 November 2001. Saat itu, para pemimpin Afghanistan, baik tokoh
masyarakat maupun pemuka agama, bertemu dengan perwakilan PBB di Bonn,
Jerman, untuk menyusun pedoman pembentukan pemerintahan baru Afghanistan.
Para tokoh mewakili empat faksi dari Afghanistan, yaitu Aliansi Utara, kelompok
utara yang mewakili mantan Raja Afghanistan Mohammad Zahir Shah, kelompok
Peshawar yang mewakili para pengungsi Afghanistan di Pakistan, dan kelompok
59
Siprus yang mewakili sekelompok rakyat Afghanistan yang berada di
pengasingan.74
Persetujuan pertemuan yang dilakukan pada 5 Desember 2001 ini
menghasilkan ‘Agreement on Provinsional Arrangement in Afghanistan Pending
the Re-establishment to Permanent Government Institution’ yang dikenal sebagai
Bonn Agreement, dengan pemilihan Hamid Karzai sebagai ketua pemerintah
interim Afghanistan.
Periode pelaksanaan Bonn Agreement ini adalah dua sampai tiga tahun,
yang akan diakhiri dengan pemerintahan resmi dan sah Afghanistan yang dipilih
melalui pemilihan umum demokratis. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan
dijelaskan dua hal:
Pertama, pembentukan pemerintahan baru. Bonn Agreement menyatakan
bahwa sebuah otoritas interim akan dibentuk pada saat peralihan kekuasaan,
pemerintahan resmi akan dilakukan pada 22 Desember 2001 yang mencakup:
pertama, sebuah administrasi interim yang dipimpin seorang ketua. kedua, sebuah
komisi independen khusus untuk memanggil rapat Loya Jirga darurat. ketiga,
sebuah pengadilan tinggi negara Afghanistan beserta pengadilan-pengadilan lain
yang dapat dibentuk oleh administrasi interim.
Pada saat peralihan kekuasaan, otoritas interim secara langsung menjadi
penanggung jawab kedaulatan Afghanistan sebagai suatu negara. Dengan
demikian, administrasi interim juga mewakili Afghanistan dalam hubungannya
dengan negara-negara lain dan mewakili Afghanistan di kursi PBB, serta dalam
organisasi-organisasi dan konferensi-konferensi internasional lainnya.
74 Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.
html.
60
Setelah peralihan kekuasaan dilakukan, tahapan selanjutnya adalah
memanggil Loya Jirga darurat dalam waktu enam bulan setelah pembentukan
otoritas interim. Loya Jirga ini dibuka oleh H.M. Mohammad Zahir dan akan
memutuskan otoritas transisional, termasuk sebuah administrasi transisional untuk
memimpin Afghanistan hingga sebuah pemerintahan yang representatif dapat
dipilih melalui proses pemilihan umum yang bebas, adil, dan demokratis, yang
diadakan paling lambat dua tahun setelah persidangan Loya Jirga.
Dalam hal fungsi yudikatif, administrasi interim memiliki wewenang
membentuk sebuah komisi yudisial dengan dukungan PBB. Komisi ini dirancang
sedemikian rupa untuk membangun kembali sistem peradilan dalam negeri
Afghanistan, yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam, standar internasional,
dan tradisi hukum Afghanistan.
Kedua, perjanjian Bonn juga memuat ketetapan mengenai pembentukan
dua komisi yang tidak kalah penting bagi kelancaran Statebuilding di Afghanistan
yaitu, pertama, komisi pelayanan sipil untuk membantu otoritas interim dan
otoritas transisional dalam menyediakan daftar kandidat untuk menduduki
jabatan-jabatan penting dalam departemen-departemen administratif pemerintah
Afghanistan. Pembentukan komisi ini juga didukung PBB dan dibentuk untuk
menunjang pemilihan pejabat pemerintah yang kompeten. kedua, komisi hak asasi
manusia independen, yang bertanggung jawab terhadap pengawasan hak asasi
manusia, serta pengembangan lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia
dalam negeri.75
75 William Maley, Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State in
Afghanistan, diakses pada 11 November 2007 dari http://www.cesindia.org/maley.doc,
61
Berpedoman pada kerangka kerja yang telah disetujui di atas, akhirnya
ketua administrasi interim Afghanistan, Hamid Karzai, disumpah sebagai ketua
resmi otoritas interim Afghanistan, bersamaan dengan peresmian terbentuknya
otoritas interim Afghanistan pada 22 Desember 2001. Perwakilan 32 provinsi di
Afghanistan hadir dalam acara tersebut, beserta perwakilan negara-negara
tetangga, negara-negara anggota Uni Eropa, organisasi konferensi Islam, dan
PBB.76 Hamid Karzai dipilih karena: satu, dianggap memiliki keahlian politik
yang modern serta mengenal budaya tradisionalnya dengan baik. Dua, memiliki
dukungan kuat dari negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat. Tiga,
memiliki dukungan dari spektrum faksi lokal yang cukup luas, yang merupakan
faktor penting karena identitas etnis dan kesukuannya yang sangat mendominasi
politik Afghanistan. Bahkan pendukung Taliban, yang sebagian besar suku
Pasthun, lebih dapat menerima Hamid Karzai sebagai pemimpin dibandingkan
para pemimpin Aliansi Utara yang berasal dari suku Tajik atau Uzbek.77
Visi pemerintahan interim disampaikan oleh Hamid Karzai dalam
International Conference on Reconstruction Assistance to Afghanistan di Tokyo
Januari 2002. Menyusul penyampaian visi tersebut, sebuah komisi beranggotakan
21 orang yang bertugas mempersiapkan dan membentuk Loya Jirga darurat
dilantik pada 7 Februari 2002. Anggota komisi dipilih dari kelompok-kelompok
etnis dan agama berdasarkan pada kualifikasi tertentu, seperti reputasi dan
kedudukan mereka dalam komunitasnya.
Penandatanganan Bonn Agreement mendapat reaksi positif di
Afghanistan. Karena pertama, bagi sebagian besar rakyat Afghanistan skema
76 Istiaq Ahmad, Post-War Afghanistan: Rebuilding a Ravaged Nation,_ dalam Perceptions Vol.VII No.1 Maret-Mei 2002, h.62-70.
77 http://www.infoplease.com./sport/afghanistan1.com.html.
62
transisi rezim yang direncanakan merupakan kesempatan unik untuk memulai
kehidupan di negara yang sedang berada dalam proses statebuilding. Kedua, Bonn
Agreement menghasilkan struktur pemerintahan yang lebih solid melalui tiga
tahap. Otoritas interim yang ditunjuk di Bonn akan digantikan otoritas transisional
yang dipilih Loya Jirga darurat. Berikutnya, otoritas transisional akan memerintah
negara sampai pemerintahan resmi dan representatif terpilih melalui pemilihan
umum demokratis.
Ketiga, penyusunan sebuah konstitusi baru. Pemerintahan Hamid Karzai
berhasil merumuskan sebuah draf konstitusi baru melalui komisi konstitusi pada
November 2003. Melalui perjalanan panjang, Loya Jirga Afghanistan berhasil
meratifikasi sebuah konstitusi baru setelah melalui proses amandemen pada 4
Januari 2004. Konstitusi tersebut berisikan pasal-pasal yang menyangkut nilai-
nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip kesetaraan bagi perempuan
Afghanistan. Konstitusi inipun menjanjikan modernitas dalam kehidupan
masyarakat Afghanistan pasca pemerintahan Taliban, yang menggabungkan nilai
demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, melalui konstitusi baru,
diproklamasikan negara Afghanistan sebagai sebuah negara republik Islam, yang
dikenal sebagai Republik Islam Afghanistan. Konstitusi baru Afghanistan
memberikan penekanan pada demokrasi dan HAM. Dalam salah satu pasalnya,
disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk to Create a prosperous and
Progressive Society Based on Social Justice, “ to Protect Human Right”, dan to
realize democracy.
Proses pembuatan konstitusi di Afghanistan merupakan langkah maju
dalam proses transisi menuju demokrasi. Proses ini secara aktif melibatkan rakyat
63
Afghanistan untuk pertama kali dalam pembuatan roadmap menuju perdamaian.
negara transisional Islam Afghanistan memiliki komitmen untuk merancang
konstitusi yang akan melibatkan setiap segmen masyarakat Afghanistan,
memperkuat rasa identitas nasional, dan menargetkan tersusunnya dokumen yang
dapat diterima oleh seluruh rakyat Afghanistan. Komitmen ini mengikuti prinsip-
prinsip perjanjian Bonn, terutama prinsip yang menyatakan hal rakyat
Afghanistan untuk secara bebas menentukan masa depan politik yang selaras
dengan prinsip-prinsip Islam, demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial. Proses
pembuatan konstitusi ini akan dicapai melalui tiga badan pembuat konstitusi
yaitu: Drafting Commission, Constitutional Commisssion dan Constitutional Loya
Jirga (CLG).78
Constitutional Drafting Commission. Presiden Afghanistan melantik
sembilan anggota komisi pada 5 Oktober 2002 dan menunjuk wakil presiden Prof.
Naematullah Shahrani sebagai ketua komisi. Tanggung jawab komisi ini untuk
menghasilkan sebuah draf awal konstitusi yang sekaligus berfungsi sebagai
rekomendasi kepada komisi konstitusional dalam pengaturan-pengaturan
konstitusional. Komisi akan menyerahkan draf awal konstitusional pada
pelantikannya dan bersamaan juga dengan laporan yang menjelaskan
rekomendasi-rekomendasi untuk format konstitusional yang baru.
Constitutional Commision. Komisi ini beranggotakan sekitar 30
komisioner yang ditunjuk oleh presiden setelah melakukan konsultasi. Presiden
juga akan mengangkat ketua komisi yang merupakan salah satu komisioner.
Tanggung jawab utama komisi ini adalah berkonsultasi dengan rakyat
78 Constitution Making Process’, diakses pada 22 November 2007 dari
http://www.constitution-afg/.
64
Afghanistan dan menghasilkan sebuah draf konstitusional yang diserahkan kepada
Loya Jirga konstitusional. Fungsi-fungsi komisi ini antara lain:
1. Menyiapkan dan menerbitkan draf konstitusi
2. Menfasilitasi dan mempromosikan informasi umum mengenai proses
pembuatan konstitusi selama masa kerja komisi.
3. Melakukan konsultasi publik di setiap provinsi di Afghanistan dan kepada
para pengungsi Afghanistan di Iran dan Pakistan serta di negara-negara
lain yang memungkinkan dengan tujuan mengumpulkan pandangan
seluruh rakyat Afghanistan dalam aspirasi nasional mereka.
4. Menerima masukan-masukan dari individu atau kelompok rakyat
Afghanistan, baik yang berada di Afghanistan maupun di luar negeri yang
berkehendak memberikan kontribusi pada proses perumusan konstitusi,
melakukan kajian mengenai pilihan-pilihan untuk draf konstitusi.
5. Mempersiapkan laporan yang menganalisis pandangan rakyat Afghanistan
yang dikumpulkan dalam konsultasi publik serta menyediakan laporan
tersebut untuk konsumsi publik.
6. Memberikan pendidikan bagi rakyat mengenai draf konstitusi dengan
kembali ke setiap provinsi di Afghanistan dan para pengungsi di Iran dan
Pakistan. Dengan fungsi yang dijalankannya ini, komisi menjamin
kesempatan berpartisipasi seluas-luasnya bagi kaum perempuan dalam
pembuatan konstitusi, di mana Constitutional Drafting Commission terdiri
65
dari sembilan anggota, dua di antaranya adalah perempuan. Keseimbangan
gender juga merupakan prioritas bagi pemilihan tim konsultasi regional.
Constitutional Loya Jirga (CLJ). Merupakan badan paling representatif yang
terbentuk di Afghanistan yang memiliki tugas menyepakati konstitusi baru
Afghanistan. Perannya mencakup meninjau dan mengadopsi konstitusi baru. CLJ
menyelesaikan tugasnya pada November 2003.79
Pencapaian Afghanistan melalui instansi pemerintahan baru meskipun
baru berbentuk interim, dan pembuatan konstitusi baru merupakan indikasi yang
baik bahwa terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan
tatanegara Afghanistan. Namun demikian, hingga tahun 2004 banyak ahli
berpendapat bahwa proses demokrasi di Afghanistan masih berada dalam masalah
besar. Dalam sejarahnya sebagai medan konflik antara kerajaan-kerajaan dan
kekuatan-kekuatan besar, Afghanistan telah mengembangkan sebuah formula
untuk mempertahankan eksistensinya dan juga membantu mempertahankan
identitas wilayah dan sistem kewenangan pribumi.
Masalah yang menghadang Afghanistan dalam proses transisinya berakar
dari kemungkinan bahwa proses tawar-menawar dan kompromi untuk
mengembalikan kehidupan politik yang baik tidak akan cukup solid untuk mampu
mencegah terjadinya kembali perang sipil atau sebuah Failed State yang
terdesentralisasi di mana pemerintahan pusat hanya dapat mengontrol ibukota
negara Kabul.80
79 “The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan, 10 March 2003, the
Constitutional-making Process in Afghanistan, diakses pada 23 November 2007 dari http://www.constitution-afg.com/resrouces /Constitution-Making%20Proces%20final.doc.
80 Dr. Michael A. Weinstein, Afghanistan’s Trantition: Decentralization or Civil War,_ Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.pinr.com/report/php.
66
Di Kabul sendiri kekuasaan rezim Taliban digantikan oleh kelompok
Panjshir, yang mendapatkan kekuasaan seusai invasi Aliansi Utara. Kekuatan
yang mereka miliki didapat dari pemberian jabatan menteri, terutama kepada
anggota faksi yang berkuasa pimpinan almarhun Ahmad Shah Mashood. Banyak
rakyat merasa bahwa jumlah Phanjshiri yang cukup besar dalam pemerintahan
menghambat kesempatan kelompok lain untuk ikut bergabung hanya karena
mereka berasal dari suku Pasthun atau bukan dari faksi Phanjshir. Selain itu,
kenyataan bahwa Presiden Hamid Karzai menggantikan posisi pengawalnya, yang
tadinya diisi anggota kelompok Pansjshir menjadi tentara Amerika Serikat,
memperlihatkan betapa minimnya antar etnis di Afghanistan. Tentara nasional
Afghanistan dimiliki kementerian pertahanan, demikian juga dengan kelompok
Phanjshiri. Sedangkan Presiden Hamid Karzai hanya memiliki loyalitas
International Security Assistance Force (ISAF),81 sehingga ia tidak mampu
menjamin keamanan di luar Kabul.
Selain membantu Afghanistan, Amerika Serikat juga harus membasmi
Taliban dan al-Qaeda, mengendalikan pemerintahan barunya, dan mengakhiri
kekuasaan para panglima etnis. Setelah meredam pertikaian antar panglima etnis
yang saling berebut pengaruh, maka AS akan merehabilitasi sarana publik dan
pemerintahan yang rusak. Sebanyak 50.000 ranjau darat di pangkalan udara Kabul
dan lainnya, perlu dimusnahkan.82
81 ISAF dibentuk berdasarkan konferensi Bonn pada Desember 2001 setelah runtuhnya
rezim Taliban. ISAF dibentuk untuk membantu menciptakan lingkungan yang aman di Afghanistan, mengembangkan struktur keamanan Afghanistan, mengidentifikasi keperluan rekonstruksi serta melatih dan membangun pasukan keamanan nasional Afghanistan. Saat ini, ISAF terdiri dari 8000 pasukan dari 47 negara, baik anggota NATO maupun yang bukan. ISAF bukan pasukan keamanan PBB, namun sebuah koalisi suka rela yang ditugaskan di bawah pengawasan dewan keamanan PBB.
82 Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara Pembaharuan, 7 Juli 2002, h.1.
67
Amerika Serikat memainkan peran besar dalam masalah pembentukan
kembali pemerintahan Afghanistan, di antaranya mempromosikan kandidat
presiden yang dianggapnya paling dapat berkompromi dengan Amerika Serikat,
yaitu Hamid Karzai. Ketika Hamid Karzai akhirnya disumpah sebagai Ketua
Otoritas interim Afghanistan pada 22 Juni 2001, untuk pertama kalinya sejak
tahun 1979 Amerika Serikat secara resmi mengakui pemerintahan Afghanistan di
bawah Karzai sebagai pemerintah yang sah.83
B.3. Peran AS dalam Rekonstruksi Pasca Transisi di Afghanistan
Dalam rentang waktu 2003 hingga 2004, Afghanistan tengah berupaya
mendapatkan legitimasi politik, bukan hanya dalam konteks Asia Tengah tetapi
juga secara Internasional. Pemerintahan pimpinan Presiden Hamid Karzai
menemui banyak hambatan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Banyak pihak
dari kelompok etnis serta organisasi politik yang tidak menyukai pemerintahan
Kharzai yang diduduki oleh orang Afghanistan berpendidikan Barat. Wakil
Presiden Haji Qadir terbunuh pada bulan juli 2002 dan telah terdapat beberapa
upaya untuk membunuh Presiden Karzai. Pasukan koalisi masih terus berhadapan
dengan pemberontakan di Afghanistan, diiringi serangan roket ke ibukota Kabul.
Hal ini dikarenakan Afghanistan terbagi oleh kekuatan yang dipegang oleh
warlord di daerah-daerah Afghanistan, sehingga membuat sentralisasi kekuasaan
sangat sulit dicapai. Masalah demi masalah yang dihadapi oleh Afghanistan
menyebabkan AS sebagai negara yang paling bertanggungjawab atas apa yang
83 USAID, Rebuilding Afghanistan, dalam September 11: One Year Later, A Special
Elektronic Journal of the U.S Department of State, September 2002, h.33.
68
terjadi di Afghanistan masih harus tetap berada di negara tersebut untuk
memantau dan melibatkan diri dalam proses rekonstruksi, khususnya di dalam tata
pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.84
Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan oleh AS bersama-sama dengan
negara-negara donor lain untuk membantu Afghanistan bangkit kembali. Salah
satu upaya tersebut diwujudkan melalui konferensi Jenewa yang diselenggarakan
pada Juli 2002. Konferensi ini membahas reformasi sektor keamanan diupayakan
untuk mengembangkan suatu rencana komprehensif yang dapat digunakan untuk
menangani masalah-masalah ketidakstabilan serta ketidakamanan di Afghanistan
yang muncul setelah jatuhnya Taliban. Agenda reformasi sektor keamanan ini
memiliki lima pilar utama, yang masing-masing dikontrol oleh satu negara donor:
reformasi militer oleh AS, reformasi kepolisian oleh Jerman, perlucutan senjata,
demobilisasi, dan reintegrasi eks-kombatan oleh Jepang, counter narkotika oleh
Inggris, serta pelatihan judicial oleh Italia. Kemajuan reformasi dalam bidang-
bidang ini pada 2002 ternyata berjalan lebih lambat dari yang semula diharapkan.
Selain itu, AS juga mewujudkan dukungannya melalui pemberian bantuan
dana bagi pembangunan di Afghanistan serta bantuan kemanusiaan bagi rakyat
Afghanistan yang menjadi korban konflik. Dalam hal alokasi dana bantuan, AS
merupakan salah satu dari sedikit negara donor yang paling dermawan dan efektif.
Pada 2002, AS menyerahkan 350 juta dolar AS, berarti 17 % lebih besar dari
jumlah yang dijanjikannya pada konferensi donor di Tokyo. Selain itu,
menanggapi permintaan dari badan-badan bantuan kemanusiaan internasional, AS
meningkatkan anggaran belanja non-militernya pada 2003, menjadi lebih dari
84 Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 Mei 2005
69
400 juta dolar AS. Namun demikian, Perbedaan mencolok antara anggaran militer
dan non-militer AS untuk Afghanistan menunjukkan bahwa sebenarnya AS
masih mampu memberikan lebih untuk rekonstruksi. Setiap bulannya, AS
menghabiskan satu miliar dolar AS untuk belanja militer, dan hanya 25 juta dolar
AS untuk dana bantuan. Kehadiran AS di Afghanistan merupakan hal yang sangat
penting bagi upaya Nations-Building yang sedang dilakukan di Afghanistan. Pada
awal 2003, lebih dari 8000 pasukan AS berada di Afghanistan. Namun, setelah
menyadari bahwa operasi militer tampak semakin tidak efektif, dengan aktifitas
pemberontakan semakin meningkat, AS memodifikasi strategi keseluruhannya,
yaitu dengan menggabungkan tujuan militer dan pembangunan. Pasukan
bersenjata AS ditempatkan di kota-kota di luar Kabul untuk menjaga keamanan
sekaligus mendukung proses rekonstruksi. AS menamakan pasukan tersebut
sebagai Provisional Reconstructions Teams (PRT), yang mencakup tentara
operasi khusus, Army Civil Affairs Officers, pasukan darat, staff USAID, dan
perwakilan dari Departemen Luar negeri AS.
Pada 20 Maret 2003, Departemen Pertahanan AS meluncurkan operasi
militer besar-besaran yang melibatkan lebih dari 1000 orang anggota pasukan
koalisi yang ditugaskan ke wilayah-wilayah pedesaan dan gua di provinsi
Kandahar bagian selatan, di mana pasukan yang dianggap loyal terhadap Taliban,
yaitu al-Qaeda, dan partai Hizb-I-Islami pimpinan Hekmatyar diduga beroperasi.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan pihak Taliban mengacaukan
kembali Afghanistan yang sedang diupayakan menuju stabilitas. Terdapat dugaan
bahwa kelompok-kelompok yang mendukung Taliban dapat bersatu dan
70
merancang serangan terhadap apa yang sedang berlangsung di Afghanistan saat
itu.
Sepanjang 2003, pemerintahan Afghanistan di bawah pimpinan Presiden
Hamid Kharzai masih berjuang untuk membentuk dasar-dasar pemerintahannya.
Karzai menemukan bahwa secara umum, semua sistem yang signifikan di
negaranya dalam keadaan hancur. Pasukan militer terpecah akibat faksionalisme,
pasukan kepolisian tidak terlatih, sistem hukum didominasi oleh kaum agama
konservatif yang lebih mirip dengan Taliban daripada Kharzai, serta proses
pembayaran pajak sangat tidak efektif. Hal ini menyebabkan para pembuat
kebijakan AS, ketika mendiskusikan Afghanistan tidak lagi membicarakan
sekolah, jalan, ataupun pelayanan jasa bagi rakyat miskin. Mereka membicarakan
mengenai pembentukan badan-badan pemerintah yang dapat berfungsi dengan
baik dan meluaskan wewenang pemerintah pusat Afghanistan ke wilayah-wilayah
Afghanistan di luar Kabul. AS pada awalnya menentang gagasan Nation-Building,
pemerintahan Bush telah menyadari bahwa proses tersebut merupakan kunci dari
masa depan Afghanistan. Hal ini dapat dilihat dari proses rekonstruksi yang
dilakukan di Afghanistan pada pertengahan 2003, di mana AS berupaya agar
dukungan rekonstruksi darinya dapat menyentuh semua aspek kehidupan di
Afghanistan. Pejabat AS menyatakan bahwa jumlah keseluruhan anggaran yang
dikeluarkan AS untuk Afghanistan tahun 2003 di luar biaya mempertahankan
8000 pasukan AS direncanakan akan mencapai jumlah tahun 2002, yaitu 935 juta
dolar AS. Sebagai tambahan, pada tahun 2003 AS lebih menitikberatkan
bantuannya pada pembentukan tentara nasional Afghanistan, dan bukan untuk
bantuan kemanusiaan seperti yang dilakukan pada 2002.
71
Selanjutnya di 2003, AS memperluas cakupan Provincial Reconstruction
Teams (PRTs), untuk memberikan kontribusi terhadap kehidupan rakyat
Afghanistan di seluruh provinsinya, terutama melalui pembangunan rumah sakit,
sekolah, dan infrastruktur. Namun demikian, Shukraya Barekzai, seorang anggota
komisi konstitusi Afghanistan mengatakan bahwa kekurangan bantuan AS adalah
belum melakukan tindakan yang signifikan untuk menghentikan Warlordism,
salah satu ancaman paling berbahaya bagi keamanan Afghanistan. Keamanan juga
masih jauh dari sepenuhnya kembali di Afghanistan. Untuk memberikan motifasi
kepada Presiden Karzai, Donald Rumsfeld, menteri pertahanan AS menyatakan
bahwa meskipun AS belum berhasil membantu Afghanistan dalam hal
mengembalikan keamanan, ia menjamin bahwa pihak Taliban yang kalah tidak
akan dapat kembali, karena AS hanya akan mengakui pemerintahan yang sah di
Afghanistan.
C. Proses Demokrasi di Afghanistan
Afghanistan merupakan sebuah negara yang tidak memiliki sejarah
demokrasi ataupun pemilihan umum bergaya Barat sepanjang pergantian
pemerintahan dan rezim yang dialaminya. Oleh karena itu pihak yang bermaksud
membangun sebuah budaya politik dan kehidupan masyarakat sipil di Afghanistan
menuju kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan dengan keadaan saat ini
akan memakan waktu yang panjang dan akan menghadapi banyak hambatan,
terutama dari elemen-elemen dalam kebudayaan masyarakat Afghanistan. Salah
satu jalan keluar utama dari masalah ini adalah dengan mengandalkan peran Loya
Jirga, yaitu budaya berkumpul dan berkonsultasi Afghanistan Loya Jirga
merupakan titik tolak pembentukan kembali struktur pemerintahan dan lembaga-
72
lembaga sipil di Afghanistan, yang tentu didukung faktor-faktor lain, baik internal
maupun eksternal, setelah invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan
pada 2001.85
Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai pada saat rezim
Taliban berhasil dijatuhkan, November 2001. Namun, Taliban baru secara resmi
menyerah pada Januari 2002. Pada saat itu tujuh pejabat tinggi Taliban yang
menyerahkan diri di Kandahar dibebaskan oleh pemerintah interim Afghanistan.86
Dari sisi lain kehidupan berdemokrasi di Afghanistan, satu hal penting
yang harus diperhatikan adalah kebebasan rakyat Afghanistan untuk
mengekspresikan diri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, ternyata
kebebasan itu tidak selalu berdampak positif. Sebagai contoh kongkret, sejak
Kabul dan Taliban jatuh, rok mini, film, minuman keras mulai bisa ditemukan
secara bebas di Afghanistan. Bahkan pencurian saja jarang ditemukan karena
takut sanksi hukumnya. Setelah Amerika Serikat masuk, semuanya menjadi lain.87
Ada pendapat yang mengatakan bahwa transisi pemerintahan Afghanistan
dari Taliban ke para anggota atau pendukung Aliansi Utara sebagai sebuah proses
demokrasi merupakan suatu kesalahan. Argumentasi atas pendapat ini berdasar
pada teori bahwa pergantian atau transisi rezim menuju demokrasi harus memiliki
proses awal yang demokratis, demokratisasi struktur politik, dan konsolidasi
lembaga-lembaga demokratis. Transisi ini bergantung pada prinsip-prinsip
masyarakat sipil dan politik, yang pada akhirnya dapat mewujudkan suatu
85 http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.html. 86 http://www.infoplease.com/spot/taliban-time.html. 87 Bir dan Rok Mini Mulai Bebas di Kabul,_ dalam Hidayatullah.com, 24 Desember
2002, diakses pada 18 November 2007 dari http://www.hidayatullah.com/modules.php? name= News&file=article &sid= 120
73
kebudayaan politik yang menjadi pondasi bagi norma-norma politik dan birokrasi
di suatu negara.
Berdasarkan argumen di atas, dikatakan bahwa cara dan proses pemilihan
para anggota otoritas interim Afghanistan yang dilakukan di Bonn, Jerman serta
pemilihan anggota Loya Jirga pada 2002 belum memiliki karakteristik proses
demokrasi yang mampu mewujudkan sebuah transisi rezim yang damai dari
otoritarianisme menuju demokrasi. Warlord Afghanistan, yang tidak didukung
rakyat Afghanistan namun mendapatkannya dari pasukan mereka, berkumpul di
Bonn untuk membentuk sebuah otoritas interim. Kenyataan ini tentu
menunjukkan bahwa upaya pencapaian demokrasi di Afghanistan tidak berjalan
sesuai dengan kerangka kerja yang telah disusun sebelumnya, apalagi jika melihat
sifat dan tindakan para warlord yang anarkis.
Para warlord dapat mentoleransi beberapa gagasan dan persyaratan dari
luar lingkaran mereka serta menerima beberapa elemen masyarakat yang tidak
memiliki power, yang merupakan faktor pendukung krusial dalam permainan
power di Afghanistan. Di bawah tekanan internasional, para pemimpin otoriter itu
telah membuka diri, walapun sangat terbatas terhadap pandangan-pandangan yang
bertentangan dengan pandangan mereka. Sikap tersebut, mereka harapkan dapat
mengurangi berbagai tekanan serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan tanpa
harus mengganggu struktur otoritas yang telah terbentuk.88
C.1. Peran AS dalam Proses Demokrasi di Afghanistan
88 Abdul Halim Mahally, 揂S, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi� dari
http://www.republika.co.id diakses pada 18 November 2007.
74
Setelah berhasil menjatuhkan rezim Taliban, Amerika Serikat langsung
mulai memotori rencana State-building kehidupan rakyat Afghanistan, terutama
penataan ulang pemerintahan demokratis yang mulai disusun. Prospek menuju
stabilitas dan demokrasi di Afghanistan mulai dilakukan melalui kerjasama antara
aktor eksternal, yaitu negara-negara, lembaga-lembaga donor, serta organisasi-
organisasi internasional, dan pemerintah interim Afghanistan yang dipimpin oleh
Hamid Karzai. Kerjasama ini berupaya untuk menyusun sebuah strategi yang
koheren untuk melakukan perbaikan kehidupan masyarakat, membangun negara
yang aman dan damai, serta menjamin kesejahteraan dan kelayakan hidup bagi
rakyat Afghanistan. Lebih jauh lagi, terlihat adanya kesempatan untuk melakukan
lebih dari sekedar bantuan kemanusiaan darurat, namun juga untuk melakukan
investasi jangka panjang untuk pembangunan perekonomian nasional
Afghanistan.89 Prinsip-prinsip yang mendasari pendekatan Amerika Serikat
terhadap transisi demokrasi juga mencakup nilai-nilai demokratis seperti
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kaum perempuan. Paula
Dobriansky, wakil menteri luar negeri untuk urusan global Amerika Serikat
menyatakan bahwa pembentukan Kementerian Urusan Perempuan serta
kembalinya perempuan ke bangku kuliah dan jabatan di kantor-kantor
pemerintahan di Afghanistan merupakan terobosan yang sangat baik dalam proses
demokrasi di Afghanistan.90
Program-program ‘promosi demokrasi’ meliputi beberapa deretan
bertingkat rancangan kebijakan, pendanaan, aktivitas operasional, dan pengaruh.
89 Sima Samar, et.al., diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.asiasociety.org/
publication /asianUpdeteContent.pdf 90 Paula J. Dobriansky, Shining a Ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide,
_ Diambil dari jurnal US Foreign Policy Agenda, Vol. 8 No. 1, Agustus 2003.
75
Tingkat pertama, perancangan kegiatan, dilakukan oleh pejabat-pejabat tertinggi
negara Amerika Serikat, termasuk gedung putih, departeman luar negeri,
pentagon, Central Inteligence Agency (CIA), dan beberapa pihak lain. Pada level
ini terjadi pengambilan keputusan mengenai kebutuhan untuk melakukan tekanan
politik dalam rangka mempromosikan demokrasi di negara-negara atau wilayah-
wilayah tertentu. Program-program promosi demokrasi seperti itu tidak pernah
berdiri sendiri, melainkan menjadi salah satu aspek dari pelaksanaan kebijakan
luar negeri Amerika Serikat yang lebih besar. Biasanya program promosi
demokrasi dibarengi dengan pencapaian tujuan atau kepentingan militer, ekonomi,
dan aspek lain.
Pada tingkat kedua, yang paling berperan adalah (United State Agency for
International Development) USAID, yang telah mengalokasikan bantuan beratus-
ratus juta dolar AS pada Afghanistan. Dana tersebut disalurkan sendiri oleh
USAID atau melalui National Endowment for Democracy (NED), dan kadang
kala agen-agen lain semacam United States Institute for Peace (USIP), atau
organisasi-organisasi swasta Amerika serikat yang sangat erat hubungannya
dengan pembentukan kebijakan luas negeri Amerika Serikat. NED sendiri
dibentuk pada 1983 sebagai suatu organ pusat untuk melakukan intervensi politik.
Sebelum NED didirikan, Central Inteligence Agency (CIA), yang secara rutin
menyediakan dana dan pedoman bagi partai-partai politik, dewan-dewan usaha,
persatuan-perrsatuan kerja, pelajar-pelajar dan kelompok-kelompok masyarakat
sipil di negara-negara yang diinvasi Amerika Serikat.
Organisasi-organisasi yang menerima dana dari USAID dan NED antara
lain National Republican Institute For International Affairs (NRI, juga di kenal
76
sebagai International Republican Institute atau IRI) dan National Demokratic
Institute For International Affairs (NDI). Organisasi-organisasi tersebut
merupakan kepanjangan tangan kebijakan luar negeri resmi dari partai politik
republikan dan demokrat di Amerika Serikat. Selain itu, ada juga International
Federation For Electoral System (IFES), Center For Democraci (CFD), Center
For International Private Enterprise (CIPE), dan Free Trade Union Institute
(FTUI). Universitas-universitas Amerika Serikat, kontraktor swasta, dan kaum
intelektual termasuk juga pihak-pihak yang menerima dana untuk disalurkan.
Pada tingkat ketiga, organisasi-organisasi Amerika Serikat ini menyediakan hibah,
yaitu pendanaan, bimbingan, dan penyokongan politik untuk organisasi-
organisasi lokal di negara –negara yang diintervensi Amerika Serikat, seperti
Afghanistan.
Pendaftaran pemilih untuk memperlancar pemilihan umum Afghanistan
United Nations Development Program (UNDP), yang sebagian besar didanai
Amerika Serikat, dengan jumlah biaya mendekati 100 juta dolar AS.91
Demokrasi sangat erat hubungannya dengan media massa, maka salah satu
syarat tercapainya demokrasi politik adalah ketersediaan informasi yang bebas
dan luas. Pada Desember 2001, Amerika Serikat melalui International
Organization Migration (IOM) memberikan lima small grants untuk mendorong
lahirnya media lokal yang independent. Hibah ini ditujukan untuk misi penilaian
media, pembangunan pers di Kabul, produksi surat kabar kebudayaan nasional
mingguan, unit produksi pers di Afghanistan, dan peralatan untuk Afghan Media
Resource Center, yang berbasis di Peshawar. Selain itu, empat hibah lainnya
91 Jenny Francis, “Afghan Elections: the U.S. Agenda,” in Grenn left Weekly, diakses
pada 18 Desember 2007 dari http://www.Grennleft.org.au/back/2004.html
77
diberikan untuk memulai operasi NGO lokal dan kelompok perempuan
Afghanistan yang dianggap menjanjikan. Ini juga merupakan suatu bantuan besar
bagi Afghanistan mengingat peran masyarakat sipil dan perempuan di
Afghanistan hampir tidak pernah diperhitungkan dalam kehidupan di Afghanistan
sebelumnya.92
C.2. Pemilihan Umum 2004 Wujud dari Demokrasi Pada 2004, isu yang sangat menonjol dalam transisi rezim di Afghanistan
adalah mengenai pemilihan umum yang merupakan pertamakalinya bagi rakyat
Afghanistan. Hal ini menyebabkan banyak sekali hambatan dan kesulitan yang
dihadapi oleh pemerintah Afghanistan dalam rangka mempersiapkan pemilihan
umum tersebut. Pemerintah AS sangat mendukung proses ini dan terus
memotivasi Presiden Karzai untuk melanjutkan upayanya merealisasikan rencana
tersebut. AS dan Karzai percaya bahwa penyelenggaraan pemilihan presiden
secara demokratis akan memberikan legitimasi yang lebih besar bagi pemerintah
Afghanistan, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga secara Internasional. Duta
Besar AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad memperingatkan Karzai bahwa
apabila pemilihan tersebut tidak diselenggarakan, krisis legitimasi yang dialami
pemerintahan Afghanistan akan semakin memburuk. Namun demikian, dukungan
besar AS ini tidak disukai oleh negara-negara donor lain karena AS dianggap
terlalu mendominasi proses menuju penyelenggaraan pemilihan umum, hingga
akhirnya menghasilkan dugaan bahwa dukungan AS merupakan upaya Presiden
Bush untuk membuktikan kesuksesan proses demokrasi di Afghanistan untuk
92 Field Report: Afghanistan, diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.
usaid.gov/hum _response/oti/country/afghan/rpt1201.html
78
mendukung pencalonan dirinya sebagai presiden AS untuk kedua kalinya pada
November.93
Memang pada akhirnya pemilihan umum pasti dilaksanakan, akan tetapi
pada saat bersamaan, persiapan pemilihan umum demokratis menghadapi
masalah, karena jumlah masyarakat yang mendaftar untuk memilih pada awal
2004 sangat rendah di samping itu terdapat ancaman al-Qaeda terhadap Presiden
Hamid Karzai. Masalah-masalah ini menyebabkan diundurnya pelaksanaan
pemilihan umum, yang seharusnya diselenggarakan pada Juni 2004 menjadi
September 2004. Hal ini merupakan akibat dari situasi keamanan Afghanistan
yang masih tidak kondusif bagi penyelenggaraan pemilihan umum. Untuk
mengatasi hal ini AS melibatkan diri secara teknis dalam persiapan
penyelenggaraan pemilihan umum di Afghanistan.
Dalam persiapannya, Amerika Serikat memimpin koalisinya dalam
melatih pasukan kepolisian Afghanistan, memperkuat tentara, serta terus
meningkatkan kewaspadaan keamanan untuk memperlancar pemilihan umum.
Sayangnya, pemilihan umum dianggap tidak dapat dilaksanakan segera. Oleh
karena itu, pemilihan presiden yang dianggap lebih sederhana penyelenggaraanya
lebih dulu diselenggarakan pada 9 Oktober 2004, masih empat bulan terlambat
dari jadwal semula. Pada hari-hari menjelang pemilihan presiden pun kericuhan
masih terjadi. Adanya dugaan bahwa campur tangan AS terlalu besar dalam
upayanya memenangkan calon favoritnya, Hamid Karzai menyebabkan kandidat
lain mengancam memboikot hasil pemilihan presiden serta menuntut adanya
pemilu ulang. Namun masalah ini akhirnya dapat diatasi, walau ada kandidat yang
93 Diakses pada 23 Novermber 2007 dari http://www.infoplease.com/ipa/A0107264.html.
79
mengundurkan diri untuk memberikan dukunganya kepada Hamid Karzai. Upaya
ini dilakukan untuk mencegah perpecahan mengingat banyaknya jumlah kandidat
dalam pemilihan presiden Afghanistan.94
Satu hari menjelang pemilihan umum pertama di Afghanistan, 8 Oktober
2004, banyak pihak meragukan kelancaran dari seluruh prosesnya. Padahal,
keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum demokratis bagi suatu negara di
era transisi menuju demokrasi merupakan salah satu indikator paling penting
untuk mengukur tercapai atau tidaknya demokrasi, setidaknya demokrasi politik.
Keraguan ini disebabkan karena mendekati hari pemilihan umum, (1)
Taliban masih mengancam akan melakukan pemboman di Afghanistan; (2) para
warlord ditakutkan tidak akan jujur dalam pemilihan; (3) banyak di antara para
pemilih yang buta huruf dan sama sekali belum pernah mengikuti proses
pemilihan umum sebelumnya, (4) infrastruktur jalan yang masih sangat buruk,
padahal Afghanistan merupakan negara yang luas. Lebih buruk lagi, penyerangan
kerap terjadi pada panitia pemilihan umum, di mana banyak di antaranya
dibunuh.
Selain itu, banyak ahli dengan mudah dapat memprediksikan bahwa
kandidat presiden yang akan memenangkan pemilihan umum adalah presiden
transisional Afghanistan Hamid Karzai, padahal para pemilih diberikan pilihan 18
orang kandidat presiden dengan masa jabatan lima tahun. Para kandidat utama
antara lain: Hamid Karzai, Younus Qonuni, Massouda Jalal, Mohammad
Mohaqeq, Abdul Rasyid Dostum, Abdul Satar Serat, dan Abdul Hafiz Mansoor.
Apabila tidak ada seorang pun di antara kandidat memenangkan pemilihan umum
94 “Pemilu Afghanistan Kacau, Calon di luar Karzai Minta Ulang,” Kompas 11 Oktober
2004.
80
secara mayoritas, maka pemilihan tahap kedua dilakukan pada November 2004
untuk menentukan pemenangnya. Prediksi bahwa Karzai akan memenangkan
pemilihan tidak terlepas dari anggapan bahwa Amerika Serikat ikut memberikan
dukungan besar-besaran, bahkan ada tuduhan ikut mempengaruhi hasil pemilihan
umum tersebut.95
Menjelang pemilu pasukan Amerika Serikat dan NATO berpatroli di
ibukota dan pinggir desa. Tugas untuk menjaga para kandidat dan tempat
pemungutan suara diserahkan pada polisi dan tentara nasional Afghanistan.
Sebuah laporan dari PBB memperingatkan bahwa para warlord lokal sangat
mungkin akan mencoba mengintimidasi para pemilih dan kandidat dengan
menggunakan senjata. Masing-masing tindakan ini tentu memberikan kontribusi
bagi terhambatnya pemilu yang demokratis di Afghanistan.96 Dari gambaran
mengenai situasi di Afghanistan menjelang pemilu presiden pada Oktober 2004,
terlihat jelas bahwa proses demokrasi di Afghanistan tidak berjalan dengan lancar.
Secara keseluruhan pemilihan presiden Afghanistan ini berlangsung baik.
Kontroversi yang menyelimuti peristiwa bersejarah bagi Afghanistan ini
berangsur-angsur hilang ketika beberapa kandidat dari pihak oposisi menarik
kembali tuduhan mereka mengenai kecurangan dalam proses pemungutan suara.
Akhirnya Hamid Karzai memenangkan pemilihan umum 9 Oktober 2004. Hasil
Survey Asia Foundation, mencatat sekitar delapan juta rakyat Afghanistan
berpartisipasi dalam pemilu, dengan 42 persen di antara para pemilih adalah kaum
perempuan. Pada 31 Oktober 2004, hasil dari pemilihan presiden sudah dapat
95 “Pemilu Afghanistan, Ujian Berat Demokratisasi Versi AS,” Kompas 10 Oktober 2004. 96 Sarah Left, Ewen Mac Askill and Mark Oliver, ‘Explainet: The Afghan Election,
diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.guardian.co.uk/theissues/article/0,6512, 1299137,00.html
81
diketahui, di mana Hamid Karzai sudah jelas memenangkan pemilihan tersebut,
dengan mendapatkan 55% suara. Kemenangan ini diumumkan pada awal
November 2004.97
Sebelumnya sempat timbul kekhawatiran akan terjadi kekacauan,
kerusuhan, bahkan pertumpahan darah. Apalagi sisa kekuatan Taliban dan
jaringan al-Qaedah mengancam akan mengacaukan dan menggagalkan pemilu.
Akan tetapi pelaksanaan pemilu berlangsung mulus di luar perkiraan banyak
orang. Kelegaan berlanjut ketika Karzai dilantik menjadi presiden Selasa 7
Desember. Di antara sekitar 100 tamu penting dalam acara itu hadir antara lain
Wakil Presiden AS Dick Cheney dan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld.
Kehadiran para petinggi asing, termasuk dua pejabat penting AS, semakin
memperlihatkan dukungan dunia internasional terhadap pemerintahan baru
Afghanistan. Masyarakat dunia memang mengharapkan Afghanistan mengalami
perubahan dan perbaikan di bawah kepemimpinan Presiden Karzai.98
Namun ternyata sukses dari pemilihan Presiden ini tidak berdampak
banyak bagi stabilitas keamanan Afghanistan. Permasalahan warlordism hingga
saat ini masih tetap ada, ditambah lagi dengan kabar bahwa Taliban telah bersatu
kembali dan memperkuat diri. Agaknya Presiden Hamid Karzai harus bekerja
sangat keras untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan yang lebih luas lagi
dari rakyatnya sendiri, setelah dunia internasional mengakui pemerintahannya
sebagai pemerintahan sah Afghanistan. Selain itu, hingga saat ini, kenyataannya
bahwa kehidupan di Afghanistan, setidaknya di 2003 masih terus dibentuk oleh
97 “Kerawanan Keamanan, Jadi Ancaman Utama Pemilu Afghanistan,” Kompas 18
Oktober 2004. 98 Setelah Karzai Dilantik, Afghanistan Mulai Menapak Era Baru,_ Kompas 9 Desember
2004.
82
peran AS. Kemajuan yang dirasakan dalam bidang rekonstruksi infrastruktur,
keamanan, dan bentuk transisi politik yang sedang berlangsung di negara tersebut
merupakan hasil dari strategi AS di Afghanistan. Walaupun pada akhirnya
masalah ini berhasil diselesaikan oleh presiden dan pemerintahan baru
Afghanistan, namun Ia belum bisa mengendalikan negaranya secara penuh.
Hingga saat ini, di luar Kabul yang masih berkuasa adalah ketua-ketua dari
masing-masing kelompok etnis ataupun warlords.
Dengan terlaksananya pemilihan umum presiden di Afghanistan pada
Oktober 2004, serta terbentuknya rezim pemerintahan baru yang demokratis di
bawah pimpinan Presiden Hamid Karzai, memang secara sekilas dapat dikatakan
bahwa Afghanistan cukup berhasil melaksanakan proses demokrasi, setidaknya
demokrasi politik. Namun, bila menggunakan seluruh karakteristik demokrasi
maka, di samping keberhasilan yang telah dicapai, demokratisasi belum
sepenuhnya berhasil dilakukan di Afghanistan.
83
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Presiden George W. Bush memang mengharapkan bahwa invasi militer di
Afghanistan akan menjadi exit strategy yang paling tepat dan efektif dalam rangka
perang melawan terorisme. Namun, setelah melakukan invasi militer, Amerika
Serikat menemukan kenyataan bahwa membangun sebuah negara Afghanistan
yang demokratis (bahkan hanya secara politik) yang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi sangat sulit, bahkan dalam jangka pendek mendekati kemustahilan.
Padahal Amerika Serikat praktis telah melakukan intervensi di hampir semua
komponen kehidupan Afghanistan dalam rangka mewujudkan negara demokratis
agar tidak lagi menjadi ancaman bagi negaranya. Hal ini di karenakan situasi dan
kondisi kehidupan di Afghanistan, terutama dalam hal keamanan, masih diwarnai
persaingan antar kelompok, ambisi pribadi para warlord, perebutan kekuasaan
lokal, dan perpecahan etnis serta agama di antara rakyat Afghanistan sendiri.
Walaupun Amerika Serikat sudah memulai perang melawan terorisme,
Afghanistan masih menghadapi banyak masalah. Di antara masalah-masalah
tersebut, beberapa yang paling serius adalah: pertama, Taliban dan al-Qaeda
belum terkalahkan. Mereka hanya terpecah belah dan mencari kesempatan untuk
membalas tindakan Amerika Serikat. Kedua, pemerintah transisional Afghanistan
terlalu menggantungkan diri pada bantuan asing dalam segala hal, baik ekonomi,
politik, maupun militer, sehingga sulit untuk mendapatkan kepercayaan
84
sepenuhnya dari rakyat Afghanistan. Jika kedua masalah besar ini tidak dapat
diselesaikan, keamanan dan stabilitas di Afghanistan tidak dapat terjamin.
Selain itu, sistem kemasyarakatan Afghanistan yang telah terintegrasi
dengan kuat dalam diri rakyat Afghanistan serta adanya kekuatan militer dari
kelompok-kelompok (milisi) lokal, sangat sulit juga untuk mengharapkan
Afghanistan akan mampu mewujudkan negara dengan sistem demokrasi ala Barat.
Sistem terbaik, yang paling mendekati demokrasi, yang dapat dicapai adalah suatu
bentuk proses tawar-menawar antara kelompok-kelompok yang bersitegang untuk
berbagi kekuasaan dengan memberikan otonomi kepada satu sama lain. Dengan
demikian, yang masih mungkin dilakukan Amerika Serikat adalah mencegah
Afghanistan kembali menjadi negara yang dijadikan markas kelompok ekstrim
Islam.
Demokratisasi di Afghanistan dilakukan dalam berbagai tahapan seperti,
liberalisasi yang dilakukan ketika Amerika Serikat melakukan invasi militer ke
Afghanistan, yang ditujukan untuk membebaskan rakyat Afghanistan yang
dianggap terkekang selama masa pemerintahan Taliban menuju rakyat demokratis
yang menjunjung tinggi kebebasan, hak sipil, dan hak politik. Selanjutnya dalam
tahap transisi, Amerika Serikat memiliki peran besar di mana sebagian besar
konvensi dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan merupakan dorongan dan
didanai Amerika Serikat. Sementara dalam instalasi pemerintahan, Amerika
Serikat berhasil dalam hal mendukung pembentukan rezim baru dalam pemilihan
umum, namun dapat dikatakan gagal karena pemerintah hasil pemilihan umum
tidak kuat. Kegagalan pemerintah pusat Afghanistan yang didukung Amerika
Serikat tidak memungkinkan Afghanistan melangkah lebih jauh menuju
85
konsolidasi demokrasi. Dengan demikian, peran Amerika Serikat dalam
demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan hanya berhasil pada tahap
pengenalan demokrasi kepada rakyat Afghanistan. Setelah Hamid Karzai terpilih
menjadi presiden Afghanistan melalui pemilihan umum Oktober 2004.
Proses demokrasi pun mengalami nasib yang tidak terlalu jauh. Secara
historis, Afghanistan tidak pernah menganut demokrasi yang ingin dibentuk
Amerika Serikat. Selain itu, meskipun pemilihan umum presiden berhasil
diselenggarakan pada awal Oktober 2004, banyak yang tidak mengindahkan
terpilihnya Hamid Karzai sebagai presiden pilihan rakyat Afghanistan. Para
warlord masih menerapkan kekuasaan mereka di wilayah masing-masing dengan
peraturan dan hukum yang mereka tetapkan sendiri. Di samping itu, meskipun
terdapat niat untuk mendorong kemandirian pemerintah pusat Afghanistan, aktor-
aktor internasional, terutama Amerika Serikat, masih memimpin
pengimplementasian program-program pemerintah Afghanistan. Hal ini
menjadikan demokratisasi di Afghanistan sebagai sebuah proses yang semu.
Melihat karakter Afghanistan yang unik, memang akan sangat sulit untuk
melakukan proses demokrasi yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan
nasional Amerika Serikat. Afghanistan tidak pernah memiliki basis demokrasi
sehingga rezim politik demokratis yang kuat dan stabil akan sangat sulit terbentuk
jika tidak merangkul para pemuka masyarakat di Afghanistan. Selain itu, proses
demokrasi yang diharapkan menjadi pendukung utama terciptanya kehidupan
demokratis di Afghanistan tidak akan terwujud selama Afghanistan masih
dihadapi dengan masalah trauma dan dendam perang sipil antar faksi,
perekonomian yang didominasi oleh perdagangan opium, antagonisme antar
86
kelompok etnis, tidak kuatnya institusi, dan partai politik. Kondisi-kondisi ini
menjadi hambatan utama bagi Amerika Serikat yang bertujuan menjadikan
Afghanistan menuju negara yang demokratis. Secara keseluruhan inti temuan
skripsi ini bahwa dengan kompleksitas kehidupan di Afghanistan, terutama dalam
politik, Amerika Serikat berhasil memperkenalkan demokrasi politik kepada
Afghanistan, namun belum berhasil menerapkan kehidupan berdemokrasi.
Dengan melihat kondisi Afghanistan di mana pemerintahan baru didukung
oleh Amerika Serikat ternyata tidak mampu mendapatkan dukungan dari
rakyatnya, dapat dikatakan bahwa setidaknya untuk masa depan jangka pendek,
masih akan sangat sulit bagi Amerika Serikat untuk berhasil menerapkan
demokrasi yang sesuai keinginannya. Hal ini mustahil tercapai apabila Presiden
Karzai tidak berhasil menjalankan pemerintahan demokratis yang memiliki
pengaruh kuat di seluruh wilayah Afghanistan. Tugas berat yang harus dilakukan
untuk menyukseskan demokratisasi ala Amerika Serikat adalah bagi Presiden
Karzai untuk dapat mengendalikan atau setidaknya berkompromi dengan para
penguasa wilayah dan worlord serta mencegah kekuatan Taliban dan al-Qaeda di
Afghanistan untuk tidak berkembang sehebat dulu. Tindakan inipun belum tentu
disetujui oleh seluruh rakyat Afghanistan, yang berarti prospek demokrasi seperti
diinginkan Amerika Serikat belum jelas. Kedudukan Presiden Karzai yang lemah
di negaranya sendiri bahkan dapat jatuh apabila Amerika Serikat memutuskan
untuk mundur dari Afghanistan dalam waktu dekat. Apabila Presiden Karzai jatuh
sebuah konflik baru di Afghanistan sangat mungkin terjadi. Wassalam.
87
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdurrahman, Mushafa. Afghanistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari
Lapangan. Jakarta: Kompas, 2002.
Ahmad, Istiaq. “Post-War Afghanistan: Rebuilding a ravaged Nation.”
Perceptions Vol.VII No.1 Maret-Mei 2002.
Akmam, Wilhendra. “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994:
Penelaahan terhadap Struktur Politik Zaman Modern Negara
Afganistan,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, 2004.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Bekerjasama dengan Pusat
Pengkajian Wilayah Amerika Pogram Pasca-Sarjana Universitas
Indonesia. Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak
Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Jakarta: UI Press, 2003.
Bajpai, P and S. Ram (eds). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 1, Afghanistan: The
Land and People. New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD., 2002.
Bajpai, P. and S. Ram (eds.). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 5: Taliban and
Muslim Fundamentalism. New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD.,
2002.
Bajpai, P. and S. Ram (eds). Encyclopedia of Afghanistan Vol. 6: US War on
Terror in Afghanistan and Aftermath. New Delhi: Anmol Publications
PVT.LTD, 2002.
Boniface, Pascal. “What Justifies Regime Change,” The Washington
Quarterly. vol. 26 No. 3 Summer 2003.
Broto, Iwan Hadi dkk. Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs Taliban.
Jakarta: Gramedia, 2002.
88
Dobriansky, Pula J. “Shining a light: US Efforts to Strengthen Democracy
Worldwide.“ US Foreign Policy Agenda, Vol. 8 No. 1, Agustus 2003.
Gandhi, Setiyo Budhi Cahyo Padma. “Respon Amerika Serikat Menghadapi
Terorisme (Studi Kasus): Pasca Serangan 11 September 2001 Di
Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ) Tahun 2001-2002.” Skripsi S1
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani,
2003.
Grover, Verinder. “Afghanistan: An Introduction,” In Verinder Grover (ed).,
Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan. New Delhi:
Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002.
Hamre, John J. and Gondor R. Sullivan. “Toward Postconflict Raconstruction,”
The Washington Quarterly. Vol25 No.4 Autumn 2002.
“Jurnal Politik Internasional.” Global vol.7 No.2 Mei 2005.
Kagan, Frederick W. “Did We Fall in Afghanistan?”, Commentary Vol. 115 No. 3
March 2003.
Maulani Z.A. Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di
Asia Tengah. Jakarta: Dalancang Seta, 2002.
Maulani Z.A. Mengapa? Barat Memfitnah Islam. Jakarta : Daseta, 2002
Moloeng Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000.
Muzaffar, Chandra. Muslim, Dialog dan Teror. Jakarta : Profetik, 2004. Cet.I.
Nasir Moch. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Saikal, Amin. “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” Dalam William Maley,
Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999.
Saikal, Amin. Afghanistan after the Loya Jirga. Survival vol. 44 No.3 Autumn
2002.
Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2007.
Sihbudi, Riza. Menyandera Timur-Tengah. Jakarta : Mizan, 2007.
“Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak.“ Demokrasi & HAM Vol.3 No.2
Mei – September 2003.
89
Zisk Marten, Kimberly. “Defending Against Anarchy: From War to Peacekeeping
in Afghanistan.” The Washington Quarterly. Vol. 26 No. 1 Winter 2002-`
2003
Media Cetak
Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara
Pembaharuan, 7 Juli 2002. “Amerika Serikat Kibarkan Bendera di Kedubes Kabul,” Kompas Senin 14
Januari 2002.
Powell, Colin L.. “Demokrasi Bangkit di Afghanistan,” Kompas 1 Oktober
2004.
“Pemilu Afghanistan Kacau, Calon di luar Karzai Minta Ulang,” Kompas 11
Oktober 2004.
Yulianti, T. “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan,
21 November 2001.
“Pemilu Afghanistan, Ujian Berat Demokratisasi Versi AS,” Kompas 10 Oktober 2004. “Kerawanan Keamanan, Jadi Ancaman Utama Pemilu Afghanistan,” Kompas 18
Oktober 2004.
Setelah Karzai Dilantik, Afghanistan Mulai Menapak Era Baru,_ Kompas 9
Desember 2004.
“Redupnya Nilai Strategis Taliban,” Kompas, 23 September 2001. The Jakarta Post, 14 November 2001.
Media Internet
Abdul Halim Mahally, “AS, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi” dari
http://www.republika.co.id diakses pada 18 November 2007.
90
A Special Elektronic Journal. “U.S Department of State September 2002.”
Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.asiasociety.org
/publication/asianUpdeteContent.pdf,
“Afghanistan.” Diakses pada 13 November 2007 dari
http://www.infoplease.com- /ipa/A0107264.html.
“Bir dan Rok Mini Mulai Bebas di Kabul.” Diakses pada 18 November 2007 dari
http://www.hidayatullah.com /modules.php?name=News&file=article&sid
=120. “Constitution Making Process.” Diakses pada 22 November 2007 dari
http://www.constitution-afg/.
Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com
/Afghanistan_timeline_1991-1995, Diakses pada 17 November 2007 dari http://countrystudies.us/afghanistan
/65.htm, Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage.
com/partners/wapha.html. Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology
/projects/Afghan_refugees/project.html, Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/
encyclopedia /countryfacts/afghanistan.html, Diakses pada 23 Novermber 2007 dari http://www.sabawoon.com/news/mini head
lines.asp?dismode=article&artid=8517.
Feiser, Jonathan. “Separating Symptoms From Sources: The Ghost of Greater
Afghanistan.” Artikel diakses pada 30 November 2007 dari
http://www.pinr.com/report.php?ac=view_report&report_id=70&language
_id=1.
Field Report. “Afghanistan Desember 2001.” Diakses pada 12 Desember 2007dari
http://www.usaid.gov/hum_response/oti/country/afghan/rpt1201.html,
Helms, Laili. “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security
and Options for International Action.” Artikel diakses pada 12 Maret 2007
dari http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/sr_afghan.html,
91
Human Right Watch. “Afghanistan: Worlord Face Internastional Criminal Court.”
Artikel diakses pada 11 November 2007 dari http://www.globalpolicy.org/ security/issues/afghan/2003 0211 war.html.
Karon, Tony. “Understanding Bin Laden’s Hosts. The Dilemma He Poses for
Them and the Politics of the Neighborhood.” Artikel Diakses pada 24 Nov
2007 dari http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,175372,00.html.
Komentar oleh wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama
pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7
Desember 2001. diakses pada 12 Desember 2007 dari
http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html
Maley, William. “Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State
in Afghanistan.” Artikel Diakses pada 11 November 2007 dari
http://www.cesindia. org/maley.doc, Marquardt, Erich. “Reintegration of Factional Armies a Priority in Afghanistan.”
Artikel diakses pada 18 November 2007 dari http://www.pinr.com/report. php?ac=view_report&report_id=170&language_id=1.
Mark Oliver, Sarah Left, Ewen Mac Askill. “Explainet: The Afghan Election.”
Artikel diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.guardian.co.uk/
theissues /article/0,6512,1299137,00.html,
“Regime Change in Afghanistan.” Diakses pada 21 November 2007 dari
http://www.abawoon.com/news/miniheadlines.asp?dismode=article&arti
d=8517.
Report of the Internastional Peace Mission to Basilan, Philippines, 23-27 March
2002, Basilan:the Next Afghanistan?” Diakses pada 26 November 2007
dari http://www.bwf.org/pamayanan/peacemission.html.
Rumsfeld, Transcript. “Myers on Military Operation in Afghanistan.” Distributed
by the Office of International Information Programs, US Departmen of
state. Diakses pada 10 Desember 2007 dari http://www.usinfo.state.gov,
Schmeidl, Susanne. “The Transition from Relief to Development from a Human
Security perspective: Afghanistan.” Aertikel diakses pada 12 November
92
2007dari http://www.humansecurity-chs.org/activities/research/fghanistan
.pdf. Shalom, Stephen R. and Michael Albert. “45 Questions and Answers: 9-11 and
Afghanistan One Year Later.” Artikel diakses pada 12 Maret 2007 dari
http://www.globalissues.org/geopolitics/WarOnTerror/45qaAfghan.asp,
Text. “Bush Announces Start of a War on Terror.” Distributed by the office of
International Information Program. US Departmen of State. Diakses pada
10 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov,
The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan. “10 March
2003, the Constitutional-Making Process in Afghanistan.” Diakses pada
23 November 2007 dari http://www.constitution-afg.com/resrouces
/Constitution-Making%20Proces%20final.doc.
Wawancara David Barsamian terhadap Noam Chomsky. “US Intervention from
Afghanistan to Iraq.” Diakses pada 12 Desember 2007 dari
http://www.isreview.org/issue/25/chomsky_interview.shtml,
93