22
PUJA TRI SANDHYA DAN KRAMANING SEMBAH OLEH: COK PUTRA WISNU WARDANA DISAJIKAN PADA PENATARAN PEMANGKU/PINANDITA PROVINSI BALI DAN LUAR DAERAH TAHUN 2009 PENDAHULUAN Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya dengan identitas yang berbeda-beda antara agama yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhannya, setiap umat beragama ingin berhubungan dengan Tuhannya untuk memenuhi rasa keagamaannya. Tiap-tiap agama mempunyai cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya. Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak terbagi atau gaib (Niskala), dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna) dan seolah- olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122 disebutkan : Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira. Mangekalaksana Śiwa-kārana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattāra makalaksana Caturdhā. Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma para-sūnya. Artinya :

Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

Citation preview

Page 1: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

PUJA TRI SANDHYA DAN KRAMANING

SEMBAH

OLEH: COK PUTRA WISNU WARDANA

DISAJIKAN PADA PENATARAN PEMANGKU/PINANDITA PROVINSI BALI DAN LUAR DAERAH TAHUN 2009

PENDAHULUAN

Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

kepercayaan tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya dengan identitas yang berbeda-

beda antara agama yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan dan keyakinan kepada

Tuhannya, setiap umat beragama ingin berhubungan dengan Tuhannya untuk memenuhi rasa

keagamaannya. Tiap-tiap agama mempunyai cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya.

Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak

terbagi atau gaib (Niskala), dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna)

dan seolah-olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122 disebutkan :

Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira. Mangekalaksana Śiwa-kārana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattāra makalaksana Caturdhā. Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma para-sūnya.

Artinya :

Sifat Bhattara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia yang dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia

hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana tiada

perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat Caturdha artinya sthula, suksma, para dan

sunya.

Beliau sebagai Ia yang Eka (Esa), Beliau adalah Nirguna, Niskala. “Bhattara Siwa sira wyapaka,

sira suksma tar kneng angen-angen, kadyangganing akasa, tan kagrhita dening manah mwang indriya”

Page 2: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

(Bhuwanakosa II, 16). Artinya : Bhattara Siwa meresapi segala, Ia yang gaib tak terpikirkan, Ia seperti

angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriaya.

Sedangkan Beliau sebagai Ia yang Aneka, Beliau adalah Saguna, Sakala.

“Nihan wibhaga Bhattara munggwing rikang tattwa kabeh, Sarwājña ngaranira, yan umandel ing prthiwi, Bhāwa ngaranira yan umandel ing toya, Pasupati ngaranira yan umandel ing Sanghyang Agni, Isāna ngaranira yan umandel ing bayu.

Bhima ngaranira yan heneng ākāsa, kinahanan ta sira dening Astaguna, Māhadewa ngaranira yang haneng manah, tan pāwak, Ugra ngaranira yan haneng pañca tan mātra, Rudra ngaranira yan haneng teja makūwak ahangkāra” (Bhuwanakosa III, 9, 10)

Artinya :

Inilah perincian Bhattara berada pada semua tattwa, Sarwajña namanya bila berada di tanah,

Bhawa namanya bila berada di air, Pasupati namanya bila berada pada api, Isana namanya bila

berada pada angin.

Bhima namanya bila berada di angkasa, dipenuhi Ia oleh Astaguna, Mahadewa namanya bila

berada pada pikiran, Ugra namanya bila berada pada cahaya berbadan ahangkara.

Ketika umat Hindu ingin melakukan hubungan dengan Tuhannya (Sanghyang Widhi, secara umum

ditempuh dengan cara sembahyang. Dengan melakukan hubungan dengan sembahyang kepada Sanghyang

Widhi terjadi interaksi antara penyembah (Umat) dengan yang disembah (Sanghyang Widhi). Maka dengan

demikian yang disembah adalah Tuhan yang berpribadi (Saguna, Sakala). Namun kadang-kadang oleh

orang-orang tertentu Sanghyang Widhi dipuja sebagai Tuhan yang tidak berpribadi (Nirguna, Niskala). Hal

ini adalah dalam kerangka memenuhi rasa filosofis seseorang. Maka dalam berhubungan dengan

Sanghyang Widhi, umat Hindu mengenal jalan yang disebut 1) Nirwrtti Marga yaitu jalan kelepasan

dengan merealisasikan Sanghyang Widhi sebagai sunya dalam dirinya (jnana dan raja marga dalam catur

marga), dan 2) Prawrtti Marga yaitu jalan bakti dan karma dengan melaksanakan kewajiban hidup sebaik-

baiknya sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi, dimana Sanghyang Widhi dipuja sebagai Ista

Dewata yang direalisasikan dalam berbagai bentuk, umumnya dalam bentuk yadnya dengan berbagai

aktifitas ritual/upacara dengan berbagai upakaranya.

Dengan melakukan sembahyang, berarti menempuh jalan Bhakti dan Karma Marga. Walaupun secara

konseptual Catur Marga sebagai jalan yang terpisah namun dalam prakteknya antara Bhakti, Karma, Jnana

dan Raja Marga tidak dapat dipisahkan.

Sembahyang dapat dilakukan dengan cara Tri Sandya dan Kramaning Sembah.

Page 3: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

1. TRI SANDHYĀ

1.1 Pengertian

Kata Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab

Agastya Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna,

mantrasnāna, … (Agastya Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja

mantra tri sandya sebagaimana yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai

tiga pertemuan waktu. Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di

(ditaruh) yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang. Sandhyā

artinya hubungan antara waktu. Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu

malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam. Pertemuan

antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis. Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan

keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar

Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan. Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā

diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk

sembahyang.

1.2. Sumber

Puja Tri Sandhyā adalah merupakan hasil rumusan yang strukturnya amat serasi. Tampaknya yang

merumuskan memahami hakekat sebuah mantram dan mungkin sempat berkonsultasi dengan beberapa

sulinggih yang memahami tentang hal itu. Puja Tri sandhyā baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Pada waktu

itu Prof. Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhyā, sebuah buku yang dicetak dengan huruf Bali

dan huruf Latin yang sangat bagus pada jamannya.

Selanjutnya tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan, menyusul diterbitkan buku Upadesa,

sebagai sebuah buku yang besar jasanya dalam memperkenalkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yang

ditulis oleh Team. Dalam buku inilah juga ditulis Puja Tri Sandhyā dan pedoman sembahyang yang cukup

baik.

Sebagai sebuah rumusan mantram Puja Tri Sandhyā yang terdiri dari enam (6) bait bersumber dari

berbagai sumber.

Bait pertama bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat dalam kitab Rg Veda,

III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda kata bhur bhuvah svah tidak ada. Tambahan kata bhur

bhuvah svah itu terdapat dalam kitab Yajur Veda Putih, 36.3. Mantra Gāyatrī atau Gāyatrī Mantram adalah

Page 4: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

mantram yang paling utama dan paling mulia diantara semua mantra. Ia adalah ibu mantram yang

dinyanyikan oleh semua orang Hindu waktu sembahyang, sebagaimana disebutkan pada buku, The Call of

Vedas:

One reason why the gāyatrī is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that is capable of possesing “dhī,” higher intelligence which brings him knowledge, material and transcendental. What the eye is to the body, “dhī,” or intelligence is to the mind. (p. 108-1090).

Artinya :

Suatu sebab mengapa Gāyatrī dipandang dan yang mewakili segala di dalam Veda ialah karena ia

adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah “dhī,” yaitu kecerdasan yang

tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal

keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikianlah, “dhī,” atau kecerdasan untuk pikiran.

Bait kedua, bersumber dari salah satu dari suatu rangkaian mantram yang panjang disebut Catur Veda Sirah

(Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah adalah salinan dari kitab Narayana Upanisad sebuah Upanisad

minor (kecil). Pada mantra ini pemuja memuja Tuhan sebagai Narayana, Tuhan yang suci tanpa noda, Ia

hanya tunggal tiada yang kedua.

Bait ketiga bersumber dari Siwa Astawa, puja kedua, yaitu mantram pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai

sebutan Tuhan dalam berbagai-bagai sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak

nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa. Masih

banyak lagi sebutan yang lain. Namun bait ketiga dari Puja Tri Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa

Astawa ada perbedaan terutama pada baris terakhir. Bait ketiga baris terakhir pada Puja Tri Sandhya

berbunyi, “purusah parikīrtitah,” (parikirtitah artinya dipanggil), sedangkan pada puja kedua baris terakhir

dari Siwa Astawa berbunyi, “purusah prakŗtis tathā,” (prakrti artinya prakrti).

Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang sama yaitu Ksamamahadevastuti

2-5 (Titib, 2003 : 40), tersebar dalam Weda Sanggraha. Dimana bait keempat adalah sebagai pengakuan

bahwa diri serba hina dan memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda. Bait

kelima, pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan

dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena Ialah penjaga semua makhluk dan penguasa tertinggi atas segala

yang ada. Bait keenam, pemuja memohon ampun atas segala dosa dari anggota badan, kata-kata dan

pikiran.

1.3 Struktur

Bait demi bait dari mantram Puja Tri Sandhyā merupakan himpunan mantra, sebagai nyanyian

pujaan. Setiap nyanyian pujaan pada umumnya mengandung tiga komponen yaitu : pujian, pengakuan,

Page 5: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

permohonan. Namun di beberapa bait mantra komponen kedua yaitu pengakuan kadang-kadang tidak ada.

Pada mantram Puja Tri sandhyā ketiga komponen itu ada dan terstruktur secara serasi, yaitu bait pertama,

kedua dan ketiga adalah pujian, bait keempat adalah pengakuan serta bait kelima dan keenam adalah

permohonan.

Sebagai suatu bukti akan didapati dari sekian banyak bait-bait mantra dalam kitab Veda yang jiwa

dan semangatnya sama, contohnya :

Kavi no mitrāvarunā

tuvijātā uruksayā

daksam dadhāte apasam.

Artinya :

Pendeta kami, Mitra dan Varuna, yang luas wilayahnya, yang kuat karena keberaniannya,

Karuniailah kami kekuatan yang bekerja dengan baik.

Trātāram indram avitāram handramhavehave suhavam suram indram,

hvayāmi sakram puruhūtam indram svasti no maghavā dhātvindrah.

(Rg.Veda, VI.47.11)

Artinya :

Tuhan sebagai Penolong, Tuhan sebagai Penyelamat, Tuhan yang Maha Kuasa, yang dipuja

dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan Maha Kuasa, selalu dipuja, kami memohon,

semoga Tuhan yang Maha Pemurah melimpahkan rahmat kepada kami.

Imā juhvānā yusmadā namobhih prati stomam sarasvati jusāsva,

tava sarman priyatame dadhānā upa stheyāma saranam na vrksam.

(Rg Veda VII.95.5)

Artinya :

Page 6: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

Sajian ini dibuat olehmu dengan rasa hormat, katakanlah hal ini wahai Sarasvati, dan terimalah

setiap doa kami, dan dengan menempatkan kami di bawah lindunganmu yang tercinta ! Semoga

kami mendekatimu sebagai pohon tempat berteduh.

Dll.

Dari contoh-contoh bait mantra tersebut dapat disimpulkan bahwa jiwa dan semangat ajaran Veda

ada tiga yaitu pujian, pengakuan dan permohonan.

1.4 Bentuk

Bait-bait mantra adalah puisi yang terikat oleh Metrum atau Candha. Jenis Candha ditentukan

oleh jumlah suku kata pada setiap baik mantra. Ada beberapa jenis Chanda yaitu :

Gayatri, terdiri dari 24 suku kata

Usnih terdiri dari 28 suku kata

Anustubh terdiri dari 32 suku kata (belakangan disebut sloka).

Brhati terdiri dari 36 suku kata

Pankti terdiri dari 40 suku kata

Tristubh terdiri dari 44 suku kata

Jagati terdiri dari 48 suku kata

Gayatri sebagai mantram pertama adalah nama sebuah Candha dari beberapa jenis Candha.

Gayatri kadang disusun menjadi tiga baris dalam satu bait, dimana setiap baris terdiri dari 8 suku kata,

kadang juga disusun dalam dua baris dimana baris pertama terdiri dari 16 suku kata dan baris kedua terdiri

dari 8 suku kata.

Jika dicermati bait pertama mantram Puja Tri Sandhya, jumlah suku katanya tidak cocok dengan

jumlah suka kata Candha Gayatri, namun ia disebut Gayatri Mantram. Kata Bhur Bhuvah Svah tidak

termasuk kedalam struktur. Kata bhur bhuvah svah disebut MahaVyahrti (ucapan yang agung).

Bait kedua berbentuk prosa yang tentunya tidak terikat oleh jumlah suku kata. Sedangkan bait

ketiga sampai dengan bait keenam berbentuk sloka (Candha Anustubh).

Page 7: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

1.5 Bahasa

Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa Sansekerta. Ada tiga jenis bahasa Sansekerta

yaitu, Sansekerta Veda, Sansekerta Klasik dan Sansekerta Kepulauan (Hibrida). Sansekerta Veda adalah

bahasanya kitab Catur Veda Samhita, Sansekerta Klasik adalah bahasanya kitab-kitab Itihasa dan Purana,

dan sansekerta Kepulauan atau Hibrida adalah bahasa Sansekerta yang didapati di Jawa dan Bali terutama

dalam lontar-lontar puja.

Dengan demikian bait pertama dari Puja Tri Sandya memakai bahasa Sansekerta Veda, bait kedua

memakai bahasa Sansekerta Klasik, bait ketiga sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta

Kepulauan atau Hibrida.

1.6 Tata Cara Melaksanakan Puja Tri Sandhyā.

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Tri Sandyā baru dikenal setelah tahun 1950-an, dan setelah

buku Upadesa diterbitkan Mantram Puja Tri Sandhyā semakin populer sebagai salah satu cara sembahyang

terutama dikalangan kaum terpelajar. Buku-buku tentang Puja Tri Sandhyā dan buku-buku tentang

pedoman sembahyang semakin banyak diterbitkan. I Gusti ketut Kaler menulis buku,”Tuntunan Muspa,”

Buku-buku pelajaran di sekolah hampir semuanya memuat pelajaran Tri Sandhyā dan sembahyang.

Dalam perjalan waktu antara buku yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan kecil tentang

teks, terjemahan dari mantra-mantra Tri Sandhyā itu. Maka oleh beberapa pemerhati teks Hindu, teks Puja

Tri Sandhyā ditinjau ulang dengan mengadakan telaahan dan perbandingan dengan kitab Veda Sanggraha

yang diterbitkan oleh PDHB tahun 1963, Stuti dan Stava oleh C.Hoykaas, Narayana Upanisad, dengan

tujuan untuk mengamati bahasa dan aturan tata bahasa Sansekerta dari teks Puja Tri Sandhyā itu.

Teks Puja Tri Sandhyā kemudian direkonstruksi. Selanjutnya rekonstruksi tersebut dibahas dan

dapat diterima serta ditetapkan dalam Paruman Sulinggih PHDI Bali tahun 1989.

Hasil paruman tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu materi Mahasabha ke VI PHDI

Pusat di Jakarta tahun 1991 yang kemudian menjadi keputusan Mahasabha.

Tata cara melaksanakan Puja Tri Sandhyā

Menurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun 1991.”

a. Asana

Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap

sembahyang yang meliputi sikap tangan dan sikap badan. Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap

Page 8: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

tangan adalah, Amusti Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan ibu jari tangan

kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam kenggaman tangan kiri. Selanjutnya Puja

Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki

dan Bajrāsana bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.

b. Prānāyāma

Prānāyāma artinya mengatur jalannya nafas. (Prāna artinya tenaga hidup/nafas, ayāma artinya

pengendalian/pengaturan). Gunanya untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti

jalannya pikiran. Bila pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai sembahyang.

Prānāyāma dilakukan dengan cara :

Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”

Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.”

Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”

c. Karasoddhana

Yaitu pembersihan dan penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :

Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.” (Om bersihkanlah hamba)

Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).

d. Mantram Puja Tri Sandhyā

1. Om bhūr bhuvah svah

tat savitur varenyam

bhargo devasya dhīmahi

dhiyo yo nah pracodayāt

2. Om nārāyana evedam sarvam

yad bhūtam yac ca bhavyam

niskalańko nirañjano nirvikalpo

Page 9: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

nirākhyātah śuddho deva eko

nārāyano na dvitiyo asti kaścit

3. Om tvam śivah tvam mahādevah

īśvarah parameśvarah

brahmā vişņuśca rudraśca

puruşah parikīrtitah

4. Om pāpo ham papakarmāham

pāpātmā pāpasambhavah

trāhi mām puņdarīkākşa

sabāhyābhyantarah śucih

5. Om kşamasva mām mahādeva

sarvaprāņi hitańkara

mām moca sarva pāpebhyah

pālayasva sadā siva

6. Om kşāntavyah kāyiko doşah

kşāntavyo vāciko mama

kşāntavyo mānaso doşah

tat pramādāt kşamasva mām

Om śāntih śāntih śāntih Om

Artinya :

Page 10: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

1. Om adalah bhur bhuwah swah kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang

Widhi. Semoga Ia berikan semangat pikiran kita

2. Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari

kekotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu

tidak ada yang kedua

3. Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa

4. Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba

Sanghyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba

5. Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk,

bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sanghyang Widhi

6. Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba ampunilah dosa pikira

hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian

Om, damai damai damai, Om

2. KRAMANING SEMBAH

2.1 Pengertian

Pada mulanya tata cara sembahyang belum diatur secara pasti. Melalui Seminar Kesatuan Tafsir

terhadap Aspek-Aspek Ajaran Hindu tahun 1982, ditetapkan tentang siapa yang boleh disembah yaitu

Sanghyang Widhi, Dewa, Rsi, Leluhur/Bhatara-Bhatari, Manusia dan Bhuta. Tentang siapa boleh

disembah, dirujuk buku Upadesa (1981/1982) dan buku Tuntunan Muspa karya I Gusti Ketut Kaler

(1970/1971). Waktu seminar tersebut, ditetapkan istilah tata cara dan urutan atau rangkaian sembahyang

disebut, “Kramaning Sembah.”

Sesuai perjalanan waktu muncul istilah Panca Sembah sebagai tata cara sembahyang, pada buku-

buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh umat Hindu dengan argumentasi mereka masing-masing. Oleh karena

adanya bermacam-macam istilah pada tata cara dan urutan serta sikap sembahyang yang berkembang maka

melalui Mahasabha ke VI tahun 1991, ditetapkan kembali tata cara dan urutan sembahyang disebut,

“Kramaning Sembah.”

Kramaning Sembah berasal dari kata krama artinya urutan yang tepat, dan sembah artinya

menyembah (sembahyang).

Page 11: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

2.2 Persiapan Kramaning Sembah

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap

duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga,

kuangen dan dupa. Sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran.

Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:

2.2.1 Asuci Laksana

Yaitu mengusahakan kebersihan dan kesucian. Kebersihan berhubungan dengan kebersihan badan yang

dapat diupayakan dengan mandi dan keramas. Kesucian berhubungan dengan nilai religius yang biasanya

diupayakan dengan malukat dan lain-lain.

2.2.2 Pakaian

Pakaian waktu sembahyang agar diupayakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan

pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menjolok hendaknya dihindari. Pakaian harus

disesuaikan dengan drsta setempat supaya tidak menarik perhatian orang.

2.2.3 Sikap Duduk dan Sikap Tangan

Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati.

Sikap duduk yang baik untuk laki-laki adalah Padmasana yaitu sikap duduk bersila dengan badan tegak

lurus. Bagi wanita sikap duduk yang baik disebut Bajrasana yaitu sikap duduk besimpuh dengan dua tumit

kaki diduduki dan badan tegak lurus.

Sikap tangan yang baik waktu sembahyang adalah sikap Anjali atau Cakuping Kara Kalih yaitu kedua

telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun, dimana pada waktu sembahayang memakai

bunga atau kuangen, dijepit pada ujung jari tengah.

2.2.4 Sarana Sembahyang (bunga, kuangen, dupa)

Bunga dan Kuangen adalah lambang kesucian (Sekare pinaka katulusan pikayunan suci: dalam lontar

Yadnya Prakerti) serta simbul Sanghyang Widhi dan manifstasi-Nya. Jika dalam persembahyangan tidak

ada Kuangen dapat diganti dengan bunga. Oleh karena itu patut diupayakan bunga yang segar, bersih dan

harum. Dalam kitab Agastya Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang tidak baik dipersembahkan atau

dipakai sebagai sarana persembahyangan.

Page 12: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

“Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara : kembang uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya alewas mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.”

Artinya :

Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang

gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa

mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut

dipersembahkan oleh orang baik-baik.

Apinya dupa adalah simbul Sanghyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi.

Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaaan api.

2.3 Urutan-urutan Sembah

Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin

oleh Pemangku/Pinandita atau Sulinggih adalah seperti berikut :

1. Sembah puyung

Mantramnya : “Om ātma tattvātmā suddha mām svāhā.”

Artinya : Om Ātma, Ātmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sanghyang Aditya, dengan sarana bunga.

Mantramnya :

“Om ādityasāparam jyoti,

rakta teja namo’stute,

svetapańkaja mdhyastha,

bhāskarāya namo’stute.”

Artinya :

Om sinar surya yang maha hebat,

Engkau bersinar merah, hormat kepada-Mu,

Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,

Page 13: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

hormat pada-Mu pembuat sinar.

3. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan,

sarana kwangen.

Mantramnya : “Om nama deva adhisthanāya,

Sarva vyāpi vai śivāya,

Padmasāna ekapratisthāya,

Ardhanareśvaryai namo’namah.”

Artinya : Om kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,

kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana-mana,

kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,

kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

Catatan :

Ista Dewata artinya dewata yang diingini hadir-Nya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah

perwujudan Sanghyang Widhi dalam berbagai-bagai wujud-Nya. Seperti Brahma, Visnu,

Isvara, Sarasvati, Gana dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai

dengan Ista Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang

dipuja adalah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa, pada hari lain dipuja Dewata yang

lain dengan Stawa-Stawa yang lain juga.

Contoh : Puja atau stawa yang dapat diucapkan pada waktu hari Saraswati,

“Om Sarasvatinamastubhyam,

Varade kāma rupini,

Siddhārambham karisyāmi,

Siddhir bhavatu me sadā.”

Page 14: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

Artinya : Om Hyang Sarasvati dalam wujud-Mu sebagai penganugrah berkah, terwujud dalam

bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba

lalukan selalu sukses atas waranugraha-Mu.

“Om Brahma-putri mahā-devi,

Brahmanyā Brahma-nandini,

Sarasvati samjñayani,

Prayānāya Sarasvati.”

Artinya : Engkau adalah Sakti Deva Brahma, ya Mahadewi, Engkau adalah pancaran

kemuliaan Deva Brahma, Engkau adalah kumpulan segala kebijaksanaan, segala

puja dan puji tertuju padaMu, ya Sarasvati.

Untuk pengastawa atau puja yang lain lihatlah buku “Doa sehari-hari menurut Hindu,” oleh

Drs. I Gusti Made Ngurah, buku Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa,” oleh Dr. Made Titib

dan buku lain yang sejenis.

Pada saat persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang

dipuja adalah Sanghyang Siwa yang berada dimana-mana, atau juga di tempat suci tertentu

yang tidak diketahui Ista Dewata yang distanakan disana maka mantram yang diucapkan

adalah mantram nomor tiga tersebut.

4. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Pemberi Anugrah, sarana kuangen.

Mantramnya : “Om anugraha manohara,

devadattānugrahaka,

arcanam sarvapūjanam,

namah sarvānugrahaka.

Deva devi mahāsiddhi,

yajñānga nirmalātmaka

laksmī siddhisca dīrghāyuh,

Page 15: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

nirvighna sukha vŗddhisca.”

Artinya : Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewa, pujaan semua

pujaan, hormat kepada-Mu pemberi semua anugrah.

Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi yang suci, kebahagiaan, kesempurnaan panjang

umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan.

5. Sembah Puyung.

Mantramnya : “Om, deva suksma paramācintyāya nama svāhā.”

Artinya : Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi, yang naha gaib.

Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirta dan bija.

2.4 Beberapa Catatan Penting.

1. Kuangen

Kuangen adalah nama salah satu sarana sembahyang. Kuangen dibuat dari daun pisang atau janur yang

berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari janur yang disebut

sampian kuangen (cili), bunga, uang kepeng dan porosan silih asih. Adapun yang dimaksud porosan silih

asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga jika

digulung tampak bolak-balik, yaitu yang satu tampak bagian perutnya dan yang satu lagi tampak

punggungnya.

Dalam sembahyang kuangen simbul Omkara/Ongkara.

Cili/Sampian Kuangen yang berbentuk lancip adalah simbul Nada

Uang kepeng adalah simbul Windu

Potongan permukaan yang melingkar sedikit lancip simbul Ardhacandra

Kojong (diusahakan lipatannya tiga kali) adalah simbul O kara

Omkara adalah aksara suci Sanghyang Widhi. Dengan demikian kuangen adalah simbul Sanghyang

Widhi. Oleh karena itu pada waktu sembahyang memakai sarana kuangen hendaknya sedemikian rupa

sehingga muka kuangen berhadap-hadapan dengan muka penyembahnya. Hal ini dimaksudkan agar

Page 16: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

penyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan muka kuangen adalah bagian letak

uang kepengnya.

2. Tirtha

Tirtha adalah air suci yaitu air yang telah disucikan dengan suatu upacara tertentu. Pada umumnya tirtha

diperoleh melalui dua cara yaitu :

a) Dengan cara memohon dihadapan pelinggih Ida Bhatara dengan upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh

dengan cara ini pada umumnya disebut tirtha wangsuh pada atau banyun cokor.

b) Dengan cara membuat (ngreka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja mantra tertentu oleh Beliau

yang mempunyai kewenangan untuk itu (Sulinggih dan atau Pemangku/Pinandita). Tirtha yang

diperoleh dengan cara ini antara lain adalah tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirta durmanggala, dan

sebagainya.

Adapun tirta yang merupakan waranugraha setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada Ida

Bhatara. Tirtha ini dipercikkan di kepala tika kali, diminum tiga kali dan dibasuhkan di wajah tiga kali. Hal

ini adalah sebagai simbolis penyucian Tri Kaya menjadi Tri Kaya Parisuddha (Kayika, Wacika, Manacika

Parisuddha), sehingga terbebas dari dari segala kotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.

3. Wija atau Bija

Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai matirtha, yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu

upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana.

Kadangkala juga dicampur dengan kunir sehingga berwarna kuning, maka disebutlah wija atau bija kuning.

Idealnya supaya diupayakan beras galih yaitu beras utuh yang tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah

lambang Kumara yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud Kumara adalah

benih ke-Siwa-an yang bersemayam pada diri seseorang. Mawija atau mabija mengandung makna

menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri. Benih tersebut akan tumbuh berkembang apabila

ladangnya bersih dan suci. Maka itu mawija dilakukan setelah matirtha.

Menurut kitab Bhagawad Gita bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan (daiwi sampad) dan

sifat keraksasaan (asuri sampad).Menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan

sifat kedewataan agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat tersebut bersemayam di dalam pikiran

dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dan lubuk

hati maka disimbulkan dengan menempelkan bija tersebut di tengah kedua kening serta menelannya. Dan

yang patut juga diingat wija atau bija disamping sebagai lambang Kumara juga sebagai sarana

persembahan.

Page 17: Puja Tri Sandhya Dan Kramaning Sembah

Daftar Pustaka

Maswinara, I Wayan, 1999, Panggilan Veda, Paramita Surabaya.

Sura I Gede, dkk, 2002, Agastya Parwa Teks dan Terjemahan, Widya Dharma UNHI Denpasar

Tim Penyusun, 1980/1981, Upadesa, Departemen Hindu dan Budha Departemen Agama RI.

_____ , 1994/1995, Pedoman Sembahyang, Pemerintah Daerah Tk I Bali

_____ , 1994/1994, Tri Sandhya dan Kramaning Sembah, Pemerintah Daerah Tk. I Bali

_____ , 2002, Kamus Istilah Agama Hindu, Pemerintah Provinsi Bali

_____ , 2006, Siwatattwa, Pemerintah Provinsi Bali.

Titib, Dr. I Made, 2003, Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa, Paramita Surabaya.

Zoetmulder P.J, 1995, Kamus Jawa Kuna – Indonesia, Pt Gramedia Pustaka Utama Jakarta