Upload
agung-widiyantoro
View
240
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kumpulanpuisi-puisi Joko Pinurbo
Citation preview
Puisi Joko Pinurbo
Diambil dari buku kumpulan sajak karya Joko Pinurbo yang berjudul Dibawah Kibaran Sarung.
Tentang Joko Pinurbo
Penyair ini lahir di pedalaman Pelabuhan Ratu, Sukabumi, di 11 Mei 1962. Tahun 1987 meninggalkan bangku sekolah IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta. Kemudian mengajar di almamater-nya sembari membantu majalah kebudayaan Basis. Tahun 1992 hijrah ke Penerbit Grasindo, dan sejak 1999 menjadi editor pada Biro Naskah Gramedia sambil menjadi voluntir di beberapa lembaga partikelir.
Berlatih menjadi penulis “amatir” sejak SMA. Buah karyanya berupa puisi dan esai bercungulan di berbagai surat kabar, majalah/jurnal dan antologi/buku. Tahun 1999 kumpulan puisinya, Celana, diterbitkan INDONESIATERA atas kerjasama dengan Yayasan Adikarnya IKAPI dan The Fourd Foundation.
Sering tampil dalam acara diskusi dan pembacaan puisi di berbagai tempat/forum, Misalnya Festival Puisi Internasional “Winnernachten Overzee” di Teater Utan Kayu, Jakarta 2001.
Ia juga mendirikan Forum Permenungan Tunggal, sebuah lembaga nirlaba yang bergulat dalam kancah pergumulan kreatif. Sampai sekarang masih suka belajar mengarang dan masih senang belajar hidup di Jogja. Saat ini ia konon ia sedang mulai mengerjakan karya terbarunya yang Insya Allah bisa lebih menghanyutkan.
Penyair Tardji
Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”
Dalammabok ia minta tuak dari jantung-Mu.
“mana kapak? Biar kutetak leher panjang-Mu.”
Sampai huruf habislahsudah
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau, darah.”
(1986)
Tukang Cukur
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
Di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang menimbun
sepanjang waktu
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil,
dan tempat ibadah.
Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu menganggu tidurku.
(1989)
Di Bawah Kibaran Sarung
Di bawah kibaran sarung anak anak berangkat tidur ke haribaan malam.
Tidur mereka seperti tiduryang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.
“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.
Di bawah kibaran sarung
Rumah adalah kampung
Kampung kecil dimana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja adalah tetangga.
“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.
Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong
Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.
Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(1999)
Di Sebuah Mandi
di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu
“Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.
Tubuhmu makin montok saja.
“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar
berdatangan terus membangun badan
sampai aku tak kebagian lahan.”
Ke tubuhmu aku ingin pulang.
“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang.
“Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi
dan nanti mungkin numpang mati.”
Kutelusuri peta tubuhmu yang baru kuhafal ulang
nama-nama yang pernah ada,
nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.
“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu
Dan aku bilang: “Semuanya tinggal kenangan.”
Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu.
Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.
(2000)
Doa Sebelum Mandi
Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada diri saya sendiri.
Kalau saya buka tubuh saya nanti,
Mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran.
Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
Untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
Tapi tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.
Tuhan, mandikanlah saya
Agar saudara kembar saya
Bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.
(2000)
Kain Kafan
Kugelar tubuhku diatas ranjang
Seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
Siapa yang tidur diatas kain kafan putih ini semalam?
Kutemukan bercak-bercak darah: gambar wajah
Yang kesakitan dan luka lambung yang belum disembuhkan.
Kulipat tubuhku di atas ranjang
Seperti kulipat kain kafan yang kaujadikan selimut tadi malam.
(2000)
Perahu
Untuk : YB Mangunwijaya
Air danau makin meninggi.
Entah sudah berapa desa tenggelam di sini.
Setelah sembahyang dan menghitung cahaya lampu
Di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi
Ke seberang. Disana anak-anak sudah tak sabar menunggu
Dan ingin segera mendapat oleh-olehnya : buku tulis, pinsil
Dan kisah-kisah petualangan yang biasa ia dongengkan
Dengan jenaka di gedung sekolah darurat yang tentu
Tidak tertib kurikulumnya.
“Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,”
Kata orang-orang kampung yang membantu
Mendorong perahunya.
“Tenanglah,” timpalnya sambil tersenyum,
“Saya sudah terlatih untuk kalah.”
Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga
Bersama sarung dan capingnya.
Air danau makin meninggi.
Entah sudah berapa rumah tenggelam di sini.
Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur
Ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga aparat.
Dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat.
Sambil menunggu situasi ia tiduran saja diatas perahu
Dan, kalau bisa, bermimpi menjelang subuh,
Perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang:
“Pak guru sudah datang!”
Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia tak juga bangun
Dan tak akan bangun lagi
Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya,
tak akan mengeri batas antara tidur dan mati.
Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
Dan menemukan sesobek surat: “Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil
Dan buku tulis ini kepada anak-anakku
Yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”
Ada diantara mereka yang berkata:
“Kandas juga ia akhirnya.”
Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa.
Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan
Anak –anak yatim piatu. Yang berani mengarung mimpi
Dan menyusup ke belantara waktu.
(1999)
Kepada Penyair Hujan
Sapardi Djoko Damono
Lembut sayap-sayap hujan menggelepar diantara pepohonan
Dan rumput liar di remang sajakmu.
Seperti kudengar kepak sayap burung
Dari khasanah waktu yang jauh.
Matahari sebentar lagi padam.
Senja hanya diam mengaggumi
Selendang panjang warni-warni
Yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;
Malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.
Hujan yang riang, yang melenyap pelan
Dengan derainya yang bersih,
makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.
Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.
Seperti kudengar seorang musafir
Kurus dan sakit-sakitan
Batuk terus sepanjang malam
Dengan suara serak dan berat,
Berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak
Yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.
Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu.
Aku akan menemaninya.
(1999)