Upload
duongliem
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM
PELAKSANAAN IKRAR TALAK
(Studi Kasus Di Pengadilan Agama Ambarawa)
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
R. ABDUL MALIK
21108020
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2012
KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM
PELAKSANAAN IKRAR TALAK
(Studi Kasus Di Pengadilan Agama Ambarawa)
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
R. ABDUL MALIK
21108020
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2012
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
Heni Satar Hurhaida, SH. M.Si Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Saudara R. Abdul Malik Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya,
maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : R. Abdul Malik
NIM : 21108020
Jurusan : Syari’ah
Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul : KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM
PELAKSANAAN IKRAR TALAK (Studi Kasus
Di Pengadilan Agama Ambarawa).
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya
segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Salatiga, 27 Juli 2012 Pembimbing,
Heni Satar Hurhaida, SH. M.Si
NIP. 197011271999032001
SKRIPSI
KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM PELAKSANAAN
IKRAR TALAK
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa)
DISUSUN OLEH
R. ABDUL MALIK
NIM: 21108020
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga,
pada tanggal 31 Agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana S1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag __________________
Sekretaris Penguji : Abdul Aziz, N.P, MM __________________
Penguji I : Evi Ariyani, MH __________________
Penguji II : Ilyya Muhsin, Msi __________________
Penguji III : Luthfiana Zahriani, MH __________________
Salatiga, 14 September 2012
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 1983031002
DEKLARASI
Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : R. Abdul Malik
NIM : 21108020
Jurusan : Syari’ah
Program : Ahwal Al Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip
atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah
Salatiga, 11 Agustus 2012
Penulis
R. Abdul Malik
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
"Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Azza Wajalla adalah talak (perceraian)." (HR. Abu Dawud)
PERSEMBAHAN
Sekripsi ini kupersembahkan untuk : Allah SWT
Bapak-ibuku (Bp. Abdurrachman dan Ibu Muawanah) Kakak-kakakku (Yusuf, Ruqoyah, Fatimah)
“Seseorang yang selama beribu-ribu hari, berpuluh ribu jam, dan beratus ribu menit selalu meemberi suntikan energi positif yang menguatkan ragaku
Sahabat-sahabati PMII kota salatiga Teman-teman AHS ’08
Teman-teman kontrakan senasib seperjuangan (Arif,Azis,Antok,Catur,Rehan)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah
SWT. Karena dengan taufiq, hidayah dan inayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana Syariah di STAIN Salatiga. Shalawat dan salam
senantiasa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa manusia menuju jalan yang lurus yang diridhoi Allah SWT.
Selanjutnya, dalam menyelesaikan Skripsi ini penulis sangat terbantu dengan
adanya do’a, bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, untaian do’a dan terimah kasih yang tulus- ikhlas dari lubuk hati yang paling
dalam kami sampaikan kepada mereka yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, khususnya kepada yang terhormat:
1. Bapak. Dr. Imam Sutomo, M. Ag. Selaku Ketua STAIN Salatiga
2. Bapak Mubasirun, M. Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah
3. Bapak Ilyya Muhsin, SHI, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhsiyah Jurusan Syariah
4. Ibu Heni Satar Nurhaida Selaku Pembimbing yang telah meluangkan
waktunya semata-mata untuk membimbing dan mengarahkan penulis
dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen STAIN Salatiga, khususnya dosen jurusan Syari’ah
yang telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN
Salatiga.
6. Bapak Ketua Pengadilan Agama Ambarawa kabupaten semarang
7. Keluarga besar Pengadilan Agama Ambarawa kabupaten semarang
Terakhir, penulis sangat menyadari bahwa skripsi yang berjudul
“KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM PELAKSANAAN IKRAR
TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa)” masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran dan kritik
yang konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca terutama
bagi Civitas Akademika STAIN Salatiga.
Penulis
R. Abdul Malik
ABSTRAK
Malik, R. Abdul 2012. Ketidakhadiran pemohon dalam pelaksanaan ikrar talak (Studi kasus di Pengadilan Agama Ambarawa). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida, SH. M.Si
Kata kunci : Ikrar talak, Ketidakhadiran pemohon
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui tentang perkara cerai talak di Pengadilan Agama Ambarawa, yang pemohonnya tidak hadir dalam sidang penyaksian ikrar talak. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apa yang melatar belakangi Pemohon tidak hadir dalam pelaksanakan ikrar talak? (2), akibat Hukum dari ketidakhadiran Pemohon dalam pelaksanaan sidang ikrar talak ?, (3) Upaya Hukum apa yang dapat ditempuh pasca penetapan Pengadilan Agama Ambarawa?.
Untuk menjawab dari fokus penelitian, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research) yang dilakukan di Pengadilan Agama Ambarawa.
Hasil dari penelitian dapat diketahui bahwa yang melatarbelakangi pemohon tidak hadir dalam ikrar talak antara lain: Adanya pembebanan atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang yang harus dia bayar, meliputi: nafkah masa lampau, mut’ah, iddah dan nafkah anak, ketidak tahuan adanya pemanggilan karena pergi jauh, tidak tahu keberadaannya, Pemohon beranggapan dengan adanya putusan ijin ikrar talak dari Pengadilan Agama maka sudah selesai berperkara dan sudah cerai, faktor alam meliputi : rukun lagi dengan istri, meninggal dunia. Akibat hukum dari tidak hadirnya pemohon dalam penyaksian ikrar talak adalah gugurnya kekuatan hukum penetapan ikrar talak dan pemohon tidak dapat mengajukan permohonan lagi dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6 Undang-Undang 7 Tahun 1989). Upaya hukum termohon pasca gugurnya kekuatan penetapan izin ikrar talak secara tegas dalam Undang-Undang tidak mengaturnya, akan tetapi dalam praktek, termohon dapat mengajukan gugatan cerai terhadap suami baik dengan alasan-alasan yang sebagaimana dalam permohonan tersebut atau dengan alasan-alasan yang dibenarkan Undang-undang.
Demi terwujudnya kepastian hukum, maka perlu adanya aturan hukum yang tegas khususnya untuk pihak pemohon (suami) yang tidak bersedia melaksanakan sidang ikrar talak dan perlu juga adanya sanksi terhadap pemohon pasca gugurnya penetapan ikrar talak tersebut.
DAFTAR ISI
LEMBAR BERLOGO ....................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................... iv
HALAMAN DEKLARASI ................................................................................ v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................. .................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................... ................... vii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................... ................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................... .................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. latar belakang .................................................................................... 1
B. Fokus Penelitian .......................................................... ........................ 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................... ....................... 5
D. Kegunaan Penelitian .................................................... ....................... 6
E. Penegasan Istilah ......................................................... ........................ 7
F. Metode Penelitian ......................................................... ....................... 7
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................. ........................ 8
a. Metode Pendekatan ................................................................... 8
b. Lokasi Penelitian .................................................... .................. 9
c. Sumber Data .......................................................... .................... 9
1) Data Primer ........................................................ .................. 9
2) Data Skunder ...................................................... ................... 10
2. Prosedur Pengumpulan Data ...................................… ................... 10
a. Wawancara (Interview) ..................................... ....................... 10
b. Observasi (pengamatan)...................................... ....................... 11
3. Analisis Data ........................................................ ........................... 12
4. Pengecekan Keabsahan ......................................... .......................... 13
5. Tahap-tahap Penelitian .......................................... ......................... 14
G. Tinjuan Pustaka .......................................................... ........................ 15
H. Sistematika Penulisan................................................. ......................... 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perceraian
1. Pengertian perceraian……………………………………………… 20
2. Syarat-syarat perceraian .................................................................. 22
3. Jenis-jenis perceraian....................................................................... 24
B. Penyelesaian Perkara Cerai Talak
1. Tata cara permohonan cerai talak........................... ......................... 28
2. Asas pemeriksaan cerai talak.................................. ......................... 40
3. Keputusan cerai talak dan upaya hukum istri........... ....................... 43
4. Tata cara pengucapan ikrar talak.......................... ........................... 44
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa.
1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa....................... ................ 50
2. Letak geografis......................................................... ................... 54
3. Kompentensi Pengadilan Agama Ambarawa .......... ................... 55
B. Perkara cerai talak yang gugur kekuatan penetapan
di Pengadilan Agama Ambarawa................. ................................. 59
1. Perkara dengan register Nomor: 0519/Pdt. G/2011/PA.Amb….. 59
2. Perkara dengan register Nomor: 0706/Pdt.G/2010/PA.Amb…. .. 67
3. Perkara dengan register Nomor: 024/Pdt.G/1996/PA.Amb…. .... 71
C. Akibat Hukum dari Ketidakhadiran Pemohon dalam
Pelaksanaan Sidang Ikrar Talak ..................................................... 77
D. Faktor yang Melatarbelakangi Pemohon Tidak Hadir dalam
Melaksanakan Ikrar Talak. ............................................................ 78
E. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Ketika Perkawinan Tidak
Dapat Dipertahankan Kembali Pasca Penetapan Pengadilan
Agama........................................................................................... 81
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis tentang Akibat Hukum dari Ketidakhadiran Pemohon
dalam Sidang Ikrar Talak……………………………… .................. 84
B. Analisis tentang Faktor yang Melatar belakangi Pemohon
Tidak Hadir dalam Pelaksanakan Ikrar Talak………… ................... 87
C. Analisis tentang Upaya Hukum Pasca Penetapan Pengadilan Agama
Ambarawa………………………………………... .......................... 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... ..................... 95
B. Saran ............................................................................. ...................... 97
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... ..................... 99
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. ................ 101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah.
Thalib (1974:47) berpendapat bahwa “perkawinan merupakan perjanjian yang
suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.” Untuk mencapai hal
tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami
kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terkait dengan hak dan
kewajiban.
Dalam usaha membina keluarga yang bahagia dan sejahtera sangatlah
perlu meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami isteri dalam kedudukan
yang semestinya seperti yang diajarkan oleh agama yang dianut.
Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur-unsur lahiriyah,
melainkan meliputi unsur-unsur batiniyah. Membentuk keluarga jelas untuk
mendapatkan keturunan sebagai penerus keluarga, memelihara dan mendidik
anak-anak dengan kasih sayang secara bertanggung jawab.
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang
perkawinan menegaskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa. Tujuan perkawinan sangatlah mulia, terkadang mendapatkan
cobaan yang cukup berat dalam mewujudkannya, karena untuk membentuk
keluarga yang damai dan teratur amatlah sulit.
Di dalam kehidupan rumah tangga sering di jumpai orang (suami
isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya,
akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak
dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang
dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri)
tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada
putusnya ikatan perkawinan (perceraian).
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menyebutkan “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.”
Walaupun perceraian adalah urusan pribadi atas kehendak bersama
atau salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan
pemerintah, namun untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari
pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui
lembaga peradilan. (Harahap, 2003:215 )
Penyelesaian perceraian bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, maka penyelesaiannya harus diselesaikan di Pengadilan
Agama, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Dengan demikian, maka perceraian dianggap sah menurut hukum
apabila telah diputus oleh pengadilan yang berwenang dan juga dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam suatu negara hukum seperti Indonesia, Pengadilan adalah suatu
badan atau lembaga peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk
memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk memperoleh
suatu jalan penyelesaian dalam perkara perceraian dalam negara hukum
adalah melalui badan peradilan tersebut.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah mengatur tentang
wewenang hakim bunyinya : “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman”
Begitu pula di dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pengadilan Agama merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman untuk rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam, mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.
Apabila suami hendak menceraikan istri, jalur hukum yang harus
ditempuhnya melalui gugat permohonan ke Pengadilan Agama. Menurut
ketentuan pasal 66 ayat (1) jo pasal 67 huruf a, dalam perkara cerai talak tidak
bisa dilakukan secara sepihak, tapi harus bersifat dua pihak dalam kedudukan
Pemohon (suami) dan Termohon (istri).
Menurut pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan bahwa seorang suami yang
beragama Islam, yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan sidang ikrar talak. Selanjutnya
di dalam pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
menyebutkan bahwa terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Pengadilan Agama selanjutnya menentukan hari sidang ikrar talak
dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
Prakteknya seringkali suami atau wakilnya tidak hadir dalam
persidangan pelaksanaan ikrar talak, seperti kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama Ambarawa, di mana suami mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama untuk menceraikan istrinya dengan alasan sudah tidak ada kecocokan
di dalam membina keluarga, pihak suami memohon kepada Pengadilan
Agama untuk memberikan izin pengucapan ikrar talak terhadap istri,
berdasarkan penilaian dan pertimbangan dari Pengadilan, akhirnya Pengadilan
memberikan izin kepada suami untuk mentalak istrinya di depan persidangan,
selanjutnya Pengadilan menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, akan
tetapi dalam pelaksanaan ikrar talak suami atau wakilnya tidak hadir setelah
dipanggil secara patut dan sah.
Berdasarkan paparan diatas, maka timbul permasalahan yang
mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian lebih lanjut tentang
akibat hukum dari tidak dilaksanakannya ikrar talak dan faktor-faktor apa
yang melatarbelakangi pihak (Pemohon) suami tidak melaksanakan ikrar
talak. Selanjutnya permasalahan tersebut penulis tuangkan dalam skripsi
dengan Judul “KETIDAKHADIRAN PEMOHON DALAM
PELAKSANAAN IKRAR TALAK ( Studi Kasus Di Pengadilan Agama
Ambarawa ).”
B. Fokus Penelitian
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas,
maka permasalahan-permasalahan yang akan penulis kemukakan adalah
sebagai berikut
1. Apa yang melatar belakangi Pemohon tidak hadir dalam melaksanakan
ikrar talak?
2. Apa akibat Hukum dari ketidakhadiran Pemohon dalam pelaksanaan
sidang ikrar talak?
3. Upaya Hukum apa yang dapat ditempuh ketika perkawinan tidak dapat
dipertahankan kembali pasca penetapan Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa yang melatar belakangi Pemohon tidak hadir dalam
melaksanakan ikrar talak
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari ketidakhadiran Pemohon dalam
pelaksanaan sidang ikrar talak
3. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat ditempuh ketika
perkawinan tidak dapat dipertahankan kembali pasca penetapan Pengadilan
Agama
D. Kegunaan Penelitian
Untuk memberikan hasil yang bermanfaat, serta diharapkan mampu
menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan
secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya dapat berguna di
antaranya :
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya yang berkaitan dengan hukum perdata di lingkungan
Peradilan Agama yang menyangkut dalam bidang perkawinan
khususnya perkara perceraian.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Pengadilan Agama Ambarawa
Dapat memberikan kontribusi bahan pertimbangan terhadap
kemajuan di bidang ilmu hukum yang menyangkut dalam bidang
perkawinan khususnya perkara perceraian.
b. Bagi Program Studi Al Ahwal Asy Syakhsiyah
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola
berpikir kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan
pembelajaran hukum perdata islam dalam bidang hukum keluarga
c. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan mensosialisasikan kepada
masyarakat luas mengenai betapa pentingnya mengetahui proses
berperkara di Pengadilan Agama khususnya dalam perkara
perceraian.
E. Penegasan Istilah
1. Cerai adalah terputusnya perkawinan antara suami dan istri
2. Talak ialah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan. Jadi cerai talak ialah
terputusnya tali perkawinan (akad nikah) antara suami dengan istrinya
dengan talak yang diucapkan suami di depan sidang Pengadilan Agama
(Hoerudin, 1999:17 )
3. Ikrar adalah kata-kata yang diucapkan dengan sepenuh hati, ucapan janji
yang disertai dengan sumpah pengakuan, pengesahan dan pembenaran
(Fajri dan Aprilia, 2005:371)
F. Metode Penelitian
Penelitian dapat berhasil dengan baik atau tidak bergantung dari data
yang diperoleh, juga didukung oleh proses pengolahan yang dilakukan
terhadap permasalahan. Metode penelitian dianggap paling penting dalam
menilai kualitas hasil penelitian. Hal ini mutlak ada dan tidak dapat dipisahkan
dari keabsahan penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis, sebagai
berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Metode Pendekatan
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis.
Penelitian yuris sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan
pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang
terjadi di lapangan (Soekanto, 2001:26). Dalam penelitian ini yang
akan di cari perihal tentang perkara cerai talak
Jenis penelitian ini secara spesifik lebih bersifat deskriptif
kualitatif, metode ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin
tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan
proses penyelesaian cerai talak
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Ambarawa
yang beralamat di JL. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan
Ngampin, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Kode Pos
50561 Telp. 0298 595259. Website : www.pa ambarawa.go.id
Email: pa [email protected]
c. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu :
1) Data Primer
Merupakan sebuah keterangan atau fakta yag secara
langsung diperoleh melalui penelitian lapangan. Data primer
diperoleh dari :
a) Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar
belakang penelitian. Jadi seorang informan harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar belakang
penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka
rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya
bersifat informal. Sebagai anggota tim dengan
kebaikannya dan dengan kesukarelaannya ia dapat
memberikan pandangan dari segi orang dalam, tentang
nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaan yang
menjadi latar penelitian setempat.
Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah
hakim, panitera dan para pihak yang berperkara. Data
yang di cari dari para informan tersebut adalah tentang
proses penyelesaian sidang ikrar talak, ketidak hadiran
pemohon dalam sidang ikrar talak dan akibat hukumnya.
b) Dokumen
Adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng,
2011:216). Dalam penelitian ini setiap bahan tertulis
berupa data-data yang ada di Pengadilan Agama
Ambarawa berkaitan dengan penelitian seperti : buku
register perkara cerai talak, berita acara cerai talak dan
putusan cerai talak.
2) Data Sekunder
Adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan
seterusnya (Soekanto, 1986:12). Sebagai data sekunder dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan
b) Buku-buku yang terkait dengan penulisan penelitian ini
c) Arsip-arsip yang mendukung
2. Prosedur Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview)
Wawancara atau interview adalah percakapan yang
dilakukan oleh dua orang pihak. Satu pihak berfungsi sebagai
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2011:186). Wawancara dilakukan penulis
dengan panitera, hakim Pengadilan Agama Ambarawa yang
bertugas memeriksa perkara cerai talak dan juga para pihak yang
berperkara cerai talak.
b. Observasi (pengamatan)
Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh penulis dengan mengadakan pengamatan secara
langsung terhadap objek yang berkaitan masalah yang diteliti
dengan tujuan untuk mendapatkan data yang menyeluruh dari
perilaku manusia atau sekelompok manusia sebagaimana terjadi
kenyataannya dan mendapatkan deskripsi yang relative lengkap
mengenai kehidupan sosial dan salah satu aspek (Soekanto,
1988:239)
Observasi ini termasuk salah satu cara yang dilakukan
penulis untuk mengumpulkan data. Metode ini digunakan dengan
jalan meneliti secara langsung kedalam lingkungan Pengadilan
Agama dan mencatat hal-hal yang muncul yang terkait dengan
informasi atau data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Serta
digunakan juga untuk memperoleh data yang berkaitan dengan
keadaan lokasi dan kondisi penelitian, serta segala sesuatu yang
terjadi di Pengadilan Agama Ambarawa.
3. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Untuk
menganalisisnya, data-data yang diperoleh kemudian direduksi,
dikategorikan dan selanjutnya disimpulkan (Moleong, 2011:288).
Dalam penganalisaan data tersebut penulis menggunakan analisa
kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta
lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh,
yakni dimulai dengan menggambarkan dan menguraikan tentang
prosedur berperkara cerai talak yang diatur dalam pasal 65 sampai
dengan pasal 72 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama secara sistematis, cermat faktual dengan pola pikir
deduktif yaitu mengemukakan teori-teori atau dalil-dalil yang bersifat
umum tentang berperkara cerai talak kemudian dilakukan analisis
terhadap data tentang praktik berperkara cerai talak.
Dalam hal ini akan diuraikan dan dipaparkan data-data yang
mendukung terhadap prosedur berperkara cerai talak di Pengadilan
Agama Ambarawa dan kesimpulannya diperoleh dengan pola pikir
deduktif, yakni dari pola umum ke pola khusus yang mengacu pada
norma hukum tentang cerai talak serta penerapannya di Pengadilan
Agama Ambarawa yang berkaitan dengan prosedur berperkara cerai
talak, khususnya ketidakhadiran Pemohon dalam pelaksanaan ikrar
talak dan akibat hukumnya.
4. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian
sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik
untuk memeriksa keabsahan suatu data.
Keabsahan suatu data dalam penelitian ini menggunakan
teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain (Moloeng, 2011:330). Denzin (1978)
membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan
yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.
Dalam hal ini peneliti menggunakan dua dari keempat macam
triangulasi yaitu sumber dan teori.
Dengan kedua macam triangulasi tersebut, maka peneliti dapat
melakukannya dengan jalan sebagai berikut:
a) Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan
b) Mengecek dengan berbagai sumber data (Moleong, 2011:331-332).
5. Tahap - tahap Penelitian
Setelah peneliti menentukan tema yang akan diteliti maka
peneliti melakukan beberapa tahapan untuk melakukan penelitian,
yang pertama penulis memulai dengan melakukan pendahuluan ke
Pengadilan Agama Ambarawa atau dengan kata lain pengecekan
lokasi, tentunya dengan memasukkan surat izin terlebih dahulu sesuai
dengan prosedur yang berlaku. Selanjutnya memasuki tahap kedua
yaitu pencarian data, dalam hal ini peneliti menggali informasi secara
mendetail dari informan dengan mewawancarai kepada hakim,
panitera dan para pihak yang berperkara tentang perkara perceraian,
khususnya perkara cerai talak. Dalam penelitian ini juga mencari data-
data tertulis berupa dokumen atau arsip-arsip yang berhubungan
dengan perkara cerai talak di Pengadilan Agama Ambarawa. Setelah
data yang dibutuhkan sudah terkumpul semua, memasuki tahap ketiga
yaitu menganalisis data yang ditemukan untuk diperoleh data yang
matang dan akurat, dengan cara data-data tersebut direduksi dan
selanjutnya disimpulkan. Tahap keempat, selanjutnya peneliti
melakukan pengecekan data untuk mengetahui kevaliditasan data
yang ditemukan di lapangan baik yang tertulis maupun tidak tertulis
dengan yang ada diteori, dengan menggunakan teknik triangulasi,
yaitu teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber
dan teori.
G. Tinjuan Pustaka
Permasalahan mengenai perkara perceraian talak sebelumnya pernah
dibahas oleh beberapa skripsi, akan tetapi fokus permasalahan yang dibahas
berbeda-beda, diantaranya :
1. Husni Tamrin dalam skripsinya yang berjudul “TALAK SUAMI KETIKA
MABUK DAN MARAH (STUDI ANALISIS PEMIKIRAN YUSUF
QORDHOWI).” Dalam skripsi ini mengungkapkan bahwa talak itu sah
dan terjadi jika dilakukan dalam keadaan sadar. Penulis menyebutkan
bahwa talak dalam kerterpaksaan dan marah talaknya dianggap tidak
terjadi.
2. Elia Indriyani dengan skripsi yang berjudul “CERAI TALAK AKIBAT
ISTRI TIDAK MENJALANKAN KEWAJIBAN DALAM RUMAH
TANGGA (Studi putusan Pengadilan Agama Salatiga
No.395/pdt.G/2005/PA.SAL).” yang mengungkapkan tentang kewajiban
istri yang tercamtum di dalam KHI dan kitab fiqh. Jika istri tidak
melakukan kewajiban tersebut, maka suami berhak mentalak istri.
3. Perceraian merupakan perbuatan yang dibenarkan, akan tetapi hal itu
sangat dibenci oleh Allah, karena dengan adanya perceraian tersebut
mengakibatkan perubahan status sosial, baik itu mengenai anak, istri dan
suami bahkan pemerintah pun telah membuat peraturan yang mempersulit
perceraian. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Perkawianan No. 1
Tahun 1974. Yang telah di ungkapkan oleh Yasin Anwar dalam skripsinya
yang berjudul “PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS DIDESA KAWENGEN, KECAMATAN UNGARAN,
KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2003/2004).”
4. “ TALAK TANPA PUTUSAN PENGADILAN (Studi Kasus Di Dusun
Jambe, Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang).”
Dalam skripsi ini hanya membahas talak secara hukum Islam yang
diterapkan oleh masyarakat secara tekstual Al Qur’an, karena sebagian
masyarakat kurang paham tentang hukum peradilan
5. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI DALAM
MEMPEROLEH HAK NAFKAH AKIBAT CERAI TALAK (Studi kasus
di Pengadilan Agama brebes tahun 2001).” Skripsi yang disusun oleh
Wahyu Izzati, dalam skripsinya menerangkan tentang tidak terpenuhi hak-
haknya atas mantan suami yang telah mentalaknya, dengan alasan kurang
pahamnya tentang peradilan.
Dari kelima skripsi tersebut yang memaparkan mengenai perkara
cerai talak dalam fokus permasalahan yang beraneka ragam, yang
digunakan oleh penulis sebagai gambaran umum untuk menyusun skripsi.
Penelitian ini secara khusus membahas mengenai ketidakhadiran
Pemohon dalam pelaksanaan ikrar talak dan akibat hukumnya, sehingga
berbeda dari penelitian-penelitiaan sebelumnya yang membahas tentang
hukumnya pengucapan ikrar talak dalam keadaan mabuk, dan talak yang
dilakukan di luar pengadilan. Penelitian yang dilakukan Wahyu Izzati
hanya membahas tentang akibat hukum terhadap istri pasca ditalak oleh
suaminya dan tidak terpenuhi hak-haknya atas mantan suami yang telah
mentalaknya, dengan alasan kurang pahamnya tentang hukum acara
peradilan, ikrar talak ini sudah dilaksanakan, berbeda dengan penelitian
penulis yang membahas tentang tidak dilaksanakan ikrar talak, dalam hal
ini pemohon yang mengajukan permohonan izin ikrar talak, akan tetapi
pemohon (suami) tidak hadir dalam sidang penyaksian ikrar talak tanpa
alasan yang jelas, faktor atau alasan yang melatarbelakangi tidak
dilaksanakan ikrar dan akibat hukumnya dari tidak dilaksanakan ikrar
talak tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam mempelajari dan memahami keseluruhan
mengenai penelitian hokum ini. Maka penulis membagi sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini akan dideskripsikan secara umum
keseluruhan isi dan maksud dari penelitian ini, yang terdiri dari latar belakang
masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan
istilah, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II : Kajian pustaka, pada bab ini berisi tinjauan umum tentang
perceraian yaitu pertama: Pengertian perceraian, Syarat-syarat perceraian,
Jenis-jenis perceraian. Kedua: Penyelesaian perkara cerai talak meliputi tata
cara permohonan cerai talak, asas pemeriksaan cerai talak, keputusan cerai
talak dan upaya hukum istri, tata cara pengucapan ikrar talak
Bab III : Paparan hasil penelitian, pada bab ini terdiri dari dua sub
bab. Sub bab yang pertama : Gambaran umum Pengadilan Agama Ambarawa,
memuat tentang sejarah, letak geografis, kompentensi Pengadilan Agama
Ambarawa. Sub bab kedua : Beberapa penetapan Pengadilan Agama
Ambarawa terhadap perkara cerai talak yang dalam pelaksanaan ikrar talak
pihak pemohon tidak hadir. Sub bab ketiga : Hasil wawancara dengan Hakim
Pengadilan Agama Ambarawa, Panitera Pengadilan Agama Ambarawa, dan
pihak yang berperkara cerai talak
Bab IV : Pembahasan, dalam bab ini akan memaparkan tentang
analisis data yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, yaitu
Ketidakhadiran pemohon dalam Pelaksanaan Ikrar Talak ( Studi Kasus Di
Pengadilan Agama Ambarawa ) yang terdiri dari tiga sub bab. Sub bab
pertama : Analisis akibat hukum dari ketidak hadiran pemohon dalam
pelaksanaan sidang ikrar talak. Sub bab kedua : Analisis faktor yang
melatarbelakangi Pemohon tidak hadir dalam melaksanakan ikrar talak. Sub
bab ketiga : Analisis langkah Hukum yang dapat ditempuh ketika perkawinan
tidak dapat dipertahankan kembali pasca penetapan Pengadilan Agama
Ambarawa.
Bab V : Penutup, sub bab ini berisi Kesimpulan dari pembahasan bab-
bab sebelumnya, saran-saran penulis yang mungkin dapat berguna dan
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan juga instansi yang terkait.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjuan Umum Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak memberikan pengertian perceraian
secara jelas, namun menurut Subekti (1984:42) perceraian adalah “
penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu
pihak dalam perlawinan.” Sedangkan menurut pendapat Syahlani (1993:53)
“ perceraian adalah suatu keadaan dimana seorang suami dan seorang istri
telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat putusnya suatu tali
perkawinan”.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang perkawinan
terbukti di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur tentang
perkawinan, diantarnya:
a. Bagi orang-orang indonesia asli yang beragama islam berlaku hukum agama yang telah diresuppir daerah berikut
b. Bagi orang-orang indonesia asli lainnya berlaku hukum adat c. Bagi orang-orang indonesia asli yang beragam kristen berlaku
Huwelijks Ordonantie Cristen Indonesia (S.1933 Nomor 74) d. Bagi orang timur asing cina dan warga indonesia keturunan cina
berlaku keyenyua-ketentuan kitab undang-undang hukum perdata dengan sedikit perubahan
e. Bagi orang-orang timur asing lainnya berlaku hukum adat mereka f. Bagi orang-orang eropa dan warga negara keturunan eropa dan yang
disamakan denga mereka berlaku kitab undang-undang hukum perdata.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang bersifat nasional dan
berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975, maka Undang-Undang
Perkawinan ini telah disahkan dan menghapus aneka warna hukum di
Indonesia yang berlaku sebelumnya.
Disisi lain didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga
memberlakukan agama masing-masing atau kepercayaan menjadi hukum
positif masalah perkawinan termasuk perceraian, hal tersebut tampak jelas
dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang perkawinan yang
mengatakan tidak ada perkawinan di luar agama dan kepercayaannya sesuai
Undang-Undang Dasar 1945.
Didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang
putusnya perkawinan disebabkan oleh beberapa hal yaitu pada pasal 38
yang menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b)
perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.
Usman (2006:399-400) menjelaskan tentang penyebab dan alasan-
alasan putusnya perkawinan sebagai berikut :
a. Kematian
Dalam hal salah seorang suami atau istri atau keduanya meninggal
dunia, sehingga dengan sendirinya perkawinan mereka putus karena
kematian atau putusnya perkawinan yang terjadi secara alami.
b. Perceraian, dan
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak.
c. Atas Putusan pengadilan
Yang dimaksud perceraian atas putusan pengadilan, perceraian yang
disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih dahulu oleh istri
kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan.
Dan pada pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 juga
mengatur tentang keharusan adanya putusan pengadilan bagi orang yang
akan menceraikan istri atau suami, pasal ini menyebutkan bahwa :
a. Gugatan perceraian diajukan di pengadilan b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri
2. Syarat-syarat Perceraian
Menurut pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan tentang syarat-syarat perceraian sebagai berikut :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Selanjutnya dalam pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami istri terhadap ketentuan di atas, khususnya ayat 2
penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) lebih lanjut menyebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk perceraian adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya untuk masa 2 tahun tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
f. Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak ada harapan untuk rukun kembali.
g. Suami melanggar taklik talak h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga
Sutantio (1979:79) berpendapat “perkawinan berdasarkan keretakan
yang tidak dapat diperbaiki, oleh masyarakat dianggap elegant dari pada
berdasarkan perzinaan purik bukan merupakan keretakan yang tidak dapat
diperbaiki”.
3. Jenis-jenis Perceraian
Dari ketentuan tentang perceraian dalam pasal 39 sampai dengan
pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan diatur dalam pasal 14
sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta
ditegaskan dalam pasal 65 sampai dengan pasal 82 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam hal tersebut dapat
disimpulkan adanya dua macam perceraian yaitu cerai gugat dan cerai talak:
a. Cerai Gugat
Adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan
lebih dahulu oleh istri kepada pengadilan dan dengan suatu putusan
pengadilan, pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan :
Ayat (1) Gugatan perceraian daiajukan kepada pengadilan Ayat (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal
ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Menurut peraturan pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975, dalam
penjelasan pasal 20 menegaskan sebagai berikut :
“ Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam”.
Sedangkan dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
menyebutkan :
1) Gugatan perceraian dilakukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya tempat kediaman tergugat
Ketentuan dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
merupakan kebalikan dari pasal 118 HIR 142 Rbg. Hal ini bertujuan
untuk memberikan kemudahan bagi pihak istri untuk melakukan
perceraian dari suami ditinjau dari segi waktu, biaya dan perjalanan
dalam hal suami pergi meninggalkan tempat kediaman bersama
(Syahlani, 1993:60).
b. Cerai Talak
Adalah terputusnya tali perkawinan (akad nikah) antara suami
dengan istrinya dengan talak yang diucapkan suami di depan sidang
Pengadilan Agama (Hoerudin, 1999:17 )
Berdasarkan perspektif hukum Islam, Usman (2006:401)
mengatakan bahwa jenis-jenis talak atau perceraian dapat dibedakan atas
:
1) Apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami merujuk istrnya
kembali, maka jenis-jenis talak itu meliputi :
a) Talak raj’i, yakni talak yang dijatuhkan suami, dimana suami
berhak rujuk selama istri masih dalam keadaan iddah tanpa
harus melangsungkan akad nikah baru. Talak seperti ini adalah
talak kesatu atau talak kedua
b) Talak ba’in, terdiri atas
(1) Talak ba’in shughra (kecil) adalah talak yang tidak boleh
dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam masa iddah, seperti talak yang
terjadi sebelum adanya hubungan seksual (Qobla Al
Dukhul), talak dengan tebusan atau khuluk dan talak yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
(2) Talak ba’in kubraa (besar), yakni talak yang tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, seperti talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya dan talak sebab li’an.
2) Apabila ditinjau dari segi menjatuhkan talak, maka jenis-jenis talak
meliputi :
a) Talak sunni (halal), yakni talak yang diperbolekan yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut. Menurut Supriatna dkk (2009:31) ada
empat kriteria yang diperlukan untuk dimasukkan kedalam
kategori talak sunni, adalah sebagai berikut :
(1) Isteri pernah dikumpuli
(2) Isteri segera melakukan iddah setelah ditalak
(3) Isteri yang ditalak dalam keadaan suci, baik diawal suci atau
diakhir suci
(4) Dalam masa suci ketika suami menjatuhkan talak isteri tidak
dicampuri
b) Talak bid’i (haram), yakni talak yang dilarang yang dijatuhkan
pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan
suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci. Talak yang termasuk
dalam kategori bid’i ialah :
(1) Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri sedang menjalani
haid atau nifas
(2) Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci
tetapi telah dikumpuli lebih dahulu. (Supriatna dkk, 2009:32)
Khusus untuk perceraian yang beragama Islam, seperti yang
dirumuskan oleh pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
ditegaskan: “Seorang suami melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan Agama ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai alasan-alasan serta
meminta kepada Pengadilan Agama agar diadakan sidang untuk
keperluan itu”.
Sedangkan menurut ayat (1) pasal 66 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :
“Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.
Syahlani (1993:61) berpendapat “Apabila seorang suami yang
akan menceraikan istrinya, jalur yang harus ditempuh dengan cara
mengajukan gugat permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama”
Thalib (1989:115) menyebutkan bahwa “selain perceraian
dilakukan dengan cara cerai gugat dan cerai talak tersebut, pihak istri
dapat mengajukan perceraian dengan alasan khuluk artinya perceraian
berdasarkan persetujuan suami istri dengan adanya penebusan dengan
harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai dengan khuluk
itu”.
B. Penyelesaian Perkara Cerai Talak
1. Tatacara Permohonan Cerai Talak
Didalam pasal 65 sampai dengan pasal 72 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menegaskan tata cara dalam
permohonan cerai talak yaitu Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :
“Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan para pihak”.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, menyebutkan :
Ayat (1) : Seorang suami ynag beragam Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Ayat (2) : Permohonan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat 1 diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang dtentukan bersama tanpa izin Pemohon
Ayat (3) : Dalam hal termohon tempat kediaman di luar negeri, pemohin mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon
Ayat (4) : Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka pemohon mengajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66
ayat (2) maka untuk melindungi pihak istri, gugatan perceraian diajukan ke
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Termohon (istri).
Dari ketentuan pasal tersebut diatas, bahwa yang diajukan oleh
suami bukanlah suatu surat permohonan, tetapi surat pemberitahuan yang
isinya bahwa ia akan akan menceraikan istrinya dan untuk itu meminta
kepada pengadilan agar diadakan sidang penyaksian ikrar talak.
Menurut Syahlani (1993:56) meskipun hukum merupakan bersifat
“gugat cerai talak” berupa permohonan dalam cerai talak tidak identik
dengan gugat voluntair , sebab voluntair adalah sepihak, hanya pihak
pemohon, sedang gugatan permohonan cerai talak harus bersifat 2 (dua)
pihak (pasal 66 ayat 1 jo pasal 67 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989)
Perlu ditegaskan bahwa dalam cerai talak suami dalam
permohonannya mohon kepada Pengadilan Agama untuk dapat memberi
izin kepadanya untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, maka sifat
permohonan ini dikabulkan oleh Pengadilan Agama, putusan yang
dijatuhkan belum merupakan putusan final, akan tetapi harus adanya tindak
lanjut atau lebih dikenal dengan pelaksanaan isi putusan (eksekusi), yaitu
sidang penyaksian ikrar talak.
Menurut surat edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
: MA/Kumdil/1973/IV/1990 tanggal 3 April 1990 menyatakan, bahwa pada
dasarnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara dua
belah pihak berperkara, sehingga karenanya produk hakim yang mengadili
sengketa tersebut harus dibuat dalam bentuk kata putusan dan amarnya
dalam bentuk penetapan. Dengan demikian, upaya hukum yang terbuka bagi
putusan Pengadilan Agama terhadap perkara ini adalah banding.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 70 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yaitu :
Ayat 1 : Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan
Ayat 2 : Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 istri dapat mengajukan banding
Ayat 3 : Setelah penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri artau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
Ayat 4 : Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya
Ayat 5 : Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya
Ayat 6: Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar thalaq, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya meskipun telah mendapatkan panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Dalam rangka menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan
suatu perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagaimana
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-
pokok kekuasaan kehakiman, diperlukan administrasi Pengadilan Agama
yang benar dan tertib.
Sehubungan dengan hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia
telah mengeluarkan intruksi kepada seluruh jajaran pengadilan untuk
merlaksanakan dengan sungguh-sungguh pelaksanaan administrasi tersebut
sesuai surat keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
KMA/001/SK/I/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang penetapan,
pelaksanaan pembinaan dan pengendalian administrasi kepaniteraan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Yang melaksanakan
tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut
adalah panitera. Mustofa (2005:38) mengatakan tugas-tugas kepaniteraan
dapat dibedakan berdasarkan kedudukan dan fungsi yang secara garis besar
dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Pelaksana administrasi perkara
b. Pendamping hakim dalam persidangan
c. Pelaksanaan putusan/penetapan pengadilan dan tugas-tugas
kejurusitaan lainnya.
Tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 2 yaitu menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Proses
penerimaan perkara di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
a. Pengajuan Perkara Cerai Talak
Permohonan cerai talak diajukan oleh suami atau kuasanya
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya tempat tinggal
kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman tyang ditentukan bersama tanpa seizin
pemohon. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri,
permohonan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka berlangsung atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dalam hal suami mengajukan permohonan cerai talak, harus
berpedoman kepada ketentuan pasal 66 dan 67 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989. Jika kedua ketentuan tersebut diterapkan dalam formulasi
cerai talak, undang-undang membenarkan kumulasi gugatan dalam cerai
talak, artinya suami disamping mengajukan gugatan mengenai cerai talak
juga dapat sekaligus dengan gugatan hak hadlonah atau harta bersama.
Menurut ketentuan pasal 118 HIR, yaitu gugatan harus diajukan
dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau
wakilnya, surat permintaan tersebut dalam prakteknya disebut surat
gugatan, oleh karenanya itu gugatan harus diajukan dengan surat, maka
bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan
secara lisan kepada ketua pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 120
HIR akan membuatkan atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud
(Sutantio, 1979:14)
Menurut pasal 67 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
menyebutkan bahwa :
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 diatas memuat : 1) Identitas para pihak : Nama, umur, dan tempat kediaman
Pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu istri 2) Posita gugatan : memuat alasan-alasan yang menjadi dasar
cerai talak sebagaimana yang dirinci secara limitatif dalam pasal 19 peraturan pemerintah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
3) Petitum gugatan : yang memuat permintaan perkawinan diputus serta memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama
b. Pemanggilan
Setelah gugatan perceraian tersebut diterima oleh petugas meja
pertama, kemudian diperintahkan untuk membayar vorschot (panjar)
biaya perkara kecuali penggugat mengajukan perkara cuma-cuma
(prodeo), yang selanjutnya dicatat dalam buku register perkara dengan
kode No. ........../Pdt.G/....../PA. .....selanjutnya oleh ketua Pengadilan
Agama diterbitkan surat penunjukan majelis hakim (PMH), kemudian
ketua majelis hakim mengeluarkan surat penetapan hari sidang (PHS)
dan sekaligus memerintahkan kepada jurusita/jurusita pengganti untuk
memanggil kepada para pihak untuk datang dan hadir dalam persidangan
yang telah ditetapkan.
Jurusita dalam melaksanaknan pemanggilan harus berdasarkan
azas pelaksanaan pemanggilan yaitu :
1) Harus memenuhi waktu yang patut artinya pada saat ketua majelis
hakim menetapkan hari sidang hendaknya mengingat jauh dekatnya
tempat tinggal para pihak berperkara, sehingga tenggang waktu
pemanggilan yang dilakukan oleh jurusita dengan hari sidang tidak
kurang dari 3 (tiga) hari dan didalamnya tidak termasuk hari besar
(pasal 12/HIR/146 Rbg jo pasal 26 ayat 4 PP Nomor 9 tahun 1975 jo
pasal 138 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam
2) Harus dilakukan secara resmi, artinya sasaran atau objek
pemanggilan harus tepat dan tata cara pemanggilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3) Pemanggilan harus disampaikan langsung secara pribadi ditempat
orang yang dipanggil.
4) Dalam hal orang yang dipanggil tidak dijumpai ditempat
kediamannya, maka pemanggilan dapat disampaikan melalui lurah
atau kepala desa (pasal 390 HIR/718 Rbg jo pasal 26 ayat (3) PP
Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 138 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam)
5) Dalam hal tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui
atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, ataupun orang
yang dipanggil tidak kenal. Maka dilakukan pemanggilan umum
oleh dan melalui bupati/walikota dalam wilayah tempat kediaman
penggugat atau pemohon.
6) Dalam hal salah satu pihak bertempat atau domisili diluar wilayah
hukum pengadilan yang memeriksa perkaranya, maka panggilan
dilakukan dengan meminta bantuan kepada ketua pengadilan yang
mewilayahinya.
7) Panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat apabila yang dipanggil bertempat berkedudukan di luar
negeri (pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal
140 Kompilasi Hukum Islam)
8) Panggilan disampaikan kepada ahli waris apabila orang yang
dipanggil meninggal dunia (pasal 390 ayat 2 HIR/718 ayat 2 Rbg)
c. Memeriksa dan Mengadili
Disamping asas dan tata cara pemeriksaan gugatan perceraian
yang meliputi juga cerai talak dan gugat cerai tunduk sepenuhnya pada
HIR dan Rbg, serta ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, maka tata tertib pemeriksaan juga harus
berpedoman pada asas umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 yaitu :
1) Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim, salah seorang diantaranya sebagai ketua majelis dan yang lainnya sebagi hakim anggota (pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989).
2) Pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup (pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989) dan putusan perkara perceraian diucapkan disidang terbuka untuk umum, sesuai pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
3) Pemeriksaan paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari tanggal pendaftaran gugatan (pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 131 Kompilasi Hukum Islam (KHI), hal ini bertujuan untuk memenuhi asas yag diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989, yang dikenal dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
4) Pemeriksaan sidang dihadiri oleh suami istri atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus dari mereka
Upaya mendamaikan kedua belah pihak diusahakan selama
proses pemeriksaan berlangsung (pasal 82 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975) khusus dalam hal ini merupakan sedikit penyimpangan dari asas
umum yang diatur dalam pasal 130 ayat 1 HIR/154 Rbg, dimana
ditentukan mendamaikan cukup diusahakan hakim pada sidang pertama
saja.
Dengan memperhatikan asas umum tata cara memeriksa perkara
tersebut, maka sampailah kepada putusan hakim terhadap permohonan
perceraian tersebut, menurut Arto (1996:247) ada dua golongan putusan
dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri perkara yaitu sebagai berikut:
1) Putusan sela
Ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses
pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan.
2) Putusan akhir
Ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan dipersidangan,
baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang
tidak /belum menempuh semua tahap pemeriksaan
Jika dilihat dari segi sifatnya akibat hukum yang ditimbulkan oleh
Subekti (1989:127) membaginya kepada 3 (tiga) macam, yaitu :
1) Putusan Diklaratoir
Adalah putusan yang amarnya menyatakan, bahwa suatu
keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum.
Misalnya : putusan yang menyatakan sah tidaknya suatu perbuatan
hukum. Amarnya dimulai dengan menyatakan.....
2) Putusan konstitutif
Adalah suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan
keadaan hukum sebelumya. Misalnya: putusan perceraian, putusan
pembatalan perwakilan, dan sebagainya. Sebelum diputus cerai,
mereka masih suami istri. Sebelum dibatalkan perkawinannya,
perkawinan itu masih dianggap sah.
3) Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu
pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,atau
menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan,untuk mematuhi prestasi.
Amar yang bersifat Condemnatoir tersebut dirinci sebagai berikut :
a) Menghukum untuk menyerahkan suatu barang,
b) Menghukum membayar sejumlah uang,
c) Menghukum melakukan suatu perbuatan tertentu.
d) Menghukum menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
e) Menghukum mengosongkan tanah/rumah.
Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa
macam putusan, atau dengan lain perkataan merupakan gabungan dari
putusan diklaratoir dan putusan konstitutif atau gabungan putusan
diklaratoir dengan kondemnatior dan sebagainya.
d. Menyelesaikan
Pada asasnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dapat dijalankan, pengecualiannya ada yaitu apabila
suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan lebih
dahulu sesuai dengan pasal 180 HIR, perlu dikemukakan bahwa tidak
semua putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap dapat dilaksanakan,
yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan yang bersifat kondemnatoir
yaitu mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan.
Menurut ketentuan pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, “bahwa setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan
hukum tetap, memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri
sidang tersebut”.
Dengan memperhatikan pasal tersebut, maka dapat dikatakan
pelaksanaan sidang penyaksian ikrar talak merupakan bentuk
pelaksanaan (eksekusi) putusan. Ditinjau dari segi sasaran yang hendak
dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan Pengadilan
Agama, eksekusi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk : yaitu
eksekusi riil dan eksekusi pembayaran uang.
Tetapi tidak demikian halnya dalam cerai talak dimana cerai jenis
ini setelah putusan untuk itu in kracht van gewijsde, masih memerlukan
lagi tindak lanjut dari pengadilan, yakni eksekusi ikrar talak.
Pada umumnya eksekusi dilaksanakan oleh pengadilan karena
adanya permohonan eksekusi dari Pemohon, karena putusan tidak
dilaksanakan secara sukarela, tetapi tidak demikian didalam eksekusi
ikrar talak Pengadilan Agama bersifat aktif artinya setelah putusan
tersebut mempunyai kekutan hukum tetap, maka Pengadilan Agama
secara ex officio harus segera membuat penetapan sidang ikrar talak.
Menurut pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
menyatakan bahwa jika suami dalam tenggang waktu enam (6) bulan
sejak ditetapkan hari sidang ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara
sah atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Ketentuan pasal tersebut jelas akan bertentangan terhadap
kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan salah satu badan
peradilan yang melaksanakan tugas pokok kehakiman, dimana setiap
putusan pengadilan yang mengandung putusan kondemnatior setelah
mempunyai kekutan hukum tetap, para pihak dapat mengajukan eksekusi
apabila tidak dilaksanakan secara damai, lebih-lebih jika dilihat dari
kepentingan termohon (istri) jelas akan sangat merugikan apabila
ternyata pemohon (suami) tidak melaksanakan sidang ikrar talak karena
menghindari satu kepentingan dan bahwa pengadilan tidak ada kekuatan
untuk memaksa.
2. Asas Pemeriksaan Perkara Cerai Talak
Pada umumnya asas pemeriksaan perkara cerai talak yang diatur
dalam Bab IV, Bagian kedua, paragraf 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, hampir sama dengan apa yang diatur dalam Bab V PP No. 9 Tahun
1975. Pokok asas pemeriksaan perkara cerai talak berpedoman kepada
ketentuan pasal 66, 68, 79 dan 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sedangkan untuk teknis pemeriksaan tunduk
sepenuhnya kepada ketentuan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR
atau RBG.(Harahap, 2003:221)
a. Pemeriksaan Oleh Majelis Hakim
Asas ini diatur oleh pasal 68 ayat (1) yang menegaskan
“pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim......”.
Ketentuan pasal ini merupakan aturan pelaksana ketentuan pasal 15
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950. Berdasarkan pasal 15 dimaksud,
semua pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara harus
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain. Bahkan kalau berpedoman secara
analogis kepada penjelasan pasal 40 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985, majelis hakim boleh lebih dari 3 (tiga) orang. Namun jika lebih
dari tiga orang hakim, jumlahnya harus selalu ganjil.
b. Pemeriksaan dalam Sidang Tertutup
Pemeriksaan perkara cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup
untuk umum. Asas ini diatur dalam pasal 68 ayat (2) dan pasal 80 ayat
(2), yang sama bunyinya dengan pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dan pasal 145 Kompilasi Hukum Islam. Disitu ditegaskan,
apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
Selain dari pada itu, perlu diingat bahwa ketentuan pasal 18
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 146 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,
menegaskan meskipun pemeriksaan dilaksanakan dalam sidang tertutup,
namun putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
c. Pemeriksaan 30 Hari dari Tanggal Pendaftaran
Pasal 68 ayat (1) dan pasal 131 Kompilasi Hukum Islam
memerintahkan agar pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan
selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal surat gugat permohonan
didaftarkan dikepaniteraan pengadilan. Ketentuan ini bertujuan untuk
memenuhi asas yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No
14 Tahun 1970 jo. Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang dikenal dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan.
d. Pemeriksaan in Person Atau Kuasa
Pemeriksaan perkara cerai talak, tidak berbeda dengan
pmeriksaan perkara perdata pada umumnya. Tidak mutlak mesti
penggugat dan tergugat in person yang menghadiri pemeriksaan di sidang
pengadilan. Penggugat atau tergugat dapat diwakili oleh kuasa, akan
tetapi harus didukung oleh surat kuasa khusus.(Harahap 2003:223)
Demikian juga halnya dalam perkara cerai talak, Pemohon atau
Termohon in person atau dapat menunjuk wakil sebagai kuasa
berdasarkan surat kuasa khusus. Kecuali dalam sidang perdamaian,
Pemohon dan Termohon harus hadir secara pribadi, tidak bisa diwakilkan
oleh kuasa, hal ini diatur dalam pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
e. Usaha Mendamaikan Selama Pemeriksaan
Pada pasal 70 jo. Pasal 82 ayat (2) dan pasal 143 Kompilasi
Hukum Islam, menugaskan pada hakim untuk berupaya secara sungguh-
sungguh mendamaikan suami istri dalam perkara perkara perceraian.
Tugas mendamaikan merupakan upaya yang harus dilaksanakan hakim
pada setiap sidang berlangsung sampai putusan dijatuhkan.
3. Keputusan Cerai Talak Dan Upaya Hukum Istri
Menurut ketentuan pasal 71 ayat (2) dan pada pasal 131 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bentuk keputusan Pengadilan Agama
dalam perkara gugat cerai talak adalah penetapan. Bentuk keputusan ini
disejajarkan dengan sifat gugat adalah permohonan. Dan dalam hal
pengabulan gugat, disamping berpedoman pada patokan petitum, hakim
sekaligus berpedoman pada asas ultra petitum partium atau ultra vives yang
digariskan pasal 178 ayat (3) HIR atau pasal 189 ayat (3) RBG, yakni
pengabulan gugat tidak boleh melebihi dari apa yang diminta dalam
gugatan. Oleh karena itu, kalau gugat cerai talak hanya murni mengenai
putusnya perkawinan tanpa dibarengi dengan gugat penguasaan anak dan
pembagian harta bersama, hakim tidak boleh mengabulkan hal itu dalam
penetapan.(Harahap, 2003:230)
Kemudian mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan istri
terhadap penetapan cerai talak telah ditentukan dalam pasal 70 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Menurut ketentuan ini istri dapat
mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama. Di
dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Maret 1979 Nomor 03
K/AG/1979 menegaskan terhadap penetapan Pengadilan Agama mengenai
perkara cerai talak, bukan hanya dapat dimohonkan banding tapi juga dapat
diajukan kasasi. Menurut ketentuan pasal 64 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama penetapan atau putusan yang
dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaan ditunda demi hukum.
Sekiranya penetapan memuat amar penetapan dapat dijalankan lebih dahulu
sesuai dengan ketentuan pasal 180 HIR atau pasal 191 RBG, sebaiknya hal
itu jangan dijalankan mengingat kemungkinan batalnya putusan dalam
tingkat banding atau kasasi, sehingga dapat menimbulkan malapetaka dalam
pemulihan kembali pada keadaan semula.
4. Tata Cara Pengucapan Ikrar Talak
Mengenai tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam pasal 70, 71
dan 72 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Yang menjadi dasar patokan
terbukanya tata cara pengucapan ikrar talak, apabila penetapan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian proses pengucapan
ikrar talak merupakan eksekusi atas penetapan cerai talak. Tata cara
pengucapan ikrar talak diatur sebagai berikut:
a. Menentukan Hari Sidang Penyaksian Ikrar Talak
Seperti yang telah diuraiakan di atas pengucapan ikrar talak
merupakan eksekusi penetapan cerai talak. Pasal 70 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 131 ayat (3) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sudah menegaskan, pelaksanaan ikrar talak dapat
dilaksanakan setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tindak lanjut yang mengikuti hal itu, pengadilan menentukan
suatu hari sidang yang khusus untuk menyaksikan pengucapan ikrar talak
pemohon (suami), untuk pelaksanaan sidang penyaksian ikrar talak
diharapkan segera dilaksanakan setelah penetapan memperoleh kekuatan
hukum tetap, dengan tujuan di samping memenuhi tuntutan asas
peradilan yang sederhana dan cepat, sekaligus memberi kepastian kepada
suami istri untuk menempuh jalan dan kehidupan baru. Terutama kepada
pihak termohon (istri) sangat penting artinya, agar pihak istri tidak berada
dalam kalmuallaqot yakni dalam keadaan terombang-ambing yang
berkelamaan. Hal ini sangat tidak dikehendaki oleh ajaran Islam seperti
yang diperingatkan dalam surat An Nisaa’: 129.
b. Sidang Penyelesaian Ikrar Talak dihadiri Pemohon dan Termohon
Berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat (4) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, sidang pengadilan penyaksian ikrar talak dihadiri oleh
pihak pemohon dan termohon. Dalam hal ini menurut Undang-Undang
pemohon dan termohon menghadiri sidang penyaksian ikrar talak boleh
diwakilkan oleh kuasa. Dengan demikian, agar seorang kuasa
mempunyai kualitas untuk mengucapkan ikrar talak, harus berdasar
kuasa khusus yang berbentuk autentik. Di dalam surat kuasa khusus
tersebut harus secara tegas dicantumkan bahwa pemberian kuasa untuk
mengucapkan ikrar talak, apabila salah satu unsur tersebut tidak
dipenuhi, mengakibatkan kuasa tidak berwenang mengucapkan ikrar
talak, dan untuk kuasa istri (termohon) cukup didasarkan atas surat kuasa
khusus biasa, kuasa sudah sah mewakili kepentingan hukum istri dalam
penyaksian sidang ikrar talak.
c. Pengucapan Ikrar Talak tanpa Hadirnya Istri
Pada prinsipnya sidang penyaksian sidang ikrar talak dihadiri
oleh istri (termohon). Namun pada pasal 70 ayat (5), memberi
kemungkinan penetapan ikrar talak dapat dilangsungkan diluar hadirnya
Termohon (istri) apabila yang bersangkutan tidak datang sendiri atau
wakilnya, meskipun dia telah dipanggil secara patut dan sah. Dalam
kasus seperti ini tidak harus menunda sidang, akan tetapi sidang
penyaksian ikrar talak tetap dilangsungkan.
Ketentuan ini dapat dianggap realistik, sebab apabila sidang
penyaksian ikrar talak digantungkan secara mutlak atas kehadiran istri,
dapat menghambat penegakan hukum dan kepastian hukum. Apabila
secara faktual pemanggilan istri sudah dilakukan secara resmi dan patut,
kehadirannya tidak menghalangi sidang penyaksian ikrar talak dan
pengucapan ikrar sah dan berharga.
d. Berita Acara dan Penetapan Sidang Ikrar Talak
Sidang penyaksian ikrar talak adalah sidang resmi. Disamping
persidangan dihadiri pemohon dan termohon atau kuasa mereka, juga
harus dihadiri oleh hakim dan panitera. Bahkan bertitik tolak secar
sistematis dan analogis dari ketentuan pasal 68 ayat (1), sidang
penyaksian ikrar talak dilakukan oleh majelis hakim.
Fungsi panitera sesuai dengan pasal 71 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, dalam persidangan penyaksian ikrar talak adalah
membuat berita acara sidang. Panitera mencatat hal ihwal yang terjadi
dalam persidangan seperti layaknya pembuatan berita acara dalam
pemeriksaan perkara. Kemudian berita acara tersebut ditanda tangani
oleh hakim (ketua majelis) dan panitera agar berita acara resmi dan
otentik sesuai Berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (3) dan pasal 131 ayat
(5) Kompilasi Hukum Islam. Begitu juga dengan fungsi hakim dalam
sidang, selain daripada menyaksikan sidang pengucapan ikrar talak, juga
membuat penetapan. Tentang isi penetapan sidang penyaksian ikrar talak
sesuai dengan pasal 71 ayat (2). Dan juga diatur dalam SEMA Nomor 1
Tahun 1990: MA/Kumdil/1974/VI/1990 tanggal 10 April 1990 yang
mengatakan “ hakim membuat penetapan yang isinya menetapkan
perkawinan Termohon....dengan Termohon....putus karena perceraian.”
Perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan di depan persidangan.
Terhadap penetapan ini tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi.
e. Pengiriman Salinan Penetapan ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
Salah satu proses yang hilang dalam tata cara sidang penyaksian
ikrar talak ialah ketentuan pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo. Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu
hapusnya pengukuhan oleh Pengadilan Negeri terhadap putusan
Pengadilan Agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hilangnya keharusan permintaan pengukuhan putusan, telah
mempersingkat proses pelaksanaan putusan. Dan juga mengenai
penyampaian salinan penetapan dan putusan tampaknya lebih
disederhanakan.
Sehubungan dengan pengiriman salinan penetapan ikrar talak,
pasal 84 Nomor 7 Tahun 1989 menentukan :
1) Pengiriman selambat-lambatnya 30 hari sejak penetapan kekuatan hukum tetap
2) Pengiriman salinan diwajibkan menjadi tugas panitera 3) Salinan penetapan dikirimkan tanpa bermetarai 4) Salinan dikirimkan kepada PPN yang wilayahnya meliputi
tempat kediaman Pemohon dan Termohon dan apabila
perceraian dilakukan diwilayah yang berbeda dengan wilayah PPN yang dahulu bertidak melangsungkan perkawinan, sehelai salinan dikirimkan juga kepada PPN tersebut tanpa bermetarai, dan apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri, sehelai salinan dikirimkan kepada PPN ditempat dimana perkawinan mereka didaftarkan diindonesia.
f. Pemberian Akta Cerai
Menurut pasal 84 ayat (4), panitera wajib memberikan akta cerai
kepada para pihak. Pemberian akta cerai kepada para pihak dilaksanakan
paling lambat 7 hari sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Fungsi akta cerai, menjadi surat bukti bagi suami isteri tentang
putusnya perkawinan karena perceraian. Akta cerai dapat dipergunakan
para pihak terhadap pejabat yang ada kaitannya dengan uruan
perkawinan maupun terhadap pihak ketiga (Harahap, 2003:233)
BAB III
PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa
Pengadilan Agama Ambarawa adalah Pengadilan Agama yang
berada di wilayah kabupaten Semarang, untuk mengetahui sejarah
berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa akan lebih baik apabila terlebih
dahulu menyimak sejarah keberadaan Kabupaten Semarang.
Sejak hampir 5 abad yang lalu di masa Pajang Mataram, Kabupaten
Semarang telah ada, dan waktu itu yang menjadi ibukota adalah Semarang.
Pada zaman itu “GEMENTE (Kotapraja)” Semarang belum terbentuk.
Sebagai Bupati Semarang yang pertama adalah Ki Pandan Arang II atau
dikenal sebagai Raden Kaji Kasepuhan yang dinobatkan pada tanggal 2 Mei
1547 dan berkuasa hingga tahun 1574 serta mendapat pengesahan Sultan
Hadiwijaya. Pada masa itu beliau berhasil membuat bangunan yang
dipergunakan sebagai pusat kegiatan Pemerintah Kabupaten. Ringkasnya
sampailah pada tahun 1906 yaitu pada jaman Pemerintahan Bupati R.M.
Soebijono, lahirlah “GEMENTE (Kotapraja)” Semarang, sesuai Staatblaad
tahun 1906 S.O 120. Pemerintah Kabupaten Semarang dipimpin oleh
seorang Bupati dan Pemerintah Kotapraja untuk wilayah Semarang
dipimpin oleh seorang Burgenmester. Semenjak itulah terjadi pemisahan
antara Kabupaten Semarang dengan Kotapraja Semarang hingga saat ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1950 Tentang
Pembentukan Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa
Tengah, Kota Semarang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Semarang,
namun kota Semarang adalah Kotamadya yang memiliki Pemerintahan
sendiri.
Pada saat berdirinya Kabupaten Semarang Pengadilan Agama untuk
wilayah hukum Kabupaten Semarang belum terbentuk, oleh karenanya para
pencari keadilan di wilayah Kabupaten Semarang yang akan mengajukan
perkara harus ke Pengadilan Agama Salatiga, karena wilayah hukum
Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten
Semarang. Ditinjau dari segi Pemerintahan, Kota Semarang sebagai ibukota
Kabupaten sangatlah kurang menguntungkan, maka timbullah gagasan
untuk memindahkan ibukota Kabupaten Semarang ke Kota Ungaran yang
pada saat itu masih dalam status Kawedanan.
Sementara dilakukan pembenahan, pada tanggal 30 juli 1979 oleh
Bupati Kepala Daerah Tk. II Semarang diusulkanlah ke Pemerintah Pusat
melalui Gubernur, agar Kota Ungaran secara definitif ditetapkan sebagai
Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang. Sementara itu telah
terbentuk Pengadilan Negeri yang terletak di Ambarawa sehingga disebut
Pengadilan Negeri Ambarawa. Dalam perjalanannya kemudian berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : 96 Tahun 1982 maka dibentuklah
Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan sebutan Pengadilan Agama
Ambarawa karena menyesuaikan dengan penyebutan Pengadilan Negeri,
namun Pengadilan Agama berkedudukan di Kota Ungaran. Selanjutnya
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1983 Tentang Penetapan
Status Kota Ungaran sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II
Semarang, yang berlaku peresmiannya tanggal 20 Desember 1983 pada saat
Pemerintahan Bupati Ir.Soesmono Martosiswojo ( 1979-1985 ), maka Kota
Ungaran secara definitif sebagai Ibukota Kabupaten Semarang.
Oleh karena Ibukota Semarang telah dipusatkan di Ungaran, maka
berangsur-angsur semua instansi pindah ke Kota Ungaran, termasuk
Pengadilan Negeri Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor : 14.03.AT.01.01 Tentang Pemindahan Pengadilan
Negeri Ambarawa ke Kota Ungaran dengan sebutan Pengadilan Negeri
Ungaran dengan wilayah hukum sebagaimana wilayah Kabupaten
Semarang. Namun tidak demikian halnya dengan Pengadilan Agama
Ambarawa. Pengadilan Agama tetap bernama Pengadilan Agama
Ambarawa meskipun berada di Kota Ungaran, dan wilayah hukumnya tidak
sebagaimana Pengadilan Negeri, yaitu sesuai dengan SK Menteri Agama
Nomor 76 Tahun 1983 Tentang Penetapan dan Perubahan wilayah hukum
Pengadilan, bahwa Pengadilan Agama Ambarawa adalah meliputi sebagian
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, yang terdiri dari 7 (tujuh)
Kecamatan dan sampai sekarang telah mengalami pengembangan menjadi
10 Kecamatan, yaitu
a. Kecamatan Ungaran Barat;
b. Kecamatan Ungaran Timur;
c. Kecamatan Bergas;
d. Kecamatan Pringapus;
e. Kecamatan Bawen;
f. Kecamatan Ambarawa;
g. Kecamatan Sumowono;
h. Kecamatan Banyubiru;
i. Kecamatan Jambu;
j. Kecamatan Bandungan;
Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati
sebuah gedung yang terletak di Jl. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2
Ungaran, dengan luas tanah 1.009 m2 dan luas bangunan 250 m2 dengan
status Hak Milik Negara (Departemen Agama) yang diperoleh dari Bagian
Proyek Pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Ambarawa, dengan
Berita Acara tertanggal 7 Nopember 1985 Nomor :
Bagpro/PA/105/XI/1985. Dalam perkembangannya Pengadilan Agama
Ambarawa di Ungaran kemudian dipindah ke Ambarawa, sesuai dengan
Surat Keputusan Kepala Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 46/BUA-PL/S-KEP/XII/2006, tanggal 13 Desember
2006 Tentang Pengalihan Fungsi Penggunaan Bangunan Kantor Lama
Pengadilan Negeri Ungaran di Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan
Agama Ambarawa, yang ditindak lanjuti dengan penyerahan sertifikat tanah
sesuai berita acara serah terima tanggal 14 April tahun 2008, maka
diserahkanlah sertifikat tanah Hak Pakai Nomor 11 Tahun 1996 Luas tanah
3.948 M2 dengan nama Pemegang Hak Departemen KeHakiman RI Cq
Pengadilan Negeri Ambarawa yang terletak di JL. Mgr. Soegiyopranoto No.
105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa.
2. Letak Geografis Pengadilan Agama Ambarawa
Wilayah Pemerintah Kabupaten Semarang berbatas dengan beberapa
kabupaten dan kota disekelilingnya, yaitu ;
a. Sebelah Utara : Kota Semarang
b. Sebelah Timur : Kabupaten Demak dan Grobogan
c. Sebelah Selatan : Kab. Magelang dan Kab Boyolali
d. Sebelah Barat : Kabupaten Kendal
e. Ditengah Kabupaten Semarang ada empat kecamatan yang menjadi
wilayah Kota Salatiga.
Kondisi daerah Kabupaten Semarang sangat beragam, yang terdiri
dari sebagian dataran rendah, dataran tinggi, daerah perbukitan dan sebagian
lagi berupa pegunungan dan hutan. Jarak ibu kota Kecamatan yang paling
dekat dengan kantor Pengadilan Agama Ambarawa adalah 2 Km dan yang
paling jauh 33 Km, yaitu Kecamatan Sumowono.
3. Kompentensi Pengadilan Agama Ambarawa
Pengadilan Agama yang dulunya dibawah payung Departemen
Agama sekarang sudah berubah sesuai dengan Undang-Undang yang
baru, Pengadilan Agama sekarang menjadi satu atap dengan Pengadilan
Negeri yaitu di bawah payung Mahkamah Agung.
Kewenangan Pengadilan Agama dibagi menjadi dua yaitu :
a. Wewenang Absolut
Pengertian wewenang absolut adalah suatu wewenang yang
berkaitan dengan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.
Kewenangan absolut meliputi perkara-perkara yang menjadi
tanggung jawab Pengadilan Agama Ambarawa, antara lain berupa
perkara :
1) Anak dalam kandungan
a) Sah atau tidaknya kehamilan
b) Status anak dalam kandungan sebagai ahli waris
c) Bagian warisan anak dalam kandungan
d) Kewajiban orang tua terhadap anak dalam kandungan
2) Kelahiran
a) Penentuan sah tidaknya anak
b) Penentuan asal usul anak
c) Penentuan status anak / pengakuan anak
3) Pemeliharaan anak
a) Perwalian terhadap anak
b) Pencabutan kekuasaan orang tua
c) Penunjukan / penggantian wali
d) Pemecatan wali
e) Kewajiban orang tua / wali terhadap anak
f) Pengangkatan anak, anak sipil, anak terlantar
g) Sengketa hak pemeliharaan anak
h) Kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat
i) Pembatalan pengangkatan anak
j) Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak
4) Perkawinan (akad nikah)
a) Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya
b) Dispensasi nikah di bawah umur 19 bagi pria dan 16 tahun
bagi wanita
c) Izin nikah dari orang tua bagi yang belum berumur 21 tahun
d) Wali adhol
e) Pencegahan kawin
f) Penolakan kawin
g) Izin beristri lebih dari seorang
h) Penetapan sahnya perkawinan
i) Pembatalan perkawinan
j) Penolakan izin perkawinan campuran oleh PPN
k) Penetapan sah tidaknya rujuk
5) Hak dan kewajiban suami istri
a) Mahar
b) Penghidupan istri (nafkah, kiswah, maskah,dan sebagainya)
c) Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri
d) Penetapan nusyus
e) Perselisihan suami istri
f) Gugatan atas kelalaian istri
g) Muth’ah
h) Nafkah iddah
i) Sengketa tempat kediaman bersama suami istri
6) Harta benda dalam perkawinan
a) Penentuan status harta benda dalam perkawinan
b) Perjanjian harta benda dalam perkawinan
c) Pembagian harta benda dalam perkawinan
d) Sengketa pemeliharaan harta benda dalm perkawinan
e) Sita marital atas harta perkawinan
f) Sengketa hibah
g) Sengketa wakaf
h) Harta bawaan suami istri
7) Putusnya perkawinan
a) Penentuan putusnya perkawinan karena kematian
b) Perceraian atas kehendak suami (cerai talak)
c) Perceraian atas kehendak istri (cerai gugat yang di dalamnya
meliputi masalah tentang li’an, khuluk, fasakh, dan
sebagainya)
d) Putusnya perkawinan karena sebab-sebab lain
8) Pemeliharaan orang tua
a) Kewajiban anak terhadap orang tua (pasal 46 UUP)
b) Kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkat
c) Kematian
d) Penetapan kematian secara yuridis, misalnya karena mafqud
(Ps. 96 ayat (2) KHI)
e) Penetapan sah/tidaknya wasiat
9) Kewarisan
a) Penentuan ahli waris
b) Penentuan mengenai harta peninggalan
c) Penentuan bagian masing-masing ahli waris
d) Pembagian harta peninggalan
e) Penentuan kewajiban ahli waris terhadap pewaris
f) Pengangkatan wali bagi ahli waris yang tidak cakap bertindak
g) Baitul mal
h) Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Pasal 49 tentang Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh dan ekonomi syariah.
10) Ekonomi Syariah (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003
tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama)
b. Wewenang Relatif
Kewenangan relatif adalah kewenangan Pengadilan
menyangkut tempat terjadinya suatu perkara. Kewenangan ini
berdasarkan tempat atau kedudukannya. Pengadilan Agama
berkedudukan di kota atau di ibu kota kabupaten, maka daerah
hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten
B. Beberapa Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa terhadap Perkara
Cerai Talak yang dalam Pelaksanaan Ikrar Talak Pihak Pemohon Tidak
Hadir.
Dari hasil penelitian lapangan ditemukan kasus cerai talak yang oleh
Pengadilan Agama Ambarawa dikabulkan permohonan izin untuk ikrar talak di
depan persidangan, akan tetapi pemohon (suami) tidak melaksanakannya,
karena tidak hadir didalam persidangan tersebut tanpa alasan yang jelas. Uraian
kasusnya sebagai berikut :
1. Perkara dengan register Nomor: 0519/Pdt. G/2011/PA.Amb. Tanggal
13 Juli 2011 Pengadilan Agama Ambarawa.
Pengadilan Agama Ambarawa telah menerima dan memutus perkara
perceraian cerai talak dalam perkara antara :
AL bin MU, umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan tukang kayu,
pendidikan SD, bertempat tinggal di Dusun Bulu RT 006 /RW 006, Desa
Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, sebagai
PEMOHON
M E L A W A N
AS binti MAR, Umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati,
pendidikan SD tamat, bertempat tinggal di Dusun Bulu RT 006 /RW 006,
Desa Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, sebagai
TERMOHON
a. Posisi Kasus
1) Bahwa antara pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah
menikah tanggal 09 Nopember 1995 dihadapan pejabat Kantor Urusan
Agama Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, sebagaimana
tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor : 526/28/XI/1995
2) Bahwa setelah akad nikah tersebut pemohon dengan termohon hidup
bersama di rumah orang tua termohon selama 1 tahun kemudian
dirumah bersama. Selama pernikahan tersebut pemohon dan termohon
telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri (ba’daddukhul)
dan telah dikaruniai seorang anak bernama ; ARF binti AL, lahir 24
Nopember 1996 diasuh termohon
3) Bahwa semula rumah tangga antara pemohon dan termohon pada
awalnya dalam keadaan harmonis, namun sejak bulan mei tahun 2008
ketentreman rumah tangga antara pemohon dan termohon mulai tidak
harmonis, yang disebabkan karena termohon tidak terima terhadap
nafkah wajib yang diberikan pemohon walaupun pemohon telah
memberikan seluruh penghasilan pemohon sebagai sebagai tukang
kayu namun termohon selalu meminta lebih dari kemampuan
pemohon, dan termohon telah mengakui dengan pemohon bahwa
termohon telah menjalin cinta dengan laki-laki lain namun pemohon
tidak tahu namannya asal orang grabag yakni antara ia dengan laki-
laki tersebut sering keluar malam tanpa sepengetahuan pemohon
4) Bahwa, puncak keretakan hubungan antara pemohon dengan
termohon tersebut terjadi kurang lebih pada bulan Mei tahun 2009,
yang akibatnya pemohon dan termohon pisah tempat tinggal,
pemohon diusir termohon dan pulang kerumah orang tua pemohon
sendiri dengan alamat sebagaimana tersebut diatas selama 2 (dua)
tahun 2 (dua) bulan hingga sekarang, selama itu sudah tidak ada
hubungan baik lahir maupun batin dan pemohon masih memberi uang
untuk biaya sekolah sebesar Rp. 150.000,- setiap minggu
5) Bahwa, pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul
akibat perkara ini
6) Bahwa atas hal-hal tersebut diatas pemohon mengajukan permohonan
cerai talak terhadap termohon dengan alasan : salah satu pihak telah
pergi meninggalkan pihak lain selama 2 tahun 2 bulan
Berdasarkan hal tersebut, pemohon mohon agar Ketua
Pengadilan Agama ambarawa segera memeriksa dan mengadili
perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya
berbunyi :
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Menetapkan, memberi izin kepada pemohon (AL bin MU) untuk
ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon (AS bin MAR) di
depan persidangan Pengadilan Agama Ambarawa
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada pemohon
b. Pertimbangan Hukumnya
1) Menimbang, bahwa pemohon hadir sendiri sedangkan termohon
hadir satu kali pada hari sidang tanggal 22 september 2011 pada saat
jawaban, sehingga usaha mendamaikan melalui mediasi tidak dapat
dilaksanakan
2) Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan
pemohon yang isinya tetap dipertahankan
3) Menimbang, bahwa pada tanggal 22 september 2011 termohon
memberikan jawaban secara lisan atas permohonan Pemohon
sebagai berikut :
(a) Bahwa pada intinya termohon membantah semua yang
dituduhkan oleh pemohon kepadanya
(b) Bahwa termohon rela diceraikan pemohon tetapi meminta uang
nafkah anak setiap bulannya Rp. 300,000,-
4) Menimbang, bahwa atas jawaban termohon tersebut, Pemohon tetap
berpendirian sebagaimana dalam jawaban pertama
5) Menimbang, bahwa kemudian termohon mengajukan bukti surat,
saksi I dan saksi II
c. Tentang Hukumnya
1) Dalam Konpensi
(a) Mediasi tidak dapat dilaksanakan karena termohon tidak hadir
(b) Pemohon mendalilkan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak
mendapat kebahagiaan lahir batin dan terjadi pertengkaran terus
menerus sulit untuk dirukunkan lagi
(c) Termohon membantah tuduhan sebagian yang lain
(d) Pemohon telah menguatkan dalil-dalil permohonannya dengan
bukti surat maupun saksi
(e) Berdasarkan permohonan Pemohon telah terbukti dan telah
memenuhi pasal 19 huruf (f) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan terakhir dengan
undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 oleh karenanya
permohonan Pemohon patut dikabulkan
(f) Bahwa retaknya rumah tangga tidak semata-mata kesalahan
Termohon dan tidak dalam keadaan nuzus, maka berdasarkan
pasal 41 huruf (c) undang-undang nomor 1 tahun 1974, Hakim
secara ex officio dapat mewajibkan kepada Pemohon sebagai
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri
(g) Berdasarkan pasal 149 dan 152 Kompilasi Hukum Islam,
Pemohon sebagai bekas suami berkewajiban memberikan
mut’ah dan nafkah iddah kepada termohon sebagai bekas isteri
(h) Bahwa setelah majelis menimbang dengan melihat penghasilan
tiap hari dari pemohon serta melihat kepatutan biaya hidup
dimana termohon bertempat tinggal, maka dipandang cukup adil
majelis menentukan besarnya mut’ah sebesar Rp. 2000.000,-
dan uang nafkah selama iddah sebesar Rp. 1.500.000,-
2) Dalam Rekonpensi
(a) Termohon mengajukan rekonpensi yang isinya berupa nafkah
satu anak setiap bulan Rp. 300.000,-
(b) Menimbang, gugatan rekopensi dikabulkan oleh majelis
d. Mengadili
1) Dalam Konpensi
(a) Mengabulkan permohonan Pemohon
(b) Menetapkan, memberi izin kepada pemohon (AL bin MU) untuk
ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon (AS bin MAR) di
depan persidangan Pengadilan Agama ambarawa
(c) Menghukum pemohon untuk memberikan kepada termohon
berupa uang nafkah mut’ah sebesar Rp. 2000.000,- dan uang
nafkah selama iddah sebesar Rp. 1.500.000,-
2) Dalam Rekonpensi
(a) Mengabulkan gugatan rekonpensi termohon seluruhnya
(b) Menghukum tergugat rekonpensi dalam hal ini pemohon untuk
memberikan nafkah satu anak setiap bulan Rp. 300.000,-
3) Dalam Konpensi Dan Rekonpensi
Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon sebesar Rp.
466.000,-
Setelah majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk
izin mengucapkan ikrar talak di depan persidangan dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, kemudian Pengadilan Agama Ambarawa
menetapkan hari sidang ikrar talak. Pada kasus ini sidang ikrar talak
dilaksanakan tanggal 10 Nopember 2011. Pada hari yang telah ditetapkan
oleh Pengadilan Agama Ambarawa Pemohon dan Termohon setelah
dipanggil secara patut dan sah tidak hadir sedangkan Termohon hadir
dalam pelaksanaan sidang ikrar talak.
Berdasarkan Penetapan Ketua Majelis Pengadilan Agama
Ambarawa Nomor : 0519/Pdt. G/2011/PA.Amb tanggal 10 Nopember
2011 tentang perkara penetapan hari sidang ikrar talak perkara antara Al
bin Mu dengan As bin Mar, ternyata dalam sidang tersebut pemohon tidak
hadir. Oleh karena itu maka, Pengadilan Agama Ambarawa perlu
menetapkan bahwa penetapan izin ikrar talak bagi pemohon tersebut tidak
lagi mempunyai kekuatan untuk dijalankan.
Berdasarkan pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009, Pengadilan Agama Ambarawa menetapkan bahwa
Putusan Nomor : 0519/Pdt.G/2011/PA.Amb tanggal 10 Nopember 2011
tersebut gugur kekuatan hukumnya dan membebankan biaya penetapan
kepada Pemohon sebesar Rp. 150.000,-
Dari posisi kasus tersebut, diketahui disamping pemohon dan
termohon telah berpisah selama 2 tahun lebih 2 bulan, maka Majelis
Hakim memberikan amar putusan membebankan pemohon untuk
membayar nafkah iddah dan mut’ah, meskipun nilai nominalnya tidak
sesuai tuntutan tergugat.
Menurut Hakim Pengadilan Agama Ambarawa “pertimbangan
Majelis Hakim sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap termohon
(istri) yang akan dicerai oleh pemohon (suami), dalam hal ini meskipun
menurut keyakinan Majelis Hakim, bahwa nominal yang dibebankan
kepada pemohon terhadap termohon sudah relatif kecil, tapi ternyata
pemohon enggan untuk melaksanakan ikrar talak, guna menghindar
tanggung jawab terhadap putusan yang telah dijatuhkan”.
Ketidakmauan pemohon melaksanakan ikrar talak tersebut
merupakan bentuk pengingkaran dan pelecehan terhadap keputusan
Pengadilan Agama, namun demikian tindakan pemohon yang tidak
bersedia menjatuhkan talak terhadap termohon merupakan haknya dan
tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus, seakan-akan pengadilan
hanya menyaksikan ikrar talak tersebut.
2. Perkara dengan register Nomor: 0706/Pdt.G/2010/PA.Amb. Tanggal 04
Oktober 2010 Pengadilan Agama Ambarawa.
TH bin SP, umur 29 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh, pendidikan SMP,
bertempat tinggal di RT 008 /RW 001, Desa Klepu, Kecamatan Pringapus,
Kabupaten Semarang, sebagai PEMOHON
M E L A W A N
MK binti NT, Umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati,
pendidikan SD tamat, bertempat tinggal di Dusun Krajan RT 008 /RW 001,
Desa Klepu, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, sebagai
TERMOHON
a. Posisi Kasus
1) Bahwa antara pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah
menikah tanggal 27 Mei 2003 dihadapan pejabat Kantor Urusan
Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, sebagaimana
tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor : 131/13/V/2003
2) Bahwa setelah akad nikah tersebut pemohon dengan termohon hidup
bersama dirumah orang tua termohon selama 5 tahun dan terakhir
bertempat kediaman dirumah bersama selama 2 tahun. Selama
pernikahan tersebut pemohon dan termohon telah hidup rukun
sebagaimana layaknya suami isteri (ba’daddukhul) dan telah
dikaruniai seorang anak bernama ; IAV binti TH, umur 7 tahun diasuh
Termohon
3) Bahwa semula rumah tangga antara pemohon dan termohon pada
awalnya dalam keadaan harmonis, namun sejak bulan Desember tahun
2004 ketentreman rumah tangga antara pemohon dan Termohon mulai
goyah, yang disebabkan karena termohon tidak terima terhadap
nafkah wajib yang diberikan pemohon walaupun pemohon telah
memberikan seluruh penghasilan pemohon sebagai sebagai karyawan
bengkel namun termohon selalu meminta lebih dari kemampuan
pemohon, dan termohon sering cemburu buta, menuduh pemohon ada
hubungan dengan perempuan lain tanpa bukti dan atau tanpa alasan
yang sah.
4) Bahwa, puncak keretakan hubungan antara pemohon dengan
termohon tersebut terjadi kurang lebih pada bulan April tahun 2010,
yang akibatnya pemohon dan termohon pisah tempat tinggal,
pemohon kos di Gedanganak selama 5 bulan, selama itu sudah tidak
ada hubungan baik lahir maupun batin dan atas perlakuan termohon
tersebut, pemohon sangat menderita lahir batin dan loh karena itu
pemohon bermaksud untuk mengakhiri rumah tangga secara hukum.
5) Bahwa, pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul
akibat perkara ini
6) Bahwa atas hal-hal tersebut diatas pemohon mengajukan permohonan
cerai talak terhadap termohon dengan alasan antara pemohon dan
termohon terjadi perselisihin dan pertengkaran dan tidak ada harapan
untuk rukun lagi.
Berdasarkan hal tersebut, pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Ambarawa segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi :
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Menetapkan, memberi izin kepada pemohon (TH bin SP) untuk ikrar
menjatuhkan talak terhadap termohon (MK bin NT) di depan
persidangan Pengadilan Agama Ambarawa
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada pemohon
b. Tentang Hukumnya
1) Berdasarkan permohonan pemohon telah terbukti dan telah
memenuhi pasal 19 huruf (f) peraturan pemerintah Nomor 9 tahun
1975 jo pasal 116 huru (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karenanya
permohonan Pemohon patut dikabulkan
2) Bahwa termohon tidak hadir, sedang permohonan pemohon
beralasan dan tidak melawan hak, sehingga telah memenuhi
ketentuan pasal 125 ayat 1 HIR, maka patut dikabulkan dengan
verstek
c. Mengadili
1) Menyatakan bahwa termohon yang telah dipanggil secara patut dan
sah untuk menghadap dipersidangan, tidak hadir.
2) Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek
3) Menetapkan, memberi izin kepada pemohon (TH bin SP) untuk ikrar
menjatuhkan talak terhadap termohon (MK bin NT) di depan
persidangan Pengadilan Agama Ambarawa
4) Membebankan biaya perkara ini kepada pemohon sebesar Rp.
391.000,-
Setelah majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk
izin mengucapkan ikrar talak di depan persidangan dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, kemudian Pengadilan Agama Ambarawa
menetapkan hari sidang ikrar talak. Pada hari yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Agama Ambarawa pemohon dan termohon setelah dipanggil
secara patut dan sah tidak hadir dalam pelaksanaan sidang ikrar talak.
Berdasarkan Penetapan Ketua Majelis Pengadilan Agama
Ambarawa Nomor : 0706 /Pdt. G/2010/PA.Amb tanggal 04 Januari 2010
tentang perkara penetapan hari sidang ikrar talak perkara antara TH bin SP
dengan MK bin NT, Oleh karenanya maka, Pengadilan Agama Ambarawa
perlu menetapkan bahwa penetapan izin ikrar talak bagi pemohon tersebut
tidak lagi mempunyai kekuatan untuk dijalankan.
Berdasarkan pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang dirubah dan ditambah Dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009, Pengadilan Agama Ambarawa menetapkan bahwa
Putusan Nomor : 0706 /Pdt. G/2010/PA.Amb tanggal 04 Januari 2010
tersebut gugur kekuatan hukumnya dan membebankan biaya penetapan
kepada Pemohon sebesar Rp. 150.000,-
Hakim Pengadilan Agama Ambarawa berpendapat bahwa,
“memang betul seorang suami (pemohon) yang mengajukan cerai talak
dapat dikatakan telah berniat untuk menceraian istrinya (termohon),
kadang-kadang niat itupun telah diucapkan kepada istrinya di luar
persidangan, tetapi karena sahnya perceraian harus adanya putusan
Pengadilan Agama, maka pemohon mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Agama untuk menceraikan istrinya”.
3. Perkara dengan register Nomor: 024/Pdt.G/1996/PA.Amb. Tanggal 15
Januari 1996 Pengadilan Agama Ambarawa.
MH bin MA, umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaanTani, bertempat tinggal
di RT 001 /RW 006, Desa Kenteng, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten
Semarang, sebagai PEMOHON
M E L A W A N
JUM binti BS, Umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, bertempat
tinggal di Dusun Ampelgading RT 004 /RW 006, Desa Klepu, Kecamatan
Ambarawa, Kabupaten Semarang, sebagai TERMOHON
a. Posisi Kasus
1) Bahwa antara pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah
menikah tanggal 2 Februari 1982 dihadapan pejabat Kantor Urusan
Agama Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, sebagaimana
tersebut dalam dalam dupilkat Kutipan Akta Nikah Nomor :
59/Pw.01/VII/1995 tanggal 20 juli 1995
2) Bahwa setelah akad nikah tersebut pemohon dengan termohon hidup
bersama dirumah orang tua termohon selama 12 tahun dan sejak tahun
1982 sampai 1994 pemohon dan termohon telah hidup rukun
sebagaimana layaknya suami isteri (ba’daddukhul) dan telah
dikaruniai dua orang anak bernama ; RM binti MH, umur 12 tahun
dan ZA bin MH, umur 7 tahun
3) Bahwa semula rumah tangga antara pemohon dan termohon pada
awalnya dalam keadaan harmonis, namun sejak tahun 1990
ketentreman rumah tangga antara pemohon dan termohon mulai
goyah, serta terjadi pertengkaran-pertengkaran terus seorang istri.
Atas sikap termohon tersebut maka pemohon merasa sudah tidak
sanggup untuk mengaturnya, yang pemohon menilai tidak
menghormati kedudukan PEMOHON sebagai suami, maka tanggal 28
September 1995 pemohon terpaksa menyerahkan termohon kepada
orang tua termohon.
4) Bahwa setelah pisah selama 4 bulan antar pemohon dan termohon
sudak tidak melaksanakan kewajibannya masing-masing layaknya
suami isteri, sehingga pemohon berkesimpulan sudah tidak ada
harapan untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, dan pemohon
berpendapat bahwa sudah sepatutnya rumah tangga untuk diakhiri
secara hukum, oleh karena itu tidak mungkin dipertahankan lagi.
5) Bahwa, berdasarkan fakta diatas, maka telah cukup alasan bagi
Pemohon untuk mengajukan permohonan cerai talak terhadap
Termohon sebagaimana ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huru (f) Kompilasi
Hukum Islam.
b. Tentang Pertimbangan Hukum
Pengadilan Agama Ambarawa setelah mendengar keterangan-
keterangan pemohon dan para saksi, serta setelah membaca dan
mempelajari semua surat bukti otentik yang berhubungan dengan
permohonan pemohon tersebut.
1) Bahwa pokok permasalahannya adalah permohonan izin ikrar talak
dari seorang muslim warga negara indonesia terhadap termohon
yang berdomosili diwilayah hukum Pengadilan Agama ambarawa,
karena sesuai dengan pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, yang dirubah dan ditambah Dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka Pengadilan Agama
Ambarawa berwenang menerima dan mengadili perkara tersebut.
2) Bahwa selama berpisah pemohon tidak memenuhi kewajiban nafkah
kepada termohon, meskipun termohon selaku istri masih
menunujukkan itikad baiknya, namun pemohon tetap memberikan
nafkah kepada kedua anaknya minimal setiap bulannya sebesar lima
puluh ribu rupiah
3) Bahwa kelalaian pemohon tidak tidak memberikan nafkah kepada
termohon adalah hutang yang harus dibayar.
4) Bahwa antara pemohon dan termohon dalam keadaan ba’dadukhul
dan talak yang akan dijatuhkan pemohon adalah talak roj’i maka
berdasarkan pasal 41 huruf (c) undang-undang nomor 1 tahun 1974
dan pasal 41 huruf (a,b dan d) kompilasi hukum islam, pemohon
diwajibkan memberikan nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada termohon
serta biaya hadlonah untuk anak-anaknya
5) Menimbang berdasarkan pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, maka pemohon berkewajiban untuk membayar semua biaya
perkara yag timbul akibat dari permohonan ini.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Agama Ambarawa segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi :
1) Mengabulkan permohonan pemohon
2) Menetapkan, memberi izin kepada pemohon (MH bin MA) untuk
ikrar menjatuhkan talak terhadap termohon (JUM bin BS) di depan
persidangan Pengadilan Agama Ambarawa
3) Menghukum pemohon untuk menanggung biaya kehidupan dua
orang anak yang dibawah pemeliharaan termohon, biaya nafkah
iddah, nafkah mut’ah dan nafkah terhutang yang belum terbayar
pada termohon serta anaknya
4) Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada pemohon
Setelah majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk
izin mengucapkan ikrar talak di depan persidangan dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, kemudian Pengadilan Agama Ambarawa
menetapkan hari sidang ikrar talak. Pada hari yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Agama Ambarawa pemohon dan termohon setelah dipanggil
secara patut dan sah tidak hadir dalam pelaksanaan sidang ikrar talak.
Berdasarkan Penetapan Ketua Majelis Pengadilan Agama Ambarawa
Nomor : 024/Pdt.G/1996/PA.Amb. Tanggal 15 Januari 1996 tentang
perkara penetapan hari sidang ikrar talak perkara antara MH bin MA
dengan JUM bin BS, Oleh karenanya maka, Pengadilan Agama
Ambarawa perlu menetapkan bahwa penetapan izin ikrar talak bagi
Pemohon tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan untuk dijalankan.
Berdasarkan pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
Pengadilan Agama Ambarawa menetapkan bahwa Putusan Nomor :
024/Pdt.G/1996/PA.Amb. Tanggal 15 Januari 1996 tersebut gugur
kekuatan hukumnya dan membebankan biaya penetapan kepada
Pemohon sebesar Rp. 57.500,-
Dari kasus diatas dapat dikatakan bahwa pemohon yang
mempunyai niat untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dengan
meminta izin mentalak istrinya (termohon) kepada Pengadilan Agama.
Akan tetapi seringkali pemohon dengan gampangnya mengabaikan
panggilan untuk menghadap ke persidangan untuk melaksanakan ikrar
talak, tanpa alasan yang jelas.
Hakim Pengadilan Agama Ambarawa, menambahkan “dengan
tidak dilaksanakannya ikrar talak, maka akan gugur kekuatan izin untuk
mengucapkan ikrar talak sesuai pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, apabila kekuatan putusan izin pengucapan ikrar talak
gugur, tentunya dalam hal ini sangatlah merugikan pihak Termohon dan
nasib rumah tangganya”.
C. Akibat Hukum dari Ketidakhadiran Pemohon dalam Pelaksanaan Sidang
Ikrar Talak
Berikut ini adalah hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan
hakim Pengadilan Agama Amabarawa, dan panitera Pengadilan Agama
Amabarawa.
Peneliti dalam hal ini untuk memperoleh jawaban atas akibat dari
ketidakhadiran pemohon dalam pelaksanaan sidang ikrar talak yang
diwawancara adalah Panitera di Pengadilan Agama Amabarawa, beliau
mengatakan apabila seorang suami yang mengajukan gugatan untuk
menceraikan isterinya harus mengajukan permohonan ke pengadilan guna
memohon ke pengadilan agar diizinkan untuk mentalak isterinya dihadapan
sidang dan apabila dalam hal penyaksian ikrar talak suami atau Pemohon tidak
hadir dalam pelaksanaan sidang penyaksian ikrar talak, maka gugur kekuatan
penetapan izin ikrar talak tersebut sesuai dengan pasal 70 ayat 6 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, begitu juga dengan
jawaban dari Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam wawancaranya
mengatakan bahwa seorang suami yang akan menceraikan isterinya, sah demi
hukum apabila dilakukan di pengadilan sesuai dengan pasal 39 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), dan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa seorang suami yang beragama Islam
yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Agama untuk mengadakan sidang ikrar talak, selajutnya bahwa terhadap
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, pengadilan
menentukan hari sidang dan memanggil para pihak, apabila dalam pelaksanaan
sidang penyaksian ikrar talak termohon (istri) tidak hadir maka sidang tetap
dilanjutkan artinya perceraian tetap terjadi, lain halnya dengan pemohon,
apabila tidak hadir maka kekuatan penetapan izin penyaksian ikrar talak gugur
demi hukum sesuai pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
D. Faktor yang Melatarbelakangi Pemohon Tidak Hadir dalam
Melaksanakan Ikrar Talak
Berikut ini adalah hasil wawancara peneliti dengan hakim Pengadilan
Agama Ambarawa, panitera Pengadilan Agama Amabarawa dan pihak yang
sudah pernah melakukan proses cerai talak di Pengadilan Agama Amabrawa
mengenai faktor-fakror yang melatarbelakangi ketidakhadiran Pemohon dalam
pelaksanaan ikrar talak, perlu digaris bawahi bahwa untuk masalah
kelengkapan identitas kebanyakan dari narasumber tidak mau memberikan
secara lengkap, hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa masalah talak,
perceraian ini adalah masalah yang sangat pribadi, mereka malu kalau sampai
identitas mereka di ketahui secara lengkap oleh publik sehingga tidak perlu
untuk disebarluaskan.
Informan yang pertama adalah seorang ibu rumah tangga yang bernama
AN, beralamat di Ambarawa, yang diceraikan oleh suaminya yang bernama
AS, wawancara pada tanggal 11 Juni 2012. Alasan suaminya tidak hadir dalam
pelaksanaan ikrar talak, ibu AN mengatakan bahwa suaminya pergi ke
Sumatera. Berikut ini jawaban ibu AN ketika diwawancarai
Ibu AN mengatakan suaminya mengajukan permohonan atau gugatan
ke Pengadilan Agama ambarawa pada bulan januari, beliau tidak tahu kalau
suaminya akan menceraikannya, beliau mengetahui setelah ada surat panggilan
dari Pengadilan Agama Ambarawa, dalam pelaksanaan sidang ibu AN selalu
hadir, kalau suaminya hanya hadir satu kali sidang. Suaminya menceraikan ibu
AN dengan alasan apabila suaminya memberi nafkah atau bayaran hasil kerja,
ibu AN selalu meminta lebih, ibu AN membantah dengan alasan itu, beliau
mengatakan bahwa suaminya telah berhubungan dengan wanita lain atau biasa
disebut selingkuh. Ketika ditanya mengapa suaminya tidak pernah hadir?
Beliau menjawab saya tidak tahu, karena udah lama tidak bertemu dan
berkomunikasi, tapi yang saya tahu kabar terakhir katanya dia pergi ke
Sumatera
Alasan berbeda ditemukan ketika peneliti wawancara dengan seorang
RT yang bernama bapak AG yang sedang mendampingi seorang ibu yang
bernama NI, pada tanggal 04 juni 2012 di Pengadilan Agama Ambarawa.
Bapak AG ketika mendampingi seorang warganya yaitu ibu NI yang
diceraikan suaminya tapi proses perceraiannya gagal sekitar setahun yang lalu.
Beliau mengatakan alasan cerai ibu NI dan suaminya tidak tahu karena urusan
keluarga orang, yang beliau tahu kalau ibu NI akan menikah lagi, tetapi tidak
bisa karena kalau yang namanya cerai harus sudah punya akta cerai dari
pengadilan, lain dengan ibu NI katanya sudah cerai tetapi tidak punya akta
cerai otomatis tidak dapat melangsungkan pernikahan, ternyata setelah
ditelusuri perceraian itu dianggap belum pernah terjadi karena pada waktu
sidang penyaksian ikrar talak suaminya tidak hadir, maka sidang tidak bisa
dilanjutkan dan adanya kesalahpahaman dari para pihak yang berperkara yaitu
ibu NI dan suaminya yang menganggap bahwa dengan adanya putusan izin
ikrar talak, maka sudah resmi putus ikatan perkawinannya, padahal putusan itu
belum final karena ikrar talak belum diucapkan oleh suaminya di depan
persidangan.
Lain halnya alasan dari informan ketiga yaitu seorang ibu yang
bernama MS yang baru saja mencerai gugat suaminya, wawancara pada
tanggal 14 juni 2012 di Pengadilan Agama Ambarawa.
Peneliti bertemu dengan ibu MS pada saat beliau sedang mengurus akta
cerai di Pengadilan Agama Ambarawa setelah baru saja selesai proses beracara
cerai gugat. Ibu MS mengatakan dalam wawancaranya, sebenarnya sebelum
beliau mengajukan cerai gugat, suaminya sudah pernah mengajukan gugat
cerai talak terhadap ibu MS di Pengadilan Agama ambarawa, akan tetapi pada
saat proses penyaksian ikrar talak suaminya tidak hadir, maka sidang
penyaksian ikrar talak tidak dilanjutkan. Suaminya menghilang begitu saja,
sampai sekarang tidak pernah ada kabar, beliau berasumsi bahwa suaminya itu
tidak mau melaksanakan pengucapan ikrar talak di hadapan sidang, karena
merasa dengan diadakan sidang ikrar talak tersebut, maka biaya yang akan
ditanggung sangatlah banyak setelah menceraikan istrinya tersebut.
Hakim Pengadilan Agama Ambarawa juga berasumsi terhadap suami
yang enggan melaksanakan sidang penyaksian ikrar talak, beliau mngatakan
ada beberapa faktor yang melatarbelakangi Pemohon tidak hadir dalam sidang
ikrar talak diantaranya adalah yang pertama adanya pembebanan atau
kewajiban untuk membayar sejumlah uang yang harus dia bayar, meliputi:
nafkah masa lampau, mut’ah, iddah dan nafkah anak, kedua ketidak tahuan
adanya pemanggilan karena pergi jauh, tidak tahu keberadaannya, ketiga
Pemohon beranggapan dengan adanya putusan ijin ikrar talak dari Pengadilan
Agama maka sudah selesai berperkara dan sudah cerai, keempat faktor alam
meliputi : rukun lagi dengan istri, meninggal dunia.
Demikian hasil wawancara oleh Hakim Pengadilan Agama Ambarawa
dan para pihak mengenai faktor atau alasan pemohon (suami) tidak hadir dalam
pelaksanakan sidang penyaksian ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa.
E. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Ketika Perkawinan Tidak Dapat
Dipertahankan Kembali Pasca Penetapan Pengadilan Agama
Berikut ini adalah hasil wawancara peneliti dengan Hakim Pengadilan
Agama Amabarawa, dan pihak yang sudah pernah melakukan proses cerai
talak di Pengadilan Agama Amabrawa mengenai upaya hukum yang dapat
ditempuh ketika perkawinan tidak dapat dipertahankan kembali pasca
penetapan Pengadilan Agama.
Ibu AN mengatakan tentang tindak lanjut dari penetapan Pengadilan
Agama Ambarawa yang menetapkan bahwa perceraian dianggap tidak pernah
terjadi dikarenakan suami atau Pemohon tidak mengucapkan ikrar talak di
depan sidang, beliau tidak tahu atau kurang paham mengenai hal ini dan baru
mau minta bantuan dari pegawai Pengadilan Agama Ambarawa.
Berbeda dari jawaban ibu AN, bapak AG yang pada saat itu sedang
mendampingi ibu NI mengatakan upaya hukum yang akan dilakukan atas
gagalnya sidang ikrar talak adalah beliau menyuruh ibu NI untuk mengajukan
gugatan perceraian terhadap suaminya. .
Selanjutnya wawancara dengan ibu MS di Pengadilan Agama
Ambarawa setelah baru saja selesai proses beracara cerai gugat. Ibu MS
mengatakan dalam wawancaranya, beliau menjawab tentang langkah
selanjutnya yang akan ditempuh, mengenai tidak terjadinya perceraian karena
suami tidak hadir dalam sidang penyaksian ikrar talak di Pengadilan Agama
Ambarawa, Ibu MS mengatakan karena beliau segera akan menikah lagi,
sedangkan kalau mau menikah lagi harus ada putusan dari Pengadilan Agama
kalau benar-benar sudah cerai dengan suami yang terdahulu dibuktikan dengan
akata cerai, untuk itu, karena ibu MS kurang mengetahui tentang beracara di
pengadilan, maka beliau diberi saran oleh tetangganya untuk segera
mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya dengan tujuan untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai bekas istri dan juga mendapat kejelasan
dalam hubungannya dengan suaminya.
Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam wawancaranya
mengatakan mengenai upaya hukum isteri pasca penetapan gugurnya sidang
penyaksian ikrar talak adalah berdasar pada pasal 73 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yaitu pihak isteri mengajukan cerai gugat sekaligus
untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Demikian hasil wawancara oleh Hakim Pengadilan Agama Ambarawa
dan para pihak mengenai upaya hukum pasca penetapan Pengadilan Agama
Ambarawa yang disebabkan suami (pemohon) tidak hadir dalam pelaksanakan
sidang penyaksian ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis tentang Faktor yang Melatar belakangi Pemohon Tidak Hadir
dalam Melaksanakan Ikrar Talak
Telah diuraikan di depan dimana seorang suami yang mengajukan
permohonan cerai talak, tidak serta merta dikabulkan oleh Pengadilan Agama,
harus melalui pertimbangan Majelis Hakim. Dalam permohonan cerai talak
tidak semua permohonan yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Agama,
pemohon melaksanakan sidang ikrar talak.
Perihal pemohon setelah mendapatkan izin untuk menjatuhkan talak
kepada Termohon, akan tetapi tidak bersedia melaksanakan sidang ikrar talak
memang banyak faktor yang menjadi penyebabnya, Hakim Pengadilan Agama
Ambarawa berasumsi bahwa salah satu alasan pemohon tidak hadir disebabkan
kedua belah pihak telah berdamai lagi atau rukun kembali. Kemungkinan lain
yang menjadi faktor atau alasan pemohon tidak hadir dalam sidang ikrar talak
adalah seperti adanya pembebanan atau kewajiban untuk membayar sejumlah
uang yang harus pemohon (suami) bayar, meliputi: nafkah masa lampau,
mut’ah, iddah dan nafkah anak, ketidak tahuan adanya pemanggilan karena
pemohon (suami) pergi jauh, tidak diketahui keberadaannya, pemohon
beranggapan dengan adanya penetapan izin ikrar talak dari Pengadilan Agama,
maka sudah selesai proses berperkaranya, status sudah cerai dan faktor alam
meliputi : rukun lagi dengan istri, meninggal dunia
Dari beberapa faktor atau alasan ketidakhadiran pemohon dalam sidang
ikrar talak yang dipaparkan oleh hakim di Pengadilan Agama Ambarawa
tersebut, kalau dicocokkan dari hasil wawancara dengan para pihak dapat
dikatakan hampir sama, karena dari hasil wawancara dengan para pihak
ditemukan alasan dari tidak hadirnya pemohon (suami) dalam pelaksanaan
ikrar talak, yaitu pergi jauh dan tidak diketahui keberadaannya, oleh karena itu
apabila ada pemanggilan dari Pengadilan Agama tidak tahu, ada pula pemohon
yang menganggap bahwa dengan putusan izin ikrar talak oleh Pengadilan
Agama tersebut, maka selesai perkaranya dan menganggap sudah bercerai
dengan termohon (istri), padahal dengan adanya putusan tersebut, Pengadilan
Agama baru mengabulkan permohonan izin kepada pemohon (suami) untuk
menjatuhkan talak kepada termohon (istri), putusan itu belum final, masih ada
pelaksanaan sidang ikrar talak. Begitu juga dengan Pemohon yang beralasan
karena merasa berat dihukum untuk membayar nafkah kepada termohon,
sehingga memilih untuk tidak hadir dalam pelaksanaan sidang ikrar talak.
Panitera Pengadilan Ambarawa menambahkan “tentang keberatan
pemohon ini semata-mata bukan karena tidak mampu untuk memenuhi
tuntutan putusan yang dijatuhkan, namun pemohon merasa bahwa tanpa
adanya pelaksanaan sidang ikrar talak, penetapan tersebut akan gugur demi
hukum, dengan demikian pemohon akan terhindar dari apa yang menjadi
kewajiban dan beban dalam putusan tersebut”.
Berdasarkan beberapa alasan pemohon tidak hadir dalam sidang ikrar
talak yang dipaparkan oleh para pihak tersebut diatas, hampir tidak ada yang
berdamai lagi atau rukun kembali, karena memang pada awalnya sudah
mempunyai niat untuk bercerai dan posisi rumah tangganya juga sudah tidak
ada keharmonisan lagi.
Pemaparan yang disampaikan oleh Hakim di Pengadilan Agama
Ambarawa, yang menjadi faktor atau alasan pemohon tidak hadir dalam
pelaksanaan sidang ikrar talak tersebut diatas itu baru data awal, belum
dibuktikan dengan data yang ada di lapangan, akan tetapi setelah penulis
melakukan wawancara terhadap pihak yang berperkara secara langsung,
diketemukan alasan-alasan tidak hadirnya pemohon, menurut penulis adalah
sama dengan apa yang dikatakan oleh Hakim Pengadilan Agama Ambarawa
tersebut. Meskipun dengan alasan-alasan tersebut belum secara jelas terbukti,
karena tidak ada pihak yang berperkara baik pemohon maupun termohon
melapor ke Pengadilan Agama Ambarawa.
Dari faktor atau alasan tidak hadirnya pemohon dalam pelaksanaan
ikrar talak, memang secara mutlak dilaksanakan atau tidak dilaksanakan ikrar
talak tersebut adalah ditangan pemohon (suami), dimana termohon hanyalah
diposisikan sebagai objek, artinya tidak dapat memaksa pemohon harus
melaksanakan sidang ikrar talak, kembali terhadap i’tikad pemohon, bila
memang beri’tikad baik apapun resikonya semestinya pemohon harus
melaksanakannya, karena pemohon sendiri yang mengajukan cerai tersebut.
Dengan i’tikad pemohon mengajukan perceraian sudah dapat diartikan bahwa
hatinya telah menyatakan mencerai istrinya (termohon), dengan demikian
selama proses perceraian berlangsung antara kedua pihak sudah tidak ada
hubungan yang harmonis lagi, tetapi apabila pemohon (suami) mempunyai
i’tikad tidak baik seperti kasus yang dipaparkan diatas, yang pada akhirnya
pemohon tidak bersedia melaksanakan sidang ikrar talak dan mengakibatkan
gugurnya kekuatan penetapan tersebut.
Keengganan pemohon tersebut, merupakan bentuk pengingkaran dan
pelecehan terhadap lembaga Peradilan Agama, namun demikian tindakan
pemohon yang tidak bersedia melaksanakan ikrar talak terhadap termohon
merupakan haknya dan Undang-Undang sendiri tidak mengatur secara tegas
dan tidak menentukan sanksi bagi perbuatan pemohon tersebut.
B. Analisis tentang Akibat Hukum Ketidakhadiran Pemohon dalam
Pelaksanaan Sidang Ikrar Talak
Dalam praktek selama ini, seperti yang penulis kemukakan di depan,
permohonan cerai diajukan oleh pihak suami, dalam petitum permohonan
biasanya memuat “Memohon kepada Pengadilan menetapkan memberi izin
kepada pemohon untuk mengucapkan ikrar talaknya terhadap termohon selaku
isteri”. Oleh pihak Pengadilan, atas permohonan yang telah cukup bukti dan
beralasan hukum, biasanya dikabulkan dengan amar “Memberi izin kepada
pemohon (nama... bin...) untuk menjatuhkan talak satu Raj’i terhadap termohon
(nama... binti...) di depan sidang Pengadilan Agama Ambarawa”, bahkan ada
juga dalam amar di atas ditambah “... setelah putusan ini berkekuatan hukum
tetap”.
Panitera Pengadilan Agama Ambarawa mengatakan “bahwa yang
menjadi patokan amar setiap keputusan Pengadilan apakah itu berbentuk
penetapan atau putusan, selamanya bertitik tolak dari petitum permohonan atau
gugatan, dimana hakim dalam mengambil keputusan harus berpedoman pada
asas “ultra petitum partium” yakni pengabulan gugatan atau permohonan tidak
boleh melebihi apa yang diminta dalam permohonan”.
Apabila permohonan izin ikrar talak Pemohon sudah dikabulkan, maka
pemohon berkewajiban untuk melaksanakan sidang ikrar talak, sebagaimana
bunyi amar tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pasal 70 ayat (3) Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang berbunyi
sebagai berikut
“Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut”.
Tindak lanjut yang mengikuti hal itu, Pengadilan menetapkan hari
sidang (PHS Ikrar Talak) yang khusus untuk menyaksikan pengucapan ikrar
talak pemohon (suami), sudah barang tentu sangat bijaksana apabila sidang
penyaksian ikrar talak segera dilaksanakan beberapa saat setelah putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuannya adalah selain memenuhi
tuntutan asas peradilan yang sederhana dan cepat, sekaligus memberi kepastian
kepada suami isteri untuk menempuh jalan kehidupan baru, terutama kepada
pihak Termohon (isteri) sangat penting artinya, tidak menggantung
hubungannya yang berlamaan. Oleh karena itu sangat diharapkan sikap Ketua
Pengadilan Agama untuk secepat mungkin menetapkan hari sidang penyaksian
ikrar talak sesaat setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Di dalam pelaksanaan ikrar talak pemohon dan termohon harus hadir
atau mengirimkan wakilnya, apabila termohon tidak hadir, pemohon hadir,
maka pengucapan ikrar talak tetap dilaksanakan, sebaliknya apabila pemohon
tidak hadir, Termohon hadir, maka pengucapan ikrar talak tidak akan terjadi.
Seperti perkara di Pengadilan Agama Ambarawa, dengan perkara Nomor:
0519/Pdt. G/2011/PA.Amb. Tanggal 13 Juli 2011, perkara Nomor:
0706/Pdt.G/2010/PA.Amb. Tanggal 04 Oktober 2010 dan perkara Nomor:
024/Pdt.G/1996/PA.Amb. Tanggal 15 Januari 1996, pihak suami yang
mengajukan permohonan untuk mentalak istrinya dengan berbagai alasan.
Setelah permohonan memperoleh izin dari Pengadilan Agama Ambarawa
tentunya atas dasar pertimbangan dari Majelis Hakim, kemudian menentukan
hari sidang penyaksian ikrar talak dan Majelis Hakim melalui juru sita
memanggil para pihak untuk hadir dalam pelaksanaan penyaksian sidang ikrar
talak sesuai jadwal yang telah ditentukan. Akan tetapi dalam prakteknya
setelah di panggil secara sah dan patut, pihak pemohon tidak hadir menghadap
Majelis Hakim dan setelah ditunggu selama 6 (enam) bulan terhitung sejak
ditetapkan sidang ikrar talak, pihak pemohon tetap tidak hadir atau melapor ke
Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa, maka sesuai dengan Pasal 70
ayat (6) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989, menerangkan apabila pemohon (suami) tidak hadir dalam sidang
penyaksian ikrar talak dan apabila dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan
terhitung sejak ditetapkan sidang ikrar talak tersebut Pemohon tidak hadir dan
tidak melaporkan, maka penetapan tersebut gugur kekuatan hukumnya dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Apabila hal yang ditentukan dalam pasal tersebut tidak dipenuhi
pemohon (suami), dengan sendirinya menurut hukum, gugur kekuatan
penetapan cerai talak. Konsekuensi yang timbul selain gugurnya kekuatan
penetapan, pemohon juga tidak dapat mengajukan permohonan cerai talak lagi
dengan alasan yang sama seperti yang juga diatur oleh Pasal 70 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan akibat
dari gugurnya kekuatan penetapan tersebut, perceraian juga dianggap tidak
pernah terjadi dan ikatan perkawinan dianggap tetap ada dan utuh sesuai Pasal
131 Kompilasi Hukum Islam. Penetapan tersebut tidak mempunyai daya
mengikat lagi kepada suami isteri, dan akibat dari pemohon tidak bersedia
melaksanakan ikrar talak, yang dengan alasan diantaranya pergi jauh,
ketidaktahuan adanya panggilan dan secara alamiah rukun kembali, akan tetapi
dalam prakteknya alasan-alasan tersebut belum terbukti secara jelas, karena
baru asumsi dari Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan para pihak belum
pernah ada yang melapor ke Pengadilan Agama Ambarawa. Atas tindakan
pemohon yang menghilang begitu saja, dianggap tidak bertanggung jawab,
yang berakibat gugurnya kekuatan hukum penetapan izin ikrar talak. Hal ini
sangat merugikan pihak Termohon secara moril maupun materiil, karena
termohon tidak terpenuhinya hak-hak sebagai istri dan nasibnya terkatung-
katung atau semakin tidak jelas.
Dalam hal pelaksanaan ikrar talak oleh pihak pemohon (suami), penulis
berpendapat bahwa yang mempunyai kewenangan untuk mengucapkan talak
dipersidangan adalah ditangan pihak pemohon (suami) dan Majelis Hakim
tidak dapat memaksa pemohon untuk tetap melaksanakan sidang ikrar talak
dengan alasan tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut secara khusus.
Dengan demikian sangatlah besar kewenangan pemohon (suami) dalam
melaksanakan penetapan cerai talak, meskipun penetapan tersebut sudah
berkekuatan hukum tetap, dalam hal tidak dilaksanakan ikrar talak oleh
pemohon (suami), pihak Termohon (istri) sangatlah dirugikan, karena
hubungan rumah tangganya semakin tidak jelas.
C. Analisis tentang Upaya Hukum yang dapat ditempuh ketika Perkawinan
tidak dapat dipertahankan kembali, Pasca Penetapan Pengadilan Agama
Ambarawa.
Ketidakhadiran pemohon (suami) dalam sidang ikrar talak yang
mengakibatkan gugurnya kekuatan penetapan izin ikrar talak, Penetapan itu
tidak mempunyai daya mengikat lagi kepada suami isteri, dengan demikian
maka secara hukum status pemohon (suami) dan termohon (istri) kembali
sebagai suami isteri. Padahal selama proses perceraian berlangsung antara
kedua pihak sudah tidak ada hubungan yang harmonis lagi, karena sudah
mempunyai i’tikad untuk berpisah. Hal seperti ini jelas akan sangat merugikan
kepentingan termohon, lebih-lebih termohon dalam cerai talak tidak dapat
memaksa pemohon agar melaksanakan sidang ikrar talak, akibatnya status
termohon (istri) menjadi terombang-ambing dalam arti, cerai talak tidak diurusi
atau diperhatikan oleh pemohon (suami), hal ini sangat menambah penderitaan
termohon, yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum dengan
meminta hak-haknya yang belum terpenuhi sebagai istri, akan tetapi malah
penderitaan yang didapat, maka tidak ada langkah lain yang harus ditempuh
agar status termohon jelas dan perceraian dapat terjadi, maka menurut Hakim
Pengadilan Agama Ambarawa yang mengatakan bahwa langkah hukum setelah
gugurnya kekuatan penetapan izin ikrar talak adalah pihak istri mengajukan
gugatan terhadap suami, sesuai dengan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi
“gugatan perceraian oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yag daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”.
Dalam mengajukan gugatan tersebut, istri dapat mendalilkan alasan-
alasan yang tercantum dalam permohonan cerai talak yang oleh suami tidak
dilaksanakannya sidang ikrar talak, alasan taklik talak, khuluk dan lain
sebagainya.
Memperhatikan hal-hal tersebut diatas, Undang-Undang hanya
memberikan perlindungan hukum terhadap termohon dan akibat perceraian,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 78 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama yang berbunyi :
“selama berlangsungnya perceraian, atas permohonan penggugat pengadilan dapat : 1. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami 2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak 3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.
Dalam penelitian di Pengadilan Agama Ambarawa, ditemukan kasus
yang dalam hal ini pihak istri tidak terima oleh perlakuan suaminya yang tidak
bersedia hadir dan melaksanakan sidang ikrar talak, yaitu seorang istri yang
mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya akibat suami tidak bersedia
melaksanakan sidang ikrar talak, setelah cerai gugat sudah mempunyai
kekuatan putusan oleh Pengadilan Agama Ambarawa, selanjutnya kedua pihak
mendapatkan akta cerai, menariknya akta cerai milik mantan suaminya di sita
oleh mantan istri, dengan tujuan apabila mantan suaminya akan nikah lagi tidak
bisa, selagi akta cerainya masih ditangan mantan istri, hal ini adalah wujud dari
balas dendam karena merasa istri diperlakukan sewenang-wenang oleh mantan
suami. Pihak mantan istrinya tersebut beranggapan bahwa mantan suaminya
menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh Pengadilan Agama dalam
pelaksanaan sidang ikrar talak dan merasa dirugikan baik bersifat finansial
maupun sosial.
Dari temuan kasus tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa
pihak istri melakukan balas dendam terhadap suaminya yang dianggap telah
menelantarkan dan tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami, dan karena
kurangnya perlindungan hukum yang tegas dari akibat gugurnya penetapan
ikrar talak tersebut.
Dengan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pemohon yang tidak
bersedia melaksanakan sidang ikrar talak, maka pihak termohon sangat
dirugikan dan adanya diskriminasi hukum antara pemohon dan termohon.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Akibat Hukum dari Ketidakhadiran pemohon dalam Pelaksanaan Sidang
Ikrar Talak Adalah menurut Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tentang hal yang menggugurkan
kekuatan mengikat putusan cerai talak. Apabila hal yang ditentukan dalam
pasal tersebut tidak dipenuhi suami, dengan sendirinya menurut hukum,
gugur kekuatan putusan cerai talak.
Dengan gugurnya kekuatan penetapan, perceraian dianggap tidak
pernah terjadi, dan ikatan perkawinan dianggap tetap ada dan utuh. Hal yang
menggugurkan kekuatan putusan cerai talak digantungkan pada faktor
ketidakhadiran suami melaksanakan pengucapan ikrar talak pada hari sidang
yang telah ditentukan, dengan jangka waktu 6 (enam) bulan sejak penetapan
tersebut berkekuatan hukum tetap. Jika Pengadilan Agama telah
menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, suami atau wakilnya tidak
datang, dan hal itu sudah berlangsung 6 (enam) bulan, dengan sendirinya
menurut hukum, gugur kekuatan hukum putusan cerai talak. Putusan itu
tidak mempunyai daya mengikat lagi kepada suami isteri, dan juga tidak
mempunyai akibat hukum terhadap perkawinan mereka. Memang
kewenangan untuk menjatuhkan talak mutlak ditangan suami, pihak istri
tidak dapat memaksa dan Pengadilan Agama seolah-olah hanya
menyaksikan sidang ikrar talak tersebut. Akibat hukum selain gugurnya
kekuatan hukum cerai talak, pemohon juga tidak dapat mengajukan
permohonan cerai talak lagi dengan alasan yang sama seperti yang juga
diatur oleh Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Akibat dari gugurnya kekuatan penetapan tersebut,
perceraian juga dianggap tidak pernah terjadi dan ikatan perkawinan
dianggap tetap ada dan utuh sesuai Pasal 131 Kompilasi Hukum Islam.
Penetapan tersebut tidak mempunyai daya mengikat lagi kepada suami
isteri, dan akibat hukum terhadap termohon tidak terpenuhinya hak-hak
sebagai istri dan nasibnya terkatung-katung atau semakin tidak jelas.
Dengan disalahgunakan wewenang untuk menjatuhkan talak
terhadap istri, suami dianggap melecehkan lembaga Peradilan Agama
karena tidak sungguh-sungguh dalam beracara cerai talak, meskipun
demikian Undang-Undang sendiri tidak mengatur secara tegas dan tidak
menentukan sanksi bagi perbuatan Pemohon tersebut.
2. Faktor-faktor atau alasan yang melatarbelakangi pemohon tidak hadir dalam
sidang penyaksian ikrar talak adalah sebagai berikut :
a. Adanya pembebanan atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang
yang harus dia bayar, meliputi: nafkah masa lampau, mut’ah, iddah dan
nafkah anak
b. ketidak tahuan adanya pemanggilan karena pergi jauh, tidak tahu
keberadaannya
c. Pemohon beranggapan dengan adanya putusan ijin ikrar talak dari
Pengadilan Agama maka sudah selesai berperkara dan sudah cerai
d. faktor alam meliputi : rukun lagi dengan istri, meninggal dunia.
3. Upaya Hukum Pasca Gugurnya Kekuatan Penetapan Ijin Ikrar Talak.
Akibat dari gugurnya kekuatan ijin ikrar talak, maka tidak ada
langkah lain yang harus ditempuh agar status termohon jelas dan perceraian
dapat terjadi, kecuali pihak istri harus mengajukan gugatan cerai terhadap
suami, sesuai dengan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan demikian Undang-Undang hanya memberikan perlindungan
hukum terhadap Termohon akibat perceraian, akan tetapi tidak ada
perlindungan hukum yang tegas terhadap termohon akibat tidak
dilaksanakan sidang ikrar talak serta tidak adanya sanksi akibat dari ketidak
hadiran pemohon dalam sidang ikrar talak.
B. Saran
Melihat banyaknya kasus dalam perkara perceraian khususnya perkara
cerai talak dalam hal pemohon tidak melaksanakan sidang ikrar talak, maka
penulis akan memberikan masukan atau saran sebagai berikut:
1. Agar kepastian hukum tercipta maka perlu adanya aturan hukum yang tegas
khususnya untuk pihak pemohon (suami) yang tidak bersedia melaksanakan
sidang ikrar talak dan perlu juga adanya sanksi pasca gugurnya penetapan
ikrar talak tersebut misalnya akta cerai untuk suami ditahan untuk sementara
atau membayar denda setelah istri mengajukan gugatan cerai.
2. Upaya hukum yang dilakukan oleh termohon pasca gugurnya penetapan
ikrar talak harus secara jelas diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Untuk memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya
kepada pihak termohon hendaknya pengadilan dalam menjatuhkan putusan
khususnya dalam hal menghukum pemohon untuk membayar kewajiban
terhadap istri ditetapkan seselektif mungkin agar putusan tersebut tidak sia-
sia, karena apabila putusan itu dirasakan berat oleh pemohon, seringkali
pemohon tidak bersedia melaksanakan sidang ikrar talak, demi terhindarnya
dari kewajiban yang ditetapkan Pengadilan Agama
4. Dalam hal perlindungan hukum terhadap istri akibat gugurnya penetapan
ikrar talak, pihak Pengadilan Agama agar mensosialisasikan langkah hukum
yang harus ditempuh ketika pasca gugurnya penetapan ikrar talak,
khususnya terhadap termohon untuk menghindari ketidakpahaman terhadap
hukum acara karena mayoritas yang berperkara di Pengadilan Agama adalah
masyarakat awam.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Arto, Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Glagah Fajri, Emzul & Ratu Aprilia. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa publisher. Harahap, M Yahya. 2003. Kewenangan, Kedudukan Dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 7 Tahuin 1989. Jakarta: Sinar Grafika Hoerudin, Ahrum. 1999. Pengadilan Agama: Bahasan tentang Pengertian, Pengajuan, dan Kewenangan Pengadilan Agama, setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penerbit Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA Mustofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Pernada Media Cet.1 Nasution, Khoiruddin.2002. Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia. Jakarta INIS 2002 Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sampai KHI . Soekanto, Soejono. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Penerbit Jakarta: Raja Grafindo Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa Supriatna, Fatma Amilia & Yasin Baidi. 2009. Fiqih Munakahat II. Yogyakarta: TERAS Sutantio, Retnowulan & Iskandar Oeripkartawinata. 1979. Hukum acara perdata dalam teori dan praktek. Penerbit Bandung: CV. Mandar Maju Sutantio, Retnowulan. 1979. Wanita dan hukum. Bandung: Alumni Syahlani, Hensyah. 1993. Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Pengadilan Agama. Mahkamah Agung Republik Indonesia Thalib, Sayuti. 1974. Hukum Keluarga Indonesia. Yayasan penerbit, Jakarta: Universitas Indonesia Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Perundang-Undangan Departemen Agama Republik Indonesia. 2001. Bahan Penyuluhan Hukum :
Instruksi Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam. Jakarta
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 1994. Proyek Peningkatan Dan Pembinaan Hukum. Jakarta
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2009, Mahkamah Agung RI
Peraturan Pemerintah Nonor 9 Tahun 1975 Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penerbit Surabaya: ARKOLA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penerbit Surabaya: ARKOLA Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Armas Duta Jaya Jakarta 1990
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara di Pengadilan Agama Ambarawa Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 04 Juni 2012 di kantor Pengadilan Agama Ambarawa
a. Apakah cerai talak wajib dilaksanakan di Pengadilan Agama pak?dasar hukumnya apa?
b. Bagaimana apabila dalam pelaksanaan ikrar talak salah satu pihak tidak hadir?apa dipanggil ulang atau tetap dilanjutkan?
c. Biasanya Apa faktor yang melatarbelakangi ketidakhadirannya pak? d. Bagaimana apabila dalam pelaksanaan ikrar talak salah satu pihak tidak
hadir?apa dipanggil ulang atau tetap dilanjutkan? e. Kalau penetapannya gugur terus bagaimana nasibnya pihak istri
pak?padahal sudah tidak ada kecocokan lagi dalam membina rumah tangga..
f. Apa ada perlindungan hukumnya?
Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 07 Juni 2012 di kantor Pengadilan Agama Ambarawa a. Bagaimana tata cara mengajukan permohonan talak? b. Bagaimana tata cara pengucapan ikrar talak? c. Apakah dalam pengucapan ikrar talak pemohon dan termohon wajib hadir? d. Apa upaya hukum istri terhadap gugurnya kekuatan hukum penetapan izin
ikrar talak?
Wawancara dengan pihak yang berperkara cerai talak tanggal 11 Juni 2012. di kantor Pengadilan Agama Ambarawa a. Kapan diajukannya permohonan cerai talak bu? b. Gimana bu dalam proses persidangannya? c. Maaf sebelumnya, kalau boleh tau kenapa ibu kok mau dicerai oleh suaminya
bu? d. Kenapa kok suami ibu tidak jadi mentalak? e. Apa ibu tau kemana suami ibu kok tidak hadir dalam sidang? f. Terus langkah ibu selanjutnya apa dengan tidak jadinya perceraian ini bu?
Wawancara dengan pihak yang berperkara cerai talak tanggal 11 Juni 2012. a. Kapan itu pak diajukannya permohonan cerai talak? b. Gimana pak dalam proses persidangannya, mungkin bapak tau?
c. Mungkin bapak tau kenapa kok ibu NI mau dicerai? d. Kenapa kok suaminya ibu NI tidak jadi mentalak? e. Apa bapak tau kenapa suaminya ibu NI tidak hadir pada saat pengucapan talak
itu? f. Terus menurut bapak langkah selanjutnya apa dengan tidak jadinya perceraian
ini?
Wawancara ketiga kepada seorang ibu bernama MS yang baru saja mencerai gugat suaminya pada tanggal 14 Juni 2012 di Pengadilan Agama Ambarawa a. Ada perlu apa bu dsini (Pengadilan Agama Ambarawa)? b. Kapan ibu mengajukan gugatan itu? c. Maaf sebelumnya, kalau boleh tau kenapa ibu kok menceraikan suaminya? d. Kenapa kok tidak selesai bu? e. Kapan itu bu diajukan cerai talaknya dan apa ibu tau alasannya kok tidak
datang? f. Terus langkah ibu selanjutnya apa dengan tidak jadinya perceraian ini bu?
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : R. Abdul Malik
Tempat/Tgl Lahir : Kab. Magelang, 31 Maret 1988
Agama : Islam
Alamat : Tumbu RT 02/02 Purwodadi Tegalrejo Magelang
Pendidikan :
- MI Purwodadi lulus tahun 1997
- MTs N Kota Magelang lulus tahun 2003
- SMK 45 Kota Magelang lulus tahun 2006
Salatiga, 14 September 2012
R. Abdul Malik