Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Psychological Capital Pegawai Kontrak Ditinjau dari Jenis
Kelamin di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda
SKRIPSI
Disajikan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh
Nina Nurlitasari
1511413079
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
ii
Psychological Capital Pegawai Kontrak Ditinjau dari Jenis
Kelamin di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda
SKRIPSI
Disajikan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh
Nina Nurlitasari
1511413079
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto :
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk
urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”. (Q.S. al-
Insyirah: 7-8)
Peruntukan :
Skripsi ini penulis peruntukkan kepada
kedua orangtua yang tak henti-hentinya
mengiringi doa disetiap langkah penulis.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian yang berjudul “Psychological Capital Pegawai Kontrak Ditinjau dari Jenis
Kelamin di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis dengan senang hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya kepada setiap
hamba-Nya serta Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi suri tauladan bagi
umatnya.
2. Prof. Dr. Fakhrudin, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang
3. Drs. Sugeng Hariyadi, S.Psi., M.S. Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan.
4. Rahmawati Prihastuty, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing 1 yang telah
memberikan dorongan, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis sehingga
proposal ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A. pembimbing II yang telah
memberikanbimbingan, saran, petunjuk, dan masukan selama penulisan skripsi.
6. Nuke Martiarini, S.Psi., M.A. penguji Utama yang telah memberikan masukan
dan penilaian terhadap skripsi penulis.
7. Seluruh Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang,
yang telah memberikan dorongan dan bekal ilmu kepada penulis.
8. Seluruh staf Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang yang telah
membantu kelancaran dan kenyaman penulis selama mengikuti perkuliahan.
viii
9. Teman-teman mahasiswa Psikologi angkatan 2013, Rombel 2 khususnya, Ryna,
Yana, Wulan, Wresni, Lina, Intan sebagai teman belajar yang telah memberikan
semangat kepada penulis.
10. Azti, Putri „Paw‟, Linda, Putri, Intan, Nadia, dan Vivie yang telah menjadi
sahabat sekaligus saudara bagi penulis.
11. Segenap pihak yang telah ikut andil dalam proses penyelesaian penulisan ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semuanya. Demi perbaikan untuk penulis, saran dan kritik yang membangun akan
penulis terima dengan senang hati. Sehingga pada akhirnya laporan ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Semarang, 19 April s2017
Penulis
ix
ABSTRAK
Nurlitasari, Nina. 2017. “Psychological Capital Pegawai Kontrak Ditinjau dari Jenis
Kelamin di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda. Skripsi. Jurusan Psikologi.
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Rahmawati
Prihastuty, S.Psi., M.Si. Pembimbing II: Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi, M.A.
Kata kunci : Psychological Capital, Pegawai Kontrak, Gender
Psychological capital berdampak pada kinerja serta kepuasan kerja pada
pegawai. Pegawai kontrak sebagai salah satu pelaku dari suatu organisasi memiliki
pengaruh terhadap keberhasilan organisasi itu sendiri. Fenomena keberadaan pegawai
kontrak, khususnya di instansi pemerintahan cukup banyak. Pada Dinas Cipta Karya
Dan Tata Kota Samarinda, jumlah pegawai kontrak memiliki presentase hampir
setengah dari jumlah pegawai keseluruhan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana kondisi psychological capital pada pegawai kontrak pria dan
wanita karena akan berdampak pada kinerja mereka kedepannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif komparasi.
Penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu psychological capital. Sampel penelitian
ini adalah pegawai kontrak pria dan wanita pada Dinas Cipta Karya dan Tata Kota
Samarinda dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampel jenuh
sebanyak 28 responden pegawai kontrak wanita dan 48 responden pegawai kontrak
pria. Instrumen yang digunakan adalah skala psychological capital queisioner (PCQ)
yang telah diadaptasi sedangkan, analisis data yang digunakan adalah mann-whitney
wilcoxon untuk menguji perbedaan kedua subyek yaitu pegawai kontrak pria dan
wanita.
Hasil penelitian menunjukan ada perbedaan psychological capital pada
pegawai kontrak pria dan wanita pada Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda.
Hal ini dapat dilihat dari perhitungan mean rank pegawai kontrak wanita sebesar
25,02 sedangkan, pegawai kontrak pria sebesar 46,36. Berdasarkan perhitungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa pegawai kontrak pria memiliki psychological
capital yang lebih tinggi, daripada psychological capital pegawai kontrak wanita. Hal
ini dikarenakan pada setiap aspek psychological capital (self efficacy, hope,
resiliency, dan optimism) pada pegawai kontrak pria memiliki nilai lebih tinggi dari
pada pegawai kontrak wanita.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iv
MOTTO DAN PERUNTUKKAN ..................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
ABSTRAK………............................................................................................. . viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
BAB
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 18
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 18
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................................... 18
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................... 19
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psychological Capital ............................................................................. 20
2.1.1 Definisi Psychological Capital ............................................................... 20
2.2 Aspek Psychological Capital .................................................................. 23
2.2.1 Self efficacy ............................................................................................. 23
2.2.2 Optimism ................................................................................................. 25
2.2.3 Hope ........................................................................................................ 26
xi
2.2.4 Resiliency ............................................................................................... 27
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aspek-Aspek Psychological Capital
................................................................................................................. 29
2.1.4 Dampak dari Psychological Capital ....................................................... 35
2.1.5 Perbedaan Psychological capital Pada Pria dan Wanita ........................ 37
2.2 Pegawai Kontrak ..................................................................................... 40
2.2.1 Definisi Pegawai Kontrak ....................................................................... 40
2.2.2 Syarat Pegawai Kontrak .......................................................................... 42
2.2.3 Hak-hak Pegawai Kontrak ...................................................................... 43
2.3 Kerangka Konseptual .............................................................................. 43
2.3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................... 46
2.4 Hipotesis .................................................................................................. 48
3 METODE PENELITIAN
3.2 Jenis dan Desain Penelitian ..................................................................... 49
3.3 Variabel Penelitian ................................................................................. 50
3.3.1 Identifikasi variabel Penelitian ............................................................... 50
3.3.2 Definisi Operasional................................................................................ 50
3.4 Subjek Penelitian ..................................................................................... 50
3.4.1 Populasi ................................................................................................... 50
3.4.2 Sampel Penelitian ................................................................................... 51
3.5 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 52
3.5.1 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 52
3.6 Validitas dan Reliabilitas ........................................................................ 55
3.6.1 Validitas ................................................................................................. 55
3.6.2 Reliabilitas ............................................................................................. 56
3.7 Metode Analisis Data .............................................................................. 58
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Persiapan Penelitian ................................................................................ 60
4.2.1 Orientasi kancah penelitian ..................................................................... 60
xii
4.2.2 Proses perijinan ....................................................................................... 61
4.2.3 Penentuan Subjek Penelitian .................................................................. 61
4.2.4 Penyusunan Instrumen ............................................................................ 62
4.3 Pelaksanaan penelitian ........................................................................... 64
4.3.1 Pengumpulan Data ................................................................................. 64
4.3.2 Pemberian Skoring .................................................................................. 65
4.3.3 Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Instrumen ....................................... 65
4.3.3.1 Hasil Uji Validitas Skala Psychological Capital ................................... 65
4.3.3.2 Hasil Uji Reliabilitas Skala Psychological Capital ................................ 66
4.4 Hasil Penelitian ....................................................................................... 66
4.4.1 Gambaran Subjek Penelitian ................................................................... 66
4.4.2 Uji Hipotesis ........................................................................................... 67
4.4.3 Analisis Deskriptif .................................................................................. 68
4.4.3.1 Deskriptif Variabel Penelitian ................................................................ 69
4.4.3.1.1 Gambaran Psychological capital pegawai kontrak pria .................... 69
4.4.3.1.2 Gambaran Psychological capital pegawai kontrak pria ditinjau dari
masing-masing aspek ....................................................................... 71
4.4.3.1.3 Gambaran Psychological capital pegawai kontrak wanita ................. 81
4.4.3.1.4 Gambaran Psychological capital pegawai kontrak pria ditinjau
dari masing-masing aspek ................................................................. 83
4.3.4 Hasil Tambahan penelitian…………………………………….………. 95
4.4 Pembahasan ............................................................................................. 98
4.4.1 Perbedaan Psychological Capital antara pegawai kontrak pria dan
wanita ...................................................................................................... 98
4.4.2 Psychological Capital Pegawai Kontrak ................................................ 102
4.4.3 Psychological Capital Pria ...................................................................... 104
4.4.4 Psychological Capital Wanita................................................................. 112
4.4.5 Hasil Analisis tambahan .......................................................................... 118
xiii
5 PENUTUP
4.5 Simpulan ................................................................................................ 120
4.6 Saran ........................................................................................................ 121
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 123
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Kriteria Dan Nilai Alternatif Jawaban .......................................................... 53
3.2 Blueprint Skala Psychological Capital .......................................................... 54
4.1 Interpretasi Nilai Reliabilitas ........................................................................ 66
4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ........................ 66
4.3 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis .................................................................... 67
4.4 Hasil Perhitungan Mean Rank ....................................................................... 68
4.5 Penggolongan Kriteria Analisis Berdasarkan Mean Teoritik ....................... 69
4.6 Distribusi Psychological Capital Pegawai Kontrak Pria .............................. 70
4.7 Distribusi Frekuensi Aspek Self Efficacy Pegawai Kontrak Pria .................. 72
4.8 Distribusi Frekuensi Aspek Hope Pegawai Kontrak Pria ............................. 74
4.9 Distribusi Frekuensi Aspek Resiliency Pegawai Kontrak Pria ..................... 76
4.10 Distribusi Frekuensi Aspek Optimism Pegawai Kontrak Pria .................... 78
4.11 Ringkasan Penjelasan Deskriptif Psychological Capital Pegawai
Kontrak Pria ............................................................................................... 79
4.12 Distribusi Psychological Capital Pegawai Kontrak Wanita ....................... 82
4.13 Distribusi Frekuensi Aspek Self Efficacy Pegawai Kontrak Wanita ........... 84
4.14 Distribusi Frekuensi Aspek Hope Pegawai Kontrak Wanita ...................... 86
4.15 Distribusi Frekuensi Aspek Resiliency Pegawai Kontrak Wanita .............. 88
4.16 Distribusi Frekuensi Aspek Optimism Pegawai Kontrak Wanita ............... 90
4.17 Ringkasan Penjelasan Deskriptif Psychological Capital Pegawak
Kontrak Wanita .......................................................................................... 91
4.18 Hasil Uji Anova ........................................................................................... 96
4.19 Hasil Uji Post Hoc ...................................................................................... 97
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Hasil Studi Pendahuluan ............................................................................... 11
2.3.1 Kerangka Berpikir ...................................................................................... 46
4.1 Diagram Psychological Capital Pegawai Kontrak Pria ................................ 71
4.2 Diagram Aspek Self Efficacy Pegawai Kontrak Pria .................................... 73
4.3 Diagram Aspek Hope Pegawai Kontrak Pria ................................................ 75
4.4 Diagram Aspek Resiliency Pegawai Kontrak Pria ........................................ 77
4.5 Diagram Aspek Optimism Pegawai Kontrak Pria ......................................... 79
4.6 Ringkasan 4 Aspek Psychological Capital Pegawai Kontrak Pria ............... 80
4.7 Diagram Psychological Capital Wanita ....................................................... 82
4.8 Aspek Self Efficacy Pegawai Kontrak Wanita .............................................. 84
4.9 Aspek Hope Pegawai Kontrak Wanita .......................................................... 86
4.10 Aspek Resiliency Pegawai Kontrak Wanita ................................................ 88
4.11 Aspek Optimism Pegawai Kontrak Wanita ................................................. 90
4.12 Ringkasan Hasil Psychological Capital Pegawai Kontrak Wanita............. 92
4.13 Perbedaan Psychological Capital (Kategori Tinggi) Pada Pegawai
Kontrak Pria Dan Wanita ........................................................................... 93
4.14 Perbedaan Psychological Capital (Kategori Sedang) Pada Pegawai
Kontrak Pria Dan Wanita ........................................................................... 94
4.15 Perbedaan Psychological Capital (Kategori Rendah) Pada Pegawai
Kontrak Pria Dan Wanita ........................................................................... 95
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Angket Studi Pendahuluan ........................................................................... 128
2. Skala Psikologi ............................................................................................. 131
3. Tabulasi Angket Studi Pendahuluan ............................................................ 136
4. Tabulasi Penelitian ....................................................................................... 138
5. Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas ............................................................. 142
6. Hasil Uji Hipotesis ....................................................................................... 145
7. Hasil Uji Anova ........................................................................................... 146
8. Surat Pengantar Penelitian, Surat Balasan Penelitian, Surat Bukti Telah
Melakukan Penelitian ................................................................................. 150
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pegawai merupakan salah satu aset utama suatu instansi yang menjadi
perencana sekaligus pelaku aktif dari setiap aktivitas organisasi. Mereka mempunyai
pikiran, perasaan, keinginan, status, dan latar belakang pendidikan, usia dan jenis
kelamin yang heterogen yang dibawa ke dalam suatu organisasi. Kualitas dan
kuantitas sumber daya manusia harus sesuai dengan kebutuhan organisasi supaya
efektif dan efisien menunjang tercapainya tujuan.
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN) terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS merupakan Pegawai ASN yang diangkat
sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk
pegawai secara nasional, sedangkan PPPK merupakan pegawai aparatur sipil negara
yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-
Undang. PPPK merupakan istilah baru yang masih asing, dimana sebelumnya lebih
dikenal dengan istilah tenaga honorer atau pegawai kontrak. Tugas pokok dan fungsi
dari PPPK adalah untuk membantu jabatan fungsional PNS baik yang bersifat
xviii
langsung (seperti membuat laporan kegiatan pekerjaan di lapangan) maupun tidak
langsung (seperti cetak dokumen, fotokopi, dll).
Pegawai kontrak memiliki beberapa hak yang juga dimiliki oleh PNS seperti
gaji, tunjangan dan cuti. Menurut pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara, PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti,
perlindungan dan pengembangan kompetensi. Baik pegawai pria maupun wanita
sebagian besar memiliki hak yang sama kecuali dalam hal cuti, dimana wanita
memiliki jenis cuti hamil sedangkan pria tidak. Namun secara umum hak dan
kewajiban yang dimiliki adalah sama. Berdasarkan UU tersebut diatas seharusnya
kinerja antara pegawai kontrak pria dan wanita sama, begitu pula motivasi kerja
dikarenakan pegawai kontrak memiliki hak yang sama dengan Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
Perbedaan hak antara pegawai kontrak dengan PNS memang tidak bisa
dipungkiri jika menyebabkan adanya kesenjangan. Menurut pasal 21 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PNS memperoleh hak berupa
gaji, tunjangan, fasilitas, cuti, jaminan hari tua (pensiun), perlindungan dan
pengembangan kompetensi. Hak memperoleh fasilitas dan jaminan pensiun tidak
dimiliki oleh pegawai kontrak. Hal inilah yang menjadi faktor yang mempengaruhi
harapan dan keinginan para pegawai kontrak untuk segera diangkat menjadi PNS.
Adanya pelarangan pengangkatan pegawai kontrak menjadi PNS sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Menjadi PNS, menegaskan bahwa pegawai kontrak tidak selalu
xix
dapat diangkat menjadi CPNS. Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
PNS yang berbunyi "Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat
Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat
tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."
Peraturan terbaru menyatakan bahwa pegawai kontrak hanya dapat menjadi
PNS melalui tes yang dilakukan secara terbuka untuk umum. Artinya mereka harus
bersaing juga dengan para peserta tes dari golongan umum yang bukan merupakan
pegawai kontrak di instansi pemerintahan. Terlebih lagi dengan adanya moratorium
pengangkatan CPNS yang diberlakukan sejak tahun 2015 sampai dengan waktu yang
belum ditentukan. Hal tersebut semakin berpengaruh pada harapan dan keinginan
para pegawai kontrak untuk menjadi PNS yang dapat berimplikasi pada kinerja dan
motivasi.
Berdasarkan informasi dari Sekretariat Daerah Kota Samarinda diketahui pada
tanggal 2 Mei 2016 terdapat banyak berkas lamaran untuk menjadi pegawai kontrak
yang tidak ditandatangani oleh Sekretaris Daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
banyak pelamar yang ditolak untuk bekerja di Pemerintah Kota Samarinda.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa bekerja menjadi pegawai kontrak di bidang
pemerintahan tetap diminati oleh kalangan pencari kerja. Hal itu dikarenakan
terbatasnya lowongan untuk menjadi PNS yang menyebabkan para pencari kerja
bersedia untuk bekerja dengan status pegawai kontrak atau tidak tetap (honorer) di
sebuah instansi pemerintahan. Meskipun sudah ada peraturan yang jelas tentang
xx
pengangkatan secara langsung dari pegawai kontrak menjadi PNS tetapi, pegawai
kontrak masih saja memiliki harapan dalam beberapa kurun waktu dapat diangkat
menjadi pegawai tetap atau PNS, meskipun tidak ada jaminan yang pasti dari sisi
peraturan perundangan yang ada.
Selain itu, terdapat beberapa kasus lain yang seringkali dirasakan oleh
pegawai kontrak yaitu masalah gaji. Dalam sebuah artikel berita pada 22 Februari
2014 menunjukan bahwa di Pemerintah Kota DKI Jakarta memiliki permasalahan
dimana seorang pegawai kontrak yang tidak mau disebutkan namanya mengaku
dirinya kerap direpotkan saat mengurus persoalan gaji (www.gresnews.com, diakses
pada 9 Mei 2016). Penerimaan gaji kontrak yang ia terima tidak pernah tepat waktu
akibat proses birokrasi yang panjang dalam pencairannya.
Kasus yang sama juga dirasakan oleh seorang pegawai kontrak yang bekerja
di dinas Pemuda dan Olah Raga DKI. Pegawai tersebut mengaku untuk penerimaan
gajinya di Dispora pada saat masuk di tahun 2012 sebesar Rp. 750 ribu, padahal Upah
Minimum Provinsi (UMP) DKI saat itu sekitar Rp. 1,5 juta. Hingga saat ini dia
mengaku masih menerima gaji dibawah upah minimum yaitu sebesar Rp. 1,9 juta
padahal upah minimum DKI pada saat ini sekitar Rp. 2,4 juta. Selain itu, pegawai
tersebut juga mengeluhkan beban kerjanya yang terkadang melebihi dari beban kerja
Pegawai Negeri Sipil (www.gresnews.com, diakses pada 9 Mei 2016).
Kasus diatas bukan merupakan hal yang baru bagi pegawai kontrak. Masalah
gaji bagi pegawai kontrak di sektor pemerintahan terkadang memang menjadi hal
yang dilematis bagi pegawai kontrak khususnya pria karena mereka menjadi tulang
xxi
punggung keluarga. Selain itu, beberapa pegawai pria yang masih berstatus pegawai
kontrak memiliki kecemasan terhadap kepastian dimasa depan terkait dengan
stastusnya. Kecemasan tersebut khususnya dalam hal kepastian waktu untuk kenaikan
status menjadi PNS.
Sektor pemerintahan seperti bidang Pekerjaan Umum (PU), lebih diminati
bagi para pegawai kontrak sebagai tempat bekerja dikarenakan honor tambahan yang
mereka terima lebih besar bila dibandingkan dengan sektor pemerintahan lainnya.
Beberapa daerah dengan potensi kekayaan alam yang besar terkadang memiliki
anggaran yang besar untuk bidang PU sehingga berimplikasi pada honor tambahan
yang diberikan kepada pegawai kontrak juga semakin besar.
Dinas Cipta Karya Dan Tata Kota Samarinda merupakan bagian dari bidang
ke-PU-an, dimana memiliki tugas pokok dan fungsi dalam merencanakan dan
membangun infrastruktur seperti fasilitas pendidikan, keagamaan, kesehatan,
pertamanan, perumahan sampai dengan proses relokasi dan penataan permukiman
kumuh. Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda terdiri dari 4 (empat) bidang
yaitu Bidang Bangunan dan Gedung, Bidang Penataan Kota, Bidang Prasarana Kota
dan Bidang Perumahan Permukiman.
Dinas Cipta Karya Dan Tata Kota Samarinda memiliki jumlah pegawai
sebanyak 209 orang pegawai. Dari jumlah tersebut, 87 pegawai diantaranya
merupakan pegawai kontrak yang terdiri dari 54 pria dan 33 wanita. Dari penjelasan
diatas diketahui bahwa pada dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda memiliki
jumlah karyawan kontrak yang cukup banyak yaitu dengan presentase sebesar 41,6%.
xxii
Memiliki jumlah pegawai kontrak yang presentase-nya hampir mendekati angka 50%
dari jumlah keseluruhan pegawai berimplikasi pada semakin beratnya beban anggaran
daerah karena sudah diketahui sebelumnya bahwa gaji yang diterima oleh pegawai
kontrak merupakan hasil dari APBD pada daerah tersebut dan bukan berasal dari
dana pemerintah pusat. Salah satu staff Sekretariat Daerah Samarinda
mengungkapkan bahwa anggaran daerah yang dikeluarkan Pemerintah Kota
Samarinda per bulan untuk gaji pegawai kontrak adalah kurang lebih 9 miliar. Angka
tersebut sangat besar dan membebani keuangan daerah, sehingga Pemerintah Kota
Samarinda berencana akan mengurangi jumlah pegawai kontrak dengan melakukan
seleksi dan evaluasi ulang.
Kondisi dimana terdapat wacana pengurangan jumlah pegawai kontrak,
perbedaan hak antara pegawai kontrak dengan PNS, adanya larangan pengangkatan
CPNS dari pegawai kontrak secara langsung dan moratorium sementara hingga waktu
yang belum ditentukan serta gaji yang sedikit kemungkinan bisa berdampak
psikologis terhadap pegawai kontrak. Namun, fakta menunjukkan bahwa minat para
pencari kerja untuk menjadi pegawai kontrak tidak surut bahkan semakin meningkat
seperti telah disampaikan sebelumnya.
Masalah-masalah tersebut diatas membuat kondisi psikologis pada pegawai
kontrak menjadi terpengaruh seperti contohnya saat ada wacana pengurangan jumlah
pegawai kontrak oleh pemerintah, pegawai kontrak bisa jadi memiliki kekhawatiran
dalam diri mereka dan hal tersebut akan membuat optimisme dalam diri mereka
menjadi terganggu dan hal tersebut juga akan berpengaruh pada self efficacy pegawai
xxiii
kontrak. Selanjutnya permasalahan adanya larangan pengangkatan CPNS dari
pegawai kontrak secara langsung dan moratorium sementara hingga waktu yang
belum ditentukan juga berpengaruh terhadap sikap hasrat atau keinginan pegawai
kontrak sehingga hope yang mereka miliki bisa jadi menurun. Masalah yang baru-
baru ini dialami oleh pegawai kontrak yaitu terkait gaji. Ada beberapa pegawai
kontrak yang masih mendapat gaji diawah UMR dan gaji yang dibayarkan seringpula
terlambat akan berpengaruh pada kondisi psikologis pegawai kontrak, seperti mereka
bisa menjadi stres dan membuat sikap resiliensi mereka diuji apalagi ada beberapa
pegawai kontrak pria yang sudah berkeluarga dan menjadi tulang punggung keluarga.
Kondisi diatas menarik untuk dikaji bagaimana psychological capital pada
pegawai kontrak di sektor pemerintahan bidang Pekerjaan Umum (PU) khususnya
pada dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda. Penelitian ini bermaksud untuk
mengkaji psychological capital pada pegawai kontrak di Dinas Cipta Karya Dan Tata
Kota Samarinda, khususnya pegawai pria dan wanita. Pembedaan subyek tersebut
dikarenakan, peneliti ingin mengkaji secara lebih detail apakah terdapat perbedaan
pada setiap aspek psycological capital (hope, optimism, resiliency, self efficacy)
antara pegawai kontrak pria dan wanita.
Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi
perkembangan positif seseorang dan dikarakteristikan oleh: (1) memiliki kepercayaan
diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang menantang dan memberikan
usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas-tugas tersebut; (2) membuat atribusi
yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan; (3) tidak
xxiv
mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk
mencapai tujuan (hope); dan (4) ketika dihadapkan pada permasalahan dan halangan
dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan lebih, untuk mencapai kesuksesan.
Sebagai langkah awal untuk menggali informasi mengenai bentuk
psychological capital pada pegawai kontrak, maka peneliti telah melakukan
wawancara singkat dengan 3 (tiga) narasumber yang bekerja di Pemerintah Kota
Samarinda pada tanggal 29 April 2016, dua diantaranya adalah pegawai kontrak di
Bidang Perumahan Permukiman Dinas Cipta Karya dan Tata Kota, sedangkan
satunya adalah pegawai kontrak di Bidang Prasarana Kota. Wawancara pertama
dilakukan dengan pegawai kontrak pria dengan inisial “S” yang merupakan pegawai
kontrak yang sudah bekerja selama kurang lebih 11 tahun. Pekerjaan rutin yang
dilakukan di kantornya adalah sebagai pengadministrasian dokumen proyek/kegiatan.
Dalam wawancara “S” mengungkapkan
“Setiap hari saya selalu datang meskipun tidak selalu tepat waktu
namun sering pulang malam, bahkan sabtu minggu terkadang
berangkat” ungkapnya.”Yang saya kerjakan tidak hanya tugas pokok
saja, kalo tugas pokok hanya sedikit. Banyaknya kontraktor yang
meminta bantuan untuk menyusun dokumen sebagai bagian dari
persyaratan dalam proses tagihan keuangan terkadang membuat
harus lembur, namun saya semangat karena biasanya ada honor
tambahan dari situ” ungkapnya sambil tertawa”.
(S, Pria, Bekerja 11 Tahun, 29-04-2016)
Wawancara kedua dilakukan dengan pegawai kontrak pria berinisial “DS”
yang merupakan pegawai kontrak dengan masa kerja 10 tahun. “DS” mengungkapkan
sedikit berbeda dengan narasumber sebelumnya.
xxv
“Tugas utama dari dinas sedikit, apalagi ketika sedang tidak ada
proyek, sehari-harinya paling cuma datang, duduk, ngobrol jadi
mendingan saya di rumah dan bantu istri yang bisnis catering pas lagi
ramai. Tapi kalau sedang ada kegiatan proyek berlangsung saya juga
aktif di kantor dan ke lapangan untuk kegiatan pengawasan. Saya
tetap jalani dengan santai”.
(DS, pria, bekerja 10 tahun, 29-04-2016)
Saat disinggung tentang peraturan-peraturan pemerintah yang melarang
adanya pengangkatan PNS dari pegawai kontrak DT tetap menanggapinya dengan
santai.
“Saya memang tidak berharap diangkat jadi PNS karena memang
sulit sekarang, jadi ya jalani aja sambil usaha lain biar gak
mengandalkan gaji saja”.
(DS, pria, bekerja 10 tahun, 29-04-2016)
Wawancara ketiga dilakukan dengan pegawai kontrak wanita dengan inisial
“I” yang telah bekerja kurang lebih 7 (tujuh) tahun sebagai pegawai kontrak.
“I” mengungkapkan “Saya punya anak kecil, jadi terkadang sering
datang terlambat karena harus menyiapkan segala sesuatunya untuk
anak terlebih dahulu, kalau pimpinan masih bisa memakluminya.
(I, wanita, bekerja 7 tahun, 29-04-2016)
Berkaitan dengan tugas pokoknya “I” mengungkapkan:
“Saya selalu menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawab saya
seperti pengadministrasian bidang, kalau job tambahan saya gak
ambil biar yang lain aja” ungkapnya. “Suami saya sudah PNS jadi
saya gak begitu ngejar tambahan, ya kadang-kadang aja sih kalau pas
lagi banyak proyek”.
(I, wanita, bekerja 7 tahun, 29-04-2016)
xxvi
Dari hasil wawancara diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Fenomena pertama adalah beberapa pegawai kontrak yang ada di Dinas Cipta Karya
dan Tata Kota Samarinda mengambil pekerjaan tambahan diluar tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) seperti membantu proses pemberkasan tagihan keuangan kontraktor
untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Mereka adalah pegawai pria baik yang
sudah berkeluarga maupun belum berkeluarga. Beberapa pegawai kontrak pria yang
lainnya lebih memilih usaha di luar (usaha pribadi) yang tidak berkaitan dengan tugas
pokok seperti pemborong/kontraktor, konsultan perencanaan, desain grafis dan
lainnya. Sedangkan untuk pegawai kontrak wanita tidak begitu bersemangat untuk
mengambil kerjaan tambahan dan hanya melaksanakan tugas pokok yang diberikan
oleh instansi.
Fenomena lain pada pegawai kontrak adalah berupa semangat kerja yang
tidak stabil. Pada waktu tertentu terdapat pegawai kontrak pria yang jarang terlihat
hadir di kantor, dikarenakan usaha pribadi yang dimiliki sedang mengalami
peningkatan permintaan. Dalam kurun waktu tersebut mereka lebih sering
memberikan perhatian pada usahanya, dengan mengabaikan jam kerja di kantor.
Namun ketika usaha pribadi tersebut mengalami kemunduran, maka pegawai tersebut
kembali aktif dalam aktifitas pekerjaan di kantor. Berbeda pada pegawai kontrak
wanita yang mana lebih stabil dalam hal kehadiran di kantor sesuai jam kerja (pagi-
sore) meskipun terkadang keterlambatan sering dialami oleh pegawai kontrak wanita
khususnya mereka yang sudah memiliki anak.
xxvii
Selanjutnya, peneliti melakukan studi awal yang dilakukan dengan
menggunakan angket pada tanggal 18 Oktober 2016 di Dinas Cipta Karya dan Tata
Kota Samarinda dengan melibatkan tiga puluh dua karyawan kontrak, yaitu dua belas
pegawai kontrak wanita dan dua puluh pegawai kontrak pria. Hasil studi awal
tersebut dapat dilihat dalam bentuk grafik sebagai berikut:
Gambar 1.1. Hasil Studi Awal
Berdasarkan hasil studi awal tersebut maka dugaan sementara adalah bahwa
pegawai kontrak pria memiliki nilai psychological capital yang lebih tinggi dari pada
pegawai kontrak wanita. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik diatas bahwa nilai dari
setiap aspek psychological capital seperti self efficacy, hope, resiliency, dan optimism
yang diperoleh oleh pegawai kontrak pria lebih tinggi dari pegawai kontrak wanita.
Studi awal tersebut didukung dengan data yang telah diperoleh sebelumnya, yaitu
dari hasil wawancara dengan tiga pegawai kontrak yang bekerja di Dinas Cipta Karya
dan Tata Kota Samarinda.
11,00
11,50
12,00
12,50
13,00
13,50
14,00
14,50
15,00
self efficacy hope resiliensy optimism
Pria
Wanita
xxviii
Dugaan sementara bahwa pegawai pria memiliki nilai psychological capital
yang tinggi bisa dibuktikan dengan dimilikinya sikap optimism yang tinggi yaitu
pegawai kontrak pria pada setiap kesempatan mau mengambil pekerjaan tambahan
diluar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seperti membantu proses pemberkasan
tagihan keuangan kontraktor untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Selain itu,
beberapa pegawai kontrak pria yang lainnya juga memiliki usaha di luar (usaha
pribadi) yang tidak berkaitan dengan tugas pokok seperti catering makanan, toko
retail, desain grafis dan lainnya. Sedangkan untuk pegawai kontrak wanita tidak
begitu bersemangat untuk mengambil kerjaan tambahan dan hanya melaksanakan
tugas pokok yang diberikan oleh instansi. Jadi, apabila hasil dari studi awal tersebut
menyatakan bahwa nilai aspek optimism pegawai kontrak wanita lebih rendah dari
pegawai kontrak pria memang benar.
Pegawai kontrak pria juga memiliki nilai hope yang tinggi yang diketahui dari
hasil wawancara sebelumnya, bahwa pegawai kontrak pria tidak begitu berharap
untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) setelah adanya peraturan yang
baru, dan untuk mengatasi hal tersebut pegawai kontrak pria memiliki pekerjaan
tambahan lain selain di kantor seperti membantu proses pemberkasan tagihan
keuangan kontraktor untuk mendapatkan tambahan penghasilan bahkan pegawai
kontrak pria sering kali lembur pada hari weekend hanya karena tugas tersebut. Dari
kedua data yaitu wawancara dan penyebaran angket, dapat dihubungkan yaitu bahwa
pria cenderung tidak mengandalkan penghasilan dari pegawai kontrak saja, namun
memiliki penghasilan dari sektor lain. Akan tetapi pegawai kontrak pria juga enggan
xxix
untuk meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai kontrak karena tetap ingin memiliki
penghasilan yang rutin meski statusnya sebagai pegawai kontrak tidak memiliki
jaminan. Berbeda dengan pegawai kontrak wanita yang lebih menerima keadaan yaitu
dilihat dari ketidak-tertarikannya untuk memiliki pekerjaan sampingan untuk
mendapatkan penghasilan lainnya. Hal tersebut dapat pula dihubungkan dengan data
wawancara sebelumnya yang menyatakan bahwa pegawai kontrak wanita enggan
untuk mencari penghasilan tambahan dikarenakan mereka dapat mengandalkan dari
penghasilan suami yang sudah memiliki penghasilan mencukupi. Hal inilah yang
dapat diduga menjadi penyebab resiliency yang dimiliki wanita juga lebih rendah
daripada pegawai kontrak pria.
Pegawai kontrak pria memiliki nilai resiliency yang lebih tinggi daripada
wanita karena pegawai kontrak pria mampu beradaptasi kembali dengan adanya
perubahan stres yang dihadapi, misalnya saja saat di instansi sepi tidak ada proyek
maka tugas utama pegawai kontrak menjadi sedikit biasanya hal yang sering
dilakukan oleh pegawai-pegawai kontrak lain adalah hanya datang, duduk, lalu
ngobrol hingga sore dan pulang. Apabia setiap hari hanya seperti itu maka bisa
menimbulkan stres namun, pegawai kontrak pria lebih bisa memanfaatkan waktu
senggang tersebut dengan pulang untuk mengerjakan pekerjaan lain seperti
membantu usaha catering istri.
Nilai self efficacy yang tinggi pada pegawai kontrak pria bisa dilihat dari
keaktifan mereka dalam hal menemukan tambahan pekerjaan. Beberapa diantara
mereka mampu mengembangkan potensi yang dimiliki terbukti pada beberapa subjek
xxx
memiliki pekerjaan sampingan sebagai desain grafis, desain eksterior dan interior
bangunan, wirausaha, kontraktor dan catering makanan. Berbeda dengan pegawai
kontrak wanita yang bersikap pasif sehingga tidak mampu mengembangkan potensi
yang dimiliki.
Studi empiris terkait ke-empat aspek dalam psychological capital diantaranya
Lehoczky (2013:26) menyatakan bahwa pria secara keseluruhan memiliki
psychological capital yang lebih tinggi daripada wanita. Hasil penelitian tersebut
didukung dengan penelitian oleh Scholoveno (2013:22) menyatakan bahwa Laki-laki
lebih memiliki resiliency yang tinggi daripada wanita. Resiliency yang tinggi
merupakan salah satu indikator seseorang memiliki nilai psychological capital yang
tinggi pula. Penelitian lain juga menyatakan bahwa resiliency yang rendah
berpengaruh dengan tinggi nya resiko stres (Vesdiawati & Kumolohadi, 2008:3).
Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian oleh Walenski (2015:4)
menyatakan bahwa pria memiliki energi untuk mencapai tujuan atau agency lebih
tinggi saat mengalami stress daripada wanita.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini merupakan sebuah
penelitian komparasi yang subjeknya adalah pegawai kontrak pada Dinas Cipta Karya
Dan Tata Kota Samarinda. Pegawai kontrak tersebut dalam penelitian ini akan di
bedakan berdasarkan pada jenis kelamin. Hal tersebut dilakukan karena pada
fenomena yang terjadi dilapangan, antara pegawai kontrak pria dan wanita terjadi
beberapa perbedaan.
xxxi
Banyaknya jumlah pegawai kontrak yang dimiliki Oleh Dinas Cipta Karya
Dan Tata Kota tidak selalu efektif dalam membantu atau menjalankan tugas-tugas
yang ada di dinas. Hal tersebut dikarenakan, kinerja para pegawai kontrak yang tidak
selalu produktif. Oleh karenanya penting diketahui bagaimana gambaran
psychological capital pada pegawai kontrak pda dinas Cipta Karya dan Tata Kota
Samarinda. Sebab kebanyakan dari pihak instansi pemerintahan kurang mengetahui
seperti apa psychological capital yang dimiliki oleh pegawai kontraknya. Di Dinas
Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda sendiri diketahui bahwa jumlah dari pegawai
kontrak memiliki presentase 41,6%, angka yang hampir mendekati dari separuh
pegawai yang bekerja pada dinas tersebut. Sebagai pegawai kontrak yang setidaknya
mendapatkan hak yang hampir sama dengan PNS, tentu diharapkan agar para
pegawai kontraknya memiliki potensi atau memiliki psychological capital yang
cukup memadai. Namun berdasarkan hasil studi awal yang diperoleh, dari tiga
pegawai kontrak di dinas rata-rata belum semua pegawai kontrak memiliki nilai
psychological capital yang tinggi pada setiap aspeknya.
Psychological capital sendiri telah diungkapkan sebelumnya merupakan
keadaan perkembangan psikologi positif yang menyangkut aspek hope, optimism, self
efficacy, dan resiliency. Apabila pegawai khususnya peagawai kontrak memiliki nilai
yang tinggi pada masing-masing aspek tersebut, maka dapat dikatakan pegawai
tersebut memiliki psychological capital. Psychogical capital dapat digunakan untuk
meningkatkan kompetensi dalam mencapai keuntungan dan kesuksesan organisasi
dengan melihat potensi secara keseluruhan dari pegawai kontrak tersebut. Selain itu,
xxxii
apabila seluruh pegawai kontrak baik pria maupun wanita yang bekerja dalam Dinas
Cipta Karya Dan Tata Kota Samarinda memiliki nilai psychological capital yang
tinggi, maka kesejahteraan pegawai kontrak di lingkungan kerja akan tinggi. Dengan
dimilikinya Psychological capital pada masing-masing pegawai kontrak diharapkan
dapat meningkatkan potensi sumber daya dalam organisasi, individu yang
mengembangkan konsep lebih sehat atau positif pada diri sendiri, akan mempertinggi
produktifitas individu dan kesuksesan dari organisasi.
Perbedaan status antara pegawai kontrak pria dan wanita menjadikan mereka
memiliki beban serta tanggungjawab yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Perbedaan beban serta tanggungjawab tersebut bisa jadi merupakan dasar
dari permasalahan psikologis pada keduanya sehingga berdampak pada kinerja
mereka di instansi khusunya Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda.
Perbedaan nilai psychological capital bisa saja terjadi karena pada masing-
masing pegawai kontrak. Tinggi rendahnya psychological capital pada setiap
pegawai kontrak perlu diketahui oleh instansi karena berdasarkan hasil dari beberapa
penelitian terdahulu menunjukan bahwa psychological capital memiliki korelasi
positif dengan aspek lain seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Youssef &
Luthans (2007:774) menunjukan komponen hope dari psychological capital memiliki
korelasi dengan performa pekerja, kepuasan kerja pada pekerja, kebahagiaan, dan
komitmen organisasi. Selain itu penelitian dari Jensen dan Luthans (2002:304)
menujukan bahwa komponen hope juga memiliki hubungan dengan performa
finansial, kepuasan kerja, dan employee retention. Hasil penelitian Luthans dkk.
xxxiii
(2004:321) menunjukan bahwa psychological capital memiliki korelasi negatif
dengan tingkat absen pekerja, “employee cycnism” dan intention to quit, akan tetapi
memiliki hubungan yang positif dengan kepuasaan kerja, komitmen, Organizational
Citizenship Behavior (OCB), performa pekerja, dan keefektifan kepemimpinan.
Namun, nilai psychological capital pada pegawai kontrak pria dan wanita bisa
berbeda pada setiap aspeknya. Oleh sebab itu, penting diketahui nilai masing-masing
aspek psychological capital (hope, resiliency, optimism, dan self efficacy) antara pria
dan wanita.
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Psychological Capital Pada Pegawai Kontrak
Ditinjau Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Dinas Cipta Karya Dan Tata Kota
Samarinda”.
1.2. Rumusan Masalah
Perbedaan fenomena yang terjadi pada pegawai kontrak antara pria dan
wanita menjadi daya tarik bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam, khususnya dari
sisi psikologi capital yang dimiliki. Adapun yang menjadi pertanyaan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan psychological capital pada pegawai kontrak pria dan
wanita di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
2. Bagaimana gambaran psychological capital pada pegawai kontrak pria di Dinas
Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
xxxiv
3. Bagaimana gambaran psychological capital pegawai kontrak wanita di Dinas
Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tiga tujuan yaitu:
1. Untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan tingkat psychological capital pada
pegawai kontrak pria dan wanita di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
2. Untuk mengetahui tingkat psychological capital pada pegawai kontrak pria di
Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
3. Untuk mengetahui tingkat psychological capital pada pegawai kontrak wanita di
Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda?
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk semua pihak, khususnya
bagi peneliti dan khalayak intelektual. Pada umumnya, bagi pengembangan keilmuan
baik dari aspek teoritis maupun praktis, diantaranya:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan menambah khazanah keilmuan dalam bidang
Psikologi, terutama tentang psychological capital dan pada bidang keilmuan lain,
sekaligus sebagai bahan telaah bagi penelitian selanjutnya.
xxxv
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu memberikan informasi dan gambaran
umum kepada Dinas Pekerjaan Umum khususnya Dinas Cipta Karya dan Tata Kota
Samarinda mengenai perbedaan psychological capital pada pegawai kontrak pria dan
wanita.
20
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psychological Capital
2.1.1 Definisi Psychological Capital
Munculnya psychological capital berawal dari pembahasan mengenai Positive
Organizational Behavior (POB), yaitu studi dan aplikasi mengenai kekuatan sumber
daya positif dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan diatur
demi perkembangan perfomansi di tempat kerja (Luthans, 2010:59). Kapasitas
psikologis yang dimaksud berbeda dengan traits yang bersifat statis (tetap) atau sulit
berubah, namun cenderung lebih elastis sehingga dapat mengalami perubahan
sepanjang masa hidup seseorang tergantung pada faktor situasional, seperti pengaruh
perubahan-perubahan tertentu dalam hidup atau pengalaman menjalani psikoterapi
yang ekstensif (Luthans, Yousef, & Avolio, 2007:60). Allport dan Odbert
menjelaskan bahwa trait merupakan karakteristik yang secara relatif menetap pada
diri individu, sedangkan state melibatkan tingkah Iaku, pikiran, dan tindakan yang
bisa dipelajari dan dikembangkan oleh setiap orang (feist & feist, 2010:84).
Psychological capital atau Psycap merupakan faktor inti dari kriteria POB,
yaitu (a) berdasarkan paradigma psikologi positif, (b) termasuk kedalam state
psikologi berdasarkan kriteria POB, (c) melampaui modal manusia dan modal sosial,
21
21
(d) melibatkan investasi dan pengembangan untuk kembali menghasilkan
peningkatan dan mengakibatkan keunggulan kompetitif (Luthans, 2005:250).
Luthan, Youssef dan Avolio (2007:3) mendefinisikan Psychological capital
atau Psycap, sebagai:
“is an individual’s psychological capital state of development and is
characterized by: (1) having confidence to take on and put in the
necessary effort to succed at challenging task (self-efficacy); (2)
making a positive attribution about succeeding now and in the future
(optimism); (3) persevering toward goals and when necessarry,
redirecting path to goals in order to succed (hope); and (4) when beset
by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even
beyond to attain succes (resiliency).”
Jadi, Psychological capital merupakan sebuah bagian dari perkembangan
individu manusia, dimana identik dengan: (1) memiliki kepercayaan diri untuk
mengambil dan mengerahkan upaya meraih keberhasilan akan tugas yang menantang
(self-efficacy); (2) bersikap positif tentang keberhasilan sekarang dan mendatang
(optimism); (3) tekun dalam mencapai cita-cita/tujuan dan bila diperlukan
mengalihkan cara untuk mencapai cita-cita sebagai bagian dari keberhasilan (hope);
(4) ketika dilanda masalah dan kesulitan, maka dapat bertahan dan bangkit kembali
bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resiliency)
(Luthan, dkk., 2007:3).
Beberapa ahli juga mengemukakan beberapa pandangan mereka terhadap
psychological capital seperti yang telah diungkapkan oleh Lehozky (2013:29) “…The
idea of “psychological capital” in this context is mentioned by Goldsmith (1997) for
the first time, which is defined as such traits of personality that define individual
22
22
productivity in psychology. They include the picture one has about themselves,
attitudes to work, ethical orientation and the general approach to life…”.
Berdasarkan pendapat dari Lehozsky (2013:29) menyatakan bahwa ide mengenai
psikologi kapital disebutkan oleh Goldsmith untuk pertama kalinya, yang
didefinisikan sebagai bagian dari kepribadian yang menentukan produktivitas
individu dalam psikologi. Hal tersebut dapat berupa persepsi mengenai diri mereka
sendiri, sikap dalam bekerja, orientasi etika, dan gambaran umum mengenai
kehidupan yang turut mempengaruhi produktivitas kerja.
Selanjutnya menurut Zenguo Zhou (2009:36) definisi psychological capital
“…PsyCap refers to positive psychological resources owned by
an individual, and is useful in predicting a psychological state
synthesis of individual high performance work and happiness
index. These positive mental states can lead to positive
organizational behavior, make individuals diligently do the right
thing and obtain higher performance and job satisfaction…”.
Menurut Zenguo Zhao PsyCap atau psychological capital mengacu pada
sumber daya psikologis yang positif yang dimiliki oleh seorang individu, dan berguna
dalam memprediksi sintesis keadaan psikologis kerja kinerja tinggi individu dan
indeks kebahagiaan. Ini mental positif dapat menyebabkan perilaku organisasi positif,
membuat individu rajin melakukan hal yang benar dan mendapatkan kinerja yang
lebih tinggi dan kepuasan kerja.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
Psychological capital adalah kecenderungan tingkah laku, pikiran, dan tindakan yang
merupakan sumber daya positif yang dapat berkembang pada individu meliputi aspek
23
23
self efficacy, optimism, hope, dan resiliency dan berdampak pada kinerja serta
kepuasan kerja pada pegawai kontrak (PPPK) yang diukur dengan menggunakan
PCQ (psychological capital Quesionare) dimana telah disesuaikan dengan ruang
lingkup wilayah studi.
2.1.2 Aspek-aspek Psychological Capital
Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan di atas, terdapat empat aspek
yang menyusun psychological capital, yaitu:
2.1.2.1 Self Efficacy
Luthans, Youssef, & Avolio (2007:38) mendefinisikan self-efficacy sebagai
suatu keyakinan atau kepercayaan diri seorang mengenai kemampuan dalam
mengarahkan motivasi, sumber-sumber kognisi, dan melakukan sejumlah tndakan
yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas dalam
konteks tertentu.
Luthans, Youssef, dan Avolio (2007:38) mengemukakan bahwa orang yang
memiliki self-efficacy memiliki karakteristik:
1. Individu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mengerjakan tugas-
tugas yang sulit
2. Menerima tantangan secara senang dan terbuka
3. Memiliki motivasi diri yang tinggi
4. Melakukan berbagai usaha untuk mencapai target yang telah dibuat
5. Gigih saat menghadapi hambatan
24
24
Dengan adanya kelima karakteristik tersebut orang-orang dengan self-efficacy
yang tinggi akan dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan mampu untuk
menjalankan tugas secara yang efektif (Luthans, dkk. 2007:38). Orang yang memiliki
self efficacy tinggi akan mampu untuk menetapkan tujuan dan memiliki tugas yang
sulit untuk dirinya. Sedangkan, pada orang yang memiliki self efficacy rendah,
individu akan memiliki keraguan-raguan, umpan balik yang negatif, kritik sosial
halangan, kegagalan yang berulang (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007:39).
Selanjutnya Luthans, Youssef, dan Avolio (2007:55) juga menyebutkan lima
penemuan penting terkait dengan self efficacy, yaitu:
1. Self-efficacy merupakan suatu bidang yang spesifik
Seorang individu bisa saja merasa percaya diri dalam menunjukan hal tertentu
namun tidak percaya diri pada hal lainnya. Hal ini menunjukan bahwa self
efficacy itu spesifik pada bidang yang ingin dilihat.
2. Hasil dari self-efficacy tergantung pada latihan dan tingkat penguasaan tugas
Individu memiliki self-efficacy tinggi dalam suatu hal tertentu karena ia sudah
pernah berlatih dan telah menguasai hal tersebut sebelumnya.
3. Self-efficacy dapat terus berkembang
Seseorang mungkin saja memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam suatu hal
tetapi ia merasa tidak nyaman ketika diminta melakukan tugas lainnya. Contoh:
seseorang yang biasa dan memiliki kemampuan menulis diminta untuk berbicara
didepan umum.
25
25
4. Self efficacy dipengaruhi oleh orang lain
Pandangan orang lain terhadap diri seseorang memiliki pengaruh terhadap
evaluasi diri yang muncul
5. Self-efficacy merupakan variabel dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
Tingkat kepercayaan diri seseorang tergantung dari banyak faktor. Faktor tersebut
dapat berupa hal yang bisa diraih masing-masing orang seperti pengetahuan dan
ketrampilan.
2.1.2.2 Optimism
Terdapat banyak definisi dalam psychological capital, salah satunya adalah
menurut seligman (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007:90) yang
mendefinisikan optimism sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian
positif sebagi suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat
terjadi dalam berbagai situasi, serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif
sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal diluar diri, bersifat sementara, dan hanya
terjadi pada situasi tertentu saja. definisi lain mengenai optimisme adalah sebuah
gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang positif dan
terbuka pada perkembangan diri yang menetap.
Penjelasan lebih lanjut dari Luthans, youssef & Avolio (2007:93) mengenai
orang optimis adalah orang yang akan beranggapan segala sesuatu yang terjadi pada
dirinya merupakan hal yang memang sengaja ia lakukan dan berada dalam kontrol
dirinya. Orang tersebut secara tidak langsung akan melihat segala sesuatu hal terjadi
dalam hidupnya secara positif dan apabila suatu hal yang negatif dalam hidupnya, ia
26
26
akan terus bersikap positif dan apabila percaya akan masa depannya. Pada orang yang
pesimistis, ia tidak akan perhatian pada hal yang positif dalam hidupnya bahkan ia
hanya akan fokus pada beranggapan hal yang terjadi tersebut dikarena kesalahannya
semata.
Seseorang yang optimis menjadi lebih realistik dan fleksibel. Hal tersebut
dikarenakan optimisme dalam psychological capital tidak hanya digambarkan
sebagai perasaan positif dan egois tetapi suatu pembelajaran yang kuat dalam hal
disiplin diri, analisa kesalahan masalalu, dan perencanaan pencegahan terjadinya hal
buruk (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007:96). Individu dengan optimisme yang
tinggi akan mampu merasakan implikasi secara kognitif dan emosional ketika
mendapatkan kesuksesan. Individu tersebut juga mampu menentukan memberikan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya mencapai
kesuksesan (Luthans, dkk. 2007:96).
Penjelasan diatas menunjukan bahwa seseorang yang memiliki optimism akan
mampu memandang permasalahan yang terjadi dalam hidupnya secara positif dan
menganggap hal negatif bukanlah hambatan untuk dirinya sehingga ia mampu untuk
menghadapi masa depan.
2.1.2.3 Hope
Menurut Snyder (dalam Luthans, dkk. 2007:66), hope adalah suatu keadaan
motivasi positif yang didasari oleh proses interaksi antara (1) agency/willpower
(kekuatan keinginan)–komponen ini adalah energi untuk mencapai tujuan dan (2)
27
27
pathways/waypower (perencanaan untuk mencapai tujuan) untuk mencapai
kesuksesan.
Hal yang membuat hope berbeda dengan komponen lainnya adalah
komponen hope memiliki pathway yang merupakan suatu perencanaan untuk
mencapai tujuan, dan agency yang menjelaskan bahwa hope bisa diterapkan pada
kehidupan sehari-hari. Individu yang memiliki hope, orang tersebut akan memiliki
kemampuan untuk mencari jalan alternatif dalam menyelesaikan permasalahan
hidupnya sehari hari meskipun ia mengalami berbagai hambatan.
Luthans, dkk. (2007:68) menyatakan bahwa ada beberapa cara yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan hope pada diri seseorang. Hal yang perlu
diperhatikan adalah goal-setting. Seseorang perlu mengetahui apa yang menjadi
tujuannya sehingga ia tahu apa yang dituju dan cara yang perlu dilakukan untuk
mencapainya. Selain itu, orang tersebut perlu melakukan stepping untuk
meningkatkan hope dalam dirinya. Stepping itu sendiri merupakan suatu cara
untuk menjabarkan setiap langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Hal
terakhir yang dapat meningkatkan hope adalah reward. Reward mampu
mendorong seseorang untuk mencapai harapannya sehingga ia akan termotivasi untuk
bekerja
2.1.2.4 Resiliency
Resiliency bisa didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk memantul atau
bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pada persitiwa positif,
kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, dkk. 2007:116).
28
28
Seseorang yang memiliki kemampuan resiliency yang tinggi mampu untuk belajar
dan berkembang dari tantangan yang dihadapi. Masten dan Reed (Luthans, dkk.
2007:116) mendefinisikan resiliency sebagai suatu fenomena dengan pola
adaptasi positif dalam konteks situasi yang menyulitkan dan beresiko.
Masten dan Reed (Luthans, dkk. 2007:117) menjelaskan bahwa
perkembangan dari resiliency itu sendiri bergantung pada dua faktor yaitu resiliency
assets dan resilience risk. Resiliency assets adalah karateristik yang dapat diukur
pada suatu kelompok atau individu yang dapat memprediksi keluaran positif di masa
yang akan datang dengan kriteria yang spesifik. Resilience risk adalah sesuatu yang
dapat meningkatkan keluaran yang tidak diinginkan, seperti pengalaman yang
tidak mendukung perkembangan diri, contohnya seperti kecanduan alkohol, obat–
obatan terlarang, dan terpapar trauma kekerasan.
Hasil temuan Youssef & Luthans (2005:303) menunjukkan bahwa resiliency
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pekerja dalam hal kepuasan,
kebahagiaan, dan komitmen pada pekerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa
resiliency memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan individu.
Jadi, keempat aspek dalam psychological capital yang sudah dijelaskan diatas
seperti self-efficacy, optimism, hope dan resiliency bersifat saling mempengaruhi satu
sama lain, sehingga keempat aspek tersebut lebih baik apabila diukur sebagai satu
kesatuan. Apabila psychological capital hanya dianalisis satu atau beberapa
karakteristik saja, penelitian tersebut menjadi tidak memadai karena psychological
29
29
capital tidak akan menjadi “psychological capital” apabila salah satu dari
karakteristiknya tidak ada (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007:25).
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aspek-Aspek Psychological Capital
2.1.3.1 Self efficacy
Menurut Bandura (dalam Anwar, 2009:60) ada beberapa hal yang
mempengaruhi Self efficacy, antara lain:
1. Budaya
Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai (value), kepercayaam
(beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulation process) yang berfungsi sebagai
sumber penilaian self efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self
efficacy.
2. Jenis Kelamin
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self efficacy. Hal ini dapat
dilihat dari penelitian Bandura (dalam Anwar, 2009:60) yang menyatakan bahwa
wanita efikasinya lebih tinggi dalam mengelola peranya. Wanita yang memiliki peran
selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karir akan memiliki self efficacy
yang tinggi dibanding dengan pria yang bekerja.
3. Sifat dari Tugas yang Dihadapi
Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan
mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri
semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin
rendah individu tersebut menilai kemampuanya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan
30
30
pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut
menilai kemampuanya.
4. Insentif Eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self efficacy inividu adalah insentif
yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang daat
meningkatkan self efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang
diberikan oleah orang lain yang merefleksikan seseorang.
5. Status Atau Peran Individu Dalam Lingkungan
Individu yang memiliki status lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol
yang lebih besar sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan
individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih
kecil sehingga self efficacy yang dimilikinya juga rendah.
6. Informasi Tentang Kemampuan Diri
Individu akan memiliki self efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi
positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self efficacy yang rendah,
jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
2.1.2.2 Hope
Weil (2000:4) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi harapan, yaitu:
1. Dukungan Sosial
Harapan memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial. Dalam penelitianya
mengenai pasien yang menderita penyakit kronis (Releigh dalam Weil, 2000:10)
31
31
mengatakan bahwa keluarga dan teman pada umunya diidentifikasikan sebagai
sumber harapan untuk penderita penyakit kronis dalam beberapa aktovotas seperti
mengunjungi suatu tempat, mendengarkan, berbicara, dan memberikan bantuan
secara fisik. Hert (dalam Weil, 2000:10) mengindentifikasikan pertahanan hubungan
peran keluarga sebagai sesuatu yang penting bagi tingkat harapan dan coping.
Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial diatrbusikan sebagai hasil kesehatan yang lebih
buruk seperti peningkatan morbidity dan kematian awal. Individu mengekspresikan
perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain.
2. Kepercayaan Religius
Kepercayaan religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai sumber
utama harapan dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius dijelaskan sebagai
kepercayaan dan keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu
pada kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
untuk situasi individu saat ini. Spritual merupakan konsep yang lebih luas dan
terfokus pada tujuan dan makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam,
ataupun dengan Tuhan (Reed dalam weil, 2000:11), Releigh (dalam weil, 2000:10)
menyataka bahwa kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum
untuk mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber dalam mendukung harapan
pada pasien dengan penyakit kronis.
3. Kontrol
Mempertahankan kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep arapan.
Mempertahankan kontrol dapat dilakukan dengan cara tetap mencari informasi,
32
32
menentukan nasib sendiri, dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat pada
harapan individu. Kemampuan individu akan kontrol juga dipengaruhi self efficacy
(Venning, dkk. Dalam Weil, 2000:11) yang dapat meningkatkan persepsi individu
terhadap kemampuan akan kontrol.
Harapan dapat dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemampuan
untuk menentukan, menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stress,
kepemimpinan, dan menghindari ketergantungan. Penelitian menunjukan bahwa
harapan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi seseorang mengenai sumber
internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa mereka dapat mengontrol nasib
mereka sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki sumber kontrol eksternal
berharap untuk dikontrol oleh kekuatan atau paksaan yang berasala dari luar dirinya.
2.1.2.3 Resiliency
Everall Robin, (2006:461) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi
resiliency, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor Individual
Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga
diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Keterampilan kognitif
berpengaruh penting pada resiliency individu. Intelegensi minimal rata-rata
dibutuhkan bagi pertumbuhan resiliency pada diri individu karena resiliency sangat
terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat
bahasa yang tepat, kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliency
juga dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan
33
33
menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada diri individu yang
bersangkutan.
Delgado (LaFramboise Teresa D, 2006:195) menambahkan dua hal terkait
dengan faktor individual, meliputi:
a. Gender
Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu. Resiko kerentanan
terhadap tekanan emosional, perlindungan terhadap situasi yang mengandung resiko,
dan respon terhadap kesulitan yang dihadapi dipengaruhi oleh gender.
b. Keterikatan degan Kebudayaan
Keterikatan dengan budaya meliputi keterlibatan seseorang dalam aktivitas-
aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang
diyakini dalam kebudayaan tersebut. Resiliensi dipengaruhi secara kuat oleh
kebudayaan, baik sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai, dan
standar kebaikan dalam suatu masyarakat.
2. Faktor Keluarga
Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber dari orang tua, yaitu
bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani anak. Selain dukungan
dari orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu.
3. Faktor Komunitas
Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja.
Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
34
34
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Pada umumnya di
negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan diantaranya laju pertumbuhan
penduduk, angkatan kerja, distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan,
tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya perhatian dari pemerintah.
Keterbatasan kesempatan kerja merupakan suatu keadaan dimana kurangnya
peluang setiap penduduk di suatu negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Keadaan tersebut dapat diakibatkan karena kurangnya keterampilan yang dimiliki
oleh setiap individu terhadap suatu jenis pekerjaan tertentu. Faktor pendidikan juga
mempengaruhi setiap individu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Keterbatasan kesempatan kerja juga memicu munculnya pengangguran sebagai
masalah sosial. Kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja merupakan kategori
masalah sosial ekonomi yang bersifat komunitas.
2.1.2.5 Optimism
Menurut para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi optimism, yaitu
(Idham, 2011:23):
1. Pesimistik, sebagian orang mengatakan mereka mampu berpikir lebih positif
namn pemikiran mereka terkadang terketuk oleh sifat pesimistik sehingga untuk
merubahnya menjadi optimis dapat dimulai dari tindakan yang ditetapkan sendiri.
2. Pengalaman bergaul dengan orang laindan lingkungan sekitar membentuk
kemampuan untuk mengagumu daya tarik yang dimiliki orang lainsehingga
mambantu mereka memperoleh optimisme.
35
35
3. Prasangka, prasangka hanyalah prasangka, hal tersebut bisa menjadi fakta dan
bisa pula tidak.
Pesimis, prasangka dan pengalaman bergaul dengan orang lain menjadi faktor
bagi seseorang untuk tidak larut dengan pesimis dan prasangka buruk mereka dan
selalu berpusat pada pemikiran positif yang dapat membangunnya.
2.1.3 Dampak dari Psychological Capital
Youssef dan Luthans (2007:143) melakukan penelitian untuk mengetahui
efek dari Psychological Capital dimana memiliki hubungan dengan perilaku kerja
yang diinginkan (yaitu performa kerja, kepuasan kerja, kebahagiaan kerja, serta
komitmen organisasi). Temuan ini menujukkan bahwa memang kapasitas-
kapasitas positif yang dimiliki karyawan dalam sebuah organisasi memberikan
pengaruh positif dalam mengembangkan perilaku kerja yang diinginkan tersebut,
dimana didalamnya terdapat kepuasan kerja. Luthans, dkk. (2007:569), Hedissa
(2010:5), Cetin (2011:385), dan Avey, dkk. (2011:140) yang menyatakan bahwa
terdapat korelasi yang signifikan antara Psychological Capital dan kepuasan kerja
sehingga semakin tinggi Psychological Capital partisipan maka berdampak pula
semakin tinggi kepuasan kerjanya. Dalam penelitian Nafei (2015:263) menunjukan
bahwa dimensi Psychological Capital (hope, resiliency, optimism,dan self efficacy)
memiliki hubungan yang positif dengan employee attitude (kepuasan kerja dan
komitmen organisasi). Dimilikinya Psychological Capital juga membuat karyawan
lebih efektif dalam mencapai kepuasan kerja, komitment organisasi, dan employee
36
36
perfomance. Tingginya nilai Psychological Capital akan menyebabkan lebih banyak
kepuasan, lebih banyak komitmen, dan kinerja yang tinggi dari karyawan.
Hasil penelitian lain yaitu Avey (2010:17) menunjukkan bahwa Psychological
Capital dapat meningkatkan Psychological Well-Being pekerja/karyawan. Penelitian
Liwarto & Kurniawan (2015:239) menyatakan bahwa modal psikologi
(Psychological Capital) secara keseluruhan dari karyawan berhubungan positif dan
signifikan dengan dengan kinerja individual karyawan. Psychological Capital
seseorang menjadi modal utama untuk membangun perilaku positif dalam bekerja.
Psychological Capital dapat menjadi karakteristik seperti motif dan konsep diri
sesuai konsep Spencer dan Spencer (dalam Liwarto & Kurniawan, 2015:239). Hal
ini sejalan dengan penelitian Hendarman (dalam Liwarto & Kurniawan, 2015:238)
yang menguji modal psikologi secara menyeluruh dengan kinerja karyawan pada
perusahaan jasa dan manufaktur. Penelitian lain yang sejalan yaitu Soleha, dkk.
(2013:76) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keterlibatan pegawai dalam
proses penyusunan anggaran maka semakin tinggi pula kinerjanya. Hal tersebut
dikarenakan pegawai dengan tingkat partisipasi tinggi dalam anggaran akan
memiliki kepercayaan diri (self-efficacy), tingkat optimisme (optimism), tingkat
harapan (hope), dan tingkat ketahanan (resiliency) yang tinggi pula. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Psychological Capital merupakan sebuah variabel intervening yang
memediasi hubungan antara partisipasi anggaran terhadap kinerja pegawai yang
berdampak pada peningkatan kinerja.
37
37
Kesimpulannya adalah bahwa variabel psychological capital atau psycap
merupakan variabel yang apabila dimiliki oleh seseorang pekerja maka akan
memberikan dampak yang positif dalam aspek pekerjaannya, seperti memiliki
kepuasan kerja, kebahagiaan kerja, psychological well-being, komitmen organisasi
dan peningkatan kinerja.
2.1.5 Perbedaan Psychological Capital pada Pria dan Wanita
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui pada setiap aspek dalam
psychological capital memiliki nilai yang berbeda-beda pada pria dan wanita. Berikut
adalah uraian dari beberapa studi empiris terkait ke-empat aspek dalam psychological
capital diantaranya Lehoczky (2013:26) menyatakan bahwa pria secara keseluruhan
memiliki psychological capital (aspek hope, self efficacy, resiliency, optimism) yang
lebih tinggi daripada wanita.
Hasil penelitian yang sifatnya lebih spesifik diungkapkan oleh Scholoveno
(2013:22) menyatakan bahwa laki-laki lebih memiliki resiliency yang tinggi daripada
wanita. Sejalan dengan Scholoveno, penelitian Mancini dan Bonano (2006:786)
menyatakan bahwa laki-laki lebih resilien dibandingkan dengan wanita. Rerata skor
resiliensi laki-laki lebih tinggi dibandingkan rerata skor resiliensi perempuan. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan hasil Barends (2004:54) menunjukkan bahwa faktor
demografi meliputi usia, jenis kelamin, bahasa, ras, penduduk asli dan pendatang,
pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Bonano, Rennicke
dan Dekel (dalam Rinaldi, 2010:102) menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi
resiliensi adalah jenis kelamin, usia, ras, pendidikan, tingkat trauma, pendapatan,
38
38
dukungan sosial, frekuensi penyakit kronis, tekanan kehidupan masa lalu dan
sekarang.
Selanjutnya, menurut Einsenberg, dkk. (2003:11) individu dengan tingkat
resiliency yang tinggi (laki-laki) mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi
untuk mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan
individu dengan tingkat resiliency yang rendah (perempuan) memiliki fleksibilitas
adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan,
cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau tekanan,
serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali setelah mengalami
pengalaman traumatik. Resiliency yang tinggi merupakan salah satu indikator
seseorang memiliki nilai psychological capital yang tinggi pula. Penelitian lain juga
menyatakan bahwa resiliency yang rendah berpengaruh dengan tinggi nya resiko stres
(Vesdiawati & Kumolohadi, 2008:3). Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil
penelitian oleh Walenski (2015:4) menyatakan bahwa pria memiliki energi untuk
mencapai tujuan atau agency lebih tinggi saat mengalami stress daripada wanita.
Perilaku resiliency erat kaitannya dengan perilaku optimistis, dimana
optimistis cenderung mendorong/meningkatkan perilaku resiliency. Hal tersebut
didukung oleh hasil penelitian Karanci, dkk. (1999:14) tentang kemampuan
menyesuaikan diri terhadap gempa menemukan bahwa pria sering menggunakan
pendekatan penyelesaian masalah dan mempunyai sikap optimis dibandingkan
wanita, sedangkan wanita menggunakan pola ketidakberdayaan dibandingkan laki-
laki. Menurut Einsenberg, dkk. (2003:11), individu dengan tingkat resiliency yang
39
39
tinggi (laki-laki) mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk
mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan individu
dengan tingkat resiliency yang rendah (perempuan) memiliki fleksibilitas adaptif
yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan, cenderung
keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau tekanan, serta
mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali setelah mengalami pengalaman
traumatik.
Perbedaan pada aspek self-efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya yaitu jenis kelamin (gender). Menurut Bandura (1997:212) tinggi rendahnya
efikasi diri seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh
adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri
individu. Bandura (1997:213) menambahkan ada beberapa yg mempengaruhi efikasi
diri salah satunya adalah jenis kelamin (gender). Orang tua sering kali memiliki
pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan perempuan. Zimmerman
(Bandura, 1997:213) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan
kemapuan dan kompetesi laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki berusaha untuk
sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali meremehkan kemampuan
mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Orang tua
menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibanding laki-laki,
walaupun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda. Semakin seorang wanita
menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah penilaian mereka
terhadap kemampuan dirinya. Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu para pria
40
40
memiliki Efikasi Diri yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga
sebaliknya wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan
nilai psychological capital pada pria dan wanita. Setiap aspek dalam psychological
capital memiliki perbedaan pada setiap jenis kelamin, untuk itulah penting diketahui
seberapa besar nilai psychological capital pada pegawai kontrak pria dan wanita.
2.2 Pegawai Kontrak
2.2.1 Definisi Pegawai Kontrak
Pegawai kontrak atau juga sering disebut sebagai PPPK yang merupakan
kepanjangan dari Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja adalah warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah (UU
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 1 ayat 4. Berdasarkan
rancangan peraturan pemerintah, kriteria jabatan yang diisi oleh PPPK adalah
merupakan jabatan yang tidak berkaitan dengan perumusan dan penetapan kebijakan,
tidak berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam pertahanan dan keamanan
negara, rahasia negara dan keuangan negara. Selain itu, jabatan yang dapat diisi oleh
PPPK merupakan jabatan yang bersifat teknis operasional, pelayanan dan pendidik
profesional. Sebagai tambahan, PPPK tidak berwenang mengambil keputusan dalam
pengelolaan aset, personil dan keuangan.
41
41
Dalam hal penetapan kebutuhan pegawai pemerintahan dengan perjanjian
kerja, setiap instansi pemerintah wajib menyusun kebutuhan dan jenis jabatan PPPK
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan jumlah
PPPK dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun yang diperinci per satu tahun
berdasarkan sesuai dengan siklus anggaran. Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan
PPPK ditetapkan dengan keputusan menteri dengan memperhatikan pendapat menteri
yang membidangi keuangan dan mempertimbangkan teknis dari kepala BKN.
Penyusunan kebutuhan PPPK dilakukan bersamaan dengan penyusunan kebutuhan
CPNS.
Pengadaan PPPK sendiri bertujuan untuk mengisi jabatan tertentu yang
lowong pada instansi pemerintah. Pengadaannya dilakukan melalui tahapan
perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi,
dan pengangkatan menjadi PPPK. Penerimaan PPPK dilaksanakan oleh instansi
pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi,
kebutuhan, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Perencanaan
pengadaan PPPK dilakukan oleh pejabat pembina Kepegawaian setelah kebutuhan
PPPK ditetapkan oleh menteri. Setiap lowongan jabatan PPPK diumukan secara luas
oleh pejabat pembina kepegawaian melalui media cetak dan elektronik. (UU Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).
42
42
2.2.2 Syarat PPPK
Untuk bisa melamar jabatan PPPK, setiap warga negara harus memenuhi
persyaratan administrasi umum sebagai berikut (BKD Kota Samarinda, 2015)
(sumber dapat berbeda sesuai dengan kebutuhan daerah):
1. warga negara indonesia: berusia paling rendah 17 tahun dan paling tinggi 35 tahun
pada saat melamar.
2. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasrkan keputusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suaru
tindakan pidana kejahatan.
3. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau
dengan hormat sebagai Pegawai negeri sipil, atau diberhentikan tidak hormat
sebagai pegawai swasta.
4. Mempunyai pendidikan formal, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang
diperlukan
5. Tidak menjadi anggota/pengurus partai politik
6. Barkelakuan baik
7. Sehat jasmani dan rohani
8. Bersedia ditempatkan di instansi manapun dalam Pemerintah Kota/Kab di tempat
melamar
9. Memenuhi persyaratan lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan.
43
43
2.2.3 Hak-hak Pegawai Kontrak
Berdasarkan UU no. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal
22, PPPK berhak memperoleh:
1. Tunjangan
2. Cuti
3. Perlindungan,dan
4. pengembangan kompetensi
2.3. Kerangka Konseptual
Psyhological capital merupakan hasil dari pandangan yang muncul karena
adanya kebutuhan perusahaan akan pekerja yang berkualitas. Perusahaan memiliki
beragam persyaratan dan kebutuhan akan pekerja sehingga membuat perusahaan
berlomba-lomba untuk mencari pekerja yang memiliki kualitas individu yang baik
(Luthans, dkk. 2007:16). Psychological capital sendiri memilki definisi sebagai suatu
keadaan perkembangan psikologi positif yang menyangkut aspek hope, optimism, self
efficacy, dan resiliency.
Pegawai kontrak pria dan wanita yang bekerja di Dinas Cipta Karya dan Tata
Kota Samarinda memiliki karateristik dan permasalahan yang berbeda pada masing-
masing individu. Perbedaan tersebut bisa berdampak pada perbedaan nilai psikologi
positif pada masing-masing individu. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian
terdahulu yang menyebutkan ada beberapa perbedaan hasil pada studi empiris terkait
ke-empat aspek dalam psychological capital (hope, resiliency, optimism, self efficacy)
44
44
diantaranya Lehoczky (2013:26) menyatakan bahwa pria secara keseluruhan
memiliki psychological capital yang lebih tinggi daripada wanita. Hasil penelitian
tersebut didukung dengan penelitian oleh Scholoveno (2013:22) menyatakan bahwa
laki-laki lebih memiliki resiliency yang tinggi daripada wanita. Resiliency yang tinggi
merupakan salah satu indikator seseorang memiliki nilai psychological capital yang
tinggi pula. Penelitian lain juga menyatakan bahwa resiliency yang rendah
berpengaruh dengan tinggi nya resiko stres (Vesdiawati & Kumolohadi, 2008:3).
Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian oleh Walenski (2015:4)
menyatakan bahwa pria memiliki energi untuk mencapai tujuan atau agency lebih
tinggi saat mengalami stress daripada wanita.
Namun, Octaviani, dkk. (2013:8) menyatakan bahwa dalam penelitiannya
wanita yang memiliki konflik peran ganda memiliki nilai psychological capital yang
tergolong tinggi. Selain itu Patton, dkk. (2004:198) menyatakan bahwa Pada wanita
optimism sangat berpengaruh pada karir yang ingin dicapai sedangkan, pada pria
optimism dan self esteem keduanya berpengaruh pada karir yang diharapkan.
Psychlogical capital dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi dalam
mencapai keuntungan dan kesuksesan organisasi dengan melihat potensi secara
keseluruhan dari pegawai kontrak tersebut. Selain itu, apabila seluruh pegawai
kontrak baik pria maupun wanita yang bekerja dalam Dinas Cipta Karya dan Tata
Kota Samarinda memiliki psychological capital, maka kesejahteraan pegawai kontrak
di lingkungan kerja akan tinggi. Dengan dimilikinya Psychological capital pada
masing-masing pegawai kontrak diharapkan dapat meningkatkan potensi sumber
45
45
daya dalam organisasi, individu yang mengembangkan konsep lebih sehat atau positif
pada diri sendiri, akan mempertinggi produktifitas individu dan kesuksesan dari
organisasi.
Selain itu, tinggi nya nilai psychological capital pada pegawai kontrak juga
memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi, perfomansi kerja,
OCB, psychological well-being, kinerja organisasi dll. Hal tersebut telah diungkapkan
lewat penelitian-penelitian terdahulu.
Perbedaan psychological capital pada pegawai kontrak pria dan wanita akan
diuraikan dalam skema kerangka berpikir berikut:
46
46
2.3.1 Kerangka Berpikir
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK)
Kontrak
Pegawai Kontrak Pria Pegawai Kontrak Wanita
- Tidak ada jaminan perundang-undangan yang pasti perihal pengangkatan menjadi PNS
- Gaji sedikit dan seringkali bermasalah
- Beban sebagai tulang punggung keluarga
- Memiliki usaha di luar - Mengambil kerja
tambahan (lembur) lebih berat dari pegawai wanita
- Beberapa diantara mempertimbangkan untuk keluar
- Memiliki suami PNS/Karyawan Swasta
- Hanya melakukan tugas pokok dinas
- Beban kerja lebih ringan
- Kurang disiplin dalam kedatangan
- Self efficacy - Hope - Optimism - resiliency
Psychological Capital
rendah
Nilai tinggi Nilai rendah
Perfomansi kerja, komitmen organisasi, OCB, psychological well-
being
Burnout, stres kerja, absentime
Psychological Capital
tinggi
47
47
Pegawai kontrak memiliki beberapa permasalahan tentang ketidakpastian
terkait pekerjaan mereka seperti tentang gaji dan Tidak ada jaminan perundang
undangan yang pasti perihal pengangkatan menjadi PNS. Selain hal tersebut ada
beberapa permasalahan lain yang terjadi pada pegawai kontrak pria dan wanita. Pada
pegawai kontrak pria misalnya, berdasarkan data awal pegawai kontrak pria yang
merupakan tulang punggung keluarga memiliki beban lebih daripada pegawai kontrak
wanita. Pegawai kontrak pria juga diketahui memiliki usaha di luar seperti kontraktor,
design toko/rumah, catering dll. Rata-rata dari mereka juga akan mengambil
pekerjaan tambahan dari dinas (lembur) yang lebih berat dari pegawai wanita. Selain
itu, beberapa dari pegawai pria juga mempertimbangkan untuk keluar dari dinas
karena terkait dengan ketidakpastian menjadi PNS.
Pada pegawai kontrak wanita, mereka rata-rata memiliki suami yang bekerja
sebagai PNS atau karyawan swasta sehingga hal itu membuat pegawai kontrak wanita
tidak memiliki pekerjaan tambahan dan tidak mengambil lembur.jadi, mereka hanya
mengerjakan tugas pokok dinas saja. Pegawai kontrak wanita juga diketahui tidak
disiplin dalam waktu kerja karena mereka sering kali terlambat karena urusan pribadi
seperti menjemput anak.
Dari beberapa karakteristik yang berbeda antara pegawai kontrak pria dan
wanita, akan mengindikasikan seberapa tinggi nilai aspek-aspek dalam psychological
capital (self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency) pada pegawai kontrak pria dan
wanita. Apabila pegawai kontrak memiliki nilai yang tinggi pada tiap aspek tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa pegawai kontrak tersebut memiliki psychological
48
48
capital, namun manakala pegawai kontrak memiliki nilai yang rendah pada tiap aspek
tersebut diatas maka dapat dikatakan pegawai tersebut tidak memiliki psychological
capital.
Ketiadaan psychological capital (nilai yang rendah tiap aspek) pada manusia
secara umum berdasarkan beberapa hasil penelitian akan berdampak pada burnout,
stres kerja, absentisme dan lain-lain. Sedangkan, apabila pegawai kontrak memiliki
psychological capital maka hal itu akan berpengaruh pada perfomansi kerja,
komitmen organisasi, kinerja, dan OCB pada pegawai kontrak. Untuk itulah penting
diketahui oleh instansi/perusahaan, seberapa tinggi nilai tiap aspek psychological
capital yang dimiliki pegawai kontrak mereka.
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, akhirnya dapat dirumuskan hipotesis
penelitian yaitu “Ada Perbedaan Psychological Capital Pegawai Kontrak Ditinjau
dari Jenis Kelamin di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda”.
120
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan mengenai psychological capital
pada pegawai kontrak pria dan wanita pada Dinas Cipta Karya dan Tata Kota
Samarinda, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan psychological capital yang signifikan pada pegawai kontrak
pria dan wanita di Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda, dimana mayoritas
pegawai kontrak pria memiliki nilai psychological capital pada kategori tinggi
dari pegawai kontrak wanita.
2. Sebagian dari populasi pegawai kontrak pria memiliki psychological capital yang
berada pada kategori tinggi, sedangkan sebagian lainnya memiliki tingkat
psychological capital sedang.
3. Pegawai kontrak wanita sebagian besar memiliki psychological capital yang
berada pada kategori sedang, hanya sebagian kecil saja memiliki tingkat
psychological capital pada kategori tinggi. Selain itu, beberapa aspek seperti self
efficacy dan resiliency pada pegawai kontrak wanita juga ada yang masuk pada
kategori rendah.
121
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan kesimpulan diatas, maka
peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi Instansi
a. Dinas dapat memberikan pelatihan-pelatihan terkait karakteristik psychological
capital untuk meningkatkan psychological capital yang masih tergolong rendah
hingga sedang. Misalnya saja pegawai kontrak dapat meningkatkan psychological
capital mereka dengan cara, melatih diri untuk membuat target pekerjaan pribadi
yang sekiranya mudah untuk diselesaikan oleh pegawai kontrak tersebut,
misalnya membuat target untuk menyelesaikan tugas tambahan. Hal tersebut akan
membuat pegawai kontrak terlatih untuk membuat perencanaan target di masa
depan sehingga pegawai kontrak tersebut dapat menemukan alternatif-alernatif
ketika mengalami kesulitan dalam mencapai target yang sudah direncanakan.
b. Untuk meningkatkan resiliency khususnya bagi pegawai kontrak wanita, pihak
dinas bisa melakukan suatu kegiatan bersama yang dilakukan setiap akhir bulan
dengan tujuan untuk berdiskusi bersama antar pegawai kontrak sehingga apabila
terdapat permasalahan, pegawai kontrak bisa saling mendukung satu sama lain.
Kegiatan ini bisa dilakukan oleh beberapa dinas secara bersamaan sehingga bisa
diketahui macam-macam permasalahan yang dihadapi.
c. Untuk meningkatkan beberapa komponen psychological capital seperti optimism
dan hope pihak dinas dapat memberikan penghargaan “employee of the month”
122
yang peneliti rasa dapat meningkatkan beberapa komponen psychological capital
khususnya optimism dan hope dan dengan adanya penghargaan tersebut pegawai
kontrak mendapat suatu kebanggan tersendiri dan termotivasi untuk
mempertahankan prestasi yang sudah diraih sehingga kinerjanya menjadi semakin
baik lagi.
2. Bagi Pegawai Kontrak
Pegawai kontrak diharapkan dapat mengikuti kegiatan pelatihan apabila diadakan
pelatihan terkait dengan aspek-aspek psychological capital.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti mengenai psychological capital
dapat mempertimbangkan jumlah partisipan penelitian selanjutnya agar
diperbanyak jumlahnya. Tidak terbatas pada Dinas Cipta Karya dan Tata Kota
Samarinda saja tetapi juga di seluruh dinas yang ada di Pemerintahan Kota
Samarinda sehingga hasil yang didapat lebih representatif untuk mewakili
pegawai kontrak pada umumnya.
b. Terdapat predisposisi antara instrumen PCQ (psychological capital Quistionairre)
dengan respon jawaban yang telah diadaptasi sehingga perlu didiskusikan lebih
lanjut agar hasil penelitian bisa lebih valid.
c. Perlu ditambahkan teori mengenai faktor-faktor dari psychological capital
sehingga akan menambah kekuatan dari teori tersebut.
123
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, P.M. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Avey, J. B., Luthans, F., Smith, R. M., Palmer, N. F. (2010). Impact of psychological
Capital on employee Well-being Over Time. Journal of Occupational Health
Psychology, Vol 15, No. 1, 17-28.
Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F. & Mhatre, M. (2011). Meta-Analysis of The
Impact of Positive Psychological Capital on Employee Attitudes, Behavior and
Performance. Human Resource Development Quarterly, Vol. 22, No. 2, 127-
152.
Azwar, Saifuddin. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
______________. (2012). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
______________. (2015). Dasar-dasar Psikometrika edisi II. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
______________. (2016). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bandura, Albert. (1977). Self -efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral
Change. Psychological Review, Vo. 84, No. 2, 191-215.
Barends, M.S. (2004). Overcoming adversity: An investigation of the role resilience
constructs in the relationship between socioeconomic and demographic factor
and academic caping. Thesis. Department of Psychology. University of the
Western Cape.
Cetin, F. (2011). The effect of The Organizational Psychological Capital on The
Attitudes of Commitment and Satisfaction: a Public Sample in Turkey.
European Journal of Social Science, Vol. 21, No.3, 373-380.
Eisenberg, N., Valiente, C., Fabes, A.R., Smith, L.C., Reiser, M., Shepard, A.S.,
Losoya, H.S., Guthrie, K.I., Murphy, C.B., and Cumberland, J.A. (2003).
“The reaction of effortfull control and ego control to children‟s resilience and
social functioning”. Developmental Psychology vol. 39, 761-776.
Ekasari, A., & Susanti, N. D. (2009). Hubungan Antara Optimisme dan Penyesuaian
Diri dengan Stress pada Narapidana Kasus Napza di Lapas Kelas IIA Bulak
Kapal Bekasi. Jurnal soul, Vol. 2, No. 2.
124
Everall, R.D., Altrows, K, J., & Paulson, B, L. (2006). Creating a Future: A study of
Resilience in Suicidal female Adolescent. Journal of Counseling &
Development. Vol. 84, 461-472.
Feist, Jess & Feist Gregory. J. Teori Kepribadian: jilid 2. (2010). Jakarta: Salemba
Humanika.
Gresnews.com. 22/02/2014. Dilema Pegawai Kontrak PNS, Gaji di Bawah UMR.
(http://www.gresnews.com/berita/politik/1430222-dilema-pegawai-kontrak-
pns-gaji-dibawah-umr/0/ Diakses pada 9 mei 2016).
Hedisa., iman, Sukhirman., Andi, Supandi. (2012). Hubungan Psychological Capital
dengan Kepuasan Kerja pada Anggota POLRI yang sedang Mengikuti
Pendidikan di Perguruan TInggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Jurnal Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia, Vol. 1, No. 1, 1-8.
Hidayat, Arum & Mangundjaya, Wustari. (2010). Individual Differences in
Psychological Capital (A Study at Minning company in Indonesia). Jurnal
Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia, Vol. 2, 56-63.
Idham, Khalid. (2011). Pengaruh Self Esteem dan Dukungan Sosial terhadap
Optimism Hidup Penderita HIV/AIDS. Skripsi. Fakultas Pikologi. UIN
Jakarta
Imawati, Rochimah., Hadiansyah, Andri., Fadrijna, Aulia., Dian Marita., Gautama,
Iwan Hadi., Ramadhani, Mutiara Wulan. (2014). Hubungan Self efficacy dan
Goal Orientation Terhadap Career Development Pada Pencari Kerja PT. Bina
Talenta. Jurnal Al- Azhar Indonesia Seri Humaniora, Vol. 2, No. 3, 177-188.
Karanci, N.A., Alkan, N., Aksit, B., Sucuoglo, H., Balta, E. (1999). Gender
differences in psychological distress, coping, social support, and related
variables following the 1995 Dinar (Turkey) earthquake. North America
Journal of Psychology, vol 1, 189-204.
Lehoczky, Heitler Maria. (2013). The Socio-demographyc Correlations of
Psychological Capital. European Scientific journal, Vol.2013, No.29, 26-42.
Luthans, F & Jensen, SM. (2002). Hope: A New Positive Strenght for Human
Resources Development. Human Resources Development Review, Vol.1, 304-
322.
Luthans, F., Youssef, C.M. & Avolio, B.J. (2007). Psychological Capital:
Developing the Human Competitive Edge. New York: Oxford University
Press
125
Luthans, Avolio, Avey, & Norman. (2007). Positive Psychological Capital:
Measurement And Relationship With Performance And Satisfaction. Journal
Leadership Institute faculty Publiations, Vol 1, No. 541-574.
Luthans, F & Youssef, CM. (2007). Emerging Positive Organizational behavior.
Journal of Management, No.33, 321-349.
Luthans, Avey, Avolio, & Peterson. (2010). The Development and Resulting
Perfomance Impact of Positive Psychological Capital. Human Resources
Development Quarterly, Vol. 21, No. 1, 41-67.
Liwarto, Imam hanafi & Albert Kurniawan. (2015). Hubungan PSYCAP Dengan
Kinerja Karyawan PT. X Bandung. Jurnal Manajemen, Vol. 14, No. 2, 223-
244.
Li, Xirui., Kan, Dan., Liu, Li., Meng, Shi., Yang Wang., Yang, Xiaoshi., et al.
(2015). The Mediating Role Psychological Capital on The Association
between Occuational Stress and Job Burnout among bank Employees in
China. Journal of Environmental Research and Public health, Vol. 12, 2985-
2993.
Mancini, D.A., and Bonano, A.G. (2006). “Resilience in the face of potential trauma:
Clinical practices and illustrations” Journal of Clinical Psychology, Vol. 62,
971-985.
Miko, Michael. (2012). Hubungan Antara Psychological Capital dan Komitmen
Organisasi Pada Perawat. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia.
Nafei, Wageeh. (2015). The Effects Of Psychological Capital Employee Attitudes
and Employee Perfomance: A Study on Teaching Hospital in Egypt.
International Journal of Bussines and Management, Vol. 10, No. 3, 245-263.
Octaviani, Leni., Ilhamuddin., Susilawati, I. R. (2012). Peran Psychological Capital
terhadap Konflik Peran ganda Pada Wanita Bekerja Di kantor Pusat PT
Semen Indonesia (Persero), Tbk. Jurnal Psikologi, Universitas Brawijaya, 1-
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi PNS pasal 8.
Patton, Wendy., Bartrum, D. A., Creed, P. A. (2004). Gender Differences For
Optimism, Self Esteem, Ecpectations And Goals In Predicting Career
Planning And Exploration In Adolescent. Journal for Educational and
Vocational Guidance, Vol 4, No. 3, 193-209.
126
Rinaldi. (2010). Resiliensi pada Masyarakat Kota Padang ditinjau dari Jenis Kelamin.
Jurnal Psikologi, Vol. 3, No. 2, 99-105.
Rego, A., Carla, M., Leal, S., Sousa, F., & Cunha, M. P. E. (2010). Psychological
Capital and Perfomance of Portuguese Civil Servant : Exploring Neutralizers
in the Context of an Appraisal System. The International Journal of Human
Resources Managemet. Vol. 21, No. 9, 1531-1552.
Scholoveno, Robert. (2015). Gender and Resilence: Implications for Nursing. Journal
School of Nursing-Camden, Rutger, The State University of new Jersey, 1-23.
Seniati, Liche, dkk. (2015). Psikologi Eksperimen. Jakarta : PT Indeks
Shahnawaz, M. G. & Jafri, H. (2009). Psychological Capital as Predictors of
Organizational Commitment and Organizational Citizenship Behaviour.
Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, Vol. 35, Special Issue,
78-84.
Soleha, N, Galih, & Tansil, L. (2013). The Effect of Budgetary Participant on job
Perfomance with Psychological Capital and Organizational Commitment as
an Intervening variable (Empirical Study on Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan Daerah District of Lebak). Prosding Simposium
Nasional Akuntansi XVI-Manado.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Vesdiawati, Desi A & Kumolohadi, Retno. (2008). Hubungan Antara Resiliensi
Dengan Stres Pada Anggota POLRI. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas
Islam indonesia.
Walenski, Aundreah. (2015). Gender and Age Differences in the Development of
Hope Post Stressful Life Experiences. Faculty Advisor Oakland University, 1-
7, 2015.
Weil, C. M. (200). "Exploring Hope in Patient with End Stage Renal Disease on
Chronic Hemodialysis". Nephrology Nursing journal. diakses pada April
2017. didapat dari http://findarticles.com
Youssef, M. Carolyn & Luthans, Fred. (2007). Positive Organizational Behavior in
the Workplace: the Impact of Hope, Optimism, and Resilience. Journal of
Management, Universitas Nebraska, Lincoln, Vol. 33, No.5,774-800.
127
Youssef, CM & Luthans, F. (2005). Resiliency Development of Organizations,
Leader & Employee: Multi-level Theory Building for Sustained Perfomance.
International Journal of Oxford University, UK, Vol. 3, 303-343.
Zhao, Zhenguo & Hou, Jialin. (2009). The Study On Psychological Capital
Development Of Intrapreneurial Team. International Journal Of
Psychological Studies, Vol. 1 No. 2, 35-40.