30
REFERAT DELIRIUM PADA KONDISI MEDIS UMUM PEMBIMBING : dr. Andri SpKJ ZOLRINA BINTI ZOLKAPLI 11 2011 136 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT 8 OKTOBER 2012 – 10 NOVEMBER

Refer at Zo Lrina

  • Upload
    epoi89

  • View
    237

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat jiwa

Citation preview

REFERAT

DELIRIUM PADA KONDISI MEDIS UMUMPEMBIMBING :dr. Andri SpKJ

ZOLRINA BINTI ZOLKAPLI11 2011 136

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANARUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT8 OKTOBER 2012 10 NOVEMBER

I. KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkah-Nya saya dapat menyelesaikan referat ini dengan baik.Adapun referat ini berjudul Delirium Pada Kondisi Medis Umum. Referat ini dibuat untuk menyelesaikan salah satu tugas pada kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana di RSJ Provinsi Jawa Barat.Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr Andri SpKJ sebagai dokter pembimbing ilmu kedokteran jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Saya juga ingin berterima kasih kepada dr Lydia Esther Nurcahya SpKJ yang membimbing saya dalam pembikinan referat ini di RSJ Provinsi Jawa Barat. Tidak lupa setinggi terima kasih kepada DR dr Mardi Santoso SpPD DTMH KEMD sebagai dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.Referat ini tentulah masih banyak kekurangan. Untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat membuat referat yang lebih baik.Harapan saya referat ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.

Jakarta, Oktober 2012

Zolrina Zolkapli

II. DAFTAR ISI

Kata penghantar2

Daftar Isi3

BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang4

BAB II : ISI2.1 Definisi52.2 Epidemiologi62.3 Etiologi72.4 Patofisiologi82.5 Manifestasi Klinis102.6 Kriteria Diagnosis142.7 Pemeriksaan152.8 Penatalaksanaan16

BAB III Kesimpulan19

Daftar pustaka20

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis sendiri. Gangguan ini berlaku jika terdapat suatu kondisi patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat).1,2,3 Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya skizofrenia,depresi). Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan psikiatri dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut fungsional. Suatu bagian yang disebut gangguan mental organik dalam DSM IV yaitu delirium, demensia, gangguan amnestik gangguan kognitif lain, dan gangguan mental karena suatu kondisi medis umum.1

Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak. Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh.4

Delirium merupakan salah satu jenis Gangguan Mental Organik yang penting dan sering dijumpai di klinik. Kondisi ini begitu penting dalam menegakkan diagnosisnya sehingga diperlukan kecermatan dan ketelitian, karena kesalahan diagnosis dapat berakibat fatal pada pasien. Untuk lebih dapat menegakkan diagnosisnya dengan cepat dan tepat agar dapat melakukan tatalaksana yang segera dan tepat, seorang dokter sangat perlu mengenali serta memahami tanda dan gejala delirium.

BAB II ISI

2.1 Definisi

Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi, dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum. Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing dari ciri karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual.

Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium diketahui mempunyai banyak sebab, semuanya menyebabkan pola gejala yang sama yang berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien dan gangguan kognitif. Sebagian besar penyebab delirium terletak di luar sistem saraf pusat; sebagai contoh, gagal ginjal atau hati. 1,6

Delirium tetap merupakan gangguan klinis yang kurang dikenali dan kurang didiagnosis. Bagian dari masalah adalah bahawa sindrom disebut dengan berbagai nama lain- sebagai contoh, keadaan konfusional akut, sindrom otak akut, ensefalopati metabolik, psikosis toksis, dan gagal otak akut.1,6

Kepentingan untuk mengenali delirium adalah seperti berikut : kebutuhan klinis untuk mengidentifikasi dan mengobati penyebab dasar kebutuhan untuk mencegah perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.

Komplikasi tersebut adalah cedera kecelakaan karena kesadaran pasien yang berkabut (clouding consciousness) atau gangguan koordinasi atau penggunaan pengekangan yang tidak di perlukan. Kekacauan rutin bangsal adalah merupakan masalah yang terutama mengganggu pada unit non-psikiatrik, seperti pada unit perawatan intensif dan bangsal medis dan bedah umum.

2.2 Epidemiologi

Penelitian mengenai epidemiologi delirium masih sangat sedikit, diduga sekitar 10-15% pasien rawat bedah umum pernah mengalami delirium, 15-25% pasien rawat medik umum pernah mengalami delirium selama dirawat di rumah sakit. Juga diperkirakan sekitar 30% pasien bedah ICU dan 40-50% pasien ICCU pernah mengalami delirium. Yang tertinggi ditemukan pada pasien post kardiotomi.Penyebab delirium pasca operasi termasuk stress pembedahan, nyeri pasca operasi, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan kehilangan darah. Insidensi delirium meningkat seiring dengan bertambahnya usia pasien. Delirium adalah gangguan yang umum. Usia lanjut adalah faktor risiko untuk perkembangan delirium. Kira-kira 30-40 persen pasien rawat di rumah sakit yang berusia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi lainnya untuk perkembangan delirium adalah usia muda, cedera otak yang telah ada sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, komplikasi dari diabetes seperti keadaan ketoasidosis diabetikum, kanker, gangguan sensoris dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik yang buruk.1,6

2.3 Etiologi

Penyebab utama delirium adalah penyakit pada system saraf pusat, penyakit sistemik dan intoksikasi atau withdrawal obat atau zat toksik. Etiologi delirium dibagikan seperti dibawah:

Table 1 Cause of Delirium

Medication effect or interaction

Substance intoxication or withdrawal

Infection

Head injury

Metabolic disarray :

Acid-base balance

Dehydration

Malnutrition

Electrolite Balance

Blood Glucose Abnormality

Carbo Dioxide narcosis

Encephalopathy ( uremic and hepatic)

Cerebrovascular insufficiency :

Congestive Heart Failure

Hypovolemia

Arrythmias

Severe Anemia

Transcient Ischemia

Acute CVA

Endocrine Dysfunction

Postoperative state ; Postcardiotomy delirium

Environmental factors ; Intensive Care Unit psychosis

Sleep Deprivation

Hipotesis neurotransmitter utama yang terlibat dalam delirium adalah asetilkolin dan daerah utama neuroanatomi yang terkena adalah formatio retikularis. Formasi retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian dan kesadaran, dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis, yang keluar dari formasi retikularis mesensefalik ke tektum dan thalamus. Mekanisme patologi lain telah diajukan untuk delirium. Khususnya, delirium yang berhubungan dengan putus alkohol telah dihubungkan dengan hiperaktivitas lokus sereleus dan neuron nonadrenergiknya. Neurotransmiter lain yang berperan adalah serotonin dan glutamate. Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya delirium adalah penurunan aktivitas asetilkolin dalam otak.1,6

2.4 Patofisiologi

Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari gangguan neuronal, biasanya melibatkan area di korteks serebri dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang terlibat langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating sistem, korteks, dan hipokampus berperan pada gangguan fungsi kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inatensi) dalam delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan kembali dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan stress metabolik. Adanya peningkatan dopamin yang abnormal ini dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi. Adanya gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.

Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:1.Delirium hiperaktifDitemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol yang tiba-tiba, intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan asam lisergic dietilamid (LSD)2.Delirium hipoaktifDitemukan pada pasien hepatik encefalopati dan hiperkapnia3.Delirium campuran

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat disebabkan oleh gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis utama adalah adanya gangguan yang irreversibel terhadap metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multipel neurotransmiter.

AsetilkolinObat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan acute confusional states dan pada pasien dengan gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan post-operatif delirium, aktivitas serum anticholinergik meningkat. DopaminDiotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada delirium, terjadi peningkatan aktivitas dopaminergik. Neurotransmitter lainSerotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic encephalopathy dan sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti LSD dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan beta-endorphins: pada delirium yang disebabkan glukokortikoid eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin,

Mekanisme inflamasiMekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi delirium, yaitu karena keterlibatan sitokin seperti interleukin-1 dan interleukin-6, Stress psychososial dan angguan tisur berperan dalam onset delirium.

Mekanisme strukturalFormatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian kesadaran dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis yang keluar dari formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan thalamus. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.

Perjalanan penyakitWalaupun onset delirium biasanya mendadak, gejala prodromal dapat terjadi pada hari sebelum onset gejala yang jelas. Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor penyebab yang relevan ditemukan, walaupun delirium biasanya berlangsung kurang dari satu mingggu. Setelah identifkasi dan menghilangkan faktor penyebab, gejala delirium biasanya menhilang dalam periode tiga sampai tujuh hari, walaupun beberapa gejala mungkin memerlukan waktu sampai dua minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia pasien, dan semakin lama pasien mengalami delirium, semakin lama waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Apakah delirium berkembang menjadi demensia belum ditunjukkan dalam penelitian terkontrol yang cermat.Tetapi, suatu observasi klinis yang telah di sahkan oleh suatu penelitian, adalah bahwa periode delirium kadang-kadang diikuti oleh depresi atau gangguan stress pasca traumatik.1,6

2.5 Manifestasi klinisGambaran kunci dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran (kesadaran berkabut), keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi menakutkan di malam hari, dan kegelisahan. Selain itu, pasien yang pernah mengalami episode rekuren di bawah kondisi yang sama.1,6

1. ProdormalBiasanya pasien akan mengeluh kelelahan, cemas, menjadi iritabel, mengalami gangguan tidur.

2. Gangguan kesadaran (Arousal)Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien dengan delirium yang berhubungan dengan putus zat sering kali mempunyai delirium yang hiperaktif, yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan, kulit pucat, berkeringat, takikardia, pupil berdilatasi, mual muntah dan hipertermia. Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai depresi, katatonik, atau mengalami demensia. Pasien dengan pola gejala campuran hipoaktivitas dan hiperaktivitas juga ditemukan dalam klinis.1,6

3. OrientasiTerhadap waktu, tempat, dan orang harus diuji pada pasien dengan delirium. Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang lain mungkin juga terganggu pada kasus yang berat. Pasein delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya sendiri.1,6

4. Bahasa dan kognisiPasien dengan delirium sering kali mempunyai kelainan dalam bahasa. Kelainan dapat berupa bicara yang ngelantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan untuk mengerti pembicaraan.1,6

Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium adalah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun, mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun ingatan kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Di samping penurunan kognitif yang dramatis, sebagai suatu gejala hipoaktif delirium yang karakteristik. Pasien delirium juga mempunyai gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham yang tidak sistematik, kadang paranoid.1,6

5. PersepsiPasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka, akibatnya pasien sering kali tertarik oleh stimuli yang yang tidak relevan atau menjadi teragitasi jika dihadapkan dengan informasi baru. Halusinasi juga relative sering pada pasien delirium. Halusinasi yang paling sering adalah visual dan auditoris, walaupun halusinasi dapat juga taktil atau olfaktoris. Halusinasi visual dapat terentang dari gambar geometric sederhana atau pola berwarna orang yang berbentuk lengkap dengan pemandangan. Ilusi visual dan auditoris adalah sering pada delirium.1,6

6. Mood Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood. Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah apati, depresi, dan euphoria. Beberapa pasien dengan cepat berpindah di antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.1,6

Gejala PenyertaGangguan bangun tidur.Tidur pada pasien delirium secara karakteristik adalah terganggu. Pasien sering kali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tertidur sekejap. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir selalu singkat dan terputus-putus. Sering kali keseluruhan siklus tidur bangun pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien sering kali mengalami eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur situasi klinis yang dikenal luas sebagai sundowning. Kadang pasien dengan delirium mendapat mimpi buruk yang terus berlangsung ke keadaan terjaga sebagai pengalaman halusinasi.1,6Gejala neurologis. Pasien dengan delirium sering kali mempunyai gejala neurologis yang menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan inkontinensia urin. Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan delirium.1,6

Kondisi Medis Umum Yang Sering Dijumpai Di Lapangan Yang Menimbulkan Gejala Delirium.

a. Toxic Thyphoid SyndromeThypoid toxic adalah satu komplikasi serebral dan meningeal dari demam tifoid yang ditandai secara klinis terjadi perubahan mental yang terdiri dari disorientasi, kebingungan, delirium lebih dari 5 hari, yang dapat diikuti dengan/tanpa munculnya gejala neurologis : afasia, ataxia, perubahan refleks, konvulsi dan lain-lainnya.6

Manifestasi klinis dari typhoid toxic dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu : 1. Meningocerebral, ditandai dengan demam > 6 hari dan menjadi delirium, setengah sadar atau tidak sadar, terdapat kaku kuduk, Kernig sign dapat positif maupun negatif, refleks tendon meninggi, pemeriksaan LCS normal, dengan prognosis baik. 2. Encephalitis akut, ditandai dengan demam tinggi mendadak, tidak sadar dan kejang general 24 jam setelah onset yang dapat berulang, dengan prognosis buruk. 3. Meningitis akut, ditandai dengan pemeriksaan LCS jernih dengan pleositosis ringan, dengan EEG menunjukan gambaran encephalopati.

b. DehidrasiDehidrasi merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat hilangnya cairan tubuh secara berlebihan. Penderitanya bisa menunjukan defisiensi baik cairan maupun kadar elektrolit. Derajat keparahan dehidrasi dihitung dari perbandingan berat cairan yang hilang dengan berat tubuh, yaitu ringan (5%), sedang (10%), berat (15%). Dehidrasi bisa terjadi pada keadaan hilangnya atau berkurangnya fungsi ginjal akibat gagal ginjal, ketidakseimbangan antara intake dan outtake minum dan ketidakseimbangan hormone ADH. Yang paling dikhawatirkan adalah pengerutan tersebut terjadi pada neuron otak sehingga mengganggu fungsi otak. Manifestasi dapat terjadi sebagai kebingungan mental dan irasonalitas dalam kasus sedang serta mungkin menyebabkan delirium, convulsion, atau koma pada kasus yang lebih berat.7

c. Trauma KapitisIstilah delirium pada keadaan trauma kapitis jarang digunakan. Istilah confusional state post trauma lebih sering digunakan walaupun dari beberapa literature, ertinya sama. Berbagai definisi dan kriteria membuat penulisan tentang delirium setelah trauma kapitis menjadi sulit. Confusional state di sini menunjukkan gejala gangguan memori, atensi, orientasi dan kemampuan visuokonstruksional. Istilah amnesia paska trauma juga digunakan dan didefinisikan sebagai sebuah periode kesadaran berkabut sebelum pencapaian orientasi dan kesadaran penuh pada orang yang sedang mengalami pemulihan dari cedera kepala. Delirium paska trauma kapitis sering bertumpang tindih dengan stupor dan koma.8

2.6 Kriteria Diagnosis Dalam referat ini, akan didiskusikan kriteria diagnostik untuk delirium karena kondisi medis umum sahaja dan intoksikasi zat sahaja.

Kriteria diagnostik untuk delirium karena kondisi medis umum menurut DSM-IV-TR :a) Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan datau mengalihkan perhatian.b) Perubahan kognisis atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah ada sebelumnya yang telah ditegakkan atau yang sedang timbul. (hendaya daya ingat segera dan jangka pendek namun daya ingat jangka anjang tetap utuh, distorsi perseps, ilusi dan halusinasi terutama visual, hendaya daya piker dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkohenrensi, disorientasi waktu, tempat dan orang).c) Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat (mendadak) dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari.d) Terdapat bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium bahawa penggangguan adalah disebabkan oleh akibat fisiologis langsung dari kondisi medis umum.

Kriteria Diagnostik Untuk Delirium Yang Disebabkan Intoksikasi Zat.a. Gangguan kesadaran (yaitu penurunan kejernihan kesadaran tehadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan atau mengalihkan perhatian. b. Perubahan kognisi (seperti defisit daya ingat, disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak lebih baik diterangkan demensia yang telah ada sebelumnya, yang telah ditegakkan atau yang sedang timbul. c. Gangguan timbul setelah suatu periode waktu yang singkat dan cenderung berfluktuasi selama perjalanan hari. d. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk menemukan delirium ini (1) atau (2) :a. Gejala pada kriteria a dan b berkembang selama intoksikasi zatb. Penggunaan intoksikasi di sini untuk mengatasi enyebab yang ada hubungan dengan gangguannya.Intoksikasi zat yang menimbulkan delirium antara lain ; Alkohol, amfetamin (ata yang mirip dengan amfetamin), kanabis, kokain,halusinogen, inhalan, opiod, fensiklidin, sedative, hipnotik.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Delirium biasanya didiagnosis pada sisi tempat tidur dan ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba. Penggunaan status pemeriksaan mental bedside seperti Mini Mental State Examination (MMSE) pemeriksaan fisik sering kali mengungkapkan petunjuk adanya penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang diketahui atau riwayat trauma kepala atau ketergantungan alkohol ata zat lain meningkatkan kemungkinan diagnosis.1,6

Pemeriksaan laboratorium untuk seorang pasien dengan delirium harus termasuk tes-tes standar dan pemeriksaan tambahan yang diindikasikan oleh situasi klinis. EEG pada delirium secara karakteristik menunjukkan perlambatan umum pada aktivitas dan dapat berguna dalam membedakan delirium dari depresi atau psikosis. EEG dari seorang pasien yang delirium sering kali menunjukkan daerah fokal hiperaktivitas. Pasa kasus yang jarang, mungkin sulit membedakan delirium yang berhubungan dengan epilepsi dari delirium yang berhubungan dengan penyebab lain. 1,6

2.8 Penatalaksanaaan

Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang menyebabkan delirium. Jika kondisinya dalah toksisitas antikolinergik, penggunaan physostigmine salicylate (Antrilirium) 1- 2 mg intravena (IV) atau intramuscular (IM) dengan dosis ulang dalam 15 sampai 30 menit, dapat diindikasikan. Tujuan pengobatan yang penting lainnya dalah memberikan bantuan fisik, sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik adalah diperlukan sehingga pasien delirium tidak masuk ke dalam situasi dimana mereka mungkin mengalami kecelakaan. Pasien dengan delirium tidak boleh dalam lingkungan tanpa stimulasi sensorik atau dengan stimulasi yang berlebihan. Delirium kadang dapat terjadi pada pasien lanjut usia dengan penutup mata setelah pembedahan katarak (black-patch delirium)1,6

Pengobatan secara langsung baik identifikasi dari underlying physical cause maupun menilai pengobatan dari anxietas, distress, dan problem prilaku. Pasien perlu penentraman hati, dan reorientasi untuk mengurangi anxietas, cara ini perlu dilakukan dengan sering. Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai penyakit pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien dapat menolong pasien dalam perawat menjadi lebih tentram. Pada perawatan di rumah sakit pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga cukup cahaya agar pasien dapat tahu dimana dia berada namun dengan penerangan dimana tidak mengganggu tidur pasien. Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien. Penting untuk memberi sedapat mungkin sejak terjadi perburukan dari delirium. Dosis yang kecil dari benzodiazepin atau obat hypnotic lain sangat berguna untuk membut pasien tidur saat malam. Benzodiazepin harus dihindari saat siang dimana efek sedasinya dapat meningkatkan disorientasi. Ketika pasien dalam keadaan yang menderita dan gangguan prilaku, monitor pengobatan antipsikotik secara hati-hati dapat sangat berharga. Ikuti dengan dosis inisial yng cukup untuk mengobati situasi akut, dosis obat oral secara reguler dapat diberikan secara adekuat agar pasien tidak mengantuk berlebihan. Haloperidal dapat diberikan dimana dosis harian 10-60 mg. Jika perlu dosis pertama antara 2-5mg dapat diberikan intramuskular.

Penatalaksanaan dari typhoid toxic hampir sama dengan pengobatan demam tifoid pada umumnya mengingat typhoid toxic sendiri merupakan komplikasi dari demam tifoid, hanya saja diberikan pengobatan tambahan untuk mengatasi kelainan neurologisnya. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu; Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian medikamentosa. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Sedangkan diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.Bagi pasien delirium pada kondisi demam tifus yang memberat (toxic thyphoid syndrome) diberikan kloramfenikol dengan dosis 4x500mg/hari selama 7 hari afebris atau sampai 1 minggu bebas demam. Kotrimoksazol digunakan untuk mengurangkan delirium dan keadaan toksik. Dosis yang diberikan adalah 400 mg 2 x 2 tablet/hari sampai 7 hari afebris. Obat neuroleptik merupakan treatment pilihan untuk delirium pada trauma kapitis. Haloperidol adalah yang paling sering digunakan. Efek samping sedatifnya dapat digunakan untuk pasien pada awalnya untuk meningkatkan dan menkonsolidasi tidur pada malam hari dengan dosis menjelang tidur. Efek sedative ini diminimalkan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah dari yang digunakan secara konvensional untuk mania atau skizofrenia dan dikurangi setelah beberapa hari atau setelah gejala delirium mereda. . Respon terhadap haloperidol dalam delirium sering kali sangat baik. Dengan segera mengurangi gejala delirium, pasien menjadi lebih sadar dan mampu memulai rehabilitas. Target gejala untuk penggunaan haloperidol biasanya adalah agresi atau disinhibisi. Alasan yang paling sering dikutip untuk penggunaan haloperidol termasuk efek sedatif, onset yang cepat, ketersediaan lebih dari satu cara pemberian, dan efektivitas ketika pengobatan lain gagal (Fugate et al., 1997b).

Pengobatan farmakologisDua gejala utama dari delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih dari psikosis adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik golongan butyrophenone. Tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi fisik pasien, dosis awal dapat terentang antara 2 sampai 10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan dua pertiga dosis diberikan sebelum tidur. Untuk dosis awal dimulakan setengah dari sediaan yaitu 0.5 mg dari 1.5 mg. Diberi dua dosis yaitu pagi dan malam. Dosis dinaikkan jika masih ada gejala psikosis.

Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari dosis parenteral. Dosis harian efektif total dari haloperidol mungkin terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Untuk golongan lanjut usia, diberikan haloperidol dengan dosis kecil dan diberikan triphenyhexidyl untuk mengatasi efek ekstrapirimidal. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25 sampai 100 mg. golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar.1,6

BAB IV : KESIMPULAN

Delirium merupakan gangguan mental organik yang sering dijumpai pada kondisi medis umum tetapi selalu terlewat diagnosis. Delirium merupakan satu kumpulan gejala yang terdiri dari kesadaran berkabut, gangguan bahasa dan kognisi, mood, persepsi dan orientasi. Diperlukan pemerhatian yang teliti dan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan diagnosis pasien dengan delirium karena underlying disease yang mendasari delirium beretiologi dari perlbagai kemungkinan. Delirium dengan gejala psikotik diobati dengan obat anti-psikotik. Delirium juga erring datang dengan keluhan insomnia dan gelisah (agresif). Keadaan ini diobati dengan obat anti-insomnia dan anti cemas. Dosis yang digunakan dimulai dengaan dosis kecil dan paling efektif untuk pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis, edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. 2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. 3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid 1. Penerbit Media AesculapsiusFakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. 4. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993. 5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University Press, Surabaya 1992. 6. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 367-3757. Dehidrasi. Diunduh dari http://www.medicinesia.com/harian/dehidrasi/ pada 23 Oktober 2012.8. Delirium dan Amnesia Paska Trauma. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/124025492/Delirium-dan-Amnesia-Paska-Trauma pada 23 Oktober 2012.20 | Page