13
Puisi Joko Pinurbo Diambil dari buku kumpulan sajak karya Joko Pinurbo yang berjudul Dibawah Kibaran Sarung. Tentang Joko Pinurbo Penyair ini lahir di pedalaman Pelabuhan Ratu, Sukabumi, di 11 Mei 1962. Tahun 1987 meninggalkan bangku sekolah IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta. Kemudian mengajar di almamater-nya sembari membantu majalah kebudayaan Basis. Tahun 1992 hijrah ke Penerbit Grasindo, dan sejak 1999 menjadi editor pada Biro Naskah Gramedia sambil menjadi voluntir di beberapa lembaga partikelir. Berlatih menjadi penulis “amatir” sejak SMA. Buah karyanya berupa puisi dan esai bercungulan di berbagai surat kabar, majalah/jurnal dan antologi/buku. Tahun 1999 kumpulan puisinya, Celana, diterbitkan INDONESIATERA atas kerjasama dengan Yayasan Adikarnya IKAPI dan The Fourd Foundation. Sering tampil dalam acara diskusi dan pembacaan puisi di berbagai tempat/forum, Misalnya Festival Puisi Internasional “Winnernachten Overzee” di Teater Utan Kayu, Jakarta 2001. Ia juga mendirikan Forum Permenungan Tunggal, sebuah lembaga nirlaba yang bergulat dalam kancah pergumulan kreatif. Sampai sekarang masih suka belajar mengarang dan masih senang belajar hidup di Jogja. Saat ini ia konon ia sedang mulai mengerjakan karya terbarunya yang Insya Allah bisa lebih menghanyutkan.

Puisi Joko Pinurbo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kumpulanpuisi-puisi Joko Pinurbo

Citation preview

Page 1: Puisi Joko Pinurbo

Puisi Joko Pinurbo

Diambil dari buku kumpulan sajak karya Joko Pinurbo yang berjudul Dibawah Kibaran Sarung.

Tentang Joko Pinurbo

Penyair ini lahir di pedalaman Pelabuhan Ratu, Sukabumi, di 11 Mei 1962. Tahun 1987 meninggalkan bangku sekolah IKIP (kini Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta. Kemudian mengajar di almamater-nya sembari membantu majalah kebudayaan Basis. Tahun 1992 hijrah ke Penerbit Grasindo, dan sejak 1999 menjadi editor pada Biro Naskah Gramedia sambil menjadi voluntir di beberapa lembaga partikelir.

Berlatih menjadi penulis “amatir” sejak SMA. Buah karyanya berupa puisi dan esai bercungulan di berbagai surat kabar, majalah/jurnal dan antologi/buku. Tahun 1999 kumpulan puisinya, Celana, diterbitkan INDONESIATERA atas kerjasama dengan Yayasan Adikarnya IKAPI dan The Fourd Foundation.

Sering tampil dalam acara diskusi dan pembacaan puisi di berbagai tempat/forum, Misalnya Festival Puisi Internasional “Winnernachten Overzee” di Teater Utan Kayu, Jakarta 2001.

Ia juga mendirikan Forum Permenungan Tunggal, sebuah lembaga nirlaba yang bergulat dalam kancah pergumulan kreatif. Sampai sekarang masih suka belajar mengarang dan masih senang belajar hidup di Jogja. Saat ini ia konon ia sedang mulai mengerjakan karya terbarunya yang Insya Allah bisa lebih menghanyutkan.

Page 2: Puisi Joko Pinurbo

Penyair Tardji

Tardji minta bir buat pesta di malam buta.

“Sampai tuntas pahit-asamnya.

Sampai pecah ini botolnya.”

Dalammabok ia minta tuak dari jantung-Mu.

“mana kapak? Biar kutetak leher panjang-Mu.”

Sampai huruf habislahsudah

Sampai nganga luka dibelah.

“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau, darah.”

(1986)

Page 3: Puisi Joko Pinurbo

Tukang Cukur

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur

Di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang menimbun

sepanjang waktu

“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,

dan restoran. Tentunya juga sekolah, rumah bordil,

dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku.

Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik lembut matamu.

Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu menganggu tidurku.

(1989)

Page 4: Puisi Joko Pinurbo

Di Bawah Kibaran Sarung

Di bawah kibaran sarung anak anak berangkat tidur ke haribaan malam.

Tidur mereka seperti tiduryang baka.

Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus

dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.

“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,

yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,

piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada

sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”

hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung

Rumah adalah kampung

Kampung kecil dimana kau

bisa ngintip yang serba gaib:

kisah senja, celoteh cinta,

sungai coklat, dada langsat,

parade susu, susu cantik

dan pantat nungging

yang kausebut nasib.

Kampung kumuh di mana penyakit,

onggokan sampah, sumpah serapah,

mayat busuk, anjing kawin,

Page 5: Puisi Joko Pinurbo

maling mabuk, piring pecah,

tikus ngamuk, timbunan tinja adalah tetangga.

“Rumahku adalah istanaku,”

kata perempuan itu sambil terus

memainkan pianonya, piano tua,

piano kesayangan.

“Rumahku adalah kerandaku,”

timpal lelaki itu sambil terus

meletupkan batuknya, batuk darah,

batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang

dari jauh terdengar suara andong

memanggil pulang. Kling klong kling klong

Di bawah kibaran sarung

kutuliskan puisimu,

di rumah kecil yang dingin terpencil.

Seperti perempuan perkasa

yang betah berjaga

menemani kantuk, menemani sakit

di remang cahaya:

menghitung iga, memainkan piano

di dada lelaki tua

yang gagap mengucap doa.

Page 6: Puisi Joko Pinurbo

Ya, kutuliskan puisimu

kulepaskan ke seberang

seperti kanak-kanak berangkat tidur

ke haribaan malam.

Ayo temui aku di bawah kibaran sarung

di tempat yang jauh terlindung.

(1999)

Page 7: Puisi Joko Pinurbo

Di Sebuah Mandi

di sebuah mandi kumasuki ruang kecil di senja tubuhmu

“Ini rumahku,” kau menggigil. Rumah terpencil.

Tubuhmu makin montok saja.

“Ah, makin ciut,” kau bilang, “sebab perambah liar

berdatangan terus membangun badan

sampai aku tak kebagian lahan.”

Ke tubuhmu aku ingin pulang.

“Ah, aku tak punya lagi kampung halaman,” kau bilang.

“Di tubuh sendiri pun aku cuma numpang mimpi

dan nanti mungkin numpang mati.”

Kutelusuri peta tubuhmu yang baru kuhafal ulang

nama-nama yang pernah ada,

nama-nama yang tak akan pernah lagi ada.

“Ini rumahku,” kautunjuk haru sebekas luka di tilas tubuhmu

Dan aku bilang: “Semuanya tinggal kenangan.”

Di sebuah mandi kuziarahi jejak cinta di senja tubuhmu.

Pulang dari tubuhmu, aku terlantar di simpang waktu.

(2000)

Page 8: Puisi Joko Pinurbo

Doa Sebelum Mandi

Tuhan, saya takut mandi.

Saya takut dilucuti.

Saya takut pada diri saya sendiri.

Kalau saya buka tubuh saya nanti,

Mayat yang saya sembunyikan

akan bangun dan berkeliaran.

Saya ini orang miskin yang celaka.

Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.

Kerja saya mencari pekerjaan.

Tubuh saya sering dipinjam orang

Untuk menculik dan membinasakan korban.

Mereka bisa dengan mudah dihilangkan

Tapi tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya

Agar saudara kembar saya

Bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.

(2000)

Page 9: Puisi Joko Pinurbo

Kain Kafan

Kugelar tubuhku diatas ranjang

Seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.

Siapa yang tidur diatas kain kafan putih ini semalam?

Kutemukan bercak-bercak darah: gambar wajah

Yang kesakitan dan luka lambung yang belum disembuhkan.

Kulipat tubuhku di atas ranjang

Seperti kulipat kain kafan yang kaujadikan selimut tadi malam.

(2000)

Page 10: Puisi Joko Pinurbo

Perahu

Untuk : YB Mangunwijaya

Air danau makin meninggi.

Entah sudah berapa desa tenggelam di sini.

Setelah sembahyang dan menghitung cahaya lampu

Di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi

Ke seberang. Disana anak-anak sudah tak sabar menunggu

Dan ingin segera mendapat oleh-olehnya : buku tulis, pinsil

Dan kisah-kisah petualangan yang biasa ia dongengkan

Dengan jenaka di gedung sekolah darurat yang tentu

Tidak tertib kurikulumnya.

“Hati-hati Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,”

Kata orang-orang kampung yang membantu

Mendorong perahunya.

“Tenanglah,” timpalnya sambil tersenyum,

“Saya sudah terlatih untuk kalah.”

Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga

Bersama sarung dan capingnya.

Air danau makin meninggi.

Entah sudah berapa rumah tenggelam di sini.

Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur

Ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga aparat.

Page 11: Puisi Joko Pinurbo

Dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat.

Sambil menunggu situasi ia tiduran saja diatas perahu

Dan, kalau bisa, bermimpi menjelang subuh,

Perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang:

“Pak guru sudah datang!”

Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia tak juga bangun

Dan tak akan bangun lagi

Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya,

tak akan mengeri batas antara tidur dan mati.

Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat

Dan menemukan sesobek surat: “Pak Petugas, tolong sampaikan pinsil

Dan buku tulis ini kepada anak-anakku

Yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”

Ada diantara mereka yang berkata:

“Kandas juga ia akhirnya.”

Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria.

Seperti hidup yang karam ke dalam doa.

Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan

Anak –anak yatim piatu. Yang berani mengarung mimpi

Dan menyusup ke belantara waktu.

(1999)

Page 12: Puisi Joko Pinurbo

Kepada Penyair Hujan

Sapardi Djoko Damono

Lembut sayap-sayap hujan menggelepar diantara pepohonan

Dan rumput liar di remang sajakmu.

Seperti kudengar kepak sayap burung

Dari khasanah waktu yang jauh.

Matahari sebentar lagi padam.

Senja hanya diam mengaggumi

Selendang panjang warni-warni

Yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;

Malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.

Hujan yang riang, yang melenyap pelan

Dengan derainya yang bersih,

makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.

Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.

Seperti kudengar seorang musafir

Kurus dan sakit-sakitan

Batuk terus sepanjang malam

Dengan suara serak dan berat,

Berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak

Yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.

Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu.

Page 13: Puisi Joko Pinurbo

Aku akan menemaninya.

(1999)