Pulau Selayar

Embed Size (px)

Citation preview

BAB III

PAGE 33

STRATIGRAFI

III.1. Strattigrafi Regional Pulau Selayar

Stratigrafi regional Pulau Selayar tediri dari 5 (lima) formasi yaitu Formasi Camba (Tmc), Formasi Camba vulkanik (Tmcv), Formasi Walanae (Tmpw), Formasi Walanae Anggota Selayar (Tmps), dan formasi Alluvial (Qac) (Sukamto dan Supriatna, 1982).

Batuan Gunungapi Formasi Camba (Tmcv) ; berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir dengan ketebalan sekitar 2.500 m. Formasi Camba (Tmcv) ini disusun oleh batuan gunungapi, lava, konglomerat dan tufa berbutir halus hingga lapili, bersisipan dengan batuan sedimen laut berupa batupasir tufaan, batupasir gampingan dan batulempung yang mengandung banyak sisa- sisa tumbuhan. Bagian bawahnya lebih banyak mengandung breksi gunungapi dan lava yang berkomposisi andesit dan basal, konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 50 cm, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya mengandung ignimbrit bersifat trakit dan tefrit leusit, ignimbrit berstruktur kekar meniang, berwarna kelabu kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur aliran dengan permukaan berkerak roti, berwarna hitam. Breksi gunungapi yang tersingkap di Pulau Selayar mungkin termasuk formasi ini. Breksinya sangat kompak, sebagian gampingan, berkomponen basal amfibol, basal piroksin dan andesit (0,5 30 cm), bermassa dasar tufa yang mengandung biotit dan piroksin. Satuan ini merupakan fasies gunungapi dari Foramsi Camba yang berkembang baik di daerah sebelah utaranya (Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat), lapisannya kebanyakan terlipat lemah dengan kemiringan rata- rata 20o, menindih tak selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan batuan yang lebih tua.

Formasi Walanae (Tmpw) ; berumur Miosen Akhir dan Pliosen dengan ketebalan sekitar 2.500 m. Formasi ini disusun oleh perselingan batupasir, konglomerat dan tufa dengan sisipan batugamping, napal dan lignit, batupasir berbutir sedang sampai kasar, umumnya gampingan dan agak kompak, berkomposisi sebagian andesit dan sebagian lainnya mengandung kuarsa, tufanya berkisar dari tufa breksi, tufa lapili, dan tufa kristal yang banyak mengandung biotit, konglomerat berkomponen andesit, trakit dan basal, dengan ukuran 1/2 - 70 cm, rata- rata 10 cm. Di daerah utara banyak mengandung tufa, bagian tengah banyak mengandung batupasir, dan dibagian selatan sampai di Pulau Selayar berjemari dengan batugamping Anggota Selayar (Tmps), kebanyakan batuannya berlapis baik, terlipat lemah dengan kemiringan antara 10o 20o dan membentuk perbukitan dengan ketinggian rata- rata 250 m diatas muka laut. Di Pulau Selayar, formasi ini terutama terdiri dari lapisan batupasir tufaa (10 65 cm) dengan sisipan napal, batupasirnya mengandung kuarsa, biotit, amfibol dan piroksin. Pada Formasi Walanae terdapat Tmps merupakan Anggota Selayar Formasi Walanae

Anggota Selayar Formasi Walanae (Tmps) ; berumur Miosen Akhir dan Pliosen dengan ketebalan sekitar 2.000 m. Formasi ini disusun oleh batugamping pejal, batugamping koral dan kalkarenit, dengan sisipan napal dan batupasir gampingan, umumnya putih, sebagian coklat dan merah.

III.2 Stratigrafi Daerah Penelitian

pembagian dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi, yang bersendikan ciri fisik yang dapat diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, tekstur, struktur, komposisi mineral, keseragaman gejala litologi, dan urutan satuan batuan yang menerus, serta dapat terpetakan pada sekala 1 : 25.000 (Sandi stratigrafi, 1996).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka satuan batuan yang menyusun daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan batuan dari yang termuda sampai yang tertua, yaitu :

1. Satuan batugamping

2. Satuan tufa

3. Satuan breksi vulkanik

Berikut ini akan diuraikan pembahasan setiap satuan batuan yang menyusun daerah penelitian, dimulai dari yang tertua sampai yang termuda.

III.2.1 Satuan breksi vulkanik

Satuan batuan ini menyebar di bagian Timur daerah penelitian, yang keseluruhan satuan ini menempati lebih kurang 25,5% dari luas keseluruhan daerah penelitian atau lebih kurang 20,5 km2. Hasil pengukuran ketebalan pada penampang geologi C - D, didapatkan ketebalan lebih kurang 1450 m.

Satuan breksi vulkanik terdiri dari tufa halus, tufa lapili, tufa kasar dan breksi vulkanik. Pengendapan satuan ini diawali dengan pengendapan tufa halus, secara menerus terbentuk tufa lapili, tufa kasar dan breksi vulkanik yang merupakan bagian satuan breksi.

Kenampakan lapangan dari breksi vulkanik ini memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna hitam, tekstur klastik , ukuran butir > 64 mm, bentuk butir angular sub angular, sortasi jelek, kemas terbuka, kedudukan batuan N190oE/10o - N195oE/10o, tersusun atas fragmen basal dan andesit, matriks tufa berukuran halus - kasar, dengan semen silika (foto 10).

Foto 10. Singkapan breksi vulkanik yang tersingkap di sungai bukit 422 (stasiun 112), difoto relatif ke arah timur.

Kenampakan petrografis fragmen batuan ini dengan nomor 8/BV/FS, warna coklat muda, tekstur porfiritik, hipokristalin, inequigranular, ukuran 0,001 mm - 1,6 mm, bentuk subhedral - anhedral, terdiri dari mineral andesin 37%, augit 22%, kuarsa 12% dan mineral opak 5%, massa dasar kristal 15%, massa dasar gelas 9%. Nama batuan andesit porfiri (foto11) (Travis, 1955).

Kenampakan petrografis fragmen batuan ini dengan nomor 9/BV/FS, warna coklat muda, tekstur porfiritik, hipokristalin, inequigranular, ukuran 0,001 mm - 1,6 mm, bentuk subhedral-anhedral, terdiri dari mineral labradorit 33%, augit 17%, kuarsa 13% dan mineral opak 5%, massa dasar kristal 28%, massa dasar gelas 12%. Nama batuan basal porfiri (foto12) (Travis, 1955).

Foto 11. Sayatan tipis fragmen breksi vulkanik andesit (8/BV/fs), yang terdiri dari plagioklas (pl), piroksin (pr), kuarsa (ku), massa dasar kristal (mk), massa dasar gelas (mg).

Kenampakan petrografis sayatan matriks batuan ini dengan nomor 8/BV/FS, memperlihatkan warna coklat, dengan ukuran 0,001 mm 1,6 mm, bentuk bulat tanggung - menyudut tanggung, struktur shutter crack, terdiri dari mineral diopsit 42%, kuarsa 32%, glass vulkanik 26% (foto13). Nama batuan Cristall vitric tuff (Pettijohn, 1975).

Kenampakan lapangan tufa halus memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat, tekstur klastik, ukuran butir < 1/2 mm, struktur sedimen laminasi berlapis, tebal lapisan > 1 cm ( 5 85) cm, kedudukan perlapisan batuan N170oE/15o - N190oE/8o (foto14), komposisi mineral terdiri atas kuarsa dan piroksin.

Foto 12. Sayatan tipis fragmen breksi vulkanik basal (9/BV/FS) yang tersusun atas mineral kuarsa (ku), piroksin (pr), plagioklas (pl), massa dasar kristal (mk), massa dasar gelas (mg).

Foto 13. Sayatan tipis matriks breksi vulkanik (8/BV/FS), yang terdiri dari mineral piroksin (pr), kuarsa (ku), gelas vulkanik (gv)

Foto 14. Singkapan tufa halus yang tersingkap pada sungai Bukit 422 (stasiun 136), difoto ke arah Timurlaut.

Kenampakan petrografis sayatan tufa halus dengan nomor 6/TH/FS, memperlihatkan warna coklat, ukuran 0,001mm-0,4mm menyudut tanggung - bulat tanggung, struktur shutter crack, terdiri dari kuarsa 35%, augit 30%, sanidin 10%, mineral opak 5%, gelas vulkanik 20% (foto 15). Nama batuan Cristal tuff (Pettijohn, 1975).Kenampakan lapangan tufa lapili memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna hitam, tekstur klastik, ukuran butir 2 mm 64 mm, bentuk bulat-bulat tanggung,, kedudukan batuan N190oE/10o, tebal lapisan (5 15) cm,tersusun atas basal dan andesit yang berukuran lapili, piroksin, plagioklas, kuarsa (foto 16).

Foto 15. Sayatan tipis tufa halus dengan nomor 6/TH/FS, terdiri dari kuarsa (ku), piroksin (pr), gelas vulkanik (gv), sanidin (sn).

Foto 16. Singkapan tufa lapili yang tersingkap di pantai timur daerah penelitian (stasiun 124), difoto ke arah timur laut.

Kenampakan petrografis matriks tufa lapili dengan nomor 124/TL/FS, memperlihatkan warna coklat muda, ukuran 0,001 mm - 0,4 mm, bentuk menyudut tanggung bulat tanggung, struktur shutter crack, tersusun atas mineral kuarsa 49%, piroksin 17%, bitownit 12%, glass vulkanik 17% (foto 17). Nama batuan Cristall tuff (Pettijohn, 1975).

Kenampakan lapangan tufa kasar memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat, tekstur klastik, ukuran butir 1/2 mm 2 mm, struktur sedimen laminasi berlapis, tebal lapisan > 1 cm (15 65) cm, adanya perlapisan dengan kedudukan N170oE/15o - N195oE/10o (foto18), terdiri atas mineral piroksin dan kuarsa.

Foto 17. Sayatan tipis matriks tufa lapili (124/TL/FS), yang terdiri dari piroksin (pr), sanidin (sn), kuarsa (ku), gelas vulkanik (gv).

Foto 18 Singkapan tufa kasar, yang tersingkap di sungai bukit 422 (stasiun 119), difoto ke arah Utara.

Kenampakan petrografis tufa kasar dengan nomor 119/TK/FS dan 1/TK/FS, memperlihatkan coklat muda, tekstur klastik, ukuran 0,001 mm - 1,4 mm, bentuk menyudut tanggung - bulat tanggung, struktur shutter crucks, tersusun atas mineral bitownit (30-35)%, kuarsa (20-27)%, diopsit (22- 18)%, sanidin (6-20)% , mineral opak (5-10)%, glass vulkanik (12-25)%, (foto 19). Nama batuan Cristall tuff Cristall vitric tuff (Pettijohn, 1975).Penentuan lingkungan pengendapan satuan breksi berdasarkan struktur sedimen laminasi dan tidak dijumpai adanya fosil. Berdasarkan hal tersebut, maka lingkungan pengendapan dari satuan breksi yaitu lingkungan darat.

Foto 19. Sayatan tipis tufa kasar (119/TK/FS), yang terdiri dari mineral kuarsa (ku), piroksin (pr), plagioklas (pl), gelas vulkanik (gv).

Penentuan umur satuan breksi vulkanik di daerah penelitian digunakan kesebandingan terhadap satuan yang telah resmi, dimana ciri fisik dari Formasi Camba (Tmcv) hasil peneliti terdahulu memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna hitam, tekstur klastik, ukuran butir > 64 mm, bentuk butir angular subangular, sortasi jelek, kemas terbuka, terdiri dari fragmen basal dan andesit, matriks tufa dan semen silika dan beranggotakan breksi vulkanik, lava, konglomerat, dan tufa kristalin berukuran halus hingga lapili. Sedangkan ciri fisik breksi vulkanik di daerah penelitian memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna hitam, tekstur klastik, ukuran butir > 64 mm, bentuk butir angular subangular, sortasi jelek, kemas terbuka, terdiri dari fragmen basal dan andesit, matriks tufa dan semen silika dan beranggotakan breksi vulkanik, dan tufa kristalin berukuran halus hingga lapili. Berdasarkan ciri fisik dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi tipe, maka satuan breksi pada daerah penelitian mempunyai kesebandingan yang sama dengan breksi Formasi Camba (Tmcv) yang berumur berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir ( Sukamto dan Supriatna, 1982).

Hubungan stratigrafi antara satuan breksi vulkanik dengan satuan tufa merupakan hubungan keselarasan.

III.2.2 Satuan tufa

Satuan batuan menyebar dibagian tengah daerah penelitian meliputi Desa Bonto-bonto, Desa Baera, Desa Lebo, Desa Lembangjaya, Desa Reaia, bukit 133, bukit 185, bukit 171. Satuan ini menempati sekitar 30% dari luas keseluruhan daerah penelitian, atau lebih kurang 26,6 km2. Hasil pengukuran ketebalan pada penampang geologi C D diperoleh ketebalan satuan tufa lebih kurang 750 meter.

Satuan tufa terdiri dari tufa halus, tufa kasar dan batugamping. Pengendapannya diawali dengan pengendapan tufa kasar, secara menerus terbentuk tufa halus yang merupakan anggota satuan tufa bagian bawah, kemudian terendapkan tufa halus dengan tufa kasar sebagai anggota satuan tufa bagian tengah, dan disusul oleh pengendapan tufa halus dan sisipan batugamping sebagai anggota satuan tufa bagian atas.

Kenampakan lapangan tufa halus, segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir < 1/2 mm, struktur sedimen laminasi berlapis, tebal lapisan > 1 cm (5 65) cm, kedudukan perlapisan batuan N170oE/10 - N195oE/19o, komposisi mineral piroksin, kuarsa, plagioklas dan mineral karbonat (foto 20).

Kenampakan petrografis sayatan tufa halus dengan nomor 45/TF/FS,8/TH/FS, dan 5/TH/FS, memperlihatkan warna coklat, ukuran 0,001 mm - 0,4 mm menyudut tanggung - bulat tanggung, komposisi mineral terdiri dari mineral lempung (12-62)%, kuarsa (23-35)%, piroksin (26-30)%, sanidin (10-15)%, mineral opak (10-5)%, gelas vulkanik (19-38)% (foto 21). Nama batuan Cristall tuff - Cristal vitric tuff (Pettijohn, 1975).

Foto 20. Singkapan tufa halus di Sungai Binangalura daerah Tanabau (stasiun 45) difoto ke arah barat baratlaut.

Foto 21. Sayatan tipis dari tufa halus (45/TF/FS), yang terdiri dari sanidin (sn), kuarsa (ku), piroksin (pi), gelass vulkanik (gv), mineral lempung (ml).

Kenampakan lapangan tufa kasar memperlihatkan segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir 1/2 mm 2 mm, struktur sedimen laminasi berlapis, tebal lapisan > 1 cm (10 50) cm, adanya kedudukan batuan N185oE/10o N190oE/13o , komposisi terdiri dari mineral plagioklas, piroksin, hornblende, kuarsa (foto 22).

Foto 22. Singkapan tufa kasar yang tersingkap di Sungai Binangalura (stasiun 33), difoto ke arah barat

Kenampakan sayatan tipis tufa kasar dengan nomor 10/TK/FS, berwarna coklat muda, ukuran 0,1 mm - 0,2 mm, bentuk bulat tanggung-menyudut tanggung, struktur, terdiri dari mineral andesin 27%, augit 15%, kuarsa 12%, hornblende 8%, sanidin 7%, mineral opak 6%, glass vulkanik 25%, (foto 23). Nama batuan Cristall vitric tuff (Pettijohn, 1975).

Foto 23. Sayatan tipis tufa kasar dengan nomor 10/TK/FS, terdiri dari mineral plagioklas (pl), hornblende (hb), kuarsa (ku), gelas vulkanik (gv).Kenampakan lapangan batugamping, segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat sampai hitam, tekstur mud, ukuran butir 1/2 mm 1/4 mm, komposisi mineral karbonat, struktur sedimen laminasi - berlapis, tebal lapisan > 1 cm (10 50) cm, kedudukan batuan N175oE/11o , terdiri dari minerak karbonat (foto 24).

Kenampakan sayatan tipis batuan dengan nomor 9/GP/FS, memperlihatkan warna coklat muda, ukuran mineral 0,001 mm 0,4 mm, tersusun atas sparit 62%, mikrit 38%, pori berwarna hitam dengan ukuran 0,1mm-0,4mm, bentuk subrounded-subangular, jenis intergranular, serta fosil plantonik dan bentonik dengan bentuk bulat tanggung (foto25). Nama batuan Biosparit (Folk, 1974).

Foto 24. Singkapan batugamping yang tersingkap di Sungai Binangalura (stasiun 9), difoto ke arah utara.

Foto 25. Sayatan tipis batugamping nomor 9/GP/FS, yang terdiri dari mikrit (mk), sparit (sp).

Berdasarkan analisa miropaleontologi pada stasiun 45, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada tufa halus adalah Orbulina universa DORBIGNY, Globorotalia scitula (BRADY), Globorotalia acostaensis BLOW, Globigerinoides immaturus LEROY, Globoquadrina dehiscens (CHAPMAN, PARR and COLLINS).

Kandungan fosil bentonik pada batuan ini antara lain Eponides coryelli D.K.PALMER, Nodosarella subnodosa BERMUDEZ, Protobotellina clyndrien HERON ALLEN & EARLAND. Berdasarkan analisa miropaleontologi pada stasiun 53, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada batuan ini adalah Orbulina universa DORBIGNY, Orbulina bilobata (DORBIGNY), Globigerinoides trilobus (REUSS), Globoquadrina dehiscens (CHAPMAN,PARR and COLLINS), Sphaerodinella subdehiscens BLOW, Globigerina praebulloides BLOW, Globoquadrina altispira (CHUSMAN and JARVIS).

Kandungan fosil bentonik pada batuan ini antara lain Protobotellina clyndrien HERON ALLEN & EARLAND, Eponides coryelli D.K.PALMER, Nodogerina advena (CHUSMAN & LAIMING), Dentalina panperata DORBIGNY.

Berdasarkan analisa miropaleontologi pada stasiun 8, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada batuan ini adalah Orbulina universa DORBIGNY, Globoquadrina altispira (CHUSMAN AND JARVIS), Globorotalia plesiotumida BLOW and BARNER, Globorotalia obesa BOLLI.

Kandungan fosil bentonik pada batuan ini antara lain Protobotellina clyndrien HERON ALLEN & EARLAND, Eponides coryelli D.K.PALMER, Nodogerina advena (CHUSMAN & LAIMING), Dentalina panperata DORBIGNY.

Penentuan lingkungan pengendapan satuan tufa didasarkan pada kandungan fosil bentonik, dengan demikian lingkungan pengendapan berada pada inner neritic (0 50) meter (Robertson Research, 1985).Hasil analisis mikropaleontologi kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada satuan tufa diawali dengan pemunculan Globorotalia acostaensis BLOW dan akhir punahnya Globorotalia obesa BOLLI yang berada pada zonasi Globorotalia (L) continueta sampai Globorotalia (G) tumida tumida sampai Sphaeroidinellopsis subdehiscens paenedehiscens, maka umur dari tufa halus yaitu Miosen Akhir bagian Bawah sampai Pliosen bagian Bawah atau pada N 15 N 18 (Postuma, 1971).

Berdasarkan kesamaan umur dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi tipe, maka satuan tufa dikorelasikan dengan Formasi Walanae (Tmpw) yang berumur Miosen Akhir sampai Pliosen ( Sukamto dan Supriatna, 1982).

Hubungan stratigrafi antara satuan tufa dengan satuan di atasnya adalah menjemari dan dibawahnya merupakan hubungan selaras.

a b c d

e f g h

i j k l

Foto 26. Fosil foraminifera kecil plantonik Orbulina universa DORBIGNY (a), Globorotalia scitula (BRADY) (b), Globorotalia plesiotumida BLOW and BANNER (c), Globigerinoides immaturus LEROY (d), Globorotalia acostaensis BLOW (e), Orbulina bilobata DORBIGNY (f), Globigerinoides trilobus (REUSS) (g), Globoquadrina dehiscenss (CHAPMAN, PARR and COLLINS) (h), Globogerina praebullides BLOW (i), Globoquadrina altispira (CHUSMAN and JARVIS) (j), Globorotalia obesa BOLLI (k), dan Globigerina nephentes TODD (l).

ab c d e f g

Foto 27.Fosil foraminifera kecil bentonik Protobotellina clyndrien HERON-ALLEN & EARLAND (a), Eponides coryelli D.K. PALMER (b), Discorbis bailoensis BERMUDEZ (c), Nodogerina advena CHUSMAN and LAIMING (d), Dentalina panperata dORBIGNY (e), Nodogerina subnodosa (GUPPY) (f), dan alga (g).

III.2.3 Satuan batugamping

Satuan batuan ini terdapat dibagian Barat dari daerah penelitian yang memanjang menyebar dari Utara ke Selatan meliputi Desa Tanabau, Desa Subur, Sungai Pagonting, Sungai Binangalura, bukit 124, dan bukit 131. Secara keseluruhan satuan ini menempati sekitar 36% daerah penelitian atau kurang lebih 30,52 km2. Hasil pengukuran ketebalan pada penampang geologi C D didapatkan ketebalan lebih kurang 725 meter.Kenampakan lapangan batugamping, segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat sampai hitam, tekstur mud, ukuran butir 1/2 mm 1/4 mm, komposisi mineral karbonat, struktur sedimen laminasi berlapis (stasiun 70), tebal lapisan > 1 cm (5 15) cm, kedudukan batuan N170oE - N195oE/11o (foto 28), komposisi mineral karbonat.

Foto 28. Singkapan batugamping yang dijumpai di Sungai Binangalura Desa Lebo (stasiun 70), difoto ke arah barat.

Kenampakan sayatan tipis batugamping, memperlihatkan warna coklat muda, ukuran mineral 0,001 mm 1,6 mm, tersusun atas mikrit (40-62)%, sparit (38-60)%, fosil plantonik dan bentonik, bentuk panjang tanggung bulat tanggung, (foto 29). Nama batuan Biomikrit (Folk, 1974).

Kenampakan lapangan tufa halus, segar berwarna abu-abu, lapuk berwarna coklat kehitaman, tekstur klastik, ukuran butir < 1/2 mm, struktur sedimen laminasi berlapis, tebal lapisan < 1 cm - (5 10) cm, kedudukan perlapisan batuan N170oE/11o, komposisi mineral piroksin, kuarsa, plagioklas dan mineral karbonat (foto 30).

Kenampakan petrografis dari batuan ini dengan nomor 13/TF/FS, memperlihatkan warna coklat muda, ukuran 0,1 mm - 0,4 mm , bentuk bulat

Foto 29. Kenampakan sayatan tipis batugamping (11/GP/FS) terdiri dari mineral mikrit (mr), sparit (sp), dan alga (al).

Foto 30. Singkapan tufa halus yang dijumpai di Sungai Binangalura Desa Tanabau (stasiun 6), difoto ke arah Timurlaut.tanggung - menyudut tanggung, tersusun atas mineral kuarsa 32%, piroksin 25%, sanidin 10%, mineral lempung 9%, sanidin 10%, mineral opak 7%, albit 5%, glass vulkanik 12%, (foto 31). Nama batuan Cristall tuff (Pettijohn, 1975).

Foto 31. Sayatan tipis tufa halus (13/TH/FS), yang tersusun atas mineral piroksin (pr), sanidin (sn), kuarsa (ku), gelas vulkanik (gv), mineral lempung, mineral kalsit (kl).

Hasil analisis mikropaleontologi pada stasiun 70, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada batuan ini antara lain: Orbulina universa DORBIGNY, Globorotalia plesiotumida BLOW and BARNER,Globoquadrina dehiscenss (CHAPMAN,PARR, AND COLLINS), Globigerinoides ruber (DORBIGNY).

Fosil bentonik yang diperoleh antara lain alga, Protobotellina clyndrien HERON-ALLEN & EARLAND, Triloculina laevigata DORBIGNY, Quinqueloculina seminula (LINNE), cycloclypeus carpenteri (BRADY), alga.

Hasil analisis mikropaleontologi pada stasiun 7, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada batuan ini antara lain: Orbulina universa DORBIGNY, Globoquadrina altispira (CHUSMAN and JARVIS), Globigerinoides rubber (DORBIGNY), Globigerinoides trilobus (REUSS).

Fosil bentonik yang diperoleh antara lain alga, Protobotellina clyndrien HERON ALLEN & EARLAND, Amphimorphina haveriana REUGEBERN.

Hasil analisis mikropaleontologi pada stasiun 2, kandungan fosil plantonik yang dijumpai pada batuan ini antara lain: Orbulina universa DORBIGNY, Globorotalia multicamerata CHUSMAN and JARVIS, Globigerinoides rubber (DORBIGNY), Sphaerodinella subdehiscens BLOW.

Fosil bentonik yang diperoleh antara lain alga, Protobotellina clyndrien HERON-ALLEN & EARLAND, cycloclypeus carpenteri (BRADY).

Penentuan lingkungan pengendapan satuan batugamping didasarkan pada kandungan fosil bentonik, dengan demikian lingkungan pengendapan berada pada inner neritic (0 50) meter (Robertson Research, 1985).

Hasil analisis mikropaleontologi kandungan fosil plantonik, maka disimpulkan satuan batugamping berada pada zonasi Globorotalia (G) tumida plesiotumida sampai Globorotalia (L) tulaensis lenuilheda, sehingga berumur Miosen Akhir bagian Atas sampai Pliosen bagian Atas atau N 17 N 21 (Postuma, 1971).

Berdasarkan kesamaan umur dan letak geografis yang relatif dekat dengan lokasi tipe, maka satuan batugamping dikorelasikan dengan Formasi Walanae Anggota Selayar (Tmps) yang berumur Miosen Akhir sampai Pliosen ( Sukamto dan Supriatna, 1982).

Hubungan stratigrafi dengan satuan yang ada di bawahnya adalah hubungan menjemari.

III.2.4 Satuan alluvial pantai

Satuan ini menyebar di bagian Barat daerah penelitian yang meliputi desa Polocamba, sungai besar Binangalura dan Pagonting. Secara keseluruhan satuan ini menempati sekitar 8,5% dari seluruh luas daerah penelitian atau lebih kurang 6,5 km2.

Pada daerah ini terdiri dari material-material yang berukuran lempung sampai pasir yang merupakan hasil pelapukan dari batugamping. Sebagian besar dari satuan ini terdiri dari material-material Lumpur yang oleh penduduk dimanfaatkan sebagai areal tambak (foto 34).

Satuan ini merupakan endapan pantai, yang terdiri atas material pasir dan lumpur, serta rawa, yang terbentuk pada kala Holosen, dan masih berlangsung sampai sekarang .

Berdasarkan material penyusunnya, berupa endapan pasir, lumpur dan rawa,maka satuan ini dapat dikorelasikan dengan Qac, dalam Sukamto dan Supriatna (1982).

Foto 34. Kenampakan satuan aluvial pantai di daerah Polocamba, difoto ke arah utara.

30

_1197521923.doc26

24

BAB II

GEOMORFOLOGI

II.1 Geomorfologi Regional Pulau Selayar

Secara fisiografi pesisir Timur merupakan penghubung antara lembah Walanae di Utara dan pulau Selayar di Selatan. Bagian Selatan pesisir Timur membentuk suatu tanjung yang ditempati sebagian besar oleh daerah berbukit kerucut dan sedikit topografi Karst. Teras pantai dapat diamati di daerah ini sejumlah antara 3 dan 5 buah. Bentuk morfologi ini disusun oleh batugamping berumur Miosen Akhir -Pliosen.

Pulau Selayar mempunyai bentuk memanjang utara-selatan, yang secara fisiografi merupakan lanjutan dari pegunungan di sebelah timur di lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat. Bagian timur rata-rata lebih tinggi dengan puncak tertinggi 608 meter, dan bagian barat lebih rendah. Pantai Timur rata-rata terjal dan pantai barat landai, secara garis besar membentuk morfologi lereng miring ke arah barat.

Pada daerah batugamping membentuk perbukitan rendah dengan ketinggian rata-rata 150 meter, dan yang paling tinggi 400 meter di Pulau Selayar.

Endapan alluvial dijumpai di sebelah barat Pulau Selayar yang pada umumnya material-materialnya berasal dari laut berupa pasir dan kerikil, di mana sebagian besar masyarakat memanfaatkan sebagai tambak

II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Uraian geomorfologi bertujuan untuk memahami keadaan bentang alam yang ada sekarang serta perkembangannya, faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti litologi, struktur geologi, atau proses geologi muda. Dari semua data tersebut selanjutnya digunakan untuk membantu memahami keadaan geologi secara interpretatif.

Daerah penelitian secara umum berada pada ketinggian 422 meter di atas permukaan laut. Bagian Timur rata-rata lebih terjal dengan puncak tertinggi lebih kurang 422 m, dan bagian Barat lebih landai.

Pembagian satuan morfologi daerah penelitian berdasarkan Sistem Pemetaan Geomorfologi ITC (International Terrain Classification) dalam Van Zuidam (1985) dapat dilihat pada tabel 1, serta relief yang bersendikan pada sudut lereng dan beda tinggi suatu daerah (Van Zuidam, 1985) dalam Hindartan dan Handayana (1994), dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1 Klasifikasi bentang alam yang didasarkan pada asal pembentukannya (Van Zuidam ,1985).

No

Bentukan Asal

Warna

1

2

3

4

5

6

7

8

Struktural

Vulkanik

Denudasional

Marine

Fluvial

Glasial

Aeolian

Karst

Ungu

Merah

Coklat

Hijau

Biru tua

Biru muda

Kuning

Oranye

Tabel 2 Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (Van Zuidam, 1985).

Morfologi

Sudut Lereng (%)

Beda Tinggi (m)

Datar/hampir datar

Bergelombang/ miring landai

Bergelombang /miring

Perbukitan bergelombang/miring

Perbukitan tersayat tajam/ terjal

Pegunungan tersayat tajam/ sangat tajam

Pegunungan/ sangat curam

0-2

3-7

8-13

14-20

21-55

56-140

> 140

< 5

5-50

25-75

50-200

200-500

500-1000

> 1000

Perpaduan konsep klasifikasi bentang alam berdasarkan sudut lereng, beda tinggi, dan asal pembentukannya, maka satuan geomorfologi pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi:

1. Satuan Perbukitan Terjal Denudasional

2. Satuan Perbukitan Bergelombang Denudasional

3 Satuan Pedataran Denudasional

4. Satuan Pedataran Pantai

II.2.1 Satuan Perbukitan Terjal Denudasional

Penamaan satuan geomorfologi ini didasarkan pada beberapa aspek morfologi yang mendukung yaitu ditinjau dari aspek relief dan genetiknya. Satuan geomorfologi ini menempati sekitar 45,14 % dari luas keseluruhan daerah penelitian atau kurang lebih 53,9 kilometer persegi. Penyebarannya berada dibagian Timur daerah penelitian yang memanjang Utara ke Selatan dengan ketinggian kurang lebih 422 m dari muka air laut.

Satuan ini dicirikan oleh kenampakan permukaan yaitu perbukitan sedang terjal, persentase kemiringan lereng sekitar 18,5% 40,9 % (21-55)% dengan beda tinggi sekitar 347 meter (200-500) meter, puncak tertinggi sekitar 422 meter dari muka air laut. Bentuk puncak tumpul hingga runcing serta profil lembah yang berbentuk V dan U. Berdasarkan ciri tersebut, satuan ini digolongkan kedalam Satuan Perbukitan Terjal Denudasional.

Satuan ini dicirikan dengan banyaknya erosi-erosi lembah seperti erosi rill dan erosi gully, sehingga disimpulkan proses genetik yang berkembang cukup aktif yaitu proses denudasional.

Jenis pelapukan yang dijumpai yaitu pelapukan fisika dan kimia dengan tingkat pelapukan sedang yang dicirikan dengan ketebalan soil sekitar (40 70) cm, warna soil abu-abu hingga coklat. Proses geomorfologi yang berlangsung yaitu proses erosi yang dicirikan dengan adanya erosi alur yaitu gully erotion dan rill erotion (foto 1). Berdasarkan hal tersebut maka tingkat erosi pada satuan geomorfologi ini adalah kuat. Jenis material penyusun lereng terdiri dari soil, pasir, kerikil dan bongkah.

Sungai yang mengalir pada satuan ini adalah Sungai Binangalura dan Sungai Pagonting dengan arah aliran yang relatif kearah Barat, sedangkan Sungai Lalemang, sungai bukit 338 dan sungai bukit 422 mengalir kearah Timur. Jenis sungai episodis

meliputi Sungai Bontobonto dan Sungai Baera, sedangkan periodis meliputi, Suangai Reaia, Sungai Lalemang, Sungai bukit 422, Sungai bukit 398, dan Sungai bukit 354, pola aliran dendritik, tipe genetik sungai obsekuen dan konsekuen, dengan stadia sungai muda menjelang dewasa. Bentuk penampang melintang sungai yang menyerupai huruf V hingga U , sungai sudah berkelok-kelok, selain itu juga dijumpai adanya gelinciran massa batuan dan tanah pada satuan ini (Foto 2).

Foto 2. Singkapan gelinciran massa batuan dan tanah pada tepi jalan di lereng bukit Desa Lalemang (stasiun 99), difoto ke arah Selatan

Satuan morfologi ini secara keseluruhan terdiri dari batuan breksi vulkanik, tufa lapili, tufa kasar, dan tufa halus. Struktur geologi yang dijumpai pada satuan ini yaitu kekar dan sesar turun. Satuan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai pemukiman, perkebunan kelapa dan jambu mente.

II.2.2 Satuan Perbukitan Bergelombang Denudasional

Penamaan satuan ini didasarkan pada kenampakan bentang alam (relif) yaitu perbukitan dan proses geologi yaitu danudasi. Satuan morfologi ini menempati sekitar 29,5% dari keseluruhan luas daerah penelitian dengan luas kurang lebih 33,6 kilometer persegi. Dibagian tengah terdapat beberapa bukit dengan ketinggian berkisar antara (124 185) meter dari muka air laut.

Satuan ini dicirikan oleh kenampakan permukaan berupa perbukitan rendah sampai sedang, persentase kemiringan lereng antara 7,9% 20,4 % (14-20)% dan beda tinggi 160 meter (50-200) meter di atas permukaan laut. Bentuk puncak tumpul dengan keadaan permukaan lereng yang bergelombang (foto 3), serta bentuk lembah yang menyerupai huruf V dan U. Berdasarkan hal tersebut satuan ini digolongkan ke dalam Satuan Perbukitan Bergelombang Denudasional.

Proses geomorfologi yang bekerja berupa erosi yang dicirikan dengan adanya erosi alur yaitu gully erotion dan rill erotion sehingga disimpulkan tingkat erosi tinggi. Jenis pelapukan yang dijumpai yaitu pelapukan mekanik dan kimia, ketebalan soil (0,5 1) meter sehingga disimpulkan tingkat pelapukan sedang. Jenis material berupa bongkah, kerikil, pasir dan soil.

Foto 3 Satuan perbukitan bergelombang denudasi (x) dan tata guna lahan berupa perkebunan (xx) pada daerah Lembangjaya (stasiun 84), difoto ke arah Utara Timurlaut.

Sungai yang mengalir pada pada satuan ini adalah Sungai Binangalura dan Sungai Pagonting, jenis sungai episodis meliputi Sungai Lembangjaya, pola dendritik, tipe genetik sungai insekuen, subsekuen dan konsekuen, sungai sudah berkelok-kelok, dijumpai endapan di pinggir sungai, stadia sungai muda menjelang dewasa.

Pada satuan ini litologi yang dijumpai yaitu tufa halus, tufa kasar, dan batugamping. Struktur geologi yang dijumpai pada daerah penelitian yaitu kekar dan lipatan homoklin. Pemanfaatan tata guna lahan oleh masyarakat setempat adalah sebagai daerah pemukiman, perkebunan kelapa dan jambu mente.

II.2.3 Satuan Pedataran Denudasional

Penamaan satuan ini berdasarkan atas persentase kemiringan lereng dan proses genetiknya. Satuan ini menempati lebih kurang 10,8 % dari keseluruhan daerah penelitian atau lebih kurang 8,8 kilometer persegi . Terletak disebelah Barat daerah penelitian dengan ketinggian 0 25 meter dari muka air laut, meliputi daerah Galung.

Jenis pelapukan pada daerah penelitian yaitu pelapukan fisika dan kimia yang dicirikan dengan ketebalan soil 50 cm 1,5 meter, warna abu-abu sampai hitam, sehingga disimpulkan tingkat pelapukan sedang. Dijumpai adanya bank erotion, bentuk lembah menyerupai huruf U, sehingga disimpulkan Proses geomorfologi yang terjadi yaitu erosi horisontal. Dijumpain proses sedimentasi di sepanjang aliran sungai yaitu point bar (foto 4) yang terdiri dari material-material lepas dan sungai yang berkelok-kelok (foto 5). Jenis material pasir, kerikil dan soil.

Sungai yang mengalir pada satuan ini adalah Sungai Binangalura dan Sungai Pagonting dengan yang merupakan sungai episodis, pola dendritik, tipe genetik sungai insekuen, dan stadia sungai muda menjelang dewasa yang dicirikan dengan sungai berkelok-kelok dan dijumpainya endapan pada pinggir sungai.

Litologi yang menyusun daerah penelitian adalah batugamping dengan tata guna lahan oleh masyarakat setempat sebagai perkebunan kelapa, jambu mente dan pemukiman.

Foto 4 Hasil akumulasi sedimen pada pinggir sungai berupa (x) Point bar pada sungai besarPagonting, difoto ke arah Barat laut.

Foto 5. Kelokan-kelokan sungai pada Sungai besar Binangalura, difoto kearah Baratlaut.

II.2.4 Satuan Pedataran Pantai

Satuan ini terletak pada daerah Polocamba di sebelah Barat dan Timur, menempati sekitar 14,56 % dari luas keseluruhan daerah penelitian atau lebih kurang 13,5 kilometer persegi.

Satuan ini terdiri dari daerah pasang surut (foto 6) yang sebagian besar dijadikan sebagai lahan tambak (foto 7) yang merupakan salah satu ciri satuan geomorfologi pedataran pantai..

Jenis pelapukan yang dijumpai yaitu pelapukan kimia dengan tingkat pelapukan yang tinggi. Proses geomorfologi yang berlangsung yaitu proses abrasi dengan tingkat

Foto 6 Daerah pasang surut tidak bervegetasi merupakan salah satu ciri dataran pantai pada sebelah Barat daerah penelitian (stasiun 141), difoto ke arah Selatan.

Foto 7 Dataran aluvial pantai (payau) berupa tambak yang merupakan ciri satuan dataran pantai pada daerah Polocamba, difoto ke arah Utara.

erosi yang tinggi, erosi horisontal dengan bentuk lembah menyerupai huruf U dan Jenis material berupa pasir dan kerikil.

Sungai yang mengalir pada satuan ini adalah Sungai Binangalura dan Sungai Pagonting dengan sungai jenis episodis, pola aliran dendritik, tipe genetik insekuen, bentuk lembah menyerupai huruf U dan stadia sungai muda menjelang dewasa.

Tata guna lahan yaitu pemukiman dan tambak yang merupakan salah satu mata pencarian masyarakat setempat daerah Polocamba.

II.3 Sungai

Pembahasan tentang sungai di daerah penelitian meliputi klasifikasi, pola aliran, tipe genetik, dan stadia atau tahap perkembangan sungai. Semua hal-hal tersebut akan dibahas dibawah ini.

II.3.1 Klasifikasi Sungai

Sungai-sungai yang mengalir pada daerah penelitian terdiri dari induk dan anak sungai yang terdapat pada daerah perbukitan, yang kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah yaitu daerah pedataran dan akhirnya bermuara di laut.

Pengklasifikasian sungai dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek tinjauan yaitu : Berdasarkan sifat aliran, kandungan air, genesa dan pola pengaliran.

Berdasarkan sifat aliran, sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan kedalam aliran yang bersifat eksternal, dimana aliran air pada permukaan yang membentuk sungai.

Berdasarkan volume air pada tubuh sungai ( kualitas air ), maka sungai yang dijumpai pada daerah penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu sungai periodis dan sungai episodis. Sungai-sungai utama di daerah penelitian yaitu sungai Binangalura dan sungai Poganting. Sungai Poganting yang merupakan sungai induk yang berada pada daerah Lembangjaya serta anak sungai dari Sungai Poganting, Sungai Lalemang, sungai bukit 398, sungai bukit 422 merupakan sungai periodis, dimana pada musim hujan debit airnya besar sedangkan pada musim kemarau debit airnya kecil. induk dan anak sungai dari sungai Binangalura merupakan sungai episodis, dimana sungai-sungai tersebut akan berair pada musim hujan saja.

Berdasarkan genesanya sungai yang mengalir pada daerah penelitian didasarkan pada arah dan kemiringan batuan, yakni sungai obsekuen, konsekuen, subsekuen dan insekuen.

Sungai Binangalura dan Sungai Pagonting mengalir relatif dari arah Timur ke arah Barat, yang mana pada umumnya merupakan sungai-sungai sudah berkelok-kelok. Sedangkan sungai-sungai pantai timur mengalir dari bukit-bukit menuju ke arah timur.

II.3.2 Pola Aliran Sungai

Pola aliran yang berkembang pada suatu daerah baik secara regional maupun secara lokal dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan kedudukan batuan yang dilalui, jenis dan kerapatan vegetasi serta kondisi iklim. Kemiringan permukaan dapat dipengaruhi oleh litologi, struktur geologi, penyebaran dan kedudukan anak sungai terhadap sungai utama, kondisi erosi dan sejarah geomorfik suatu daerah semenjak erosi ( Van Zuidam, 1985 ).

Umumnya pola aliran sungai yang dijumpai di daerah penelitian menyerupai cabang-cabang pohon, pola semacam ini disebut sebagai pola aliran dendritik. Secara umum cabang-cabang sungai pada daerah penelitian mengalir ke arah Barat dan Timur.

II.3.3 Tipe Genetik Sungai

Penentuan tipe genetik sungai pada daerah penelitian berdasarkan arah aliran sungai terhadap kedudukan batuan.

Sungai yang mengalir pada daerah penelitian yaitu Sungai Binangalura meliputi daerah Tanabau, Bonto-bonto dan Baera memperlihatkan arah aliran relatif searah dengan kemiringan lapisan batuan (konsekuen). Sungai Pagonting yang meliputi daerah Reaia memperlihatkan arah aliran sungai yang relatif searah dengan jurus batuan (subsekuen), serta sungai-sungai yang mengalir ke arah timur daerah penelitian memperlihatkan arah aliran sungai relatif berlawanan arah dengan kemiringan batuan (obsekuen), sedangkan Sungai Pagonting daerah Lembangjaya dan Reaia, sungainya tidak dikontrol oleh kedudukan batuan (insekuen).

Berdasarkan arah aliran terhadap kedudukan batuannya, maka sungai tersebut mempunyai tipe genetik konsekuen, subsekuen (foto 8) , obsekuen dan insekuen (foto 9).

Foto 8 Kenampakan Sungai Pagonting dengan tipe genetik sungai subsekuen pada daerah Reaia (stasiun 91), difoto ke arah Barat.

Foto 9. Kenampakan Sungai Pagonting dengan tipe genetik sungai insekuen pada daerah Lalemang (stasiun 100), difoto ke arah barat

II.3.4 Stadia Sungai

Secara umum stadia sungai suatu daerah dapat dibedakan menjadi 3 stadia ( Van Zuidam, 1985 ) adalah : stadia muda, stadia dewasa dan stadia tua.

Untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu sungai, maka yang perlu diperhatikan adalah erosi vertikal dan lateral, endapan sungai, dan bentuk penampang sungai.

Pada Sungai Pagonting daerah Lembangjaya dan Sungai Binangalura yang meliputi daerah Lebo, Tanabau, Bonto-bonto, Baera, dan sungai-sungai yang mengalir ke arah timur memperlihatkan bentuk lembah sempit lebar, erosi vertikal seimbang dengan erosi horisontal, sungai yang berkelok-kelok, arus sungai deras, dan adanya jeram-jeram sungai. Sedangkan pada Sungai Pagonting dan Binangalura yang merupakan sungai besar dan dekat muara sungai menunjukkan bentuk lembah melebar, erosi yang terjadi adalah erosi horisontal yang ditunjukkan dengan adanya bank erosion pada dinding sungai, sungai sudah berkelok-kelok serta endapan-endapan sungai berupa point bar, arus sungai yang lambat.Berdasarkan faktor-faktor yang dapat mengontrol perkembangan suatu stadia sungai seperti yang dijelaskan diatas, maka tingkat perkembangan stadia sungai pada daerah penelitian secara umum memperlihatkan sungai berstadia muda menjelang dewasa.

II.4 Stadia Daerah Penelitian

Stadia suatu daerah tergantung pada proses geomorfologi yang merupakan perubahan-perubahan baik secara fisik maupun secara kimia yang dialami oleh permukaan bumi. Penyebab dari proses perubahan tersebut dinamakan dengan faktor-faktor geomorfologi berupa tenaga asal dalam ( endogen ) dan tenaga asal luar ( eksogen ). Tahapan dari suatu bentang alam dimulai dari tahapan muda, dewasa, tua

dan akhirnya mengalami rejuvinasi, hal ini erat kaitannya dengan kedua faktor pengubah diatas (Thornbury, 1969).Agen geomorfik yang bekerja pada daerah penelitian adalah air, dimana air permukaan sangat efektif bekerja dalam proses pembentukan morfologi.

Untuk penentuan stadia daerah penelitian, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : jenis erosi, tingkat pelapukan yang dicirikan oleh ketebalan soil penutup batuan dasar, bentuk morfologi yang dibedakan berdasarkan persentase kemiringan lereng dan beda tinggi antara dua tempat, bentuk alur lembah, keadaan sungai yang mengalir pada daerah penelitian, serta stadia sungai (Van Zuidam, 1985)

Secara keseluruhan stadia daerah penelitian yang dicirikan bentuk morfologi datar/hampir datar hingga terjal, lembah yang relatif landai terjal, sungai-sungai yang berkelok-kelok dengan endapan sungainya berupa point bar, erosi horisontal dan vertikal, bentuk lembah yang menyerupai huruf V dan U , bentuk puncak yang tumpul hingga runcing, serta stadia sungai muda menjelang dewasa. Berdasarkan data-data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian berada pada stadia muda menjelang dewasa.

Gambar 3. Peta Pola Aliran Sungai

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

PETA GEOMORFOLOGI

DAERAH TANABAU KECAMATAN BONTOHARU

KABUPATEN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

u

Sekala peta 1 : 25.000

Interval kontur 25 meter

FAUSIA SULAEMAN

D61198026

MAKASSAR

2003

KETERANGAN :

Satuan Denudasi Perbukitan Terjal

Satuan Denudasi Perbukitan Bergelombang

Satuan Dataran Fluvial

Satuan Dataran Pantai

Erosi Alur Kecil ( rill erosion ) Mata air

Erosi Alur Sedang ( gully erosion ) Sungai

Erosi Alur Besar ( ravine erosion ) Pemukiman

Batas Satuan Geomorfologi Jalan Pengerasan

Debris Slide ( gelinciran soil ) Titik Ketinggian

Sayatan Geomorfologi A B Garis Kontur

Penampang sayatan A B

Bentuk Asal Marine

Bentuk Asal Fluvial

Bentuk Asal Denudasional

Tebing Terjal ( M2

Gumuk Pantai ( M7 )

Dataran Pasut Bervegetasi ( M9 )

Dataran Pasut Tidak Bervegetasi (M10 )

Terumbu Koral ( M16 )

Dataran aluvial (F1)

Dataran Banjir ( F7 )

Channel bar ( Cb )

Point bar ( Pb )

Perbukitan Terkikis ( D1 )

Kaki Lereng ( D7 )

Foto 1 Satuan perbukitan terjal denudasional yang memperlihatkan alur-alur erosi berupa erosi gully (x) dan bentuk puncak yang tumpul, (xx) hingga runcing ( xxx) pada pantai timur (stasiun 122) difoto ke arah barat.

12