10
I. PENDAHULUAN Asma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam dekade terakhir ini prevalensi asma bronkial cenderung meningkat, sehingga masalah penanggulangan asma menjadi masalah yang menarik. Hiperesponsif jalan napas, gangguan aliran udara dan hipersekresi mukosa pada penderita asma merupakan faktor predisposisi timbulnya komplikasi respirasi selama dan sesudah proses anestesi dalam tindakan pembedahan. Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Pasien dengan asma dipercaya memiliki peningkatan resiko komplikasu paru selama operasi yang dapat meningkatkan tingkat kematian. Komplikasi paru perioperative sering terjadi sebagai komplikasi jantung dan dapaty menyebabkan lamanya perawatan di rumah sakit (Taufik, 1999) Tujuan persiapan pasien dengan asma untuk anestesi dan pembedahan adalah untuk memaksimalkan fungsi pernafasan pasien. Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil yang baik. Jika pasien tidak bebas dari

Refer At

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdadasdasd

Citation preview

I. PENDAHULUANAsma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam dekade terakhir ini prevalensi asma bronkial cenderung meningkat, sehingga masalah penanggulangan asma menjadi masalah yang menarik. Hiperesponsif jalan napas, gangguan aliran udara dan hipersekresi mukosa pada penderita asma merupakan faktor predisposisi timbulnya komplikasi respirasi selama dan sesudah proses anestesi dalam tindakan pembedahan. Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau karena dingin, inhalasi gas kering. Pasien dengan asma dipercaya memiliki peningkatan resiko komplikasu paru selama operasi yang dapat meningkatkan tingkat kematian. Komplikasi paru perioperative sering terjadi sebagai komplikasi jantung dan dapaty menyebabkan lamanya perawatan di rumah sakit (Taufik, 1999)Tujuan persiapan pasien dengan asma untuk anestesi dan pembedahan adalah untuk memaksimalkan fungsi pernafasan pasien. Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episode-episode asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil yang baik. Jika pasien tidak bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya emfisema atau bronkhitis kronik). Spirometer pre dan post penggunaan bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.II. ASMA BRONKIALAsma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai dengan batuk. Tanda yang sering ditemukan pada pemeriksaan fisik yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran nafas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran nafas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran nafas (National Institutes of Health, 2007)Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain allergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi tombul pada orang dengan kecendrungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mngeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamine, leukotrien, faktor kemotatik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi sakuran nafas.Reaksi alergi tipe cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Fase lambat reaksinya terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja. Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4 (LTB4), dan PAF. (Baratawidjaja et al, 2006)Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor, memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun (Jenkins, 2000)Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus sehingga menyebabkan penyempitan bronkus.Reaksi asma pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2, pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuroeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptide itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lender, dan aktivitas inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya hiperaktivitas bronkus (Eapen, 2002)Secara umum umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan 1. Faktor genetika. Atopi/alergiHal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahuibagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.b. Hiperaktivitas bronkus.Saluran nafas sensitive terhadap berbagai rangsangan allergen maupun iritan.c. Jenis kelaminPria merupakan resiko asma pada anak. Sebelum usia 14, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali disbanding anak perempuan. Menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.d. Ras

e. ObesitasObesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.2. Faktor Lingkungana. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain)b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)3. Faktor laina. Alergen makananb. Alergen obat-obatan tertentuc. Bahan yang mengiritasid. Ekspresi emosi berlebihe. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasiff. Polusi udara dari luar dan dalam ruangang. Exercise induced asthmah. Perubahan cuacai. Status ekonomi

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang DewasaDerajat AsmaGejalaGejala Malam

IntermittenBulananGejala 1x/minggu tetapi 2 kali sebulan

Persisten sedangHarianGejala setiap hariSerangan mengganggu aktivitas dan tidurBronkodilator setiap hari> 2 kali sebulan

Persisten beratBerkelanjutan Gejala terus menerusSering kambuhAktivitas fisik terbatassering

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak- anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang1. AnamnesisAda beberapa hal yang harus diketahui oleh pasien asma antara lain riwayat rhinitis alergi, konjungtivitis alergi, eksem atopi, batuk kronik disertai mengi, flu berulang, sakit saat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernafasan, sering terbangun tengah malam, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis, atau alergi lainnya dalam keluarga.2. Pemeriksaan klinisUntuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci untuk menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran nafas. Pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernafas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi thorax. Inspeksi dapat ditemukan nafas cepat, kesulitan bernafas, menggunakan otot tambahan di leher, abdomen, dan thorax. Auskultasi dapat ditemukan mengi, dan ekspirasi memanjang.3. Pemeriksaan penunjanga. SpirometerAlat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.b. Peak flow meterPFM merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Untuk diagnosis obstruksi saluran nafas, PFM mengukur terutama saluran nafas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostikc. Rontgen thoraxDilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.d. Pemeriksaan IgEUji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

DapusTaufik, Yunus F, Nawas A, Mangunnegoro H. Kematian pada asma bronkial. J Respir Indo 1999;19: 119-24Jenkins CR. Asthma and the leukotriene inhibitors. Medical Progress 2000;15: 27-32Global Strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health, 2007.Baratawidjaja et al. allergy and asthma, The scenario in Indonesia. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vieas Medical Publisher, 2006. 707-36Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanism in allergic disease. USA:Marcel Dekker, 2002,p, 325-54.