28
i

PROSIDING - unesa.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROSIDING - unesa.ac.id

i

Page 2: PROSIDING - unesa.ac.id

ii

PROSIDING

Seminar Nasional Pendidikan Matematika

Tema

Mengembangkan Peran Pendidikan Matematika untuk Membangun Kecerdasan Bangsa

Surabaya, 10 Desember 2016

Page 3: PROSIDING - unesa.ac.id

iii

Alumni S3 Pendidikan Matematika

Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya PROSIDING

Seminar Nasional Pendidikan Matematika

“Mengembangkan Peran Pendidikan Matematika

untuk Membangun Kecerdasan Bangsa”

Editor: Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd

Editor Pelaksana: Ahmad Wachidul Kohar, M.Pd

Sugi Hartono, M.Pd Cover:

Sugi Hartono, M.Pd

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau

memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara

elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi atau merekam dengan teknik

apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

Diterbitkan oleh Unesa Unversity Press

ISBN : 978-602-449-023-2

Page 4: PROSIDING - unesa.ac.id

iv

Tim Penilai Makalah (Reviewer): Prof. Dr. Mega T. Budiarto, M. Pd (Universitas Negeri Surabaya)

Prof. Dr. Irwan Akib, M. Pd (Universitas Muhammadiyah Makassar)

Prof. Dr. Sunardi, M. Pd (Universitas Negeri Jember)

Prof. Dr. Wahyu Widada, M. Pd (Universitas Bengkulu)

Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M. Pd (Universitas Negeri Surabaya)

Dr. Subanji, M.Si (Universitas Negeri Malang)

Page 5: PROSIDING - unesa.ac.id

v

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan Matematika dengan tema “Mengembangkan Peran Pendidikan Matematika untuk

Membangun Kecerdasan Bangsa” dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding ini merupakan

kumpulan makalah yang telah dipresentasikan oleh para pemakalah dalam seminar yang

diselenggarakan oleh alumni S3 Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

pada tanggal 10 Desember 2016 di gedung pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Seminar

Nasional ini diselenggarakan sekaligus dalam rangka pembentukan ikatan alumni S3 Pendidikan

Matematika UNESA. Ikatan alumni S3 Pendidikan matematika merupakan bagian dari ikatan alumni

Unesa (IKA Unesa) yang khusus berkecimpung dalam pengembangan bidang pendidikan matematika.

Alumni S3 Pendidikan matematika beranggotakan alumni angkatan pertama, yaitu angkatan 1999

sampai angkatan terakhir lulusan yang berada dari Aceh hingga Papua.

Sesuai dengan tema seminar, semua makalah menyajikan berbagai ragam kajian teoritis maupun

hasil penelitian pendidikan matematika yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

peningkatankecerdasan bangsa. Makalah yang dimuat dalam prosiding ini telah melalui tahap seleksi

abstrak, seleksi makalah, penilaian terhadap makalah berdasarkan hasil telaah penilai, dan perbaikan

makalah oleh penulis berdasarkan hasil telaah Makalah yang dimuat berjumlah 60 makalah (2

makalah pembicara utama dan 58 makalah pembicara regular). Makalah pembicara reguler

dikelompokkan dalam tujuh kelompok studi untuk memudahkan pembaca mempelajari artikel sesuai

dengan minat dan ketertarikan. Kelompok studi ini adalah (1) Pembelajaran bilangan (7 makalah) , (2)

Geometri dan pembelajarannya (6 makalah), (3) Argumentasi, Pembuktian, dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi (8 makalah), (4) Afektif dan Berpikir Matematis (15 makalah), (5) Sosio-kultural

dan Etnomatematika (5 makalah), (6) Rancangan Pembelajaran Matematika dan PTK (11 makalah),

dan (7) Pengembangan Profesi dan Pendidikan Guru Matematika (6 makalah). Semoga prosiding

seminar ini dapat menjadi catatan historis bermacam pemikiran intelektual di negeri ini yang

bermanfaat khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan matematika

Kami mewakili para alumni menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada para mantan dosen yaitu almarhum Prof Drs. R. Soedjadi, almarhum Prof. Drs. R.

Soehakso, almarhum Prof. Drs. Herman Hudojo, M.Ed, almarhum Prof. Suyanto,Ph.D, almarhum

Prof. Sugeng Mardiyono, Ph.D, Prof. Dr. Akbar Sutawijaja, Prof. Dr. St. Suwarsono, Prof. I Ketut

Budayasa, Ph.D, Prof. Dr. Susanti Linuwih, Prof. Dr. Frans Susilo, Prof. Dr. Prabowo, Prof. Dr.

Muhammad Nur, Prof. Dr. Dwi Juniati, Dr. Yansen Marpaung, Dr. Agung Lukito, Dr. Yusuf Fuad,

Prof. Dr. Siti M. Amin, Prof. Dr. Mega Teguh Budiarto, Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, dan Dr. Siti

Khabibah. Sebagai wakil panitia kami menyampaikan terima kasih kepada para alumni dan peserta

seminar yang berpartisipasi, semua panitia, tim editor, dan tim penilai makalah yang telah bekerja

keras untuk pelaksanaan kegiatan, Direktur Pascasarjana Unesa, Dekan FMIPA UNESA, dan rektor

UNESA yang telah memberikan fasilitas sarana dan prasarana seminar.

Kami panitia juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika masih terdapat

kekurangan dalam pelaksanaan seminar. Semoga seminar ini menyatukan kita untuk berkarya yang

lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.

Surabaya, Juni 2017

Editor

Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd

Page 6: PROSIDING - unesa.ac.id

vi

DAFTAR ISI

Tim Penilai Makalah (Reviewer) iii

Kata Pengantar iv

Daftar Isi v

Makalah Pembicara Utama

Etno-matematika: Sebagai Batu Pijakan untuk Pembelajaran Matematika

Mega Teguh Budiarto

1

Pembelajaran Geometri Siswa : Menumbuhkembangkan Kemampuan Visuospasial

melalui Kegiatan Pengonstruksian Bangun Geometri

Ronaldo Kho 10

Kelompok Studi 1: Pembelajaran Bilangan dan Aljabar

Proses Generalisasi Pola Siswa Kelas VIII

Mu’jizatin Fadiana

16

Penalaran Siswa dalam Memahami Konsep Pecahan

Evi Widayanti

22

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar dengan Media Pohon Setimbang Pada Materi

Pecahan

Ema Surahmi

32

Profil Number Sense Siswa SMP ditinjau dari Gaya Kognitif

Masriyah, Umi Hanifah

38

Workshop Pemanfaatan Video Pembelajaran Berdasarkkan Standar PMRI

Cut Morina Zubainur, Rahmah Johar

46

Proses Berpikir Siswa dalam Pemahaman Bilangan Bulat dengan Pemberian Scaffolding

Pada Kelas VI SD Inpres Perumnas Antang I Makassar

Awi Dassa, Ramlan, Irmayanti

55

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Operasi Hitung Bilangan Bulat Melalui

Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Di Kelas V SD Negeri 2 Ambon

Wilmintjie Mataheru 60

Kelompok Studi 2 : Geometri dan Pembelajarannya

Pembelajaran Geometri Sekolah dan Problematikanya

Sunardi

68

Analisis Kesalahan Siswa Kelas IX SMPN 3 Rambipuji dalam Menyelesaikan Soal Essay

Materi Luas “Takebo”

Page 7: PROSIDING - unesa.ac.id

vii

Sugiarto

76

Penerapan Metode Mind Mapping Sebagai Instrumen Penilaian Hasil Belajar Siswa Pada

Pembelajaran Geometri Bangun Ruang

Adi Leksmono

82

Profil Proses Berpikir Siswa Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Permasalahan

Geometri Bangun Ruang Berdasarkan Kerangka Pikir Mason

Ahmad Rofi’I

89

Konsepsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar Terhadap Jajargenjang

Fara Virgianita Pangadongan

98

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Geometri Berbasis Model Inkuiri Terbimbing

dengan Pendekatan Saintifik Berbantuan Laboratorium Mini untuk Siswa Kelas VIII SMP

Djadir, Abdul Razzaq, Nurdin Arsyad 105

Kelompok Studi 3 : Argumentasi, Pembuktian, dan Pembelajaran di Perguruan

Tinggi

Mengidentifikasi Kesalahan Mahasiswa dalam Membuktikan Teorema Teorema

Kesebangunan Segitiga Dengan Metode Think Aload

Susanto

118

Model Pembelajaran STAD Berbantuan Media Powerpoint Pada Mata Kuliah Persamaan

Diferensial

Agus Subaidi

123

Analisis Kesalahan Newman (NEA) Pada Pemecahan Masalah Geometri Mahasiswa

ditinjau dari Gaya Kognitif

Harina Fitriyani, Uswatun Khasanah

129

Peningkatan Pemahaman Konsep Mahasiswa Pada Mata Kuliah Struktur Aljabar dengan

Pendekatan Creative Problem Solving

Kenys Fadhilah Zamzam

135

Himpunan Kosong, Keunikan Sifat-Sifatnya dan Alternatif Pembelajarannya

Masriyah

140

Kemampuan Mahasiswa Pendidikan Matematika dalam Menyelesaikan Masalah

Berdasarkan Gaya Kognitif

Jackson Pasini Mairing

146

Pengaruh Strategi Pembelajaran Ekspositori, Pengajuan Masalah, dan Kemampuan Awal

Terhadap Hasil Belajar dan Keterampilan Berpikir Kreatif

Rita Yuliastuti

154

Profil Lapisan Pemahaman Konsep Turunan Fungsi dan Folding-back Mahasiswa Calon

Guru Matematika Laki-laki

Viktor Sagala 163

Kelompok Studi 4: Afektif dan Berpikir Matematis

Profil Penalaran Siswa dalam Memecahkan Masalah Open-Ended Ditinjau dari

Page 8: PROSIDING - unesa.ac.id

viii

Kemampuan Komunikasi Matematika

Hairus Saleh

174

Pemahaman Siswa SMA Berkemampuan Matematika Tinggi dalam Pemecahan Masalah

Dimensi Tiga

Kurniawan

179

Analisis Kemampuan Problem Solving Siswa dalam Menyelesaikan Soal Aljabar Menurut

Tahapan Polya

Slamet Widodo, Susiswo

188

Math Self-Efficacy dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Perbedaan

Gender

Kukuh Widodo

195

Peningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Melalui DL dan PBL

“WAW” Berdasarkan Adversity Quotient

Jayanti Putri Purwaningrum

203

Karakteristik Metakognisi dalam Literasi Matematika

Theresia Laurens

213

Profil Berpikir Matematis Rigor Siswa Quitter dalam Memecahkan Masalah Matematika

Mega Ervannanda Putri, Ipung Yuwono, Sisworo

219

Proses Berpikir Pseudo Siswa dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Eksponensial dan

Logaritma

Ratna Yulis Tyaningsih, Nurita Primasatya

226

Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas SMA Negeri 1 Sungguminasa

Kabupaten Gowa dalam Menyelesaikan Soal Fungsi Kuadrat

Nur Fadillah Amir, Susiswo

237

Profil Pemahaman Konseptual Calon Guru dalam Menyelesaikan Masalah Matematika

dengan Kecerdasan Emosional Rendah

Sunyoto Hadi Prayitno

245

Profil Proses Berpikir Siswa SMA dalam Menyelesaikan Masalah Pemrograman Linear

Ditinjau dari Kemampuan Matematika dan Gender

Wigig Waskito

257

Analisis Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMA Negeri 4 Banda Aceh Pada

Materi Program Linear

Khairatul Ulya Phonna, Susiswo

267

Profil Penalaran Siswa Laki-Laki dan Perempuan SD dalam Menyelesaikan Masalah

Pecahan

Iis Holisin

273

Budaya, Proses Berpikir, dan Pembelajaran Matematika

Hartanto Sunardi

290

Profil Pemecahan Masalah Geometri Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

(Suatu Kajian Analisis pada Siswa MAN Model Banda Aceh)

Zainal Abidin 296

Page 9: PROSIDING - unesa.ac.id

ix

Kelompok Studi 5: Sosio-kultural dan Etnomatematika

Kajian Matematis pada Pembangunan Rumah Sederhana di Banyuwangi

Rachmaniah, M. Hariastuti, Aminatul Jannah

306

Analisis Kebutuhan Bahan Ajar Matematika SMP/MTs kelas VII berbasis Karakter Islami

Dwi Astuti, Uswatun Khasanah, Harina Fitriyani

316

Pembelajaran Berbasis Etnomatematika

Sri Rahmawati Fitriatien

323

Penelitian Literasi Matematis dalam Pembelajaran Matematika pada Jurnal

Nasional dan Internasional

Janet Trineke Manoy, Dini Kinanti Fardah

330

Analisis Nilai-Nilai Matematika Pada Pembelajaran dalam Kerangka Kajian Budaya

Jambi

Kamid, Yelli Ramalisa 336

Kelompok Studi 6: Rancangan Pembelajaran Matematika dan PTK

Comparison of Cambridge and Indonesian Secondary Mathematics Curricula: The

Mapping of Learning Materials

Zainal Abidin

341

Deskripsi Perubahan Hasil Pembelajaran Matematika pada Materi Lingkaran

dengan Penerapan Strategi Icare-s Bagi Siswa Sekolah Tingkat Menengah Pertama

Usman Mulbar, Nasrullah

347

Pengaruh Penggunaan Strategi Pembelajaran Gasing Terhadap Hasil Belajar Matematika

Siswa SMP Negeri 13 Makassar

Andi Mulawakkan Firdaus

354

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Pembentukan Konsep

dengan Pendekatan Konstruktivis serta Implementasinya di SMP Negeri 1 Mataram

Nyoman Sridana, Harry Soeprianto,Wahidaturrahmi, Yunita, Septriana Anwar

360

Efektivitas Pembelajaran Berorientasi Berpikir Probabilistik: Fokus Pada Aktivitas Siswa

Dwi Ivayana Sari, Didik Hermanto

367

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Advance Organizer Dengan Pendekatan

Keterampilan Metakognitif dalam Pembelajaran Matematika Siswa Kelas VIII SMP

Negeri 6 Enrekang

Nurdin Arsyad, Ananda Aan Awal

373

Implementasi Srategi React (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering)

Pada Tutorial Statistika Pendidikan di Universitas Terbuka

Tri Dyah Prastiti

379

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Model Eliciting Activities

Berbantuan Kartu Soal Untuk Membentuk Self-Confidence Siswa SMP

Rasiman, Fitri Setio Wati 387

Page 10: PROSIDING - unesa.ac.id

x

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Matematika (Penelitian

Eksperimen Semu Tipe NHT dan TGT pada Siswa SMPN Kabupaten Gowa)

Zul Jalali Wal Ikram

393

Analisis Kesalahan Konten Matematika Pada Buku Siswa Tematik Sekolah Dasar Kelas

VI Kurikulum 2013

Erik Valentino

404

Pengaruh Resource-Based Learning Berbantuan CD Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar

Siswa

Puji Rahayu 415

Kelompok Studi 7: Pengembangan Profesi dan Pendidikan Guru Matematika

Pemaduan Kompetensi Profesional dan Kompetensi Pedagogi Dalam Kurikulum

Pendidikan Matematika

Ipung Yuwono

424

Analisis Kemampuan Calon Guru Matematika dalam Menerapkan Pendekatan Saintifik

Berdasarkan Kurikulum 2013

Mohammad Tohir, A. Wida Wardani

430

Pengaruh Pengetahuan Guru terhadap Hasil Belajar Siswa

Sugilar

446

Keyakinan, Pengetahuan, dan Praktik Guru dalam Pemecahan Masalah Matematika

Tatag Yuli Eko Siswono, Ahmad Wachidul Kohar, Sugi Hartono

452

Modeling Kolaborasi Guru Matematika SMP Kota Surakarta dalam Meningkatkan

Kompetensi Pedagogik Menggunakan Edmodo

Imam Sujadi, Sutopo, Ira Kurniawati, Rini Kurniasih

470

Pelatihan Pembuatan LKS Matematika SMP/MTs Berbasis Scientific Approach

Hobri, Susanto, Randi Pratama Murtikusuma

476

Page 11: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 453 ~

KEYAKINAN, PENGETAHUAN, DAN PRAKTIK GURU

DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

Tatag Yuli Eko Siswono1)

, Ahmad Wachidul Kohar 2)

, Sugi Hartono 3)

1), 2), 3)Universitas Negeri Surabaya

1)[email protected],

2)[email protected],

3)[email protected]

Abstrak. Pemecahan masalah telah menjadi tujuan pendidikan matematika dan fokus pembelajaran

matematika di Indonesia sejak lama. Namun demikian, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

belum tampak memuaskan. Perubahan kurikulum beberapa dekade tetap menekankan pada pemecahan

masalah. Hal tersebut karena bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa pemecahan masalah memberikan

manfaat dalam meningkatkan pemahaman konsep, penalaran, berpikir kritis dan berpikir kreatif, serta aspek-

aspek afektif seperti keingintahuan, daya juang, ketelitian, atau kesukaan terhadap matematika. Guru ataupun

calon guru sebenarnya telah dibekali pengetahuan tentang materi maupun pedagogi terkait pemecahan

masalah selama studi atau pelatihan-pelatihan. Pengetahuan tersebut digunakan dalam praktik pembelajaran

di kelas masing-masing. Ketika proses pelaksanaan di kelas sebenarnya ada faktor penting yang selama ini

belum banyak digali, yaitu keyakinan guru sendiri terhadap materi matematika, pengajaran dan pandangan

terhadap siswa yang belajar. Apa sebenarnya keyakinan, pengetahuan, dan praktik guru serta bagaimana

hubungan ketiganya dalam pembelajaran matematika? Makalah ini akan berupaya mendeskripsikan

pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kata Kunci: keyakinan, pengetahuan, praktik, pemecahan masalah, guru

Pendahuluan

Pemecahan masalah telah menjadi sentral pembelajaran matematika sejak lama sehingga menjadi isu

penting dalam pendidikan matematika. Pemecahan masalah sebagai salah satu dari lima kompetensi standar

dalam matematika yang disebutkan oleh NCTM (2000) tidak hanya mengembangkan konsepsi individu

tentang aspek-aspek matematika, tetapi juga membantu individu untuk beradaptasi dengan berbagai masalah

dalam banyak aspek kehidupan mereka. NCTM (2000) juga merekomendasikan pemecahan masalah sebagai

fokus dalam pembelajaran matematika karena kemampuan ini meliputi keterampilan dan fungsi yang

merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari.

Implementasi pemecahan masalah matematika di Indonesia belum menghasilkan hasil yang memuaskan

meskipun telah menjadi salah satu fokus kurikulum matematika sekolah sejak tahun 1968 (Depdiknas, 2009).

Bahkan hasil studi menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk memecahkan masalah matematika masih

lemah seperti yang ditunjukkan oleh survei penelitian internasional seperti TIMSS dan PISA. Hasil TIMSS

2011 (Muflis, Martin, Foy, and Aurora, 2012) yang diikuti oleh siswa menengah kelas 8 melaporkan bahwa

Indonesia hanya memperoleh peringkat 38 dari 42 negara dengan skor 386 dari nilai standar TIMSS, 500,

sedangkan laporan PISA terbaru pada tahun 2012, yang diikuti oleh siswa umur 15-tahun, Indonesia hanya

menduduki peringkat 64 dari 65 negara. Dalam studi ini bahkan hampir semua siswa Indonesia (98,5%)

hanya mampu mencapai level 3 dari 6 level soal yang diberikan (OECD 2013, National Center for Education

Statistics USA, 2013). Penelitian tentang performa siswa Indonesia pada pemecahan masalah juga

mendukung temuan ini. Hasil studi Siswono, Abadi, dan Rosyidi (2008) pada 202 siswa dari lima sekolah

dasar di Sidoarjo menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (terutama masalah

terbuka) masih rendah yang ditunjukkan dengan data yang kemampuan siswa untuk memecahkan masalah

yang menunjukkan kefasihan hanya 17,8%, kebaruan 5,0%, dan fleksibilitas 5,4%. Hasil ini juga didukung

oleh studi dari Kohar & Zulkardi (2015) dan Wijaya, van den Heuvel-Panhuizen, Doorman, & Robitzschc

(2014) yang masing-masing menyelidiki secara kualitatif sejauh mana siswa mampu menyelesaikan soal

pemecahan kontekstual dimana sebagian besar siswa mengalami kegagalan di tahap awal pemecahan

Page 12: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 454 ~

masalah kontekstual yaitu merancang strategi untuk mengubah situasi kontekstual ke dalam model

matematika yang tepat.

Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti latar belakang kemampuan matematika siswa,

ketersediaan sumber belajar, keyakinan guru, kemampuan guru, fasilitas, proses belajar, serta kebijakan

pendidikan nasional. Guru sebagai faktor penting dalam pengembangan kemampuan siswa memiliki peran

untuk membangun pemahaman siswa pada penerapan ide pemecahan dalam kehidupan nyata.

Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dikenal sebagai tugas penting bagi guru matematika.

Namun, beberapa bukti menunjukkan masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan untuk dapat

menerapkan pendekatan pemecahan masalah di kelas mereka (Hollingsworth et al, 2003). Untuk mengetahui

penyebab adanya temuan ini, para ahli menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru dalam

menerapkan pemecahan masalah (Ernest, 1989; Fennema, Carpenter, & Peterson, 1989; Raymond, 1997).

Faktor-faktor tersebut meliputi keyakinan guru, pengetahuan guru, dan praktik pengajaran guru itu sendiri.

Dalam usaha menelusuri faktor-faktor tersebut, beberapa ahli mencoba mengkonseptualisasikan dan

mengembangkan model hubungan antara keyakinan, pengetahuan, dan praktik pengajaran guru (lihat

Anderson et al, 2005; Fennema dkk., 1989; Raymond, 1997). Sementara yang lain melaporkan bagaimana

model-model yang dikembangkan tersebut dikonfirmasikan untuk kepentingan praktis (lihat Purnomo et al,

2016; Siswono dkk, 2017). Misalnya, secara konseptual, Fennema dan rekan-rekannya menekankan bahwa

kualitas pengajaran kelas ditentukan oleh keputusan guru, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh interaksi

antara pengetahuan dan keyakinan. Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah matematika, interaksi

tersebut kemudian dipelajari oleh Siswono dkk (2017a) pada tiga guru matematika SMP yang menemukan

bahwa keyakinan guru memiliki hubungan yang kuat dengan pengetahuan guru tentang pemecahan masalah.

Secara khusus, keyakinan guru bertipe instrumental dalam studi mereka konsisten dengan pengetahuannya

yang tampak tidak cukup tentang pemecahan masalah, sementara keyakinan guru bertipe platonis dan

keyakinan guru bertipe pemecahan masalah masing-masing konsisten dengan pengetahuan mereka tentang

konten dan pemecahan masalah pedagogis yang tampak sama-sama cukup.

Makalah ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran pemecahan

masalah ditinjau dari guru. Faktor-faktor ini meliputi keyakinan guru, pengetahuan guru, dan praktik

pengajaran guru terkait pemecahan masalah matematika.

Pengetahuan Guru terhadap Pemecahan Masalah

Dalam dekade terakhir ini, banyak perhatian diberikan oleh para peneliti dan praktisi terhadap jenis

pengetahuan yang diperlukan guru untuk mengajar matematika. Kategori pengetahuan guru yang dirumuskan

oleh Ball, Thames, dan Phelps (2008), sebagai contoh, telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

pengembangan pendidikan guru matematika sebagai salah satu dasar untuk memahami makna dari

pengetahuan matematika yang diperlukan guru. Dalam hal ini, Ball dkk menekankan bahwa guru matematika

memerlukan pengetahuan yang secara khusus yang tidak dibutuhkan oleh profesi lain. Sebagai contoh,

tuntutan pemahaman matematika yang perlu dikuasai seorang guru matematika akan berbeda dengan dengan

pemahaman matematika yang diperlukan oleh seorang matematikawan. Lebih lanjut, Ball dkk juga

menegaskan bahwa kemampuan matematika secara umum tidak mencerminkan secara utuh pengetahuan dan

keterampilan yang dibutuhkan dalam pembelajaran matematika yange efektif. Demikian pula dalam

kaitannya dengan pemecahan masalah, Chapman (2015) mengungkapkan bahwa pengetahuan yang

diperlukan untuk mengajar pemecahan masalah matematika secara efektif juga seharusnya lebih dari sekedar

kemampuan pemecahan masalah itu sendiri.

Mengajar pemecahan masalah membutuhkan beberapa pemahaman yang berhubungan dengan beberapa

macam pengetahuan. Chapman (2015) menyebutkan tiga jenis pengetahuan untuk pemecahan masalah:

pengetahuan konten pemecahan masalah, pengetahuan pedagogis pemecahan masalah, dan faktor-faktor

afektif dan keyakinan terhadap pemecahan masalah matematika. (lihat tabel 1).

Page 13: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 455 ~

Tabel 1 Jenis pengetahuan guru dalam pemecahan masalah matematika (Chapman, 2015)

Tabel 1 menjelaskan kategori pengetahuan pemecahan masalah menjadi tiga kategori utama, yaitu

pengetahuan konten pemecahan masalah, pengetahuan pedagogis pemecahan masalah, dan pengetahuan

tentang faktor afektif yang berkaitan dengan pengajaran pemecahan masalah. Pengetahuan konten

pemecahan masalah dijelaskan sebagai berikut. Pengetahuan konten meliputi empat hal. Pertama,

pengetahuan tentang makna masalah. Guru perlu memahami masalah berdasarkan struktur dan tujuan

mereka dalam rangka untuk membimbing siswa menemukan solusi termasuk di dalamnya pemahaman

tentang jenis tugas, seperti tugas kognitif; tugas dengan potensi untuk mengembangkan kreativitas

matematika dalam pemecahan masalah; tugas yang menuntut masalah yang umumnya memungkinkan untuk

berbagai strategi pemecahan masalah; tugas matematika yang kaya, dan tugas berbasis masalah terbuka.

Kedua, pengetahuan tentang kemahiran dalam pemecahan masalah. Untuk ini, Chapman menguraikan

kategori ini menjadi 4, yaitu (1) pemahaman konseptual tentang konsep-konsep, prosedur dan hubungan-

hubungan mtematika, (2) pemahaman tentang strategi heuristik dan strategi-straegi khusus serta kapan dan

bagaimana menggunakannya dalam menyelesaikan masalah matematika, (3) kemampuan berpikir logis dan

pemahaman terhadap refleksi atas kesadaran diri, pemantauan dan pengendalian, serta pengawasan terhadap

kognitif sendiri selama melakukan proses pemecahan masalah, dan (4) memiliki keyakinan terhadap

matematika, pemecahan masalah, dan kemampuan pemecahan masalah sendiri yang dapat mendukung

motivasi dan kepercayaan diri.

Ketiga, pengetahuan tentang pemecahan masalah. Pengetahuan ini diperlukan misalkan untuk memahami

bahwa pemecahan masalah tidak hanya dipandang sebagai proses saja, tetapi juga sebagai sebuah cara

berpikir (a way of thinking). Mayer dan Wittrock (2006) mendeskripsikan cara berpikir ini meliputi bernalar

baik secara induktif dan deduktif, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan pengambilan keputusan. Pemahaman

ini, seperti yang diungkapkan Chapman, akan mempengaruhi perspektif seorang guru dalam membangun

model pemahaman tentang proses pemecahan masalah. Model-model pemecahan masalah ini telah

dirumuskan oleh berbagai ahli seperti Schoenfeld (1985): analisis, desain, eksplorasi, implementasi, dan

verifikasi; Mayer dan Wittrock (2006): menyajikan (representing), merencanakan/memantau

(planning/monitoring), melaksanakan (executing), dan pengaturan diri (self-regulating), dan Polya(1957):

Kategori Sub kategori Deskripsi

pengetahuan

konten

pemecahan

masalah

(Problem

solving

content

knowledge)

kemahiran

pemecahan

masalah

matematika

Memahami apa saja yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah

matematika

masalah

matematika

Memahami masalah yang bermakna, struktur dan tujuan dari tipe tipe

masalah yang berbeda, dan pengaruhnya terhadap karakteristik siswa

pemecahan

masalah

matematika

Menjadi mahir dalam memecahkan masalah

Pemahaman memecahkan sebagai cara berpikir masalah matematika;

model pemecahan masalah dan makna dan penggunaan strategi

heuristik; bagaimana menafsirkan solusi yang tidak biasa; dan implikasi

dari pendekatan yang berbeda yang digunakan siswa

pengajuan

masalah

matematika

Pemahaman pengajuan masalah sebelum, selama dan setelah

pemecahan masalah

pengetahuan

pedagogis

pemecahan

masalah

(Pedagogical

problem

solving

knowledge)

Siswa sebagai

pemecah

masalah

matematika

Memahami apa siswa tahu, bisa lakukan, dan tidak dilakukan

(misalnya, kesulitan dengan pemecahan masalah; karakteristik pemecah

masalah yang baik; pemikiran siswa pada pemecahan masalah)

Praktik

pengajaran

pemecahan

masalah

matematika

Memahami bagaimana membantu siswa untuk menjadi pemecah

masalah yang lebih baik (misalnya, teknik instruksional untuk strategi-

strategi heuristik, metakognisi, penggunaan teknologi, dan penilaian

kemajuan siswa pada pemecahan masalah; kapan dan bagaimana

melakukan intervensi selama siswa melakukan pemecahan masalah) .

faktor-faktor afektif dan

keyakinan guru

Memahami sifat dan dampak dari faktor afektif yang produktif dan

tidak produktif dan keyakinan pada belajar dan mengajar pemecahan

masalah

Page 14: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 456 ~

memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa

kembali. Apapun model pemecahan masalah yang dipelajari, Chapman menegaskan bahwa guru perlu

memiliki pemahaman konseptual dan prosedural tentang model-model pemecahan masalah tersebut agar

dapat memahami tahap-tahap yang diperlukan oleh seorang pemecah masalah dan proses berpikir yang

dilibatkan dalam usaha menemukan solusi masalah yang sedang diselesaikan.

Keempat, pengetahuan tentang pengajuan masalah matematika. Pengetahuan ini mengacu pada pendapat

Silver (1994) yang mengemukakan problem posing sebagai aktivitas merumuskan masalah baru dan

merumuskan kembali masalah yang diberikan. Lebih lanjut Silver (1994) memberikan istilah problem posing

diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu: (1) Pengajuan sebelum

solusi (presolution posing), yaitu pengajuan dapat terjadi sebelum masalah diselesaikan. Masalah dapat

dihasilkan dari informasi yang diberikan berupa cerita, gambar, diagram, dan lain sebagainya, (2) Pengajuan

di dalam solusi (within-solution posing), yaitu pengajuan terjadi saat siswa menyelesaikan masalah yang

kompleks. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang kompleks, siswa membuat masalah baru yang lebih

sederhana yang dapat mengantarkan pada dpenyelesaian masalah yang kompleks, dan (3) Pengajuan setelah

solusi (post-solution posing), yaitu pengajuan terjadi ketika siswa telah menyelesaikan masalah. Siswa

membuat masalah baru yang serupa dengan masalah yang telah diselesaikan.

Kategori pengetahuan yang kedua, yaitu pengetahuan pedagogis pemecahan masalah, terdiri dari dua

subkategori. Pertama, pengetahuan tentang siswa sebagai pemecah masalah. Pengetahuan ini, menurut

Chapman, akan membantu guru mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang sesuai pada siswa.

Secara umum, pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang kesulitan pemecahan masalah yang dialami

siswa, karakteristik pemecah masalah yang sukses, dan proses berpikir dalam pemecahan masalah. Namun,

untuk mendukung pengembangan kemampuan pemecahan masalah siswa, perspektif pembelajaran saat ini

menunjukkan bahwa pengetahuan ini dapat dipahami dari sudut pandang siswa dengan fokus untuk

membangun apa yang siswa ketahui dan dapat lakukan dalam mencoba memecahkan masalah dengan cara

mereka sendiri. Kedua, pengetahuan tentang pengajaran pemecahan masalah. Secara umum, Chapman

memberikan gambaran tentang hal-hal yang perlu dipahami. Menurutnya, guru perlu memahami praktik

pembelajaran yang mengembangkan strategi dan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah. Guru

harus memiliki kompetensi strategis untuk menghadapi tantangan pemecahan masalah selama pengajaran.

Guru perlu juga memahami berbagai bentuk implikasi dari pendekatan-pendekatan berbeda yang dipilih,

apakah bisa bermanfaat atau tidak, dan jika tidak, faktor apa saja yang mungkin menyebabkan hal tersebut.

Guru hendaknya mampu memutuskan kapan dan bagaimana melakukan intervensi, kapan harus memberi

pertolongan dan bagaimana bentuk bantuan yang dapat mendukung keberhasilan siswa dengan tetap

memastikan bahwa mereka mempertahankan strategi penyelesaian mereka. Selain itu, guru perlu tahu

tentang apa yang harus dilakukan saat siswa terjebak atau sedang menggunakan pendekatan yang tidak

produktif atau menghabiskan banyak waktu. Guru terkadang berada dalam posisi tidak mengetahui

solusinya, sehingga perlu mengetahui bagaimana bekerja dengan baik tanpa mengetahui semuanya.

Kategori pengetahuan yang ketiga adalah pengetahuan tentang faktor afektif yang berkaitan dengan

pemecahan masalah. Faktor afektif ini terdiri dari motivasi, minat, kepercayaan diri, kecemasan, ketekunan,

dan keyakinan siswa. Chapman berpendapat pengetahuan tentang aspek afektif siswa ini penting karena

memainkan peran penting dalam pemecahan masalah. Pengetahuan tentang faktor-faktor tersebut dapat

membantu guru untuk menggambarkan dan mendukung kemampuan pemecahan masalah siswa berdasarkan

temuan-temuan yang sesuai dengan faktor-faktor tersebut. Keyakinan siswa terhadap pemecahan masalah,

misalnya, penting untuk dipahami karena hal ini dapat menjadi faktor yang sangat baik bagi siswa, dan bisa

juga menjadi faktor penghambat ketika siswa menyelesaikan masalah matematika (Goldin, 1998). Oleh

karena itu, Polya (1965) menekankan pentingnya ada sikap guru yang dapat membantu siswa dalam kegiatan

pemecahan masalah.

Keyakinan Guru terhadap Pemecahan Masalah Matematika

Keyakinan guru memainkan peran penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pengajaran guru

(Beswick, 2005; Ernest, 1989). Andrews dan Hatch (2000) berpendapat bahwa keyakinan mempengaruhi apa

yang akan diajarkan guru, bagaimana pengajarannya, dan apa yang dipelajari di kelas. Selain itu, Ernest

(1989) menegaskan bahwa keyakinan juga mempengaruhi hasil belajar siswa dan perubahan keyakinan

dianggap sangat penting untuk perubahan dalam praktik mengajar. Mengenai keyakinan dalam pemecahan

masalah matematika, Beswick (2005) melaporkan bahwa ada hubungan antara keyakinan positif guru

terhadap pentingnya pemecahan masalah dalam matematika dan praktik pengajaran konstruktivis mereka

dimana siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Fennema dkk (1996) menegaskan bahwa guru

Page 15: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 457 ~

yang berhasil membangun pengajaran matematika di sekitar siswa berpikir melihat siswa masuk kelas

mereka dengan pengetahuan matematika dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan baru dengan

terlibat dalam pemecahan masalah. Sebaliknya, guru dengan keyakinan tradisional melihat konteks seperti

itu sebagai kendala untuk pemecahan masalah (Anderson, White, & Sullivan, 2005).

Keyakinan dalam pemecahan masalah matematis sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang sifat

matematika dan juga pengajaran matematika. Viholainen, Asikainen, dan Hirvonen (2014) menjelaskan

bahwa keyakinan tentang sifat matematika mempengaruhi keyakinan tentang pemecahan masalah matematis

atau sebaliknya, dan bahwa keyakinan mengenai pembelajaran matematika juga menyiratkan keyakinan

tentang pengajaran matematika. Sementara itu, Ernest (1989) menyatakan bahwa pandangan guru mengenai

sifat matematika mempengaruhi bagaimana mereka berperan dalam pengajaran dan pembelajaran di kelas.

Untuk itu, ia menyajikan tiga pandangan filosofis yang berbeda tentang sifat matematika: instrumental,

platonis, dan pemecahan masalah. Dalam upaya untuk menyederhanakan pandangan ini, Beswick (2005)

merangkum hubungan antara sifat matematika, pembelajaran matematika, dan pengajaran matematika (lihat

tabel 1).

Tabel 2.3 Hubungan keyakinan antara matematika dan pengajaran serta pembelajarannya

Keyakinan terhadap

Matematika

Keyakinan terhadap

pengajaran matematika

Keyakinan terhadap

pembelajaran matematika

Instrumentalis: Matematika

sebagai seperangkat alat dari

fakta-fakta, aturan-aturan, dan

keterampilan-keterampilan

Menfokuskan isi dengan

penekanan pada kinerja

Ketuntasan keterampilan,

penerimaan yang pasif

terhadap pengetahuan

Platonis: Matematika

sebagai suatu bodi statis yang

absolut dan pengetahuan yang

pasti dan abstrak.

Menfokuskan isi dengan

menekankan pada

pemahaman

Konstruksi aktif dari

pemahaman

Pemecahan masalah:

Matematika sebagai sesuatu

yang dinamis dan hasil kreasi

manusia

Menfokuskan pada

pebelajar

Eksplorasi otonom dari

keinginan/minat sendiri.

Inti ringkasan yang dijelaskan pada tabel di atas adalah secara teoritis terdapat konsistensi masing-masing

keyakinan yang terletak di baris yang. Walaupun demikian, Beswick menegaskan bahwa secara praktis, hal

ini tidak menjamin selalu ada konsistensi antara keyakinan-keyakinan guru. Misalnya, ada kemungkinan

bahwa seorang guru Platonis menunjukkan keyakinan tentang pengajaran matematika yang menekankan

pada kinerja siswa daripada pemahaman siswa. Secara lebih terperinci, karakteristik dari masing-masing tipe

kayakina tersebut dijelaskan di tabel berikut.

Tabel 2. Karakteristik Keyakinan Guru Pada Matematika, Mengajar Matematika, dan Belajar

Matematika Pada Masing-Masing Tipe Keyakinan

Keyakinan

terhadap...

Tipe Keyakinan

Instrumental Platonis Pemecahan Masalah

Matematika

(nature of

mathematics)

Mengerjakan

matematika berarti

mencari jawaban yang

benar, cepat,

menggunakan

prosedur standar

tunggal dan benar

(Peressini et al.

(2004))

Matematika adalah

koleksi aturan, rumus

dan metode

perhitungan yang

berbeda. Dalam

pembelajaran, asal

Menyelesaikan masalah

matematika bisa

digunakan dengan lebih

dari satu cara, tetapi

selalu akan diperoleh

hanya satu jawaban.

(Conner, Edenfield,

Gleason, Ersoz, 2011)

Konsep, teorema dan

notasi dalam matematika

telah ditemukan

sebelumnya sehingga

rincian secara detail

tentang semua itu penting

untuk ditekankan dalam

Matematika dipandang

sebagai sebuah proses

konstruksi yang aktif.

Tujuan penting dari

pembelajaran adalah

memperoleh

keterampilan dalam

penalaran dan

membangun hal-hal baru.

Kreativitas juga

merupakan bagian

penting dalam

matematika. Penekanan

bukan pada rincian detail

pada konsep-konsep,

Page 16: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 458 ~

Keyakinan

terhadap...

Tipe Keyakinan

Instrumental Platonis Pemecahan Masalah

atau konstruksi aturan,

rumus, dan metode

tidak ditekankan

dalam pendekatan ini.

(Grigutsch et al., 1998)

Matematika adalah

sebuah struktur

pengetahuan dan

sekumpulan prosedur

yang telah disediakan

(Swan dan Swain,

2010)

pemahaman. (Grigutsch

et al. , 1998)

Matematika merupakan

subjek kreatif di mana

guru harus mengambil

peran sebagai fasilitator,

memungkinkan siswa

untuk membuat konsep

dan metode mereka

sendiri. (Swan dan Swain,

2010)

tetapi pada ide-ide besar

dan pemahaman holistik

ditekankan. (Grigutsch et

al 1998)

Matematika adalah

sekumpulan ide-ide yang

saling berhubungan yang

diciptakan bersama-sama

oleh guru dan siswa

melalui diskusi (Swan

dan Swain, 2010)

Mengajar

matematika

(teaching

mathematics)

Fokus pada konten

dengan penekanan

pada kinerja

(performance) (Van

Zoest et al, 1994)

Guru berperan sebagai

instruktur (instructor)

(Ernest ,1989)

Mengajar matematika

adalah menata

kurikulum yang linear

untuk siswa;

memberikan

penjelasan verbal dan

memeriksa bahwa

semua penjelasan ini

telah dipahami dengan

baik leh siswa melalui

soal-soal latihan;

mengoreksi

kesalahpahaman ketika

siswa gagal untuk

'memahami' apa yang

diajarkan. (Swan dan

Swain, 2010)

Fokus pada konten

dengan penekanan pada

pemahanan

(understanding) (Van

Zoest et al, 1994)

Guru berperan sebagai

pemberi penjelasan

(explainer) (Ernest ,1989)

Mengajar matematika

adalah menilai saat

pelajar siap untuk belajar;

menyediakan lingkungan

yang merangsang untuk

memfasilitasi siswa

dalam kegiatan

eksplorasi; dan

menghindari

kesalahpahaman siswa

dengan cara hati-hati

menyusun pengalaman-

pengalaman/aktivitas

belajar siswa (Swan dan

Swain, 2010)

Fokus pada pembelajar

(learner) (Van Zoest et

al, 1994)

Guru berperan sebagai

fasilitator (facilitator)

(Ernest ,1989)

Mengajar matematika

adalah sebua dialog non-

linear antara guru dan

siswa dimana makna-

makna dan konkesi-

koneksi dieksplorasi

secara verbal,

kesalahpahaman dibuat

secara eksplisit dan

bekerja dengan baik.

(Swan dan Swain, 2010)

Belajar

matematika

(learning

mathematics)

Belajar matematika

menekankan pada

penguasaan

keterampilan, pasif

pada pemerolehan

pengetahuan (Ernest,

1989)

Belajar matematika

berarti menguasai

prosedur-prosedur

matematis (Peressini et

al.,2004)

Belajar matematika

dipandang sebagai

penerimaan

pengetahuan yang

pasif dan merupakan

adopsi dari

Belajar matematika

menekankan pada

konstruksi pengetahuan

secara aktif (Ernest,

1989)

Belajar matematika

berarti memahami dan

mengadopsi sebuah

struktur pengetahuan

yang telah ada. (Beswick,

2005)

Belajar matematika

adalah kegiatan individu

yang didasarkan pada

kegiatan eksplorasi dan

refleksi yang praktis.

(Swan dan Swain, 2010)

Belajar matematika

menekankan pada

eksplorasi otonom

(autonomous

exploration) pada

ketertarikan seseorang

sendiri (Ernest, 1989)

Pandangan ini adalah

yang paling konsisten

dengan pandangan

konstruktivisme dalam

pembelajaran matematika

(Beswick, 2005)

Belajar matematika

adalah aktivitas

interpersonal siswa yang

menantang sehingga

siswa sampai pada sebah

Page 17: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 459 ~

Keyakinan

terhadap...

Tipe Keyakinan

Instrumental Platonis Pemecahan Masalah

keterampilan-

keterampilan yang

berbeda (Beswick,

2005)

Belajar matematika

adalag sebuah aktivitas

individu yang

didasarkan pada

kegiatan melihat,

mendengar, dan

meniru sampai

kelancaran (fluency)

diperoleh. (Swan dan

Swain, 2010)

pemahaman melalui

kegiatan diskusi. (Swan

dan Swain, 2010)

Praktik Guru terhadap Pemecahan Masalah

Praktik guru dimaksudkan sebagai implementasi ataupun penerapan suatu strategi, pendekatan, maupun

ide-ide pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas sebenarnya sehingga terjadi interaksi langsung antara

guru dan siswa dalam menyampaikan suatu materi. Praktik guru akan dipengaruhi keyakinan terhadap

materi, situasi kelas, dan pengetahuan pedagogis guru. Pengaruh lain yang tidak begitu kuat dipengaruhi

norma sosial pengajaran, program pendidikan guru, kehidupan guru di luar kelas, serta ciri-ciri kepribadian

guru (Raymond dalam Goos, et. al, 2007). Chick (2003) mengatakan kualitas pengetahuan guru ditentukan

dua aspek, yaitu penguasaan konten tentang topik yang diajarkan dan strategi pembelajarannya. Brahier

(2013) mengatakan guru yang efektif tidak hanya membutuhkan tingkat kompetensi yang tinggi di bidang

konten saja tetapi juga pengetahuan yang cukup tentang bagaimana siswa belajar, dan juga seperangkat

kegiatan dan strategi pengajaran yang baik dan kebijaksanaan untuk mengetahui teknik mana yang paling

sesuai dengan situasi kelas yang dihadapi. Foong dalam Kaur & Yeap (2009) menjelaskan bahwa guru-guru

di Singapura cenderung mengadopsi pengajaran dengan pendekatan pemecahan masalah yang menekankan

pada isi yang dapat diaplikasikan pada berbagai situasi. Telah ada saran yang substansial bagi para guru

untuk mengajarkan keterampilan pemecahan masalah dan menggunakan tugas pemecahan masalah sebagai

fokus pembelajaran matematika (Wilson dan Cooney, 2002). Untuk itu, Sullivan et al. (2015) telah

menekankan untuk mendukung guru dalam menyusun kegiatan kelas mereka melalui tugas yang menantang.

Temuan mereka menunjukkan bahwa dalam hal menyusun struktur pembelajaran dengan tugas pemecahan

masalah, guru perlu memiliki petunjuk pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendukung siswa mengatasi

kesulitan dengan tugas belajar dan petunjuk yang dapat mendukung siswa yang telah menyelesaikan tugas

belajar untuk memperluas keterampilan berpikir mereka.

Berkaitan dengan kegiatan pemecahan masalah dalam pembelajaran, banyak ahli telah membahas tentang

proses pembelajaran terbaik yang guru perlu gunakan dalam pembelajaran pemecahan masalah. Sebagai

contoh, Franke, Kazemi, dan Battey (2007) menjelaskan bahwa dalam pengajaran pemecahan masalah, guru

perlu mengatur diskusi kelas sehingga siswa berbagi beberapa strategi pemecahan masalah, menganalisis

hubungan antara strategi, dan mengeksplorasi kontradiksi dalam ide-ide siswa untuk memberikan wawasan

yang lebih besar fokus matematika. Secara khusus, Wood, William, dan McNeal (2006) mengemukakan

bahwa guru harus hati-hati memasukkan pertanyaan dan penjelasan untuk memastikan proses itu dan dasar-

dasar konseptual strategi matematika siswa, serta ide-ide matematika fokus, yang jelas untuk semua siswa.

Chapman (2015) melalui ringkasan pengetahuannya menyarankan bahwa guru harus mendukung siswa

kolaborasi untuk membangun prosedur mereka sendiri untuk memecahkan masalah, mendukung siswa untuk

'mengambil alih' sendiri dengan mengajukan masalah untuk teman sekelas mereka dan kelas secara

keseluruhan harus memutuskan apakah atau tidak untuk bekerja pada masalah tertentu.

Terdapat banyak pendekatan potensial tentang bagaimana seorang guru seharusnya membimbing siswa

mereka menyelesaikan tugas pemecahan masalah. Pendekatan tersebut, bagaimanapun, dapat dikategorikan

menjadi dua kategori umum, pendekatan yang terpusat pada keterlibatan siswa secara aktif (student-

centered) dan pendekatan yang terpusat pada guru (teacher-centered) (Polly et al., 2013). Pendekatan yang

khas seperti yang dibahas oleh Franke et al. (2007) dan Wood et al. (2006) sebelumnya tampaknya sejalan

Page 18: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 460 ~

dengan kategori pertama. Pendekatan ini mendukung ide mengajar konsultatif, yaitu pengajaran di mana

guru menekankan membimbing siswa untuk secara aktif dan mandiri membangun pengetahuan baru dengan

menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya (Blum dan Ferri, 2009). Berbeda dengan ajaran

konsultatif, kategori kedua tampaknya selaras dengan ajaran direktif, pengajaran di mana guru menjelaskan

konsep, memberikan contoh penerapan konsep dan akhirnya menawarkan siswa beberapa latihan untuk

berlatih masalah (Antonius dkk., 2007 ).

Rekomendasi yang lebih spesifik tentang apakah guru melaksanakan praktik pengajaran konsultatif atau

direktif dapat diketahui secara lebih detail pada saat proses membimbing siswa menyelesaikan tugas

pemecahan masalah. Proses pembimbingan ini adalah proses yang kompleks di mana siswa melewati

beberapa tahap seperti yang disarankan oleh Polya (1957), yaitu memahami masalah, menyusun rencana

penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut, dan meninjau kembali. Ketika memahami tugas pemecahan

masalah, misalnya, pendekatan yang khas digunakan oleh guru dapat diketahui pada saat membantu siswa

mengidentifikasi informasi yang diperlukan untuk kebutuhan memilih strategi yang tepat. Dalam menyusun

rencana, proses ini dapat diamati pada saat guru membimbing siswa menemukan hubungan antara

sekumpulan informasi yang telah teridentifikasi dan membimbing siswa mencari strategi yang tepat.

Mengenai pada tahap terakhir dari pemecahan masalah, yaitu, meninjau kembali, praktik mengajar guru

dapat dijelaskan dari aktivitas seperti yang disarankan oleh Mason (2015) bahwa begitu solusi masalah

tersebut ditemukan, penting bagi guru untuk membimbing siswa meninjau proses melalui pengecekan

jawabannya, mengecek solusi dan proses berpikir secara keseluruhan, dan membimbing siswa melakukan

generalisasi solusi dan strategi baru atau bahkan membangun pendekatan sebelumnya dengan wawasan baru.

Tahap ini penting karena aktivitas-aktivitas tersebut adalah bagian penting dari pengajaran pemecahan

masalah (Shimizu, 1999) karena terbukti mampu memperdalam pemikiran matematika siswa dan

meningkatkan keterampilan pemecahan masalah (Mason et al., 1985). Aspek penting lain dalam pengajaran

pemecahan masalah yang dapat diamati adalah sejauh mana guru menunjukkan praktik mengajanya sesuai

dengan pandangan bahwa pemecahan masalah adalah proses dinamis di mana pemecah masalah bergerak

bolak-balik dari tahap-tahap pemecahan masalah sesuai kebutuhan (Mason, 2015).

Aspek kunci lebih lanjut tentang bagaimana pengajaran konsultatif dan pengajaran direktif dilakukan

guru dalam kegiatan pembelajaran telah diuraikan dalam kerangka analisis yang dikembangkan oleh Wijaya,

van den Heuvel-Panhuizen, dan Doorman (2015) yang menekankan pada tahap pemodelan. Sementara

kerangka analisis mereka memperhatikan praktik mengajar guru mengenai masalah matematika berbasis

konteks, kerangka analisis dalam artikel ini berkaitan dengan masalah matematika umum berdasarkan empat

tahap Polya: memahami masalah, merancang rencana, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali

(Polya, 1973). Dengan demikian, kerangka analisis ini diadaptasi dari karya Wijaya dkk. (2015) dan Polya

(1957). Karakterstik lain dari kerangka analisis ini terletak proses yang ada di tahap ‗memeriksa kembali‘,

yang mempertimbangkan untuk tidak hanya mengamati bagaimana seorang guru membantu siswa

menganalisis solusi penyelesaian, tapi juga bagaimana siswa melibatkan proses berpikir, dan bagaimana

mereka mengembangkan masalah (Mason , 2015). Tabel 4 memberikan kerangka ini secara rinci.

Page 19: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 461 ~

Tabel 3 Deskripsi Praktik Pengajaran Pemecahan Masalah Menurut Tahap Polya

Tahap

Pemecahan

Masalah

Praktik pengajaran konsultatif Praktik pengajaran direktif

Memahami

masalah

Meminta siswa membaca teks soal dan mendorong mereka

untuk memperhatikan setiap kata yang dimuat dalam

informasi soal

Meminta siswa menjelaskan masalah yang diberikan pada soal

dengan menggunakan kalimat mereka sendiri baik secara

tertulis atau secara lisan. Misakan, ―Ceritakan masalah apa

yang perlu diselesaikan dalam soal itu?‖

Mendorong siswa mencari hubungan antara informasi-

informasi yang termuat dalam soal dengan pengetahuan awal

mereka. Misalkan,―Konsep/topik matematika apa yang kalian

temukan? Masalah sehari-hari apa yang berkaitan dengan

masalah pada soal ini? Apa yang kalian ketahui tentang

masalah sehari-hari tersebut?‖

Mendorong siswa menemukan sekumpulan informasi yang

dibutuhkan tetapi hilang, informasi yang relevan, dan

informasi tidak relevan yang tidak dibutuhkan untuk

menyelesaikan masalah. Misalkan, ―Apakah informasi yang

kalian butuhkan sudah dnyatakan dengan jelas pada soal?‖

Memberi tahu masalah yang dimuat dalam soal secara langsung.

Misalkan, ―Jadi, soal ini menuntut kalian untuk menyelesaikan

masalah tentang...‖

Memberi tahu sekumpulan informasi yang dibutuhkan tetapi hilang,

informasi yang relevan, dan informasi tidak relevan yang tidak

dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Misalkan, ―Untuk

menyelesaikan masalah ini, yang perlu kalian perhatikan adalah

informasi tentang..., sedangkan informasi tentang...tidak perlu kalian

hiraukan.‖

Menjelaskan hubungan antara informasi-informasi yang telah

diidentifikasi. Misalkan, ―Dari informasi A dan B, dapat kita

temukan pola hubungan sebagai berikut.‖

Menyusun

rencana

penyelesaian

Mendorong siswa menemukan sendiri hubungan antara

informasi-informasi yang telah diidentifikasi. Misalkan, ―Apa

pendapatmu tentang informasi-informasi tersebut?

Bagaimana cara yang kalian bisa lakukan untuk memperoleh

informasi yang hilang tersebut?‖

Merangsang siswa untuk menemukan strategi-strategi yang

mungkin bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Dengan mengajukan pertanyaan metakognitif, seperti

―Bagaimana kalian bisa menghubungkan masalah pada soal

ini dengan cara yang pernah kalian gunakan untuk

menyelesaikan masalah yang mirip dengan masalah ini?‖

Memastikan bahwa setiap siswa/kelompok telah menentukan

strategi atau rencana untuk pemecahan masalah

Memberitahu siswa konsep matematika atau prosedur matematika

yang diperlukan untuk memecahkan masalah, misalkan, ―Masalah ini

terkait dengan sistem persamaan linier, jadi kalian perlu mengingat

kembali pengetahuan tentang hal itu.‖

Mengabaikan kesempatan siswa untuk memperkuat atau merevisi

strategi yang mereka rencanakan

Page 20: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 462 ~

Memberikan penguatan atau pembimbingan untuk

memperbaiki model / strategi yang ditentukan oleh siswa.

Melaksanakan

rencana

penyelesaian

Meminta siswa mempertimbangkan kebenaran dari setiap

prosedur matematika dan logika/langkah penalaran sampai

sampai pada solusi matematis tertentu yang mereka temukan,

misalkan dengan bertanya, ―Periksa langkah perhitungan dan

operasi aljabar mu dengan hati-hati, Pertimbangkan untuk

menerapkan prosedur matematika lainnya saat Anda terjebak

dalam langkah yang kalian gunakan, Jelaskan prosedur

matematika yang telah kalian gunakan kepada saya.‖

Memastikan bahwa siswa sampai pada sebuah solusi, baik

benar, benar sebagian, atau salah

Menjelaskan secara langsung kepada siswa langkah-langkah yang

salah dari prosedur matematika atau kesalahpahaman yang mereka

alami selama melaksanakan rencana penyelesaian

Menunjukkan kepada siswa secara langsung langkah yang benar

atau bahkan solusi matematis dari masalah ketika siswa kesulitan

pada prosedur matematika atau logika langkah penalaran tertentu,

misalkan dengan instruksi, ―Lihat bagaimana saya memperbaiki

prosedur matematis yang kalian lakukan‖

Memastikan semua siswa hanya menemukan solusi yang tunggal

dan benar saja.

Memeriksa

kembali

Analisis solusi

Berfokus pada kewajaran solusi yang diperoleh dengan

menghubungkannya dengan konteks masalah

Meminta siswa menyampaikan solusi mereka kepada siswa

lain dalam upaya memverifikasi kewajaran dari solusi yang

ditawarkan, seperti misalkan, ―Apakah solusi tersebut sesuai

dengan situasi masalah?, Jelaskan bagaimana solusi yang

kalian tawarkan ini masuk akal untuk menjawab masalah

aslinya?

Analisis Solusi

Berfokus hanya pada kebenaran solusi yang dihasilkan oleh siswa

tanpa mengaitkannya dengan konteks masalah awal.

Menjelaskan dan mengklarifikasi pekerjaan siswa dalam diskusi kelas

mengenai metode solusinya secara langsung misalkan, ―Coba

perhatikan penjelasan saya tentang apa yang dikerjakan teman

kalian di papan tulis ini.‖

Proses berpikir

Meminta siswa untuk mengevaluasi kembali langkah-langkah

yang telah dilakukan sebelumnya dan juga

mempertimbangkan kemungkinan solusi, metode atau strategi

lain yang mungkin bisa digunakan

Mendorong siswa untuk mengidentifikasi kelebihan dan

kelemahan dari solusi dan strategi yang mereka dapatkan

untuk mendapatkan strategi yang paling efektif dalam

memecahkan masalah

Memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi secara aktif

membantu menyelesaikan kesulitan yang dialami oleh siswa.

Misalkan, ―Apa saranmu untuk mengatasi kesulitan /

kesalahan kelompok /temanmu ini?‖

Proses berpikir

Langsung menunjukkan solusi dan / atau strategi lain selain hasil

siswa.

Langsung memberitahu siswa atau menilai solusi / strategi dari

siswa tertentu sebagai strategi yang paling tampak efektif diantara

strategi-strategi lain

Tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan

kelemahan dan kelebihan strategi / solusi yang tawarkan oleh siswa

Menyaampaikan kesimpulan dari pengalaman pemecahan masalah

secara langsung

Page 21: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 463 ~

Bersama siswa membuat kesimpulan mengenai pengalaman

pemecahan masalah dengan secara aktif melibatkan siswa

dalam membuat refleksi untuk pengalaman pemecahan

masalah yang lebih baik. Misalnya, ―Apa yang kalian

pelajari dari pengalaman memecahkan masalah ini?‖

Pengembangan masalah

Mendorong siswa untuk mengajukan masalah matematika

baru dengan mempertimbangkan kemungkinan perubahan

solusi jika situasi/konteks masalah awal dimodifikasi, seperti

dengan bertanya, ―Bagaimana jika saya mengubah informasi

terkait bilangan dalam tabel ini dengan bilangan yang baru

seperti ini? Ajukan soal baru dengan memodifikasi cerita,

materi matematika, atau cara lain yang kalian minati terkait

dengan masalah yang baru saja kalian selesaikan.‖

Merangsang siswa untuk mengajukan masalah yang lebih

kompleks dan atau lebih menarik

Mndorong siswa mengajukan masalah matematika baru

sesuai dengan minat siswa sendiri

Pengembangan masalah

Meminta siswa untuk mengajukan masalah matematika dengan

mempertimbangkan prosedur matematika seperti yang baru saja

mereka lakukan, dan bukan mempertimbangkan minat mereka

sendiri, misalkan,―Perhatikan kembali cara penyelesaian soal yang

kalian lakukan pada soal tadi, lalu terapkan prosedur itu untuk

membuat soal matematika yang baru.‖

Meminta siswa mengajukan masalah baru yang hanya menuntut

keterampilan prosedur saja

Page 22: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 464 ~

Mengenai praktik mengajar yang dilakukan oleh guru, hasil penelitian Siswono dkk (2017b) menyoroti

tiga poin yang menarik. Pertama, hasil pengamatan menunjukkan hanya sedikit aktivitas yang dilakukan

oleh guru pada tahap ‗memeriksa kembali‘. Fakta ini menunjukkan bahwa guru perlu memberi perhatian

lebih pada tahap akhir dari tahap pemecahan masalah ini. Padahal pada tahap ini, menurut Koponen (2015),

diskusi kelas setelah siswa menemukan solusi dari masalah yang diselesaikan merupakan kesempatan

penting bagi siswa untuk berbagi strategi, wawasan dan pengamatan dari hasil diskusi matematis yang

dilakukan. Jadi, tahap ‗memeriksa kembali‘ seharusnya tidak lagi dianggap sebagai proses di mana siswa

hanya menuliskan jawaban akhir dan beralih ke masalah berikutnya (Mason et al, 1985), tetapi ini harus

dilihat sebagai tempat di mana guru dapat melakukan analisis terhadap hasil observasi siswa dan

menghubungkannya dengan konteks matematis yang lebih besar (Shimizu, 1999). Kedua, beberapa praktik

pengajaran yang teramati menunjukkan bahwa keberhasilan guru membimbing siswa pada tahap tertentu

mempengaruhi keberhasilannya pada tahap selanjutnya. Siswono dkk (2017b) menemukan bahwa beberapa

guru tampak masih memberikan perhatian yang lebih pada siswa yang masih belum paham tentang makna

masalah yang akan diselesaikan, padahal pada saat yang sama, guru-guru tersebut telah mulai membimbing

siswa melmbuat rencana penyelesaian. Akibatnya, ketika siswa lain sudah mulai melakukan perencanaan

penyelesaian, beberap siswa lain masih bertanya beberapa kali kepada guru tentang maksud dari soal yang

hendak diselesaikan. Mengenai temuan ini, Nieuwoudt (2015) mengemukakan bahwa seorang guru

matematika memang seharusnya merencanakan secara seksama kegiatan mengajar apa saja yang hendak

dilakukan, melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini karena siswa, seperti yang

dikatakan oleh Lesh dan Zawojewski (2007), bukanlah pemecah masalah yang secara alami memeiliki

keterampilan alami, dan bahwa untuk menjadi pemecah masalah yang berhasil siswa harus didukung untuk

menemukan strategi pemecahan masalah melalui diskusi yang kaya dan aktif.

Ketiga, Siswono dkk (2017b) juga menemukan adanya proses dinamis yang dilakukan oleh subjek

penelitiannya selama pengajaran pemecahan masalah. Sementara guru Instrumental pada penelitian tersebut

sering mengarahkan siswa untuk meninjau kembali tahap pemecahan masalah sebelumnya untuk

memberikan klarifikasi tertentu karena bimbingannya yang buruk dan terbatas, guru pemecahan masalah

pada penelitian tersebut tampak membimbing siswanya untuk meninjau kembali tahap-tahap sebelumnya,

bukan dengan secara langsung mengklarifikasi kesalahpahaman tentang informasi tertentu dari siswa

mereka, tetapi dengan memberi kesempatan kepada siswa lain untuk mengklarifikasi strategi tertentu yang

ditawarkan oleh siswa lain untuk mendapatkan strategi yang lebih baik serta mendorong siswa untuk

meninjau kembali apa yang mereka pahami dari masalah yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, guru

tersebut menerapkan pengajaran konsultatif dalam proses dinamisnya. Temuan ini sejalan dengan metode

pemecahan masalah matematis yang dinamis yang perlu diterapkan guru dimana siswa perlu dilibatkan

secara aktif dalam mememahami masalah yang diberikan, kemudian beralih ke tahap perencanaan di mana

pemahaman diri siswa terhadap pemahaman tersebut menciptakan pemahaman tentang kebutuhan apa saja

yang diperlukan dan jika tidak berhasil siswa kemudian dibimbing lagi untuk kembali ke tahap awal:

'memahami masalah' (Fernandez, 1994).

Hubungan antara keyakinan, pengetahuan, dan praktik pengajaran guru terkait

pemecahan masalah

Hubungan antara keyakinan, pengetahuan, dan praktik guru dalam pengajaran matematika dapat

diidentifikasi melalui beberapa variabel kunci terkait. Beberapa ahli telah menggunakan model skematis

untuk mewakili variabel dan hubungan ini (misalkan., Ernest, 1991; Fennema, Carpenter, & Peterson, 1989;

Raymond, 1997). Model skematis dapat memberikan struktur yang membantu diskusi dan penyelidikan

dengan menyediakan kerangka kerja, yang memungkinkan penjelasan dan prediksi (Keeves, 1997). Berbagai

model ini mencakup elemen umum atau variabel tetapi juga berbeda dalam beberapa komponen, menegaskan

kompleksitas hubungan antara praktik dan kepercayaan. Berikut adalah beberapa model skematis yang

menggambarkan hubungan ini.

Page 23: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 465 ~

Gambar 1. Hubungan antar pengetahuan, keyakinan, dan praktik pengajaran guru (Fennema et al., 1989)

Gambar 1 menunjukkan kaitan antara beberapa variabel yang mendeskripsikan hubungan sebab akibat

yang berperan dalam mendukung pembelajaran matematika. Model ini menekankan adanya eksistensi

pengetahuan dan keyakinan yang secara bersama-sama mempengaruhi hasil belajar siswa. Model ini

mengusulkan bahwa pola praktik pengajaran kelas ditentukan oleh keputusan guru, yang mana keputusan

guru ini dipengaruhi oleh interaksi antara pengetahuan dan keyakinan. Model ini mencakup tiga aspek yang

berkaitan dengan siswa yang meliputi kognisi, hasil belajar, dan perilaku siswa. Dalam model skematis ini,

interaksi antara variabel diwakili dengan panah dua arah, sehingga menunjukkan hubungan yang lebih

dinamis. Dalam kaitannya dengan pengajaran pemecahan masalah, meskipun terdapat interaksi antara

pengetahuan dan keyakinan guru dalam menentukan bentuk praktik pengajaran guru, masing-masing

memiliki peran khas. Bray (2011) dan Siswono, dkk (2017b) sependapat bahwa keyakinan akan

mempengaruhi pola pengaturan urutan aktivitas pembelajaran (structuring class activities), sedangkan

pengetahuan akan mempengaruhi kualitas respon yang diberikan guru dalam menanggapi kesalahan atau

jawaban yang disampaikan siswa selama diskusi kelas berlangsung.

Model hubungan lain dikemukaan oleh Raymond (1997).

Gambar 2.4 Kaitan keyakinan dan praktik pembelajaran guru (Raymond, 1997)

Keterangan:

Keyakinan terhadap matematika : tentang ilmu matematika dan pedagogi matematik

Praktek pengajaran matematika : tugas-tugas matematik, pengajaran, lingkungan, dan evaluasi

Situasi kelas yang terjadi :siswa (kemampuan, sikap, dan tingkah laku), kendala waktu, topik

Pengetahuan

guru

Keyakinan guru

Keputusan guru Praktik pengajaran

kelas

Kognisi

siswa

Belajar

siswa Perilaku siswa

Keyakinan terhadap

Matematika

Praktik Pengajaran

Matematika

Program

Pendidikan Guru

Norma sosial

penagajaran

Kehidupan Guru

di luar kelas

Situasi Kelas yang

Terjadi Ciri-ciri

Kepribadian Guru

Pengalaman awal

dari Keluarga

Kehidupan siswa

di luar kelas

Pengalaman di

sekolah masa lalu

Menunjukkan pengaruh kuat

Menunjukkan pengaruh

moderat

Menunjukkan pengaruh

rendah

Page 24: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 466 ~

matematika yang dipelajari

Norma sosial pengajaran :filosofi sekolah, adminstrator, tes standar, kurikulum, buku teks, guru

lain, sumber daya

Kehidupan guru :kejadian harian, sumber lain dari stres guru

Kehidupan siswa :lingkungan rumah, keyakinan orang tua (tentag anak-anak, sekolah, dan

matematika)

Program pendidikan guru :isi mata kuliah matematika, pengalaman di lapangan, pengajaran

terhadap siswa

Pengalaman di sekolah masa lalu :kesuksesan dalam matematika sebagai siswa, guru-guru yang pernah

mengajar

Pengalaman awal keluarga :pandangan orang tua terhadap matematika, latar belakang pendidikan

orang tua, interaksi dengan orang tua (dalam hal ini yang menyangkut

matematika)

Ciri-ciri Kepribadian :percaya diri, kreativitas, humor, keterbukaan terhadap perubahan.

Model hubungan antara keyakinan dan praktik guru oleh Raymond di atas melingkupi berbagai faktor

termasuk didalamnya program pendidikan guru, pengalaman, kehidupan guru dan siswa di luar sekolah, dan

ciri kepribadian guru. Faktor kunci yang menyebabkan ketidakkonsistenan antara keyakinan dan praktik

pengajaran guru adalah norma pengajaran sosial dan situasi kelas langsung. Hal ini dijelaskan dalam gambar

1, dimana semakin tebal tanda panah, maka semakin besar kemungkinan terjadinya ketidakkonsitenan akan

terjadi. Secara khusus, satu faktor yang umum muncul adalah hubungan antara kepercayaan dan praktik guru

adalah pengetahuan guru. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan isi matematika maupun pengetahuan yang

diperoleh dari saran program pendidikan guru.

Secara khusus, Siswono dkk (2017b) memberikan kerangka analisis hubungan antara keyakinan guru dan

praktik pengajaran terkait pemecahan masalah dalam bentuk tabel matriks. Tabel ini secara terperinci

menunjukkan karakteristik keyakinan guru pada masing-masing tipe: Intrumenatl, Platonis, dan Pemecahan

masalah ketika dihadapkan pada pola pembimbingan iswa yang terbaik pada tahap-tahap pemecahan masalah

Polya.

Table 5. Deskripsi keyakinan guru pada proses pengajaran pemecahan masalah berdasarkan tahap Polya

Keyakinan

filosofis

Tahap Pemecahan Masalah

Memahami

masalah

Menyusun

rencana

penyelesaian

Melaksanakan

rencana

penyelesaian

Memeriksa kembali

Instrumental Mengarahkan siswa

pada sekumpulan

informasi tertentu

yang dibutuhkan

Mengarahkan

siswa pada strategi

atau model

matematika

tertentu

Mengecek

kebenaran dari

prosedur

matematika

yang digunakan

siswa untuk

sampai pada

solusi yang

diharapkan

Mengecek jawaban

akhir siswa berdasarkan

solusi yang diharapkan

Mengarahkan

pengembangan masalah

dengan meminta siswa

menggunakan kembali

prosedur yang

digunakan pada saat

mencari solusi

Platonis Melibatkan siswa

secara aktif

mengenali

informasi yang

telah diidentifikasi

Mendorong siswa

secara aktif

mengeksplorasi

strategi

pemecahan

masalah atau

model matematika

Melibatkan

siswa secara

aktif

mendiskusikan

pelaksanaan

rencana

penyelesaian

Merangsang diskusi

non-linear antar siswa

dalam mengevaluasi

solusi yang benar dari

siswa

Mendorong siswa

Page 25: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 467 ~

yang telah

ditentukan

berdasarkan

model atau

strategi yang

telah ditentukan

mengembangkan

masalah baru

berdasarkan contoh

masalah yang telah

dikembangkan

Pemecahan

masalah

Mendorong siswa

mengidentifikasi

sendiri hubungan

antar informasi

yang diperlukan

untuk

menyelesaikan

masalah

Memfasilitasi

siswa membangun

sendiri model

matematika atau

strategi

penyelesaian

Mendorong

siswa secara

aktif

mendiskusikan

model atau

strategi yang

telah

dikembangkan

sendiri

Merangsang diskusi

non-linear antar siswa

dalam mengevaluasi

solusi yang diperoleh,

baik benar maupun

salah

Mendorong siswa

mengembangkan

masalah baru sesuai

dengan minat dan

ketertarikan siswa

sendiri

Deskripsi pada tabel 5 di atas diderivasi dari hasil penelitian Siswono dkk (2017a, 2017b), aspek-aspek

keyakinan dan praktik pengajaran pemecahan masalah yang disajikan dalam artikel ini, dan juga hasil studi

literatur lain yang relevan, misalnya Beswick (2005, 2012); Ernest (1989); Van Zoest et al. (1994). Tabel

ini mendiskripsikan karakteristik masing-masing tahap pemecahan masalah Polya dalam kaitannya dengan

pola guru membimbing siswa menyelesaikan masalah berdasarkan tiga tipe keyakinan filosofis terhadap

matematika: instrumental, platonis, dan pemecahan masalah.

Sementara guru instrumental cenderung untuk secara langsung menjelaskan semua informasi yang

dibutuhkan dengan mengabaikan partisipasi aktif siswa, seorang guru Platonis cenderung menyediakan

beberapa informasi yang dibutuhkan dengan melibatkan siswa secara aktif untuk mengenali informasi

tersebut dalam diskusi kelas. Tidak seperti guru Platonis, guru pemecahan masalah akan merangsang siswa

untuk mengidentifikasi dan menemukan hubungan tertentu antara informasi tersebut melalui, tentu saja,

sebuah diskusi kelas yang aktif. Mengenai keyakinan dalam membimbing siswa merancang sebuah rencana

penyelesaian, seorang guru instrumental cenderung percaya bahwa siswa perlu diberi informasi langsung

mengenai strategi tertentu, sementara seorang guru Platonis memandang bahwa siswa perlu diberi gagasan

utama mengenai strategi tertentu dan membiarkan mereka mengeksplorasi rekomendasi gagasan tersebut.

Guru pemecahan masalah, di sisi lain cenderung melihat bahwa siswa perlu diberikan kesempatan yang luas

untuk membangun strategi mereka sendiri berdasarkan minat dan pengetahuan mereka sendiri dalam

menentukan rencana strategi penyelesaian. Mengenai keyakinan dalam membimbing siswa melaksanakan

rencananya, perbedaan antara ketiga jenis guru tersebut adalah tentang bagaimana guru membimbing siswa

melakukan prosedur matematika. Dalam hal ini, guru instrumental cenderung hanya mengecek kebenaran

dari tahapan prosedur yang dibuat siswa, guru Platonis cenderung melibatkan siswa melaksanakan prosedur

penyelesaian dalam diskusi kelas, sedangkan guru pemecahan masalah akan memfasilitasi siswa dalam

diskusi kelas mendiskusikan prosedur penyelesaian berdasarkan model/strategi yang dikembangkan siswa

sendiri. Pada tahap memeriksa kembali, seperti yang disarankan oleh Mason (2015), terdapat dua

subkategori, yaitu yang berkaitan dengan bagaimana guru mengevaluasi solusi akhir siswa (thought process)

dan bagaimana guru menyiapkan pengembangan masalah (problem extention). Seorang guru instrumental

akan cenderung percaya bahwa dalam menganalisis solusi siswa, guru perlu fokus pada kebenaran jawaban

siswa, sementara guru Platonis perlu bersama siswa mendiskusikan jawaban benar yang muncul dari

pekerjaan siswa. Sementara itu, seorang guru pemecahan masalah percaya bahwa siswa perlu juga berdikusi

sebanyak mungkin kemungkinan jawaban, baik benar atau salah. Berkaitan dengan pengembangan masalah,

guru Instrumental akan cenderung meminta siswa memertimbangkan prosedur yang mereka gunakan pada

saat menyelesaikan masalah awal untuk membuat soal matematika baru. Sementara itu, guru platonis akan

memberikan contoh masalah hasil pengembangan dari masalah awal, lalu meminta siswa mengembangkan

soal lain berdasarkan contoh masalah yang diajukan tersebut. Guru pemecahan masalah, di sisi lain, akan

mendorong siswa untuk mengembangkan masalah awal ke masalah yang lebih kompleks atau menarik sesuai

dengan minat mereka sendiri.

Temuan Siswono dkk (2017b) menunjukkan bahwa praktik pengajaran guru dari peserta terpilih, bahkan

dengan pendekatan pemecahan masalah, belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembelajaran pemecahan

Page 26: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 468 ~

masalah. Namun, hal ini tampaknya tidak sesuai dengan studi Siswono, Kohar, Kurniasari dan Astuti (2016)

yang melaporkan bahwa guru sekolah menengah dalam studi mereka cenderung yakin untuk menerapkan

gagasan pemecahan masalah sebagai pendekatan dinamis saat mengajar matematika. Dengan demikian,

kesenjangan antara kepercayaan guru dan praktik mengajar guru perlu menjadi fokus perhatian lebih lanjut,

terutama oleh pengembang profesional guru untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka

dalam praktik pengajaran tentang pemecahan masalah. Untuk itu, Peker (2009) mengemukakan bahwa

pembelajaran pemecahan masalah perlu dilakukan melalui aktivitas seperti berbagi pengalaman dan

pengetahuan menagajar, berdiskusi dengan teman dan instruktur, saling berdiskusi aktif dalam kelompok

kecil, dan menerapkan strategi pemecahan masalah di tempat yang tepat dan cara yang benar. Hal ini dapat

mendorong guru untuk membuat keputusan sendiri dan belajar memecahkan masalah dengan cara yang

berbeda. Oleh karena itu, Peker menyarankan untuk memberikan pengalaman yang berarti bagi para guru

untuk terlibat dalam proses dan strategi pemecahan masalah sebagai prasyarat untuk memegang

pembelajaran pemecahan masalah di kelas mereka. Rekomendasi lain juga disarankan oleh Ekawati dan

Kohar (2016), dimana pengembang profesionalisme guru perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti

mempertimbangkan guru sebagai pebelajar yang aktif, bukan penerima pasif dan memfasilitasi guru dalam

merancang dan menerapkan pelajaran menggunakan produk mereka sendiri. Untuk menjawab tantangan ini,

Swan dan Swain (2010) menemukan bahwa melalui lingkungan belajar kolaboratif di mana peserta didik

ditantang untuk menghadapi kesulitan dan mengambil peran kelas aktif yang dirancang dalam

pengembangan profesional guru, keyakinan guru terhadap pemecahan masalah guru akan meningkat. Oleh

karena itu, perubahan keyakian guru dari yang kurang menjadi lebih konstruktivis atau instrumental menjadi

pemecahan masalah adalah sangat mungkin terjadi.

Kesimpulan

Dalam beberapa dekade terakhir, banyak studi tentang pemecahan masalah matematika tidak hanya berfokus

pada identifikasi profil pemecahan masalah dan pengembangan kemampuan memecahkan masalah siswa.

Lebih dari itu, para peneliti telah memberi perhatian lebih untuk membuat profil pemecahan masalah pada

guru sekaligus bagaimana cara mengembangkan kemampuan tersebut di kalangan guru. Identifikasi profil

meliputi studi tentang bagaimana guru menerapkan praktik mengajar serta faktor asosiasinya seperti

keyakinan guru dan pengetahuan guru terhdapa pemecahan masalah. Secara khusus, praktik mengajar guru

sangat dipengaruhi oleh pandangan filosofis tentang sifat matematika yang dipegang oleh seorang guru dan

pandangan filosofis tentang mengajar dan belajar matematika.

Daftar Pustaka

Anderson, J., White, P., & Sullivan, P. (2005). Using a schematic model to represent influences on, and

relationships between, teachers‘ problem-solving beliefs and practices. Mathematics Education

Research Journal, 17(2), 9–38. https://doi.org/10.1007/BF03217414

Andrews, P., & Hatch, G. (2000). A comparison of Hungarian and English teachers´ conceptions of

mathematics and its teaching. Educational Studies in Mathematics, 43, 31– 64.

Antonius, S., Haines, C., Jensen, T. H., Niss, M., & Burkhardt, H. (2007). Classroom activities and the

teacher. In W. Blum, P. L. Galbraith, H.-W. Henn, & M. Niss (Eds.), Modelling and applications in

mathematics education (pp. 295–308). New York: Springer

Ball, D. L., Thames, M. H., & Phelps, G. (2008). Content knowledge for teaching: What makes it special?

Journal of Teacher Education, 59(5), 389-408.

Bray, W. S. (2011). A collective case study of the influence of teachers' beliefs and knowledge on error-

handling practices during class discussion of mathematics. Journal for Research in Mathematics

Education, 42(1), 2-38.

Beswick, K. (2005). The belief/practice connection in broadly defined contexts. Mathematics Education

Research Journal, 17(2), 39–68.

Blum, W., & Ferri, R. B. (2009). Mathematical modeling: can it be taught and learned? Journal of

Mathematical Modelling and Application, 1(1), 45–58.

Brahier, D.J. (2013). Teaching Secondary and Midlle School Mathemaatics (4th Ed). Boston: Pearson

Chapman, O. (2015). Mathematics teachers‘ knowledge for teaching problem solving. LUMAT ,3, 19-36

Chick, H. L. (2003). Pre-service teachers‘ explanations of two mathematical concepts. In Proc. 2003 annual

conf. of the Australian Association for Research in Education.

Page 27: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 469 ~

Conner, A., Edenfield, K. W., Gleason, B. W., & Ersoz, F. A. (2011). Impact of a content and methods

course sequence on prospective secondary mathematics teachers‘ beliefs. Journal of Mathematics

Teacher Education,14(6), 483-504.

Depdiknas. 2009. Perkembangan Kurikulum Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,

Direktorat SMP

Ekawati, R., & Kohar, A. W. (2016). Innovative Teacher Professional Development within PMRI in

Indonesia. International Journal of Innovation in Science and Mathematics Education, 24(5), 1-13.

Ernest, P. (1989). The impact of beliefs on the teaching of mathematics. In P. Ernest (Ed.), Mathematics

teaching: The state of the art (pp. 249–253). New York: Falmer.

Fennema, E., Carpenter, T. P., & Peterson, P. (1989). Teachers' decision making and cognitively guided

instruction: A new paradigm for curriculum development. In N. F. Ellerton & M. A. Clements (Eds.),

School mathematics: The Challenge to change (pp. 174-187). Geelong: Deakin University

Press.Hollingsworth, H., Lokan, J., & McCrae, B. (2003). Teaching mathematics in Australia: Results

from the TIMSS 1999 video study. Melbourne: Australian Council of Educational Research.

Franke, M. L., Kazemi, E., & Battey, D. (2007). Mathematics teaching and classroom practice. In F.K.

Lester Jr. (Ed), Second handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 225-256).

Charlotte, NC: Information Age.

Goldin, G. A. (1998). Representational systems, learning, and problem solving in mathematics. Journal of

Mathematical Behavior, 17(2), 137-165.

Goos, Merrilyn, Stilman, Gloria., Vale, Colleen. (2007). Teaching Secondary School Mathematics: research

and practice for 21st century. Crows Nest, NSW: Allen & Unwin

Grigutsch, S., Ratz, U. & Törner, G. (1998). Einstellungen gegenüber Mathematik bei Mathematiklehrern.

Journal für Mathematikdidaktik, 19, 3–45.

Kaur, Berinderjeet. & Yeap Ban Har. 2009. Mathematical Problem Solving in Singapore. In Mathematical

Problem Solving: Year book 2009, Association of Mathematics Educator edited by Berinderjeet Kaur,

Yeap Ban Har & Manu Kapur. Singapore: World Scientific, page 3-13

Keeves, J. P. (1997). Models and model building. In J. R Keeves (Ed.), Educational research, methodology,

and measurement: An international handbook (2nd ed.) (pp. 386-393), Cambridge, UK: Pergamon.

Kohar A.W & Zulkardi (2015) Developing PISA-like mathematics tasks for investigating Indonesian

students‘ profile of mathematical literacy, in pursuit of quality mathematics education for all, Cebu City

May 11-15, in Chaterine Vistro Yu (Ed) Proceedings of the 7th ICMI-East Asia Regional Conference

on Mathematics Education (Quezon City: Philippine Council of Mathematics Teacher Educators

(MATHTED), Int), page 159-168

Lesh, R., & Zawojewski, J. (2007). Problem solving and modelling. In F.K. Lester (Ed.), Second handbook

of research on mathematcs teaching and learning (pp. 763– 803). Charlote, NC: Informaton Age

Publishing

Mason J., Burton L., & Stacey K. (1985). Thinking Mathematically. Boston, MA: Addison-Wesley.

Mason, J. (2015). On being stuck on a mathematical problem: What does it mean to have something come-

to-mind?. LUMAT (2013-2015 Issues), 3(1), 101-121.

Mayer, R. E., & Wittrock, R. C. (2006). Problem solving. In P. A. Alexander & P. H. Winne (Eds.),

Handbook of educational psychology (2nd ed.), (pp. 287-304). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. 2012. TIMSS 2011 International Result in Mathematics.

Chestnut Hill, USA: TIMSS & PIRS International Study Center

NCTM (2000). Principles and Standars for School Mathematics. National Council of Teachers of

Mathematics.USA

Nieuwoudt, S. (2015). Developing a model for problem-solving in a Grade 4 mathematics classroom:

original research. Pythagoras, 36(2), 1-7.

OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus. Paris: OECD Publishing

Peker, M. (2009). The effects of an instruction using problem solving strategies in Mathematics on the

teaching anxiety level of the pre-service primary school teachers. The New Educational Review, 19(3-

4), 95-114.

Peressini, D., Borko, H., Romagnano, L., Knuth, E., & Willis, C. (2004). A conceptual framework for

learning to teach secondary mathematics: A situative perspective. Educational Studies in

Mathematics, 56(1), 67-96.

Polly, D., McGee, J. R., Wang, C., Lambert, R. G., Pugalee, D. K., & Johnson, S. (2013). The association

between teachers' beliefs, enacted practices, and student learning in mathematics. Mathematics

Educator, 22(2), 11-30.

Polya, G. (1957). How to solve it (2nd edition). New York, NY: Doubleday

Page 28: PROSIDING - unesa.ac.id

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2016

ISBN 978-602-449-023-2

~ 470 ~

Polya, G. (1965). Mathematical discovery: On understanding, learning, and teaching problem solving (vol.

2). New York, NY: John Wiley & Sons.

Purnomo, Y. W., Suryadi, D., & Darwis, S. (2016). Examining pre-service elementary school teacher beliefs

and instructional practices in mathematics class. International Electronic Journal of Elementary

Education, 8(4), 629-642.

Raymond, A. M., & College, K. S. (2015). Inconsistency Between a Beginning Elementary School Teacher ‘

s Mathematics Beliefs and Teaching Practice, 28(5), 550–576.

Schoenfeld, A. H. (1985). Mathematical problem solving. London: Academic Press.

Shimizu, Y. (1999). Aspects of mathematics teacher education in Japan: Focusing on teachers' roles. Journal

of Mathematics Teacher Education, 2(1), 107-116.

Silver, E. A. (1994). On mathematical problem solving. For the Learning of Mathematics, 14(1), 19-28.

Siswono, T.Y.E., Abadi, Rosyidi, Abdul Haris. (2008). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika

Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa

Sekolah Dasar

Siswono, T. Y. E., Kohar, A. W., Kurniasari, I., & Astuti, Y. P. (2016). An Investigation of Secondary

Teachers‘ Understanding and Belief on Mathematical Problem Solving. Journal of Physics: Conference

Series, 693(1) p. 012015). IOP Publishing. doi:10.1088/1742-6596/693/1/012015

Siswono, T.Y.E, Kohar, A.W., & Hartono, S. (2017a). Secondary Teachers‘ Mathematics-related Beliefs and

Knowledge about Mathematical Problem Solving. Journal of Physics: Conference series, 812(1) p.

012046. IOP Publishing. doi:10.1088/1742-6596/812/1/012046

Siswono, T.Y.E, Kurniasari, I., Astuti., Y.P. (2017b). Eksplorasi Pemahaman dan Keyakinan Guru Pada

Pemecahan Masalah. Laporan Penelitian Fundamental. Surabaya: LPPM Universitas Negeri Surabaya.

Sullivan, P., Askew, M., Cheeseman, J., Clarke, D., Mornane, A., Roche, A., & Walker, N. (2015).

Supporting teachers in structuring mathematics lessons involving challenging tasks. Journal of

Mathematics Teacher Education, 18(2), 123-140.

Swan, M & Swain, J. (2010). The impact of a professional development programme on the practices and

beliefs of numeracy teachers, Journal of Further and Higher Education, 34(2), 165-177

Van Zoest, L. R., Jones, G. A., & Thornton, C. A. (1994). Beliefs about mathematics teaching held by

preservice teachers involved in a first grade mentorship program. Mathematics Education Research

Journal, 6(1), 37–55.

Viholainen, A., Asikainen, M., & Hirvonen, P. E. (2014). Mathematics student teachers‘ epistemological

beliefs about the nature of mathematics and the goals of mathematics teaching and learning in the

beginning of their studies. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 10(2),

159–171. Retrieved from: https://doi.org/10.12973/eurasia.2014.1028a

Wijaya, A., van den Heuvel-Panhuizen, M., Doorman, M., Robitzschc, A. (2014). Difficulties in solving

context-based PISA mathematics tasks: An analysis of students‘ errors, The Mathematics Enthusiast,

11(3),555-584.

Wilson, M., & Cooney, T. (2002). Mathematics teacher change and development. In G. C. Leder, E.

Pehkonen, & G. Torner (Eds.), Beliefs: A hidden variable in mathematics education? (pp. 127-147).

Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic.

Wijaya, A., van den Heuvel-Panhuizen, M., & Doorman, M. (2015). Teachers‘ teaching practices and beliefs

regarding context-based tasks and their relation with students‘ difficulties in solving these

tasks. Mathematics Education Research Journal, 27(4), 637-662.

Wood, T., Williams, G., & McNeal, B. (2006). Children‘s mathematical thinking in different classroom

cultures. Journal for Research in Mathematics Education, 37, 222–255.