Upload
vananh
View
227
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
HAKIKAT MEMBACA
(Proses Membaca)
PENDAHULUAN
Penyebaran informasi melalui media cetak dewasa ini makin mendapat
perhatian, baik dari kalangan masyarakat intelektual maupun dari kalangan
masyarakat biasa. Kemampuan memperoleh informasi melalui media cetak makin
penting dalam masyarakat yang tumbuh menjadi masayarakat yang kompleks.
Teknologi canggih menuntut tingkat pendidikan yang tinggi yang pada umumnya
bergantung pada adanya media cetak. Hal ini berarti bahwa kemampuan membaca
yang layak merupakan hal yang sangat vital. Anggota masyarakat yang “iliterat”, atau
anggota masyarakat yang tidak mampu membaca, akan senantiasa terpencil dan
merasa dipencilkan, karena tidak terjangkau dan tidak mampu menjangkau informasi
yang seharusnya miliki.
Kemampuan membaca mempunyai makna yang sangat penting baik dalam
kehidupan akademis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami iklan
dalam surat kabar misalnya, diperlukan kemampuan membaca peringkat enam dan
tujuh. Petunjuk yang ada dalam berbagai pembungkus obat hanya dapat dipahami
oleh pembaca peringkat sepuluh, dan materi bacaan yang tertera dalam borang yang
harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian, petunjuk dalam buku tabanas, dan
sebagainya, menghendaki pembaca yang menduduki peringkat dua belas.
Bila dibandingkan dengan media komunikasi lainnya, media cetak mempunyai
kelebihan khusus. Dari media cetak, pembaca memperoleh informasi secara leluasa,
baik informasi masa lalu, maupun informasi masa kini, bahkan masa mendatang.
Media cetak bisa diperoleh dan dibawa dengan cara yang sangat mudah. Informasi
yang dikandungnya dapat dinikmati sesuai dengan kehendak pembaca, kapan dan di
mana saja. Membawa-bawa radio jelas lebih merepotkan daripada membawa-bawa
surat kabar; membawa majalah jauh lebih mudah daripada membawa-bawa TV,meski
yang terkecil ukurannya. Fleksibilitas kegiatan membaca memberikan jaminan
kelangsungan nilai-nilai yang dikandung dalam bacaan itu, baik untuk keperluan
pendidikan maupun untuk keperluan hiburan.
Pengetahuan mengenai proses membaca ini perlu untuk anda maupun untuk
murid anda. Pengetahuan tentang membaca sebagai gabungan berbagai proses bisa
berdampak positif terhadap strategi mengajar maupun strategi belajar. Oleh
karenanya, sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang
diperoleh dari buku ini, anda dituntut pula untuk dapat menyampaikan kemampuan itu
kepada anak didik anda. Pemahaman tentang kegiatan membaca sebagai multi proses
harus dicamkan sejak dini, baik oleh guru maupun oleh siswa.
Setelah membaca Buku 1 ini, anda diharapkan dapat:
a) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses psikologis;
b) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses sensoris;
c) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perseptual;
d) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan;
e) memahami dan menjelaskan kegiatan membaca sebagai proses perkembangan
keterampilan.
Pada bagian ini kami akan mengajak anda untuk berbincang-bincang tentang
hakikat membaca yang merupakan perwujudan atau kesatuan berbagai macam
proses. Hal yang perlu dicamkan pada kegiatan belajar mengajar membaca ialah
bahwa membaca itu merupakan proses. Pada waktu berupaya mendeskripsikan hal-
hal yang terjadi ketika seseorang membaca, kita sering menggunakan istilah "proses
membaca". Istilah ini sesungguhnya kurang tepat. Istilah yang lebih baik tepat ialah
"proses-proses membaca", sebab membaca bukanlah proses tunggal melainkan
sintesis dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan
tunggal. Hal ini berarti bahwa kita harus memandang membaca sebagai suatu
pengalaman yang aktif, ialah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan
bertujuan. Tentu saja, pengalaman anak didik pun ikut berperan sebagai unsur penting
dalam perbuatan membaca itu. Manifestasi terakhir penyatuan berbagai proses
tersebut dinyatakan dalam satu perbuatan tunggal, ialah membaca.
Berdasar pada pemikiran di atas itu, pada bab ini akan diuraikan ihwal proses
membaca secara singkat, ialah proses psikologis, sensoris, dan perseptual. Pada
bagian proses psikologis dibicarakan berbagai faktor yang mempengaruhi
perkembangan membaca. Sesudah itu dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan
dengan "skemata" yang mempunyai kaitan erat dengan proses membaca.
Sesudah membaca uraian tentang proses membaca dan skemata ini, anda
diharapkan dapat menjelaskan arti membaca sebagai proses psikologis, sensoris,
perseptual, perkembangan, dan perkembangan keterampilan. Di samping hal-hal
tersebut, anda diharapkan pula memahami makna skemata serta pemanfaatannya
dalam proses membaca. Bagi anda yang mempunyai keinginan memperdalam ihwal
proses membaca dan skemata, disediakan daftar nama buku pada bagian akhir buku
ini yang relevan dengan kebutuhan anda.
Seperti telah dikemukakan dalam pengantar, membaca merupakan faktor yang
sangat penting dalam kehidupan kita. Melalui media cetak kita dapat menyerap
berbagai informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang
belum dapat kita jawab dengan baik ialah bagaimana cara atau upaya yang harus kita
lakukan untuk menjadikan dunia kita ini menjadi dunia baca. “Dunia Baca” yang
ideal memang belum pernah ada. Masyarakat negara-negara yang sudah maju
sekalipun, seperti Amerika dan Rusia, belum mampu menciptakannya. Di negara
mereka pun masih saja ada orang yang aliterat, ialah orang-orang yang mampu
membaca, tetapi memilih untuk tidak membaca. Mereka lebih suka mengerjakan
pekerjaan kegiatan lain daripada membaca. Dengan kata lain, mereka tergolong orang
yang masih malas membaca.
Kita sering mendengar bahkan membaca berita tentang kurangnya minat baca
di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pelajar, padahal minat baca itu
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kemampuan membaca. Menurut hasil-
hasil penelitian yang terakhir, kemampuan membaca lebih banyak ditentukan oleh
intensitas membaca daripada oleh IQ seseorang. Makin banyak seseorang melakukan
aktivitas membaca, akan makin meningkat pula kemampuan membacanya.
Seseorang akan banyak membaca secara mandiri jika minat bacanya tinggi.
Oleh karena itu, guru bidang studi apa pun dituntut untuk meningkatkan minat baca
para siswanya. Dengan demikian kemampuan membaca para siswa itu pun akan
meningkat dengan sendirinya.
Membaca merupakan kemampuan yang kompleks. Membaca bukanlah
kegiatan memandangi lambang-lambang tertulis semata-mata. Bermacam-macam
kemampuan dikerahkan oleh seorang pembaca agar dia mampu memahami materi
yang dibacanya. Pembaca berupaya supaya lambang-lambang yang dilihatnya itu
menjadi lambang-lambang yang bermakna baginya.
Membaca merupakan interaksi antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut
terjadi secara tidak langsung, namun bersifat komunikatif. Komunikasi antara
pembaca dan penulis akan semakin baik jika pembaca mempunyai kemampuan yang
lebih baik dalam memahami maksud penulisnya. Pembaca berkomunikasi dengan
penulis melalui karya tulis yang digunakan penulis sebagai media untuk
menyampaikan gagasan, perasaan, dan pengalamannya. Dengan demikian, pembaca
harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat
yang disajikan oleh penulis/pengarang sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri
pembaca.
Pembaca dapat menyusun pengertian-pengertian tersebut dengan berbagai
konsep pada suatu saat tertentu yang selanjutnya secara berangsur-angsur menjadi
dasar baginya untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara lebih luas dan
mendalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa membaca bukanlah suatu kegiatan yang
berdiri sendiri, melainkan suatu sintesis berbagai proses yang tergabung ke dalam
suatu sikap, ialah sikap pembaca yang aktif.
Membaca sering kali pula dianggap sebagai kegiatan yang pasif. Sebenarnya,
pada peringkat yang lebih tinggi, membaca itu bukan sekedar memahami lambang-
lambang tertulis, melainkan berarti pula memahami, menerima, menolak,
membandingkan, atau meyakini pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh
pengarang/penulis. Kemampuan membaca seseorang banyak dipengaruhi pula oleh
tingkat kematangan dan pengalamannya.
Unsur-unsur apakah yang terlibat dalam setiap kegiatan membaca itu?
Ketidakhadiran salah satu unsur tersebut akan berpengaruh terhadap kompetensi
membaca yang dimiliki seseorang. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang
berkenaan dengan proses membaca.
2. Membaca Sebagai Suatu Proses Psikologis
Kehidupan dan pertumbuhan manusia senantiasa dipengaruhi oleh kegiatan
belajar. Karenanya, banyak hal yang kita kuasai diperoleh melalui proses belajar.
Begitu pula halnya dengan kemampuan membaca.
Ada berbagai hal yang mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam
kegiatan membaca. Hal-hal tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan proses
membaca. Hal yang berikut ini merupakan sebahagian kecil saja dari sekian banyak
faktor yang telah diketahui sebagai faktor yang memiliki kaitan yang erat dengan
proses membaca, yakni:
1) intelegensi,
2) usia mental,
3) jenis kelamin,
4) tingkat sosial ekonomi,
5) bahasa,
6) ras,
7) kepribadian,
8) sikap,
9) pertumbuhan fisik,
10)kemampuan persepsi, dan
11)tingkat kemampuan membaca.
Dari faktor-faktor (yang hanya merupakan bahagian kecil ) tersebut, hanya
beberapa buah saja yang akan dibicarakan dalam bab ini.
Faktor Intelegensi
Anda pernah mendengar kata "intelegensi" bukan? Ya, bahkan sangat sering.
Tahukah anda makna kata tersebut? Anda tahu benar arti kata itu, tetapi teman-teman
Anda masih banyak yang belum memahaminya. Banyak orang mungkin merasa sudah
sangat akrab dengan istilah tersebut, namun belum mengetahui maknanya yang
sesungguhnya, karena tidak pernah berkeinginan untuk mempelajarinya dengan
sebaik-baiknya melalui buku sumbernya.
Anda sudah mengetahui bahwa kata intelligent(intelegensi) sering
bergandengan dengan kata quotient dan disingkat menjadi IQ. Di samping IQ Anda
mengenal pula MA (mental age), ialah usia mental. Untuk apa orang membuat kedua
istilah tersebut? Ya, benar, IQ dan MA biasa digunakan untuk menyatakan hasil tes
intelegensi umum. IQ seorang anak yang berusia enam tahun menunjukkan rasio
antara skor tertentu yang diperolehnya dalam suatu tes intelegensi dan skor yang akan
diperoleh oleh anak-anak lain pada umumnya (rata-rata), yang berusia kronologis
sama dengan anak tersebut, untuk tes yang sama pula.
Untuk membedakan IQ dan MA, anda boleh mendefinisikan IQ sebagai
ukuran pertumbuhan mental, sedangkan MA sebagai ukuran kedewasaan mental.
Meski ada keistimewaan-keistimewaan yang bisa terjadi, IQ dapat dianggap sebagai
suatu ukuran yang relatif stabil, sedangkan MA mempunyai pertumbuhan berlanjut
sampai pada usia pertengahan adolesensi. Rumus-rumus yang berikut ini mungkin
dapat menolong menjelaskan hubungan antara usia kronologis (Chronological Age)
yang disingkat CA, dengan MA dan IQ.
IQ x CA
MA = _______
100
MA
IQ = --------- x 100
CA
Kita dapat menurunkan MA seorang anak yang IQ-nya 110 dan yang CA-nya 6,0
dengan cara berikut ini.
110 x 6,0 (tahun)
MA = -----------------------
100
110 x 72 (bulan)
= ---------------------
100
= 79,2
79,2
= ------- = 6,6
12
Jika MA dan CA diketahui (6,6 dan 6,0), dengan cara yang sama Anda
akandapat mencari IQ.
MA
IQ = ----- x 100
CA
6,6
= ----- x 100
6,0
= 110
Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi dan berkaitan erat dengan
kesiapan dan kemampuan membaca, namun yang paling banyak dan paling konsisten
diteliti dan dipelajari ialah faktor intelegensi. Para ahli sependapat bahwa intelegensi
merupakan faktor yang penting, tetapi batas-batas kepentingannya belum juga dapat
dijelaskan. Kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan informasi tentang
kepentingan intelegensi itu mempunyai kecenderungan mengaburkan permasalahan,
bukan menjelaskannya.
Harris (1970), umpamanya, berpendapat bahwa faktor terpenting dalam
masalah kesiapan membaca ialah inteligensi umum. Karena faktor tersebut
merupakan angka rata-rata perkembangan mental, yang banyak tingkatannya itu,
maka kaitannya dengan faktor-faktor lainnya sangatlah jelas.
Witty dan Kopel(1970) pun mempunyai pendapat yang serupa. Mereka
berkesimpulan bahwa seseorang yang memiliki skor IQ menurut Binet di bawah 25,
biasanya tidak pernah mencapai kematangan mental yang layak untuk belajar
membaca. Anak yang skor IQ-nya di bawah 50 akan mengalami kesulitan dalam
memahami materi bacaan yang abstrak dan materi-materi lainnya yang sukar. Adapun
mereka yang skor IQ-nya ada di antara 50 dan 70 akhirnya akan mampu juga
membaca, tetapi kemampuannya itu tidak akan melebihi kemampuan membaca
peringkat empat.
Studi tentang intelegensi dan kesiapan membaca yang dilakukan oleh
Morphett dan Washburne (1931) mungkin merupakan studi yang paling dikenal.
Selama bertahun-tahun hasil penelitian mereka mendominasi keyakinan tentang
intelegensi itu. Namun demikian, semenjak itu, dikenal pula hal yang sama
pentingnya, bahkan mungkin lebih penting. Penelitian Gates (1937) telah mengubah
sikap terhadap masalah intelegensi itu. Penelitian yang dilakukannya dalam kelas
menunjukkan bahwa usia mental itu mempunyai kegunaan yang relatif; ada faktor
lain yang juga menentukan keberhasilan pencapaian kemampuan membaca.
Ditunjukkannya bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode mengajar, memberikan
kemungkinan kepada anak untuk mampu membaca pada usia empat setengah tahun;
sedangkan bentuk pengajaran lainnya baru berhasil memberikan kemampuan
membaca pada usia tujuh tahun.
Gray (1956) memberikan saran agar anak mulai diajari membaca jika MA-nya
mencapai angka enam. Namun, dia pun mengakui materi yang digunakan dalam
pengajaran, prosedur mengajar, dan faktor-faktor lainnya yang cukup banyak
jumlahnya itu mempunyai peranan yang lebih penting daripada usia mental. Dia
menunjukkan kenyataan di Skotlandia dan negara-negara Eropa lainnya yang berhasil
membina pembaca-pembaca yang baik pada usia mental lima.
Ada lagi dua orang ahli, Smith dan Dechant (1961) yang melaporkan adanya
kaitan yang erat antara kesiapan membaca dan kemampuan membaca. Mereka
membuktikan korelasi antara sekor tes kesiapan membaca dan usia mental itu
merentang antara 0,35 dan 0,80. Kesimpulan mereka berbunyi bahwa pada umumnya
tes kemampuan membaca, kesiapan membaca, dan intelegensi itu mengukur faktor-
faktor yang sama.
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai sifat hubungan yang sebenarnya
antara IQ dan MA terhadap membaca, ternyata persamaan-persamaannya pun masih
ada, seperti yang tertera di bawah ini.
1) IQ dan MA merupakan alat ramal yang baik untuk menentukan tingkat minimal
kemampuan anak.
2) Kebanyakan anak yang gagal belajar membaca di kelas satu mempunyai usia
mental di bawah enam tahun.
3) Meskipun IQ dan MA merupakan faktor-faktor yang penting, faktor-faktor lain
seperti jumlah anak dalam kelas, prosedur, motivasi, serta proses belajar-mengajar
merupakan faktor-faktor yang sama pentingnya untuk mencapai kemampuan
membaca yang baik.
4) Meskipun IQ dan MA merupakan prediktor yang baik dalam banyak hal, namun
keduanya tidak boleh digunakan secara terpisah dari faktor-faktor lainnya dalam
menentukan perkiraan yang akan dilaksanakan. Anak kelas satu yang mempunyai
IQ 130 belum tentu dapat lebih berhasil dalam kegiatan membaca bila
dibandingkan dengan seorang anak yang ber-IQ 80.
5) Korelasi antara IQ dan skor membaca cenderung meningkat sesuai dengan
kenaikan kelas. Skor IQ yang tinggi di kelas enam merupakan prediktor
kemampuan membaca yang lebih baik daripada skor IQ yang sama tingginya yang
diperolehnya di kelas satu.
Tes Formatif 1
1. Harris berpendapat bahwa faktor terpenting yang ikut menentukan kesiapan
membaca ialah:
A intelegensi umum
B usia mental
C usia kronologis
D intelegensi khusus
2. Jika diketahui bahwa usia mental 7,8 dan usia kronologis 6,0 maka dapat
diketahui bahwa tingginya IQ adalah …
A. 110
B. 120
C. 130
D. > 130
3. Witty da Kopel berpendapat bahwa anak yang ber-IQ 90 akan …
A. dapat membaca 50 kpm
B. mengalami kesulitan memahami materi bacaan yang abstrak
C. mampu membaca sampai peringkat empat saja
D. mampu membaca di atas peringkat empat
4. Gates menemukan data bahwa besarnya kelas, prosedur dan metode membaca
memberikan kemungkinan kepada anak untuk dapat membaca pada usia…
A. dua tahun
B. tiga tahun
C. tiga setengah tahun
D. empat setengah tahun
5. Gray menyarankan agar anak mulai diajari membaca pada usia …
A. empat setengah tahun
B. lima tahun
C. enam tahun
D. enam setengah tahun
6. Smith dan Decant memperoleh data yang menyatakan bahwa anak yang gagal
belajar membaca di kelas satu mempunyai usia mental …
A. enam setengah tahun
B. enam tahun
C. antara enam dan enam setengah tahun
D. di bawah enam tahun
Di muka telah dikatakan bahwa faktor penting yang berpengaruh terhadap
kemampuan membaca bukan IQ dan MA saja. Masih banyak faktor lain yang sama
pentingnya. Di bawah ini akan diuraikan peranan faktor sosial ekonomi dalam
pemerolehan kemampuan membaca.
Faktor Sosial-Ekonomi
Pada masa sekarang, yang sering kali dikaitkan dengan masalah kemampuan
membaca ialah faktor sosial ekonomi. Status sosial-ekonomi ternyata mempunyai
kaitan yang jelas dengan kemampuan membaca. Riessman (1962) mengutip catatan
yang menyatakan pada umumnya 15 sampai 20 persen anak-anak sekolah di Amerika
menunjukkan batas-batas ketidakmampuan membaca. Dia memperkirakan adanya
angka persen yang lebih besar di kalangan masyarakat yang bersosial ekonomi
rendah, sampai 50%. Perkiraan lain dibuat oleh Benson (1969) yang menyatakan
bahwa anak-anak yang berasal dari masyarakat kelas sosial-ekonomi menengah dapat
membaca lebih baik daripada anak-anak yang bersosial-ekonomi rendah (10 - 20%),
sedangkan yang tidak mampu membaca adalah anak-anak yang bersosial ekonomi-
rendah bisa (80%).
Meskipun temuan mereka itu cukup mengkhawatirkan, namun sesungguhnya
tidaklah terlalu mengherankan, sebab jauh sebelumnya, yakni tahun 1940, Coleman
sudah melihat adanya hubungan yang jelas antara status sosial-ekonomi dengan
kemampuan membaca. Dengan jalan mempelajari suatu sampel nasional dari tiga
kelompok siswa yang berstatus sosial-ekonomi yang berbeda tingkatannya itu,
ditemukan bukti bahwa tingkat sosial ekonomi siswa itu ada kaitannya dengan
kemampuan mereka dalam berbagai mata pelajaran.
Hasil yang sama diperoleh Gough (1946) dari penelitiannya atas murid-murid
kelas enam yang berstatus tinggi, menengah, dan rendah, berdasarkan kemampuan
sosial-ekonominya. Ada berbagai faktor yang menjadi alasan kenyataan tersebut.
Yang jelas di antaranya ialah kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang rendah,
kepadatan lingkungan, tempat kediaman yang tidak stabil, dan tekanan ekonomi. Di
sisi lain, masih ada alasan yang menyebabkan rendahnya kemampuan membaca itu
yang sesungguhnya masih ada kaitannya dengan status sosial- ekonomi, yang dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni latar belakang pengalaman;
tingkat motivasi; dan bahasa.
Anda sering mendengar bahwa latar belakang pengalaman anak-anak yang
berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah itu sangat kerdil.
Pernyataan seperti itu sudah tentu tidak benar. Semua anak mempunyai latar belakang
pengalaman. Kenyataan bahwa latar belakang pengalaman mereka itu tidak sama
dengan yang dimiliki anak-anak kelas menengah jadi tidaklah sepantasnya jika
ditafsirkan bahwa anak-anak itu sama sekali tidak berpengalaman. Haruslah
ditafsirkan bahwa pengalaman mereka itulah yang harus mereka camkan. Sayang
sekali, banyak guru yang menyepelekan kenyataan itu.
Di pihak lain, sungguh tidak realistik jika dikatakan bahwa anak-anak tertentu
tidak mengalami rintangan yang disebabkan oleh latar belakang pengalamannya.
Karena sistem pendidikan diarahkan pada standar sosial kelas menengah dengan
menggunakan mata pelajaran dan kosakata kelas menengah, maka anak yang tidak
mempunyai pengalaman tentang hal tersebut sesungguhnya akan mengalami
hambatan. Anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak berada mempunyai
kurang memiliki kesempatan untuk bepergian, membaca buku dan majalah, atau
bertemu dengan orang-orang di luar lingkungannya. Disebabkan oleh lingkungan
sosial yang sempit dan kemampuan ekonomi yang terbatas itulah kesempatan-
kesempatan untuk pengayaan itu menjadi tertutup. Kedua orang tua bekerja dari pagi
sampai sore sehingga tidak berkesempatan untuk ikut memperluas wawasan anak dan
memberi peluang untuk terciptanya berbagai kesempatan yang memungkinkan anak
memiliki pengalaman yang luas. Dengan alasan tekanan ekonomi, banyak orang tua
yang melalaikan tugas yang demikian itu. Akibatnya, anak tidak siap untuk menerima
perubahan-perubahan dalam mengikuti kegiatan sekolah.
Anggapan yang menyatakan bahwa semua anak mempunyai keinginan untuk
belajar membaca merupakan anggapan yang naif dan tidak realistis. Kenyataan
menunjukkan banyak anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, tidak mau
membaca. Motivasi mereka untuk belajar membaca sangat kurang. Mengapa hal ini
terjadi? Mungkin sekali, apa yang dilihat dan dialaminya di seputar lingkungan
terdekatnya (lingkungan keluarga dan tetangga) tidak mampu memberikan
pengalaman yang dapat merangsangnya untuk melakukan aktivitas membaca. Mereka
tidak pernah melihat orang tua mereka, atau pun anggota keluarga lainnya
menunjukkan perhatian yang layak terhadap membaca. Kakak-kakak mereka, teman-
teman, dan tetangga sepergaulan dengan mereka itu pun jarang atau bahkan tidak
berkesempatan untuk membaca buku, majalah, atau surat kabar di rumah. Mereka
tidak pernah mendapat dorongan atau alasan untuk belajar membaca.
Alasan lain yang menyebabkan anak tidak mempunyai motivasi untuk belajar
membaca ialah langkanya atau bahkan tiadanya kesempatan bagi mereka untuk
menikmati pengalaman indah dan berguna dari kegiatan membaca itu. Disebabkan
oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan latar belakang dan kesiapan mereka yang
serba kurang itulah, mereka datang ke sekolah dengan kesiapan yang tidak layak.
Karena mereka tidak memiliki kesiapan kegagalan pun menimpa, dan kegagalan itu
sering kali diukur oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca. Tidak seorang pun
menyukai kegagalan, karenanya tidaklah mengherankan jika asosiasi-asosiasi negatif
pun menimbuni kehidupan mereka. Kegagalan yang berlangsung secara terus-
menerus itu, tak dapat menumbuhkan memotivasi mereka untuk membaca, bahkan
sebaliknya, mendorong mereka untuk segera meninggalkan sekolah.
Faktor lain yang menyebabkan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak
mampu itu gagal ialah faktor fasilitas bahasa. Anak yang memiliki kemampuan
berbahasa yang layak untuk berkomunikasi dengan keluarganya ternyata tidak berarti
memiliki bahasa yang layak untuk bersekolah. Bahasa rumah dan bahasa lingkungan
(masyarakat) belum tentu merupakan bahasa sekolah. Patin (1964) menunjukkan
bukti bahwa sering kali anak yang memiliki bahasa masyarakat yang layak, tidak
mampu berbahasa formal. Bahasa sehari-harinya layak untuk menerima dan
menyampaikan informasi yang sederhana, meminta sesuatu, menyatakan persetujuan
atau penolakan. Bahasa mereka ditandai oleh sifat kesederhanaan, deklaratif, dan
imperatif. Struktur yang kompleks, klause-klause terikat, dan pola kalimat yang lebih
luas jarang ditemukan dalam bahasa sehari-hari. Karena bahasa sekolah itu
merupakan bahasa formal, sering kali anak-anak yang berasal dari keluarga tidak
mampu itu sudah mengalami kegagalan semenjak langkahnya yang pertama di
sekolah.
Temuan-temuan tersebut itu bersesuaian dengan temuan Thomas (1964). Di
daerah penelitiannya yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu, dia
memperoleh bukti bahwa anak-anak di daerah itu hanya memiliki 50% dari jumlah
kosakata yang biasa digunakan di sekolah. Mereka tidak dapat memahami dua puluh
sampai lima puluh persen kata-kata yang digunakan dalam buku-buku di tingkat
permulaan. Kondisi seperti itu akan merupakan awal kegagalan tumbuhnya minat
baca, sebab jika di antara 100 kata yang harus dibaca terdapat tiga buah (3%) kata saja
yang
3. Membaca Sebagai Suatu Proses Sensoris
Pada bagian 1.2 anda telah mempelajari kegiatan membaca sebagai proses
psikologis. Dalam kegiatan ini akan dibicarakan kegiatan membaca sebagai proses
sensoris.
Apa pun yang dapat kita katakan tentang membaca tidak dapat dipisahkan dari
kenyataan bahwa pada awalnya membaca itu merupakan proses sensoris. Isyarat dan
rangsangan untuk kegiatan membaca itu masuk lewat telinga dan mata, sedangkan
rangsangan huruf Braille masuk lewat syaraf-syaraf jari. Betapa pun cerdas, mantap,
dan siapnya jiwa seorang anak, tidaklah mungkin bisa belajar membaca jika dia tidak
mampu mengenali rangsangan materi cetak. Penjelasan tersebut tidak berarti bahwa
anak-anak yang cacat tidak akan dapat belajar membaca. Anak-anak mempunyai alat
kompensasi yang sangat banyak. Tidak pula dapat dikatakan bahwa ketunanetraan
dan ketunarunguan semata-matalah yang merupakan penyebab kegagalan membaca.
Pernyataan "membaca sebagai proses sensoris" tidak berarti memandang kegiatan
membaca itu sebagai proses sensoris semata-mata. Banyak hal yang terlibat dalam
proses membaca itu, dan ketidakmampuan membaca bisa disebabkan oleh berbagai
faktor yang bisa bekerja sendiri-sendiri atau bekerja secara serempak. Kepenatan,
kegelisahan, kebimbangan, ketidakpercayaan terhadap diri sendiri merupakan faktor-
aktor yang sering kali berbaur dengan cacat yang diderita seseorang, yang pada
akhirnya menyebabkan kegagalan dalam mencapai kemampuan membaca.
Kegiatan membaca dimulai dengan proses melihat. Stimulus masuk lewat
indra penglihatan, mata. Pada tingkat awal, anak menunjukkan kemampuan yang
secara umum disebut membaca. Pada saat permulaan itu anak mulai sadar bahwa
tanda dan lambang-lambang tertentu menunjukkan nama atau benda tertentu pula.
Kemudian secara berangsur, mereka mulai sadar bahwa jika lambang-lambang itu
dirangkai akan tersusun suatu pembicaraan; tersusun suatu pesan. Kapankah anak-
anak itu siap untuk membaca buku? Dengan kata lain, kapankah penglihatannya itu
siap untuk diperkenalkan dengan lambang-lambang tulis?
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pada umumnya anak mempunyai
kesiapan penglihatan untuk membaca pada usia 5-6 tahun. Pada usia tersebut anak
memiliki kompetensi koordinasi binakular, persepsi yang dalam, pemokusan
pengaturan, dan pengubahan perasaan secara bebas. Tetapi, pada usia tersebut anak
pun sudah berpenyakit pandangan jauh. Akan tetapi, karena anak itu merupakan
pribadi-pribadi dengan pola kepribadian yang berbeda dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, anda seyogianya memiliki pengetahuan yang layak tentang hal-hal
yang pantas diperhatikan.
Kelemahan penglihatan yang umum diderita anak ialah "kekeliruan kesiapan"
(refractive error), yang berarti tidak lain dari kondisi mata yang tidak terpusat. Salah
satu jenis keliru sipi ialah hipermetropia, atau pandangan jauh. Untuk mengetahui
kelemahan ini, idealnya di setiap sekolah harus disediakan alat uji penglihatan. Jalan
lain untuk mengatasi hal tersebut ialah bahwa siswa secara teratur dibawa ke
poliklinik terdekat untuk memeriksakan kesehatan penglihatannya atau mendatangkan
pihak kesehatan ke sekolah. Guru yang berpengalaman tidak akan memberi tugas
kepada anak-anak yang mempunyai kelemahan seperti itu untuk membaca benda-
benda yang terlalu dekat atau menyuruhnya membaca dalam waktu yang terlalu lama
secara terus-menenerus.
Jenis keliru sipi yang kedua adalah miopia, atau pandangan dekat. Penderita
miopia tidak sebanyak penderita hipermetropia pada permulaan pengajaran membaca.
Akibatnya pun tidak terlalu parah. Bahkan, penderita miopia yang moderat
memperlihatkan kesukaan terhadap kegiatan membaca.
Eror refraktif jenis ketiga ialah astigmatisme. Penderita cacat penglihatan ini
mempunyai jarak pandang yang tidak sama untuk kedua matanya; miopik atau
hipermetropik untuk salah satu matanya atau campuran antara keduanya. Meskipun
penyakit-penyakit tersebut tidak pernah dimasukkan ke dalam faktor penyebab
ketidakmampuan membaca, namun jelaslah peranannya sebagai faktor yang turut
serta menimbulkan ketidakmampuan membaca harus kita akui bersama. Eror refraktif
dapat menyebabkan ketidakbetahan, ketegangan, dan kekurangminatan terhadap
bahan bacaan.
Dapatkah anda menyebutkan faktor-faktor lain yang anda anggap sebagai
kendala dalam proses membaca? Ya, memang banyak. Untuk mengetahui adanya
gangguan tersebut, sebelas macam gejala yang berikut ini seyogianya anda perhatikan
baik-baik:
1) gerakan-gerakan muka,
2) mendekatkan bacaan ke muka,
3) ketegangan waktu melakukan aktivitas visual,
4) memencengkan kepala,
5) mendorong kepala ke depan,
6) badan ditegangkan tatkala melihat objek yang jauh,
7) sikap duduk yang tidak baik,
8) seringkali menggerak-gerakkan kepala,
9) sering menggosok-gosok mata,
10) menghindari pekerjaan visual yang rapat, dan
11) kehilangan tempat/batas waktu membaca.
Gejala-gejala yang tampak seperti indikator-indikator di atas bila digabungkan dengan
hasil tes mata merupakan prediktor yang baik untuk mengetahui cacat penglihatan.
Jika kegiatan membaca dikatakan bermula dari proses melihat, maka secara
umum, kesiapan membaca dimulai dari mendengarkan. Persiapan auditoris anak
dimulai dari rumah dalam bentuk pembinaan kosakata, menyimak efektif, dan
keterampilan membeda-bedakan ujaran. Jika seorang anak mendapat pengaruh jelek
dari cacat tubuh atau kondisi sosialnya, maka pengalamannya pun terbatas. Akibat
keterbatasan pengalaman itu akan segera tampak pada tingkat awal dalam upayanya
belajar membaca. Jika di rumahnya seorang anak menemukan kesulitan dalam
membeda-bedakan bunyi yang mirip, atau tidak dapat mengenali pelafalan tertentu
untuk sebuah kata, kita boleh percaya bahwa di sekolahnya pun dia akan menghadapi
kesulitan yang sama.
Anak-anak sebagai pembaca pemula harus mampu mendengar kesamaan di
antara bunyi-bunyi huruf yang ada dalam suatu kata, mendeteksi kata-kata yang
diawali dan dirakhiri oleh bunyi yang sama, dan mampu mendeteksi irama. Dalam
banyak kejadian, anak-anak yang tidak mampu melakukan hal tersebut dapat dilatih
untuk melakukannya. Jika pelatihan seperti itu tidak berhasil, maka latihan
pengenalan bunyi yang lebih berat seyogianya tidak diberikan kepadanya.
Hal yang perlu dicamkan oleh guru ialah bahwa bila seorang anak kehilangan
daya dengarnya namun masih mempunyai motivasi untuk belajar membaca, dia tidak
akan menemui kesulitan dalam penguasaan bacaannya itu sepanjang bahan ajar dan
proses pengajarannya diselaraskan dengan keadaan anak yang bersangkutan.
Kalaupun ada kesulitan, hal tersebut tidak akan menjadi rintangan baginya untuk
belajar membaca. Sebaliknya, seorang anak yang mempunyai cacat pendengaran yang
tidak seberapa bisa menemui kegagalan dalam penguasaan membaca jika dia tidak
memiliki motivasi, tidak percaya diri, dan tidak mendapatkan pengajaran yang layak
dan selaras dengan keadaannya.
4. Membaca Sebagai Proses Perseptual
Proses perseptual mempunyai kaitan erat dengan proses sensoris. Anda harus
waspada untuk tidak mempertukarkannya. Seperti dalam proses sensoris, secara
umum persepsi dimulai dengan melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan
meraba. Namun, dalam kegiatan membaca kita cukup memperhatikan dua hal yang
pertama saja, yakni melihat dan mendengar. Bertalian dengan hal tersebut banyak
orang yang secara keliru mencampurbaurkan penangkapan gelombang udara,
gelombang cahaya, dan gelombang rasa itu dengan keseluruhan proses persepsi.
Vernon (1962) memberikan penjelasan bahwa proses perseptual dalam
membaca itu terdiri atas empat bagian, yaitu: 1) kesadaran akan rangsangan visual;
2) kesadaran akan persamaan pokok untuk mengadakan klasifikasi umum kata-kata;
3) klasifikasi lambang-lambang visual untuk kata-kata yang ada di dalam kelas yang
umum; dan
4) indentifikasi kata-kata, yang dilakukan dengan jalan menyebutkannya.
Meskipun Vernon bermaksud memperuntukkan langkah-langkah tersebut bagi proses
membaca, namun hal tersebut dapat pula diterapkan pada persepsi auditoris. Pada
umumnya orang sepakat bahwa persepsi itu mengandung stimulus, asosiasi makna
dan interpretasinya berdasarkan pengalaman tentang stimulus itu, serta respon yang
menghubungkan makna dengan stimulus atau lambang.
Seperti telah disinggung di muka, langkah pertama, yaitu stimulus, sering kali
disalahartikan sebagai keseluruhan persepsi. Kekeliruan seperti itu mudah dikenal
dengan jalan mencamkan bahwa stimulus itu sendiri sesungguhnya tidak mempunyai
makna. Kita tidak memperoleh makna dari lambang atau bunyi itu, tetapi kita
membawa makna kepadanya. Sebagai contoh, kalau kita melihat sebuah titik hitam
pada selembar kertas, maka titik hitam itu tidak mempunyai makna apa-apa bagi anda.
Akan tetapi, jika titik hitam itu tampak di akhir deretan kata-kata yang berbentuk
kalimat, maka titik hitam itu mempunyai arti tanda berhenti di ujung kalimat. Jika
titik hitam itu tampak pada sebuah peta, maka anda boleh menginterpretasikannya
sebagai perlambang sebuah kota. Dalam konteks lain titik hitam itu bisa diberi makna
yang sama dengan lambang /e/ dalam kode Morse, atau sebagai tanda vokal dalam
bahasa orang Yahudi. Jika kita tidak pernah mengasosiasikan titik hitam itu dengan
makna apa pun, maka titik itu tidak akan pernah bermakna apa-apa.
Fungsi utama suatu stimulus atau rangsangan, sesuai dengan namanya, ialah
meminta. Bagian terpenting stimulus ialah kemampuannya mengisolasikan dan
membedakan berbagai stimuli. Sebelum seorang anak dapat merespon perbedaan
antara /b/ dan /d/, ia harus terlebih dahulu dapat membedakan kedua lambang itu.
Sebaliknya, pengenalan terhadap /b/ yang berbeda dengan /d/, atau bunyi /be/ yang
berbeda dengan bunyi /de/, tidaklah memberikan makna apa pun. Meskipun yang
demikian itu merupakan persepsi, bagi anak hal tersebut hanyalah merupakan
masukan permulaan yang mempermudah proses pengenalan dan identifikasi.
Langkah kedua dalam persepsi, yakni asosiasi antara makna dan stimulus
mempunyai kaitan yang erat dan jelas dengan langkah pertama yang merupakan
isolasi stimulus. Sesungguhnya kedua langkah tersebut bersifat komplementer.
Semakin mudah kita dapat mengisolasikan dan mengidentifikasikan suatu stimulus,
semakin mudah pulalah bagi kita untuk mengasosiasikan makna dengan stimulus itu.
Semakin banyak makna yang dapat kita berikan kepada stimulus, maka semakin
mudah pulalah bagi kita untuk mengenalinya. Bagian terpenting dari diskriminasi
stimuli meliputi adanya alasan untuk melakukan diskriminasi. Meskipun /T/ dan /H/
berbeda karena perbedaan yang tampak pada garis-garis yang horizontal dan yang
vertikal yang tampak pada keduanya, perbedaan itu tidak akan menjadi jelas sebelum
anak mengetahui bahwa kedua huruf tersebut mempunyai bunyi yang berbeda dan
bahwa jika digabungkan dengan huruf-huruf lain dapat membentuk kata tertentu.
Sama halnya, jika anak tidak mempunyai pengalaman mengenai perbedaan antara
bang dan bank, kesadaran atas perbedaan antara keduanya itu akan tetap tinggal pada
tingkat stimulus dan tidak mengubah persepsinya mengenai makna yang dinyatakan
oleh kedua kata tersebut.
Sampai di sini kita baru membicarakan persepsi stimuli dalam bentuk huruf
dan kata. Sesungguhnya, persepsi stimuli itu mempunyai sifat yang sama untuk
bentukan-bentukan yang berupa kalimat, paragraf, bab, bahkan cerita. Makna
perseptual itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman lalu, latar
belakang budaya, dan asosiasi emosional dan fisik.
Anak-anak berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Anak yang
banyak dibacakan bacaan oleh orang tuanya dan dikelilingi tumpukan buku dan
majalah serta diteladani oleh orang tua dan saudara yang cinta membaca, akan
mempunyai persepsi yang berbeda terhadap membaca dengan persepsi anak yang
tidak memiliki latar belakang seperti itu. Anak yang pernah mengikuti pendidikan TK
(Taman Kanak-kanak), banyak berkunjung ke toko buku, banyak berdarma wisata,
yang berkesempatan untuk berbicara secara bebas dengan orang tuanya dan teman-
temannya, mempunyai persepsi yang berbeda dengan anak-anak yang sama sekali
tidak pernah mengenal latar belakang kehidupan seperti itu.
Hal lain yang tidak boleh diremehkan dalam proses perseptual ialah faktor
emosional dan faktor fisik. Kedua-duanya mungkin sekali mempunyai pengaruh yang
besar terhadap persepsi anak dan terhadap kata atau kejadian tertentu. Anak yang
tidak merasa betah karena gangguan emosi dan fisik yang dialaminya tidak akan dapat
berfungsi pada tingkatan potensi yang semestinya. Pengalaman yang dibawanya pada
saat dia berpersepsi itu mungkin menjadi terbatas dan terkendala. Pengalaman
menunjukkan kepada kita bahwa meskipun kebutaan dan kepekakan tidak perlu
menjadi penyebab kegagalan, namun keduanya bisa berbaur dengan faktor-faktor
lainnya sehingga menjadi sumber utama kegagalan. Anak yang merasakan kegiatan
membaca itu sebagai pengalaman yang meresahkan dan menakutkan boleh dipastikan
akan menjadi pembaca yang ogah-ogahan.
Sifat dan intensitas pengalaman emosional yang dibawa seorang anak dallam
menghadapi sebuah kata atau suatu kejadian t ertentu dapat memberi warna atau
menodai makna kata atau kejadian yang dihadapinya itu. Anak yang mempunyai tikus
piaraan akan mempunyai persepsi yang sangat berbeda dengan persepsi anak yang
dibesarkan dalam keluarga Yahudi di daerah minoritas di tengah kota kalau kepada
keduanya disajikan sebuah cerita tentang tikus. Kata salju mungkin akan memberikan
bayangan suasana yang gembira ria, berpacu meluncur di salju, mungkin pula
memberikan bayangan yang membosankan, kedinginan, dan kesengsaraan. Kadang-
kadang bisa terjadi bahwa rasa berlebihan terhadap sebuah kata itu mengubah makna
kata tersebut secara berlebihan pula sehingga maknanya berubah sama sekali.
Untuk mengembangkan kemampuan membaca, anak harus pula dapat
memodifikasi dan menghubungkan pengalamannya dengan stimulus-stimulus yang
ada dalam konteks dan lingkungan yang sedang dialaminya dalam membaca. Dengan
kata lain, pada setiap anak haruslah terjadi semacam mediasi pengalihan pengalaman.
Persepsi itu sesungguhnya merentang di antara batas-batas daerah yang sangat luas,
mulai dari daerah-daerah yang konkret, sangat nyata dan khusus, sampai pada hal-hal
yang abstrak dan generik. Pada batas-batas terakhir yang bersifat abstrak dan generik
itulah konseptualisasi terjadi. Pada daerah itulah anak dituntut berkemampuan untuk
menggeneralisasikan, menganalisis, dan menyintesis, dan sebagainya.
Meski betapapun luasnya pengalaman seorang anak, dia masih akan
menyadari banyaknya konsep yang belum diketahuinya. Meskipun dia sudah
mengetahui sejumlah konsep, namun banyak pula di antara konsep yang sudah
diketahuinya itu yang belum bisa diangkatnya sampai pada taraf konseptualisasi yang
jelas dan berarti. Dengan kata lain, keterbatasan anak itu tidak disebabkan oleh
keterbatasan pengalamannya semata-mata, tetapi juga oleh tingkat kemampuan
mentalitasnya.
Anak biasanya terlebih dahulu mempelajari konsep-konsep yang konkret dan
spesifik. Burung adalah merpati yang pernah dilihatnya dalam sebuah sangkar milik
kakaknya; bunga adalah mawar yang tumbuh dalam sebuah pot kecil di serambi
rumahnya. Lama sesudah itu barulah dia tahu bahwa burung itu bermacam-macam,
ada merpati, ada balam, ada perkutut, punai, dan sebagainya. Demikian juga dengan
kata bunga. Bunga itu bermacam-macam warnanya, ukurannya, bentuknya, wanginya,
jenisnya, dan sebagainya. Setelah pengalamannya berkembang, dia pun akan belajar
bahwa orang tidak hanya minum dari sebuah cangkir besar. Orang bisa minum
dengan menggunakan cangkir kecil, macam-macam gelas, bahkan minum dengan
sedotan dari sebuah kotak karton. Anak akan mampu pula mengembangkan
konsepnya tentang cangkir. Sewaktu bermain rumah-rumahan, anak akan
menggunakan benda-benda tertentu sebagai cangkir.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa anak seyogianya sudah
berpengalaman banyak sebelum dia untuk pertama kalinya mengenal huruf-huruf,
kata-kata, dan kalimat dalam wacana. Semakin luas dan bervariasi pengalaman
seorang anak, semakin luas pulalah terbuka kesempatan baginya untuk
mengembangkan konsep-konsep dan memperbaiki persepsinya. Melalui berbagai
kegiatan seperti karya wisata, permainan, dan berbagai kegiatan kelas, guru akan
dapat membekali murid-muridnya dengan pengalaman yang bermanfaat. Penampilan
audio-visual, cerita, gambar, dan nyanyian pun dapat menambah pengalaman anak.
Oleh karenanya, waktu khusus untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seperti itu tidak
hanya penting tetapi juga sangat esensial.
Dari pembicaraan sekilas mengenai membaca sebagai proses perseptual
seperti yang diuraikan di atas itu pun kita dapat menyadari bahwa membaca itu sangat
kompleks. Persepsi itu berpengaruh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
jumlahnya itu banyak dalam membaca. Kita lihat bahwa proses persepsi itu tidak
hanya dipengaruhi oleh pikiran, tetapi oleh kebudayaan, pengalaman, emosi,
kematangan, dan bahkan kepribadian juga. Meskipun persepsi seorang anak bisa
merapuh sebagai akibat dari adanya berbagai faktor perusak, guru dapat mengurangi
bahkan mengatasi kerapuhan itu dengan jalan memberikan berbagai pengalaman
kepada murid-muridnya itu. Guru dapat mengadaptasi dan memodifikasi berbagai
pengalaman sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, sehingga kesempatan
untuk mengembangkan persepsi itu bisa berlangsung dengan sebaik-baiknya.
5. Membaca Sebagai Proses Perkembangan
Membaca itu pada dasarnya merupakan suatu proses perkembangan yang
terjadi sepanjang hayat seseorang. Kita tidak tahu kapan perkembangan itu dimulai,
dan bilamana berakhir. Namun, kita tahu bahwa kesehatan seorang ibu yang rawan
waktu mengandung atau berbagai komplikasi yang terjadi waktu bayi itu lahir pasti
berakibat buruk terhadap kemampuan membaca anak itu kelak. Kita tahu bahwa anak-
anak tertentu mempunyai kesiapan belajar membaca lebih cepat daripada anak-anak
lainnya, dan ada pula anak-anak yang memiliki kesiapan yang sangat dini, pada usia
empat bahkan tiga tahun. Kita juga tahu bahwa anak-anak yang lain bisa membaca
baru pada usia enam atau tujuh tahun. Setiap orang mempunyai kecepatan
perkembangan kemampuan membaca seumur hidupnya dengan kecepatan yang
berbeda-beda. Pendek kata, membaca itu merupakan proses yang berkelanjutan dan
berubah.
Seberapa pun kemampuan membaca seseorang, kemampuannya itu selalu
dapat diperbaiki dengan berbagai upaya. Seseorang yang telah menamatkan
sekolahnya akan merasa perlu meningkatkan kemampuan membacanya itu jika orang
tersebut mempunyai hasrat untuk mempertahankan hidupnya itu secara layak.
Seseorang yang memilih lapangan kerja tertentu akan dituntut untuk mengembangkan
keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaannya itu. Seorang operator
telepon dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk membaca nomor-nomor telepon
dan angka-angka digital dengan cepat; seorang arsitek harus mapu membaca gambar
cetak biru secara baik dan cekatan, kalau dia tidak mau tersesat, demikian seterusnya.
Pekerjaan baru, tanggung jawab perorangan dan tanggung jawab sosial yang baru,
suasana hidup yang baru, semuanya menuntut suatu perkembangan yang berlanjut
dalam bidang membaca.
Meski membaca itu merupakan proses perkembangan, geraknya tidaklah
berada dalam jarak-jarak yang beraturan dan tidak pula tertentu waktunya. Seorang
anak bisa berdiri pada usia tujuh bulan, berjalan pada usia delapan bulan, dan lari
pada usia sembilan bulan. Kemampuan yang demikian teratur jaraknya itu tidak dapat
kita harapkan terjadi pada setiap anak. Demikian juga untuk perkembangan
kemampuan membaca, guru harus mempunyai kejelian dalam memperhatikan
kemajuan setiap anak didiknya. Kemajuan kemampuan membaca pada umumnya
memang bergerak teratur, namun keistimewaan-keistimewaan tertentu bisa terjadi
pada setiap anak. Masalah yang dihadapi anak ada yang bersifat problematik dan ada
pula yang bersifat alami. Anak yang tidak dapat membaca karena belum cukup
matang, akan menuntut kesabaran guru untuk menanti dia sampai pada tingkat
kematangannya. Kesiapan anak didik itu harus dikembangkan pada setiap taraf
perkembangan kemampuannya. Setiap perkembangan baru itu sesungguhnya
merupakan kelanjutan dari perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk
menjamin adanya kesiapan anak pada tingkat perkembangan yang berikutnya, guru
harus betul-betul menyiapkan kesiapan anak tersebut pada taraf sebelumnya.
Dalam upaya mencamkan membaca sebagai proses perkembangan, ada dua
hal yang perlu mendapat perhatian guru. Pertama, guru harus selalu sadar bahwa
membaca merupakan sesuatu yang diajarkan/dilatihkan dan bukan sesuatu yang
terjadi secara insidental. Tidak ada seorang anak yang dapat membaca dengan jalan
menonton orang lain membaca. Sebagian besar yang terjadi dalam membaca itu tidak
dapat dilihat. Membaca bukanlah proses instinktif. Membaca merupakan proses yang
dipelajari dan bergantung pada pemerolehan keterampilan dan prosedur tertentu.
Anak boleh memahami membaca sebagai suatu jenis komunikasi dan bahwa
lambang-lambang tertentu itu berupa kata. Namun, dia belum boleh dikatakan
membaca sebelum guru mengajarinya mendekod atau mengubah dan mengidentifikasi
lambang-lambang itu dengan konsep-konsep tertentu dan dengan pengalamannya
sedemikian rupa sehingga dia memperoleh pengertian yang tepat.
Hal yang kedua yang patut diperhatikan ialah keyakinan bahwa membaca
bukanlah suatu subjek melainkan suatu proses. Guru tidak boleh memandang mata
pelajaran yang dikelolanya itu sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Mata pelajarannya harus menarik dan layak. Proses itu dapat
digeneralisasikan terhadap tingkatan-tingkatan lain yang lebih tinggi dan terhadap
mata pelajaran lainnya.
Peran membaca sebagai tugas menurun tajam pada peringkat sekolah menengah
pertama dan menengah atas. Oleh karena itu, pengajaran membaca terus berlangsung
dalam jamjam pelajaran bahasa. Pengajaran membaca bisa juga berupa pengajaran
membaca untuk makna, pengembangan kosakata, membaca pemahaman, dan
pelajaran keterampilan. Akhirnya membaca itu harus dipandang sebagai alat dan
bukan sebagai tugas. Anak yang mampu menguasai berbagai tingkatan proses
membaca akan merasakan membaca sebagai sumber pertolongan terpenting dalam
menghadapi segala persoalan dalam kehidupannya sehari-hari.
6. Membaca Sebagai Proses Perkembangan Keterampilan
Telah dilukiskan secara panjang lebar bahwa membaca itu merupakan latihan yang
sangat kompleks, dan sangat tergantung pada bermacam-macam faktor. Sifat proses
perkembangan keterampilan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Keterampilan itu objektif.
Salah satu hal yang mula-mula kita sadari waktu meneliti proses perkembangan
keterampilan membaca ialah bahwa perkembangan keterampilan membaca itu bersifat
objektif. Hal tersebut dipandang objektif karena dalam perkembangannya tidak
bergantung kepada materi, metode, atau pun tingkatan-tingkatan akademis.
Salah satu bagian terpenting dari proses perkembangan itu ialah identifikasi
keterampilan yang akan diajarkan. Jika keterampilan tertentu sudah dapat
diidentifikasi, maka guru dapat menggunakan salah satu metode yang dianggap paling
cocok dari sekian banyak metode yang ada serta memilih dan menentukan materi
bacaan yang cocok pula dengan kebutuhan anak didiknya. Seorang anak mungkin
menghendaki pembelajaran melalui program visual, sedangkan anak yang lain akan
merasa lebih mudah belajar membaca itu melalui pendengaran, dan yang lain lagi
melalui latihan kinestetik. Meskipun buku bacaan permulaan menyajikan materi yang
layak, anda mungkin mempunyai keinginan untuk menggunakan surat kabar, majalah,
dan katalog untuk mengajarkan membaca kepada pembaca dewasa.
Anda tahu bahwa perkembangan keterampilan itu tidak terikat pada materi dan
metode tertentu atau pun pada tingkatan kelas. Pada hakikatnya, keterampilan itu
adalah keterampilan. Kita tidak mengenal keterampilan anak peringkat satu atau anak
kelas enam atau kelas delapan. Berdasarkan hal tersebut, anda sebagai guru dituntut
untuk menyadari seluruh keterampilan. Supaya sampai pada faktor-faktor yang
diperlukan anak pada suatu tingkatan perorangan, anda harus mengetahui
keterampilan yang mana yang mendahului keterampilan yang sedang diajarkan itu,
dan keterampilan mana yang mengikutinya.
2) Keterampilan itu mempunyai sifat berlanjut.
Meskipun keterampilan itu tidak terikat pada tingkatan kelas anak, namun kaitannya
tetap tampak. Ini tidak berarti bahwa anda harus mengajarkan konsonan awal sebelum
mengajarkan konsonan akhir, tanda titik sebelum tanda tanya, atau membaca fakta
sebelum membaca untuk mencari ide utama. Anak akan mampu mencari materi
sumber secara mandiri setelah menguasai keterampilan-keterampilan prasyarat.
3) Keterampilan itu bisa digeneralisasikan.
Di samping objektif dan bertahap, keterampilan itu bersifat tergeneralisasikan.
Keterampilan dasar dalam membaca dapat digeneralisasikan sehingga anak yang telah
menguasai keterampilan tersebut dituntut untuk dapat menerapkannya kapan saja dan
di mana saja jika situasinya menghendaki penggeneralisasian hal itu. Jika anak telah
menguasai cara memahami kata secara mandiri, baginya tidak akan merupakan
masalah di mana pun kata itu berada, baik dalam teks matematika, buku latihan
geografi, atau pun di dalam sebuah novel. Penggunaan konteks kalimat dalam upaya
memahami makna kata merupakan keterampilan yang sama dan tidak terikat pada
mata pelajaran yang mana pun.
Dalam perkembangan keterampilan dikenal tahapan-tahapan, atau tingkatan-
tingkatan. Kata tahapan atau tingkatan dalam pembicaraan tentang proses
perkembangan keterampilan tidak mempunyai arti tingkat-tingkat yang berlainan
makna. Seorang anak tidak perlu berhenti berkembang untuk keterampilan tertentu
karena dia harus mulai mengembangkan keterampilan lainnya.
a) Dasar proses perkembangan keterampilan ialah perkembangan konsep. Hal tersebut
dimulai dengan pengalaman anak yang pertama kali yang terus berkembang seumur
hidupnya. Perkembangan konsep itu merupakan prasyarat untuk membaca, sama juga
halnya untuk menyimak dan berbicara. Pengembangan konsep itu merupakan bank
pengetahuan yang bagi anak berfungsi sebagai tempat menyimpan dan mengambil
informasi secara terus-menerus. Dalam pertumbuhannya itu anak-anak tumbuh dan
berubah, demikian juga perbendaharaan konsepnya akan terus tumbuh dan berubah-
ubah.
Pertumbuhan dan perubahan konsep anak banyak bergantung pada latar belakang
pengalamannya. Anak yang mempunyai satu macam lingkungan saja, tingkat
komunikasi yang itu-itu juga, serta pengalaman yang sejenis, akan terhambat
perkembangan kosakatanya. Anak mengenal makna kata-kata itu melalui penyimakan
penggunaannya dan upaya penggunaannya sendiri.
b) Tahap perkembangan yang kedua merupakan pengenalan dan identifikasi. Pada
waktu anak membina dasar-dasar konsep yang pertama, dia mulai pula
menghubungkan konsep-konsepnya itu dengan stimuli tertentu. Contoh yang jelas
mengenai hal ini dalam kegiatan membaca, misalnya terjadi pada pengenalan huruf
dan kata. Dia belajar menghubungkan huruf dan kata atau kombinasi huruf dan
kombinasi kata itu dengan konsep-konsep yang bermakna baginya. Jika dia berhasil
mengombinasikan keduanya, yakni stimulus dan konsep, maka dia pun memperoleh
makna dari pengalamannya itu.
c) Tahapan ketiga, perkembangan itu merupakan interpretasi mengenai informasi.
Anda tentu tahu bahwa anak sudah mulai melakukan kegiatan penginterpretasian
informasi itu sejak awal proses, meskipun upayanya itu belum jelas. Dalam hal ini,
kita perlu membedakan dua macam interpretasi, yakni yang literal dan yang
inferensial. Interpretasi literal ialah interpretasi fakta ketika fakta itu dihadapkan.
Contoh interpretasi literal yang merupakan keterampilan pemahaman tampak pada
kalimat dan pertanyaan di bawah ini.
Columbus menemukan benua Amerika tanggal 12 Oktober 1492.
(1) Siapakah yang menemukan Amerika?
(2) Kapankah Columbus menemukan Amerika?
(3) Negeri apakah yang ditemukan Columbus?
Meski contoh itu terlalu disederhanakan, bentuknya sama dengan tes untuk
mengetahui interpretasi literal. Anda melihat bahwa tugas tersebut tidak lebih dari
sebuah suruhan untuk mencocokkan fakta dengan pertanyaan. Jika anak tidak
diizinkan melihat kembali kalimat-kalimat stimulus tadi, berarti kita telah
memasukkan unsur ingatan ke dalamnya.
Pernyataan stimulus yang sama boleh digunakan sebagai dasar pertanyaan yang
bersifat inferensial, misalnya, Menurut pikiranmu, bagaimana kira-kira perasaan
Columbus saat melihat Amerika untuk pertama kali? Pertanyaan yang terakhir ini
mengubah isi harapan; oleh sebab itu, mengubah pula isi penugasan.
Perbedaan utama antara interpretasi literal dan interpretasi inferensial terletak pada
harapan siswa itu sendiri. Sifat ekstrinsik seperti yang tampak pada ketiga pertanyaan
pertama dan sifat intrinsik seperti yang tampak pada pernyataan yang terakhir
merupakan hal yang perlu dipahami. Untuk melukiskan perbedaan antara interpretasi
literal dan inferensial cobalah perhatikan paragraf berikut ini dan pertanyaan-
pertanyaan yang mengikutinya yang bersifat inferensial.
Joko menaruh sepeda barunya di trotoar persis di depan rumah Kino. Kino melihat-
lihat sepeda itu. Dia ingin benar memiliki sepeda baru seperti itu. Kepunyaannya
sudah tidak keruan catnya, bunyi-bunyi berdenyit dan gemertak pun terdengar jika
Kino menaikinya. Akan tetapi, sepeda baru sangat mahal sekarang, sedangkan Kino
sangat miskin.
Pertanyaan
(1) Bagaimana kamu tahu bahwa Kino tidak mempunyai sepeda baru?
(2) Di manakah cerita itu terjadi?
A. di desa
B. di kota
C. di daerah perkebunan
(3) Menurut pikiranmu, apa sebabnya Joko mau supaya Kino melihat sepeda barunya
itu?
Bagaimana pendapat anda mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas? Untuk
menjawab ketiga pertanyaan itu diperlukan tiga macam informasi. Ada tiga macam
informasi untuk menjawab pertanyaan yang pertama: (1) Kino ingin sekali sepeda
baru; (2) Sepeda Kino sudah berbunyi-bunyi dan tidak keruan lagi catnya; dan (3)
Kino sangat miskin.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, hanya ada satu informasi yang bisa digunakan,
yaitu "Baik di desa maupun di perkebunan tidak ada trotoar". Oleh sebab itu, dapatlah
dipastikan bahwa kejadian itu berlangsung di kota.
Terhadap pertanyaan ketiga tidak ada jawaban yang benar yang bisa diberikan. Kita
tidak mempunyai fakta sebagai dasar jawaban kita. Dalam hal ini setiap jawaban yang
logis haruslah dianggap benar. Jawaban kita mungkin mencerminkan pengalaman
yang mempunyai kesamaan dengan alasan untuk menunjukkan benda baru yang kita
miliki.
Dengan demikian inferensi itu meliputi interpretasi dan kombinasi fakta dan
pengalaman apa pun yang kita miliki yang dapat kita gunakan untuk memenuhi
harapan kita. Pada satu waktu tertentu inferensi itu bisa meliputi analogi, pengenalan,
penginterpretasian, dan penerjemahan atas suatu fakta. Pada waktu yang lain lagi
inferensi itu bisa menuntut kita untuk memintasi pengalaman pribadi pada waktu
berupaya untuk mengidentifikasi secercah informasi yang mempunyai relevansi
dengan harapan.
d) Tahap proses perkembangan keterampilan yang keempat ialah aplikasi dan
generalisasi. Meskipun sudah memiliki dasar konsep yang boleh dikatakan layak dan
menguasai keterampilan-keterampilan yang terlibat ke dalam rekognisi atau
pengenalan, pengidentifikasian, dan penginterpretasian informasi, namun prosesnya
belum tentu lengkap. Dia boleh jadi belum memiliki kemampuan untuk menerapkan
dan menggeneralisasikan keterampilan dan informasi yang diperolehnya itu. Dia tidak
akan sampai pada taraf pembaca yang mandiri sebelum memiliki kemampuan
tersebut.
Kita dapat melihat contoh-contoh penerapan dan penggeneralisasian itu pada setiap
tahapan proses perkembangan. Generalisasi dan interpretasi itu merentang dari
pengenalan, seperti pengenalan ciri-ciri melati, ros, dan kenanga sebagai bunga, /c/
kecil, /C/ kapital, dan /c/ tulisan tangan itu dibunyikan sama. Kemampuan anak itu
belum cukup jika berhenti pada sebatas pengenalan semata. Dia baru boleh dianggap
menguasai informasi itu jika sesudah mengenalinya, dia mampu pula
mengaplikasikannya dan menggeneralisasikannya.
RANGKUMAN
Dalam bab ini telah diuraikan secara ringkas mengenai proses membaca. Proses
membaca dimaksud merupakan proses psikologis, proses sensoris, proses perseptual,
proses perkembangan, dan proses perkembangan keterampilan. Tekanan utama
pembicaraan diletakkan pada keyakinan yang menyatakan bahwa membaca
merupakan proses yang berorientasi individual. Setiap anak merupakan pribadi yang
unik dan kompleks, yang mempunyai hubungan yang kompleks dengan membaca.
Hanya dengan jalan memahami semuanya itu dan mencamkannya dalam kegiatan
belajar mengajar, anak akan dapat kita tolong untuk mencapai potensi membacanya.
Perlu anda maklumi bahwa bab ini tidak sekali-kali dimaksudkan untuk melukiskan
proses membaca itu secara pasti. Dengan membaca dan memahami isi bab ini, anda
diharapkan memiliki pandangan yang terarah pada masalah yang mungkin anda
hadapi dalam tugas anda. Denagn jalan melihat proses itu dari berbagai sudut
pandang, anda akan mempunyai pengertian yang lebih baik mengenai hakikat
membaca. Anda boleh yakin bahwa dengan memiliki pengertian yang lebih baik akan
dapat membekali setiap anak dalam kelas dengan pengalaman yang lebih berarti.
SEKAPUR SIRIH
MODUL 1: HAKIKAT MEMBACA
PENDAHULUAN
Kegiatan Belajar 1: Membaca sebagai Proses Psikologis
Rangkuman
Latihan
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Membaca sebagai Proses Sensoris
Rangkuman
Latihan
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Membaca sebagai Proses Perseptual
Rangkuman
Latihan
Tes Formatif 3
Kegiatan Belajar 4: Membaca sebagai Proses Perkembangan
Rangkuman
Latihan
Tes Formatif 4
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
MODEL-MODEL MEMBACA
( Teori dan Praktek dalam Pengajaran Membaca)
PENDAHULUAN
Sampai sekarang di kalangan guru sekolah masih hidup suatu keyakinan,
bahwa pandangan seseorang terhadap suatu teori tertentu akan melandasinya dalam
bersikap dan bertindak. Pandangan ini disitir dari pernyataan Wardhaugh (1969), yang
berarti kira-kira "sesungguhnya bagi guru sekolah tidak ada yang lebih praktis
daripada suatu teori yang baik". Pengajaran yang baik ialah pengajaran yang didasari
oleh suatu pemahaman dan pengertian teoretis yang baik terhadap suatu teori tertentu.
Teori adalah penjelasan yang abstrak tentang suatu kejadian tertentu atau
tentang seperangkat fenomena. Sebagai contoh, ambillah teori kinetik tentang gas
yang menjelaskan pola gas di alam ini. Teori itu menganut pandangan bahwa gas itu
tersusun atas partikel-partikel yang bergerak terus-menerus. Istilah teori mempunyai
kedekatan makna dengan istilah model. Model dapat diartikan sebagai definisi
operasional tentang suatu teori tertentu.
Kembali kepada contoh kita tentang teori kinetik. Teori kinetik mengenai gas
mempunyai banyak model. Namun, tidak selayaknya dibicarakan di sini semuanya.
Untuk memahami arti kata "model" baiklah kita ambil satu contoh saja. Model yang
paling umum diterima adalah model yang menyatakan bahwa pola gas itu merupakan
suatu fungsi efek tekanan, panas, dan volume terhadap molekul-molekul gas tertentu.
Teori kinetik untuk gas itu, baik teorinya sendiri maupun modelnya, kedua-duanya
mempunyai sifat yang formal, cermat, dan spesifik, meliputi sejumlah hukum yang
valid, yang biasa dinyatakan dengan rumus yang dikenal dan bisa dipahami oleh
siswa tingkat lanjutan atas.
Dalam bab ini anda akan memperoleh keterangan tentang teori dan model
membaca yang mempunyai sifat yang tidak sama dengan teori dan model yang telah
disinggung di atas tentang teori kinetik itu. Model-model membaca tersebut
mempunyai pengruh yang penting terhadap pengajaran membaca. Karenanya anda
perlu mempelajarinya dengan baik. Sayang, uraian mengenai hal ini belum ada yng
ditulis dalam bahasa Indonesia. Mudah-mudahan dengan mempelajari bab ini anda
akan memperoleh gambaran yang cukup baik tentang model-model membaca.
Secara lebih khusus, anda diharapkan dapat memahami model-model
membaca yang terpenting, yang meliputi:
a) menjelaskan "model membaca bawah-atas";
b) menjelaskan "model membaca atas-bawah";
c) menjelaskan "model membaca interaktif";
d) mengidentifikasi komponen-komponen model membaca;
e) mengaplikasikan model pengajaran membaca yang berlandaskan teori tertentu.
2. Model Membaca Bawah-Atas (MMBA)
Model membaca sangat berkaitan dengan proses membaca. Studi yang
sistematis tentang proses membaca dimulai sejak tahun 1880-an. Pada waktu itu
proses membaca merupakan pusat perhatian para ahli psikologi eksperimental. Di
antara tahun 1950-an dan tahun 1960-an perhatian para ahli diarahkan pada definisi
dan penjelasan tentang membaca. Semenjak tahun 1970-an timbul model-model dan
teori membaca yang bertitik tolak dari pandangan ahli psikologi perkembangan dan
psikologi kognitif, proses informasi, psikolinguistik dan linguistik.
Para ahli membaca mencari penjelasan yang lebih terinci mengenai proses
membaca dan penjelasan teoretisnya mengenai hal tersebut. Model membaca itu
ternyata tidak hanya satu melainkan banyak model. Namun, model-model proses
membaca tersebut tampaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi model,
yakni:
1) Model Membaca Bawah-Atas (MMBA) atau bottom-up;
2) Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) atau top-down; dan
3) Model Membaca Timbal Balik (MMTB) atau interactive.
Sebelum membaca penjelasan tentang ketiga model tersebut, sebaiknya Anda
mencamkan bahwa tidak satu pun di antara ketiga model itu dapat diterima sebagai
model yang terbaik. Setiap model mempunyai titik berat perhatian terhadap aspek-
aspek tertentu. Tidak ada model yang membicarakan fase-fase proses membaca itu
secara keseluruhan.
Gambar di bawah ini melukiskan perbedaan pokok antara MMBA dan
MMAB.
Pada MMBA struktur-struktur yang ada dalam teks itu di anggap sebagai
unsur yang memainkan peran utama. Struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan
sebelumnya merupakan hal yang sekunder. Sebaliknya, MMAB beranggapan bahwa
struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya memainkan peranan
utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder.
MMBA pada dasarnya merupakan proses penerjemahan, dekode dan enkode.
Dekode ialah kegiatan mengubah tanda-tanda menjadi berita. Enkode ialah kegiatan
mengubah berita menjadi lambang-lambang. Peristiwa dekoding tampak pada pihak
penyimak (dalam peristiwa komunikasi lisan) dan para pembaca (dalam peristiwa
Memori Jangka Panjang
MMAB (Top down)
Memori Jangka Pendek
Memori Ikonik
Pemahaman (Makna)
Kode Bunyi (Pola Bunyi)
Kode Visual (Pola Visual)
MMBA (Bottom Up)
komunikasi tulis). Sementara kegiatan enkoding terjadi pada para pembicara (untuk
peristiwa komunikasi lisan) dan para penulis (untuk peristiwa komunikasi tulis).
Pada MMBA pembaca akan memulai proses membacanya dengan pengenalan
dan penafsiran terhadap huruf-huruf atau unit-unit yang lebih besar dari huruf yang
terdapat dalam materi cetak. Setelah itu, barulah dia melakukan antisipasi terhadap
kata-kata yang diejanya itu. Setelah kata-kata teridentifikasi segera didekode dalam
bahasa batin. Di situlah tempat pembaca memperoleh makna. Proses ini sama seperti
yang terjadi pada waktu menyimak.
Jika kita lihat proses membaca dengan MMBA, tampaknya yang memainkan
peranan utama dalam proses membaca tersebut adalah unsur teks. Informasi dari teks
(dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk diidentifikasi dan
dincari maknanya. Proses ini akan terjadi manakala seorang pembaca berhadapan
dengan materi-materi bacaan baru yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Membaca pemahaman dianggap sebagai hasil otomatisasi kerja visual dan
pikiran yang diperoleh dari pengenalan kata secara cermat. Para penulis berbagai
bidang profesi, seperti: Flesch (jurnalistik , Gagne (psikologi), dan Gough (teori
proses informasi) berpendapat bahwa membaca itu pada dasarnya adalah terjemahan
lambang grafik ke dalam bahasa lisan. Mereka berpendapat bahwa bahasa tulis itu
tunduk kepada aturan bahasa lisan.
Mempelajari apa yang dikatakan lambang tercetak merupakan kegiatan satu-
satunya dalam proses membaca model bawah atas. Menurut MMBA, tugas pertama
dan utama dalam membaca ialah mendekode lambang-lambang tertulis itu menjadi
bunyi-bunyi bahasa. Peran pembaca bersifat relatif pasif dalam proses penerjemahan
itu. Satu-satunya pengetahuan yang disiapkannya ialah pengetahuan tentang
hubungan antara lambang dan bunyi. Jelaslah bahwa menurut MMBA teks bacaan itu
diproses oleh pembaca tanpa informasi yang mendahuluinya, tanpa ada hubungannya
dengan isi bacaan.
Definisi-definisi membaca yang dibuat oleh Rudolf Flesch dan C.C. Fries
yang tertera di bawah ini menunjukkan model membaca bawah-atas.
Fries (1962), mendefinisikan membaca sebagai kegiatan mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan merespon seperangkat pola yang terdiri atas lambang-lambang
grafis.
Model-model pemikiran yang sejalan dengan MMBA itu melahirkan metode-
metode pengajaran membaca tertentu. Para guru membaca akan memilih metode-
metode pengajaran tertentu sesuai dengan pandangan teoretis yang dianutnya. Inilah
yang oleh Wardaugh disebut sebagai pandangan seseorang terhadap sesuatu
dipengaruhi oleh pandangannya terhadap teori tertentu yang dianutnya. Metode-
metode pengajaran membaca yang dipandang sebagai cerminan dari pandangan
MMBA antara lain, metode Alfabet, metode Fonik, metode Kata Kunci, metode
Silabik, dan sebagainya.
Metode Alfabet merupakan metode pengajaran membaca yang tertua. Dalam
zaman keemasan Yunani dan Roma orang mengajarkan membaca denagn Metode
Alfabet. Dalam Metode ini, huruf-huruf yang akan diajarkan itu diucapkan sama
dengan ucapan alfabetisnya. Dengan demikian huruf "D" diucapkan /de/; huruf "K"
diucapkan /ka/, huruf "L" diucapkan /el/; huruf "M" diucapkan /em/ dan selanjutnya.
Menghubungkan ucapan "k" /ka/ dan "i" /i/ menjadi "ki" /ki/ ternyata
merupakan hal yang tidak mudah bagi anak-anak yang baru mulai belajar membaca.
Itulah sebabnya dalam metode Fonik, konsonan-konsonan itu tidak diucapkan seperti
ucapan Alfabet. Huruf "K" tidak diucapkan /ka/, tetapi /kh/atau /ek/; huruf "D" tidak
diucapkan /de/. tetapi /dh/ atau /ed/. Demikian seterusnya, setiap lambang diucapkan
berdasarkan bunyinya, berdasarkan bagaimana bunyi itu seharusnya diucapkan.
Langkah metode Fonik ini serupa benar dengan metode Alfabet dalam
pengajaran membaca permulaan. Pengucapan suatu lambang bunyi tertentu diikuti
oleh kegiatan menghubungkan bunyi itu dengan huruf-huruf yang melambanginya.
Dengan demikian, para pemula melakukan proses belajar membaca permulaannya
dimulai dari pengenalan dan pengidentfikasian lambang cetak dari teks. Dengan
bantuan alat visualnya, para pembaca pemula akan menarik lambang-lambang yang
dilihatnya ke dalam memori untuk ditafsirkan (dalam hal ini: diingat-ingat). Oleh
karena itu, metode-metode pengajaran tersebut digolongkan ke dalam metode yang
menganut pandangan MMBA dalam proses membaca.
Salah seorang tokoh MMBA, Gough (1972) mencoba menunjukkan proses
membaca itu dalam sebuah model berurut-lanjut, tidak interaktif. Menurut
pendapatnya, proses tersebut meliputi urutan-urutan seperti berikut ini.
(1) Informasi grafemik diserap melalui sistem visual dan disimpan secara singkat di
dalam "ikon".
(2) Pesan tersebut dikilas dan diolah di dalam perlengkapan pengenal pola yang dapat
mengenali huruf-huruf.
(3) Huruf-huruf ini kemudian dikirim ke pencatat huruf yang menahan huruf-huruf itu,
sementara pendekod mengubah huruf-huruf tersebut menjadi gambaran fonem.
(4) Gambaran fonem ini masuk ke dalam "librarian" yang mencarikan leksikon, dan
mencocokkan untaian fonemik dengan entri yang sudah ada dalam leksikon.
(5) Untaian leksikal yang dihasilkan oleh librarian itu masuk ke dalam memori
pertama.
(6) Memori pertama itu dapat menangkap satuan leksikal itu sampai lima buah, dan
hal ini merupakan masukan bagi "merlin".
(7) Merlin menggunakan pengetahuannya tentang sintaksis dan sematik untuk
menentukan "struktur dalam" atau mungkin makna masukan itu.
(8) Akhirnya, struktur dalam atau pernyataan-pernyataan tentang makna itu masuk ke
dalam "Tempat Tujuan Kalimat-kalimat (TTKSMD), setelah maknanya dipahami.
Dengan demikian, kegiatan membaca itu selesai setelah semua masukan teks itu dapat
melewati sederetan transformasi dan mencapai TTKSMD.
Gambaran di bawah ini membantu menjelaskan proses membaca menurut
MMBA.
3. Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)
Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal MMBA yang dalam
pelaksanaan proses membacanya mengutamakan struktur yang tampak pada bahan
Masukan Grafemik
IKON
Sistem Visual
Pencatat Huruf
Pemin- tasl
Perekam Fonemik
Penyandi
Memori Awal
Pustaka- wan
Merlin
Pengenal Pola
Buku Sandi
Leksikon
Kaidah Semantik dan Sintaksis
TTKSMD
bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model membaca bawah-
atas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni dari bacaan, bukan dari
otak pembacanya.
MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan
kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna
dari materi cetak dalam proses membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak
pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan
bahasa.
Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai "permainan
menebak dalam psikolinguistik", berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses
yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang
diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan
memperkirakan atau menerka. Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusan-
keputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan
tersebut. Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya
untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat viasual
menangkap lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan
mata, jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang
diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu
saja dari sistem isyarat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik atau
grafofonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat lainnya berasal dari
kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca
mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna.
Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang
pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik samping yang
lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki
perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya.
Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan
isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan
mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang
dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi
konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi pengoreksian
yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model "membaca sebagai terjemahan", para ahli
MMAB berpendapat bahwa pembaca yang terampil selalu melangkah langsung dari
kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam
ujaran. Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata
secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler (koakakata) atau sintaksis
yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini
disebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman
terhadap bacaannya itu.
Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka pada pengajaran
keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan.
Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioral (hubungan
huruf- bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah
pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategi-
strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegiatan membaca dengan
model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah
asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika
seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap
keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin
sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian
terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat megalami kebutaan sementara.
Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa.
Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah
seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali
pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi dengan jalan melakukan
prediksi (prakiraan). Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari
kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman
yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf
tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi
berkurang.
Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca.
Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap.
Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup. Untuk membuktikan
kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.
"Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest
similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same
time".
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong
kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab "tidak"?
Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk
memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk
memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan bekal dasar yang lain.
Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang
pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan
membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi
wacana yang bagaimana pun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke
dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall
(1989) dan Goodman(1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu
sebagai "psycholinguistic guessing game". Kemampuan memahami bacaan dilukiskan
bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak,
melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna.
Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam
proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan
memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah
yang disebut Smith (1986) sebagai informasi nonvisual.
Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan
bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan
demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh
melalui informasi visual dan informasi nonvisual.
Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi
nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa
hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi nonvisual ada di
dalam pikiran setiap pembaca, dibelakang matanya. Informasi visual dan informasi
nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat
dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal-balik antara kedua informasi
visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak informasi
nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam kegiatan membaca, maka
kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin
sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang, semakin banyaklah informasi
visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa semakin banyak
pengetahuan siap pembaca sebelumnya, semakin berkuranglah hal-hal yang harus
dicari dan ditemukannya dalam bacaan.
Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling
menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai
kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh
kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi
nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi
bacaan yang sulit, pembaca tidak dapat mengurangi kecepatan bacanya dan
mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu
ada bottleneck. Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar berikut. Gambar ini
Informasi Visual
Informasi Nonvisual
Membaca
memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat menampung informasi dari
informasi visual yang tampak dalam materi cetak.
Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk
melihat menjadi sangat tebatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu,
kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi
nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui
mata.
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala
sesuatu yang ada di depan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang
dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat
langsung. Kita melihat sesuatu, seketika itu pula penglihatan kita terarah kepada
sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan
bertanggung jawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata
kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap
informasi visual dalam bentuk berkas-berkas cahaya dan mengubahnya menjadi
energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke
dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan,
Informasi Visual
Informasi Nonvisual
Membaca
kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat,
sedangkan mata hanyalah "memandang" atas perintah otak.
Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di
depan mata. Oleh karena itu, sering kali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat
melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan
"memprediksi", kegiatan memperkirakan. Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan
bisa juga salah. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang
tidak sependapat dengan pandangan MMAB.
Dengan kata lain, persepsi visual itu meliputi keputusan-keputusan yang
terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di sebrang lapangan, otaklah yang
menentukan bahwa yang kita lihat itu adalah seekor kuda. Kita pun akan melihat kuda
meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh seseorang dengan tulisan
seperti yang tertera di bawah ini
JALAN M1OS IO
Yang kita lihat adalah dua kata, Jalan mios dan angka sepuluh. Padahal, jika kita teliti
kembali lambang yang dipakai untuk menyatakan bilangan sepuluh itu sama benar
dengan huruf yang menyatakan bunyi/i/ dan /o/. Informasi visual yang sama itu
diinterpretasikan dalam otak sebagai lambang yang berbeda. Dengan demikian,
jelaslah bahwa otak mempunyai peranan penting dalam kegiatan membaca. Thorndike
berkata bahwa membaca adalah berpikir.
Banyak ahli berpendapat bahwa kegiatan membaca itu harus berdasarkan
fonik. Bagi mereka, orang dapat membaca karena dimungkinkan oleh fonik.
Bagaimana mungkin orang mengenali kata-kata tanpa menyuarakannya?
Terhadap pertanyaan itu kita dapat memberikan jawaban bahwa kita
mengenali kata-kata itu dengan cara yang sama dengan cara mengenali objek-objek
lainnya, seperti pepohonan, binatang, awan, gunung, kapal terbang, mobil, kereta api,
meja, kursi, nasi, roti, dan sebagainya, ialah dengan sekali pandang. Tidak ada
perbedaan fundamental antara pengenalan terhadap objek-objek berdimensi tiga itu
dengan pengenalan terhadap huruf-huruf dan kata-kata. Menurut hasil penelitian,
orang merespon lebih cepat terhadap kata-kata tertulis kuning, merah, biru, hijau,
hitam, dan sebagainya daripada kepada kertas yang berwarna tersebut.
Makna lebih erat hubungannya dengan tulisan daripada dengan suara. Kata
bang dan bank berbeda maknanya bukan karena berbeda bunyinya melainkan karena
berbeda penampilannya. Kedua kata tersebut mendekod bunyi yang sama, tetapi
artinya tetap berbeda, karena penulisannya berbeda.
Fonik itu tidak efektif. Lebih dari itu, tidak perlu. Hal tersebut dapat lebih jelas
dibuktikan pada orang-orang Jepang atau Cina yang menggunakan logografik. Kata-
kata tertulis itu merupakan lambang-lambang ide, bukan lambang-lambang bunyi.
Orang Katon dan Mandarin yang berbeda tuturnya, masih dapat berkomunikasi
dengan menggunakan tulisan, karena sistem tulisan mereka kebetulan sama. Kalau
anda mendengar kalimat Deux et deux font quatre, dapatkah anda memahami
maknanya? Ya, sebagian besar mungkin akan menjawab "tidak". Mengapa sebagian
besar dari kita tidak memahaminya? Hal ini disebabkan kita tidak memahami bunyi
bahasa mereka, tidak pula memahami struktur kalimat yang mereka gunakan. Kalimat
tersebut sebenarnya bisa diganti dengan lambang 2 + 2 = 4. Sekarang, tidak seorang
pun di antara kita yang akan berkata "Saya tidak memahami artinya". Dengan
demikian, sekali lagi dapat kita buktikan bahwa kegiatan dekode itu tidak perlu.
Dalam model membaca yang menunjukkan gerak dari atas ke bawah ini, atau
membaca dari belakang mata, dikenal istilah tunnel vision, yakni peristiwa
penyempitan pandangan. Jika sewaktu membaca, seseorang hanya dapat
menggunakan dan memanfatkan sebagian kecil saja informasi nonvisual, maka materi
cetak yang dapat dilihatnya pun sedikit pula. Jika pembaca tidak dapat meggunakan
informasi nonvisual itu sepenuhnya, maka penglihatannya akan sangat terbatas.
Penglihatan yang sangat tebatas itu disebut tunnel vision. Tunnel vision bukanlah
penyakit mata. Hal ini bisa terjadi, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa.
Gangguan tunnel vision (TV) ini pun tidak hanya terjadi pada kegiatan membabaca,
pada saat orang sedang membaca. Tunnel vision TV terjadi pada setiap situasi, yakni
manakala otak dipaksa untuk memproses bahan dalam bentuk informasi yang
nonvisual.
Kemampuan membaca bergantung pada kemampuan menggunakan informasi
secara ekonomis dan pada penggunaan informasi nonvisual sebanyak-banyaknya.
Namun, tunnel vision ini tampaknya tidak dapat dihindarkan dalam hal-hal berikut
ini.
1) Membaca sesuatu yang tidak bermakna akan menimbulkan TV. Jika pada waktu
membaca, seseorang tidak dapat membuat membuat prakiraan yang biasa terjadi
sebagai akibat dari materi bacaan yang tidak terpahami, maka pembaca akan
mengalami hal yang sama, TV.
2) Pembaca yang enggan memanfaatkan informasi nonvisual akan mengalami TV.
Penggunaan informasi nonvisual memang mengandung resiko. Pembaca selalu
dihadapkan pada kemungkinan berbuat keliru. Akan tetapi, jika pembaca tidak
melakukan kekeliruan dalam kegiatan membacanya, mungkin dia itu membaca
tidak efisien, sebab dia memproses informasi visual lebih dari yang semestinya.
Kekeliruan tidak perlu dikuatirkan dalam upaya membaca, asalkan pembaca
berupaya untuk menggunakan informasi nonvisual yang semestinya. Kalau dalam
bacaanya seorang pembaca membaca rumah untuk kata asrama maka kesalahan
seperti itu tidak perlu dikuatirkan.
3) Akibat terbesar yang disebabkan oleh keengganan terja di bila keengganan itu
timbul karena kecemasan. Dalam situasi yang mana pun dalam hidup kita ini,
semakin besar rasa cemas seseorang dalam pengambilan suatu keputusan, maka
semakin banyaklah informasi yang dia perlukan sebelum mengambil keputusan itu.
Kecemasannya itu menimbulkan TV, dan TV menghilangkan kemungkinan
pemahaman yang layak.
4) Kebiasaan membaca yang jelek menyebabkan terjadinya TV. Jika pembaca
membaca terlalu lambat akan menimbulkan TV, sebab sistem visual akan
tertimbun oleh informasi visual yang diupayakan untuk diperolehnya dari materi
bacaan. Jika pembaca enggan untuk membaca laju ke depan, jika dia mengulang-
ulang bacaannya untuk mengingat hal-hal yang kecil-kecil, jika dia mencoba
membaca cermat setiap kata dalam setiap untaian kalimat maka dia akan
menghadapi TV. Sayang sekali, kebiasaan jelek itu merupakan bahan pengajaran
untuk meyakinkan bahwa dengan jalan demikian anak akan pandai membaca.
Dapatkah TV itu diatasi? Jika yang menjadi sebab terjadinya TV itu jelas,
maka penyembuhannya mudah dilakukan. Jika TV pada anak timbul karena materi
bacaannya tidak bermakna baginya, maka guru harus mencarikan bahan yang sesuai
dengan tingkat kebutuhan muridnya. Rumus keterbacaan tidak dapat digunakan dalam
hal ini, sebab masalahnya sangat relalatif. Bacaan yang terasa mudah bagi seorang
anak mungkin sama sekali tidak bisa di prakirakan oleh anak lainnya. Formula-
formula keterbacaan yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan
wacana hanya sanggup mendeteksi kelayakan bahan bacaan tertentu untuk peringkat
pembaca tertentu, dalam artian kelompok pembaca. Di samping itu, formula-formula
keterbacaan hanya menangani masalah bahan bacaan, bukan pembacanya; sedangkan
TV terjadi pada diri pembacanya. TV terjadi pada anak secara individual. Oleh karena
itu, penanganannya pun harus didekati secara individual. Karena itulah, formula-
formula keterbacaan tidak akan banyak menolong untuk mengatasi TV pada
seseorang.
Jika TV itu timbul karena anak tidak mempunyai latar belakang pengalaman
yang layak tentang isi bacaannya, maka guru dituntut untuk memberikan pengetahuan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan bacaannya itu. Caranya bermacam-macam,
mungkin dengan jalan memberikan pengalaman dari buku lain yang mudah bagi anak,
melalui film, ceramah, atau membacakan buku-buku yang ditugaskan kepada murid
sebelum memulai pengajaran, dan sebagainya. Kemampuan membaca tidak semata-
mata akan membaik dengan pemberian tugas yang bertubi-tubi. Terlebih-lebih jika
materi bacaan yang ditugaskan tersebut dipandang sukar oleh siswa.
TV pada anak mungkin timbul karena perasaan takut berbuat salah. Jika anak
dihinggapi rasa takut, maka upaya untuk memahami bacaan melalui proses belajar
tidak akan berhasil. Membuat prakiraan itu mempunyai risiko. Anak yang takut
membuat kesalahan tidak akan dapat belajar, bahkan tidak pula akan dapat membaca
seperti yang diharapkan. Anak-anak seperti itu harus diberi keyakinan bahwa
membuat kesalahan itu tidak perlu ditakuti, karena banyak orang yang berhasil karena
justru mereka belajar dari kesalahan yang telah dilakukannya. Mereka harus belajar
membebaskan diri dari sifat was-was dan ragu-ragu yang mengganggu pikirannya itu.
Anak-anak yang menghadapi TV karena kebiasaan membaca yang jelek harus
dipaksa untuk berlatih membaca cepat. Mereka harus diyakinkan bahwa membaca
lambat itu bisa menyelubungi makna bacaan. Berbagai penelitian menunjukkan bukti
bahwa membaca cepat dipandang efisien dan mempermudah upaya memahami isi
bacaan. Banyak orang melambatkan bacaannya karena mereka takut tidak dapat
memahami isi bacaan itu. Dengan kemampuan membaca cepat yang lebih baik, maka
pengetahuan yang diperolehnya pun akan semakin baik.
4. Model Membaca Timbal-Balik (MMTB)
Model Membaca Timbal-Balik (MMTB) dicanangkan oleh teoris Rumelhart
(1977). Rumeljart mereaksi dua model membaca yang telah kita inggung di muka.
Dia beranggapan bahwa model-model yang terdahulu itu tidak memuaskan, karena
pada umumnya model-model tersebut bertitik tolak pada pandangan formalisme
model-model perhitungan yang linear. Model-model itu mempunyai sifat-sifat
berurut-berlanjut, tidak interaktif.
Secara sederhana, konsep MMTB dapat dilukiskan sebagai berikut.
Informasi Informasi ______ Transformasi _______ Sudah di- ______ Tranformasi ______ transformasi MODEL INI BISA DIBUAT AGAK INTERAKTIF DENGAN UMPAN BALIK Informasi Informasi ______ Transformasi _______ Sudah di- ______ Tranformasi ______ transformasikan
MMTB melukiskan MMBA dan MMAB berlangsung simultan pada pembaca
yang mahir. Artinya, proses membaca tidak lagi menunjukkan suatu proses yang
bersifat linier, tidak menunjukkan proses yang berurut-berlanjut, melainkan suatu
proses timbal-balik yang bersifat simultan. Pada suatu saat MMBA berperan dan pada
saat lain justru MMAB yang berperan. Para penganut paham MMTB percaya bahwa
pemahaman itu bergantung pada informasi grafis atau informasi visual dan informasi
nonvisual atau informasi yang sudah tersedia dalam pikiran pembaca. Oleh
karenanya, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk
memahami bacaan yang dibacanya itu tidak bisa digunakan, baik disebabkan pembaca
lupa akan informasi tersebut atau mungkin juga karena skemanya terganggu.
Paradigma yang diajukan Rumelhart untuk melukiskan proses membaca itu
berlainan dengan paradigma-paradigma yang pernah ada sebelumnya. Dalam
komputasi paralel selalu terjadi interaksi di antara proses-proses yang berlangsung
berkelanjutan dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Rumelhart mengajukan
pendapat yang menyatakan bahwa membaca sebagai kegiatan yang meliputi berbagai
tipe pemrosesan informasi dan unit-unit pemrosesan itu bersifat sangat interaktif dan
berlanjut. Dengan menggunakan formalisme yang dikembangkan dengan komputer,
Rumelhart dapat menjelaskan secara tepat aspek-aspek membaca yang bersifat paralel
dan yang bersifat interaktif. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rumelhart itu
sudah dijelaskan oleh para ahli yang terdahulu. Akan tetapi, penjelasan yang
disampaikan para pendahulunya tidak mencapai tingkat kejelasan seperti yang
dijelaskan oleh Rumelhart.
MMTB sukar dilukiskan dalam diagram dua dimensi. Dalam gambar yang
berikut ini penyimpan informasi visual (PIV) mencatat informasi grafis. PIV itu
disentuh oleh alat penyadap ciri (APC). Ciri-ciri yang disadap itu digunakan sebagai
masukan untuk pemadu pola (PP).
PP merupakan komponen yang utama dalam model ini. Ke dalamnya bisa
masuk informasi sensoris, informasi tentang kemungkinan-kemungkinan sintaksis,
semantik, leksikal, dan struktur ortografis tentang berbagai untaian huruf. PP
membuat keputusan berdasarkan informasi-informasi yang masuk ke dalamnya itu.
Mari kita perhatikan paradigma Rumelhart dalam gambar berikut.
Model yang dilukiskan dalam diagram di atas, menunjukkan adanya pengaruh
berbagai tahapan (grafik, semantik, sintaksis, dan sebagainya) terhadap kegiatan
membaca dalam bentuk interaktif. Yang tidak dijelaskan dalam proses tersebut ialah
bagaimana komponen-komponen itu berinteraksi. Hal inilah yang kemudian menjadi
bahan pemikiran ahli lain, seperti Goodman dan Ruddel. Yang tidak ada di dalam
model itu ialah gambaran tentang kerja pemandu polanya sendiri.
Pengembangan gambaran proses membaca yang dibuat oleh Rumelhart
merupakan sumbangan utama terhadap model-model
membaca. Rumelhart menampilkan suatu model proses membaca yang menunjukkan
komponen-komponen sensori, semantik, sintaksis, dan pragmatik yang diperoleh
dalam bentuk interaktif untuk memperoleh pemahaman tentang bahasa tulis. Berbagai
jenis informasi masuk ke dalam pusat berita; berbagai hipotesis dirumuskan,
kemudian disetujui, ditentukan, dikukuhkan atau ditolak oleh sumber informasi yang
layak. Hipotesis baru digeneralisasikan hingga pada akhirnya tercapailah hipotesis
PIV Alat Penyadap
Ciri
Pemandu Pola Interpretasi yang
paling layak
Pengetahuan Sintaksis
Pengetahuan Semantik
Pengetahuan Ortografis
Pengetahuan Leksikal
yang paling layak. Iteraksi antara hipotesis dan sumber informasi dapat ditandai
secara matematis dalam model probabilitas. Dengan demikian, membaca itu
dipandang sebagai formulasi hipotesis, pengujian probabilitas dengan menggunakan
serangkaian sumber informasi, dan akhirnya dibuatlah keputusan tentang hipotesis
yang terbaik yang diterima sebagai makna.
Rumelhart telah melengkapi kita dengan pengetahuan tentang sebuah model
yang cukup canggih. Dengan menggunakan model tersebut kita dapat mengatasi
masalah yang berkenaan dengan proses kebahasaan seperti yang tampak pada perilaku
pola membaca. Model ini mempunyai ciri yang esensial yang menjelaskan betapa
proses kebahasaan peringkat yang lebih tinggi (semantik dan makna) mempermudah
proses kebahasaan peringkat rendah (huruf, kata), dan betapa penguasaan atas
peringkat yang lebih tinggi itu mempermudah penguasaan atas peringkat yang lebih
rendah.
Model membaca yang dikemukakan oleh Rumelhart itu mengingatkan
pembaca agar informasi yang dimilikinya (meskipun jumlahnya sangat terbatas) dapat
dimanfaatkan pada saat melakukan kegiatan membaca. Dilihat dari bidang
pengajaran, hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan besar bagi guru untuk
menolong para siswanya menjadi pembaca yang fleksibel, ialah pembaca yang
mampu mengatur kecepatan tempo bacaannya sesuai dengan sifat, manfaat, tujuan,
kebutuhan dan relevansi dari materi bacaan tersebut. Pembaca harus dialihkan
perhatiannya dari struktur lahir bahasa (kata, huruf, kalimat, dan sebagainya) ke
struktur batin, ke bagian yang menghendaki prakiraan.
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memperkirakan dan
menemukan makna bacaan itu ialah strategi pengajaran yang memungkinkan siswa
menggunakan bahasa yang dimilikinya serta informasi pragmatik yang telah
dimilikinya dalam proses menyimak dan berbicara. Guru dituntut untuk
mengembangkan strategi yang mendorong siswa supaya bersikap aktif-kognitif agar
dapat menjadi pembaca yang mahir.
Yang dapat kita lakukan sebagai guru adalah menciptatakan lingkungan yang
kondusif, yang mendorong menumbuhkan minat baca yang positif. Perlu ditanamkan
keyakinan bahwa dalam hal ini bukanlah kehadiran guru dalam lingkungan itu yang
pertama dan utama, melainkan kehadiran siswa itu sendiri. Kemampuan membaca
akan meningkat hanya dengan jalan melakukan kegiatan membaca itu sendiri.
Melakukan aktivitas baca sama dengan berlatih membaca. Latihan tersebut akan
menolong mereka meningkatkan kemampuan membaca serta menemukan sendiri
strategi yang paling tepat untuk dirinya dalam menghadapi bacaan.
Dalam praktek pengajaran membaca, hal tersebut menunjuki kita pada
berbagai konsep dan pandangan tentang berbagai metode pengajaran membaca.
Kiranya kita perlu meninggalkan berbagai asumsi yang pernah menguasai metode
pengajaran pada masa-masa silam. Sebagai contoh, guru tidak perlu lagi terlalu
memikirkan adanya kebolongan kosakata yang mungkin belum diketahui siswa.
Dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut, kemudian guru berpikir bahwa pengajaran
membaca tidak mungkin dilakukan. Para guru lebih baik meyakinkan para siswanya
bahwa bagaimanapun para siswa tidak perlu berkecil hati dan frustasi dengan bacaan
yang sarat dengan kosakata sukar yang tidak dapat dipahaminya. Yang terpenting bagi
mereka adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan informasi siap (pengetahuan
siap) yang telah dimilikinya dalam upaya memetik makna bacaan. Itulah yang disebut
kegiatan memanfaatkan informasi nonvisual. Informasi ini akan membantu siswa
untuk merekontruksi makna dari lambang-lambang yang berupa cetakan. Perubahan
sikap seperti itu akan membuat mereka percaya diri dan bergantung pada kemampuan
sendiri. Hambatan kosakata yang dialaminya akan diatasi sendiri dengan jalan
memproses masukan linguistik dan memadukannya dengan aspek kognitif yang
dimilikinya. Dengan demikian. Para siswa tidak lagi akan bergantung kepada guru
atau pun sumber-sumber lainnya yang datang dari luar pada waktu mereka
menghadapi masalah-masalah dalam membaca.
Model yang dianjurkan oleh Rumelhart itu mendukung salah satu keyakinan
yang secara intuitif telah diterima oleh banyak orang, ialah bahwa pembaca akan lebih
merasa terlayani jika kita membekali mereka dengan kesiapan untuk membaca materi
yang disajikan kepada mereka. Banyak hal yang bisa dilakukan guru dalam upaya
membekali pengetahuan siap mereka. Prosedur-prosedur tersebut dapat berupa
kegiatan-kegiatan berikut: diskusi, pertunjukan film, karyawisata, bercerita, dan
sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini bermanfaat bagi para siswa dalam upaya membantu
mereka untuk menggunakan latar belakang informasi (pengetahuan) yang dimilikinya.
Pengetahuan siap ini akan mempermudah proses memahami bacaan dengan lebih
layak dan lebih baik.
Cara lama yang masih banyak digunakan para guru ialah pemberian tugas
membaca. Pemberian tugas ini kadang-kadang merupakan tugas prasyarat untuk tugas
berikutnya berupa diskusi. Tampaknya, meskipun metode pemberian tugas ini tidak
terlalu jelek dan merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk
membangkinkan motivasi siswa, namun cara ini tampaknya sudah "ketinggalan
zaman". Bagaimanapun hal-hal yang dibawa pembaca ke dalam proses membacanya
itu akan sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh pembaca tersebut dari proses
yang dijalaninya itu. Oleh karena itu, guru boleh berkeyakinan bahwa proses
membaca akan berlangsung lebih baik jika prosedur penugasan itu dibalikkan, diskusi
dulu, baru kemudian membaca.
Dalam bidang metode pengajaran, model Rumelhart itu dipandang sebagai
model yang sudah membaur dengan berbagai strategi pengajaran yang telah
menunjukkan keberhasilannya. SQ3R misalnya, memberikan dorongan kepada siswa
untuk menyurvai, bertanya dan bertanya, membuat prakiraan, dan membaca untuk
menguji hipotesis. Model membaca yang baik harus dapat menjelaskan teori berbagai
pendekatan yang baik untuk membaca dan belajar. Model yang baik harus pula
memberikan penjelasan terhadap langkah-langkah pengajaran yang baru.
Model Rumelhart berguna sekali untuk pengajaran membaca pada peringkat
sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama maupun peringkat di atasnya.
Model ini sangat baik untuk mengakrabkan dan mendorong mereka dalam pengujian
cara dan strategi membaca yang biasa mereka lakukan sendiri.
Setelah anda mempelajari dengan seksama konsep-konsep MMTB yang
diprakarsai Rumelhart, bagaimana pendapat dan komentar anda terhadap prinsip-
prinsip yang ada di dalamnya? Ya, mungkin anda tergolong orang yang berpendapat
bahwa model Rumelhart itu tidak menarik karena di dalamnya sesungguhnya tidak
ada hal-hal yang baru bagi anda. Sebagai guru, anda mungkin sudah terbiasa dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka yang biasa timbul dalam pikiran anda
selagi membaca. Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang muncul selagi kita membaca
merupakan cerminan dari proses interaktif dari kerja mata dan kerja kognisi pada saat
kita merespon bacaan. Sebagai guru anda pun sudah terbiasa dengan pemberian
rangsanga-rangsangan kepada para siswa anda agar mereka membuat prakiraan-
prakiraan, hipotesis, antisipasi, klasifikasi, yang memungkinkan mereka untuk
berpikir secara divergen. Mungkin, kita telah melakukan sesuatu yang tidak kita
ketahui landas pijaknya. Dengan pengetahuan ini, mudah-mudahan apa yang telah
kita lakukan tersebut dapat kita yakini sebagai sebuah kebenaran dan sesuatu yang
dapat memberikan manfaat yang lebih baik.
Dalam model Rumelhart, mungkin anda tidak melihat adanya pembicaraan
tentang aplikasi. Memang, Rumelhart boleh dikatakan tidak menyinggung masalah
aplikasi itu. Dia tidak pula menyinggung masalah pramembaca, yakni suatu kondisi
sebelum seseorang sampai pada halaman-halaman bercetak. Dia memulai konsepnya
dari halaman bercetak, dan dari situ kemudian bergerak ke depan dengan konsep-
konsep interaksi.
MMTB sangat berbeda dengan MMBA seperti yang dikemuka kan oleh
Gough, La Berge dan Samuel (1974). MMBA bersifat linear dan berjenjang, dimulai
dari pemrosesan unit linguistik yang paling kecil, yakni huruf-huruf, kemudian
bergerak menuju pemrosesan kelompok huruf, kata-kata, kelompok kata, kalimat,
hingga akhirnya sampai ke makna. Sebaliknya MMTB membenarkan proses yang
dimulai dari peringkat yang lebih tinggi. MMTB mulai dengan semantik atau makna
kata. Pada peringkat yang lebih tinggi itu ada bank data yang bekerja secara simultan.
Kita memiliki sintaksis, semantik, ortografi, dan leksikon yang bekerja secara
serempak, tidak bekerja secara berurutan seperti halnya dalam MMBA.
Kemampuan membaca dapat dikembangkan secara baik melalui pengayaan
pengalaman membaca. Siswa perlu sekali membaca materi sebanyak-banyaknya
sehingga mereka dapat memahami kata dalam konteks yang berbeda-beda. Guru
dapat membantu muridnya mempertinggi dan meningkatkan keterampilannya dalam
membaca dengan jalan membimbing mereka untuk terus membaca sebanyak-
banyaknya. Yang perlu diperhatikan benar dalam hal ini ialah sikap murid. Guru yang
terlalu sering memberi tugas yang berada di luar jangkauan kemampuan muridnya
akan membuat siswa terbunuh minat dan motivasinya. Salah satu upaya untuk
membangkitkan minat baca siswa ialah dengan jalan menyediakan bahan bacaan yang
kira-kira dapat menarik perhatian mereka.
RANGKUMAN
Terdapat tiga model utama dalam proses membaca, yakni model membaca
bawah-atas (MMBA), model membaca atas-bawah (MMAB), dan model membaca
timbal-balik (MMTB). Dari ketiga model membaca tersebut, MMBA merupakan
model yang tertua. Model ini mengutamakan struktur-struktur yang terdapat di dalam
teks. Proses membaca yang terjadi pada MMBA, pada dasarnya merupakan proses
penerjemahan, pendekodan, dan pengenkodan. Urutan proses tersebut bersifat linier
yang diawali oleh masukan grafemik melalui sistem visual, lalu memasuki ikon,
berlanjut pada kilasan, pencatat, pendekod, librarian, merlin, hingga akhirnya sampai
pada TTKSMD.
Pemilihan akan metode tertentu dalam pengajaran membaca sangat ditentukan
oleh pandangan tentang model membaca yang dianutnya. Pengikut MMBA akan
menggunaan metode Eja, metode Bunyi, atau metode Alfabet, yang kesemua metode
tersebut lebih memberi perhatian pada struktur yang tampak di dalam teks bacaan.
MMAB memunyai landasan yang berbeda dengan MMBA. Informasi
nonvisual dalam kegiatan membaca merupakan hal yang paling penting dalam
MMAB sehingga proses membaca itu tidak lain dari proses berpikir. Peristiwanya
terjadi di dalam otak. Mata hanyalah sekedar penghantar infomasi, yang
mengidentifikasi bacaan adalah otak. MMAB berpendapat bahwa kerja mata harus
ditekan seminimal mungkin. Mata yang terlalu sarat dengan masukan informasi visual
akan memaksa alat itu untuk bekerja secara penuh sehingga dapat mengakibatkan
kondisi "buta sejenak".
Menurut MMTB proses membaca itu bersifat interaktif, yakni kedua model
pertama tadi, MMBA dan MMAB, bekerja secara serempak dan simultan. Membaca
dipandangnya sebagai formulasi hipotesis dan pengujian probabilitas dengan
memanfaatkan serangkaian sumber informasi. Menurut MMTB, pemrosesan
kebahasaan yang lebih tinggi mempermudah pemrosesan kebahasaan yang lebih
rendah. Pengikut MMTB berkeyakinan bahwa mdel yang dianutnya itu akan
memungkinkan guru untuk membantu para siswanya menjadi pembaca-pembaca yang
fleksibel.
TUGAS DAN LATIHAN
Perhatikan kasus-kasus yang disajikan berikut ini. Cobalah Anda identifikasi
berdasarkan konsep ketiga model membaca yang telah kita bicarakan di atas.
Tentukan, termasuk cerminan dari model membaca yang manakah kasus-kasus
tersebut? Kemukakan alasannya!
1) Seorang guru kelas I SD sedang mengajarkan membaca permulaan kepada para
siswanya. Dia memperkenalkan huruf-huruf berikut:
Ini a ----> ini /a/;
Ini b ----> ini /b/;
Ini c ----> ini /c/;
Ini d ----> ini /d/;
demikian seterusnya hingga seluruh huruf dalam abjad Indonesia selesai
diperkenalkan. Metode pengajaran membaca permulaan yang demikian disebut
"Metode Alpabetis"
2) Dalam sebuah permainan tebak kata, pemandu acara memperlihatkan tiga buah
huruf dari tujuh huruf yang sebenarnya merupakan kelompok huruf yang
membentuk kata yang bersangkutan. Peserta A dapat menebak bunyi kata itu
dengan tepat, meskipun dia hanya dibantu dengan tiga buah huruf tadi; sementara
kelompok B baru dapat menebak kata itu dengan tepat, setelah mereka melihat
enam dari tujuh buah huruf yang seharusnya membentuk kata itu.
3) Proses membaca menurut model ini adalah sebuah proses yang meliputi formulasi
hipotesis dan pengujian probabilitas. Proses membaca tidak terjadi secara berurut-
berlanjut, tidak terjadi secara linier.
4) Meningkatkan keterampilan membaca para siswa merupakan hal yang sangat
penting; akan tetapi menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca jauh lebih
penting. Memperkaya wawasan dan pengalaman siswa melalui penugasan
membaca itu penting, tetapi menjaga sikap siswa dari kejenuhan dan kebosanan
akan bahan bacaan juga tidak kalah penting. Banyak cara dan strategi yang dapat
dilakukan guru untuk kepentingan ini.
5) Pada jam pelajaran bidang studi Bahasa Indonesia, Bu Ani bermaksud menyajikan
bahan ajar membaca dengan mengambil tema bacaan "kekayaan budaya di wilayah
nusantara". Teks yang hendak diberikan kepada siswa berjudul "Kupuk dalam
Budaya Mandobo-Irian Jaya". Sebelum wacana itu diberikan kepada anak
didiknya, Bu Ani bercerita tentang khasanah kekayaan budaya pada masyarakat di
wilayah nusantara tercinta ni, termasuk budaya-budaya pada masyarakat Irian Jaya.
Melalui perbincangan dan diskusi bersama di dalam kelas, Bu Ani mencoba
menggali dan memperkaya khasanah latar belakang pengetahuan dan pengalaman
siswa. Kegiatan ini memakan waktu lebih kurang 30 menit. Selanjutnya, anak-anak
diminta membaca dalam hati teks wacana yang telah dipersiapkannya tadi.
Kemudian, diadakan tanya-jawab di seputar isi bacaan tersebut.
MODUL 2: MODEL-MODEL MEMBACA
Pendahuluan
Kegiatan Belajar 1: Model Top-Down
Rangkuman
Perlatihan
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Model Bottom-Up
Rangkuman
Perlatihan
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Model Interactive
Rangkuman
Perlatihan
Tes Formatif 3
KUNCI JAWABAN FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA
1. Pengantar
Pada era informasi ini, sarana bacaan kian hari kian bertambah, sementara
waktu yang kita miliki tetap tidak bertambah. Lantas, bagaimana kita dapat menyerap
berbagai informasi dalam berbagai media cetak tersebut dalam waktu yang relatif
singkat. Satu-satunya cara adalah dengan jalan meningkatkan kecepatan membacanya.
Bagaimana cara mengukur kecepatan membaca seseorang? Hal-hal apa saja yang
harus dipersiapkan untuk mengadakan evaluasi kecepatan membaca? Pertanyaan-
pertanyaan evaluasi macam manakah yang perlu dikuasai guru untuk menguji
kemampuan baca murid-muridnya? Upaya apa yang harus kita lakukan untuk
meningkatkan kecepatan membaca?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dapat anda temukan jawabnya pada uraian
beberapa bab dari buku ini. Namun, pertanyaan tentang "bagaimana cara mengukur
kecepatan membaca serta hal apa saja yang harus kita persiapkan untuk melakukan
pengukuran tersebut" akan kita bicarakan dalam bab ini.
Pengetahuan ini akan sangat bermanfaat bagi anda, baik untuk kepentingan
anda sebagai guru atau sebagai pribadi, maupun untuk kepentingan murid-murid anda.
Sebagai mahasiswa, anda tentu dihadapakan pada berbagai buku teks yang sifatnya
wajib anda baca. Di samping itu, berapa jumlah buku-buku penunjang yang harus
anda baca untuk melengkapi informasi dari bacaan utama atau dari buku teks tadi?
Coba anda hitung jumlah mata kuliah yang anda kontrak! Silakan anda hitung sendiri,
berapa buah buku atau berapa halaman bacaan yang harus anda baca dalam satu
semester. Jika anda hanya mampu membaca 250 kata/menit, berapa lama waktu yang
anda sisihkan untuk kegiatan membaca dalam setiap harinya? Denganilustrasi
tersebut, tentu kita menyadari betapa kemampuan membaca cepat perlu kita miliki,
bukan? Demikian juga dengan murid-murid kita. Mereka adalah para siswa yang
setiap harinya dihadapkan pada kegiatan belajar untuk berbagai bidang studi.
Meskipun membaca bukan satu-satunya cara untuk studi, namun tidak seorang pun
dari kita akan menyangkal betapa sumbangan dari keterampilan dan kegiatan
membaca ini untuk keberhasilan belajar sangatlah tinggi.
Sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh
dari bab ini, anda dituntut pula untuk dapat menyampaikan kemampuan itu kepada
anak-anak didik anda. Penanaman pengertian tentang pentingnya membaca cepat dan
penanaman keterampilan membaca cepat itu sendiri perlu dilakukan dan diupayakan
sejak dini.
Uraian bab ini bertujuan untuk membantu anda agar dapat mengevaluasi
kecepatan membaca para siswa anda dengan berbagai alat ukur yang lazim digunakan
dalam pengajaran membaca.
Secara khusus, anda diharapkan dapat:
a) menjelaskan hakikat, fungsi, dan pengertian KEM;
b) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi KEM;
c) menggunakan rumus kecepatan efektif membaca;
d) mengklasifikasi hasil pengukuran kecepatan efektif membaca siswa pada
peringkat-peringkat pembaca tertentu;
e) membuat persiapan untuk mengadakan evaluasi kecepatan efektif membaca;
f) menentukan upaya tindak lanjut untuk memperbaiki KEM siswa.
Melalui uraian bab ini, anda akan saya ajak untuk memperbincangkan hakikat
kecepatan membaca, rumus KEM (kecepatan efektif membaca, faktor-faktor yang
mempengaruhi KEM, latihan menggunakan rumus KEM.
2. Hakikat dan Fungsi KEM
Dewasa ini, ada orang yang beranggapan bahwa dengan membaca lambat
pemahaman seseorang terhadap apa yang dibaca akan semakin baik. Sebaliknya,
dengan membaca cepat pemahaman akan terhambat. Anggapan itu sama sekali tidak
benar. Kegiatan memahami bacaan pada hakikatnya sama dengan kegiatan memahami
pembicaraan (tuturan lisan). Mari kita perhatikan ilustrasi berikut. Ilustrasi ini
menampilkan dua model contoh tuturan yang dilakukan secara kontras. Yang satu
menunjukkan tuturan dengan kecepatan biasa; sedangkan yang satunya lagi
menunjukkan tuturan dengan kecepatan yang sangat lambat.
Contoh (a)
Minggu yang akan datang/ saya/ bermaksud mengikuti ujian/ tahap kedua.
(diucapkan berdasarkan satuan-satuan gatra atau satuan-satuan ide yang berupa
kelompok-kelompok kata)
Contoh (b)
Minggu/ yang/ akan/ datang/ saya/ bermaksud/mengikuti/ ujian/ tahap/ kedua.
(diucapkan kata demi kata)
Cara penuturan pertama (a) dilakukan berdasarkan satuan-satuan kelompok
kata yang berupa satuan-satuan unit ide sehingga penyampaiannya akan terdengar
lebih cepat bila dibandingkan dengan cara penuturan (b) yang dilakukan secara kata
demi kata. Cara penuturan kedua (b) akan terdengar lambat, karena setiap
mengucapkan sebuah kata diselingi oleh penghentian sementara atau jeda pendek.
Cara penuturan mana yang lebih mudah ditangkap maknanya, yang pertama (cepat)
atau yang kedua (lambat)? Tentu kita akan lebih mudah menangkap tuturan yang
dilakukan dengan cara (a). Penuturan cara pertama lebih mudah kita pahami,
ketimbang cara kedua. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa dengan membaca
cepat tidak berarti pemahaman akan terhambat. Justru sebaliknya, orang yang
memiliki kecepatan membaca tinggi cenderung memiliki tingkat pemahaman yang
tinggi pula.
Melihat ilustrasi di atas, rasanya tidak ada alasan bagi seseorang untuk enggan
menjadi pembaca cepat. Sebab hasil penelitian membuktikan bahwa orang yang
memiliki kecepatan membaca yang tinggi cenderung memperlihatkan kemampuan
memahami bacaan yang lebih baik ketimbang pembaca lambat. Memang, pada saat-
saat tertentu pembaca dituntut untuk bersifat fleksibel di dalam menghadapi dan
menyiasati bacaannya. Kadang-kadang diperlukan waktu yang relatif lebih lama
untuk memahamai sesuatu, tetapi adakalanya pembaca butuh waktu yang relatif
singkat. Dengan pandangan sekilas saja, pembaca sudah dapat menangkap isi sebuah
bacaan.
Kegiatan membaca dapat diibaratkan dengan mengendarai kendaraan
bermotor. Pengendara akan menghentikan lajunya kendaraan jika bertemu dengan
lampu merah. Pengendara juga akan memperlambat kecepatan kendaraannya
manakala memasuki daerah macet atau jalan yang tidak mulus, penuh dengan bekas-
bekas lubang galian dan tidak rata. Akan tetapi sebaliknya, setelah memasuki jalan tol
yang bebas hambatan kecepatan kendaraan akan dipacu sampai batas maksimal yang
mungkin bisa dikendalikannya. Demikian juga dengan kegiatan membaca. Kadang-
kadang, membaca bagian atau penggalan tertentu dari suatu bacaan lebih
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama ketimbang membaca bagian lainnya.
Kadang-kadang, bahkan berhenti sejenak untuk melihat referensi/sumber bacaan lain
yang dianggap mendukung informasi yang kita temui dalam bacaan kita. Meskipun
demikian, pembaca cepat akan tetap mempertimbangkan waktu hentian dan
pengurangan tempo baca untuk kecepatan baca secara keseluruhan.
Fleksibilitas baca memang sangat erat kaitannya dengan tujuan/maksud
pembaca, informasi fokus, dan jenis bacaan yang dihadapinya. Yang dikategorikan ke
dalam pembaca efektif dan efisien itu ialah pembaca yang fleksibel. Menurut
Tampubolon (1987), pembaca yang demikian harus dapat mengatur kecepatan,
menentukan metode, teknik, dan gaya membaca sesuai dengan semua faktor yang
berkaitan dengan bacaan. Hal-hal yang berkenaan dengan kecepatan, metode, teknik,
dan gaya membaca disebut strategi membaca; sedangkan faktor tujuan, informasi
fokus, dan jenis bacaan disebut kondisi-baca. Dengan demikian, fleksibilitas
membaca dapat diartikan sebagai kemampuan menyesuaiakan strategi membaca
dengan kondisi-baca.
Rasanya belum sempurna kemampuan membaca (baca: kemampuan
memahami bacaan) seseorang jika tingkat kemampuan baca yang bagus itu tidak
disertai dengan kecepatan baca yang bagus pula. Kemampuan baca yang kita
bicarakan di sini adalah kemampuan membaca tigkat lanjut yang dalam praktiknya
melibatkan proses kognitif. Dikatakan sebagai proses kognitif karena pada dasarnya
kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam membaca tingkat ini adalah kegiatan-kegiatan
berpikir dan bernalar termasuk mengingat, meskipun pada taraf penerimaan lambang-
lambang tertulis diperlukan kemampuan-kemampuan motoris berupa gerakan mata.
Pembicaraan tentang kemampuan-kemampuan motoris dalam membaca yang
berupa gerakan mata itu erat kaitannya dengan masalah kecepatan membaca. Yang
dimaksud dengan kecepatan membaca adalah kemampuan seseorang dalam
menggerakkan mata secara cepat dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh
rata-rata kecepatan baca berupa jumlah kata per menit. jadi, jika seseorang dapat
membaca bacaan yang panjangnya lebih kurang 2000 perkataan dalam tempo lima
menit, artinya rata-rata kecepatan bacanya adalah 400 kata per menit.
Sementara itu, kemampuan membaca berkaitan dengan kemampuan kognitif
(ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca. Kemampuan-
kemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan dalam menemukan
dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan secara tepat dan kritis.
Seseorang boleh dikatakan memiliki kemampuan baca yang baik jika dia mampu
memahami isi bacaan tersebut minimal 70 persen.
Untuk mengetahui persentase kemampuan membaca seseorang tentu
diperlukan suatu alat untuk mengukurnya. Alat untuk mengukur kemampuan
membaca itu dapat mempergunakan alat ukur tes, seperti yang akan kita bicarakan
pada bab tersendiri setelah bab ini. Idealnya, pengukuran atau pengetesan kemampuan
membaca itu sebaiknya dilakukan oleh orang lain agar penilaiannya lebih objektif.
Namun, pengetesan itu dapat pula dilakukan sendiri. Tes membaca dapat pula anda
buat sendiri dengan memperhatikan perimbangan jenjang-jenjang pertanyaan bacaan.
3. Pengertian KEM
Kecepatan Efektif Membaca (KEM) sering pula disebut dengan kecepatan
efektif (KE) saja. Baik KEM maupun KE mengandung pengertian yang sama, ialah
perpaduan dari kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan
kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Dengan kata lain, KEM merupakan
perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan.
Mengapa KEM itu dikatakan sebagai cerminan dari kemampuan visual dan
kemampuan kognisi sebagai hasil dari proses membaca yang telah dilakukan
seseorang. Sekarang, mari kita renungkan ilustrasi berikut.
Ilustrasi (1)
Anda sedang dihadapkan pada masa-masa ujian akhir semester. Sebagai bahan
persiapan untuk kepentinganujian besok pagi, anda mempersiapkan diri
dengan membuka-buka dan membaca kembali buku-buku literatur yang
diwajibkan untuk mata uji besok pagi. Bukuitu sekarang sedang berada di
tangan anda dan secara serius anda membaca dan mempelajarinya secara
seksama.
Ilustrasi (2)
Meskipun waktu istirahat adalah waktu untuk beristirahat sejenak dari jam-
jam belajar, namun salahseorang murid anda, Gina, selalu
memanfaatkannyauntuk membaca di perpustakaan sekolah. Seperti juga kali
ini, Gina tak menghiraukan kedatangan andakarena dia tengah asyik dengan
bacaannya.
Melalui ilustrasi pertama, saya mengajak anda untuk mengingat-ingat proses
membaca yang anda alami. Melalui ilustrasi kedua, saya ingin mengajak anda untuk
memperhatikan proses membaca yang dialami (dilakukan) orang lain di luar diri kita.
Melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapat melihat titik kesamaan dalam proses
membaca, yakni dalam hal faktor-faktor utama yang terlibat dalam proses membaca
tersebut. Kalau kita ubah ke dalam bentuk pertanyaan, pertanyaan itu akan berbunyi
"faktor-faktor atau komponen-komponen apa sajakah yang bekerja paling dominan
pada saat orang melakukan kegiatan baca?"
Tentunya kita sepakat bahwa kegiatan membaca itu melibatkan dua komponen
utama, yakni kemampuan mata dalam melihat lambang-lambang grafis dan
kemampuan pikiran dalam menangkap dan memaknai lambang-lambang grafis
tersebut menjadi sebuah informasi yang utuh dan lengkap. Kemampuan fisik meliputi
kemampuan mata, selanjutnya kita sebut kemampuan visual. Sementara kemampuan
psikis yang melibatkan kemampuan berpikir dan bernalar kita sebut kemampuan
kognisi.
Dengan mengetahui unsur/komponen utama yang terlibat dalam kegiatan
membaca, selanjutnya kita akan dengan mudah dapat menjawab pertanyaan apa itu
"kemampuan membaca" atau selanjutnya lazim disebut KEM. Apa sebenarnya KEM
itu? Seperti sudah dijelaskan di muka, KEM merupakan kependekan dari kecepatan
efektif membaca. Dikatakan "kecepatan efektif" karena pada dasarnya KEM
merupakan cerminan dari kemampuan membaca yang sesungguhnya. Kemampuan di
sini mengandung pengertian sebagai paduan dari kemampuan visual dan kemampuan
kognisi, kemampuan yang sudah mempertimbangkan kecepatan rata-rata baca berikut
ketepatan memahami isi bacaan yang dibacanya.
Beberapa pakar pendidikan dan pengajaran membaca menyamakan istilah
KEM ini dengan istilah "Speed Reading". Jika kita alihbahasakan, "speed reading"
dapat diartikan sebagai "kecepatan membaca". Jika kita berbicara masalah kecepatan
membaca, maka yang terbayang dalam benak kita adalah jumlah kata per menit, yakni
rata-rata tempo baca untuk sejumlah kata tertentu dalam waktu tempuh baca tertentu.
Selanjutnya timbul pertanyaan, jika yang dimaksud dengan kecepatan membaca itu
adalah kecepatan rata-rata baca, bagaimana dengan masalah pemahaman isi
bacaannya. Di samping itu, bukankah jika kita berbicara tentang kecepatan membaca
akan berimplikasi terhadap tujuan membaca, tingkat keterbacaan bahan bacaan,
motivasi, teknik-teknik membaca, proses berpikir dan bernalar, dan sebagainya? Oleh
karena itu, istilah "kecepatan membaca" kita beri keterangan dengan istilah "efektif"
sehingga menjadi kecepatan efektif membaca atau lebih populer disebut KEM.
KEM merupakan cermin dari kemampuan membaca yang sesungguhnya. Dua
komponen utama yang terlibat dalam proses/ kegiatan membaca sudah tercakup di
dalamnya. Perpaduan dari kecepatan membaca dan pemahaman isi bacaan secara
keseluruhan atau perpaduan dari kemampuan visual dan kemampuan kognisi dalam
proses membaca disebut KEM. Masalah selanjutnya, bagaimana cara menentukan
atau mengukur KEM seseorang atau bahkan mungkin KEM kita sendiri? Pertanyaan
ini akan kita jawab nanti pada uraian tentang "Rumus KEM". Sebelum itu, mari kita
bicarakan dulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan membaca.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi KEM
Kecepatan baca seseorang tidak harus selalu konstan, dalam arti pembaca
melakukan kegiatan membaca dengan kecepatan yang sama untuk setiap bahan
bacaan yang dihadapinya. Mengapa demikian? Tentu saja, bahan bacaannya itu
sendiri tidak selalu sama, ada bacaan ringan, sedang, sukar; bacaan fiksi-nonfiksi;
bacaan sosial-eksak; dan sebagainya. Di samping itu, kadar kepentingan seseorang
melakukan kegiatan membaca itu pun akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan
bacanya. Membaca untuk kepentingan hiburan tentu akan berlainan dengan membaca
untuk kepentingan perolehan informasi. Membaca untuk kepentingan penulisan kritik
dan esei tentu akan berlainan dengan membaca untuk kepentingan sekedar memenuhi
rasa ingin tahu. Membaca karya sastra (novel, cerpen, puisi) berbeda dengan
membaca prosa ekspositoris. Perbedaan-perbedaan ini akan menyebabkan kecepatan
baca seseorang tidak harus sama dalam segala situasi dan kondisi. Pembaca yang
efektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel.
Tujuan membaca seseorang akan menentukan kecepatan bacanya. Berbicara
tentang hubungan kecepatan membaca dengan tujuan yang dikehendaki dari kegiatan
membacanya itu, akan terjadilah apa yang dinamakan fleksibilitas kecepatan baca.
Yang dimaksud fleksibilitas kecepatan baca adalah kelenturan tempo baca pada saat
membaca sesuai dengan karakteristik bahan bacaan dan tujuan yang ingin dicapai dari
kegiatan membacanya tersebut. Jika tujuan membacanya hanya sekedar ingin
menikmati karya sastra secara santai, pembaca dapat memperlambat tempo kecepatan
bacanya. Kalau pembaca menginginkan informasi menyeluruh tentang kejadian hari
ini dengan segera, tentu ia akan meningkatkan kecepatan bacanya. Pembaca akan
berusaha menemukan ide-ide utama atau gagasan-gagasan penting saja dan
menghiraukan hal-hal kecil atau rincian-rincian khusus dalam bacaannya tersebut.
Guru perlu menyadari kecepatan membaca siswanya itu berbeda-beda, ada
yang lambat tapi tidak sedikit pula yang cepat. Perhatian guru hendaknya terpusat
pada siswa yang mempunyai kecepatan membaca yang tergolong lambat. Kecepatan
baca yang memadai hanya akan diperoleh melalui latihan yang intensif dan
berkesinambungan. Di samping itu, guru juga perlu menyadari tidak semua pembaca
mengetahui bahwa keflek sibelan kecepatan baca sangat erat kaitannya dengan tujuan
membaca. Ada yang beranggapan bahwa kecepatan baca yang dimilikinya itu harus
dipergunakan bagi semua kegiatan membaca tanpa menghiraukan tujuan yang hendak
diperolehnya. Tentu saja anggapan ini tidak benar. Sebagai guru, anda harus berupaya
menanamkan pengertian kepada murid anda bahwa memiliki kecepatan baca yang
tinggi itu akan sangat penting artinya dalam mengarungi kehidupan di abad informasi
ini, akan tetapi bukan berarti harus menggunakan kecepatan baca yang sama untuk
semua situasi kegiatan baca yang berbeda-beda. Dengan demikian, yang penting bagi
guru sekarang adalah bentuk-bentuk upaya apa sajakah yang dapat dan harus
dilakukan untuk meningkatkan kecepatan baca siswanya serta bagaimana siswa dapat
memanfaatkan kecepatan itu secara fleksibel dalam menghadapi bahan bacaannya
tersebut.
Pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi KEM
merupakan suatu yang penting untuk diketahui setiap pembaca atau siapapun yang
berurusan dengan pendidikan dan pengajaran membaca. Hal ini akan sangat
bermanfaat di dalam menentukan keputusan instruksional yang paling tepat untuk
pembinan dan pengembangan kemampuan membaca siswanya. Ketepatan
mendiagnosis sumber-sumber penyakit yang diduga sebagai faktor penghambat
kemampuan membaca siswa dapat memberi petunjuk bagi para guru dan orang
dewasa lainnya dalam menangani masalah-masalah membaca.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, KEM menuntut dua kemampuan
utama, yakni kemampuan visual yang berkenaan dengan kecepatan rata-rata baca, dan
kemampuan kognisi yang berkenaan dengan kemampuan memahami isi bacaan.
Pembaca yang memiliki kedua komponen keterampilan utama ini dalam kegiatan
membaca, dipastikan dapat mencapai KEM yang sesuai dengan harapan.
Dalam keadaan normal, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
seorang lulusan setara SMU di negara kita (Senior High School) diharapkan sudah
memiliki kecepatan membaca minimum kira-kira 250 kata per menit (kpm), dengan
pemahaman isi bacaan minimum 70% (Lihat Tampubolon, 1987). Jika dihitung
KEM-nya, maka seorang lulusan SMU diharapkan sekurang-kurangnya memiliki
KEM 175 kpm. Jika hal ini dikaitkan dengan upaya mengejar kemajuan zaman dalam
kancah perjuangan hidup yang serba cepat dan dinamis ini, tampaknya KEM seperti
itu tidak akan mampu mengimbangi laju-pesatnya kemajuan dan perkembangan
zaman. Keadaan ini lebih parah lagi jika dikaitkan dengan persiapan mereka untuk
memasuki lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa yang memiliki KEM berkisar 250
kpm tidak lagi akan mempunyai waktu untuk beristirahat (lihat Harjasujana, 1988),
karena seperti juga diungkapkan Baldridge (1987) volume bacaan mahasiswa harus
mencapai 850.000 kata per minggu, jika mereka menginginkan keberhasilan yang
memuaskan dalam setiap ujian yang ditempuhnya.
Pada tahap-tahap awal, tingkat pencapaian KEM erat kaitannya dengan faktor
kesiapan membaca (reading readness). Burron dan Claybaugh (1977) mengajukan
enam hal yang dipandang penting dalam mempertimbangkan "reading readness".
Keenam hal tersebut meliputi:
(a) fasilitas bahasa lisan;
(b) latar belakang pengalaman;
(c) diskriminasi auditori dan diskriminasi visual;
(d) intelegensi;
(e) sikap dan minat; dan
(f) kematangan emosi dan sosial.
Butir a,c, dan f (fasilitas bahasa lisan, diskriminasi auditori dan visual, dan
kematangan emosi dan sosial) merupakan bekal bagi pembaca pemula dalam belajar
membaca; sementara butir b, d, dan e (latar belakang pengalaman, intelegensi, dan
sikap dan minat) dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan
membaca pada tingkat lanjut.
Dari ketiga faktor yang disebut terakhir yang dipandang sebagai faktor yang
mempengaruhi KEM pada tingkat lanjut, memang ada hal penting yang perlu dicatat.
Hasil penelitian Yap (178), misalnya, menunjukkan bukti bahwa faktor intelegensi
tidaklah terlalu berkontribusi terhadap kemampuan membaca seseorang. Faktor ini
hanya berurun sekitar 25%; sementara yang paling besar urunannya terhadap
kemampuan membaca adalah faktor intensitas baca, yakni sebesar 65%. Faktor ini
berkenaan dengan faktor sikap dan minat, yakni sikap, kebiasaan, minat, dan motivasi
membaca termasuk di dalamnya latar belakang pengalaman membaca. Sisanya,
sebesar 10% merupakan urunan dari faktor lain-lain.
Dengan maksud yang sama namun menggunakan istilah yang berbeda,
Heilman (1972) dan Alexander (1983) menyodorkan pandangan yang sama mengenai
faktor-faktor "reading readness". Namun, Alexander tampaknya memberikan rincian
yang lebih detil mengenai hal ini, mengingat "language development" dirincinya lagi
pada kemampuan-kemampuan yang lebih spesipik. Kemampuan-kemampuan
dimaksud meliputi pengembangan konsep kosakata, pemahaman makna kata,
pemahaman konsep-konsep linguistik, keterampilan analisis kata, dan lain-lain.
Salah satu komponen pengukuran KEM adalah pengukuran terhadap
pemahaman bacaan sebagai wujud dari pengukuran kognisi. Ommagio (1984)
berpendapat bahwa pemahaman bacaan bergantung pada gabungan dari pengetahuan
bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca. Dalam upaya mencapai pemahaman
bacaan, Ommagio tampaknya lebih menyoroti faktor pembacanya. Jika pembaca
memiliki dan menguasai ketiga faktor di atas, maka proses pemahaman bacaan tidak
akan mendapat hambatan yang berarti.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Harjasujana (1992). Menurutnya,
sekurang-kurangnya terdapat lima hal pokok yang dapat mempengaruhi proses
pemahaman sebuah wacana. Kelima faktor tersebut meliputi:
(a) latar belakang pengalaman,
(b) kemampuan berbahasa,
(c) kemampuan berpikir,
(d) tujuan membaca, dan
(e) berbagai afeksi seperti motivasi, sikap, minat, keyakinan, dan perasaan.
Harjasujana pun tampaknya lebih menyoroti aspek pembacanya ketimbang aspek
lainnya dalam menyoroti masalah faktor-faktor pemengaruh KEM seseorang.
Kebanyakan ahli tampaknya memandang faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi pemahaman bacaan berpusat pada faktor pembaca. Seperti juga
pendapat Heilman, Blair, dan Rupley (1981) yang mengetengahkan empat hal yang
dipandang berperanan penting di dalam proses pemahaman bacaan, antara lain:
(a) latar belakang pengalaman;
(b) tujuan dan sikap pembaca;
(c) pengetahuan tentang berbagai tipe pengorganisasian tulisan; dan
(d) berbagai strategi identifikasi tulisan.
Williams (1984) mengomentari perihal faktor yang mempengaruhi
pemahaman bacaan itu sebagai berikut. Ketidaktahuan akan bahasa dapat
menghalangi pemahaman. Meskipun pengetahuan bahasa itu penting, namun
bagaimana menumbuhkan keinginan membaca jauh lebih penting. Selanjutnya, beliau
mengaitkan hal tersebut dengan keterbacaan wacana (readability). Menurutnya, materi
bacaan yang disuguhkan dengan bahasa yang sulit menyebabkan bacaan itu sulit
dipahami dan mengakibatkan frustasi bagi pembacanya. Keterbacaan menurutnya,
tidak hanya bergantung pada bahasa teks, melainkan juga bergantung pada
pengetahuan pembaca tentang teks serta bagaimana ketekunan dan ketajaman
membacanya.
Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal-balik.
Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca pada pembacanya. Salah
satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca ini adalah faktor keterbacaan
wacana. Teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi relatif lebih mudah
dibaca. sebaliknya, teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah relatif lebih
sulit dibaca. Tinggi-rendahnya tingkat keterbacaan sebuah wacana berpengaruh
terhadap minat baca pembacanya. Teks yang memenuhi kriteria keterbacaan wacana,
yang sesuai dengan peringkat pembacanya dapat mendorong minat baca pembacanya.
Dalam upaya mempertahankan dan membangkitkan minat baca siswa itulah faktor
keterbacaan wacana hendaknya menjadi perhatian para guru di sekolah dalam
menyajikan materi ajar membaca. Setiap guru dituntut untuk dapat memilih dan
menyeleksi bahan bacaan yang begitu banyak dan beragam sesuai dengan tingkat
keterpahaman pembacanya.
Faktor tingkat keterbacaan yakni tingkat mudah-sukarnya bacaan bagi
peringkat pembaca tertentu juga mempengaruhi kecepatan baca seseorang. Bahan
bacaan yang tidak sesuai dengan peringkat pembacanya dianggap mempunyai tingkat
keterbacaan yang rendah. Bahan bacaan yang demikian tentu saja tidak dapat dicerna
dengan mudah dalam waktu yang relatif cepat. Pembaca membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk mencerna bahan bacaan yang seperti itu. Sebaliknya, bahan bacaan
yang memiliki tingkat keterbacaan yang layak dengan pembacanya, atau bahkan
cenderung di bawah kemampuan pembacanya, akan dilahapnya dalam waktu yang
relatif cepat.
Masalahnya bagi guru (termasuk anda) sekarang ini adalah bagaimana upaya
memilihkan bahan-bahan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang layak
dengan siswanya dan bagaimana meningkatkan kemampuan baca siswa itu dengan
tidak mengabaikan faktor kecepatan bacanya.
Dewasa ini, banyak formula-formula keterbacaan wacana yang telah
diperkenalkan para ahli yang dapat dimanfaatkan untuk mengukur keterbacaan
wacana (uraian tentang hal ini akan dibicarakan pada bab tersendiri di bagian muka
nanti). Namun, tampaknya rumus-rumus yang ada belum dapat menampung dan
mengantisipasi berbagai faktor yang diduga dapat menimbulkan tinggi-rendahnya
tingkat keterbacaan wacana. Rumus yang satu misalnya, hanyalah
mempertimbangkan tingkat kekerapan kosakata. Kosakata yang mempunyai tingkat
kekerapan yang tinggi dalam penggunaannya (termasuk kelompok seribu) tergolong
ke dalam kosakata mudah; sedangkan kosakata yang tidak termasuk ke dalam
kelompok seribu dalam kekerapan pemakaiannya dianggap sulit. Beberapa rumus
keterbacaan yang lain menggunakan kombinasi jumlah kata-kata sukar dan jumlah
kalimat. Rumus yang lain lagi ada yang menggunakan tolok ukur semantik dan
kecanggihan sintaksis.
Bagaimanapun saran Harjasujana (1987) mengenai penggunaan formula-
formula keterbacaan ini tampaknya perlu mendapat perhatian para guru. Menurutnya,
bagi guru, rumus-rumus keterbacaan itu harus dianggap sebagai upaya untuk
mengukur tingkat kesukaran prosa yang masih perlu diteliti berdasarkan pengalaman
dan penalarannya sendiri. Dengan kata lain, unsur "pertimbangan" guru itu sendiri
berperanan penting di dalam menentukan tingkat keterbacaan wacana. Sampai
sekarang, belum ada penemuan rumus-rumus keterbacaan yang bisa mengukur secara
mendalam latar belakang pengalaman, tingkat kematangan, minat, dan tujuan
membaca.
Faktor minat dan motivasi seseorang dalam membaca juga turut berpengaruh
terhadap kecepatan bacanya. Minat dan motivasi yang tinggi, baik terhadap bahannya
maupun terhadap kegiatan membacanya, akan berefek positif terhadap kecepatan baca
seseorang. Hal ini mungkin disebabkan oleh dorongan rasa ingin tahu yang bersifat
intrinsik dari diri pembaca itu sendiri, sehingga dengan tanpa disadarinya gerakan
mata akan meluncur dengan cepat untuk segera dapat memenuhi keinginannya
tersebut dengan cepat pula. Sebaliknya, jika membaca tanpa disertai minat dan
motivasi bukan saja berefek negatif terhadap kecepatan membacanya, melainkan bisa
lebih fatal dari itu, misalnya saja pembaca sama sekali enggan menyentuh bahan
bacaan tersebut.
Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas, kecepatan membaca juga
dipengaruhi oleh faktor kebiasaan. Yang dimaksud dengan faktor kebiasaan di sini
adalah kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasa dilakukan pada saat membaca
(membaca dalam hati/pemahaman). Kebiasaan-kebiasaan buruk antara lain:
(a) membaca dengan vokalisasi (suara nyaring);
(b) membaca dengan gerakan bibir;
(c) membaca dengan gerakan kepala;
(d) membaca dengan menunjuk baris bacaan dengan jari, pena, atau alat lainnya;
(e) membaca dengan pengulangan kata, kelompok kata, atau baris bacaan (regresi);
(f) membaca dengan subvokalisasi (melafalkan bacaan dalam batin atau pikiran);
(g) membaca kata demi kata;
(h) membaca dengan konsentrasi yang tidak sempurna;
(i) membaca hanya jika perlu/ditugasi/dipaksa saja (insidental).
Kesemua kebiasaan buruk di atas akan memperlambat kecepatan membaca
orang yang bersangkutan. Untuk mengatasinya, tentu saja kebiasaan-kebiasaan buruk
di atas hendaknya dihindari manakala kita sedang melakukan kegiatan membaca.
MODUL 3: KECEPATAN EFEKTIF MEMBACA
Pendahuluan
Kegiatan Belajar 1: Hakikat dan Fungsi KEM
Rangkuman
Perlatihan 1
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Faktor yan Mempengaruhi KEM
Rangkuman
Perlatihan 2
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Cara Menggunakan KEM
Rangkuman
Perlatihan 3
Tes Formatif 3
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
mahaman (membaca dalam hati). Aktivitas fisik yang benar-benar diperlukan dalam
membaca pemahaman hanyalah gerakan mata semata. Sementara itu, aktivitas-
aktivitas fisik lainnya seperti gerakan bibir, kepala, jari, tangan, dan sebagainya
hanyalah menambah beban kerja fisik yang berakibat buruk pada kecepatan baca
seseorang.
Membaca frase demi frase jauh lebih cepat ketimbang membaca kata demi
kata. Dengan membaca kata demi kata pembaca akan terjebak pada upaya memahami
makna literal sebuah kata ketimbang gagasan pokoknya. Satu hal lagi yang perlu
dicamkan bahwa ternyata intensitas baca yang baik (sering, kontinyu, dan teratur)
akan mengasah kecepatan baca seseorang ke arah pencapaian KEM yang lebih baik.
Faktor lain yang mepengaruhi kecepatan efektif membaca adalah penguasaan
teknik-teknik membaca yang tepat sesuai degan tujuan, bahan, dan jenis
membacanya. Teknik-tenik membaca yang umum dikenal orang adalah:
a) teknik baca-pilih atau selecting, yaitu membaca bahan bacaan atau bagian-bagian
bacaan yang dianggapnya relevan atau mengandung informasi yang dibutuhkan
pembaca. Dalam hal ini, sebelum melakukan kegiatan membaca tersebut, pembaca
telah melakukan pemilihan/seleksi bahan terlebih dahulu.
b) Teknik baca-lompat atau skipping, yaitu membaca dengan loncatan-loncatan.
Maksudnya, bagian-bagian bacaan yang dianggap tidak relevan dengan
keperluannya atau bagian- bagian bacaan yang sudah dikenalnya/dipahaminya
tidak dihiraukan. Bagian bacaan yang demikian dilompati untuk mencapai
efektifitas dan efisiensi membaca.
c) Teknik baca-layap atau skimming atau dikenal juga dengan istilah membaca
sekilas, yaitu membaca dengan cepat atau menjelajah untuk memperoleh gambaran
umum isi buku atau bacaan lainnya secara menyeluruh. Selain itu, teknik ini juga
dapat dipergunakan sebagai dasar memprediksi (menduga), apakah suatu bacaan
atau bagian-bagian tertentu dari bacaannya itu berisi informasi tertentu. Seorang
pembaca yang menggunakan teknik skimming hanya memetik ide-ide pokok
bacaan atau hal-hal penting atau intisari suatu bacaan. Teknik ini dipergunakan
untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut ini.
1) Mengenali topik bacaan; misalnya mengenali kesan umum suatu buku untuk
melihat relevansi isi bacaan dengan keperluan pembacanya atau memilih suatu
artikel dari majalah/surat kabar untuk kliping.
2) Mengetahui pendapat orang (opini). Setelah pembaca mengetahui topik yang
dibahas, dia juga ingin mengetahui pendapat penulisnya terhadap masalah
tersebut. Suatu kesimpulan itu biasanya diletakkan pada bagian akhir bacaan.
3) Mengetahui bagian penting tanpa harus membaca seluruh bacaan. Pembaca
hanya melihat seluruh bacaan itu untuk memilih ide-ide yang dianggapnya
penting dan baik, tetapi tidak membacanya secara lengkap.
4) Mengetahui organisasi penulisan, urutan ide pokok, hubungan antar bagian guna
mencari atau memilih bahan yang perlu dipelajari atau perlu diingat.
5) Menyegarkan apa yang pernah dibaca, misalnya dalam mmepersiapkan ujian
atau ceramah.
Teknik baca-tatap atau scanning atau dikenal juga dengan istilah sepintas, yaitu suatu
teknik pembacaan sekilas cepat tetapi teliti dengan maksud untuk memperoleh inforsi
khusus/tertentu dari bacaan. Pembaca yang menggunakan teknik ini akan langsung
membaca bagian tertentu dari bacaannya yang berisi informasi/fakta yang
diperlukannya tanpa menghiraukan bagian-bagian lain yang dianggapnya tidak
relevan. Teknik scanning biasa digunakan untuk hal-hal berikut:
1) mencari nomor telepon;
2) mencari makna kata tertentu dalam kamus;
3) mencari keterangan tentang suatu istilah pada ensiklopedia;
4) mencari entri atau rujukan sesuatu hal pada indeks;
5) mencari definisi sebuah konsep menurut para pakar tertentu;
6) mencari data-data statistik;
7) mencari acara siaran TV, daftar perjalanan, dokter jaga, dan sebagainya.
Keempat teknik membaca di atas, pada umumnya jarang dipergunakan dalam
bentuk tunggal atau berdiri sendiri, melainkan dipadukan dengan teknik-teknik
lainnya. Bahkan sering terjadi keempat teknik ini dipergunakan sekaligus secara
bergiliran dalam suatu kegiatan membaca. Yang penting bagi pembaca adalah
bagaimana dia dapat memilih, menentukan, dan menggunakan teknik membaca yang
tepat/cocok dengan sifat informasi yang diperlukannya sehingga memnuhi tuntunan
efektifitas dan efisiensi membaca.
Di samping teknik-teknik membaca di atas, kita juga perlu menguasai metode-
metode membaca yang efektif dan efisien. Metode-metode tersebut misalnya
membaca frase, metode SQ3R, metode PQ3R, metode PQRST, dan lain-lain.
Pembicaraan tentang metode membaca dapat dilihat pada buku-buku lain .
Berbeda dengan para ahli di atas, Burnes (1985) mencoba mengklasifikasikan
faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu
faktor-faktor yang berkaitan dengan pembaca (reader-related factors), faktor-faktor
yang berkaitan dengan penulis/pengarang (author-related factors), dan faktor-faktor
yang berkaitan dengan teks (text-related factors). Pengklasifikasian terhadap faktor
yang mempengaruhi pemahaman bacaan dari Burnes di atas, tampaknya diilhami oleh
model pemahaman interaktif yang diusulkan Tierney & Mosenthal (1982). Model
dimaksud tampak pada gambar berikut.
____________________________________________________________
DISCOURSE PRODUC- DISCOURSE COMPREHEN-
TION (Author) C C SION (Reader)
__________________ O__________________O_____________________
Cognitive struc- N Text N Cognitive structure
ture of author T T of reader
E E
Knowledge X Ideas X Knowledge
Background T Relationship T Background
U between ideas U
Purpose A A Purpose, attenti-
L L on, interest, focus
Assumptions I Structural I Assumption about
about reader,text N tendencies N reading
references F F
L Cohesion L
Theme mode of U U Assumption about
publication E Stylistic E text
N tendencies N
C C
E E Strategies
S S
___________________________________________________________
Gambar 1. Model pemahaman interaktif dari Tierney dan Mosenthall (1982),
International Reading Association, (dalam Burnes & Page, 1985:47)
Dari sekian banyak pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan membaca, pendapat Pearson dipandangsebagai cermin dari kesimpulan
pendapat-pendapat di atas. Menurut beliau, faktor-faktor yang mempengaruhi
pemahaman bacaan dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni faktor dalam
(internal) dan faktor luar (eksternal). Faktor-faktor dalam meliputi kompetensi bahasa,
minat, motivasi, dan kemampuan membaca. Faktor-faktor yang termasuk faktor
dalam tersebut bersumber pada diri pembaca. Faktor luar dibaginya lagi menjadi dua
kategori, yakni (a) unsur dalam bacaan, dan (b) sifat-sifat lingkungan baca. Unsur
dalam bacaan berkaitan dengan keterbacaan dan faktor organisasi teks. Sifat
lingkungan baca berkenaan dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dan lain-lain
(Pearson, 1978; Hafni, 1981).
Jika pengklasifikasian faktor-faktor pemengaruh KEM tersebut kita buat
skematiknya, maka akan tampak skema seperti berikut ini.
/- - kompetensi bahasa
/--- Faktor dalam |- - minat dan motivasi
| (internal) |- - sikap dan kebiasaan
Faktor- | \- - intelegensi/kemampuan
faktor |
pemenga- | /- - unsur dalam bacaan
ruh KEM | | * keterbacaan wacana
| Faktor luar | * organisasi teks/tulisan
\--- (eksternal) \- - sifat lingkungan baca
* fasilitas
* guru
* model PBM
dll.
(Gambar 2: Skema faktor-faktor pemengaruh KEM)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, tampaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi pemahaman bacaan itu bukanlah faktor-faktor yang masing-masing
berdiri sendiri dan tidak juga bersifat hierarkis. Setiap faktor saling berkaitan.
Pendapat tentang faktor mana yang paling dominan pengaruhnya terhadap
pemahaman bacaan, juga masih simpang siur. Ahli yang satu berpendapat bahwa
kuantitas membacalah yang paling dominan pengaruhnya, sementara ahli lain
memandang inteligensi sebagai faktor yang dipandang paling dominan, dan ahli yang
lain lagi memandang bahasa sebagai sentral dari pemahaman.
5. Mengukur Kecepatan Efektif Membaca
Seperti telah dijelaskan di muka, KEM itu merupakan perpaduan antara
kecepatan membaca dengan kemampuan memahami isi bacaan. Kecepatan rata-rata
baca merupakan cermin dari tolok ukur kemampuan visual, yakni kemampuan gerak
motoris mata dalam melihat lambang-lambang grafis. Pemahaman isi bacaan
merupakan cermin dari kemampuan kognisi, yakni kemampuan berpikir dan bernalar
dalam mencerna masukan grafis yang diterimanya lewat indera mata.
Untuk menentukan KEM seseorang diperlukan data mengenai rata-rata
kecepatan bacanya dan persentase pemahaman isi bacaan. Data mengenai rata-rata
kecepatan baca dapat diketahui apabila jumlah kata yang dibaca dan waktu tempuh
bacanya diketahui. Cara menghitung rata-rata kecepatan baca adalah dengan cara
membagi jumlah kata yang dibaca dengan waktu tempuh baca. Sebagai contoh, jika
seseorang dapat membaca sebanyak 2500 perkataan dalam waktu 5 menit, artinya
kecepatan rata-rata baca pembaca tersebut adalah 500 kpm (2500 : 5 = 500).
Sementara itu, untuk memperoleh data tentang persentase pemahaman isi
bacaan yang objektif (bukan perkiraan), tentu diperlukan suatu alat untuk
mengukurnya. Alat tersebut berupa tes (masalah ini akan dibicarakan dalam bab
tersendiri). Untuk menentukan persentase pemahaman seseorang terhadap bahan
bacaan yang dibacanya ialah dengan cara membagi sekor bobot tes pemahaman isi
bacaan yang dapat dijawab pembaca dengan benar dengan bobot/skor ideal kemudian
diperkalikan dengan 100 (persen). Misalnya, jika seseorang dapat menjawab dengan
benar tes pemahaman isi bacaan sebanyak 32 dari sekor ideal 50, maka persentase
pemahaman isi bacaan pembaca yang bersangkutan adalah 64% (32/50 X 100% =
64%).
Berpedoman kepada pengertian KEM, yakni perpaduan antara kemampuan
visual dan kemampuan kognisi, maka contoh-contoh penghitungan KEM untuk data
di atas dapat ditentukan KEM-nya. Dari hasil penghitungan rata-rata kecepatan baca
diperoleh data 500 kpm; dari hasil penghitungan persentase pemahaman isi bacaan
diperoleh data 64%. Maka penghitungan KEM-nya adalah 500 X 64% = 320 kpm.
Angka terakhir ini (320 kpm) merupakan kecepatan efektif membaca yang sudah
menyertakan pengukuran dua unsur penyokong kegiatan baca, yakni kemampuan
gerak mata dalam melihat lambang-lambang cetak dan kemampuan memahami isi
bacaan. Sementara angka 500 kpm itu merupakan kemampuan kecepatan rata-rata
baca yang belum menyertakan unsur pemahaman isi bacaan.
Selanjutnya, berdasarkan ilustrasi di atas, sekarang kita dapat membuat
beberapa alternatif rumus KEM yang dapat dipergunakan untuk menghitung dan
menentukan KEM seseorang. Alternatif rumus-rumus tersebut antara lain sebagai
berikut ini.
(1) K B
---- X ---- = ... kpm
Wm SI
(2) K B
----- X ---- = ... kpm
Wd:60 SI
(3) K B
---- (60) X ---- = ... kpm
Wd SI
Keterangan:
a) K : jumlah kata yang dibaca
b) Wm : waktu tempuh baca dalam satuan menit
c) Wd : waktu tempuh baca dalam satuan detik
d) B : sekor bobot perolehan tes yang dapat dijawab dengan benar
e) SI : sekor ideal atau sekor maksimal
f) kpm: kata per menit
Untuk memudahkan proses pengukuran/penghitungan KEM, ikutilah prosedur
kerja di bawah ini.
1) Tandailah bacaan anda/pembaca, di mana anda/pembaca memulai bacaan dan di
mana pula berakhirnya, kemudian hitunglah jumlah kata yang telah (berhasil) anda
baca itu dengan jalan:
(a) menghitung jumlah kata per baris (sebagai sampel);
(b) menghitung jumlah baris per halaman, lalu dikalikan dengan hasil penghitungan
butir (a) menghasilkan jumlah kata per halaman.
(c) menghitung jumlah halaman yang berhasil dibaca;
(d) memperkalikan hasil penghitungan (b), yakni jumlah kata per halaman dengan
hasil penghitungan (c), yakni jumlah halaman, menghasilkan jumlah seluruh
kata yang telah dibaca.
Contoh :
• Jumlah kata per baris = 11
• Jumlah baris per halaman = 35
• Jumlah halaman yang dibaca = 10
maka akan diperoleh:
• Jumlah kata per halaman 11 X 35 = 385 kata
• Jumlah kata yang dibaca (secara keseluruhan) adalah 10 x 385 = 3850 kata.
2) Catatlah waktu tempuh baca dengan jalan:
(a) catat waktu mulai membaca, misalnya pk. 10.15
(b) catat waktu berakhirnya membaca, misalnya pk 10.20.30
(c) hitung waktu tempuh baca dengan jalan (b - a) atau 10.20.30 - 10.15 = 5 menit
30 detik atau 330 detik.
3) Hitung rata-rata kecepatan bacanya dengan jalan membagi jumlah kata (langkah 1)
dan waktu tempuh baca (langkah 2) jika waktu tempuh baca dalam bentuk menit
gunakan rumus (1), jika menggunakan satuan detik gunakan (2) atau (3).
Penghitungan untuk contoh di atas menjadi seperti berikut ini.
*) Menggunakan rumus (1):
3850 ------ = 700 kpm 5.5
*) Menggunakan rumus (2) atau (3):
3850 3850 ------ X 60 = 700 kpm atau ------- = 700 kpm 330 330:60
4) Tentukan persentase pemahaman isi bacaan yang anda capai dengan cara
membagi sekor bobot perolehan yang benar dengan sekor idealnya, kemudian
dikalikan dengan 100%.
Contoh: diberikan 30 soal pemahaman isi bacaan dengan
pembagian sebagai berikut:
I. 20 soal, bobot 2 ---> 20 X 2 = 40
II. 10 soal, bobot 1 ---> 10 X 1 = 10
------
Sekor idealnya adalah = 50
Seandainya anda dapat menjawab 17 soal dengan benar dari nomor-nomor soal
berikut: 1-6, 9, 12, 15-19, 22-25, 28; maka penghitungan sekor perolehan yang anda
capai adalah
sebagai berikut.
I. 18 butir X 2 = 36
II. 5 butir X 1 = 5
-------
Sekor perolehan = 41 atau 41:50 X 100% = 82%
5) Tentukan KEM-nya dengan jalan memperkalikan hasil langkah (3) (rata-rata
kecepatan baca) dengan hasil langkah (4) (pemahaman isi bacaan).
Untuk contoh data di atas, penghitungan KEM-nya tampak seperti berikut ini.
(a) dengan rumus (1):
3850 41 3850
------ X ---- = ------> ------ X 82% =
5.5 50 5.5
700 X 0.82 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
(b) dengan rumus (2):
3850 41 3850
------ X 60 ---- = ------ X 60 82% =
330 50 330
700 X 0.82 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
(c) dengan rumus (3):
3850 41 3850
------ X ---- = ------ X 82% =
330:60 50 330:60
700 X 0.8 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
Dengan menggunakan rumus mana pun kita menghitung KEM, pada akhirnya akan
menghasilkan angka yang sama, yakni 574 kpm.
Berbekal rumus penghitungan KEM tersebut, kita berkesimpulan bahwa untuk
sampai pada penggunaan rumus tersebut terdapat sejumlah persiapan yang harus kita
persiapkan untuk menghitung KEM. Persiapan-persian dimaksud meliputi:
(a) menyediakan teks/wacana sebagai bahan bacaan;
(b) menyiapkan alat pengukur waktu: jam tangan, stopwatch;
(c) perangkat tes (tes bacaan).
6. KEM, Tujuan Membaca, dan Krakteristik Bahan
Pembaca yang efisien mempunyai kecepatan baca yang fleksibel sesuai
dengan bahan bacaan yang dihadapinya dan tujuan membacanya. Berikut ini disajikan
rincian rata-rata kecepatan baca yang disesuaikan dengan keperluan baca.
a) Kecepatan 1000 kpm atau lebih biasa digunakan pada saat membaca skimming
atau scanning, manakala pembaca hendak mengenal bahan bacaan yang akan
dibaca, mencari jawaban atas pertanyaan tertentu, megetahui struktur organisasi
bacaan, mencari gagasan pokok, mendapatkan kesan umum su atu bacaan, dan
lain-lain.
b) Kecepatan antara 500-800 kpm (tinggi) digunakan untuk membaca bahan bacaan
yang mudah/ringan atau yang sudah dikenal, membaca novel/cerpen ringan untuk
mengetahui jalan ceritanya.
c) Kecepatan antara 350-500 kpm (cepat) digunakan untuk membaca bacaan mudah
yang bersifat deskriptif/informatif dan bacaan fiksi yang agak sulit untuk
menikmati keindahan sastranya atau mengantisipasi akhir cerita.
d) Kecepatan antara 250-350 kpm (rata-rata) digunakan untuk membaca fiksi yang
kompleks guna menganalisis watak tokoh dan jalan cerita atau bahan-bahan
nonfiksi yang agak sulit untuk mendapatkan detail informasi, mencari hubungan
atau membuat evaluasi tentang ide penulis.
e) Kecepatan antara 100-125 kpm (lambat) digunakan untuk mempelajari bacaan
yang sukar, bahan bacaan ilmiah yang bersifat teknis, analisis nilai sastra klasik,
memecahkan persoalan yang dirujuk bacaan yang bersifat instruksional
(petunjuk).
Kecepatan rata-rata di atas hendaknya disertai dengan minimal 70% pemahaman
isi bacaan, karena kecepatan rata-rata tersebut masih merupakan kecepatan kasar
yang belum menyertakan pemahaman isi bacaan. Berdasarkan hasil studi para ahli
membaca di America, kecepatan yang memadai untuk siswa tingkat akhir sekolah
dasar kurang lebih 200 kpm, siswa tingkat lanjutan pertama antara 200-250 kpm,
siswa tingat sekolah lanjutan atas antara 250-325 kpm, dan tingkat mahasiswa
antara 325-400 kpm dengan pemahaman isi minimal 70%. Dengan demikian, bila
dihitung KEM-nya masing-masing akan menjadi seperti berikut:
* tingkat SD : 200 x 70% = 140 kpm
* tingkat SMTP : 200 x 70% s.d. 250 x 70% = 140 - 175 kpm
* tingkat SMTA : 250 x 70% s.d. 350 x 70% = 175 - 245 kpm
* tingkat PT : 350 x 70% s.d. 400 x 70% = 245 - 280 kpm.
RANGKUMAN
KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca, yakni sebuah
istilah untuk mencerminkan kemampuan membaca yang sesungguhnya yang dicapai
oleh pembaca. Dua unsur penyokong kegiatan/proses membaca, yakni unsur visual
(kemampuan gerak motoris mata dalam melihat dan mengidentifikasi lambang-
lambang grafis) dan unsur kognisi (kemampuan otak dalam mencerna dan
memahamai lambang-lambang grafis) sudah terliput dalam rumus KEM. Oleh karena
itu, KEM dapat ditentukan dengan jalan memperkalikan kecepatan rata-rata baca
dengan persentase pemahaman isi bacaan.
Untuk mencapai KEM yang tinggi diperlukan latihan dan pembiasaan. KEM
seseorang dapat dibina dan ditingkatkan melalui proses berlatih. Ada dua faktor utama
yang diduga sebagai faktor pemengaruh KEM, yakni faktor dalam (internal) dan
faktor luar eksternal. Yang dimaksud dengan faktor dalam adalah faktor yang berada
di dalam diri pembaca itu sendiri. Yang termasuk ke dalam faktor ini, misalnya
intelegensi, minat dan motivasi, sikap baca, kompetensi kebahasaan, tujuan baca dll.
Yang dimaksud dengan faktor luar adalah faktor-faktor yang berada di luar pembaca.
Faktor ini dapat dibedakan lagi ke dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang berkenaan
dengan bacaan (keterbacaan dan organisasi bacaan) dan sifat-sifat lingkungan baca
(guru, fasilitas, model PBM, teknik-teknik membaca, dan lain-lain).
Pembaca yang fektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel, yakni
pembaca yang dapat menyesuaikan atau mengatur kelenturan waktu tempuh baca
dengan tujuan membaca dan berbagai kondisi baca yang ada, seperti karakteristik dan
tingkat kesulitan bacaan, minat baca, strategi membaca, dan lain-lain. Tujuan dan
kondisi baca itu turut menentukan KEM minimal yang harus dikuasai seorang
pembaca. Secara garis besar KEM dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sangat
tinggi, tinggi, cepat, rata-rata, dan lambat. KEM minimal untuk klasifikasi pembaca
adalah: SD (140 kpm), SLTP (140-175 kpm), SLTA (175-245 kpm), PT (245-280
kpm) .
LATIHAN
Sekarang mari kita berlatih menggunakan rumus KEM untuk mengukur
kecepatan efektif membaca diri sendiri.
Petunjuk
Sebelum kita mencoba mempraktikkan rumus pengukuran KEM ini, terlebih
dahulu silakan anda baca dulu wacana/teks berikut. Jangan lupa untuk mencatat,
kapan anda mulai membaca dan kapan berakhirnya.
A.TEKS
mulai pukul : .........
Masalah hubungan antara intelegensi dan kreativitas serta peranan masing-
masing terhadap keberhasilan dalam pendidikan dan dalam hidup pada umumnya
telah lama menjadi pokok pembahasan dan penelitian para ahli.
Merupakan suatu kenyataan bahwa intelegensi atau IQ yang tinggi belum
tentu menjamin keberhasilan dalam pendidikan, apalagi dalam karir. Karena itu
timbul pertanyaan, faktor-faktor apa kecuali intelegensi yang menentukan
keberhasilan dalam studi? Ukuran-ukuran atau test-test apa yang sebaiknya digunakan
untuk mengetahui bakat dan untuk meramalkan apakah seorang anak akan dapat
menyelesaikan suatu pendidikan dengan hasil yang memuaskan? Sejauh mana
kreativitas seseorang ikut berperan? Apakah persamaan dan perbedaan antara
intelegensi dan kreativitas?
Sebenarnya ada dua anggapan yang mengaburkan pengertian mengenai
intelegensi dan kreativitas. Pertama, anggapan bahwa hasil test intelegensi sudah
mencerminkan semua kemampuan mental dan proses-proses kognitif. Kedua, aggapan
bahwa kreativitas semata-mata berhubungan dengan bakat artistik, dan oleh karena
itu, anggapan ini telah membatasi usaha-usaha untuk mengidentifikasi dan memupuk
kemampuan-kemampuan kognitif yang berkaitan dengan fungsi kreatif di luar bidang
seni.
Seorang tokoh yang berjasa menjelaskan pengertian tentang intelegensi dan
kreativitas serta hubungan antara keduanya ialah J.P. Guilford (1956).Dalam
modelnya tentang struktur intelek manusia, Guilford mendemonstrasikan bahwa
intelek manusia meliputi tidak kurang dari 120 faktor, dan bahwa test intelegensi
konvensional hanya mengukur sebagian kecil dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena
itu, mungkin saja bahwa seorang anak yang berdasarkan test intelegensi tertentu
mencapai IQ yang tinggi, dalam kenyataannya kurang berhasil. Atau sebaliknya,
seorang pemuda yang diramalkan kurang memnuhi syarat untuk pendidikan tinggi
ternyata bisa jadi sarjana. Hal ini disebabkan test intelegensi yang dipakai belum tentu
meliputi semua keterampilan yang dibutuhkan dalam bidang studi tertentu. Apalagi di
samping faktor intelegensi, faktor kepribadian dan lingkungan juga ikut berperan.
Berkenaan dengan intelegensi dan kreativitas, keduanya merupakan fungsi
dari kemampuan kognitif manusia, akan tetapi meliputi dimensi yang berbeda.
Menurut Guilford, tes intelegensi terutama mengukur apa yng disebutnya "pemikiran
konvergen", yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang
logis berdasarkan informasi yang diberikan, sedangkan tes kreativitas terutama
mengukur "pemikiran divergen", yaitu kemampuan untuk memberikan macam-
macam alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Guilford
menekankan bahwa sistem pendidikan yang tradisional kurang memperhatikan
pengembangan dari kemampuan berpikir divergen, padahal kemampuan ini sangat
penting dalam proses pemecahan masalah pada umumnya, dan khususnya di mana
dibutuhkan gagasan-gagasan yang inovatif.
dari: INTELEGENSI BAKAT
berakhir pukul : ............ dan TEST IQ
Disusun oleh Fakultas Psikologi UI
B. Pertanyaan Bacaan
I. 1. Jawablah pertanyaan bacaan berikut dengan membubuhkan tanda silang (X) pada
huruf di depan alternatif jawaban yang anda anggap paling tepat!
1) Pernyataan berikut salah, kecuali ...
a. Hasil tes intelegensi mencerminkan kemampuan mental dan proses kognitif
seseorang.
b. Kreativitas hanya berhubungan dengan hal yang bersifat artistik atau seni.
c. Intelegensi yang tinggi menjamin keberhasilan studi seseorang.
d. Intelegensi dan kreativitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan studi.
2) Tes yang memungkinkan si penjawab memberikan beberapa alternatif jawaban,
digunakan untuk mengukur ...
a. intelegensi
b. kreatisitas
c. intelegensi dan kreativitas
d. kreatis\vitas dan prestasi belajar
3) Faktor-faktor yang termasuk fungsi kognitif manusia adalah ...
a. intelegensi dan kepribadian
b. kreativitas dan kepribadian
c. intelegensi dan kreativitas
d. bakat dan kreativitas
4) Tema sentral bacaan di atas adalah ...
a. Pernan intelegensi dan kreativitas dalam keberhasilan pendidikan.
b. Hubungan intelegensi, kreativitas, dan kepribadian.
c. Faktor-faktor penentu keberhasilan pendidikan
d. Tes pemikiran konvergen dan pemikiran divergen
5) Kemampuan berpikir divergen berguna terutama dalam hal ...
a. pembuatan keputusan
b. proses pemecahan masalah
c. pembiuatan kesimpulan yang logis
d. peningkatan intelegensi
II. 1) Hitunglah jumlah kata pada teks di atas!
(a) jumlah kata per baris : ...............
(b) jumlah baris : ...............
(c) jumlah kata seluruhnya : ...............
2) Hitunglah waktu tempuh baca anda!
(a) mulai membaca pukul : ...............
(b) berakhir/selesai pukul : ...............
(c) waktu tempuh baca anda : ...............
III. 1) Silakan tentukan KEM yang anda capai berdasarkan rumus KEM yang paling
anda kuasai! Sebelumnya, periksa dan cocokkan hasil jawaban anda dalam menjawab
pertanyaan bacaan dengan kunci jawaban berikut.
(1) d (2) b (3) c (4) a (5) b
2) Lihat daftar KEM pada uraian di muka. Apakah KEM yang anda capai sudah
memadai untuk peringkat anda (mahasiswa)?
3) Silakan anda berlatih pada teks-teks lain. Jika ada teman yang mau membantu
menyiapkan soal pemahaman bacaan, itu lebih baik. Anda boleh membuat
pertanyaan sendiri dengan berpedoman pada kata tanya: apa, siapa, kapan, di mana,
mengapa, dan bagaimana. Boleh juga dengan cara "heuristik", yaitu menaksir sendiri
kira-kira berapa persen pemahaman anda terhadap bacaan tersebut. Tentu saja
taksiran ini merupakan taksiran kasar. Oleh karena itu, KEM-nya juga bersifat
taksiran kasar.
4) Buatlah grafik perkembangan KEM untuk melihat perkembangan KEM yang anda
capai.
Berikut disajikan contoh grafik perkembangan KEM yang dapat anda gunakan
untuk melihat perkembangan KEM yang anda
atau murid anda capai.
Tabel Latihan KEM
No. Judul Bacaan Jumlah Kata Waktu Pemahaman Isi KEM
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Grafik perkembangan pencapaian KEM
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(dst
)
Latihan ke-…
KEM
BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
1. Pendahuluan
Sebagai seorang guru, guru bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan
bacaan yang layak untuk siswanya merupakan hal yang tidak bisa diabaikan.
Terlebih-lebih untuk guru bahasa Indonesia, karena pengajaran membaca secara
formal dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. Meskipun buku paket
atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar
dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan
satu macam bahan ajar yang ada.
Untuk pengajaran membaca, persoalan penyediaan bahan ajar membaca
tidaklah terikat oleh ketentuan buku paket atau buku teks tertentu. Dalam kenyataan
yang sesungguhnya dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk
konsumsi baca ini terasa sangat kental. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku teks,
buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.Kesemua bahan
bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk
tugas membaca. Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah
didapat tersebut layak untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat
menentukan kriteria kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam
memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para siswanya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya memacu kita untuk mencari
jawabnya. Pada bab ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi
melalui bahasan "keterbacaan". Bahasan bab ini mudah-mudahan dapat membantu
para guru bahasa untuk dapat menentukan tingkat keterbacaan wacana yang cocok
untuk para siswanya.
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang
memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Melalui
bab ini, anda akan kami ajak untuk mengenal berbagai konsep dan formula
keterbacaan yang biasa digunakan untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan.
Dengan demikian, setelah membaca bab ini, anda diharapkan dapat menggunakan
berbagai formula keterbacaan untuk kepentingan penentuan tingkat keterbacaan
berbagai ragam bacaan.
Secara rinci, diharapkan anda dapat:
(a) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan;
(b) menjelaskan sekurang-kurangnya empat bentuk formula keterbacaan;
(c) menunjukkan perbedaan langkah/prosedur kerja pemakaian formula-formula
keterbacaan;
(d) menggunakan formula-formula keterbacaan tersebut untuk menentukan tingkat
kesulitan materi bacaan.
2. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability
merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat
dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal
yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita
dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu
bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan
tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat
pembaca tertentu.
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu
bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan
wacananya.
Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak
dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang
tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi guru yang mempunyai perhatian
terhadap metode pamberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan
bacaan lainnya yang layak dibaca.
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh
karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan
dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu,
misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek
penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad
yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang
upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan
tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad,
namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik
statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan
yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna
memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian
terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary
mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di
antaranya dinyatakan signifikan.
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan
untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan
yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki
kecermatan menghitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan
bahwa ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a)
panjang-pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin
panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud
semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana
dimaksud tergolong wacana yang mudah.
Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk
mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur
tadi. Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi
alat-alat pengukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan
yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang
dibuat Spache, Dale & Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
3. Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca
Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru
dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat
kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap
metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan
bacaan lainnya. Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam
memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu
faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang
dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu
pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca
dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak
lain.
Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksi-
koleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal,
pamflet-pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah
melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus
memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas
yang terletak di setiap sudut masing-masing kelas.
Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi
bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat kelayakan
dimaksud, tidak saja didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai (seperti nilai isi,
manfaat, pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain) melainkan juga harus
dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi cetak dimaksud. Bahan-
bahan bacaan tersebut hendaknya memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan
tuntutan dan karakteristik pembacanya.
Di samping hal-hal tersebut d atas, penggunaan rumus-rumus keterbacaan
akan sangat bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan
materi bacaan yang hendak diajarkannya. Meskipun bahan bacaan untuk kepentingan
bahan ajar sudah tersedia banyak di luar, namun tuntutan bagi setiap guru untuk dapat
berperan dan bertindak sebagai penulis tampaknya bukanlah pandangan yang keliru.
Peran guru sebagai penulis tampak semakin jelas pada saat mereka dihadapkan pada
pekerjaan-pekerjaan berikut, misalnya, mempersiapkan tes, membuat rencana
pengajaran, menyusun program pengajaran, membuat surat kepada orang tua siswa,
atau kegiatan tulis-menulis lainnya.
Dalam mempersiapkan bahan-bahan seperti yang kita jelaskan tadi, guru
hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang ditulisnya itu.
Bukankah si penulis (guru) berkeinginan hasil tulisannya tersebut terbaca pihak lain
sebagai sasaran pembacanya.
Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki setiap
guru. Pengubahan keterbacaan itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan meninggikan
taraf kesulitan wacananya atau mungkin sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan
wacana tersebut. Kegiatan ini perlu dilakukan guru, jika guru memandang para
siswanya wajib mengetahui isi konten (isi materi) dari wacana itu dan tidak
menemukan sumber bacaan lain yang tingkat keterbacaan wacananya cocok dengan
peringkat siswanya.
4. Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Formula-formula keterbacaan yang pemakaiannya dewasa ini tengah populer,
di samping memiliki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagaimana telah
dijelaskan di muka, bahwa formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini
mendasarkan formulanya pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat
kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan
ini mengundang pertanyaan pada kita. Bagaimana dengan konsep-konsep yang
terkandung dalam wacana yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang
terkandung dalam suatu wacana yang tidak terjakau oleh pembacanya akan
berdampak pada keterpahaman pembacanya. Sering kita dapati kasus, seseorang tidak
dapat memahami wacana yang dibacanya meskipun wacana tersebut telah memenuhi
kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca yang bersangkutan. Mengapa hal itu
terjadi?
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam
pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan
struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep
yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya
tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang
sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur
semantis.
Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala kita
dihadapkan pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi
menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat
keterbacaan puisi justru malah menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin
memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak dapat terjangkau oleh alat ukur
keterbacaan yang ada.
Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya
dengan kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula
keterbacaan? Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita
tengah berbicara tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata
di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan
didasarkan atas unsur panjang-pendek kata yang bersangkutan. Seperti halnya kriteria
kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang
tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya
kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata
yang secara visual tampak pendek, maka kalimat atau kata yang bersangkutan
tergolong mudah.
Mari kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
A. Ini Budi.
Ini ibu Budi.
Ibu Budi sedang memasak.
Ini Wati.
Wati kakak Budi.
Wati sedang menyiram bunga.
Pak Ahmad ayah Budi.
Beliau sedang membaca koran.
Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu.
tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.
B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan
seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan
pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka
berempat tinggal di kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang
berada di kampungnya.
Mari kita bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan
kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh B. Ditinjau dari segi informasi/maksud
kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara
berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud
yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat,
seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat
perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat
yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan kalimat-
kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang. Contoh wacana A lazim kita dapati
pada buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk peringkat pemula, atau terdapat
pada buku-buku pelajaran kelas I sekolah dasar. Sementara contoh wacana B
merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yang relatif lebih tinggi
kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD).
Bagaimana kesimpulan anda setelah melihat dan membaca kedua bentuk
penyajian kalimat-kalimat di atas? Contoh penyajian A yang menggunakan kalimat-
kalimat yang pendek-pendek jauh lebih mudah ketimbang contoh penyajian B,
bukan?Dengan kata lain, tingkat keterbacaan wacana pada wacana A tergolong tinggi
bila dibandingkan dengan tingkat keterbacaan wacana B. Semakin tinggi tingkat
keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut. sebaliknya, semakin
rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana semakin sukar wacana tersebut.
Untuk menolokukuri tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria
panjang_pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyatannya,
kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal.
Bagaimanapun, kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan
konsep; sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan,
sebuah konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemadatan konsep atau ide.
Oleh karena itu, kalimat tersebut akan jauh lebih sukar ketimbang kalimat-kalimat
tunggalnya.
Bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya
sebuah kata benar-benar dapat dijadikan indikator bagi tingkat kesulitan kata yang
bersangkutan. Mari kita perhatikan deretan kata-kata berikut.
A. - era B. - zaman
- asa - harapan
- rona - cahaya/air muka
- makar - muslihat
Bila kita bandingkan deretan kata pada contoh A dan deretan kata pada contoh
B, manakah di antara kedua contoh deretan kata tersebut yang menurut anda memiliki
tingkat kesulitan yang relatif lebih tinggi? Apa alasannya? Deretan kata-kata yang
terdapat pada contoh B, tampaknya merupakan kata-kata yang biasa dipakai dalam
kehidupan sehari, dalam percakapan yang bersifat umum. Kosakata yang terdapat
pada contoh B relatif akrab dengan kehidupan keseharian kita. Lain halnya dengan
kosakata yang terdapat pada contoh A. Kata-kata tersebut rasanya tidak terlalu akrab
dengan kehidupan keseharian kita. Oleh karenanya, kita merasa asing dengan
kosakata tersebut. Akibatnya, ditinjau dari sudut semantisnya, deretan kata yang
terdapat pada contoh A relatif lebih sulit ketimbang deretan kata yang terdapat pada
contoh B. Padahal dari segi bentuk, deretan kata yang terdapat pada contoh A jauh
lebih pendek-pendek ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B.
Hal lain yang menjadi keterbatasan formula-formula keterbacaan terletak pada
penggunaan slang, satir, makna ganda, atau minat pembaca. Formula keterbacaan itu,
tampaknya tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi (karya sastra), terlebih-lebih pada
karya sastra berupa puisi. Puisi memiliki bentuk yang khas dengan struktur-struktur
kalimat yang jauh bebeda dari struktur-struktur kalimat pada karya nonfiksi, seperti
buku teks misalnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut hendaknya menjadi bahan
pertimbangan kita pada saat menentukan tingkat keterbacaan wacana.
5. Penggunaan Formula-formula Keterbacaan
Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim
dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun
1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah
panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian,
formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk
memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu
kompleks dan penggunaannya memakan banyak waktu.
Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas
ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada
tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan
panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan
bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan
mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor
tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan.
Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya.
Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (Grafik
Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall
berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus
dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.
5.1 Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
5.1.1 Bagaimana Memahami Grafik Fry
Sekarang mari kita kenali formula keterbacaan dari Edward Fry yang
kemudian kita kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang
diperkenalkan Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai
dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli
dibuat pada tahun 1968.
Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat
keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaik-
baiknya. Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada
dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang
ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata
dalam wacana tersebut. Silakan anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud,
seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali
grafik Fry, anda sudah paham cara menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar
pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran terhadapnya. Berikut contoh
grafiknya.
Grafik Fry
GRAFIK
(Lihat Copy aslinya)
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik
kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya.
Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan,
yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan
wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan
dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari
dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan
dimaksud.
Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0,
20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus
perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu
formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat.
Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-
garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan
wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut
cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2,
angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut
kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran
keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang
baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu,
wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain.
Ketika anda membaca keterangan "seratus perkataan" pada grafik tersebut,
mungkin anda bertanya-tanya, mengapa demikian? Mengapa harus "seratus"
perkataan? Angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah
yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur
keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat
dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut
sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil
sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan
khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti
halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga
kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil
dari halaman-halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan
sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu.
Mungkin anda bertanya-tanya dalam hati, apakah pengukuran keterbacaan
wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya
benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan?
Apalah artinya sepenggal wacana yang terdiri atas 100 perkataan bila dibandingkan
dengan ketebalan sebuah buku yang tipis sekalipun? Sekarang mari kita bandingan
proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh
para dokter. Jika para dokter mendeteksi suhu tubuh seseorang dengan stetoskop, dia
hanya akan memilih bagian-bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel.
Misalnya saja, dokter akan memilih bagian ketiak atau mulut untuk dijadikan sampel
pengukuran suhu tubuh seseorang. Meskipun begitu, hasil dari pengukuran dimaksud
merupakan cerminan dari ukuran suhu tubuh si pasien secara keseluruhan. Untuk
mengetahui suhu tubuh seseorang, dokter tidak perlu melakukan pengukuran suhu
tubuh tersebut mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, melainkan memilih
bagian-bagian tertentu dari tubuh tersebut yang dianggap dapat mewakili seluruh suhu
tubuh. Dengan beranalogi pada proses kerja pengukuran suhu oleh para dokter, maka
proses pengukuran keterbacaan wacana itu pun cukup dilakukan terhadap sampel
wacana, dan wacana yang dianggap representatif jika berjumlah sekurang-kurangnya
sebanyak 100 perkataan.
Selanjutnya, bagaimana prosedur kerja untuk penggunaan formula keterbacaan
dari Fry ini? Berikut ini akan diberikan sejumlah petunjuk yang harus diikuti dalam
menggunakan grafik ini untuk mengukur keterbacaan wacana.
5.1.2 Petunjuk penggunaan Grafik Fry (1977):
Langkah (1)
Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat
keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan daripadanya. Yang
dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan
kanannya berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Budi,
IKIP, 1999, =, masing-masing dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud
dengan "representatif" dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana
sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan
gambar-gambar, kekosongan-kekosongan halaman, tabel-tabel, rumus-rumus yang
mengandung banyak angka-angka, dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk
dijadikan sampel wacana.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga
perpuluhan yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam hitungan
100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan
kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa
sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk
kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka
100, maka sisa kata yang termasuk ke dalam hitungan seratus itu diperhitungkan
dalam bentuk desimal (perpuluhan).
Perhatikan contoh wacana berikut!
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambul uang.
12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-
21 22 23 24 25 26 27 28 29
orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk
30 31 32 33 34 35 36 37 38
di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
39 40 41 42 43 44 45
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la-
46 47 48 49 50 51 52 53
in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.
54 55 56 57 58 59 60
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan
61 62 63 64 65 66 67 68
kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat sa-
69 70 71 72 73 74 75 76 77
tu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan,
78 79 80 81 62 83 84 85
dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun
86 87 88 89 90 91 92 93 94
mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan
85 96 97 98 99 100
bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Keterangan: Angka-angka yang tedapat di bawah setiap kata pada wacana di atas
menunjukkan penghitungan sampel wacana. Kata yang digarisbawahi merupakan
akhir dari sampel wacana, karena kata tersebut merupakan kata terakhir yang
termasuk ke dalam hitungan 100 perkataan.
Jika kita melakukan penghitungan rata-rata jumlah kalimat untuk wacana di
atas akan kita dapati 12 kalimat utuh ditambah 8 kata pada kalimat terakhir dari
jumlah kata seluruhnya pada kalimat terakhir tersebut sebanyak 16 buah. Kedua belas
kalimat utuh yang terdapat dalam wacana tersebut adalah sebagai berikut ini:
(1) Pada suatu hari .... ke bank.
(2) Di bank itu .... orang.
(3) Di loket tabungan ... uang.
(4) Ada juga ... uang.
(5) Di loket yang ... antre.
(6) Ada juga .... antrean.
(7) Mereka melayani... lain.
(8) Ayah Inu ... tabungan.
(9) Inu menunggu ... tunggu.
(10)Dia memperhatikan .... itu.
(11)Waktu Inu .... berdiri.
(12)Inu mendekati ... itu.
Kalimat terakhir berbunyi:
Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk//dan menawarkan bantuan
yang mungkin dapat dia berikan.
Kalimat terakhir ini (kalimat ke-13) tidak seluruhnya terpakai ke dalam
hitungan seratus. Kata keseratusnya jatuh pada kata duduk. Kata tersebut merupakan
kata ke-8 dari 16 kata yang terdapat pada kalimat terakhir tersebut. Dengan demikian,
rata-rata jumlah kalimat pada wacana sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Jika
dihitung ke dalam sistem perpuluhan (desimal) akan menghasilkan angka 12,5
kalimat.
Contoh lain, jika kalimat terakhir itu terdiri atas 17 perkataan dan hanya ada
satu kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 kata, maka bagian kalimat yang
terakhir itu adalah 0,058 dibulatkan menjadi 0,1 kalimat. Jika jumlah kalimat
sebelumnya ada 10 buah, maka jumlah kalimat seluruhnya adalah 10,1 kalimat.
Demikianlah cara menghitung rata-rata jumlah kalimat dari sampel wacana yang
hendak diukur tingkat keterbacaannya.
Langkah (3)
Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi.
Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah (1) di atas
yang memasukkan angka dan singkatan sebagai kata, maka untuk angka dan
singkatan, setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misalnya, 234
terdiri atas 3 suku kata, IKIP terdiri atas 4 suku kata.
Berpatokan pada contoh wacana kita di atas (pada langkah 2), mari kita
praktikkan cara menghitung suku kata dimaksud. Caranya, berilah tanda di atas setiap
kata tersebut dengan angka-angka yang menunjukkan jumlah suku kata dari kata yang
bersangkutan. Perhatikan contoh berikut!
2 3 2 2 2 3 1 1 1 1 2
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu
2 2 1 2 3 3 1 3 2
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang.
2 2 1 3 2 1 2 1 2 2
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-
orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk
di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la
in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan kesibukan orang-
orang di tempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosong di depan petugas yang
melayani pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun
mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk// dan menawarkan bantuan yang
mungkin dapat dia berikan.
Demikianlah cara ini kita kerjakan, hingga kita menemukan jumlah suku kata
untuk seluruh kata yang termasuk ke dalam hitungan 100. Dari penghitungan suku
kata terhadap sampel wacana di atas, kita akan memperoleh hitungan jumlah suku
kata sebanyak 228 suku kata.
Langkah (4)
Perhatikan Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per
seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Data
yang kita peroleh pada langkah (2), yakni rata-rata jumlah kalimat dan data yang kita
peroleh pada langkah (3), yakni rata-rata jumlah suku kata diplotkan ke dalam grafik
untuk mencari titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan
baris horizontal (jumlah kalimat) menunjukkkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang
diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan baris
vertikal dan baris horizontal itu berada pada daerah gelap atau daerah yang diarsir,
maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana lain dan
mengulangi langkah-langkah yang sama seperti yang telah kita jelaskan tadi.
Langkah (5)
Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi,
baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana
hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik
pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal
untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana
yang diukur tersebut harus diperkirakan sebagai wacana dengan tingkat keterbacaan
yang cocok untuk peringkat, 5 yakni (6-1), 6, dan 7 yakni (6+1).
5.1.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry
Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya
relatif tebal jumlah halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-
kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang
berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil tiga pilihan sampel wacana, yakni
wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari bagian akhir buku.
Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup
dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur
menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah
hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar
untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan perumpamaan berikut. Dari hasil
penghitungan pengukuran keterbacaan wacana dari ketiga sampel itu (bagian awal,
tengah, dan akhir buku), misalnya kita peroleh data seperti berikut:
Wacana Sampel Jumlah suku kata Jumlah kalimat
Bagian I 124 6.6
Bagian II 141 5.5
Bagian III 158 6.8
Jumlah 423 18.9
Rata-rata 141 6.3
Jika angka rata-rata tersebut diplotkan ke dalam Grafik Fry, ternyata titik temu dari
persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 7. Artinya, tingkat keterbacaan
buku yang bersangkutan cocok untuk peringkat 6, 7, dan 8.
Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa
Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur
bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh
gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut.
1) I go to school.
2) Saya pergi ke sekolah.
Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan
dalam kalimat 2) (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris,
pada umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita
periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip,
mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan
kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-
contoh berikut, kita berkesimpulan bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa
Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini
sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah
perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di
atas 200-an.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan
Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk
peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara
garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan
selalu jatuh pada daerah yang diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan
di bagian muka kita dapati jumlah kalimat 12.5; sedangkan jumlah suku katanya ada
228. Setelah kita plotkan ke dalam Grafik Fry, maka titik temu dari persilangan garis
untuk kedua data tersebut jatuh melewati daerah yang diarsir (wilayah gelap). Oleh
karena itu, tingkat keterbacaan wacana tersebut tidak bisa ditentukan atau wacana
tersebut tidak memiliki peringkat baca yang cocok untuk peringkat kelas mana pun.
Tetapi, apakah kesimpulan itu benar? Bukankah kalau kita mencoba mengukurnya
dengan kadar pertimbangan kita (bukan alat ukur), hal itu mustahil terjadi, mengingat
contoh wacana kita itu diambil dari bacaan untuk siswa sekolah dasar.
Berdasarkan contoh kasus tersebut, kita boleh berkesimpulan bahwa Grafik
Fry tidak bisa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia
kecuali jika dilakukan pemodifikasian terhadap alat tersebut. Meskipun penyesuaian
yang akan kami tawarkan ini bukan merupakan patokan yang baku, namun tawaran
ini didasari oleh sebuah penelitian kecil-kecilan yang telah kami lakukan. Untuk
sekedar pedoman bagi para pemakai alat ukur keterbacaan dari Fry, jika
menggunakan formula ini untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia,
petunjuk langkah-langkah penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah
lagi, yakni memperkalikan hasil penghitungan suku kata dengan angka 0.6. Angka ini
diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) kami yang memperoleh bukti bahwa
perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa
Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku
kata dalam bahasa Indonesia).
Mengambil data pengukuran terhadap contoh wacana kita di atas, maka akan
diperoleh data jumlah kalimat sebanyak 12.5. data jumlah suku kata 228 X 0.6 =
136.8 dibulatkan menjadi 137. Jika diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari
persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 4. Dengan demikian, wacana
tersebut cocok untuk peringkat kelas 3, 4, dan 5 sekolah dasar. Contoh wacana
tersebut, memang diambil dari buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk Sekolah
Dasar Kelas 4, karangan Dendy Sugono, diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1993.
Dengan hasil pengukuran tadi, tampaknya sang pengarang telah memilih dan
menentukan wacana dengan tingkat keterbacaan yang tepat untuk sasaran
pembacanya.
5.1.4 Daftar Konversi untuk Grafik Fry
Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata
yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes,
petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat,
atau petunjuk-petunjuk penggunaan obata-obatan tertentu.
Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang
jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan
pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap
prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry.
Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah
berikut ini:
Langkah (1)
Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya
itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri
atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika
jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk
penggunaan Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.
Langkah (3)
Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan
langkah 2 tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang
tampak di bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry
menurut tata tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data
yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar
konversi.
DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY
jika jumlah kata dalam wacana itu
berjumlah:
perbanyaklah jumlah suku-kata dan
kalimat dengan bilangan berikut:
30 3,3
40 2,5
50 2,0
60 1,67
70 1,43
80 1,25
90 1,1
Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan
setiap tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-
putus tersebut kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana.
Selanjutnya, coba anda tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk
kelas berapakah wacana tersebut?
Wacana jumlah
suku-kata
---- -- -- -- -- --- ---- - --- -, 25
- --- -- -- -- --? -- -- - -- - 20
-- --- -- - -- --- --? 15
______________
Jumlah 60
Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka
akan kita dapati data berikut ini.
(a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi
diklasifikasikan ke dalam golongan angka 30
(b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah.
(c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata.
(d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk
jumlah kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata
hasil konversi menjadi:
* jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6
* jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198
(e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat
(6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat
keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.
5.2 Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor
5.2.1 Bagaimana Memahami Grafik Raygor
Anda telah mahir menggunakan Grafik Fry, bukan? yakinkah anda bahwa
grafik tersebut dapat digunakan untuk wacana-wacana dalam bahasa Indonesia?
Pertanyaan itu akan dapat anda jawab setelah membandingkan kedua kalimat berikut
ini.
a) I watch TV every night.
b) Saya menonton TV setiap malam.
Kedua kalimat di atas itu, masing-masing terdiri atas lima kata. Namun,
jumlah suku kata dalam kedua kalimat tersebut tidak sama, bahkan sangat berbeda.
Kalimat bahasa Inggris (a) yang mempunyai makna yang sama dengan kalimat bahasa
Indonesia (b) itu terdiri atas tujuh suku kata, sedangkan kalimat bahasa Indonesia
yang ada di bawahnya itu mengandung 11 suku kata. Jumlah suku yang ada dalam
100 kata terpilih dalam bahasa Indonesia umumnya terdiri atas 200 suku atau lebih.
Apa sebabnya? Kata-kata bahasa Indonesia pada umumnya terdiri atas dua suku kata
atau lebih. Jika demikian, apa artinya? Cobalah periksa lagi Grafik Fry itu! Dapatkah
anda sekarang menjawab pertanyaan kedua di atas?
Karena Grafik Fry mengandung kelemahan yang sukar untuk diatasi, di bawah
ini diperkenalkan grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan
prinsip Grafik Fry. Formula keterbacaan dimaksud adalah Grafik Raygor yang
diperkenalkan oleh Alton Raygor. Selanjutnya grafik ini dikenal dengan sebutan
"Grafik Raygor". Formula ini tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa
yang menggunakan huruf Latin.
Untuk mengenali formula ini, mari kita perhatikan grafik berikut, Grafik
Raygor.
Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry.
Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-
prinsip yang mirip. Garis-garis penyekat peringkat kelas dalam Grafik Raygor tampak
memancar menghadap ke atas, sedangkan dalam Grafik Fry menghadap ke bawah.
Posisi yang demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang
berlawanan pula. Grafik Fry meletakan kalimat terpendek pada bagian atas grafik,
sedangkan Grafik Raygor meletakkannya di bagian bawah. Sisi tempat jumlah suku
kata digunakan untuk menunjukkan kata-kata panjang yang dinyatakan "jumlah kata
sulit", yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.
5.2.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor
Prosedur penggunaan Grafik Raygor sesungguhnya hampir sama dengan
Grafik Fry. Langkah-langkah yang harus ditempuh meliputi sejumlah langkah berikut.
Langkah (1)
Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat
keterbacaannya itu sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai
kata. Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam penghitungan 100 buah
kata.
Langkah (2)
Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini
sama dengan prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.
Langkah (3)
Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf
atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh panjang-
pendeknya kata, bukan oleh unsur semantisnya. kata-kata yang tergolong ke dalam
kategori sulit itu ialah kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata
yang jumlah hurufnya kurang dari enam, tidak digolongkan ke dalam kategori kata
sulit.
Langkah (4)
Hasil yang diperoleh dari langkah 2) dan 3) itu dapat diplotkan ke dalam
Grafik Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Sebagai bahan latihan, mari kita praktikkan penggunaan Grafik Raygor
tersebut pada wacana berikut.
Wacana
Suatu ciri khas pada manusia adalah ia selalu ingin tahu; dan setelah ia
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka segera kepuasannya disusul lagi
dengan kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi. Begitulah seterusnya, sehingga tak
sesaat pun ia sampai pada kepuasan mutlak untuk menerima realitas yang dihadapinya
sebagai titik terminasi yang mantap. Ketidakmungkinan untuk merasa mantap pada
suatu status pengetahuan ini dapat diterangkan dari berbagai sudut. Salah satu sebab
yang paling dasar ialah apa yang menjelma kepada manusia sebagai realitas alamiah
dianggapnya sebagai kenyataan dwipurwa: di satu pihak dia mengamati alamnya
sebagai sesuatu yang mempunyai aspek statis, akan tetapi ia pun mengamati
terjadinya perubahan-perubahan, perkembangan-perkembangan, dan lain sebagainya
yang menguatkan adanya aspek dinamis dari gejala-gejala itu sendiri (Buitendijk,
1948).
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!
Ada berapa buah kalimat yang terdapat
dalam wacana di atas itu ? ........ buah
Berapa jumlah kata-kata sukar
yang ada di dalamnya ? ........ buah
Wacana itu cocok untuk kelas untuk kelas
berapa ? ........
Grafik yang mana yang lebih cocok bagi anda? Apa alasannya? Mana yang
lebih mudah menggunakannya, Grafik Fry atau Grafik Raygor?
Setelah anda menemukan daerah tingkat keterbacaan wacana di atas itu dalam
Grafik Raygor, bagaimana pendapat anda? Dapatkah grafik itu dipergunakan untuk
mengukur keterbacaan wacana-wacana bahasa Indonesia?
Anda mungkin berpendapat bahwa Grafik Raygor lebih mudah dan lebih
cocok untuk wacana-wacana bahasa Indonesia. Namun, anda tidak boleh lupa bahwa
grafik ini belum banyak diteliti keampuhannya. Grafik Fry lebih banyak digunakan
untuk mengetahui tingkat keterbacaan wacana bahasa Inggris, sebab grafik tersebut
telah diteliti secara lebih seksama daripada Grafik Raygor.
Baldwin dan Kaupman (1979) telah melakukan penelitian mengenai
keampuhan dari penggunaan kedua formula keterbacaan ini. Hasil penelitian itu
membuktikan bahwa terdapat korelasi yang cukup tinggi antara tingkat keterbacaan
wacana-wacana yang diukur dengan menggunakan Grafik Fry dan tingkat
keterbacaan wacana-wacana yang diukur dengan Grafik Raygor. Koefisien korelasi
yang dihasilkannnya ialah (r) 0.87. Dari 100 buah wacana yang diteliti, ternyata ada
50 buah hasil percobaan yang menunjukkan hasil pengukuran yang sama antara
pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Raygor dengan hasil
pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry.
Satu hal yang perlu dicatat sebagai kelebihan dari penggunaan Grafik Raygor,
yakni dalam hal efisiensi waktu.Pengukuran keterbacaan wacana dengan Grafik
Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan
menggunakan Grafik Fry.
5.3 Pengubahan Tingkat Keterbacaan wacana
Dengan pengetahuan yang anda peroleh mengenai Grafik Fry dan Grafik
Raygor itu anda disarankan untuk memeriksa tingkat keterbacaan buku-buku yang
digunakan untuk setiap bidang studi. Setelah mengetahui tingkat keterbacaan
bukubuku tersebut, anda disarankan pula untuk mencoba mengubah wacana-wacana
itu dengan keyakinan bahwa pekerjaan yang anda lakukan itu bermanfaat dan
merupakan ibadah yang berpahala. Tugas kita sebagai guru dalam hal ini memang
cukup berat. Tahukah Anda cara menurunkan tingkat kesulitan wacana? Ya benar,
dengan jalan memperpendek kalimat-kalimatnya dan mengganti kata-kata sulit
dengan kata-kata yang lebih mudah.
Cobalah bandingkan kedua wacana berikut!
Wacana 1
Secara sepintas saja kita segera mengetahui bahwa advertensi di dalam
majalah-majalah itu tidak ayal lagi, bermaksud untuk menarik pembaca agar
mempunyai perhatian yang lebih bersungguh-sungguh mengenai masalah-masalah
yang berhubungan dengan berat badan. Para diktator dalam bidang mode membuat
sebagian besar anggota masyarakat, terutama wanita, sadar akan masalah berat badan
yang sangat menentukan penampilan seseorang. Pada masa sekarang para penulis
advertensi mencoba berupaya meyakinkan sang kurus dan sang gendut berada dalam
kedudukan yang sama asalkan mereka mau membeli barang-barang yang mereka
tawarkan: mesin berlatih, jamu ini dan jamu itu, makanan-makanan tertentu, obat-
obatan tertentu, dan seterusnya. Mereka berjanji bisa membuat kita tampak atau bisa
tampak seperti model yang terpampang dalam gambar advertensi. Biasanya mereka
gagal karena tidak sadar bahwa setiap orang itu berbeda.
Wacana di atas dapat diubah menjadi seperti ini.
Wacana 2
Anda pernah membaca majalah? Di dalam majalah itu mungkin ada
pembicaraan tentang berat badan. Pada umumnya orang sangat memperhatikan berat
badannya. Orang yang memperhatikan urusan mode, membuat kita terpaku dalam
urusan berat badan. Sekarang para juru iklan masih terus melakukan hal yang sama.
Ada juru iklan yang menyuruh anda membeli mesin berlatih. Juru iklan yang lain
menjajakan jamu-jamu untuk menurunkan atau menaikkan berat badan. Semua iklan
itu berupaya membuat kita gandrung akan penampilan seperti yang tampak dalam
gambar. Namun, tujuan hidup orang tidak sama. Iklan tidak memperhatikan
perbedaan-perbedaan itu.
Perbedaan apa yang tampak dalam kedua wacana di atas itu? Jika anda
memperhatikan dengan baik kedua wacana tersebut, akan segera tampak dua hal yang
berbeda di dalamnya. Kalimat pada wacana pertama berkesan panjangpanjang dan
mengandung ide lebih banyak daripada kalimat-kalimat dalam wacana kedua. Wacana
kedua menggunakan kata-kata yang lebih mudah daripada kata-kata yang digunakan
dalam wacana pertama. Kata advertensi diganti dengan kata iklan, kata terpampang
diganti dengan kata tampak.
Mengubah struktur kalimat mungkin lebih mudah daripada mengganti kata-
kata sulit dengan kata-kata mudah. Bacaan yang bagus seringkali mengandung
kalimat-kalimat yang panjang yang mengandung rincian pikiran atau ide. Cobalah
perhatikan kalimat deskriptif di bawah ini.
Pada umumnya, setiap bunga mempunyai bagian yang disebut poros, ialah
bagian yang menumbuhkan organ-organ reproduksi yang penting (benang sari dan
putik) dan lazim juga bagian-bagian tambahan (kelopak bunga dan bunga), yang dapat
berperan sebagai daya tarik terhadap serangga penyerbuk dan sebagai pelindung
bagian-bagian yang esensial.
Waktu anda membaca wacana di atas, apa yang terjadi dalam pikiran anda?
Apakah anda berupaya untuk memproses dan menyusun fakta yang berbeda-beda itu?
Seraya membaca kalimat di atas, sebaiknya anda memproses dan menata
berbagai fakta ke dalam rincian-rinciannya, misalnya:
1) Setiap bunga mempunyai bagian yang disebut ---- ----
2) Organ-organ reproduksi yang penting itu ada dua ---- ----
3) Organ-organ yang penting itu ialah putik dan benang sari.
4) Kelopak bunga dan daun bunga pun tumbuh pada -----
5) Kelopak dan mahkota bunga itu merupakan pemikat.
6) Kelopak dam mahkota bunga itu melindungi organ-organ inti.
Untuk menurunkan tingkat kesulitan bacaan, fakta-fakta sebaiknya dinyatakan
dengan jalan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek daripada
menggunakan kalimat yang panjang-panjang dan kompleks. Hal tersebut membantu
pembaca menata fakta yang dikemukakan dalam wacana. Di samping itu juga
biasanya membantu memperbaiki pemahaman, sebab fakta itu diperkenalkan dalam
takaran yang lebih kecil (kalimat pendek-pendek). Wacana di atas itu dapat diubah
menjadi wacana seperti berikut ini.
Pada umumnya, setiap bunga terdiri atas satu poros bunga. Organ-organ
reproduksi poros bunga yang penting itu ialah benang sari dan putik. Organ
reproduksi tambahannya adalah kelopak bunga dan bunga. Organ ini berfungsi
sebagai daya tarik terhadap serangga dalam proses penyerbukan dan berfungsi sebagai
pelindung.
Bagaimana pendapat anda tentang kedua bentuk penyajian wacana di atas?
Mungkin anda berpendapat bahwa wacana yang kedua lebih mudah dipahami karena
informasi yang disampaikannya dinyatakan dalam empat buah kalimat yang relatif
lebih pendek-pendek. Dengan kalimat yang pendekpendek, pembaca akan mempunyai
kesempatan untuk memproses setiap fakta dalam pernyataan yang terpisahpisah.
Ketika kita membaca wacana yany pertama, yang belum diubah, kita harus berupaya
menganalisis kalimat yang kompleks itu agar dapat memahami isi dan informasi yang
terkandung di dalamnya.
Cara kedua untuk menurunkan tingkat keterbacaan wacana ialah dengan jalan
mengurangi jumlah silabi (suku kata) dengan cara mensubstitusikan kata-kata yang
pendek untuk kata-kata yang panjang. Untuk melaksanakan upaya tersebut anda dapat
menggunakan kamus sinonim. Jika kata-kata pengganti sukar dicari maka anda lebih
baik mengubah panjang kalimat. Mengganti kata-kata sulit memang perlu, tetapi
mengubah panjang kalimat sehingga jumlah kalimat tersebut bertambah, biasanya
jauh lebih mudah.
Di bawah ini ada beberapa petunjuk yang dapat anda ikuti untuk menurunkan
tingkat keterbacaan sebuah wacana.
1) Carilah kata-kata sukar yang terdapat dalam wacana itu. Biasanya, kata-kata yang
lebih panjang lebih sukar untuk dibaca. Kata-kata yang multisilabik atau yang
berhuruf 6 buah atau lebih, tergolong ke dalam kata sukar, atau bisa juga kata
tersebut kurang akrab dengan kita karena frekuensi pemakaiannya tidak tinggi.
2) Ganti kata-kata sukar dengan kata-kata yang lebih mudah. Upayakan agar kata-
kata sukar itu dapat diganti dengan sinonim yang lebih mudah. Substitusikan kata-
kata yang lebih pendek dan lebih mudah itu pada tempat kata-kata sukar tadi.
3) Bacalah kalimat-kalimat dalam wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan
memendekannya dengan jalan membaginya menjadi dua atau tiga buah kalimat.
Camkanlah bahwa penurunan tingkat keterbacaan itu lebih mudah dilakukan
dengan jalan memperbanyak kalimat, sehingga pikiran-pikiran penulis dapat
dinyatakan dengan takaran yang lebih kecil-kecil.
4) Tulis kembali wacana tersebut dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah
dan kalimat-kalimat yang pendek.
5) Ukurlah tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui
penurunannya.
Anda jangan keliru. Jumlah kata sebelum dan sesudah diperbaiki tidak perlu
tetap, boleh jadi bertambah, mungkin juga berkurang. Tujuan anda bukanlah
mempertahankan jumlah kata, melainkan mengubah wacana supaya sesuai dengan
tingkat kemampuan siswa anda. Jika jumlah kata dalam wacana tersebut berkurang
anda dapat mengukur tingkat keterbacaan wacana tersebut dengan menggunakan
daftar konversi seperti yang telah anda pelajari di muka.
RANGKUMAN
Tingkat keterbacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesukaran/kemudahan
wacana. Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diperoleh bukti bahwa faktor utama
yang mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang-pendeknya kalimat dan
tingkat kesulitan kata yang juga ditandai oleh jumlah huruf dan atau silabi yang
membentuknya.
Dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenalkan orang, Grafik Fry
dan grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dipandang praktis dan
mudah menggunakannya. Namun, karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur
wacana bahasa Inggris, maka pemakaiannya untuk wacana bahasa Indonesia masih
harus disesuaikan.
Cara menggunakan kedua formula keterbacaan tersebut sekurang-kurangnya
harus menempuh lima langkah pokok, yakni (1) memilih penggalan wacana yang
representatif sebanyak 100 kata, (2) menghitung rata-rata jumlah kalimat, (3)
menghitung jumlah suku kata (untuk Fry) dan menghitung jumlah kata sulit (untuk
Raygor), (4) mencari titik temu dari persilangan data (2) dan (3) dalam grafik; dan (5)
menentukan tingkat keterbacaan wacana dengan jalan mengurangi dan menambah
satu tingkat dari ukuran yang sebenarnya.
TUGAS DAN LATIHAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas!
1) Kemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan, serta berikan
penjelasan dan ilustrasinya!
2) Setelah anda bandingkan prosedur penggunaan Grafik Fry dan Grafik Raygor,
coba anda jelaskan persamaan dan perbedaan dari kedua formula tersebut.
3) Bagaimana pendapat anda tentang penggunaan kedua formula keterbacaan tersebut
untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia? Berikan alasan dan
contoh-contohnya!
4) Jelaskan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan si penulis jika dia ingin
mengubah tingkat keterbacaan wacana, baik untuk kepentingan penurunan atau
penaikan tingkat keterbacaan wacana.
5) Turunkanlah tingkat keterbacaan wacana berikut ke peringkat keterbacaan yang
lebih rendah.
Wacana
FLORIDA
Dalam tahun 1565 orang-orang Spanyol mendirikan sebuah kota yang diberi
nama St. Augustine, kota kediaman mereka yang tertua yang terletak di North
America, di mana mereka tinggal secara tetap. Sebagian besar kota Florida masih
berusia sangat muda, namun demikian negara bagian ini memiliki kota tertua yang
bernama Cape Canaveral, yang merupakan lambang abad antariksa, karena dari kota
inilah pesawat-pesawat luar angkasa dilontarkan. Pantai Miami merupakan tempat
hiburan bagi ribuan pengunjung setiap hari.
Hutan kayu sebelah utara Florida merupakan sumber kayu kertas yang kaya.
Perkebunan jeruk Florida Tengah menghasilkan buah jeruk yang tidak kecil
jumlahnya ditambah penghasilan dari daerah Florida bagian selatan yang selalu
menghasilkan sayur-sayuran yang segar, jagung, kacang-kacangan, dan tomat, yang
kesemua itu dikirimkan ke daerah yang lebih dingin di musim salju.
MODUL 4: BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
Pendahuluan
Kegiatan Belajar 1: Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 1
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca
Rangkuman
Perlatihan 2
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 3
Tes Formatif 3
Kegiatan Belajar 4: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 3
Tes Formatif 3
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
BAHAN BACAAN DAN STRATEGI MEMBACANYA
PENDAHULUAN
Salah satu tugas seorang warga negara adalah membaca. Masihkan Anda
mempunyai cukup waktu untuk membaca? Berapa lamakah Anda dapat membaca
setiap hari? Berapa banyakkah pengetahuan yang adapat Anda timba dari bahan
bacaan yang Anda baca setiap hari itu? Berapa KEM Anda sekarang?
Baldridge (1979) berkata bahwa setiap calon cendekiawan abad modern ini
dituntut untuk membaca 850.000 per minggu. Jika Anda hanya mampu membaca 250
kata/menit, dalam seminggu Anda harus membaca kira-kira 56 jam, artinya 8 jam/
hari. Sungguh dramatis. Bukankah hidup ini tidak hanya diabdikan untuk membaca?
Agar Anda dapat memanfaatkan waktu dengan efisien, Anda perlu memiliki
keterampilan membaca cepat.
Dalam bab ini akan disajikan bahasan singkat tentang berbagai strategi
membaca cepat. Mudah-mudahan penjelasan mengenai hal ini akan dapat membantu
Anda dalam upaya mempertinggi daya baca. Meskipun tidak dapat menjangkau
harapan Baldridge seperti dikemukakan di muka, namun untuk pembelajar Indonesia
dapat membaca 10.000 halaman bacaan yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang
digelutinya dalam satu semester dengan pemahaman 90%, sudah dianggap cukup.
Sesudah memahami dan mampu menggunakan pengetahuan yang diperoleh
dari uraian bab ini, Anda dituntut untuk menyampaikan pengetahuan ini kepada anak
didik Anda agar mereka memiliki kemampuan membaca yang lebih baik.
Setelah mempelajari uaraian bab ini, Anda diharapkan dapat menerapkan
berbagai konsep dan strategi membaca cepat dalam kegiatan membaca. Secara rinci,
Anda diharapkan:
a) menjelaskan hakikat konsep membaca cepat;
b) mengenal berbagai konsep strategi membaca cepat;
c) menerapkan berbagai strategi membaca cepat dalam kegiatan membaca;
d) memilih strategi membaca yang tepat untuk berbagai keperluan membaca dan
bahan bacaan yang dihadapi.
2. Hakikat Membaca Cepat
2.1 Pengertian
Membaca alah kegiatan merespon lambang-lambang cetak atau lambang tulis
dengan pengertian yang tepat. Mari kita bandingkan dengan kegiatan bermain tenis,
umpamanya. Pemain tenis yang baik akan merespon pukulan lawan dengan
menggunakan pengertian yang tepat terhadap maksud pukulan lawan. Demikian juga
dalam membaca. Pembaca yang mahir akan memberikan respon terhadap pernyataan
penulis dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat memahami maksud penulis dengan
setepat-tepatnya. Seperti bermain tenis, membaca pun memerlukan latihan dan
keuletan.
Banyak sarjana pendidikan yang berpendpat bahwa membaca itu jantungnya
pendidikan. Mampu membaca berarti memiliki kekuatan yang sanggup menggungguli
kekuatan fisik apapun yang bisa dihimpun manusia. Siapa membaca cepat dialah yang
dapat, dan dia pulalah yang kuat. Mungkin karena itu sebabnya, dalam upaya
mempertahankan kekuasaan kediktatorannya, Hitler membiarkan rakyatnya untuk
tuna wacana dan tidak berpendidikan.
Psikologi pendidikan membuktikan dengan pasti bahwa membaca mempunyai
sifat-sifat kompleks. Membaca bukanlah suatu proses "ekafaktor", melainkan
keterampilan dan kemampuan yang interaktif dan terpadu. Faktor-faktor yang secara
tunjang-menunjang terjalin dalam proses membaca itu ternyata mempunyai sifat-sifat
yang menguntungkan. Hampir semua jenis keterampilan membaca dapat diperbaiki
dengan jalan latihan. Jika faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan membaca
tersebut dilatih dengan sebaikbaiknya, maka kemampuan membaca pun pasti
membaik. Dengan demikian, waktu yang digunakan untuk membaca akan bertambah
singkat. Inilah sebenarnya, hakikat dari strategi membaca cepat.
Strategi membaca cepat dilakukan dengan tujuan untuk memahami intisari
bacaan, bukan bagian-bagian rinciannya yang detil-detil. Oleh karena itu, strategi ini
menuntut kecepatan yang paling tinggi yang bisa dilakukan seseorang. Kecepatan
yang tinggi akan menyebabkan lompatanlompatan dalam membaca. Terdapat bagian-
bagian tertentu dari bacaan yang dilompati sehingga panjang bacaan menjadi
berkurang hingga 30-40%. Persoalannya, bagian manakah dari bacaan tersebut yang
boleh dilompati? Tentu saja kita akan menjawab bagian yang boleh dilompati itu
adalah bagian yang tidak esensial. Tetapi, dapatkah kita mengidentifikasi bagian
dimaksud?
Pembaca yang berpengalaman selalu membaca dengan cara melompati
bagian-bagian yang dianggapnya tidak informatif atau bagian yang dianggapnya tidak
perlu mendapat respon. Bagian-bagian yang sudah diketahui tidak perlu dibaca lagi,
demikian juga kalimat-kalimat yang tidak menimbulkan hilang jejak jika dihilangkan.
Yang perlu dibaca hanyalah kata kunci, ialah kata-kata atau frase-frase yang jika
dihilangkan dapat menimbulkan salah paham atau menyebabkan bahan bacaan itu
tidak bisa dipahami.
Mari kita perhatikan ilustrasi berikut.
Kalimat ... jelas ... baik ... mudah dipahami oranglain ... tepat. Kalimat ...
demikian disebut ... kalimat efektif... Kalimat fektif haruslah ... tepat..
mewakili pikiran ... keinginan penulis. Hal ini berarti ... kalimat efektif
disusun ... sadar ... mencapai daya informasi yang dinginkan ... penulis
...pembacanya ... hal ini tercapai, diharapkan pembacatertarik ... apa yang
dibicarakan, ... tergerak hatinya.
Wacana di atas panjangnya sudah berkurang kira-kira 30%, tetapi kita masih
dapat menangkap maksud wacana yang sudah mengalami reduksi itu. Hal ini
disebabkan bagian-bagian yang dihilangkan itu memang bagian yang tidak esensial
dari wacana tersebut.
Selanjutnya, mari kita lihat ilustrasi yang lain.
"... kita melihat alam sekitar kita, tampaklah ... ...... makhluk ... sifatnya ...
Pertama kita hadapi alam... mati, ... tanah, logam, batu, ... sekaliannya terikat
pada tempatnya ... tidak mungkin menimbulkanperubahan ... dalam dirinya
sendiri. Kita menyebut ..alam ... mati ... ... ia takluk sepenuhnya ... keadaan ...
sekitarnya. Gerak istimewa, kemauan, tak adapadanya. Yang ada ... gaya
berat, gaya tarik ... gayatolak ... mekanis".
Dapatkah Anda memahami informasi yang tersaji dalam paragraf di atas itu?
Apa yang Anda lihat di sekitar Anda? Sebutkanlah sifat-sifat alam yang mati itu! Sifat
apa yang tidak ada dan sifat apa yang ada pada alam mati itu? Cobalah bandingkan
paragraf di atas dengan paragraf berikut yang masih lengkap unsur-unsurnya.
"Kalau kita melihat alam sekitar kita, maka tampaklah kepada kita berbagai
makhluk dengan sifatnya masing masing. Pertama kita hadapi alam yang mati, tanah,
ba tu, logam, dan sebagainya. Sekaliannya terikat pada tempatnya dan tiada mungkin
menimbulkan perubahan da lam dirinya sendiri. Kita menyebut ini alam yang mati
oleh karena ia takluk sepenuhnya kepada keadaan seki tarnya. Gerak istimewa,
kemauan, dan kebebasan tidak ada padanya. Yang ada hanyalah gaya berat, gaya
tarik, dan gaya tolak yang mekanis.
Adakah hal-hal yang esensial yang hilang dalam paragraf yang sudah
dikurangi unsur-unsurnya itu? Apakah jawaban Anda terhadap pertanyaan-pertanyaan
di atas bisa jauh lebih baik setelah Anda membaca paragraf yang lengkap? Meskipun
Anda sama sekali tidak menjumpai kesulitan dalam memahami paragraf yang sudah
dipersingkat itu, tidaklah berarti bahwa Anda sudah dapat membaca sebaik yang Anda
harapkan. Anda harus mampu menentukan bagian-bagian yang merupakan kata kunci
bagi Anda. Untuk memiliki kemampuan ini Anda memerlukan banyak latihan.
Kalau Anda dapat menangkap isi bacaan secara umum dengan kecepatan
membaca 1000 kata atau lebih per menit, maka Anda boleh merasa sudah berhasil
dalam usaha mempercepat bacaan Anda. Rentang kecepatan MC adalah 1000-2000
kata per menit.
2.2 Manfaat Membaca Cepat
MC (membaca cepat) mempunyai beberapa keuntungan, terutama dalam
keadaan seseorang terdesak waktu. Dengan MC, orang dapat meninjau kembali secara
cepat materi yang pernah dibacanya. MC memberi kesempatan untuk membaca secara
lebih luwes; bagian-bagian bacaan yang sudah sangat dikenal atau dipahami tidak
usah dihiraukan. Perhatian bisa difokuskan pada bagian-bagian yang baru atau
bagian-bagian yang belum dikuasai.
MC akan terasa juga manfaatnya pada waktu Membaca Survei (membaca
sekilas). Dengan MC orang bisa memperoleh pengetahuan yang luas tentang apa yang
dibacanya, sesuai dengan sifat bacaan yang tidak memerlukan pendalaman.
Kunci utama MC ialah melaju terus. Pada waktu Anda mulai berlatih, ingatlah
bahwa Anda akan berusaha untuk membiasakan gerakan mata dan proses berpikir
yang diperlukan dalam MC. Pada permulaan latihan MC, pemahaman isi bacaan
tidaklah terlalu diutamakan. Upaya menanamkan "keinginan untuk membaca cepat",
itu yang pertama kali ditumbuhkan.
Selama latihan, Anda akan meningkatkan kesadaran tentang makna berbagai
kata kunci. Arti yang Anda tangkap dari bacaan itu berupa fragmen-fragmen. Dari
frgamen-fragmen pengertian tersebut, Anda akan mampu menangkap ide umum isi
bacaan. Melalui latihan yang tekun, kepercayaan akan diri sendiri dan tingkat
pemahaman Anda akan bertambah terus. Bacalah terlebih dahulu bacaan-bacaan
ringan dan bacaan-bacaan yang judulnya tidak terlalu asing, sebelum bergerak pada
bacaan-bacaan yang Anda anggap sulit dan asing.
Dalam perlatihan membaca cepat dikenal istilah latihan irama internal (irama
internal satu detik/halaman,irama dua detik/halaman, irama empat detik/halaman, dan
seterusnya). Yang dimaksud irama internal satu detik/halaman ialah hitungan yang
memakan waktu satu detik, yang dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus selama
membaca, yang diikuti dengan pindah halaman.
Dengan kata lain, setiap halaman mesti dibaca dalam waktu satu detik, dan
harus segera diikuti oleh perpindahan ke halaman lainnya. Dengan demikian, maka
dalam waktu satu menit diharapkan terbaca sebanyak 60 halaman. Peralihan dari
halaman yang satu ke halaman lainnya harus dilakukan secara berirama, ialah satu
detik satu halaman, diikuti oleh peralihan ke halaman lainnya.
Kemampuan membaca satu halaman per detik, atau kira-kira 20.000
kata/menit adalah kemampuan yang hebat yang hanya bisa dicapai melalui latihan
yang intensif dan disiplin yang kuat, serta minat baca yang tinggi. Anda tidak
diharapkan untuk dapat membaca dengan kecepatan setinggi itu. Kalau lewat latihan
yang sungguh-sungguh akhirnya Anda dapat menjadi pembaca yang memiliki
kecepatan membaca 15 detik/halaman, maka Anda sudah boleh merasa puas.
3. Persiapan Latihan MC
Sebelum Anda mulai berlatih, bacalah dahulu penjelasan berikut ini.
1) Sediakan sebuah buku yang mudah (novel) yang tebalnya kira-kira 200 halaman.
2) Sediakan pula arloji atau, kalau ada, sebuah stop watch.
3) Perhatikan berbagai pola MC yang berikut ini. Pilih salah satu di antaranya yang
paling cocok bagi Anda. Cobalah setiap pola untuk membaca buku yang tersedia.
Anda tentu dapat menentukan pola mana yang cocok untuk Anda.
POLA VERTIKAL
Gerakan meluncur vertikal ke bawah, baik pada batas
pandang di bagian tengah halaman, atau melewati batas
pandang dapat dipahami dengan menggunakan
kemampuan mengira-ngira. Cara ini paling singkat dan
dapat dipermudah dengan bantuan telunjuk tangan kiri.
Tangan kanan bersiap untuk membuka halaman baru.
POLA DIAGONAL
Gerakan diagonal dimulai dari sudut kiri halaman,
bergerak meluncur ke sudut kanan bawah halaman
menurun seperti anak panah pada gambar sebelah.
Telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk membantu,
tetapi jangan sampai menghalangi batas pandang.
POLA ZIG ZAG
Pada pola ini pAndangan mulai bergerak dari sudut kiri
atas halaman agak menurun sampai batas sebelah kanan,
kemudian bergerak agak menurun ke kiri sampai batas
kiri. Gerakan seperti ini dilakukan berulang-ulang sampai
sudut kiri atau sudut kanan bawah halaman.
POLA SPIRAL
Pada pola ini, yang dibaca biasanya bagian tengah
halaman. Untuk menjaga pengulangan yang terlalu banyak,
gerakan ini bisa diubah sedikit menjadi gerakan angka tiga.
Dengan menggunakan pola ini hubungan antara bagian
satu dengan bagian lainnya lebih sinambung.
POLA BLOK
Pada pola ini pembaca berhenti sejenak pada akhir blok-
blok tertentu. Blok ini umumnya merupakan paragraf.
Dengan membaca kalimat awal dan kalimat akhir sebuah
paragraf yang baik, pembaca diharapkan dapat
memahami isi paragraf tersebut.
POLA HORIZONTAL
Dengan menggunakan pola ini pembaca harus
meluncurkan pandangannya dengan cepat sekali dari
ujung kiri sampai ujung kanan setiap baris. Waktu
pandangan bergerak dari kanan ke kiri, kecepatannya
harus sekilat sebab pada saat itu tidak ada yang perlu
diperhatikan, dan supaya hubungan baris yang satu
dengan baris lainnya lebih erat.
Cobalah beberapa kali setiap pola membaca cepat di atas. Pola mana yang cocok bagi
Anda? Kalau Anda memilih pola yang terakhir maka Anda dapat membaca kira-kira
satu baris/detik atau kira-kira 10 kata/detik; suatu kecepatan membaca yang lumayan.
Sekarang, silakan letakkan sebuah buku terbuka rata di atas meja. Bacalah
lima puluh halaman yang pertama dalam 25 menit, yang berarti Anda harus membaca
dengan kecepatan setengah menit/satu halaman, atau kira-kira satu detik/satu baris.
Untuk itu Anda diharuskan menggunakan salah satu pola membaca yang telah Anda
tentukan sebagai pola yang paling tepat. Seraya membaca, Anda pun diharuskan
mencocokkan kecepatan membaca Anda dengan jalan memperhatikan arloji yang
Anda sediakan itu.
Mulailah membaca buku bacaan ringan yang Anda sediakan itu, dan
berhentilah pada halaman 50. Nah, bagaimana hasilnya? Dapatkah Anda mengatur
kecepatan bacaan sehingga tepat waktunya? Bagaimana tingkat pemahaman Anda
terhadap bacaan itu? Meski betapapun jeleknya hasil yang Anda peroleh, Anda tidak
perlu merasa kecewa. Yang penting bagi Anda sekarang ialah ketepatan membagi
waktu sehingga Anda dapat menyelesaikan bacaan sebanyak 50 halaman itu tepat 25
menit.
Kalau Anda menemui kesukaran dalam menetapkan waktu bacaan, cobalah
membaca dengan menggunakan irama internal satu detik/baris. Irama ini sangat
mudah diikuti. Dengan latihan 5 menit, Anda dapat mengikuti irama internal satu
baris/detik. Caranya, ikuti petunjuk berikut ini.
Biarkan buku yang sedang Anda baca itu terletak terbuka rata di depan Anda.
Bacalah setiap baris pada halaman yang terbuka sambil mengucapkan "satu-dua"
dalam hati. Supaya lebih mudah, bantulah bacaan Anda dengan telunjuk, setelah
telunjuk Anda sampai di ujung baris sebelah kanan, segeralah kembali ke kiri, dan
bacalah baris berikutnya dengan cara yang sama. Setelah selesai membaca 30 baris,
periksalah apakah bacaan Anda sudah tepat kira-kira kecepatannya atau belum. Arloji
Anda akan membantu usaha ini dengan sebaik-baiknya. Kurangi kecepatan membaca
Anda kalau ternyata masih terlalu cepat, dan tambahlah kecepatannya kalau ternyata
masih terlalu lambat. Berlatihlah selama lima menit. Anda akan memiliki ketukan
irama internal satu detik/baris tanpa bantuan telunjuk lagi. Selanjutnya, selesaikanlah
membaca buku yang tebalnya 200 halaman itu dalam waktu 100 menit. Setelah
selesai membaca buku, Anda akan belajar mengevaluasi bacaan Anda dan mendapat
keterangan lebih lanjut tentang MC.
Kecepatan baca yang tinggi boleh dikatakan tidak berarti jika tidak disertai
pemahaman terhadap isinya. Langkah selanjutnya yang harus Anda kuasai adalah
berlatih memperbaiki daya baca dengan fokus pada pemahaman isi bacaan.
4. Persiapan Memperbaiki Daya Baca
Semua spesialis membaca berpendapat bahwa Anda bisa membaca lebih baik
lagi. Mereka berpendapat pula bahwa untuk meningkatkan kemampuan membaca
Anda dituntut untuk mengikuti resep yang berikut ini.
1) Sediakan waktu berlatih setiap hari atau setiap dua hari untuk memperbaiki daya
baca. Anda pasti berhasil jika pandai memanfaatkan waktu ini dengan sebaik-
baiknya. Berlatihlah dengan intensif, paling sedikit setengah jam sehari.
2) Biarkan kegiatan lain agar tidak mengganggu rencana latihan yang telah Anda
tentukan itu.Jika Anda berhasil mengatasi godaan yang pertama, maka selanjutnya
Anda akan merasa sangat mudah untuk memulai setiap latihan selanjutnya hingga
selesai.
3) Sadari bahwa Anda akan bertemu dengan saat-saat perasaan tidak mendapat
kemajuan. Waktu yang menimbulkan rasa seperti itu sangat umum dialami. Dalam
ilmu jiwa dikenal istilah "plateau". Anda harus bertahan, sebab waktu seperti itu
biasanya tidak berlangsung lama, dan sekonyong-konyong Anda akan merasakan
lonjakan dalam daya baca Anda.
4) Mulailah dengan bacaan yang isi dan kata-katanya cukup akrab bagi Anda dan
yang idenya mudah ditangkap. Usaha kan agar berangsur-angsur Anda memiliki
kepekaan bergerak sepanjang baris dengan cepat. Mulailah dengan biografi
berfiksi, fiksi keilmuan, cerita petualangan, dan bacaan yang mempunyai daya
pikat kuat bagi Anda.
5) Bergeraklah menuju bacaan yang lebih sulit. Segera setelah Anda merasakan
kemajuan, melangkahlah ke bacaan yang mempunyai tingkat kesukaran yang lebih
tinggi. Bacalah majalah-majalah profesional dalam bidang spesialisasi Anda.
6) Membacalah dengan agresif untuk menjawab berbagai pertanyaan. Ubahlah
terlebih dahulu judul bacaan menjadi pertanyaan, dan camkan pertanyaan yang
Anda buat itu selama membaca. Sambil membaca Anda harus bertanya,"Apa
jawaban untuk pertanyan yang Anda buat itu?" Dengan kata lain, masuklah ke
dalam bacaan sambil bertanya, dan keluarlah dengan jawaban atas pertanyaan itu.
7) Tentukan terlebih dahulu tujuan Anda membaca. Camkan apa maksud Anda
memilih bacaan itu, perkirakan kesulitan apa yang mungkin Anda jumpai di
dalamnya. Barulah Anda boleh membaca dengan kecepatan seefisien-efisiennya
berdasarkan faktor-faktor yang Anda tentukan itu.
8) Perhatikan pola rencana penulisan si pengarang. Sebelum Anda memulai membaca
nonfiksi, lakukan survei selama dua atau tiga menit. Periksalah pikiran utama
penulisnya dan perencanaan untuk mengembangkan pikiran dalam tulisan tersebut.
9) Kurangi sedapat-dapatnya vokalisasi dalam setiap kegiatan membaca senyap.
Sadarilah bahwa vokalisasi sangat mengganggu kecepatan membaca. Usahakan
untuk memahami permasalahan dengan jalan berpikir, bukan dengan melisankan
kata-kata yang Anda baca.
10)Membacalah dengan tekanan progresif. Selama berlatih membacalah dengan
kecepatan tertinggi yang Anda lakukan tanpa mengurbankan pemahaman.
Membacalah seolah-olah Anda sedang mengikuti tes yang Anda baca supaya dapat
menjawabnya dengan baik. Kalau Anda membiasakan diri membaca seperti ini,
maka hasilnya tidak akan berbeda dengan latihan-latihan yang menggunakan alat
yang disebut akselerator membaca.
11)Tingkatkan penguasaan kosakata Anda. Kata-kata yang tidak Anda pahami dapat
diterka melalui konteks kalimatnya, atau mungkin melihat daftar istilah yang
terlampir dalam bacaan itu, atau mungkin memeriksanya dalam kamus.
12)Tingkatkan pengetahuan Anda. Membaca menuntut Anda mempunyai pegetahuan
yang lebih luas dari pengetahuan tentang makna kata semata-mata. Semakin
bertambah pengetahuan Anda tentang masalah yang Anda baca, dengan sendirinya
akan menjadi semakin baik dan cepat bacaan Anda.
13)Jagalah supaya Anda tidak terikat oleh kecepatan semata-mata. Setelah Anda
mempelajari cara membaca cepat seperti yang disajikan di awal modul ini, maka
Anda akan mempunyai kepekaan tertentu terhadap apa saja yang Anda baca. Anda
memiliki suatu irama membaca cepat. Namun demikian Anda harus tetap
memeriksa pemahaman Anda. Berhentilah sejenak pada akhir setiap unit untuk
memeriksa pemahaman dan membuat catatan singkat dalam ingatan.
14)Jagalah supaya gairah Anda tidak melesu. untuk melipatgandakan kecepatan
membaca, sampai sekarang para ahli belum menemukan dan tidak akan pernah
menemukan rumus atau resep yang bisa menyulap seperti Lampu Aladin. Anda
dituntut untuk menebus kemampuan yang Anda cari itu dengan usaha Anda. Anda
mungkin akan segera dihinggapi ketidaksabaran dan bahkan melemparkan bacaan
yang Anda baca sambil berputus asa. Kalau hal seperti itu terjadi, cobalah
usahakan supaya Anda memperoleh gairah baru. Carilah bacaan yang lebih
menarik yang lebih erat hubungannya dengan tugas-tugas yang harus Anda
selesaikan.
4.1 Petunjuk Mencari Pikiran Utama
Di bawah ini disajikan petunjuk singkat untuk mencari pikiran/ide utama
sebuah bacaan. Bacalah dengan kecepatan kira-kira 300 kata/menit.
Struktur Paragraf
Paragraf adalah sebutan yang biasanya diberikan terhadap sekumpulan kalimat
yang saling berkaitan dan menjelaskan suatu topik tertentu. Rencana struktural untuk
mengembangkan topik itu tidak dinyatakan dalam sebuah definisi atau batasan
tertentu. Penelitian terhadap berbagai tulisan menunjukkan bahwa pengembangan
paragraf itu bermacam-macam metodenya. Cobalah bandingkan paragraf-paragraf
berikut ini.
Paragraf (1)
Semua orang di Mediterranean berkepercayaan bahwa pohon "zaitun" itu
keramat. Agaknya jarang sekali terjadi bah wa lambang yang bermanfaat itu juga
keramat. Baik pohon "oak" maupun pohon "jati", tidak pernah dijadikan lambang
yang menentukan nasib sebuah kampung halaman. Lain halnya dengan zaitun.
SeAndainya lenyap pohon ini dari muka bumi, maka akan sirna pulalah kehidupan di
Mediterranean. Sesungguhnya pohon kurma itu sangat kaya, dia mampu memenuhi
kebutuhan sAndang, pangan, dan papan seluruh kafilah Afrika Utara. Tetapi zaitun
jauh lebih banyak disanjung, jumlahnya berlimpah ruah, sehingga sumbangannya
terhadap manusia tidaklah ada bandingannya. Pohon zaitun hampir tidak memerlukan
apapun, tidak perlu hujan ataupun mata-hari. Walau demikian, apa yang diberikannya
kepada umat manusia jauh melebihi apa yang dapat diberikan oleh jenis pohon
lainnya.
Di dalam paragraf di atas, Anda melihat bahwa pikiran utama dinyatakan
dalam kalimat pertama. Segala sesuatu yang lainnya yang ada dalam paragraf itu
merupakan pendukung terhadap apa yang dikemukakan dalam kalimat yang pertama
itu.Kemasyhuran, kegunaan, dan sifat-sifat pohon zaitun, serta perbandingannya
dengan pohon lain merupakan ide penjelas bagi ide pokoknya.
Cobalah sekarang pelajari paragraf berikut.
Paragraf (2)
Arkian, transistor itu lebih kecil ketimbang tabung vakum. Ada model
transistor yang besarnya setengah dari kacang polong, dan ini masih bisa diperkecil
bila diperlukan. Transistor tidak memerlukan pembungkus dan gelas vakum, dan tidak
pula memerlukan filamen. Dalam pada itu, transistor hanya memerlukan tenaga yang
sangat kecil dan boleh dikata tidak menghasilkan panas. Kedua jenis sifat transistor
itu telah menjadikannya sangat berguna, sebab justru kedua macam sifat itulah yang
merupakan kesulitan utama dalam perkembangan elektronika yang memerlukan
tenaga besar dan panas yang kuat yang dikeluarkan oleh tabung vakum.
Pola penempatan pikiran/ide utama pada paragraf kedua berbeda dengan
paragraf pertama tadi. Dalam paragraf ke-2, penulis memulai tulisannya dengan
berbagai keterangan tentang transistor. Baru pada akhirnya dia membuat sebuah
kesimpulan.
Kalau Anda perhatikan paragraf yang berikut ini, maka akan Anda ketahui
pula bahwa polanya berbeda dari kedua pola paragraf di atas itu. Cobalah Anda baca.
Paragraf (3)
Doktrin rasisme itu sekali-kali tidak baru, dan Hitler bukanlah penciptanya.
Orang Jepang juga sangat tertarik akan masalah rasisme itu, dan mereka
menyimpulkannya dalam sebuah slogan "Asia untuk orang Asia". Di Amerika Ku
Klux Klan memberikan dukungan bertahun-tahun lamanya. Dan semenjak Perang
Dunia II, rasisme dikumAndangkan di Atlanta, Georgia, dan menamakan diri
"Columbia". Teori rasisme itu dapat direduksi menjadi sebuah proposisi yang
sederhana bahwa suatu ras lebih unggul dari ras lainnya dalam hal kecerdasan,
kemampuan, dan sifat-sifat lain yang terpuji dan diingini. Secara jujur orang
Columbia itu berkata bahwa dalam charta mereka tercantum suatu tujuan untuk
"mendorong orang berpikir berdasarkan ras, bangsa, dan kesetiaan". Pemimpin
mereka, Emory Burke, adalah orang yang mencetuskan ide mereka sebagai "melting
pot".
Dalam struktur pola paragraf yang keempat di bawah ini Anda lihat bahwa
pikiran/ide utama penulis terbagi dua. Sebagian terdapat pada awal paragraf dan
bagian lain dinyatakan di akhir paragraf. Coba Anda perhatikan paragraf 4 di bawah
ini.
Paragraf (4)
Tes atom dijadwal tanggal 10 mei. Semua peralatan ada dalam keadaan siap,
dihadapi oleh orangnya masing-masing yang sudah terlatih. Kira-kira 500 orang
saintis, pegawai pemerintah, dan reporter surat kabar siap untuk menyaksikan
panorama. Tetapi, pada menit-menit terakhir kondisi udara pun mendadak memburuk,
dan tes pun terpaksa diundurkan.
Struktur paragraf yang berikut ini lain lagi polanya. Anda pun akan segera
mengetahui bahwa hubungan kalimat-kalimat yang ada di dalamnya berbeda dengan
hubungan antarkalimat di dalam contoh-contoh paragraf terdahulu.
Paragraf (5)
Sore itu, tanggal 4 Desember 1989, langit di atas bentangan Pulau
Cendrawasih sangat cerah dihiasi beberapa gumpalan awan tipis yang sedang
membias dan memantulkan berkas-berkas cahaya mentari ke badan pesawat DC-9
yang kami tumpangi. Warna Samudera Pasifik dari tengah ke tepian, berturut-turut
biru, hijau, dan coklat. Bentangan pulau hijau bagaikan permadani yang dihiasi
guratan seni alur sungai besar kecil yang tak terhitung jumlahnya. Gunung, bukit,
daratan, dan lembah denagn berbagai asesorisnya ditata rapi oleh Sang pencipta
sehingga pemandangan saat ini sangat menawan hati dan membuat orang serasa ingin
melanglang buana di langit ini tanpa mau turun lagi ke bumi.
Kalimat-kalimat dalam paragraf di atas itu hampir sama derajatnya. Semuanya
mendukung suatu pikiran pokok yang tidak dinyatakan dalam sebuah kalimat topik.
Ide pokok paragraf tersebut harus dicari dan dirumuskan sendiri.
Pentingnya Pengetahuan tentang Ide Pokok
Orang tidak mampu menikmati suatu bacaan, umumnya disebabkan oleh
kegagalan dalam memahami gagasan yang ada di belakangnya. Mereka melihat
materi cetakan sebagai kumpulan kalimat yang sambung-menyambung dalam urutan
yang uniform. Sehabis membaca mereka mengalami keadaan yang berat karena
merasa bahwa yang harus dipahaminya sangat banyak, kemudian tenggelam dalam
kecampuradukan.
Pemahaman terhadap struktur paragraf dan kemampuan untuk mengetahui ide
pokok memberikan sumbangan besar terhadap kecermatan pemahaman isi bacaan.
Pembaca yang memiliki kemampuan ini selalu membaca dengan menggunakan ide-
ide utama dan rincian yang menjelaskan ide-ide itu. Dengan kata lain, ia membuat
semacam rangkuman seraya membaca. Para ahli, terutaama yang berkecimpung
dalam ilmu-ilmu sosial, biasanya dapat menyadap materi yang mereka perlukan dari
sebuah buku dengan jalan memahami terlebih dahulu struktur paragrafnya, kemudian
bergerak dengan cepat dari kalimat inti yang satu ke kalimat inti yang lainnya.
Selanjutnya, mari kita pelajari strategi lain untuk meningkatkan daya baca
kita.
4.2 Penggunaan Metode Membaca Frase (Metode MF)
Metode MF dapat dikembangkan melalui dua tahap: tahap mekanis dan tahap
konseptual. Pada tahap mekanis, mata didorong untuk bergerak lebih cepat dengan
jalan melihat kelompok-kelompok kata yang disebut frase. Tahap ini mencakup
penggunaan rentang pAndang yang lebih besar, sehingga Anda mampu menyadari
kelompok kata yang semakin membesar yang berbentuk frase-frase. Melalui latihan
yang intensif Anda akan mampu juga mengikuti kelompok kata-kata yang berbentuk
kalimat dalam sekali pAndang.
Efisiensi pada tahap mekanis dapat memberikan sumbangan terhadap
pemahaman makna secara lebih efektif. Anda akan mulai mengangkati makna frase
secara tidak disadari dan akan menggunakan energi yang Anda miliki untuk
menginterpretasikan kegunaan ide-ide dan informasi yang tengah Anda baca. Anda
tidak lagi akan dibebani oleh cara membaca kata demi kata yang sangat mengganggu
kecepatan membaca.
MF yang dilakukan oleh pembaca ini, pada dasarnya sejalan dengan langkah
yang diikuti oleh para penulis. Seorang penulis tidak menuliskan isi pikiran dan
perasaannya secara kata demi kata, melainkan frase demi frase atau kalimat demi
kalimat.
Coba Anda renungkan ilustrasi berikut!
"Penulis ... tidak ... menulis ... kata ... demi...kata ... mereka ... menulis ... frase
... demi ... frase", (tanda titik-titik menAndai perhentian-perhentian sejenak pada saat
penulis/pembicara menyatakan pikirannya) Kalimat di atas seyogianya
dibaca/diungkapkan dengan cara berikut.
"Penulis tidak menulis ... kata demi kata ... mereka me nulis ... frase demi
frase".
4.2.1 Membaca Frase Mekanis (MF Mekanis)
Kebanyakan pembaca mengira bahwa sewaktu membaca, mata bergerak
melancar sepanjang baris-baris cetakan. Sesungguhnya, supaya dapat
menginterpretasikan kata-kata, atau supaya dapat "melihat" sesuatu, mata harus
berhenti sejenak. Kalau mata bergerak terus, maka yang kelihatan hanyalah bayangan
kabur. Berdasarkan pAndangan mekanis, membaca merupakan rentetan hentian-
hentian visual. Pada setiap hentian, pembaca dapat melihat sesuatu dan makna sesuatu
itu dapat diserap dengan cepat. Mengikuti setiap hentian itu terjadi lompatan-
lompatan mata ke arah cetakan yang berikutnya, dan setelah itu terjadi pula hentian.
Mata seorang pembaca yang membaca kata demi kata mempunyai
kecenderungan untuk berhenti pada setiap kata. Mata seorang yang membaca frase
demi frase berhenti lebih jarang daripada orang yang membaca kata demi kata. Dalam
membaca frase, yang dilihat sesungguhnya ide-ide tertentu. Pembaca frase ini lebih
banyak menghemat waktu.
Kecepatan seorang pembaca yang membaca kata demi kata terbatas, sama
dengan keterbatasan kecepatan seorang yang membaca nyaring. Seorang pembaca
nyaring hanya akan dapat membaca sekitar 250 sampai 300 kata/menit. Dalam
membaca senyap, kecepatan maksimum seorang pembaca yang membaca kata demi
kata hanya 300 kata/menit juga, sedangkan seorang yang membaca frase demi frase
membaca tiga atau empat kali lebih cepat. Pembaca frase demi frase akan dapat pula
melihat dengan mudah, mana kata kunci dan mana kata-kata yang boleh dihilangkan.
Dengan demikian, pembaca yang bisa memadukan strategi MF dengan strategi
membaca kata kunci (MKK) seperti telah dijelaskan di muka, akan dapat membaca
jauh lebih cepat lagi.
MF melibatkan kapasitas visual seorang pembaca. Pada umumnya, orang
mempunyai potensi untuk melihat lima atau enam kata dalam satu hentian. Namun,
tidak banyak orang yang mau berusaha untuk mengembangkan kemampuannya itu,
dan berhenti pada kemampuan melihat satu dua buah kata pada setiap hentian. Secara
diam-diam mereka bersemboyan "Asal bisa membaca".
Kelemahan lain yang menjadi ciri membaca kata demi kata ialah regresi.
Pembaca kata demi kata mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menggerak-
gerakan penglihatannya kembali ke arah kata-kata yang sudah dilewatinya. Ini
disebabkan oleh karena usahanya mencari ide-ide yang tidak diperolehnya dari
masing-masing kata yang dibacanya. Regresi atau membaca balik ini dapat dihindari
dengan jalan membaca frase. Karena para pembaca frase demi frase dapat
menghindari regresi dan dapat menangkap ide-ide lebih cepat, mereka dapat
menikmati bacaan lebih baik daripada pembaca kata demi kata. Mereka yang mampu
menikmati apa yang dibacanya akan mempunyai sikap yang lebih positif terhadap
kegiatan membaca. Mereka akan membaca lebih banyak, dan kemampuan mereka
pun dengan sendirinya akan meningkat.
Sekali lagi, dalam usaha mengembangkan keterampilan MF pun latihan
merupakan hal yang sangat pokok. Latihan pada tahap mekanis seperti yang tertera di
bawah ini akan meningkatkan kecenderungan untuk membaca frase. Berlatihlah
dengan menggunakan bahan-bahan berikut ini sehingga memiliki keterampilan secara
wajar.
a) Latihan pada Tingkat Mekanis
1) Latihan Ayunan Visual.
Pernahkah Anda menyaksikan pemain bola berlatih menekuni setiap
subketerampilan sebelum mereka turun ke lapangan hijau? Pernahkah Anda
mendengarkan seorang calon pianis berlatih melancarkan sentuhan jemarinya,
sebelum dia mulai berlagu? Sungguh membosankan, bukan? Mereka yang tidak tahan
berlatih untuk menguasai sub-subketerampilan akan segera berguguran sebelum
berkembang.
Latihan-latihan khusus seperti yang mesti ditekuni oleh seorang calon pemain
bola, atau seorang calon petinju, atau pun calon pianis dan sebagainya, harus pula
dilakukan oleh seorang calon pembaca yang mahir. Dalam usaha untuk
mengembangkan kepercayaan terhadap kemampuan untuk membuat ayunan-ayunan
visual waktu MF, "bacalah" pola yang berikut ini dengan tekun. Mata Anda hanya
boleh berhenti sejenak pada setiap tAnda bintang, lalu ayunkan dengan segera
pandangan Anda ke bagian tAnda berikutnya. Janganlah sekali-kali berhenti di antara
dua tAnda bintang, dan jangan pula menggerakkan kepala. Biarkan pAndangan Anda
sajalah yang berayun secepat kilat melewati setiap bagian di antara dua tAnda bintang
itu dengan irama yang tetap. Berlatihlah dua atau tiga kali untuk mengawali setiap
kegiatan membaca sebagai suatu pemanasan.
Silakan coba!
..............*.............................*.......
..................*...............................*.
.............*.........................*............
......................*.....................*.......
....*.....................*.........................
..................*..................*..............
..........*......................*..................
................*................................*..
..............................*.....................
............*...............................*.......
Dengan latihan ayunan visual secara tekun dan dengan keyakinan Anda
diharapkan juga dapat membuang kebiasaan regresi. Bentuk latihan seperti di atas itu
didasari pengalaman seorang pengajar selama bertahun-tahun. Hasilnya terbukti
sangat memuaskan.
2) Latihan Membaca dengan Ayunan Visual.
Sambil membaca, perhatian Anda terutama harus ditujukan pada makna
kelompok kata (frase). Sebelum mulai membaca, Anda dianjurkan untuk mengadakan
pemanasan. Anda dapat menggunakan halaman buku yang terbuka di hadapan Anda
sebagai tempat berlatih. Buatlah bagian awal dan bagian akhir setiap baris sebagai
target. Bergeraklah dengan cepat sampai bagian bawah halaman tanpa memperhatikan
makna. Tujuan pemanasan ini ialah untuk memperoleh irama gerak mata yang licin
tidak kaku lagi. Selanjutnya, Anda boleh beralih pada usaha untuk memperoleh
makna bacaan. Mulailah Anda membaca dengan mengerahkan semua
subketerampilan yang pernah Anda pelajari.
4.2.2 Membaca Frase pada Tingkat Konseptual
Latihan-latihan yang terdahulu memusatkan perhatian pada aspek mekanis
MF, ialah gerak mata, penggunaan kapasitas untuk melihat sejumlah kata. Latihan-
latihan yang berikut ini lebih banyak memperhatikan aspek-aspek konseptual, ialah
penalaran dan pemahaman yang terjadi selama membaca.
Meskipun orang berpikir dengan ide-ide, namun mereka sering kali membaca
kata demi kata (MK). Ada bebrapa sebab pembaca tidak mengembangkan MF,
terutama karena MF lebih kompleks daripada MK. Huruf yang jumlahnya terbatas itu
disusun menjadi ratusan bahkan ribuan kata yang bisa dikenali dengan mudah,
sedangkan kombinasi kata-kata itu jumlahnya jauh lebih banyak, ratusan ribu, bahkan
jutaan.
Proses MF, sesungguhnya tidaklah terlalu mempesona. Jika Anda mau berlatih
dengan menggunakan cara yang disajikan di bawah ini. Anda akan menjadi lebih
sadar akan adanya frase-frase yang berulang-ulang, yang berupa kelompok kata yang
unsur-unsurnya telah sering Anda jumpai. Sesungguhnya banyak kelompok kata yang
digunakan berulang-ulang sehingga kelompok-kelompok kata-kata itu dapat Anda
kenal seperti anda mengenal kata. Contohnya: surat kabar, rumah sakit, ibu guru,
daftar pelajaran, dan lain sebagainya.
Anda akan membuktikan juga arti kalimat dapat digunakan untuk menerka
frase-frase yang saling mengikuti. Contoh: "Saya gemar makan pedas, tetapi perut
saya....". Jelaslah bahwa kemungkinan untuk frase yang merupakan kesimpulan sudah
dibatasi oleh pengertian frase-frase sebelumnya. Di samping pengertian kalimat,
tAnda baca dan tAnda kalimat juga membantu usaha untuk mengelompokkan kata-
kata. Kata penghubung menyatukan frase; subjek biasanya mendahului predikat.
Semua unsur pembentuk kalimat yang sifatnya teratur itu ikut mempermudah proses
MF.
(1) Latihan Pengelompokan Satuan Ide
Di depan telah banyak disebut kata "frase", tetapi belum dijelaskan artinya.
Yang dimaksud dengan frase di sini sama betul dengan istilah "frase" dalam tata
bahasa. Untuk keperluan pemahaman suatu bacaan, kata "frase" dibatasi sebagai
"kelompok kata yang mempunyai arti".
Paragraf di bawah ini sudah ditAndai dengan batas-batas frase. Mulailah
secara perlahan-lahan dulu. Lihatlah apa yang ada di dalam setiap bagian yang
ditAndai garis-garis pembatas. Cobalah cari arti setiap kelompok kata itu dengan tidak
memperhatikan kata demi kata. Bacalah paragraf ini beberapa kali sambil
meningkatkan kecepatan membaca.
Ada tiga hal yang harus dicapai dalam latihan ini:
(a) kecepatan membaca,
(b) kecepatan menangkap makna, dan
(c) kelancaran ayunan pAndangan mata dari frase yang satu ke frase berikutnya.
Untuk kepentingan latihan Anda, di bawah ini disediakan sebuah paragraf
(untuk latihan) yang sudah dikelompok-kelompokkan berdasarkan satuan-satuan
idenya. Setiap kelompok kata dikotaki. Anda harus membaca setiap kotak tersebut
dengan sekilas pAndangan. Demikian seterusnya, bergerak dari satu kotak ke kotak
lainnya hingga selesai. Silakan Anda mulai berlatih!
Waktu Anda berlatih membaca frase, camkan da-
lam ingatan bahwa frase adalah unit arti yang ter-
kecil. Sebuah kata baru mempunyai arti setelah di-
hubungkan dengan kata-kata lain yang ada di sekitar-
nya. Kata "rumah" misalnya, tidak jelas artinya ka-
lau tidak dihubungkan dengan kata lain yang dapat
memberikan arti tertentu. Kalau Anda membaca secara
acak sebuah kalimat dalam sebuah paragraf yang ber-
bunyi, "Rumah pun habis dibakarnya", maka Anda tidak
akan mempunyai pemahaman yang baik tentang kalimat
tersebut karena kata "rumah" tidak Anda hubungkan
dengan kata-kata lain yang ada di sekitarnya. Jika
yang Anda baca hanya kata "rumah" yang ada dalam
kalimat di atas, maka Anda tidak akan memperoleh ide
apa pun tentang kata “rumah” itu. Sewaktu-waktu
mungkin Anda harus menganalisis sebuah frase yang
tersendiri. Namun demikian, Anda haruslah bertujuan
untuk langsung menggabungkan ide frase itu ke dalam
unit pikiran yang memiliki arti.
(2) Penandaan dengan Titik
Langkah lebih lanjut untuk mendekati MF konseptual dapat Anda lakukan
dengan membaca paragraf yang berikut ini.
Anda dapat membuktikan kepada diri sendiri betapa
pentingnya membaca frase itu dengan memperhatikan
pola pidato atau pembicaraan seseorang yang mudah
diikuti. Anda akan segera mengetahui bahwa mereka
membuat jeda-jeda untuk memberi makna kepada pem-
bicaraannya itu di antara ide-ide yang penting.
Membaca frase-frase penuh di antara setiap hentian
mata menambah kemampuan pemahaman materi yang diba-
ca dan memungkinkan menambah kecepatan membaca me-
lebihi kecepatan yang mungkin bisa dicapai pada
membaca kata demi kata. Dengan kata lain, MF adalah
kunci bagi membaca dalam hati yang efisien.
Kembalilah kini pada novel ringan milik Anda itu. Untuk keperluan latihan,
Anda tidak perlu terlalu sayang untuk membubuhi titik-titik seperti yang ada pada
contoh di atas. Tempatkan titik-titik itu di tengah-tengah setiap frase yang ada di
dalam paragraf yang Anda hadapi.
(3) Latihan MF Tanpa TAnda
Setelah Anda melakukan berbagai latihan yang ditugaskan dalam kegiatan
terdahulu, sudah waktunya sekarang bagi Anda untuk berlatih mendekati MF yang
sebenarnya. Coba buatlah kelompok-kelompok kata yang mengandung pengertian
tertentu dengan menggunakan kemampuan mental, ialah dengan tidak menggunakan
tanda-tanda apapun. Lakukan latihan seperti itu selama 20-30 menit. Pada mulanya
Anda akan merasakan bahwa pemahaman Anda sama sekali tidak mantap.
Bertahanlah demikian untuk tidak kembali kepada kebiasaan membaca kata demi
kata. Lakukanlah latihan seperti itu beberapa hari. Anda akan merasakan perubahan
yang jelas pada pemahaman Anda. Percayalah.
Ketakutan akan kehilangan pemahaman memang sering kali terjadi. Hal ini
dapat menyebabkan seorang pembaca enggan mencoba mencapai kecepatan yang
optimum yang bisa dicapainya. Anda tidak usah merasa kuatir pemahaman Anda akan
terganggu, sebab menurut penelitian, membaca lambat itu tidaklah menjamin
pemahaman yang baik. Untuk mengembangkan kecepatan yang optimum, memang
hampir semua orang mengalami kekhawatiran yang sifatnya sementara. Karenanya,
teruslah berlatih dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang pernah Anda pelajari.
5. Membaca Paragraf
5.1 Hakikat Paragraf
Kata paragraf berasal dari bahasa Yunani para yang berarti samping/pinggir,
dan graphein yang berarti menulis. Pada mulanya, paragraf brmakna tanda atau
tulisan yang diletakkan di bagian pinggir teks, yang digunakan untuk menunjukkan
awal suatu topik baru dalam suatu pembicaraan. Dengan maksud yang sama, sekarang
kita memulai kalimat pertama sebuah paragraf dengan mejorokkannya agak ke dalam.
Cara ini dikenal dengan sebutan menginden, yang menunjukkan adanya pikiran baru
yang hendak diperkenalkan.
Pada umumnya, yang dimaksud dengan paragraf ialah sekelompok kalimat
yang secara bersama-sama membicarakan hanya satu pikiran utama. Biasanya, salah
satu dari kalimat-kalimat yang membentuk sebuah paragraf merupakan "kalimat
topik" atau "kalimat master", yakni kalimat yang menyatakan atau mengikhtisarkan
pikiran utama sebuah paragraf. Biasanya kalimat topik ini dikembangkan dengan
kalimat-kalimat lai yang merupakan penjelasnya atau pendukungnya. Dengan
demikian, ide yang terkandung dalam sebuah paragraf semakin menjadi jelas.
5.2 Cara Membaca Paragraf
Di bawah ini diuraikan prosedur membaca paragraf secara terinci berikut
komentar-komentarnya.
PROSEDUR KOMENTAR/KETERANGAN
1) Camkan bahwa paragraf
adalah sebuah unit
bacaan
Sebuah paragraf pada umumnya merupakan
pernyataan dan pengembangan suatu pikiran ter tentu.
Biasanya jumlah ide pokok sama dengan jumlah
paragraf pada suatu halaman. Pembaca yang terampil
selalu memperhatikan paragraf yang ada untuk
mengetahui jumlah ide pokok yang harus
dicamkannya.
2) Bacalah kalimat pertama
paragraf dengan cermat.
Kalimat pertama paragraf biasanya menyatakan
pikiran utama paragraf tersebut. Jika Anda meragukan
kalimat pertama sebagai pendukung ide pokok,
cobalah gunakan Tes Ide Pokok yang berikut ini.
a) pilihlah kalimat yang menurut perkiraan Anda
menyatakan pikiran utama paragraf.
b) Bandingkan kalimat pilihan Anda itu dengan
setiapka limat dalam paragraf itu.
c) Jika kalimat yang Anda pilih menggabungkan
seluruh kalimat dalam paragraf itu menjadi satu
pikiran yang utuh, maka pilihan Anda itu benar.
Jika ternyata bahwa kalimat pilihan Anda bukan
pendukung ide pokok, maka cobalah prosedur
ketiga berikut ini.
3) Bacalah kalimat terakhir
paragraf yang Anda
baca.
Kadang-kadang penulis mengikhtisarkan pikiran
utama dalam kalimat terakhir paragraf.
Jika dalam kalimat terakhir itu pun Anda tidak
menjumpai pikiran utama paragraf, cobalah gunakan
prosedur ke-4.
4) Perhatikan semua fakta
dalam paragraf secara
seksama.
Bacalah paragraf itu seraya bertanya, "Apa arti semua
ini?". Setiap fakta mungkin mempunyai makna yang
mendukung ide yang tidak dinyatakan.
5) Belajarlah mengenal
kalimat yang tidak
mendukung.
Sering kali paragraf terdiri tidak dari kalimat-kalimat
yang tidak memberikan dukung an langsung terhadap
ide pokok. Kalimat-kalimat tersebut bersifat kolateral
(setara).
6) Perhatikan kata-kata
yang dicetak miring dan
yang dicetak tebal.
Cetak miring dan cetak tebal biasanya menunjukkan
suatu pembagian yang penting atau yang perlu
diperhatikan. Anda harus menyadari bahwa kata-kata
seperti itu perlu diganti menjadi kata yang umum
yang mudah dipahami. Sediakan juga kertas kosong
untuk mencatat kata-kata baru/sulit. Cari artinya di
dalam kamus dan pelajarilah.
7) Terkalah pikiran penulis. Bacalah paragraf itu seperlu nya saja. Bidikkan
perhatian Anda supaya dapat melihat dengan jelas apa
yang dikatakan penulis. Periksalah terkaan Anda. Jika
terkaan Anda benar segera pindahlah ke paragraf
selanjutnya. Inilah salah satu cara untuk
mempertinggi kecepatan. Namun, Anda mungkin juga
membaca dengan maksud un tuk mengingat rincian
isi bacaan atau untuk pemahaman total. Kalau maksud
Anda demikian, ikutlah petunjuk dalam prosedur 8.
8) Membaca dengan tujuan Supaya Anda dapat memahami paragraf secara
untuk memperoleh fak ta
terinci harus dilakukan
sebagai berikut.
Fokuskan/pusatkan
perhatian Anda pada
pikiran utama.
lengkap usaha kanlah agar Anda mengetahui setiap
fakta dalam hubungannya dengan fakta lainnya.
Hubungkan setiap fakta dengan pikiran utama.
Dengan demikian se tiap fakta akan merupakan ba
gian dari pikiran utama yang besar. Supaya Anda
dapat melihat fakta-fakta dengan jelas dan hubungan-
hubungannya yang logis, catatlah kalimat topik pada
buku catatan dan di bawahnya Anda daftar fakta-fakta
yang mendukung pikiran utama. Cara ini dapat
menolong Anda untuk memisahkan kalimat yang
tidak mendukung perkembangan pikiran utama dalam
paragraf. Akhirnya baca balik pikiran utama dan
lengkapi dengan fakta-faktanya.
Setelah membaca prosedur membaca paragraf, mungkin Anda ingin segera berlatih.
Sebelum mulai dengan latihan, ada baiknya jika Anda mengetahui sedikit lagi
keterangan tentang paragraf, ialah tentang strukturnya.
Setiap kalimat dalam paragraf harus mempunyai suatu peranan struktural.
Peranan-peranan dimaksud adalah:
1) sebagai kalimat topik/kalimat utama;
2) sebagai kalimat penjelas/subordinat;
3) sebagai kalimat pemuas, yakni kalimat yang tidak memberi dukungan atau
keterangan apapun terhadap pikiran utama paragraf.
Kalimat-kalimat pemuas ini tidak mempunyai manfaat bagi pembaca. Penulis
mencantumkannya sekedar untuk memperoleh rasa puas. Dia masih ingin
menjelaskan idenya, tetapi kemampuannya sudah lemah dalam mengembangkan
paragraf itu.
Keterangan tentang kalimat topik sudah cukup jelas. Yang masih perlu
dijelaskan ialah kalimat-kalimat subordinat. Kalimat-kalimat ini menjelaskan kalimat
topik dengan empat cara sebagai berikut ini.
a) Dengan ulangan, ialah mengulang-balik pikiran utama, biasanya dengan
menggunakan kata-kata lain.
b) Dengan pembedaan, ialah dengan menunjukkan maksud yang dikandung oleh
pikiran utama dan menyatakan apa yang tidak dikandung oleh pikiran utama.
c) Dengan contoh, ialah dengan memberikan misal-misal kepada pembaca. Kalimat-
kalimat penjelas menjadi lebih jelas jika ke dalamnya disisipkan kata-kata misalnya,
umpamanya, atau contohnya.
d) Dengan pembenaran, ialah dengan menambahkan alasan-alasan untuk mendukung
ide pokok. Biasanya kalimat pembenaran diawali/disisipi kata karena, sebab, dan
sebagainya.
Di bawah ini disajikan sebuah contoh analisis paragraf buat Anda. Cobalah
pelajari baik-baik.
Paragraf (6)
Teks Paragraf
1. Pada dasarnya, membaca adalah suatu proses psikologis.
2. Proses tersebut terjadi di dalam pikiran pembaca.
3. Yang mempunyai peranan utama dalam membaca bukanlah gerakan-gerakan
fisiologis seperti gerak mata, bibir, lidah, dan sebagainya.
4. Banyak penderita gangguan penglihatan dan gerak bola mata diketahui sebagai
pembaca yang sangat mahir.
5. Bahkan, orang buta sekali pun banyak yang dapat membaca dalam arti bahwa
mereka dapat mengenal lambang-lambang dan mengubahnya menjadi ide-ide.
6. Karena kita tidak dapat mengabaikan kenyataan-kenyataan seperti itu, pendapat
Thorndike yang menyatakan bahwa membaca adalah berpikir harus kita terima.
7. Seperti seorang atlit yang berusaha memperbaiki keterampilannya dengan jalan
berlatih, seorang pembaca yang bermaksud memperbaiki bacaannya haruslah
banyak menyisihkan waktunya untuk menyerapi isi bacaan.
Analisis Paragraf
1) Kalimat pertama adalah kalimat inti yang mendukung ide pokok paragraf.
2) Kalimat kedua mengulang ide pokok dengan menggunakan kata-kata lain.
3) Kalimat ke-3 menunjukkan perbedaan tentang kegiatan membaca dengan kegiatan
lain (nonmembaca).
4) Contoh dengan menggunakan fakta yang kontras terhadap ide pokok.
5) Contoh lain yang merupakan langkah yang lebih jelas.
6) Kalimat ke-6 merupakan pembenaran yang berisi alasan bagi pembaca untuk
menerima kebenaran kalimat pertama. Kalimat ke-6 ini merupakan ulangan
kalimat pertama dalam bentuk ikhtisar.
7) Kalimat terakhir tidak memberikan dukungan apapun terhadap ide pokok. Penulis
mencantumkannya hanya untuk pemuas rasa. Paragraf belum terasa lengkap kalau
dihentikan pada kalimat ke-6.
5.3 Membaca Bab
5.3.1 Hakikat Membaca Bab
Melalui uraian ini, kita akan mencoba melihat perbedaan dan persamaan
membaca paragraf dengan membaca bab sebuah buku.
Tugas membaca sering kali diberikan per bab sebagai
unit pelajaran. "Bacalah bab ke-2, ke-3 dan ke-5 untuk pertemuan yang akan datang".
Tugas seperti itu sudah sangat akrab bagi para siswa dan mahasiswa. Anda
diharapkan dapat mempelajari dan menaklukan bab-bab dalam buku teks Anda itu
dengan cepat dan cermat. Bagaimana caranya?
Ada dua hal yang perlu Anda camkan dalam usaha membaca
bab dengan cepat dan cermat ialah:
1) Survei/periksalah bab yang Anda baca dengan suatu tujuan tertentu;
2) Bacalah bab tersebut untuk mencari fakta.
Mulailah membaca sebuah bab dengan pertanyaan-pertanyaan yang berikut ini
dalam pikiran:
• Bab ini membicarakan satu masalah tertentu, apa yang dibicarakannya?
• Apa beda bab ini dengan bab-bab lainnya yang harus Anda baca?
• Bagaimana kedudukan bab ini bila dibandingkan dengan bab-bab lainnya yang
harus Anda baca?
Usahakan agar Anda tetap menyadari di mana Anda berada. Banyak orang
mendapat kesulitan waktu membaca karena kehilangan jejak. Supaya Anda tidak
menemui kesulitan seperti itu, cobalah camkan isi daftar buku yang Anda baca itu
baik-baik.
Anda harus menunjukksn bab yang Anda baca itu dari awal hingga akhir. Ini
tidaklah berarti bahwa Anda harus membacanya secara terinci. Hal itu akan dilakukan
kemudian. Lihat-lihatlah bab yang Anda baca itu dengan tujuan yang jelas.
Untuk menyederhanakan sebuah bab, Anda harus melakukan pendekatan yang
inteligen melalui survei dan penelitian, dengan pertanyaan dan penyelidikan sehingga
Anda dapat menguasai situasi. Membaca sepintas sebagai pendahuluan itu selain
mengirit tenaga, juga akan memberi pula suatu penguasaan umum tentang isi bab itu.
Penguasaan umum itu sangat penting dalam usaha untuk memahami isi bab dan isi
buku.
Setelah selesai menyurvei isi bab itu Anda siap untuk membacanya lebih teliti,
mencari fakta-fakta dan detail-detail yang mendukungnya. Kembalilah ke bagian awal
bab itu dan bacalah paragraf-paragrafnya secara berurutan untuk mengetahui ide
pokok dan fakta yang mendukungnya. Terapkan teknik-teknik yang telah Anda
pelajari dalam kegiatan-kegiatan terdahulu. Ikuti langkah ke-7 dan ke-8 dalam
petunjuk tentang prosedur membaca paragraf di atas itu.
Biasanya kita tidak akan merasa puas dalam memahami sebuah bacaan
sebelum menimbang balik bab itu, menguji pemahaman, membuat catatan, dan
melengkapi keterangan yang diperoleh. Dalam menimbang balik bab yang Anda baca,
seyogianya Anda membaca lagi judul bab itu, demikian juga ikhtisar isi bab dengan
jalan menulis jawab terhadap pertanyaan. "Apa yang dibicarakan penulis dalam bab
yang baru dibaca itu?".
Langkah selanjutnya ialah membuat tes untuk Anda sendiri. Ambillah bagian
atau paragraf tertentu secara acak. Baca hanya judul bagian kalimat utama paragraf.
Selipkan secarik kertas untuk menandai bagian itu, lalu tutuplah buku Anda. Mulailah
dengan menuliskan bagian-bagian penunjang judul atau kalimat pokok yang Anda
baca tadi. Kalau Anda bermaksud mengetahui fakta-fakta ketika membaca judul atau
paragraf itu, cobalah catat pada sehelai kertas semua fakta yang dapat Anda ingat dari
bacaan itu. Setelah selesai, bukalah buku Anda dan periksa daftar fakta yang Anda
buat dengan mencocokkannya dengan apa yang tertera dalam buku. Berilah angka
pekerjaan Anda itu. Berapa persen yang benar? Catatlah skor yang Anda peroleh pada
kertas yang Anda gunakan sebagai tanda tadi. Ulanglah tes seperti itu secukupnya.
Lebih bagus jika Anda juga mengukur KEM yang Anda capai. Lihat kembali bab 3
buku ini.
Setelah selesai membaca suatu bab tertentu, sangat bijaksana jika Anda
membuat kartu baca, yakni catatan-catatan penting sebagai hasil baca pada kartu-
kartu yang berukuran kira-kira 13 x 18 cm. Tuliskan ikhtisar singkat tentang apa yang
Anda baca dengan mencatat ide-ide pokok dan ide-ide penunjang. Jangan lupa
mencantumkan data bibliografis bacaan Anda. Baca lagi kartu itu, sebelum pergi
kuliah. Susun dan simpanlah kartu-kartu itu untuk keperluan mendatang dalam
menghadapi ujian dan membuat karya tulis.
Di bawah ini Anda lihat contoh ikhtisar pada sehelai kartu berukuran 13 x 18
cm. Biasakanlah membuatnya supaya Anda mendapat kemudahan dalam menuntut
ilmu. Tidak semua materi yang Anda baca dapat dan perlu Anda ingat. Anda pun
belum tentu dapat memiliki bahan bacaan itu dalam perpustakaan Anda sehingga
dapat menggunakannya sewaktu-waktu, jika Anda memerlukannya. Anda dapat
membuat tempat menyimpan kartu itu dengan murah saja. Tempatkanlah dekat
tempat Anda belajar.
Kartu-kartu tersebut seyogianya disusun menurut abjad. Membiasakan diri
untuk membuat kartu catatan dengan tertib berarti menyiapkan sumber pustaka
pribadi yang sangat berharga. Anda akan memetik jerih payah itu di hari-hari
mendatang dengan senang. Percacalah!
Sekedar contoh, berikut disajikan sebuah contoh kartu baca. Anda boleh
berkreativitas sesuai dengan selera masing-masing. Yang penting, data bibliografis
dan data informasi penting dari hasil baca itu harus termuat di dalamnya.
Contoh kartu baca.
/---------------------------------------------------\
| Harjasujana, A.S. (1988:21). Materi Pokok Membaca.|
| Jakarta: PT Karunika. |
| |
| 6. Teknik Isian Rumpang |
| 6.1 pengertian |
| 6.2 Fungsi |
| 6.3 Manfaat/Kegunaan |
| 6.4 Kriteria Pembuatan |
| 6.5 Prosedur Penilaian |
| 6.6 Keunggulan dan Kelemahan |
\---------------------------------------------------/
5.3.2 Prosedur Membaca Bab
Di bawah ini duraikan prosedur membaca bab selangkah demi selangkah
beserta komentar-komentarnya.
Prosedur Komentar/Keterangan 1) Perhatikan judul bab dengan teliti. 1) Suatu bab pada umumnya mem
bicarakan suatu topik. 2) Buka baliklah daftar isi. Pelajari hubungan bab yang sedang dibaca dengan bab- bab lainnya.
2) Daftar isi itu merupakan perencanaan buku. Darinya diperoleh gambaran tentang suatu pokok pembicaraan serta kaitan antara pokok pikiran yang satu dengan pokok pikiran lainnya. Daftar isi berisi petunjuk yang menyatakan organisasi buku sebagai cerminan dari pola pikir penulisnya.
3) Perhatikan berbagai tipe penulisan dan ciri-ciri tipografis
3) Tipe menunjukkan suatu pe ngutamaan. Tipe tulisan yang lebih besar menunjuk topik yang lebih penting.
4) Baca judul-judul secara sepintas. 4) Tipe juga menunjukkan organisasi tulisan.
5) Periksalah kalau-kalau ada ikhtisar pada akhir bab.
5) Ikhtisar bab itu merupakan intisari bab. Bacalah bagian ini sebelum Anda melangkah ke prosedur selanjutnya.
6) Bacalah secara skimming uraian yang akan Anda baca itu dengan kecepatan fleksibel.
6) Teknik Anda menyekim akan bervariasi sesuai dengan variasi struktur setiap paragraf. Pada umumnya, ide utama biasa diletakkan pada bagian awal paragraf.
7) Buatlah kartu baca untuk merekam hasil baca Anda.
7) Setiap kali selesai membaca cobalah membuat catatan dalam kartu baca. Kartu ini akan membantu Anda dalam menanamkan informasi-informasi penting dalam ingatan Anda.
5.4 Membaca Buku
5.4.1 Hakikat Membaca Buku
Membaca buku, terutama buku yang tebal dan sulit merupakan masalah yang
berat yang dapat dihadapi oleh siapa saja.
Membaca uraian prosa naratif-ekspositoris dalam kadar yang lebih pendek (seperti
artikel, misalnya) jauh lebih mudah ketimbang dalam bentuk yang lebih panjang
(seperti buku, misalnya). Hal yang sama tidak berlaku untuk karya sastra. Puisi
misalnya, meskipun wujudnya lebih pendek dari cerpen dan novel, namun tidak
berarti puisi akan lebih mudah dipahami pembacanya.
Mengingat bahan bacaan itu memiliki karakteristik yang berbeda, barangkali
tidak ada salahnya jika terlebih dahulu Anda dituntut untuk memilah-milah bahan
bacaan tersebut berdasarkan klasifikasinya. Tugas pertama Anda adalah mengetahui
golongan/jenis buku yang akan/sedang Anda baca. Termasuk jenis buku apakah itu?
Apakah bacaan Anda itu tergolong karya fiksi (cerpen, novel, drama, puisi) atau karya
nonfiksi atau karya ekspositoris? Pengetahuan ini penting guna menentukan strategi
baca selanjutnya.
Untuk dapat memahami buku yang Anda baca, terdapat empat pertanyaan
dasar yang harus diajukan pada saat Anda hendak membaca buku tersebut. Keempat
pertanyaan tersebut, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1) Secara umum, buku itu berbicara tentang apa?
2) Apa yang dikatakan penulis, dan bagaimana cara dia mengatakannya?
3) Apakah isi buku itu benar, baik secara keseluruhan maupun sebagian?
4) Apakah buku itu penting? Apa manfaatnya untuk Anda?
Berbekal keempat pertanyaan tersebut, selanjutnya Anda siap menjelajahi buku itu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dimaksud.
5.4.2 Prosedur Membaca Buku
Untuk menjawab dua pertanyaan pertama, sebaiknya Anda menempuh
langkah-langkah berikut di dalam membaca buku. Langkah-langkah tersebut meliputi
langkah-langkah berikut ini.
1) Lihatlah halaman-halaman awal buku itu, kalau ada bacalah kata pengantarnya.
Pada bagian pengantar biasanya penulis menyatakan tujuannya atau pendapat
khusus mengenai pokok-pokok tertentu dari buku yang ditulisnya. Dengan
membaca kata pengantar diharapkan Anda mendapatkan gambaran tentang subjek
buku tersebut. Berhentilah sejenak, dan bertanyalah pada diri sendiri, apakah buku
ini sejenis dengan buku lain yang pernah Anda baca?
2) Pelajari daftar isi buku. Daftar isi buku mencerminkan pola organisasi buku yang
bersangkutan. Dengan demikian, berarti pula mencerminkan pola pikir penulisnya.
Dengan melihat daftar isi buku, Anda akan dapat menafsirkan gambaran umum isi
buku yang hendak dibaca itu.
3) Periksa daftar indeks buku. Indeks memberikan informasi tentang berbagai topik
masalah yang dibahas dalam buku itu, jenis-jenis buku, serta nama-nama tokoh
penting. Jika Anda menemukan sesuatu yang Anda butuhkan informasinya, coba
periksa dulu halamnnya sesuai dengan petunjuk indeksnya. Dari halaman-halaman
yang dirujuk tersebut, mungkin Anda akan menemukan gagasan-gagasan yang
paling penting tentang buku itu atau mungkin mengetahui sikap penulis terhadap
hasil karyanya itu.
4) Bacalah pesan dari penerbit (jika ada) yang biasanya ditulis di sampul belakang
buku. Banyak pesan itu tidak hanya ditulis oleh penerbit, melainkan ditulis oleh
pengarangnya sendiri. Tidak jarang penulis itu menguraikan gagasan-gagasan
utama bukunya itu di bagian tersebut. Sampai di situ, mungkin Anda sudah cukup
mendapatkan informasi tentang rencana Anda selanjutnya.
5) Selanjutnya, melangkahlah pada judul-judul bab dan subbab. Lihatlah bab-bab atau
subbab-subbab yang tampaknya paling penting bagi tema buku itu. Secara khusus
tentang bagaimana cara membaca bab, lihat uraian terdahulu. Namun, secara
umum lihatlah bagian-bagian awal bab dan bagian akhir bab, sebab biasanya
gagasan penting akan termuat di situ.
6) Akhirnya, teruskan membaca buku dengan kecepatan yang fleksibel. Anda tentu
tahu, bagian mana yang memerlukan tempo lambat, dan bagian mana yang
memerlukan tempo cepat, atau bahkan bagian mana yang boleh dilewati karena
dianggap tidak terlalu penting, atau tidak memberikan informasi baru.
Meskipun Anda telah melaksanakan prosedur di atas, bukan berarti Anda tidak
akan mendapat rintangan dalam memahami buku tersebut. Jika Anda dihadapkan
pada bacaan yang sukar untuk bacaan pertama kalinya, hal penting yang perlu Anda
catat ialah bahwa Anda tidak boleh berhenti membacanya. Bacalah seluruh buku
tersebut tanpa harus berhenti untuk memikirkan hal-hal yang tidak Anda pahami
ketika itu. Pada kesempatan membaca yang kedua kalinya atau membaca buku lain
yang berkaitan, mudah-mudahan Anda dapat mengatasi hambatan pemahaman tadi.
5.5 Membaca Karya Sastra
5.5.1 Hakikat Karya Sastra
Perbedaan mendasar antara buku fiksi (karya sastra) dan buku nonfiksi (buku
ekspositoris) terletak pada kebenaran faktanya. Buku ekspositoris berusaha
menyampaikan pengetahuan, pengetahuan tentang pengalaman yang telah dialami
penulis atau dialami orang lain. Bacaan fiksi berusaha menyampaikan pengalaman itu
sendiri; pengalaman yang dapat dialami penulisnya sendiri atau dialami bersama-
sama pembaca melalui kegiatan membaca. jika penulisnya berhasil, maka pembaca
akan beroleh kenikmatan daripadanya.
Untuk mengetahui sesuatu dari bacaan, pembaca harus menggunakan pikiran
dan penalarannya. Sedangkan untuk mengalami peristiwa-peristiwa yang tersaji di
dalamnya, pembaca harus menggunakan indria dan daya khayal (imaginasi). Pada
umumnya, bacaan sastra memerlukan kepekaan imaginasi agar kita ikut terlibat di
dalamnya.
Tujuan bacaan fiksi dan nonfiksi tentu berbeda. Perbedaan tersebut berdampak
pada penggunaan bahasa dari kedua jenis bacaan ini. Penulis buku ekspositoris
menghindari penggunaan kata-kata yang ambigu, samar-samar, dan berbunga-bunga;
sedangkan penulis karya sastra sebaliknya. Kekayaan dan kekuatan kata-kata dalam
berbagai variasi akan menjadi daya tarik tersendiri dalam karya sastra. Adakalanya,
sebuah puisi mengandung makna yang lebih banyak daripada kata-kata yang ada di
dalamnya.
5.5.2 Prosedur Membaca Karya Sastra
Empat pertanyaan mendasar yang seyogyanya diajukan pada saat hendak
membaca karya ekspositoris (buku), juga berlaku untuk membaca karya sastra.
Namun, tentu saja ada kekhasan tersendiri dalam menjabarkan pertanyaan tersebut ke
dalam tuntutan jawabannya. Untuk melihat persamaan dan perbedaan karakteristik
jawabannya, baiklah kita tinjau ulang keempat pertanyaan tadi.
Pertanyaan pertama berkenaan dengan pertanyaan tentang isi umum buku.
Tentang apa keseluruhan buku itu? Kesatuan sebuah cerita rekaan (karya sastra)
terletak pada alur atau plonya. Alur cerita merupakan garis besar pengalaman, baik
pada prosa maupun puisi. Untuk mengetahui alur sebuah karya sastra, Anda harus
menemukan bagaimana puisi, cerpen, novel, drama tersusun dari bagian-bagian,
rincian-rincian, peristiwa-peristiwa yang tersusun secara kronologis, yang terdiri atas
bagian awal, tengah, dan akhir.
Pertanyaan kedua berkenaan dengan apa yang dikatakan penulis dan
bagaimana cara penulis mengatakannya. Untuk bacaan sastra, pertanyaan ini dapat
dijawab dengan jalan melibatkan diri dengan para tokoh yang terdapat dalam karya
sastra. Anda hendaknya berusaha untuk mengenal dan memahami tokoh-tokoh cerita,
pikiran-pikirannya, perasaan-perasaannya, tindakan-tindakannya, lingkungan mereka,
serta mengikuti perkembangan mereka sepanjang alur cerita.
Meskipun aturan-aturan ini lebih cocok diterapkan untuk prosa, namun tidak
menutup kemungkinan untuk diterapkan ke dalam karya puisi pula. Puisi juga
memiliki kesatuan: bagian awal, tengah, dan akhir. Puisi juga memiliki tokoh, paling
tidak si pengucap puisi itu sendiri. Untuk memahami puisi harus dibantu dengan
pengucapan kata-katanya, bukan hanya sekedar dibaca di dalam hati.
Pertanyaan ketiga berkenaan dengan kebenaran isinya. Tolok ukur kebenaran
karya sastra bukan terletak pada kebenaran faktanya, melainkan kebenaran khayalnua.
Apakah cerita itu mungkin terjadi? Apakah cerita itu logis terjadi? Hal yang harus
menjadi pertimbangan Anda dalam memberikan penilaian untuk pertanyaan ketiga ini
adalah pemahaman Anda terhadap maksud dan tujuan penulisnya. Sejauh mana
maksud penulis atas keterlibatan Anda dalam mengalami karya sastra yang
disajikannya.
Pertanyaan keempat berkenaan dengan tingkat kepentingan dan
kebermanfaatannya untuk Anda. Pertanyaan ini tidak perlu ditanyakan kepada
karyasastra. Setelah membaca puisi, cerpen, novel, ataupun drama, pembaca tidak
dituntut untuk melakukan tindakan apa pun. Bagi penulis karya sastra, Anda
mengalami sesuatu melalui karya tersebut, Anda terlibat sudahlah cukup.
Meskipun begitu, dampak dari bacaan karya sastra dapat menjurus ke tindakan
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.
5.5.2.1 Prosedur Membaca Novel
Para pakar sastra berpendapat bahwa novel merupakan pembuka kealiteratan
siswa terhadap bacaan sastra, bahkan bacaan pada umumnya. Mereka beranggapan,
para siswa sudah terbiasa dengan bentuk naratif juga tidak terganggu oleh beberapa
masalah yang ditimbulkan oleh keringkasan cerita, seperti halnya dalam cerpen.
Novel tidak sekedar lebih panjang dari cerpen, namun juga tidak tergesa-gesa
memperkenalkan sejumlah tokoh yang terlibat dalam beberapa subplot, yang pada
akhirnya saling berkaitan dalam mendukung plot utama.
Berikut ini disajikan beberapa strategi untuk membaca novel dengan baik.
Perhatikan petunjuk-petunjuk berikut ini.
1) Ingatlah nama-nama tokoh yang muncul dalam cerita itu:
(a) camkan beberapa pernyataan/kalimat yang berkenaan dengan karakter mereka;
(b) jangan hiraukan dulu hal-hal yang membingungkan Anda.
2) Tatalah alur yang kacau dengan jalan mengaitkannya dengan alur pada awal cerita.
3) Simpanlah subplot yang terpisah secara mental di dalam ingatan.
4) Camkan bagian tengah cerita, serta kaitan antarsubplot dengan plot utamanya.
5) Ikutilah gerak alur dan perkembangan tokoh secara seksama serta pengaruhnya
terhadap peristiwa selanjutnya.
6) Buatlah ringkasan isi cerita dalam bentuk sinopsis.
7) Kenalilah bagian permasalahan, klimaks, dan solusi atau bagian akhir cerita.
5.5.2.2 Prosedur Membaca Puisi
Untuk puisi-puisi balada yang seringkali disajikan dalam bentuk lirik-naratif,
aturan-aturan strategi membaca novel dapat diterapkan untuk memahaminya. Di
samping itu, pengetahuan tentang kapan sajak/puisi itu diciptakan, pola bahasa dan
jenis-jenis bahasa figuratif yang dipakai, serta di mana jeda-jeda itu seharusnya
ditempatkan akan membantu pembaca dalam menghayati, memahami, dan
mengapresiasi puisi tersebut dengan lebih baik.
Tidak ada aturan yang baku tentang bagaimana sebaiknya membaca puisi agar
dapat dipahami. Meskipun begitu terdapat sejumlah saran yang biasanya ditujukan
kepada para guru dalam mebimbing siswanya ke arah pembacaan dan pemahaman
puisi secara lebih baik. Chesler mengusulkan empat kriteria dalam memilihkan puisi
untuk siswa. Keempat kriteria dimaksud adalah sebagai berikut ini.
Pertama, puisi itu harus berada pada tingkat literal. Artinya, puisi itu dapat
dipahami tanpa harus mendapat pertolongan guru atau kamus. Puisi literal tidak
terlalu banyak mengandung kosakata sulit yang tidak bisa dipahami, meskipun
dengan bantuan konteks.
Kedua, puisi itu dapat mengajak siswa untuk dapat merasakan sesuatu.
Pengalaman merasakan sesuatu itu dapat berupa pengalaman langsung atau
pengalaman seolah-olah mengalami sendiri. Tentu saja, pengalaman pribadi masing-
masing siswa turut andil dalam menciptakan keterlibatan emosi ini. Untuk
menghubungkan dunia siswa dengan dunia sajak, guru perlu memberikan berbagai
bentuk bantuan, misalnya melalui pengembangan imajinasi, sajian berbagai media,
kekayaan ilustrasi, diskusi kelas, dan lain-lain.
Ketiga, berkenaan dengan penampilan sajak. Chesler berpendapat bahwa
makna bisa disampaikan secara jelas melalui bantuan alat-alat visual dan auditori.
Peragaan pembacaan sajak secara visual dapat membantu siswa dalam mengapresiasi
sajak tersebut.
Keempat, berkenaan dengan daya tarik bunyi. Pendengaran yang terlatih dapat
membantu mereka dalam mengapresiasi puisi. Oleh karena itu, sajak yang
menampilkan bunyi-bunyi menarik serta kemampuan olah vokal yang menawan
dalam membunyikan baris-baris sajak itu, akan membantu siswa dalam mengapresiasi
puisi tersebut.
RANGKUMAN
MC merupakan sejenis keterampilan yang memerlukan ketekunan berlatih dan
disiplin tinggi utnuk mencapai kecepatan dan daya baca yang tinggi yang bisa dicapai
seseorang. Berbagai strategi pola membaca cepat yang sering dipraktikkan orang
adalah pola vertikal, pola diagonal, pola zig zag, pola spiral, pola blok, dan pola
horizontal. Ada berbagai bentuk latihan untuk mencapai kecepatan dan daya baca
yang tinggi, misalnya metode membaca frase, membaca paragraf, membaca bab.
Strategi-strategi tersebut disertai dengan petunjuk-petunjuk praktis tentang cara
pelaksanaan latihannya.
Latihan yang biasa dilakukan untuk menguasai metode membaca frase
meliputi dua hal, yakni latihan yang abersifat mekanis dan latihan yang bersifat
konseptual. Pemaduan dua keterampilan, yakni keterampilan mekanis dan
keterampilan konseptual secara bersama-sama dilakukan pada saat melakukan
aktivitas baca dengan menggunakan metode membaca frase.
Hal yang harus diperhatikan dalam membaca paragraf adalah struktur
paragraf, ide/kalimat inti, ide/kalimat penjelas, dan kalimat sumbang (kalimat
pemuas).
Pada dasarnya prosedur membaca bab hampir sama dengan membaca
paragraf. Namun, sebelum membaca bab sebaiknya diawali dengan kegiatan
penjajagan, berupa survei terhadap daftar isi atau organisasi bab itu. Membaca bab
yang diawali dan dibekali dengan tujuan dan pertanyaan-pertanyaan jauh lebih baik
ketimbang tidak memiliki tujuan apapun dan tidak memiliki pertanyaan apapun di
seputar isi bab itu. Kartu baca akan sangat membantu Anda di dalam mengarsipkan
hasil kegiatan baca Anda untuk keperluan sewaktu-waktu, baik untuk kepentingan
akademis maupun kepentingan sehari-hari.
Untuk dapat memahami buku yang Anda baca, baik itu bacaan sastra (fiksi)
maupun bacaan ekspositoris (nonfiksi) terdapat empat pertanyaan dasar yang harus
diajukan pada saat Anda hendak membaca buku tersebut. Keempat pertanyaan
tersebut, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1) Secara umum, buku itu berbicara tentang apa?
2) Apa yang dikatakan penulis, dan bagaimana cara dia mengatakannya?
3) Apakah isi buku itu benar, baik secara keseluruhan maupun sebagian?
4) Apakah buku itu penting? Apa manfaatnya untuk Anda?
LATIHAN
Petunjuk: Perhatikan dan baca teks berikut kemudian, ikuti instruksi-instruksi
selanjutnya.
Teks 1
Orang Eskimo berkata bahwa surga itu panas. Orang Arab mempunyai surga
yang sejuk tempat bidadari menari. Surga orang Persia adalah kebun yang selalu
hijau. Tetapi bagiku, berilah aku sebuah danau pegunungan yang biru di ujung
pendakian yang panjang. Pagarlah danau itu dengan kekayuan yang tidak luput oleh
kapak. Masukkan ke dalamnya berbagai ikan parit. Biarkan matahari menghangat
sehabis mandi berenang. Biarkan malam-malamnya sejuk dalam sinar sejuta bintang.
Andaikata di sana ada juga nyamuk, suruhlah mereka berhinggapan dan diam di kala
malam tiba. Biarkan burung kicau semua bernyanyi di musim dingin di tengah hari
dan murai berkicau di hari senja. Biarkan setiap sinar pagi yang pertama menyentuh
padang-padang salju di pucuk-pucuk ufuk barat, dan biarkanlah suara merdu yang
panjang unggas pelagu menyanyikan berita bahwa siang tiba.
Teks 2
Bagaimana bunyi tali bas yang mendengung dalam selubung paduan lagu
polifoni, sebuah kata benda mempunyai tempat predominan dalam keseluruhan
untaian paragraf. Di dalam paragraf, kata benda itu dijalin oleh berbagai variasi
pikiran yang mengisi suatu desain yang rumit. Kata benda utama dalam paragraf
dapat kita anggap sebagai pengganti sesuatu yang dipermasalahkan di dalam paragraf.
Benda ini mungkin tampak jelas seperti rumah-rumah yang berdiri di dpan mata atau
pun sebagai sebidang tanah subur. Benda itu mungkin selembut kasih sayang atau
seperti angan-angan ingatan. Namun, ide-ide yang ada itu berubah menyilaukan, dan
di bagian pusat setiap paragraf mesti ada kata benda. Kata benda inilah yang
merupakan substansi dan jantung pikiran utama dalam paragraf. Sesungguhnya
keseluruhan pikiran utama itu tidak lain dari penegasan yang lengkap yang dijelaskan
dan dikembangkan oleh paragraf itu sendiri di sekitar kata benda polar.
Teks 3
Kemampuan membaca tingkat sembilan yang dimiliki oleh seorang dewasa
tidak mencerminkan kemampuan berpikir seorang siswa kelas sembilan. Tidak
seorang pun akan menolak bahwa orang dewasa mempunyai kelebihan dalam
pengalaman, sikap, dan pelarapan emosional. Karenanya, mempersamakan
kemampuan membaca tingkat sembilan dengan kemampuan mental tingkat sembilan
sudah tindakan yang keliru. Anggapan yang menyamakan kedua macam kemampuan
itu hanyalah akan membawa penulis kepada suatu suasana mental mental yang
menyebabkan tulisannya mempunyai kecenderungan untuk rendah.
Instruksi:
1. Kelompokkan teks 1 berdasarkan frase-frase atau kelompok-kelompok kata yang
Anda duga sebagai satuan-satuan unit idenya yang Anda duga sebagai frase.
Penandaan dapat dila kukan dengan membubuhkan tanda gatra (/) sebagai
penyekat satuan unit ide. Cobalah Anda baca teks tersebut berdasar kan satuan-
satuan unit ide yang telah Anda tandai sambil camkan makna dan informasi yang
terkandung di dalamnya.
2. Tentukan ide pokok dari ketiga teks di atas dengan kalimat Anda sendiri. Jelaskan
rasionalisasi dari jawaban Anda tersebut!
3. Bagaimana struktur paragraf dari ketiga teks di atas? Jelaskan, tunjukkan buktinya!