Upload
surya-adhi-prakoso
View
245
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
RASAB pada SCTP EM ec PEB
Citation preview
Presentase Kasus
WANITA 32 TAHUN G4P3A0 DENGAN FETAL DISTRESS DAN
PEREEKLAMSIA BERAT PADA MULTIGRAVIDA HAMIL
POSTDATE DAN OLIGOHIDRAMNION PRO SCTP-EM
DAN MOW STATUS FISIK ASA II E PLAN RASAB.
Oleh:
Triono Agung Sakti
G99141040
Pembimbing
dr. R. Th. Supraptomo, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dalam
bidang obstetri. Penyebab lainnya adalah perdarahan dan infeksi. Untuk
persentasenya sendiri preeklampsia menyumbangkan angka 13%, perdarahan
dan infeksi masing-masing 45% dan 15%. Sisanya sebanyak 27% terbagi atas
partus macet, abortus yang tidak aman, dan penyebab tidak langsung lainnya.
Data WHO menunjukkan terdapat lebih dari 585.000 ibu hamil meninggal
setiap tahun. Target AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per
100.000 kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini masih cukup jauh dari target yang harus dicapai pada
tahun 2015. Sementara data di kota solo pada tahun 2013 terdapat 6 peristiwa
kematian ibu saat melahirkan. Dari 6 persitiwa tersebut, 5 disebabkan oleh
preeklampsia dan 1 disebabkan oleh perdarahan.
Dalam perjalanannya, berkat kemajuan dalam bidang anestesia, teknik
operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik yang
semakin meningkat, maka penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi
dapat diturunkan secara nyata. Begitu pula pada kasus preeklampsia. Dengan
membaiknya perawatan prenatal dan pendekatan yang rasional dalam
penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan, terjadi penurunan angka kematian
ibu dan janin/ neonatus secara nyata.
Pada ibu hamil dikatakan terjadi preeklampsia apabila dijumpai tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria
≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ +1. Dalam pengelolaan
klinis, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan, preeklampsia berat,
impending eklampsia, dan eklampsia.
2
Kehamilan dapat menyebabkan preeklampsia pada wanita yang
sebelumnya dalam keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita
yang sebelumnya telah menderita hipertensi. Edema menyeluruh, proteinuria,
ataupun keduanya sering menyertai pasien dengan hipertensi kehamilan,
sehingga disebut preeklampsia. Kejang dapat timbul menyertai preeklampsia
tersebut, terutama bila hipertensi tidak tertangani. Angka kematian akibat
preeklampsia di USA pada tahun 1974-1978 sekitar 20% dari seluruh kematian
ibu melahirkan. Disamping itu data dari WHO menyebutkan angka kematian
secara global akibat preeklampsia adalah 5.5% pada ibu usia muda, meningkat
pada nulipara dan ibu usia lanjut menjadi 20%.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu
anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan
aksis hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.
Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam sectio caesaria adalah
anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap
mental pasien. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada
pasien obstetri yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan
blok kaudal. Anestesia spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan
bahwa tekanan darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping
yang berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi
pada ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat
membahayakan keadaan janin, bahkan dapat menimbulkan kematian ibu.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi,
dan gangguan kardiovaskular.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMSIA
Definisi
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan
proteinuria meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda
kerusakan organ termasuk gangguan pertumbuhan janin.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda
kenaikan lain. Kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg
dapat membantu ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan
darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 4 jam pada keadaan
istirashat.
Terdapat empat jenis penyakit hipertensi, antara lain:
1. Hipertensi kronik, dengan gejala yaitu tekanan darah > 140/90 mmHg
sebelum hamil atau didiagnosa sebelum usia gestasi 20 minggu, atau
bila terdapat hipertensi didiagnosa setelah usia gestasi 20 minggu dan
persisten 12 minggu setelah melahirkan.
2. Hipertensi gestasional dengan gejala yaitu tekanan darah > 140/90
mmHg untuk pertama kalinya ketika hamil, tidak terdapat proteinuria
dan tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu pasca
persalinan.
3. Preeklampsia-eklampsia dengan gejala yaitu tekanan darah
>140/90mmHg setelah usia gestasi 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal dan adanya
proteinuria (0,3 gr protein dalam spesimen urin dalam 24 jam),
4
sedangkan eklampsia didefinisikan sebagai kejang yang tidak dapat
dihubungkan dengan kasus lain pada wanita dengan preeklampsia.
4. Superimposed Preeclampsia (preeklampsia pada pengidap hiper
tensikronis) dengan gejala yaitu onset baru proteinuria dengan jumlah
proteinuria > 300 mg/24 jam pada ibu hamil dengan hipertensi, tetapi
tidak ada proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu.
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam
yang kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjuk
kan +1 atau+2 atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan
dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul lebih lambat, sehingga harus
dianggap sebagai tanda yang serius.
Salah satu komplikasi dari preeklampsia adalah sindroma HELLP, yang
bila ditegakkan, akan ditemukan 3 tanda, yaitu :
1. Hemolisis, yang ditandai dengan anemia yang progresif, abnormalitas
hapusan darah tepi, dan kenaikan bilirubin serum > 1.2 mg/dl.
2. Kenailkan kadar enzim liver, yaitu SGO'T > 70 IU/1, dan laktat
dehidrogenase (LDH) ≥ 600 IU/1.
3. Trombositopenia, angka trombosit < 100.000 / ml.
Preeklampsia/ eklampsia diduga disebabkan adanya peningkatan
bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboxane) dan penurunan bahan
vasodilator (PGE2, prostasiklin dan EDRF) yang menyebabkan kerusakan dari
endotel yang luas. Manifestasi yang terjadi adalah vasospasme arteriol,
retensi natrium dan air serta perubahan proses koagulasi. Penyebab yang
lain diduga adanya iskemia dari plasenta, hubungan antara lipoprotein
5
dengan densitas yang rendah dengan pencegahan keracunan, perubahan
sistem imun dan perubahan genetik..
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Preeklampsia ringan
a. Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik 15
mmHg.
b. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
c. Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat
badan 1 kg per minggu.
d. Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif +1 atau +2 pada urin
kateter atau mid stream.
2. Preeklampsia berat
Definisi:
Preeklampsia dengan tekanan darah lebih dari 160 / 110;
proteinuria lebih dari 5 gram/ 24 jam; atau +3 pada dipstick urin; urin
output < 400 ml / 24 jam; oedem paru atau adanya gangguan respirasi,
nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas, ruptur hepar, jumlah platelet
kurang dari 100 x 109 / liter, serta adanya komplikasi serebral.
Preeklampsia dibagi menjadi:
a. Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
b. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistol 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastol 110
mmHg atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani
perawatan di RS dan tirah baring.
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4
dipstik.
6
c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
d. Kenaikan kreatinin serum.
e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur.
f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen
karena teregangnya kapsula Glisson.
g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT.
j. Pertumbuhan janin terhambat.
k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan
trombosit dengan cepat.
Impending eklampsia bla dijumpai tanda/ gejala berikut:
c. Nyeri kepala hebat
d. Gangguan visual
e. Muntah-muntah
f. Nyeri epigastrium
g. Tekanan darah naik secara progresif
Diagnosis:
Diagnosis dari preeklampsia berat dapat ditentukan secara klinis maupun
laboratorium.
1. Klinis:
a. Nyeri epigastrik
b. Gangguan penglihatan
c. Sakit kepala yang tidak respon terhadap terapi konvensional
d. Terdapat IUGR
e. Sianosis, edema pulmo
7
f. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau ≥ 110 mmHg untuk tekanan
darah diastolik (minimal diperiksa dua kali dengan selang waktu 6
jam)
g. Sianosis, edema pulmo
h. Oliguria (< 400 ml selama 24 jam)
2. Laboratorium:
a. Proteinuria (2,0 gram/24 jam atau ≥ +2 pada dipstik)
b. Trombositopenia (<100.000/mm3)
c. Kreatinin serum >1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat
sebelumnya
d. Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)
e. Peningkatan enzim hepar (SGOT,SGPT)
Penatalaksanaan:
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi
dengan selamat.
Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang
salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin.
1. Perawatan aktif, yaitu mengakhiri kehamilan.
Indikasi: bila terdapat satu atau lebih kelainan berikut ini:
Ibu:
a. Usia kehamilan lebih dari 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
Janin:
a. Terdapat tanda-tanda gawat janin
b. Terdapat tanda-tanda IUGR
8
Laboratorium:
a. Adanya sindroma HELLP
Terapi medikamentosa untuk perawatan aktif dapat diberikan:
a. Infus Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc
(60-125 cc/jam)
b. Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
c. Pemberian obat : MgSO4.
2. Perawatan konservatif, yang berarti mempertahankan kehamilan.
Indikasi: Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-
tanda impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
Terapi medikamentosa untuk perawatan konservatif:
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara
aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja
(MgSO4 40% 8 gr i.m.). Penggunaan obat hipotensif pada preeklampsia
berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah
kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Namun,
dari penggunaan obat-obat antihipertensi jangan sampai mengganggu
perfusi uteroplacental. OAH yang dapat digunakan adalah hydralazine,
labetolol, dan nifedipin.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20
% secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Untuk
penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan sedativa lebih banyak
dalam persalinan. Namun, untuk saat ini teknik anestesi yang lebih
sering digunakan adalah anestesi epidural lumbal.
Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya
perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah
terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum.
Pada gawat janin, dalam kala I, dilakukan segera sectio caesaria; pada
kala II dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.
9
Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena eklampsia,
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan
aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan
hipoksia intrauterin.
B. SECTIO CAESARIA TRANS PERITONEAL PROFUNDA (SCTP)
Definisi
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara sectio
caesaria yang dikenal saat ini, yaitu sectio caesaria transperitonealis
profunda, sectio caesaria klasik/ korporal, sectio caesaria ekstraperitoneal,
dan sectio caesaria dengan teknik histerektomi.
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio
caesaria transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
Keunggulan teknik sectio caesaria transperitonealis profunda antara lain :
Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak
terlalu besar, parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura
uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen
bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal
ini menyebabkan luka dapat sembuh lebih sempurna.
10
Indikasi
1. Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
2. Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
Komplikasi
1. Infeksi puerperal.
2. Perdarahan.
3. Komplikasi–komplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya
embolisme paru.
C. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional.
Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi
spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian
bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek
anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang
epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan
pada bedah obstetri dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
11
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke
kranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat
dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang
sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat,
penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan
intrakranial yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan
anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan
dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American
Society of Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
12
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga
aktivitas harian/ live style terbatas. Angka mortalitas
38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam,
baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka
mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang
meliputi:
Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru
kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung,
hipertensi, dan penyakit ginjal.
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi
dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.
e. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska
bedah.
13
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
i. Makanan yang terakhir dimakan.
Pemeriksaan Fisik
a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynx, tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
14
e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.
2. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
d. Memberikan analgesia, misal pethidin.
e. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah.
Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan
digunakan harus selalu mempertimbangkan umur pasien, berat badan,
status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan
obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan
lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan.
15
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam
dan midazolam.
c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
e. Antihistamin, misal prometazine.
f. Antasida, misal gelusil.
g. H2 reseptor antagonis, misal simetidine.
3. Prosedur Anestesi Spinal
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik
dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi
penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka
kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial
pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal
16
akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir
ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika
terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus
500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan
darah.
4. Obat Anestesi Spinal
a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya
terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase
pengikatannya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini
dimetabolisasi menjadi pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui
kemih 5% dalam keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan
sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk
kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan selama
kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal,
bupivakain adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah
hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
17
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (Decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1,027 Hiperbarik 5-15 g (1-3 ml)
b. Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan
analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian
pernafasan buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga memiliki
efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien
dengan hipovolemia, juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat
mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 50 mcg/cc
Dosis : 0,05 ug/kgBB
Pemberian : IV, IM, intradural
18
5. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Spinal
a. Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
4) Tidak memerlukan intubasi.
5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b. Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general
system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
6. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
a. Hipotensi berat
Akibat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Hematom
e. Cedera saraf
f. Mual-muntah
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
19
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
b. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu
jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga
seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/
jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius kebutuhan cairan bertambah
10 – 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan
cairan pada dewasa untuk operasi :
20
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
Sedang = 6 ml / kgBB / jam
Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan
kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid/ dekstran dengan dosis 1 – 2 kali
darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan
berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan
sehari-hari pasien.
8. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
21
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 1
Tak mampu ekstensi tungkai 2
Tak mampu fleksi lutut 3
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 4
D. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan
obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini
sering digunakan pada persalinan per vaginam dan pada sectio caesaria
tanpa komplikasi. Pada sectio caesaria blokade sensoris spinal yang lebih
tinggi penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih
luas, diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan
frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada
bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan
menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya
menembus duramater- subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan
serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan
obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan
anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test, menggunakan jarum
22
halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester,
kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2. Pembagian tingkat anestesi spinal:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang
lebih tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Infeksi tempat penyuntikan
b. Gangguan koagulasi
c. Tekanan intrakranial meninggi
d. Alergi obat lokal anestesi
e. Hipertensi tak terkontrol
f. Pasien menolak
g. Syok hipovolemik
h. Sepsis
23
5. Obat anestesi spinal pada sectio caesaria
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain 0,25-
0,75 %.
6. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
h. Penurunan tekanan intrakranial
i. Meningitis
j. Retensi urine
24
BAB III
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. HM
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Mojosongo, Jebres, Surakarta
Tanggal masuk : 2 Mei 2015
No RM : 01017686
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Pasien datang ke RS dr. Moewardi sebagai rujukan dari RSUD
Surkarta dengan preeklamsia berat.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang wanita G4P3A0 usia 32 tahun dengan usia
kehamilan 41+2 datang ke IGD RSUD dr. Moewardi sebagai rujukan
dari RSUD Surakarta. Pasien dirujuk dengan diagnose preeklamsia
berat. Pasien merasa hamil tua, gerakan janin masih dirasakan,
kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum
dirasakan keluar, gerak janin masih dirasakan, lendir darah (-),
nyeri kepala frontalis (-), pandangan kabur (-), mual (-), muntah (-),
nyeri epigastrium (-), kejang (-). BAB dan BAK tidak ada kelainan.
25
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat abortus : (-)
Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minuman beralkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
6. Riwayat asupan gizi
Pasien biasa makan 3x sehari dengan nasi, sayur dan lauk
pauk serta buah-buahan. Kesan asupan gizi cukup.
26
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita usia 32 tahun, bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS
Kesehatan.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway : bebas, buka mulut >3 jari, mallampati I
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan
dada kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-),
sonor/sonor, suara dasar vesikuler +/+, suara
tambahan -/-, frekuensi nafas 18x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba
di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), tekanan darah 180/130 mmHg, nadi
88x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm
/3mm, reflek cahaya +/+.
Exposure : suhu 36, 5 0C
B. Secondary Survey
Status gizi : Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 23,43 (kehamilan 41+2 minggu)
Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam
27
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh
(-/-)
Telinga : sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-)
Abdomen :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi,
bising usus (+) normal, timpani, supel, hepar dan lien
tidak teraba, teraba janin tunggal, intrauterin,
memanjang, puki, preskep, HIS(-) DJJ (+) 145x/menit,
TFU 34 cm
Ekstremitas :
akral dingin oedem
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 2 mei 2015
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKANDarah Rutin
Hb 10,2 g/dl 12.0 - 15.6Hct 32 % 33 - 45AL 14.6 Ribu/ul 4.5 - 11.0AT 265 Ribu/ul 150 - 450AE 4.79 Juta/ul 4.10 – 5.10
Kimia klinikGDS 95 mg/dl 60 – 140
SGOT 16 u/l < 31SGPT 8 u/l < 34
28
- -
--
- -
--
Albumin 3,4 g/dl 3.5 – 5.2Kreatinin 1.2 mg/dl 0.6 – 1.1Ureum 96 mg/dl < 50HbsAg Non reactive Non reactive
ElektrolitNa darah 132 mEq/L 135 – 145Creatinin 1.2 mg/dL 0.5 – 0.9Ureum 96 mg/dL 5 - 25
LDH 438 u/l Lactate-piruvate
IV. DIAGNOSA ANESTESI
Ny H, wanita 32 tahun, G4P2A0 dengan fetal distress dan
preeklampsia berat pada multigravida hamil postdate dan
oligohidramnion pro SCTP-em + MOW status fisik ASA II E plan RASAB.
V. POTENSIAL PROBLEM
Perdarahan
Infeksi
Fetal distress
VI. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanankan pada tanggal 2 mei 2015 di OK IGD
A. Primary survey
Airway : Bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan
dada kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-),
sonor/sonor, suara dasar vesikuler +/+, suara
tambahan -/-, frekuensi nafas 18x/menit.
Circulation : Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba
di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
29
reguler, bising (-), tekanan darah 180/130 mmHg, nadi
88x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
dingin (-).
Disability : GCS E4V5M6, pupis isokor dengan diameter 3mm/
3mm, reflek cahaya (+/+).
Exposure : suhu 36, 5 0C
B. Secondary survey
Kulit : turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
Abdomen :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi,
bising usus (+) normal, timpani, supel, hepar dan lien
tidak teraba, teraba janin tunggal, intrauterin,
memanjang, puki, preskep, HIS(-), DJJ (+).
Ekstremitas : motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin oedem
Anestesi dimulai pukul 21.30, berlangsung 75 menit, sampai
pukul 22.45. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 21.35-22.40
WIB. Dilakukan regional anestesi sub arachnoid block dengan
bupivakain 12,5 mg dan fentanyl 25 mcg secara intratekal. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian
30
- ---
- ---
- ---
dilakukan tindakan sectio caesaria dengan posisi supine pada
pasien.
Tabel 1. Catatan hemodinamik selama operasi
WaktuTekanan
darah
Heart
RateSpO2 (%) Keterangan
21.30 129/78 88 98 Mulai anestesi
21.39 92/43 93 96 Setelah dilakukan anestesi RASAB
21.45 95/50 92 98 5 menit setelah bayi lahir
22.00 102/65 94 99 20 menit setelah bayi lahir
22,15 110/70 96 99 35 menit setelah bayi lahir
22.30 135/89 104 100 50 menit setelah bayi lahir
22.45 142/90 105 1005 menit setelah pembedahan
selesai
Di ruang pemulihan, sesuai skala bromage, setelah operasi
selesai dilakukan, skor = 4 (pasien tidak mampu fleksi pergelangan
kaki), 15 menit setelah operasi, skor = 3 (pasien tidak mampu fleksi
lutut), 30 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien tidak mampu
ekstensi lutut), 45 menit setelah operasi, skor = 1 (gerakan penuh
dari tungkai), kesadaran composmentis, tekanan darah 142/90
mmHg, nadi 88 x/menit, Sp02 100%.
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 60 kg)
1. Defisit cairan karena puasa 6 jam = 2 x 60 x 6 = 720 cc
2. Kebutuhan cairan selama operasi:
(2 x 60) + (6 x 60) + (50% x 6 x 2 x 60) = 840 cc
3. EBV pasien ini = (65 x 60) + 30 % = 3900 + 1170 = 5070 cc
4. Perdarahan selama operasi 150 cc (2.9% EBV).
31
5. Kebutuhan cairan total = 720 + 840 + 150 = 1710 cc. Jumlah
cairan yang telah diberikan:
Pra operasi : 500 cc
Saat operasi : 2000 cc
6. Total cairan yang diberikan = 2500 cc
Terapi post operasi diberikan injeksi Ceftriaxone 2gr/24jam,
injeksi Ketorolac 10mg/8jam, injeksi MgSO4 4gr/6jam, injeksi
Asam Tranexamat 500mg/8jam, nifedipin 3x10 mg jika tekanan
darah 160/100 mmHg.
32
BAB IV
PEMBAHASAN
Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan
medis tertentu. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi
khususnya penggunaan obat-obatan anestesi, memiliki risiko tersendiri.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi
pada wanita hamil yang akan melakukan persalinan. Karena dalam
melakukan tindakan anestesi harus memperhatikan teknik anestesi yang
akan dipakai demi menjaga keselamatan ibu, bayi, serta kehamilan itu
sendiri. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat melakukan
tindakan anestesi pada wanita hamil, maka kita harus mengetahui
perubahan-perubahan fisiologis wanita hamil serta efek masing-masing obat
anestesi. Usia kehamilan pada kasus ini adalah kehamilan postdate.
Penatalaksanaan preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit
dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Begitu pula
pada kasus ini, dengan kondisi bayi fetal distress dan usia kehamilan
postdate, maka kehamilan harus segera diakhiri. Terminasi dilakukan dengan
sectio caesaria emergensi atas indikasi maternal dan fetal. Indikasi maternal
adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi eklampsia maupun HELLP
sindrome. Sedangkan indikasi fetal adalah fetal distress. Sehingga apabila
tidak dilakukan terminasi secara emergensi dikhawatirkan dapat
menimbulkan kematian pada janin.
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki
keuntungan, yaitu:
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam
keadaan sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
33
3. Analgesi yang cukup kuat.
4. Ibu dapat mengetahui bayinya lahir
A. Permasalahan dari segi medik
1. Emergensi.
2. Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Pre eklampsia berat.
4. Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
5. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu.
Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.
2. Perdarahan.
3. Trauma.
C. Permasalahan dari segi anestesi
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Anestesi spinal : Bupivakain 12,5 mg dan Fentanyl 25 mcg.
2. Maintenance : Oksigen 2 liter/menit.
Pada kasus ini, saat dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak
terjadi penurunan tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang
turun setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi. Hipotensi dapat
terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi
terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output.
2. Penurunan resistensi perifer.
34
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 60 mmHg atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat
diatasi untuk menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya
dengan memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus,
dan jika perlu diberikan vasokonstriktor, seperti diberikan efedrin telah
diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg. Penurunan venous
return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi bradikardi
yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,5 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat
menyebabkan paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh
karena itu, pasien dapat mengalami kesulitan bernafas. Untuk
mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat dan
pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
D. Pelaksanaaan Anestesi Regional
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan
keadaan umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun
pada beberapa kasus dapat diberikan premedikasi secara intravena atau
intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian antasida,
antagonis reseptor H2 atau metoclopramide. Pemberian obat anti mual
dan muntah sangat diperlukan dalam operasi sectio caesaria emergensi
dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi dari asam
lambung. Namun, pada pasien ini tidak diberikan premedikasi.
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri
diperlukan beberapa pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan
keadaan umum pasien, jenis dan lamanya pembedahan dan bidang
kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin
mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma
psikis terhadap ibu dan bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi
35
otot tercapai tanpa relaksasi rahim dan memungkinkan ahli obstetri
bekerja optimal. Pada pasien ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA)
dengan Sub Arakhnoid Block (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal
ke ruang subarakhnoid, sehingga pada pasien dipastikan tidak terdapat
tanda-tanda hipovolemia. Teknik ini sederhana dan cukup efektif.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL merupakan anestesi lokal
golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan
rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya
yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel. Onset kerja lambat jika dibandingkan dengan lidokain. Durasi
kerja obat 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang
(supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak
dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba.
Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca
dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu
ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-
gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan
keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi
dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat
anestesi spinal, karena penurunan kerja saraf simpatis. Bila keadaan ini
terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg
secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi
hipotensi.
36
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oksitosin
20 IU (2 ampul), 10 IU diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan per
drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan
dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5
menit. Opioid memiliki efek depresi pernafasan pasca bedah. Setelah
operasi selesai, pasien dibawa ke VK IGD. Pasien berbaring dengan posisi
kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan efek
obat anestesi masih ada. Observasi post sectio caesari dilakukan selama
2 jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign
(tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan
banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 4
liter/ menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke
ruangan bangsal.
37
BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita G4P2A0 32 tahun dengan pre-eklampsia berat pada
multigravida hamil postdate belum dalam persalinan pro SCTP-em + MOW
dengan status fisik ASA II E Plan RASAB. Dilakukan tindakan sectio caesaria pada
tanggal 5 mei 2015 di kamar operasi IGD atas indikasi pre-eklampsia berat dan
fetal distress.
Teknik anestesi dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan
teknik anestesi sederhana dan cukup efektif. Anestesi dengan menggunakan
Bupivacain spinal 12,5 mg, dan untuk maintenance dengan oksigen 2 liter/menit.
Untuk mengatasi nyeri digunakan Fentanyl sebanyak 25 mcg. Perawatan post
operatif dilakukan di ICU bangsal Mawar 1 dan dilakukan pengawasan pada
tanda-tanda vital serta tanda-tanda perdarahan.
Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis
tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
anestesi. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khususnya
penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri, sehingga anestesi
dalam persalinan perlu mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi.
Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi,
melalui pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga komplikasi anestesi
dapat diantisipasi ataupun ditekan seminimal mungkin.
Anestesi spinal memungkinkan ibu untuk tetap sadar pada saat kelahiran
dan mendengar suara tangisan dari bayinya, sehingga teknik anestesi tersebut
menjadi pilihan para ibu hamil dan dokter. Prosedur anestesi spinal pada sectio
caesaria dalam kasus ini tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien
38
sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan
penanganan serius.
39
DAFTAR PUSTAKA
Angsar MD. 2002. Hipertensi Dalam Kehamilan dalam Ilmu Kebidanan edisi ke 3.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 530-561
Arga J. PEB dalam Guick Obgyn. Departement Obstetri dan Ginekologi Dr.
Mohammad Hoesein. FK UNSRI. Palembang: 73-77
Cunningham FG, dkk. 2005. Gangguan Hipertensi Dalam Kehamilan dalam
Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta: 642-683
Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange Medical
Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Owen P. 2006. Caesarean section. http://www.netdoctor.co.uk.
Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam:
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. CV
Infomedika. Jakarta: 9
Universitas Sriwijaya. Preeklamsia Berat. Dalam Protap Obgyn: 3-10
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam Wiknjosastro
H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.
40