Upload
rubi-sandy
View
85
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sfdfsdf
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari
200 g atau 200ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang
air besar encer lebih dari 3kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa
disertai lendir dan darah.
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkatDi negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2
episode/orang/tahun sedangkan dinegara berkembang lebih dari itu. Di USA
dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada
dewasa terjadi setiap tahunnya.WHO memperkirakan adasekitar 4 miliar kasus
diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.
Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode
diarepada orang dewasa per tahun. Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989
jumlah kasus diare . didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat
0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama
disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli,
Dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella
dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella
dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC). Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang
untuk mendekati pasien diare akut yang
disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, sanitasi
lingkungan yang buruk, berpergian ke daerah endemik , HIV positif atau AIDS,
merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk
diare infeksi.
Salah satu program pada Puskesmas Sukasada II adalah program pencegahan
penyakit menular, salah satunya diare yang bertujuan Untuk mengendalikan
penyakit diare di wilayah kerja puskesmas Sukasada II Diharapkan, program ini
dapat meurunkan jumlah penderita diare Namun, pada kenyataannya kasus Diare
di wilayah kerja puskesmas Sukasada masih tinggi Berdasarkan laporan tahunan
puskesmas Sukasada II kabupaten Buleleng, jumlah usila di daerah tersebut juga
termasuk tinggi. Pada tahun 2011, didapatkan jumlah penderita diare 52 kasus
dan dalam laporan program P2M mengatakan bahwa cakupan penangan diare
masih rendah yaitu 8,8 persen yang dianggap bahwa penanganan awal yang
harusnya ke Puskesmas atau Pustu belum dilaksanakan sehingga mungkin terjadi
kekurang pengetahuan mengenai penanganan awal diare dan pengobatannya.
Pada Laporan Program kesehatan lingkungan dikatakan bahwa penggunaan
jamban keluarga masih dibawah target yaitu dibawah 80 persen dan dianggap
masih rendahnya Perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat wilayah kerja
Puskesmas Sukasada II walaupun belum ada angka yang menyebutkan persentase
setiap desa.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi kejadian diare . Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
sanitasi lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan hygiene makanan . Faktor-
faktor tersebut merupakan faktor yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki,
sehingga dengan memperbaiki faktor resiko tersebut diharapkan dapat menekan
angka kesakitan dan kematian diare (Irianto, 2000, Warouw, 2002, Asnilet al,
2003).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik mengetahui gambaran
pola hidup, sanitasi lingkungan serta sosial ekonomi yang menjadi faktor resiko
terjadinya diare pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas sukasada II
September 2012
1.2 Identifikasi masalah
Bagaimanakah gambaran pola hidup, sanitasi lingkungan serta sosial ekonomi
yang menjadi faktor resiko terjadinya diare pada masyarakat di wilayah kerja
puskesmas sukasada II September 2012?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pola hidup, sanitasi lingkungan serta sosial ekonomi
yang menjadi faktor resiko terjadinya diare pada masyarakat di wilayah kerja
puskesmas sukasada II bulan September 2012?
1.3.2Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran pola hidup pada masyarakat di wilayah kerja
puskesmas sukasada II
b. Untuk mengetahui gambaran sanitasi lingkungan pada masyarakat di wilayah
kerja puskesmas sukasada II
c. Untuk mengetahui status sosial ekonomi pada masyarakat di wilayah kerja
puskesmas sukasada II
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1Bagi Puskesmas
Informasi dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menyusun
langkah-langkah strategi dalam mencegah serta menurunkan jumlah penderita
diare di wilayah kerja puskesmas Sukasada II
1.4.2 Bagi Peneliti
1. Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang
didapat selama pendidikan di bagian IKK/IKP Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana serta menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
membuat penelitian ilmiah.
2. Menambah pengetahuan peneliti tentang pola hidup, sanitasi lingkungan serta
sosial ekonomi yang menjadi factor resiko terjadinya diare pada masyarakat di
wilayah kerja gambaran di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian
yang lebih luas di masa yang akan datang
1.4.3 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi mengenai pentingnya partisipasi anggota masyarakat
dalam memperhatikan penerapan pola hidup bersih serta sanitasi lingkungan
untuk mencegah penyebaran penyakit diare.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya
frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari (DepKes
RI,2005). Diare juga didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air
besar) lebih dari biasanya / lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan
konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah (WHO 1999). Secara klinik
dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare
persisten. Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah
cairan, atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu
sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak
lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu
maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002).
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak
berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekwensi lebih dari 3 kali dalam 24
jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, di sebut sebagai Diare Akut.
Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, maka digolongkan pada diare
kronik. Pada feses dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala ikutan
dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam dan tanda-
tanda dehidrasi (SE Goldfiner,2009).
2.2 Prevalensi
Diare merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat
keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang
praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan
diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama sampai ke empat pasien
dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. Di negara maju diperkirakan insiden
sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu.
Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut
pada dewasa terjadi setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar
kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun (P Tjaniadi,
2003).
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat, tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah
kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1
dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi.
Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter
jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) (ACC Jones,2004) sedangkan di
negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk
setiap tahun. Di Afrika penduduknya terserang diare infeksi 7 kali setiap
tahunnya, di banding di negara berkembang lainnya yang hanya mengalami
serangan diare 3 kali setiap tahunnya. (ACC Jones,2004).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak dinegara
berkembang, dan penyebab terpenting kejadian malnutrisi.5 Di dunia,sebanyak 4
sampai 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare,dimana sebagian besar
kematian tersebut terjadi di negara berkembang.Pada tahun 2003, kira-kira 1.87
juta anak di bawah usia lima tahun (balita) meninggal karena diare. Delapan dari
10 kematian tersebut terjadi di bawah usia dua tahun.
Di indonesia sendiri Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara berkembang karena morbiditas dan mortalitas-nya yang
masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi
374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun
2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih
sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69
Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%).
Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,
dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB
diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang
(CFR 1,74 %.). Penyakit diare termasuk dalam 10 penyakit yang sering
menimbulkan kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu
Penyakit bersumber data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke
6 frekuensi KLB terbanyak setelah DBD, Chikungunya, Keracunan makanan,
Difteri dan Campak.
2.3 Patogenesis dan patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme sebagai
berikut: 1). Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2).
Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3). Malabsorbsi
asam empedu, malabsorbsi lemak; 4). Defek system pertukaran anion/transport
elektrolit aktif di enterosit; 5). Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6).
Gangguan permeabilitas usus; 7). Inflamasi dinding usus, disebut diare
imflamatorik; 8). Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (World
Gastroenterology Organization, 2005).
Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan
elektrolit dari usus, menurunnya basorbsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini
akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari
diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau
Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormone (VIPoma), reseksi ileum
(gangguan absorbs garam empedu), dan efek obat laksatif (dioctyl sodium
sulfosuksinat dll) (World Gastroenterology Organization, 2005).
Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit: diare tipe ini
disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+ATP ase di
enterosit dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal (Zein U,2003).
Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan hipermotilitas
dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorbsi yang abnormal di
usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes mellitus, pasca
vagotomi, hipertiroid.
Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang
abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membrane epitel spesifik pada
usus halus (Procop GW,2003).
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya
kerusakan usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mucus yang
berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit kedalam lumen, gangguan absorpsi air-
elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi (disentri
Shigella) atau non infeksi (colitis ulseratif dan penyakit crohn) (Procop
GW,2003)
Diare infeksi: infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari
sudut kelaianan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak
mukosa) dan invasive (merusak mukosa). Bakteri noninvasive menyebabkan diare
karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut, yang disebut diare toksigenik.
Contoh diare toksigenik a.l. kolera. Enterotoksin yang dihasilkan kuman Vibrio
cholare/eltor merupakan protein yang dapat menempel pada epitel usus, lalu
membentuk adenosisn monofosfat siklik (AMF siklik) di dinding usus dan
menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion bikarbonat dan
kation natrium dan kalium. Mekanisme absorpsi ion natrium melalui mekanisme
pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion
bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat dikompensasi oleh mneingginya
absorsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat, klorida).
Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorpsi
secara aktif oleh dinding sel usus (Thielman NM,2004).
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi
mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus (Goldfinger SE, 1987).
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor
antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC) (Procop GW,2003). Mekanisme adhesi yang kedua
terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC
adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium
intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi
intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi
akibat shiga like toksin. Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola
agregasi yang terlihat pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC
atau EHEC(Procop GW,2003).
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.
Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi
serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator
seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan
gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella (Procop
GW,2003).
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus (Procop GW,2003).
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi
inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida
dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus. ETEC menghasilkan heat labile toxin
(LT) yang mekanisme kearjanya sama dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST
akan meningkatkan kadar cGMP selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi
protein membran mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida
(Procop GW,2003).
2.4 Transmisi dan Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat
dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci
tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan.
Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak
harus terjaga dari kotoran manusia (Wingate, 2001). Tindakan dalam pencegahan
diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan, seperti penyediaan
sumber air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah pada
tempatnya, sanitasi perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah
yang layak. Perbaikan perilaku kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah
beraktivitas, membuang pada tempat yang tepat (Andrianto, 1995). Masyarakat
dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat
ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat
( Notoadmodjo, 2003)
2.5 Sanitasi Lingkungan
Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa
tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model
segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor
agen, hostdan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat
tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan
faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu,
sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan
lingkungan (Trisnanta, 1995).
Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya
terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994).
Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, ,demam berdarah dengue, difteri, tifus
dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya
(Noerolandra, 1999). Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara
yang sedang berkembang adalah penyediaan air minum, tempat pembuangan
kotoran, perumahan, dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).
2.5.1 Sumber Air
Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat
fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu
sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air
tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan
misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung
bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100
cc air. Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-
sumber air ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur
dalam, air sungai & danau.
2.5.2 Pembuangan Kotoran manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh
dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah
pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran
manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa
penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare,
disentri, kolera, bermacam-macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang,
pita,schistosomiasis. Syarat pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori
tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah,
kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk
bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup,
pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003).
Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus,
lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur
penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan
pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau,
disediakan alat pembersih seperti air atau tisu pembersih. (Notoatmodjo, 2003)
2.5.3 Keadaan perumahan
Perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan
sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari
ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, serta fasilitas-fasilitas di dalam rumah
sehat sebagai berikut :
a. Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah
b. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang
masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun
malam 100-200 lux.
c. Luas bangunan rumah
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk
tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka
menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni
menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota
keluarga lain.
d.Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang
cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas
dapur, ruang berkumpul keluarga dan gudang.
2.5.4 Pembuangan Air Limbah
Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri
dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai
dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah
terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai
penyakit terutama kolera, diare, dan typus, media berkembangbiaknya
mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan
bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber
pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi
produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).
Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan
kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak
mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak
mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak
menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka
kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu.
2.6 Sanitasi Makanan
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan
memerlukan pengolahan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.
Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan
kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman
dari segala bahaya yang dapat menganggu kesehatan mulai dari sebelum
makanan di prosuksi selama dalam proses pengolahan, penyimpanan
pengangkutan sampai pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap
untuk dikonsumsi.
Sanitasi makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa
makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit,
diantaranya:
a. Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki
b. Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya
c. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari
pengaruh enzim, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan
kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
d.Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang
dihantarkan oleh makanan.
kebersihan hendaklah sentiasa terjaga mulai dari pemilihan, penyediaan,
penyimpanan dan makanan. Prinsip kebersihan yang harus dilakukan oleh setiap
individu antara lain
a. Peralatan yang dipakai harus dicuci sebelum dan sesudah proses pengolahan
makanan.
b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah bahan makanan
c. Makanan yang dihidangkan harus ditutup
d. Gunakan sendok atau garpu untuk mengambil makanan
e. Simpan makanan dalam tempat yang bersih, kedap udara, dan kering
f. Bersihkan semua bahan makanan segar seperti ikan, sayur, dan buah sebelum
disimpan
2.6 Kondisi Sosial Ekonomi
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada
sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan semata-mata
kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam
ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004).
Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada seseorang.
Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orang tersebut untuk
mendukung perawatan kesehatan yang memadai, cenderung memiliki higiene
yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga orang yang miskin
memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua
penyakit (Behrman 1999) Di Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan berdasarkan
jumlah kalori. BPS sejak 1984 menetapkan kriteria dan garis kemiskinan diukur
dari konsumsi kalori perkapita perhari, yaitu 2100 kalori. Tahun 2010 menurut
BPS, penetapan perhitungan garis kemiskinan dalam masyarakat adalah
masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp7.057 per orang per hari. Penetapan
angka Rp7.057 per orang per hari tersebut berasal dari perhitungan garis
kemiskinan yang mencakup kebutuhan makanan dan minuman sebesar 2.100
kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan dan minuman yang jika
ditotal lebih kurang mencapai Rp7.000 per hari per orang. Kemudian
ukuran world Bank yang menetapkan standar garis kemiskinan berdasarkan
pendapatan perkapita. Penduduk yang pendapatan perkapitanya kurang dari
sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional, maka termasuk dalam kategori
miskin. Dalam konteks tersebut, maka ukuran World Bank adalah USD $2 per
orang per hari. World Bank mendefinisikan kemiskinan dalam Kemiskinan
absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1 per orang per hari
dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah USD $2 per orang per
hari. Apabila standar garis kemiskinan yang digunakan adalah
standar world bank yaitu USD $2 per hari per kapita, sesuai dengan
tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Maka diperkirakan angka
kemiskinan Indonesia akan meningkat lebih banyak melebihi 50 % atau lebih
120 juta penduduk Indonesia.
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor risiko terjadinya diare
dapat disebabkan dua faktor, yaitu faktor yang melibatkan manusia sebagai host,
dalam hal ini adalah perilaku, serta faktor lingkungan. Sehingga di dalam penelitian
ini, variabel-variabel yang akan diteliti yaitu mengenai perilaku manusia dan juga
keadaan lingkungan di rumah tempat tinggalnya. Serta pengetahuan mengenai diare
pun mempengaruhi angka kejadian diare dan juga penanganan diare lebih
lanjut.Sehingga didapatkan bagan kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut :
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Sanitasi lingkungan
- Sumber air - Pembuangan kotoran atau
tinja- Keadan perumahan - Pembuangan air limbah
Variabel tergantung
DIARE
Sanitasi makanan (variabel bebas)
- Cuci tangan - Penggunaan peralatan
makanan- Cara menyimpan makanan- Pengolahan makanan
Faktor sosial ekonomi
- Tingkat pendidikan kepala keluarga
- Kondisi sosial ekonomi
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Singaraja, dari September 2012.
4.2 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua kepala keluarga (KK) yang terdaftar di
kelian desa dan berdomisili di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Singaraja.
4.3.1 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang merupakan bagian dari
populasi yang telah dipilih secara random. Dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi : Kepala keluarga di Desa Pancasari yang dipilih secara
random
2. Kriteria Eksklusi :
a. Kepala keluarga yang menolak berpartisipasi
b. Kepala keluarga beserta anggota keluarganya yang sempat tinggal di
daerah lain dan menderita diare
4.3.2 Besar sampel
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus berikut:
n= 11−f
xZα 2( pq)
d2
n= 11−10 %
x1,962(0 , 088 x0 , 912 )
0,12
n= 11−0,1
x3 , 8416 x0 , 080
0 , 01
n : 1,11 x 30,7328
n : 34.113 ~ 34
Keterangan :
n : besar sampel
α : besarnya kesalahan tipe I → 0.05 (zα → 1.96)
p : prevalensi di populasi → 8,8% = 0,08
q : (1- p) → 0,92
d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan oleh
peneliti) → 0.1
f : 10 % (perkiraan drop out)
Dari hasil perhitungan diatas, besar sampel minimal yang diperlukan
sebesar 62 sampel. Karena jumlah populasi terbatas (kurang dari 10.000)
maka jumlah sampel yang didapat dari perhitungan tersebut dikoreksi
dengan menggunakan rumus :
nK=n
1+nN
nK=34
1+346572
nK=341+0 , 051
nK = 32,35~ 32
Keterangan :
nK : besar sampel dengan koreksi
n : 34 (besar sampel sebelum dikoreksi)
N : besar populasi sampel penelitian
Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel yang diperlukan adalah 32
sampel.
4.3.3 Cara pengambilan sampel
Sampel dipilih dengan metode Multistage systematic random sampling. Dari
6 desa di wilayah kerja Puskesmas Sukasada II,dipilih satu desa secara acak
menggunakan dadu dan diperoleh desa pancasari. Dari data kepala keluarga
yang didapatkan dari desa tersebut diurut kemudian dipilih secaara acak
sehingga memenuhi sampel
4.4 Responden
Sampel yang terpilih,yaitu kepala keluarga yang berdomisili di Desa Pancasari
selanjutnya ditetapkan sebagai responden untuk memperoleh informasi tentang
perilaku yang menjadi faktor risiko terjadinya diare
4.5 Variabel Penelitian
1. Sanitasi Lingkungan
2. Sanitasi Makanan
3. Faktor ekonomi dan sosial
4.6 Definisi Operasional Variabel
1. Tingkat higiene sanitasi lingkungan adalah jumlah skor dari praktek
responden dan sampel tentang higiene sanitasi lingkungan dan hasil
observasi sesaat yang meliputi kebersihan pribadi dan lingkungan sekitar
rumah responden yang diukur dari ketersediaan air bersih, ketersediaan
jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan.
2. Sanitasi makanan adalah nilai dari kegiatan mencuci tangan, penggunaan
peralatan makanan, cara menyimpan makanan dan pengolahan makanan.
Yang dimaksud mencuci tangan adalah mencuci tangan sebelum makan
menggunakan air bersih dan sabun. Penggunaan peralatan makanan adalah
menggunakan peralatan makanan baik untuk makan dan memasak yang
telah dicuci dengan air bersih dan sabun. Cara menyimpan makanan
mengolah makanan dengan baik tempat yang bersih, kedap udara, dan
kering. Sedangkan, pengolahan makanan adalah makanan yang dimakan
dimasak hingga matang dan sebelum memasak apakah makanan dicuci
dengan air bersih serta menyajikan dengan baik dan apabila makanan
tersebut disajikan dalam jangka waktu yang lama, makanan tersebut
dihangatkan kembali.
3. Faktor sosial ekonomi adalah kondisi sosial ekonomi keluarga responden
yang dinilai dari tingkat pendidikan Kepala Keluarga, tingkat pendapatan
per kapita, tingkat pengetahuan Kepala Keluarga tentang diare. Tingkat
pendidikan adalah pendidikan formal yang terakhir diikuti. Tingkat
pendapatan per kapita Adalah jumlah pendapatan tetap dan sampingan
dari kepala keluarga, ibu, dan anggota keluarga lain dalam 1 bulan dibagi
jumlah seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah. Tingkat
Pengetahuan dari kepala keluarga yang dinilai dari kuisioner.
4.7 Instrumen/Alat pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian menggunakan kuisioner dalam
bentuk wawancara terstruktur untuk memperoleh data kuantitatif
4.8 Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada responden, dalam hal
ini adalah kepala keluarga yang dapat diwakili oleh istrinya apabila KK
berhalangan. Apabila sampel tetap tidak dapat dihubungi, maka sampel diganti
dengan nomer urut dibawahnya yang diperoleh dari daftar nama KK. Wawancara
dilakukan di rumah kediaman KK dengan tidak adanya pihak ketiga agar tidak
mempengaruhi jawaban KK.
4.9 Penyajian dan Analisa Data
Data-data yang diperoleh dari kuesioner akan dianalisis dengan menggunakan
bantuan program SPSS 16 dan disajikan dalam bentuk tabel disertai penjelasan
naratif.
4.10 Seminar
Seminar dilakukan pada akhir penelitian untuk mendapatkan masukan dan
perbaikan untuk kesempurnaan hasil penelitian.