52

Redaksi - Pertanian

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Redaksi - Pertanian
Page 2: Redaksi - Pertanian

editor

anggota

Alamat Redaksi

Penanggung JawabDirektur Kesmavet

RedakturDrh. Septa Walyani, M.Si

Sekertaris Drh. Shinta dewi

Desain Grafis Drh. Risky Aprilian

• Drh Widarto, MP

• Drh. Puguh Wahyudi, M.Si

Kantor Pusat Kementerian Pertanian RI

Jl. Harsono RM No 3 Gedung C Lt.8 Ragunan - Jakarta Selatan

DKI Jakarta ; 12550 ; Indonesia

Selamat berjumpa kembali para pembaca Buletin AASUH Kesmavet di edisi kedua tahun 2019. Seperti yang kita tahu, keamanan pangan merupakan isu penting di masyarakat saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mecegah pangan asal hewan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, penyediaan pangan ASUH sudah menjadi kewajiban pemerintah sekaligus mengawal pengawasannya di sepanjang rantai produksi mulai dari budidaya, pasca panen, distribusi sampai pemasaran dan peredaran.

Pada edisi kedua tahun 2019 ini, kami juga menyuguhkan berbagai macam informasi menarik seputar Kesehatan Masyarakat Veteriner, seperti konsep One Health untuk mewujudkan bersatunya visi antara manusia, hewan dan lingkungan menuju dunia kesehatan. Berita seputar pelaksanaan kegiatan pemotongan hewan kurban 2019 dan info mengenai peluncuran aplikasi DILAN Kesmavet, yaitu Aplikasi Digital Pelayanan dan Pelaporan Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Besar harapan kami semoga hadirnya Buletin Kesmavet dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Redaksi menerima artikel dari pembaca yang terkait dengan Kesehatan Masyarakat Veteriner dapat dikirimkan ke alamat redaksi melalui email : [email protected] dengan subjek Buletin Kesmavet. Redaksi berhak menyunting artikel yang akan dimuat dan disesuaikan dengan isi Buletin Kesmavet.

Syarat artikel adalah karya asli, bukan salinan, dan belum pernah dimuat di media lain. Panjang tulisan 2-3 halaman diketik rapi 1,5 spasi dengan format *.doc (words file) maksimal 7000 karakter yang disertai foto (image yang relevan). Sebelum diterbitkan, tulisan review dan disunting oleh Tim Redaksi tanpa mengubah isinya.

Assalamu’alaikum WarahmatullahiWabarakatuh

• Drh. Diah Nurhayati, M.Si• Drh. Anis Trisna F, M.Si• Drh. Fetty Nurachmawaty• Drh. Cut Desna Aptriana• Drh. Andi Eka Putra • Drh . Aji Barbora Niasano• Drh. Juni Asnawati Surbakti• Drh. Vitasari Safitri, M.Si• Drh. Ririn Rohmawati, M.Si• Drh. Lutfhi Nur Amalia• Drh. Jerry Birowo• Drh. Jayanti C. Aditama

Salam Redaksi

Tim RedaksiBuletin kesmavet

[email protected] http://kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id (021) 781 5780 (021) 782 7466

Dari Redaksi

Page 3: Redaksi - Pertanian

Daftar Isi

Peluncuran Aplikasi DILAN KESMAVET dan Temu Teknis Pengawas Kesmavet

One Health

Kegiatan Refreshing Auditor NKV

Kontroversi Eliminasi Hewan Penular Rabies (HPR) untuk Pengendalian Wabah Rabies

Refresher Animal Welfare Officer

KESMAVET dan KESRAWAN pada Hewan Kurban

Pengawasan Terpadu Pemasukan Produk Hewan di Wilayah Perbatasan NKRI

Penanganan Bencana dan Pengurangan Risiko Terkait dengan KESMAVET

Berdampingan, Meniti Ulang Jalan Menembus Pasar Hongkong

Penilaian Negara dan unit usaha pemasukan produk hewan ke dalam wilayah negara RI

Berita seputar kegiatan Pemotongan Hewan Kurban

Catatan dari Bali tentang Regional Training Seminar for OIE National Focal Points on Animal Welfare

Bersinergi dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Hewan di Indonesia Melalui Pertemuan Koordinasi Kesejahteraan Hewan Nasional

Peran Penting SPS AGREEMENT dalam Perdagangan Internasional

Penerapan kesejahteraan hewan dalam transportasi

Kegiatan RM RPH di RPHR Purbasari

Pengendalian Salmonella pada bahan pangan asal hewan

3611141617212529313335384042454648

Peningkatan Kapasitas Pelayanan Veteriner MelaluiKomunikasi Resiko

Page 4: Redaksi - Pertanian

ONE HEALTH

OLEH Denny Widaya

Lukman

Tanggal 3 November 2019, Dunia memperingati ONE HEALTH DAY. Peringatan ini dilaksanakan mulai tahun 2016. One Health Day merupakan kampanye gobal untuk merayakan dan memberikan perhatian terhadap pentingnya pendekatan One Health menghadapi ancaman kesehatan manusia-hewan-lingkungan.

One Health adalah pendekatan global yang inovatif dengan tujuan mempererat kolaborasi dan komunikasi dalam semua aspek kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Konsep inti One Health adalah kolaborasi multidisiplin.

One health adalah Istilah “satu kesehatan” singkatan dari pendekatan holistik, interdisipliner yang menggambarkan hubungan kompleks antara manusia, hewan, lingkungan dan kesehatan yang membutuhkan kerja sama yang erat dari para profesional yang bekerja di bidang kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan.

Kesuksesan konsep One Health tentunya memerlukan penghilangan batas-batas (barriers) interdisiplin antara kedokteran manusia, kedokteran hewan, dan ilmu lingkungan.

3

Sejarah KonsepOne Health

Page 5: Redaksi - Pertanian

Perlunya One Health:

Konsep One Health

kesehatan lingkungan memengaruhi kesehatan manusia dan hewan melalui pencemaran, polusi, dan kondisi perubahan iklim yang mungkin mendorong munculnya bibit (agen) penyakit menular baru;

Di seluruh dunia, 75% penyakit-penyakit infeksi baru pada manusia bersumber pada hewan;

Populasi penduduk dunia tahun 2012 sebanyak 7 miliar dan akan mencapai 9 miliar pada tahun 2050;

Untuk menyediakan perawatan kesehatan, makanan, dan air bagi populasi penduduk dunia, maka profesi kesehatan bersama-sama dengan profesi dan institusi yang terkait harus bekerjasama;

Interaksi atau ikatan antara manusia dan hewan dapat membawa dampak bagi keduanya.One Health adalah pendekatan kerjasama multisektor dan lintas disiplin (transdisiplin) - bekerja pada tingkat lokal, nasional, dan global - dengan tujuan mencapai kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan yang optimal.

konsep One Health sangat diperlukan karena kesehatan lingkungan memengaruhi kesehatan manusia dan hewan. Pencemaran, polusi, dan kondisi perubahan iklim yang mungkin mendorong munculnya bibit (agen) penyakit menular baru.Kurang lebih 75% penyakit-penyakit infeksi baru pada manusia bersumber pada hewan. Para ilmuwan mengestimasi kira-kira lebih dari 6 penyakit dari 10 penyakit infeksi pada manusia ditularkan dari hewan (artinya penyakit zoonotik). Selain itu, 3 dari 4 penyakit infeksi baru pada manusia ditularkan dari hewan. Diperkirakan bahwa setiap tahun 1 miliar orang di dunia menderita sakit akibat zoonosis dan jutaan di antaranya meninggal dunia. Peningkatan populasi penduduk dunia tahun 2012 sebanyak 7 miliar dan diprediksi akan mencapai 9 miliar pada tahun 2050, sehingga untuk menyediakan perawatan kesehatan,

makanan, dan air bagi populasi penduduk dunia, maka profesi kesehatan manusia dan kesehatan hewan bersama-sama dengan profesi dan institusi yang terkait harus bekerjasama berinteraksi agar dapat membawa dampak positif bagi kesehatan dunia.Kesuksesan konsep One Health tentunya memerlukan penghilangan batas-batas (barriers) interdisiplin antara kedokteran manusa, kedokteran hewan, dan ilmu lingkungan

Dokter Hewan Dalam One Health

Untuk memperkuat peran Dokter Hewan dalam kerangka ONE HEALTH, Van Herten dan Meijboom (2019) menekankan pentingnya mempromosikan kesehatan hewan dan lingkungan untuk menjamin dan mempromosikan kesehatan manusia. Mereka juga menyatakan bahwa tanggung jawab utama profesi Dokter Hewan adalah menjadi “Pakar” yang profesional dalam kesehatan dan kesejahteraan hewan.

World Health Organisation (WHO) bekerja sama erat dengan the Food and Agricultural Organisation (FSO) dan the World Organisation for Animal Health (OIE). Tujuan ketiga organisasi terksit One Health adalah mempromosikan respon multisektor terhadap bahaya-bahaya keamanan pangan, risiko dari zoonosis dan ancaman kesehatan masyarakat seperti resistansi antibiotik serta menyediakan pedoman dalam penurunan risiko-risiko tersebut

BULETIN KESMAVET SEMESTER I 2019

4

Page 6: Redaksi - Pertanian
Page 7: Redaksi - Pertanian

PENGENDALIAN

PADA BAHAN PANGAN ASAL HEWAN

OLEH M e gawat y I s k a n da rMedik Veteriner Muda – Direktorat Kesehatan Hewan

SALMONELLA

Page 8: Redaksi - Pertanian

Salmonellosis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui pangan dan paling sering terjadi di dunia. Salmonellosis pada manusia yang ditularkan melalui pangan sebagian besar disebabkan oleh Salmonella enteritidis dan Salmonella typhimurium, namun prevalensi dan serotipe bervariasi tergantung wilayah dan kondisi geografis. Oleh karena itu, surveilans dan identifikasi serotipe Salmonella yang paling umum terdapat pada manusia dan hewan harus dilakukan dalam rangka pengembangan tindakan pengendalian yang sesuai. Pada sebagian besar spesies hewan ternak, infeksi Salmonella dapat bersifat subklinis dan memiliki durasi infeksi yang bervariasi. Oleh karena itu, infeksi subklinis pada hewan ternak dapat menjadi sumber penularan pada manusia yang signifikan serta menjadi sumber penyebaran antar kelompok ternak. Infeksi Salmonella pada manusia dapat disebabkan karena kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi Salmonella atau melalui produk asal hewan seperti daging dan telur yang masuk ke dalam rantai pangan melalui produk yang terkontaminasi.

Kenapa Salmonellosis pada manusia itu penting?

Dampak Salmonellosis pada kesehatan manusia secara global sangat signifikan, setiap tahun diperkirakan terjadi 93.8 juta kasus Salmonellosis di seluruh dunia dengan 80.3 juta kasus bersumber dari pangan. Salmonellosis juga menyebabkan 155.000 kematian setiap tahun di seluruh dunia (Majowicz et al. 2010).Salmonellosis di Indonesia sangat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Insiden Salmonellosis di Indonesia terjadi sepanjang tahun dan meningkat dari waktu ke waktu serta merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Maertens et al. 2017). Arjoso dan Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa rata – rata kasus Salmonellosis di Indonesia pada periode tahun 1990 - 1992 adalah 237.221 kasus per tahun, dengan rata – rata angka kesakitan (morbidity rate) adalah 93.4 kasus per 100.000 populasi pada tahun 1990 menjadi 157.0 kasus per 100.000 populasi pada tahun 1992. Insiden Salmonellosis di Indonesia pada tahun 1995 adalah 126 kasus per 100.000 populasi dan meningkat menjadi 275 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2005 (Maertens et al. 2017). Mesikpun secara umum kasus Salmonellosis di Indonesia meningkat, namun angka kematian (CFR) menurun dari 3.0% pada tahun 1990 menjadi 1.6% pada tahun 1992. Meningkatnya kasus dan angka kesakitan Salmonellosis di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah meningkatnya produksi dan distribusi pangan akibat peningkatan jumlah penduduk, peningkatan penggunaan antibiotik dan kejadian resistensi antimikroba, serta peningkatan kemampuan identifikasi dan surveilans terhadap patogen. Hal yang berbeda terjadi pada angka kematian (CFR) akibat Salmonellosis, menurunnya angka kematian (CFR) dapat disebabkan karena faktor perbaikan layanan kesehatan di Indonesia serta tersedianya terapi yang tepat.

Penyebab Salmonellosis pada manusia

Berdasarkan laporan tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Interagency Food Safety Analytics Collaboration (IFSAC) yang merupakan kolaborasi antara Centers for Disease Control and Prevention (CDC), U.S. Food

Apa itu Salmonellosis?

7

Page 9: Redaksi - Pertanian

and Drug Administration (FDA), dan U.S. Department of Agriculture’s Food Safety and Inspection Service (USDA-FSIS), lebih dari 75% wabah Salmonellosis pada manusia yang terjadi di Amerika Serikat (1998 – 2016) utamanya disebabkan oleh sayuran mengandung biji (tomat), daging ayam, daging babi, buah, sayuran lainnya, telur dan daging sapi

Salmonellosis. Oleh karena itu, strategi pengendalian Salmonella pada pangan asal hewan banyak mengacu kepada strategi pengendalian Salmonella pada unggas khususnya ayam broiler.Diantara berbagai tindakan yang dapat dilakukan untuk pengendalian Salmonella khususnya pada unggas, vaksinasi memiliki peran penting terhadap penurunan Salmonella pada peternakan unggas komersial (Immerseel et al. 2005). Vaksinasi unggas

terhadap Salmonella dapat menurunkan prevalensi Salmonella pada unggas dan turunannya sehingga mencegah penularan secara vertikal serta vaksinasi juga dapat meningkatkan kekebalan sehingga mencegah penularan horizontal. Namun, beberapa studi juga menunjukkan bahwa vaksinasi kurang efektif untuk menurunkan Salmonella pada skala komersial (Dorea et al. 2010).

Vaksinasi pada ayam, khususnya sistem produksi ayam broiler komersial juga dianggap kurang efektif untuk mengendalikan Salmonella. Vaksin yang diberikan membutuhkan waktu untuk membentuk respon kekebalan protektif sehingga pada sistem produksi ayam broiler dengan siklus hidup ayam yang singkat maka belum cukup waktu untuk tubuh membentuk kekebalan protektif karena pendeknya siklus produksi, hal lain juga disebabkan karena pemberian vaksin dilakukan pada ayam dengan usia usia muda dimana sistem kekebalan belum berkembang sempurna (Immerseel et al. 2009). Oleh karena itu, vaksinasi Salmonella dalam sistem produksi ayam broiler hanya efektif pada pemberian terhadap parent stock sehingga dapat memberikan kekebalan maternal sekaligus mencegah transmisi vertikal.Seperti halnya penyakit lain, berbagai faktor dapat mempengaruhi prevalensi Salmonella pada peternakan ayam (Gambar 2), oleh karena itu strategi pengendalian Salmonella harus memperhatikan faktor – faktor tersebut.

Sayuran yang mengandung biji (seperti tomat) menyumbang sekitar 19 persen kasus Salmonellosis pada manusia, daging ayam menyumbang sekitar 12 persen dan daging babi sebesar 10%. Buah dan sayuran lainnya juga berperan penting sebagai penyebab wabah Salmonellosis pada manusia dengan masing – masing menyumbang sekitar 10% dan 9% dari keseluruhan penyebab wabah Salmonellosis pada manusia. Berdasarkan laporan tersebut sangat jelas bahwa risiko terjadi wabah Salmonellosis pada manusia tidak hanya disebabkan oleh pangan yang berasal dari hewan, namun produk pertanian lain juga mampu menjadi sumber utama wabah Salmonellosis. Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan untuk tujuan mengurangi wabah Salmonellosis pada manusia juga harus memperhatikan berbagai kategori pangan yang mungkin menjadi sumber bakteri Salmonella sp.

Strategi Pengendalian Salmonella Pada Pangan Asal Hewan

Pangan asal hewan dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak dan berpotensi sebagai sumber foodborne zoonosis, oleh karena itu penanganan yang benar menjadi hal yang sangat penting. Produk unggas telah menjadi perhatian selama lebih dari 100 tahun terkait dengan pencegahan dan pengendalian Salmonella karena merupakan salah satu penyebab utama Salmonellosis pada manusia serta adanya peningkatan konsumsi produk unggas secara global yang berarti meningkatnya pula risiko terjadinya

76,2%Comulative atribution 23,8%

19,30

5

10

15

20

25

12,7 10,8 9,9 8,7 7,9 6,9 5,6 5,5 4,1 3,3 1,6 1,4 1,1 0,8 0,1 0,1% atribution

Food

born

eat

ribut

ion

Jenis pangan yang menjadi sumber utama wabah Salmonellosis di Amerika Serikat sepanjang tahun 1998 – 2016 (IFSAC 2018).

8

Page 10: Redaksi - Pertanian

Berdasarkan skema pada Gambar 2, masing – masing faktor harus memiliki fokus tindakan pencegahan/pengendalian yang sesuai. Oleh karena itu, secara umum pengendalian Salmonella pada ayam terdiri dari 5 prinsip utama yaitu:(1) Menggunakan DOC yang bebas Salmonella.

Salmonella dapat ditularkan secara vertikal (induk ke anak melalui telur), oleh karena itu maka untuk mengendalikan Salmonella pada produksi unggas maka harus dimulai dengan DOC yang bebas Salmonella.

(2) Pemeliharaan ayam di lingkungan bebas Salmonella.Manajemen pemeliharaan dengan sistem all in/all out, biosekuriti terhadap vektor, pengunjung dan peralatan dilakukan untuk menjaga lingkungan agar tetap bebas dari Salmonella.

(3) Menjamin air dan pakan bebas Salmonella.Sanitasi air dan pembelian pakan yang bebas Salmonella dilakukan untuk menjamin ayam yang dipelihara bebas Salmonella.

(4) Monitoring secara teratur terhadap seluruh rantai produksi.

(5) Tindakan perbaikan jika Salmonella terdeteksi.

Untuk mendapatkan produk asal hewan yang bebas Salmonella maka strategi pengendalian Salmonella tidak hanya fokus pada pengendalian

Salmonella di peternakan. Secara umum, untuk memastikan produk hewan bebas dari Salmonella maka Strategi pengendalian Salmonella pada produk asal hewan dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu Strategi pengendalian pada tahap sebelum panen (pre-harvest), tahap panen (harvest) dan tahap pasca panen (post-harvest). Penerapan strategi pengendalian Salmonella yang fokus hanya kepada salah satu tahap saja tidak dapat menjamin produk hewan bebas dari Salmonella. Jaminan produk hewan bebas Salmonella dapat diberikan apabila penerapan Good Farming Practices di peternakan dan Good Manufacturing/Hygiene Practices di tempat produksi produk asal hewan dilakukan dan pengawasan pelaksanaan seluruh sistem produksi berjalan dengan baik.

Apa untungnya mengendalikan infeksi Salmonella?

Bagi negara – negara maju di dunia, infeksi akibat Salmonella pada pangan asal hewan memberikan kerugian yang cukup besar setiap tahun. Kerugian terutama terjadi pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan manusia, kerugian akibat penurunan produktifitas SDM, kerugian akibat perdagangan, kerugian akibat kehilangan kepercayaan masyarakat

Gambar 2. Faktor - faktor yang mempengaruhi prevalensi Salmonella (Anonim 2011)

Penyebaran Melalui Hewan • Durasi • Konsentrasi • Prevalensi

Faktor Hewan • Umur • Status kekebalan • Status nutrisi • Kesehatan • Perawatan

Karakteristik Salmonella • Patogenisitas (virulensi) • Sifat invasif • Ketahanan dalam lingkungan • Infektifitas • Cakupan inang

Kondisi Lingkungan • Suhu • Kelembaban • Sinar matahari

Reservoir Lingkungan • Peralatan • Alas kandang • Personil • Reservoir biologis • Air • Kandang

9

Page 11: Redaksi - Pertanian

dan lain sebagainya. Kerugian akibat infeksi Salmonella pada manusia diperkirakan sebesar £ 16.3 juta di Inggris pada tahun 1988 (Sockett dan Roberts, 1991). Besarnya potensi kerugian akibat infeksi Salmonella membuat banyak negara – negara di dunia menerapkan standar yang cukup ketat dalam pengendalian Salmonella pada hewan dan produk hewan.

Finlandia melalui Finnish Salmonella Control Programme (FSCP) melakukan analisis Cost-Benefit terhadap strategi pengendalian Salmonella pada produk ayam broiler. Berdasarkan data yang digunakan sepanjang tahun 2000, kerugian akibat Salmonella di Finlandia sebesar 1.698.700 EUR, dengan FSCP maka kerugian akibat Salmonella dapat ditekan menjadi 60.680 EUR sehingga program FSCP di Finlandia dapat menghemat 1.638.000 EUR dari kerugian akibat infeksi Salmonella (Kangas et al. 2007). Meskipun total biaya yang diperlukan untuk program FSCP cukup tinggi yaitu sebesar 990.400 EUR/tahun, namun 98% biaya FSCP menjadi tanggung jawab industri. Penerapan FSCP memang berdampak terhadap kenaikan harga ayam broiler sebesar 0.02 EUR/Kg, namun hal ini tidak sebanding dengan rata – rata biaya (kerugian) yang ditimbulkan akibat kasus Salmonella adalah sebesar 1.734 EUR/kasus (Kangas et al. 2007).

Adopsi program pengendalian seperti FSCP di Indonesia sangat sulit dilakukan karena faktor risiko infeksi Salmonella pada manusia di Indonesia yang beragam, permintaan produk hewan bebas Salmonella yang masih rendah, tidak adanya data terkait dengan kerugian ekonomi dan manfaat yang diperoleh dari pengendalian Salmonella serta tingginya biaya penerapan program pengendalian Salmonella yang dapat membuat kenaikan harga produk hewan.

Pengembangan produk hewan bebas Salmonella di Indonesia saat ini -seperti halnya produk organik- masih sebatas menyediakan pilihan produk bagi pasar khusus (niche market). Adopsi program pengendalian seperti FSCP di Indonesia dapat dilakukan melalui pendekatan analisis cost-benefit terlebih dahulu, sehingga keuntungan dari penerapan sistem produksi yang dapat menjamin produk bebas Salmonella dapat diadvokasikan kepada pelaku industri berdasarkan hasil analisis tersebut.

Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Strategies to control salmonella in poultry. http://www.thepoultrysite.com/articles/2041/strategies-to-control-salmonella-in-poultry/. Retreived and accessed on 18 March 2019.

Arjoso S, Simanjuntak CH. 1998. Typhoid fever and Salmonellosis in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 20.

Dórea FC, Cole DJ, Hofacre C, Zamperini K, Mathis D, Doyle MP, Lee MD, Maurer JJ. 2010. Effect of Salmonella vaccination of breeder chickens on contamination of broiler chicken carcasses in integrated poultry operations. Applied and environmental microbiology, 76(23), 7820-5.

Interagency Food Safety Analytics Collaboration. Foodborne illness source attribution estimates for 2016 for Salmonella, Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, and Campylobacter using multi-year outbreak surveillance data, United States. GA and D.C.: U.S. Department of Health and Human Services, CDC, FDA, USDA-FSIS. 2018

Kangas S, Lyytikäinen T, Peltola J, Ranta J, Maijala R. 2007. Costs of two alternative Salmonella control policies in Finnish broiler production. Acta veterinaria Scandinavica, 49(1), 35.Maertens de Noordhout C, Devleesschauwer B, Haagsma JA, Havelaar AH, Bertrand S, Vandenberg O, Quoilin S, Brandt PT, Speybroeck N. 2017. Burden of salmonellosis, campylobacteriosis and listeriosis: a time series analysis, Belgium, 2012 to 2020. Euro surveillance : bulletin Europeen sur les maladies transmissibles = European communicable disease bulletin, 22(38), 30615.

Majowicz SE, Angulo FJ, Fazil A, Musto J, Kirk M, Scallan E, Hoekstra RM, Jones TF, O’Brien SJ. 2010. The Global Burden of Nontyphoidal Salmonella Gastroenteritis. Clin Infect Dis 50(6):882-889.

Sockett PN, Roberts JA. 1991. The social and economic impact of salmonellosis – a report of a national survey in England and Wales of laboratory-confirmed salmonella infections. Epidemiol. Infect. 107, 335-347.

Van Immerseel F, Methner U, Rychlik I, Nagy B, Velge P, Martin G, Foster N, Ducatelle R, Barrow PA. 2005. Vaccination and early protection against non-host-specific Salmonella serotypes in poultry: exploitation of innate immunity and microbial activity. Epidemiol. Infect. 133:959-978

Van Immerseel F, De Zutter L, Houf K, Pasmans F, Haesebrouck F, Ducatelle R. 2009. Strategies to control Salmonella in the broiler production chain. World’s Poultry Science Journal. 65(03), 367-392.

10

Page 12: Redaksi - Pertanian

Manajemen

Penanganan Bencana dan Pengurangan Risiko

Terkait dengan Kesehatan dan Kesejahteraan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dalam beberapa tahun terakhir sering muncul bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, banjir, longsor, dan kekeringan. Bencana ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Jepang, China, dan beberapa negara asia lainnya. Bencana merupakan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor

alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian hrata benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 tahun 2007). Berdasarkan UU No. 24 tahun 2007, bencana disebabkan oleh faktor alam, nonalam, dan manusia. Dalam kaitannya dengan penyakit hewan, maka kejadian wabah penyakit hewan dikategorikan sebagai bencana nonalam.Bencana alam dapat berdampak pada peternakan dan hewan kesayangan. Isu penting selama bencana alam adalah potensi terjadinya wabah penyakit pada hewan dan manusia (USDA, 2002). Terkait dengan penanganan bencana, the World Organization for Animal Health (OIE) telah mengembangkan sebuah pedoman penanganan bencana berupa Guidelines for Disaster Management and Risk Reduction in Relation to Animal Health, Animal Welfare and Veterinary Public Health. Pedoman ini dimaksudkan untuk penguatan kapasitas Layanan Veteriner (veterinary services) di negara-negara anggota OIE. Pedoman ini menggunakan sebuah pendekatan “hazard” pada pengelolaan bencana alam dan yang disebabkan oleh manusia dan teknologi.Pada pedoman ini menggambarkan kebutuhan Layanan Veteriner (veterinary services) untuk mengelola bencana dan tindakan untuk mengurangi risiko dengan tujuan perlindungan kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, dan kesehatan masyarakat veteriner selama kejadian bencana. Tujuan Layanan Veteriner dalam pengelolaan bencana adalah untuk

melindungi kesehatan dan kesejahteraan hewan, perlindungan kepada manusia dan kesehatan lingkungan dan membantu negara anggota dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial.Ada banyak model yang digunakan dalam pengelolaan bencana dan salah satunya adalah Disaster Management Cycle (DMC). Tahapan dalam DMC meliputi mitigasi dan pencegahan (mitigation and prevention), kesiapsiagaan (preparedness), tindakan/respon (response), dan pemulihan (recovery). Manajemen bencana yang efektif tidak hanya dalam bentuk respon tetapi juga melibatkan semua tahapan (OIE, 2016).

DOLEH Ag u s ja e l a n i

11

MITIGASI DAN PENCEGAHANMenurut UNISDR (2015), mitigasi merupakan tindakan pengurangan atau pembatasan dampak yang merugikan dari bahaya-bahaya yang muncul akibat bencana. Sedangkan pencegahan dimaknai sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengurangi risiko atau konsekuensi merugikan bagi manusia, hewan, properti, temasuk warisan budaya (EU Civil Protection Mechanism, 2013).Tindakan mitigasi dan pencegahan dilakukan sebelum kejadian bencana dan ini didapat berdasarkan pengalaman yang diambil dari fase respon dan pemulihan bencana sebelumnya. Banyak negara telah memiliki National Disaster Management dan rencana pengurangan risiko yang telah

Page 13: Redaksi - Pertanian

Kesiapsiagaan (Preparedness)Fase kesiapsiagaan sering dimulai ketika peringatan bencana yang akan datang diterima. Layanan Veteriner harus bersiap-siap untuk mengaktifkan rencana kontigensi yang relevan. Implementasi rencana kontigensi memerlukan fleksibilitas dan penyesuaian sesuai dengan besarnya bencana. Rencana kontigensi harus mempertimbangkan analisis kesenjangan (gap analysis) sebelumnya dan diantaranya mencakup rincian bencana, informasi tentang populasi hewan, peraturan, rencana koordinasi antar lembaga pemerintah, rencana sumber daya manusia dan lain sebagainya. Selama masa kesiapsiagaan, Layanan Veteriner mulai menerapkan sistem komando yang relevan. Di fase awal kesiapsiagaan, Layanan Veteriner akan meninjau kesediaan sumber daya manusia dan keuangan serta menyiapkan strategi komunikasi untuk peristiwa bencana tertentu.

dikembangkan pada tingkat pusat dan menjelaskan aturan dan tanggung jawab pemerintah dan non pemerintah pada kejadian bencana. Beberapa hal penting dalam mitigasi dan pencegahan bencana alam yaitu regulasi, struktur Layanan Veteriner, analisis risiko, komunikasi dan kesadaran masyarakat, sumber daya manusia, anggaran, sistem peringatan dini, sistem surveilan, dan rencana kontigensi.Dalam tindakan mitigasi dan pencegahan bencana, Layanan Veteriner memegang peranan penting dan harus terlibat dalam persiapan atau tinjuan National Disaster Management dan rencana pengurangan risiko. Layanan Veteriner harus melibatkan semua unit internal dalam persiapan dan peninjauan rencana dan mempertimbangkan peran dan tanggung jawab para pelaku seperti peternak, pemilik dan penjaga hewan, dokter hewan swasta, industri framasi, industri makanan, produsen pakan, pedagang,

rumah potong hewan, laboratorium, otoritas transportasi dan kontrol perbatasan, pemerintah pusat, badan antar pemerintah (intergovernment), organisasi nonpemerintah, dan asosiasi. Dalam perencanaan pengurangan risiko dan bencana, Layanan Veteriner Nasional yang dikembangkan selama tahap mitigasi dan pencegahan harus mencakup keempat tahap dalam DMC.Peran dan tanggung jawab Layanan Veteriner harus ditata dengan jelas dan mekanisme untuk interaksi dengan layanan dan kementerian lain harus dijelaskan. Layanan Veteriner akan memainkan peran kepemimpinan dalam memberikan saran kepada otoritas tentang kesehatan hewan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat veteriner pada situasi bencana. Layanan Veteriner harus menyediakan input yang memadai dan sesuai untuk memastikan kebijakan penanganan hewan dalam situasi bencana berjalan dengan efektif.

12

Page 14: Redaksi - Pertanian

ResponDalam merespon bencana yang terjadi maka pemerintah dapat menerapkan rencana kontigensi Layanan Veteriner nasional yang sudah dipersiapkan. Penilaian dampak dan situasi merupakan langkah pertama yang harus diambil setelah pengaktifan rencana kontigensi. Layanan Veteriner perlu memprioritaskan kegiatan dengan pemangku kepentingan utama. Mereka harus tetap fleksibel dan melakukan tindakan yang sesuai setelah penilaian dampak pada kesehatan dan kesejahteraan hewan, keselamatan manusia dan lingkungan.Setiap rencana kontigensi akan menentukan tata kelola dan rantai komando. Kerja sama dan koordinasi dengan stakeholders secara jelas penting dilakukan untuk memperluas kapasitas Layanan Veteriner. Kemampuan beradaptasi, efisiensi, dan kontinuitas dukungan sangat untuk respon yang efektif. Rencana kontigensi didasarkan pada peraturan yang ada yang akan memungkinkan respon yang cepat. Agar respon bisa segera dilakukan maka komunikasi yang memadai dengan stakeholders menjadi kunci penting. Layanan Veteriner harus memiliki rencana komunikasi internal dan eksternal yang terperinci dalam rencana kontigensi. Hal yang penting dilakukan juga adalah menganalisis kesenjangan (gap analysis). Hal ini agar dapat dijadikan pelajaran dalam menentukan tindakan mitigasi kedepannya.

Pemulihan (Recovery)Rencana pemulihan harus dikembangkan untuk merinci kebutuhan sumber daya manusia dan material, dan anggaran terkait. Setelah mengidentifikasi gap pada Layanan Veteriner, dan setelah konsultasi lebih lanjut dengan stakeholders, Layanan Veteriner harus mengevaluasi eifisiensi dan efektivitas repon mereka pada bencana. Pengembangan rencana pemulihan harus termasuk kesempatan untuk pembangunan yang lebih baik dan harus multi-sektor dan multi disiplin dimana diterapkan. Komunikasi tingkat tinggi juga harus dilakukan dalam rangka menjaga agar stakeholders tetap peduli sehingg proses pemulihan dapat berjalan dengan baik. Kegagalan dalam membangun komunikasi dapat berdampak pada lambatnya proses pemulihan karena stakeholders tidak terlibat secara maksimal. Monitoring dan evaluasi kesuksesan dan kegagalan rencana pemulihan akan mengidentifikasi kesenjangan sumber daya dan proses. Seperti analisis kesenjangan dari fase respon, analisis kesenjangan pada fase pemulihan juga dapat mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu ditingkatkan pada fase mitigasi.Rencana Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana harus dinamis dan merupakan proses berkelanjutan ketika bahaya, teknologi, perundang-undangan, dan standar terus berkembang. Rencana-rencana ini harus mencakup aspek kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kesejahteraan hewan pada semua tahapan bencana. Penerapan pedoman internasional yang dapat diterima dan standar akan membantu Layanan Veteriner menyiapkan rencana yang efisien dan efektif.

13

Page 15: Redaksi - Pertanian

Struktur atau sistem peternakan, pola distribusi ternak sapi serta pola konsumsi daging sapi yang ada di Indonesia telah mendorong arus transportasi sapi dari daerah produksi ke pusat konsumsi daging. Jaraknya relatif jauh, sehingga beberapa diantaranya tidak cukup hanya menggunakan multimoda transportasi dari moda transportasi darat dan laut. Masalah transportasi di Indonesia dapat mengakibatkan sapi stress, transportasi ternak lokal antar daerah dan antar pulau dikelola secara tradisional, mutu sarana transportasi ternak yang buruk menimbulkan kerugian besar, dan berakibat susutnya bobot badan sapi selama perjalanan.

Menurut Abubakar (2011), moda transportasi merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan alat angkut yang digunakan untuk berpindah tempat dari satu tempat ketempat lain. Ragam moda transportasi dapat dikelompokkan atas moda yang berjalan didarat, berlayar di perairan laut dan pedalaman serta moda yang terbang di udara.

Perbedaan lokasi sentra produksi dan sentra konsumsi daging sapi membutuhkan moda transportasi yang efisien untuk menghasilkan produk yang berdaya saing. Selain itu, sistem distribusi yang tidak efisien dan keterbatasan moda transportasi sapi, berkontribusi terhadap mahalnya harga daging sapi produk lokal dibandingkan produk impor. Efisiensi moda transportasi tidak hanya menyangkut aspek biaya secara langsung tetapi juga kerugian secara tidak langsung. Transportasi yang buruk dapat memiliki efek serius pada kesejahteraan hewan dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan dari kualitas dan produksi (Chambers and Grandin, 2001).

Penurunan produksi berupa penyusutan berat badan berdampak pada biaya dan mempengaruhi harga. Penurunan berat badan dan kualitas daging sapi selama transportasi dapat disebabkan: (i) ternak ketakutan dan kesakitan yang menyebabkan stress; (ii)

kembung lambung akibat sapi berada pada posisi terikat, sehingga tidak leluasa bergerak; (iii) dehidrasi pada perjalanan jarak jauh tanpa penyiraman yang tepat, akan menurunkan berat badan dan bisa mati; dan (iv) kelelahan.

Pengangkutan Memenuhi Kesejahteraan Hewan

Kesejahteraan hewan (kesrawan) diterapkan terhadap setiap jenis hewan yang kelangsungan hidupnya tergantung pada manusia, meliputi hewan yang dapat merasa sakit dan dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan hewan. Adapun prinsip kebebasan hewan meliputi bebas: (i) rasa lapar dan haus; (ii) rasa sakit, cidera, dan penyakit; (iii) dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; rasa takut dan tertekan; dan (v) untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Pengangkutan yang memenuhi kesrawan harus dilakukan dengan cara yang tidak menyakiti/ melukai/mengakibatkan stres, yaitu : memperhatikan waktu dan jarak tempuh; tidak saat cuaca terik/hujan; tidak dalam kondisi cuaca ekstrim; menjauhkan dari predator/hewan pengganggu yang mempengaruhi kenyamanan ternak; memisahkan ternak yang memiliki sifat agresif/ superior dengan inferior; tidak memperlakukan hewan dengan kasar; meminimalisir penggunaan alat bantu yang dapat mencederai ternak; memastikan ternak tidak lapar dan haus selama pengangkutan; jika terjadi kondisi darurat mendapatkan tindakan yang tepat selama pengangkutan; memberikan waktu istirahat, cukup pakan dan minum dalam pengangkutan yang lama; dan pengangkutan dilakukan di bawah penyeliaan Dokter Hewan Berwenang.

Abdulkarnaen(Medik Veteriner Madya)

PENERAPAN KESEJAHTERAAN

HEWAN DALAM

TRANSPORTASI

14

Page 16: Redaksi - Pertanian

Prasarana dan Sarana

Cara Pengangkutan

3. Manajemen dalam perjalanan yang harus dilakukan:a) Pengamatan terhadap kepadatan, perubahan

perilaku, kesehatan dan kesejahteraan hewan dan memastikan system ventilasi, air dan pakan baik.

b) Segera mengambil tindakan bila ditemukan indikasi penyimpangan kesrawan.

Persyaratan prasarana dan sarana yang digunakan harus: didesain sesuai dengan kapasitas ternak; mudah dibersihkan, kuat, memiliki atap, tidak mudah berkarat, ventilasi dan pencahayaan cukup, serta tidak mencederai ternak; memungkinkan sapi bergerak leluasa; tersedia sarana loading dan unloading dengan kemiringan 30 derajat; menggunakan partisi/penyekat yang terbuat dari bahan yang tidak menyakiti, melukai, dan/atau mengakibatkan stress;

Tahapan pengangkutan, yaitu: (i) persiapan pengangkutan; (ii) menaikan sapi; (iii) manajemen dalam perjalanan; dan (iv) menurunkan ternak.1. Persiapan pengangkutan meliputi:

a) Perencanaan perjalanan dengan memperhatikan rute ke tempat tujuan, estimasi waktu, persediaan pakan selama perjalanan, tenaga medis, obat- obatan.

b) Mendesain alat angkut dirancang sesuai ukuran dan berat sapi yang akan diangkut.

c) Melengkapi dokumen perjalanan, seperti: surat keterangan kesehatan hewan, surat jalan, jumlah petugas penanganan sapi dijalan.

2. Menaikan sapi ke alat angkut, yang harus diperhatikan:a) Tersedia fasilitas penaikan yang disesuaikan

ukuran, lebar, dan sudut kemiringan.b) Cara menaikan sapi dilakukan dengan hati-

hati,lembut, tanpa kekerasan dan hindari perlakuan yang kasar.

c) Penggunaan alat penghalau, elektrik sock, alat bantu bendera dipergunakan dengan hati-hati tanpa menimbulkan stress pada sapi.

d) Pencampuran hewan dari asal yang berbeda dalam satu tempat diminimalkan.

e) Untuk pengangkutan jalur laut atau jalur udara, menaikan sapi dibawah pengawasan otoritas veteriner yang veteriner yang berkompeten (Karantina hewan).

f) Dalam kondisi ekstreem panas atau dingin hewan tidak boleh diangkut sama sekali.

c) Sapi yang sakit atau luka harus segera mendapatkan pertolongan medis, jika tidak sembuh lakukan pemotongan/pembunuhan dengan memperhatikan prosedur kesrawan.

d) Untuk pengangkutan jalur darat dalam waktu lama,sapi diberikan waktu istirahat, pakan dan air yang cukup.

e) Untuk pengangkutan jalur laut, harus memperhatikan: (i) pemberian jalur akses tambahan ternak menuju tempat pakan dan air di tiap pan; (ii) kebersihan pan selama perjalanan tetap dijaga/ dipelihara dengan meminimalkan kejadian stress.

f) Untuk pengangkutan jalur udara, harus memperhatikan: (i) perubahan perilaku, kesehatan,dan memastikan sistem pertukaran udara dalamkondisi baik; (ii) suhu ruang pesawat dipertahankan dalam kondisi stabil; (iii) pada saat pendaratan kedatangan atau transit, bila suhu ruang kurang dari 25° C pintu pesawat dibuka dan jika diatas 25°C harus menghidupkan AC

4. Menurunkan ternak, yang diperhatikan:a) Tersedia fasilitas penurunan memudahkan

hewan untuk berjalan;b) Cara menurunkan sapi dilakukan dengan

hati-hati,lembut, tanpa kekerasan, hindari perlakuan yang kasar;

c) Bila ditemukan ternak yang luka atau sakit segera mendapatkan perawatan dan pertolongan yang tepat;

d) Membersihkan dan mendesinfeksi alat transportasi setelah selesai penurunan;

e) Kotoran, alas dan bedding segera dibersihkan dan dimusnakan untuk menghindari transmisi penyakit sesuai dengan protokol kesehatan dan mempertahankan kesehatan lingkungan.

f) Untuk penurunan sapi pada jalur udara dilakukan dibawah pengawasan otoritas veteriner yang berkompeten (Karantina hewan).

15

Page 17: Redaksi - Pertanian

KEGIATAtN RM RPH DI RPHR PURBASARI,

KOTA WARINGIN BARATOLEH

Ag u s Ja e l a n i

Penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi tanggung jawab pemerintah dalam

menciptakan masyarakat yang sehat. Salah satu unit usaha produk hewan yang berperan penting dalam penyediaan pangan asal hewan yang ASUH adalah Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPHR).

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant), sebuah RPHR harus memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi yang dibuktikan sengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Saat ini dari sebanyak 600 RPHR yang ada, RPHR yang sudah memiliki NKV masih dibawah 15%.Masih sedikitnya RPHR yang masih memiliki NKV diakibatkan belum terpenuhinya persyaratan teknis higiene sanitasi yang harus dipenuhi. Banyak masalah teknis yang muncul diakibatkan lemahnya manajerial dalam pengelolaan RPHR. Melihat kondisi ini, sejak tahun 2015 pemerintah melakukan pendekatan yang berbeda dalam melakukan penataan atau perbaikan RPHR. Pendekatan yang dilakukan dimulai dengan perbaikan manajerial pengelolaan RPHR melalui program Restrukturisasi Manajemen Rumah Potong Hewan (RM RPH). Kegiatan ini menitikberatkan pada penataan pengelolaan RPHR dengan pendekatan partisipatif guna mendorong pelaksanaan atau penerapan

aspek teknis mulai dari kesejahteraan hewan, biosekuriti, praktik veteriner yang baik (good veterinary practices) sampai higiene sanitasi dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan akhir dari mewujudukan RPHR yang menghasikan daging yang ASUH dapat terwujud.Salah satu kegiatan RM RPH yang dilaksanakan pada tahun 2019 adalah supervisi dan pembinaan di RPHR Purbasari, Kota Waringin Barat, Kalimatan Tengah. Kegiatan berupa melihat kondisi RPHR termasuk praktik penanganan sapi dan karkas dan dilanjutkan dengan diskusi dengan para pelaku RPHR. Dalam kegiatan ini Tim pusat terdiri dari Pakar dan perwakilan dari Direktorat Kesmavet.Dari hasil pengamatan Tim dihasilkan beberapa hal yang harus diperbaiki, baik dari aspek bangunan, fasilitas maupun praktik penanganan hewan dan produknya. Pakar melakukan gap analysis dari temuan/kondisi yang ditemui dengan kondisi yang seharusnya. Melalui gap analysis inilah dirumuskan rekomendasi perbaikan untuk RPHR. Hal yang dititikberatkan adalah bahwa dalam upaya memperbaiki temuan teknis yang ada harus diperkuat manajerial pengelolaan RPHR. Melalui manajemen yang kuat dan melibatkan pelaku usaha di bidang RPHR maka akan memudahkan bagi pihak pengelola RPHR untuk melakukan perbaikan.Terhadap rekomendasi tersebut maka pihak pengelola RPHR Purbasari telah membuat waktu penyelesaian atau perbaikan temuan. Perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap aspek teknis tetapi juga aspek manajemen.

16

Page 18: Redaksi - Pertanian

K ONTROVERSI ELIMINASI HEWAN PENULAR RABIES (HPR)

UNTUK PENGENDALIAN WABAH RABIES

OLEH : Lutfi Nur Amalina

Rabies adalah penyakit zoonosis yang bersifat akut dan menyerang susunan syaraf pusat mamalia. Rabies disebabkan oleh Virus Rabies dari genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae. Penyakit ini ditularkan melalui air liur yang masuk karena gigitan atau cakaran hewan yang dapat membawa dan menularkan virus Rabies atau sering disebut Hewan Penular Rabies (HPR). Hewan yang termasuk kelompok HPR yaitu anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya. Penyakit ini hampir selalu berakibat fatal dengan tingkat kematian 99,9% jika sudah timbul gejala klinis (1).Tahun 2019 awal di Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat ditemukan kasus gigitan anjing yang setelah dilakukan pemeriksaan oleh Balai Besar Veteriner Denpasar ternyata anjing tersebut positif menderita Rabies. Kejadian gigitan anjing ini semakin meluas hingga ke Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima (2). Berdasarkan data dari Kemenkes, di Kabupaten Dompu hingga minggu ke-3 Februari 2019 (data per 24 Februari 2019) ditemukan 735 kasus gigitan HPR dan enam kasus kematian pada manusia karena Rabies (Lyssa). Di Kabupaten Sumbawa ada 22 kasus gigitan HPR dan tidak ada kasus Lyssa. Gigitan HPR di Kabupaten Bima ada 26 kasus dan tidak ada kasus Lyssa. Pada Maret 2019, Menteri Pertanian menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 223 /KPTS/PK.320/M/2019 tentang Pernyataan Status Situasi Wabah Penyakit Hewan Rabies di Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di Indonesia sendiri gigitan HPR dari tahun 2011 hingga 2017 tercatat lebih dari 500.000 kasus dan sebanyak 836 kasus positif Rabies (3).Akibat situasi wabah di beberapa kabupaten di Nusa Tenggara Barat tersebut untuk tujuan prioritas penyelamatan nyawa manusia secara cepat perlu segera dilakukan kontrol populasi dengan mengeliminasi ribuan anjing yang berada di wilayah tersebut. Eliminasi sebagian besar dilakukan dengan cara diracun ataupun ditembak (4). Eliminasi besar-besaran tersebut menimbulkan banyak protes dari masyarakat terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penyayang binatang, seperti kutipan pernyataan dari Lola Webber, co-founder Change For Animal Foundation di akun Instagram Jakarta Animal Aid Network (JAAN) “Kami tahu dari puluhan tahun pengalaman di seluruh dunia bahwa cara paling efektif dan cara

satu-satunya untuk mengindari virus rabies ini adalah dengan melakukan vaksinasi kepada 70% populasi anjing. Tapi hal ini juga memerlukan pengawasan proses transportasi anjing dan menghentikan pembunuhan anjing massal karena hal ini akan memperburuk keadaan”.Kutipan lain dari akun Instagram Garda Satwa Foundation “Ngilu bacanya… begini, tidak semua anjing jalanan punya rabies. Anjing dengan rabies mudah dikenali cirinya, misalnya dia takut terhadap cahaya, liur berlebih, mata nanar. Biasanya keluar malam hari. Gigitan anjing rabies itu suatu upaya virus untuk mencari inang baru, karena jika virus sudah sampai otak, badan anjing terasa ngilu dan menggigit sesuatu itu ciri puncak virus menyerang. MENGELIMINASI bukanlah solusi untuk menghentikan rabies. Selain tidak adil untuk anjing yang sehat ikut tereliminasi, virusnya juga tidak akan hilang. Satu-satunya cara yang efektif dan manusiawi adalah VAKSINASI MASSAL dan STERILISASI MASSAL. Seperti yang sering kami utarakan setiap kasus seperti ini terjadi. Tanpa vaksin, virus akan tetap ada. Tanpa sterilisasi, populasi anjing akan meledak.”Dari akun Instagram Gerakan Anti Kekerasan Hewan Domestik Indonesia (GAKHDI), dikutip penjelasan Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram “H. Mutawali” bahwa eliminasi HPR dihentikan sementara karena ada protes dari komunitas pecinta binatang.Organisasi-organisasi dunia yang terkait dengan kesehatan hewan serta berbagai kajian ilmiah menjelaskan bahwa eliminasi dapat dilakukan sebagai metode pengendalian wabah Rabies. Eliminasi dilakuan sebagai jalan terakhir untuk menghentikan penyakit epizootic yang menyebabkan pemaparan pada manusia dalam jumlah besar (5). Hewan harus dibunuh secara cepat dan manusiawi kemudian dipastikan telah mati sempurna sebelum dibuang.

17

Page 19: Redaksi - Pertanian

Proses ini dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berpengalaman dan harus dilakukan sesegera mungkin setelah penyakit dikonfirmasi karena hewan hidup akan terus memproduksi dan menyebarkan pathogen penyakit. Pastinya akan menimbulkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat terhadap eliminasi hewan. Peran media dengan memberitakan sisi positif terkait kesejahteraan hewan akan meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kampanye eradikasi penyakit (6).Metode eliminasi juga dijelaskan oleh badan kesehatan hewan dunia Office International des Epizooties (OIE) dalam Chapter 7.6 Terrestrial Animal Health Code: Killing of Animals for Disease Control Purposes (7). Dalam melakukan eliminasi perlu menerapkan hal-hal antara lain sebagai berikut untuk memastikan penerapan kesejahteraan hewan hingga hewan mati:1. Personel harus memiliki kompetensi dan keahlian

yang relevan;2. Proses eliminasi dilakukan dengan cepat dengan

meminimalkan penderitaan hewan;3. Tersedia prosedur operasional terkait estetika

metode euthanasia, biaya untuk pelaksanaan metode euthanasia, keamanan operator, biosekuriti dan aspek lingkungan;

4. Terdapat monitoring berkelanjutan terkait program kontrol populasi, kesejahteraan hewan, keamanan operator dan biosekuriti.

5. Untuk pertimbangan kesejahteraan hewan, hewan muda dibunuh terlebih dahulu kemudian hewan yang tua dan untuk pertimbangan biosekuriti, hewan yang terinfeksi dibunuh terlebih dahulu diikuti dengan hewan yang kontak dengan hewan terinfeksi, kemudian dilanjutkan hewan yang tersisa (walaupun point ini mungkin sulit diimplementasikan di lapangan);

Pemilihan metode euthanasia juga menjadi pertimbangan tersendiri dalam pelaksanaan eliminasi HPR. Karena pemilihan metode yang tepat penting terkait efektifitas program, biaya dan aspek lainnya. Berikut ini metode-metode euthanasia yang direkomendasikan oleh OIE (8):1. Bahan kimia melalui injeksi yaitu Barbiturate

yang diadministrasikan intravena, gabungan obat terdiri dari Embutramide, Mebezonium, dan Tetracaine yang diadministrasikan intravena dan disedasi terlebih dahulu, agen anestetik yang diberikanoverdosis (Thiopentone atau Propofenol) dan Potassium Chloride (KCl) yang diadministrasikan intravena dan dianestesi terlebih dahulu;

2. Mekanik yaitu dengan peluru, penetrating captive bolt diikuti dengan penusukan pada otak saat kondisi masih belum sadar (metode ini tidak cocok untuk kasus Rabies karena berisiko kontak dengan material otak), dan eksanguinasi (dilakukan pada hewan dalam kondisi pingsan);

3. Gas yaitu karbon monoksida (CO) dalam ruang terkompresi, karbon dioksida (CO2) dalam ruang terkompresi, gas inert (nitrogen, argon) dengan

18

konsentrasi di atas 98%, gas anestesi overdosis (halothane, enflurane);

4. Elektrik yaitu disetrum listrik, namun harus dilakukan dalam kondisi hewan pingsan (bisa dengan stunning atau anestesi terlebih dahulu).

Melihat kondisi di lapangan tersebut petugas harus menentukan metode yang tepat dan efektif untuk euthanasia. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan antara lain jenis hewan, kondisi hewan, potensi risiko terhadap keamanan petugas dan masyarakat serta persepsi publik terhadap metode yang akan digunakan. Namun demikian, hal yang paling penting adalah memilih metode yang paling manusiawi untuk hewan (9). Pada kondisi di lapangan, petugas biasanya menggunakan metode injeksi sodium pentobarbital (termasuk dalam golongan barbiturate) dan penembakan tepat sasaran (penembakan adalah metode yang hanya cocok digunakan di lapangan dan tidak digunakan di lingkungan shelter) (10). Metode eliminasi dengan penembakan tepat sasaran cocok dilakukan untuk pengendalian HPR liar, karena terkait pertimbangan efektifitas, biaya yang dikeluarkan, dan pemenuhan aspek kesejahteraan hewan.Restrain yang tepat diperlukan untuk metode euthanasia dengan injeksi sodium pentobarbital. Kecepatan aksi sodium pentobarbital umumnya tergantung pada dosis, konsentrasi, rute administrasi dan laju injeksi. Barbiturat menginduksi euthanasia secara perlahan dengan penderitaan yang minimal pada hewan (10). Alternatif lain untuk bahan kimia yang dapat digunakan untuk euthanasia di lapangan yaitu para-aminopropiophenone (PAPP). Bahan kimia ini diadministasikan peroral dan dinilai lebih manusiawi untuk euthanasia. Mekanisme kerja PAPP yaitu dengan mengubah haemoglobin menjadi methaemoglobin sehingga menyebabkan anoksia dan kekurangan oksigen yang lethal pada otot jantung dan otak. Gejala yang timbul setelah PAPP masuk yaitu hewan menjadi lemas dan tidak sadar dalam waktu sekitar satu jam kemudian mati. Gejala lain yang mungkin timbul yaitu nafas cepat, vokalisasi dan kaki “paddling” (11). Namun demikian, PAPP belum belum tersedia di Indonesia hingga saat ini dan masih memerlukan kajian lebih lanjut.Persyaratan untuk euthanasia dengan metode penembakan antara lain dilakukan oleh personel yang terlatih dan bersertifikat dalam penggunaan senjata, dipastikan peluru tidak membahayakan publik dan percaya diri dapat menembak tepat sasaran sehingga hewan akan mati dengan cepat tanpa penderitaan yang panjang. Penembakan disarankan menggunakan senapan jenis shotgun (10).Berbagai metode dapat diterapkan untuk mengendalikan Rabies, namun demikian akan lebih baik jika melakukan pencegahan terlebih dahulu sebelum timbul penyakit. Pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat antara lain dengan menjadi pemilik yang bertanggung jawab, melakukan kontrol populasi dengan kebiri/sterilisasi serta rutin dan vaksinasi hewan peliharaan. Demikian, semoga bermanfaat.

Page 20: Redaksi - Pertanian
Page 21: Redaksi - Pertanian
Page 22: Redaksi - Pertanian

PASAR HONGKONGBERDAMPINGAN, MENITI ULANG

JALAN MENEMBUS

OLEH S e p ta wa lya n i

Page 23: Redaksi - Pertanian

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing produk peternakan sehingga mampu menembus pasar luar negeri. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) aktif mendorong upaya ekspor produk hewan dengan dengan melakukan pendampingan dan negosiasi antar negara (goverment to goverment).PT. Greenfields Indonesia adalah salah satu perusahan susu yang telah melakukan ekspor ke berbagai negara di wilayah Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina, Myanmar, Kamboja dan Hongkong. Ekspor produk susu ke Hongkong sudah berjalan dari tahun 2015, namun pada tahun 2018 sempat

mengalami kendala sehingga dilakukan pengentian ekspor sementara. Pihak Food and Environment Health Department Hongkong (FEHD) menemukan adanya ketidak sesuaian alamat pabik pada kemasan dengan dokumen ekspor PT. Greenfields Indonesia.

Kedatangan tiga orang perwakilan dari FEHD ke Indonesia bertujuan untuk melakukan audit ke unit pengolahan susu milik PT. Greenfields Indonesia. Selain itu juga untuk memastikan bahwa unit pengolahan susu milik PT. Greenfields Indonesia telah benar dipindahkan alamatnya dari lokasi pabrik lama di desa Babadan ke lokasi pabrik yang baru di desa Palaan sesuai informasi dari pihak PT. Greenfields Indonesia kepada negara tujuan.

22

Page 24: Redaksi - Pertanian

Audit dilakukan dalam rangka upaya membuka kembali ekspor produk susu ke Hongkong. Kegiatan Audit tersebut dihadiri oleh perwakilan PT. Greenfields Indonesia, auditor perwakilan dari FEHD, Perwakilan dari Direktorat Kesmavet dan Perwakilan dari Direktorat Perlindungan Perdagangan luar Negeri Kementerian Perdagangan.Perwakilan dari Direktorat Kesmavet menjelaskan mengenai penjaminan unit usaha produk hewan yang melakukan ekspor melalui sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yang dilakukan oleh dinas Provinsi. PT. Greenfields Indonesia telah mendapatkan sertifikat NKV level satu sebagai persyaratan level untuk unit usaha yang akan melakukan ekspor. Sertifikat NKV

PT. Greenfields Indonesia diterbitkan bulan Januari 2018 dengan nomor UPS 3507190004 dan telah dilakukan surveilan pada bulan April 2019. Selain itu juga Pemerintah melakukan penjaminan keamanan produk hewan dengan mengeluarkan Veterinary Health Certificate (VHC) bagi produk hewan yang akan di ekspor.

Dari hasil pertemuan tersebut dari pihak FEHD menyatakan puas dengan hasil kunjungan dan audit. Harapan kedepan pemerintah Hongkong dapat segera membuka kembali kesempatan ekspor produk susu dari PT. Greenfields Indonesia.

23

Page 25: Redaksi - Pertanian
Page 26: Redaksi - Pertanian

Pemotongan Hewan KurbanBerita Seputar Kegiatan

Dalam rangka menjamin keamanan, kesehatan, dan kelayakan daging kurban saat Hari Raya Idul Adha 1440 H (2019), maka Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mendukung pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Sebagai langkah awal dalam upaya penjaminan tersebut, telah dibuat 2 surat edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dikirimkan ke provinsi/kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit serta penjaminan keamanan produk hewan kurban yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH).

Khusus wilayah Jabodetabek pada tanggal 19 Juli 2019 diadakan pertemuan koordinasi pengawasan hewan kurban antara Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Suku Dinas se DKI Jakarta, Dinas kabupaten kota di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi serta Perwakilan dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Perwakilan Persatuan Dokter Hewan Indonesia, serta perwakilan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan dinas dan instansi terkait dalam menyambut pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Secara umum baik dinas maupun instansi terkait telah siap melaksanakan kegiatan tersebut. Seperti kegiatan tahun sebelumnya, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, PDHI dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB telah siap memberikan bantuan tenaga pemantau hewan kurban kepada dinas yang

membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan di wilayah Jabodetabek. Dalam pertemuan tersebut, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal juga menyampaikan kesanggupannya menurunkan 10 tim untuk melakukan pemantauan dari aspek kehalalan dalam proses pemotongan hewan kurban serta penyuluhan kepada DKM terkait persyaratan hewan kurban sesuai syariah Islam di Daerah Bogor, Depok dan DKI Jakarta.

Kegiatan sosialisasi tentang penanganan daging kurban yang ASUH kepada masyarakat juga dilakukan pada hari Minggu tanggal 4 Agustus 2019 melalui kegiatan Roadshow Tani on Stage di lokasi Car Free Day Dago Bandung. Kegiatan yang diinisiasi oleh Biro Humas Kementerian Pertanian ini juga menghadirkan beberapa narasumber antara lain Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat serta Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. sebagai pakar di bidang kesehatan masyarakat veteriner. Dalam kegiatan ini juga dibagikan poster terkait penanganan hewan dan daging kurban yang ASUH serta tata cara penyembelihan yang sesuai syariat Islam. Dengan adanya kegiatan sosialisasi ini, diharapkan dapat memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang tatacara berkurban yang benar.

Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, selaku institusi yang bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban pada tanggal 5 Agustus 2019 juga telah melaksanakan

25

OLEH: Vitasari Safitri (Medik Veteriner Madya)

Page 27: Redaksi - Pertanian

Bimbingan Teknis Penerapan Persyaratan Teknis Kesmavet dan Kesrawan bagi panitia kurban di 60 Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) wilayah DKI Jakarta. Bimbingan teknis sekaligus sosialisasi pemotongan hewan kurban yang ASUH ini menghadirkan drh. Supratikno Kasmono, MSi, sebagai ahli dalam pemotongan hewan kurban. Dalam bimtek tersebut disampaikan tentang tata cara penanganan hewan kurban, tata cara penyembelihan halal dan penanganan daging kurban yang higienis serta pembagian leaflet tentang penanganan hewan kurban, sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi masyarakat khususnya bagi pemilik/panitia pemotongan hewan kurban.

Keesokan harinya tanggal 6 Agustus 2019 diadakan kegiatan Bimbingan Teknis bagi Tim Pemantau Hewan Kurban lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jakarta sekaligus pelepasan Tim Petugas Pemantau Pemotongan Hewan Kurban. Tim yang telah dibentuk melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 8471/Kpts/OT.030/F/08/2019 ini, berjumlah 105 orang. Kegiatan yang dibuka langsung oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang merupakan kegiatan tahunan dalam rangka mendukung pelaksanaan pemotongan hewan kurban yang ASUH. Dalam sambutannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menyampaikan pentingnya pengawasan lalu lintas ternak khususnya menjelang Hari Raya Kurban, mengingat baru-baru ini telah muncul kembali kasus Anthraks di Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Petugas bersama dengan DKM diminta memastikan bahwa hewan kurban yang akan dipotong adalah sehat sehingga dapat menciptakan ketenteraman batin masyarakat dalam mengkonsumsi daging kurban. Senada dengan Dirjen Peternakan

dan Kesehatan Hewan, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, drh. Syamsul Ma’arif, MSi menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab terhadap kelayakan produk hewan yang diedarkan dan dikonsumsi. Oleh karena itu petugas bersama dengan aparat daerah bersama-sama memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak memotong hewan kurban di sembarang tempat dan dipandang perlu melakukan penataan lokasi pemotongan hewan kurban. Dr. drh. Hadri Latif, M.Si selaku pakar di bidang kesehatan masyarakat veteriner jug menyatakan pentingnya penerapan aspek kesmavet dalam penanganan hewan kurban sesuai dengan konsep halalan thoyiban agar diperoleh daging yang halal, aman, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi. Pemantauan hewan kurban oleh tim Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dilaksanakan di wilayah Jabodetabek pada tanggal 10-11 Agustus 2019. Tim ini bertugas melaksanakan supervisi pemeriksaan dokumen kesehatan hewan, melakukan pemeriksaan sebelum (ante mortem) pemotongan, setelah (post mortem) pemotongan, mengawasi penyembelihan dan penanganan daging serta jeroan hasil pemotongan hewan kurban selama Hari Raya Kurban. Untuk memudahkan pelaporan petugas pemantau dan sebagai informasi bagi daerah, telah disiapkan sistem pelaporan on-line yang telah diterapkan sejak tahun 2013. Berdasarkan hasil rekapitulasi pelaporan pemotongan hewan kurban wilayah Jabodetabek oleh tim Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa telah dilakukan pemantauan pemotongan hewan kurban di 123 lokasi dengan jumlah pemotongan ternak sebesar 4.553 ekor yang terdiri dari 1.095 ekor sapi, 2 ekor kerbau dan 3.456 ekor kambing/domba. Data jumlah ternak yang dipotong dalam pelaksanaan kurban 2019 ini dapat dipantau melalui website kesmavet di http://kesmavet.ditjennak.pertanian.go.id

26

Page 28: Redaksi - Pertanian
Page 29: Redaksi - Pertanian
Page 30: Redaksi - Pertanian

Pelaksanaan pemotongan hewan kurban pada hari raya Idul Adha atau hari haya Kurban selama ini diidentikkan dengan ritual yang memiliki dua makna yaitu makna ibadah dengan pendekatan diri kepada Allah SWT melalui media hewan yang akan disembelih atau dikurbankan dan makna sosial melalui pemberian daging kurban kepada sesama umat Muslim, khususnya kaum du’afa. Pemotongan hewan kurban di Indonesia pada umumnya masih dilakukan secara tradisional, serba darurat, apa adanya, dan kurang memperhatikan aspek higiene-sanitasi, kesejahteraan hewan, dan kesehatan lingkungan serta aspek zoonosis. Tingginya kesadaran dan niat berkurban penduduk Muslim di Indonesia menyebabkan jumlah pemotongan hewan kurban setiap tahunnya meningkat yang diikuti dengan munculnya tempat-tempat pemotongan hewan darurat seperti halaman masjid, halaman sekolah, pinggir jalan, lapangan, dan tempat-tempat terbuka lainnya. Permasalahan lain yang timbul adalah ketersediaan tenaga juru sembelih yang tidak sebanding dengan jumlah hewan yang akan dipotong. Hal ini disebabkan karena pada saat kurban tempat pemotongan sangat banyak dan waktu pemotongan yang serentak. Akibatnya muncullah juru sembelih-juru sembelih baru yang tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai seperti penyuluhan dan pelatihan sehingga memungkinkan timbulnya permasalahan baru terutama dari aspek kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Hal ini juga merupakan salah satu tantangan yang harus

dihadapi dalam rangka menjamin pangan asal hewan yang beredar di masyarakat agar dapat memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) melalui penataan pemotongan hewan kurban baik dari aspek kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.Penanganan hewan kurban adalah serangkaian kegiatan dan tindakan yang dilakukan terhadap hewan kurban termasuk penyiapan fasilitas penanganan dengan memperhatikan aspek kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan di tempat penjualan, pada saat transportasi dan di tempat penampungan hewan sampai dengan sebelum dilakukan pemotongan hewan kurban. Agar pemotongan hewan kurban pada hari raya Idul Adha dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan hasil yang diharapkan maka di lakukan Bimbingan Teknis Penerapan Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pada hewan Kurban.Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk meningkatkan pemahaman petugas yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemotongan hewan kurban untuk menerapkan aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. Adapun output yang diharapkan adalah mampu meningkatnya pemahaman peserta dalam menerapkan aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan dalam pemotongan hewan kurban dan penanganan daging kurban yang higienis.Kegiatan Bimtek Penerapan Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan

REPORTASE PELAKSANAAN KEGIATAN BIMTEK PENERAPAN TEKNIS

KESMAVET DAN KESRAWAN PADA HEWAN KURBAN

OLEH : Lutfi Nur Amalina

29

Page 31: Redaksi - Pertanian

pada Hewan Kurban dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2019 dan dibagi menjadi dua sesi yaitu sesi penyampaian materi dan diskusi didalam kelas dan sesi praktik. Sesi penyampaian materi dan diskusi dilaksanakan di Ruang Rapat Utama I Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Gedung C Lantai 6 dan di Ruang Rapat Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Gedung C Lantai 8. Kegiatan praktik dilaksanakan di Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian. Peserta Kegiatan Bimbingan Teknis Penerapan Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pada Hewan Kurban Tahun 2019 sebanyak 90 orang. Peserta yang hadir meliputi perwakilan dari Direktorat Lingkup Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Takmir Masjid/Panitia Kurban dari DKM Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian, Takmir Masjid/Panitia Kurban dari DKM Masjid yang diundang, dan tim dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner memberikan arahan dalam kegiatan ini. Para peserta bimbingan teknis antusias dalam memperhatikan setiap materi yang disampaikan oleh para narasumber dan aktif berdiskusi didalam kelas. Kegiatan praktik pemotongan hewan kurban dan penanganan daging dilaksanakan di Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian. Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian ini merupakan hibah dari anggaran APBN Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2018 dan telah dimanfaatkan pada pelaksanaan kurban tahun 2018 lalu. Praktik penyembelihan hewan kurban dengan satu ekor sapi ditangani dengan menggunakan fasilitas di Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman. Praktik pemotongan hewan kurban dilaksanakan

dengan tahapan mulai dari penempatan hewan di tempat penampungan, pemeriksaan antemortem, penggiringan hewan, proses perobohan, penyembelihan, dan penyelesaian penyembelihan. Proses perobohan hewan dan penyelesaian penyembelihan dilakukan oleh fasilitator dari RPH-R Cibinong Kabupaten Bogor sekaligus memberikan contoh penanganan hewan yang baik dan benar sebelum penyembelihan dan setelah penyembelihan.

30

Proses penyembelihan dilakukan oleh juru sembelih dari DKM Masjid Nurul Iman yang juga sebagai salah satu peserta. Seluruh proses penanganan hewan hidup sampe proses pengulitan dan pengeluaran jeroan dilaksanakan di area kotor di Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian.Praktik penanganan daging dilaksanakan di area bersih di Model Sarana Pemotongan Hewan Kurban Masjid Nurul Iman Kementerian Pertanian. Praktik penanganan daging meliputi pemeriksaan postmortem (pada karkas, kepala, daging, dan jeroan), penanganan daing dan jeroan yang higienis, penimbangan, dan pengemasan yang baik dan benar. Praktik penanganan daging dilakukan oleh tim dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Pelaksanaan praktik dipandu dan diulas langsung oleh para narasumber agar para peserta langsung mengetahui mana praktik yang baik dan benar. Foto-foto pelaksanaan kegiatan sebagaimana terlampir dalam laporan ini.Dengan dilaksanakannya kegiatan Bimbingan Teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan diharapkan adanya peningkatan pemahaman petugas yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemotongan hewan Kurban untuk menerapkan aspek teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

Page 32: Redaksi - Pertanian

Penerapan kesejahteraan hewan (kesrawan) merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama Masyarakat sebagaimanana amanat Undang-Undang 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Untuk mengkoordinasikan dan mensosialisasikan strategi nasional kesrawan sebagai arah peningkatan penerapan kesrawan di Indonesia maka Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner sejak tiga tahun terakhir rutin menyelenggarakan pertemuan koordinasi kesejahteraan hewan nasional.Kegiatan menyelenggarakan pertemuan koordinasi kesejahteraan hewan nasional bertujuan untuk mensosialisasikan program-program Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal peningkatan populasi ternak melalui peningkatan penerapan kesrawan di Indonesia dan untuk mengidentifikasi kendala-kendala dalam penerapan kesrawan. Dengan adanya pertemuan ini juga diharapkan dapat membangun pemahaman dan kesepakatan serta meningkatkan komitmen pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penyelenggaraan penerapan kesrawan di Indonesia. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kepekaan pemangku kepentingan terhadap pemenuhan aspek kesrawan dan pemahaman bagaimana kesrawan dapat berperan dalam peningkatan produksi dan produktifitas serta peningkatan daya saing produk.Pada tahun 2019 ini pertemuan koordinasi kesejahteraan hewan nasional dilaksanakan pada tanggal 16 – 18 September 2019 di Sahid Raya Hotel & Convention Center Yogyakarta. Peserta pertemuan sebanyak kurang lebih 100 orang yang terdiri atas perwakilan dari Direktorat teknis Lingkup Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, perwakilan dari Dinas-Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan, perwakilan dari UPT lingkup Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, perwakilan dari beberapa

PENULIS: Anis Trisna Fitrianti

Fakultas Kedokteran Hewan, perwakilan dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan dari Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).Pertemuan ini dibuka oleh Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Bapak drh. Syamsul Ma’arif, MSi sekaligus menyampaikan arahan dari Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada pertemuan ini juga disampaikan sambutan selamat datang yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Bapak Ir Sasongko M.Si.Materi yang disampaikan oleh narasumber pada pertemuan ini meliputi: Peran Pendidikan Nasional dalam Implementasi Kesejahteraan Hewan yang disampaikan oleh Ibu Dra. Nike Kusumahani, M.Pd, Kepala Subdit Pendidikan Orang Tua, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Ditjen Pendidikan Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Peran Pendidikan Dokter Hewan dalam Mendukung Penerapan Kesejahteraan Hewan di Indonesia yang disampaikan oleh Dr. drh. Doddy Yudhabuntara dari FKH UGM; Kebijakan Nasional Penerapan Kesejahteraan Hewan di Indonesia yang disampaikan oleh Drh. Hastho Yulianto, MM, Kepala Subdit Kesejahteraan Hewan; Penerapan Kesejahteraan Hewan di Peternakan Sapi Potong yang disampaikan oleh drh. Charis Primaretnati dari GAPUSPINDO; Penerapan Kesejahteraan Hewan di lingkup UPT Ditjen PKH yang disampaikan oleh Drh. Sintong Hutasoit, MSi Kepala BBPTU-HPT Baturraden; dan Isu-Isu Strategis Terkait Kesejahteraan Hewan yang disampaikan oleh Drh. Puguh Wahyudi, MSi, Kepala Seksi Advokasi Kesejahteraan Hewan, Subdit Kesejahteraan Hewan Diskusi berlangsung dengan sangat aktif dan produktif sehingga menghasilkan beberapa rumusan yang telah disepakati untuk ditindaklanjuti. Berikut rumusan hasil pertemuan:1. Isu kesejahteraan hewan telah menjadi isu publik

baik nasional maupun global yang disadari akan memiliki dampak serius bagi kepentingan

Bersinergi dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Hewan di Indonesia Melalui Pertemuan Koordinasi

Kesejahteraan Hewan Nasional

31

Page 33: Redaksi - Pertanian

32

Nasional. Oleh karena itu, koordinasi dan komunikasi antar seluruh pemangku kepentingan perlu untuk terus dilakukan agar isu kesejahteraan hewan menjadi salah satu isu prioritas baik bagi pemerintah, pelaku usaha, akademisi dan masyarakat umum;

2. Kesejahteraan hewan saat ini dapat digunakan sebagai isu global dalam alasan perdagangan bebas. Indonesia harus segera memperbaiki penerapan kesejahteraan hewan pada rantai produksi peternakan terutamahewanruminansia dan unggas agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing;

3. Kesejahteraan hewan dapat dicapai dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, fasilitas penanganan dan lingkungan yang baik;

4. Komunikasi, informasi, dan edukasi perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan berbagai macam metode dan pendekatan:a. Menanamkan pendidikan kesejahteraan

hewan pada anak usia dini danmenengah perlu diupayakan agar konten kesrawan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti yang sudah dilakukan dalam kurikulum pendidikan tinggi (pendidikan dokter hewan dan fakultas peternakan). Oleh karena itu, perlu juga dilakukan identifikasi jalur-jalur lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengedukasi masyarakat secara luas seperti melalui media;

b. Kesejahteraan hewan termasuk dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) cinta lingkungan mencakup nilai-nilai karakter siswa yang diterapkan melalui budaya sekolah, mata pelajaran, ekstrakurikuler, muatan lokal (kewenangan Pemda). Informasi terkait Kemendiknas dapat diakses di situs: sahabatkeluarga.kemendikbud.go.id.

5. Saling bertukar informasi antara pemerintah pusat, daerah, dan akademisi untuk menghadapi isu kesejahteraan hewan yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu perlu dibuat media sosial sebagai sarana komunikasi implementasi kesejahteraan hewan di kalangan pemangku kebijakan;

6. Perlu penelitian-penelitian ilmiah terkait implementasi kesejahteraan hewan di Indonesia baik oleh Perguruan Tinggi maupun lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah yang aplikatif dan dapat mendukung implementasi kebijakan penerapan kesejahteraan hewan;

7. Perlu segera diupayakan penyelesaian penyusunan peraturan-peraturan terkait kesejahteraan hewan:a. Permentan tentang Penerapan

Kesejahteraan Hewan pada Ternak mRuminansia sebagai dasar penyusunan Perda dan implementasi di lapangan;

b. SOP penerapan kesejahteraan hewan pada budidaya peternakan dan unit pelayanan kesehatan hewan.

8. Perlu dilakukan pembinaan dan evaluasi penerapan kesejahteraan hewan khususnya di lingkup UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Kesepakatan dan komitmen para pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan dalam penyelenggaraan penerapan kesrawan di Indonesia mengingat bahwa penerapan kesrawan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama masyarakat. Oleh karena itu pertemuan koordinasi seperti ini sangat penting untuk dapat dilaksanakan secara berkala sebagai media untuk membangun komunikasi bersama.

Page 34: Redaksi - Pertanian

33

Page 35: Redaksi - Pertanian

34

OLEH R i s ky A p r i l i a n

Dalam rangka memberikan jaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan (ASUH) produk hewan yang beredar di masyarakat,

pemerintah melakukan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) kepada unit usaha produk hewan. Sertifikasi NKV dimaksudkan agar produk hewan yang beredar memenuhi persyaratan atau kelayakan dasar keamanan pangan.

Perkembangan teknologi dan peningkatan jumlah serta jenis unit usaha produk hewan menyebabkan Auditor NKV dituntut untuk semakin profesional, dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam hal penjaminan keamanan produk hewan. Guna memaksimalkan sertifikasi NKV pada unit usaha produk hewan, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengadakan kegiatan “Refreshing Auditor Nomor Kontrol Veteriner” bagi Auditor NKV yang berasal dari 26 Provinsi di Indonesia. Kegiatan ini diadakan di Hotel Grand Zuri, Yogyakarta pada tanggal 14 sampai dengan 16 Oktober 2019.

Kegiatan Refreshing Auditor NKV dibuka oleh Syamsul Ma`arief selaku Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH dan dihadiri oleh Auditor NKV dari Dinas provinsi/kota/kabupaten/Kota yang membidangi fungsi Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesehatan Hewan. Peserta Auditor NKV yang hadir sebanyak 45 orang. Tujuan diadakan kegiatan ini adalah sebagai sarana update informasi terkait teknis audit dan perkembangan penjaminan keamanan dan kehalalan produk pangan asal hewan, sehingga dapat meningkatkan kompetensi Auditor NKV dalam melaksanakan audit unit usaha produk hewan serta sharing pengalaman saat pelaksanaan Audit NKV.

Dalam sambutannya, Direktur Direktorat Kesehatan Mayarakat Veteriner drh. Syamsul Ma’arif, M.Si

menyampaikan bahwa penjaminan keamanan produk hewan yang beredar di masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah menargetkan peningkatan jumlah unit usaha produk hewan yang mendapatkan sertifikat NKV, untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan kegiatan refreshing auditor NKV.

Para auditor diberi pengarahan materi mengenai Penerapan Higiene Sanitasi, biosekuriti dan Kesejahteraan Hewan pada unit usaha pangan segar asal hewan, unit usaha pangan olahan asal hewan dan unit usaha non pangan asal hewan yang disampaikan oleh Komisi Ahli Kesmavet. Penyegaran kembali mengenai sertifikasi NKV pada Unit Usaha Produk Hewan, teknis penggunaan ceklist NKV, penyusunan Hasil Audit dan Tata Cara Pencantuman NKV serta mekanisme pelaporan capaian unit usaha ber-NKV disampaikan oleh narasumber dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH.

Untuk menyempurnakan proses sertifikasi NKV, saat ini pemerintah sedang melakukan Revisi Permentan No. 38 Tahun 2005 tentang Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Lanjut Syamsul, dalam era globalisasi perdagangan seperti saat ini sertifikasi NKV pada unit usaha produk hewan menjadi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Negara - negara tujuan ekspor. Oleh karena itu, revisi permentan penting untuk segera disahkan.

Akhir kata, drh. Syamsul Ma’arif, M.Si menyampaikan harapannya agar setelah mengikuti kegiatan ini diharapkan para auditor NKV meningkat kompetensi dan pengetahuannya dalam melakukan penilaian pemenuhan persyaratan kelayakan dasar sistem jaminan keamanan pangan khususnya aspek hygiene sanitasi, biosekuriti dan kesejahteraan hewan pada unit usaha produk hewan.

Kegiatan

RefreshingAuditor NKV

Page 36: Redaksi - Pertanian

Penerapan prinsip kebebasan hewan sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan

Hewan diterapkan pada kegiatan penangkapan & penanganan; penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan, pengangkutan, penggunaan dan pemanfaatan, perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan; pemotongan & pembunuhan; dan praktik kedokteran perbandingan. Sebagaimana di sebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut pasal 83 ayat (4) bahwa kegiatan sebagaimana disebutkan di atas dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi dibidang kesejahteraan hewan yang sering disebut sebagai Petugas kesejahteraan hewan atau Animal Welfare Officer (AWO).Saat ini aspek kesejahteraan hewan pada ternak ruminansia telah dilakukan oleh petugas di UPT Lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) milik Dinas yang membidangi fungsi peternakan di provinsi baik secara terprogram maupun belum, namun petugas belum sepenuhnya mengimplementasikan kesejahteraan hewan dengan baik. Oleh karena itu perlu dilakukan peningkatan kompetensi petugas kesejahteraan hewan/AWO (refresher AWO) bagi petugas di UPT Lingkup Ditjen PKH dan UPTD milik Dinas yang membidangi fungsi peternakan di provinsi. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang penerapan kesejahteraan hewan bagi petugas AWO di UPT Lingkup Ditjen PKH dan UPTD milik Dinas yang membidangi fungsi peternakan di provinsi. Tujuan lainnya yaitu mengidentifikasi kendala dan bersama-sama mencari solusi dalam implementasi kesejahteraan hewan di UPT Lingkup Ditjen PKH dan UPTD milik Dinas

yang membidangi fungsi peternakan di provinsi. Adapun output dari kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan kompetensi petugas AWO tentang pemahaman penerapan kesejahteraan hewan khususnya pada ternak ruminansia.Kegiatan Refresher AWO Tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal 16-19 Oktober 2019 di Purwokerto Jawa Tengah. Kegiatan terdiri atas sesi materi yang dilaksanakan di Hotel Java Heritage Purwokerto dan sesi praktik lapangan dilaksanakan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden.Peserta dalam kegiatan ini sebanyak 50 orang yang terdiri atas perwakilan dari UPT Lingkup Ditjen Perternakan dan Kesehatan Hewan (BBVet, BVet, BBPTU-HPT, BPTU-HPT, BBPMSOH, BBIB, BIB, BET, dan Pusvetma) sebanyak 23 orang peserta. Peserta lainnya merupakan perwakilan dari UPTD Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Provinsi se-Jawa yang terdiri atas Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan DIY sebanyak 17 orang peserta.Materi yang dsampaikan pada kegiatan Refresher AWO meliputi:1. Kebijakan Penerapan Kesejahteraan Hewan

di Indonesia yang disampaikan oleh Kasubdit Kesejahteraan Hewan drh. Hastho Yulianto, MM;

2. Implementasi Good Farming Practices/Cara Budidaya yang Baik yang disampaikan oleh oleh Ir. Marta Wirawan dari Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak;

3. Penerapan Kesejahteraan Hewan di BBPTU-HPT Baturraden yang disampaikan oleh Kepala BBPTU HPT Baturraden drh. Sintong Hutasoit, M.Si;

REPORTASE PELAKSANAAN KEGIATAN

Refresher Animal Welfare Officer

OLEH : Anis Trisna Fitrianti(Medik Veteriner Muda)

35

Page 37: Redaksi - Pertanian

36

Page 38: Redaksi - Pertanian

4. Optimalisasi Perkandangan, Pakan & Air Minum Mewujudkan Ternak Sejahtera yang disampaikan oleh drh. Sugeng Dwi Hastono selaku trainer kesrawan;

5. Stress dan Stressor pada Ternak yang Mempengaruhi Produksi dan Produktivitas yang disampaikan oleh drh. Ismau Alim selaku trainer kesrawan;

6. Pendekatan Manajemen Pemeliharaan Penanganan Ternak Sesuai dengan Perilaku Alami Ternak yang disampaikan oleh drh. Wisnu Wardana selaku trainer kesrawan;

7. Komunikasi, Motivasi, Rencana Kerja & Persiapan Training of Trainer (TOT) Animal Welfare Officer yang disampaikan oleh Kepala Seksi Advokasi Kesejahteraan Hewan drh. Puguh Wahyudi, M.Si ; dan

8. Pengembangan Checklist, SOP, Dokumentasi dan Pelaporan yang disampaikan oleh Kepala Seksi Advokasi Kesejahteraan Hewan drh. Puguh Wahyudi, M.Si.

Pada pelaksanaan kegiatan Refresher AWO dilakukan pre test dan post test untuk mengukur tingkat pengetahuan peserta. Pre test dilakukan diawal kegiatan sebelum sesi materi dimulai sedangkan post test dilakukan dihari terakhir pelatihan untuk mengevaluasi bagaimana peserta mampu menyerap semua materi yang telah diberikan.Hasil rata-rata nilai pretest sebesar 16,45 dan hasil rata-rata nilai posttest sebesar 17,05. Berdasarkan rekapitulasi tersebut terlihat bahwa rata-rata nilai pretest dan posttest peserta mengalami peningkatan yang artinya terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang penerapan kesejahteraan hewan.Kunjungan dan praktik lapang dilakukan di peternakan sapi perah dan kambing perah BBPTU-HPT Baturraden. Saat praktik peserta melakukan penilaian indikator-indikator kesejahteraan hewan dan penerapan aspek lima kebebasan hewan yang

meliputi feed intake score card, manure score card-consistency, manure score card-digestion, hygiene score card, teat health score card & thi, BCS (skala 1-5 & 1-10), lying score card, dan locomotion score card. Selanjutnya peserta yang dibagi menjadi empat kelompok melalkukan presentasi dan diskusi yang diulas oleh para trainer/narasumber. Dengan dilakukannya praktek lapang diharapkan peserta dapat mengaplikasikan materi yang didapat saat pelatihan, dapat diterapkan di unit kerjanya masing-masing, dan mampu menularkan atau melatih anggota tim atau teman-temannya yang menangani ternak.Adanya kegiatan Refresher AWO ini, peserta telah memahami indikator teknis penerapan kesejahteraan hewan seperti penyediaan pakan dan minum yang baik, aspek perkandangan, penyelenggaraan kesehatan hewan, peningkatan perilaku alami, kemampuan sumber daya manusia, pengembangan checklist, pelaporan dan dokumentasi. Hal ini ditunjukan adanya peningkatan hasil ujian dari pretest dan posttest. Selain itu peserta juga dapat memaparkan dengan baik hasil penilaian penerapan kesejahteraan hewan di lokasi tempat simulasi yaitu di BBPTU-HPT Baturraden.Harapan dan tindak lanjut ke depan dari kegiatan Refresher AWO ini adalah Petugas AWO dapat mendorong agar institusi tempat bekerjanya dapat menerapkan kesejahteraan hewan dengan baik dan terdokumentasi. Petugas AWO mampu menyebarkan pengalamannya yang didapat selama pelatihan kepada rekan sejawat dan kepada masyarakat sekitarnya. Petugas AWO dari UPTD Provinsi dapat membagikan pengetahuan yang telah diperoleh kepada petugas AWO di UPTD Kabupaten/Kota. Petugas AWO dapat melakukan pengembangan diri dalam menerapkan kesejahteraan hewan sesuai dengan kondisi dan sumber daya yang telah ada; Terbangun jejaring petugas AWO minimal sebagai media untuk bertukar informasi dalam dilingkup UPT/UPTD Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota.

37

Page 39: Redaksi - Pertanian

Dalam rangka menjamin keamanan produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal bagi yang dipersyaratkan Pemerintah dan pemerintah

daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan produk hewan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Produk Hewan yang beredar di wilayah Negara Republik Indonesia terutama di wilayah perbatasan Negara, perlu dilakukan pengawasan dengan melibatkan berbagai instansi secara terpadu meliputi Kementerian Pertanian, BPOM, BPJPH, LPPOM MUI, dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dinas provinsi/kabupaten/kota, serta Tim Satgas Pangan, PPNS, Kepolisian dan instansi terkait lainnya. Dengan demikian petugas dapat megambil langkah yang tepat sesuai dengan kewenangannya.Pengawasan terpadu ini bertujuan untuk mengkoordinasikan mekanisme jalannya pengawasan terpadu keamanan produk hewan. Pengawasan juga dilakukan dalam rangka pemenuhan persyaratan teknis pemasukan produk hewan dari luar negeri terkait aspek keamanan dan peredarannya. Selain itu pengawasan juga diharapkan dapat mengsinergikan kegiatan pengawasan dengan instansi terkait yang berwenang dalam upaya menjamin keamanan produk hewan yang beredar di wilayah Negara Republik Indonesia terutama diperbatasan Negara.

Mengapa perlu dilakukan pengawasan terpadu di perbatasan Negara Republik Indonesia?

Aspek keamanan pangan merupakan tuntutan dari masyarakat yang semakin maju dan modern dalam dunia perdagangan bebas. Produk hewan yang berupa pangan asal hewan (daging, susu dan produk telur) maupun produk hewan non pangan (kulit, bulu, tulang)

yang beredar di wilayah Negara Republik Indonesia selain diproduksi di dalam negeri, juga diimpor dari beberapa negara melalui pintu-pintu pemasukan yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Namun demikian untuk mengantisipasi pemasukan produk hewan illegal terutama di daerah perbatasan perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif dalam rangka memberikan jaminan keamanan produk yang beredar. Seiring dengan berkembangnya teknologi dibidang industri pangan dalam hal perdagangan bebas kebutuhan produk hewan semakin meningkat. Pemasukan produk hewan juga dimungkinkan masuk secara illegal melalui pintu masuk yang tidak resmi (pelabuhan tikus) yang lepas dari pengawasan petugas.

Oleh karena itu perlu melakukan pengawasan secara terpadu oleh petugas sesuai dengan kewenangannya. Di gerbang pemasukan (bandara dan pelabuhan) resmi biasanya sudah ada petugas karantina dan beacukai yang memeriksa pemasukan barang. Petugas Pengawas Kesmavet, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan Penyidik Polri serta instansi lain terkait juga melakukan pengawasan terhadap peredarannya.Petugas Tim pengawasan terpadu biasanya melakukan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan kondisi fisik barang, dan wawancara dengan penanggung pelaku usaha dengan yang didukung dengan ceklist yang sudah disediakan. Jika semua persyaratan telah lengkap maka produk hewan tersebut dapat dipastikan aman dan dapat diedarkan. Apabila persyaratan dinyatakan tidak lengkap maka produk hewan tersebut belum dapat dipastikan aman bagi masyarakat dan dimungkinkan masuk melalui jalur-jalur yang tidak resmi. Oleh karena itu maka perlu dilakukan pengawasan terpadu secara rutin dan berkala sesuai dengan tahap-tahap pelaksanaan pengawasan di wilayah perbatasan.

OLEH N u r a i n a ( F u n g s i o n a l M e d i k

V e t e r i n e r M u da )

E k a H a n daya n i ( K e pa l a S e ks i P e n gawasa n P e r e da r a n )

PENGAWASAN TERPADU

DI WILAYAH PERBATASAN NKRI

PEMASUKAN PRODUK HEWAN

38

Page 40: Redaksi - Pertanian
Page 41: Redaksi - Pertanian

PENILAIAN NEGARA DAN UNIT USAHA PEMASUKAN

PRODUKHEWAN KEDALAM WILAYAH

NEGARA RI

Pemerintah bertanggungjawab menjamin produk hewan khususnya pangan asal hewan yang

diproduksi, dimasukkan dan diedarkan harus memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sebagai upaya dalam melindungi kesehatan

dan ketentraman batin masyarakat.

OLEH R i r i n R o h m awat i A n d i E k a P u t r a

40

Page 42: Redaksi - Pertanian

Produk hewan merupakan komoditas yang berpotensi sebagai media pembawa agen penyakit menular, dan dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Beberapa produk hewan yang dibutuhkan di Indonesia saat ini belum dapat dipenuhi dari produk lokal, sehingga masih diperlukan pemasukan dari luar negeri. Indonesia sebagai Negara anggota World Trade Organization (WTO) juga harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh WTO, antara lain kepatuhan menerapkan perjanjian Sanitary dan Phytosanitary (SPS) measures. Berdasarkan perjanjian SPS-WTO, suatu negara tidak dapat menolak pemasukan hewan/produk hewan dari negara lain tanpa alasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara Undang – undang Nomor 18 tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggungjawab menjamin produk hewan khususnya pangan asal hewan yang diproduksi, dimasukkan dan diedarkan harus memenuhi persyaratan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) sebagai upaya dalam melindungi kesehatan dan ketentraman batin masyarakat.

Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2009. Undang - Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga mengamanatkan bahwa produk hewan segar dan olahan yang dimasukkan ke dalam Indonesia harus berasal dari unit usaha produk hewan suatu Negara atau zona dalam suatu Negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan. Prosedur pemasukan ini didasarkan pada kaidah internasional yang berbasis analisa risiko. Untuk melaksanakan perintah Undang - undang tersebut maka perlu dilaksanakan kegiatan penilaian Negara maupun unit usaha (desk review) yang berencana akan memasukkan produk hewannya ke Indonesia. Proses desk review ini dilakukan apabila suatu Negara atau unit usaha belum terdaftar sebagai Negara atau unit usaha yang diijinkan memasukkan produknya ke Indonesia.

Sepanjang tahun 2019 (Januari – Oktober 2019), Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner telah melakukan kegiatan desk review sebanyak empat kali, yaitu padat anggal 12 Februari 2019, 17 Juni 2019, 4-5 September 2019 dan 23-24 Oktober 2019. Pelaksanaan desk review dihadiri oleh tim penilai dokumen yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan tim Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan. Sebanyak lima dokumen persetujuan Negara dan 53 dokumen persetujuan unit usaha telah dilakukan penilaian pada tahun ini (sampai dengan Oktober 2019). Sebagai catatan bersama, untuk penilaian unit usaha dikenakan biaya PNBP sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Pertanian. Secara umum terdapat tiga jenis hasil penilaian dokumen:

1. Dokumen permohonan persetujuan Negara/unit usaha ditolak karena berdasarkan kajian dokumen yang telah dilakukan, Negara/unit usaha tidak memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan.

2. Dokumen permohonan persetujuan Negara/unit usaha tidak lengkap dan masih memerlukan sejumlah klarifikasi. Dalam hal ini, proses persetujuan penetapan Negara maupun unit usaha masih bisa dilajutkan dengan catatan pihak pemohon segera mengirimkan dokumen tambahan atau klarifikasi yang diminta.

3. Dokumen permohonan persetujuan Negara/unit usaha dinyatakan lengkap. Dalam halini, proses persetujuan akan dilanjutkan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh tim Komisi Ahli.

Daftar Negara dan unit usaha yang telah disetujui pemasukan produk hewannya ke Indonesia selengkapnya dapat dilihat melalui website Direktorat Kesmavet: http://kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id/index.php/pelayanan-2.

41

Page 43: Redaksi - Pertanian

Peluncuran Aplikasi

DILAN KESMAVETdan Temu Teknis Pengawas Kesmavet

Pangan asal hewan memiliki nilai dan kualitas tinggi dan diperlukan bagi kehidupan manusia, namun mempunyai sifat yang

mudah rusak dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan apabila tercemar secara fisik, kimiawi, dan biologis yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia. Dalam rangka menjamin pangan asal hewan yang beredar di masyarakat memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), diperlukan adanya pengawasan teknis Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) di sepanjang rantai produksi mulai dari budidaya, pasca panen, distribusi sampai pemasaran dan peredaran.

Sesuai amanat perundangan hal ini menjadi kewajiban bagi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengawasinya. Memasuki era revolusi industri 4.0 diperlukan harmonisasi kebijakan dan sinergitas pengawasan dengan Kementerian/Lembaga/Instansi lainnya mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pemerintah tentunya harus lebih adaptif dan inovatif dalam

mengimplementasikan kebijakan pengawasan keamanan pangan. Selain itu peran aktif masyarakat tentunya sangat dibutuhkan, dengan harapan masyarakat harus lebih cerdas dan bijak dalam memilih produk yang aman dan layak untuk dikonsumsi serta dapat menyikapi informasi di media sosial dengan mencari kebenaran informasi, atau melaporkan melalui saluran pengaduan masyarakat yang telah disiapkan.

Menjawab tantangan kebutuhan masyarakat akan terjaminnya keamanan produk asal hewan, maka untuk memudahkan pelaporan pengawasan keamanan produk hewan tersebut, pada tanggal 31 Oktober 2019 bertempat di Gedung Pusat Informasi Agribisnis, Kementerian Pertanian Ditjen PKH Kementan meluncurkan Aplikasi Digital Pelayanan dan Pelaporan Kesehatan Masyarakat Veteriner (DILAN KESMAVET). Aplikasi ini merupakan sistem data dan informasi yang terintegrasi terkait fungsi Kesmavet. Aplikasi DILAN KESMAVET telah dikembangkan dua aplikasi yaitu Sistem

42

Page 44: Redaksi - Pertanian

“Masyarakat harus lebih cerdas dan bijak dalam memilih produk yang aman dan layak

untuk dikonsumsi serta dapat menyikapi

informasi di media sosial dengan mencari kebenaran informasi”

Pelaporan Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner (SILAWAS) yang berfungsi untuk memudahkan pelaporan kegiatan pengawasan kesmavet dan Kolom Laporan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner (KOLAM) yang berfungsi untuk memudahkan masyarakat dalam menyampaikan temuan/kasus penyimpangan keamanan produk hewan. Sistem ini akan terus dikembangkan terkait dengan fungsi kesmavet lainnya seperti sertifikasi NKV, laporan hasil laboratorium dan fungsi lainnya. Dan dalam kegiatan ini, dilakukan juga pemutaran video Edukasi Kesmavet yang disajikan dengan konsep kekinian dengan harapan dapat lebih menarik minat

masyarakat untuk meningkatkan kepeduliaan masyarakat terhadap pentingnya keamanan pangan. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk sesi nonton bersama di Bioskop mini Gedung PIA Kementan.

Setelah sesi launching DILAN KESMAVET dan Video Edukasi Kesmavet, selanjutnya dilakukan talkshow yang mengangkat tema “Tantangan Pengawasan Keamanan Produk Hewan di Era Revolusi Industri 4.0” dengan narasumber Direktur Kesmavet, Perwakilan Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BKP Kementan, Perwakilan Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian Perdagangan, Perwakilan Direktorat Ekonomi Digital Kemeterian Komunikasi dan Informatika dan Direktur Operasional Masyarakat Anti Fitnah Indonesia.

Dalam talkshow tersebut diulas mengenai tantangan era revolusi industri 4.0, kecepatan penyebaran informasi dan kemudahan bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Industri pangan saat ini, berkembang ke arah konsep “smart industry”, dimana semua elemen terkoneksi secara elektronik, mulai dari penawaran sampai dengan transaksi pembayaran. Pola ini menawarkan layanan yang semakin memudahkan bagi masyarakat konsumen tanpa harus bertatap muka dengan penyedia layanan. Meningkatnya pertumbuhan e-commerce yang begitu cepat dimana produk hewan dapat dipasarkan melalui dunia maya, jika tidak didukung dengan regulasi dan kebijakan pengawasan yang tepat, tentunya dapat merugikan masyarakat/konsumen terutama terkait dengan keamanan produk hewan tersebut. Selain itu, tantangan berat lainnya adalah informasi hoax yang mudah viral di dunia maya yang dapat menyebabkan kepanikan masyarakat dan berdampak pada persaingan usaha yang tidak sehat.

Sehubungan Dengan Perkembangan e-Commerce, telah ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun

43

Page 45: Redaksi - Pertanian

2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik/Road Map e-Commerce (SPBNE) Tahun 2017-2019, yang melibatkan beberapa K/L/I terkait sebagai pelaksananya. Peta Jalan SPNBE 2017-2019 sebagaimana dimaksud pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, infrastruktur komunikas, logistik, keamanan siber (cyber security); dan Pembentukan Manajemen Pelaksana Peta Jalan SPNBE 2017-2019. Diantara program peta jalan tersebut, yang berkaitan dengan pengawasan keamanan produk hewan diantaranya adalah terkait dengan perlindungan konsumen dengan 2 agenda diantaranya penyusunan menyelesaikan regulasi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik dan membangun kepercayaan konsumen. Kedua hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam melakukan transaksi perdagangan online, baik dari segi sosial, ekonomi dan kesehatan konsumen. Pelaku usaha perdagangan berbasis elektronik (e-Commerce) dipastikan harus terdaftar/tersertifikasi. Terkait dengan pengawasan perdagangan online, upaya yang dilakukan memang masih belum optimal, namun ke depan upaya pengawasan akan diperkuat, oleh karenanya peran K/L/I terkait dengan pengawasan keamanan pangan/non pangan sangat diperlukan. Kemenkominfo dan Kementerian Perdagangan siap bekerjasama dalam menertibkan unit usaha yang tidak bertanggung jawab yang terlibat dalam

perdagangan online.

Terkait dengan pemberitaan hoax, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyediaan kanal Layanan Kominfo untuk aduan konten yang dianggap hoax dan dapat menimbulkan keresahan/kepanikan masyarakat. Kominfo selanjutnya akan menindaklanjuti layanan terkait pengaduan dimaksud. Hal ini juga sejalan dengan upaya Direktorat Kesmavet untuk memfasilitasi masyarakat dalam melaporkan temuan/penyimpangan keamanan pangan melalui Kolom Layanan Masyarakat (KOLAM) Kesmavet. Seiring dengan upaya yang dilakukan Direktorat Kesmavet dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, MAFINDO juga telah melakukan hal yang sama dan siap mendukung langkah pemerintah, khusunya dalam upaya memberikan edukasi keamanan pangan kepada konsumen dan menangjkal berita hoax terkait keamanan pagan yang berpotensi menimbulkan kepanikan dan keresahan masyarakat. Untuk mengetahui keabsahan suatu berita yang sedang viral dapat mengklarifikasi di website mafindo dengan alamat www.turnbackhoax.id

Acara ditutup dengan paparan dan evaluasi hasil pengawasan kesmavet pada tahun 2018 dan 2019 yang meliputi Pengawasan Kulit Impor, Pengawasan Peredaran Daging Kerbau Beku Impor Asal India, Pengawasan Peredaran Daging Celeng, Pengawasan Terpadu di Wilayah Perbatasan Negara, Peran PPNS dalam pengawasan keamanan produk hewan dengan melibatkan narasumber dari K/L/Instansi terkait.

44

Page 46: Redaksi - Pertanian

Mataram,26-28 September 2019

Peningkatan kapasitas pelayanan veteriner melalui

komunikasi risiko

Rapat Koordinasi Zoonosis Nasional diselenggarakan oleh Direktorat Kesmavet dan dihadiri oleh perwakilan Sekretariat Ditjen

Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan dan FAO Indonesia, Perwakilan Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dan perwakilan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (BB/Bvet dan BPMSPH).

Pelayanan Veteriner berperan dalam kesehatan dan kesejahteran hewan, dalam rutinitasnya dokter hewan melakukan monitoring, deteksi, pelaporan dan respon terhadap penyakit zoonotik dan penyakit hewan menular. Dalam melakukan tindakan medis, penerapan kesejahteraan hewan dan penerbitan sertifikat veteriner, pelayanan veteriner tidak hanya mengandalkan keahlian teknis dan ilmiah, namun diperlukan juga kolaborasi dan koordinasi dengan stakeholder terkait. Dalam kegiatan pelayanan veteriner, kita sering berkomunikasi dengan peternak, media, komunitas yang pada umumnya tidak mengenal dengan bahasa ilmiah dalam dunia kesehatan hewan. Pada era globalisasi ini sirkulasi hewan, produk hewan berlangsung secara cepat yang diikuti oleh kemudahan dalam mendapatkan akses informasi, karena itu komunikasi yang efektif menjadi sangat penting.

Komunikasi dalam pelayanan veteriner berkontribusi dalam melindungi kesehatan manusia, sebanyak 75 % penyakit emerging pada manusia berasal dari hewan, karena itu komunikasi dua arah antara sektor kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat sangat penting. Kedua sektor ini harus berkomunikasi secara efektif khususnya dalam menghadapi kejadian outbreak penyakit. Kolaborasi kedua sektor sama pentingnya dalam promosi, edukasi kesehatan dan kegiatan komunikasi risiko lainnya. Pada saat outbreak kedua sektor tersebut harus selaras dalam penyampaian pesan dan tindakan dalam pengendalian penyakit, identifikasi persepsi, rumor dan informasi yang salah. Penyampaian pesan sebaiknya dilakukan secara cepat, terpercaya dan mudah dipahami akan meminimalisir kerugian ekonomi maupun sosial yang diakibatkan oleh penyakit.

Direktorat Kesehatan masyatakat veteriner memfasilitasi pertemuan koordinasi zoonosis nasional dengan topik risiko komunikasi zoonosis rabies dan anthraks, ahli dalam hak komunikasi risiko memberikan tips dan rekomendasi mengenai teknik penyampian pesan serta rencana strategi komunikasi risiko.

OLEH G u n awa n S e t i a j i

45

Page 47: Redaksi - Pertanian

Globalisasi meningkatkan keterkaitan antara negara, ekonomi, dan industri, masuknya penyakit hewan akan terus menjadi ancaman utama bagi subsektor peternakan dan perdagangan hewan dan produknya, serta mata pencaharian peternak, ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat (Beltran-Alcrudo, 2019). Perdagangan antar negara memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit hewan lintas negara (transboundary animal diseases) seperti Avian Influenza, Foot and Mouth Disease dan African Swine Fever. Perdagangan internasional diketahui menciptakan risiko bagi penyebaran penyakit hewan (OIE, 2019). Kegiatan perdagangan antar negara juga berperan penting terhadap munculnya emerging infectious disease disuatu negara.

World Trade Organization (WTO) sebagai lembaga internasional yang mengatur masalah perdagangan internasional melihat bahwa penting membuat sebuah aturan yang dapat digunakan untuk meminimalkan dampak negatif dari adanya perdagangan internasional khususnya terkait dengan penyebaran penyakit hewan dan ancaman keamanan pangan. Melalui instrumen yang disebut dengan the Agreement on the Application of Sanitary Measures (SPS Agreement) inilah diharapkan dapat meminimalkan risiko perdagangan internasional. SPS Agreement bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan hewan dan produknya yang aman serta mengurangi hambatan perdagangan yang tidak diperlukan. Perjanjian SPS mendorong anggota WTO membuat standar atau tindakan sanitari sesuai dengan standar, pedoman, dan rekomendasi internasional yang ada. Pada kasus kesehatan hewan dan zoonosis, SPS Agreement merujuk ke standar, pedoman, dan rekomendasi OIE.

World Trade Organization (WTO) sebagai lembaga internasional yang mengatur masalah perdagangan internasional melihat bahwa penting membuat sebuah aturan yang dapat digunakan untuk meminimalkan dampak negatif dari adanya perdagangan internasional khususnya terkait dengan penyebaran penyakit hewan dan ancaman keamanan pangan. Melalui instrumen yang disebut dengan the Agreement on the Application of Sanitary Measures (SPS Agreement) inilah diharapkan dapat meminimalkan risiko perdagangan internasional. SPS Agreement bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan hewan dan produknya yang aman serta mengurangi hambatan perdagangan yang tidak diperlukan. Perjanjian SPS mendorong anggota WTO membuat standar atau tindakan sanitari sesuai dengan standar, pedoman, dan rekomendasi internasional yang ada. Pada kasus kesehatan hewan dan zoonosis, SPS Agreement merujuk ke standar, pedoman, dan rekomendasi OIE.

SPS Agreement

SPS Agreement merupakan salah satu perjanjian yang ada di WTO. SPS Agreement merupakan salah satu non-tariff measures yang dapat digunakan oleh setiap Negara anggota WTO untuk memproteksi perdagangan dalam negerinya. Tujuan dari penerapan perjanjian ini adalah untuk melindungi kesehatan manusia (keamanan pangan), hewan, dan tumbuhan. SPS Agreement menetapkan aturan dasar untuk standar keamanan pangan, kesehatan hewan dan tumbuhan. Aturan atau standar internasional yang diacu berasal dari the Office Internation des Epizooties (OIE) untuk standar kesehatan hewan, International Plant Protection Convention (IPPC), dan Codex Alimentarius Commission (CAC).

Tindakan SPS didefinisikan sebagai tindakan yang diterapkan untuk: melindungi manusia atau hewan dari risiko yang timbul dari zat aditif, kontaminan, organisme penyebab penyakit dan penghasil racun dalam makanan; melindungi kehidupan manusia dari penyakt yang dibawa hewan atau tumbuhan; melindungi hewan atau tumbuhan dari hama, penyakit, atau organisme penyebab penyakit; dan mencegah atau membatasi kerusakan negara akibat masuknya penyakit atau hama. Melalui tindakan ini diharapkan mampu meminimalkan risiko negatif khususnya dampak dari penyebaran penyakit hewan dan aspek keamanan pangan.

Tindakan SPS yang dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk menjamin bahwa pangan aman untuk konsumen, dan mencegah penyebaran hama atau penyakit pada hewan dan tumbuhan. Tindakan sanitari dapat berupa berbagai macam bentuk, seperti persyaratan sanitari untuk produk yang datang dari wilayah bebas penyakit, pemeriksaan produk, pengujian, sertifikasi, tindakan karantina, pengemasan terkait keamanan pangan, dan beberapa tindakan teknis lainnya. Tindakan sanitari yang diterapakan ini juga tidak hanya untuk produk impor tetapi juga dilakukan terhadap produk domestik.

Beberapa ketentuan kunci dalam Perjanjian SPS meliputi non-discrimination, harmonisasi, ekuivalensi, penilaian risiko, regionalisasi dan transparansi. Prinsip non-discrimination merupakan prinsip penting dalam menciptakan perdagangan yang adil dan transparan. Setiap negara anggota WTO memastikan bahwa tindakan-tindakan sanitari dan fitosanitari tidak menimbulkan diskriminasi semena-mena atau tidak

Kegiatan perdagangan antar negara juga

berperan penting terhadap munculnya emerging.

Emerging dan Re-Emerging Infectious

Disease (Morens et al., 2004) PERAN PENTING SPS

AGREEMENT DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

OLEH Ag u s Ja e l a n i

46

Page 48: Redaksi - Pertanian

beralasan. Tindakan-tindakan sanitari dan fitosanitari tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan menciptakan pembatasan terselubung terhadap perdagangan internasional.

Dalam membuat atau menerapkan tindakan sanitari, negara anggota WTO harus melakukan harmonisasi dengan standar, pedoman atau rekomendasi internasional yang berasal dari OIE dan CAC. Apabila standar internasional belum ada maka tindakan sanitari yang diterapkan harus memiliki bukti ilmiah (scientific evience) yang memadai. Tindakan sanitari yang sesuai dengan standar, pedoman, atau rekomendasi internasional perlu dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia dan hewan.

Ekuavalensi merupakan prinsip kesetaraan dalam penerapan tindakan sanitari. Prinsip ekuavalensi memperbolehkan negara pengekspor atau pengimpor untuk melakukan tindakan sanitari yang berbeda sepanjang tindakan dapat dilakukan secara obyektif dalam rangka perlindungan kesehatan manusia atau hewan. Negara anggota WTO dapat berkonsultasi untuk mencapai kesepakatan bilateral dan multilateral terkait dengan kesetaraan tindakan sanitari. Tindakan sanitari yang dilakukan harus berdasarkan penilaian risiko yang sesuai dengan kondisi terhadap risiko kehidupan manusia dan hewan dengan menggunakan teknik penilaian risiko yang dikembangkan oleh organisasi internasional. Dalam melakukan penilaian risiko, negara anggota harus mempertimbangkan bukti ilmiah yang tersedia; proses dan metode produksi yang relevan; metode inspeksi, sampling dan pengujian yang relevan; prevalensi penyakit, keberadaan area bebas penyakit, kondisi ekologi dan lingkungan; dan tindakan karantina atau perlakuan lain.

Prinsip regionalisasi menekankan bahwa tindakan sanitari yang dilakukan disesuaikan dengan karakteristik sanitari di wilayah, atau sebagian wilayah suatu negara. Negara anggota WTO harus mengakui konsep daerah bebas penyakit (zoning) yang telah ditetapkan oleh OIE. Penentuan daerah yang demikian harus didasarkan pada beberapa faktor seperti geografi, ekosistem, pemantauan epidemi dan efektifitas pengendalian sanitari. Prinsip selanjutnya yang diatur dalam Perjanjian SPS adalah transparansi. Setiap negara anggota WTO harus menyampaikan kebijakan sanitari yang dilakukan atau

diterapkan. Dalam proses transparansi maka setiap negara anggota harus menotifikasi ke WTO kebijakan sanitari yang diterapkan jika akan berdampak terhadap

perdagangan internasional.

Peran strategis SPS AgreementWorld Trade Organization (WTO) memperbolehkan

suatu negara memproteksi perdagangan domestiknya melalui instrumen yang telah ada di WTO. Secara garis besar, tindakan proteksi perdagangan terbagi menjadi dua yaitu tariff measures dan non-tariff measures. Perjanjian SPS merupakan salah satu intrumen yang masuk dalam kategori non-tariff measures. Saat ini banyak negara yang lebih menggunakan non-tariff measures dibandingkan instrument tariff measures dalam memproteksi perdagangan domestiknya.

Ada dua peran strategis SPS Agreement dalam konteks perdagangan internasional yaitu pertama, perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dan yang kedua sebagai fasilitasi perdagangan. Tindakan sanitari yang dilakukan oleh setiap negara harus ditujukan dalam upaya perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu tindakan yang diambil harus mengacu pada standar-standar yang diatur oleh organisasi dunia pembuat standar (OIE, IPPC, dan CAC). Dalam rangka memfasilitas perdagangan internasional maka keberadaan SPS Agreement meniadakan hambatan perdagangan yang tidak diperlukan. Sebelum adanya SPS Agreement, suatu negara dapat menolak perdagangan secara sepihak tanpa ada alasan atau bukti ilmiah yang memadai dan hal itu tidak kondusif dalam menciptakan iklim perdagangan yang kondusif dan berkeadilan.

Kemampuan Indonesia mengekspor sejumlah produk hewan ke negara lain disebabkan karena Indonesia mampu memenuhi persyaratan teknis (sanitari) yang telah ditetapkan negara tujuan ekspor dengan landasan standar internasional dan hal ini merupakan salah satu wujud konkrit dari pemanfaatan SPS Agreement dalam perdagangan internasional. Disisi lain Indonesia juga dapat memperoteksi perdagangan domestik dari ancaman impor dengan menggunakan alasan sanitari yang memiliki bukti ilmiah (scientific evidence) memadai.

Badan Internasional Pembuat Standar (Kahn, 2009)

47

Page 49: Redaksi - Pertanian

Indonesia sebagai negara anggota dari badan kesehatan hewan dunia atau Office International des Epizooties (OIE) memperoleh kesempatan sebagai tuan rumah pada penyelenggaran workshop regional untuk focal point kesejahteraan hewan yang bertajuk Regional Training Seminar for OIE National Focal Points on Animal Welfare pada tanggal 11-14 November 2019 di Bali. Kegiatan ini diselenggarakan oleh OIE bekerjasama dengan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yaitu Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Seminar ini yang dihadiri oleh 50 orang peserta yang berasal dari 28 negara dikawasan Asia-Pasifik yang terdiri atas anggota focal point kesejahteraan hewan, pengurus/panitia dari OIE, NGOs internasional yang bergerak di bidang perlindungan hewan, dan beberapa ahli dibidang kesejahteraan hewan. Kegiatan workshop regional untuk focal point kesejahteraan hewan ini merupakan program peningkatan kapasitas dari OIE yang bertujuan untuk memperjelas kembali peran dan tanggung jawab masing-masing negara anggota OIE dan untuk melakukan harmonisasi antar anggota dalam mengawal kesrawan di negara masing-masing.

Kegiatan workshop ini dilaksanakan selama empat hari yang terdiri atas tiga hari pertemuan di Hotel The Patra Bali dan satu hari kunjungan lapang di Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar. Hari pertama sampai dengan hari ketiga dilakukan penyampaian materi, diskusi, dan studi kasus melalui diskusi kelompok sesuai agenda yang telah disusun. Pada sesi materi dibahas tentang strategi-strategi kesejahteraan hewan global sesuai standar OIE, penyampaian informasi terkini (update) tentang OIE Terrestrial Code yang terkait dengan kesejahteraan hewan, dan update informasi tentang konsep dan penelitian ilmiah terbaru tentang ilmu kesejahteraan hewan. Implemetasi standar OIE terkait kesejahteraan hewan dan tantangan yang dihadapi serta sektor yang diprioritaskan dalam penerapan kesejahteraan hewan di wilayah masing-masing juga masuk dalam topik diskusi.

Pada kesempatan ini dua delegasi dari Indonesia juga memperoleh kesempatan untuk menyampaikan dua presentasi. Presentasi yang pertama yaitu mengenai pengalaman Indonesia

Catatan dari Bali tentang Regional Training Seminar for OIE

National Focal Points on Animal WelfareOLEH : Lutfi Nur Amalina

48

Page 50: Redaksi - Pertanian

dalam menghadapi tantangan eliminasi anjing liar saat terjadi outbreak rabies. Hal ini merupakan implementasi panduan OIE Terestrial Animal Health Code (TAHC) Chapter 7.7. Effective Implementation of Stray Dog Population Control. Materi ini disampaikan oleh drh. Puguh Wahyudi, M.Si selaku Kepala Seksi Advokasi Kesejahteraan Hewan. Adapun materi yang kedua disampaikan oleh delegasi focal point kesejahteraan hewan dari Indonesia yang saat ini dijabat oleh drh. Ira Firgorita. Ibu drh. Ira Firgorita yang mendapatkan

kesempatan presentasi pada hari kedua menyampaikan materi tentang implementasi kesejahteraan hewan pada transportasi ternak melalui jalur laut yang telah diterapkan di Indonesia yang merupakan implementasi panduan OIE Chapter. 7.2. Transport of Animal by Sea.

Kunjungan lapang ke Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar yang dilakukan pada tanggal 14 November 2019 merupakan akhir dari rangkaian kegiatan workshop ini. Balai Pembibitan Sapi Bali ini merupakan salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT) lingkup Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berada di daerah Pulukan Kabupaten Jembrana yang berjarak tempuh sekitar tiga jam dari Denpasar. Pada sesi kunjungan lapang atau fieldtrip ini, para peserta dapat mengamati implementasi kesejahteraan hewan

pada peternakan sapi potong yang merupakan gambaran dari implementasi pedoman OIE Terrestrial Animal Health Code (TAHC) 7.9 – Animal Welfare and Beef Cattle Production Systems. Kepala Balai BPTU-HPT Denpasar, Ir. Junaida dan jajarannya menyambut dengan sangat baik dan mengapresiasi kegiatan ini.

Selama empat hari melakukan kegiatan seminar dan fieldtrip di Bali walaupun dengan agenda yang sangat padat terlihat para peserta cukup antusias dan merasa senang. Penulis sendiri merasa sangat bersyukur dapat memperoleh kesempatan belajar lebih banyak tentang kesejahteraan hewan dan menimba pengalaman dengan mengikuti kegiatan bertaraf internasional ini. Semoga di lain waktu dapat berkesempatan mengikuti kegiatan-kegiatan serupa dan dapat mengimplementasikan ilmu yang telah diperoleh.

Kegiatan Workshop

di Bali

Presentasi dua delegasi

Kunjungan lapang ke Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT)

para peserta kegiatan seminar dan fieldtrip

di Bali

49

Page 51: Redaksi - Pertanian

50

Page 52: Redaksi - Pertanian